PERNY ATAAN KEASLIAN PENELITIAN
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
PASCASAR.JANA UNIVERSITAS.JAYABAYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
I. Karya tulis disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik Magister atau Doktor, baik di Universitas Jayabaya maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor dan para penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang Ielah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya berscdia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.
Jakarta, Februari 2017
Y~.nq membuat pemyataan
iv
Judul
Kata Kunci
ABSTRAK
Mediasi Penal dalam Sislem Peradilan Pidana Anak
Di Indonesia
: Mediasi Penal, Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak memiliki peran strategis sebagai penerus cita-<:ita dan perjuangan masa depan bangsa, sehingga wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana juga Ielah diamanatkan dalam konstitusi. Komitmen perlindungan lerhadap anak Ielah diatur dalam Undang-Undang No, II Tahun 2012 Tahun tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mewajibkan diversi dalam setiap tahapan dengan syaral pelaku diancam dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan pengulangan, Namun, terdapat kekosongan hukum karena UU SPPA belum mengakomodir Anak pelaku yang diancam hukuman 7 tahun atau keatas. Padahal idealnya perlindungan anak berhadapan dengan hukum (ABH)melalui pendekatan keadilan restoratif haruslah diberikan kepada seluruh ABH. Begitupula terhadap korban Anak yang belum terlindungi hakuya dalam perkara Anak pelaku yang berumur 12 sampai dengan 14 tahun hanya dapal dijatuhi pulusan berupa tindakan.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dan bagaimana pengaturan proses mediasi pecal dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori keadilan sebagai grand theoryuntuk mengkaji konsep keadilan yang menekankan pada keseimbangan bagi seluruh pihak, teori tujuan pemidanaan sebagai middle range theoryuntuk menjelaskan pergeseran paradigma dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif, dan mediasi penal sebagai applied theoryuntuk menjadi referensi dalam menemukan konsep dan pengaturan mengenai model dan proses mediasi penal yang paling ideal untuk diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis nonnatif.
Dari hasH penelitian dapat diperoleh kesimpulan,pada perspektif filosofiseksistensi mediasi penal mengandung nilai keadilan dan pada perspektif sosiologis mengandung nilai kemanfaatan. Eksistensi mediasi penal merupakan pengejawatan keadilan restoratif sama dengan upaya diversi yang telah diatur secara nonnalif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengandung asas keseimbangan (win·win so/ulion). Mediasi penal penting diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak karena mediasi penal memberikan ruang untuk bermusyawarah atau berundingbagi anak yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam hukuman 7 (tujuh) tahun alan keatas. Mediasi penal juga dapat memberikan ruang untuk bermusyawarah/ berunding bagi korban dan masyarakal dengan pelaku anak yang berumur 12 sampai dengan dibawah 14 tahun yang hanya dapal dijatuhi putusan berupa lindakan.Model mediasi penal yang paling ideal dilerapkan di Indonesia adalah kombinasi model Victim Offender Mediation dan model Family and Community Conference. Dengan tujuan mencari solusi yang dapat memulihkan pelaku, korban, serta masyarakal secara seimbang dengan mengutamakan pendekatan keadilanresloratifProses mediasi penal yang akan diatur dalam hukum acara Sistem Peradi!an Pidana Anak dapal dilakukan dari tahap penyidikan, penuntutan,dan persidangan. Proses mediasi diawali dengan pembukaan oleh mediator, tahap pembahasan permasalahan, dan tahap akhir menyusun kesepakatan mediasi. Hasil kesepakatan mediasi dijadikan pertimbangan dalam tuntutan Pemmtut Umum dan putusan Hakim berupa tind.akan.
v
ABSTRACT
Title Penal Mediation in Juvenile Justice System in Indonesia.
Keywords Penal mediaJion,juveni/e justice system.
As the successor of ideals for the nation future, child have a strategic role, making it mandatory to obtain protection from violence and discrimination as well as mandated in the constitution. Commitment to child protection has been regulated in Law No. JJ of 2012 on Juvenile Justice Systems were obliging diversion in every stage on condition that the perpetrator threatened with punishment below 7 years and not a repetition. However, there is a legal void because the Act of JIIVenile Justice Systems do not accommodate a child offender is punishable by
se:ven years or more. Though ideally the child protection dealing with law through a restorative
justice approach should be given to all children were dealing with law. Similarly, to the child
victims who have not protected their rights in the case of child offenders aged 12 to /4 years can
only be sentenced to a verdict in the form of actiom.
In this study, researchers used the theory of justice as a grand theory to reviewing the
concept ofjustice that emphasizes the balance for all parties, the theory of objective of sentencing as a middle range theory to explain the paradigm shift away from the retributive justice to the restorative justice and mediation penal as applied range theory to be a reference in finding
concepts and arrangemenls regarding models, as well as the penal mediation process is most ideal to be applied in the juvenile justice system. The method used in this research is normative
juridical.
The conclusion of this study, in the philosophical perspective that existence of penal mediation to conJoin values of justice and the sociological perspective contain values of
expediency. The existence of penal mediation is the personification of restorative justice equal to diversion efforts that have been regulated normatively in juvenile justice system which contains the
principle of balance (win-win solutions). Penal mediation is importanl to be implemented in the juvenile justice system because the penal mediation can provide space for deliberation or
negotiate for the child who is suspected committing a criminal act which carries a penalty of 7 (seven) years or over. Penal mediation could also provide space for deliberation/negotiate for the
victims and society by child offenders· aged 12 to under 14 years thaJ can only he sentenced to a
verdict in the form of action. Penal media/ion modelthaJ the most ideal applied in Indonesia is the
combination of models that is victim a/fonder mediation and the family and community conftrence.
With the aim of finding a solution that can recover the perpetrators, victims. and communities
equally with emphasis on restorative justice approach Penal mediation process to be set in the procedural law of juvenile justice system can be done from the stage of investigation, prosecution
and .trial. The mediation process begins with the opening by a mediator, the discussion stage of
problems. and the final stages of compose the mediation agreement. The results of the mediation
agreement taken into consideration in the demands of Public Prosecutions and the Judge's verdict in the form of oction.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan hidayah dan karunia-NY A hingga penulisan disertasi ini dapat
diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Doktor llmu Hukum Pascasatjana Universitas Jayabaya Jakarta.
Penyelesaian disertasi ini terlaksana dengan jasa-jasa baik dari semua pihak
yang membantu Penu!is dalam menyelesaikan studi doktoral ini dan sudah
sepatutnya Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
yang Penulis persembahkan kepada :
I. Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Jayabaya Jakarta;
2. Yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. H. Amir Santoso, M.Soc., selaku
Rektor Universitas Jayabaya Jakarta;
3. Yang terhormat dan amat terpelajar Letnan Jendral TN! (Pum) Prof. Dr. H.
Syarifudin Tippe, S.IP., M.Si, selaku Direktur Program Pascasatjana
Universitas Jayabaya Jakarta;
4. Yang terhormat dan amat terpel~ar Prof. Dr. JH. Sinaulan, S.H., M.Ag., M.Sc
selaku Ketua Program Doktor lhnu Hukum Pascasatjana Universitas Jayabaya
Jakarta;
5. Yang terhormat dan amat terpelajar, Prof. Dr. Suryajaya, SH. MH, selaku
Promotor, yang dengan keahlian Beliau telah banyak memberikan motivasi,
membantu, memperhatikan, dan meluangkan waktu untuk mengarahkan
Penulis;
iv
6. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H, selaku Co
Promotor I yang dengan keikhlasannya telah mengarahakan materi dan
metode analisis dalam penelitian ini sehingga dapat mencapai sasaran yang
ingin dimunculkan dalam penelitian ini;
7. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Yanto, S.H., M.H, selaku Co-Promotor 2,
yang telah banyak memberikan masukan secara substansial dalam disertasi ini;
8. Yang terhonnat dan terpelajarProf. Dr. H.R.T. Sri Soemantri M., S.H. (Aim),
selaku Penguji materi disertasi yang telah banyak memberikan masukan secara
substansial dalam disertasi ini;
9. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Ramlani Lina S., S.H., M.M. selaku
Penguji materi disertasi yang telah banyak memberikan masukan secara
substansial dalam disertasi ini;
10. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Ismail Rumadan., S.H., M.H. selaku
Penguji materi disertasi yang telah banyak memberikan masukan secara
substansial dalam disertasi ini;
II. Yang terhonnat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bpk. Prof. Dr.
Hatta Ali, S.H.M.H., yang telah memberikan izin pada penulis untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
12. Seluruh Stafpengajar Program Doktor Ilmu Hukum dan juga Stafadministrasi
Pascasarjana Universitas Jayabaya;
13. Kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Fatimah Hanum (Almh) dan R.
Wahyu Supangkatserta mertua tercinta Hasan Bin Pungut (Aim) dan
Nurbayaniyang telah memotivasi, mendukung, dan mendoakan Penulis;
v
14. Kepada Suami tercinta, Hazuardi, SEdan anak-anak tersayang, Suhadi Putra
Wijaya, SH, MH beserta Istri Drg. Arifa Pediarahma, Ayu Widya Suharti,
SH., M.Kn beserta suami Mohammad Irmansyah, SH, M. Reza Winata, SH
Wena Dinanti, SH beserta suami Rifki Pradipta Fajri, SH serta Tri Pujiati, SH
semoga menjadi pemacu semangat ananda semua untuk terns menuntut ilmu;
15. Kepada Sahabat Penulis, Artha Theresia Silalahi, SH., MH, Dr. Abdullah,
SH., MH, Dr. Multiningdyah Elly Mariani, SH., M.Hum, Dr. Fatahillah A.
Syukur, SH., LLM, Dr. Jonlar Purba, SH., MH, Dr. Hasbi Hasan, MA dan
Putri Kusuma Amanda, SH., MH yang tak hentinya telah memberikan
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan penelitian ini;
16. Seluruh rekan-rekan satu angkatan Program Doktor Ilmu Hukurn Universitas
Jayabaya Jakarta;
Dari segi substansi disertasi ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini
dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan yang Penulis miliki, dan untuk itu
Penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran untuk perbaikan
selanjutnya.
Akhirnya Penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan pendidikan hukum pada umumnya dan sistem peradilan pidana
anak khususnya.
Jakarta, Februari 2017
Penulis
DIAH SULASTRI DEWI
vi
DAFI'ARISI
HALAMAN COVER ................................................................................. .
LEMBAR PERSETUJUAN KETUA PROGRAM .................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR ................................................ iii
PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iv
ABSTRAKS ................................................................................................ v
ABSTRACT................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ....................................................... ,........................ vn
DAIT AR lSI ... ..... ........................... .. ......... ..... .. ..... .... ............ .... ........... ...... X
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ..................................................................... .
