i
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)
DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor
Oleh:
ATRIKA IRIANI 137030201111001
PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI MINAT ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2018
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI
Judul Disertasi : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)
Nama : ATRIKA IRIANI Nim : 137030201111001 Program Studi : Ilmu Administrasi Minat : Administrasi Publik Komisi Promotor:
Promotor : Prof. Dr. Sumartono, MS
Ko-Promotor 1 : Dr. Suryadi, MS
Ko-Promotor 2 : Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si
Tim Penguji:
: 1. Prof. Dr. Soesilo Zauhar, MS
: 2. Dr. Lely Indahmindarti, M.Si
: 3. Dr. Bambang Santoso Haryono, MS
: 4. Dr. Chairul Saleh, MS
: 5. Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA
: 6. Prof. Dr. P. Israwan Setyoko, MS
Tanggal Ujian : 28 Desember 2018
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan Saya, di dalam naskah Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila pernyataan di dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur PLAGIASI, Saya bersedia DISERTASI ini digugurkan dan gelar akademik yang telah Saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Malang, 2019 Mahasiswa,
Nama : Atrika Iriani NIM : 137030201111001
Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
v
DISERTASI INI KUPERSEMBAHKAN KEPADA:
Keluarga besar Universitas Brawijaya Malang
dan
Keluarga Besar Pascasarjana STISIPOL CANDRADIMUKA Palembang khususnya Direktur Pascasarjana STISIPOL CANDRADIMUKA Palembang
Dr. Hj. Nurmah Semil, M.Si yang senantiasa mensupport studiku
serta
Orang Tuaku Terkasih Ayahku Riza Kadarisman dan Ibuku Nursinah untuk Do’a yang selalu dipanjatkan dan dukungan moral maupun material
Saudara-saudaraku tersayang: Bambang Try Sutrina, S.Pd & Misla Nurhasanah, S.Pdi,
Muhammad Riansyah, Amd M. Akbar Shaleh
Kekasihku Herdhika Handoko Kridho, ST yang selalu menginspirasi, memotivasi dan mendukung studiku
Keponakanku yang menggemaskan dan selalu mengingatkanku untuk pulang, Baby twin Adrian Akbar Gouzan dan Adila Nisa Ardani
Keluarga besar dan Teman-teman yang telah mendukung dalam studiku
vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Atrika Iriani, S.IP., M.Si lahir di Palembang 18 Januari 1987, merupakan anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Riza Kadarisman dan Ibu Nursinah dan bertempat tinggal di Kelurahan Lebung Gajah Kecamatan Sematang Borang Palembang.
Riwayat Pendidikan formal dilalui dari TK Bunda Kandung lulus tahun 1992, SDN 406 Palembang lulus tahun 1998, SMPN 14 Palembang lulus tahun 2001, SMAN 14 Palembang lulus tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Universitas Sriwijaya Inderalaya pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan lulus pada tahun 2008 dengan predikat cumlaude. Selanjutnya menempuh Pendidikan Magister (S2) Jurusan Administrasi Publik pada tahun 2011 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya dan lulus pada tahun 2013 dengan predikat cumlaude. Ditahun yang sama melanjutkan Pendidikan Program Doktor (S3) di Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 2018
Riwayat Pekerjaan diawali dengan menjadi peserta Cooperative Education (Co Op) PT PLN KIT SBS, tahun 2007 hingga 2009. Selanjutnya menjadi Dosen LB di Universitas PGRI Palembang Tahun 2009-2013. Sejak Tahun 2013 hingga saat ini menjadi Dosen Tetap di Pasca Sarjana Stisipol Candradimuka Palembang.
Malang, 2019 Penulis, Atrika Iriani, S,IP., M.Si
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala
karunia, rahmat dan hidayahNya sehingga Disertasi yang berjudul ”Implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota
Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi
Pemerintahan Kota Palembang)” dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari betul bahwa tanpa adanya bimbingan dan dukungan
dari berbagai pihak, Disertasi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu,
Penulis dengan segala hormat dan penuh rendah hati menyampaikan
penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani A.R., M.S. selaku Rektor Universitas
Brawijaya Malang yang telah menerima dan memberikan waktu dan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Doktor minat Ilmu
Administrasi Publik
2. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang
3. Bapak Prof. Dr Sumartono, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang, sekaligus sebagai Promotor
yang penuh kesabaran dan perhatian memberikan bimbingan dalam
penulisan Disertasi ini
4. Bapak Dr. Suryadi, MS sebagai Ko-Promotor yang penuh kesabaran
dan perhatian memberikan bimbingan dalam penulisan Disertasi ini
5. Ibu Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si sebagai Ko-Promotor yang penuh
kesabaran dan perhatian memberikan bimbingan dalam penulisan
Disertasi ini
viii
6. Ibu Dr. Hj. Nurmah Semil, M.Si selaku Direktur Pascasarjana Stisipol
Candradimuka Palembang yang telah memberikan kesempatan, dan
dukungan untuk mengikuti pendidikan Program Doktor minat Ilmu
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Malang
7. Dinas Kesehatan Kota Palembang yang telah memberikan izin
penelitian, izin mengikuti supervisi KTR dan memberikan data-data
penelitian dalam rangka penyempurnaan penulisan Disertasi
8. Kedua Orang Tua, untuk kasih sayang yang tanpa batas, untuk do’a-
do’a yang senantiasa dipanjatkan, serta dukungan moril dan materiil
sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi sampai Program Doktor
9. Saudara-saudaraku tersayang serta keponakanku yang
menggemaskan, yang senantiasa memotivasi Penulis untuk segera
menyelesaikan studi
10. Kekasihku Herdhika Handoko Kridho, ST, untuk perhatian dan tempat
mencurahkan segala keluh kesah sekaligus memotivasi dan
menginspirasi Penulis sehingga dapat menyelesaikan Disertasi
11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Doktor khususnya angkatan
2013, minat Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya Malang, untuk kebersamaannya serta perjuangan
yang tak kenal lelah dalam menyelesaikan Studi
12. Seluruh rekan-rekan civitas akademika Pascasarjana Stisipol
Candradimuka Palembang
ix
13. Seluruh rekan-rekan civitas akademika Program Doktor khususnya
angkatan 2013, minat Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang
14. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung
maupun tidak langsung atas selesainya proses pendidikan dan
penulisan Disertasi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga
bantuannya menjadi amal baik dan mendapatkan balasan disisi Allah
SWT, Amin.
Malang, 2019 Penulis, Atrika Iriani, S,IP., M.Si
x
RINGKASAN
Atrika Iriani, Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, 2018. Judul Kajian “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (Studi Terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)”. Promotor: Prof. Dr. Sumartono, MS; Ko. Promotor: Dr. Suryadi, MS dan Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si.
Latar belakang penelitian ini, peneliti memahami fenomena kesenjangan empirik/realitas, teoritik, dan normatif permasalahan Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti merumuskan kajian tentang Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, serta model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yang ideal.
Landasan teori yang digunakan untuk melakukan analisis data dalam penelitian ini diantaranya tentang model Implementasi kebijakan yang menyebutkan berbagai macam dimensi tersebut. Pada penelitian ini peneliti menggunakan tiga unsur yang relevan dengan penelitian, yakni pertama Proses Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, yang terdiri dari isi kebijakan, konteks implementasi dan Hasil Kebijakan; kedua Faktor pendukung dan penghambat dalam proses Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang; serta ketiga, Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yang ideal
Metode penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan indepth interview, observasi, dan dokumentasi untuk menganalisis implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instasi Pemerintahan Kota Palembang. Selanjutnya analisis data yang digunakan adalah analisis data model interaktif yang digagas oleh Miles, Huberman, dan Saldana (2014), dimana setelah data dikumpulkan, dikondensasi kemudian disajikan maka dilakukan penarikan kesimpulan mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instasi Pemerintahan Kota Palembang
Hasil penelitian ini, mengungkapkan bahwa Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah dilaksanakan namum masih ditemukan berbagai kendala dalam konteks implementasinya antara lain kurangnya SDM, dan dana pelaksanaan Perda KTR, kurangnya koordinasi antara Pimpinan Instansi dan para Pegawai serta pelaksanaan Sidang Yustisi kepada pelanggar KTR hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif. Sehingga masih ditemukan pelanggaran didalam Kawasan Tanpa Rokok. Faktor yang mendukung Implementasi Perda KTR, meliputi: telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat. Tersedianya sticker-sticker Perda KTR maupun Pembentukan Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan dalam rangka dengan melibatkan seluruh security/Petugas Keamanan tanpa kecuali. Faktor yang menghambat keberhasilan Implementasi Perda KTR, meliputi: Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup banyak, Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR, Layanan Informasi masih terbatas. Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
xi
Palembang yang ideal, berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dengan yang tidak hanya melihat pada isi kebijakan, konteks implementasi maupun hasil kebijakan, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap kabijakan kawasan tanpa rokok yang meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.
Temuan penelitian ini, bahwa menganalisis implementasi kebijakan tidak hanya dilihat dari sisi konten kebijakan, konteks implementasi maupun hasil kebijakan seperti yang diungkapkan Grindle (1980), tetapi juga harus memperhatikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, serta penerapan sanksi ekonomis pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran, dukungan pegawai maupun masyarakat sehingga implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang dapat optimal.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, menambah penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan inspeksi, survei maupun Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-menerus. Kedua, meningkatkan dana publikasi penegakan KTR. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik melalui sosialisasi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok ke media massa melalui berita di televisi, Koran dan radio. Menghadirkan mantan perokok aktif di pertemuan selanjutnya. Keempat, penyediaan sticker yang ditempel dilokasi strategis kawasan tanpa rokok yang juga mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat mengenai pelanggaran Perda KTR. Kelima, perlu dilakukannya terminasi kebijakan untuk meninjau Perda KTR serta upaya untuk menumbuhkan komitmen yang tegas dari satuan Polisi Pamong Praja untuk melakukan tipiring terhadap pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok termasuk pemberlakukan sanksi administratif maupun pidana. Keenam, menerapkan teknik tatap muka secara langsung, pembentukan Tim Pengawas Internal serta pelaksanaan supervisi dan pemberian sanksi yang tegas, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Ketujuh, penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya berhenti merokok yang lebih efektif serta melibatkan stakeholder serta masyarakat umum untuk mengingatkan Perda KTR.
Kata Kunci: Implementasi, Instansi Pemerintahan, Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
xii
SUMMARY
Atrika Iriani, Doctoral Program of Administration Sciences Universitas Brawijaya Malang, 2018. Title of Study "Implementation of Non-Smoking Area Policy (Study of Local Regulation of Palembang City No. 7 Year 2009 about Non-Smoking Area at Palembang City Government Institution)". Promoter: Prof. Dr. Sumartono, MS; Co. Promoter: Dr. Suryadi, MS and Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si.
The background of this study, researchers understand the phenomenon of empirical/reality, theoretical, and normative gaps in the problem of the Implementation of the Non-Smoking Area Policy in the City of Palembang. Departing from these problems, the researchers formulated a study of Non-Smoking Area Policy Implementation, factors that became supporters and inhibitors of employee compliance in the implementation of non-smoking area policies in the Palembang City Government Agency, as well as the ideal Non-Smoking Policy Implementation model in Palembang City.
The theoretical foundation used to conduct data analysis in this study includes the policy implementation model that mentions various dimensions. In this study the researcher used three elements that were relevant to the research, namely the first process of implementing the no-smoking area policy in the city of Palembang, which consisted of the contents of the policy, the context of implementation and policy outcomes; second supporting and inhibiting factors in the process of implementing non-smoking area policies in the city of Palembang, as well as; third, the Existing Model for the Implementation of Non-Smoking Area Policies in the ideal city of Palembang.
The research method uses a type of qualitative research with data collection techniques with independent interviews, observations, and documentation to analyze the implementation of non-smoking area policies in the Palembang City Government Instation. Furthermore, the data analysis used is an interactive model data analysis initiated by Miles, Huberman, and Saldana (2014), where after data is collected, data condensation and data display, conclusions drawing are made regarding the implementation of non-smoking area policies in Palembang City Government Instation.
The results of this study revealed that Implementation of Non-Smoking Regions Policy in Palembang City has been implemented but there are still obstacles in the context of implementation such as lack of human resources, and implementation of Perda KTR, lack of coordination between the Head of Institution and employees and the implementation of Justice Session to KTR offenders only limited to the provision of a reprimand, no one has been given administrative sanctions. So it is still found violations in the Region Without Cigarettes. Factors that support the Implementation of Perda KTR, including: has accommodated the Implementers of Policy Implementation, Head of Agencies and Public Interest. Availability of Perda KTR stickers or the establishment of Internal Supervisory Team in Government Agencies in order to involve all security/Security Officers without exception. Factors that hampered the success of the Implementation of Perda KTR, include: Workload Personnel Satpol PP and Health Office Palembang quite a lot, Lack of funds publication enforcement Perda KTR, Information Services is still limited. The ideal model for the implementation of non-smoking policies in the city of Palembang is in the form of implementing non-smoking regional policies
xiii
with not only looking at the contents of the policy, the context of implementation and policy outcomes, but also taking into account the factors affecting compliance with the non-smoking policy predisposing factors, enabling factors and reinforcing factors.
Novelty of this study, that analyzing policy implementation is not only seen in terms of policy content, implementation context and policy outcomes as expressed by Grindle (1980), but also must consider the factors that influence compliance including predisposing factors, enabling factors and implementation reinforcement factors Non-smoking regional policies, as well as the implementation of economic sanctions will ultimately foster awareness, support for employees and the public so that the implementation of non-smoking area policies in Palembang City can be optimal.
Based on the results of the above research, the researcher recommends as follows: First, increase the provision of personnel, especially in the Health Office of Palembang and Sat Pol PP Palembang so that the inspection, survey and Justice Session can be carried out continuously. Secondly, increasing the KTR enforcement publication fund. Third, to increase public participation through the socialization of Local Regulation No.7 Year 2009 on non-smoking areas to the mass media through news on television, newspapers and radio. Presenting former active smokers at the next meeting. Fourth, the provision of stickers placed in strategic areas without cigarettes that also include phone / sms / email complaint tool for the community regarding violations of the Local Regulation KTR. Fifth, the firm commitment of the Pamong Praja Police Unit to tipiring violations of Non-Cigarette Regions including the imposition of administrative and criminal sanctions. Sixth, applying direct face-to-face techniques, the establishment of Internal Supervisory Team and the implementation of strict supervision and sanction, are expected to improve compliance in Implementation of non-smoking area policy in Palembang City. Seventh, the provision of Health Clinic for Smokers to stop smoking more effectively and involving stakeholders and the general public to remind the Local Regulation KTR.
Keywords:, Government Institution, Implementation, Smokefree Policy
xiv
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut dan indah untuk diucapkan selain Puji dan Syukur
Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat dan
hidayahNya, Penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini dengan judul
”Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (Studi terhadap Peraturan
Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada
Instansi Pemerintahan Kota Palembang)”. Disertasi ini disusun untuk memenuhi
syarat ujian akhir Disertasi pada Program Doktor (S3) Program Studi Ilmu
Administrasi Minat Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya Malang.
Disertasi ini bertujuan untuk menjelaskan Implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok, khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang.
Secara terperinci, penelitian ini memiliki beberapa tujuan: 1. Mendeskripsikan dan
menganalisis proses Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang. 2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor
pendukung dan penghambat dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. 3. Menemukan model
Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yang ideal.
Adapun isi disertasi ini terdiri dari Bab I Pendahuluan, mendeskripsikan gap
normatif, gap teoritik dan gap empirik terkait Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang; Bab II Tinjauan Pustaka, memuat penelitian terdahulu dan teori
implementasi kebijakan; Bab III Analisis Sosial dan Setting Penelitian, memuat
tentang kondisi riil lokus dan situs penelitian terkait Implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang; Bab IV Metode
xv
Penelitian, memuat tentang jenis penelitian, fokus dan lokus penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, analisis data dan metode keabsahan data; Bab V
Hasil Penelitian terkait: 1. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang; 2. Faktor Pendukung dan Penghambat
dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang; 3.
Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang; Bab VI Pembahasan Hasil Penelitian, mendeskripsikan, menganalisis
dan menginterpretasikan hasil penelitian melalui diskursus teori dan hasil temuan
terdahulu dan Bab VII Penutup, menguraikan kesimpulan, implikasi teoritis dan
implikasi praktis hasil-hasil penelitian.
Dari hasil penulisan disertasi ini, penulis sangat mengharapkan saran,
kritik, dan masukan yang konstruktif dari berbagai pihak demi penyempurnaan
disertasi ini.
Malang, 2019 Penulis, Atrika Iriani, S,IP., M.Si
xvi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................. ii IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI ....................................................................... iii PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................................. iv HALAMAN PERUNTUKAN ......................................................................................... v RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................ vi UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................................ vii RINGKASAN ............................................................................................................... ix SUMMARY .................................................................................................................. xi KATA PENGANTAR ................................................................................................... xiv DAFTAR ISI ................................................................................................................ xvi DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xx DAFTAR ISTILAH ....................................................................................................... xxii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xxiv
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah Penelitian ............................................... 27 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 28 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 38
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Penelitian Terdahulu .................................................... 30 2.2 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu .................................... 54 2.3 Kebijakan Publik ...................................................................... 73
2.3.1.Pengertian Kebijakan Publik ......................................... 73 2.3.2 Urgensi Kebijakan Publik .............................................. 76 2.3.3 Karakteristik Kebijakan Publik ...................................... 77 2.3.4 Jenis-jenis Kebijakan Publik ......................................... 81
2.4 Implementasi Kebijakan Publik ............................................... 86 2.4.1 Model Implementasi Kebijakan Publik .......................... 87 2.4.2 Faktor yang mempengaruhi Keberhasilan .................. 117
Implementasi Kebijakan Publik 2.4.3 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ........ 118 Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
2.5 Local Government .................................................................. 122 2.5.1 Pengertian Local Government ..................................... 122 2.5.2 Peran Local Government ............................................. 124 2.5.3 Manfaat Local Government .......................................... 124 2.5.4 Teori Local Government ............................................... 126
2.6 Kepatuhan ............................................................................... 129 2.6.1 Pengertian Kepatuhan .................................................. 129 2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan ............. 130
2.7 Hubungan Administrasi Publik dengan Implementasi Kebijakan ....................................................................................... 132
xvii
2.8 Kawasan Tanpa Rokok ........................................................... 134 2.8.1 Ruang lingkup Asap Rokok .......................................... 134
2.8.2 Dasar Hukum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ........ 135 2.9 Kerangka Pikir/Konseptual...................................................... 136
BAB III : ANALISIS SOSIAL DAN SETTING PENELITIAN
3.1 Analisis Sosial Wilayah Kota Palembang ............................... 138 3.1.1 Sejarah Singkat ............................................................. 138 3.1.2 Pemerintahan ................................................................ 138 3.1.3 Penduduk ...................................................................... 139
3.1.4 Konsumsi Rokok Masyarakat Kota Palembang ........... 140 3.1.5 Konsumsi Rokok menurut Karakter Populasi ............... 140
3.2 Setting Penelitian .................................................................... 142 3.2.1 Profil Dinas Kesehatan Kota Palembang ..................... 144 3.2.2 Profil Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang ... 151
BAB IV : METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ....................................................................... 159 4.2 Fokus Penelitian ..................................................................... 160 4.3 Lokasi Penelitian ..................................................................... 161 4.4 Jenis Data ............................................................................... 163 4.5 Sumber Data ........................................................................... 164 4.6 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 165 4.7 Teknik Analisis Data................................................................ 166 4.8 Metode Keabsahan Data ........................................................ 170
BAB V : HASIL PENELITIAN
5.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ................. 175 di Kota Palembang 5.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .......................... 176
di Kota Palembang 5.1.1.1 Kepentingan yang di Pengaruhi ....................... 177 5.1.1.2 Manfaat ............................................................. 182 5.1.1.3 Derajad Perubahan yang di harapkan ............. 185 5.1.1.4 Letak Pengambilan Keputusan ........................ 188 5.1.1.5 Pelaksanaan Program ...................................... 192 5.1.1.6 Sumber Daya yang Dilibatkan.......................... 196
5.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ..... 199 Rokok di Kota Palembang
5.1.2.1 Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor .. 199 yang dilibatkan
5.1.2.2 Karakteristik Lembaga & Penguasa................. 210 5.1.2.3 Kepatuhan & Daya Tanggap ............................ 216
5.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Kota ............. 236 Palembang 5.1.3.1 Pengaruh pada Masyarakat ............................. 236 5.1.3.2 Perubahan dan Penerimaan oleh Masyarakat 239
xviii
5.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam .......................... 242 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 5.2.1 Faktor Pendukung dalam Proses Implemetasi ........... 244
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 5.2.2 Faktor Penghambat dalam Proses Implemetasi ......... 249
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 5.3 Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ... 251 Rokok di Kota Palembang 5.4 Matriks Hasil Penelitian .......................................................... 247
BAB VI : PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .................. 256 di Kota Palembang 6.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .......................... 267
di Kota Palembang 6.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan ................. 285
Tanpa Rokok di Kota Palembang 6.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ..................... 305
di Kota Palembang 6.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi .... 309 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
6.2.1 Faktor Pendukung dalam proses Implementasi .......... 310 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 6.2.2 Faktor Penghambat dalam proses Implementasi ....... 311 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
6.3 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis .... 316 6.4 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ....... 339 di Kota Palembang
6.4.1 Kelemahan Eksisting Model Implementasi Kebijakan 339 Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 6.4.2 Rekomendasi Model Implementasi Kebijakan ............ 342 Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
BAB VII : PENUTUP
7.1 Kesimpulan ............................................................................. 347 7.2 Saran ...................................................................................... 348 7.3 Implikasi Teoritik .................................................................... 349 7.4 Implikasi Praktis ..................................................................... 358
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 359
xix
DAFTAR TABEL
1.1 10 Besar Negara Pengkonsumsi Rokok di Dunia ................................ 1 2.1 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu ...................................................... 54 3.1 Tingkat Pendidikan Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan .............. 149 Kota Palembang Tahun 2016 3.2 Jumlah Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan Tahun 2016 ............. 150 Berdasarkan Kelompok Umur 3.3 Jumlah Pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang ....... 157 Tahun 2016 3.4 Sarana dan Prasarana Satuan Polisi Pamong Praja Kota ................ 158
Palembang Tahun 2016 5.1 Pengawas Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 ............................... 190
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dari Dinas Kesehatan Kota Palembang
5.2 Tim Penegakan Hukum Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 .......... 191 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
5.3 Data Hasil Kegiatan penempelan stiker Perda No 7 Tahun 2009 ..... 203 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang 5.4 Pelaksanaan UBM di Tempat Belajar Mengajar Tahun 2017 ............. 248 5.5 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang ............... 250 mendapat SP1 Pelanggaran Perda KTR 5.6 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP1 Pelanggaran Perda KTR 250 5.7 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang .............. 251 mendapat SP2 Pelanggaran Perda KTR 5.8 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP2 Pelanggaran ................ 251 Perda KTR
6.1 Isi Kebijakan berdasarkan Pasal-pasal yang tercantum dalam ......... 261 Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
6.2 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis ................. 317
xx
DAFTAR GAMBAR
1.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang ............................... 19 2.1 Model Implementasi Kebijakan Edwards III (1990: 150) ................ 88 2.2 Model Implementasi Kebijakan dari Van Meter dengan ......... 90 dengan Van Horn (1975) 2.3 Model Kerangka Analisis Implementasi dari Mazmanian dan ....... 94
dan Sebatier (1987) 2.4 Model Implementasi Kebijakan menurut Grindle (1980) ................ 101 2.5 Perspektive- Perspektives on Managing Implementation Michael Hill and Peter Hupe (2002) ............................................... 109 2.6 Ambiguity-Conflict Matrix: Policy Implementation Processes ......... 111
Matland, (1995: 160) 2.7 Implementation Network Approach, Xiongwei Song (2018: 105) .. 115 2.8 Kerangka Pikir ................................................................................. 137 3.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang ................................ 140 3.2 Susunan Organisasi Dinas Kesehatan Kota Palembang ................ 148 3.3 Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota.................. 156 Palembang 4.1 Components of Data Analysis: Interactive Model............................ 167 5.1 Pemberian Materi KTR oleh Kadinkes ........................................... 202 5.2 Penyerahan Pin Simbolis kepada Peserta Sosialisasi KTR ........... 200 5.3 Sosialisasi KTR oleh Satpol PP ....................................................... 202 5.4 Sosialisasi KTR oleh dr. Paru RSMH .............................................. 202 5.5 Penempelan Stiker KTR oleh Kadinkes, Personil Dinas ................. 204
Perhubungan dan DPC Organda di Angkutan Kota
5.6 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Dishub & Satpol PP ........... 204 5.7 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Satpol PP di Trans Musi .... 204 5.8 Pemasangan Iklan KTR di Surat Kabar ........................................... 205 5.9 Baliho tentang KTR di Jalan Protokoler Kota Palembang .............. 206 5.10 Pelaksanaan Tipiring Perda No 7 Tahun 2009 tentang ................. 207 Kawasan Tanpa Rokok 5.11 Pelaksanaan Sidang Yustisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang ...... 208
Kawasan Tanpa Rokok 5.12 Pak RT yang merokok di Kantor Kelurahan Kertapati .................... 213 5.13 Korek Api di meja Lurah Kelurahan Kemas Rindo .......................... 214 5.14 Kasi Pembinaan Kawasan dan Penyuluhan Perda Sat Pol PP ..... 214 Kota Palembang yang merokok sebelum wawancara KTR 5.15 Pegawai Kelurahan yang asik merokok dihadapan Sat Pol PP .... 215
Kota Palembang yang melakukan supervisi KTR 5.16 Pegawai Satpol PP, Pegawai Dinkes & Peneliti yang .................... 216 menempelkan Stiker KTR di Instansi Pemerintahan Kota Palembang 5.17 Pelaksanaan Survei Penegakan Hukum Perda KTR di Palembang 217 menempelkan Stiker 5.18 Pelaksanaan Sidang Yustisi Penegakan Hukum Perda KTR ......... 218
di Internasional Plaza 5.19 Lokasi Klinik UBM yang digabung dengan Poli Haji dan PTM di .... 229 Puskesmas Dempo Palembang
xxi
5.20 Daftar Pasien yang mengunjungi Klinik UBM di Puskesmas .......... 230 Dempo Palembang 5.21 Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien .......... 231 pada Klinik UBM di Puskesmas Dempo Palembang 5.22 Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien ........... 231 pada Klinik UBM di Puskesmas Merdeka Palembang 5.23 Pasien yang melakukan konseling pada Klinik UBM ...................... 232
di Puskesmas Merdeka Palembang 5.24 Kemasan Rokok yang menyertakan PHW ....................................... 245 5.25 Pemberian Materi UBM di Sekolah .................................................. 246 5.26 Kegiatan UBM: Pengukuran Kadar CO dalam Paru di Sekolah ...... 247 5.27 Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .. 255 di Kota Palembang 6.1 Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ..... 343 Rokok
xxii
DAFTAR ISTILAH
Air Quality Monitoring : memantau perkembangan kualitas udara secara terus-menerus di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan, berguna untuk menganalisis kualitas udara sehingga dapat melakukan pencegahan seperti memasang poster larangan merokok di tempat atau ruangan kerja agar nyaman dan konsentrasi terjaga.
Compliance : suatu kepatuhan yang didasarkan pada
harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan.
Enabling Factor : diterjemahkan sebagai faktor pemungkin
merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku
Inspeksi : tindakan untuk melihat sesuatu dari dekat, guna mempelajari sesuatu hal secara lebih lanjut untuk melihat apakah aturan sedang diikuti atau tidak serta menemukan berbagai masalah yang ada.
Predisposing Factor : diterjemahkan sebagai faktor predisposisi
merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan, Sikap Komitmen serta Perilaku
Prevalensi : konsep statistik yang mengacu pada jumlah
kasus penyakit yang hadir dalam populasi tertentu pada waktu tertentu, sedangkan insiden mengacu pada jumlah kasus baru yang berkembang dalam periode waktu tertentu
Reinforcing Factor : diterjemahkan sebagai faktor penguat meliputi:
Himbauan Organisasi, Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi
xxiii
Roadshow UBM : merupakan aktivitas Roadshow Usaha Berhenti Merokok (UBM) di Sekolah yang dilaksanakan oleh Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit seksi Penyakit Tidak Menular (PTM) Dinas Kesehatan Kota Palembang, meliputi kegiatan penyampaian materi tentang UBM Tahun 2017, wawancara tentang perilaku merokok, pengaturan pemberian kuesioner dan Pemeriksaan Kadar Co dalam paru
Sidang Yustisi : suatu upaya penegakan hukum yang
dilakukan oleh para penegak hukum dengan menggunakan sistem peradilan ditempat
Sosialisasi : proses penanaman atau transfer kebiasaan
atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat
Supervisi : salah satu strategi untuk memastikan bahwa seluruh langkah pada proses penyelenggaraan dan semua komponen hasil kebijakan kawasan tanpa rokok yang akan dicapai memenuhi target, melalui pengawasan tetapi sifatnya lebih human, manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinaan, agar kawasan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki
:
: :
:
xxiv
DAFTAR SINGKATAN
ADP : Areal Division of Power APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Bakesbangpol : Badan Kesatuan Bangsa dan Politik BPLHD : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah CDP : Capital Division of Power Dinkes : Dinas Kesehatan FCTC : Framework Convention on Tobacco Control ITC : International Tobacco Control LDUI : Lembaga Demografi Universitas Indonesia KDM : Kawasan Dilarang Merokok KLB : Kejadian Luar Biasa KPAID : Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah KTR : Kawasan Tanpa Rokok MOU : Memorandum of Understanding NoTC : No Tobacco Community NSP : No-Smoking Policy TCSC-IAKMI : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia UBM : Upaya Berhenti Merokok Perda : Peraturan Daerah PERSI : Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia PHRI : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia PHW : Pictorial Healt Warning PMK : Pengendalian Masalah Kesehatan Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja SP : Surat Peringatan Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional YLKI : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Konsumsi rokok di dalam Masyarakat dewasa ini sudah sangat
memprihatinkan, bahkan kebiasaan merokok di Indonesia cenderung meningkat.
Berdasarkan hasil laporan WHO (World Health Organization) tahun 2009 dengan
statistik jumlah perokok 1.35 miliar orang menyatakan peringkat negara dengan
konsumsi rokok dan Indonesia menempati urutan ketiga. Hal ini dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 1.1 10 Besar Negara dengan Konsumsi Rokok di Dunia
Negara Jumlah Perokok
(orang)
Persentase (%)
per Penduduk
China 390.000.000 29 %
India 114.000.000 12.5 %
Indonesia 65.000.000 28 %
Rusia 61.000.000 43 %
Amerika Serikat 58.000.000 19 %
Jepang 49.000.000 38 %
Brazil 24.000.000 12,5 %
Bangladesh 23.300.000 23.5 %
Jerman 22.300.000 27 %
Turki 21.500.000 30.5 %
Sumber: http://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/31/10-negara-jumlah perokok-terbesar-di-dunia/ diakses tanggal 2 Januari, 2015
Penelitian yang dilakukan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
(IAKMI) menyebutkan bahwa 25% (persen) asap rokok dihisap oleh si perokok
sedangkan sisanya 75% (persen) menyebar di udara bebas dan berpotensi
terhisap oleh orang lain yang tidak merokok atau yang lebih dikenal dengan
sebutan perokok pasif. Penelitian lain menyebutkan bahwa perokok pasif tiga
kali lebih berbahaya ketimbang perokok aktif, hal ini terjadi karena asap
1
rokok yang terhisap oleh perokok pasif lebih banyak bersumber dari ujung batang
rokok yang terbakar tanpa melalui filter di ujung yang lainnya
(http://ubalinwebblog.blogspot.com/2012/04/bahaya-merokok-bagi-kesehatan
diri.html, diakses tanggal 2 Januari 2015)
Pengendalian kegiatan merokok tidak akan efektif tanpa disertai dengan
adanya norma yang akan membebani nestapa/sanksi atas perilaku yang
dipandang menyimpang. Penggunaan rokok semakin dirasakan bahayanya
ketika fakta menunjukan bahwa rokok justru membudaya dan menjadi kebutuhan
pokok bagi kelompok miskin dan anak-anak. Tidak terkendalinya kebutuhan
merokok dikalangan ini seringkali menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga atau kejahatan. Untuk dapat memenuhi hasratnya merokok
mereka tidak segan-segan melakukan kejahatan atau kekerasan yang
sasarannya tidak saja orang lain tetapi juga anggota keluarganya. Keberadaan
rokok pada akhirnya akan lebih dipahami dari sisi negatifnya daripada
manfaatnya setelah rokok juga dijadikan sebagai sarana peredaran obat-obatan
terlarang (http://eprints.upnjatim. ac.id/1486/1/File_1.pdf diakses tanggal
2 Januari 2015).
Salah satu upaya pengendalian dari paparan asap rokok dilakukan
dengan penetapan Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok sebenarnya
selama ini telah banyak diupayakan oleh berbagai pihak baik Lembaga/Institusi
Pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Namun pada kenyataannya upaya
yang telah dilakukan tersebut jauh tertinggal dibandingkan dengan penjualan,
periklanan/promosi dan atau penggunaan rokok. Asumsi lain adalah perokok
membebankan biaya keuangan dan risiko fisik kepada orang lain yang berarti
bahwa seharusnya perokoklah yang menanggung semua ”biaya” atau kerugian
akibat merokok. Tetapi pada kenyataannya perokok membebankan secara fisik
dan ekonomi kepada orang lain juga. Beban ini meliputi risiko orang lain yang
terkena asap rokok di lingkungan sekitarnya dan biaya yang dibebankan pada
Masyarakat untuk pelayanan kesehatan. Agar permasalahan dan kondisi
tersebut di atas dapat dikendalikan maka perlu dilakukan upaya membatasi
ruang gerak para perokok serta pengamanan terhadap bahaya merokok melalui
penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang selayaknya dilakukan oleh Pemerintah.
Dye (1995) menyatakan “Public Policy is whatever government choose to
do or not to do”. Batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat
perbedaan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah dengan apa yang
dilakukan oleh Pemerintah. Selanjutnya Islamy (1997: 17) mengemukakan
bahwa Kebijakan adalah “a purpose course of action followed by an actor or set
actors in dealing with a problem or matter of concern”. Dalam hal ini Konsep
Kebijakan memusatkan perhatiannya pada apa saja yang dilakukan bukan pada
apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selanjutnya, Winarno (2007: 14)
mengemukakan bahwa kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu
Lembaga Pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Definisi lain tentang kebijakan publik seperti dikemukakan Soenarko
(1998) yang mengutip pendapat H. Hugh Heclo sebagai berikut:
“Policy is a course of action intended to accomplish some end. A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decisions or actions, and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question”.
Isworo (1996: 229) menyebutkan bahwa kebijakan merupakan hasil dari
suatu keputusan setelah melalui pemilihan alternatif yang tersedia dilakukan oleh
seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif.
Demikian juga Dunn (1994) menyatakan bahwa Kebijakan Publik merupakan
serangkaian pilihan yang berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat)
yang dibuat, dalam hal ini oleh Badan atau Kantor Pemerintah, yang di
formulasikan dalam bidang-bidang isu (issue areas) yaitu arah tindakan aktual
atau potensial dari Pemerintah yang didalamnya terkandung konflik diantara
kelompok Masyarakat. Konsep ini melihat kebijakan publik sebagai serangkaian
pilihan tindakan Pemerintah (termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna
menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan Masyarakat.
Winarno (2007: 14) menyarankan bahwa kebijakan dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang saling berhubungan serta konsekuensi bagi yang
bersangkutan dari pada sebagai suatu keputusan tersendiri. Beberapa konsep
kebijakan publik pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai tujuan
untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Hal yang sama dikemukakan oleh
Abdul Wahab (1997: 4) Kebijakan yakni serangkaian keputusan yang diambil
oleh seorang atau sekelompok aktor politik yang saling berkaitan mengenai
tujuan yang dipilih serta cara-cara untuk mencapainya. Dalam hal ini keputusan–
keputusan yang diambil pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.
Lebih lanjut Isworo (1996: 229), mengemukakan bahwa proses kebijakan
publik terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: identifikasi masalah, formulasi
kebijakan, legitimasi dari kebijakan, implementasi serta evaluasi. berdasarkan
konsep di atas diketahui bahwa kebijakan publik terjadi karena tindakan-tindakan
pemerintah dalam mengatasi masalah yang timbul di masyarakat sehingga
melahirkan keputusan-keputusan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan
publik sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan oleh Pemerintah yang bertujuan atau berorientasi pada
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh Masyarakat, implikasi pengertian
tersebut adalah:
a. kebijakan publik adalah penetapan tindakan-tindakan Pemerintah
b. kebijakan publik tidak hanya dinyatakan tetapi juga dilaksanakan
c. setiap kebijakan publik dilandasi maksud dan tujuan tertentu
d. hakekat kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan seluruh Masyarakat.
Dalam penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan. Konsep
implementasi kebijakan, merupakan tahapan dalam implementasi sebuah
kebijakan, tahapan merupakan suatu yang krusial yang menentukan sebuah
kebijakan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan baik pada tahap
perumusan dan pembuatan kebijakan. Secara Konseptual Implementasi
merupakan sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun
biaya) yang diikuti penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk
mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan merupakan bentuk transformasi
rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola
operasional yang akan menimbulkan perubahan sebagaiman diamanatkan dalam
kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Hakekat Implementasi merupakan
pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah kebijakan diputuskan yang
melibatkan seluruh stakeholder yang ada.
Implementasi kebijakan memiliki 3 unsur yang meliputi:
a. tindakan yang diambil oleh lembaga/badan administratif
b. tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target
c. jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para
stakeholder interaksi
Dimana ketiga unsur di atas pada akhirnya akan menimbulkan dampak,
baik yang diharapkan ataupun tidak. Hasil akhir implementasi kebijakan paling
tidak terwujud dalam beberapa hasil/output yang biasanya terwujud dalam
bentuk konkret misalnya dokumen, jalan, orang dan lembaga. Keluaran/outcome
yang biasanya berwujud rumusan target misalnya tercapainya pengertian
Masyarakat/Lembaga. Manfaat wujudnya beragam, dampaknya yang diinginkan
maupun tidak serta kelompok target baik individu maupun kelompok.
Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku
Instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan
menimbulkan kepatuhan dari target group, namun berlanjut hingga jaringan
kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak
yang terlibat. Hingga menimbulkan dampak yang diharapkan maupun yang tidak
diharapkan. Hal tersebut sekaligus memberikan gambaran bahwa implementasi
suatu kebijakan tak selamanya dapat berjalan dengan baik. Pasti terdapat
berbagai kendala, permasalahan, ataupun kegagalan mencapai tujuan. Apabila
suatu kebijakan tidak dikondisikan sedemikian rupa sebagaimana tersebut di
atas tentu kebijakan tersebut memiliki kemungkinan untuk gagal dalam arti tujuan
kebijakan tidak tercapai.
Hoogwood dan Gunn (1984) membagi pengertian kegagalan kebijakan
(policy failure) sebagai berikut:
a) tidak terimplementasikan (non implementation), kegagalan yang
disebabkan faktor teknis pelaksanaan dan unsur pelaksana
b) implementasi yang tidak berhasil (unsuccessful implementation),
kegagalan yang disebabkan faktor eksternal berupa pergantian
kekuasaan, bencana alam dan lain-lain
c) kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal, dikarenakan faktor
bad execution, bad policy ataupun bad luck
Faktor-faktor penyebab kegagalan implementasi yang dikemukakan oleh
Hoogerwerf (1983), sebagai berikut:
1. Isi Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena; (1) samar-samarnya isi
kebijakan (tujuan-tujuan tidak dapat terinci), sarana dan penentuan
prioritas, program kebijakan yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada,
(2) kurangnya ketetapan intern dan ekstern dari kebijakan yang akan
dilaksanakan, (3) kadang-kadang perundang-undangan mempunyai begitu
banyak lubang, sehingga tanpa banyak kesulitan obyek-obyek kebijakan
dapat mengelaknnya, hal mana dapat mematahkan semangat para
pelaksana, (4) kurang sumber-sumber pembantu (waktu, uang dan tenaga
manusia).
2. Informasi
Kurangnya informasi dari para faktor terhadap ojek kebijakan dan struktur
komunikasi yang serba kurang antara organisasi pelaksana dan obyek
dukungan.
3. Dukungan
Pelaksana suatu kebijakan akan dipersulit jika pelaksana tidak cukup
dukungan untuk suatu kebijakan. Juga kurang kesediaan obyek-obyek
kebijakan untuk kerja sama pada pelaksana, serta obyek-obyek kebijakan
“terikat” kepada kegiatan-kegiatan tertentu oleh kewajiban-kewajiban
sesuai dengan undang-undang, kepatuhan dari obyek-obyek kebijakan
sedikit, jika peraturan-peraturan ini bertentangan dengan pendapat yang
dianut oleh obyek-obyek kebijakan atau keputusan mereka.
4. Pembagian potensi
Gagalnya suatu kebijakan dapat pula disebabkan karena adanya
pembagian potensi diantara aktor-aktor yang terlibat didalamnya dan
adanya pembagian wewenang dan tanggung jawab yang tidak disertai
dengan pembatasan-pembatasan yang jelas, serta adanya desentralisasi
dalam pelaksanaan
Kebijakan kawasan tanpa rokok, merupakan sebuah Kebijakan di bidang
Kesehatan sebagai hak fundamental setiap individu dinyatakan secara global
dalam Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia. Lingkungan yang sehat
merupakan hak setiap individu. Setiap orang di dunia ini tentunya sangat
mendambakan lingkungan sekitar dimana ia tinggal dapat menjadi lingkungan
yang sehat. Kesehatan menjadi salah satu unsur kebutuhan manusia yang
penting. Keadaan lingkungan yang tidak sehat secara otomatis dapat
mempengaruhi individu yang ada di lingkungan tersebut. Sehingga tidak heran
lagi kalau akhir-akhir ini banyak ditemui penyakit atau gangguan kesehatan yang
ada di dalam Masyarakat. Salah satu yang menjadi penyebab gangguan
kesehatan tersebut adalah pola hidup atau gaya hidup yang tidak sehat. Pola
hidup sehat sangat mempengaruhi keadaan jasmani seseorang. Salah satu pola
hidup tidak sehat yang semakin marak ialah merokok. Pola hidup tidak sehat ini
hampir menyentuh semua kalangan mulai tua, muda, miskin, kaya, bahkan
sudah menjadi hal yang biasa kita temui khusunya di kota-kota besar adanya
wantia yang menjadi perokok aktif. Merokok sudah menjadi kebiasaan yang
meluas di Masyarakat tetapi kebiasaan merokok ini jarang diakui orang sebagai
kebiasaan yang buruk.
Implementasi kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang telah menggambarkan pendekatan multi aktor dan stakeholder, akan
tetapi penerapannya belum maksimal. Implementasi kebijakan memang tidak
mudah dilakukan, hal ini dipengaruhi oleh sifat dari kebijakan tersebut.
Implementasi juga melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga menimbulkan
kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan, yang bukan hanya dikarenakan
banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, melainkan juga variabel-variabel yang
terkait didalamnya.
Secara akademik, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle.
Diketahui bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan
model Van Meter dan Van Horn. Aspek yang sama adalah bahwa baik model
Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan
elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan ‘kondisi sosial, politik,
dan ekonomi’ sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar ‘konteks kebijakan’
atau ‘lingkungan kebijakan’. Kelebihan dari model Grindle dalam variabel
lingkungan kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari
para pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel lingkungan yaitu power,
interest and strategies of actors involved yang menjelaskan bahwa isi
kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta politik dari para pelaku kebijakan.
Dalam hal ini, Aktor-aktor penentu kebijakan akan berusaha menempatkan
kepentingan mereka pada kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat
mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di dalam kebijakan.
Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics
maupun unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki
kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III. Pada unsur
kedua (karakteristik lembaga dan rezim) ini dijelaskan oleh Suwitri
(2008: 88) bahwa “implementasi suatu program tentu akan mendatangkan
konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi”.
Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model Grindle, yaitu
compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi. Perbedaan
dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle memfokuskan pada
disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sedangkan Edwards lebih
menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76) menyatakan
“...proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif,
dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and
responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,
compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2008: 88-89)
menyatakan “...Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,
implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program
dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi”.
Pelibatan politik dalam unsur ini, agaknya masih berkaitan dengan unsur
pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat dan strategi aktor-aktor,
karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat
kebijakan dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari
pembuat kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi. Pada
variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa
implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama
hingga keempat yaitu interest affected, type of benefits, extent of change
envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran
politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2008: 86)
menyatakan “...jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak
tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat
ditelusuri pada unsur kedua hingga keempat.
Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan
pandangan dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada
unsur kelima yaitu programe implementors disebutkan oleh Suwitri (2008:
88) bahwa “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi program tersebut”. Hal ini sebangun dengan faktor sumber
daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.
Lebih lanjut, Grindle membedakan ‘sumber daya’ dari model Edwards III maupun
Van Meter dan Van Horn. Unsur keenam yaitu resources committed
dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber
secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur kelima dan
keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor
sumber daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan
Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non
SDM. Oleh karena itu, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle karena
lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan, khususnya dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Selain itu, adanya unsur compliance and responsiveness (kepatuhan
dan daya tanggap) sebagai unsur ketiga dalam konteks implementasi, berkaitan
dengan fokus penelitian yang menganalisis implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Kepatuhan berasal dari
kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka
menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan
berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk Patuh menurut Green
(1999) yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat. Menurut
Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: Komunikasi,
Pengetahuan, dan Sarana Prasarana Pendukung. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan menurut Niven (2002) adalah individu, dukungan
keluarga, dukungan sosial dan dukungan petugas.
Secara nasional dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 28 H dan UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menguraikan bahwa perilaku yang sehat
dan baik merupakan dambaan semua orang dan telah menjadi kebutuhan dasar
derajat kesehatan Masyarakat. Hal ini dapat dilakukan, salah satunya dengan
menghindarkan paru-paru dari asap rokok baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pengendalian kegiatan merokok diharapkan akan efektif manakala ada
kesadaran, kemauan dan kemampuan Masyarakat untuk memahami bahaya
yang ditimbulkan oleh asap rokok terutama dalam bingkai keberlanjutan masa
depan generasi penerus bangsa yang sehat dan smart. Diperlukan adanya
keikhlasan dari berbagai pihak ketika dalam rangka melaksanakan kewajibannya
untuk melindungi sebagian besar warga dari bahaya yang ditimbulkan oleh asap
rokok Pemerintah harus membentuk kebijakan yang terkesan mengesampingkan
hak sebagian warga lainnya untuk menikmati rokok.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, diketahui bahwa Rokok merupakan hasil
olahan tembakau terbungkus, dalam hal ini termasuk cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies
lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan. Diketahui bahwa Nikotin merupakan zat, atau bahan senyawa
pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies
lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif serta dapat mengakibatkan
ketergantungan. Sedangkan Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon
aromatika yang bersifat karsinogenik. Sehingga perlu dilakukan pengamanan
rokok dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok
baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan.
Salah satu terobosan penting yang dilakukan oleh Pemerintah baru-baru
ini adalah perumusan MOU (Memorandum of Understanding) antara
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan yang menekankan
pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama antara Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri dituangkan dalam Surat bernomor
188/MENKES/PB/I/2011 dan No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama ini sebenarnya sudah menyebutkan
adanya sanksi bagi pihak pelanggar, namun masih perlu diperkuat dengan
petunjuk operasional dan konsistensi implementasinya dilapangan. Selain itu,
berdasarkan surat fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah/Surat Fatwa Haram No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum
Merokok pada tanggal 8 April 2008 bagian pertama poin kedua, diketahui bahwa
merokok benar-benar dinyatakan haram. Sayangnya, Indonesia bukan negara
Islam sehingga fatwa tidak begitu mengikat kepada warga negaranya.
Pemerintah memiliki fungsi regulasi khususnya dalam rangka
mengendalikan suatu kegiatan yang menyangkut dan berdampak luas pada
Masyarakat. Menyadari pentingnya perlindungan terhadap bahaya rokok maka
perlu disusun suatu bentuk kebijakan yang bentuk dan substansinya memiliki
daya laku efektif. Rokok merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita.
Merokok sudah menjadi kebiasaan di Masyarakat, meskipun bahaya merokok
sudah diketahui dengan jelas. Hasil penelitian membuktikan bahwa kebiasaan
merokok dapat meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit
jantung, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi, berbagai jenis kanker pada
paru-paru, rongga mulut, laring, osefagus serta gangguan kehamilan dan cacat
pada janin. Namun pada kenyataannya kebiasaan merokok sangat sulit
dihilangkan dan jarang diakui sebagai suatu kebiasaan buruk. Hal ini dipahami
bahwa merokok dilakukan untuk mengalihkan diri dari stress dan tekanan emosi.
Ironisnya berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asap rokok yang
terhirup oleh orang-orang bukan perokok namun berada di sekitar perokok
(perokok pasif) lebih membahayakan karena dalam asap rokok terdapat berbagai
zat kimia yang berbahaya bagi tubuh jika dihirup oleh perokok pasif. Hal ini
merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi pada lingkungan sekitar kita
yang perlu ditanggapi dan dicari solusinya. Pada tahun 2007, Indonesia
menduduki peringkat ke-5 konsumen rokok terbesar setelah China, Amerika
Serikat, Rusia dan Jepang. Pada tahun yang sama, Riset Kesehatan Dasar
menyebutkan bahwa penduduk berumur di atas 10 tahun yang merokok sebesar
29,2% dan angka tersebut meningkat sebesar 34,7% pada tahun 2010 untuk
kelompok umur di atas 15 tahun. Pada tahun 2007 hingga 2010 peningkatan
prevalensi perokok terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun, dari 17,3% menjadi
18,6% atau naik hampir 10% dalam kurun waktu 3 tahun. Peningkatan prevalensi
perokok juga terjadi pada kelompok umur produktif, yaitu 25-34 tahun dari 29,0%
menjadi 31,1%. Rendahnya kesadaran Masyarakat tentang bahaya merokok pun
menjadi alasan sulitnya penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Selain itu,
konsumsi rokok kebanyakan adalah generasi muda atau usia produktif.
(http://indonews.org/asap-rokok-telah-mengepung-kita/diakses tanggal 2 Januari,
2015)
Berdasarkan hasil jejak pendapat yang dilakukan oleh Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Swisscontact Indonesia
Foundation bekerja sama dengan Lembaga Demografi Universitas Indonesia
(LDUI) menunjukkan bahwa 98% responden menyatakan dukungannya terhadap
peraturan Kawasan Dilarang Merokok (KDM), diikuti dengan 93% responden
menyatakan telah mengetahui adanya Peraturan Daerah ini. Saat ini kebijakan
larangan merokok di tempat umum di Indonesia menjadi kebijakan daerah,
meskipun belum semua daerah sudah membuat kebijakan ini. Hanya ada
23 wilayah yang sudah membuat peraturan tentang KTR. Ada pula beberapa
Kabupaten Kota yang membuat semacam peraturan dari Walikota atau Bupati,
namun hal ini belum terlalu kuat dalam penerapan sanksi dan juga
implementasinya.
Gafar (2011) telah melakukan penelitian di Padang Panjang, dalam hal ini
Peraturan Kawasan Tanpa Rokok sudah berjalan karena adanya komitmen dari
Walikota dan DPR. Di Padang Panjang tidak ditemukan lagi Iklan rokok, adanya
sanksi bagi Perokok terutama bagi Pegawai yang merokok di Kantor atau di
Sekolah. Selanjutnya Komunitas No Tobacco Community (NoTC) pada Tahun
2011 juga telah melakukan penelitian tentang Kepatuhan terhadap kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Bogor. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa tingkat kepatuhan pada awal tahun 2011 hanya sebesar 26%, sedangkan
pada akhir tahun 2011 meningkat menjadi 78%. Penelitian ini memonitor semua
jenis kawasan dengan jumlah gedung yang diobservasi sebanyak 4.453 gedung
yang ada di Kota Bogor.
Selanjutnya, Ana Zaina Triana (2014) juga telah melakukan penelitian
yang berjudul Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota Palembang No. 07
Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di SMK Muhammadiyah 2 Kota
Palembang Tahun 2014. Hasil penelitian menunjukan komitmen pelaksana
implementasi KTR diwujudkan dengan kesediaan dan kemauan oleh pihak
pelaksana untuk melaksanakan KTR. Konteks situasional adalah adanya fatwa
haram mengenai rokok dari organisasi Muhammadiyah yang mendukung KTR,
konteks struktural adalah adanya peraturan sekolah yang selaras dengan
implementasi KTR, Kegiatan mengimplementasikan KTR adalah dengan
meletakkan plang KTR, sosialisasi, pembinaan dan pengawasan, tetapi belum
ada pengaturan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan KTR. Bentuk
pembinaan KTR berupa sosialisasi Bentuk pengawasan yaitu pengawasan
langsung berupa inspeksi langsung ke lokasi. Sanksi yang diberikan berupa
sanksi administratif. Penyidikan KTR diadakan bersamaan dengan kegiatan
supervisi.
Hendry Eka Prasetya, Aufarul Marom, Ari Subowo (2015) melakukan
penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Stasiun Tawang Kota Semarang. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
pelaksanaan kebijakan ini dikatakan sudah berhasil akan tetapi masih kurang
optimal, dikarenakan beberapa kendala, yakni tidak tersedianya dana dari
pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tentang KTR di
Stasiun Tawang, Jumlah sumber daya manusia yang terlibat masih kurang,
masih adanya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, dengan berbagai
alasan seperti lokasi smoking area yang terlalu jauh, kondisi smoking area yang
kurang nyaman, kurangnya sosialisasi terhadap pengunjung terhadap
pelaksanaan kebijakan ini, adanya benturan kepentingan antara pemerintah
daerah dengan pihak PT. KAI dalam hal ini Stasiun Tawang dalam hal
pelarangan pemasangan iklan rokok di stasiun, hal ini terkait dengan Pendapatan
Asli Daerah dari sektor pajak reklame, pengaruh perusahan rokok yang terlalu
besar kepada pemerintah daerah sehingga menghambat implementasi kebijakan
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Stasiun Tawang, kurang efektifnya strategi
kebijakan yang sudah dilaksanakan di stasiun tawang terutama dalam hal
pembuatan smoking area dan pemasangan tanda larangan merokok, adanya
kelemahan dan ancaman yang mungkin muncul dari regulasi tentang pelarangan
merokok di tempat umum, diantaranya ringannya hukuman yang berdampak
pada semakin besarnya pelanggaran karena hukuman yang diberikan tidak
memberikan efek jera dan kemungkinan berkurangnya jumlah penumpang yang
kurang nyaman dengan adanya peraturan pelarangan merokok di tempat umum,
serta minimnya koordinasi dan daya tanggap yang ditunjukkan oleh pemerintah
daerah tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh pihak stasiun.
Meskipun demikian terdapat beberapa perubahan positif yang dirasakan
baik oleh pegawai maupun oleh masyarakat seperti Stasiun Tawang menjadi
lebih rapi dan nyaman dengan berkurangnya polusi udara akibat paparan asap
rokok, berkurangnya sampah yang berserakan akibat rokok, dan berkurangnya
jumlah iklan rokok. Hal ini tentunya membawa manfaat bagi masyarakat
(pengunjung) baik dari segi sosial, lingkungan maupun kesehatan.
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana (PSIKM FK Unud) juga melakukan penelitian mengenai
tingkat kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR tingkat provinsi yang mulai
ditetapkan tahun 2011. Dalam hal ini, Peneliti telah mengobservasi 1.394 gedung
secara acak maka didapatkan tingkat kepatuhan yang masih relatif rendah yaitu
11,8%. Georgina (1996), telah melakukan penelitian yang berjudul Successful
Implementation of a No-Smoking Policy. Temuan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa pengenalan program NSP dan pendidikan yang disebabkan
perubahan perilaku dan sikap positif untuk merokok. Pada bulan Agustus 1994
hasil kunci dari survei merokok kedua menunjukkan bahwa 5 persen dari
karyawan berhenti merokok, 43 persen mengurangi jumlah rokok yang dihisap
per hari, 1,6 persen merokok lebih dan 30 persen melaporkan tidak ada
perubahan. Hasil ini menunjukkan bahwa program berhenti merokok multifaset
jangka pendek dilaksanakan selama 5 bulan dapat menghasilkan penurunan
merokok.
Pemerintah Indonesia telah mulai memberikan perhatian terhadap
bahaya merokok sehingga penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan hal
yang harus dilakukan, dalam hal ini di Kota Palembang juga telah mengatur
pembatasan wilayah merokok bagi perokok di Kota Palembang. Berdasarkan
hasil survei sosial ekonomi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Palembang pada tahun 2009 menyatakan bahwa kebutuhan akan rokok di Kota
Palembang sendiri menempati posisi yang kedua sebesar 18 persen. Hal ini
dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 1.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang Tahun 2009 Sumber: Badan Pusat Statistik Palembang
Berdasarkan Gambar 1.1 dapat diketahui bahwa rokok merupakan
kebutuhan kedua setelah makanan jadi. Hal ini menunjukan semakin
meningkatnya individu yang memkonsumsi rokok di Kota Palembang, seolah-
olah rokok sudah menjadi kebutuhan yang utama. Oleh karena ini, Kota
Palembang juga turut melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok dengan
mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok ini berisikan tentang berbagai aturan yang mengatur bagi
si perokok agar tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan
sebagai kawasan dilarang merokok, serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar
aturan ini dalam Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok juga dicantumkan tujuan pemberlakuan peraturan ini
sebagai upaya menekan jumlah pengkonsumsi rokok di wilayah Palembang serta
mengatasi pencemaran udara di Palembang yang tidak terkendali lagi.
Sehubungan dengan penelitian ini, maka implementasi Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
dilaksanakan dengan berazaskan:
a. keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungan;
b. kemanfaatan umum;
c. keterpaduan dan keserasian;
d. keadilan; dan
e. transparansi dan akuntabilitas.
Adapun tujuan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok:
a. memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok
orang lain;
b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;
c. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung
Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan
dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan
rokok, meliputi: tempat umum; tempat kerja; tempat ibadah; arena kegiatan anak-
anak; angkutan umum; kawasan proses belajar mengajar; dan tempat pelayanan
kesehatan. Salah satu kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah tempat
Kerja. Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Kawasan Tanpa Rokok, mendefiniskan tempat kerja sebagai ruang tertutup
bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang
sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumber bahaya termasuk
kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dan sejenisnya.
Dalam hal ini, tempat kerja berupa Instansi Pemerintahan yang sekaligus
memberikan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan dapat mematuhi Perda
Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi para
Pegawai untuk bekerja maupun Masyarakat yang dilayani.
Berdasarkan hasil survey kepatuhan kawasan tanpa rokok yang di
laksanakan Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2012 di 279 tempat kerja,
masih ditemukan orang yang merokok sebesar 24,7%. Di dalam Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 seharusnya tempat kerja menerapkan 100 % kawasan
tanpa rokok dengan tidak ditemukan lagi orang yang merokok di tempat kerja.
Selanjutnya Survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Universitas Indonesia
pada tahun 2013 didapatkan hasil bahwa hanya 8,5% Kantor Pemerintahan Kota
Palembang yang mematuhi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok. Hasil Supervisi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota
Palembang tahun 2014 ke 149 Kantor di lingkungan Pemerintah Kota Palembang
yang tidak mematuhi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
ada 81 atau 54 % Kantor.
Dalam jangka waktu satu tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini,
setiap pemilik, pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab Kawasan
Tanpa Rokok, harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini. Pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah ini, diancam dengan
hukum pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Celah bagi pecandu rokok untuk merokok di ranah publik nyaris tertutup.
Selain di tujuh kawasan tanpa rokok, Pemerintah juga dalam aturan itu (pada
Pasal 9), telah melarang orang merokok di tempat-tempat umum yang dianggap
perlu oleh Pemerintah. Namun demikian, aturan tersebut tidak secara detail
menyebutkan apa saja tempat-tempat yang dianggap perlu itu.
Semua hal seputar merokok di kawasan tanpa rokok akan disanksi keras
pada Pasal 7 huruf (a), disebutkan bahwa pemilik, pengelola, manajer, pimpinan
dan penanggung jawab, dilarang menyediakan tempat untuk merokok di dalam
gedung dan menyediakan rokok (menjual, mengiklankan dan mempromosikan
rokok). Selain itu, mereka juga perlu mengingatkan semua orang untuk tidak
merokok di kawasan tanpa rokok yang menjadi tanggung jawabnya, melarang
adanya asbak di kawasan itu, serta wajib meletakkan tanda-tanda dilarang
merokok di semua pintu masuk utama dan tempat lain yang mudah terbaca. Bila
aturan ini dilanggar, terancam denda adminstratif. Tidak melarang adanya tempat
untuk merokok atau penyediaan rokok, sanksinya denda paling banyak
Rp 10 juta rupiah (Pasal 19). Tidak melarang asbak di kawasan tanpa rokok
didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 20). Begitu pula jika pemilik,
pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab tidak meletakkan tanda
dilarang merokok, didenda paling banyak Rp 1 juta rupiah (Pasal 21). Kemudian,
jika mereka tidak melarang orang merokok di kawasan tanpa rokok, maka
didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 22). Jika aturan ini sampai tiga kali
dilanggar, sesuai Pasal 23, sanksi administratifnya berupa pencabutan izin dan
penutupan tempat usaha. Selain denda administrasi, pelanggaran atas perda No.
7 Tahun 2009 ini juga disanksi pidana, dengan ancaman kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda paling banyak Rp 50 juta (Pasal 27).
Penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di Kota Palembang ternyata
belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari sejumlah pihak yang
seharusnya ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). Seperti yang
termuat dalam koran harian Sumatera Ekspres yang terbit pada hari Kamis,
22 September 2011 dengan judul berita “Puluhan Instansi Langgar Perda KTR”.
Didalam berita ini dikatakan bahwa berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota
Palembang, pelanggaran Perda kawasan tanpa rokok ditemukan pada 35 lokasi
dengan instansi yang berbeda mulai dari area sekolah, mall, hotel, rumah sakit
Pemerintah dan swasta, rumah makan dan restoran. Pembinaan dan
pengawasan dilakukan dengan baik secara persuasif melalui sosialisasi,
himbauan atau inspeksi mendadak akan tetapi masih ada saja yang melanggar.
Pihaknya telah beberapa kali memberikan teguran, rata-rata ke-35 pengelola
atau penanggung jawab tempat yang dinyatakan tidak mematuhi Perda Kawasan
Tanpa Rokok ini sudah diberikan peringatan lebih dari 3 kali baik itu melalui dua
survei kepatuhan dan sidak rutin yang telah digelar tiga kali sebulan.
Berdasarkan data mengenai banyaknya pelanggaran yang terjadi di
Kawasan Tanpa Rokok khususnya Instansi Pemerintahan Kota Palembang, jika
dianalisis berdasarkan model implementasi Grindle, maka berdasarkan konten
kebijakan, dalam hal ini kepentingan yang dipengaruhi; Pelaksana kebijakan
kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun
Pimpinanan dan para Pegawai Instansi Pemerintahan dan Masyarakat telah
mengetahui dan mendukung pelaksanaan Perda KTR, meski masih ditemukan
pelanggaran dikawasan tersebut. Dalam hal ini, Sat Pol PP dan jajarannya
bertugas pada fungsi pada larangan dan penerapan sanksi, sedangkan untuk
Dinas Kesehatan Kota Palembang berfungsi pada penekanan bahaya merokok
pada orang-orang yang ada di Kawasan Tanpa Rokok.
Berdasarkan konteks implementasinya, strategi aktor yang dilibatkan
dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang masih belum maksimal. Kepatuhan terhadap
cara/proses pelaksanaan Kebijakan masih rendah, terbukti dari banyaknya
pelanggaran yang terjadi seperti di tahun 2014, berdasarkan hasil supervisi, dari
149 Kantor di lingkungan Pemerintah Kota Palembang, setidaknya ada 81 Kantor
yang tidak mematuhi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
ada (54% Kantor yang tidak patuh). Berdasarkan hasil kebijakan berupa Dampak
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang belum cukup baik/maksimal. Namun, mereka
yang merokok didalam gedung perkantoran sudah berkurang.
Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa Faktor yang mendukung
Implementasi Perda KTR, khususnya di Instansi Pemerintahan meliputi: telah
mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Pimpinan Instasi serta
Kepentingan Masyarakat. Tersedianya sticker-sticker Perda KTR khususnya di
Instansi Pemerintahan maupun Pembentukan Tim Pengawas Internal dari
Instansi Pemerintahan dengan melibatkan seluruh security/Petugas Keamanan
tanpa terkecuali. Faktor yang menghambat keberhasilan Implementasi Perda
KTR, meliputi: Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota
Palembang selaku Tim Penegakan Perda KTR cukup jika harus ditambah
dengan pelaksanaan supervisi KTR secara terus menerus, kurangnya dana
publikasi penegakan Perda KTR, dan layanan Informasi pengaduan jika terjadi
pelanggaran di Instansi Pemerintahan yang masih terbatas.
Diharapkan kegiatan merokok di Instansi Pemerintahan tidak terjadi lagi.
Hal ini dikarenakan Pemerintah Kota Palembang telah mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR, dalam
ketentuan umum peraturan itu, adalah tempat atau ruang yang dinyatakan
dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan atau mempromosikan rokok.
Pemerintah menghendaki, penerapan peraturan daerah ini dapat melindungi
warga yang tak merokok tidak terkena paparan asap rokok dari si perokok, dan
memberi ruang dan lingkungan yang sehat kepada warga secara langsung dan
tak langsung.
Indikator Kepatuhan untuk Kawasan Tanpa Rokok berdasarkan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, ada 6 hal yaitu:
a. ada tidaknya papan pengumuman (plang KTR)
b. ada tidaknya tanda dilarang merokok
c. ada tidaknya ruang untuk merokok
d. ada tidaknya asbak
e. ada tidaknya orang merokok di ruang merokok, dan
f. ada tidaknya penjualan/promosi/iklan rokok di kawasan tanpa rokok.
Jika salah satu indikator tidak terpenuhi maka dianggap tidak mematuhi
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009.
Ada tiga prinsip yang ditetapkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Palembang dalam penerapan KTR ini, yaitu:
a. 100 persen tak ada lagi kawasan asap rokok
b. tidak ada ruang merokok di tempat umum atau di tempat kerja tertutup
c. pemaparan asap rokok kepada orang lain, maupun meingizinkan atau
membiarkan orang merokok di kawasan yang terlarang untuk merokok.
Upaya penanggulangan bahaya akibat merokok dan agar
implementasinya lebih efektif, efisiensi dan terpadu, di perlukan Peraturan
Daerah Kawasan Tanpa Rokok yang tercantum pada Peraturan Daerah Kota
Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok. kebijakan
kawasan tanpa rokok ini dapat ditujukan untuk mencapai kriteria responsivitas
dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yaitu langkah-langkah pengamanan
rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok.
Abdul Wahab (1997: 272) menguraikan, agar kebijakan dapat dilaksanakan
dengan baik, maka kebijakan hendaknya: dirancang sesuai dengan kerangka
acuan dan teori yang kuat, disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan
implementasinya, adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan
sehingga proses implementasi dapat berjalan dengan baik, dilakukan sosialisasi
kebijakan yang akan diterapkan sampai organisasi pelaksana tingkat terbawah
(street level bureaucracy), dilakukan pemantauan terus menerus (monitoring)
serta diberi bobot yang sama penting antara kebijakan dan implementasinya.
Maksudnya, pembuat kebijakan harus menilai sama penting antara kebijakan
dan implementasinya. sehingga antara kebijakan dan implementasinya tidak
terjadi kesenjangan yang menyulitkan dalam pelaksanaan. Dengan demikian,
proses (implementasi) kebijakan baru akan dimulai apabila tujuan-tujuan
kebijakan telah ditetapkan.
Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok ini berisikan tentang berbagai aturan yang mengatur bagi si
perokok agar tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan
sebagai kawasan dilarang merokok, serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar
aturan ini dalam Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok juga dicantumkan tujuan pemberlakuan peraturan ini
sebagai upaya menekan jumlah pengkonsumsi rokok di wilayah Palembang serta
mengatasi pencemaran udara di Palembang yang tidak terkendali lagi.
Pelanggaran atau Ketidakpatuhan akan Kawasan Tanpa Rokok yang
terjadi di Kota Palembang menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih jelas lagi.
Karena itu perlu diteliti bagaimana implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
khususnya kepatuhan pegawai di Instansi Pemerintahan Kota Palembang.
Diharapkan pada akhir penelitian nanti dapat merekomendasikan model
implementasi kebijakan yang dapat memberikan perlindungan kepada
Masyarakat yang tidak merokok serta penegakan hukum terhadap pelanggaran
Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Palembang.
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan upaya
Pemerintah Kota Palembang dalam menciptakan Kawasan Tanpa Rokok, maka
rumusan penelitian ini menyangkut persoalan sebagai berikut:
(1) Bagaimanakah implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang?
(2) Apakah faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat
kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
(3) Bagaimanakah model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Kota Palembang yang ideal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka studi ini
bertujuan untuk menjelaskan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok,
khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Secara terperinci,
penelitian ini memiliki beberapa tujuan:
(1) Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
(2) Mendeskripsikan dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat
dalam kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
(3) Menemukan model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang yang ideal
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
(1) Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam
mengembangkan konsep atau teori tentang kebijakan publik, khususnya
dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok tidak hanya terpaku
pada teori-teori yang berkaitan dengan implementasi kebijakan berupa
George C. Edwards III (1980), Donald Van Meter dan Carl Van Horn
(1975), Merilee S. Grindle (1980), dan lain-lain, melainkan harus
ditelaah juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk
Patuh menurut Green (1980), yang selanjutnya dapat dijadikan referensi
untuk penelitian-penelitian lainnya.
(2) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah
sebagai perumus implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok. Selain itu
penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi secara menyeluruh bagi
Pegawai akan pentingnya menjaga lingkungan kerja yang sehat dan
bebas dari asap rokok.
(3) Manfaat Metodologis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan metodologi penelitian sosial yang berbasis implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari duplikasi penelitian yang sudah dilakukan, serta
sebagai pembanding maka perlu dikemukakan gambaran hasil penelitian
terdahulu yang relevan dan memiliki kedekatan dengan tema disertasi yakni:
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya berkaitan dengan
kepatuhan pegawai di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, maka Penulis
mencoba untuk mencari celah diantara penelitian yang telah ada untuk dijadikan
sebuah karya disertasi. Untuk menambah referensi penulisan disertasi ini maka
penulis mencoba untuk melihat kembali beberapa penelitian yang telah dilakukan
dan dipublikasikan khususnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok yang dapat mendukung penelitian, diantaranya:
2.1.1 Per Nilsen, Christian Ståhl, Kerstin Roback and Paul Cairney (2013): Never the twain shall meet? - a comparison of implementation science and policy implementation research
Banyak masalah kesehatan masyarakat memerlukan pengetahuan
berbasis penelitian yang ditindaklanjuti oleh perawatan kesehatan praktisi
bersama dengan implementasi langkah-langkah politik dari lembaga pemerintah.
Namun, ada keterbatasan pengetahuan antara ilmu implementasi dan penelitian
implementasi kebijakan, yang telah dilakukan sejak awal 1970-an. Berdasarkan
tinjauan narasi literatur selektif tentang implementasi penelitian sains dan
implementasi kebijakan, tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan
karakteristik kebijakan riset implementasi, analisis persamaan utama dan
30
31
perbe daan antara bidang ini dan sains penerapan, dan mendiskusikan
bagaimana pengetahuan yang dikumpulkan dalam penelitian implementasi
kebijakan dapat menginformasikan ilmu implementasi.
Mengikuti ikhtisar singkat dari riset implementasi kebijakan, beberapa
aspek dari kedua bidang tersebut dijelaskan dan dibandingkan: tujuan dan asal
riset; karakteristik penelitian; pengembangan dan penggunaan teori; determinan
perubahan (variabel independen); dan dampak implementasi (variabel
dependen). Analisis komparatif menunjukkan bahwa ada banyak kesamaan
antara dua bidang, namun ada juga perbedaan besar. Namun, pembelajaran
penting dapat berasal dari beberapa aspek penelitian implementasi kebijakan,
termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pengaruh konteks implementasi dan
nilai-nilai dan norma-norma pelaksana (praktisi perawatan kesehatan) pada
proses implementasi. Penelitian yang relevan tentang berbagai topik kebijakan
yang terkait, termasuk Kerangka Koalisi Advokasi, Teori Tata Kelola, dan Teori
Kelembagaan, juga dapat berkontribusi untuk meningkatkan pemahaman tentang
kesulitan menerapkan bukti dalam perawatan kesehatan.
Ada banyak masalah umum dalam implementasi kebijakan penelitian
dan implementasi sains. Penelitian dikedua bidang membahas tantangan
menerjemahkan niat menjadi perubahan yang diinginkan. Namun, sementara
implementasi kebijakan didirikan dalam ilmu sosial, implementasi sains telah
mengadopsi banyak prinsip dari evidencebased obat dan gerakan praktik
berbasis bukti diambil dari ilmu alam. Namun, kedua bidang itu menekankan
pentingnya penelitian interdisipliner menggunakan berbagai metodologi
penelitian dalam penyelidikan ini. Para peneliti di kedua bidang telah banyak
berkembang model dan kerangka kerja spesifik bidang, tetapi implementasi
32
Peneliti sains juga secara pragmatis tampak ke bidang dan disiplin lain untuk
meminjam teori, model dan kerangka kerja. Peneliti implementasi kebijakan
muncul lebih berhati-hati dalam menggunakan teori diturunkan di bidang lain.
Peneliti sains implementasi telah dibedakan antara sejumlah penentu
individu yang secara kausal terkait dengan keluaran dan hasil dan cukup besar
upaya penelitian telah dikhususkan untuk menyelidiki efektivitas strategi khusus
untuk mempengaruhi hasil ini. Peneliti implementasi kebijakan harus ditingkat
yang lebih besar menekankan interdependensi yang melekat di antara keduanya
berbagai faktor serta sangat penting konteksnya, yang membuatnya sulit untuk
menyamaratakan temuan tentang kepentingan relatif penentu individu. Riset
implementasi kebijakan telah ditangani kedua output (perubahan di antara
pelaksana) dan hasil (perubahan di antara mereka yang ditargetkan dengan
kebijakan). Sebaliknya, ilmu implementasi telah terfokus sangat banyak pada
output daripada hasil, yaitu pada praktisi kesehatan daripada pasien.
2.1.2 James F. Thrasher, Erika Nayeli Abad-Vivero, Ernesto M. Sebrie,
Tonatiuh Barrientos-Gutierrez, Marcelo Boado, Hua Hie Yong, Edna Arillo-Santillan and Eduardo Bianco (2013): Tobacco smoke exposure in public places and workplaces after smoke-free policy implementation: a longitudinal analysis of smoker cohorts in Mexico and Uruguay
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi, berkorelasi dan
perubahan paparan asap rokok bekas (SHS) selama periode setelah
implementasi kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif di dua Negara
Amerika Latin yaitu Meksiko dan Uruguay
Penelitian ini menggunakan metode data dianalisis dari sampel
perwakilan berbasis populasi perokok dewasa dan pendatang baru-baru ini dari
gelombang 2008 dan 2010 dari Survei Evaluasi Kebijakan Pengendalian
33
Tembakau Internasional di Meksiko (masing-masing n = 1766 dan 1840,) dan
Uruguay (masing-masing n = 1379 dan 1411,). Prevalensi paparan SHS
diperkirakan untuk tempat yang diatur, dan persamaan estimasi umum
digunakan untuk menentukan korelasi paparan SHS.
Hasil penelitian ini diketahui bahwa eksposur SHS di tempat kerja pada
bulan lalu serupa di dalam dan di seluruh Negara (rentang: Meksiko 20-25%;
Uruguay 14–29%). Pada kunjungan restoran terbaru, paparan SHS lebih rendah
di mana kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif diterapkan (kisaran:
Uruguay 6-9%; Kota Meksiko 5-7%) dibandingkan dengan kota-kota Meksiko
dengan kebijakan yang lebih lemah, di mana paparan tetap lebih tinggi tetapi
menurun selama waktu (32-17%). Pada kunjungan bar terbaru, paparan SHS
adalah umum (kisaran: Uruguay 8–36%; Mexico City 23–31%), meskipun
tertinggi di yurisdiksi dengan kebijakan yang lebih lemah (berkisar di kota-kota
Meksiko lainnya: 74-86%). Di Uruguay, laki-laki lebih mungkin dibandingkan
perempuan yang terpapar dengan SHS di berbagai tempat, karena lebih muda
dibandingkan dengan perokok yang lebih tua di Meksiko. Kebijakan bebas asap
rokok secara komprehensif lebih efektif daripada kebijakan yang lebih lemah,
meskipun kepatuhan di Meksiko dan Uruguay tidak setinggi yang diinginkan.
2.1.3 Pieroni, Luca (2013): The role of anti-smoking legislation on
cigarette and alcohol consumption habits in Italy Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efek pada kedua partisipasi
merokok dan intensitas dan efek tidak langsung pada konsumsi alkohol di Itali.
Dataset yang digunakan dalam makalah ini adalah survei ELA, yang dilakukan di
Italia oleh Italian Institute of Statistics (ISTAT). Survei ELA dilakukan pada
Perwakilan sampel penampang penduduk Italia dan memberikan informasi rinci
34
tentang demografi, karakteristik sosial dan kesehatan 20.000 rumah tangga
setiap tahun, sesuai dengan sekitar 50.000 catatan individu tahunan.
Pengenalan Undang-undang Bebas Asap Rokok di Italia secara signifikan
mempengaruhi perilaku merokok. Selain itu, mendokumentasikan efek tidak
langsung signifikan terhadap konsumsi alkohol untuk kategori minuman
beralkohol utama. Sebuah analisis ketahanan juga dilakukan, untuk menguji
sejauh mana variabel teramati, mungkin bias parameter kami
diperkirakan. Hasilnya kemudian digunakan untuk melakukan analisis efektivitas
biaya dari Undang-undang Anti-Merokok di Italia.
2.1.4 Thomson, George (2013): Informing Outdoor Smokefree Policy: Methods for Measuring the Proportion of People Smoking in Outdoor Public Areas Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan, metode murah sederhana
untuk mengukur merokok di berbagai tempat umum. Dua metode yang
dikembangkan dan digunakan oleh pengamat tunggal selama Maret 2011-
Februari 2012 untuk mengukur proporsi orang merokok di 58 situs di Inggris dan
New Zealand dan 33 situs di Selandia Baru diamati, dengan perbedaan yang
signifikan ditemukan antara merokok di jenis situs dan antar negara.
Untuk kedua Negara gabungan, proporsi orang yang merokok (di antara
mereka lebih dari 12 tahun) di area bermain anak-anak secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan semua gabungan situs lain (rasio risiko = 0,39;
95% CI: 0,20-0,76; p = 0,002). Pengamat dapat menetapkan proporsi orang
merokok di berbagai situs luar. Metode tersebut dapat menginformasikan
kebijakan bebas asap luar daerah dengan memberikan Data dasar dan pasca-
kebijakan untuk memungkinkan penargetan lokasi dan evaluasi kebijakan.
35
2.1.5 Charupash, Rujee (2014): The Effectiveness of Law Enforcement: The Notfication of Minister of Public Health (No.18) B.E.2550 (A.D.2007): Pursuant to The Protection of Non-Smokers Health Act B.E.2535 (1992): A Case Study of Market at Khon Kaen Municipality Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur informasi yang diterima,
pasar sebagai daerah bebas asap, dari Pemberitahuan Departemen Kesehatan
Masyarakat, sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Kesehatan Non-
Perokok (1992), dan efektivitas saluran media. Penegakan Hukum UU
Kesehatan dan Perlindungan Non Perokok di Pasar Kota Khon Kaen dilakukan
melalui survei cross sectional, total sampel adalah 764 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,1% dari pasar vendor dan
45,6% dari pembeli menerima informasi bahwa pasar adalah area bebas asap
rokok. Saluran media besar bahwa sampel menerima informasi dari poster
(37,7%). Meskipun ukuran denda tidak dapat dilaksanakan, 51,6% perokok tidak
merokok di pasar. Meskipun beberapa perokok menerima informasi, mereka
mengabaikan Pemberitahuan, khususnya pasar vendor itu. Rekomendasi
penelitian ini untuk membuat pasar daerah bebas merokok adalah peningkatan
promosi, meningkatkan tindakan sosial, dan menyisihkan area merokok khusus
untuk perokok
2.1.6 Hulton L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014): Using Evidence to Drive Action: A “Revolution in Accountability” to Implement Quality Care for Better Maternal and Newborn Health in Africa Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh pada pengembangan
kebijakan daerah bebas asap kontemporer di Selandia Baru. Wawancara semi-
terstruktur dilakukan dengan 62 orang Politisi dan Pejabat Senior Selandia
Baru. Mereka ditanya tentang pandangan mereka tentang intervensi yang
36
mungkin untuk mengurangi merokok di sekitar anak-anak, dan bagaimana untuk
mencapai kemajuan pada rumah, mobil dan tempat-tempat umum yang bebas
asap. Data ditranskripsikan dianalisis untuk tema, beberapa di antaranya
ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan, dan beberapa muncul dari sifat
dinamis dari wawancara.
Kebijakan untuk area bebas asap terlihat oleh Peserta sebagai kegiatan
kompleks yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah
faktor termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan
keinginan dukungan publik untuk kebijakan. Mayoritas Peserta berhati-hati
tentang membuat langkah kebijakan substantif pada tempat-tempat bebas
merokok karena persepsi mereka tentang isu yang sangat kontroversial,
keinginan mereka untuk menghindari resistensi publik dan keinginan mereka
untuk keterlibatan masyarakat. Preferensi ditunjukkan untuk pendekatan
kebijakan berdasarkan persuasi daripada Undang-undang, sebagai sarana untuk
membuat kemajuan pada mobil bebas asap dan ruang luar. Hasil menunjukkan
perlunya komunikasi yang baik dari penerimaan dan manfaat dari perubahan
legislatif bebas merokok untuk kedua arena politik dan publik.
2.1.7 Nazar GP, Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett C (2014): Association Between Being Employed in a Smoke-Free Workplace and Living in a Smoke-Free Home: Evidence from 15 low and Middle Income Countries Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah Pekerja yang bekerja di
tempat kerja di area bebas asap rokok terkait dengan Pekerja yang tinggal di
rumah bebas asap rokok. Survey cross-sectional (2008-2011) dari 15 LMICs
dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda. Variabel terikat adalah
tinggal di rumah bebas asap rokok; Variabel independen yang bekerja di tempat
37
kerja yang bebas asap rokok. Analisis disesuaikan dengan usia, jenis kelamin,
tempat tinggal, daerah, pendidikan, pekerjaan, merokok saat ini, saat ini
penggunaan tembakau tanpa asap dan jumlah anggota rumah tangga. Hasil
masing-masing negara yang dikombinasikan dengan efek acak meta-analisis.
Di setiap negara, persentase peserta yang bekerja di tempat kerja yang
bebas asap rokok yang dilaporkan tinggal di rumah bebas asap rokok lebih tinggi
dari mereka yang bekerja di tempat kerja yang tidak bebas asap. Odds ratio yang
disesuaikan (AORs) hidup di rumah bebas asap rokok antara peserta bekerja di
tempat kerja yang bebas asap rokok (vs mereka yang bekerja di mana merokok
terjadi) secara statistik signifikan di 13 dari 15 negara, mulai dari 1,12 [95% CI
0,79-1,58] di Uruguay menjadi 2,29 [1,37-3,83] di Cina. Yang dikumpulkan AOR
adalah 1,61 [1,46-1,79]. Dalam LMICs, kerja di tempat kerja yang bebas asap
rokok terkait dengan tinggal di rumah bebas asap rokok. Percepatan
pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif kemungkinan akan
menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial dalam pengaturan ini.
2.1.8 H. Strehlenert, L. Richter-Sundberg, M. E. Nyström, and H. Hasson (2015): Evidence-Informed Policy Formulation and Implementation: a Comparative Case Study of Two National Policies for Improving Health and Social Care in Sweden
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan
membandingkan dua kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan perawatan
kesehatan dan sosial di Swedia dan menguji secara empiris model konseptual
baru untuk perumusan kebijakan dan implementasi bukti-informasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus longitudinal
dan komparatif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan
dokumen. Model konseptual untuk perumusan kebijakan dan implementasi
38
kebijakan terbukti dikembangkan berdasarkan kerangka kerja sebelumnya untuk
pembuatan kebijakan dan penyebaran informasi. Model konseptual digunakan
untuk mengatur dan menganalisis data.
Kebijakan berbeda mengenai penggunaan bukti dalam perumusan
kebijakan dan sejauh mana formulasi kebijakan dan fase implementasi tumpang
tindih. Kesamaan antar kasus adalah penekanan pada penilaian kapasitas,
kegiatan yang dimodifikasi berdasarkan penilaian dan pendekatan implementasi
yang sangat aktif yang mengandalkan jaringan para pemangku
kepentingan. Model Konseptual untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi
Bukti-Informasi secara empiris berguna untuk mengatur data.
Peran dan fungsi aktor kebijakan ditemukan memiliki pengaruh besar
pada pilihan strategi dan kolaborator di semua fase kebijakan. Model Konseptual
untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi Bukti-Informasi ditemukan
bermanfaat. Namun, itu memberikan panduan yang tidak memadai untuk
menganalisis aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, strategi pembangunan
kapasitas dan fase kebijakan yang tumpeng tindih. Versi revisi dari model yang
mencakup aspek-aspek ini disarankan.
2.1.9 Per Nilsen (2015): Making Sense of Implementation Theories, Models
and Frameworks
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengusulkan taksonomi yang
membedakan antara berbagai kategori teori, model dan kerangka kerja dalam
ilmu implementasi, untuk memfasilitasi pemilihan yang tepat dan penerapan
pendekatan yang relevan dalam penelitian dan praktik implementasi dan untuk
mendorong dialog lintas-disiplin di kalangan peneliti implementasi.
39
Pendekatan teoritis yang digunakan dalam ilmu implementasi memiliki
tiga tujuan menyeluruh: menggambarkan dan/atau membimbing proses
menerjemahkan penelitian ke dalam praktek (model proses); memahami dan/
atau menjelaskan apa yang mempengaruhi hasil implementasi (kerangka
determinan, teori klasik, teori implementasi); dan mengevaluasi implementasi
(kerangka kerja evaluasi).
Penelitian ini mengusulkan lima kategori pendekatan teoritis untuk
mencapai tiga tujuan menyeluruh. Kategori ini tidak selalu diakui sebagai jenis
pendekatan yang terpisah dalam literatur. Meskipun ada tumpang tindih di antara
keduanya. Beberapa teori, model dan kerangka kerja, kesadaran akan
perbedaan penting untuk memfasilitasi pemilihan pendekatan yang relevan.
Kerangka kerja yang paling determinan memberikan dukungan yang terbatas
"bagaimana" untuk melaksanakan implementasi, karena determinan biasanya
terlalu umum untuk memberikan detail yang cukup untuk memandu proses
implementasi. Sementara relevansi mengatasi hambatan dan kemungkinan
untuk menerjemahkan penelitian ke dalam praktik disebutkan dalam banyak
model proses, model ini tidak mengidentifikasi atau secara sistematis menyusun
determinan spesifik yang terkait dengan keberhasilan implementasi. Selanjutnya,
model proses mengenali urutan temporal dari upaya implementasi, sedangkan
kerangka kerja determinan tidak secara eksplisit mengambil perspektif proses
implementasi.
40
2.1.10 Afifa Aisha Rahmat (2015): Policy Implementation: Process and Problems
Implementasi kebijakan sangat penting untuk keberhasilan pemerintah.
Tidak ada kebijakan yang dapat berhasil jika implementasi tidak memikul
hubungan apa pun dengan niat pengadopsi kebijakan. Penelitian ini mencoba
untuk memahami proses implementasi dan menyoroti kontribusi berbagai
lembaga yang terlibat di dalamnya tahap implementasi. Terlepas dari ini juga
berfokus pada berbagai masalah seperti komunikasi, koordinasi, desain
kelembagaan, partisipasi publik dan korupsi dan lain-lain yang menghambat
pelaksanaan dan juga menyarankan langkah-langkah untuk mengatasi rintangan
ini.
Donald Van Meter dan Carl Van Horn mengamati: "Implementasi
Kebijakan meliputi tindakan-tindakan oleh individu atau individu publik (dan
kelompok) yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan
dalam keputusan kebijakan sebelumnya". Tugas implementasi adalah untuk
membentuk jembatan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik untuk dicapai
sebagai hasil dari kegiatan Pemerintah. Implementasi melibatkan "penciptaan
sistem pengiriman kebijakan di mana mekanisme khusus dirancang dan dikejar
dengan harapan mencapai tujuan tertentu". Dengan demikian, kebijakan publik
dalam bentuk pernyataan tujuan dan sasaran dimasukkan ke dalam program aksi
dengan bertujuan untuk mewujudkan tujuan yang tercantum dalam kebijakan.
Pembuatan kebijakan publik di negara-negara demokratis adalah
proses yang kompleks yang memiliki sejumlah tidak hanya lembaga dan aktor
pemerintah tetapi juga lembaga non-pemerintah dan aktor memainkan peran
penting, sampai kebijakan yang dirumuskan dilaksanakan dengan cara yang adil,
tidak memihak dan efektif, seberapa baik maksud kebijakan itu mungkin hasilnya
41
tidak akan pernah tercapai. Konstitusi India, yang dimodelkan pada sistem
parlemen Inggris, telah mempercayakan tanggung jawab dasar untuk
melaksanakan kebijakan yang disetujui oleh legislatif, dan diawasi oleh lembaga
peradilan, kepada eksekutif. Peran kunci dari tata kelola dan manajemen urusan
negara adalah dengan eksekutif, kepada siapa semua keberhasilan dan
kegagalan yang sama diatributkan. Eksekutif politik pada dasarnya sama dengan
dewan direksi dalam kerja sama yang besar, dengan para pejabat, yaitu posisi
pelaksanaan jabatan eksekutif permanen di semua tingkatan. Ini adalah mesin
besar dengan struktur internal yang rumit.
Implementasi kebijakan sangat penting. Sekalipun sistem politik itu adil,
sekalipun tujuannya mulia dan jika struktur organisasinya sangat kuat; tidak ada
kebijakan yang dapat berhasil jika bagian implementasi tidak sesuai dengan
sasaran. Koordinasi yang buruk dan mata rantai yang hilang di antara lembaga-
lembaga administratif kadang menghalangi jalannya implementasi tindakan
kebijakan. Implementasi kebijakan di tingkat tertinggi tidak dicirikan oleh
koordinasi dan kerja sama yang efektif. Pelaksanaan program dan kebijakan
pembangunan di India telah menimbulkan ketegangan pada berbagai kapasitas
mesin pemerintah dan kelembagaan lainnya. Dapat dibayangkan ada banyak
faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Faktor-faktor
penting adalah; struktur organisasi untuk implementasi, ada lokasi dalam sistem
pemerintahan, sifat berbagai kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan
kepada mereka, berbagai kontrol yang diberikan kepada pelaksana untuk
merencanakan koordinasi dan mengelola sumber daya program kritis, dalam
kualifikasi teknis pelaksana utama, dan sifat dari program yang dilakukan. Ini
adalah upaya untuk mengidentifikasi masalah dan kekurangan dalam proses
42
implementasi kebijakan India. Yang pertama adalah struktur terlalu banyak
fragmentasi, terlalu banyak beban kerja implementasi pada pembuat kebijakan,
struktur yang buruk dan proses untuk melibatkan ahli dari luar dan pemegang
saham. Jenis masalah kedua dikaitkan dengan kompetensi orang-orang yang
memiliki struktur profesionalisme yang tidak memadai dari staf pembuat
kebijakan, dan kompetensi yang tidak mencukupi dari spesialis serta bidang staf.
Kegagalan menyebabkan pemborosan keuangan, frustrasi politik dan gangguan
bagi warga biasa, seperti yang ditunjukkan dalam serangkaian kegagalan
kebijakan.
2.1.11 Amanda Fallin, Amie Goodin, Mary Kay Rayens, Sarah Morris, Ellen
J. Hahn, RN, FAAN (2015): Smoke-Free Policy Implementation: Theoretical and Practical Considerations
Penelitian ini bertujuan menyajikan pertimbangan teoritis dan praktis
dalam implementasi kebijakan bebas asap rokok di tiga komunitas Kentucky
yang dipandu oleh the Institutional Analysis and Development (IAD) Framework.
(Kerangka Kerja Analisis dan Pengembangan Kelembagaan/IAD). Meskipun
kedua Danville dan Lexington-Fayette County, Kentucky memiliki kebijakan
bebas asap rokok yang komprehensif, Danville memiliki lebih banyak
implementasi yang efektif, serta hasil yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk memahami unsur-unsur kritis implementasi kebijakan bebas
asap rokok dan hubungannya dengan hasil populasi.
Penelitian ini menggunakan studi kasus eksplorasi menggunakan
metode campuran untuk menilai konstruksi IAD terpilih pada dua level (kolektif
pilihan dan operasional) dan kesehatan penduduk, terkait dengan efektivitas
implementasi kebijakan bebas asap rokok. Tiga komunitas di Kentucky secara
43
sengaja dipilih, karena mereka berbeda dalam kekuatan dan durasi kebijakan
bebas asap rokok. Dua komunitas, Danville dan Lexington-Fayette County,
memiliki hukum 100% tempat kerja bebas asap rokok (Kentucky Center untuk
Kebijakan Bebas Asap, 2013). Hukum Danville diimplementasikan pada Agustus
2008 dan sudah ada selama 3 tahun ketika data dikumpulkan. Tata cara
Lexington-Fayette County dilaksanakan pada April 2004 dan telah ada selama 7
tahun sebelum pengumpulan data. Komunitas ketiga, Kenton County, memiliki
peraturan bebas asap rokok yang lemah dengan beberapa pengecualian besar.
Hukum Kenton County, yang diimplementasikan pada bulan April 2010, telah
berlaku untuk 6 bulan ketika data dikumpulkan. 5 (lima) restoran dan 5 (lima) bar
secara acak dari daftar semua tempat makan dan minum departemen kesehatan
di Danville dan Lexington-Fayette, sesuai protokol yang digunakan sebelumnya
oleh tim. Data dikumpulkan di 19 tempat di Kenton County, sebagai bagian dari
evaluasi peraturan bebas asap rokok oleh koalisi lokal. Data dikumpulkan dari
39 tempat termasuk pengamatan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan
(pilihan kolektif arena aksi) dan menilai polusi udara partikel halus (PM2.5)
terhadap paparan asap rokok (kesehatan penduduk). Data pada tingkat
operasional dikumpulkan melalui wawancara informan kunci, dan analisis data
sekunder untuk menilai aturan yang digunakan serta populasi yang hasil
kesehatan dipilih. Langkah-langkah dikembangkan dan diuji dalam eksplorasi
dalam studi kasus dipilih berdasarkan Kerangka IAD, dan mereka menilai tingkat
pilihan kolektif dan operasional, serta hasil kesehatan penduduk. Ada atau tidak
adanya hukum negara yang melarang merokok di dalam ruangan ditentukan
berdasarkan ulasan Kentucky Regulatory Statutes.
44
Hasil kerangka kerja IAD sebagai model yang digunakan untuk
memandu studi adopsi kebijakan dan efektivitas implementasi. Danville memiliki
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan Lexington-Fayette County, keduanya
menerapkan kebijakan bebas asap rokok di tempat kerja yang komprehensif.
Meski Lexington memiliki hukum yang komprehensif, namun indikator
pelaksanaannya lebih mirip dengan Kenton, dengan hukum parsial, dan
selanjutnya, hasil populasi di dua komunitas ini lebih negatif dibandingkan
Danville yang menerapkan hokum yang lebih kuat dan indikator implementasi
positif. Hal ini penting bagi perawat kesehatan masyarakat untuk tetap aktif
terlibat dalam proses kebijakan di luar periode adopsi kebijakan, untuk
memastikan implementasi yang memadai.
2.1.12 Xiaohua Ye, Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya Xu, Shudong Zhou, Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, (2015) Smoking behaviors before and after implementation of a smoke-free legislation in Guangzhou, China
Menurut Undang-undang bebas asap parsial yang diterapkan pada
1 September 2010 di Guangzhou, Cina, bebas asap rokok tidak mencakup
semua area dalam ruangan. Beberapa tempat memiliki larangan merokok penuh
(100% bebas rokok), lainnya tempat-tempat memiliki larangan merokok parsial,
dan rumah-rumah tidak memiliki larangan. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan perilaku merokok sebelum dan sesudah penerapan Undang-
undang bebas asap rokok.
Penelitian ini melakukan sebuah survei cross-sectional berulang
dilakukan pada perilaku yang berhubungan dengan merokok dengan total 4.900
responden sebelumnya, dan 5.135 responden setelah Undang-undang itu
dilembagakan. Untuk setiap gelombang survei, proses sampling berstrata tiga
45
tahap digunakan untuk mendapatkan sampel yang representatif. Uji Chi-square
Pearson digunakan untuk menentukan perbedaan prevalensi merokok dan rasio
berhenti antara dua sampel. Model regresi logistik digunakan untuk memeriksa
asosiasi Undang-undang bebas asap rokok dengan perilaku merokok.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat merokok harian
secara keseluruhan menurun secara signifikan dari 20,8% menjadi 18,2%
(p <0,05), terutama di antara mereka yang berusia 15–24 tahun. Rasio berhenti
meningkat secara signifikan (dari 14,5% menjadi 17,9%), tetapi tetap rendah di
antara usia 15–44 tahun. Perilaku merokok yang dilaporkan secara keseluruhan
di lokasi dengan larangan merokok penuh menurun secara signifikan dari 36,4%
menjadi 24,3% dengan penurunan lebih besar yang terjadi di tempat-tempat
budaya, kendaraan angkutan umum, dan Kantor-kantor Pemerintah. Merokok di
tempat-tempat dengan larangan merokok sebagian tetap tinggi (89,6% vs
90,4%), meskipun ada sedikit penurunan diamati di beberapa daerah ini.
Pelaksanaan undang-undang bebas asap rokok tidak mengarah pada
peningkatan merokok di rumah (91,0% vs 89,4%), tetapi merokok di rumah tetap
tinggi. Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk undang-undang bebas
asap rokok komprehensif yang mencakup semuanya tempat umum di
Guangzhou, intervensi pendidikan dan kampanye secara bersamaan
mempromosikan perubahan perilaku untuk tidak merokok di rumah perlu
dilakukan.
46
2.1.13 Joaquín Barnoya, Jose C. Monzon, Paulina Briz, and Ana Navas-Acien (2016): Compliance to the smoke-free law in Guatemala 5-years after implementation
Kawasan bebas asap rokok dapat mengurangi prevalensi merokok dan
akibat timbulnya penyakit jantung dan kanker paru-paru. Karena masalah yang
terkait dengan penegakan hukum yang buruk, hanya sedikit data yang tersedia
dari negara berpenghasilan menengah/rendah mengenai kepatuhan terhadap
Undang-undang bebas asap rokok jangka panjang. Pada tahun 2006 paparan
Asap (SHS) di bar dan restoran di Guatemala City ditemukan cukup tinggi, enam
bulan setelah larangan merokok diterapkan pada tahun 2009, tingkat tersebut
menurun secara signifikan. Namun, pada tahun 2010, kepatuhan hukum
terhadap kawasan bebas asap rokok diamati makin buruk. Oleh karena itu, kami
berusaha menilai kepatuhan jangka panjang terhadap larangan menggunakan
pengukuran SHS.
Pada tahun 2014 kami menilai paparan SHS menggunakan monitor
nikotin udara di bar (n = 9) dan restoran (n = 12) selama 7 hari menggunakan
protokol yang sama seperti pada tahun 2006 dan tahun 2009. Nikotin diukur
menggunakan kromatografi gas (µg / m3) dan dibandingkan dengan level pra-
(2006) dan post-ban (2009). Karyawan menanggapi survei tentang paparan SHS,
dilihat dari dampak ekonomi yang dirasakan dari larangan dan penggunaan
rokok elektronik pelanggan. Selain itu, penelitian ini juga memperkirakan denda
yang bisa dikumpulkan untuk setiap pelanggaran hukum.
Berdasarkan hasil peneliian, diketahui bahwa sebagian besar (71%)
kawasan melanggar hukum karena masih menyediakan tempat merokok.
Persentase sampel dengan terdeteksi konsentrasi nikotin pada tahun 2006, 2009
dan 2014 masing-masing adalah 100, 85 dan 43%. Di bar, median (25 dan 75
47
persentil) konsentrasi nikotin adalah 4,58 µg / m3 (1,71, 6,45) pada tahun 2006,
0,28 (0,17, 0,66) pada tahun 2009, dan 0,59 (0,01, 1,45) pada tahun 2014. Di
restoran, median yang sesuai adalah 0,58 µg / m3 (0,44, 0,71), 0,04 (0,01, 0,11),
dan 0,01 (0,01, 0,09). Dukungan hukum terus meningkat (88%) di antara
karyawan bar dan restoran. Sebagian besar karyawan melaporkan tidak dampak
ekonomi dari penerapan aturan larangan merokok dan bahwa proporsi
pelanggan yang tinggi (78%) menggunakan e-rokok. Sebanyak US $ 50.012 bisa
dikumpulkan dalam denda. Meskipun dukungan untuk Undang-undang bebas
asap terus berlanjut menjadi tinggi, Kepatuhan jangka panjang terhadap
larangan merokok di Guatemala menurun, terutama di bar. Pembuat kebijakan
dan pendukung pengawasan tembakau perlu untuk merevisi undang-undang
untuk memasukkan e-cigs sebagaimana adanya sekarang digunakan untuk
menghindari hukum. Fakta bahwa pemilik/manajer dan karyawan mengaku tidak
akrab dengan hukum bebas asap rokok layak mendapat perhatian oleh
pendukung dan pendukung pengawasan tembakau, otoritas pemerintah yang
harus terlibat dalam pendidikan kampanye dan penegakan hukum yang ketat.
Penelitian tambahan itu mengevaluasi faktor-faktor penentu ketidakpatuhan
diperlukan dan juga dapat berkontribusi untuk meningkatkan penegakan hukum
dan penerapan hukum bebas rokok di Guatemala.
2.1.14 Levy, David T., Tam, Jamie, Kuo, Charlene, Fong, Geoffrey T.,
Chaloupka, Frank (2017): The Impact of Implementing Tobacco Control Policies: The 2017 Tobacco Control Policy Scorecard
Kontrol Tembakau Scorecard, diterbitkan pada tahun 2004, disajikan
perkiraan efektivitas kebijakan pada tingkat merokok yang berbeda. Sejak
penerbitannya, Scorecard diperbaharui untuk memasukkan studi terbaru tentang
permintaan pengurangan kebijakan tembakau untuk negara-negara
48
berpenghasilan tinggi, termasuk pajak rokok, Undang-undang bebas asap rokok,
kampanye media, program pengendalian tembakau yang komprehensif, larangan
pemasaran, peringatan kesehatan, dan kebijakan pengobatan penghentian.
Untuk memperbaharui Scorecard 2004, ulasan narasi dilakukan pada ulasan dan
penelitian yang diterbitkan setelah tahun 2000, dengan fokus tambahan pada
3 kebijakan di mana bukti sebelumnya terbatas: program pengendalian
tembakau, peringatan kesehatan grafis, dan larangan pemasaran, dengan
mempertimbangkan studi evaluasi yang mengukur efek kebijakan pada perilaku
merokok.
Penelitian ini membatasi tinjauan terhadap analisis intervensi secara
tradisional yang digunakan untuk mengurangi permintaan rokok, termasuk pajak
rokok, smokefree air laws (SFAL), pembatasan pemasaran, program
pengendalian tembakau komprehensif, kampanye media, peringatan kesehatan
grafis, dan kebijakan pengobatan penghentian. Kebijakan-kebijakan ini telah
menerima paling banyak perhatian dalam literatur kontrol tembakau dan secara
eksplisit diakui di Organisasi Kesehatan Dunia (Laporan MPOWER).
Berdasarkan temuan ini, diketahui taksiran perkiraan ukuran efek
kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Pajak rokok, Undang-undang
udara bebas rokok, pembatasan pemasaran, dan program pengendalian
tembakau yang komprehensif masing-masing ditemukan memainkan peran
penting dalam mengurangi prevalensi merokok. Kebijakan pengobatan
penghentian dan peringatan, kesehatan grafis juga mengurangi kebiasaan
merokok dan ketika digabungkan dengan kebijakan dapat meningkatkan
keberhasilan upaya berhenti merokok. Ukuran efek secara umum konsisten
dengan yang dilaporkan sebelumnya untuk Scorecard 2004 tetapi sekarang
49
mencerminkan basis bukti yang lebih besar yang mengevaluasi dampak
peringatan kesehatan dan pembatasan periklanan.
2.1.15 Kimberley Martin, Joanne Dono, Greg Sharplin, Jacqueline Bowden, Caroline Miller (2017): Staff and Patient Perspectives of a Smoke-Free Health Services Policy in South Australia: A State-Wide Implementation
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perspektif Staf dan Pasien
tentang kebijakan layanan kesehatan tanpa asap rokok di Australia Selatan dan
implementasinya di seluruh Negara Bagian.
Prosedur dilakukan antara November 2010 dan Mei 2011, sampel acak
pasien rawat inap saat ini (N = 2307) dari Rumah Sakit Umum SA Health yang
diambil dari dataset metropolitan dan regional yang ada (yaitu Open Architect
Clinical Information System (OACIS) dan Country Data Mart) dan diundang untuk
berpartisipasi dalam Survei Pengalaman Pasien Rumah Sakit Publik Australia
Selatan. Analisis Data survei didasarkan pada usia dan jenis kelamin untuk
mencermin kan struktur populasi rawat inap rumah sakit umum di SA. Analisis
data dilakukan mengguna kan SPSS Versi 17.0 Hasil deskriptif disediakan
secara keseluruhan dan oleh kelompok demografi jika berlaku. Uji chi-square
digunakan untuk membandi ngkan perbedaan antara kelompok dengan nilai p
kurang dari 0,05 ditentukan menjadi signifikan secara statistik.
Dua per tiga staf melaporkan telah menyaksikan beberapa
ketidakpatuhan kebijakan, dan paparan yang dilaporkan sendiri terhadap perokok
pasif sebanding pra-pelaksanaan hingga 15 bulan setelah
pelaksanaan. Berdasarkan kebijakan tersebut, 56,3% pasien merokok abstain
sepenuhnya saat dirawat di rumah sakit dan 37,6% mengurangi jumlah yang
mereka hisap. Selanjutnya, 34,7% melaporkan telah ditawarkan dukungan
50
berhenti selama rawat inap. Sementara kebijakan bebas asap rokok dipandang
positif dan bermanfaat bagi staf dan pasien, laporan mengindikasikan beberapa
ketidakpatuhan adalah lazim. Meskipun tingkat ketidakpatuhan tidak diketahui,
dan ukuran yang digunakan adalah sensitif, strategi pelengkap mungkin
diperlukan untuk mengurangi paparan terhadap perokok pasif, khususnya di
pintu masuk.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan bebas asap rokok
yang diamanatkan dapat diimplementasikan di berbagai pengaturan kesehatan
dengan dukungan tinggi dari staf dan pasien. Pendekatan ini merupakan cara
yang efisien untuk menerapkan kebijakan dan mengharuskan setiap pengaturan
untuk mengadopsi pendekatan praktik terbaik, daripada memodifikasi kebijakan
agar sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Implementasi kebijakan dapat
lebih ditingkatkan dengan secara pre-emptive mengatasi alasan umum untuk
menentang kebijakan bebas asap rokok. Namun, potensi penuh dari kebijakan
layanan kesehatan bebas asap rokok, khususnya yang berkaitan dengan
paparan asap rokok pasif, tidak dapat sepenuhnya disadari sampai hambatan
untuk pelaksanaan yang efektif dapat diatasi, yaitu: kurangnya penyediaan
dukungan penghentian kepada pasien yang bergantung pada nikotin serta sering
terjadinya ketidakpatuhan dan pengelompokan perokok di pintu masuk
fasilitas. Oleh karena itu, pengembangan dan evaluasi strategi untuk mengatasi
hambatan ini harus menjadi prioritas untuk penelitian masa depan di bidang
kebijakan bebas asap rokok.
51
2.1.16 Z. L. Zheng, H. Y. Deng, C. P. Wu, W. L. Lam, W. S. Kuok, W. J. Liang, H. L. Wang (2017): Secondhand Smoke Exposure of Children at Home and Prevalence of Parental Smoking Following Implementation of The New Tobacco Control Law in Macao
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki paparan asap rokok (SHS)
anak-anak dirumah dan prevalensi merokok orang tua setelah penerapan UU
Pengendalian Tembakau yang baru di Macao.
Penyebaran kuesioner dilakukan untuk memperoleh informasi tentang
paparan SHS anak-anak di rumah, serta kebiasaan merokok orang tua.
Pertanyaan untuk membatasi paparan SHS dan perokok dikutip dari bagian
pertanyaan kunci dari Global Adult Tobacco Survey (edisi ke-2) untuk
membandingkan data dengan lebih baik dengan informasi terkait yang dilaporkan
oleh Biro Kesehatan Macao SAR. Paparan anak-anak ke SHS di rumah
ditentukan oleh pertanyaan, 'Seberapa sering seseorang merokok di dalam
rumah Anda?'. Analisis chi-kuadrat digunakan untuk menganalisis hubungan
antara status paparan SHS anak-anak dan prevalensi merokok orang tua.
Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis hubungan antara usia
anak dan status pemaparan SHS. CTA digunakan untuk mengidentifikasi
dampak paparan SHS pada anak-anak yang lebih cenderung terkena SHS. CTA
adalah alat analitik yang berguna yang bisa mengenali sub kelompok anak kecil
yang spesifik. Anggota masing-masing sub kelompok memiliki fitur serupa untuk
menunjukkan faktor risiko spesifik dari paparan SHS. Model CTA dibangun
dengan Chisquared Methode, penularan Interaksi Otomatis dimulai pada proporsi
anak-anak yang terpapar dengan SHS dan tidak terpapar ke SHS (root node,
node 0). Node root dibagi ke node anak dan simpul induk. Simpul orangtua
adalah dibagi lagi dan membuat simpul anak atau simpul induk tingkat berikutnya
hingga tidak ada simpul orang tua yang bisa dibuat. Aturan terminatif mencakup
52
kedalaman pohon maksimum tiga tingkat, dengan nomor kasus minimum dari
simpul induk dan simpul anak masing-masing 100 dan 50. Proses pemisahan ini
membentuk pohon klasifikasi terakhir. Tingkat signifikan penggabungan dan
pemisahan adalah 0,05. SPSS Versi 21.0 digunakan untuk semua analisis.
Prevalensi paparan SHS pada anak-anak di rumah adalah
41,3%. Tingkat prevalensi paternal dan ibu merokok masing-masing adalah
43,7% dan 3,8%,. Dibandingkan dengan data yang dilaporkan oleh Biro
Kesehatan Macao SAR pada 2011, prevalensi merokok orang tua dan prevalensi
paparan SHS anak-anak di rumah belum menurun sejak larangan
merokok. Analisis faktor-faktor yang meningkatkan prevalensi paparan SHS
anak-anak menunjukkan bahwa ayah dengan tingkat pendidikan di bawah
sekolah menengah lebih mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ini,
dibandingkan dengan ayah dengan pendidikan sekolah menengah atau lebih
(48,2% vs 32,4%, masing-masing) . Selain itu, ayah mewakili mayoritas perokok
di rumah, terhitung 92,0% dari 415 orang tua yang merokok. Prevalensi perokok
ayah (82.P = 0,000). Paparan SHS anak-anak meningkat secara konsisten
dengan penurunan tingkat pendidikan paternal. Hal ini konsisten dengan
meningkatnya prevalensi perokok ayah sebagai tingkat pendidikan paternal
menurun. Paparan SHS adalah yang paling umum di antara anak-anak yang
ayahnya memiliki tingkat pendidikan di bawah SMA dan yang ibunya berusia
≤29 tahun (75,0%). Studi ini tidak menemukan penurunan dalam prevalensi
merokok orang tua setelah larangan merokok. Orang tua ini lebih cenderung
merokok di rumah setelah pelarangan, yang menyebabkan lebih seringnya
paparan SHS untuk anak-anak mereka.
53
2.1.17 Sarah E. Seidel, Kristi Metzger, Andrea Guerra, Jessie Patton-Levine, Sandeepkumar Singh, William T. Wilson, Philip Huang (2017): Effects of a Tobacco-Free Work Site Policy on Employee Tobacco Attitudes and Behaviors, Travis County, Texas, 2010–2012
Penerapan kebijakan bebas tembakau dalam pengaturan perilaku
kesehatan merupakan langkah penting dalam mengurangi penggunaan
tembakau oleh Staf serta tingginya tingkat penggunaan tembakau di antara
orang-orang dengan penyakit mental dan gangguan perilaku. Studi telah
menunjukkan pentingnya dukungan staf ketika menerapkan kebijakan tempat
kerja bebas tembakau, tetapi ada penelitian terbatas yang memeriksa prevalensi
penggunaan tembakau di antara staf dan sikap staf sebelum dan setelah adopsi
kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai sikap staf dan penggunaan
tembakau terhadap kebijakan bebas tembakau, mengkomunikasikan kebijakan
kepada staf, memberikan pendidikan dan pelatihan staf, dan menyediakan
sumber daya penghentian konsumsi tembakau.
Penelitian ini menggunakan metode Perawatan Integral dan Kesehatan
Publik Austin dengan melakukan survei karyawan berbasis web selama 6 bulan
sebelum dan 6 hingga 12 bulan setelah penerapan kebijakan untuk mengukur
prevalensi penggunaan tembakau dan sikap di antara karyawan.
Hasil penelitian diketahui bahwa Karyawan mengalami peningkatan
signifikan dalam prevalensi penggunaan tembakau dan sikap terhadap kebijakan
bebas tembakau dari pra-pelaksanaan hingga pasca-implementasi. Prevalensi
penggunaan tembakau di kalangan staf menurun dari 27,6% menjadi 13,8%, dan
dukungan untuk kebijakan meningkat dari 60,6% menjadi 80,3% pada 12 bulan
setelah pelaksanaan. Adopsi kebijakan bebas tembakau 100% dalam
pengaturan perilaku kesehatan dapat menghasilkan pengurangan signifikan
dalam penggunaan tembakau bagi para staf. Kepemimpinan harus menyediakan
54
dukungan pendidikan, pelatihan, dan penghentian merokok bagi para staf
sebelum adopsi kebijakan tempat kerja bebas tembakau untuk memastikan
keberhasilan kebijakan bebas tembakau di tempat kerja.
2.2 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu
Adapun matrik kesebelas penelitian tersebut disajikan dalam tabel berikut
ini:
Tabel 2.1 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
1 Per Nilsen, Christian Ståhl, Kerstin Roback and Paul Cairney (2013): Never the twain shall meet? - a comparison of implementation science and policy implementation research
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteris tik kebijakan riset implemen tasi, analisis persamaan utama dan perbedaan antara bidang ini dan sains penerapan, dan mendiskusikan bagaimana pengeta huan yang dikumpul kan dalam penelitian implementasi kebijakan dapat menginfor
Penelitian ini mengguna kan metode deskripsi riset implemen tasi kebijakan, beberapa aspek dari kedua bidang tersebut dijelaskan dan disbanding kan: tujuan dan asal riset; karak teristik penelitian; pengemba ngan dan pengguna an teori; determinan perubahan (variabel indepen den); dan dampak
Riset implementasi kebijakan telah ditangani kedua output (perubahan di antara pelaksana) dan hasil (perubahan di antara mereka yang ditargetkan dengan kebijakan). Sebaliknya, ilmu implementasi telah terfokus sangat banyak pada output daripada hasil, yaitu pada praktisi kesehatan daripada pasien.
Peneliti implementasi kebijakan harus ditingkat yang lebih besar menekankan interdependensi yang melekat di antara keduanya berbagai faktor serta sangat penting konteksnya, yang membuatnya sulit untuk menyamaratakan temuan tentang kepentingan relatif penentu individu
55
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
masikan ilmu implemen tasi
implementasi (variabel dependen)
2 James F. Thrasher, Erika Nayeli Abad-Vivero, Ernesto M. Sebrie, Tonatiuh Barrientos-Gutierrez, Marcelo Boado, Hua Hie Yong, Edna Arillo-Santillan and Eduardo Bianco, (2013) Tobacco smoke exposure in public places and workplaces after smoke-free policy implementation: a longitudinal analysis of smoker cohorts in Mexico and Uruguay
Penelitian ini bertujuan untuk menentu kan prevalensi, berkorelasi dan perubahan paparan asap rokok bekas (SHS) selama periode setelah implementasi kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif di dua Negara Amerika Latin yaitu Meksiko dan Uruguay
Penelitian ini mengguna kan metode data dianalisis dari sampel perwakilan berbasis populasi perokok dewasa dan pendatang baru-baru ini dari gelombang 2008 dan 2010 dari Survei Evaluasi Kebijakan Pengendalian Tembakau Internasio nal di Meksiko (masing-masing n = 1766 dan 1840,) dan Uruguay (masing-masing n = 1379 dan 1411,). Prevalensi paparan SHS diperkira kan untuk tempat yang diatur, dan
Hasil penelitian ini diketahui bahwa eksposur SHS di tempat kerja pada bulan lalu serupa di dalam dan di seluruh Negara (rentang: Meksiko 20-25%; Uruguay 14–29%). Pada kunjungan restoran terbaru, paparan SHS lebih rendah di mana kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif diterapkan (kisaran: Uruguay 6-9%; Kota Meksiko 5-7%) dibandingkan dengan kota-kota Meksiko dengan kebijakan yang lebih lemah, di mana paparan tetap lebih tinggi tetapi menurun selama waktu (32-17%). Pada kunjungan bar terbaru, paparan SHS adalah umum (kisaran: Uruguay 8–36%; Mexico City 23–31%), meskipun tertinggi di yurisdiksi dengan kebijakan yang lebih lemah (berkisar di kota-kota Meksiko lainnya: 74-86%). Di Uruguay, laki-laki lebih mungkin dibandingkan
Penelitian terdahulu bertujuan untuk menentukan prevalensi, berkorelasi dan perubahan paparan asap rokok bekas (SHS) setelah implementasi kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif. Dalam hal ini kebijakan bebas asap rokok secara komprehensif lebih efektif daripada kebijakan yang lebih lemah, meskipun kepatuhan di Meksiko dan Uruguay tidak setinggi yang diinginkan. Penelitian ini dapat digunakan refensi dalam mengimplementasikan kebijakan kawasan tanpa rokok di instansi Pemerintahan secara komprehensif
56
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
persamaan estimasi umum digunakan untuk menentu kan korelasi paparan SHS
perempuan yang terpapar dengan SHS di berbagai tempat, karena lebih muda dibandingkan dengan perokok yang lebih tua di Meksiko.
3 Pieroni, Luca. (2013) The role of anti-smoking legislation on cigarette and alcohol consump tion habits in Italy
Untuk mengukur efek pada partisipasi merokok dan intensitas serta efek tidak langsung pada konsumsi alkohol di Itali
Dataset yang digunakan dalam makalah ini adalah survei ELA, yang dilakukan di Italia oleh Italian Institute of Statistics (ISTAT).
Pengenalan Undang-undang Bebas Asap Rokok di Italia secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok. Selain itu, mendokumentasi kan efek tidak langsung signifikan terhadap konsumsi alkohol untuk kategori utama minuman beralkohol. Sebuah analisis ketahanan juga dilakukan, untuk menguji sejauh mana variabel teramati mungkin bias. Hasil nya kemudian digunakan untuk melakukan analisis efektivitas biaya dari Undang-undang Anti-Merokok di Italia.
Penelitian terdahulu bertujuan untuk mengukur efek pada partisipasi merokok dan intensitas serta efek tidak langsung pada konsumsi alkohol di Itali Penelitian ini mendeskripsi kan dan menganalisis kepatuhan pegawai dalam mematuhi kebijakan kawasan tanpa rokok di instansi Pemerintahan Kota Palembang
4 Thomson, George. (2013) Informing outdoor smokefree policy: Methods for measuring the proportion of
Untuk mengem bangkan, metode murah sederhana untuk mengukur proporsi orang merokok di
Dua metode yang dikembang kan dan digunakan oleh pengamat tunggal selama Maret 2011-
Untuk kedua Negara gabungan, proporsi orang yang merokok (di antara mereka lebih dari 12 tahun) di area bermain anak-anak secara signifikan lebih rendah dibandingkan
Penelitian terdahulu bertujuan untuk mengembang kan, metode murah sederhana untuk mengukur proporsi orang merokok di berbagai tempat
57
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
people smoking in outdoor public areas
berbagai tempat umum
Februari 2012 untuk mengukur proporsi orang merokok di berbagai situs
dengan semua situs lain gabungan (rasio risiko = 0,39; 95% CI: 0,20-0,76; p = 0,002). Pengamat dapat menetapkan proporsi orang merokok di berbagai situs luar. Metode tersebut dapat menginformasikan kebijakan bebas asap luar daerah dengan memberikan data dasar dan pasca-kebijakan untuk memungkinkan penargetan lokasi dan evaluasi kebijakan
umum di 58 situs Inggris, New Zealand dan 33 situs di Selandia Baru Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan yang ideal
5 Charupash, Rujee (2014) The Effective ness of Law Enforce ment: The Notfication of Minister of Public Health (No.18) B.E.2550 (A.D.2007): Pursuant to The Protection of Non-Smokers Health Act B.E.2535 (1992): A Case Study of Market at Khon Kaen Municipality.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur informasi yang diterima, pasar sebagai daerah bebas asap, dari Pemberita huan Departe men Kesehatan Masyarakatsesuai dengan Undang-Undang Perlindu ngan Kesehatan Non-
Penelitian ini adalah survei cross sectional total sampel adalah 764 orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,1% dari pasar vendor dan 45,6% dari pembeli menerima informasi bahwa pasar adalah area bebas asap rokok. Saluran media besar bahwa sampel menerima informasi dari poster (37,7%). Meskipun ukuran denda tidak dapat dilaksanakan, 51,6% perokok tidak merokok di pasar. Meskipun beberapa perokok menerima informasi, mereka mengabaikan Pemberitahuan,
Penelitia terdahulu memiliki fokus pada Penegakan Hukum UU Kesehatan dan Perlindungan Non Perokok di Pasar Kota Khon Kaen Fokus penelitian ini pada kepatuhan pegawai serta penegakan hukum kebijakan kawasan tanpa rokokkhususnya di Instasi Pemerinta han Kota Palembang
58
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
Perokok (1992), dan efektivitas saluran media
khususnya pasar vendor itu. Rekomendasi penelitian ini untuk membuat pasar daerah bebas merokok adalah peningkatan promosi, meningkatkan tindakan sosial, dan menyisihkan area merokok khusus untuk perokok
6 Hulton Louise, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014) Using evidence to drive action: A “revolution in accountability” to implement quality care for better maternal and newborn health in Africa
Untuk menguji pengaruh pada pengembangan kebijakan daerah bebas asap kontempo rer di Selandia Baru
Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan 62 orang politisi dan pejabat senior Selandia Baru. Mere ka ditanya tentang pandangan mereka tentang intervensi yang mungkin untuk mengurangi merokok di sekitar anak-anak, dan bagaimana untuk mencapai kemajuan pada rumah bebas asap, mobil dan tempat-tempat umum. Da
Kebijakan untuk area bebas asap terlihat oleh Peserta sebagai kegiatan kompleks yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah faktor termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan keinginan dukungan publik untuk kebijakan. Mayori tas Peserta berhati-hati tentang membuat langkah kebijakan substantif pada tempat-tempat bebas merokok karena persepsi mereka tentang isu yang sangat kontroversial, keinginan mereka untuk menghindari resistensi publik dan keinginan mereka untuk keterlibatan
Penelitian terdahulu bertujuan untuk menguji pengaruh pada pengembangan kebijakan daerah bebas asap kontempo rer di Selandia Baru Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses Implemetasi kebijakan kawasan tanpa rokokyang khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
59
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
ta ditranskrip sikan dianalisis untuk tema, beberapa di antaranya ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan, dan beberapa muncul dari sifat dinamis dari wawancara.
masyarakat. Preferensi ditunjukkan untuk pendekatan kebijakan berdasarkan persuasi daripada Undang-undang, sebagai sarana untuk membuat kemajuan pada mobil bebas asap dan ruang luar. Hasil menunjukkan perlunya komunikasi yang baik dari penerimaan dan manfaat dari perubahan legislatif bebas merokok untuk kedua arena politik dan publik.
7 Nazar, Gaurang P, John Tayu Lee, Stanton A. Glantz, Monika Arora,
Neil Pearce,
Christopher Millett. (2014) Association between being employed in a smoke-free workplace and living in a smoke-free home: Evidence from 15 low and middle income countries
Untuk menilai apakah Pekerja yang bekerja di tempat kerja di area bebas asap rokok terkait dengan Pekerja yang tinggal di rumah bebas asap rokok.
Survey cross-sectional (2008-2011) dari 15 LMICs dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda. Va ria bel terikat adalah tinggal di rumah bebas asap rokok; Va ria bel independen yang bekerja di tempat kerja yang bebas asap rokok. Analisis disesuai
Di setiap negara, persentase peserta yang bekerja di tempat kerja yang bebas asap rokok yang dilaporkan tinggal di rumah bebas asap rokok lebih tinggi dari mereka yang bekerja di tempat kerja yang tidak bebas asap. Odds ratio yang disesuaikan (AORs) hidup di rumah bebas asap rokok antara peserta bekerja di tempat kerja yang bebas asap rokok (vs mereka yang bekerja di mana merokok terjadi) secara statistik signifikan di 13 dari 15 negara, mulai dari 1,12 [95% CI
Penelitian terdahulu bertujuan menilai apakah Pekerja yang bekerja di tempat kerja di area bebas asap rokok terkait dengan Pekerja yang tinggal di rumah bebas asap rokok. pada 15 negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs) Penelitian ini dilakukan, untuk mendeskripsikan dan menganalisis kepatuhan pegawai dalam Implemetasi kebijakan kawasan tanpa
60
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
kan dengan usia, jenis kelamin, tempat tinggal, daerah, pendidikan, pekerjaan, merokok saat ini, saat ini pengguna an tembakau tanpa asap dan jumlah anggota rumah tangga. Ha sil masing-masing Negara yang dikombina sikan dengan efek acak meta-analisis.
0,79-1,58] di Uruguay menjadi 2,29 [1,37-3,83]di Cina. Yang dikumpulkan AOR adalah 1,61 [1,46-1,79]. Dalam LMICs, kerja di tempat kerja yang bebas asap rokok terkait dengan tinggal di rumah bebas asap rokok. Percepatan pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif kemungkinan akan menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial dalam pengaturan ini
rokok yang khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
8 H. Strehlenert, L. Richter-Sundberg, M. E. Nyström, and H. Hasson (2015): Evidence-Informed Policy Formulation and Implementation: a Comparative Case Study of Two National Policies for Improving
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan membandi ngkan dua kebijakan yang bertujuan untuk meningkat kan perawatan kesehatan dan sosial di Swedia dan menguji secara
Penelitian ini mengguna kan pendekatan studi kasus longitudinal dan komparatif. Data dikumpul kan melalui wawancara, observasi, dan dokumen. Model konseptual untuk perumusan kebijakan
Kebijakan berbeda mengenai penggunaan bukti dalam perumusan kebijakan dan sejauh mana formulasi kebijakan dan fase implementasi tumpang tindih. Kesamaan antar kasus adalah penekanan pada penilaian kapasitas, kegiatan yang dimodifikasi berdasarkan penilaian, dan pendekatan implementasi yang sangat aktif yang
Peran dan fungsi aktor kebijakan ditemukan memiliki pengaruh besar pada pilihan strategi dan kolaborator di semua fase kebijakan. Model Konseptual untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi Bukti-Informasi ditemukan bermanfaat. Namun, itu memberikan panduan yang
61
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
Health and Social Care in Sweden
empiris model konseptual baru untuk perumusan kebijakan dan implementasi bukti-informasi.
dan implementasi kebijakan terbukti dikembang kan berdasarkan kerangka kerja sebelumnya untuk pembuatan kebijakan dan penyebaran informasi. Model konseptual digunakan untuk mengatur dan menganali sis data
mengandalkan jaringan para pemangku kepentingan. Model Konseptual untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi Bukti-Informasi secara empiris berguna untuk mengatur data.
tidak memadai untuk menganalisis aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, strategi pembangunan kapasitas dan fase kebijakan yang tumpeng tindih. Versi revisi dari model yang mencakup aspek-aspek ini disarankan
9 Per Nilsen (2015): Making Sense of Implementation Theories, Models and Frameworks
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengusul kan taksonomi yang membeda kan antara berbagai kategori teori, model dan kerangka kerja dalam ilmu implementasi, untuk memfasilitasi pemilihan yang tepat dan penerapan pendekatan yang
Pendekatan teoritis yang digunakan dalam ilmu implementasi memiliki tiga tujuan menyeluruh: menggam barkan dan/ atau membim bing proses menerjemahkan penelitian ke dalam praktek (model proses); memahami dan/ atau menjelas kan apa yang mempenga
Penelitian ini mengusulkan lima kategori pendekatan teoritis untuk mencapai tiga tujuan menyeluruh. Kategori ini tidak selalu diakui sebagai jenis pendekatan yang terpisah dalam literatur. Meskipun ada tumpang tindih di antara keduanya. Beberapa teori, model dan kerangka kerja, kesadaran akan perbedaan penting untuk memfasilitasi pemilihan pendekatan yang relevan. Kerangka kerja yang paling determinan
Model proses implementasi mengenali urutan temporal dari upaya implementasi, sedangkan kerangka kerja determinan tidak secara eksplisit mengambil perspektif proses implementasi.
62
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
relevan dalam penelitian dan praktik implementasi dan untuk mendorong dialog lintas-disiplin di kalangan peneliti implement tasi
ruhi hasil implementasi (kerangka determinan, teori klasik, teori implementasi); dan mengevaluasi implementasi (kerangka kerja evaluasi).
memberikan dukungan yang terbatas "bagaimana" untuk melaksanakan implementasi, karena determinan biasanya terlalu umum untuk memberikan detail yang cukup untuk memandu proses implementasi. Sementara relevansi mengatasi hambatan dan kemungkinan untuk menerjemahkan penelitian ke dalam praktik disebutkan dalam banyak model proses, model ini tidak mengidentifikasi atau secara sistematis menyusun determinan spesifik yang terkait dengan keberhasilan implementasi.
10 Afifa Aisha Rahmat (2015): Policy Implementation: Process and Problems
Penelitian ini mencoba untuk memahami proses implementasi dan menyoroti kontribusi berbagai lembaga yang terlibat di dalamnya tahap implementasi. Terlepas
Donald Van Meter dan Carl Van Horn mengamati: "Implemen tasi Kebijakan meliputi tindakan-tindakan oleh individu atau individu publik (dan kelompok) yang diarahkan
Implementasi kebijakan sangat penting. Sekalipun sistem politik itu adil, sekalipun tujuannya mulia dan jika struktur organisasinya sangat kuat; tidak ada kebijakan yang dapat berhasil jika bagian implementasi tidak sesuai dengan sasaran. Koordinasi yang buruk dan mata rantai yang hilang di antara
Berbagai masalah dan kekurangan dalam proses implementasi kebijakan. Yang pertama adalah struktur terlalu banyak fragmentasi, terlalu banyak beban kerja implementasi pada pembuat kebijakan, struktur yang buruk dan proses untuk
63
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
dari ini juga berfokus pada berbagai masalah seperti komunikasi, koordinasi, desain kelembagaan, partisipasi publik dan korupsi dan lain-lain yang menghambat pelaksana an dan juga menyaran kan langkah-langkah untuk mengatasi rintangan ini.
pada pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelum nya". Tugas implementasi adalah untuk membentuk jembatan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik untuk dicapai sebagai hasil dari kegiatan Pemerintah. Implementasi melibatkan "penciptaan sistem pengiriman kebijakan di mana mekanisme khusus dirancang dan dikejar dengan harapan mencapai tujuan tertentu".
lembaga-lembaga administratif kadang menghalangi jalannya implementasi tindakan kebijakan. Implementasi kebijakan di tingkat tertinggi tidak dicirikan oleh koordinasi dan kerja sama yang efektif. Dapat dibayangkan ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Faktor-faktor penting adalah; struktur organisasi untuk implementasi, ada lokasi dalam sistem pemerintahan, sifat berbagai kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka, berbagai kontrol yang diberikan kepada pelaksana untuk merencanakan koordinasi dan mengelola sumber daya program kritis, dalam kualifikasi teknis pelaksana utama, dan sifat dari program yang dilakukan.
melibatkan ahli dari luar dan pemegang saham. Jenis masalah kedua dikaitkan dengan kompetensi orang-orang yang memiliki struktur profesionalisme yang tidak memadai dari staf pembuat kebijakan, dan kompetensi yang tidak mencukupi dari spesialis serta bidang staf. Kegagalan menyebabkan pemborosan keuangan, frustrasi politik dan gangguan bagi warga biasa, seperti yang ditunjukkan dalam serangkaian kegagalan kebijakan. Pembuatan kebijakan publik di negara-negara demokratis adalah proses yang kompleks yang memiliki sejumlah tidak hanya lembaga dan aktor pemerintah tetapi juga lembaga non-pemerintah dan aktor memainkan peran penting, sampai kebijakan yang dirumuskan
64
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
dilaksanakan dengan cara yang adil, tidak memihak dan efektif, seberapa baik maksud kebijakan itu mungkin hasilnya tidak akan pernah tercapai.
11 Amanda Fallin, Amie Goodin, Mary Kay Rayens, Sarah Morris, Ellen J. Hahn, RN, FAAN (2015) Smoke-Free Policy Implementa tion: Theoretical and Practical Considera tions
Penelitian ini bertujuan menyajikan pertimbangan teoritis dan praktis dalam implementasi kebijakan bebas asap rokok di tiga komunitas Kentucky yang dipandu oleh the Institutional Analysis and Develop ment (IAD) Framework. (Kerangka Kerja Analisis dan Pengembangan Kelembagaan/IAD).
Penelitian ini mengguna kan studi kasus eksplorasi mengguna kan metode campuran untuk menilai konstruksi IAD terpilih pada dua level (kolektif pilihan dan operasional) dan kesehatan penduduk, terkait dengan efektivitas implementasi kebijakan bebas asap rokok. Tiga komunitas di Kentucky secara sengaja dipilih, karena mereka berbeda dalam kekuatan dan durasi
Hasil kerangka kerja IAD sebagai model yang digunakan untuk memandu studi adopsi kebijakan dan efektivitas implementasi. Danville memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan Lexington-Fayette County, keduanya menerapkan kebijakan bebas asap rokok di tempat kerja yang komprehensif. Meski Lexington memiliki hukum yang komprehensif, namun indikator pelaksanaannya lebih mirip dengan Kenton, dengan hukum parsial, dan selanjutnya, hasil populasi di dua komunitas ini lebih negatif dibandingkan Danville yang menerapkan hokum yang lebih kuat dan indikator implementasi positif. Hal ini penting bagi
Meskipun kedua Danville dan Lexington-Fayette County, Kentucky memiliki kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif, Danville memiliki lebih banyak implementasi yang efektif, serta hasil yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami unsur-unsur kritis implementasi kebijakan bebas asap rokok dan hubungannya dengan hasil populasi.
65
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
kebijakan bebas asap rokok.
perawat kesehatan masyarakat untuk tetap aktif terlibat dalam proses kebijakan di luar periode adopsi kebijakan, untuk memastikan implementasi yang memadai.
12 Xiaohua Ye, Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya Xu, Shudong Zhou, Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, (2015) Smoking behaviors before and after implementation of a smoke-free legislation in Guangzhou, China
Penelitian ini bertujuan untuk membandi ngkan perilaku merokok sebelum dan sesudah penerapan Undang-undang bebas asap rokok
Penelitian ini melakukan sebuah survei cross-sectional berulang dilakukan pada perilaku yang berhubu ngan dengan merokok setelah Undang-undang itu dilembagakan. Untuk setiap gelombang survei, proses sampling berstrata tiga tahap digunakan untuk mendapat kan sampel yang represen tatif. Uji Chi-square Pearson digunakan untuk menentukan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat merokok harian secara keseluruhan menurun secara signifikan dari 20,8% menjadi 18,2% (p <0,05), terutama di antara mereka yang berusia 15–24 tahun. Rasio berhenti meningkat secara signifikan (dari 14,5% menjadi 17,9%), tetapi tetap rendah di antara usia 15–44 tahun. Perilaku merokok yang dilaporkan secara keseluruhan di lokasi dengan larangan merokok penuh menurun secara signifikan dari 36,4% menjadi 24,3% dengan penurunan lebih besar yang terjadi di tempat-tempat budaya, kendaraan angkutan umum, dan Kantor-kantor Pemerintah. Merokok di tempat-tempat dengan larangan merokok sebagian tetap
Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk undang-undang bebas asap rokok komprehensif yang mencakup semuanya tempat umum di Guangzhou, intervensi pendidikan dan kampanye secara bersamaan mempromosikan perubahan perilaku untuk tidak merokok di rumah perlu dilakukan
66
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
perbedaan prevalensi merokok dan rasio berhenti antara dua sampel. Model regresi logistik digunakan untuk memeriksa asosiasi Undang-undang bebas asap rokok dengan perilaku merokok.
tinggi (89,6% vs 90,4%), meskipun ada sedikit penurunan diamati di beberapa daerah ini. Pelaksanaan undang-undang bebas asap rokok tidak mengarah pada peningkatan merokok di rumah (91,0% vs 89,4%), tetapi merokok di rumah tetap tinggi.
13 Joaquín Barnoya, Jose C. Monzon, Paulina Briz, and Ana Navas-Acien (2016): Compliance to the smoke-free law in Guatemala 5-years after implementa tion
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepatuhan hukum terhadap kawasan bebas asap rokok. Selain itu, penelitian ini juga memperkirakan denda yang bisa dikumpul kan untuk setiap pelangga ran hukum.
Penelitian ini menilai paparan SHS menggunakan monitor nikotin udara di bar (n = 9) dan restoran (n = 12) selama 7 hari menggunakan protokol yang sama seperti pada tahun 2006 dan tahun 2009. Nikotin diukur mengguna kan kromatografi gas (µg / m3) dan dibanding kan dengan
Berdasarkan hasil peneliian, diketahui bahwa sebagian besar (71%) kawasan melanggar hukum karena masih menyediakan tempat merokok. Persentase sampel dengan terdeteksi konsentrasi nikotin pada tahun 2006, 2009 dan 2014 masing-masing adalah 100, 85 dan 43%. Dukungan hukum terus meningkat (88%) di antara karyawan bar dan restoran. Sebagian besar karyawan melaporkan tidak dampak ekonomi dari penerapan aturan larangan merokok dan bahwa proporsi
Fakta bahwa pemilik/manajer dan karyawan mengaku tidak akrab dengan hukum bebas asap rokok layak mendapat perhatian oleh pendukung dan pendukung pengawasan tembakau, otoritas pemerintah yang harus terlibat dalam pendidikan kampanye dan penegakan hukum yang ketat. Penelitian tambahan itu mengevaluasi faktor-faktor penentu ketidakpatuhan diperlukan dan juga dapat
67
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
level pra- (2006) dan post-ban (2009). Karyawan menanggapi survei tentang paparan SHS, dilihat dari dampak ekonomi yang dirasakan dari larangan dan penggunaan rokok elektronik pelanggan.
pelanggan yang tinggi (78%) menggunakan e-rokok. Sebanyak US $ 50.012 bisa dikumpulkan dalam denda. Meskipun dukungan untuk Undang-undang bebas asap terus berlanjut menjadi tinggi, Kepatuhan jangka panjang terhadap larangan merokok di Guatemala menurun, terutama di bar. Pembuat kebijakan dan pendukung pengawasan tembakau perlu untuk merevisi undang-undang untuk memasukkan e-cigs sebagaimana adanya sekarang digunakan untuk menghindari hukum.
berkontribusi untuk meningkatkan penegakan hukum dan penerapan hukum bebas rokok di Guatemala.
14 Levy, David T., Tam, Jamie, Kuo, Charlene, Fong, Geoffrey T., Chaloupka, Frank (2017): The Impact of Implementing Tobacco Control Policies: The 2017 Tobacco Control Policy Scorecard
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kebijakan pengendalian tembakau melalui standar scorecard tentang permintaan pengurangan kebijakan tembakau untuk
Penelitian ini membatasi tinjauan terhadap analisis intervensi secara tradisional yang digunakan untuk mengurangi permintaan rokok, termasuk pajak rokok, (SFAL), pembatasan
Berdasarkan temuan ini, diketahui taksiran perkiraan ukuran efek kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. pajak rokok, undang-undang udara bebas rokok, pembatasan pemasaran, dan program pengendalian tembakau yang komprehensif masing-masing ditemukan memainkan peran
Untuk memperbaharui Scorecard 2004, ulasan narasi dilakukan pada ulasan dan penelitian yang diterbitkan setelah tahun 2000, dengan fokus tambahan pada 3 kebijakan di mana bukti sebelumnya terbatas: program pengendalian tembakau,
68
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
negara-negara berpengha silan tinggi, termasuk pajak rokok, Undang-undang bebas asap rokok, kampanye media, program pengendalian tembakau yang komprehensif, larangan pemasaran, peringatan kesehatan, dan kebijakan pengobatan
pemasaran, program pengendalian tembakau komprehen sif, kampanye media, peringatan kesehatan grafis, dan kebijakan pengobatan penghentianKebijakan-kebijakan ini telah menerima paling banyak perhatian dalam literatur kontrol tembakau dan secara eksplisit diakui di Organisasi Kesehatan Dunia
penting dalam mengurangi prevalensi merokok. Kebijakan pengobatan penghentian dan peringatan, kesehatan grafis juga mengurangi kebiasaan merokok dan ketika digabungkan dengan kebijakan dapat meningkatkan keberhasilan upaya berhenti merokok. Ukuran efek secara umum konsisten dengan yang dilaporkan sebelumnya untuk Scorecard 2004 tetapi sekarang mencerminkan basis bukti yang lebih besar yang mengevaluasi dampak peringatan kesehatan dan pembatasan periklanan
peringatan kesehatan grafis, dan larangan pemasaran, dengan mempertimbangkan studi evaluasi yang mengukur efek kebijakan pada perilaku merokok.
15 Kimberley Martin, Joanne Dono, Greg Sharplin, Jacqueline Bowden, Caroline Miller (2017) Staff and patient perspectives of a smoke-free health services policy in South Australia:
Untuk mengetahui perspektif Staf dan Pasien tentang kebijakan layanan kesehatan tanpa asap rokok di Australia Selatan dan implementasinya di seluruh Negara
Analisis Data survei didasarkan pada usia dan jenis kelamin untuk mencermin kan struktur populasi rawat inap rumah sakit umum di SA. Analisis data dilakukan mengguna kan SPSS
Prosedur antara November 2010 dan Mei 2011, sampel acak pasien rawat inap saat ini (N = 2307) dari Rumah Sakit Umum SA Health yang diambil dari dataset metropolitan dan regional yang ada (yaitu Open Architect Clinical Information System (OACIS) dan Country Data Mart) dan diundang untuk
Penelitian terdahulu bertujuan untuk mengetahui perspektif staf dan persepsi pasien serta pengalaman dari kebijakan bebas asap rokok yang diamanatkan dan diterapkan di semua fasilitas kesehatan Pemerintah Australia Selatan, termasuk tempat
69
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
A state-wide implementa tion
Bagian
Versi 17.0 Hasil deskriptif disediakan secara keseluruhan dan oleh kelompok demografi jika berlaku. Uji chi-square digunakan untuk membandi ngkan perbedaan antara kelompok dengan nilai p kurang dari 0,05 ditentukan menjadi signifikan secara statistik.
berpartisipasi dalam Survei Pengala man Pasien Rumah Sakit Publik Australia Selatan. Dua per tiga staf melaporkan telah menyaksikan beberapa ketidakpatuhan kebijakan, dan paparan yang dilaporkan sendiri terhadap perokok pasif sebanding pra-pelaksanaan hingga 15 bulan setelah pelaksanaan. Berdasarkan kebijakan tersebut, 56,3% pasien merokok abstain sepenuhnya saat dirawat di rumah sakit dan 37,6% mengurangi jumlah yang mereka hisap. Selanjutnya, 34,7% melaporkan telah ditawarkan dukungan berhenti selama rawat inap. Sementara kebijakan bebas asap rokok dipandang positif dan bermanfaat bagi staf dan pasien, laporan mengindikasikan beberapa ketidakpatuhan adalah lazim. Meskipun tingkat ketidakpatuhan tidak diketahui, dan ukuran yang digunakan adalah
kesehatan mental. Dalam penelitian ini, tempat pelayanan kesehatan juga merupakan salah satu kawasan tanpa rokok meski bukan termasuk locus penelitian. Namun demikian penelitian ini juga melihat perspektif pegawai maupun perokok dalam Implemetasi kebijakan kawasan tanpa rokok yang khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
70
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
sensitif, strategi pelengkap mungkin diperlukan untuk mengurangi paparan terhadap perokok pasif, khususnya di pintu masuk.
16 Z. L. Zheng, H. Y. Deng, C. P. Wu, W. L. Lam, W. S. Kuok, W. J. Liang, H. L. Wang (2017) Secondhand smoke exposure of children at home and prevalence of parental smoking following implementa tion of the new tobacco control law in Macao
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki paparan asap rokok (SHS) anak-anak dirumah dan prevalensi merokok orang tua setelah penerapan UU Pengendalian Tembakau yang baru di Macao
Data diperoleh dari penyebaran kuesioner mengenai informasi demografis dan informasi tentang paparan SHS anak-anak di rumah, serta kebiasaan merokok orang tua. Analisis chi-kuadrat digunakan untuk menganali sis hubungan antara status paparan SHS anak-anak dan prevalensi merokok orang tua. Analisis regresi logistik digunakan untuk menganali sis hubungan
Analisis faktor-faktor yang meningkatkan prevalensi paparan SHS anak-anak menunjukkan bahwa ayah dengan tingkat pendidikan di bawah sekolah menengah lebih mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ini, dibandingkan dengan ayah dengan pendidikan sekolah menengah atau lebih (48,2% vs 32,4%, masing-masing) . Selain itu, ayah mewakili mayoritas perokok di rumah, terhitung 92,0% dari 415 orang tua yang merokok. Prevalen si perokok ayah (82.P = 0,000). Paparan SHS anak-anak meningkat secara konsisten dengan penurunan tingkat pendidikan paternal. Hal ini konsisten dengan meningkatnya prevalensi perokok ayah sebagai tingkat pendidikan
Penelitian terdahulu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang paparan SHS anak-anak di rumah, serta kebiasaan merokok orang tua setelah penerapan UU Pengendalian Tembakau yang baru di Macao. Dalam hal ini, Orang tua ini lebih cenderung merokok di rumah setelah pelarangan, yang menyebabkan lebih seringnya paparan SHS untuk anak-anak mereka. Dalam penelitian ini memang belum membahas paparan asap rokok (SHS) yang diterima anggota keluarga, bila orang tua atau anggota keluarga lainnya merokok, sehingga dapat
71
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
antara usia anak dan status pemaparan SHS. CTA digunakan untuk mengidentifikasi dampak paparan SHS pada anak-anak yang lebih cenderung terkena SHS
paternal menurun. Paparan SHS adalah yang paling umum di antara anak-anak yang ayahnya memiliki tingkat pendidikan di bawah SMA dan yang ibunya berusia ≤29 tahun (75,0%). Studi ini tidak menemukan penurunan dalam prevalensi merokok orang tua setelah larangan merokok. Orang tua ini lebih cenderung merokok di rumah setelah pelarangan, yang menyebabkan lebih seringnya paparan SHS untuk anak-anak mereka
dijadikan referensi
17 Sarah E. Seidel, Kristi Metzger, Andrea Guerra, Jessie Patton-Levine, Sandeepkumar Singh, William T. Wilson, Philip Huang, (2017), Effects of a Tobacco-Free Work Site Policy on Employee Tobacco Attitudes and Behaviors, Travis County, Texas,
Penelitian ini bertujuan untuk menilai sikap staf dan pengguna an tembakau terhadap kebijakan bebas tembakau, mengkomunikasikan kebijakan kepada staf, memberi kan pendidikan dan pelatihan staf, dan
Penelitian ini mengguna kan metode Perawatan Integral dan Kesehatan Publik Austin dengan melakukan survei karyawan berbasis web selama 6 bulan sebelum dan 6 hingga 12 bulan setelah penerapan kebijakan untuk
Hasil penelitian diketahui bahwa Karyawan mengalami peningkatan signifikan dalam prevalensi penggunaan tembakau dan sikap terhadap kebijakan bebas tembakau dari pra-pelaksanaan hingga pasca-implementasi. Prevalensi penggunaan tembakau di kalangan staf menurun dari 27,6% menjadi 13,8%, dan dukungan untuk kebijakan meningkat dari 60,6% menjadi
Adopsi kebijakan bebas tembakau 100% dalam pengaturan perilaku kesehatan dapat menghasilkan pengurangan signifikan dalam penggunaan tembakau bagi para staf. Kepemimpinan harus menyediakan dukungan pendidikan, pelatihan, dan penghentian merokok bagi para staf sebelum adopsi kebijakan tempat kerja bebas tembakau untuk
72
No Nama &
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode/ Pendeka
tan
Kontribusi dan Hasil Penelitian
Perbedaan dengan
Penelitian ini
2010–2012
menyediakan sumber daya penghen tian konsumsi tembakau
mengukur prevalensi penggunaan tembakau dan sikap di antara karyawan
80,3% pada 12 bulan setelah pelaksanaan. Adopsi kebijakan bebas tembakau 100% dalam pengaturan perilaku kesehatan dapat menghasilkan pengurangan signifikan dalam penggunaan tembakau bagi para staf. Kepemimpinan harus menyediakan dukungan pendidikan, pelatihan, dan penghentian merokok bagi para staf sebelum adopsi kebijakan tempat kerja bebas tembakau untuk memastikan keberhasilan kebijakan bebas tembakau di tempat kerja
memastikan keberhasilan kebijakan bebas tembakau di tempat kerja
Sumber: Hasil Analisa
Hal-hal yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian terdahulu antara
lain: pertama, sebagian besar negara maupun kota telah menerapkan kebijakan
kawasan tanpa rokok ditempat umum antara lain di Rumah, Sekolah, Pusat
Perbelanjaan, Perkantoran dan lain-lain. Kedua, kebijakan kawasan tanpa rokok
dalam rangka menciptakan area bebas rokok untuk meningkatkan kesehatan dan
lingkungan yang sehat masih sering ditemukan pelanggaran. Ketiga,
pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok membutuhkan komitmen dari Tim
Pelaksana maupun Masyarakat untuk menegakkan sanksi bila terjadi
pelanggaran di kawasan tanpa rokok. Dalam hal ini aspek yang akan diteliti oleh
73
peneliti nanti berkaitan dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
yang akan dilihat dari sisi Pelaksana Kebijakan maupun Respon Masyarakat
terhadap implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, khususnya di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang.
2.3 Kebijakan Publik
2.3.1 Pengertian Kebijakan Publik
Berbagai konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli
sangat bervariatif bentuknya. Secara sederhana Dye (1995) menyatakan “public
policy is whatever government choose to do or not to do” yang jika diterjemahkan
Kebijakan Publik adalah apapun yang dipilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan
oleh Pemerintah. Batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat
perbedaan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah dengan apa yang
dilakukan oleh Pemerintah. Sedangkan Islamy (1997: 17) mengemukakan bahwa
Kebijakan adalah “a purpose course of action followed by an actor or set actors in
dealing with a problem or matter of concern”. Dalam hal ini kebijakan merupakan
arah tindakan sejumlah aktor dalam mengatasi masalah serta memusatkan
perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan bukan apa yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selanjutnya, Winarno (2002: 14) mengemukakan bahwa kebijakan
atau policy dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya
seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga Pemerintah) atau
sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
74
Definisi lain tentang kebijakan publik seperti dikemukakan Soenarko
(1998) sebagai berikut:
“Policy is a course of action intended to accomplish some end. A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decisions or actions, and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question”.
Hoogerwerf (1983: 3) melukiskan kebijaksanaan sebagai usaha mencapai
tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu.
Sedangkan Isworo (1996: 229) menyebutkan bahwa kebijakan merupakan hasil
dari suatu keputusan setelah melalui pemilihan alternatif yang tersedia dilakukan
oleh seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara
efektif. Disisi lain Budiardjo (1992: 12) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai
suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku dan atau oleh
kelompok politik dalam usaha memilih tujuan–tujuan dan cara–cara untuk
mencapai tujuan-tujuan ini.
Demikian juga Dunn (1994) menyatakan bahwa Kebijakan Publik
merupakan serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan, dibuat oleh
Badan atau Kantor Pemerintah, di formulasikan dalam bidang-bidang isu (issue
areas) yaitu arah tindakan aktual atau potensial dari Pemerintah yang
didalamnya terkandung konflik diantara kelompok Masyarakat. Konsep ini
melihat kebijakan publik sebagai serangkaian pilihan tindakan Pemerintah
(termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna menjawab tantangan yang
menyangkut kehidupan Masyarakat. Kebijakan publik ini selain berkaitan dengan
peranan institusi administratif, juga dengan Masyarakat sebagai pihak yang
menjadi sasaran kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, maka Isworo (1996: 229)
menjelaskan bahwa kebijakan publik akan menjawab pertanyaan tentang apa
yang harus dilakukan oleh administrator. Dalam hal ini menyangkut bukan hanya
75
substansi akan tetapi juga proses pelaksanaan dinamis serta akibat terhadap
Masyarakat
Santoso (1988: 5) menyatakan bahwa, kebijaksanaan publik terdiri dari
serangkaian keputusan yang dibuat oleh Pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu,dan petunjuk–petunjuk yang diperlukan terutama dalam bentuk
peraturan–peraturan atau dekrit-dekrit Pemerintah. Karena kebijakan publik
selalu dihubungkan dengan kegiatan publik tidak bisa dipisahkan dengan
birokrasi. Kebijakan publik berkaitan secara spesifik dengan tujuan yang telah
ditetapkan melalui proses politik yang dilakukan oleh seluruh atau sebagian
Masyarakat dalam yuridiksi Pemerintah tertentu. Sedangkan Kebijaksanaan
Pemerintah, menurut Hoogerwef (1983: 9) merupakan kebijaksanaan para aktor
dari golongan tertentu yaitu pejabat-pejabat Pemerintah dan instansi–instansi
Pemerintah.
Selanjutnya menurut Islamy (1997: 19) Kebijaksanaan Negara itu
ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang–perundangan atau dalam
bentuk pidato pejabat teras Pemerintah ataupun berupa program–program dan
tindakan–tindakan yang dilakukan Pemerintah. Abdul Wahab (1997: 31)
mendefinisikan kebijaksanaan Negara sebagai suatu tujuan tertentu, atau
serangkaian azas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
pada subjek atau respon terhadap suatu keadaan kritis. Dunn (1994: 1)
mendefinisikan analisis kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan
tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan). Ada beberapa tahap yang
harus dilakukan dalam Perumusan Kebijakan, yaitu penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi/legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan,
evaluasi kebijakan. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Analisis
76
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok merupakan suatu prosedur yang rasional
untuk menelaah secara kritis isu-isu kebijakan sehingga menghasilkan pemikiran
terbaik sebagai informasi bagi analis dalam merumuskan Kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok.
2.3.2 Urgensi Kebijakan Publik
Suharno (2010) mengungkapkan studi kebijakan publik mencakup
menggambarkan upaya kebijakan publik, penilaian mengenai dampak dari
kekuatankekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik,
analisis mengenai akibat berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses
politik terhadap kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat
dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan
publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan)
maupun dampak yang tidak diharapkan. Oleh karena itu ada beberapa alas an
mengapa kebijakan publik menjadi urgen untuk dipelajari, antara lain:
a) Alasan Ilmiah
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh
pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses
perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat.
Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat
(dependent variable) maupun sebagai variabel independen (independent
variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian
akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu
menentukan substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan
piblik. Kebijakan dipandang sebagai variabel independen jika fokus
77
perhatian tertuju pada dampak kebijakan tertuju pada sistem politik dan
lingkungan yang berpengaruh terhadapo kebijakan publik.
b) Alasan Professional
Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan
pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-
masalah sosial sehari-hari.
c) Alasan Politik
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah
dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat
pula.
2.3.3 Karakteristik Kebijakan Publik
Adapun ciri-ciri Kebijaksanaan Negara menurut Abdul Wahab (1997: 6)
yaitu:
a. Lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan dari pada sebagai
pelaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan
b. Kebijaksanaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan- tindakan yang saling
terkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat Pemerintah dan bukan merupakan keputusan-
keputusan yang berdiri sendiri.
c. Kebijaksanaan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
Pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
Sehingga dapat diketahui bahwa kebijakan publik terjadi karena tindakan-
tindakan Pemerintah yang dilakukan guna mengatasi masalah yang timbul dalam
Masyarakat, melalui keputusan-keputusan yang dilahirkan.
78
Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada
kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan.
Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:
a) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan
daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan.
Kebijakan-kebijakan publik dalam system politik modern merupakan suatu
tindakan yang direncanakan.
b) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling
berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang
berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup keputusan untuk membuat
undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula dengan
keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan
pemaksaan pemberlakuan.
c) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah dalam bidang tertentu.
d) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif,
kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak
bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah
dimana justru campur tangan pemerintah diperlukan
79
Suharno (2010: 25- 27) mengisyaratkan bahwa pemahaman yang lebih
baik terhadap hakikat kebijakan publik sebagai tindakan yang mengarah pada
tujuan, ketika kita dapat memerinci kebijakan tersebut kedalam beberapa
kategori, yaitu:
a) Tuntutan kebijakan (policy demands)
yaitu tuntutan atau desakan yang diajukan pada pejabat-pejabat
pemerintah yang dilakukan oleh actor-aktor lain, baik swasta maupun
kalangan pemerintah sendiri dalam sistem politik untuk melakukan tindakan
tertentu atau sebaliknya untuk tidak melakukan tindakan pada suatu
masalah tertentu. Tuntutan ini dapat bervariasi, mulai dari desakan umum,
agar pemerintah berbuat sesuatu hingga usulan untuk mengambil tindakan
konkret tertentu terhadap suatu masalah yang terjadi di dalam masyarakat
b) Keputusan kebijakan (policy decisions)
Keputusan yang dibuat oleh para pejabat pemerintah yang dimaksudkan
untuk memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Dalam hal
ini, termasuk didalamnya keputusan-keputusan untuk menciptakan statuta
(ketentuan-ketentuan dasar), ketetapan-ketetapan, ataupun membuat
penafsiran terhadap undang-undang.
c) Pernyataan kebijakan (policy statements)
Pernyataan resmi atau penjelasan mengenai kebijakan publik tertentu.
Misalnya; ketetapan MPR, Keputusan Presiden atau Dekrit Presiden,
keputusan peradialn, pernyataan ataupun pidato pejabat pemerintah yang
menunjukkan hasrat, tujuan pemerintah, dan apa yang dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
80
d) Keluaran kebijakan (policy outputs)
Merupakan wujud dari kebijakan publik yang paling dapat dilihat dan
dirasakan, karena menyangkut hal-hal yang senyatanya dilakukan guna
merealisasikan apa yang telah digariskan dalam keputusan dan pernyataan
kebijakan. Secara singkat keluaran kebijakan ini menyangkut apa yang
ingin dikerjakan oleh pemerintah.
e) Hasil akhir kebijakan (policy outcomes)
adalah akibat-akibat atau dampak yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat, baik yang diharapkan atau yang tidak diharapkan sebagai
konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah
dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada dalam
masyarakat.
Dunn (2000: 21) membedakan tipe-tipe kebijakan menjadi lima bagian,
yaitu:
a) Masalah kebijakan (policy public)
Nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tetapi dapat
diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Pengetahuan apa yang
hendak dipecahkan membutuhkan informasi mengenai kondisi-kondisi
yang mendahului adanya problem maupun informasi mengenai nilai yang
pencapaiannya menuntut pemecahan masalah.
b) Alternative kebijakan (policy alternatives)
Arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat member
sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan masalah kebijakan.
Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah pada dasarnya
juga mengandung identifikasi terhadap kemungkinan pemecahannya.
81
c) Tindakan kebijakan (policy actions)
Adalah suatu gerakan atau serangkaian gerakan sesuai dengan alternatif
kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk mencapai tujuan bernilai.
d) Hasil kebijakan (policy outcomes)
Adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian tindakan kebijakan yang
telah dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan tidak sepenuhnya stabil atau
diketahui sebelum tindakan dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut
terjadi seperti yang diharapkan atau dapat diduga sebelumnya.
e) Hasil guna kebijakan
adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberikan sumbangan pada
pencapaian nilai. Pada kenyataanya jarang ada problem yang dapat
dipecahkan secara tuntas, umumnya pemecahan terhadap suatu problem
dapat menumbuhkan masalah sehingga perlu pemecahan kembali atau
perumusan kembali.
2.3.4 Jenis-jenis Kebijakan Publik
Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-
keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu,
dan mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa
diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan Smallwood (1980) dalam
bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan
publik dalam ketiga lingkungannya yaitu:
1) Lingkungan perumusan kebijakan (Formulation)
2) Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3) Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
82
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti
kebijakan publik adalah: A set of instruction from policy makers to policy
implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals”.
Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari
lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan
evaluasi” (Nakamura, 1980: 31).
a) Perumusan Kebijakan (Formulation)
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik
merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi
kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan
telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam
mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada
ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa, 1994: 2)
Winarno (2007: 53), Formulasi kebijakan sebagai suatu proses, dapat
dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah
memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau
dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan
tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang
menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan
selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan
dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh
seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau
menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih
Aktivitas-aktivitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta
perumusan kebijakan pendidikan baik yang formal maupu yang tidak
83
formal. Peserta perumusan kebijakan tersebut sangat bergantung
seberapa besar para peserta dapat memainkan peranannya masing-
maisng dalam memformulasikan kebijakan. Dengan demikian rumusan
kebijakan adalah karya group, baik group yang menjadi penguasa formal
maupun yang menjadi mitra dan rivalnya. Mereka saling mengintervensi,
Saling melobi bahkan saling mengadakan bargaining
b) Penerapan (Implementation)
Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.
Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan)
berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect (untuk menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu (Abdul Wahab, 2006: 64)
Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah
sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-
keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik,
keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu
tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek
yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah
kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai
dengan rencana. Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana
(Abdul Wahab, 1997: 45).
84
Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang
terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan
kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan
sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang
mampu untuk meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk
membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat
yang menghubungan tindakan dengan tujuan.
Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah
terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat
sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk
melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan semua orang
termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya adalah kesulitan
dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang dapat menyebabkan
konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik
c) Penilaian (Evaluation) Kebijakan
Menurut Arikunto (2004: 1) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut
digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan
informasi-informasi yang berguna bagi pihakdecision maker untuk
menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah
dilakukan. Sedangkan Gibson (2000: 374) mengemukakan bahwa evaluasi
adalah proses penilaian dengan jalan membandingkan antara tujuan yang
diharapkan dengan kemajuan atau prestasi nyata yang dicapai. Proses
evaluasi adalah untuk mencoba menyesuaikan data objektif dari awal
85
hingga akhir pelaksanaan program sebagai dasar penilaian terhadap tujuan
program
Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak
(Anderson: 1975). Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan. Jadi dapat
dikatakan bahwa evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang
membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan
standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi
kebijakan kemudian akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu
kegiatan tertentu telah dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih
antara standar yang telah ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai
Dalam penelitian ini, difokuskan pada Implementasi kebijakan.
Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang
telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah
tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan
implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti
apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain
implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara
maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
86
2.4 Implementasi Kebijakan Publik
Alexander (2003: 23) menguraikan implementasi sebagai proses
konvigensi (Implementation as Contigency Theory) yang selalu melibatkan
interaksi secara kesinambungan dengan lingkungan, stimulus, program kebijakan
dan hasil kebijakan serta elemen maupun ketetapan waktu atau timing dari
interaksi-interaksi tersebut. Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada
tindakan atau perilaku Instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun berlanjut hingga
jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua
pihak yang terlibat. Hingga menimbulkan dampak yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan. Van Meter dan Van Horn (1978) menguraikan implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu
dan kelompok-kelompok Pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan
kebijakan. Sukses gagalnya suatu kebijakan atau implementasinya dipengaruhi
oleh seberapa besar dukungan lingkungan terhadap kebijakan tersebut, adanya
sumber daya dan pemahaman dan kepatuhan dari para pelaku kebijakan.
Sehubungan dengan hal itulah sosialisasi kebijakan, konteks isi kebijakan,
strategi, sinergisitas kegiatan/proses dari para pelaku kebijakan dan monitoring
serta evaluasi pelaksanaan kebijakan akan menjadi penting dalam implementasi
kebijakan. Hal tersebut sekaligus memberikan gambaran bahwa implementasi
suatu kebijakan tak selamanya dapat berjalan dengan baik. Pasti terdapat
berbagai kendala, permasalahan, ataupun kegagalan mencapai tujuan. Apabila
suatu kebijakan tidak dikondisikan sedemikian rupa sebagaimana tersebut di
87
atas tentu kebijakan tersebut memiliki kemungkinan untuk gagal dalam arti tujuan
kebijakan tidak tercapai.
2.4.1 Model Implementasi Kebijakan Publik
Sebelumnya memahami lebih jauh model-model implementasi, perlu
diketahui konsep model. Model pada hakekatnya merupakan visualisasi atau
kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
kegiatan. Sagala (2005: 175) berpendapat bahwa model dapat dipahami sebagai
(1) suatu tipe atau disain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan
untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung
diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data dan inferensi-inferensi yang
dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau peristiwa;
(4) suatu disain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan
realitas yang disederhanakan; (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang
mungkin atau imajiner; (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan
menunjukan sifat bentuk aslinya.
Anwar (2003: 38) mendefinisikan model sebagai bentuk representasi
akurat proses aktual yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang
mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi dari model itu.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa model di disain untuk
mewakili realitas sesungguhnya dari dunia sebenarnya. Implementasi itu sendiri
merupakan tahapan yang paling penting dari suatu kebijakan. Akan tetapi dalam
kenyataannya betapapun hebatnya suatu kebijakan/rencana yang dibuat tidak
akan ada gunanya jika tidak direalisasikan dengan baik dan benar. Berikut ini
beberapa model implementasi Kebijakan dari beberapa tokoh, antara lain:
88
a) Model Implementasi Kebijakan dari Edwards III (1980)
Model ini memperlihatkan adanya hubungan antar berbagai faktor yang
mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan, dalam rangka meraih kinerja
yang baik diantara faktor-faktor yang saling berhubungan satu sama lain. Model
ini melihat implementasi kebijakan dari sisi pelaksana atau implementor,
sehingga dapat diketahui bagaimana penyebab berhasil atau tidaknya
implementasi kebijakan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terlaksana
atau tidaknya suatu kebijakan. Menurut Edwards faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu: komunikasi,
sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja
secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan
menghambat implementasi kebijakan.
Tangkilisan (2003: 11), mengatakan bahwa:
“Karena keempat faktor ini sedang beroperasi secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu atau bersifat merintangi implementasi kebijakan, pendekatan yang ideal akan harus merefleksikan kompleksitasnya dengan membicarakan sekaligus”
KOMUNIKASI
STRUKTUR BIROKRASI
SUMBERDAYA
DISPOSISI
IMPLEMENTASI
Bagan: 2.1 Model Implementasi Kebijakan Edwards III (1990: 150).
89
Komunikasi menjamin bahwa pelaksana yang harus mencapai suatu
kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dengan sumberdaya
sebagai unsur kritis lain dalam implementasi kebijakan. Pentingnya disposisi
untuk mengetahui sikap pelaksana yang terlibat dalam proses implementasi.
Struktur birokrasi yang umum terjadi juga menjadi variabel yang penting, karena
birokrasi merupakan salah satu badan yang secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan.
b) Model Implementasi Kebijakan dari Van Meter dengan Van Horn (1975)
Model kebijakan ini mengarah kepada ”mekanisme paksa” dari pada
”mekanisme pasar”. Beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan publik
meliputi:
1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
2) Karakteristik agen pelaksana/implementor
3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik
4) Kecenderungan dari pelaksana/implementor
Model kebijakan ini dapat digambarkan sebagaimana bagan berikut:
90
Bagan 2.2. Model Implementasi Kebijakan dari Van Meter dengan Van Horn (1975)
Berdasarkan bagan, diketahui bahwa variabel-variabel implementasi
kebijakan yang dikemukakan oleh Van Meter dengan Van Horn (1975), meliputi:
(1) Standar dan Sasaran Kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas
dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan
kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di
antara para agen implementasi. (2) Sumber Daya. Implementasi kebijakan perlu
dukungan sumberdaya baik Sumber Daya Manusia (human resources)
maupun sumberdaya non manusia (non-human resources). (3) Hubungan
antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program
perlu dukungan dan koordinasi dengan Instansi lain. Untuk itu, diperlukan
koordinasi dan kerjasama antar Instansi bagi keberhasilan suatu program.
(4) Karakteristik Agen Pelaksana. Yang dimaksud Karakteristik Agen
Pelaksana mencakup birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang
terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi
suatu program. (5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup
KEBIJKAN PUBLIK
Standard dan
tujuan
Sumber Daya
Aktivitas implementasi dan komunikasi antar
organisasi
Karakteristik dari agen pelaksana/
implementor
Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Kecenderungan dari pelaksana
KINERJA KEBIJA- KAN PUBLIK
91
sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para
partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik
yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan. (6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini
mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap
kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan
kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan
(c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam implementasi akan dipengaruhi
oleh sifat kebijakan yang meliputi aktivitas implementasi dan komunikasi antar
organisasi hingga kecenderungan dari pelaksana/implementor. Dalam hal ini
standar, tujuan dan sumber daya serta sifat kebijakan diposisikan sebagai
variabel yang mempengaruhi kebijakan dan dihubungkan ke dalam suatu model
konseptual (implementasi) yang mengaitkan kebijakan dengan kinerja kebijakan.
Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edwards III,
maka, variabel (1) standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan
dalam variabel “komunikasi” dalam model Edwards III. Hal ini dikarenakan
penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan
sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi
maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan dengan variabel “sumber daya”
pada model Edwards III, yaitu mencakup SDM dan non-SDM. Variabel (3)
hubungan antar organisasi dapat dimasukkan dalam variabel “struktur
92
organisasi” dari model Edwards III. Variabel (4) karakteristik agen pelaksana dan
variabel (6) disposisi implementor, dapat dimasukkan pada variabel “disposisi”
dalam model Edwards III. Hal ini dikarenakan variabel (4) membicarakan tentang
‘norma-norma’ dan ‘pola-pola hubungan’ yang terjadi pada implementor yang
dapat mengacu pada preferensi nilai atau sikap yang ada pada
implementor dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan.
Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van
Horn, hanya variabel (5) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak
terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini terlihat bahwa
model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga
mempertimbangkan faktor eksternal. Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye
yang melibatkan tiga elemen dalam sistem kebijakan, maka faktor sosial, politik
dan ekonomi dapat kita masukkan dalam elemen lingkungan kebijakan/
policy environment.
Namun demikian ada satu hal yang terlihat menonjol pada gambar model
implementasi menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu model ini memperlihatkan
bahwa implementasi kebijakan akan menuju “kinerja”. Kebanyakan ahli
yang mengemukakan model proses kebijakan (Easton, Anderson, Patton &
Savicky, dan Dunn) tidak memasukkan “kinerja kebijakan” dalam model proses
kebijakan.
93
c) Model Kerangka Analisis Implementasi (Framework for Implementation Analysis) dari Mazmanian dan Sebatier (1983)
Model implementasi kebijakan ini berada pada kuadran ’puncak ke
bawah” dan lebih berada di ”mekanisme paksa” daripada ”mekanisme pasar”.
Proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel berikut:
1) Variabel independen yakni mudah tidaknya masalah dikendalikan yang
berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan,
keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2) Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan
konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi
sumber dana, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana, aturan
pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan
keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator
kondisi sosioekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap risorsis dari
konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmrn dan kualitas
kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3) Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima
tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk
disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan
atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas
kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan
kebijakan yang bersifat mendasar.
94
Bagan 2.3. Model Kerangka Analisis Implementasi dari Mazmanian dan Sebatier (1987)
Dari bagan tersebut, terlihat bahwa proses implementasi kebijakan tidak
terlepas dari faktor atau variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan proses
implementasi, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan, kemampuan
kebijakan menstrukturkan proses implementasi, dan pengaruh faktor luar
kebijakan. Semua hal tersebut berpengaruh pada proses implementasi yang
dimulai dengan dihasilkannya keluaran (output) kebijakan dari organisasi,
kemudian menuju kepada kesediaan kelompok sasaran mematuhi output
kebijakan. Setelah itu menghasilkan pengaruh nyata output kebijakan, sehingga
hasilnya terlihat melalui perbaikan mendasar terhadap peraturan yang telah atau
belum dilaksanakan, yang berguna untuk menilai kinerja implementasi kebijakan
untuk selanjutnya dapat diputuskan untuk direvisi atau tidak.
Sebagaimana model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn,
Mazmanian dan Sabatier juga memasukkan variabel lingkungan kebijakan
Mudah tidaknya masalah dikendalikan: 1. Dukungan teori dan teknologi 2. Keragaman perilaku kelompok
sasaran 3. Tingkat perubahan perilaku yang
dikehendaki
Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi: 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan. 2. Dipergunakannya teori kausal. 3. Ketepatan alokasi sumber dana. 4. Keterpaduan hirarkis diantara lembaga
pelaksana 5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana 6. Perekrutan pejabat pelaksana 7. Keterbukaan kepada pihak luar
Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi: 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. dukungan publik 3. Sikap resorsis dari konstituen 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi. 5. Komitmren dan kualitas kepemimpinan dari
pejabat pelaksana
Tahapan dalam proses Implementasi
Output kebijakan Kepatuhan target Hasil nyata Diterimanya Revisi
dari lembaga untuk mematuhi output kebijakan hasil tersebut Undang-
pelaksana output kebijakan undang
95
sebagai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Konten/isi
kebijakan yang oleh Mazmanian dan Sabatier dikelompokkan sebagai
kemampuan statuta untuk menstrukturisasi implementasi (ability of statute to
structurize implementation), mereka juga memperluas variabel yang
mempengaruhi kebijakan menjadi tingkat kesulitan masalah (tractability of
the problem) dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi
implementasi/nonstatutory variables affecting implementation.
Pada variabel tingkat kesulitan masalah (tractability of the problem),
Mazmanian dan Sabatier memperhitungkan tingkat kesulitan teknis
(technical difficulties), keberagaman kelompok sasaran (diversity of target group
behavior), persentase kelompok sasaran terhadap total populasi (target
group as a percentage of the population), serta tingkat perubahan perilaku
yang diharapkan (extent of behavioral change required). Unsur keempat
yaitu tingkat perubahan perilaku yang diharapkan (extent of behavioral
change required) memiliki kesamaan dengan salah satu unsur dari variabel
isi kebijakan dari Grindle yaitu extent of change envisioned.
Pada nonstatutory variable, unsur pertama yaitu socioeconomic
conditions and technology memiliki kesamaan dengan variabel Van Meter
dan Van Horn yaitu keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan
utamanya adalah Mazmanian dan Sabatier menyebutkan kata ‘teknologi’
sebagai satu kesatuan dengan sosioekonomi. Sebagaimana Grindle,
Mazmanian dan Sabatier juga memperhatikan politik. Pada unsur kedua
yaitu public support maupun unsur keempat yaitu support from sovereigns
memperlihatkan bahwa dukungan publik (bottom) maupun dukungan dari
penguasa (top) ikut menentukan implementasi. Tanpa dukungan dari kedua
96
pihak (top dan bottom) maka implementasi akan menghadapi kendala. Dan
dukungan dari atas maupun bawah ini melibatkan proses politik. Publik
yang memiliki kepentingan lebih cenderung akan mendukung suatu kebijakan
yang mengutamakan kepentingan mereka. Demikian juga penguasa juga akan
cenderung mendukung kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Unsur kedua yaitu attitudes and resources of constituency groups
memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III.
Perbedaannya adalah Edwards III memfokuskan pada sikap/attitudedari
implementor, sedangkan Mazmanian dan Sabatier lebih fokus pada sikap dari
konstituen/pemilih. Pada unsur kelima yaitu commitment and leadership skill
of implementing officials, model Mazmanian dan Sabatier juga memfokuskan
pada komitmen dan kemampuan kepemimpinan dari implementor. Keunggulan
model ini adalah barangkali hal ini (kepemimpinan) belum dibahas pada model-
model sebelumnya.
Pada variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasi
implementasi (ability of statute to structure implementation), model
Mazmanian dan Sabatier memiliki beberapa kesamaan dengan model
Edwards III. Unsur pertama yaitu clear and consistent objectives bersesuaian
dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Kejelasan dan konsistensi
tujuan merupakan salah satu faktor yang dimaksudkan oleh Edwards III dalam
faktor komunikasi. Tanpa tujuan yang jelas dan konsisten, agen-agen
implementor akan menemui kesulitan mengimplementasikan kebijakan.
Unsur kelima yaitu decision rules of implementing agencies juga
serupa dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Unsur kelima ini juga
menuntut adanya kejelasan aturan/rules dari agen-agen pelaksana. Kesesuaian
97
antara model Mazmanian dan Sabatier dengan model Edwards III juga
dapat kita lihat pada unsur ketiga yaitu initial allocation of financial
resources, maupun unsur keenam yaitu recruitment of implementing officials.
Baik unsur alokasi dana maupun unsur rekruitmen petugas implementasi
memiliki kesamaan dengan faktor sumber daya dari model Edwards III,
Van Meter dan Van Horn, maupun Grindle. Mirip dengan model Grindle,
model Mazmanian dan Sabatier juga memisahkan SDM dan non SDM dari
faktor sumber daya.
Unsur lain yang sesuai dengan model Edwards III adalah unsur
keempat yaitu hierarchical integration within and among implementing
institutions, unsur ini serupa dengan faktor struktur birokrasi dalam model
Edwards III. Integrasi hierarkis di dalam dan di antara lembaga
implementor merupakan hal yang mutlak diperlukan, seperti dikatakan
Edwards III, implementasi kebijakan tidak saling overlap. Di samping hal-hal
yang kita dapati dari model-model lain, terdapat unsur-unsur yang tidak kita
dapati di variabel ini (kemampuan kebijakan untuk menstruktrurisasi
kebijakan). Hal yang agak berbeda tersebut adalah pada unsur kedua yaitu
incorporation of adequate causal theory. Model ini menuntut adanya kajian
ilmiah maupun empiris agar sebuah kebijakan dinilai layak dikatakan
mampu menstrukturisasi implementasi. Dengan adanya landasan teori kausal
yang kuat maupun kajian ilmiah dan bukti empiris, sebuah kebijakan sudah
melewati fit and proper test sebelum menjadi kebijakan yang memungkinkan
untuk dilaksanakan. Selain itu, perbedaan dengan model lain juga terdapat
pada unsur ketujuh yaitu formal access by outsiders.
98
Keunggulan model Mazmanian dan Sabatier adalah bahwa model ini
juga memperhitungkan peran serta publik dalam implementasi kebijakan.
Implementasi akan berjalan relatif lebih lancar apabila publik diberi
kesempatan untuk mengakses proses kebijakan, atau paling tidak dalam
salah satu prosesnya seperti penentuan agenda atau evaluasi kebijakan.
Oleh karena itu, beberapa kajian mengkategorikan model Mazmanian dan
Sabatier ini memiliki pendekatan bottom-upper, atau pendekatan kebijakan dari
bawah (publik) ke atas (penentu kebijakan).
d) Model Implementasi Kebijakan dari Grindle (1980)
Model ini berada pada mekanisme paksa dan pada mekanisme pasar.
Model grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide
dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi
kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajad implementability dari kebijakan
tersebut, yaitu bagaimana konten (isi) dan konteks kebijakan tersebut.
a. Isi Kebijakan (content of policy) mencakup:
1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan (Interest Affected)
yakni kepentingan berkaitan dengan berbagai kepentingan yang
mendukung dan menghambat suatu implementasi kebijakan. Indikator
ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti
melibatkan banyak kepentingan dan sejauhmana kepentingan-
kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya
99
2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan (Type of Benefits)
Bahwa dalam suatu kebijakan berupaya untuk menunjukan atau
menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa
jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan
3) Derajad perubahan yang diinginkan (Extent of Change Envision)
bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai
melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang
jelas.
4) Kedudukan pembuat kebijakan (Site of Decision Making)
suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu
kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak
pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan
diimplementasikan
5) (Siapa) pelaksana program (Program Implementer)
kebijakan harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang
kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan
6) Sumber daya yang dikerahkan (Resources Committed)
pelaksanaan suatu kebijakan juga harus memiliki sumber-sumber daya
yang mendukung agar pelaksanaan kebijakannya berjalan dengan baik
b. Konteks Implementasinya (Resources Committed) meliputi:
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat (Power,
Interest, and Strategy of Actor Involved)
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan termasuk pula kekuatan
atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para
100
aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu
implementasi
2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa (Institution and Regime
Characteristic)
keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh sinergisitas
kerjasama atau hubungan diantara aktor-aktor kebijakan yaitu yang
membuat/melaksanakan kebijakan dengan yang dikenai kebijakan.
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya
3) Kepatuhan dan daya tanggap (Compliance and Responsiveness)
hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan
adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, sejauhmana
kepatuhan dan respon dari para pelaksana dalam menanggapi suatu
kebijakan
101
Model implementasi kebijakan Grindle dapat digambarkan dalam bentuk
bagan berikut:
Tujuan Kebijakan
Bagan 2.4. Model Implementasi Kebijakan menurut Grindle (1980)
Keberhasilan dari implementasi kebijakan diukur dengan melihat gap
(kesenjangan) antara tujuan yang ingin dicapai dengan hasil yang dicapai melalui
pelaksanaan program aksi atau proyek yang dijalankan. Sehingg ini mengartikan,
apakah hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan (hasil) yang direncanakan?.
Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan dan
konteks implementasi sehingga keberhasilan atau kegagalan dalam
implementasi dapat dideteksi dari konten (isi) dan konteks kebijakan.
Melaksanakan Kegiatan dipengaruhi oleh: a. Konten Kebijakan
1. Kepentingan yg dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yg diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksanaan program 6. Sumber daya yg dilibatkan
b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan,kepentingan dan
strategi aktor yang dlibatkan 2. karakteristik lembaga &
penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap
Hasil kebijakan a. Pengaruh pada
Masyarakat individu & kelompok
b. Perubahan dan penerimaan oleh Masyarakat
Tujuan yang ingin dicapai
Program aksi dan proyek individu yang didesain dan
dibiayai
Apakah program yang dijalankan seperti
yang direncanakan?
Keberhasilan implementasi kebijakan
102
Diketahui bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip
dengan model Van Meter dan Van Horn. Aspek yang sama adalah bahwa baik
model Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama
memasukkan elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan ‘kondisi
sosial, politik, dan ekonomi’ sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar ‘konteks
kebijakan’ atau ‘lingkungan kebijakan’.
Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah
model ini lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan.
Unsur pertama dari variabel lingkungan yaitu power, interest and strategies
of actors involved yang menjelaskan bahwa isi kebijakan sangat dipengaruhi
oleh peta perpolitikan dari para pelaku kebijakan. Dalam hal ini, Aktor-aktor
penentu kebijakan akan berusaha menempatkan kepentingan mereka pada
kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat mereka, sehingga kepentingan
mereka terakomodasi di dalam kebijakan. Unsur kedua dari Grindle yaitu
institution and regime characteristics maupun unsur ketiga yaitu compliance
and responsiveness memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model
Edwards III. Pada unsur kedua (karakteristik lembaga dan rezim) ini
dijelaskan oleh Suwitri (2008: 88) bahwa “implementasi suatu program tentu
akan mendatangkan konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya
dipengaruhi”.
Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model Grindle, yaitu
compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi. Perbedaan
dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle memfokuskan pada
103
disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sedangkan Edwards lebih
menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76) menyatakan “...
proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif,
dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and
responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,
compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2008: 88-89)
menyatakan “...Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,
implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program
dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi”.
Pelibatan politik dalam unsur ini, agaknya masih berkaitan dengan unsur
pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat, dan strategi aktor-aktor,
karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat
kebijakan dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari
pembuat kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi. Pada
variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa
implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama
hingga keempat yaitu interest affected, type of benefits, extent of change
envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran
politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2008: 86)
menyatakan “... jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak
tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat
ditelusuri pada unsur kedua hingga keempat.
Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan
pandangan dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada
unsur kelima yaitu programe implementors disebutkan oleh Suwitri (2008:
104
88) bahwa “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi program tersebut”. Hal ini sebangun dengan faktor sumber
daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.
Lebih lanjut, Grindle membedakan ‘sumber daya’ dari model Edwards III maupun
Van Meter dan Van Horn. Unsur keenam yaitu resources committed
dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber
secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur kelima dan
keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor
sumber daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan
Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non
SDM.
Secara akademik, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle, karena
lebih menitikberatkan pada Politik dari para Pelaku Kebijakan, khususnya dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Selain itu,
adanya unsur compliance and responsiveness (kepatuhan dan daya tanggap)
sebagai unsur ketiga dalam konteks implementasi, berkaitan dengan fokus
penelitian yang menganalisis implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang.
e) Model Implementasi Kebijakan Publik dari Ripley dan Franklin (1986)
Implementasi sebuah kebijakan selalu dipengaruhi oleh hal-hal yang
dapat menyebabkan berhasil atau tidaknya sebuah implementasi kebijakan.
Dalam buku yang berjudul Policy Implementation and Bureaucracy, Randall B.
105
Ripley dan Grace A. Franklin menuliskan tentang 2 pendekatan untuk menilai
implementasi kebijakan, di lihat dari:
(1) Compliance (kepatuhan)
Tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat di ukur dengan
melihat tingkat kepatuhan (baik tingkat kepatuhan bawahan kepada
atasan, atau kepatuhan implementor terhadap peraturan) dalam
mengimplementasikan sebuah program. Kepatuhan tersebut mengacu
pada perilaku implementor itu sendiri sesuai dengan standar dan
prosedur serta aturan yang ditetapkan oleh kebijakan.
Implementasi kebijakan akan berhasil apabila para implementornya
mematuhi aturan-aturan yang diberikan.
Berdasarkan hal tersebut terdapat 2 indikator dalam pendekatan
kepatuhan:
(a) Perilaku Implementor
(b) Pemahaman Implementor terhadap Kebijakan
(2) What’s Happening and Why? (Apa yang Terjadi dan Mengapa?)
Pendekatan ini melihat bagaimana implementasi berlangsung serta untuk
melihat faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi suatu program.
Ripley dan Franklin menjelaskan ada 5 indikator dalam menjelaskan
pendekatan ini yaitu: banyaknya aktor yang terlibat, kejelasan tujuan,
kompleksitas program pemerintah, partisipasi unit pemerintahan di semua
tingkat wilayah, dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
106
Dari uraian tersebut, maka indikator untuk pendekatan ini yaitu:
(a) The Profusion of Actors (Banyaknya Aktor yang Terlibat)
Proses implementasi melibatkan banyak aktor. Dengan kata lain,
semakin kompleks suatu program yang dijalankan oleh pemerintah,
maka semakin banyak aktor yang terlibat. Pelaksana kebijakan harus
memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan
menghambat pelaksanaan kebijakan. Ada beberapa hal yang
menjelaskan lebih lanjut mengenai indikator ini: pertama Number and
Identity (Jumlah dan Identitas); Kedua The Role of Interest
Group (Peran dari Pihak yang Berkepentingan); ketiga
Lock of Hierarchy (Ketiadaan Hirarki).
(b) The Multiplicity and Vagueness of Goals (Kejelasan Tujuan)
Kejelasan dan konsistensi tujuan dapat dipahami sebagai kejelasan
isi kebijakan. Semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan, maka
kebijakan tersebut akan mudah diimplementasikan karena
implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan
nyata, sebaliknya ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi
lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.
(c) The Proliferation and Complexity of Government Programs
(Perkembangan dan Kerumitan Program)
Kerumitan program dilihat dari tingkat kerumitan aturan program yang
bersangkutan. Dinamisnya petunjuk pelaksanaan yang dibuat akan
mempengaruhi berhasil atau tidaknya program diimplementasikan.
107
(d) The Participation of Governmental Units at All Territorial
Levels (Partisipasi pada Semua Unit Pemerintahan). Partisipasi pada
semua unit pemerintahan yang dimaksud adalah partisipasi dari
semua aktor yang terlibat dalam implementasi program tersebut
(e) The Uncontrollable Factors That All Affect Implementation (Faktor-
Faktor yang Tidak Terkendali yang Mempengaruhi Implementasi).
Faktor yang tidak terkendali ini yaitu apakah ada faktor-faktor di luar
teknis (yang telah melampaui batas kontrol dari implementor) yang
secara tidak langsung berhubungan dengan pengimplementasian
program, sehingga dapat menghambat, bahkan menggagalkan
implementasi program yang telah dirancang sebelumnya.
f) Model Implementasi Kebijakan Publik dari Michael Hill and Peter Hupe
(2002)
Michael Hill and Peter Hupe (2002) dalam bukunya yang berjudul
Implementing Public Policy: Governance Theory and in Practice menyikapi
secara eksplisit berkaitan dengan implementasi akan menjadi pengakuan tiga
fakta. Yang pertama adalah bahwa fenomena 'implementasi' berorientasi pada
masalah sampai taraf tertentu. Kedua diakui bahwa implementasi itu dan terus
menjadi perhatian banyak penulis yang tidak berbicara tentang 'implementasi' per
se, dan memang mungkin mendekatinya dari latar belakang yang sangat
berbeda. Fakta ketiga adalah implementasi itu mau tidak mau mengambil bentuk-
bentuk yang berbeda dalam budaya dan pengaturan kelembagaan yang
berbeda. Poin terakhir ini sangat penting di era di mana proses ‘pemerintah’ telah
dilihat sebagai diubah menjadi ‘pemerintahan’. Yang terakhir berarti bahwa lebih
108
banyak aktor dapat berpartisipasi dan model hirarkis yang sederhana sedang
ditinggalkan. Karenanya menghubungkan implementasi dengan tata kelola
merupakan elemen sentral dalam buku ini.
Implementasi yang berhasil, membutuhkan kepatuhan dengan arahan
dan tujuan undang-undang; pencapaian derajat perubahan tertentu; dan
peningkatan iklim politik di sekitar program. Hill dan Hupe (2002) juga menyoroti
bencana dan kegagalan implementasi dan memberikan kesan yang menyimpang
dari kesulitan implementasi. Alternatif lain dari penilaian Implementation gap
untuk mengukur hasil dan keluaran secara implisit atau eksplisit dari sebuah
kebijakan adalah dengan menggunakan istilah 'kegagalan implementasi'. Dalam
praktek sehari-hari kualifikasi tersebut mudah digunakan. Demikian pula dalam
studi pelaksanaan kualifikasi dalam hal 'sukses' atau 'kegagalan' umumnya
diberikan. Dan memang kadang-kadang penggunaan istilah 'kegagalan
kebijakan' tampaknya dibenarkan, namun untuk memberikan istilah kegagalan
kebijakan tersebut harus melalui analisis yang normatif dan empiris. Hal tersebut
diuraikan pada bagan 2.5 berikut ini:
109
Bagan 2.5. Perspektive- Perspektives on Managing Implementation
Michael Hill and Peter Hupe (2002)
Dari sudut pandang analitis semua dari tiga mode ideal-khas tata
kelola dan perspektif terkait pengelolaan implementasi yang dikembangkan
memiliki nilai yang sama. Diberikan normatif umum prinsip-prinsip yang diacu,
penerapan yang tepat dari moda tata kelola ini/mode kombinasi tindakan
tergantung pada konfigurasi spesifik faktor dalam berbagai konteks di mana
praktisi administrasi publik harus bertindak. Dengan demikian, jelas bahwa
proses kebijakan dunia nyata dijalankan dalam konstruksi analitis yang disajikan
dalam berbagai cara. Kemudian, alternatif yang kongruen dan non-kongruen
akan terbukti, keganjilan akan datang dalam berbagai bentuk dan kemauan, dari
satu kasus ke kasus lain, yang disebabkan oleh masalah yang lebih besar atau
lebih kecil. Pilihan yang tersedia, akan meminimalkan ketidaksesuaian daripada
memetakan suatu proses implementasi yang ideal yang hanya meniru resep top-
down terlepas konteksnya. Pada dasarnya, permohonan untuk kontekstualisasi
dibuat di sini berarti mengakui mode alternatif pemerintahan.