B. Rumusan Masalah.................................................................. 29
C. Tujuan Penelitian ....... ............................................................ 29
D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 29
E. Kerangka Pemikiran........ .......... ... .. ... . . ........ .. . .. . .. .... .. . .. .. ..... ... 30
F. Metode Penelitian .................................................................. 39
Bab II Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
X
A. Teori Keadilan .................................. .......... ... ....................... 44
B. Teori Tujuan Pemidanaan ...................................................... 51
C. Teori Mediasi Penal............................................................... 61
D. Pengertian Keadilan Restoratif.......................... ..................... 67
E. Pengertian, Kedudukan, Hak, dan Kewaj iban Anak .. . . . . . . .. . . . .. 91
H. Pengertian Mediasi Penal....................................................... 109
BAB III Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
A. Mediasi Penal dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak ............................................... 142
B. Perbandingan Penerapan Mediasi Penal di Negara Lain......... 189
C. Perbandingan Mediasi dengan Diversi dalam Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak .................................. 207
D. Implementasi Mediasi Penal dalam Beberapa Putusan
Perkara Pidana Anak.............................................................. 218
BAB IV Konsep dan Pengaturan Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan
PidanaAnak
A. Konsep Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia..................................................... 245
B. Pengaturan Proses Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan
Pi dana Anak di Indonesia............................................. 288
xi
dflGIH lVAV it\I~ W.LNO
V)NlSfid W.LNO
O££ ····················································································· ~m.rns ·a
6Z£ ························································ ····················UllJndUf!S:l)J ·v
GLOSSARY
ABH = Anak Bennasalah dengan Hukum
ADR = Alternative Dispute Resolution
AS = Amerika Serikat
BPHN = Badan Pembinaan Hukum Nasional
CCM = Crime Control Model
DPM = Due Process Model
DPR = Dewan Perwakilan Rakyat
Drt = Darurat
EU = Europe Union
FHUI = Fakultas Hukum Universitas Indonesia
FH UNAIR = Fakultas Hukum Universitas Air Langga
FH UNDIP = Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
GST = General System Theory
HAM = Hak Asasi Manusia
HIR = Herziene Indonesiche Reglement
ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights
JPU = Jaksa Penuntut Umum
KAPOLRI = Kepala Polisi Republik Indonesia
KUHAP = Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
KUHP = Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHPerd = Kitab Undang-undang Hukum Perdata
LAP AS = Lembaga Pemasyarakat
xiii
LN = Lembara Negara
LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
MA = Mahkamah Agung
MH = Magister Hukum
PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa
PERMA = Peraturan Mahkamah Agung
PKBAPAS = Pendamping Kemasyarakatan Badan Pemasyarakatan
PN = Pengadilan Negeri
PNS = Pegawai Negeri Sipil
POLRJ = Polisi Republik Indonesia
pp = Peraturan Pemerintah
PPNS = Penyidik Pegawai Negeri Sipil
PT = Pengadilan Tinggi
PU = Penuntut Umum
RBG = Rechts Reglement Voor De Buiten Gewesten
Rl = Republik Indonesia
RJS = Republik Indonesia Serikat
RKUHAP = Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
RKUHP = Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
SEMA UI = Senat Mahasiswa Universitas Indonesia
SEMA = Surat Edaran Mahkamah Agung
SPPA = Sistem Peradilan Pi dana Anak
SPP = Sistem Peradilan Pidana
SP3 = Surat Penghentian Penyidikan
xiv
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dilahirkan ke
muka bumi dalam keadaan yang suci dan bersih secara lahir maupun batin.
Anak tersebut kemudian tumbuh menjadi baik atau tidak, bukan hanya atas
dasar kemauan diri sendiri, namun juga dipengaruhi lingkungan dim ana anak
tersebut dibesarkan. Bahkan anak yang baru lahir digambarkan oleh John
Locke, sebagai sehelai kertas putih belum bertulis.1Kertas tersebut dapat
ditulis sesuai dengan kehendak penulisnya.William Stem berpendapat bahwa
pembawaan dan lingkungan sama pentingnya karena kedua-duanya sama
berpengaruh terhadap pertumbuhan karakter anak.Z Oleh karena itu,
pembentukan tingkah laku dan kepribadian seseorang anak merupakan hasil
perpaduan dari pembawaan yang dibawanya dan lingkungan dimana dia
tumbuh dan dibesarkannya.
Masa anak-anak juga merupakanperiode yang rentan karena anak
memilikikeadaan psikologis yang masih labil, tidak independen, dan mudah
terpengaruh oleh situasi dan lingkungan ekstemal. Tindakan yang dilakukan
anak tidak muncul sepenuhnya dari kesadaran anak itu sendiri, tetapi lebih
besar sebagian di antaranya berasal dari faktor di luar dirinya,seperti karena
pengaruh, persuasi, tekanan, atau paksaan dari pihak lain, bisa dari sesama
ternan atau dari orang dewasa. Dengan demikian, konsekuensi tindakan
1M. Arifin, Filsafat Pendidikan Hukum Jakarta: Bina Aksara, 1987, him. 161-.162 2Zakiyah Daradjat dkk, flmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1992, him. 51
1
perbuatan seorang anak itu tidak seutuhnya dapat dipertanggung jawabkan
pada anak itu sendiri. Termasuk tindakan anak dalam berbuat kenakalan atau
suatu perbuatan yang melanggar hukum, karena anak bukanlah pelaku murni,
akan tetapi adalah korban.
Anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with the
law) secara sederhanadapat dikatakansebagai anak yang disangka, dituduh
atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana.Menurut
hukurn nasional, berdasarkan Pasal I angka 3 Undang-Undang Nornor II
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikannya
sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukurn, yaitu Anak yang telah
berumur 12 (dua betas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan betas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan di dalam hukum
internasional, Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikannya
sebagaijuvenile offinder yaitu sebagai berikut:a child or young person who is
alleged to have committed or who has been found to have committed an
offince.3 (Teljemahan bebas: seorang anak atau orang muda yang diduga
telah melakukan atau yang telah ditemukantelah melakukan suatu
pelanggaran).
Negara-negara di dunia termasuk Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1990
dengan dilengkapi instrumen internasional petunjuk secara umum dan khusus,
yaitu: Petunjuk Umum tediri dari: Peraturan Standar Minimum bagi
3 Myles Ritchie, Children In "Especially Difficult Circumstances··: Children Living On The Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Pravisioning? Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission, 1999, him. 12-14
2
Perlakuan terhadap Narapidana, tanggal 13 Mei 1977; Pedoman Tingkah
Laku Petugas Penegak Hukum, Resolusi Majelis Umum tanggal 17 Desember
1979; Prinsip Perlindungan Semua Orang dalam Penahanan atau Penjara,
Resolusi Majelis Umum tanggal 9 Desember 1988;Sedangkan Petunjuk
Khusus:Beijing Rules; Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Administrasi Pengadilan bagi Anak (United Nations Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice) tanggal 29
November 1985; The Tokyo Rules, Peraturan Standar Minimum Perserikatan
BangsaBangsa tentang Upaya Non-Penahanan pada tanggal 14 Desember
1990; Riyadh Guidelines, Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pencegahan Kenakalan Anak (United Nations Guidelines for the Prevention
of Juvenile Delinquency) tanggal 14 Desember 1990; dan Peraturan
Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, tahun 1990.
Berdasarkan Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Administrasi Pengadilan Bagi Anak (Beijing Rules) memberikan
perlindungan maksimal terhadap masa depan anak karena mengandung asas:
l. Kepentingan terbaik untuk anak adalah prioritas; 2. Peradilan pidana sebisa
mungkin dihindarkan; 3. Segala bentuk intervensi seminimal mungkin
dilakukan; 4. Polisi, jaksa, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya sebisa
mungkin menggunakan kebijakanldiskresi dalam menangani anak; 5.
Kriminalisasi dan penghukuman anak harus dihindarkan kecuali teljadi
kerusakan yang serius terhadap anak atau orang lain; dan 6. Bantuan hukum
harus segera diberikan tanpa biaya.
3
Menurut Wanjku Kaime-Atterhog dinyatakan bahwa dalam perspektif
Konvensi Hak Anak:/ KHA (Convention on The Rights of The Child/CRC),
anak yang bermasalah dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam
situasi khusus (children in need of special protection/CNSP):4 "UNICEF
menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult
circumstances" (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi,
rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga
(berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan proteksi berupa
regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri.
Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak
mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang
berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup."
Konvensi negara-negara di dunia tersebut mencerminkan paradigma
baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative justice
(selanjutnya diteijemahkan menjadi keadilan restoratif dalam buku ini) adalah
altematif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak
yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang
komprehensif dan efektie Keadilan restoratif bertujuan untuk
memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk
memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan
4Wanjku Kaime-Atterh5g, The Social Con/ext of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC}, ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005, hbn. 1-6, 7
5Gordon Bazemore dan Mara Schiff, Juvenile Justice Reform and Restorative Justice: Building Theory and Policy from Practice, Will an Publishing, Oregon, 2005, hlm.5
4
kesadaran dan keinsafan sebagai landasan untuk: memperbaiki kehidupan
bermasyarakat. 6
Konstitusi Republik Indonesia pada Pasal 18 B ayat (2) Undang-
Undang DasarTahun 1945 telah mengamanatkan bahwa; "Setiap anak berhak
atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
per/indungan dari kekerasaan dan diskriminasi." Selanjutnya dalam tataran
norma hukum yang lebih kongkrit Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah,
Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk itulah
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak tidak hanya mengatur anak yang berkontlik dengan hukum,
tetapi juga mengatur anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana yang disebut dengan anak yang berhadapan
dengan hukum (ABH).
Realita yang teijadi di Indonesia saat ini,menunjukan belum dapat
terwujudnya perlindungan terhadap anak khususnya anak berhadapan dengan
hukum (ABH) secara optimai.Secara statistik, jurnlah anak Indonesia yang
diajukan ke pengadilan atas suatu kejahatan setiap tahunnya semakin
meningkat. Pada umumnya mereka tidak rnendapatkan dukungan dari
pengacara maupun dinas sosial. Sehingga tidaklah mengherankan, kalau
sembilan dari sepuluh anak yang bermasalah hukum ini akhimya dijebloskan
6George Pavlich, "Towards an Ethics of Restorative Justice", dalam Restorative Justice and The Law, ed Walgrave, L., Willan Publishing, Oregon, 2002, hlm.l.
5
ke penjara atau rumah tahanan. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar anak-
anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang
orang dewasa dan pemuda.7 Peningkatan jumlah anak-anak yang ditahan
tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi seperti di
Polsek, Pokes, Polda dan Mabes. Kondisi ini tentu saja sangat
memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang hams berhadapan dengan
proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan
pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak
anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. 8
Selain itu, perlakuan terhadap anak yang diduga melakukan tindak
pidana seringkalibersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak
seringkali kehilanganrnaknaessensinya sebagai mekanisme yang harus
berakhir dengan upaya untuk melindungikepentingan terbaik bagi anak (the
best interest of child). Proses peradilan pidana anakseringkali menampilkan
dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi padapenegakan hukum
secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.9
Perlakuan-perlakuan yang cenderung membekaskan stigma atas diri
anaklebih mengedepan dibandingkan perlakuan aparat penegak hukum
yangmencerminkan . perlindungan .hak-hak anak. yang melakukan tindak
pidana. Anak yangterlibat dalam proses peradilan pidana memperoleh
perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih
7 Steven Allen, dalam Pumianti, Ni Made Martini Tinduk, et.aH, Ana/isa Situasi Sistem Peradi/an Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia. UNICEF, Indonesia, 2003, him. 1-2
8 Judth Enew, Difficult Circumstances:Some Reflections on "Street Children" in Africa, Children, Youth and Environments 13(1), Spring 2003, him. 7- 8
9Koesno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientwi pada Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang llmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009, him. 6
6
buruk hila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi
yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak pidana mengalami
tindak kekerasan selama dalam proses peradilan pidana. 10
Berdasarkan data dari Sistem Database Pemasyarakatan Kementerian
Hukum dan HAM di tahun 2014, jumlah data anak yang didiversi adalah
1.312 orang, yang memperoleh putusan anak kembali ke orang tua adalah 493
orang, putusan anak berupa tindakan diserahkan ke Panti sosial lainnya
adalah 169 orang, dan yang dijatuhi putusan pidana beijumlah 3.000 orang.
Di tahun 2015 datajumlah anak yang didiversi adalah beijumlah 3.734 orang,
yang memperoleh putusan anak dikembalikan ke orang tua adalah 386 orang,
selanjutnya yang memperoleh putusan diserahkan ke Panti Sosial/ lainnya
adalah beijumlah 227 orang, dan dijatuhi putusan pidana beijumlah 2.226
orang. Tahun 2016 data anak yang berhasil didiversi beijumlah 3.449 orang,
yang memperoleh putusan anak kembali ke orang tua berjumlah 358 orang,
selanjutnya yang memperoleh putusan diserahkan ke panti social! lainya 485
orang, dan dijatuhi putusan pidana 2.342 orang.
Dari data diatas, walaupun dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016
jumlah anak yang didiversi mengalami peningkatan dan jumlah anak yang
dijatuhi putusan pidana menunjukan. peningkatan, namun jumlah anak yang
dijatuhi hukuman berupa tindakan sangat minim dan jauh lebih rendah dari
jumlah anak yang diputus pidana penjara. Hal ini menunjukan bahwa temyata
masih banyak anak Indonesia yang berada di dalam jeruji besi. ldealnya,
pemenjaraan adalah pilihan terakhir (The Last Resort) bagi ABH karena di
10Jbid, him. 8
7
dalam penjara bukan proses pembelajaran mental yang mereka dapatkan, tapi
malah pembelajaran tindak kriminal dari narapidana yang lebih dewasa.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa penanganan terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana oleh aparat penegak hukum melalui proses
peradilan yang selama ini berlangsung cenderung merugikan masa depan
anak. Keadaan tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat
mengkhawatirkan karena hal itu menggambarkan bahwa sesungguhnya
penanganan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana belum
benar-benar mencenninkan perlindungan anak. Anak-anak selama dalam
proses pemeriksaan (mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan)
merasa kurang dihargai, perlakuan-perlakuan para petugas cenderung
membekaskan citra negatif dalam benak mereka (stigmatisasi). Perlakuan
petugas yang demikian itu, membuat anak-anak merasa ditangani oleh
petugas hukum yang kurang memahamimasalahmereka sebagai anak.
Persayaratan adanya profesionalisme penegak hukum di bidanganak
tidak dipenuhi.Persyaratan formal lebih dikedepankan daripada
persyaratansubstansial dalam penunjukan penegak hukum khusus anak.
Legitimasi merekasebagai penegak hukum di bidang anak hanya semata-mata
didasarkan atas SuraWenunjJJkan sebagai. Polisi Khusus Anak, Jaksa Khusus
Anak, Hakim Khusus Anak,dan bukannya persyaratan substansial seperti
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (UUPA), 11 yang telah digantidengan Undang-Undang
Nomor ll Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
11Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restotarif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa DaJang, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakullas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006, him. 22.
8
Padahal melalui UUPA diharapkan petugas yang bertindaksebagai penyidik,
penuntut umum, dan hakim benar-benar menguasai dan memahamimasalah
anak, sehingga dalam proses penanganannya tidak menimbulkan
gangguanbaik secara fisik maupun mental terhadap masa depan anak.
Berpedoman pada The United Nations Standard Minimum Rulesfor
Administration of Juvenile Justice - the Beijing Rules (Peraturan Standar
Minimum PBBuntuk Pelaksanaan Peradilan Anak - Peraturan Beijing),
yangdisahkan melaluiResolusi Majelis PBB No. 40/33 Tanggal 29 November
1985, tujuan dariperadilan anak sebagaimana disebutkan dalam Rule 5.1
adalah "The juvenile justicesystem shall emphasize the well-being of the
juvenile and shall ensure that any reaction to juvenileoffinders shall always
be in proporlion to the circumstances of both the offinders and
theoffence ".Maksud dari pengaturan tersebut adalah bahwa sistem peradilan
anak harus lebih menekankan padakesejahteraan anak dan harus dipastikan
bahwa seluruh penanganan terhadap anakharus selalu sesuai dengan keadaan,
baik keadaan dari pelaku maupun keadaan daripelanggaran/kejahatan.
Sebagaimana yang dikemukakan mengenai bentuk perlindungan
terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, bahwa dipandang dari segi
perbuatan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara tindak pidana yang
dilakukan anak dengan tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. Hal yang
dapat membedakan diantara keduanya terletak pada pelakunya itu sendiri.
Perbedaan tersebut menyangkut kepada persoalan motivasi atas tindak pidana
yang dilakukannya. Karena pada umumnya tindak pidana yang dilakukan
oleh anak bukan didasarkan kepada motif yang jahat (evil will/evil mind),
9
malca anak yang melakukan penyimpangan dari nonna-nonna social, terhadap
mereka para ahli kemasyarakat lebih setuju untuk memberikan pengertian
sebagai "anak nakal" atau dengan istilah "juvenale delinquency". Dengan
istilah tersebut terhadapnya dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan
sebagai penjahat (criminal).
Kejahatan itu sendiri dilihat dari konsep yuridis, berarti tingkah laku
manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Namun, kejahatan
juga bukan hanya suatu gejala hukum. Para ahli kriminologi berpendapat
bahwa walaupun terdapat klasifikasi kejahatan, 12 tetapi klasifikasi tersebut
sesungguhnya menimbulkan ketidakadilan terhadap mereka yang dianggap
bersalah melakukan kejahatan dan melemahkan stigma atas kejahatan serius,
sehingga membawa kepada usaha-usaha untuk menyusun k:lasifikasi barn
tentang pelanggaran terhadap hukum pidana. Mereka berpendapat bahwa bagi
kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, dipergunakan istilah
"delinquency". Istilah ini mencenninkan perasaan keadilan masyarakat bahwa
perlu ada perbedaan pertimbangan bagi pelanggaran yang dilakukan anak-
anak atau remaja dibandingkan yang dilakukan oleh orang dewasa. 13
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:
12Dalam sistem hukum Common Law yang berlaku di lnggris, secara klasik dikenal adanya pengklasifikasian antara kejahatan berat (felonies), kejahatan ringan (misdemeanors), dan kejahatan terhadap keamanan negara (treason). adapun memrrut Criminal Act 1977, kejahatan diklasifikasikan ke dalam: kejahatan berat (offences treab/e only on indicm~en) yang diadili di Pengadilan Crown C(}IJrl dengan sistem Jury, kejahatan ringan (offences treob/e only Summarily) yang diadili di Pengadilan Magistrate Court tanpa Jury, dan kejahatan yang digolongkan ke dalam perbuatan pelanggaran (offences treob/e either way). (Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung, 1996). Dalam hukum pidana Prancis dikenal klasifikasi ke dalam: Crimes, De/its, clan Conlravenlions. Hukum Pidana Jerman mengenal klasiftkasi kejahatan ke dalam: Verbrechen, Vergehen, dan Ubertretugen. Adanya pengklasifikasian tersebut didasarkan atas berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap si pelaku, dengan konsekwensi bahwa terlepas dari persoalan adanya sedikit perbedaan prinsip antara kejahatan serius dan pelanSlfaran kecil menurut hukum pidana
3Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1984, him. 31-33.
10
I. dasar filosofis; Pancasila, yang merupakan dasar atas segala kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bemegara, dan berbangsa serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.
2. dasar etis; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
3. dasar yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.
Dalam tataran bentuk perlindungan yang harus diberikan terhadap
seorang anak yang berhadapan dengan hukum saat ini telah teijadi tumpang
tindih an tara Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang khususnya pada Pasal 3
mewajibkan hakim melakukan musyawarah diversi terhadap dakwaan yang
ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun atau diatas 7 (tujuh) tahun
( dakwaan altematif, subsideritas, dan komulatif). Di sisi lain, Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2015 dalam Pasal 3 hanya mewajibkan diversi terhadap
ancaman dibawah 7 (tujuh) tahun, sehingga mnimbulkan multitafsir dan
dualism pelaksanaan oleh Aparat Penegak Hukum khususnya hakim. Untuk
itu, Jaksa Agung telah mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Perma Nomor 4 Tahun 2014.
Menurut Maidin Gultom perlindungan hukum anak tidak boleh
dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap
Iingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang
dilakukan tidak berdampak negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional
bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang
II
efektif dan efisien. 14
Di negara-negara yang telah memiliki dan menerapkan hukum pidana
secara khusus untuk anak, penggunaan istilah khusus bagi pelaku anak diakui
sebagai dasar psikologis. Anak yang melakukan pelanggaran bukan
merupakan orang-orang jahat, melainkan anak-anak nakal saja (juvenile
delinquency). Dasar ini merupakan basil riset puluhan tahun dari ilmu
psikologi.15
Secara etimologis, istilah juvenile delinquency berasal dari bahasa
latinjuvenils yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa
muda, sifatsifat khas pada periode remaja; dan delinquere yang berarti
terabaikan, mengabaikan. Kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asocial,
kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, teroris, tidak dapat
diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Dengan demikian, juvenile
delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau kejahatan!kenakalan anak-anak
muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. 16
Thong Tj ip Nio, seorang mantan hakim khusus pada Pengadilan Negeri
Istimewa Jakarta untuk perkara pidana, menyatakan bahwa apakah artinya "a
juvenile delinquency", hal ini tidak mempunyai suatu definisi yang tetap,
definisi itu tergantung dari sudut mana memandang problem ini. Seorang
sosiolog akan memberikan definisi yang berlainan dengan seorang srujana
14 Maidin Gultom. Op.Cit, him. 34. 15 D.Y. Alta, Pokok-Pokok Pelaksanaan Sidang Perkora Anak di Pengadilan Negeri Dalam
Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Jakarta, Bina Cipta, Jakarta, 1979, him. 43. 16 Kartini Kartono, Pato/ogi Sosial 2 Kenako/an Remaja, Rajawali, Jakarta, 1992, him. 7
12
hukum, begitu juga undang-undang diberbagai negara mempunyai ketentuan
yang berlainan, apakah yang disebut suatujuvenile delinquency. 17
Menurut Simanjuntak, suatu perbuatan itu disebut delinquency jika
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada
dalam masyarakat di mana ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial yang di
dalamnya terkandung unsurunsur antinormatif. 18 Dalam uraian lain,
dijelaskan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan dan tingkah laku
perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran
kesusilaan yang dilakukan oleh anak berumur di bawah 21 tahun, yang
termasuk dalam yuridiksi pengadilan anak. 19
Menurut Paul Moedikdo, semua perbuatan dari orang dewasa
merupakan kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi, semua
tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti pencurian, penganiayaan,
dan sebagainya?0 Pemyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan
Bimo Walgito bahwa juvenile delinquency adalah tiap perbuatan yang jika
dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan?1
Kusumanto Setyonegoro, berpendapat delinquency adalah tingkah laku
individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang
dianggap sebagai acceptable oleh sesuatu lingkungan masyarakat atau hukum
yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Jika individu
itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku yang serupa itu disebut dengan
17 Laporan Hasa Survei Fakultas Hukum UNPAD tentang Peradilan Anak 18 Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Tarsito, Bandung, 1977, hlm. 295 19 B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 47 20lbid, hlm. 50 21 Bimo Walgito, Kenakolan Anak (Juvenile Delinquency) Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi UGM, 1982, him. 2
13
1953
istilah tingkah laku yang sukar atau nakal (behavior problem). Jika ia berusia
adolesant atau preadolesant, maka tingkah laku itu sekarang disebut
delinquency (delinquent behavior), dan jika terang-terangan melawan hukum
disebut kriminal (criminal behavior).