110
g) Model Implementasi Kebijakan Publik sebuah pendekatan alternatif dari
Peter deLeon dan Linda deLeon (2002)
Dalam artikel yang berjudul What Ever Happened to Policy
Implementation? An Alternative Approach, Peter deLeon dan Linda deLeon
(2002) memeriksa tiga generasi penelitian teori implementasi kebijakan,
menekankan ketergantungan dasar pada suatu orientasi perintah (yaitu, top-
down), dan berpendapat mengenai kerangka kerja alternatif, yang menekankan
pada pendekatan demokratis (yaitu, bottom-up).
Secara khusus, Peter deLeon dan Linda deLeon (2002) berpendapat
bahwa implementasi kebijakan sering dipraktekkan sebagai fenomena top-down
atau pemerintahan elit, padahal praktiknya akan jauh lebih baik jika praktisi
mengadopsi yang lebih partisipatif, orientasi demokratis. Teori implementasi
seharusnya lebih hati-hati melaksanakan proses demokrasi dengan
memvariasikan kondisi spesifik. Meskipun implementasi mungkin merupakan
suatu masalah namun tetap menjadi bagian penting dari studi kebijakan publik.
Matland (1995: 150) telah menunjukkan dalam kritiknya tentang analisis
bottom-up "Struktur kelembagaan, sumber daya yang tersedia, dan akses ke
arena implementasi dapat ditentukan secara terpusat, dan secara substansial
dapat mempengaruhi hasil kebijakan”. Tetapi Peter deLeon dan Linda deLeon
(2002) menyarankan bahwa identifikasi konvensional keamanan nasional, krisis,
dan urgensi politik tidak seharusnya secara otomatis diidentifikasi sebagai
kondisi di mana demokrasi seharusnya terhindarkan; terlalu sering otomatis
ditafsirkan sebagai nyaman. Secara bersamaan, Mungkin juga ada kondisi-
kondisi di mana pendekatan demokrasi akan menjadi strategi dominan. Peter
deLeon dan Linda deLeon (2002) mengajukan premis berikut: ketika strategi
111
implementasi kebijakan dirancang, pendekatan demokratis harus menjadi pilihan
(yaitu, default) pilihan. Implementasinya harus mengikuti demokrasi prosedur
(dan lebih disukai dalam praktik demokrasi langsung) kecuali analisis
sebelumnya menunjukkan bahwa model lain (misalnya top-down, atau perintah,
implementasi) lebih unggul. Dengan kata lain, pendekatan demokratis
implementasi kebijakan harus menjadi fokus utama dari implementasi.
Dalam hal ini, Peter deLeon dan Linda deLeon (2002) menguraikan
begitu keputusan telah disepakati, implementasi menjadi lebih banyak taktik
daripada strategi, sementara taktik bisa berubah menjadi masalah. Seperti yang
kami sarankan, penerapan prinsip demokrasi teori implementasi membutuhkan
pemahaman yang baik tentang kemungkinan yang mengatur pilihan strategi.
Keterlibatan warga negara dalam proses pemerintahan (termasuk politik
elektoral, pembuatan kebijakan, dan administrasi) dapat mengambil banyak
bentuk, dan bahkan dengan pedoman generik bahwa demokrasi lebih baik
daripada kurangnya pilihan strategis. Beberapa kemungkinan Matriks telah
diusulkan dengan memanfaatkan matriks ambiguitas/konflik oleh Matland (1995),
berikut ini:
Bagan 2.6. Ambiguity-Conflict Matrix: Policy Implementation Processes Matland, (1995: 160)
112
Matland, (1995) menguraikan Implementasi dalam sel ini adalah latihan
dasar dalam praktek administrasi publik tradisional, sebagian besar karena
rendahnya tingkat konflik dan ambiguitas. Dalam ambiguitas rendah/sel konflik
tinggi, Matland mengistilahkan implementasi politik, mungkin ada perselisihan
tentang tujuan kebijakan tersebut. Atau, jika para pemain setuju untuk
meningkatkan pendidikan publik, mungkin ada ketidakpastian yang besar
(mengarah ke konflik) sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
"Pusat prinsip dalam implementasi politik adalah hasil implementasi diputuskan
oleh kekuasaan. "Di arena seperti itu, implementasi berbahaya kecuali sampai
kompromi entah bagaimana bisa dipalsukan. Matland berpendapat bahwa
sebuah orientasi top-down paling baik untuk menangkap elemen daya dalam sel
ini, tetapi kami berpendapat bahwa metode demokratis mungkin menghasilkan
lebih baik, keputusan yang kurang kontroversial.
Linda deLeon dan Peter deLeon (2002) menyatakan bahwa banyak
elemen manajemen publik memiliki pendekatan yang jelas demokratis (misalnya,
umpan balik 360 derajat dan demokrasi tempat kerja). Jika kita telah belajar
sedikit dari dekade terakhir studi implementasi kebijakan, kita harus belajar
bahwa satu ukuran tidak pernah cocok untuk semua, konteks itu penting, dan
ketika kita menghadapi kondisi yang sangat kompleks, lebih baik jika kita
mencoba untuk mengerti masalah tertentu daripada jika kami mengusulkan
beberapa bentuk generik metateori. Namun, kami percaya bahwa pendekatan
demokratis terhadap implementasi kebijakan merupakan pilihan yang terbaik.
113
h) Model Implementasi Kebijakan dari Xiongwei Song (2018)
Xiong Wei Song (2018) dalam bukunya yang berjudul Implementing
Sure Start Policy Context, Networks and Discretion, menguraikan Kebijakan Sure
Start, sebagai salah satu inisiatif kebijakan terpenting dari Pemerintah Buruh,
telah dilihat sebagai kebijakan kunci untuk mengatasi masalah pengucilan sosial
dan kemiskinan. Sure Start telah menjadi salah satu kebijakan unggulan di
bawah pemerintahan Buruh Baru, dan Sure Start Children's Centers telah
menjadi kendaraan untuk mengurangi kesenjangan antara anak yang kurang
beruntung di bawah lima tahun dan populasi anak yang lebih luas. Sure Start
juga mencerminkan keyakinan Buruh dalam 'kerja multi-agensi'. Selain itu,
Prinsip Sure Start disebutkan juga mencerminkan ‘Pendekatan campuran’ untuk
meningkatkan layanan anak-anak yang tidak hanya menekankan ‘Layanan yang
berfokus pada pelanggan’ tetapi menyoroti pentingnya ‘pemeriksaan dan
kualitas’ jaminan 'dalam penyediaan layanan. Dalam kebijakan Sure Start,
Pemerintah Buruh juga menganggap memberdayakan staf garis depan sebagai
kendaraan terbaik untuk menyediakan layanan standar.
Pendekatan jaringan implementasi menganalisis hubungan interaktif
antara konteks dan jaringan, struktur dan agensi, serta jaringan dan hasil, yang
menawarkan perspektif untuk membongkar kerumitan yang terlibat dalam proses
implementasi. Secara tradisional, sebagaimana dibahas di atas, studi tentang
proses implementasi telah tertanam baik dengan pendekatan ‘top-down’ atau
‘bottom-up’. Studi implementasi kebijakan mengambil analisis jaringan ke dalam
pertimbangan dalam menganalisis proses implementasi dan mengenali
pentingnya dari proses interaktif aktor dalam jaringan kebijakan. Kickert, Klijn dan
Koppenjan menawarkan penjelasan yang sangat meyakinkan tentang pentingnya
114
isu-isu tentang manajemen jaringan dalam implementasi (Hill and Hupe 2002:
77). Ide bahwa proses kebijakan pada umumnya merupakan interaksi antara
berbagai aktor dan bukan diatur secara terpusat oleh pemerintah sekarang
diterima secara luas (Rhodes 1997). Maret dan Olsen berpendapat bahwa
'selama pertandingan, aktor beroperasi di dalam distribusi sumber daya yang
mapan dan seperangkat aturan, dan mereka memilih strategi berdasarkan
persepsi mereka tentang sifat masalah, solusi yang mereka inginkan, dan solusi
dari aktor lain (Maret dan Olsen 1984). Meskipun mereka berusaha mempelajari
implementasi kebijakan di luar pendekatan top-down atau bottom-up, mereka
gagal untuk memberikan kerangka teoritis holistik untuk menjelaskan proses
implementasi dengan cara analisis yang terintegrasi tingkat meso dan mikro
melalui pendekatan dialektik.
Pendekatan jaringan implementasi adalah konsep yang dinamis dan
dapat diadaptasi untuk menjelajahi berbagai bidang kebijakan. Cairney
berpendapat bahwa: ‘Jika jaringan kebijakan harus jelas, maka seseorang harus
menunjukkan bahwa mereka bertindak, atau menjalankan kekuasaan, untuk
memengaruhi hasil kebijakan '(Cairney 1999). Karena itu, bagaimana caranya
menganalisis perilaku aktor yang berbeda dalam proses implementasi
merupakan kunci pertanyaan karena perilaku ini cenderung mempengaruhi
proses implementasi dan bisa mengalihkan makna asli dari kebijakan yang
dirumuskan dalam tahap awal. Ada dua jenis aktor dalam proses implementasi:
organisasi dan individu. Cara mereka berinteraksi satu sama lain sangat penting
untuk memahami proses penerapannya. Akhirnya, ketika menganalisis perilaku
aktor dalam proses pelaksanaannya, kita juga tidak bisa melupakan faktor-faktor
115
lain, seperti konteks implementasi dan hasil implementasi, yang dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Bagan 2.7. Implementation Network Approach, Xiongwei Song (2018: 105)
Secara keseluruhan, tiga hubungan interaktif disajikan dalam
implementasi pendekatan jaringan: struktur dan agensi, jaringan dan konteks,
dan jaringan dan hasil. Dalam hal hubungan antara jaringan dan konteks:
Pertama, jaringan kebijakan mencerminkan struktur eksogen; kedua, struktur
jaringan, jaringan perubahan dan hasil kebijakan dapat dijelaskan sebagian oleh
referensi faktor eksogen ke jaringan, tetapi faktor kontekstual ini secara dialektis
terkait dengan jaringan struktur dan interaksi jaringan (Marsh dan Smith 2000: 7).
Pendekatan jaringan implementasi juga memberi kami kesempatan
untuk meletakkan proses implementasi ke dalam siklus kebijakan untuk
menganalisa bagaimana tahapan kebijakan yang lain, seperti pengaturan
agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, mempengaruhi jaringan
implementasi sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para
116
aktor di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya terhadap
mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi.
Kedua, pendekatan jaringan implementasi juga mempertimbangkan
hubungan interaktif antara jaringan dan hasil. Ketika membawa ini ke dalam studi
proses implementasi, kami harus mempertimbangkan peran hasil implementasi
pada proses implementasi. Pertama, hasil implementasi tertentu dapat
menyebabkan perubahan dalam keanggotaan jaringan implementasi atau pada
keseimbangan sumber daya di dalamnya. Kedua, hasil implementasi dapat
berdampak pada struktur sosial yang lebih luas, yang melemahkan posisi
kepentingan tertentu dalam kaitannya dengan aktor tertentu dalam jaringan
implementasi.
Ketiga, hubungan interaktif antara struktur dan agensi yang diusulkan
oleh pendekatan jaringan implementasi memberikan kesempatan untuk
mengintegrasikan pendekatan top-down dan pendekatan dari bottom-up. Dalam
pendekatan jaringan implementasi, umumnya ada dua jenis aktor organisasi dan
individu yang melaksanakan kebijakan bersama. Dalam analisis interaktif
hubungan antara struktur dan agensi, peran struktur dan agen ditekankan.
Artinya, untuk memahami proses interaktif dari berbagai aktor dalam proses
implementasi, penting untuk mempertimbangkan peran struktur organisasi, tetapi
juga untuk memperhitungkan peran agen ketika menganalisis proses
implementasi. Namun bahkan jika pendekatan jaringan implementasi
menekankan hubungan interaktif antara struktur dan agensi, masih perlu
kekuatan untuk menjelaskan bagaimana berbagai aktor berinteraksi satu sama
lain dalam proses implementasi.
117
Sejauh ini, belum ada elemen analitik yang membahas bagaimana
organisasi atau individu yang berbeda saling berinteraksi satu sama lain atau di
antara mereka dalam jaringan implementasi
2.4.2 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan Implementasi Kebijakan Publik
Untuk mengantisipasi agar suatu kebijakan atau implementasi tidak gagal,
maka ada hal-hal yang perlu diketahui yang dapat membuat suatu pelaksanaan
kebijakan menjadi gagal, yaitu:
1) Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap yang membuat bingung
dan membuat penafsiran sendiri-sendiri oleh para pelaksana kebjakan.
2) Instansi tujuan yang saling berlawanan.
3) Adanya tujuan yang saling berlawanan.
4) Insentif tidak memadai. Maksudnya para pelaksana kebijakan merasa
bahwa upah tambahan/intensif untuk melaksanakan kebijakan tidak
seimbang dengan jerih payahnya sehingga mereka tidak sungguh-sungguh
melaksanakannya.
5) Ketidakjelasan arah kebijakan dasar dengan kebijakan implementasinya.
6) Katerbatasan keahlian
7) Sumber daya administrasi yang terbatas.
8) Kegagalan komunikasi (Abdul Wahab, 1997: 273)
Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa keberhasilan suatu
kebijakan ditentukan oleh dukungan lingkungan, kepatuhan serta dukunggan dari
pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung atau yang
terkana pengaruh kebijakan, ketersediaan sumber daya secara kualitas maupun
kuantitas, serta alat kontrol kebijakan berupa instrumen hukum terhadap
118
pelanggaran kebijakan. Kesemuanya harus disusun dan direncanakan dengan
baik dengan memperhatikan kondisi, kemampuan, ataupun potensi yang dimiliki.
Berbagai teori yang dikemukakan tersebut telah banyak memberikan gambaran
kepada kita khususnya dikalangan pada implementator dalam rangka
mengimplementasikan suatu kebijakan dan meminimalkan adanya kegagalan
dari implementasi. Oleh karena itu dari sudut pandang efektivitas, implementasi
masing-masing teori tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan. Namun
situasi dan kondisi dimana teori itu dipakai tergantung pada permasalahan yang
dihadapi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sehingga model
implementasi menjadi penting untuk dikaji.
2.4.3 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
Teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas
dalam suatu penelitian sangat diperlukan dan mutlak sifatnya. Teori dalam suatu
penelitian ilmiah diperlukan untuk menganalisis suatu fakta yang timbul dalam
rangkaian penelitian secara empiris. Selain itu teori diperlukan untuk
mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta-fakta yang hendak diselidiki dan
juga digunakan untuk mencari keterkaitan antara fakta yang di dapat di lapangan
dengan permasalahan yang timbul, sehingga dapat memberikan arah bagi
peneliti untuk melakukan analisis dan pembahasan lebih lanjut. Oleh karena itu
untuk melakukan penelitian ini.
Jika dikaitkan dengan penelitian ini yang menganalisis implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang, maka dapat dipahami bahwa kebijakan ini dapat
119
ditujukan untuk mencapai kriteria responsivitas dalam mengimplementasikan
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang yaitu langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan,
diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok.
Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok ini berisi tentang berbagai aturan yang mengatur perokok agar
tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan
dilarang merokok serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar aturan ini dalam
Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok juga dicantumkan tujuan pemberlakuan peraturan ini sebagai upaya
menekan jumlah pengkonsumsi rokok di wilayah Palembang serta mengatasi
pencemaran udara di Palembang yang tidak terkendali lagi.
Sehubungan dengan penelitian ini, maka implementasi Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
dilaksanakan dengan berazaskan:
a. Keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungan;
b. Kemanfaatan umum;
c. Keterpaduan dan keserasian;
d. Keadilan; dan
e. Transparansi dan akuntabilitas.
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk:
1. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok
orang lain;
2. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi Masyarakat;
120
3. Melindungi kesehatan Masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung.
Prinsip Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah:
a. 100 % kawasan tanpa asap rokok
b. Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup
c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau
tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan
tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum.
Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan
dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan
rokok, meliputi: tempat umum; tempat kerja; tempat ibadah; arena kegiatan anak-
anak; angkutan umum; kawasan proses belajar mengajar; dan tempat pelayanan
kesehatan.
Adapun petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengawasan Kawasan Tanpa
Rokok ini sesuai dengan Peraturan Walikota Palembang No. 67 Tahun 2010
Pasal 6, maka Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melaksanakan tugasnya
dengan petunjuk sebagai berikut:
a. Meletakkan tanda-tanda larangan merokok di semua pintu masuk uatama
dan ditempat-tempat yang di pandang perlu dan mudah terbaca;
b. Mengingatkan semua orang untuk tidak merokok di tempat umum;
c. Melarang adanya tempat merokok di tempat umum;
d. Melarang menyediakan rokok di tempat umum;
e. Melarang menjual atau mengiklankan atau mempromosikan rokok yang
tidak sesuai dengan izinnya.
f. Melarang adanya asbak
121
g. Melaporkan adanya pelanggaran ke Tim Pengawas Pelaksana KTR
h. Berkoordinasi dengan tim pengawas pelaksana
i. Melaporkan secara rutin setiap 3 bulan sekali.
Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah
ini, setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab
Kawasan Tanpa Rokok, harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini. Pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah ini,
diancam dengan hukum pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Kepatuhan terhadap Perda KTR pada dasarnya merupakan perilaku
orang-orang yang berada pada suatu kawasan untuk tidak merokok di dalam
ruangan. Kepatuhan pelaksanaan Perda KTR sangat dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat yang merupakan Pengunjung atau Pengguna dan faktor Pimpinan
yang merupakan Penanggung jawab pelaksanaan Perda KTR di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang. Adapun analisis kepatuhan pegawai didasarkan
pada Teori Green (Notoadmojo S, 2010: 186) membagi faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat khususnya dalam mematuhi
Perda KTR di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, menjadi 3 faktor utama,
faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan
faktor penguat (reinforcing factor)
Selanjutnya penelitian ini akan mengidentifikasi, menganalisis,
menemukan dan merekomendasikan hal-hal yang berkaitan dengan:
(1) Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan
Kota Palembang
122
(2) Kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
(3) Faktor pendukung dan penghambat kepatuhan pegawai dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan
Kota Palembang
(4) Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
yang ideal
2.5 Local Government
2.5.1 Pengertian Local Government
Penyelenggaraan Negara mencakup dimensi mengenai formulasi
kebijakan dan implementasi kebijakan. Sentralisasi identik bagaimana formulasi
dan implementasi kebijakan dilakukan oleh central government, sedangkan
desentralisasi yaitu formulasi dan implementasi kebijakan dilakukan oleh local
government.
Kata local dalam kaitannya dengan local government dan local autonomy
tidak dicerna sebagai daerah, tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan
dan kepentingan yang menjadi perhatian local government dan tercakup dalam
local autonomy bersifat locality. Basis politiknya adalah lokalitas dan bukan
bangsa. Pemerintahan lokal adalah representasi dari eksistensi lokalitas,
sekaligus sebagai agen negara (Pemerintah Pusat).
Pengertian local government yang diberikan oleh United Nation bahwa
daerah otonom mengelola local affairs sebagaimana dikemukakan oleh Hampton
bahwa: local authority are elected bodies and expected to develop policies
appropriate to their localities whitin the framework of national legislation. Selain
123
itu, juga ditegaskan bahwa daerah otonom harus diberikan hak untuk mengatur
urusan-urusan yang bersifat lokal. Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu
negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar
daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan
geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut,
sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan
untuk daerah tersebut. Menurut jenisnya, daerah otonom dapat berupa otonomi
teritorial, otonomi kebudayaan dan otonomi lokal.
Muthalib dan Ali Khan (1982: 2-18), menjelaskan secara komprehensif
pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa
secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional.
Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) social dimension; (2) economic
dimension; (3) geografic dimension; (4) legal dimension; (5) political dimension;
dan (6) administrative dimension.
Organisasi sektor publik secara sederhana dapat dipahami sebagai
organisasi yang berada dalam ranah publik dan bertugas melayani masyarakat.
Walsh, Leach and Stewart (1994: 4) mengungkapkan sifat khusus dari organisasi
publik tersebut tentunya juga melekat pada organisasi publik yang berada pada
tataran local government atau birokrasi tingkat lokal. Mereka berada dalam
tujuan, kondisi dan tugas-tugas khusus menyangkut kepentingan publik.
Sehingga, tanggung jawab organisasi publik secara umum maupun tingkat lokal
akan berkaitan pada tujuan-tujuan publik. Berkaitan dengan local government,
baik institusi dan manajemennya, perlu dipahami sebagai local government
dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya sebagai penyedia layanan, tapi
juga sebagai institusi politik untuk pilihan dan aspirasi lokal.
124
2.5.2 Peran Local Government
Jha dan Mathur (1999: 60) menguraikan beberapa peran Pemerintahan
Daerah (the role of local government) yang dapat ditemukan dalam sistem
pemerintahan yang terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang
dimaksud, sebagai berikut:
a) Menjadi senjata efektif dalam menghadapi tekanan lokal dengan
menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media
pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan
fungsi pemerintahan;
b) Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa
dapat berlangsung lebih efisien;
c) Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya,
dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula;
d) Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan
dengan publik lebih dekat;
e) Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat
dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di
daerah
2.5.3 Manfaat Local Government
Manfaat yang dapat dipetik dari local government, yaitu pertama, adanya
daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap preferensi individual (public
responsiveness to individual preferences). Kedua, local government memiliki
kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (demand
for public goods). Desentralisasi meningkatkan unit-unit pemerintahan dan
125
derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah
dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam
mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya relasi yang rumit antara
barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan
kepemimpinan. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih
baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public
goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang
publik diselenggarakan secara tersentralisasi.
Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungan
untuk memberi pelayanan. Semakin monopolistis suatu pemerintah maka
semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasarkan teori, yurisdiksi yang
terfragmentasi akan memberikan kepuasan kepada konsumen daripada
kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang
antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan
kepada publik atas penyediaan barang dan layanan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa konsep local
government juga menyangkut dimensi Administrasi pada birokrasi tingkat lokal,
termasuk dalam penerapan kebijakan kawasan tanpa rokokyang dikeluarkan
melalui Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok yang berisi tentang berbagai aturan yang mengatur perokok agar
tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan
dilarang merokok serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar aturan tersebut.
126
2.5.4 Teori Local Government
Pemerintahan daerah pada awalnya lahir dan berangkat dari beberapa
konsep dan teori yang telah ada yaitu: dari teori kekuasaan, konsep
pembentukan negara, dan konsep kedaulatan. Berdasarkan teori kekuasaan,
yang dicetuskan oleh Montesquei (seorang Perancis) yang kemudian oleh
Immanuel Kant disebut sebagai Trias Politica, bahwa pemisahan kekuasaan
dalam suatu negara dipisahkan ke dalam 3 bagian besar yaitu: legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
John Locke (Inggris) mengatakan bahwa kekuasaan dalam suatu negara
di pisahkan dalam 3 lembaga besar juga yaitu legislatif, eksekutif dan federatif.
Pemisahan kekuasaan cara ini biasanya diterapkan pada lembaga-lembaga
negara yang satu dengan yang lain tidak ada intervensi. Berangkat dari filosofi
Montesquei dan John Locke, Arthur Maas (1959) membagi kekuasaan
pemerintah menjadi 2 bagian besar yaitu:
a) Capital Division of Power (CDP)
Pembagian terhadap kapasitas menyeluruh untuk memerintah diantara
pejabat dan badan pejabat pemerintahan di ibukota dari masyarakat politik
(pembagian kekuasaan dalam bidang). Dalam model ini dikenal pemisahan
kekuasaan yang dibuat oleh Montesquei yang disebut dengan separation
of power. Separation of power diberi arti sebagai suatu sistem pemisahan
kekuasaan yang satu lembaga dengan lembaga lain tidak ada hubungan
interpedensi. Artinya kekuasaan legislatif dipegang oleh lembaga legislatif
demikian juga pada eksekutif dan judikatif, mengurusi kewenangan yang
menjadi kekuasaannya.
127
b) Areal Division of Power (ADP)
Pembagian kekuasaan menurut wilayah-wilayah lebih kecil di wiyah
teritorial nasional. Pembagian kekuasaan ini didasarkan kepada fungsi atau
aktivitas berdasarkan ketentuan konstitusi serta pendelegasian.
Pelaksanaannya dilakukan melalui dua cara yaitu desentralisasi dan
dekosentrasi. Desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan secara
legal untuk melaksanakan fungsi tertentu atau fungsi yang tersisa kepada
otoritas lokal yang secara formal diakui oleh konstitusi yang diwujudkan
dengan pembagian kekuasaan bidang politik maupun administrasi menurut
wilayah yang lebih kecil didalam suatu wilayah negara. Sedangkan
dekosentrasi merupakan pendelegasian kekuasaan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang berada diluar
kantor pusat yang berwujud dalam bentuk pembagian wilayah kekuasaan
administrasi menurut wilayah yang lebih kecil dalam suatu negara. Dari
areal division of power inilah kemudian lahir konsep pemerintahan daerah.
Selanjutnya dalam menjalankan urusan penyelenggaraan pemerintahan
melalui desentralisasi, dikenal 4 varian struktur dan elemen desentralisasi.
Keempat varian struktur dan elemen desentralisasi itu adalah :
1) Comprehensive Local Government System
yakni memperlihatkan bahwa sebagian besar urusan pengelolaan daerah
diberikan kepada pemerintah daerah (baik itu mengenai urusan pusat
maupun urusan daerah). Model ini banyak dianut di negara India, Sudan,
Pakistan dan Uni Arab Republik
128
2) Partnership Local Government System
Ditandai bahwa beberapa fungsi tertentu pelayanan dilakukan oleh
pemerintah daerah dan sebagian urusan pusat dilakukan oleh perwakilan
pemerintah pusat di daerah
3) Dual System of Local Government
memperlihatkan dimana pemerintah daerah melakukan fungsinya demikian
juga pemerintah pusat melakukan fungsinya melalui perwakilannya di
daerah. Fungsi akan sama, akan tetapi aspek berbeda. Dalam hal ini
pemerintah daerah lebih berperan sebagai alat political decentralization
dari pada sebagai alat pembangunan sosial-ekonomi
4) Integrated Administrative Government System.
Ditandai bahwa pemerintah daerah dan unsur wilayah administrasi sama-
sama melakukan tugas dalam satu wilayah (wakil pemerintah pusat yang
berada di wilayah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat).
Pemerintahan daerah tidak senantiasa berbicara mengenai pendelegasian
urusan yang dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi maupun
dekonsentrasi. Dalam pengembangan suatu wilayah, perlu dipersatukan
beberapa unsur juga untuk memudahkan penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan. Keadaan ini pertama kali diterapkan oleh Jenderal Prancis
yakni Napoleon Bonaparte. Bonaparte melakukannya untuk memperluas
ekspansi wilayah yang dilakukannya di Eropa Barat pada abad kelima
belas melalui kekuatan militer yang bersifat komando, sehingga melahirkan
kesetiaan yang utuh terhadap instruksi yang dibuatnya. Teori ini kemudian
dikenal dengan nama Integrated Perfectoral System.
129
Pemerintahan daerah merupakan salah satu sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang kita anut, dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan publik kepada masyarakat. Seyogianya dengan pemerintahan
daerah maka tujuan pembangunan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia
dapat kita wujudkan. Semoga melalui berbagai azas penyelenggaran
pemerintahan yang kita laksanakan bukan membuat stereotype yang
berlebihan antar daerah yang bisa menimbulkan gerakan separatisme,
namun semakin menumbuhkan kesadaran antar daerah untuk saling
berlomba-lomba membangun dan memajukan daerahnya yang secara
tidak langsung mewujudkan pemerataan pembangunan di berbagai sektor.
2.6 Kepatuhan
2.6.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan
dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada
ajaran dan aturan. Hal ini sesuai dengan Teori Kepatuhan (Compliance Theory)
yang telah diteliti pada ilmu-ilmu sosial khususnya di bidang psikologis dan
sosiologi yang lebih menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam
mempengaruhi perilaku kepatuhan seorang individu.
Menurut Lunenburg (2012) Teori Kepatuhan (Compliance Theory) adalah
sebuah pendekatan terhadap struktur organisasi yang mengintegrasikan ide-ide
dari model klasik dan partisipasi manajemen. Sedangkan menurut Kelman (1958:
51-60), Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada
130
harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman
yang mungkin dijatuhkan.
2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan
Untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaaan
Perda KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green tentang
Perilaku Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat
(reinforcing factor)
Kepatuhan terhadap Perda KTR pada dasarnya merupakan perilaku
orang-orang yang berada pada suatu kawasan untuk tidak merokok di dalam
ruangan. Kepatuhan pelaksanaan Perda KTR sangat dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat yang merupakan Pengunjung atau Pengguna dan faktor Pengelola
yang merupakan Penanggung jawab pelaksanaan Perda KTR pada masing-
masing kawasan
Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan,
Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Pengetahuan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi prilaku seseorang karena prilaku terbentuk
didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmojo S, 2010).
Pengetahuan tentang pelaksanaan Perda KTR bisa didapat melalui penglihatan
seperti melihat dan membaca berita tentang Perda KTR melalui media televisi,
radio maupun media massa. Pengetahuan dinilai menggunakan pertanyaan
untuk mengukur tingkat pengetahuan pengelola tentang pelaksanaan Perda KTR
131
di Kantor Kelurahan. Pengetahuan pengelola meliputi tujuan pelaksanaan Perda
KTR, tempat-tempat yang diatur, kriteria kepatuhan dan sanksi terhadap
Pelanggaran. Pengelola yang telah mempunyai pemahaman dan pengetahuan
yang cukup diharapkan kawasan yang dikelolanya akan patuh terhadap Perda
KTR. Selanjutnya sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku.
Sikap yang positif terhadap sesuatau (setuju, senang, mau) akan memicu prilaku
yang postif pula (Notoadmojo S, 2010). Sikap tentang Perda KTR adalah sikap
pengelola terhadap penerapan Perda KTR di Instansi Pemerintahan yang
meliputi Pendapat Pimpinan/ Pegawai terhadap dampak asap rokok terhadap
orang disekitarnya, kebijakan pelarangan kegiatan merokok di dalam ruangan di
tempat manapun Instansi Pemerintahan, tujuan pelaksanaan Perda KTR,
pendapat tentang tanggung jawab mereka sebagai pelaksana kebijakan
kawasan tanpa rokok dikawasan yang dikelola dan pendapat mereka terhadap
dampak pelaksanaan Perda KTR terhadap pemberian Pelayanan di Instansi
Pemerintahan. Pimpinan Instansi Pemerintahan yang mempunyai sikap postif
terhadap pelaksanaan Perda KTR diharapkan kawasan yang dikelolanya akan
patuh pula terhadap Perda KTR.
Komitmen Pimpinan Instansi Pemerintahan mempunyai pengaruh yang
besar dalam mewujudkan kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR. Dalam buku
pedoman pengembangan KTR disebutkan bahwa melakukan advokasi untuk
membangun komitmen bersama antara segenap masyarakat, pemerintah dan
pengelola kawasan sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok. Perilaku merokok dari pengelola merupakan faktor yang
dapat menghambat pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahan. Pimpinan
Instansi Pemerintahan adalah role model atau teladan bagi bawahannya
132
sehingga seorang Pimpinan yang dikenal mempunyai perilaku merokok tidak
akan bisa menjadi contoh yang baik. Pimpinan tersebut akan kehilangan wibawa
saat menginisiasi pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahannya. Selain
itu, dalam melakukan tindakan pengawasan akan cenderung tidak tegas dan
sangat mungkin tidak dituruti oleh orang lain. Penilaian terhadap prilaku merokok
dapat dilakukan dengan bertanya langsung apakah merokok atau tidak, apakah
merokok ditempat kerja atau di rumah.
Faktor pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang
memungkinkan terjadinya perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung
pelaksanaan Perda KTR berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk
tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta penyediaan
klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok
Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,
Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan
sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan
salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan
perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda
khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.
2.7 Hubungan Administrasi Publik dengan Implementasi Kebijakan
Mempelajari implementasi kebijakan publik sangat krusial dan komplek
dalam prespektif administrasi publik dan kebijakan publik, hal ini berkaitan
dengan aspek kebijakan itu sendiri yang tidak terlepas hubungannya dengan
berbagai kelembagaan dalam suatu sistem pemerintahan dan aspek masyarakat
sebagai objek kebijakan, sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III, (1980:1),
133
bahwa: The study of policy implementation is crucial for the study of public
administration and public policy. Policy implementation, as we have seen, is the
stage of policy making between the establishment of a policy-such as the
passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing down
of judicial decesion, or the promulgation of a regulatory rule and the
consequences of the policy of the poeple whom it affects.
Tachjan, (2006: 74), mengemukakan bahwa: Studi Implementasi
Kebijakan publik pengembanganya dilatarbelakangi oleh pengalaman mengenai
pelaksanaan program-program kebijakan pembangunan baik di negara-negara
Dunia Ketiga maupun di negara maju, yaitu adanya gap atau perbedaan antar
apa yang diharapkan tercapai dengan apa yang sesungguhnya dapat diterima
oleh masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Implementasi kebijakan pada dasarnya juga mengukur akan
keberhasilan atau kegagalan suatu hasil kebijakan yang secara nyata
dilaksanakan dilapangan oleh para implementator dan bagaimana dampaknya
terhadap masyarakat maupun stakeholdernya, sebagaimana dikemukakan oleh
Saefullah (2007: 39): pemahaman tentang pelaksanaan kebijakan bukan hanya
dimiliki oleh aparat lembaga dan aparat pelaksana, tetapi juga oleh masyarakat
atau pihak Implementasi kebijakan ini merupakan fungsi dan tugas administrator
publik dalam mengaplikasikan lebih lanjut kebijakan yang telah ditetapkan oleh
para perumus kebijakan (policy makers) tersebut, yang suka tidak suka bagi para
administrator harus menjalankanya, sebagaimana ditegaskan oleh Pfiffner and
Presthus, (1960: 4) bahwa Administrator mempunyai tugas secara akuntabilitas
dan responsibilitas setiap kebijakan yang diamanatkan untuk diimplementasikan
secara nyata terhadap masyarakatnya.
134
Kemampuan dan pengetahuan administrator untuk menjembatani
setiap implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan dalam setiap
programnya, akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sebagaimana
dikemukakan oleh Grindle (1980: 6), bahwa keterkaitan suatu kebijakan dengan
program yang diimplementasikan oleh pemerintah sebagai fungsi
implementatornya, selanjutnya pencapain tujuan yang telah diprogramkan dalam
pelaksanaanya harus menyeluruh dan dievaluasi melalui pengukuran hasil
program dalam pencapaian tujuan kebijakannya.
2.8 Kawasan Tanpa Rokok
2.8.1 Ruang Lingkup Asap Rokok
Levy and Sarnat (1994) menguraikan bahwa Asap rokok selain
merugikan diri sendiri juga dapat merugikan orang lain yang berada disekitarnya.
Perilaku merokok dipahami sebagai suatu kegiatan atau aktivitas membakar
rokok kemudian menghisap dan menghembuskannya keluar serta menghasilkan
asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya. Bahaya merokok
terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Efek-efek
yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak
penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan resiko timbulnya
berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah,
kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker oesofagus,
bronchitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat
pada janin.
135
Kerugian yang di timbulkan rokok sangat banyak bagi kesehatan, tetapi
sayangnya masih saja banyak orang yang tetap memilih untuk menikmatinya.
Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dan
setidaknya 200 diantaranya dinyatakan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Racun utama pada rokok adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida. Namun
pada kenyataannya kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan dan jarang diakui
orang sebagai suatu kebiasaan buruk. Apalagi orang yang merokok untuk
mengalihkan diri dari stress dan tekanan emosi, lebih sulit melepaskan diri dari
kebiasaan ini dibanding perokok yang tidak memiliki latar belakang depresi.
2.8.2 Dasar Hukum Kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok
Kesehatan merupakan hak azasi manusia yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Amanat Undang-
undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Pasal 115 menetapkan kebijakan
kawasan tanpa rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok antara lain:
a. Fasilitas pelayanan kesehatan;
b. Tempat proses belajar mengajar;
c. Tempat anak bermain;
d. Tempat ibadah;
e. Angkutan umum;
f. Tempat kerja; dan
g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
136
2.9 Kerangka Pikir/Konseptual
Kerangka Pikir/Konseptual implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di Instansi Pemerintahan Kota Palembang dilandasi oleh UUD 1945 Pasal 28 H,
UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan serta PP No. 19 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Hal ini di dasarkan keprihatinan atas
bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh. Oleh karena itu Pemerintah Kota
Palembang juga berpartisipasi dalam meningkatkan kesehatan warganya dengan
mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok yang berisi tentang berbagai aturan yang mengatur
perokok agar tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan
sebagai kawasan dilarang merokok serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar
aturan tersebut.
Dalam penelitian ini akan dianalisis implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang melalui isi kebijakan,
konteks implementasi serta hasil kebijakan. Selain itu akan di analisis pula peran
dari masing-masing aktor dalam proses implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, meliputi Pemerintah, Pimpinan
Instansi Pemerintahan, Masyarakat serta pengaruh dari lingkungan kebijakan
tersebut. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:
137
BAB III
ANALISIS SOSIAL DAN SETTING PENELITIAN
Implementasi Kebijakan berdasarkan model Grindle (1980)
c. Hasil Kebijakan 1. Pengaruh pada Masyarakat 2. Perubahan dan Penerimaan oleh Masyarakat
a. Konten Kebijakan 1. Kepentingan yg dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat Perubahan yg diharapkan 4. Letak Pengambilan Keputusan 5. Pelaksanaan Program 6. Sumber Daya yg dilibatkan
b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi aktor yang
dlibatkan 2. Karakteristik Lembaga & Penguasa 3. Kepatuhan dan Daya Tanggap
Faktor Pemungkin: Penyediaan Fasilitas
Landasan Normatif • UUD 1945 Pasal 28 H • UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan • PP No. 19 Tahun 2003
tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan
• Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Implementasi Kebijakan Publik
Faktor Predisposisi: 1. Pengeta
huan 2. Sikap 3. Komitmen 4. Perilaku
Faktor Penguat: 1. Himbauan
Organisasi 2. Pengawasan
Internal 3. Penerapan
Sanksi
Rekomendasi Model
Bagan 2.8. Kerangka Pikir Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
138
BAB III
ANALISI SOSIAL DAN SETTING PENELITIAN
3.1 Analisis Sosial Wilayah Kota Palembang
3.1.1 Sejarah Singkat
Kota Palembang adalah Ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Palembang
merupakan Kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan. Kota Palembang
memiliki luas wilayah 358,55 km² yang dihuni 1,7 juta orang dengan kepadatan
penduduk 4.800 per km². Diprediksikan pada tahun 2030 mendatang Kota ini
akan dihuni 2,5 Juta orang.
3.1.2 Pemerintahan
Kota Palembang dibagi ke dalam 16 Kecamatan dan 107 Kelurahan,
Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu:
1. Alang-Alang Lebar
2. Bukit Kecil
3. Gandus
4. Ilir Timur I
5. Ilir Timur II
6. Ilir Barat I
7. Ilir Barat II
8. Kalidoni
9. Kemuning
10. Kertapati
11. Plaju
138
139
12. Sako
13. Seberang Ulu I
14. Seberang Ulu II
15. Sematang Borang
16. Sukarame
3.1.3 Penduduk
Penduduk Palembang merupakan etnis Melayu dan menggunakan
Bahasa yang telah disesuaikan dengan dialek setempat yang kini dikenal
sebagai Bahasa Palembang. Namun para pendatang seringkali menggunakan
bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering,
Rawas, Musi, Pasemah, dan Semendo. Pendatang dari luar Sumatera Selatan
kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-
hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan. Namun untuk berkomunikasi
dengan warga Palembang lain, penduduk umumnya menggunakan bahasa
Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan
warga keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar.
Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan
India. Kota Palembang memiliki beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari
suatu komunitas seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas
Tionghoa serta Kampung Al Munawwar, Kampung Assegaf, Kampung Al Habsyi,
Kuto Batu, 19 Ilir Kampung Jamalullail dan Kampung Alawiyyin Sungai Bayas 10
Ilir yang merupakan wilayah Komunitas Arab.
140
Agama mayoritas di Palembang adalah Islam. Di dalam catatan
sejarahnya, Palembang pernah menerapkan Undang-undang tertulis
berlandaskan Syariat Islam, yang bersumber dari kitab Simbur Cahaya. Selain itu
terdapat pula penganut Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.
3.1.4 Konsumsi Rokok Masyarakat Kota Palembang
Hasil survei sosial ekonomi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Palembang pada tahun 2009 menyatakan bahwa kebutuhan akan rokok di Kota
Palembang sendiri menempati posisi yang kedua sebesar 18 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin meningkatnya individu yang mengkonsumsi rokok
di Kota Palembang, seolah-olah rokok sudah menjadi kebutuhan yang utama.
Diagram 3.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang
3.1.5 Konsumsi Rokok menurut Karakter Populasi
a. Konsumsi Rokok berdasarkan Jenis Kelamin (Gender)
Menurut data Susenas tahun 2004, rata-rata jumlah konsumsi rokok
dewasa meliputi laki-laki sebanyak 11 batang rokok per hari, sedangkan
141
perempuan mengkonsumsi 10 batang rokok per hari. Selanjutnya menurut data
Riskesdas tahun 2010, diketahui bahwa persentase jumlah perokok laki-laki lebih
tinggi yakni 65,9% dibandingkan perokok perempuan yakni sebesar 4,2%
b. Konsumsi Rokok berdasarkan Usia
Usia mulai merokok yang tertinggi pada kelompok umur 15-19 tahun
dengan persentase sebesar 63,7%, diikuti kelompok usia 20-24 tahun (17,2%)
dan kelompok usia 10-14 tahun (12,6%). Konsumsi rokok terendah pada
kelompuk usia +55 tahun (Susenas 2004)
c. Konsumsi Rokok berdasarkan Tingkat Pendidikan
Menurut TCSC-IAKMI tahun 2004, prevalensi perokok dewasa dengan
pendidikan rendah lebih besar dari pada perokok dewasa dengan pendidikan
tinggi. Data tahun 2004 menunjukan bahwa sebanyak 67% laki-laki tidak
bersekolah atau tidak lulus SD adalah perokok aktif, di sisi lain perokok aktif
lulusan pendidikan tinggi sebanyak 47,8%.
Sedangkan menurut hasil Susenas 2004 dikatakan bahwa pada laki-laki
tidak ada perbedaan konsumsi rokok antar tingkat pendidikan, sedangkan pada
perempuan tidak ada pola tertentu konsumsi rokok yang berhubungan dengan
pendidikan.
d. Konsumsi Rokok berdasarkan Status Perkawinan
Perokok yang tidak/belum menikah, mengkonsumsi lebih banyak rokok
dari pada perokok yang menikah (Susenas 2004)
e. Konsumsi Rokok berdasarkan Pendapatan (Income)
Berdasarkan jumlah pendapatan, semakin tinggi pendapatan maka
semakin banyak konsumsi rokok (antara 8-13 batang per hari), sedangkan bila
142
ditinjau dari sudut prevalensi jumlah perokok, semakin rendah pendapatan maka
semakin tinggi prevalansi perokok (Susenas, 1995, 2001 dan 2004)
f. Konsumsi Rokok berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi
Menurut Susenas tahun 2004, prevalensi merokok pada kelompok sosial
ekonomi terendah (termiskin) lebih tinggi, dari pada sosial ekonomi tertinggi
(terkaya). Sedangkan menurut Riskesdas 2007, prevalensi perokok berdasarkan
tingkat sosial ekonomi hampir tidak menunjukkan adanya perbedaan. Tahun
2007 prevalensi perokok kelompok sosial ekonomi terendah 35,8% sementara
kelompok sosial ekonomi tertinggi 31,5%.
3.2 Setting Penelitian
Kota Palembang merupakan Kota pertama di Indonesia yang memiliki
Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif dan menerapkan
100% Kawasan Tanpa Rokok yaitu tanpa menyediakan ruang merokok.
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota
Palembang merupakan satu-satunya Perda Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia
yang sesuai dengan standar internasional yaitu menciptakan 100% Kawasan
Tanpa Rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok. Selain itu, sanksi
terhadap pelanggaran Perda KTR, tidak dikenakan kepada si Perokok,
melainkan kepada pimpinan dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok.
Berdasarkan Pasal 7 huruf (a), disebutkan bahwa pemilik, pengelola, manajer,
pimpinan dan penanggung jawab, dilarang menyediakan tempat untuk merokok
di dalam gedung dan menyediakan rokok (menjual, mengiklankan dan
mempromosikan rokok). Selain itu, mereka juga perlu mengingatkan semua
orang untuk tidak merokok di kawasan tanpa rokok yang menjadi tanggung
143
jawabnya, melarang adanya asbak di kawasan itu, serta wajib meletakkan tanda-
tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama dan tempat lain yang
mudah terbaca. Bila aturan ini dilanggar, terancam denda adminstratif. Tidak
melarang adanya tempat untuk merokok atau penyediaan rokok, sanksinya
denda paling banyak Rp 10 juta rupiah (Pasal 19). Tidak melarang asbak di
kawasan tanpa rokok didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 20). Begitu pula
jika pemilik, pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab tidak
meletakkan tanda dilarang merokok, didenda paling banyak Rp 1 juta rupiah
(Pasal 21). Kemudian, jika mereka tidak melarang orang merokok di kawasan
tanpa rokok, maka didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 22). Jika aturan ini
sampai tiga kali dilanggar, sesuai Pasal 23, sanksi administratifnya berupa
pencabutan izin dan penutupan tempat usaha. Selain denda administrasi,
pelanggaran atas perda No. 7 Tahun 2009 ini juga disanksi pidana, dengan
ancaman kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak
Rp 50 juta (Pasal 27). Sehingga Kota Palembang dipilih menjadi lokasi penelitian
dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok.
Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan
dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan
rokok, meliputi: Tempat Umum; Tempat Kerja; Tempat Ibadah; Arena Kegiatan
Anak-Anak; Angkutan Umum; Kawasan Proses Belajar Mengajar; dan Tempat
Pelayanan Kesehatan. Salah satu kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
adalah tempat Kerja. Penelitian ini memilih lokasi penelitian hanya pada kawasan
tempat kerja khususnya Instansi Pemerintahan Kota Palembang
Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Kawasan Tanpa Rokok, mendefiniskan tempat kerja sebagai ruang tertutup
144
bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang
sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumber bahaya termasuk
kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dan sejenisnya.
Dalam hal ini, tempat kerja berupa Instansi Pemerintahan yang sekaligus
memberikan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan dapat mematuhi Perda
Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi para
Pegawai untuk bekerja maupun Masyarakat yang dilayani. Dalam hal ini
penelitian mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilakukan
pada Instansi Pemerintahan, Kota Palembang. Adapun Instansi Penegakan
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilakukan pada Instansi
Pemerintahan. Adapun Instansi penegakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang meliputi Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Palembang.
3.2.1 Profil Dinas Kesehatan Kota Palembang
a. Visi dan Misi
Visi Dinas Kesehatan Kota Palembang, yakni: “Tercapainya Palembang
Sehat”.
Misi Dinas Kesehatan Kota Palembang, yakni:
a) Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat
b) Meningkatkan profesionalitas Sumber Daya Manusia
c) Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan serta sarana dan
prasarana yang bermutu prima
d) Menurunkan resiko kesakitan dan kematian
145
b. Kedudukan Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 12 Tahun 2012
Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kota Palembang No. 9 Tahun
2008 Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota
Palembang. Dinas Kesehatan Kota Palembang unsur pelaksana urusan daerah
dibidang kesehatan berdasarkan kewenangan yang dimiliki berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas
Kesehatan Kota Palembang mempunyai tugas membantu Walikota Palembang
dalam melaksanakan sebagian urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas
otonomi dan tugas pembantuan dibidang kesehatan.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Kesehatan Kota
Palembang menyelenggarakan fungsi:
1) Perumusan kebijakan teknis dibidang kesehatan,
2) Penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan dan pelayanan umum
dibidang kesehatan,
3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kesehatan
4) Pengaturan, pengawasan dan pemberian perizinan dibidang kesehatan
5) Pelaksanaan pelayanan tekhnis ketatausahaan dinas
6) Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi
7) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
Dalam hal ini pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok Kota
Palembang dilaksanakan oleh Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan yang
mempunyai tugas pokok menyusun dan menyelenggarakan program
pengendalian dan pemberantasan penyakit, surveilans epidemologi dan
146
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah bencana atau kesehatan
matra dan penyebaran informasi serta penyelenggaraan kesehatan lingkungan.
Untuk melaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Bidang Pengendalian
Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang mempunyai fungsi:
1) Penyusunan rencana program dan petunjuk teknis dibidang
pengendalian masalah kesehatan
2) Pelaksanaan program dan petunjuk teknis di bidang pengendalian
masalah kesehatan
3) Pengawasan, pembinaan dan pengendalian di bidang pengendalian
masalah kesehatan
4) Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas
5) Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga/instansi lain di
bidang pengendalian masalah kesehatan
6) Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai
dengan tugas dan fungsinya
c. Struktur Organisasi
Untuk melaksanakan tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja
tersebut, sesuai Peraturan Daerah Kota Palembang No. 9 Tahun 2014 Tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota, Kepala
Dinas Kesehatan Kota Palembang, dibantu oleh:
1. Sekretariat, yang membawahi :
1) Sub Bagian Penyusunan Program
2) Sub Bagian Tata Usaha
3) Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan
147
2. Bidang Pelayanan Kesehatan, membawahi :
1) Seksi Kesehatan Dasar
2) Seksi Kesehatan Rujukan
3) Seksi Kesehatan Khusus
3. Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, membawahi :
1) Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit
2) Seksi Pengendalian Wabah dan Bencana
3) Seksi Penyehatan Lingkungan
4. Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia, membawahi
1) Seksi Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan
2) Seksi Data dan Informasi Kesehatan
3) Seksi Registrasi, Perizinan dan Akreditasi
5. Bidang Jaminan dan Sarana Kesehatan, membawahi :
1) Seksi Jaminan Kesehatan
2) Seksi Sarana dan Peralatan Kesehatan
3) Seksi Kefarmasian
6. Unit Pelaksana Tekhnis Dinas,
7. Kelompok Jabatan Fungsional.
Susunan organisasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tersebut dapat
dilihat dalam bentuk gambar berikut ini:
148
Gambar 3.2 Susunan organisasi Dinas Kesehatan Kota Palembang Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang
Bidang Pelayanan Kesehatan
Bid. Jaminan & Sarana Kesehatan
Bid. Pengendalian Masalah Kesehatan
Bid. Pengembang SDM
Kepala Dinas
Subbag Peny.Program
Sekretariat
Subbag Tata Usaha
Subbag Keu. & Perlengkapan
Seksi Kesehatan Dasar
Seksi Pelayanan Rujukan
Seksi Kesehatan Khusus
Kel. Jabfung
Seksi Pengend. & Pencegahan Penyakit
Seksi Pengendalian Wabah dan Bencana
Seksi Kesehatan Lingkungan
Seksi Perencanaan Diklat
Seksi Data dan Informasu Kesehatan
Seksi Registrasi, Perizinan & Akreditas
Seksi Jaminan Kesehatan
Seksi Sarana & Peralatan Kes
Seksi Kefarmasian
Kel. Jabfung Kel. Jabfung
UPTD Puskesmas
Kel. Jabfung Kel. Jabfung
Dokter; Dokter Gigi; Nutrisionist; Bidan; Perawat; Perawat Gigi
Epidemiolog; Entomolog; Laboratorian; Sanitarian; Penyuluh Kesehatan
Administrator Kesehatan Perekam Medis
Apoteker; Administrator Kesehatan
Perekam Medis; Administrator Kesehatan
148
149
d. Deskripsi Pegawai
Deskripsi pegawai merupakan gambaran mengenai keberadaan pegawai
dan kekuatan pegawai Dinas Kesehatan Kota Palembang berdasarkan tingkat
pendidikan, jenis kelamin dan golongan.
1. Jumlah Pegawai berdasarkan Tingkat Pendidikan
Adapun jumlah Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan Kota Palembang
berdasarkan Tingkat Pendidikan hingga Tahun 2016, dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 3.1 Tingkat Pendidikan Pegawai Negeri Sipil
Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase
(%)
1 < SLTA 3 2,94
2 SLTA 13 12,75
3 DI/DII/DIII/DIV 19 18,63
4 S1 42 41,18
5 S2/S3 25 24,51
Jumlah 102 100
Sumber: Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa dari jumlah keseluruhan
102 orang PNS Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016 Tahun 2016,
paling banyak berpendidikan S1 sebanyak 42 orang atau 41,18%, di ikuti dengan
pegawai yang berpendidikan S2 sebanyak 25 orang atau 24,51%. Selanjutnya
pegawai yang berpendidikan DI/DII/DIII/DIV sebanyak 19 orang atau 18,63%,
serta pegawai yang berpendidikan SLTA sebanyak 13 orang atau 12,75%.
Sementara itu, masih ada pegawai yang berpendidikan dibawah SLTA sebanyak
150
3 orang dengan persentase 2,94%. Hal ini memperlihatkan bahwa PNS Dinas
Kesehatan Kota Palembang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi.
2. Jumlah Pegawai berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun
2016 memiliki pegawai wanita lebih banyak dibandingkan pegawai pria yakni
69 orang pegawai wanita dan 33 orang pegawai pria.
3. Jumlah Pegawai berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan kelompok umur, Jumlah Pegawai Dinas Kesehatan Kota
Palembang Tahun 2016, dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.2 Jumlah Pegawai Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016
berdasarkan Kelompok Umur
No Kelompok Umur Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1 30 Tahun Kebawah (Th Lahir ... 1980) 20 19,61
2 31 - 40 Tahun (Th Lahir 1979-1970) 36 35,29
3 41 - 50 Tahun (Th Lahir 1969-1960) 29 28,43
4 Diatas 51 Tahun (Th Lahir ... 1959) 17 16,67
Jumlah 102 100
Sumber: Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016
Berdasarkan Kelompok Umur, Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun
2012 memiliki pegawai berusia antara 31 - 40 Tahun (Th Lahir 1979-1970) yakni
sebanyak 36 orang. Selanjutnya pegawai yang berusia antara 41 - 50 Tahun
(Th Lahir 1969-1960) 29 orang; pegawai yang berusia antara 30 Tahun
Kebawah (Th Lahir ... 1980) sebanyak 20 orang, sedangkan pegawai yang
berusia diatas 51 Tahun (memasuki masa pensiun) hanya sebanyak 17 orang
151
saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa pegawai Dinas Kesehatan Kota
Palembang mayoritas berada pada usia produktif.
4. Jumlah Pegawai berdasarkan Golongan
Berdasarkan golongan kepangkatan, Dinas Kesehatan Kota Palembang
Tahun 2016 memiliki kekuatan pegawai paling banyak pada golongan III
berjumlah 78 orang pegawai. Hal ini menggambarkan orientasi Dinas Kesehatan
Kota Palembang Tahun 2016 akan memaksimalkan kemampuannya melalui
fungsi manajemen kepemimpinan.
3.2.2 Profil Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
a. Visi dan Misi
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Dibentuk berdasarkan
Perda No. 6 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang. Satuan Polisi Pamong Praja
Merupakan Bagian Perangkat Daerah Dibidang Penegakan Perda, Ketertiban
Umum, Ketentraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat. Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Palembang Dipimpin oleh Seorang Kepala Satuan yang
berkedudukan dibawah Walikota Palembang dan Bertanggung Jawab Kepada
Walikota Palembang melalui Sekretaris Daerah.
Dalam rangka mendukung Visi Pemerintah Kota Palembang “Palembang
Emas Tahun 2018 dan Asian Games 2018”, maka ditetapkan Visi yang Ingin
diwujudkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2013-2018
sebagai berikut: ”Terwujudnya Keamanan dan Ketertiban di Masyarakat”
152
Visi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang, yakni:
1. Meningkatkan keamanan dan ketertiban serta kenyamanan dalam wilayah
Kota Palembang.
2. Menciptakan Pelayanan yang prima serta professional terhadap
masyarakat khususnya di Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat.
3. Sat Pol PP bukan lagi sebagai musuh atau antipati di mata Masyarakat,
namun sebagai Petugas yang dibutuhkan, dihormati, dan dicintai di
Masyarakat.
Motto Sat Pol PP Kota Palembang “Bertakwa, Berwibawa, Humanis”.
b. Tujuan dan Sasaran
Tujuan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang, antara lain:
a. Meningkatkan ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan
peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya
b. Menciptakan Palembang sebagai Kota yang aman dan tertib menuju Kota
Internasional dan Berbudaya
c. Meningkatkan disiplin aparatur baik mental spiritual, bermasyarakat, berlalu
lintas dan disiplin terhadap keberadaan lingkungan sekitarnya
d. Meningkatkan pelayanan prima demi terwujudnya Palembang sebagai Kota
Internasional yang sejahtera dan berbudaya
Sesuai dengan Visi, Misi, dan Tujuan yang telah ditetapkan, Sasaran
yang akan dicapai oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang adalah:
1. Terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat
153
2. Meningkatnya kinerja aparatur
3. Terciptanya situasi yang tentram, tertib dan nyaman di masyarakat
c. Tugas Pokok, Fungsi, Kewenangan dan Kewajiban
Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Perangkat Daerah
adalah Menyelenggarakan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta
Perlindungan Masyarakat, Menegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah (Perda 44 Tahun 2002 Jo Perda 13 Tahun 2007), meliputi:
1. Melaksanakan Operasional Penertiban Tempat Usaha, Bangunan dan
Reklame, Usaha Informal serta Sarana/Prasarana Umum dan Hiburan
2. Membina dan Menata Masyarakat agar mentaati Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah
3. Menertibkan dan menindak warga masyarakat yang menganggu
ketentraman dan ketertiban umum, antara lain:
a. Pol. PP melakukan Penertiban PK
b. Pol. PP melakukan Sidang Yustisi baik secara mobile maupun sidang di
tempat setiap hari selasa, dan
c. Pelanggaran Perda lainnya
4. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketentraman dan ketertiban umum
5. Melaporkan kepada Kepolisian Negara atas ditemukannya atau patut
diduga adanya tindak pidana atau kejahatan
154
6. Menyerahkan kepada PPNS atas ditemukannya atau patut diduga adanya
pelanggaran terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
7. Membina satlinmas dalam rangka pelaksanaan kebijakan linmas dan siap
dimobilisasi pada saat tanggap bencana
d. Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 06 Tahun 2012
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Palembang, maka struktur organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Palembang, sebagai berikut:
a. Kepala Satuan
b. Kelompok Jabatan Fungsional
c. Sekretariat
1) Sub Bagian Program
2) Sub Bagian Keuangan
3) Sub Bagian Umum & Kepegawaian
d. Bidang Penegakan Perundang-Undangan Daerah
1) Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan
2) Seksi Penyelidikan dan Penyidikan
e. Bidang Bina Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
1) Seksi Operasi dan Pengendalian
2) Seksi Kerjasama
155
f. Bidang Sumber Daya Aparatur
1) Seksi Pelatihan Dasar
2) Seksi Teknis Fungsional
g. Bidang Perlindungan Masyarakat
1) Seksi Satuan Perlindungan Masyarakat
2) Seksi Bina Potensi Masyarakat
h. Ka. Unit Pelaksana Sat Pol PP Kecamatan
Susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
tersebut dapat dilihat dalam bentuk gambar 3.3, berikut ini:
156
Gambar 3.3: Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
Bid. Penegakan Per-UU an daerah
Bid. Perlindungan Masyarakat
Bid. Bina Ketertiban Umum & Ketentraman Masy
Bid. Sumber Daya Aparatur
Kepala Satuan
Sub Bagian Program
Sekretariat
Sub Bagian Keuangan
Subbag Umum & Kepegawaian
Seksi Pembinaan, Pengawasan & Penyu
Seksi Penyelidikan & Penyidikan
Seksi Operasi & Pengendalian
Seksi Kerjasama
Seksi Pelatihan Dasar
Seksi Teknis Fungsional
Seksi Satuan Perlindungan Masy.
Seksi Bina Potensi Masyarakat
Ka. Unit Pelaksana Sat Pol PP Kecamatan
Kelompok Jabatan Fungsional
156
157
e. Deskripsi Pegawai
Deskripsi pegawai merupakan gambaran mengenai keberadaan pegawai
dan kekuatan pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
berdasarkan jumlah keseluruhan kekuatan pegawai, dan jenis kelamin. Adapun
Jumlah Pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2012,
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.3 Jumlah Pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
Tahun 2016
No Status Jumlah (orang)
1
2
3
PNS
Honorer
TKS
238
239
7
Total 403
Sumber: Data dari Satuan Polisi Pamong Praja Tahun 2016
f. Sarana dan Prasarana
Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Palembang Tahun 2016, dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
158
Tabel 3.4 Sarana dan Prasarana
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2016
No Jenis Jumlah Kondisi Operasi Dibutuhkan Kurang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Mobil Inova
Mobil Carens
Mobil Kijang
Dump Truck
Bus Tim Yustisi
Pick Up Patroli
Pick Up
Mobil Patwal
Sepeda Motor
Handy Talky
Pistol
Handy Camp
Sepeda Motor
Bajaj
Mobil Dalmas
Mobil Eselon III
Tameng
Gudang
Tustel
Pesawat Rig
1
1
1
3
2
3
1
1
9
41
30
1
1
2
-
31
-
1
3
B
B
B
B
B
B
KB
B
B
B
B
B
KB
B
-
B
-
TB
B
1
1
1
3
2
3
1
1
8
33
30
1
1
2
-
31
-
-
3
1
1
1
4
2
6
6
2
10
41
35
2
2
2
6
250
2
2
3
-
-
-
1
-
3
5
1
2
8
5
1
1
-
6
219
2
2
-
Sumber: Data dari Satuan Polisi Pamong Praja Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 3.4 mengenai Sarana dan Prasarana Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2012 diketahui masih mengalami
kekurangan khususnya penyediaan tameng, handy talkie, mobil pick up, mobil
Eselon III, pistol, pick up patroli, sepeda motor, gudang, tustel, handy camp,
sepeda motor bajaj, dump truck serta mobil patwal.
159
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenis data dan analisisnya, penelitian ini merupakan
deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang. Moleong (2014: 6) menguraikan penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian seperti persepsi, motivasi, tindakan, perilaku dan lain
sebagainya secara holistik/menyeluruh dengan cara mendeskripsikan dalam
bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks yang alamiah dan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
Penelitian kualitatif bersifat terbuka, artinya masalah penelitian disajikan
didepan bersifat fleksibel dan subject to change, sesuai dengan proses kerja yang
terjadi dilapangan sehingga fokus penelitiannya ikut berubah menyesuaikan diri
dengan masalah penelitian yang berubah. Moleong mendefinisikan Metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
160
4.2. Fokus Penelitian
Fokus Penelitian ini adalah studi implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang mencakup:
1. Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi:
a. Isi Kebijakan, terdiri dari:
1) Kepentingan yang dipengaruhi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Kota Palembang
2) Manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
3) Derajat perubahan yang dicapai
4) Letak Pengambilan Keputusan
5) Mekanisme pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang
6) Sumber Daya yang dilibatkan
b. Konteks Implementasi, terdiri dari:
1) Strategi aktor yang dilibatkan
2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa
3) Kepatuhan terhadap cara/proses pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi:
a) Faktor Predisposisi, terdiri dari:
(1) Pengetahuan
(2) Sikap
(3) Komitmen
(4) Perilaku
b) Faktor Pemungkin, berupa penyediaan fasilitas
161
c) Faktor Penguat, terdiri dari:
(1) Himbauan Organisasi
(2) Pengawasan Internal
(3) Penerapan Sanksi
c. Hasil Kebijakan, yakni:
Perubahan perilaku masyarakat setelah di implementasikan kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
2. Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi:
a. Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang
b. Faktor penghambat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Kota Palembang
3. Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
yang ideal
4.3. Lokasi Penelitian
Kota Palembang merupakan Kota pertama di Indonesia yang memiliki
Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif dan menerapkan
100% Kawasan Tanpa Rokok yaitu tanpa menyediakan ruang merokok.
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota
Palembang merupakan satu-satunya Perda Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia
yang sesuai dengan standar internasional yaitu 100% Kawasan Tanpa Rokok
dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.
162
Selain itu, sanksi terhadap pelanggaran Perda KTR, tidak dikenakan
kepada si Perokok, melainkan kepada pimpinan dan penanggung jawab
Kawasan Tanpa Rokok. Berdasarkan Pasal 7 huruf (a), disebutkan bahwa
pemilik, pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab, dilarang
menyediakan tempat untuk merokok di dalam gedung dan menyediakan rokok
(menjual, mengiklankan dan mempromosikan rokok). Sehingga Kota Palembang
dipilih menjadi lokasi penelitian dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok.
Kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi 7 (tujuh)
Kawasan, terdiri dari:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum
Penelitian ini dilakukan pada salah satu kawasan yakni tempat kerja,
khususnya Instansi Pemerintahan. Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun
2010 tentang Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, mendefiniskan tempat kerja
sebagai ruang tertutup bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja bekerja
atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumber
bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/
seminar dan sejenisnya. Tempat kerja berupa Instansi Pemerintahan yang
sekaligus memberikan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan dapat
163
mematuhi Perda Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat memberikan
kenyamanan bagi para Pegawai untuk bekerja maupun Masyarakat yang
dilayani. Dalam hal ini penelitian mengenai implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok dilakukan pada Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.
4.4. Jenis Data
Data dalam konteks penelitian ini dimaknai sebagai deretan informasi
yang diperoleh melalui berbagai metode pengumpulan data di lapangan terkait
dengan rumusan masalah yang diajukan. Jenis data berdasarkan bentuknya
dikelompokkan menjadi dua, yakni data verbal, meliputi kata-kata lisan dan
tertulis, dan data non-verbal berupa tindakan yang mengandung informasi terkait
dengan kajian penelitian berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Sedangkan berdasarkan sumber
datanya, jenis data penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni data primer, yakni
data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertamanya, baik yang
melekat pada kata-kata maupun tindakan terkait dengan implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang maupun data
sekunder, yaitu data yang didapatkan peneliti secara tidak langsung dari sumber
utamanya karena berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah kajian
penelitian terebut sudah terjadi atau berakhir, namun ada pihak kedua yang
sengaja mencatat dan menyimpan data tersebut, baik berupa media massa
maupun arsip lainnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang
164
4.5. Sumber Data
Sumber Data yang digunakan dalam Penelitian ini meliputi:
a. Informan
Informant (pemberi informasi) pada penelitian ini ditentukan berdasarkan
kemampuan/kapabilitas yang dimiliki yaitu pihak-pihak yang mengerti benar
atau terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Miles, Huberman & Saldana (2014) berpendapat bahwa informan juga
berfungsi sebagai pemberi umpan balik terhadap data penelitian dalam
rangka kroscek data. Informan dalam penelitian ini, meliputi: Kepala Dinas
Kesehatan Kota Palembang, Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Palembang, para Pegawai Dinas Kesehatan, para Pegawai Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Palembang, Tim Penegakan Perda KTR, serta
wawancara kepada Pimpinanan dan para Pegawai Instansi Pemerintahan
di Kota Palembang, serta masyarakat yang menerima pelayanan di
Instansi Pemerintahan di Kota Palembang
b. Tempat dan Peristiwa
Sumber data didapat pada Instansi Pemerintahan yang dijadikan tempat
penelitian, serta aktivitas kegiatan supervisi, penyediaan fasilitas
kelengkapan Kawasan Tanpa Rokok, serta aktivitas/kepatuhan para
Pegawai, dan masyarakat maupun bentuk pelanggaran dan sanksi yang
diberikan
c. Dokumentasi
Dokumentasi yang relevan dengan masalah penelitian yakni Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota
Palembang, Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang
165
Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, petunjuk pelaksanaan kegiatan
supervisi, laporan pelaksanaan kegiatan serta dokumen lain yang dianggap
penting dalam penelitian ini
4.6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik:
1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data lapangan
guna memperdalam pengetahuan tentang objek penelitian. Langkah
ini dilakukan Peneliti untuk meminimalisir kesalahan dalam
menginterpretasikan makna simbol-simbol atau kegiatan subjek penelitian
yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dalam hal ini pengumpulan
data lebih lengkap, mendalam dan akurat sehingga membantu peneliti
untuk menganalisis permasalahan penelitian secara lebih tajam mengenai
fokus penelitian pertama berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok serta fokus penelitian kedua berupa faktor pendukung dan
penghambat dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, dengan Informan penelitian, meliputi: Kepala Dinas Kesehatan
Kota Palembang, Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Palembang, para Pegawai Dinas Kesehatan, para Pegawai Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Palembang, Tim Penegakan Perda KTR, serta
wawancara kepada Pimpinanan dan para Pegawai Instansi Pemerintahan
Kota Palembang serta masyarakat yang menerima pelayanan di Instansi
Pemerintahan di Kota Palembang
166
2. Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan observasi non
partisipan yakni peneliti mengamati secara langsung dan mencatat
informasi yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti secara sistematik
yakni implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang,
baik pada saat supervisi maupun perilaku merokok pegawai yang terjadi di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang berkaitan dengan fokus
penelitian kedua berupa faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
3. Dokumentasi
Dokumentasi dilaksanakan peneliti untuk menemukan Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang,
Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Kawasan Tanpa Rokok, petunjuk pelaksanaan kegiatan supervisi, laporan
pelaksanaan kegiatan serta dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian
terutama, Arsip Dinas Kesehatan Kota Palembang, dokumentasi, maupun
jurnal-jurnal dari internet yang berkaitan dengan fokus penelitian pertama
berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dan fokus penelitian
kedua berupa faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
4.7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis
data kualitatif. Menurut Miles, Huberman dan Saldana (2014: 31-33) di dalam
analisis data kualitatif terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan.
167
Aktivitas dalam analisis data yaitu: Data Condensation, Data Display, dan
Conclusion Drawing/Verifications. Adapun teknik analisa data yang digunakan
dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilakukan pada Instansi
Pemerintahan Kota Palembang, yakni teknik analisa data kualitatif yang
dikemukakan oleh Miles, Huberman dan Saldana (2014). Berikut gambar Model
Interaktif Analisis Data Kualitatif yang digunakan:
Gambar 4.1: Components of Data Analysis: Interactive Model Sumber: Miles, Huberman, Saldana (2014)
Berdasarkan gambar diketahui bahwa komponen analisis data terdiri dari:
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pada analisis model pertama dilakukan pengumpulan data hasil wawancara,
hasil observasi, dan berbagai dokumen mengenai implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, berdasarkan kategorisasi yang
sesuai dengan masalah penelitian yang kemudian dikembangkan penajaman
data melalui pencarian data selanjutnya. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan selama pengumpulan data sesuai tahapan Miles, Huberman dan
Saldana (2014), meliputi:
a. meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi
di lokasi penelitian kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Pada
168
langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas dokumen
mengenai laporan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang yang relevan.
b. pengkodean data melalui symbol-simbol yang keseluruhannya dibangun
dalam suatu sistem yang integratif.
c. menganalisis selama pengumpulan data dengan membuat catatan
obyektif, sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi
sebagaimana adanya fakta dilapangan
2. Kondensasi Data (Data Condensation)
Kondensasi data merujuk pada proses memilih, menyederhanakan,
mengabstrakkan, dan atau mentransformasikan data yang mendekati
keseluruhan bagian dari catatan-catatan lapangan secara tertulis, transkip
wawancara, dokumen-dokumen dan materi-materi empiris lainnya,
selanjutnya melakukan organisir data, sehingga kesimpulan ‘final’ bisa ditarik
atau diverifikasi sesuai dengan fokus penelitian yang mencakup empat aspek,
yakni implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
(meliputi: isi kebijakan, konteks implementasi, dan hasil kebijakan), kepatuhan
pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang (meliputi: faktor predisposisi, faktor
pemungkin, faktor penguat), faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang serta
eksisting model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang yang ideal.
Selanjutnya melakukan analisis antar lokasi kawasan kawasan tanpa rokok di
Kota Palembang serta membuat ringkasan sementara antar lokasi. Isinya
169
lebih bersifat matriks tentang ada tidaknya data kawasan tanpa rokok pada
setiap lokasi.
3. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data adalah sebuah pengorganisasian, penyatuan dari infomasi
yang memungkinkan penyimpulan dan aksi. Penyajian data membantu dalam
memahami apa yang terjadi dan untuk melakukan sesuatu, termasuk analisis
yang lebih mendalam atau mengambil aksi berdasarkan pemahaman, untuk
merakit informasi yang terorganisir ke dalam bentuk yang padat dan langsung
dapat diakses sehingga analis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan
dapat menarik kesimpulan yang benar atau pun melangkah ketahap analisa
berikutnya. Data-data yang disajikan tentang implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Kota Palembang, kepatuhan pegawai dalam implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang,
faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Kota Palembang serta eksisting model implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang yang ideal.
4. Penarikan Kesimpulan (Conclusions Drawing)
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif
mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan penjelasan,
konfigurasi-koritigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi.
Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak muncul sampai pengumpulan
data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan
lapangan, pengkodeannya, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang
digunakan, kecakapan peneliti dan tuntutan-tuntutan pemberi dana.
170
Kualitas suatu data dapat dinilai melalui beberapa metode, yaitu:
a. mengecek representativeness atau keterwakilan data
b. mengecek data dari pengaruh peneliti
c. mengecek melalui triangulasi
d. melakukan pembobotan bukti dari sumber data-data yang dapat dipercaya
e. membuat perbandingan atau mengkontraskan data
f. menggunakan kasus ekstrim yang direalisasi dengan memaknai data negatif
4.8. Metode Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data telah dilakukan sejak pengumpulan data di
lapangan hingga pembuatan laporan. Untuk menetapkan keabsahan
(trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Dalam hal ini Moleong
(2014: 324) menguraikan empat kriteria pemeriksaan yang digunakan antara lain:
1) Credibility (Derajat Kepercayaan)
Teknik pemeriksanaan yang digunakan untuk meningkatkan derajat
kepercayaan terhadap data adalah dengan memperpanjang keikutsertaan
pada latar penelitian dan ketekunan pengamatan yang memungkinkan
kedalam penelitian. Agar dapat memperoleh kriteria kredibilitas, teknik
pemeriksaaan keabsahan data penulis melakukan:
a) Perpanjangan pengamatan
Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan,
melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang
pernah ditemui maupun yang baru. Dengan perpanjangan pengamatan
ini berarti hubungan peneliti dengan nara sumber akan semakin
terbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbukti,
171
saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan
lagi (Sugiyono, 2005: 122-123). Bila telah terbentuk raport, maka telah
terjadi kewajaran dalam penelitian, dimana kehadiran peneliti tidak lagi
mengganggu perilaku yang dipelajari. Peneliti memperpanjang waktu
penelitian dengan maksud memperoleh data yang lengkap. Upaya ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa waktu yang diberikan untuk izin
penelitian masih belum cukup untuk mendapatkan data yang lengkap.
Pihak Bakesbangpol (Badan Kesatuang Bangsa dan Politik) Kota
Palembang, melalui surat izin penelitian yang disampaikan kepada
peneliti hanya memberikan waktu 3 (tiga) bulan saja untuk melakukan
penelitian. Akan tetapi dalan jangka waktu 3 bulan tersebut, ternyata
data yang terkumpul belum memenuhi target ketersediaan data yang
dibutuhkan, sehingga mengharuskan peneliti untuk memperpanjang
waktu penelitian.
b) Ketekunan pengamatan
Kegiatan ini dilakukan pada saat mengadakan pengamatan lapangan
sehingga dapat menemukan ciri-ciri dan unsur situasi yang sangat
relevan dengan masalah atau isu yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara teliti, rinci, dan
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, serta
kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Pengumpulan data
mengenai respon kepatuhan yang mengandung perbedaan juga
172
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang strategi yang
diperlukan.
c) Pengecekan sejawat
Diskusi dilakukan untuk mengekspos hasil sementara atau hasil akhir
yang diperoleh dalam bentuk diskusi analtik dengan teman sejawat.
Diskusi teman sejawat (peer debriefing), diantaranya dengan Bapak
H. Asnawi, SKM., M.Kes selaku koordinator Kegiatan KTR sekaligus
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Bidang
Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang
serta teman sejawat dilingkungan PDIA FIA Universitas Brawijaya guna
mempertajam analisis penelitian sesuai dengan fokus penelitian. Selain
ditelaah, bahan hasil diskusi juga dapat dijadikan masukan dalam
mengklarifikasi panfsiran data.
d) Triangulasi
Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain, diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut dengan jalan membandingkannya
dengan berbagai sumber, metode maupun teori. Dalam hal ini peneliti
membandingkan hasil observasi saat sosialisasi maupun supervisi KTR
yang kemudian dikroscek melalui dokumentasi dari instansi terkait
berupa laporan pelaksanaan KTR maupun hasil wawancara dengan
informan dan yakni Dinas Kesehatan dan Sat Pol PP Kota Palembang
selaku pelaksana KTR serta Instansi Pemerintahan serta sesuai dengan
fokus penelitian yang digali berupa implementasi kebijakan KTR,
173
kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan KTR serta faktor
pendukung dan penghambat di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
2) Transferability (Keteralihan)
Konsep ini menyatakan bahwa generalisasi suatu pertemuan dapat berlaku
atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas
dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representatif
mewakili populasi itu. Untuk melakukan proses keteralihan, peneliti
mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama untuk
menguji konsistensi data. Selanjutnya keteralihan hasil penelitian ini
berkaitan dengan pertanyaan, sampai sejauh manakah hasil penelitian
tentang implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
ini dapat dipublikasikan atau digunakan sebagai acuan ditempat atau
situasi lain, selama memiliki kesamaan ciri atau karakteristik. Upaya untuk
menjamin keabsahan data melalui transferability dilakukan peneliti dengan
cara memberikan deskripsi yang lebih lengkap tentang metode
pengumpulan data, misalnya dalam pengumpulan data primer yang
mengharuskan peneliti untuk menentukan informan dan melakukan
wawancara. Sedangkan dalam pengumpulan data sekunder,
mengharuskan peneliti mencari dokumen dan melakukan dokumentasi
sehingga data yang disajikan dalam penelitian ini memang sesuai menurut
sumber datanya.
3) Dependability (Ketergantungan)
Untuk menentukan ketergantungan data, peneliti menggunakan teknik
audit ketergantungan dengan mengecek sejauh mana data digunakan
dalam analisis. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit
174
dengan meminta dependent dan independent auditor, yakni tim promotor
(Prof. Dr. Sumartono, MS., Dr. Suryadi, MS, dan Dr. Endah Setyowati,
S.Sos., M.Si) untuk meninjau aktivitas peneliti.
4) Confirmability (Kepastian)
Untuk menentukan kepastian data, maka peneliti menggunakan teknik
audit kepastian dengan menelusuri kembali jejak penelitian mulai dari
catatan wawancara, dokumen sampai analisis datanya. Jika dependabilitas
digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti,
maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil penelitian, dengan
tekanan pertanyaan apakah dat dan informasi serta interpretasi didukung
oleh materi yang ada dalam audit trail (Lincoln & Guba, 1985:300-325).
Artinya bahwa kepastian tentang sesuatu itu objektif atau tidak tergantung
pada persetujuan terhadap pandangan, pendapat dan penemuan
seseorang. Oleh karena itu confirmability, dilakukan peneliti melalui diskusi
dengan tim pembimbing penelitian, para kolega peneliti, tim pemberi sara
pada seminar hasil maupun ujian hasil, mengkajinya berdasarkan
pendekatan teoritis dan menyandingkannya dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian tentang
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan
Kota Palembang
175
BAB V
HASIL PENELITIAN
Sistematika penulisan data hasil temuan penelitian disajikan dengan
mengacu pada 3 (tiga) fokus penelitian, pertama implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, yang terdiri dari isi kebijakan, konteks
implementasi termasuk kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang di analisis
dari faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat dan Hasil
Kebijakan; kedua, faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang serta ketiga Eksisting Model
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang yang ideal.
Data mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (Studi
Terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok Pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)
5.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (Studi Terhadap Peraturan
Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok
Pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang) ditujukan untuk mencapai krteria
resposivitas dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yaitu langkah-langkah
pengamanan rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan
Tanpa Rokok.
175
176
Keberhasilan implementasi kebijakan diukur dengan melihat gap
(kesenjangan) antara tujuan yang ingin dicapai dengan hasil yang dicapai melalui
pelaksanaan program aksi atau proyek yang dijalankan. Sementara itu, tujuan
yang ingin dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi
sehingga keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi dapat dideteksi dari
konten dan konteks kebijakan. Untuk mengetahui kegagalan atau keberhasilan
suatu implementasi, menurut Model Implementasi Kebijakan Marilee S. Grindle
(1980) mengemukakan tiga perspektif yang dapat dipakai sebagai pedoman
untuk mengukur keberhasilan suatu implementasi, yaitu:
1. Isi Kebijakan
2. Konteks Implementasi
3. Hasil Kebijakan
Keberhasilan implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dapat diketahui dari perspektif yang
dikemukakan oleh Marilee S. Grindle tersebut. Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Peneliti adalah sebagai berikut:
5.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Isi Kebijakan selalu merujuk pada apakah pelaksanaan kebijakan sesuai
dengan yang ditentukan dengan melihat aksi kebijakan Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang. Adapun
indikator yang dapat mengukur isi kebijakan adalah a) Kepentingan yang
dipengaruhi, b) Manfaat, c) Derajad perubahan yang diharapkan, d) Letak
pengambilan keputusan, e) Pelaksanaan program, f) Sumber daya yang
dilibatkan, semua indikator diuraikan dalam hasil penelitian sebagai berikut:
177
5.1.1.1 Kepentingan yang dipengaruhi
Variabel isi kebijakan, berupa kepentingan yang dipengaruhi (Interest
Affected) berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mendukung dan
menghambat suatu implementasi kebijakan atau mencangkup sejauh mana
kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan. Indikator ini
berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan
banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut
membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui
lebih lanjut.
Kebijakan kawasan tanpa rokok yang tertuang dalam Perda No. 7 Tahun
2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang khususnya di Instansi
Pemerintahan memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups dalam
isi kebijakan, kepentingan kelompok sasaran meliputi: 1) perlindungan terhadap
mereka yang tidak merokok; 2) menciptakan lingkungan yang sehat;
3) menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang
merokok. Perda ini berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan
bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk menghirup udara yang bersih.
Sehingga bagi mereka si perokok harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka
rokok. Setidaknya ada 4 (empat) kepentingan kelompok sasaran yang
mempengaruhi implementasi Perda 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang khususnya di Instansi Pemerintahan, terdiri dari:
1) kepentingan perokok aktif, 2) kepentingan perokok pasif (yang terdiri dari
pegawai maupun masyarakat yang menerima pelayanan di lingkungan Instansi
Pemerintahan Kota Palembang), 3) kepentingan pimpinan Instansi Pemerintahan
dan 4) kepentingan pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok.
178
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan S.H, diketahui bahwa:
“Saya selaku perokok aktif yang menerima layanan dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang, mengetahui Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, dari sticker yang ditempel di pintu masuk Instansi Pemerintahan ini. Sebelumnya saya pernah ditegur Pegawai karena merokok di dalam ruangan, saya diberitahu larangan merokok di dalam ruangan dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang, jika tidak mematuhi maka saya tidak akan diberikan pelayanan. Setelah mendapat peringatan tersebut, saya langsung mematikan rokok jika memasuki ruangan Instansi Pemerintah Kota Palembang”. (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016) Informan J.P, juga menguraikan bahwa: “Saya selaku perokok pasif yang menerima layanan dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang sangat mendukung dikeluarkannya Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang. Sehingga orang yang merokok juga tidak sembarang tempat. Saya tidak merokok, tentu saja sangat terganggu jika harus menghirup asap rokok, apalagi didalam ruangan” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Sejalan dengan hal tersebut Informan A.B, menguraikan bahwa:
“Saya sangat mendukung Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang. Sehingga saya dapat menerima pelayanan yang nyaman di Kantor Kelurahan, karena semenjak adanya Perda KTR, asap rokok di ruangan ini sangat berkurang” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Pendapat berbeda diungkapkan oleh Informan C.M berikut ini:
“Awalnya saya kurang sependapat dengan adanya Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, khususnya yang melarang merokok ditempat kerja, karena rokok dibutuhkan untuk tetap produktif, menjaga performa dalam bekerja, jika setelah istirahat (makan siang) akan merasa kantuk, maka rokok dapat menghilangkan kantuk tersebut, begitu pula saat kerja lembur, rokok merupakan teman yang setia menemani” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa Perda KTR telah
memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi
kebijakan, selain itu telah menumbuhkan partisipasi baik dari Pimpinan Instansi,
Pegawai maupun Masyarakat Kota Palembang. Partisipasi dalam arti kesediaan
Pimpinan Instansi untuk melarang adanya tempat untuk merokok di dalam
179
gedung dan penyediaan rokok, termasuk menjual/mengiklankan atau
mempromosikan rokok dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:
“Perda KTR telah memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan. Kepentingan kelompok sasaran meliputi: 1) perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; 2) menciptakan lingkungan yang sehat; 3) menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang merokok. Perda ini berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016) Hal serupa juga diungkapkan Informan M.A, diketahui bahwa:
“Kepentingan Pelaksana dalam rangka Implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, yakni membatasi ruang gerak si perokok. Dalam hal ini kita tidak melarang orang merokok, silahkan bagi mereka yang ingin merokok tetapi harus diluar 7 kawasan yang dilarang dalam Perda KTR (ruang tertutup). Jika melanggar maka akan dikenakan sanksi, namun bukan bagi si perokok melainkan pemilik, pengelola, maupun manager, maupun penanggung jawab ditempat/bangunan di 7 kawasan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kontrol yang efektif dalam penegakan Perda KTR. Oleh karena itu diharapkan para Pimpinan dalam hal ini di Instansi Pemerintah mampu berkoordinasi dengan Tim Penegak KTR (Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satuan Pol PP Kota Palembang, serta Pengawas Internal (security bangunan setempat) untuk sama-sama melaksanakan Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 31 Agustus 2016) Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, tidak
bertujuan untuk melarang orang merokok, melainkan dimaksudkan untuk
membatasi ruang gerak si perokok. Perda ini juga berupaya untuk mencerdaskan
masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk
menghirup udara yang bersih.
180
Hal tersebut juga selaras dengan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, bahwa Penetapan Kawasan Tanpa
Rokok bertujuan untuk:
a) Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok
orang lain;
b) Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;
dan
c) Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung
Upaya menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi
masyarakat serta bebas dari asap rokok, bukan hanya demi kepentingan
Pemerintah. Dalam hal ini para Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan
Penanggung Jawab tempat serta masyarakat telah mengetahui serta wajib
mendukung dan bertanggung jawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Hal tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan Informan M.E, berikut ini:
“Saya mengetahui tentang Perda KTR, karena seringkali mendapat undangan dari Kota Palembang tentang sosialisasi Perda KTR. Setelah mendapat pengarahan khususnya Dinas Kesehatan Kota Palembang saya mengetahui bahwa Perda KTR ini ditujukan untuk masyarakat yang menerima layanan di Kelurahan, bahwa di 7 kawasan salah satunya di instansi pemerintah ini tidak diperbolehkan menyediakan tempat untuk merokok. Saya mendukung Perda KTR, salah satunya dengan menempelkan sticker-sticker Perda KTR dan larang merokok di tempat-tempat yang strategis” (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016) Bagi Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab
tempat, alasan mereka mau melaksanakan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:
181
a) Hal ini merupakan Peraturan Pemerintah, yang juga sudah diatur melalui
Peraturan Walikota Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
sehingga harus dipatuhi
Setelah mendapat pengarahan khususnya Dinas Kesehatan Kota
Palembang, Pimpinan Instansi baru mengetahui bahwa Perda KTR ini
ditujukan untuk masyarakat yang menerima layanan di Kelurahan, bahwa
di 7 kawasan salah satunya di Instansi Pemerintahan ini tidak
diperbolehkan menyediakan tempat untuk merokok. Sehingga di dalam
kantor harus bebas asap rokok.
b) Sanksi terhadap Pelanggaran Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang langsung ditujukan kepada Pemilik,
Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab Tempat
c) Manfaatnya juga positif bagi masyarakat/pengunjung yakni akan
menciptakan suasana yang nyaman dan udara yang segar saat
memberikan layanan di Kelurahan ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Perda No. 7 Tahun
2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah mengakomodir
kepentingan Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas
Kesehatan Kota Palembang, maupun Pimpinan Kelurahan dan Masyarakat.
Dalam hal ini semua Pihak umumnya telah mengetahui Perda No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang serta memberikan dukungan
terhadap pelaksanaan Perda KTR tersebut.
182
5.1.1.2 Manfaat
Type of Benefits (tipe manfaat) pada Isi Kebijakan berupaya untuk
menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat
beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Dalam hal ini sebuah
kebijakan yang memberikan manfaat faktual (bukan hanya sekedar formal, ritual
maupun simbolis semata) kepada banyak pelaku lebih mudah diimplementasikan
dibanding dengan kebijakan yang kurang bermanfaat. Berdasarkan indikator
kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan kawasan tanpa rokok yang telah
dipaparkan sebelumnya jelaslah bahwa kebijakan kawasan tanpa rokok sangat
bermanfaat dan memiliki dampak positif dalam menciptakan lingkungan yang
sehat dan bersih dari asap rokok.
Hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:
“Manfaat Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang besar sekali. Pertama: mereka akan terhindar dari bahaya asap rokok; Kedua: membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari pencemaran asap rokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016) Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan Y.D, berikut ini:
“Manfaat Perda KTR ini adalah untuk kesehatan, baik itu kesehatan diri sendiri maupun kesehatan orang lain. Saya membaca buku Jantung Sehat, dari situ saya ketahui bahwa orang yang merokok pasif ternyata lebih berbahaya dari perokok aktif. Jadi asap rokok yang ditimbulkan itu tidak hanya racun bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain, jadi sangat tidak bermanfaat Diharapkan dengan adanya Perda KTR ini, jumlah Perokok berkurang sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat” (Hasil wawancara tanggal 16 September 2016).
183
Sejalan dengan hal tersebut dengan Informan N.R, mengungkapkan: ”Saya mengakui, semenjak diberlakukannya Perda KTR, ruang kerja menjadi lebih bersih karena tidak ada lagi puntung rokok maupun abu rokok yang berserakan, ruang kerja pun terasa nyaman karena bebas asap rokok. Terlebih sebagian ruangan menggunakan AC, sehingga akan sangat terganggu (tidak sehat) jika merokok dalam ruangan” (Hasil wawancara tanggal 16 September 2016). Informan B.S juga menambahkan: ”Dengan adanya Perda KTR, saya selaku Pegawai memiliki justifikasi untuk melarang teman kerja merokok diruang kerja, sedangkan bagi Pegawai yang sudah memiliki niat berhenti merokok, aturan larangan Perda KTR, justru membantu untuk benar-benar membulatkan tekad untuk berhenti merokok” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan Informan A.G berikut ini: ”Rokok bagi sesama perokok sebenarnya berfungsi sebagai alat interaksi sosial yang mampu mencairkan suasana maupun menambah keakraban. Dalam lingkungan perokok, sudah menjadi ritual umum jika tidak ditawari rokok ya menawarkan rokok, jika tidak dimintain rokok ya meminta rokok. Namun semenjak diberlakukannya Perda KTR, saya dan teman-teman perokok berusaha untuk tidak merokok diruangan” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016) Informan S.H juga menambahkan:
“Ruang pelayanan yang telah ditempeli stiker larangan merokok, menjadi lebih nyaman. Dahulu sebelum adanya Perda KTR, masyarakat maupun Pegawai yang memberikan pelayanan sambil merokok, sehingga ruang pelayanan terasa sesak dipenuhi asap rokok, sekarang sudah mulai berkurang yang merokok, sehingga ruang pelayanan terasa lebih nyaman” (Hasil wawancara tanggal 16 September 2016). Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa manfaat kebijakan
kawasan tanpa rokok, antara lain:
(a) Terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan,
sehingga membuat nyaman lingkungan tempat pelayanan masyarakat
karena udara bersih dari pencemaran asap rokok
(b) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan
tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan. Diharapkan dengan
184
adanya Perda KTR ini, jumlah Perokok berkurang sehingga dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Pasal 2 Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang, diketahui bahwa: Penetapan Kawasan Tanpa Rokok
berazaskan:
a. Keseimbangan Kesehatan Manusia dan Lingkungan;
b. Kemanfaatan Umum;
c. Keterpaduan dan Keserasian;
d. Keadilan; dan
e. Transparansi dan Akuntabilitas.
Pasal 3 Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok, menjelaskan Penetapan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap
rokok orang lain;
b. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi
masyarakat; dan
c. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian manfaat kebijakan ini juga sudah cukup jelas yakni
terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan, Kota
Palembang sehingga membuat nyaman lingkungan tempat pelayanan
masyarakat karena udara bersih dari pencemaran asap rokok serta
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa
rokok khususnya di Instansi Pemerintahan.
185
5.1.1.3 Derajad Perubahan yang Diharapkan
Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai). Setiap
kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy
yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan
yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus
mempunyai skala yang jelas. Dalam hal ini sebuah kebijakan yang terlalu
menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku yang signifikan akan lebih sulit
untuk diimplementasikan, disamping itu kebijakan yang direncanakan untuk
mencapai tujuan-tujuan jangka panjang juga akan menemui kesulitan dalam
proses implementasi dibandingkan dengan kebijakan yang secara nyata
memberikan dampak keuntungan langsung terhadap kelompok sasaran.
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dicapai, seberapa besar
perubahan yang hendak atau diinginkan melalui suatu implementasi Kebijakan
Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
mempunyai hasil sebagai berikut:
(1) 100 % kawasan tanpa asap rokok
(2) Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup
(3) Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau
tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan
tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan H.A, diketahui bahwa:
“Indikator apa yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang didasarkan pada hasil observasi dan wawancara. Indikator Observasi meliputi: ada tidaknya orang merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok, tercium bau asap rokok, asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung, indikasi kerjasama dengan industri tembakau serta penjualan rokok dalam gedung…”
186
Selanjutnya beliau menambahkan:
“Sedangkan Indikator wawancara meliputi: Pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, mendukung dan melaksanakan Perda KTR, Pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pimpinan Kantor, Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak mematuhi Perda KTR. Namun demikian Pimpinan Kantor seringkali tidak tahu mengenai sanksi yang akan dikenakan kepadanya jika Pegawai maupun masyarakat yang mendapat pelayanan di kantornya melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Berdasarkan Hasil Survey Kepatuhan Tahap IV pelaksanaan Kebijakan
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang, diketahui bahwa Indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan
Kebijakan Perda KTR ini, antara lain:
(a) Indikator Observasi meliputi:
(1) Orang yang merokok
(2) Ruang khusus merokok
(3) Tanda larangan merokok
(4) Tercium bau asap rokok
(5) Penyediaan asbak dan korek api
(6) Puntung rokok dalam gedung
(7) Indikasi kerjasama dengan industri tembakau
(b) Indikator wawancara meliputi:
(1) Pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR
(2) Mendukung dan melaksanakan Perda KTR
(3) Pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola Gedung
(4) Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak
mematuhi Perda KTR.
187
Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan A.T, menguraikan bahwa:
“Survei Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dilakukan dengan mengamati Pegawai maupun Masyarakat yang merokok, ada tidaknya asbak rokok maupun ada tidaknya sticker larangan merokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang.” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Selanjutnya hasil wawancara dengan Informan K.P, berikut ini:
“Saya ketahui dari Perda KTR hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan Perda KTR, salah satunya menempelkan sticker larangan merokok, tidak menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok. Sticker larangan merokok diperoleh secara gratis pada saat melakukan sosialisasi ataupun diberikan/ditempelkan langsung oleh Petugas Sat Pol PP Kota Palembang” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016) Informan K.R juga menambahkan: “Untuk mendukung Perda KTR, kami telah memasang stiker ditempat-tempat strategis di lingkungan Kelurahan Kemas Rindo, misalnya Stiker KTR ditempel di pintu masuk ruang pelayanan masyarakat, maupun di pintu masuk ruang kerja. Asbak untuk menampung abu rokok juga tidak disediakan” (Hasil wawancara tanggal 24 Agustus 2016) Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan I.L berikut ini: “Saya sangat mendukung Perda KTR, salah satunya dengan tidak menyediakan ruang merokok di lingkungan Kelurahan 23 Ilir, baik untuk Pegawai maupun di ruang pelayanan masyarakat. Tidak ada kerja sama dengan perusahaan rokok, asbak maupun tempat untuk menampung puntung rokok tidak disediakan” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016) Berdasarkan hasil wawancara dan kesimpulan maka diketahui bahwa
Indikator apa yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang didasarkan pada hasil observasi dan wawancara.
Indikator Observasi meliputi: orang yang merokok, ruang khusus merokok, tanda
larangan merokok, tercium bau asap rokok, penyediaan asbak dan korek api,
puntung rokok dalam gedung serta indikasi kerjasama dengan industri tembakau.
Sedangkan Indikator wawancara meliputi: pengetahuan tentang Kebijakan Perda
188
KTR, mendukung dan melaksanakan Perda KTR, pelaksanaan Kebijakan KTR
oleh Pengelola Gedung, serta Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena
sanksi jika tidak mematuhi Perda KTR. Sehingga derajat perubahan yang
diharapkan berupa berkurangnya pelanggaran Perda KTR di Kota Palembang
sesuai dengan pencapaian derajat perubahan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7
Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang.
5.1.1.4 Letak Pengambilan Keputusan
Site of Decision Making (Letak Pengambilan Keputusan) dalam suatu
kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan,
maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari
suatu kebijakan yang akan diimplementasikan. Keputusan merupakan pilihan
yang dibuat dari dua atau lebih lebih alternatif. Pengambilan keputusan dalam
suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu
kebijakan, Letak Pengambilan Keputusan dalam pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, diuraikan pada hasil
wawancara dengan Informan A.S, berikut ini:
“Letak pengambilan keputusan ditentukan oleh Pelaksana dalam hal ini Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satuan Polisi Pamong Praja dengan melibatkan Pimpinan dan Pegawai Instansi Pemerintahan, serta Satpam. Tim Pengawas dalam hal ini Satpol PP memberikan Pengawasan sekaligus Penindakan terhadap pelanggaran. Selanjutnya Dinas Kesehatan memberikan penyuluhan/ sosialiasi Perda KTR, membantu mengeluarkan sticker larangan merokok yang wajib ditempel diarea KTR. Namun sering dilepas oleh oknum yang tidak bertanggung Jawab. Dinas Kesehatan memberikan sticker tersebut secara gratis, dan bisa di perbanyak sendiri untuk ditempel di lokasi-lokasi strategis Kawasan Tanpa Rokok, bentuk modifikasi sticker/l arangan merokok sudah ditentukan sesuai dengan Peraturan Wali Kota No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).
189
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan P.T, Palembang berikut ini:
“Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mengawasi serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak Hukum. Sedangkan untuk di Instansi Pemerintahan tentu saja harus dbentuk Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR (biasanya terdiri dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi, yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan mereka yang merokok baik itu pegawai maupun masyarakat yang menerima pelayanan di Instansi Pemerintahan. Sehingga Perda KTR bisa dilaksanakan tergantung komitmen mereka” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang, Pasal 30 menguraikan bahwa:
(1) Dinas Kesehatan Kota Palembang adalah Instansi teknis pelaksana
pengawasan kawasan tanpa rokok sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya, berkoordinasi dengan Instansi terkait.
(2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang adalah Instansi teknis yang
diberikan kewenangan untuk menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa
rokok sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam Peraturan
Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih
lanjut oleh Walikota
Selanjutnya Informan H.A, diketahui bahwa:
“Dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang membentuk Tim Pengawas yang kemudian berkoordinasi dengan Bagian Hukum Sat Pol PP, Dinas Perhubungan (khusus untuk sosialisasi di Angkutan Umum), IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) serta Mahasiswa ikut survei Perda KTR. Dalam hal ini IAKMI (dokter) yang memaparkan bahaya rokok bagi kesehatan, kemudian Dinas Kesehatan yang menguraikan tentang Kebijakan Perda Rokok. Selanjutnya pada saat survei baru melibatkan Sat Pol PP selaku Tim Penegakan Hukum Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016).
190
Untuk tim pengawasan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang dibentuk
sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang
No. 1662 Tahun 2009 Tentang Tim Pelaksana Pengawasan Kawasan Tanpa
Rokok yaitu:
Tabel 5.1 Tim Pengawas Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
dari Dinas Kesehatan Kota Palembang
No Nama Jabatan
1 dr. Anton Suwindro Ketua Umum
2 dr. Hj. Letiza, M.Kes Wakil Ketua I
3 M. Yamin, SIP., M.Si Wakil ketua II
4 dr. Afrimelda, M.Kes Sekretaris
5 Yulyana Kusuma Dewi, SKM Wakil Sekretaris
6 Rosita, SKM Bendahara
7 Asnawi, SKM., M.Kes Koordinator I
8 Desi Purnama Sari, SKM Koordinator II
9 Asupina M.SKM Koordinator III
10 Uca Ayu FD, SKM., MKM Koordinator IV
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang
Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan R.S, berikut ini:
“Kami membentuk Tim Penegakan Hukum Perda KTR termasuk dalam melakukan survei di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Jadwal kegiatan dilaksanakan pada hari selasa, namun lokasi yang disurvei belum dijadwalkan sehingga untuk kegiatan ini kami selaku Aparat Satpol PP hanya menunggu surat tugas yang dikeluarkan oleh atasan” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).
Tim pengawasan dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Kota
Palembang dibentuk berdasarkan Surat Tugas Nomor: 730/2607/PP/2011, dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
191
Tabel 5.2 Tim Penegakan Hukum Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
No Nama Jabatan
1 H.M. Sabar,SH, MM Kasatpol PP
2 Ahyar Heryanto, SE Kabid Penegakan Per Undang-
undangan Daerah
3 Tubagus, S.Sos Kabid Perlindungan Masyarakat
4 Samsuriah, SH Kabid Sumber Daya Aparatur
5 Heru Setia Budi, SSTP., M.Si Kabid Ketertiban Umum & Ketentraman Masyarakat
6 Dedi Harapan, M,Si Kasi Penyelidikan & Penyidikan
7 M. Iqbal Kasi Pembinaan, Pengawasan &
Penyuluhan
8 Jajaran Anggota Patroli Satpol PP
9 Unsur Polresta, Kodim 0418, Denpom II/Swj
Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang
Berdasarkan tabel dan uraian di atas dapat dikatakan bahwa letak
pengambilan keputusan berasal dari, Tim Penegakan Hukum Sat Pol PP
berjumlah 7 orang ditambah dengan anggota jajaran patroli beserta utusan dari
pihak-pihak yang membantu pengawasan Perda No. 07 Tahun 2009 ini yaitu dari
pihak Polresta, Kodim 0418, Denpom II/Swj. Sedangkan untuk Dinas Kesehatan
Kota Palembang sendiri berjumlah 11 orang ditambah dengan beberapa anggota
yang ditugaskan untuk ikut serta dalam pengawasan Kawasan Tanpa Rokok.
Untuk Sat Pol PP dan jajarannya sendiri lebih bertugas pada fungsi pada
larangan dan penerapan sanksi, sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kota
Palembang lebih berfungsi pada penekanan bahaya merokok pada orang-orang
yang ada di Kawasan Tanpa Rokok.
192
5.1.1.5 Pelaksanaan Program
Program Implementor (Pelaksana Program) harus didukung dengan
adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan
suatu kebijakan. Program Implementor (Pelaksana Program) harus didukung
dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi
keberhasilan suatu kebijakan. Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program
harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan
kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan ini sudah harus terpapar atau
terdata dengan baik, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementornya dengan rinci. Pelaksanaan Program dalam kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, diuraikan pada hasil
wawancara dengan Informan A.S, berikut ini:
“Untuk menindaklanjuti pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, maka berdasarkan disusunlah Peraturan Walikota No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang yang menguraikan susunan keanggotaan Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa Pelaksanaan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
dibentuk Peraturan Walikota No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang. Adapun susunan keanggotaan Tim
Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, antara lain
sebagai berikut:
Pengarah : 1. Walikota Palembang 2. Ketua DPRD Kota Palembang 3. Wakil Walikota Palembang.
Penanggung Jawab : Sekretaris Daerah Kota Palembang
193
Koordinator : 1. Asisten Pemerintahan Sekda Kota Palembang
2. Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekda Kota Palembang.
Ketua Pelaksana : Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang Wakil Ketua Pelaksana : Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Palembang Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang. Bendahara : Kasubbag. Keuangan Dinas Kesehatan Kola Plg Anggota : 1. Kepala Inspektorat Kota Palembang
2. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Plg.
3. Kepala Dinas Perhubungan Kota Palembang.
4. Kepala Dinas Komunikasi dan Infonnatika Kota Plg.
5. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kola Plg.
6. Kepala Dinas Tata Kota Palembang. 7. Kabag. Hukum dan Ortala Setda Kota
Palembang. 8. Kabag. Kesejahteraan Sosial Setda Kota
Palembang. 9. Kabag. Humas dan Protokol Setda Kota
Palembang. 10. Kabag. Umum Setda Kota Palembang. 11. Kabag. Keuangan Setda Kota Palembang 12. Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Plg 13. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas
Kesehatan Kota Palembang. 14. Kepala Bidang Jaminan dan Sarana Dinas
Kesehatan Kota Palembang. 15. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota
Palembang. 16. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (IAKMl) Kota Palembang. 17. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Kota Palembang. 18. Kelua Perhimpunan Hotel dan Restoran
Indonesia (PHRI) Kota Palembang. 19. Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI) Kota Palembang. 20. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Daerah (KPAID) Kota Palembang. 21. Camat Se-Kota Palembang.
194
Selanjutnya Informan H.A, menambahkan:
“Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, selanjutnya melakukan beberapa tahap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok Kota Palembang, meliputi: tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Sejalan dengan hal tersebut Informan M.I menambahkan: ”Satpol PP Kota Palembang juga dilibatkan dalam pengawasan Perda KTR melalui pelaksanaan supervisi di kawasan tanpa rokok Kota Palembang, termasuk saat pelaksanaan sidang Yustisi. Dalam hal ini Satpol PP Kota Palembang Satpol PP Kota Palembang berperan mendampingi Dinas Kesehatan Kota Palembang untuk mengarahkan pimpinan instansi pemerintahan untuk mengefektifkan kawasannya sehingga benar-benar bebas dari asap rokok” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Dalam hal ini, Tim Pelaksana Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang,
melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan
evaluasi, antara lain:
(a) Tahap Pembinaan, meliputi:
(1) Penyebarluasan informasi dan sosialisasi melalui media cetak dan
elektronik;
(2) Koordinasi dengan seluruh Instansi, elemen organisasi masyarakat,
kalangan pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh
agama;
(3) Memotivasi dan membangun partisipasi, prakarsa masyarakat untuk
hidup sehat tanpa asap rokok dengan melakukan kampanye
Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok;
(4) Merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan
masyarakat dari paparan asap rokok; dan
195
(5) Bekerja sama dengan badan-badan atau lembaga-lembaga nasional
maupun Internasional dalam upaya melindungi masyarakat dari
paparan asap rokok
(b) Tahap Pengawasan, meliputi:
(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap
Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Walikota dapat
mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Kesehatan Kota
Palembang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
(3) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik,
pengelola dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk
mengefektifkan tempat-tempat yang dimiliki atau dikelolanya benar-
benar bebas dari asap rokok.
(4) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa
Rokok baik siang maupun malam atau selama jam kerja untuk
melakukan inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini.
(c) Tahap Koordinasi dan Evaluasi, meliputi:
(1) Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok wajib menyampaikan
laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan
Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan
(2) Dinas Kesehatan mengevaluasi laporan-laporan yang diterima yang
dijadikan referensi dalam pelaksanaan dan pengawasan Kawasan
Tanpa Rokok
196
(3) Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas Kesehatan
secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada Walikota
Palembang
Sehingga berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa
Pelaksanaan Program dalam kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi
Pemerintahan Kota Palembang, meliputi pembentukan Peraturan Walikota
No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Kota
Palembang yang menguraikan susunan keanggotaan Tim Pelaksana Pengawas
Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, untuk selanjutnya Tim Pelaksana
Pengawas Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, melakukan beberapa
tahap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok Kota Palembang, meliputi:
tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi
5.1.1.6 Sumber Daya yang Dilibatkan
Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan). Dalam hal
ini pelaksanaan suatu kebijakan juga harus memiliki sumber-sumber daya yang
mendukung agar pelaksanaan kebijakannya berjalan dengan baik. Pelaksanaan
kebijakan harus didukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar
pelaksanaannya berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Informan A.S, berikut ini:
“Sumber daya yang dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok meliputi tim pengawas internal kawasan tanpa rokok. Masing-masing tim pengawas internal dari 7 Kawasan tersebut, diberikan pelatihan pengawasan internal dan penegakan hukum kawasan tanpa rokok. Jika di Instansi Pemerintahan maka yang diberi Pelatihan adalah pegawai dan petugas keamanan (security), untuk pengawasan internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat…”
197
Selanjutnya beliau menambahkan:
“…Memang pada kenyataannya pengawas internal di Instansi Pemerintahan ini belum dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran baik Pegawai, maupun masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan H.A, diketahui bahwa:
“Masing-masing Tim dari 7 Kawasan tersebut, diberikan Pelatihan Pengawasan Internal dan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok. Jika di Instansi Pemerintahan maka yang diberi Pelatihan adalah petugas keamanan (security), untuk Pengawasan Internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Selanjutnya hasil wawancara dengan Informan M.I, diketahui bahwa:
“Dalam melaksanakan penegakan seluruh Perda maupun Peraturan Walikota dengan menurunkan sejumlah Personil kurang lebih 60 orang Personil Sat Pol PP tergantung lokasi yang disurvei termasuk di Instansi Pemerintahan. Sat Pol PP membantu Dinas Kesehatan melaksanakan penegakan Perda KTR. Dalam hal ini Tugas Pokok dan Fungsi Sat Pol PP melakukan kebijakan Walikota dalam melakukan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman, ketertiban umum; melakukan perlindungan terhadap masyarakat dan Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota dengan Aparatur Kepolisian, PPNS dan atau Aparatur lainnya” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan A.T, berikut ini:
“Survei Penegakan Perda KTR ini dilaksanakan di Instansi Pemerintahan secara bertahap melalui supervisi, pemberian Surat Peringatan (SP) 1 maupun SP 2. Petugas Sat Pol PP yang dilibatkan dalam penegakan Perda KTR itu (include) termasuk juga penegakan Perda lainnya. Personil di Sat Pol PP sebagai Penegakan Hukum Perda KTR sudah cukup. Dalam melaksanakan tugas mereka juga diberikan uang lelah untuk memotivasi personil. Hasil Survei disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR. Dalam hal ini Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa dalam
melaksanakan penegakan seluruh Perda maupun Peraturan Walikota dengan
Sat Pol PP Kota Palembang menurunkan sejumlah Personil kurang lebih
60 orang Personil tergantung lokasi yang disurvei termasuk di Instansi
198
Pemerintahan. Sat Pol PP membantu Dinas Kesehatan melaksanakan
penegakan Perda KTR. Survei Penegakan Perda KTR ini dilaksanakan di
Instansi Pemerintahan secara bertahap melalui supervisi, pemberian Surat
Peringatan (SP) 1 maupun SP 2. Petugas Sat Pol PP yang dilibatkan dalam
penegakan Perda KTR itu (include) termasuk juga penegakan Perda lainnya.
Personil di Sat Pol PP sebagai Penegakan Hukum Perda KTR sudah cukup.
Dalam melaksanakan tugas mereka juga diberikan uang lelah untuk memotivasi
personil. Hasil Survei disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR.
Dalam hal ini Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa,
pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal.
Selain itu, di Instansi Pemerintahan sendiri dibentuk Tim Pengawas
Internal yang sebelumnya telah, diberikan Pelatihan Pengawasan Internal dan
Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok. Tim Pengawas Internal di Instansi
Pemerintahan adalah petugas keamanan (security), yang bertugas melakukan
pengawasan internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun
Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang
pada kenyataannya pengawas internal di Instansi Pemerintahan ini belum
dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran baik pegawai maupun
masyarakat yang menerima pelayanan untuk mematuhi Perda KTR masih
rendah.
199
5.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang
Konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas
implementasi menurut Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil
kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif
yang dipengaruhi oleh variabel lingkungan kebijakan. Dalam hal ini konteks
implementasi dalam kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, dianalisis melalui indikator antara
lain: a) Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi aktor yang dlibatkan,
b) Karakteristik Lembaga & Penguasa dan c) Kepatuhan dan Daya Tanggap,
semua indikator diuraikan dalam hasil penelitian sebagai berikut:
5.1.2.1 Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi aktor yang dilibatkan
Power, Interest and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, kepentingan-
kepentingan dan strategi dari aktor yang dilibatkan). Dalam suatu kebijakan perlu
diperhitungkan termasuk pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta
strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar
jalannya pelaksanaan suatu implementasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:
“Berdasarkan Perwako No. 67 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, maka dibentuklah Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satpol PP Kota Palembang sebagai Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang untuk melakukan pengawasan kawasan tanpa rokok yang dilaksanakan persuasif maupun represif, dalam rangka melindungi kepentingan kelompok sasaran meliputi: perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; menciptakan lingkungan yang sehat; dan menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang merokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016)
200
Sejalan dengan hal tersebut Informan H.A, diketahui bahwa:
“Strategi dari aktor yang dilibatkan, dalam hal ini aktor yang dimaksud Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satpol PP Kota Palembang melakukan penyebarluasan informasi tentang Perda KTR kepada masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dengan melibatkan media TV, Radio, Koran sehingga lebih efektif. Karena mengubah mindset masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama dan proses yang terus menerus” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016) Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan A.S, diketahui bahwa:
“Penerapan strategi tersebut terhadap implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sebenarnya sudah cukup baik. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Berdasarkan hasil supervisi di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja, dan seringkali dilepaskan (hilang karena renovasi ruang kantor). Perda KTR juga tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga Pegawai seringkali lupa, masyarakat yang menerima pelayanan juga tidak membaca ataupun mengetahui tentang Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).
Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, diketahui
bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang, strategi dari aktor yang dilibatkan antara lain
dengan melakukan kegiatan sebagai berikut:
1) Sosialisasi
(a) Secara Langsung, meliputi:
(1) Talkshow melalui Radio
a. Eljhon FM: Dilaksanakan Tahun 2009 (1 kali) dan Tahun 2010
(2 kali)
b. Trijaya FM: Dilaksanakan Tahun 2009 (1 kali) dan Tahun
2010 (3 kali)
c. RRI: Dilaksanakan Tahun 2010 (1 kali)
d. Smart FM: Dilaksanakan Tahun 2010 (1 kali)
e. Sriwijaya FM): Dilaksanakan Tahun 2010 (1 kali)
201
(2) Talkshow melalui TV Swasta: Pal TV, dilaksanakan Tahun 2010
(2 kali)
(3) Mobil keliling dari Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) ke
salah satu terminal angkutan umum
(4) Workshop terhadap kawasan pelayanan kesehatan, para Camat
dan para Lurah
(b) Secara Tidak Langsung, meliputi:
(1) Penyebaran Surat Instruksi tentang pemasangan papan
pengumuman Kawasan Tanpa Rokok
(2) Penyebaran Leaflet Kawasan Tanpa Rokok
(3) Pembuatan papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok
Selanjutnya Sosialisasi dilakukan kembali tahun 2014, dengan kegiatan
sebagai berikut:
(a) Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
(b) Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di angkot
(c) Iklan Surat kabar dan Televisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok
(d) Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Berikut foto pelaksanaan sosialisasi berupa pemberian materi mengenai
kawasan tanpa rokok oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satpol PP
dan Dr Spesialis Paru RSMH Kota Palembang
202
Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2014
Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa sosialisasi KTR
dilaksanakan di beberapa tempat di Instansi Pemerintahan Kota Palembang,
yang dihadiri oleh perwakilan pimpinan di 7 kawasan tanpa rokok, meliputi:
fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak
bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum
Gambar 5.2 Penyerahan pin Simbolis kepada Peserta Sosialisasi KTR
Gambar 5.4 Sosialisasi KTR oleh dr. Paru RSMH
Gambar 5.1 Pemberian Materi KTR oleh Kadinkes
Gambar 5.3 Sosialisasi KTR oleh Satpol PP
203
Beberapa agenda yang dilaksanakan berupa pemberian materi
mengenai bahaya rokok yang disampaikan oleh Dr Spesialis Paru RSMH Kota
Palembang, serta materi mengenai maksud, tujuan maupun operasionalisasi
Kawasan tanpa Rokok oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang serta
utusan dari Satpol PP Kota Palembang. Setelah pemberian materi dilanjutkan
dengan penyerahan pin, stiker maupun buku pedoman pelaksanaan yang berisi
Perda maupun aturan pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang.
Dalam hal ini diharapkan Sosialisasi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang KTR perlu
digencarkan lagi, dengan melibatkan masyarakat terutama Perguruan Tinggi
untuk sosialisasi kawasan tanpa rokok. Melibatkan seluruh lapisan untuk
melaksanakan Perda No.7 Tahun 2009 tentang KTR melalui kerja sama lintas
program dan sektor.
Selanjutnya penempelan stiker Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang, telah dilakukan
tahun 2014, berdasarkan tabel berikut ini:
Tabel 5.3 Data Hasil Kegiatan penempelan stiker Perda No 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang
No Lokasi Penempelan Stiker KTR Jumlah Angkot yang telah
dilakukan Penempelan Stiker KTR
1
2
3
4
5
6
Di Bawah Jembatan Ampera
Terminal Pasar Lemabang
Pasar Kuto
Jalan Merdeka
Terminal Alang-alang Lebar
Terminal Perumnas
558 Angkot
160 Angkot
78 Angkot
287 Angkot
89 Angkot
75 Angkot
Sumber: Laporan Dinas Kesehatan Kota Palembang
204
Berikut gambar penempelan stiker Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang
Gambar 5.5 Penempelan Stiker KTR oleh Kadinkes, Personil Dinas Perhubungan dan DPC Organda di Angkutan Kota
Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009
Gambar 5.6 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Dishub & Satpol PP Dinas Perhubungan di Bus Kota
Gambar 5.7 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Satpol PP di Trans Musi
205
Penempelan stiker secara simbolis dilakukan oleh personil Kadinkes,
Personil Dinas Perhubungan dan DPC Organda di Angkutan Kota Palembang, ini
merupakan perwakilan dari angkutan umum yang termasuk dalam salah satu
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Agenda awal sosialisasi dilakukan
dengan memberi pengetahuan dan pemahaman mengenai Perda Kawasan
Tanpa Rokok kepada supir maupun masyarakat yang menggunakan angkutan
umum. Dalam hal ini bagi supir maupun masyarakat yang kedapatan merokok
belum dikenakan sanksi melainkan hanya diberi peringatan berupa teguran lisan
Pemasangan Iklan Surat kabar, baliho dan Televisi Perda No 7 Tahun
2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, juga telah dilakukan di Koran Sumatera
Ekspress dengan jenis iklan kolom dan berita di society, yang dapat dilihat pada
gambar berikut ini:
Gambar 5.8 Pemasangan Iklan KTR Surat Kabar
206
Pemasangan Iklan Surat kabar, baliho dan Televisi Perda No 7 Tahun
2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, juga telah dilakukan pada beberapa media
massa lokal salah satunya di Koran Sumatera Ekspress dengan jenis iklan kolom
dan berita di society. Meskipun masih kurang efektif karena posisinya bukan
menjadi headline surat kabar tersebut. Namun demikian usaha Pemerintah ini
sudah selayaknya diapresiasi dalam rangka memberi infomasi kepada
masyarakat mengenai Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang. Selain itu, Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok, juga dilakukan melalui pemasangan baliho di pusat Kota
Palembang, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 5.9 Baliho tentang KTR di Jalan Protokoler Kota Palembang Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2014
Pemasangan Baliho tentang Kawasan Tanpa Rokok di Jalan Protokoler
Kota Palembang, dirasakan cukup efektif. Sebagian besar Masyarakat
mengapresiasi pemasangan baliho tersebut yang bertujuan memberi infomasi
kepada masyarakat mengenai Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang.
207
2) Kegiatan Pemeriksaan Air Quality Monitoring, telah dilaksanakan
pemeriksaan sampel udara indoor di 30 titik pemeriksaan, dimana tidak
ada pembatasan ruang antara ruang merokok dan ruang tanpa rokok
3) Pembahasan Pembuatan Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang, Pertemuan sosialisasi Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok
bersama Asisten 4 dan Bagian Hukum Pemerintah Kota Palembang
4) Pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR
5) Selain itu juga dilakukan Survei dan Sidang Yustisi dengan menggunakan
Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
Sidang Yustisi dilakukan oleh Tim dari Sat Pol PP dan dibantu dengan
pihak kepolisian, kejaksaan setelah pelaksanaan Tipiring. Sidang Yustisi
dilakukan dengan menggunakan Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Palembang untuk menyidang ditempat. Dalam hal ini Survei maupun
Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah
ditentukan sesuai jadwal untuk menindak pelanggaran terhadap Perda KTR,
yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 5.10 Pelaksanaan Tipiring Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2014
208
Gambar 5.11 Pelaksanaan Sidang Yustisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2014
Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa kegiatan Tipiring dilakukan
untuk menegakkan Perda No 7 tahun 2009 tentang kawasan tanpa
rokok. Pemerintah kota Palembang ingin menunjukkan kepada masyarakat, jika
Perda yang dibuat untuk ditaati. Mereka yang kedapatan tangan langsung digelar
sidang yustisi ditempat oleh Hakim. Sesungguhnya ini dilakukan untuk membuat
efek jera kepada pelanggar atau masyarakat yang merokok tidak pada
tempatnya, sebanyak 20 yang melanggar KTR. Dengan efek jera ini, mereka
langsung disidang dilapangan sehingga akan menjadi kenangan seumur hidup
bagi para pelanggar. Tim gabungan yang diturunkan dalam penertiban tersebut,
sebanyak 70 personil. Tim dari Sat Pol PP dan dibantu dengan pihak kepolisian,
kejaksaan. Selain itu, 1 bus untuk menyidang ditempat. Untuk sanksi bagi
pelanggar mereka akan dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama tiga
bulan dan denda paling banyak Rp 50 juta. Namun untuk pelanggar yang
kedapatan pada saat pelaksanaan tipiring ini hanya membayar Rp 50.000,- untuk
selanjutnya disetor ke Kas Negara. Hal ini dikarenakan, kegiatan ini masih dalam
209
bentuk dari sosialisasi untuk masyarakat Kota Palembang dan masyarakat luar
Kota Palembang.
Adapun sumber keuangan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa roko
kini, antara lain bersumber dari:
a) APBN Depkes
Sebagian kecil pada dana kegiatan Program Promosi Kesehatan Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan
b) APBD
Program penyebaran informasi dan program PTM di seksi P2P Bidang
Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang
c) Support dana dari:
(1) World Lung Foundation
(2) Union
Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa Strategi aktor yang
dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain
meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring,
kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan perwali
tentang kawasan tanpa rokok di kota palembang, pertemuan sosialisasi perwali
tentang kawasan tanpa rokok bersama asisten 4 dan bagian hukum pemerintah
kota palembang serta pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Namun
untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Di Instansi Pemerintahan
hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak
diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu
tentang Perda KTR. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan sosialisasi dan
210
penegakan hukum Perda KTR secara terus menerus karena mengubah mindset
masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama dan proses yang lama.
5.1.2.2 Karakteristik Lembaga & Penguasa
Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan rezim
yang berkuasa). Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya. Keberhasilan implementasi kebijakan
ditentukan oleh sinergisitas kerjasama atau hubungan diantara aktor-aktor
kebijakan yaitu yang membuat/melaksanakan kebijakan dengan yang dikenai
kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, berikut ini:
“Para pelaku kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, cukup maksimal. Namun diharapkan tidak hanya melibatkan instansi yang berwenang, maupun Pengawas Internal saja melainkan juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat dengan menyediakan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016). Dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang serta Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Palembang, selaku pihak yang berwenang, bertugas:
(a) Mengefektifkan informasi yang disampaikan kepada masyarakat
mengenai larangan merokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
melalui sosialisasi Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok
(b) Memberikan kejelasan sanksi kepada pihak yang melanggar Peraturan
Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok baik bagi Instansi Pemerintahan dan pertokoan maupun
pengawasan tanpa rokok, yang diuraikan sebagai berikut:
211
(1) Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung
Jawab:
(i) Apabila tidak melarang adanya tempat untuk merokok di dalam
gedung dan/atau penyediaan rokok, dikenakan sanksi
admnistratif dan/atau denda paling banyak sebesar
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(ii) Tidak meletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu
masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan
mudah terbaca, dikenakan sanksi administratif dan/atau denda
paling banyak sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(iii) Tidak melarang orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok,
dikenakan sanksi administratif dan/atau denda paling banyak
sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(iv) Melakukan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut,
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha
dan penutupan tempat usahanya
(2) Pengawas atau Petugas yang berwenang tidak mengawasi Kawasan
Tanpa Rokok, dikenakan sanksi administratif dibidang kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
(c) Penerapan sanksi bagi pelanggar kawasan tanpa rokok secara
konsekuen
212
Sejalan dengan hal tersebut Informan M.I, menambahkan:
“Awalnya sudah cukup maksimal. Mayoritas Pihak Pimpinan Instasi sudah berkomitmen untuk melaksanakan Perda KTR. Ini terbukti pada saat supervisi cukup bersih dari asap rokok, namun ada beberapa Instansi yang makin makin banyak melakukan pelanggaran Perda KTR. Mungkin karena hanya diberikan surat peringatan, sehingga masih saja ada pegawai maupun masyarakat yang menerima pelayanan merokok, khususnya di ruang pelayanan masyarakat” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Hal tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan Informan R.S, berikut ini:
“Pada saat kita melaksanakan penegakan Perda, KTR. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan melalui pelaksanaan supervisi, maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun masih ditemukan pelanggaran” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Senada dengan hal tersebut Informan D.P, berikut ini:
“Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai maupun Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan di hampir disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun masyarakat yang merokok diruangan. Dalam hal ini pihak Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus). Selanjutnya hasil wawancara dengan Informan M.E, berikut ini:
“Kami sudah mengetahui Perda KTR. Saya Pribadi merokok bersama 1 (satu) staf saya, kami biasa merokok diluar, karena di ruangan telah dipasang AC. Stiker larangan merokok juga telah di tempel. Asbak untuk menampung abu rokok juga sudah tidak ada namun mengenai piring yang dialihfungsikan untuk menampung abu rokok, hal ini diluar pengetahuan kita karena dilakukan oleh oknum RT bukan Pegawai Kelurahan, padahal sudah di tempel stiker larangan merokok dan sudah diberitahukan, namun mungkin karena RTnya baru menjabat jadi masih tahu betul mengenai Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016)
213
Berikut gambar pelanggaran KTR yang terjadi di Instansi Pemerintahan
Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa Pak RT selaku masyarakat
yang menerima pelayanan di Kantor Kelurahan, kedapatan melanggar Perda
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, hal ini terbukti dengan adanya
bungkus rokok, penyediaan asbak/tempat untuk menampung abu/puntung rokok.
Meskipun beliau beralasan tidak mengetahui Perda Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang serta tidak adanya larangan dari pegawai di Instasi
pemerintahan tersebut, namun tidak memungkiri bahwa telah terjadi pelanggaran
di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Sehingga diharapakan perlu adanya
tindakan tegas untuk melarang pegawai maupun masyarakat yang kedapatan
merokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Upaya yang dapat dilakukan
antara lain dengan tidak memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
bersangkutan sebelum berhenti/mematikan rokoknya.
Gambar 5.12 Pak RT yang merokok di Kantor Kel. Kertapati
214
Gambar 5.14 Kasi Pembinaan Kawasan dan Penyuluhan Perda Sat Pol PP
Kota Palembang yang merokok sebelum wawancara KTR Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2016
Gambar 5.13 Korek Api di meja Lurah Kelurahan Kemas Rindo
215
Gambar 5.15 Pegawai Kelurahan yang asik merokok dihadapan Sat Pol PP Kota Palembang yang melakukan supervisi KTR Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2016
Berdasarkan hasil wawancara dan gambar dapat dikatakan bahwa para
pelaku kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan, belum cukup
maksimal. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan
melalui pelaksanaan supervisi, maka aparat Pol PP wajib menegur/ menindak.
Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun masih ditemukan
pelanggaran. Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai maupun
Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima
pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan di hampir
disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan
sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR
sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda
KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai
maupun masyarakat yang merokok diruangan. Dalam hal ini pihak Instansi yang
melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1
216
5.1.2.3 Kepatuhan dan Daya Tanggap
Complience and Responsiveness (Tingkat kepatuhan dan adanya respon
dari pelaksana). Dalam hal ini sejauhmana kepatuhan dan respon dari para
pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan. Kepatuhan terhadap Cara/Proses
Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Kota Palembang, dilihat
dari:
(1) Sosialisasi Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009
Tentang Kawasan Tanpa Rokok khususnya Instansi Pemerintahan Kota
Palembang. Hasil wawancara dengan Informan M.E, berikut ini:
“Saya mengetahui isi dari Perda Kawasan Tanpa Rokok, salah satunya menempelkan sticker larangan merokok. Sticker larangan merokok diperoleh secara gratis pada saat melakukan sosialisasi ataupun pada saat surpervisi. Dalam Perda tersebut juga menguraikan hal-hal yang dilarang antara lain tidak menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok”. (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016)
Berikut ini adalah dokumentasi pemasangan sticker Perda KTR dan
larangan merokok di beberapa sudut Instansi Pemerintahan oleh
Pegawai Dinkes, Satpol PP dan Peneliti
Gambar 5.16 Pegawai Satpol PP, Pegawai Dinkes & Peneliti yang Menempelkan stiker KTR di Instansi Pemerintahan Kota Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2016
217
(2) Pembentukan Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok
Pembentukan Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok di
Instansi Pemerintahan dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat
Pelatihan Tim Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok Kota
Palembang yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang.
(3) Penyusunan Jadwal inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan
Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok
Selanjutnya hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan R.S,
diketahui bahwa:
“Personil Sat Pol PP diturunkan sebagai Penegakan Hukum Perda KTR. Hasil Survei disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR termasuk di Instansi Pemerintahan. Dalam hal ini Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).
Berikut ini adalah dokumentasi Survei maupun Sidang Yustisi
Penegakan Hukum Perda KTR
Gambar 5.17 Pelaksanaan Survei Penegakan Hukum Perda KTR di Palembang Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang
218
Berdasarkan gambar 5.17 terlihat bahwa pelaksanaan survei dilakukan
di depan Internasional Plaza, dengan menggelar meja dan kursi untuk
mendata masyarakat yang melanggar Perda. Tidak hanya razia
terhadap Perda KTR, melainkan juga Perda Sampah maupun KTP.
Gambar 5.18 Pelaksanaan Sidang Yustisi Penegakan Hukum Perda KTR di Internasional Plaza Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa masyarakat yang melanggar
Perda langsung disidangkan ditempat (di dalam mobil keliling Sidang
Yustisi) oleh Hakim. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan
M.I, diketahui bahwa:
“Penegakan Perda KTR telah dilaksanakan sesuai ketentuan, mulai dari pelaksanaan survei hingga Sidang Yustisi. Adapun besaran denda administratif yang diberikan kepada si pelanggar didasarkan pada Keputusan Hakim. Namun untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah dikenakan sanksi, hanya berupa pemberian Surat Peringatan (SP1)” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).
Berdasarkan hasil wawancara dan data dengan Informan diketahui
bahwa Inspeksi KTR di Internasional Plaza dilaksanakan pada hari
Jum’at, dengan melibatkan Personil Sat Pol PP. Selanjutnya Sat Pol PP
juga melaksanakan Penegakan Hukum Perda KTR maupun Perda-
perda lainnya melalui Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan
219
hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal,
termasuk di Instansi Pemerintahan. Ditemukan seorang pelanggar
Perda KTR yang merokok di luar gedung namun hanya mendapat
teguran. Sedangkan untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah
dikenakan sanksi hanya berupa pemberian Surat Peringatan (SP1)
(4) Penerapan Saksi bagi pelanggar Peraturan Daerah Kota Palembang
No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan M.I, berikut ini:
“Pada saat kita melaksanakan penegakan Perda, antara lain tentang Kepegawaian, tentang sampah termasuk juga di Instansi Pemerintah, kami juga sekaligus melakukan penegakan Perda KTR. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan PT, diketahui bahwa:
“Dalam melakukan penegakan Perda KTR, kami sisir dari lantai bawah sampai atas, pada saat itu tidak ada satupun baik asbak maupun orang yang merokok. Maka Tim tidak bisa melakukan tindakan hukum, karena apabila terdapat perokok yang berada di Instansi Pemerintahan, maka yang ditindak Pimpinan Instansi Pemerintahan itu sendiri, namun jika ditemukan pelanggaran diluar lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan Kantor, maka pelanggarnya yang kami tindak/kami lakukan pembinaan, selanjutnya kami buat berita acara agar yang bersangkutan tidak merokok” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).
Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa dalam penegakan
Perda KTR. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi
Pemerintahan maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada
yang ditegur ditempat kejadian. Sat Pol PP Kota Palembang melakukan
penyisiran dari lantai bawah sampai atas, pada saat itu tidak ada
satupun baik asbak maupun orang yang merokok. Maka Tim tidak bisa
melakukan tindakan hukum, karena apabila terdapat perokok yang
220
berada di Instansi Pemerintahan, maka yang ditindak Pimpinan Instansi
Pemerintahan itu sendiri, namun jika ditemukan pelanggaran diluar
lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan Kantor, maka
pelanggarnya yang kami tindak/kami lakukan pembinaan, selanjutnya
kami buat berita acara agar yang bersangkutan tidak merokok
(5) Laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan
Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan.
Selanjutnya Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas
Kesehatan secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada
Walikota Palemban
Berdasarkan hasil wawancara dan gambar dapat dikatakan bahwa
masyarakat pada umumnya mengetahui isi dari Perda Kawasan Tanpa Rokok
termasuk hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan Perda KTR, melalui
pelaksanaan sosialisasi maupun informasi media cetak dan elektronik, isi Perda
salah satunya memuat tentang penempelan sticker larangan merokok, tidak
menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok maupun sanksi pelanggaran
Perda KTR itu sendiri.
Personil Sat Pol PP diturunkan sebagai Penegakan Hukum Perda KTR,
melalui pelaksanaan supervisi maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari
Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal. Dalam hal ini,
kepatuhan dan daya tanggap Petugas sudah cukup baik, meskipun masih
banyak terjadi pelanggaran. Penegakan Perda KTR telah dilaksanakan sesuai
ketentuan, mulai dari pelaksanaan survei hingga Sidang Yustisi. Adapun besaran
denda administratif yang diberikan kepada si pelanggar didasarkan pada
221
Keputusan Hakim. Namun untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah
dikenakan sanksi, hanya berupa pemberian Surat Peringatan (SP1).
Selanjutnya untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pelaksanaaan Perda KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green
tentang Perilaku Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor
predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor
penguat (reinforcing factor). Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan
faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi:
Pengetahuan, Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Faktor
pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya
perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung pelaksanaan Perda KTR
berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk tanda larangan merokok,
buku pedoman larangan merokok serta penyediaan klinik kesehatan untuk terapi
bagi perokok. Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,
Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan
sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan
salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan
perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda
KTR di Kota Palembang.
a. Faktor Predisposisi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan,
222
Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Pengetahuan tentang
pelaksanaan Perda KTR bisa didapat melalui penglihatan seperti melihat dan
membaca berita tentang Perda KTR melalui media televisi, radio maupun media
massa. Pengetahuan dinilai menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat
pengetahuan pengelola tentang pelaksanaan Perda KTR di Kantor Kelurahan.
Pengetahuan pengelola meliputi tujuan pelaksanaan Perda KTR, tempat-tempat
yang diatur, kriteria kepatuhan dan sanksi terhadap Pelanggaran. Pengelola
yang telah mempunyai pemahaman dan pengetahuan yang cukup diharapkan
kawasan yang dikelolanya akan patuh terhadap Perda KTR. Selanjutnya sikap
juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku. Sikap yang positif
terhadap sesuatau (setuju, senang, mau) akan memicu prilaku yang postif pula.
Pengetahuan mengenai Perda Kawasan Tanpa Rokok berpengaruh
terhadap kepatuhan Pegawai terhadap Perda KTR di Instansi Pemerintah Kota
Palembang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui
bahwa:
“Untuk meningkatkan pengetahuan pegawai mengenai Perda KTR, Dinas Kesehatan Kota Palembang melakukan sosialisasi berupa leaflet, brosur, pemberian dan pemasangan tanda Kawasan Tanpa Rokok, pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan Peraturan daerah kawasan tanpa rokok di kawasan tempat kerja” (Hasil wawancara 29 Agustus 2016) Dalam hal ini pengetahuan pegawai mengenai Peraturan Daerah No.7
Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di peroleh dari sosialisasi dan
pelatihan penegakan peraturan daerah. Menurut Green faktor pengetahuan
mempunyai pengaruh yang sangat besar, karena pengetahuan dapat sebagai
motivasi awal bagi seseorang dalam berperilaku. Pengetahuan merupakan hasil
“tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
223
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, diketahui
bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain berupa:
(a) Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
(b) Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di angkot
(c) Iklan Surat kabar dan Televisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok
(d) Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan yang baik tentang Peraturan
Daerah No.7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok akan meningkatkan
kepatuhan pegawai, karena pegawai mengetahui secara jelas tujuan dan
manfaat dari penerapan Peraturan Daerah No.7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok, akan tetapi jika responden merupakan seorang perokok yang
sudah adiktif, akan mengalami kesulitan untuk menahan hasrat ingin merokok
sehingga akan merokok di setiap tempat dan setiap waktu termasuk di ruang
kerja.
Informan H.A, menguraikan:
“Pada umumnya para Pegawai telah mengetahui adanya Perda KTR, yakni Perda yang melarang merokok di ruang yang masih ada atap namun demikian para pegawai tetap bersikap tidak peduli sehingga komitmen untuk mematuhi Perda KTR belum ada, sehingga perilaku merokok khususnya di kantor (Instansi Pemerintah) terus menerus terjadi” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016).
224
Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan A.G berikut ini: ”Stiker larangan merokok telah ditempel di lokasi strategis ruang kerja, namun untuk mengubah untuk mengubah perilaku merokok, terus terang masih sangat sulit. Karena dalam lingkungan perokok, sudah menjadi ritual umum jika tidak ditawari rokok ya menawarkan rokok, jika tidak dimintain rokok ya meminta rokok” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016)
Informan B.S juga menambahkan: ”Merokok atau tidaknya Pegawai di ruang kerja juga tergantung komitmen pimpinan, biasanya jika pimpinan tidak merokok maka akan memberikan sanksi yang tegas kepada Pegawai yang merokok di ruang kerja, namun sebaliknya jika pimpinan juga seorang perokok, dan merokok diruang kerja otomatis pegawai juga akan mengikuti” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan S.M berikut ini: ”saya selaku pimpinan Instansi yang merokok juga baru mengetahui jika sanksi yang dikenakan bagi pelanggaran Perda KTR adalah Pimpinan Instansinya. Oleh karena itu, saya akan berusaha untuk mematuhi Perda KTR dengan tidak merokok di ruang kerja dan memberi contoh bagi Pegawai di lingkungan Instansi yang saya pimpin” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016).
Sikap tentang Perda KTR adalah sikap pengelola terhadap penerapan
Perda KTR di Instansi Pemerintahan yang meliputi Pendapat Pimpinan/Pegawai
terhadap dampak asap rokok terhadap orang disekitarnya, kebijakan pelarangan
kegiatan merokok di dalam ruangan di tempat manapun Instansi Pemerintahan,
tujuan pelaksanaan Perda KTR, pendapat tentang tanggung jawab mereka
sebagai pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dikawasan yang dikelola dan
pendapat mereka terhadap dampak pelaksanaan Perda KTR terhadap
pemberian Pelayanan di Instansi Pemerintahan. Pimpinan Instansi Pemerintahan
yang mempunyai sikap postif terhadap pelaksanaan Perda KTR diharapkan
kawasan yang dikelolanya akan patuh pula terhadap Perda KTR.
225
Komitmen Pimpinan Instansi Pemerintahan mempunyai pengaruh yang
besar dalam mewujudkan kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR. Dalam buku
pedoman pengembangan KTR disebutkan bahwa melakukan advokasi untuk
membangun komitmen bersama antara segenap masyarakat, pemerintah dan
pengelola kawasan sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok.
Perilaku merokok dari pengelola merupakan faktor yang dapat
menghambat pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahan. Pimpinan
Instansi Pemerintahan adalah role model atau teladan bagi bawahannya
sehingga seorang Pimpinan yang dikenal mempunyai perilaku merokok tidak
akan bisa menjadi contoh yang baik. Pimpinan tersebut akan kehilangan wibawa
saat menginisiasi pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahannya. Selain
itu, dalam melakukan tindakan pengawasan akan cenderung tidak tegas dan
sangat mungkin tidak dituruti oleh orang lain. Penilaian terhadap prilaku merokok
dapat dilakukan dengan bertanya langsung apakah merokok atau tidak, apakah
merokok ditempat kerja atau di rumah.
Sehingga berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa
pada umumnya para Pegawai telah mengetahui adanya Perda KTR, melalui
sosialisasi berupa leaflet, brosur, pemberian dan pemasangan tanda Kawasan
Tanpa Rokok, pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan Peraturan
daerah kawasan tanpa rokok di Kawasan Tempat Kerja. Dalam hal ini, Perda
KTR melarang merokok di ruangan tertutup mupun ruang terbuka yang masih
ada atap. Akan tetapi masih banyak pegawai yang bersikap tidak peduli
sehingga komitmen untuk mematuhi Perda KTR belum ada, sehingga perilaku
merokok khususnya di Kantor (Instansi Pemerintah) terus menerus terjadi
226
b. Faktor Pemungkin dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Faktor pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang
memungkinkan terjadinya perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung
pelaksanaan Perda KTR berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk
tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta penyediaan
klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok.
Enabling factor diwujudkan dalam lingkungan fisik, tersedianya atau tidak
tersedianya fasilitas kesehatan. Dalam hal ini telah tersedia stiker, leaflet maupun
spanduk tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta
penyediaan klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok berupa Klinik Upaya
Berhenti Merokok (Klinik UBM) yang terdapat pada 5 (lima) puskesmas yang
ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi perokok, yaitu
Pembina Puskesmas, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka, Puskesmas
Sako dan Puskesmas Sukarame. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa
tidak ada ruang terpisah untuk klinik kesehatan dengan pelayanan umum di
Puskesmas, karena pelayanan kesehatan di Klinik UBM hanya menyediakan
konseling terbatas untuk mengurangi perilaku merokok. Selain itu, Fasilitas
untuk menampung pengaduan publik atas pelanggaran undang-undang KTR
masih belum tersedia secara maksimal.
227
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:
“Penyediaan fasilitas dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sebenarnya sudah cukup baik. Masing-masing Instansi sudah kita berikan stiker, leaflet maupun buku pedoman larangan merokok pada saat sosialisasi maupun supervisi, dan untuk selanjutnya stiker dapat memperbanyak sendiri. Selain itu, berdasarkan Instruksi Walikota Palembang No. 3 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, Instansi Pemerintahan diinstruksikan untuk membuat papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok dan diletakkan di depan gedung perkantoran. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Berdasarkan hasil supervisi di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja, dan seringkali dilepaskan (hilang karena renovasi ruang kantor). Papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok juga masih jarang di temukan di Instansi Pemerintahan. Selain itu, perda KTR juga tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga Pegawai seringkali lupa, masyarakat yang menerima pelayanan juga tidak membaca ataupun mengetahui tentang Perda KTR. ” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan M.E, berikut ini: “Stiker larangan merokok yang kami dapatkan saat sosialisasi Perda KTR telah di tempel di lokasi-lokasi strategis pelayanan, namun dikarenakan adanya renovasi ruangan, stiker KTR banyak yang dilepaskan, hanya beberapa yang masih dapat ditempel kembali. sedangkan untuk buku pedoman larangan merokok baru kami dapatkan saat pelaksanaan supervisi. Namun untuk memperbanyak stiker maupun penyediaan papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok sesuai dengan ketentuan Instruksi Walikota Palembang No. 3 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, terus terang kantor kami masih kekurangan dana, kami berharap Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang dapat menyediakan stiker maupun papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat kami pasang di depan kantor” (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016) Hasil wawancara dengan Informan M.A, diketahui bahwa:
“Minimnya fasilitas yang tersedia berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok. Dalam hal ini 5 Puskesmas yang ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi perokok, yakni Puskesmas Pembina, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka, Puskesmas Sako dan Puskesmas Sukarame maupun fasilitas pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).
228
Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan H.A berikut ini: “Awalnya saat mengetahui adanya klinik UBM, saya sangat antusias karena saya berkeinginan untuk berhenti merokok, namun saat saya datang ke Puskesmas Merdeka, awalnya saya kesulitan menemukan lokasi klinik UBM, namun setelah bertanya dengan Petugas, Klinik UBM yang dimaksud tidak ada ruang khusus, melainkan digabung dengan dengan poli Umum. Pelayanan yang diberikan hanya sebatas konseling dengan jadwal yang telah ditentukan” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016). Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan T.A berikut ini: “Pelayanan klinik UBM bukan pelayanan kesehatan berupa penanganan penyakit TBC, paru-paru, atau penyakit lainnya yang ditimbulkan karena merokok, melainkan hanya sebatas konseling. Pelayanannya juga tidak dilaksanakan setiap hari, melainkan sesuai dengan jadawal yang telah ditetapkan. Sejujurnya saya ragu apakah dapat berhenti merokok jika hanya dilakukan konseling tanpa menjalani pengobatan. Namun petugas menjelaskan jika kebiasaan merokok telah dapat dihentikan, maka keinginan merokok sudah pasti hilang, baru dilanjutkan dengan pengobatan namun pengobatan tidak termasuk dalam klinik UBM melainkan dirujuk ke poli umum dan penyakit dalam” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016). Selanjutnya hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan M.Y berikut
ini:
“Puskesmas Merdeka masih memiliki keterbatasan dalam menyediakan klinik UBM, sehingga untuk sementara lokasinya digabung dengan poli Umum. Pelayanan yang diberikan memang bukan pengobatan melainkan hanya sebatas konseling dengan jadwal yang telah ditentukan, yang bertujuan untuk mengubah kebiasaan perokok terlebih dahulu. Pada tahap awal pasien akan mengisi kuesioner untuk mengetahui tingkat kecanduan rokok, kemudian dilakukan pemeriksaan umum sekaligus menentukan jadwal maupun langkah konseling yang dilakukan” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016).
Hasil observasi, diketahui bahwa tidak ada ruang terpisah untuk klinik
kesehatan. Karena pelayanan kesehatan yang diberikan hanya sebatas
konseling untuk mengurangi perilaku merokok. Hal ini dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
229
Gambar 5. 19 : Lokasi Klinik UBM yang digabung dengan Poli Haji dan PTM di Puskesmas Dempo Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016
230
Gambar 5. 20 : Pasien yang melakukan konseling pada Klinik UBM di Puskesmas Merdeka Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016
231
Gambar 5. 21 : Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien Pada Klinik UBM di Puskesmas Dempo Palembang
Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016
Gambar 5. 22 : Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien Pada Klinik UBM di Puskesmas Merdeka Palembang
Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016
232
Gambar 5. 23 : Daftar Pasien yang mengunjungi Klinik UBM di Puskesmas Dempo Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016
Selanjutnya mengenai pelayanan pengaduan diungkapkan oleh Informan
M.I berikut ini:
“Tidak ada kontak layanan pengaduan yang tertera di stiker larangan merokok sehingga saat terjadi pelanggaran Perda KTR khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, kami bingung mengadukan kemana” (Hasil wawancara 9 September 2016) Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan A.B berikut ini: “Baik itu Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satpol PP Kota Palembang ataupun Instansi terkait, tidak mencantumkan kontak layanan pengaduan, sehingga pelanggaran terhadap Perda KTR seringkali terjadi. Kami juga ragu akan direspon dengan cepat jika tidak ada layanan pengaduan khusus yang menangani pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara 9 September 2016)
233
Hal tersebut dikonfirmasikan dengan D.P berikut ini: “Jika terjadi pelanggaran Perda KTR dapat menghubungi Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun Satpol PP Kota Palembang, namun memang kami belum mencantumkan kontak layanan pengaduan, karena memang belum ada SDM yang nantinya akan merespon pengaduan tersebut. Semoga kedepannya bisa ditampilkan kontak pada stiker larangan merokok, sekaligus SDM yang responsif dalam menanggapi pengaduan masyarakat” (Hasil wawancara 12 September 2016) Sehingga berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa
minimnya fasilitas yang tersedia berupa Papan pengumuman Kawasan Tanpa
Rokok di depan Instansi Pemerintahan Kota Palembang, penyediaan klinik
kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok. Dalam hal ini
5 Puskesmas yang ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi
perokok, yakni Puskesmas Pembina, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka,
Puskesmas Sako dan Puskesmas Sukarame maupun fasilitas pengaduan
masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR
c. Faktor Penguat dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,
Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan
sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan
salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan
perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda
khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.
234
Hasil wawancara dengan Informan M.I, diketahui bahwa:
“Pembentukan tim penegakan hukum Perda khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang, biasanya melibatkan Satpam yang bertugas untuk mengawasi dan menegur jika masih ada Petugas yang merokok di dalam ruang kerja” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016). Hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:
“Diharapkan penegakan Perda KTR, tidak hanya menyangkut pembentukan tim pengawas Internal, melainkan juga himbauan organisasi maupun penerapan sanki yang tegas. Dalam hal ini, pimpinan Instansi terlebih dahulu harus mematuhi Perda KTR, yakni tidak merokok di ruang kerja, tidak menyediakan asbak untuk menampung abu maupun puntung rokok serta tidak bekerja sama dalam bentuk apapun dengan perusahaan rokok. Pimpinan Instansi diharapkan juga dapat bertindak tegas terhadap Pegawai maupun tamu yang melanggar Perda KTR di lingkungan Instansinya” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016)
Reinforcing factors meliputi: Himbauan Organisasi, Pengawasan Internal
dan Penerapan Sanksi. Salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan adalah
harapan atau keinginan orang yang menempati posisi tertentu/memiliki legitimasi
kekuasaan akan mengakibatkan kepatuhan. Kepemimpinan dalam sebuah
organisasi memiliki peran penting untuk mempengaruhi anggotanya, jika
pemimpin mematuhi peraturan maka akan diikuti oleh anggotanya dan
sebaliknya jika pemimpin tidak mematuhi peraturan maka akan diikuti juga oleh
anggotanya. Dengan dukungan atasan untuk mematuhi peraturan area bebas
rokok akan diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi
bawahannya, jika atasan berperilaku positif maka akan diikuti oleh bawahannya
dan sebaliknya.
235
Hasil wawancara dengan Informan R.S, diketahui bahwa:
“Berdasarkan hasil supervisi di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, masih banyak sekali terjadi pelanggaran Perda KTR antara antara lain diteukan pegawai maupun tamu yang merokok diruang kerja, terciup bau asap rokok, ditemukanya tempat menampung abu maupun puntung rokok. Pihak instansi juga tidak memberikan himbauan baik berupa informasi Perda KTR dari pengeras suara, tidak adanya pemasangan plank di depan kantor, yang tersedia hanya stiker larangan merokok saja. Selain itu pengawas internal juga masih belum tersedia. Sehingga setiap Instansi yang melanggar Perda KTR diberikan Surat Peringatan (SP)” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan K.R berikut ini: “Untuk pemasangan plank Perda KTR, terus terang Kelurahan Kemas Rindo masih memiliki keterbatasan dana, kecuali jika plank diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang, maka tentu akan kami pasang. Selanjutnya stiker larangan merokok juga sudah dipasang di lokasi-lokasi strategis, namum memang untuk menghilangkan kebiasan merokok sangat sulit dilakukan. Kami tidak menyediakan asbak sama sekali, namun tamu yang datang dalam hal ini Ketua RT sering menggunakan piring untuk menampung abu maupun puntung rokok, meski sudah sering diingatkan” (Hasil wawancara tanggal 24 Agustus 2016)
Sejlan dengan hal tersebut Informan S.M juga menambahkan: ”Sulit sekali menyadarkan perokok untuk tidak merokok diruang kerja. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan tidak memberikan pelayanan jika masyarakat yang datang merokok di ruang kerja. Sedangkan untuk Pegawai, terus terang saya selaku Lurah hanya bisa menegur” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016) Berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa
Pembentukan tim penegakan hukum Perda khususnya di Instansi Pemerintahan
di Kota Palembang, biasanya melibatkan Satpam yang bertugas untuk
mengawasi dan menegur jika masih ada Petugas yang merokok di dalam ruang
kerja Hasil Survey Kepatuhan pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7
Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, diketahui bahwa
penerapan sanksi yang diberikan masih sebatas pemberian Surat Peringatan
(SP1 maupun SP2).
236
5.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpareko Rokok di Kota Palembang
Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan
ditinjau kembali, untuk selanjutnya menjadi umpan balik bagi semua level
kebijakan yang diharapan terjadi perbaikan atau peningkatan kebijakan.
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (Studi Terhadap Peraturan Daerah
Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada
Instansi Pemerintahan Kota Palembang), ini menguraikan indikator hasil
kebijakan antara lain berupa a) Pengaruh pada Masyarakat dan b) Perubahan
dan Penerimaan oleh Masyarakat, semua indikator diuraikan dalam hasil
penelitian sebagai berikut:
5.1.3.1 Pengaruh pada Masyarakat
Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau
konten dan lingkungan atau konteks diterapkan, maka akan dapat diketahui
apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai
dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan
dipengaruhi oleh suatu lngkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang
terjadi.. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:
“Kami menyadari untuk pelaksanaan Perda KTR ini masih kurang personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang. Mengingat kegiatan yang kami lakukan juga cukup banyak. Namun sejauh ini sosialisasi juga sudah dilaksanakan. Selain itu masih kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) untuk mendukung sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus. Begitu pula dengan penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho untuk Kawasan Tanpa Rokok. Selain itu produksi sticker larangan merokok juga kurang. Pada sticker juga tidak dicantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat yang akan memberikan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016)
237
Sejalan dengan hal tersebut Informan M.I, diketahui bahwa:
“Sulitnya menimbulkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi perda KTR Satpam (Pengawas Internal) maupun Pegawai di Instansi Pemerintahan juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak yang merokok. Sat Pol PP juga beranggapan Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kendala
yang dialami Dinas Kesehatan Kota Palembang dalam Pelaksanaan Perda No. 7
Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang, antara lain:
(1) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya)
dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang
Perda KTR secara terus menerus.
(2) Belum adanya Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho
untuk Kawasan Tanpa Rokok.
(3) Produksi sticker larangan merokok juga kurang.
(4) Kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat
telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR
(5) Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan juga tidak memiliki
keberanian untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak
yang merokok.
(6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan
terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda
administratifnya
238
Hal tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan Informan M.I, berikut ini:
“Dampak Perda KTR di IP sudah cukup baik. Jika kami datang, masyarakat cepat-cepat berhenti merokok. Minimal sudah ada efek jera bagi masyarakat yang merokok disembarang tempat. Meski belum maksimal, karena kesadaran masyarakat masih kurang. Perda KTR ini harus mendapat dukungan penuh dari masyarakat dimanapun mereka berada untuk kebaikan bersama dalam menciptakan lingkungan sehat. Belum adanya fasilitas pengaduan bagi masyarakat terkait Perda KTR, dan itu menjadi masukan bagi kami kedepan. Untuk menyempurnakan Perda KTR. Kurangnya Pendanaan bagi kami untuk melaksanakan penegakan Perda KTR, dana yang ada sebesar 9,3 juta masih dirasakan kurang (sangat minim) untuk membiayai operasional survei Perda KTR, mengingat tempat yang disurvei juga cukup banyak” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016). Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan H.A, diketahui bahwa:
“Dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam gedung sudah berkurang. Pimpinan Instansi juga cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan masyarakat untuk tidak merokok didalam ruangan” (Hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2012). Selanjutnya hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan K.R, berikut ini:
“Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok sudah cukup dipatuhi. Pegawai dan Masyarakat yang merokok di dalam ruangan juga sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum Perda ditetapkan. Hal ini didukung dengan sticker larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk perokok melainkan kepada kami selaku Pimpinan” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa dampak/hasil yang
telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah
dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam
ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan
mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga
sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi
239
pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok
didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan merokok.
Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok melainkan
kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota Palembang.
5.1.3.2 Perubahan dan Penerimaan oleh Masyarakat
Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan, biasanya semakin
sulit untuk diimplementasikan. Lingkup perubahan dapat didasarkan pada
konteks kewilayahan, cakupan dampak, dan lain sebagainya. Hal ini berkaitan
dengan tantangan yang dihadapi berbanding lurus dengan lingkup
perubahannya. Pada lingkup perubahan yang kecil, tantangannya pun relatif
kecil. Sebaliknya, pada lingkup perubahan yang lebih besar, maka tantangannya
pun relatif lebih besar juga.
Outcomes tersebut harus memenuhi dua unsur, yaitu terdapat dampak
positif bagi masyarakat, individu, dan kelompok dan terjadi perubahan dan
penerimaan dari program yang telah dijelaskan. Pendapat atas kedua unsur
tersebut murni harus berasal dari masyarakat, buka pandangan subjektif dari
pelaksana program. Hal ini karena, sebagai sebuah proses yang
berkesinambungan, pendapat masyarakat tersebut merupakan evaluasi atas
pelaksanaan Perda KTR yang telah dilakukan. Hasil evaluasi tersebut kemudian
menjadi feedback untuk merumuskan tujuan dan kebijakan yang lebih efektif di
waktu yang akan datang.
240
Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan H.A, diketahui bahwa:
“Menurunnya jumlah perokok, sehingga kualitas udara semakin baik dan
masyarakat bisa menjadi lebih sehat” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus
2016).
Selanjutnya Informan M.I, menguraikan bahwa:
“Penegakan Perda KTR di Instansi Pemerintahan diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok. Mereka yang merokok menjadi berhenti merokok karena telah mengetahui bahaya yang ditimbulkan akibat merokok yang tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga membahayakan orang lain. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari luar maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR. Jika situasinya (pelanggaran) sudah terlampau kronis silahkan melapor ke Sat Pol PP, karena Kami siap untuk melakukan penindakan apabila si perokok masih merokok ditempat yang terlarang” (Hasil wawancara tanggal 8 Sep 2016). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan M.J., berikut ini:
“Saya sangat mendukung pelaksanaan Perda KTR. Saya memang tidak merokok sehingga dengan diterapkannya Perda ini, baik saya maupun masyarakat pada umumnya akan sangat mudah memperoleh udara yang bersih dan terhindar dari bahaya asap rokok” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016). Informan RS, menambahkan bahwa:
“Masyarakat sangat mendukung. Karena jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan menyebabkan penyakit bagi orang banyak. Bau yang ditimbulkan juga tidak enak. Semoga masyarakat sadar akan bahaya rokok sehingga Kota Palembang memiliki suasana yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi Perda KTR dan Perda Lainnya. Selain itu, masyarakat diharapkan proaktif dalam penegakan Perda KTR termasuk memberikan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR di 7 kawasan tersebut” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).
241
Adapun hal-hal yang perlu dibenahi atau diperbaiki sehubungan dengan
implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang, diungkapkan oleh Informan A.S, berikut ini:
“Penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang. Mengingat kegiatan yang kami lakukan juga cukup banyak; Pemanfaatan media Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) untuk mendukung sosialisasi serta menginformasikan kepada masyarakat tentang Perda KTR; Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho untuk Kawasan Tanpa Rokok; Penyediaan sticker yang juga mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat yang akan memberikan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR; Meningkatkan harga rokok secara progresif, serta cara mendapatkan rokok yang lebih selektif” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).
Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa Kebijakan
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang sudah dapat diterima oleh masyarakat dan mampu mengubah
perilaku masyarakat, dengan menurunnya jumlah perokok, sehingga kualitas
udara semakin baik dan masyarakat bisa menjadi lebih sehat. Masyarakat
mengetahui jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan menyebabkan
penyakit bagi orang banyak, sehingga mendukung untuk menciptakan suasana
yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi Perda KTR dan Perda
Lainnya. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari luar
maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh
Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR.
Adapun hal-hal yang perlu dibenahi atau diperbaiki sehubungan dengan
implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:
(1) Penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang
maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan inspeksi, survei
maupun Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-menerus
242
(2) Pemanfaatan Media Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) untuk mendukung
sosialisasi serta menginformasikan kepada masyarakat tentang Perda
KTR;
(3) Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho untuk Kawasan
Tanpa Rokok;
(4) Penyediaan sticker yang juga mencantumkan telp/sms/alat email
pengaduan bagi masyarakat yang akan memberikan pengaduan terhadap
pelanggaran Perda KTR;
(5) Meningkatkan harga rokok secara progresif, serta cara mendapatkan
rokok yang lebih selektif
(6) Penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya berhenti merokok
5.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Untuk mengantisipasi agar suatu kebijakan atau implementasi tidak gagal,
maka ada hal-hal yang perlu diketahui yang dapat membuat suatu pelaksanaan
kebijakan menjadi gagal, yaitu:
1) Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap yang membuat
bingung dan membuat penafsiran sendiri-sendiri oleh para pelaksana
kebjakan.
2) Instansi tujuan yang saling berlawanan.
3) Adanya tujuan yang saling berlawanan.
4) Insentif tidak memadai. Maksudnya para pelaksana kebijakan merasa
bahwa upah sambahan/intensif untuk melaksanakan kebijakan tidak
243
seimbang dengan jerih payahnya sehingga mereka tidak sungguh-
sungguh melaksanakannya.
5) Ketidakjelasan arah kebijakan dasar dengan kebijakan
implementasinya.
6) Katerbatasan keahlian
7) Sumber daya administrasi yang terbatas.
8) Kegagalan komunikasi (Abdul Wahab, 1997: 273)
Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa keberhasilan suatu
kebijakan ditentukan oleh dukungan lingkungan, kepatuhan serta dukunggan dari
pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung atau yang
terkana pengaruh kebijakan, ketersediaan sumber daya secara kualitas maupun
kuantitas, serta alat kontrol kebijakan berupa instrumen hukum terhadap
pelanggaran kebijakan. Kesemuanya harus disusun dan direncanakan dengan
baik dengan memperhatikan kondisi, kemampuan, ataupun potensi yang dimiliki.
Berbagai teori yang dikemukakan tersebut telah banyak memberikan gambaran
kepada kita khususnya dikalangan pada implementator dalam rangka
mengimplementasikan suatu kebijakan dan meminimalkan adanya kegagalan
dari implementasi. Oleh karena itu dari sudut pandang efektivitas, implementasi
masing-masing teori tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan. Namun
situasi dan kondisi dimana teori itu dipakai tergantung pada permasalahan yang
dihadapi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sehingga model
implementasi menjadi penting untuk dikaji.
244
5.2.1 Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang
Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, antara lain:
1) Implementasi Perda KTR telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana
Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat
2) Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dalam
pelaksanaan tugasnya
3) Tersedianya Sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis
di Instansi Pemerintahan
4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada
masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio
5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam
rangka pelaksanaan Perda KTR
6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)
Beberapa upaya telah dilakukan melalui amandemen UU Kesehatan
tahun 2009 dengan adanya ketentuan bebas rokok dan peringatan kesehatan
bergambar. Peraturan pelaksanaan selanjutnya telah dikeluarkan pada tahun
2012 yang memungkinkan pelaksanaan peringatan kesehatan bergambar
40% pada kemasan rokok sejak bulan Juni 2014. Kita dapat mengamati
adanya kemajuan penerapan peringatan kesehatan bergambar pada
kemasan rokok namun banyak celah yang masih terlihat. Oleh karena itu,
penting untuk menilai status terkini pelaksanaan peringatan kesehatan
bergambar dari sudut pandang masyarakat dan penjual/pengecer serta
245
kepatuhan industri tembakau terhadap peraturan peringatan kesehatan
bergambar. Berikut PHW pada kemasan rokok yang dijual di Kota Palembang
Gambar 5. 24 : Kemasan Rokok yang menyertakan PHW Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2017
246
7) Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok (UBM)
Untuk penanggulangan bahaya rokok bagi perokok aktif perlu
diberlakukan Upaya Berhenti Merokok baik di Puskesmas maupun sekolah,
Upaya Berhenti Merokok masih membutuhkan sosialisasi di masyarakat
dalam hal manfaat dan kegiatannya. Untuk maksud tersebut perlu
dilaksanakan kegiatan Roadshow Upaya Berhenti Merokok di sekolah yang
ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang.
Roadshow Usaha Berhenti Merokok (UBM) di Sekolah Tahun 2017
dilaksanakan oleh Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit seksi
Penyakit Tidak Menular (PTM) Dinas Kesehatan Kota Palembang Nara
Sumber Roadshow UBM, menyampaikan materi tentang UBM Tahun 2017.
Petugas yang melakukan wawancara, pengaturan pemberian Quisioner dan
Pemeriksaan Kadar Co dalam paru.
Gambar 5.25: Pemberian Materi UBM di Sekolah Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2017
247
Gambar 5.26: Kegiatan UBM: Pengukuran Kadar CO dalam Paru di Sekolah Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2017
Adapun rekapitulasi pengisian kuesioner dan pengukuran CO dalam Paru
yang dilakukan pada siswa laki-laki di sekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini:
248
Tabel 5.4 Pelaksanaan UBM di Tempat Belajar Mengajar Tahun 2017
No Nama Sekolah
Jumlah Siswa < 18
Tahun
Jumlah Perokok
Jml Batang Rokok yg dihisap
Hasil CO
Aktif Pasif <5
Batang >5
Batang ≤ 6 6-10 ≥10
1 SMP N 11 46 24 22 14 10 43 - - 2 SMP N 50 34 18 16 18 - 32 2 - 3 MTS Mujahiddin 41 13 28 12 1 - - - 4 SMP N 36 40 38 2 38 - 32 2 - 5 SMP N 25 34 9 26 9 - 2 - - 6 SMP Pembangunan 39 29 10 29 - 37 2 - 7 SMP N 3 39 14 25 14 - 38 1 - 8 SMP Aziziah 40 3 37 2 1 16 2 - 9 SMP N 29 49 7 42 7 - 37 2 - 10 MTS N 1 40 40 - - - - - - 11 SMP Yulis 21 12 9 7 5 12 6 3 12 SMP IT Harapan
Mulia 36 - 36 - - 30 5 1
13 SMP N 23 39 7 32 2 - 39 - - 14 SMP N 55 41 41 - 38 3 35 4 2 15 SMP Gama 29 20 9 20 - 27 2 - 16 Methodist 2 40 7 33 6 1 30 10 - 17 SMP IT Izzudin 44 29 15 28 1 44 - - 18 SMP Advent 47 13 34 11 - - 3 - 19 SMP N 2 34 22 12 15 2 27 6 1 20 SMP Muh 6 40 40 - 39 1 33 5 1 21 SMP N 17 36 2 34 1 - 36 - - 22 SMP N 14 40 7 33 7 - 36 4 - 23 SMP N 26 40 20 20 20 - 39 1 - 24 SMP N 9 40 1 39 - - 38 2 - 25 SMP Muh 10 36 14 23 10 4 26 8 3 26 SMP N 42 32 12 20 12 - 32 - - 27 SMK PGRI 2 37 15 22 10 5 27 3 0 28 SMA N 22 41 41 - 38 3 35 4 2 29 SMK N 5 30 17 13 25 2 28 2 - 30 SMA Muh 8 40 17 23 16 1 29 9 2 31 SMA Muh 9 38 35 3 25 10 10 14 32 SMA PGRI 4 47 18 29 14 4 23 11 3 33 SMA NU 47 44 3 31 13 8 24 15 34 SMK Wardi Wacana 36 26 10 22 4 13 10 3
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang
249
5.2.2 Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di Kota Palembang
Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:
1) Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota
Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup
maksimal
2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR
3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam
melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda
KTR secara terus menerus.
4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang.
5) Kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat
telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR
6) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan
Perda KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang
diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.
7) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih
dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda
administratifnya
8) Alat penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok
sudah tersedia namun belum maksimal
250
Tabel 5.5 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang mendapat SP1
Pelanggaran Perda KTR
No Tempat Proses Belajar Mengajar No Tempat Umum
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
SMP 23
SMP N 29
SMP Patra Mandiri
SMA N 14
SMP YWKA
SMP N 14
SMP N 19
SMP Tridharma
MTS Ar-Rahman
SMK Pelita
SMA Taman Siswa
Universitas Tridinanti
Universitas Bina Darma
1
2
3
4
5
6
7
Indah Raso
Bakul Desa
Steak and Shake
Batagor Ikhsan
Lele Lela cab. PTC
RM Palapa km.5
RM Kejora Indah km.7
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2016
Tabel 5.6 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP1 Pelanggaran Perda KTR
No Instansi No Instansi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kantor Camat Sako
Kantor Camat Sukarami
Kantor Camat Kalidoni
Kantor Camat Sematang Borang
Kantor Lurah Keramasan
Kantor Lurah Sako
Kantor Lurah Sako Baru
Kantor Lurah Sukamaju
Kantor Lurah Sukamulya
Kantor Lurah 5 Ulu
Kantor Lurah 8 Ulu
Kantor Lurah Tangga Takat
Kantor Lurah Sukabangun
Kantor Lurah 9 Ilir
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Kantor Lurah 3 Ilir
Kantor Lurah Kemas Rindo
Kantor Lurah Bagus Kuning
Kantor Lurah 23 Ilir
Kantor Lurah 1 Ulu
Kantor Lurah 2 Ulu
Kantor Lurah Srilaberanti
Kantor Lurah 20 Ilir
Kantor Lurah 18 Ilir
Kantor Lurah 2 Ilir
Kantor Lurah Pipa Reja
Kantor Lurah Ario Kemuning
Kantor Lurah Lorok Pakjo
Kantor Lurah Pahlawan
Kantor Lurah Kertapati
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2016
251
Tabel 5.7 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang mendapat SP2
Pelanggaran Perda KTR
No Tempat Proses Belajar Mengajar No Tempat Umum
1
2
3
4
5
6
7
8
9
SMP YWKA
SMP N 14
SMP N 19
SMP Tridharma
MTS Ar-Rahman
SMK Pelita
SMA Taman Siswa
Universitas Tridinanti
Universitas Bina Darma
1
2
RM Palapa km.5
RM Kejora Indah km.7
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2016
Tabel 5.8 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP2 Pelanggaran Perda KTR
No Instansi No Instansi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kantor Camat Sako
Kantor Camat Sukarami
Kantor Camat Kalidoni
Kantor Camat Sematang Borang
Kantor Lurah Keramasan
Kantor Lurah Sako
Kantor Lurah Sako Baru
Kantor Lurah Sukamaju
Kantor Lurah Sukamulya
Kantor Lurah 5 Ulu
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kantor Lurah 8 Ulu
Kantor Lurah Tangga Takat
Kantor Lurah Sukabangun
Kantor Lurah 9 Ilir
Kantor Lurah 3 Ilir
Kantor Lurah Kemas Rindo
Kantor Lurah Bagus Kuning
Kantor Lurah 23 Ilir
Kantor Lurah 1 Ulu
Kantor Lurah 2 Ulu
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2017
5.3 Eksisting Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Kota Palembang
Berdasarkan hasil penelitian tentang pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang diuraikan pada
252
Bab V di atas, maka dapat ditarik kesimpulan untuk menggambarkan konten,
konteks dan hasil kebijakan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, antara lain sebagai berikut:
1) Berdasarkan konten implementasi kebijakan, diketahui bahwa Pelaksana
kebijakan kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota
Palembang, Satpol PP Kota Palembang maupun Pimpinan Instansi
Pemerintahan dan Masyarakat telah mengetahui dan mendukung
pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang, melalui pelaksanaan sosialisasi, supervisi maupun
workshop KTR, namun pelanggaran terhadap Perda KTR masih terus
terjadi dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi Perda
KTR masih rendah.
2) Berdasarkan konteks implementasi kebijakan, diketahui bahwa Strategi
aktor yang dilibatkan masih belum maksimal. Instansi Pemerintahan masih
banyak yang mendapatkan SP2, serta Kepatuhan Pegawai yang
dipengaruhi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat juga
masih rendah. Berdasarkan faktor predisposisi, meski telah mengetahui
Perda KTR, baik pegawai maupun masyarakat tetap melakukan
pelanggaran. Berdasarkan faktor pemungkin, masih kurangnya fasilitas
berupa pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta
penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti
merokok, Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker
larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian
Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.
Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa
253
penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun
masyarakat yang merokok diruangan. Berdasarkan faktor penguat, pihak
Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR hanya
mendapat SP1 maupun SP2 saja, belum pernah diterapkan sanksi berupa
hukum pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Seperti yang tertuang pada Perda
Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
3) Berdasarkan hasil implementasi kebijakan, diketahui bahwa Dampak/hasil
yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok
didalam ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif
dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda
KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah
diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk
tidak merokok didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker
larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si
perokok melainkan kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan
Kota Palembang.
4) Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, antara lain: Implementasi Perda KTR telah mengakomodir
Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta
Kepentingan Masyarakat; Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup
kompeten dalam pelaksanaan tugasnya; Tersedianya Sticker-sticker Perda
KTR pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan;
254
Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada
masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio; Pembentukan Tim
Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
Perda KTR; Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)
5) Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Beban Kerja
Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup
banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal;
Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR; Kurangnya dukungan
media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi
serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus
menerus; Produksi sticker larangan merokok juga kurang; Kurangnya
informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat
email terhadap pelanggaran Perda KTR; Pengawas Internal juga tidak
memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR,hanya sebatas
pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif
sehingga masih terlalu banyak yang merokok; Anggapan Sat Pol PP
bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga
belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya; serta Alat
penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah
tersedia namun belum maksimal
Adapun eksisting model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
255
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok UUD 1945 Pasal 28 H,
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan,
Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Faktor Penghambat 1) Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas
Kesehatan Kota Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal
2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR 3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti:
Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus.
4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang. serta kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR
5) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR,hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.
6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya
7) Alat penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah tersedia namun belum maksimal
Faktor Pendukung 1) Implementasi Perda KTR telah
mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat
2) Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dalam pelaksanaan tugasnya
3) Tersedianya Sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan
4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio
5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan Perda KTR
6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW) 7) Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok
(UBM)
Masih banyaknya terjadi pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok
Hasil Kebijakan: Belum Optimalnya implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
a. Tujuan
1) Memberi ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat
2) Melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya paparan asap rokok
b. Prinsip 1) 100 % Kawasan Tanpa Asap Rokok 2) Tidak ada ruang merokok di tempat
umum/tempat kerja tertutup
Mekanisme Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang:
1. Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
2. Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
3. Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok
4. Penggunaan Media Massa
5. Pembentukan Tim Pengawas Internal
6. Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)
7. Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok (UBM)
a. Isi Kebijakan 1) Perda KTR telah mengakomodir kepentingan berbagai pihak terkait 2) Manfaat Perda KTR sudah mulai dirasakan Pegawai maupun masyarakat 3) Pencapaian data perubahan Perda KTR masih rendah 4) Letak Pengambilan Keputusan berada pada Tim Penegakan Hukum Perda KTR 5) Mekanisme pelaksanaan telah dilakukan 6) Sumber daya yang dilibatkan, yang bertugas melakukan pengawasan internal
KTR, tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. b. Konteks Implementasi
1) Strategi aktor yang dilibatkan masih belum maksimal. 2) Instansi Pemerintahan masih banyak yang mendapatkan SP2. 3) Kepatuhan Pegawai masih rendah
Bagan 5.27. Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang Sumber: Hasil Analisis Penelitian
256
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Bab ini merupakan pembahasan atas hasil penelitian sesuai dengan
fokus penelitian yang telah ditetapkan, adapun fokus penelitian studi
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang adalah sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
2. Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
3. Eksisting Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang yang ideal
Dalam membahas fokus penelitian ini disertai dengan dukungan teori
yang telah di dialogkan dalam kajian pustaka. Adapun hasil penelitian ini dibahas
berdasarkan rujukan teori sebagai berikut;
6.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Implementasi kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang telah menggambarkan pendekatan multi aktor dan stakeholder, akan
tetapi penerapannya belum maksimal. Implementasi kebijakan memang tidak
mudah dilakukan, hal ini dipengaruhi oleh sifat dari kebijakan tersebut.
Implementasi juga melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga menimbulkan
kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan, yang bukan hanya dikarenakan
banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, melainkan juga variabel-variabel yang
terkait didalamnya.
256
257
Secara akademik, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle.
Diketahui bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan
model Van Meter dan Van Horn. Aspek yang sama adalah bahwa baik model
Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan
elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan ‘kondisi sosial, politik,
dan ekonomi’ sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar ‘konteks kebijakan’ atau
‘lingkungan kebijakan’. Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan
kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari para
pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel lingkungan yaitu power,
interest and strategies of actors involved yang menjelaskan bahwa isi
kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta politik dari para pelaku kebijakan.
Dalam hal ini, Aktor-aktor penentu kebijakan akan berusaha menempatkan
kepentingan mereka pada kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat
mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di dalam kebijakan.
Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics
maupun unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki
kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III. Pada unsur
kedua (karakteristik lembaga dan rezim) ini dijelaskan oleh Suwitri (2008:
88) bahwa “implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada
kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi”.
258
Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model Grindle, yaitu
compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi. Perbedaan
dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle memfokuskan pada
disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sedangkan Edwards lebih
menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76) menyatakan “...
proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif,
dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and
responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,
compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2008: 88-89)
menyatakan “...Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,
implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program
dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi”.
Pelibatan politik dalam unsur ini, agaknya masih berkaitan dengan unsur
pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat dan strategi aktor-aktor,
karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat
kebijakan dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari
pembuat kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi. Pada
variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa
implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama
hingga keempat yaitu interest affected, type of benefits, extent of change
envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran
politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2008: 86)
menyatakan “... jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak
tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat
ditelusuri pada unsur kedua hingga keempat.
259
Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan
pandangan dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada
unsur kelima yaitu programe implementors disebutkan oleh Suwitri (2008:
88) bahwa “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi program tersebut”. Hal ini sebangun dengan faktor sumber
daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.
Lebih lanjut, Grindle membedakan ‘sumber daya’ dari model Edwards III maupun
Van Meter dan Van Horn. Unsur keenam yaitu resources committed
dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber
secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur kelima dan
keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor
sumber daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan
Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non
SDM. Oleh karena itu, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle karena
lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan, khususnya dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Selain itu, adanya unsur compliance and responsiveness (kepatuhan
dan daya tanggap) sebagai unsur ketiga dalam konteks implementasi, berkaitan
dengan fokus penelitian yang menganalisis implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Kepatuhan berasal dari
kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka
menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan
berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk Patuh menurut Green
260
(1999) yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat. Menurut
Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: Komunikasi,
Pengetahuan, dan Sarana Prasarana Pendukung. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan menurut Niven (2002) adalah individu, dukungan
keluarga, dukungan sosial dan dukungan petugas.
Jika dikaitkan dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Instansi Pemerintahan Kota Palembang berdasarkan Peraturan Daerah No. 7
Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, maka dapat
dipahami bahwa kebijakan ini dapat ditujukan untuk mencapai kriteria
responsivitas dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yaitu langkah-langkah
pengamanan rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan
Tanpa Rokok, maka model implementasi kebijakan dirumuskan berdasarkan
model implementasi dari Marilee S. Grindle (1980), sebagai berikut:
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang,
meliputi:
a. Isi Kebijakan, terdiri dari:
1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakankawasan tanpa rokok di
Kota Palembang
2) Manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
3) Derajat perubahan yang dicapai
4) Letak Pengambilan Keputusan
5) Mekanisme pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang
6) Sumber Daya yang dilibatkan
261
b. Konteks Implementasi, terdiri dari:
1) Strategi aktor yang dilibatkan
2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa
3) Kepatuhan terhadap cara/proses pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa
rokok di Kota Palembang
c. Hasil Kebijakan, yakni:
Perubahan perilaku masyarakat setelah di implementasikan kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Sebelum menganalisis implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di
Kota Palembang, maka perlu ditelaah terlebih dahulu isi Kebijakan berdasarkan
Pasal-pasal yang tercantum dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, berdasarkan tabel berikut ini:
Tabel 6.1
Isi Kebijakan berdasarkan Pasal-pasal yang tercantum dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok
di Kota Palembang
No Isi Kebijakan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009
Analisis
a) Kepentingan yang dipengaruhi
Pasal 1, Pasal 3 Pasal 5 dan
Pasal 6
Masyarakat Kota Palembang
b) Manfaat Pasal 2 dan Pasal 3
1) Terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
2) Timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa rokok
c) Derajad perubahan yang diharapkan
Pasal 4 dan Pasal 7
1) Peletakkan tanda-tanda larangan merokok disemua pintu masuk utama dan ditempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca oleh pengunjung/ masyarakat
262
No Isi Kebijakan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009
Analisis
2) Tidak adanya aktivitas penjualan, iklan maupun promosi rokok yang tidak sesuai dengan izinnya
3) Tidak adanya penyediaan asbak
atau sarana rokok lainnya 4) Tidak adanya tempat merokok di
tempat umum
d) Letak pengambilan keputusan
Pasal 30 1) Dinas Kesehatan Kota Palembang sebagai Instansi teknis pelaksana pengawasan kawasan tanpa rokok sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, berkoordinasi dengan Instansi terkait.
2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang sebagai Instansi teknis yang diberikan kewenangan untuk menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa rokok sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e) Pelaksanaan
program Pasal 11, 12 dan Pasal 13
1) Tahap Pembinaan 2) Tahap Pengawasan 3) Tahap Koordinasi dan Evaluasi
f) Sumber daya
yang dilibatkan Pasal 7,
Pasal 14, dan Pasal 30
Ditugaskan kepada: 1) Bidang Pengendalian Masalah
Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Palembang
2) Bidang Penegakan Peraturan Per UUan Daerah Satuan Polisi Pamong Praja
3) Tim Pengawas Perda KTR serta 4) Pimpinan Instansi 5) Masyarakat
Sumber: Analisis Hasil Penelitian
263
Berdasarkan Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok, Pasal I diketahui bahwa: “Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat
atau ruangan yang dinyatakan dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan,
dan/atau mempromosikan rokok”. Pasal 3 Perda Kota Palembang No. 7 Tahun
2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, menjelaskan Penetapan Kawasan Tanpa
Rokok bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap
rokok orang lain;
b. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi
masyarakat; dan
c. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
tidak bertujuan untuk melarang orang merokok, melainkan dimaksudkan untuk
membatasi ruang gerak si perokok. Perda ini juga berupaya untuk mencerdaskan
masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk
menghirup udara yang bersih.
Hal tersebut juga selaras dengan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, bahwa Penetapan Kawasan Tanpa
Rokok bertujuan untuk:
a) Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok
orang lain;
b) Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;
dan
264
c) Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung
Upaya menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi
masyarakat serta bebas dari asap rokok, bukan hanya demi kepentingan
Pemerintah. Dalam hal ini para Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan
Penanggung Jawab tempat serta masyarakat sendiri wajib mendukung dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Bagi Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab
tempat, alasan mereka mau melaksanakan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:
a) Hal ini merupakan Peraturan Pemerintah, yang juga sudah diatur melalui
Peraturan Walikota Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
sehingga harus dipatuhi.
b) Sanksi terhadap Pelanggaran Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang langsung ditujukan kepada Pemilik,
Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab Tempat
c) Manfaatnya juga positif bagi masyarakat yakni akan menciptakan
suasana yang nyaman dan udara yang segar.
Berdasarkan Pasal 4 Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang, diketahui bahwa Prinsip Penetapan Kawasan Tanpa
Rokok adalah:
a. 100 % kawasan tanpa asap rokok.
b. Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup.
265
c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok,
atau tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di
kawasan tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum
Selanjutnya Pasal 7, Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang, mengemukakan bahwa:
(1) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab
wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib untuk melakukan
pengawasan internal atas terselenggaranya Kawasan Tanpa Rokok.
(3) Tanggung jawab Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan
Penanggung Jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. Melarang adanya tempat untuk merokok di dalam gedung dan
penyediaan rokok, termasuk menjual/mengiklankan atau
mempromosikan rokok;
b. Mengingatkan semua orang untuk tidak merokok di kawasan
tanpa rokok yang menjadi tanggung jawabnya:
c. Melarang adanya asbak di kawasan tanpa rokok;
d. Meletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu masuk
utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah
terbaca.
266
Derajad perubahan yang diharapkan implementasi Kebijakan Perda No. 7
Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, sebagai
berikut:
(1) 100 % kawasan tanpa asap rokok
(2) Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup
(3) Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau
tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan
tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum
Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang, meliputi Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota
Palembang, yang terdiri dari Walikota beserta jajarannya sebagai pengarah serta
yang Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
Kota sebagai pelaksana dengan melibatkan Instansi terkait.
Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, menguraikan bahwa:
(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap Rokok
dan Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
(3) Ketentuan teknis pelaksanaan pengawasan kawasan tanpa asap rokok
dan kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Walikota
267
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang Pasal 13 diketahui bahwa:
(1) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik, pengelola
dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk mengefektifkan
tempat-tempat yang dimiliki atau dikelolanya benar-benar bebas dari asap
rokok.
(2) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa
Rokok baik siang maupun malam atau selama jam kerja untuk melakukan
inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini
6.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Dalam Isi Kebijakan selalu merujuk pada apakah pelaksanaan kebijakan
sesuai dengan yang ditentukan dengan melihat aksi dari kebijakan tersebut.
Adapun indikator yang dapat mengukur isi kebijakan adalah a) Kepentingan yang
dipengaruhi, b) Manfaat, c) Derajad perubahan yang diharapkan, d) Letak
pengambilan keputusan, e) Pelaksanaan program, f) Sumber daya yang
dilibatkan. Berikut tabel yang menguraikan Isi Kebijakan berdasarkan Pasal-
pasal yang tercantum dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang.
Berdasarkan analisis Isi Kebijakan, ternyata secara tersurat kepentingan
yang dipengaruhi adalah masyarakat dalam hal ini diketahui bahwa setiap orang
berhak atas udara bersih dan menikmati udara yang bebas dari asap rokok dan
berhak atas informasi dan edukasi yang benar mengenai rokok atau merokok
dan bahayanya untuk kesehatan. Oleh karena itu setiap orang wajib memelihara
lingkungan yang bersih dan sehat, yang bebas dari asap rokok diruang atau area
268
yang dinyatakan kawasan tanpa rokok. Selain itu, manfaat kebijakan ini juga
sudah cukup jelas yakni terciptanya kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
serta timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa
rokok. Derajad perubahan yang diharapkan, Letak pengambilan keputusan,
Pelaksanaan program, serta Sumber daya yang dilibatkan juga sudah diuraikan
dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang, yang pelaksanaannya dirumuskan kembali berdasarkan
Peraturan Walikota maupun Instruksi Walikota Palembang tentang Pelaksanaan
maupun Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok. Setelah penelitian dilakukan
terungkap beberapa hal sebagai berikut:
1) Kepentingan yang Dipengaruhi
Berdasarkan teori Grindle, Interest Affected (kepentingan-kepentingan
yang mendukung dan menghambat) berkaitan dengan berbagai kepentingan
yang mendukung dan menghambat suatu implementasi kebijakan. Indikator ini
berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan
banyak kepentingan dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut
membawa pengaruh terhadap implementasinya. Berbagai kelompok
kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih penting
dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat baik di
tingkat nasional dan internasional di banyak negara. Meskipun dalam proses ini
pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan kurang dapat
diprediksi. [Nicholas Mays. (2016)]
269
[Karla S.Bartholomew. (2015)] Paparan Asap rokok (SHS) dikaitkan
dengan berbagai risiko yang merugikan kesehatan, termasuk: asma, otitis media,
infeksi saluran pernapasan, pertumbuhan dan fungsi paru-paru terganggu,
gangguan kognitif, masalah perilaku, dan sindrom kematian bayi mendadak.
Selama tiga dekade terakhir, langkah besar telah dilakukan dalam membangun
kawasan tanpa asap rokok untuk mengurangi eksposur SHS. Peraturan telah
dibuat diberbagai organisasi, lokal dan tingkat negara yang semakin melarang
merokok di tempat kerja dan tempat umum.
Berdasarkan Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok tersebut, maka Kepentingan yang dipengaruhi dalam rangka
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang, meliputi:
a) Kepentingan Pelaksana Kebijakan kawasan tanpa rokok
b) Kepentingan Pimpinan Instansi Kota Palembang
c) Kepentingan Masyarakat
Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa dalam implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memuat kepentingan
kelompok sasaran atau target groups dalam isi kebijakannya. Dalam hal ini
Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
telah mengakomodir berbagai kepentingan yakni Kepentingan Pelaksana
Kebijakan kawasan tanpa rokok, Kepentingan Pemimpin/Pengelola serta
Kepentingan Masyarakat
Hal tersebut dapat dilihat dari Perda KTR yang merupakan bentuk
perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; menciptakan lingkungan
yang sehat; serta menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan
270
melarang mereka yang merokok. Perda KTR ini telah berupaya untuk
mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak
azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok
harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan suatu
kebijakan pasti melibatkan banyak kepentingan dan sejauhmana kepentingan-
kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya. Berbagai
kelompok kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih
penting dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat
baik di tingkat nasional dan internasional. Meskipun dalam proses ini pembuatan
kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan kurang dapat diprediksi.
Dalam hal ini kepentingan Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokokdalam hal
ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun Kepentingan Pemimpin/Pengelola
dan kepentingan Masyarakat telah diakomodir melalui bentuk partisipasi mereka
masing-masing yang telah diatur dalam Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang.
2) Tipe Manfaat
Dari kepentingan yang dipengaruhi kebijakan kawasan tanpa rokok yang
telah dipaparkan sebelumnya jelaslah bahwa kebijakan kawasan tanpa rokok
sangat bermanfaat dan memiliki dampak positif dalam menciptakan lingkungan
yang sehat dan bersih dari asap rokok. Berdasarkan teori Grindle, Type of
Benefits (tipe manfaat) pada Isi Kebijakan berupaya untuk menunjukan atau
menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis
manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh
271
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Pada regulasi
kebijakan kesehatan masyarakat, regulator dapat mengembangkan pedoman,
membuat rekomendasi, dan membuat keputusan untuk membantu
masyarakat. Kebijakan ini juga berfungsi untuk menjelaskan bagaimana regulator
berpikir dan membuat keputusan. Keputusan dalam kebijakan tertulis dapat
membantu untuk mendorong harmonisasi internasional, kebijakan atau prosedur
yang berbeda dapat didiskusikan, dirasionalisasi (yaitu, telaah alasan-alasan
ilmiah yang diberikan), dengan selaras. [Rebecca Sheets. (2018)]
Kebijakan untuk area bebas asap terlihat sebagai kegiatan kompleks
yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah faktor
termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan keinginan
dukungan publik untuk kebijakan. Mayoritas. Pemerintah berhati-hati tentang
membuat langkah kebijakan substantif pada tempat-tempat bebas merokok
karena persepsi mereka tentang isu yang sangat kontroversial, keinginan mereka
untuk menghindari resistensi publik dan keinginan mereka untuk keterlibatan
masyarakat. Preferensi ditunjukkan untuk pendekatan kebijakan berdasarkan
persuasi dari pada Undang-undang, sebagai sarana untuk membuat kemajuan
kawasan bebas asap rokok. Hasil menunjukkan perlunya komunikasi yang baik
dari penerimaan dan manfaat dari perubahan legislatif bebas merokok untuk
kedua arena politik dan publik. [Hulton, L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu
R, Ferla C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014)]
Kebijakan kawasan tanpa rokok sangat mungkin dipolitisasi, antara
kepedulian terhadap perokok maupun dukungan publik dalam menciptakan
kawasan tanpa rokok. Mayoritas pelaku kebijakan berhati-hati untuk
merumuskan kebijakan subtanstif pada kawasan tanpa rokok karena persepsi
272
tentang isu ini sangat kontroversial. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi
yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai penerima manfaat
kebijakan kawasan tanpa rokok. [Helen Wilson, GeorgeThomson. (2011)]
Temuan penelitian diketahui bahwa dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang positif,
antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok di 7 Kawasan Kota Palembang,
sehingga membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari
pencemaran asap rokok serta berkurangnya jumlah perokok sehingga dapat
meningkatkan kesehatan pegawai/masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan kawasan tanpa rokok sangat
mungkin dipolitisasi, antara kepedulian terhadap perokok maupun dukungan
publik dalam menciptakan kawasan tanpa rokok. Oleh karena itu perlu adanya
komunikasi yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai penerima
manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok. Dalam hal ini implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang positif,
antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok, sehingga membuat nyaman
lingkungan karena udara bersih dari pencemaran asap rokok serta meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa rokok khususnya di
Instansi Pemerintahan.