Walaupun banyak definisi yang dikemukakan, istilah juvenile
delinquncy belum terdapat keseragaman dalam bahasa Indonesia. Beberapa
istilah yang dikenal antara lain adalah kenakalan anak, kenakalan remaja,
kenakalan pemuda, delikuensi anak, dan tuna sosial. Kesulitan untuk
memberikan istilah juvenile delinquency dihadapi juga di beberapa Negara
Asia dan Negara Timur Jauh. Dalam penelitian, perbandingan hukum tentang
juvenile delinquency yang dibatasi terhadap tujuh negara-negara di Asia dan
Timur Jauh, yaitu Burma, Ceylon, India, Jepang, Pakistan, Philipina, dan
Thailand. Dalam peraturan perundang-undangan negara-negara tersebut tidak
diberikan definisi apa yang dimaksud dengan istilah juvenile delinquency,
tetapi berdasarkan kebiasaan diartikan bukan sebagai orang dewasa. Umur
dari juvenile delinquency serta sifat dari pelanggaran yang dilakukan, oleh
karena berbagai pertimbangan penting diakui sebagai definisi dari juvenile
delinquency. 22
Di .beberapa negara Asia Timur Jauh dalam mengartikan juvenile
delinquency menitikberatkan kepada aspek umur dan sifat dari perbuatan
yang dilakukannya. Dengan demik:ian, pengertian juvenile delinquency
terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang
tergolong kepada kelompok kepada young person.
22 United Nation, Comparative on Juvenile Delinquency, Part IV, Asia and The Far East,
14
Task Force on Juvenile Delinquency of the President's Commission on
Law Enforcement and Administration of Justice, 1967, memberikan batasan,
sebagai berikut: Juvenile delinquency, comprises of children alleged to have
commited an offence that if commited by an adult would be a crime. It also
comprises cases of children alleged to have violated specific ordinance or
regulatory law that apply only to children.
Resolusi PBB 40/33 tentang Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) dalamRule 22 menetapkan
babwa: A juvenile a child or young person who, under the respective legal
system, may be delt with for an offince in a manner which is different from an
adult. An offince is any behaviour (act or commission) that is punishable by
law under the respective legal system. A juvenile offinder is a child or young
person who is alleged to have commited or who has been found to have
committed an offence.
Sedangkan dalam konteks pengaturan nonna hukum di Indonesia, Pasal
angka 2 Undang-Undang No. II Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menyatakan bahwa, "Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah .anak. yang berkontlik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana." Untuk itu,
berpijak pada apa yang telah diuraikan di atas, sebagai pegangan dalam kajian
ini, istilah perilaku delinquent anak dapat dikonsepsikan sebagai seseorang
yang memiliki batas usia antara 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana
atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
15
perundang---undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan tentang perilaku
delinquent anak sebagai perwujudan criminal offonces dan status offonces.
Criminal offences diartikan sebagai perilaku delinquent anak yang merupakan
tindak pidana jika dilakukan oleh orang dewasa. Adapun status offences,
adalah perilaku delinquent anak yang erat kaitannya dengan statusnya sebagai
anak. Perilaku-perilaku tersebut pada umumnya tidak dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana jika dilakukan oleh orang dewasa. Sebagai contoh, pergi
meninggalkan rumah tanpa izin orang tua, membolos sekolah, melawan
terhadap orang tua, mengkonsumsi minuman beralkohol dan lain sebagainya.
Perluasan pengertian delinquency, dengan memasukkan status offonces,
merupakan konsekuensi dari asas parent patriae. Asas yang berarti negara
berhak mengambil alih peran orang tua jika temyata orang tua, wali, atau
pengasuhnya tidak menjalankan perannya sebagai orang tua?3Kenakalan
anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri. Namun, ada
batas-batas yang harus dipatuhi sehingga suatu kenakalan masih relevan
untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau mencari identitas diri (self
identification). Jika batas-batas itu dilanggar, maka perbuatan tersebut masuk
ke dalam ranah hukum pidana.
Banyak pakar mengungkapkan bahwa faktor-faktor terjadinya
kenakalan anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-
cita dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut.
23 Paulus Hadisuprapto, "Pemberian Malu Integratif sebagai Sarana Non-Penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak," Disertasi Doktor, Ilmu Hukum, UNDIP, 2003, him. 30.
16
Secara teoritis upaya penanggulangan masalah kejahatan termasuk perilaku
kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial. Sesungguhnya, titik berat
terarah kepada mengungkapkan faktor-faktor korelasi terhadap gejala
kenakalan anak sebagai faktor kriminogen. Pembahasan masalah tersebut
merupakan ruang lingkup dari pembahasan kriminologi.24
Kriminologi dalam mengkaji objek studinya tentang kejahatan
dipengarubi oleh pemikiranlparadigma klasik, positif, dan pemikiran kritis.
AI iran pemikiran klasik, berpijak dari asumsi bahwa manusia sesungguhnya
memiliki kehendak bebas (free will/free choice). Perilaku manusia
sepenuhnya dipengaruhi oleh akal dan pikirannya (indeterminisme), kejahatan
merupakan basil pilihan bebas seseorang setelah memperhitungkan secara
rasional untung ruginya melakukan kejahatan. Kriminologi dalam konteks
pemikiran ini mengarahkan kajian pada upaya perumusan pola dan pengujian
sistem hukuman yang dipandang paling efektif untuk meminimalkan
teJjadinya kejahatan dalam masyarakat (penologi).
Aliran pemikiran positif, berpijak dari asumsi bahwa manusia tidak
mempunyai kehendak bebas (determinisme), tetapi dipengaruhi oleh faktor-
faktor di luar kontrolnya. Perilaku manusia merupakan wujud dari pengaruh
faktor-faktor tersebut, yaitu faktor biologi, psikis dan sosio-kulturalnya
Kejahatan merupakan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
fisik, psikis dan sosiokulturalnya. Kajian kriminologi dalam konteks ini
terarah pada k~ian tentang faktor-faktor teJjadinya kejahatan (Etiologi
Kriminal).
24 Kriminologi (teoritis atau mumi) adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Lihat Bonger, Pengantar tentang Kriminologi. PT. Pembangunan (Pustaka SaJjana), Tanpa tempat, 1995, him. 19
17
Aliran pemikiran kritis, berpijak dari asumsi bahwa perilaku manusia
tidak hanya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik, psikis, maupun sosio
kulturalnya, tetapi juga ditentukan oleh peranan individu dalam memaknai,
menafsirkan, menanggapi setelah is berinteraksi dengan kondisi-kondisi
bersangkutan. Kejahatan merupakan keberhasilan masyarakat dalam
memberikan reaksi perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan pelakunya
sebagai penjahat. Pemikiran seperti ini mengarah kepada kajian proses yang
mempengaruhi pada pembentukan undang-undang yang menjadikannya
perbuatan tertentu sebagai kejahatan, serta proses bekeijanya hukum pidana.
Proses-proses yang menjadikan perbuatan tertentu dan pelakunya sebagai
penjahat (sosiologi hukum pidana)?5
Dalam masalah delinquency anak, teori-teori kriminologi yang
bertujuan mencari faktor-faktor sebab akibat (faktor etiologi) secara umum
dapat dikelompokan ke dalam dua pendekatan, yaitu, pendekatan psikologis
dan pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologis pada dasamya berusaha
mencari jawaban atas pertanyaan: Bagaimana kepribadian seseorang
berinteraksi dengan keadaan lingkungan sehingga menghasilkan tingkah laku
delinquent. Hal ini berkaitan dengan teori-teori motivasi. Pertanyaan tentang
pengalaman-pengalaman apakah pada seseorang akan menimbutkan
kepribadian yang lebih cenderung pada tingkah laku delinquent. Hal ini
berkaitan dengan teori-teori perkembangan kepribadian. Teori-teori dengan
pendekatan psikologis ini banyak dipergunakan dalam menganalisa data
nyata dari studi kasus.
25l.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, him. 6-13
18
Pendekatan sosiologis pada dasarnya berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan: B ilamana kita bandingkan sis! em sosial yang satu dengan yang
lain, maka bagaimanakab dapat diterangkan perbedaan yang ada mengenai
tingkah laku delinquent dalam sistem-sistem sosial tersebut. Teori dengan
pendekatan sosiologis ini banyak dipergunakan dalam menganalisa data nyata
dari studi delinquency anak sebagai gejala sosial (social phenomenon).26
Teori-teori dengan pendekatan sosiologis pada dasamya sangat
menentang pendapat babwa tingkab laku melanggar norma itu disebabkan
oleh "kelainan" atau "kemunduran" biologi atau psikologi dari pelaku. Teori
sosiologis ini berpendapat bahwa tingkab laku melanggar norma dipelajari
sebagaimana tingkab laku lain dipelajari oleh orang normal. Dengan
demikian, tekanannya pada pengetahuan dan pengertian mengenai "proses
belajar" anak delinquent. Dalam pikiran ini, tingkah laku melanggar norma
dipelajari seseorang dari kebudayaan- kebudayaan dengan bentuk-bentuk
tingkah laku yang mendukung pelanggaran norma.
Sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan anak lebih lanjut
dalam konteks anak yang berhadapan dengan hukum dalam pelaksanaan
proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan
tindakan sebagai berikut:27 diskriminasi,28 melakukan penyiksaan, 29 dan
menjatuhkan hukuman mati.30 Bahkan negara dibebani kewajiban untuk
26J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradok dalom Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm.47
27 Ibid, him. 129-130. 28 Pasal 2 ayat (1), Pasal26 29 Pasal 7 30 Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat ( 1-6)
19
melakukan tindakan-tindakan berikut: memperlakukan secara manusiaw~31
menyamakan kedudukan di muka hukum,32 menerapkan asas praduga tidak
bersalah, 33 menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial/4
dan menerapkan asas retroaktie5Ketentuan-ketentuan ini dapat dielaborasi
dan diinterprestasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam
menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah
menghadapi proses hukum.
Rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh melakukan tindak
pidana akan rnelalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan
penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Instrumen
tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal negara secara
defmitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia, oleh karena
itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula
melanggar hak asasi manusia.36
Konteks anak yang berhadapan dengan hukum, patut untuk dihindari
dari proses pemidanaan yang konvensional. Pendekatan lain dalam proses
penyelesaian anak yang berhadap dengan hukum dapat dilakukan atas dasar
pertimbangan perlindungan terhadap kepentingan dan hak anak.Semua negara
di dunia menganggap persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak
pidana merupakan hal yang penting karena anak merupakan generasi penerus
31 Pasal 10 ayat (I) 32 Pasal 14 ayat (I) 33 Pasal 14 ayat (2) 34 Pasal 14 35 Pasal 15 36 Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara,
Jakarta, Elsam, 2003, hlm. 7-8
20
bangsa dimasa depan. Oleh karena itu negara-negara di dunia berpikir untuk
mencari bentuk alternatif penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara
internasional, telah lahir konvensi internasional yang mengatur pelaksanakan
peradilan anak dan menjadi standar perlakuan terhadap anak yang berada
dalam sistem peradilan pidana
Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada satu model penyelesaian
perkara pidana anak tanpa harus melalui proses peradilan, sebagaimana yang
terdapat dalam Rule. II The Beijing Rules yang berbunyi :
11.1 Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent authority, referred to in rule 14.1 below; (Terjemahan bebas: Pertimbangan harus diberikan kapan saja diperlukan untuk menangani anak tanpa harus menyerahkannya pada pengadilan formal oleh lembaga yang betwenang, seperti yang diatur dalam aturan 14.1 dibawah).
11.2 The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for that purpose in the respective legal system and also in accordance with the principles contained in these Rules; (Teijemahan bebas: Pihak kepolisian, kejaksaan atau lembaga-lembaga lain yang menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus diberikan wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut atas dasar keputusan yang mereka ambit tanpa harus menyerahkannya kepada persidangan formal sesuai dengan kriteria yang diberikan untuk tujuan tersebut dalam sistem hukum masing-masing serta sesuai dengan prinsip-prinsip yang termuat dalam Aturan ini).
11.3 Any diversion involving referral to appropriate community or other services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to review by a competent authority, upon application; {Teijemahan bebas: Setiap pengalihan yang berupa rujukan kepada layanan mayarakat yang tepa! dan layanan lainnya harus mendapatkan persetujuan dari anak tersebut, atau orangtua atau pengasuhnya, dengan syarat bahwa pada saat dilaksanakan, keputusan itu bisa ditinjau kembali oleh pejabat yang betwenang).
11.4 In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases, efforts shall be made to provide for community programmes, such as temporary supervision and guidance, restitution, and compensation of victims.
21
(Teijemahan bebas: Dalam rangka memfasilitasi kebijakan melepaskan anak, harus dilakukan upaya-upaya untuk melengkapi program-program masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, ganti rugi dan kompensasi bagi para korban).
Atas dasar ketentuan tersebut, Indonesia telah melakukan upaya
memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
antara lain dengan meratifikasi dan mengundangkan konvensi intemasional
tentang hak anak yaitu Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak
Anak) sebagai Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dan lebih lanjut
melengkapinya dengan mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002), serta
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
ManusiaKetentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap
anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan
merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk
tidak dihukum mali dan hukuman seumur hidup.
Berbagai ketentuan secara normatif sebagai mana dijelaskan diatas
terkait dengan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
pada tataran pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan
perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana secara maksimal, antara lain
adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam
menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian
secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang
terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana. Bentuk pelaksanaan
22
perlindungan dilakukan berdasarkan kebijakan aparat penegak hukum dengan
mempertimbangkan prinsip kepentingan terbaik untuk anak (the best interest
of the child).31 Tindakan perlindungan yang dilakukan bertujuan untuk
menghindarkan anak dari proses penahanan, dan implikasi negatif dari proses
peradilan pidana. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang
pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum. Penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan
kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak.
Bentuk konkrit dari perlindungan terhadap anak yang berhadap
dengan masalah hukum karena melakukan tindak pidana dalam ketentuan
Pasal 5 ayat (I) Undang-Undang Nomor I I Tahun 20I2 yang menyebutkan
bahwa "Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif'. Keadilan restoratif (restorative justice)merupakan usaha
untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Khusus
untuk anak yang bermasalah dengan hukum, restorative justice penting untuk
diterapkan karena faktor psikologi anak harus diperhatikan. Terdapat empat
kriteria kasus anak yang bermasalah dengan hukum yang dapat diselesaikan
dengan model restorative justice. Pertama, kasus itu tidak mengorbankan
kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Kedua, anak itu baru
pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis. Ketiga, kasus itu
bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau
cacat seumur hidup; dan keempat, kasus tersebut bukan merupakan kejahatan
kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan.38
37 Yoram Dinstein, Loc. Cit. 38 Manheim, Herman, Comperative Criminology, Boston New York,, 1985, him. 56-57.
23
Secara fungsional, pendekatan restorative justice dalam sistem peradilan
pidana memiliki kekuatan yang mampu memulihkan hubungan antar pihak
yang menjadi pelaku dan yang menjadi korban.J uga mencegah adanya
permusuhan lebih mendalam antar pihak dan mendorong rekonsiliasi antara
pihak pelaku dan korban secara sukarela. Kekuatan lain ialah mendorong
adanya partisipasi warga masyarakat lainnya misalnya anggota keluarga atau
tetangga, serta menekankan pentingnya peran korban dalam suatu proses
menuju keadilan.39 Dalam konteks inilah korban dan masyarakat dapat secara
leluasa memainkan peranan penting dalam menyelesaikan konflik dengan
pelaku, serta mengembalikan harmonisasi pasca teijadinya kejahatan.
Pengimplementasian dari paradigma restorative justice ini, maka
dibentuklah sistem yang akan memulihkan pelaku, korban, dan pihak-pihak
terkait, yang akan menyelesaikan masalah konflik anak berhadapan dengan
hukum diluar sistem pengadilan (non litigasi), yaitu melalui diversi. Pasal 5
ayat (3)UU Nomor II Tahun 2012 menyebutkan bahwa: Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b wajib diupayakan diversi.Lebih lanjut proses diversi sendiri, menurut
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, bertujuan untuk: a)
mencapai perdamaian antara korban dan anak; b) menyelesaikan perkara anak
di luar proses peradilan; c) menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan; d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e)
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Oleh karena itu, pada tingkat
39 Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sis/em Peradilan Pidona, Jakarta, Sinar Grnfika, 2012, hlm.l57
24
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri,
wajib diupayakan diversi
Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur tentang diversi yang
dinyatakan, "Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi." Sedangkan dalam ayat
(2}, "Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Lebih lanjut Pasal 8 ayat (1) Undang Undang No 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur, "Proses diversi dilakukan
melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban
dan!atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
professional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif." Sedangkan ayat (2),
"Selanjutnya proses diversi yang dilakukan wajib memperhatikan:
kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab anak; penghindaran
stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan anak; dan kepatutan,
kesusilaan, dan ketertiban umurn."
Namun konsep diversi ini. kerap tidak berhasil dilakukan baik pada
tingkat polisi maupun di tingkat penuntutan.Ketidakberhasilan konsep diversi
ini disebabkan ada beberapa faktor, terutama faktor yang terkait dengan
pemahaman aparat penegak hukurn terhadap konsep diversi itu
sendiri.Kemudian dalam tataran pelaksanaannya belurn ada acuan secara
praktis mengenai format dan mekanisme musyawarah yang dilakukan antara
25
para pihak. Selain itu, pihak yang bertanggung jawab dalam penyelesaian
melalui musyawarah ini belum dipabami oleh aparat penegak hukum,
sehingga ketentuan terkait dengan kewajiban diversi ini belum terlaksana
secara efektif untuk melindungi hak anak.
Permasalaban lainnya dari konsep diversi ini adalah batasan syarat
untuk dapat menerapkan diversi hanya untuk tindak pidana yang dilakukan
oleh anak diancam dengan pidana penjara di bawab 7 (tujuh) tabun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana.Padabal ada kemungkinan anak yang
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh tabun) atau
diatas 7 (tujuh tabun) juga hams diberikan ruang bermusyawarah dengan
pendekatan keadilan restoratif.Untuk itu perlu diberikan mekanisme
membuka forum yang dapat memulihkan pelaku, korban, dan
mayarakatdalam proses persidangan (litigasi) untuk mengetahui kemauan dari
para pihak. Hal ini akan menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan
putusan yang dapat mencerminkan keadilan yang memulihkan bagi seluruh
pihak.
Pelaksanaan Diversi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Mahkmab
Agung No. 4 Tabun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 3 mewajibkan hakim melakukan
musyawarab diversi terhadap dakwaan yang ancaman hukumannya dibawab
7 (tujuh) tabun atau diatas 7 (tujuh) tabun (dakwaan altematif, subsideritas,
dan komulatif). Akan tetapi pengaturan dalam Peraturan Pemerintab No. 65
Tahun 2015 pada Pasal 3 hanya mewajibkan diversi terhadap ancaman
dibawab 7 (tujuh) tabun. Perbedaan substansi pengaturan dari kedua
26
pengaturan itu telah menimbulkan multi tafsir dan dualisme pelaksanaan oleh
Aparat Penegak Hukum khususnya hakim. Selain itu, Jaksa Agung telah
mengirim sura! kepada Ketua Mahkamah Agung untuk melakukan
peninjauan kembali terhadap Perma Nomor 4 Tahun 2014. Namun, sampai
saat ini Mahkamah Agung berpandangan bahwa Perma No. 4 Tahun 2014
tetap harus mengatur untuk melindungi hak anak bukan hanya yang didakwa
dibawah 7 (tujuh) tahun, tapi juga anak yang didakwa 7 (tujuh) tahun atau
keatas karena dakwaannya bukan dakwaan tunggal saja yang dilimpahkan ke
pengadilan.
Disamping hal tersebut, dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang
Undang No. II Tahun 20I2 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur
bahwa, "Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat
dikenai tindakan", atau dalam kata lain pelaku Anak yang berusia 12 (dua
belas) sampai dengan dibawah 14 (empat belas) tahun tidak dapat dijatuhi
pidana penjara. Permasalahannya Anak tersebut yang melakukan kejahatan
yang diancam 7 (tujuh) tahun atau ke atas tidak dapat dilakukan diversi,
sehingga hanya melalui hukum acara pidana formal. Jadi beium ada prosedur
yang mengakomodir pemulihan bagi hak korban Anak dan masyarakat, maka
terdapatlah kekosongan mekanisme hukum. Padahal ruang lingkup ABH
sebagaimana diatur dalam Pasal I ayat (2), bukan saja melindungi pelaku,
namun juga termasuk korban dan saksi anak.
Berdasarkan fenomena yang teljadi di dunia, salah satu mekanisme
yang dikenal untuk menyelesaikan perkara pidana anak adalah mediasi penal.
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk altematif penyelesaian sengketa
27
di luar pengadilan yang biasa dikenal dengan istilah ADR (Alternative
Dispute Resolution). Meskipun ADR pada umumnya digunakan di
lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Juga
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum
positif), pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan, Namun, dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan sebagaimana pengaturan diversi
dalam sistem peradilan pidana anak yang mengedepankan keadilan restoratif
melalui musyawarah.
Namun yang menjadi Permasalahan di Indonesia adalah konsep
mediasi penal tersebut belurn diatur secara formal dalam ketentuan hukurn
acara pidana, bahkan secara khusus belum diatur juga dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak, maupun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Untuk itu menarik untuk dikaji urgensi dan pelaksanaan mediasi penal
terhadap penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum dalam
konteks sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Sebab dalam tataran
pelaksanaannya, terutama pada tingkat pengadilan belum ada suatu model
yang ideal dan mengikat para aparat enegak hukum (penyidik, penuntut
umum atau hakim) untuk penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan
hukum melalui mediasi. Oleh karena itu peneliti memilih judul kajian:
"Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia".
28
B. Rumusao Masalah
Berdasarkan urain dari latar belakang masalah tersebut di atas dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan yang hendak dikaji lebih lanjut dalam
disertasi ini adalah sebagai berikut:
l. Bagaimana konsep mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak di
Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan proses mediasi penal dalam sistem peradilan
pidana anak di Indonesia?
C. Tujuao Peoelitiao
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka tujuan
peneitian ini adalah:
I. Mengkaji konsep mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak di
Indonesia.
2. Mengkaj i pengaturan proses mediasi penal dalam sistem peradilan pi dana
anak di Indonesia.
D. Kegunaao Peoeiitiao
Penelitian ioi diharapkan dapat memberikan konstribusi baik secara
teoritis maupun praktik sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi
pemikiran dalam memperkaya khazanah pengembangan ilmu hokum,
khususnya bagi pengembangan ilmu hokum pidana yang terkait dengan
penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak.
29
2. Sementara itu, kegunaan secara praktis, penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran dan langkah-Iangkah praktis kepada
pihak yang terlibat, khususnya Polisi, Jaksa, dan Hakim, sebagai aparat
penegak hukum dalam menangani perkara pidana anak yang berhadapan
dengan hukum agar lebih mengedepankan pendekatan keadilan restoratif,
atau keadilan yang proporsional dan profesional untuk tercipta kepastian
hukum dan keadilan yang memulihkan secara seimbang bagi para pihak.