273
3) Derajad Perubahan yang diharapkan
Berdasarkan teori Grindle, Extent of Change Envision (derajat perubahan
yang ingin dicapai). Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin
dicapai. Content of policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa
seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu
implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mungkin memiliki dampak
kecil, namun menguntungkan terhadap upaya pemberhentian keinginan
merokok. [Barbara, Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew
Christenson, Michael G. Luxenberg (2012)]. Di Uruguay, penerapan 100%
Kawasan Tanpa Rokok terbukti dapat mengurangi perawatan darurat ke RS
khususnya rawat inap untuk bronkospasme. Sehingga kebijakan kawasan tanpa
rokok sangat disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan mayoritas
penduduk berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi beban
penyakit dan biaya kesehatan terkait merokok. [Sara Kalkhoran, Ernesto M
Sebrié, Edgardo Sandoya, and Stanton A. Glantz. (2015)]
Program Lingkungan Bebas Asap Tembakau untuk mencegah kebijakan
bebas asap yang efektif. Penghalang di kawasan itu, masyarakat sipil lokal yang
lemah dan terpecah-pecah. Peluang di wilayah tersebut yang harus
diperhitungkan adalah dukungan publik yang tinggi untuk lingkungan bebas
rokok dan meningkatkan pembangunan kapasitas yang tersedia dari kerjasama
internasional tentang pengendalian tembakau. Para pembuat kebijakan dan
pendukung pengendalian tembakau harus memprioritaskan pelaksanaan
kebijakan bebas asap untuk melindungi non-perokok, mengurangi prevalensi
274
merokok dengan beban ekonomi dan penyakit di wilayah tersebut. [Ernesto
M.Sebrié, VerónicaSchoj, Stanton A.Glantz (2008)]
Adapun derajat perubahan yang ingin dicapai diuraikan melalui dua
indikator yakni indikator observasi yang meliputi tidak ditemukannya orang yang
merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok, tercium bau asap
rokok, penyediaan asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung, indikasi
kerjasama dengan industri tembakau. Selanjutnya Indikator wawancara yang
meliputi: Pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, Mendukung dan
melaksanakan Perda KTR, Pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola Gedung,
serta Pengelola Gedung mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak
mematuhi Perda KTR.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan kawasan
tanpa rokok sangat disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan
mayoritas penduduk berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi
beban penyakit dan biaya kesehatan terkait merokok. Dalam hal ini derajat
perubahan yang ingin dicapai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di Kota Palembang antara lain terciptanya 100% kawasan tanpa asap
rokok, tidak ada ruang merokok tertutup serta tidak ada pemaparan rokok pada
orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan mengizinkan dan atau
membiarkan orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Adapun indikator yang
digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
didasarkan pada hasil observasi dan wawancara. Indikator Observasi meliputi:
orang yang merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok, tercium
bau asap rokok, penyediaan asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung
275
serta indikasi kerjasama dengan industri tembakau. Sedangkan Indikator
wawancara meliputi: pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, mendukung
dan melaksanakan Perda KTR, pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola
Gedung, serta Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak
mematuhi Perda KTR.
4) Letak Pengambilan Keputusan
Berdasarkan teori Grindle, Site of Decision Making (Letak Pengambilan
Keputusan) dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam
pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana
letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
Keputusan merupakan pilihan yang dibuat dari dua atau lebih lebih alternatif.
Proses Pengambilan Keputusan merupakan serangkaian langkah
mengidentifikasi masalah, memilih alternatif dan mengevaluasi efektivitas suatu
keputusan.Tingkat keputusan juga dapat dilihat seperti yang ada pada spektrum
dari strategi hingga operasional. Keputusan strategis dapat didefinisikan sebagai
keputusan yang berkaitan dengan penentuan tujuan organisasi, sumber daya
yang digunakan untuk mencapai tujuan dan kebijakan yang mengatur perolehan,
penggunaan, dan disposisi sumber daya tersebut. Disisi lain keputusan
operasional, memastikan bahwa sumber daya digunakan secara efisien dalam
pencapaian tujuan organisasi.
276
Panduan WHO FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)
mengidentifikasi empat tugas yang harus ditempatkan pada Pelaksana kebijakan
kawasan tanpa rokok yang bertanggung jawab atas di Kawasan Tanpa Rokok
(KTR), antara lain:
a) Kewajiban untuk menggunakan tanda larangan merokok secara jelas;
b) Kewajiban untuk menghilangkan asbak dari tempat KTR;
c) Mengawasi ketaatan Peraturan KTR; dan
d) Kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang ditentukan secara
wajar untuk mencegah individu merokok di Kawasan Tanpa Rokok
Tugas yang diberikan pada perokok adalah mematuhi larangan merokok
secara ketat. Untuk pelanggaran terhadap tugas-tugas ini, Panduan WHO FCTC
merekomendasikan hukuman moneter untuk perusahaan bisnis dan membiarkan
pihak yang melanggar untuk menjatuhkan denda moneter pada perokok
perorangan. Denda harus cukup besar untuk mencegah pelanggaran, dengan
denda yang lebih tinggi untuk bisnis daripada perokok perorangan yang diberi
sumber daya tersedia untuk masing-masing, dan harus ditingkatkan untuk
pelanggaran berulang. Panduan ini juga memberi kemungkinan sanksi
administratif dan sanksi pidana di samping denda moneter, tergantung pada apa
yang akan sesuai dengan praktik umum dan sistem hukum masing-masing
Pihak. Sanksi administratif mungkin termasuk suspensi atau pembatalan lisensi
bisnis dan akan menjadi "upaya terakhir penerapan sanksi”. [Lambert Patricia
and Donley, Kaitin, (2013)].
277
Diketahui bahwa Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, antara lain Dinas Kesehatan Kota sebagai Instansi teknis pelaksana
pengawasan kawasan tanpa rokok serta Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Palembang sebagai Instansi teknis yang diberikan kewenangan untuk
menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa rokok
Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa letak pengambilan
keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, berada pada Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mengawasi
serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak Hukum. Untuk
melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok tentu saja harus dibentuk
Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR (biasanya terdiri
dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan atau Pengelola kawasan,
yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan mereka yang
merokok.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa letak pengambilan
keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok Kota Palembang
terdiri dari Dinas Kesehatan Kota Palembang lebih berfungsi pada penekanan
bahaya merokok pada orang-orang yang ada di Kawasan Tanpa Rokok, serta
Sat Pol PP Kota Palembang dan jajarannya sebagai Penegak Hukum Perda KTR
dan bertugas melakukan survei dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran
Perda KTR.
278
5) Pelaksana Kebijakan
Berdasarkan teori Grindle, Program Implementor (Pelaksana Program)
harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan
kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Rekomendasi FCTC WHO salah
satunya dengan menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan
inspeksi dan garis besar kekuatan mereka. Pada Pertemuan Regional Afrika
tentang Implementasi FCTC WHO pada bulan Oktober 2012, titik fokus
pengendalian tembakau di Kementerian Kesehatan mengakui kebutuhan untuk
mengklarifikasi penegakan wewenang di bawah Undang-undang. Hal ini penting
dilakukan agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai tugas
mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain itu,
memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum Kawasan Tanpa
Rokok. Pemantauan kepatuhan terhadap Peraturan Kawasan Tanpa Rokok
dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum.
Setelah diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan
dapat diberikan kepada Pelaksana Kebijakan untuk membantu meningkatkan
penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley,
Kaitin, (2013)].
279
Dalam hal ini, Tim Pelaksana Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang,
melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan
evaluasi, yang meliputi:
(a) Tahap Pembinaan, meliputi:
(1) Penyebarluasan informasi dan sosialisasi melalui media cetak dan
elektronik;
(2) Koordinasi dengan seluruh Instansi, elemen organisasi masyarakat,
kalangan pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh
agama;
(3) Memotivasi dan membangun partisipasi, prakarsa masyarakat untuk
hidup sehat tanpa asap rokok dengan melakukan kampanye
Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok;
(4) Merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan
masyarakat dari paparan asap rokok; dan
(5) Bekerja sama dengan badan-badan atau lembaga-lembaga nasional
maupun Internasional dalam upaya melindungi masyarakat dari
paparan asap rokok.
(b) Tahap Pengawasan, meliputi:
(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap
Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Walikota dapat
mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Kesehatan Kota
Palembang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
(3) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik,
pengelola dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk
280
mengefektifkan tempat-tempat yang dimiliki atau dikelolanya benar-
benar bebas dari asap rokok.
(4) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa
Rokok baik siang maupun malam atau selama jam kerja untuk
melakukan inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini.
(c) Tahap Koordinasi dan Evaluasi, meliputi:
(1) Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok wajib menyampaikan
laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan
Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan
(2) Dinas Kesehatan mengevaluasi laporan-laporan yang diterima yang
dijadikan referensi dalam pelaksanaan dan pengawasan Kawasan
Tanpa Rokok
(3) Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas Kesehatan
secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada Walikota
Palembang
Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa pelaksana kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi Tim Pelaksana Pengawas
Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, yang terdiri dari Walikota beserta
jajarannya sebagai pengarah serta yang Dinas Kesehatan Kota Palembang dan
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota sebagai pelaksana dengan melibatkan
Instansi terkait. Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dan
kapabel dalam pelaksanaan tugasnya yang telah melakukan tahap pembinaan,
tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi.
281
6) Sumber Daya yang dilibatkan
Berdasarkan teori Grindle, Resources Committed (sumber-sumber daya
yang digunakan). Dalam hal ini pelaksanaan suatu kebijakan juga harus memiliki
sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaan kebijakannya berjalan
dengan baik. Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa dalam
melaksanakan penegakan seluruh Perda maupun Peraturan Walikota dengan
Sat Pol PP Kota Palembang menurunkan sejumlah Personil kurang lebih 60
orang Personil tergantung lokasi yang disurvei termasuk di Instansi
Pemerintahan. Sat Pol PP membantu Dinas Kesehatan melaksanakan
penegakan Perda KTR. Survei Penegakan Perda KTR ini sudah sering
dilaksanakan. Petugas Sat Pol PP yang dilibatkan dalam penegakan Perda KTR
itu (include) termasuk juga penegakan Perda lainnya. Personil di Sat Pol PP
sebagai Penegakan Hukum Perda KTR sudah cukup. Dalam melaksanakan
tugas mereka juga diberikan uang lelah untuk memotivasi personil. Hasil Survei
disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR. Dalam hal ini Survei
maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang
telah ditentukan sesuai jadwal.
Selain itu, dibentuk Tim Pengawas Internal yang sebelumnya telah,
diberikan Pelatihan Pengawasan Internal dan Penegakan Hukum Kawasan
Tanpa Rokok. Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan adalah petugas
keamanan (security), yang bertugas melakukan pengawasan internal di lokasi
tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover
seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang pada kenyataannya pengawas
internal ini belum dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran
masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah.
282
Pada Pertemuan Regional Afrika tentang Implementasi FCTC WHO pada
bulan Oktober 2012, titik fokus pengendalian tembakau di Kementerian
Kesehatan mengakui kebutuhan untuk mengklarifikasi penegakan wewenang di
bawah Undang-undang. Menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk
melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi, artinya
penting juga agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai
tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain
itu melakukan memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum, yakni
memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum. Pemantauan
kepatuhan terhadap undang-undang dapat membantu mengidentifikasi
kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Setelah diidentifikasi, sumber daya
dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat diberikan kepada inspektur
(Pelaksana Kebijakan KTR) untuk membantu meningkatkan penegakan dan
kepatuhan secara keseluruhan. Sebuah studi kepatuhan di bawah Undang-
undang dilakukan segera setelah diimplementasikannya Kebijakan KTR; sebuah
studi lanjutan harus dilakukan sekarang karena undang-undang tersebut telah
ada selama beberapa tahun. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].
Sumber keuangan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok ini,
antara lain bersumber dari APBN Depkes, APBD serta Support Dana dari: World
Lung Foundation dan Union, Dana tersebut digunakan untuk pembuatan sticker-
sticker Perda KTR yang nantinya akan dibagikan secara gratis ke 7 Kawasan
Tanpa Rokok, serta Dana pelaksanaan survei penegakan hukum Perda KTR
sebesar 9,3 juta yang diberikan kepada Satpol PP. Diketahui bahwa dana yang
digunakan sangat terbatas mengingat tempat yang akan disurvei juga cukup
banyak. Selain itu, Pelaksanaan Perda KTR ini masih kurang fasilitas berupa
283
pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik
Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok.
Dalam hal ini pelaksanaan dan penegakan kebijakan kawasan tanpa
rokok sebagaimana di tentukan panduan FCTC WHO mendorong para Pihak
untuk mempertimbangkan untuk menggunakan mekanisme inspeksi yang sudah
ada, jika mungkin untuk memantau kepatuhan terhadap dan menerapkan
ketentuan Undang-undang bebas asap. Penggunaan mekanisme yang sudah
ada sebelumnya mengurangi biaya yang terkait dengan penegakan hukum
dengan menghilangkan kebutuhan untuk menyewa dan melatih sejumlah besar
personil baru. Mekanisme pemeriksaan yang mungkin ada sebelumnya dapat
mencakup: inspeksi perizinan usaha, pemeriksaan kesehatan dan sanitasi,
inspeksi untuk kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, dan inspeksi
keselamatan kebakaran. Pedoman tersebut juga menyoroti cara-cara di mana
Undang-undang bebas asap dimulai dari kesadaran diri sendiri dan diberlakukan
oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat
adalah “sarana utama untuk menjamin kepatuhan”. Selain itu, Untuk
memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO
merekomendasikan untuk menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat
digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada
Instansi terkait. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].
Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan
meliputi implementasi context, implementation network dan implementation
outcomes. Secara keseluruhan, tiga hubungan interaktif disajikan dalam
implementasi pendekatan jaringan: struktur dan agensi, jaringan dan konteks,
dan jaringan dan hasil. Pendekatan jaringan implementasi juga memberi
284
kesempatan untuk meletakkan proses implementasi ke dalam siklus kebijakan
untuk menganalisa bagaimana tahapan kebijakan yang lain, seperti pengaturan
agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, mempengaruhi jaringan
implementasi sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para
aktor di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya terhadap
mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi. Selain itu, pendekatan
jaringan implementasi juga mempertimbangkan hubungan interaktif antara
jaringan dan hasil. [Xiong Wei Song, (2018)].
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa pembentukan
Tim Pengawas Internal dan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok di
Instansi tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang pada
kenyataannya pengawas internal di Instansi Pemerintahan ini belum dilakukan
sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran baik pegawai maupun masyarakat
yang menerima pelayanan untuk mematuhi Perda KTR masih rendah. Untuk itu
pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok perlu menentukan siapa yang
memiliki wewenang untuk melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang
menjatuhkan sanksi, artinya penting juga agar Petugas penegak hukum
mendapatkan pelatihan mengenai tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan
lingkup kekuasaan mereka. Selanjutnya perlu memperhatikan pengaturan
agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan kawasan tanpa rokok,
sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para aktor kebijakan
kawasan tanpa rokok di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya
terhadap mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok. Pemantauan kepatuhan terhadap undang-undang dapat
membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Selain
285
itu, membangun kesadaran diri sendiri dan diberlakukan oleh publik, mencatat
bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat adalah sarana utama
untuk menjamin kepatuhan. Untuk memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik
dilakukan dengan menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat
digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada
Instansi terkait.
6.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang
Dalam Konteks Kebijakan selalu merujuk pada apakah pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan yang ditentukan dengan melihat aksi dari kebijakan
tersebut. Adapun indikator yang dapat mengukur isi kebijakan adalah a) Strategi
Aktor Yang dilibatkan, b) Karakteristik Lembaga/Penguasa, c) Kepatuhan
terhadap cara/proses Pelaksanaan Kebijakan.
1) Strategi Aktor yang dilibatkan
Jemsly Hutabarat dan Martani Huseini (2006: 17), strategi dapat
dijelaskan sebagai suatu rangkaian yang dapat ditelaah sebagai suatu prinsip
dasar utama (content) strategi yang selalu memikirkan bagaimana sebuah
organisasi dapat hidup dan berkembang pada suatu konteks (contex) apapun.
Jadi, strategi merupakan suatu langkah cara mencapai tujuan yang menyangkut
aspek berpikir yang menjelaskan paradigma berpikir tentang bagaimana
mempertahankan eksistensi suatu organisasi (survive) dan mengembangkannya
dalam situasi dan kondisi apapun.
286
Berdasarkan teori Grindle, Power, Interest and Strategy of Actor Involved
(Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang dilibatkan).
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan termasuk pula kekuatan atau
kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang
terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi.
Ketika strategi implementasi kebijakan dirancang, pendekatan
demokratis harus menjadi pilihan, begitu keputusan telah disepakati,
implementasi menjadi lebih banyak taktik daripada strategi, sementara taktik bisa
berubah menjadi masalah. [Linda deLeon dan Peter deLeon (2002)]
Sehingga strategi yang dilakukan dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok, antara lain Negara dapat menggunakan beberapa
kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi perokok. Dalam hal ini
meningkatkan pajak yang lebih tinggi dalam penerapan kebijakan kawasan tanpa
rokok dirasa efektif. [E. Kathleen Adams (2012)]
Program berhenti merokok multifaset jangka pendek dilaksanakan selama
5 bulan dapat menghasilkan penurunan merokok [Shirres, Georgina (1996)],
selain itu, pembatasan ada pada perilaku industri tembakau, iklan, dan promosi.
Relevansi dan prospek maju tindakan bagi komunitas kesehatan masyarakat
melalui empat strategi pengendalian tembakau meliputi: tindakan harga dan
pajak, larangan iklan, undang-undang udara bersih, dan pendidikan
masyarakat. [Achadi, Anhari. (2005)]
Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, diketahui
bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain sebagai berikut: Sosialisasi secara
Langsung, meliputi: Talkshow melalui Radio, Talkshow melalui TV Swasta: Pal
287
TV, dilaksanakan Tahun 2010 (2 kali); Sosialisasi secara Tidak Langsung,
meliputi: Penyebaran Surat Instruksi tentang pemasangan papan pengumuman
Kawasan Tanpa Rokok, Penyebaran Leaflet Kawasan Tanpa Rokok, Pembuatan
papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok; Kegiatan Pemeriksaan Air Quality
Monitoring, telah dilaksanakan pemeriksaan sampel udara indoor di 30 titik
pemeriksaan, dilaksanakan Tahun 2010, salah satunya di Texas IP dimana tidak
ada pembatasan ruang antara ruang merokok dan ruang tanpa rokok; Kliping
koran yang berhubungan dengan rokok, dilaksanakan Tahun 2010; Pembahasan
Pembuatan Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,
dilaksanakan selama 2 minggu, dilaksanakan Tahun 2010; Pertemuan sosialisasi
Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok bersama Asisten 4 dan Bagian Hukum
Pemerintah Kota Palembang yang dilaksanakan Tahun 2010 selama 2 minggu;
serta Pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Selain itu juga dilakukan
Survei dan Sidang Yustisi di depan International Plaza dengan menggunakan
Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa Strategi aktor yang
dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain
meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring,
kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan perwali
tentang kawasan tanpa rokok di kota palembang, pertemuan sosialisasi perwali
tentang kawasan tanpa rokok bersama asisten 4 dan bagian hukum pemerintah
kota palembang serta pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Selain itu
juga dilakukan Survei dan Sidang Yustisi di depan International Plaza dengan
menggunakan Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Sehingga
288
berdasarkan hasil uraian dapat dikatakan bahwa Strategi aktor yang dilibatkan
dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, belum maksimal. 7
kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok hanya sekedar
memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui
bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.
Pelaksanaan Sidang Yustisi kepada pelanggar KTR hanya sebatas pemberian
teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif.
Dalam hal ini, kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab
atas Kawasan Tanpa Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan
bahwa merokok dilarang dan mengambil langkah-langkah untuk meminta
seseorang berhenti merokok, termasuk kewajiban untuk membuang asbak.
termasuk mencantumkan hukuman atas pelanggaran tugas yang dikenakan
meliputi denda dan/atau pemenjaraan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin,
(2013)]
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa Strategi aktor
yang dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain
meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring,
kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan Perwali
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, pertemuan sosialisasi
Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok serta pelatihan Tim Penegakan Hukum
Perda KTR. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Di
Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja.
Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua
masyarakat tahu tentang Perda KTR. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan
sosialisasi dan penegakan hukum Perda KTR secara terus menerus karena
289
mengubah mindset masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama dan
proses yang lama. Lebih lanjut, strategi yang efektif dilaksanakan yakni
pengendalian tembakau untuk mengurangi perokok, melalui peningkatan pajak
yang lebih tinggi dalam penerapan Kebijakan kawasan tanpa rokok. Selain itu,
kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab atas Kawasan Tanpa
Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa merokok dilarang
dan mengambil langkah-langkah untuk meminta seseorang berhenti merokok,
kewajiban untuk membuang asbak, termasuk mencantumkan hukuman atas
pelanggaran tugas yang dikenakan meliputi denda administratif maupun sanksi
pidana.
2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa
Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh sinergisitas
kerjasama atau hubungan diantara aktor-aktor kebijakan yaitu yang
membuat/melaksanakan kebijakan dengan yang dikenai kebijakan. Berdasarkan
teori Grindle, Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan
rezim yang berkuasa). Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut
dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. Berdasarkan temuan
penelitian diketahui bahwa, dalam melakukan penegakan Perda KTR di Kota
Palembang, pada saat itu tidak ada satupun baik asbak maupun orang yang
merokok. Maka Tim dari Sat Pol PP tidak bisa melakukan tindakan hukum,
kepada Pimpinan/Manajer/Pengelola. Dalam hal ditemukan pelanggaran diluar
lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan IP, maka pelanggarnya yang
kami tindak/kami lakukan pembinaan. Dalam hal ini kami buat berita acara agar
yang bersangkutan tidak merokok. Namun pada saat survei belum terjadi. Oleh
290
karena itu diharapkan, penegakan Perda KTR tidak hanya melibatkan instansi
yang berwenang, maupun Pengawas Internal saja melainkan juga melibatkan
seluruh lapisan masyarakat dengan menyediakan pengaduan terhadap
pelanggaran Perda KTR.
Penerapan Kebijakan KTR sebagai upaya membangun kesadaran diri
sendiri dan diberlakukan oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum,
keluhan masyarakat adalah sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu,
Untuk memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO
merekomendasikan untuk menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat
digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada
Instansi terkait. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)]
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa Karakteristik
lembaga dan rezim yang berkuasa maupun lingkungan dalam melaksanakan
Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang, belum cukup kondusif. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran
di Instansi Pemerintahan melalui pelaksanaan supervisi, maka Aparat Pol PP
wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun
masih ditemukan pelanggaran. Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai
maupun Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima
pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan dihampir
disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan
sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR
sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda
KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai
maupun masyarakat yang merokok diruangan. Dalam hal ini pihak Instansi yang
291
melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1. Upaya yang
perlu dilakukan yakni penerapan KTR dimulai dari diri sendiri (kesadaran diri) dan
diberlakukan oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan
masyarakat adalah sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu, Untuk
memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik dilakukan dengan menetapkan
nomor telepon bebas pulsa yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk
melaporkan suatu pelanggaran kepada Instansi terkait. Dalam hal ini Penegakan
Perda KTR tidak hanya melibatkan instansi yang berwenang, maupun Pengawas
Internal saja melainkan juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat dengan
mempersilahkan masyarakat memberikan pengaduan terhadap pelanggaran
Perda KTR. Sehingga dapat mengurangi pelanggaran kawasan tanpa rokok
3) Kepatuhan terhadap Cara/Proses Pelaksanaan kebijakan kawasan
tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
Berdasarkan teori Grindle, Complience and Responsiveness (Tingkat
kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana). Dalam hal ini sejauhmana
kepatuhan dan respon dari para pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaaan Perda
KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green tentang Perilaku
Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang mempengaruhi perilaku
kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing
factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor).
Dalam hal ini analisis kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, antara lain: Kepatuhan pegawai dalam
292
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang, meliputi:
a. Faktor Predisposisi, antara lain:
(1) Pengetahuan
(2) Sikap
(3) Komitmen
(4) Perilaku
b. Faktor Pemungkin, berupa penyediaan fasilitas
c. Faktor Penguat, antara lain:
(1) Himbauan Organisasi
(2) Pengawasan Internal
(3) Penerapan Sanksi
Kepatuhan terhadap Perda KTR pada dasarnya merupakan perilaku
orang-orang yang berada pada suatu kawasan untuk tidak merokok di dalam
ruangan. Kepatuhan pelaksanaan Perda KTR sangat dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat yang merupakan Pengunjung atau Pengguna dan faktor Pengelola
yang merupakan Penanggung jawab pelaksanaan Perda KTR pada masing-
masing kawasan.
a) Faktor Predisposisi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan,
Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Pengetahuan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi prilaku seseorang karena prilaku terbentuk
293
didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmojo S, 2010).
Pengetahuan tentang pelaksanaan Perda KTR bisa didapat melalui penglihatan
seperti melihat dan membaca berita tentang Perda KTR melalui media televisi,
radio maupun media massa. Pengetahuan dinilai menggunakan pertanyaan
untuk mengukur tingkat pengetahuan pengelola tentang pelaksanaan Perda KTR
di Kantor Kelurahan. Pengetahuan pengelola meliputi tujuan pelaksanaan Perda
KTR, tempat-tempat yang diatur, kriteria kepatuhan dan sanksi terhadap
Pelanggaran. Pengelola yang telah mempunyai pemahaman dan pengetahuan
yang cukup diharapkan kawasan yang dikelolanya akan patuh terhadap Perda
KTR. Selanjutnya sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku.
Sikap yang positif terhadap sesuatau (setuju, senang, mau) akan memicu prilaku
yang postif pula (Notoadmojo S, 2010).
Sikap tentang Perda KTR adalah sikap pengelola terhadap penerapan
Perda KTR di Instansi Pemerintahan yang meliputi Pendapat Pimpinan/ Pegawai
terhadap dampak asap rokok terhadap orang disekitarnya, kebijakan pelarangan
kegiatan merokok di dalam ruangan di tempat manapun Instansi Pemerintahan,
tujuan pelaksanaan Perda KTR, pendapat tentang tanggung jawab mereka
sebagai pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dikawasan yang dikelola dan
pendapat mereka terhadap dampak pelaksanaan Perda KTR terhadap
pemberian Pelayanan di Instansi Pemerintahan. Pimpinan Instansi Pemerintahan
yang mempunyai sikap postif terhadap pelaksanaan Perda KTR diharapkan
kawasan yang dikelolanya akan patuh pula terhadap Perda KTR.
Komitmen Pimpinan Instansi Pemerintahan mempunyai pengaruh yang
besar dalam mewujudkan kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR. Dalam buku
pedoman pengembangan KTR disebutkan bahwa melakukan advokasi untuk
294
membangun komitmen bersama antara segenap masyarakat, pemerintah dan
pengelola kawasan sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok.
Perilaku merokok dari pengelola merupakan faktor yang dapat
menghambat pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahan. Pimpinan
Instansi Pemerintahan adalah role model atau teladan bagi bawahannya
sehingga seorang Pimpinan yang dikenal mempunyai perilaku merokok tidak
akan bisa menjadi contoh yang baik. Pimpinan tersebut akan kehilangan wibawa
saat menginisiasi pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahannya. Selain
itu, dalam melakukan tindakan pengawasan akan cenderung tidak tegas dan
sangat mungkin tidak dituruti oleh orang lain. Penilaian terhadap prilaku merokok
dapat dilakukan dengan bertanya langsung apakah merokok atau tidak, apakah
merokok ditempat kerja atau di rumah.
Predisposing factor, berupa faktor pengetahuan memiliki pengaruh yang
sangat besar, karena pengetahuan bisa menjadi motivasi awal seseorang untuk
berperilaku. Pengetahuan adalah hasil dari "tahu" dan ini terjadi setelah orang
merasakan objek tertentu, melalui lima indera, yaitu indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan sentuhan. Sebagian besar pengetahuan
manusia didapat melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif adalah
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2000). Dalam hal ini, Karakteristik masyarakat memainkan peran
kunci dalam status dan kekuatan peraturan Kawasan Tanpa Rokok, karena
larangan merokok terus berlanjut di seluruh dunia di bawah Kerangka Konvensi
Pengendalian Tembakau, Pengetahuan tentang kondisi yang mendorong
keberhasilan kebijakan akan sangat penting bagi mereka yang memerlukan
295
informasi untuk segera memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di
lingkungan mereka sendiri [Nykiforuk, Candace. (2007)].
Pengetahuan yang baik tentang Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Bebas Merokok Kota Palembang akan meningkatkan kepatuhan
pegawai, karena pegawai mengetahui dengan jelas tujuan dan manfaatnya,
namun jika informan adalah perokok yang sudah kecanduan, akan mengalami
kesulitan untuk menahan keinginan untuk merokok sehingga mereka akan tetap
merokok di setiap tempat dan setiap waktu termasuk di tempat kerja. Gambaran
Pegawai ini yang melanggar Perda KTR Kota Palembang dengan cara merokok
di tempat kerja.
Laventhal & Cleary (1980) bahwa kemungkinan besar subjek telah masuk
ke tahap bukan saja dalam perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap
pecandu rokok. Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan
diri (self regulating). Perilaku merokok informan ditempat kerja karena untuk
mencari kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena stres kerja
sehingga membuat informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di lingkungan
tempat kerja. Perbedaan pra-undang-undang di masyarakat tampaknya
mempengaruhi tingkat perubahan perilaku merokok masyarakat. Konteks budaya
dan sosial penting dalam membentuk perilaku merokok dan menemukan
perubahan perilaku merokok di tempat umum [Ritchie, Deborah. (2010)].
Komunitas kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang campur
tangan industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP),
sesuai dengan Pasal 5.3 perjanjian WHO-FCTC 5; dan menuntut bebas asap
100% tanpa pengecualian atau penundaan [Ravara, S.B., Miranda, N., Calheiros,
J. M. (2014)].
296
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa pada
umumnya para Pegawai telah mengetahui adanya Perda KTR, melalui sosialisasi
berupa leaflet, brosur, pemberian dan pemasangan tanda Kawasan Tanpa
Rokok, pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan Peraturan Daerah
Kawasan Tanpa Rokok di Kawasan Tempat Kerja. Dalam hal ini, Perda KTR
melarang merokok di ruangan tertutup maupun ruang terbuka yang masih ada
atap. Akan tetapi masih banyak pegawai yang bersikap tidak peduli sehingga
komitmen untuk mematuhi Perda KTR belum ada, sehingga perilaku merokok
khususnya di Kantor (Instansi Pemerintah) terus menerus terjadi. Pengetahuan
tentang bahaya rokok itu sendiri, sangat mendorong keberhasilan Peraturan
Kawasan Tanpa Rokok. Perilaku merokok ditempat kerja untuk mencari
kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena stress kerja membuat
informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di lingkungan tempat kerja,
kemungkinan besar subjek telah masuk ke tahap bukan saja dalam perokok
pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok. Merokok sudah
menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self regulating). Konteks
budaya dan sosial penting dalam membentuk perilaku merokok dan menemukan
perubahan perilaku merokok di tempat umum. Oleh karena itu, Komunitas
kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang campur tangan industri
tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), dalam rangka
mewujudkan kawasan bebas asap 100%.
297
b) Faktor Pemungkin dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Faktor pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang
memungkinkan terjadinya perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung
pelaksanaan Perda KTR berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk
tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta penyediaan
klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok.
Enabling factor diwujudkan dalam lingkungan fisik, tersedianya atau tidak
tersedianya fasilitas kesehatan. Dalam hal ini telah tersedia Klinik Upaya
Berhenti Merokok (Klinik UBM) yang terdapat pada 5 (lima) puskesmas yang
ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi perokok, yaitu
Pembina Puskesmas, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka, Puskesmas
Sako dan Puskesmas Sukarame. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa
tidak ada ruang terpisah untuk klinik kesehatan dengan pelayanan umum di
Puskesmas, karena pelayanan kesehatan di Klinik UBM hanya menyediakan
konseling terbatas untuk mengurangi perilaku merokok. Selain itu, Fasilitas
untuk menampung pengaduan publik atas pelanggaran undang-undang KTR
masih belum tersedia secara maksimal.
Upaya berhenti merokok dilakukan Pemerintah dengan melibatkan
Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter, dan Perokok, melalui rencana
kesehatan dengan memahami bahwa konseling dan farmakoterapi akan
meningkatkan biaya tanpa menghasilkan penghematan perawatan kesehatan
sepadan, dalam hal ini Dokter merasa tidak siap dan tanpa kompensasi untuk
melaksanakan konseling. Dalam hal ini Pemerintah membantu memperbaiki
status ini dengan meningkatkan cakupan perawatan medis dan perluasan
298
cakupan tenaga medis dengan mengembangkan kampanye media untuk
mendorong penghentian merokok, termasuk manfaat penghentian dalam semua
rencana asuransi yang didanai pemerintah, menciptakan infrastruktur penelitian
untuk meningkatkan tingkat penghentian merokok, mengembangkan agenda
pelatihan dokter, dan menciptakan dana untuk meningkatkan kegiatan
penghentian merokok, dengan mengadopsi kebijakan seperti pajak rokok lebih
tinggi dan hukum yang melarang merokok di tempat kerja dan tempat umum.
kebijakan kawasan tanpa rokokmerupakan tanggung jawab bersama seluruh
masyarakat untuk berhenti merokok, termasuk kepemimpinan yang lebih agresif
dalam penerapan sanksi pelanggaran kawasan tanpa rokok, serta melalui
advokasi, kesehatan masyarakat, dan organisasi dokter. [Sarah E Gollust,
Steven A. Schroeder and Kenneth E. Warner. (2008)].
Untuk memahami bahwa kebiasaan merokok adalah ketergantungan
kronis yang dapat kambuh namun dapat diyakinkan untuk pengobatan berulang,
dan untuk menggabungkan pengobatan ketergantungan ini ke dalam kegiatan
kesehatan rutin. Maka dilaksanakan Program Terapi yang berhubungan dengan
penghentian merokok berdasarkan pendekatan yang digunakan ilmu perilaku
dan farmakologi dan nampak jelas efektivitas biaya pengobatan semacam itu
sangat tinggi di antara berbagai jenis program kesehatan tersedia dengan
memperkenalkan sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah, yang dapat
diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan membahas
penggunaan terapi pengganti nikotin. Pengobatan ketergantungan nikotin adalah
anti rokok yang dilaksanakan oleh tenaga profesional kesehatan dalam
pengaturan klinis secara rutin dan diharapkan untuk memiliki efek langsung yang
lebih besar untuk mengurangi prevalensi merokok daripada pencegahan
299
merokok. Kami telah mengembangkan materi pendidikan untuk institusi medis
dan profesional kesehatan di bawah the Osaka Executive Committee of the
Cancer Prevention Campaign (Komite Eksekutif Osaka untuk Kampanye
Pencegahan Kanker), yang bertujuan untuk mempromosikan pengendalian
penggunaan tembakau di Indonesia melalui penyediaan fasilitas medis.
Larangan merokok di Institusi medis, menyediakan lingkungan Rumah Sakit
"lebih bersih, lebih nyaman" dan juga diharapkan bisa meningkatkan motivasi
pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan merokok. Selain itu,
memberikan kepercayaan yang lebih besar pada Medical Programs yang
ditujukan untuk mengobati ketergantungan nikotin. [Masakazu NAKAMURA.
(2004)].
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa faktor
pemungkin berupa penyediaan fasilitas Salah satunya dalam bentuk Klinik
Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok. Dalam hal ini 5 (lima)
Puskesmas yang ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi
perokok, yakni Puskesmas Pembina, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka,
Puskesmas Sako dan Puskesmas Sukarame maupun fasilitas pengaduan
masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR masih dirasakan kurang maksimal.
Untuk memahami bahwa kebiasaan merokok adalah ketergantungan kronis yang
dapat kambuh maka dilaksanakan pendekatan Program Terapi 5 langkah yang
dapat diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan
membahas penggunaan terapi pengganti nikotin. Pengobatan ketergantungan
nikotin adalah anti rokok yang dilaksanakan oleh Tenaga Profesional Kesehatan
dalam pengaturan klinis secara rutin dan diharapkan untuk memiliki efek
langsung yang lebih besar untuk mengurangi prevalensi merokok daripada
300
pencegahan merokok, meliputi larangan merokok di Institusi medis, menyediakan
lingkungan Rumah Sakit "lebih bersih, lebih nyaman" dan juga diharapkan bisa
meningkatkan motivasi pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan
merokok. Selain itu, memberikan kepercayaan yang lebih besar pada Program
Medis yang ditujukan untuk mengobati ketergantungan nikotin. Meningkatkan
cakupan perawatan medis dan perluasan cakupan tenaga medis dengan
mengembangkan kampanye media untuk mendorong penghentian merokok,
menciptakan infrastruktur penelitian untuk meningkatkan tingkat penghentian
merokok, mengembangkan agenda pelatihan dokter, dan menciptakan dana
untuk meningkatkan kegiatan penghentian merokok, dengan mengadopsi
kebijakan seperti pajak rokok lebih tinggi dan hukum yang melarang merokok di
tempat kerja dan tempat umum, maka diharapkan bisa meningkatkan motivasi
pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan merokok.
c) Faktor Penguat dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,
Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan
sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan
salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan
perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda
khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.
Reinforcing factors meliputi: Himbauan Organisasi, Pengawasan Internal
dan Penerapan Sanksi. Menurut Sears (1994) salah satu cara untuk
meningkatkan kepatuhan adalah harapan atau keinginan orang yang menempati
301
posisi tertentu/memiliki legitimasi kekuasaan akan mengakibatkan kepatuhan.
Kepemimpinan dalam sebuah organisasi memiliki peran penting untuk
mempengaruhi anggotanya, jika pemimpin mematuhi peraturan maka akan diikuti
oleh anggotanya dan sebaliknya jika pemimpin tidak mematuhi peraturan maka
akan diikuti juga oleh anggotanya. Dengan dukungan atasan untuk mematuhi
peraturan area bebas rokok akan diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin
adalah teladan bagi bawahannya, jika atasan berperilaku positif maka akan
diikuti oleh bawahannya dan sebaliknya.
Implementasi yang berhasil, membutuhkan kepatuhan dengan arahan
dan tujuan undang-undang; pencapaian derajat perubahan tertentu; dan
peningkatan iklim politik di sekitar program [Hill dan Hupe (2002)]. Dalam hal ini
kepatuhan anggota dalam organisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
kekuasaan yang digunakan organisasi untuk mengarahkan perilaku anggota dan
jenis keterlibatan anggota organisasi tersebut [Lunenburg, Fred C. (2012)].
Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok yang kecanduan nikotin, nikotin
mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila efek nikotin mulai bekerja,
tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi kimia nikotin ini membuat
seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak tenang saat tidak
merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok setiap saat.
Selanjutnya mengenai pengawasan internal KTR di Kota Palembang telah
dilakukan melalui Pembentukan Tim Pengawas dari Dinas Kesehatan Kota
Palembang, Tim Penegakan Hukum Satpol PP Palembang atau Satuan
Pengawas Internal dari Instansi Pemerintah itu sendiri. Sanksi yang tidak tegas,
membuat Pegawai tetap merokok di tempat kerja. Hal ini terkait dengan tidak
adanya komitmen yang jelas antara Atasan dan pegawai tentang sanksi yang
302
diberlakukan jika merokok di tempat kerja. Diharapkan dengan sanksi tegas,
Pegawai akan mematuhi Perda KTR di tempat kerja. Pemberian sanksi tersebut
diharapkan bisa memperbaiki kepatuhan Informan terhadap Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang.
Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan
kurangnya langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Peningkatan
kepatuhan di terhadap Kawasan Tanpa Rokok mungkin karena intensifikasi
kegiatan penegakan hukum dan kebijakan tambahan seperti undang-undang,
yang dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan social [Verdonk-Kleinjan,
Wendy M.I, Rijswijk, P. C., de Vries, H., & Knibbe, R. A. (2013)].
Undang-undang bebas asap rokok secara komprehensif lebih efektif
daripada hukum parsial dalam mengurangi paparan asap rokok. Selain itu, setiap
Undang-undang, tanpa memandang ruang lingkupnya harus diberlakukan secara
aktif agar memiliki dampak yang diinginkan. Ada kebutuhan lanjutan untuk
pengawasan upaya bebas rokok di semua Negara [Ward, Mark. (2013)]. Selain
itu, Teknik tatap muka secara langsung lebih efektif daripada kampanye
informasi larangan merokok di tempat kerja [Pansu, P., Lima L., Fointiat, V.
(2014)]. diharapkan hal ini dapat meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dari faktor
penguat, pembentukan Tim Penegakan Hukum Perda khususnya di Instansi
Pemerintahan di Kota Palembang, dengan melibatkan Satpam yang bertugas
untuk mengawasi dan menegur jika masih ada Petugas yang merokok di dalam
ruang kerja. Hasil Survey Kepatuhan pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah
No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, diketahui
303
bahwa penerapan sanksi yang diberikan masih sebatas pemberian Surat
Peringatan (SP1 maupun SP2). Dalam hal ini, salah satu cara untuk
meningkatkan kepatuhan adalah harapan atau keinginan orang yang menempati
posisi tertentu/memiliki legitimasi kekuasaan akan mengakibatkan kepatuhan.
Dengan dukungan Pimpinan, Atasan untuk mematuhi peraturan area bebas
rokok akan diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi
bawahannya, jika atasan berperilaku positif maka akan diikuti oleh bawahannya
dan sebaliknya. Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok yang kecanduan
nikotin, nikotin mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila efek nikotin mulai
bekerja, tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi kimia nikotin ini
membuat seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak tenang saat
tidak merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok setiap saat.
Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan kurangnya
langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Dalam hal ini, Teknik
tatap muka secara langsung lebih efektif daripada kampanye informasi larangan
merokok di tempat kerja, diharapkan hal ini dapat meningkatkan kepatuhan
dalam Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Dalam hal ini kepatuhan anggota dalam organisasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan jenis kekuasaan yang digunakan organisasi untuk mengarahkan
perilaku anggota dan jenis keterlibatan anggota organisasi tersebut [Lunenburg,
Fred C. (2012)]. Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok yang kecanduan
nikotin, nikotin mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila efek nikotin mulai
bekerja, tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi kimia nikotin ini
membuat seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak tenang saat
tidak merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok setiap saat.
304
Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan kurangnya
langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Peningkatan kepatuhan
di terhadap Kawasan Tanpa Rokok mungkin karena intensifikasi kegiatan
penegakan hukum dan kebijakan tambahan, yang dapat meningkatkan
kesadaran dan dukungan social [Verdonk-Kleinjan, Wendy M.I, Rijswijk, P. C., de
Vries, H., & Knibbe, R. A. (2013)]. kebijakan kawasan tanpa rokok secara
komprehensif lebih efektif daripada hukum parsial dalam mengurangi paparan
asap rokok. Selain itu, setiap Undang-undang, tanpa memandang ruang
lingkupnya harus diberlakukan secara aktif agar memiliki dampak yang
diinginkan. Ada kebutuhan lanjutan untuk pengawasan upaya bebas rokok
[Ward, Mark. (2013)]. Selain itu, Teknik tatap muka secara langsung lebih efektif
daripada kampanye informasi larangan merokok di tempat kerja [Pansu, P., Lima
L., Fointiat, V. (2014)]. diharapkan hal ini dapat meningkatkan kepatuhan dalam
Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dari faktor
predisposisi, masyarakat pada umumnya mengetahui isi dari Perda Kawasan
Tanpa Rokok termasuk hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan Perda KTR,
melalui pelaksanaan sosialisasi maupun informasi media cetak dan elektronik, isi
Perda salah satunya memuat tentang penempelan sticker larangan merokok,
tidak menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok maupun sanksi
pelanggaran Perda KTR itu sendiri. Personil Sat Pol PP diturunkan sebagai
Penegakan Hukum Perda KTR, melalui pelaksanaan supervisi maupun Sidang
Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan
sesuai jadwal. Dalam hal ini, kepatuhan dan daya tanggap Petugas sudah cukup
baik, meskipun masih banyak terjadi pelanggaran. Dari faktor pemungkin, telah
305
tersedia klinik UBM meski belum cukup maksimal. Selanjutnya dari faktor
penguat, Penegakan Perda KTR telah dilaksanakan sesuai ketentuan, mulai dari
pelaksanaan survei hingga Sidang Yustisi. Adapun besaran denda administratif
yang diberikan kepada si pelanggar didasarkan pada Keputusan Hakim. Namun
untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah dikenakan sanksi, hanya berupa
pemberian Surat Peringatan (SP1)
6.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Perubahan Perilaku Masyarakat setelah di Implementasikan kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Berdasarkan teori Grindle, Hasil
implementasi Kebijakan berpengaruh pada persoalan masyarakat yang
berhubungan dan melibatkan masyarakat. Dalam hal ini harus didefinisikan siapa
yang terkena pengaruh serta perlu ditentukan hasil kebijakan yang dimaksud.
Apakah undang-undang bebas asap rokok dirasakan meningkatkan
stigmatisasi perokok tergantung pada bagaimana perasaan perokok tentang
merokok di luar. Tingkat stigmatisasi dirasakan tidak berubah setelah
pelaksanaan Undang-undang Bebas Asap Rokok, mungkin karena sebagian
besar perokok tidak merasa dihakimi negatif ketika merokok di luar [Nagelhout
GE, Willemsen MC, Gebhardt WA, van den Putte B, Hitchman SC, Crone
MR, Fong GT, van der Heiden S, de Vries H. (2012)]. Pengenalan Undang-
undang Bebas Asap Rokok secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok.
Selain itu, mendokumentasikan secara signifikan efek tidak langsung terhadap
penurunan konsumsi alkohol [Thomson, George. (2013)]
Di setiap negara, persentase pegawai yang bekerja di tempat kerja yang
bebas asap rokok yang dilaporkan tinggal di rumah bebas asap rokok lebih tinggi
306
dari mereka yang bekerja di tempat kerja yang tidak bebas asap. Dalam LMICs,
kerja di tempat kerja yang bebas asap rokok terkait dengan tinggal di rumah
bebas asap rokok.
Percepatan pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif
kemungkinan akan menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial
dalam pengaturan ini [Nazar, GP., Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett
C. (2014)] Hasil implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, antara lain:
a) Individual
Terciptanya perilaku masyarakat untuk tidak merokok di kawasan tanpa
rokok di Kota Palembang
b) Kelompok
Pimpinan/Pengelola KTR di Kota Palembang berupaya untuk
menciptakan Kawasan Tanpa Rokok dengan mematuhi Peraturan Daerah
Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kendala yang dialami Dinas
Kesehatan Kota Palembang dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Kurangnya
dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan
sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus
menerus; Produksi sticker larangan merokok juga kurang; Kurangya informasi
pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap
pelanggaran Perda KTR; Pengawas Internal yang juga tidak memiliki keberanian
untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak yang merokok; serta
307
Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih
dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dampak/hasil
yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah
dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam
ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan
mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga
sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi
pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok
didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan merokok.
Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok melainkan
kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota Palembang.
Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
di Kota Palembang sudah dapat diterima oleh masyarakat dan mampu
mengubah perilaku masyarakat, dengan menurunnya jumlah perokok, sehingga
kualitas udara semakin baik dan masyarakat bisa menjadi lebih sehat.
Masyarakat mengetahui jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan
menyebabkan penyakit bagi orang banyak, sehingga mendukung untuk
menciptakan suasana yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi
Perda KTR dan Perda Lainnya. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan
stakeholder baik dari luar maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama
Kiai, Pendeta, Tokoh Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk
mengingatkan Perda KTR.
308
Berdasarkan hasil pembahasan implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang tersebut, maka disusun
proposisi minor 1 (satu) sebagai berikut:
“Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi didukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai serta penerapan sanksi ekonomis maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”
Proposisi tersebut menjelaskan bahwa aktor dalam implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok memiliki kewenangan yang memadai, dalam
melakukan teknik tatap muka secara langsung daripada sekedar kampanye
informasi larangan merokok di tempat kerja termasuk dalam penerapan sanksi
ekonomis yang tidak hanya dikenakan kepada Pimpinan Instansi melainkan
kepada seluruh pegawai dan masyarakat, peningkatan kapasitas sumber daya
pada konten kebijakan dan peningkatan pajak yang lebih tinggi, menerapkan
Kebijakan KTR dimulai dari kesadaran diri sendiri menjadi sarana utama untuk
menjamin kepatuhan, dalam konteks implementasinya serta menuntut kawasan
bebas asap rokok 100% tanpa pengecualian maupun penundaan, melibatkan
Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter dan Perokok dalam Upaya Berhenti
Merokok melalui sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat
diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan terapi
pengganti nikotin serta maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat
dilaksanakan secara optimal
309
6.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
Ripley and Fanklin (1986) menguraikan faktor-faktor yang tidak
terkendali yang mempengaruhi implementasi. Faktor yang tidak terkendali ini
yaitu apakah ada faktor-faktor di luar teknis (yang telah melampaui batas kontrol
dari implementor) yang secara tidak langsung berhubungan dengan
pengimplementasian program, sehingga dapat menghambat, bahkan
menggagalkan implementasi program yang telah dirancang sebelumnya.
Untuk mengantisipasi agar suatu kebijakan atau implementasi tidak gagal,
maka ada hal-hal yang perlu diketahui yang dapat membuat suatu pelaksanaan
kebijakan menjadi gagal, yaitu:
1) Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap yang membuat
bingung dan membuat penafsiran sendiri-sendiri oleh para pelaksana
kebjakan.
2) Instansi tujuan yang saling berlawanan
3) Adanya tujuan yang saling berlawanan.
4) Insentif tidak memadai. Maksudnya para pelaksana kebijakan merasa
bahwa upah tambahan/intensif untuk melaksanakan kebijakan tidak
seimbang dengan jerih payahnya sehingga mereka tidak sungguh-
sungguh melaksanakannya.
5) Ketidakjelasan arah kebijakan dasar dengan kebijakan
implementasinya.
6) Katerbatasan keahlian
7) Sumber daya administrasi yang terbatas.
8) Kegagalan komunikasi (Abdul Wahab, 1997: 273)
310
Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa keberhasilan suatu
kebijakan ditentukan oleh dukungan lingkungan, kepatuhan serta dukungan dari
pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung atau yang
terkana pengaruh kebijakan, ketersediaan sumber daya secara kualitas maupun
kuantitas, serta alat kontrol kebijakan berupa instrumen hukum terhadap
pelanggaran kebijakan. Kesemuanya harus disusun dan direncanakan dengan
baik dengan memperhatikan kondisi, kemampuan, ataupun potensi yang dimiliki.
Berbagai teori yang dikemukakan tersebut telah banyak memberikan gambaran
kepada kita khususnya dikalangan pada implementator dalam rangka
mengimplementasikan suatu kebijakan dan meminimalkan adanya kegagalan
dari implementasi. Oleh karena itu dari sudut pandang efektivitas, implementasi
masing-masing teori tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan. Namun
situasi dan kondisi dimana teori itu dipakai tergantung pada permasalahan yang
dihadapi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sehingga model
implementasi menjadi penting untuk dikaji.
6.2.1 Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di
Kota Palembang
Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota
Palembang, antara lain:
1) Implementasi Perda KTR telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana
Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat
2) Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dalam
pelaksanaan tugasnya
311
3) Tersedianya sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis
di Instansi Pemerintahan
4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada
masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio
5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam
rangka pelaksanaan Perda KTR
6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)
7) Pelaksanaan Upaya Berenti Merokok (UBM)
6.2.2 Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di Kota Palembang
Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:
1) Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota
Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup
maksimal
2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR
3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam
melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda
KTR secara terus menerus.
4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang, serta kurangnya informasi
pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email
terhadap pelanggaran Perda KTR
312
5) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan
Perda KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang
diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.
6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih
dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda
administratifnya
7) Alat penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok
sudah tersedia namun belum maksimal
Penerapan Peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok secara signifikan
mempengaruhi perilaku merokok [Pieroni, Luca (2013)]. Meskipun beberapa
perokok menerima informasi saluran media informasi dari poster, mereka tetap
mengabaikan pemberitahuan tersebut. Sehingga hal yang perlu dilakukan untuk
menciptakan kawasan tanpa rokok adalah peningkatan promosi, meningkatkan
tindakan sosial, dan menyisihkan area merokok khusus untuk perokok.
[Charupash, Rujee (2014)]
Kebijakan kawasan tanpa rokok dipandang sebagai kegiatan kompleks
yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah faktor
termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan keinginan
dukungan publik dalam Kebijakan KTR. Preferensi ditunjukkan untuk
pendekatan kebijakan berdasarkan persuasi daripada Undang-undang, sebagai
sarana kebijakan KTR. [Hulton L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla
C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014)]. Kelemahan
implementasi kebijakan disebabkan oleh struktur terlalu banyak fragmentasi,
beban kerja yang terlalu banyak dalam implementasi kebijakan, struktur yang
buruk dan proses implementasi. Masalah kedua berkaitan dengan kompetensi
313
orang-orang yang memiliki struktur profesionalisme yang tidak memadai sebagai
pembuat kebijakan, dan kompetensi yang tidak mencukupi. Kegagalan
menyebabkan pemborosan keuangan, frustrasi politik dan merugikan masyarakat
yang terlihat dalam serangkaian kegagalan kebijakan. [Afifa Aisha Rahmat
(2015)].
Untuk mengatasi hambatan tersebut, maka perlu diperhatikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan implementasi kebijakan, meliputi:
faktor predisposisi (predisposing factor), meliputi: Pengetahuan, Sikap Komitmen
serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Faktor pemungkin (enabling factor),
meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung pelaksanaan Perda KTR berupa:
penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk tanda larangan merokok, buku
pedoman larangan merokok serta penyediaan klinik kesehatan untuk terapi bagi
perokok. Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,
Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda
khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang serta Penerapan Sanksi.
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok harus dilaksanakan
secara komprehensif yang mencakup semua kawasan, melakukan intervensi
pendidikan serta kampanye secara bersamaan mempromosikan kawasan tanpa
rokok sehingga pada akhirnya tercipta perubahan perilaku untuk tidak merokok
termasuk dirumah. [Xiaohua Ye, Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya
Xu, Shudong Zhou, Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, (2015)]
314
Berdasarkan hasil pembahasan faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang tersebut, maka disusun proposisi minor 2 (dua) sebagai berikut:
“Jika faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”
Preposisi tersebut menjelaskan bahwa, implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok, tidak hanya dilakukan sebata pada sosialisasi, penyediaan
infomasi berupa pemasangan spanduk maupun stiker serta pelaksanaan
supervisi yang pada akhirnya menambah beban Kerja Personil Satpol PP
maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang selaku Tim Penegakan Hukum Perda
KTR, melainkan juga harus memperhatikan faktor predisposisi, faktor pemungkin
dan faktor penguat.
Faktor predisposisi dilakukan melalui upaya melarang campur tangan
industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), dan
menuntut kawasan bebas asap rokok 100% tanpa pengecualian maupun
penundaan. Faktor pemungkin dilaksanakan dengan penyediaan fasilitas KTR
tidak hanya sebatas penyediaan stiker maupun spanduk larangan merokok,
melainkan lebih lanjut kepada tindakan pengobatan perokok melalui penyediaan
klinik UBM. Dengan demikian diharapkan akan tercipta kesadaran dan dukungan
dari pegawai maupun masyarakat serta perubahan perilaku pegawai dan
masyarakat untuk tidak merokok disembarang tempat.
315
Faktor penguat dilakukan melalui legitimasi aktor, meningkatkan
dukungan publik dalam Kebijakan KTR melalui pendekatan kebijakan persuasi
juga efektif dilakukan termasuk dengan mengintervensi pendidikan, dalam hal ini
pengetahuan bahaya rokok terus menerus dilakukan mulai dari tahap Sekolah
Dasar sehingga memutus tunas atau cikal bakal perokok, salah satunya melalui
kegiatan UBM, pembentiukan tim pengawas internal, meningkatkan tindakan
sosial dengan memberi sanksi yang tegas salah satunya berupa sanksi
ekonomis yang tidak hanya dikenakan kepada Pimpinan Instansi, melainkan
kepada pegawai dan seluruh masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran
untuk tidak merokok disembarang tempat bagi perokok aktif, dan keberanian
melaporkan pelanggaran Perda KTR bagi perokok pasif.
Berdasarkan beberapa proposisi-proposisi minor yang telah disusun
terdahulu, maka diusulkan sebuah proposisi mayor sebagai berikut:
“Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi di dukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, penerapan sanksi ekonomis serta faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi, maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat optimal” Berdasarkan proposisi mayor tersebut, diformulasikan teori substantif
berupa peningkatan kapasitas sumber daya pada konten kebijakan dan
peningkatan pajak yang lebih tinggi, menerapkan Kebijakan KTR dimulai dari
kesadaran diri sendiri menjadi sarana utama untuk menjamin kepatuhan, dalam
konteks implementasinya serta meningkatkan kepatuhan Pegawai dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang melalui analisis faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor
penguat melalui upaya melarang campur tangan industri tembakau dalam
pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), dan menuntut kawasan bebas
316
asap rokok 100% tanpa pengecualian maupun penundaan, melibatkan
Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter dan Perokok dalam Upaya Berhenti
Merokok melalui sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat
diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan terapi
pengganti nikotin serta teknik tatap muka secara langsung daripada sekedar
kampanye informasi larangan merokok di tempat kerja maka diharapkan hal ini
dapat meningkatkan kepatuhan sehingga penerapan Kebijakan kawasan tanpa
rokok dapat optimal.
6.3 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis
Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian tersebut di atas, berikut
disajikan secara sederhana matriks temuan, proposisi dan implikasi teoritis
dalam tabel sebagai berikut:
317
Tabel 6.2 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
1 Bagaimanakah implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
Mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi: a. Isi Kebijakan,
terdiri dari: 1) Kepenti
ngan yang dipengaruhi oleh kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah mengakomodir kepentingan Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun Pimpinan Kelurahan dan Masyarakat. Dalam hal ini semua Pihak umumnya telah mengetahui Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang serta memberikan dukungan terhadap
Proposisi Minor 1: “Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi di dukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai serta penerapan sanksi ekonomis maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”
Hasil penelitian menunjukan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups dalam isi kebijakannya. Dalam hal ini Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah mengakomodir berbagai kepentingan yakni Kepentingan Pelaksana Kebijakan kawasan tanpa rokok, Kepentingan Pemimpin/Pengelola serta Kepentingan Masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari Perda KTR yang merupakan bentuk perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; menciptakan lingkungan yang sehat; serta menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang
318
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
pelaksanaan Perda KTR tersebut
merokok. Perda KTR ini telah berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok.
Berbagai kelompok kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih penting dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional dan internasional di banyak negara. Meskipun dalam proses ini pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan kurang dapat diprediksi. [Nicholas Mays. (2016)]
2) Manfaat
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
Manfaat Implementasi KTR antara lain: terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, yakni Kantor Kelurahan di Kota Palembang serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa rokok, sehingga membuat
Temuan penelitian diketahui bahwa dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang positif, antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok di 7 Kawasan Kota Palembang, sehingga membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari pencemaran asap rokok serta berkurangnya jumlah perokok sehingga dapat meningkatkan kesehatan pegawai/ masyarakat. Kebijakan kawasan tanpa
319
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari pencemaran asap rokok
rokok sangat mungkin dipolitisasi, antara kepedulian terhadap perokok maupun dukungan publik dalam menciptakan kawasan tanpa rokok. Mayoritas pelaku kebijakan berhati-hati untuk merumuskan kebijakan subtanstif pada kawasan tanpa rokok karena persepsi tentang isu ini sangat kontroversial. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai penerima manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok. [Helen Wilson, GeorgeThomson. (2011)]
3) Derajat
perubahan yang dicapai
Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang didasarkan pada hasil observasi dan wawancara. Indikator Observasi meliputi: orang yang merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok,
Derajat perubahan yang ingin dicapai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang antara lain terciptanya 100% kawasan tanpa asap rokok, tidak ada ruang merokok tertutup serta tidak ada pemaparan rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mungkin memiliki dampak kecil, namun menguntungkan terhadap upaya pemberhentian keinginan merokok. [Barbara, Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew
320
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
tercium bau asap rokok, penyediaan asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung serta indikasi kerjasama dengan industri tembakau. Sedangkan Indikator wawancara meliputi: pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, mendukung dan melaksanakan Perda KTR, pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola Gedung, serta Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak mematuhi Perda KTR. Sehingga derajat perubaan yang diharapkan berupa berkurangnya pelanggaran Perda KTR di Kota Palembang sesuai dengan pengukuran derajat perubahan yang dicapai Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun
Christenson, Michael G. Luxenberg (2012)]. Sehingga kebijakan kawasan tanpa rokok sangat disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan mayoritas penduduk berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi beban penyakit dan biaya kesehatan terkait merokok. [Sara Kalkhoran, Ernesto M Sebrié, Edgardo Sandoya, and Stanton A. Glantz. (2015)]
321
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang
4) Letak Pengam bilan Keputusan
Letak pengambilan kepututusan berasal dari, Tim Penegakan Hukum Sat Pol PP berjumlah 7 orang ditambah dengan anggota jajaran patroli beserta utusan dari pihak-pihak yang membantu pengawasan Perda No. 07 Tahun 2009 ini yaitu dari pihak Polresta, Kodim 0418, Denpom II/Swj. Sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kota Palembang sendiri berjumlah 11 orang ditambah dengan beberapa anggota yang ditugaskan untuk ikut serta dalam pengawasan Kawasan Tanpa Rokok. Untuk Sat Pol PP dan jajarannya sendiri lebih
Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa letak pengambilan keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, berada pada Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mengawasi serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak Hukum. Untuk melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok tentu saja harus dibentuk Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR (biasanya terdiri dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan atau Pengelola kawasan, yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan mereka yang merokok. Pemberian sanksi administratif mungkin termasuk suspensi atau pembatalan lisensi bisnis dan akan menjadi "upaya terakhir penerapan sanksi”. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].
322
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
bertugas pada fungsi pada larangan dan penerapan sanksi, sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kota Palembang lebih berfungsi pada penekanan bahaya merokok pada orang-orang yang ada di Kawasan Tanpa Rokok.
5) Mekanisme
pelaksana an kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
Pelaksanaan Program dalam kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, meliputi pembentukan Peraturan Walikota No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang yang menguraikan susunan keanggotaan Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palemban, untuk selanjutnya Tim Pelaksana Pengawas
Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, yang terdiri dari Walikota beserta jajarannya sebagai pengarah serta yang Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota sebagai pelaksana dengan melibatkan Instansi terkait. Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dan kapabel dalam pelaksanaan tugasnya yang telah melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi. Sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat diberikan
323
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, melakukan beberapa tahap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokokKota Palembang, meliputi: tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi
kepada Pelaksana Kebijakan untuk membantu meningkatkan penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].
6) Sumber Daya yang dilibatkan
Sumber Daya KTR meliputi: Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan adalah petugas keamanan (security), yang bertugas melakukan pengawasan internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang pada kenyataannya pengawas internal ini belum dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat
Hasil penelitian menunjukan menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi, artinya penting juga agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain itu melakukan memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum. Pemantauan kepatuhan terhadap undang-undang dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Setelah diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat diberikan kepada (Pelaksana Kebijakan KTR) untuk
324
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
kesadaran masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah. Sumber keuangan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok ini, antara lain bersumber dari APBN Depkes, APBD serta Support Dana dari: World Lung Foundation dan Union, Dana tersebut digunakan untuk pembuatan sticker-sticker Perda KTR yang nantinya akan dibagikan secara gratis ke 7 Kawasan Tanpa Rokok, serta Dana pelaksanaan survei penegakan hukum Perda KTR sebesar 9,3 juta yang diberikan kepada Satpol PP. Diketahui bahwa dana yang digunakan sangat terbatas mengingat tempat yang akan disurvei juga cukup banyak. Selain itu, Pelaksanaan Perda KTR ini masih kurang fasilitas berupa
membantu meningkatkan penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)]
325
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok.
b. Konteks Implementasi, terdiri dari: 1) Strategi
aktor yang dilibatkan
Strategi aktor yang
dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring, kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan Perwali tentang kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, pertemuan sosialisasi perwali tentang kawasan tanpa rokok bersama asisten 4 dan bagian hukum pemerintah kota palembang serta
Hasil penelitian menunjukan kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi perokok, melalui peningkatan pajak yang lebih tinggi dalam penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok dirasa efektif. [E. Kathleen Adams, Sara Markowitz, Viji Kannan, Patricia M. Dietz, Van T. Tong, Ann M. Malarcher (2012)]. Kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab atas Kawasan Tanpa Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa merokok dilarang dan mengambil langkah-langkah untuk meminta seseorang berhenti merokok, termasuk kewajiban untuk membuang asbak. termasuk mencantumkan hukuman atas pelanggaran tugas yang dikenakan meliputi denda dan/atau pemenjaraan. [Lambert Patricia and
326
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.