E. Kerangka Pemikiran
Grand Range Theorydalam penulisan disertasi ini menggunakan Teori
Keadilan. Dalam The Encyclopedia Americana, pengertian keadilan adalah
(a) "the cotestant and perpetual disposition to render every man his due"
(kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang
haknya); (b) "the end of civil society" (tujuan dari masyarakat, man usia); (c)
"the righ to obtain a hearing and decision by a court which is free of
prejudice and improper influence" (hak memperoleh suatu pemeriksaan dan
keputusan oleh badan pengadilan yang bebas dari prasangka dan pengaruh
yang tak selayaknya); (d) "all recognized equitable rights as well as technical
legal right" (semua"hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut hukum
dalam arti teknis); (e) "the dictate of right according to the consent of
mankind generally" (suatu kebenaran menurut persetujuan dari umat manusia
pada umumnya); (f) "conformity with the principles of integrity, restitude,
30
and just dealing" (persesuaian dengan asas-asas keutuhan watak, kejujuran,
dan perlakuan adi1)40
Keadilan adalah penghargaan terhadap setiap orang menurut harkat
dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya dengan segala
sesuatu yang ada di luar pribadinya.Secara analitis, keadilan dapat dibagi
dalam komponen prosedural dan substantif, atau keadilan formil dan keadilan
materiiL Komponen prosedural atau keadilan formil, berhubungan dengan
gaya suatu sistem hukum; seperti "rule of law " dan negara hukum
(rechsstaat), sedangkan komponen substantif atau keadilan materiil
menyangkut hak-hak sosial, yang menandai penataan politik, ekonomi di
dalam masyarakat. 41
Hakim dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan
memberlakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dia cerminkan
dalam keputusan-keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang merata adalah
soko guru dari konsep the rule of law. Sebaliknya jika terdapat kesenjangan
yang berarti antara rasa keadilan yang hidup dalam diri hakirn dan rasa
keadilan masyarakat, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat
kepada hakim berkurang. Semakin besar kesenjangan antara rasa keadilan
hakim dan rasa - keadilan masyarakat,. semakin besar juga tingkat
ketidakperdulianmasyarakat terhadap hukum, dan juga sumber dari
berkembangnya kebiasaan untuk main hakim sendiri yang pada akhimya akan
bermuara dalam anarki. Prinsip fundamental keadilan adalah pengakuan
40 The Liang Gie, Teori-teori Keadi/an, Sumbangan Bahan untuk Pemahaman Pancasila, Yogyakarta: Super, 1979, hlm. 17-18
41 Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, Bandung: Alumni, 1981, him. 53-54
31
bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, dengan hak-hak dan
kewaj iban-kewaj iban fundamental yang sama, tanpa dibeda-bedakan atas
jenis kelamin, wama kulit, suku, agama, atau status sosialnya
Cara menegakkan hukum dan keadilan selengkapnya telah ditentukan
pedoman tata cara pelaksanaan dan asas-asas prinsip hukumnya dalam
KUHP, Undang-undang Nomor II Tahun 2012 dan peraturan lain yang
menyangkut Hukum Acara Pidana. Arti dari peradilan yang adil adalah lebih
jauh dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formal.
Dalam pengertian peradilan yang adil ini terkandung penghargaan akan hak
kemerdekaan seseorang warga negara. Meskipun seorang warga negara
adalah telah melakukan suatu perbuatan yang terce Ia ( dalam hal ini tindak
pidana), hak-haknya sebagai warga negara tidaklah sama sekali hapus/hilang.
Peradilan yang adil "due proces of law" dalam pengertian yang benar,
berintikan perlindungan terhadap kebebasan warga negara, adalah tonggak
utama sistem peradilan pidana dalam negara hukum42• Peradilan yang adil
mencakup sekurang-kurangnya:(a) perlindungan terhadap tindakan
sewenang-wenang dari pejabat negara; (b) bahwa pengadilanlah yang berhak
menentukan salah tidaknya terdakwa; (c) bahwa sidang pengadilan harus
terbuka (tidak boJeh bersifatrahasia.kecuali sidang anak dan sidang tentang
kesusilaan); (d) bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-
jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya.43
Sedangkan Middle Range Theory yang digunakan adalah teori Tujuan
Pemidanaan.Ketika berbicara keadilan dan ditemukan di dalamnya adanya
42 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia do/am Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI, 1994, him. 32-33
43 Ibid, him. 37
32
prinsip restoratif yang mengembalikan keadaan dari tidak adil menjadi adil,
maka jelas apa yang diungkapkan M. Arief Amrullah dalam konsep hukum
pidana yang berorientasi pada perbuatan pidana, pelaku dan korban (Daad
Daader Slachto.ffer Stra.frecht) itu sangat penting untuk memastikan sistem
hukum pidana yang adil. Untuk itu, dalam konsep yang diajukan ini
memasukan sistem restorative justice yang di dalamnya memastikan setiap
pengembalian harus mendapat reward yang setimpal yaitu berupa
pengurangan langsung pada beban sanksi pidananya.
Sebelumnya penulis hendak mengingatkan kembali, bahwa walaupun
sistem dengan nama Restorative Justice ini muncul sebagai turunan dari teori
utilitarisme dan tujuan pemidanaan relatif Bentham, fakta sejarah
meperlihatkan bahwa sistem pidana yang berprinsip yang sama dengan sistem
Restorative Justice sudah lama ada dan diterapkan pada sistemsistem yang
pada prinsipnya adalah sistem tujuan pemidanaan retributif.
Paling tidak pada saat Aristoteles prinsip yang melandasi Restorative
Justice sudah ada.Di sini penulis mengajukan suatu konsep yang bersifat
majemuk terhadap konsep tujuan pemidanaan yang mengabungkan sistem
Restorative Justice sebagai konsep pemikiran Guga mewakili kubu teori
relatif-Bentham) dengan teori .tujuan pemidanaan retributif dengan poin-poin
pemikiran sebagai berikut:
a. Semua tindak pidana pada akhimya merupakan kerugian negara (atau masyarakat);
b. Korban menitipkan kerugian yang teijadi oleh tindak kejahatan kepada negara dalam bentuk pelaporan untuk diproses walaupun belum tentu dalam prosesnya nanti kerugian ini dikembalikan utuh kepada korban;
c. Tanggung jawab terhadap perbuatan pi dana jatuh pada pelakunya sehingga tentang mengapa pelaku dijatuhi hukuman pidana adalah
33
menggunakan teori retributif: pemidanaan ada karena perbuatannya sendiri- dari Teori kebebasan berkehendak;
d. Tujuan pemidanaan secara teori gabungan harus bisa menerima bahwa tujuan pemidanaan adalah: secara primer sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap kerugian atau hutangnya pada negara atau masyarakat, dan secara sekunder sebagai alasan tindakan prefensi (atau preventif) agar kejahatan yang sama tidak terjadi kembali; baik oleh pelakunya kembali (Special Deterren) atau orang-orang lain (General Deterrent)atausecara keseluruhan secara sekunder sebagai alasan preventif dan deteren;
e. Sedang perlakuan proses pemidanaan harus menggunakan teori relatif yang bertujuan merehabilitasi yang 'mengusahakan' terpidana bisa kembali lagi ke masyarakat; dan dalam kondisi yang terestorasi (Expiation Theory- penebusan dosa);
f. Disini pelaku tindak pidana dinyatakan sebagai orang berhutang pada negara yang ditimbulkan dari suatu perbuatan yang tercela;
g. Hutang dan karena timbulnya hutang tersebut adalah perbuatan yang tercela sehingga memberi hak pada negara untuk mencabut hak-hak dalam hidupnya terutama kemerdekaannya, hal ini juga perlu karena ketika dalam terjepit hutang seperti demikian; manusia sering terdorong untuk melakukan kejahatan lain sebagai upaya singkat menyelesaikan masalah hutangnya (sebagai alasan sesuai teori Social Defence);
Dengan teori Restorative Justice sistem pidana (konsep baru: konsep
penulis) mengutamakan upaya pengembalian kerugian yang tercipta;
a. Dalam sistem ini, masyarakat diikat dalam suatu kontrak sosial yang menyatakan jika seseorang berbuat tindak pidana sehingga menciptakan kerugian ekonomis dan sosial pada negara dan oleh karena itu memberikan wewenang pada negara untuk mencabut hakhak dasarnya sampai terbayamya hutang yang tersisa;
b. Berbeda dengan Bentham yang mengungkapkan ide pemidanaan sebagai pembebanan pada negara, penulis berpendapat untuk merestorasi pelaku harus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di Juai: seperti. hak untuk bekerja dan dipekerjakan sehingga 'berguna', disini pemidanaan disamakan sebagai terikat kontrak kerja dengan syarat pencabutan beberapa hak dasar;
c. Jadi supaya adil, jumlah hutang yang tersisa dan penjatuhan lama pemidanaan harus memiliki korelasi bergaris lurus;
d. Suatu sistem Restorative Justice yang memastikan keuntungan pelaku atau terpidana untuk mengembalikan kerugian korban secara langsung karena lebih menguntungkan daripada opsi pidananya.
Adapun Applied Theory dalam penelitian disertasi ini adalah mediasi
penal sebagai altematif penyelesaian perkara pidana anak.Mediasi penal
34
merupakan alternatif penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak
pidana yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan kepentingan
terutama korban yang telab dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak pidana.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif
Penyelesaian Sengketa mengatur adanya mediasi narnun tidak mengatur
untuk diterapkan pada perkara pidana. 44
Terdapat beberapa alasan penggunaan mediasi pidana dapat
diterapkan dalarn sistem hukum pidana Indonesia. Per.arna, penyelesaian
perkara pidana melalui mekanisme penegakan hukum, menimbulkan
penumpukan perkara yang belum dapat diselesaikan, baik di tingkat
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Adapun gagasan yang dimunculkan adalab Community Corrections
sebagai bagian dari pendekatan treatment. 45Kedua, me ski pun upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagai alternatif penyelesaian
perkara pidana, pada kasus-kasus pidana di Indonesia tidak dikenal, namun
menurut Barda Nawawi Arief,46 untuk perkara-perkara tertentu penyelesaian
perkara pidana berdasarkan perundang-undangan hukum pidana yang berlaku
saat ini dapat diselesaikan di luar pengadilan, antara lain sebagaimana diatur
dalarn KUHP: ..
44 Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penye/esaian Sengketa di Luar Pengadilan. Makalah, Seminar Nasoinal Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Program Doktor llmu Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta: Inter Continental Hotel, 27 Maret 2007, him. 1-2
"Etta Morgan-Sharp dan Robert T. Sigler, "Sentencing into the Twenty-First Century: Sentence Enhancement and Life Without Parole", dalam Roslyn Muraskin dan Albert R Roberts, Visions for Change: Crime and Justice in The Twenty-First Century, New jersey: Prentice-Hall, I 996, him. 238
"i!arda Nawawi Arief, "Mediasi Pidana (Penal Mediation) dalam Penyelesaian Sengketa/ Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan", dalam Paulus Hadisuprapto, el al., Kapil a SelekJa Hukum: Menyambut Dies Nata/is Ke-50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2007, hlm.B-14
35
"Dalam hal delik yang dilakukan berupa pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenanganlhak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah "ciflwop" atau "pembayaran denda damai" yang merupakan salah satu alasan penghapusan pi dana."
Selain itu untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat pula
dilakukan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 5 yang menyatakan:47
I. Sistem peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif
2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (I) meliputi: a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
b. Pesidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum;
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan!atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
3. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufa dan hurufb wajib diupayakan diversi Selanjutnya dalam Pasal6 mengatur tentang diversi yang bertujuan:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak; b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
. d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Ketiga, mediasi pidana dalam praktek penegakan hukum banyak
dilakukan terutama dalam delik aduan. Praktek mediasi yang dilakukan
dengan melibatkan kepolisian ini dapat dibenarkan oleh Roeslan Saleh, yang
41ibid
36
menyatakan:48
"Tidak semua perbuatan yang telab sampai pada pihak kepolisian diteruskan ke Jaksa atau Pengadilan ... banyak hal diselesaikan menggunakan perantara polisi ... penyelesaian yang demikian banyak pula faedahnya ... maka sesuatu yang tidak begitu perlu untuk diperkarakan akan dapat diatasi dan konflik-konflik akan dapat dilenyapkan dengan sempurna."
Upaya penanggulangan kenakalan anak paling "trep" bila dilandasi
pemahaman yang memadai tentang faktor-faktor korelasional kriminogen
perilaku kenakalan anak. Banyak teori ditawarkan dalam upaya memabami
sebab-sebab teijadinya perilaku kenakalan anak, dalam kesempatan ini hanya
dikemukakan salab satu saja, teori yang mengetengabkan sebab teijadinya
perilaku kenakalan anak. Teori Kontrol Sosial dari Travis Hirschi, teori ini
cukup populer sehingga banyak pakar kriminologi anak menggunakan teori
ini sebagai pisau analisis, gejala kenakalan anak di dalam berbagai konteks
masyarakat di mana pakar kriminologi itu berkarya.
Hirchi melandaskan pada pertanyaan yang berbeda dalam
mengetengahkan penjelasan mengapa anak-anak terlibat kenakalan. Pakar
kriminologi anak pada lazimnya berangkat dari pertanyaan dasar, "mengapa
seorang anak melakukan kejabatan?", sementara Hirchi berangkat dari
pertanyaan dasar, "mengapa seseorang anak patuh norma?". Pijakan dasar
bukan pada "perilaku penyimpangan anak", melainkan pada "kepatuhan anak
pada norma". Kajian-kl\iian lalu berkembang dan terfokus pada variabel-
variabel yang melatarbelakangi kepatuhan anak pada norma, yang disebutnya
"Ikatan Sosial" (Social Bound). Formula Hirchi, "semakin anak terikat
dengan masyarakatnya, kecil kecenderungannya terlibat kenakalan,
48 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi da/am Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, him. 34
37
sebaliknya bila ikatan anak dengan masyarakatnya lemah atau terputus, maka
anak akan bebas melakukan kenakalan".
Pintu masuk seorang anak menjadi perilaku kenakalan adalah lemah
atau terputusnya ikatan sosial anak (attachment, commitment, involvement
dan beliefs) maka tinggi kecenderungan anak untuk tidak patuh nonna
melakukan kenakalan. Pintu pertama, bila kemudian ditanggapi secara tak
proporsional, dan melahirkan stigma, maka besar kemungkinan anak
mengulangi lagi perbuatan kenakalannya di masyarakat pada masa datang
"self folfiling process" anak berusaha menyesuaikan "gelar'' yang
diterimanya sebagai akibat disproporsionalitas perlakuan yang diterimanya
dalam masyarakat ( dapat juga dilahirkan oleh perangkat penegak hukum
lewat sistem peradilan pidana Proses pengidentiftkasian anak sesuai gelar
barunya (pelaku kenakalan) seeing disebut sebagai "secondary deviance".
Konstatasi ini bila kemudian dikaitkan dengan penanganan Raju
dalam hal tertentu akan menjadikan pribadi Raju terkoyak dan
mengidentifikasikan dirinya seperti perlakuan yang dialami Raju dalam
proses peradilan pidana selama ini. Hal inilah yang rasanya perlu diperhatikan
dan memperoleh perhatian sebagai salah satu upaya perlindungan hukum
anak-anak yang bennasalah dengan hukum dalam hal ini sebagai pelaku
kenakalan anak. 49
49 Paulus Hadisuprapto, Peradi/an Resloratif Model Alternatif Perlindungan Hukum Anak do/am Perspeklif Hulatm Nasional dan lnternasional,(makalah) disampaikan dalam pembahasan mengenai peradllan restoratif justice di Indonesia, Semarang: FH Universitas Diponegoro, 2000, hlm.4
38
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian hukurn pada dasamya adalah suatu proses
sistematis dan terencana untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, serta doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dibadapi secara konstektual. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi secara rasional, teori atau konsep baru sebagai prekripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. 50
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah,
metode pendekatan yuridis-normatif, yaitu metode dalam hukum normatif
dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah-kaidah
hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang ada, dari
peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan hukum terutama
yang berkaitan dengan pelaksanaan Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia.
Pada prinsipnya penelitian dengan pendekatan yuridis normative ini
sumber utama yang digunakan adalah data sekunder atau bahan pustaka.51
Data sekunder dimaksud meliputi bahan ·hukum primer, bahan hukurn
sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian ini juga
merupakan upaya untuk menemukanhukum in concreto yang bertujuan untuk
menemukan hukum yang sesuai dan yang akan diterapkan dalam suatu
permasalahan tertentu, 52 terutama yang berkaitan dengan aspek penyelesaian
Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Sarna
50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Predana Media, Jakarta, 2005, him. 35 51 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995, him. 13 52Ronny HaniUjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, him. 22.
39
halnya dengan penelitian hukum terapan. Menurut Bagir Manan, penelitian
hukum terapan adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menjawab
masalah hukum atau yang berkaitan dengan hukum dalam suatu keadaan
yang konkrit. Lapangan penelitian terapan di bidang hukum yang dipilih
adalah penelitian normatif (yaitu penelitian terhadap kaidah hukum positif
dan asas hukum), yang berupa penelitian evaluasi hukum.53 Penelitian
evaluasi terhadap hukum positif ini dilakukan dengan cara kesesuaian dengan
kaedah hukum lain, atau dengan asas-asas hukum yang diakui dalam sistem
yang ada. Selanjutnya analisis dilakukan berdasarkan atau berpedoman pada
peraturan prundang-undangan dan pendapat para ahli. Oleh karena itu la!jian
ini lebih mendekat kepada kajian terapan hukum sebagaiman yang
diungkapan oleh Bagir Manan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,54 yaitu bertujun untuk
memperoleh suatu uraian atau gambaran umum yang menyeluruh dan
sistematis, serta menguraikan keadaan ataupun fakta hukum yang ada, yaitu
tentang aspek penyelesaian mediasi penal dalam sistem peradilan pidana
anak di Indonesia. Kemudian gambaran umum tersebut dianalisis dengan
berlandaskan pada aturan perundang-undangan serta pendapat para ahli
dengan . tujuan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang
teridentifikasi dalam kajian ini.
53 Bagir Manan, Penelitian Hukum Nonnatif adalah penelitian terhadap kaidah dan asas hukum, Lihat Jwnal Puslitbangkum, Nomor Perdana: I - 1999, Lembaga Penelitian Perkembangan Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999, him. 9.
" Sunaryati Hartono, Pene/itian Hukum di Indonesia pado A bad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, him. 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986, him. 9-10.
40
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk
mendapatkan data yang berbentuk dokumen atau tulisan, melalui penelusuran
peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun literatur-Iiteratur
ilmiah dan penelitian para ahli dan pakar yang sesuai dengan obyek dan
permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data sekunder sebagai data utama,
yang meliputi:55
a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan,
terutama yang berkaitan erat dengan masalah mediasi penal, sistem
peradilan pidana anak, masalah keadilan restoratit; serta pcraturan lain
yang terkait dengan permasalahan perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan masalah hukum.
b. Bahan Hukum Sekunder, berupa tulisan-tulisan ilmiah dari pakar, yang
terdiri dari Iiteratur-literatur, makalah-makalah, jurnal ilrniah dan hasil
hasil penelitian yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tertier, berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa,
artikel-artikel pada surat kabar, majalah serta internet.
Studi lapangan (field research) juga dilakukan untuk mendapatkan
data primer sebagai data pendukung, dimana pengumpulan data primer
dilakukan dengan wawancara, dengan terlebih dabulu melakukan penentuan
kelompok pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi berdasarkan
kewenagan, pengetabuan, pengalaman, dan pemabaman.
55 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Norma/if Op.cit., hlm. 52
41
Terhadap bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi hukum
dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan kaj ian ini. Untuk bahan
hukum primer, analisis dilakukan dengan menelaah dasar ontologis dan ratio
/egis(mengapa ada ketentuan ini)42 dari ketentuan perundang-undangan untuk
menangkap kandungan filosofis yang menjiwai adanya undang-undang
tersebut.
Data sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif normatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran, korelasi dan
perbandingan terhadap bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi
hukum dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan kajian ini.
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul
dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif.43 Normatif karena
penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada
sebagai hukum positif. Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal
dari informasi-informasi hasil wawancara yang diuraikan oleh responden,
yang disajikan secara diskriptif.
Untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan tertier, pengurnpulan
bahan dilakukan di beberapa lokas~ meliputi;
l.. Perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia
2. Pengadilan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Bandung;
3. Kejaksaan Negeri Cibinong;
4. Kepolisian Resor Bogor;
42 Apabila dasar ontologis dan landasan filosolis berkaitan dengan suatu undang-undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salab satu ketentuan darsuatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti.
43 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Gaja Mada, Yogyakarta, 1989, him. 25.
42
5. Balai Pemasyarakatan Bogor;
6. Melakukan studi banding di beberapa negara seperti Australia dan
Thailand.
Penelitian lapangan dilakukan pada sumber data yang akan diperoleh
dari para responden yang dianggap mengerti dan memahami permasalahan
yang akan diteliti, yaitu:
1. Ketua Pengadilan Negeri Bandung;
2. Kepala Kejaksaan Nege1i Cibinong;
3. Kepala Polisi Resor Cibinong;
4. Kepala Badan Pemasyarakatan Bogor; dan
5. Pemerhati Anak Ibu Erna Sofwan Sjukrie, SH.
43
BABD
KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANAANAK
A. Teori Keadilan
John Rawls menyebutkan bahwa setiap orang dapat memiliki konsep
keadilan yang berbeda dengan konsep orang lain. Dalam keadaan-keadaan
tertentu, orang-orang yang memiliki konsep keadilan yang berbeda bisa saja
sepakat untuk memberikan penilaian tentang adil tidaknya suatu tindakan.
Misalnya, apabila pemerintah menerapkan pemberantasan korupsi secara
menyeluruh kepada setiap orang yang terlibat tanpa pandang jabatannya.
Pada saat itu, seluruh kelompok masyarakat (misalnya, kelompok
berlandaskan agama, maupun kelompok pengusaha!bisnis) sepakat
memberikan penilaian "adil" bagi pemerintah. Kesepakatan dari orang-orang
yang memiliki latar belakang berbeda dapat teJjadi karena konsep "keadilan"
dibiarkan menjadi konsep yang terbuka terhadap penafsiran. 56
Setiap manusia, memiliki nilai-nilai keadilan yang melekat dan
merupakan hasil olah spiritual atau jiwanya.57 Bagi hakim sebagai penegak
hukum, keadilan yang bersifat spiritual diwujudkan melalui hukum yang
berfungsi sebagai alat, sebagai cara dan keluaran (output) dalam suatu
sengketa hukum. Keadilan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
56 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press Cambridge, 1995, him. 3. 57Sebagaimana dikatakan oleh Benyamin N. Cardozo: " ... justice itself ... may mean
different things to different minds and aJ differenJ times ... (keadilan sendiri dapat diartikan berbeda untuk pikiran yang berbeda dan waktu yang berbeda)". Lihat Benyamin N. Cardozo, the Growth of the Law, Universal Law Publishing, New Delhi, 2006, hlm. 86.