Donley, Kaitin, (2013)]
2) Karakteris tik Lembaga dan Penguasa
Para pelaku kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan, belum cukup maksimal. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan melalui pelaksanaan supervisi, maka aparat Pol PP wajib menegur/ menindak.
Hasil penelitian menunjukan, penerapan Kebijakan KTR sebagai dimulai dari kesadaran diri sendiri dan diberlakukan oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat adalah sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu, Untuk memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO merekomendasikan untuk menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada Instansi terkait. [Lambert Patricia and
327
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun masih ditemukan pelanggaran. Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai maupun Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan di hampir disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun masyarakat yang merokok diruangan.
Donley, Kaitin, (2013)]
328
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
Dalam hal ini pihak Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1
3) Kepatuhan
terhadap cara/proses pelaksana an kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi: faktor predis posisi, faktor pemungkin dan faktor penguat
Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian. Sat Pol PP Kota Palembang melakukan penyisiran dari lantai bawah sampai atas, pada saat itu tidak ada satupun baik asbak maupun orang yang merokok. Maka Tim tidak bisa melakukan tindakan hukum, karena apabila terdapat perokok yang berada di Instansi Pemerintahan, maka yang ditindak Pimpinan Instansi Pemerintahan itu sendiri, namun jika ditemukan pelanggaran
Hasil penelitian menunjukan pengetahuan tentang kondisi yang mendorong keberhasilan kebijakan akan sangat penting bagi mereka yang memerlukan informasi untuk segera memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan mereka sendiri [Nykiforuk, Candace. (2007)]. Perilaku merokok informan ditempat kerja karena untuk mencari kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena stress kerja sehingga membuat informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di lingkungan tempat kerja, kemungkinan besar subjek telah masuk ke tahap bukan saja dalam perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok. Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri. Laventhal & Cleary (dalam Cahyani, 1995) Perbedaan pra-undang-undang di masyarakat tampaknya mempengaruhi tingkat perubahan perilaku merokok masyarakat. Konteks budaya dan sosial
329
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
diluar lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan Kantor, maka pelanggarnya yang kami tindak/kami lakukan pembinaan, selanjutnya kami buat berita acara agar yang bersangkutan tidak merokok
Laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan. Selanjutnya Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas Kesehatan secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada Walikota Palembang
Kepatuhan Pegawai yang dipengaruhi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat juga masih rendah. Berdasarkan
penting dalam membentuk perilaku merokok dan menemukan perubahan perilaku merokok di tempat umum [Ritchie, Deborah. (2010)]. Komunitas kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang campur tangan industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), sesuai dengan pasal 5.3 perjanjian WHO-FCTC5; dan menuntut bebas asap 100% tanpa pengecualian atau penundaan [Ravara, S.B., Miranda, N., Calheiros, J. M. (2014)].
330
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
faktor predisposisi, meski telah mengetahui Perda KTR, baik pegawai maupun masyarakat tetap melakukan pelanggaran. Berdasarkan faktor pemungkin, masih kurangnya fasilitas berupa pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok, Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai
331
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
maupun masyarakat yang merokok diruangan. Berdasarkan faktor penguat, pihak Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR hanya mendapat SP1 maupun SP2 saja, belum pernah diterapkan sanksi berupa hukum pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Seperti yang tertuang pada Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
c. Hasil
Kebijakan, yakni: Perubahan perilaku masyarakat setelah di implementasikan kebijakan
Dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah dirasakan meski belum
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam ruangan sudah
332
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
cukup baik/ maksimal. Mereka yang merokok didalam ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok melainkan kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota Palembang.
berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok didalam ruangan. Tingkat stigmatisasi dirasakan tidak berubah setelah pelaksanaan Undang-undang Bebas Asap Rokok, mungkin karena sebagian besar perokok tidak merasa dihakimi negatif ketika merokok di luar [Nagelhout GE, Willemsen MC, Gebhardt WA, van den Putte B, Hitchman SC, Crone MR, Fong GT, van der Heiden S, de Vries H. (2012)]. Pengenalan Undang-undang Bebas Asap Rokok secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok. [Thomson, George. (2013)]
Percepatan pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif kemungkinan akan menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial dalam pengaturan ini [Nazar, GP., Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett C. (2014)]
333
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
Kebijakan Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang sudah dapat diterima oleh masyarakat dan mampu mengubah perilaku masyarakat, dengan menurunnya jumlah perokok, sehingga kualitas udara semakin baik dan masyarakat bisa menjadi lebih sehat. Masyarakat mengetahui jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan menyebabkan penyakit bagi orang banyak, sehingga mendukung untuk menciptakan suasana yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi Perda KTR dan Perda Lainnya. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari luar maupun dari dalam harus
334
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR
2 Apakah faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi: a. Faktor
pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
Faktor pendukung
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, antara lain: 1) Implementasi Perda
KTR telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan
Proposisi Minor 2: “Jika faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, tidak hanya dilakukan sebatas pada sosialisasi, penyediaan infomasi berupa pemasangan spanduk maupun stiker serta pelaksanaan supervisi yang pada akhirnya menambah beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang selaku Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Upaya meningkatkan dukungan publik dalam Kebijakan KTR melalui pendekatan kebijakan persuasi juga efektif dilakukan termasuk dengan mengintervensi
335
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
Masyarakat 2) Pelaksana kebijakan
kawasan tanpa rokokcukup kompeten dalam pelaksanaan tugasnya
3) Tersedianya sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan
4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio
5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan Perda KTR
6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)
7) Pelaksanaan Upaya Berenti Merokok (UBM)
pendidikan, dalam hal ini pengetahuan bahaya rokok terus menerus dilakukan mulai dari tahap Sekolah Dasar sehingga memutus tunas atau cikal bakal perokok, salah satunya melalui kegiatan UBM, meningkatkan tindakan sosial dengan memberi sanksi yang tegas sehingga menumbuhkan kesadaran untuk tidak merokok disembarang tempat bagi perokok aktif, dan keberanian melaporkan pelanggaran Perda KTR bagi perokok pasif.
336
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
b. Faktor
penghambat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: 1) Beban Kerja Personil
Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal
2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR
3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus.
4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang, serta
Selain itu penyediaan fasilitas KTR tidak hanya sebatas penyediaan stiker maupun spanduk larangan merokok, melainkan lebih lanjut kepada tindakan pengobatan perokok melalui penyediaan klinik UBM. Dengan demikian diharapkan akan tercipta kesadaran dan dukungan dari pegawai maupun masyarakat serta perubahan perilaku pegawai dan masyarakat untuk tidak merokok disembarang tempat. Faktor yang tidak terkendali ini secara tidak langsung berhubungan dengan pengimplementasian program, sehingga dapat menghambat, bahkan menggagalkan implementasi program yang telah dirancang sebelumnya. [Ripley and Fanklin (1986)]
337
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR
5) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.
6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya
338
No Rumusan Masalah
Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis
7) Alat penunjang
kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah tersedia namun belum maksimal
3 Proposisi Mayor:
“Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi di dukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, penerapan sanksi ekonomis serta faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi, maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat optimal”
Sumber: Analisis Data
339
6.4 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang
6.4.1 Kelemahan Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok di Kota Palembang
Berdasarkan ilustrasi existing model kerjasama antar pemerintah daerah
dan hasil elaborasi temuan, proposisi, dan implikasi teoritis pada gambar 6.23
dan tabel 6.2 tersebut di atas, dapat diidentifikasi beberapa kelemahan dari
temuan hasil penelitian dilapangan. Pertama, bahwa berdasarkan konten
implementasi kebijakan, diketahui bahwa Pelaksana kebijakan kawasan tanpa
rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satpol PP Kota
Palembang maupun Pimpinan Instansi Pemerintahan dan Masyarakat telah
mengetahui dan mendukung pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, melalui pelaksanaan sosialisasi,
supervisi maupun workshop KTR, namun pelanggaran terhadap Perda KTR
masih terus terjadi dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi
Perda KTR masih rendah.
Kedua, berdasarkan konteks implementasi kebijakan, diketahui bahwa
Strategi aktor yang dilibatkan masih belum maksimal. Instansi Pemerintahan
masih banyak yang mendapatkan SP2, serta Kepatuhan Pegawai yang
dipengaruhi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat juga masih
rendah. Berdasarkan faktor predisposisi, meski telah mengetahui Perda KTR,
baik pegawai maupun masyarakat tetap melakukan pelanggaran. Berdasarkan
faktor pemungkin, masih kurangnya fasilitas berupa pengaduan masyarakat
tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi
Perokok supaya berhenti merokok, Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar
340
memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui
bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.
Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan
piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun masyarakat yang
merokok diruangan. Berdasarkan faktor penguat, pihak Instansi yang melakukan
pelanggaran terhadap Perda KTR hanya mendapat SP1 maupun SP2 saja,
belum pernah diterapkan sanksi berupa hukum pidana kurungan paling lama tiga
bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Seperti
yang tertuang pada Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok.
Ketiga, berdasarkan hasil implementasi kebijakan, diketahui bahwa
dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7
Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang
merokok didalam ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup
kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan
Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah
diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak
merokok didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan
merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok
melainkan kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota
Palembang.
Keempat, faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok
di Kota Palembang, antara lain: Implementasi Perda KTR telah mengakomodir
Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta
341
Kepentingan Masyarakat; Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup
kompeten dalam pelaksanaan tugasnya; Tersedianya Sticker-sticker Perda KTR
pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan; Penggunaan
Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada masyarakat baik
melalui Media TV maupun Radio; Pembentukan Tim Pengawas Internal dari
Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan Perda KTR; Pelaksanaan
Pictorial Healt Warning (PHW).
Kelima, Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Beban Kerja
Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup banyak
sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal; Kurangnya dana
publikasi penegakan Perda KTR; Kurangnya dukungan media baik Televisi
(seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada
masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus; Produksi sticker larangan
merokok juga kurang; Kurangnya informasi pada sticker mengenai cara
pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR;
Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda
KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi
administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok; Anggapan Sat Pol PP
bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum
dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya; serta Alat penunjang
kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah tersedia namun
belum maksimal.
342
6.4.2 Rekomendasi Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
di Kota Palembang
Perubahan Perilaku Masyarakat setelah di Implementasikan kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Berdasarkan teori Grindle, Hasil
implementasi Kebijakan berpengaruh pada persoalan masyarakat yang
berhubungan dan melibatkan masyarakat. Dalam hal ini harus didefinisikan siapa
yang terkena pengaruh serta perlu ditentukan hasil kebijakan yang dimaksud.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kendala yang dialami Dinas
Kesehatan Kota Palembang dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Kurangnya
dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan
sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus
menerus; Produksi sticker larangan merokok juga kurang; Kurangya informasi
pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap
pelanggaran Perda KTR; Pengawas Internal yang juga tidak memiliki keberanian
untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak yang merokok; serta
Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih
dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, dapat direkomendasikan model
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang sebagai
berikut:
343
a. Isi Kebijakan 1) Perda KTR mengakomodir
kepentingan berbagai pihak 2) Manfaat Perda KTR sudah mulai
dirasakan 3) Indikator Keberhasilan KTR yang
digunakan tepat 4) Letak Pengambilan Keputusan berada
pada Tim Penegakan Hukum Perda KTR
5) Mekanisme pelaksanaan telah dilakukan
6) Sumber daya yang dilibatkan mampu mengcover seluruh wilayah KTR
b. Konteks Implementasi 1) Penerapan strategi kebijakan KTR,
melalui peningkatan pajak, penerapan kewajiban hukum terhadap aktor yang bertanggung jawab atas KTR dengan melaksanakan hukuman atas pelanggaran meliputi denda dan/atau pemenjaraan
2) Kebijakan KTR dimulai dari kesadaran diri sendiri, menjadi sarana utama untuk menjamin kepatuhan
3) Peningkatan Kepatuhan melalui:
Faktor Predisposisi Penerapan Kebijakan 100% KTR tanpa campur tangan Industri tembakau
Faktor Pemungkin: a. Penyediaan fasilitas
KTR b. Meningkatkan skill
stakeholder Kesehatan
c. Program Terapi untuk mengobati ketergantungan nikotin
Faktor Penguat: a. Legitimasi
kekuasaan aktor b. Penerapan teknik
tatap muka secara langsung
c. Pembentukan Tim Pengawas Internal
d. Pelaksanaan
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok UUD 1945 Pasal 28 H, UU No. 36/2009, PP No. 19/2003, Perda Kota Palembang No. 7/2009
Mekanisme Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang: 1. Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok 2. Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan
Tanpa Rokok 3. Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok 4. Penggunaan Media Massa 5. Pembentukan Tim Pengawas Internal 6. Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW) 7. Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok (UBM)
a. Tujuan 1) Memberi ruang dan lingkungan yang
bersih dan sehat bagi masyarakat 2) Melindungi kesehatan masyarakat
dari bahaya paparan asap rokok
b. Prinsip 1) 100 % Kawasan Tanpa Asap Rokok 2) Tidak ada ruang merokok di tempat
umum/tempat kerja tertutup
Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok berkurang karena timbulnya kesadaran dan Dukungan dari Pegawai & Masyarakat
Implementasi Kawasan Tanpa Rokok terlaksana secara optimal
Bagan 6.1. Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Sumber: Hasil Analisis Penelitian
344
Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang tidak
cukup jika dianalisis melalui model implementasi kebijakan dirumuskan
berdasarkan model implementasi dari Marilee S. Grindle (1980) yang terdiri dari
isi kebijakan, konteks implementasi serta hasil kebijakan. Melainkan juga perlu
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat
menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing factor), faktor
pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor).
Diketahui bahwa berdasarkan eksisting model diketahui bahwa pertama
dari aspek Isi Kebijakan; Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan, yang
bertugas melakukan pengawasan internal KTR, baik dari Dinas Kesehatan
maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat serta
ingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah. Kedua,
dari aspek Konteks Implementasi; Strategi aktor yang dilibatkan masih belum
maksimal. Selain itu, Lembaga dan Penguasa, masih banyak melakukan
pelanggaran yakni Pegawai maupun Masyarakat yang merokok. Sehingga
Dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7
Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota
Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk
melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi serta
memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum. Penerapan strategi
pengendalian tembakau serta pemberlakukan sanksi yang tegas. Kebijakan KTR
dimulai dari kesadaran diri sendiri menjadi sarana utama untuk menjamin
kepatuhan.
345
Dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya
menganalisis pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang
melalui isi kebijakan, konteks implementasi serta hasil kebijakan, melainkan juga
dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan kebijakan itu sendiri,
sekaligus sebagai novelty penelitian. Bahwa kepatuhan juga turut mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok, yang pada akhirnya akan
menumbuhkan kesadaran, dukungan pegawai maupun masyarakat sehingga
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang dapat optimal.
Teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green (1999) tentang Perilaku
Kesehatan, yang membagi faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing factor),
faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor). Maka
upaya yang dilakukan antara lain dari faktor predisposisi, jika perokok bukan saja
menjadi perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok,
maka merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri, maka
perlu memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan mereka
sendiri dengan memperhatikan konteks budaya dan sosial dalam membentuk
perilaku merokok dan menemukan perubahan perilaku merokok di tempat umum.
Berdasarkan Faktor Pemungkin, penyediaan fasilitas perlu ditingkatkan
berupa penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk tanda larangan merokok,
buku pedoman larangan merokok serta penyediaan klinik kesehatan untuk terapi
bagi perokok melalui sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat
diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan terapi
pengganti nikotin, antara lain meliputi: menciptakan lingkungan Rumah Sakit
"lebih bersih, lebih nyaman", meningkatkan cakupan perawatan medis dan
346
perluasan cakupan untuk tenaga medis dengan mengembangkan kampanye
media untuk mendorong penghentian merokok, menciptakan infrastruktur
penelitian untuk meningkatkan tingkat penghentian merokok, mengembangkan
agenda pelatihan dokter, serta mengadopsi kebijaka pajak rokok yang tinggi.
Selanjutnya untuk Faktor Penguat, Penerapan teknik tatap muka secara
langsung lebih efektif daripada kampanye informasi larangan merokok di tempat
kerja, pembentukan Tim Pengawas Internal serta pelaksanaan Supervisi,
pemberian SP dan penerapan sanksi yang tegas, diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan Kebijakan kawasan tanpa rokok.
Diketahui bahwa hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
sudah dirasakan. Mereka yang merokok didalam gedung sudah berkurang.
Pimpinan Instansi KTR cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda
KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Hal ini juga
didukung dengan sticker larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang
dikenakan bukan untuk si perokok melainkan kepada Pimpinan Instansi
Pemerintahan. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari
luar maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh
Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR.
347
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil dan pembahasan temuan penelitian yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang tidak cukup jika dianalisis
melalui model implementasi kebijakan dirumuskan berdasarkan model
implementasi dari Marilee S. Grindle (1980) yang terdiri dari isi kebijakan,
konteks implementasi serta hasil kebijakan, melainkan juga perlu memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat meliputi: faktor
predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor
penguat (reinforcing factor). Selanjutnya disajikan beberapa detail kesimpulan
penelitian Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan
Kota Palembang, diuraikan sebagai berikut:
a. Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan
Kota Palembang telah dilaksanakan namum masih ditemukan berbagai
kendala dalam konteks implementasinya antara lain kurangnya SDM, dan
dana pelaksanaan Perda KTR, kurangnya koordinasi antara Pimpinan
Instansi dan para Pegawai serta pelaksanaan Sidang Yustisi kepada
pelanggar KTR hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang
diberikan sanksi administratif. Sehingga masih ditemukan pelanggaran
didalam Kawasan Tanpa Rokok.
b. Faktor yang mendukung Implementasi Perda KTR, meliputi: telah
mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Pimpinan Instansi
347
348
serta Kepentingan Masyarakat. Tersedianya sticker-sticker Perda KTR
maupun Pembentukan Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan
dalam rangka dengan melibatkan seluruh security/Petugas Keamanan
tanpa kecuali. Faktor yang menghambat keberhasilan Implementasi
Perda KTR, meliputi: Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas
Kesehatan Kota Palembang cukup banyak, Kurangnya dana publikasi
penegakan Perda KTR, Layanan Informasi masih terbatas.
c. Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota
Palembang yang ideal, berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa
rokok dengan yang tidak hanya melihat pada isi kebijakan, konteks
implementasi maupun hasil kebijakan, tetapi juga harus memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap kabijakan kawasan
tanpa rokok yang meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor
penguat sehingga implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat
dilaksanakan secara optimal.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas, peneliti
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Menambah penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota
Palembang maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan
inspeksi, survei maupun Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-
menerus.
2. Meningkatkan dana publikasi penegakan KTR, baik melalui pengajuan
proposal APBN Depkes, APBD maupun Support dana stakeholder,
349
sehingga dapat meningkatkan penyediaan fasilitas maupun kegiatan
pengobatan bagi perokok.
3. Meningkatkan partisipasi publik melalui sosialisasi Perda No.7 Tahun
2009 tentang kawasan tanpa rokok ke media massa melalui berita di
televisi, koran dan radio. Menghadirkan mantan perokok aktif di
pertemuan selanjutnya.
4. Penyediaan stiker yang ditempel dilokasi strategis kawasan tanpa rokok
yang juga mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi
masyarakat mengenai pelanggaran Perda KTR
5. Perlu dilakukannya terminasi kebijakan untuk meninjau Perda KTR serta
upaya untuk menumbuhkan komitmen yang tegas dari satuan Polisi
Pamong Praja untuk melakukan tipiring terhadap pelanggaran Kawasan
Tanpa Rokok termasuk pemberlakukan sanksi administratif maupun
pidana
6. Menerapkan teknik tatap muka secara langsung, pembentukan Tim
Pengawas Internal serta pelaksanaan supervisi dan pemberian sanksi
yang tegas, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
7. Penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya berhenti merokok
yang lebih efektif serta melibatkan stakeholder serta masyarakat umum
untuk mengingatkan Perda KTR.
7.3 Implikasi Teoritik
Untuk lebih mengembangkan studi implementasi kebijakan publik
khususnya Kebijakan kawasan tanpa rokok, maka Penulis mengharapkan
350
adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan metode kualitatif terkait dengan
faktor-faktor yang mendorong dan menghambat implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok, pada 6 (enam) kawasan lainnya di Kota Palembang sehingga
bermanfaat sebagai benchmark bagi Instansi terkait.
Dalam menganalisis suatu implementasi kebijakan tidak hanya dilihat dari
sisi konten kebijakan, konteks implementasi maupun hasil kebijakan seperti yang
diungkapkan Grindle (1980), tetapi juga harus memperhatikan pada faktor-faktor
yang mempengaruhi kepatuhan meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin
dan faktor penguat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, serta
penerapan sanksi ekonomis pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran,
dukungan pegawai maupun masyarakat sehingga implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang dapat optimal.
Pada isi kebijakan, berupa kepentingan yang dipengaruhi, berbagai
kelompok kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih
penting dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat
baik di tingkat nasional dan internasional di banyak negara. Meskipun dalam
proses ini pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan
kurang dapat diprediksi. [Nicholas Mays. (2016)], dalam hal ini implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memuat kepentingan
kelompok sasaran atau target groups dalam isi kebijakannya. Dalam hal ini
Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang
telah mengakomodir berbagai kepentingan yakni Kepentingan Pelaksana
Kebijakan kawasan tanpa rokok, Kepentingan Pemimpin/Pengelola serta
Kepentingan Masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari Perda KTR yang
merupakan bentuk perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok;
351
menciptakan lingkungan yang sehat; serta menertibkan perokok aktif dimana dia
merokok bukan melarang mereka yang merokok. Perda KTR ini telah berupaya
untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki
hak azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok
harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok.
Dari sisi manfaat kebijakan diketahui bahwa dalam implementasi
kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang
positif, antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok di 7 Kawasan Kota
Palembang, sehingga membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara
bersih dari pencemaran asap rokok serta berkurangnya jumlah perokok sehingga
dapat meningkatkan kesehatan pegawai/ masyarakat. Kebijakan kawasan tanpa
rokok sangat mungkin dipolitisasi, antara kepedulian terhadap perokok maupun
dukungan publik dalam menciptakan kawasan tanpa rokok. Mayoritas pelaku
kebijakan berhati-hati untuk merumuskan kebijakan subtanstif pada kawasan
tanpa rokok karena persepsi tentang isu ini sangat kontroversial. Oleh karena itu
perlu adanya komunikasi yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat
sebagai penerima manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok. [Helen Wilson,
GeorgeThomson. (2011)]
Derajat perubahan yang ingin dicapai dalam implementasi kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang antara lain terciptanya 100% kawasan
tanpa asap rokok, tidak ada ruang merokok tertutup serta tidak ada pemaparan
rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan mengizinkan dan
atau membiarkan orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Penerapan
kebijakan kawasan tanpa rokok mungkin memiliki dampak kecil, namun
menguntungkan terhadap upaya pemberhentian keinginan merokok. [Barbara,
352
Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew Christenson, Michael
G. Luxenberg (2012)]. Sehingga kebijakan kawasan tanpa rokok sangat
disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan mayoritas penduduk
berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi beban penyakit dan
biaya kesehatan terkait merokok. [Sara Kalkhoran, Ernesto M Sebrié, Edgardo
Sandoya, and Stanton A. Glantz. (2015)].
Letak pengambilan keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan
tanpa rokok di Kota Palembang, berada pada Dinas Kesehatan Kota Palembang
yang mengawasi serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak
Hukum. Untuk melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok tentu saja harus
dibentuk Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR
(biasanya terdiri dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan atau
Pengelola kawasan, yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan
mereka yang merokok. Pemberian sanksi administratif mungkin termasuk
suspensi atau pembatalan lisensi bisnis dan akan menjadi "upaya terakhir
penerapan sanksi”. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].
Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi
Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, yang terdiri
dari Walikota beserta jajarannya sebagai pengarah serta yang Dinas Kesehatan
Kota Palembang dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota sebagai
pelaksana dengan melibatkan Instansi terkait. Pelaksana kebijakan kawasan
tanpa rokok cukup kompeten dan kapabel dalam pelaksanaan tugasnya yang
telah melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi
dan evaluasi. Sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat
diberikan kepada Pelaksana Kebijakan untuk membantu meningkatkan
353
penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley,
Kaitin, (2013)] serta peningkatan iklim politik di sekitar program [Hill dan Hupe
(2002)].
Sumber daya yang dilibatkan diharapkan memiliki wewenang untuk
melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi, artinya
penting juga agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai
tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain
itu melakukan memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum.
Pemantauan kepatuhan terhadap undang-undang dapat membantu
mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Setelah
diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat
diberikan kepada (Pelaksana Kebijakan KTR) untuk membantu meningkatkan
penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley,
Kaitin, (2013)] Setelah diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan
tambahan dapat diberikan kepada (Pelaksana Kebijakan KTR) untuk membantu
meningkatkan penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia
and Donley, Kaitin, (2013)].
Selanjutnya dari aspek konteks implementasi, ketika strategi
implementasi kebijakan dirancang, pendekatan demokratis harus menjadi pilihan,
begitu keputusan telah disepakati, implementasi menjadi lebih banyak taktik
daripada strategi, sementara taktik bisa berubah menjadi masalah. [Linda
deLeon dan Peter deLeon (2002)]. Sehingga strategi yang dilakukan dalam
implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain Negara dapat
menggunakan beberapa kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi
perokok. Dalam hal ini meningkatkan pajak yang lebih tinggi dalam penerapan
354
kebijakan kawasan tanpa rokok dirasa efektif. [E. Kathleen Adams, Sara
Markowitz, Viji Kannan, Patricia M. Dietz, Van T. Tong, Ann M. Malarcher
(2012)]. Kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab atas
Kawasan Tanpa Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
merokok dilarang dan mengambil langkah-langkah untuk meminta seseorang
berhenti merokok, termasuk kewajiban untuk membuang asbak. termasuk
mencantumkan hukuman atas pelanggaran tugas yang dikenakan meliputi denda
dan/atau pemenjaraan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)]. Penerapan
Kebijakan KTR sebagai dimulai dari kesadaran diri sendiri dan diberlakukan oleh
publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat adalah
sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu, Untuk memfasilitasi
penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO merekomendasikan untuk
menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat digunakan oleh masyarakat
untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada Instansi terkait. [Lambert Patricia
and Donley, Kaitin, (2013)]
Untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaaan
Perda KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green tentang
Perilaku Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat
(reinforcing factor). Pengetahuan tentang kondisi yang mendorong keberhasilan
kebijakan akan sangat penting bagi mereka yang memerlukan informasi untuk
segera memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan mereka
sendiri [Nykiforuk, Candace. (2007)]. Perilaku merokok informan ditempat kerja
karena untuk mencari kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena
355
stress kerja sehingga membuat informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di
lingkungan tempat kerja, kemungkinan besar subjek telah masuk ke tahap bukan
saja dalam perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok.
Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri. Laventhal &
Cleary (dalam Cahyani, 1995) Perbedaan pra-undang-undang di masyarakat
tampaknya mempengaruhi tingkat perubahan perilaku merokok masyarakat.
Konteks budaya dan sosial penting dalam membentuk perilaku merokok dan
menemukan perubahan perilaku merokok di tempat umum [Ritchie, Deborah.
(2010)]. Komunitas kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang
campur tangan industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free
Policy (SFP), sesuai dengan pasal 5.3 perjanjian WHO-FCTC5; dan menuntut
bebas asap 100% tanpa pengecualian atau penundaan [Ravara, S.B., Miranda,
N., Calheiros, J. M. (2014)].
Upaya Berhenti Merokok dilakukan Pemerintah dengan melibatkan
Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter, dan Perokok, dengan
meningkatkan cakupan Medicaid coverage of treatment and expanding coverage
for state employees dengan mengembangkan kampanye media untuk
mendorong penghentian merokok, termasuk manfaat penghentian dalam semua
rencana asuransi yang didanai pemerintah, menciptakan infrastruktur penelitian
untuk meningkatkan tingkat penghentian merokok, mengembangkan agenda
pelatihan dokter, dan menciptakan dana untuk meningkatkan kegiatan
penghentian merokok, dengan mengadopsi kebijakan seperti pajak rokok lebih
tinggi dan hukum yang melarang merokok di tempat kerja dan tempat umum.
kebijakan kawasan tanpa rokok merupakan tanggung jawab bersama seluruh
masyarakat untuk berhenti merokok, termasuk kepemimpinan yang lebih agresif
356
dalam penerapan sanksi pelanggaran kawasan tanpa rokok, serta melalui
advokasi, kesehatan masyarakat, dan organisasi dokter. [Sarah E Gollust,
Steven A. Schroeder and Kenneth E. Warner. (2008)]. Untuk memahami bahwa
kebiasaan merokok adalah ketergantungan kronis yang dapat kambuh maka
dilaksanakan sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat
diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan membahas
penggunaan terapi pengganti nikotin. Pengobatan ketergantungan nikotin adalah
anti rokok yang dilaksanakan oleh Tenaga Profesional Kesehatan dalam
pengaturan klinis secara rutin dan diharapkan untuk memiliki efek langsung yang
lebih besar untuk mengurangi prevalensi merokok daripada pencegahan
merokok. Kami telah mengembangkan materi pendidikan untuk Institusi Medis
dan Profesional Kesehatan di bawah the Osaka Executive Committee of the
Cancer Prevention Campaign (Komite Eksekutif Osaka untuk Kampanye
Pencegahan Kanker), yang bertujuan untuk mempromosikan pengendalian
penggunaan tembakau di Indonesia melalui penyediaan fasilitas medis.
Larangan merokok di Institusi medis, menyediakan lingkungan Rumah Sakit
"lebih bersih, lebih nyaman "dan juga diharapkan bisa meningkatkan motivasi
pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan merokok. Selain itu,
memberikan kepercayaan yang lebih besar pada Medical Programs yang
ditujukan untuk mengobati ketergantungan nikotin. [Masakazu NAKAMURA.
(2004)].
Salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan adalah harapan atau
keinginan orang yang menempati posisi tertentu/memiliki legitimasi kekuasaan
akan mengakibatkan kepatuhan. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi
memiliki peran penting untuk mempengaruhi anggotanya, jika pemimpin
357
mematuhi peraturan maka akan diikuti oleh anggotanya dan sebaliknya jika
pemimpin tidak mematuhi peraturan maka akan diikuti juga oleh anggotanya.
Dengan dukungan atasan untuk mematuhi peraturan area bebas rokok akan
diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi bawahannya, jika
atasan berperilaku positif maka akan diikuti oleh bawahannya dan sebaliknya.
Sears (1994). Dalam hal ini kepatuhan anggota dalam organisasi dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis kekuasaan yang digunakan organisasi untuk
mengarahkan perilaku anggota dan jenis keterlibatan anggota organisasi
tersebut [Lunenburg, Fred C. (2012)]. Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok
yang kecanduan nikotin, nikotin mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila
efek nikotin mulai bekerja, tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi
kimia nikotin ini membuat seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak
tenang saat tidak merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok
setiap saat. Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan
kurangnya langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Peningkatan
kepatuhan di terhadap Kawasan Tanpa Rokok mungkin karena intensifikasi
kegiatan penegakan hukum dan kebijakan tambahan, yang dapat meningkatkan
kesadaran dan dukungan social [Verdonk-Kleinjan, Wendy M.I, Rijswijk, P. C., de
Vries, H., & Knibbe, R. A. (2013)].
Kebijakan kawasan tanpa rokok secara komprehensif lebih efektif
daripada hukum parsial dalam mengurangi paparan asap rokok. Selain itu, setiap
Undang-undang, tanpa memandang ruang lingkupnya harus diberlakukan secara
aktif agar memiliki dampak yang diinginkan. Ada kebutuhan lanjutan untuk
pengawasan upaya bebas rokok [Ward, Mark. (2013)]. Selain itu, Teknik tatap
muka secara langsung lebih efektif daripada kampanye informasi larangan
358
merokok di tempat kerja [Pansu, P., Lima L., Fointiat, V. (2014)]. Temuan
penelitian ini bahwa kepatuhan juga turut mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
kawasan tanpa rokok, menumbuhkan kesadaran, menambah dukungan serta
mengubah pola perilaku pegawai dan masyarakat dalam Penerapan kebijakan
kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.
Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan
meliputi implementasi context, implementation network dan implementation
outcomes. Secara keseluruhan, tiga hubungan interaktif disajikan dalam
implementasi pendekatan jaringan: struktur dan agensi, jaringan dan konteks,
dan jaringan dan hasil. Pendekatan jaringan implementasi juga memberi
kesempatan untuk meletakkan proses implementasi ke dalam siklus kebijakan
untuk menganalisa bagaimana tahapan kebijakan yang lain, seperti pengaturan
agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, mempengaruhi jaringan
implementasi sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para
aktor di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya terhadap
mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi. Selain itu, pendekatan
jaringan implementasi juga mempertimbangkan hubungan interaktif antara
jaringan dan hasil. [Xiong Wei Song, (2018)].
7.4 Implikasi Praktis
Penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang
maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan inspeksi, survei maupun
Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-menerus. Pemanfaatan Media
Televisi untuk mendukung sosialisasi serta menginformasikan kepada
masyarakat tentang Perda KTR; Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan
359
Baliho untuk Kawasan Tanpa Rokok; Penyediaan sticker yang juga
mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat mengenai
pelanggaran Perda KTR; Penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya
berhenti merokok serta melibatkan stakeholder serta masyarakat umum untuk
mengingatkan Perda KTR.
360
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara
Achadi, Anhari. 2005. The relevance and prospects of advancing tobacco control
in Indonesia. Health Policy Journal. 3, June 2005, Pages 333-349 Alexander, Ernest R. 2003. Introducing Current Planning Theories. Concepts and
Issue. Edition, reprint. Publisher, Gordon and Breach Science Publishers, 1986. Original from, the University of Michigan
Anderson, James A. 1975. Public Policy Making: Basic Concept in Political.
Sciences. New York: Praeger University Series Anwar. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Bandung: Refika Aditama. Arikunto, Suharsimi. 2004. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktek.
Bandung: Rineka Cipta Barbara A. Schillo, Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew
Christenson, Michael G. Luxenberg,. 2012. Minnesota's Smokefree Policies: Impact on Cessation Program Participants. American Journal of Preventive Medicine Volume 43, Issue 5, Supplement 3, November 2012, Pages S171-S178
Barnoya, Joaquín., Jose C. Monzon, Paulina Briz, and Ana Navas-Acien. 2016.
Compliance to the smoke-free law in Guatemala 5-years after implementation. BMC Public Health. 2016. 16: 318
Bartholomew, Karla S. 2015. Policy Options to Promote Smokefree Environments
for Children and Adolescents. Current Problems in Pediatric and Adolescent Health Care Vol.45, Issue 6, June 2015, Pages 146-181
Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama Charupash, Rujee. 2014. The Effectiveness of Law Enforce ment: The Notfication
of Minister of Public Health (No.18) B.E.2550 (A.D.2007): Pursuant to The Protection of Non-Smokers Health Act B.E.2535 (1992): A Case Study of Market at Khon Kaen Municipality. Procedia Social and Behavioral Sciences. 116 February 2014, Pages 929-933
360
361
Dunn, William. N. 1994. Public Policy Analysis, Englewood Chief, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
---------. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta:
Gadjahmada Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall Edward III, George C. 1990. Implementing Public Policy. Washington DC:
Congressional Quartely. Press. Gibson, J.L. Ivanicevich, J.M and Donnelly. J. 2000. Organizational Behavior
Structur, Processes. Boston:Orwin Mcgraw-Hill Green, Lawrence W., Marchel W Kreuter. 1999. Health Promoting Planning an
educational and environmental aproach. Second Edition. Mayfield Publishing Company: Mountain View.
Grindle, Marille, S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World.
New York: Princeton Unversity Press. Gollust, E Sarah. Schroeder, A Steven and Warner, Kenneth E. 2008. Helping
Smokers Quit: Understanding the Barriers to Utilization of Smoking Cessation Services. The Milbank Quarterly (A Multidiciplinary Journal of Population Health and Health Policy). 2008 Dec; 86(4): 601–627
Helen Wilson, George Thomson. 2010. Balancing acts’: The politics and
processes of smokefree area policymaking in a small state. Health Policy Volume 101, Issue 1, June 2011, Pages 79-86
Hoogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan (terj.). Jakarta: Erlangga Hogwood, Brian W., dan Lewis A. Gunn. 1984. Policy Analysis for The Real.
World. Oxford: Oxford University Press. Howlett Hulton, L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla C, Getachew
A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. 2014. Using evidence to drive action: A “revolution in accountability” to implement quality care for better maternal and newborn health in Africa. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 3, Issue 1, July 2014, Pages 96-101
Fallin, Amanda., Amie Goodin, Mary Kay Rayens, Sarah Morris, Ellen J. Hahn,
RN, FAAN. 2015. Smoke-Free Policy Implementation: Theoretical and Practical Considerations. Policy, Politics, & Nursing Practice. 2014. Vol. 15 (3–4) 81–92
Islamy, Irfan M. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
362
Isworo, W. I. 1996. Beberapa Pendekatan dalam Analisis dan Implementasi Kebijakan. Jakarta: PT. Rajawali Pers
Jha, S.N. & Mathur, P.C. (Eds.). 1999. Decentraliztion and Local Politics;
Reading in Indian Government and Politics-2. London: Sage Publications. Kathleen, Adams. E, Sara Markowitz, Viji Kannan, Patricia M. Dietz, Van T. Tong,
Ann M. Malarcher. 2012. Reducing Prenatal Smoking: The Role of State Policies. American Journal of Preventive Medicine. Volume 43, Issue 1, July 2012, Pages 34-40
Kelman, HC. 1958. Compliance, identification, and internalization: Three
processes of attitude change. Journal of Conflict Resolution; 2 (1): 51-60. Kemenkes. 2011. Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta:
Pusat Promosi Kesehatan Lambert, Patricia and Donley, Kaitlin. 2013. Best practices in implementation of
Article 8 of the WHO FCTC Case study: Seychelles. National Best Practices series paper N/3 FCTC Who framework convention on Tobacco control. July 2013
Leventhal, H., & Cleary, P. D. 1980. The smoking problem: A review of research
and theory in behavioral risk modification. Psychological Bulletin, 88, 370-405.
Levy and Sarnat. 1994. Capital Investment and Financial Decision. Edition. New
Jersey: Prentice Hall Levy, David T., Tam, Jamie, Kuo, Charlene, Fong, Geoffrey T., Chaloupka,
Frank. 2017. The Impact of Implementing Tobacco Control Policies: The 2017 Tobacco Control Policy Scorecard. Wolters Kluwer Health, Inc. 2018
Lincoln, Yvon Lis and Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills.
Sage Publications Maas, Arthur. 1959. Division of Powers: an Areal Analysis. Area and Power:
a Theory of Local Government. New York: Glencoe, The Free Press Martin, Kimberley., Joanne Dono, Greg Sharplin, Jacqueline Bowden, Caroline
Miller. 2017. Staff and patient perspectives of a smoke-free health services policy in South Australia: A state-wide implementation. Health Policy 121 (2017) 895–902
Mays, Nicholas. 2017. Reference Module in Biomedical Sciences. International
Encyclopedia of Public Health (Second Edition) 2017, Pages 296–303 Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier. 1987. Implementation and Public
Policy. New York: HarperCollins.
363
Meter, Donald S. Van and Carl E Van Horn. 1978. The Policy Implementation Process: A Concep-tual Framework Administration & Society. Sage Publication, Inc.
Miles, Matthew. B., & Huberman, A. Michael. & Saldana Johnny. Qualitative Data
Analysis. A Methods Sourcebook Edition 3. Sage Publications Moleong, Lexy J. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Muthalib, MA & Mohd. Akbar Ali Khan.1982. Theory of Local Government. New
Delhi: Starling Publisher Private Limited Lunenburg, F. C. 2012. Compliance Theory and Organizational
Effectiveness. International journal of scholarly academic intellectual diversity, 14 (1), 1-4.
Nagelhout GE, Willemsen MC, Gebhardt WA, van den Putte B, Hitchman
SC, Crone MR, Fong GT, van der Heiden S, de Vries H. 2012. Does smoke-free legislation and smoking outside bars increase. Health & Place Journal. Volume 18, Issue 6, November 2012, Pages 1436-1440
Nakamura, Robert. T dan Frank Smallwood. 1980. The Politics of Policy
Implementation. New York: St Martin Press Nakamura, Masakazu. 2004. Effective intervention for smoking cessation —
practical guidance for medical facilities including smoking cessation clinics. Department of Health Promotion and Education, Osaka Medical Center for Health Science and Promotion. JMAJ 47(2): 97–104, 2004
Nazar, GP., Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett C. 2014. Association
between being employed in a smoke-free workplace and living in a smoke-free home: Evidence from 15 low and middle income countries. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 111, Issue 2, February 2014, Pages 47-53
Nilsen, Per., Ståhl, Christian., Roback, Kerstin and Cairney., Paul. 2013. Never
the twain shall meet? - a comparison of implementation science and policy implementation research. Implementation Science. BMC Part of Springer Nature 2013. 8: 63
Nilsen, Per. 2015. Making Sense of Implementation Theories, Models and
Frameworks. Implementation Science. BMC Part of Springer Nature 2015. 10: 53
Niven, Neil., 2002. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Notoadmojo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
364
Nykiforuk, C., Campbell, S., Cameron, R., Brown, S., & Eyles, J. 2007. Relationships between community characteristics and municipal smoke-free bylaw status and strength. Health Policy, 80 (2), 358-368
Pansu, P., Lima, L., & Fointiat, V. 2014. When saying no leads to compliance:
The door-in-the-face technique for changing attitudes and behaviors towards smoking at work. Revue Européenne de Psychologie Appliquée/European Review of Applied Psychology, 64(1), 19-27
Pieroni, Luca. 2013. The role of anti-smoking legislation on cigarette and alcohol
consump tion habits in Italy. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 111, Issue 2, July 2013, Pages 116-126
Pfiffner, John M and Presthus, Robert V. 1960. Public Administration. New York:
The Ronald Press Company Prasetya, Hendry Eka., Marom, Aufarul., Subowo, Ari. 2015. Implementasi
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Di Stasiun Tawang Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management Review. Volume 3 No 4, 2014
Rahmat, Afifa Aisha. 2015. Policy Implementation: Process and Problems.
International Journal of Social Science and Humanities Research. 2015. Vol. 3, Issue 3, 306-311)
Randall B. Ripley & Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and
Bureaucracy. The Dorsey Press: Chicago, Illinois Ravara, S. B., Miranda, N., & Calheiros, J. M. 2014. Towards a 100% smoke-free
Portugal: No more delays. Revista portuguesa de pneumologia, 20, 282-283.
Rebecca, Sheets. 2018. Regulatory Policy and Public Health Policy.
Fundamentals of Biologicals Regulation Vaccines and Biotechnology Medicine 2018, Pages 365–373
Ritchie, D., Amos, A., & Martin, C. 2010. Public places after smoke-free—a
qualitative exploration of the changes in smoking behaviour. Health & Place, 16 (3), 461-469.
Saefullah, H.A.Djadja. 2007. Pemikiran Kontreporer Administrasi Publik,
Prespektif Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Era Desentralisasi. Bandung: LP3AN FISIP UNPAD.
Sagala. Syaiful 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Santoso, Tri Wibowo Budi Penerjemah. 1988. Kebijaksanaan Negara:
Konsistensi dan Implementasi. Jakarta: Gramedia
365
Sara, Kalkhoran, Ernesto M Sebrié, Edgardo Sandoya, and Stanton A. Glantz. 2015. Effect of Uruguay’s National 100% Smokefree Law on Emergency Visits for Bronchospasm. American Journal of Preventive Medicine. Volume 49, Issue 1, July 2015, Pages 85-88
Sebrie, Ernesto M.,VerónicaSchoj, Stanton A.Glantz. 2008. Smoke free environ
ments in Latin America:on the road to real change?. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 3, Issue 1, January 2008, Pages 21-35
Seidel, Sarah E. Kristi Metzger, Andrea Guerra, Jessie Patton-Levine,
Sandeepkumar Singh, William T. Wilson, Philip Huang. 2017. Effects of a Tobacco-Free Work Site Policy on Employee Tobacco Attitudes and Behaviors, Travis County, Texas, 2010–2012. Preventing Chronic Disease. Public Health Research, Practice and Policy. 2017. Vol 14 E.133
Shirres, Georgina. 1996.Successful Implementation of a No-Smoking Policy.
Collegian The Australian Journal of Nursing Practice, Scholarship & Research. Sciencedirect. Volume 3, Issue 4, 1996, Pages 30-38
Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Jakarta Soenarko, 1998. Public Policy, Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa
Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: CV. Papyrus. Strehlenert, H., L. Richter-Sundberg, M. E. Nyström, and H. Hasson (2015):
Evidence-Informed Policy Formulation and Implementation: a Comparative Case Study of Two National Policies for Improving Health and Social Care in Sweden. Implementation Science. 2015, 10:169
Subarsono. 2005. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta Suharno. 2010. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta:UNY Press Suwitri, Sri. 2008. Konsep Dasar Kebijakan Publik. Semarang: Universitas
Diponegoro Semarang. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung Puslit
KP2W Lemlit Unpad Tangkilisan. 2003. Kebijakan. Jakarta: Media Pesada. Thomson, George. 2013. Informing outdoor smokefree policy: Methods for
measuring the proportion of people smoking in outdoor public areas. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 11, Issue 6, March 2013, Pages 19-24
366
Thrasher, James F., Erika Nayeli Abad-Vivero, Ernesto M. Sebrie, Tonatiuh Barrientos-Gutierrez, Marcelo Boado, Hua Hie Yong, Edna Arillo-Santillan and Eduardo Bianco. 2010. Perceived justice and popular support for public health laws: A case study around comprehensive smoke-free legislation in Mexico City. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 70, Issue 5, March 2010, Pages 78-93
Verdonk-Kleinjan, W. M., Rijswijk, P. C., de Vries, H., & Knibbe, R. A. 2013.
Compliance with the workplace-smoking ban in the Netherlands. Health Policy, 109(2), 200-206.
Ward, M., Currie, L. M., Kabir, Z., & Clancy, L. 2013. The efficacy of different
models of smoke-free laws in reducing exposure to second-hand smoke: a multi-country comparison. Health Policy, 110(2), 207-213.
Walsh, Kieron, Steve Leach and John Stewart. 1994. The Changing Organisation
and Management of Local Government. London: MacMillan Press Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: PT Raja
Grafindo Persada Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori & Proses. Yogyakarta: Media
Pressindo Ye, Xiaohua., Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya Xu, Shudong Zhou,
Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, 2015. Smoking behaviors before and after implementation of a smoke-free legislation in Guangzhou, China. BMC Public Health (2015) 15: 982
Zheng, Z. L., H. Y. Deng, C. P. Wu, W. L. Lam, W. S. Kuok, W. J. Liang, H. L.
Wang. 2017. Secondhand smoke exposure of children at home and prevalence of parental smoking following implementa tion of the new tobacco control law in Macao. Public Health. 2017. 144. 57-63
Peraturan Perundangan: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Kawasan Tanpa Rokok
367
Instruksi Walikota Palembang No. 3 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok
Surat Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah/Surat
Fatwa Haram No. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok
Pustaka Elektronik: http://indonews.org/asap-rokok-telah-mengepung-kita/diakses tanggal 2 Januari,
2015 http://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/31/10-negara-jumlah perokok-
terbesar-di-dunia/ diakses tanggal 2 Januari, 2015 http://ubalinwebblog.blogspot.com/2012/04/bahaya-merokok-bagi-kesehatan diri.html, diakses tanggal 2 Januari 2015 http://eprints.upnjatim. ac.id/1486/1/File_1.pdf diakses tanggal 2 Januari 2015 Daniel Adetoritse Tonwe. 2011. Conceptualizing Local Government from a Multi-
Dimensional Perspective tp://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/ ht123456789/5878/BAB%20II%20(REVISI%20PROPOSAL_2012_oke).pdf?sequence=4 diakses tanggal 5 September 2015
368
WAWANCARA TERTULIS UNTUK PELAKSANA/PEMBINA KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NO. 7 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK
DI INSTANSI PEMERINTAHAN KOTA PALEMBANG
(Dalam Rangka Studi Penelitian)
Identitas Peneliti: Nama Peneliti : ATRIKA IRIANI NIM : 20102511016 Program studi : Program Doktor Ilmu Administrasi FIA
Brawijaya Malang Judul Penelitian : Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(Studi Terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)
Identitas Informan:
Nama : …………………………………………………............................. Pendidikan : …………………………………………………............................. Jabatan/Bidang : ………………………………………………................................. Tanggal Pengisian :…………………………………………………..............................
Petunjuk:
1. Isilah terlebih dahulu identitas Anda pada identitas informan di atas. 2. Pertanyaan pada wawancara ini hanya akan digunakan untuk kepentingan studi.
Jawaban Anda akan sangat besar manfaatnya bagi keakuratan data dalam penelitian ini. Oleh karena itu, mohon Anda dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jelas, rinci dan sejujurnya atau sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
3. Satukan lembar jawaban Anda dengan lembar soal. 4. Terima kasih atas kejasamanya.
369
PERTANYAAN
A. Konteks Isi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang:
1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7
tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Tolong jelaskan!
2. Apa tujuan dan sasaran Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
3. Apa saja manfaat/dampak yang diharapkan tercapai dari pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang, baik manfaat jangka pendek/menengah/panjang, langsung maupun tak langsung?
4. Siapa saja pelaku kebijakan yang terlibat dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang (baik subjek/pelaksana atau objek/ penerima kebijakan)?
5. Apa saja hak dan kewajiban masing-masing pelaku kebijakan tersebut di atas? 6. Apa saja kompetensi atau kualifikasi yang harus dimiliki/dijalani oleh organisasi
pelaksana Kebijakan Kenaikan Subsidi Pupuk dalam upaya peningkatan produksi padi?
7. Apa saja tugas dan tanggung jawab yang harus dijalani oleh unsur-unsur organisasi pelaksana program tersebut di atas?
8. Indikator apa yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Tolong jelaskan!
9. Tolong jelaskan ketentuan proses pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang dimulai dari dari tahap teknis hingga tahap regulasi!
10. Apa saja sumber daya (fisik dan nonfisik) yang dilibatkan/diperlukan untuk keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Jelaskan!
11. Bagaimana ketersediaan sumber daya-sumber daya yang diperlukan tersebut?
370
B. Konteks Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang:
1. Apa dan bagaimana strategi yang dipakai untuk keberhasilan pelaksanaan
Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
2. Bagaimana hasil/dampak penerapan strategi tersebut terhadap implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
3. Bagaimana para pelaku kebijakan (pemerintah, organisasi pelaksana program, dan para petani tersebut) menjalankan fungsi dan perannya dalam Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Apakah telah maksimal? Tolong Jelaskan!
4. Apakah proses pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang (dari tahap teknis hingga tahap regulasi) telah berjalan efektif atau sesuai ketentuan? Tolong jelaskan bagaimana proses tersebut!
5. Bagaimana tingkat pencapaian indikator pengukur keberhasilan implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Tolong jelaskan (jika perlu ada data yang mendukung)!
6. Bagaimana kepatuhan pegawai maupun masyarakat dalam pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, meliputi:
(a) Faktor Predisposisi, antara lain: (1) Pengetahuan (2) Sikap (3) Komitmen (4) Perilaku
(b) Faktor Pemungkin, berupa penyediaan fasilitas (c) Faktor Penguat, antara lain:
(1) Himbauan Organisasi (2) Pengawasan Internal (3) Penerapan Sanksi
7. Apa saja kendala/permasalahan yang dihadapi dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
371
C. Hasil/Dampak Pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang:
1. Bagaimana penerimaan dan dukungan/partisipasi para pegawai dan masyarakat
terhadap Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
2. Bagaimana dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang dalam upaya peningkatan perilaku sehat pegawai?
3. Bagaimana dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang bagi kesehatan masyarakat?
4. Bagaimana dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang terhadap perubahan perilaku masyarakat?
5. Hal apa saja yang perlu dibenahi atau diperbaiki sehubungan dengan implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?
1
PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG
NOMOR 07 TAHUN 2009
TENTANG
KAWASAN TANPA ROKOK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PALEMBANG,
Menimbang: a. bahwa dalam upaya preventif guna memberikan perlindungan kesehatan bagimasyarakat perokok dan bukan perokok, karena asap rokok merupakan salah satuzat adiktif yang dapat membahayakan kesehatan manusia baik selaku perokokaktif maupun perokok pasif, perlu adanya pengaturan mengenai kawasan tanparokok ;
b. bahwa sehubungan dengan huruf a, sejalan dengan ketentuan Pasal 140 danPasal 141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,melalui hak inisiatifnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palembang telahmenyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok ;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b,perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Mengingat: 1.
2.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat IIdan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara RI Tahun 1959 Nomor 73,Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1821);Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RITahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3495);
3.
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LembaranNegara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RINomor 3821);
5.
6.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (lembaranNegara RI Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor4235);Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, TambahanLembaran Negara RI Nomor 4389);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437)sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 59, TambahanLembaran Negara RI Nomor 4844);
8.
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum AcaraPidana (Lembaran Negara RI Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran NegaraRI Nomor 3258);Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagiKesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 36, Tambahan LembaranNegara RI Nomor 4276 );
10.
11.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian UrusanPemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, danPemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 );Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 tentang Ketentramandan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2002 Nomor 76)sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 13Tahun 2007 tentang Ketentraman dan Ketertiban (Lembaran Daerah KotaPalembang Tahun 2007 Nomor 13);
2
12.
13.
14.
15.
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pembinaan danPedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah KotaPalembang Tahun 2004 Nomor 31);Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan,Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang(Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2006 Nomor 6);Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2008 tentang UrusanPemerintahan Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2008Nomor 6);Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan,Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Palembang (LembaranDaerah Kota Palembang Tahun 2008 Nomor 9).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG
dan
WALIKOTA PALEMBANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Palembang2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Palembang3. Walikota adalah Walikota Palembang4. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesieslainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahantambahan.
5. Merokok adalah kegiatan membakar dan atau mengisap rokok.6. Kawasan Tanpa Asap Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang
untuk kegiatan merokok.7. Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan dilarang untuk
merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok.8. Paparan asap rokok adalah asap yang keluar dari rokok yang menyala atau dari
produk tembakau lain yang biasanya dengan kombinasi asap rokok yangdihembuskan oleh perokok.
9. Perokok Pasif adalah orang yang bukan perokok namun terpaksa menghisap asaprokok yang dikeluarkan oleh perokok.
10. Tempat Tertutup adalah tempat atau ruang yang ditutup oleh atap dan atau dibatasioleh satu dinding dan atau lebih terlepas dari material yang digunakan dan strukturpermanen atau sementara.
11. Tempat Umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta atauperorangan berupa ruang tertutup yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakattermasuk tempat umum milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota,Gedung Perkantoran Umum, Tempat Pelayanan Umum antara lain terminal,termasuk terminal bus, bandara, stasiun kereta api, mall, pusat perbelanjaan, hotel,restoran dan sejenisnya.
3
12. Tempat Kerja adalah ruang tertutup bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerjabekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumberbahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dansejenisnya.
13. Kawasan Proses Belajar Mengajar adalah tempat yang dimanfaatkan untuk kegiatanbelajar dan mengajar atau pendidikan dan pelatihan.
14. Tempat Pelayanan Kesehatan adalah tempat tertutup yang digunakan untukmenyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakatseperti rumah sakit, Puskesmas, tempat praktik dokter, tempat praktik bidan, tokoobat/apotek, laboratorium dan tempat kesehatan lainnya antara lain balai pengobatan,rumah bersalin, balai kesehatan ibu dan anak.
15. Arena Kegiatan Anak-anak adalah tempat atau arena tertutup yang diperuntukanuntuk kegiatan anak-anak, seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak,arena bermain anak-anak dan sejenisnya.
16. Tempat Ibadah adalah bangunan atau tempat tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentuyang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agamasecara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.
17. Angkutan Umum adalah alat angkutan bagi masyarakat berupa kendaraan darat, airdan udara yang merupakan ruang tertutup termasuk didalamnya taksi, bus umum,angkutan kota dan sejenisnya.
18. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah peluang untuk memilih tempat/sarana yangdinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok yang dilaksanakan secara bertahap disertaipenetapan waktu mulai berlakunya.
BAB IIAZAS, TUJUAN DAN PRINSIP
Bagian KesatuAzas
Pasal 2
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok berazaskan:
a. keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungan ;b. kemanfaatan umum ;c. keterpaduan dan keserasian ;d. keadilan ; dane. transparansi dan akuntabilitas.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok orang lain ;b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat ; danc. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik
langsung maupun tidak langsung.
Bagian Ketiga
Prinsip
Pasal 4
Prinsip Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah:
a. 100 % kawasan tanpa asap rokok.b. Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup.c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan
mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan tanpa rokok adalahbertentangan dengan hukum.
4
BAB IIIHAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5
Setiap orang berhak atas udara bersih dan menikmati udara yang bebas dari asap rokok,dan berhak atas informasi dan edukasi yang benar mengenai rokok atau merokok danbahayanya untuk kesehatan.
Pasal 6
Setiap orang wajib memelihara lingkungan yang bersih dan sehat yang bebas dari asaprokok di ruang atau area yang dinyatakan kawasan tanpa rokok.
Pasal 7
(1) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab wajib bertanggungjawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab sebagaimanadimaksud pada ayat (1), wajib untuk melakukan pengawasan internal atasterselenggaranya Kawasan Tanpa Rokok.
(3) Tanggung jawab Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawabsebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
a. melarang adanya tempat untuk merokok di dalam gedung dan penyediaan rokok,termasuk menjual/mengiklankan atau mempromosikan rokok ;
b. mengingatkan semua orang untuk tidak merokok di Kawasan Tanpa Rokok yangmenjadi tanggung jawabnya ;
c. melarang adanya asbak di Kawasan Tanpa Rokok ;d. meletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama dan di
tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca.
BAB IVKAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 8
(1) Pemerintah Kota menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayah pemerintahannya.
(2) Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. tempat umum;b. tempat kerja;c. tempat ibadah ;d. arena kegiatan anak-anak;e. angkutan umum;f. kawasan proses belajar mengajar; dang. tempat pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai tempat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf ayang memiliki izin usaha untuk menjual, wajib untuk melaksanakan KawasanTanpa Rokok.
BAB VLARANGAN-LARANGAN
Pasal 9
Setiap orang dilarang merokok di Kawasan Tanpa Rokok dan ditempat-tempat umumlainnya yang dianggap perlu oleh Pemerintah Kota.
5
Pasal 10
Setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab Kawasan yangtelah ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok, wajib melarang orang merokok diKawasan Tanpa Rokok.
BAB VIPEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Bagian KesatuPembinaan
Pasal 11
(1) Walikota melakukan pembinaan umum atas :
a. Perlindungan terhadap warga masyarakat dari bahaya rokok.b. Terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penyebarluasan informasi dan sosialisasi melalui media cetak dan elektronik ;b. koordinasi dengan seluruh Instansi, elemen organisasi masyarakat, kalangan
pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama ;c. memotivasi dan membangun partisipasi, prakarsa masyarakat untuk hidup sehat
tanpa asap rokok dengan melakukan kampanye Kawasan Tanpa Asap Rokok danKawasan Tanpa Rokok ;
d. merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan masyarakatdari paparan asap rokok ; dan
e. bekerja sama dengan badan-badan atau lembaga-lembaga nasional maupunInternasional dalam upaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok.
Bagian KeduaPengawasan
Pasal 12
(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap Rokok danKawasan Tanpa Rokok.
(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Kesehatan KotaPalembang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.
(3) Ketentuan teknis pelaksanaan pengawasan kawasan tanpa asap rokok dan kawasantanpa rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Walikota.
Pasal 13
(1) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik, pengelola danpenanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk mengefektifkan tempat-tempatyang dimiliki atau dikelolanya benar-benar bebas dari asap rokok.
(2) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa Rokok baiksiang maupun malam atau selama jam kerja untuk melakukan inspeksi atausupervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini.
6
BAB VIIPERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 14
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperanserta dalam terbentuk dan terwujudnyaKawasan Tanpa Rokok.
Pasal 15
Peranserta masyarakat dapat dilakukan secara :
a. perorangan ;b. kelompok ;c. badan hukum ;d. badan usaha ;e. lembaga ; danf. organisasi.
Pasal 16
Peranserta masyarakat diarahkan untuk :
a. menggunakan hak azasinya agar terlindungi dari paparan asap rokok orang lain ;b. ikut memfasilitasi dan membantu Instansi yang berwenang atau pengawas dalam
mengawasi terlaksananya Kawasan Tanpa Rokok.
Pasal 17
Peranserta masyarakat dilaksanakan melalui :
a. saran, pendapat dan pemikiran, usulan dan pertimbangan berkenaan denganpemantauan dan pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ;
b. keikutsertaan dalam pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasaninformasi kepada masyarakat mengenai Kawasan Tanpa Rokok ;
c. mengingatkan atau menegur perokok untuk tidak merokok di Kawasan TanpaRokok ;
d. memberitahu pemilik, pengelola dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok jikaterjadi pelanggaran ;
e. melaporkan kepada Instansi berwenang jika terjadi pelanggaran.
Pasal 18
Pemerintah Kota bertanggungjawab menyebarluaskan informasi yang berkenaan denganketerlibatan masyarakat dalam terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok.
BAB VIIISANKSI ADMINISTRATIF DAN DENDA
Pasal 19
Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung Jawab, apabila tidakmelarang adanya tempat untuk merokok di dalam gedung dan/atau penyediaan rokoksebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi admnistratifdan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
7
Pasal 20
Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung Jawab, yang tidakmelarang adanya asbak di Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi administratif dan/atau denda paling banyak sebesarRp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 21
Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung Jawab, yang tidakmeletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7ayat (3) huruf d, dikenakan sanksi administratif dan/atau denda paling banyak sebesarRp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 22
Setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab, yang telahditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok dan tidak melarang orang merokok diKawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksiadministratif dan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus riburupiah).
Pasal 23
Setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab yang telahmelakukan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, dikenakan sanksiadministratif berupa pencabutan izin usaha dan penutupan tempat usahanya.
Pasal 24
Pengawas atau Petugas yang berwenang tidak mengawasi Kawasan Tanpa Rokoksebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dikenakan sanksi administratif dibidangkepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
Mekanisme dan pelaksanaan penetapan sanksi administratif dan/atau dendadilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 danPasal 28.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 26
(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh penyidiksebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Selain Penyidik Umum, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pemerintah Kotadiberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan atas pelangaran PeraturanDaerah ini.
8
(3) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukum tidak mengatur secara tegaskewenangan yang diberikannya, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalammelaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berwenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari orang atau badan hukum tentang adanyadugaan tindak pidana terhadap kawasan tanpa rokok ;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan pada saat itu ditempat kejadian;c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;d. melakukan penyitaan benda atau surat ;e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;h. mengadakan penghetian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik
bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakpidana dan selanjutnya penyidik memberitahukan hal tersebut kepada PenuntutUmum, tersangka atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus memberitahukandimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada PenuntutUmum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentangHukum Acara Pidana.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 27
(1) Pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah ini, diancam dengan hukum pidanakurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelanggaran.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini, setiapPemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab Kawasan Tanpa Rokok,harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 29
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala ketentuan yang bertentangandengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tidak berlaku.
9
Pasal 30
(1) Dinas Kesehatan Kota Palembang adalah Instansi teknis pelaksana pengawasankawasan tanpa rokok sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, berkoordinasidengan Instansi terkait.
(2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang adalah Instansi teknis yang diberikankewenangan untuk menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa rokok sesuaidengan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan perundang-undangan yangberlaku.
(3) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini,sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih lanjut oleh Walikota.
Pasal 31
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerahini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Palembang.
Ditetapkan di Palembangpada tanggal 2009
WALIKOTA PALEMBANG,
H. EDDY SANTANA PUTRA
Top Related