44
interaksi antara Teori Keadilan dan Hukum, bagaimana keduanya saling
mempengaruhi, terkait satu dengan lainnya, akan diuraikan di bawah ini.
Konsep keadilan adalah teori utama dalam filsafat dan sama pentingnya
dengan pengertian hukum itu sendiri. Keadilan juga merupakan wacana
ilmiah yang umum mengenai kehidupan publik yang dipahami setiap orang
secara intuitif. Konsep tersebut, seperti keberadaan atau kebenaran, akan
selalu dipahami orang. Kita dapat memberikan contoh dari ketidakadilan,
tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan langsung yang abstrak mengenai
apakah sebenarnya keadilan itu, maka akan sulit untuk mengetahui dari mana
memulainya.
Satu hal yang membuat jelas adalah bahwa keadilan, sebagai konsep
moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang melibatkan
kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Penderitaan yang disebabkan oleh
badai, gempa dan bencana alam tidak dapat dikatakan sebagai suatu
ketidakadilan. Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidakadilan
adalah kegagalan untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan
adalah suatu masalah di mana tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi
juga suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. Aktivitas tersebut bisa
merupakan keberadaan dari sesuatu yang alami, seperti aparatur hukum dan
kerajaan, atau sesuatu yang supranatural, misalnya kemarahan atau kebaikan
Tuhan, adanya tujuan yang disadari merupakan kondisi yang penting dalam
membicarakan keadilan.
45
Radbruch menyatakan bahwa keadilan hams dianggap sebagai salah
satu komponen dari ide hukum. 58 Komponen yang Iainnya lagi adalah
fmalitas dan kepastian.59 Hukum dan keadilan sebagi dua sisi dari suatu mata
uang. Jika keadilan digambarkan sebagai materi dan hukum sebagai "bentuk",
maka nilai keadilan adalah materi yang hams mengisi bentuk hukurn.
Sedangkan hukurn rnerupakan bentuk yang harus melindungi nilai keadilan.
dengan demikian, keadilan memiliki sifat nonnatif sekaligus konstitutif bagi
hukum. Keadilan bersifat normatif bagi hukum karena berfungsi sebagai
prasyarat transendental yang rnendasari tiap hukum yang bennartabal
Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem
hukurn positif. Dengan kata lain, keadilan selalu menjadi pangkal hukum.
Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas disebut sebagai hukum.60 Sejalan
dengan Rawls yang rnengatakan betapapun bagus dan efisiennya suatu
hukum, tetapijika ia tidak adil, maka hukum itu harus diganti.61
Apabila suatu tata hukum tidak adil, maka tata hukum yang tidak adil
itu hanya dapat ditentukan oleh suatu lembaga khusus, yakni suatu pengadilan
yang ditunjuk untuk itu. Jika menurut pandangan pengadilan temyata terdapat
suatu tata hukurn yang tidak adil, rnaka undang-undang tersebut harus
58Radbruch, G., RechJphi/osophie, Koehler: Stutgart, 1973, him. 164. ,.Menurut Radhbruch, aspek keadilan menunjuk pada kesamaan hak di depan hukum.
Aspek finalitas menunjuk kepada tujuan keadilan memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Sedangkan aspek kepastian menunjuk pada jaminan babwa hukum (yang mengandung keadilan dan finalitas) harus dapat berfungsi sebagai peraturan yang benar-benar ditaati. Bandingkan pandangan Radhbruch ini dengan pendapat Bagir Manan yang mengatakan babwa suatu putusan pengadilan wajib menggunakan pertimbangan keadilan dan rnanfaat putusannya. Walaupun demikian, hakim tetap memutus berdasarkan hukum. Lihat Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Da/am Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000, Jakarta: Mahkarnah Agung Rl, 2005, him. 60.
60Bemard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Rage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruangdan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006, him. 106.
61 John Rawls, Op.cit . ., him. 3.
46
dipandang sebagai bukan hukum dan tidak berlaku. 62 Dalam praktik,
pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk menyatakan suatu ketentuan
hukum tidak berlaku karena alasan ketentuan hukum tersebut tidak adil. Akan
tetapi kewenangan tersebut boleh dijalankan oleh Pengadilan (khususnya
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) secara terbatas, hanya dengan
alasan kepastian hukum, yakni suatu ketentuan hukum tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan hukum yang sifat atau secara hirarki lebih
tinggi.
Keadilan bukan merupakan tujuan hukum. Karena hukum harus dapat
mewujudkan keadilan atau dengan kata lain, konkretisasi keadilan dilakukan
melalui hukum. dengan demikian pemahaman mengenai keadilan secara
konkret dapat dilihat dari pemahaman terhadap hukum. Sebagaimana
keadilan bersifat subjektif yang diwujudkan oleh hukum yang bersifat
subjektif pula, maka hukum merupakan instrumen sosial yang mengikuti
perkembangan masyarakatnya.
Konsep bahwa keadilan adalah keadilan hukum sebagaimana terungkap
dalam doktrin ilmu hukum: Fiat justitia, ruat coelum (biarlah keadilan
dilaksanakan, sekalipun lagit akan runtuh; let justice be done, though the
heavens should fall). Setiap hakim atau pengadilan diharapkan memberikan
keadilan berdasarkan hukum yang berlaku sekalipun langit akan runtuh.
Dalam kata-kata Lord Denning: if justice is done, the heavens should not fall.
They should rejoice Qika keadilan dilaksanakan, langit tidak akan runtuh.
Langit akan bergembira).
62Theo Huijbers, Filsqfat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm. 73.
47
Mempersamakan antara keadilan dan peraturan hukum adalah cara
paling mudah untuk memahami keadilan. Peraturan hukum dipergunakan
untuk mempromosikan keadilan melalui 2 (dua) cara: pertama, peraturan
hukum memperkenalkan sejumlah norma moral sebagai norma hukum dan
menetapkan norma dalam sistem hukum sebagai sistem keadilan. Kedua,
sistem keadilan dibentuk melalui sejumlah lembaga yang ditetapkan oleh
peraturan hukum untuk:
I) menjalankan dan menegakkan peraturan hukum untuk memperoleh
keadilan;
2) memilah dan menyajikan kepada pengambil keputusan adanya bentuk-
bentuk lain pelanggaran hukum;
3) memutuskan kapan telah teJjadi pelanggaran hukum dan apakah
sanksinya;
4) menjalankan isi putusan yang sudah ada.63
Dengan kata lain, hukum berperan dalam pencapaian keadilan melalui 4
(empat) cara praktis, yaitu melalui:
I) penentuan struktur lembaga keadilan dan sistemnya;
2) penetuan peraturan substantif yang akan dilaksanakan oleh sistem
keadilan;
3) penentuan peraturan prosedural yang harus diikuti selama masa
pelaksanaan peraturan substantif;
63 Myren mengatakan: "Law is used to promote justice in two ways: it recognize some moral rules as legal rules and it establishes subunits of legal systems as justice systems. Justice systems are made up of agencies established or promoted by law to administer and enforce legal rules that promote justice; to screen out some and present to decision-makers other cases of viola/ion of those legal ntles; to decide whether the alleged violations actually occureed and what sanction should be imposed; and to implement the decisions so made". Lihat Richard A. Myren, Low and Justice, An Introduction., Brooks/Cole Publishing, Pacific Groove, 1988, him. 31.
48
4) penentuan mekanisme di mana akuntabilitas orang-orang yang bekelja
pada institusi keadilan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat.
Pengertian keadilan sama dengan pengertian hukum sebagaimana
dikemukakan di atas oleh Richard A. Myren, mewakili pemikiran-pemikiran
umum yang setiap hari dapat kita temukan dalam masyarakat melalui istilah-
istilah seperti: "Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan", atau
istilah orang yang berperkara di pengadilan disebut sebagai: "pencari
keadilan". Bahkan mewakili suatu pandangan bahwa "hakim adalah pemberi
keadilan".
Keadilan dapat teljadi jika keadilan dilaksanakan berdasarkan
hukurn.64 Keadilan terwujud terutama selama suatu masyarakat beljalan
mengikuti aturan. Konsep keadilan ini merupakan konsep yang paling tua.
Tetapi, Cicero juga mengingatkan: "The more laws, the less justice"
(semakin banyak hukum, semakin kurang keadilan), sebab keadilan
seharusnya menjadi dasar bagi hukum. Sedangkan, rasio adalah dasar dari
pencarian keadilan. Kondisi kekuasaan negara yang menggunakan hukum
untuk menekan masyarakat telah menjadi latar belakang pandangan Cicero.
Apa yang bagi pemerintah dipandang sangat adil, justru bagi masyarakat
menjadi sangat tidak adil (extreme justice is extreme injustice). 65
"'Bagir Manan mengatakan bahwa sekalipun hakim harus mempertimbangkan keadilan dan manfaat, namun setiap putusan harus dibuat berdasarkan hukum, inilah makna "keadilan hukum dan kebenaran hukum". Lihat bagir Manan, Suatu Tirifauan ... op.cit., him. 60-61.
65Dikutip dari <http://www.geocities.com/rational_argumentator/Cicero.hbnl>, Gary M. Galles, Cicero on Justice, Law, and liberty", A. Journal for Western Man Issue XXX January 26, 2005. Cicero adalah pemikir yang hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ia merupakan salah satu pemikir yang memberikan pengaruh paling penting dibalik revolusi Amerika. Ia menjadi simbol bagi orang yang melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah. Pikiran-pikirannya mengenai keadilan, hukum dan kemerdekaan dapat ditemukan dalam berbagai dokumen awal pembentukan negara Amerika Serikat.
49
Selain teori keadilan John Rawls yang merupakan Grand Theory
maka digunakan juga teori hukum yang berkeadilan dan bermartabat
sebagaimana menurut Teguh Prasetyo yang menyatakan sebagai pengayom
masyarakat, hukum pidana harus memberikan keadilan dan bermartabat bagi
masyarakat. Tanpa rasa keadilan dan martabat di hadapan masyarakat, maka
hukum pidana hanya sebagai macan kertas yang tidak dapat diaplikasikan
dalam kehidupan masyarakat.
Teori hukum yang berkeadilan sejalan dengan pendapat Gustav
Radbruch yang menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan.
Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan
persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan
intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi
keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat.
Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan
masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat. 66
Lebih lanjut tujuan hukum itu sendiri, menurut Gustav Radbruch
adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Dalam mewujudkan
tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu digunakan asas prioritas
dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena
dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan
dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar
tujuan hukum tersebut, pada saat teJjadi benturan, maka mesti ada yang
66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 23
50
dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch
harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: keadilan hukum,
kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. 67
B ila dikaitkan dengan sanksi pi dana, dalam setiap masyarakat ada
sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu
melekat pada sanksi pidana. Setiap sanksi pidana harus mampu menganut
prinsip keadilan yang berlaku di masyarakat sehingga masyarakat
diperlakukan secara adil. Jika suatu sanksi pidana menjalankan suatu orde
yang membuat mayoritas rakyatnya merasa. diposisikan secara tidak adil,
maka bisa dipastikan masyarakat akan menolak sanksi pidana tersebut.
Sanksi pidana yang berkeadilan tersebut juga harus didukung oleh
sanksi pidana yang bermartabat, yaitu sanksi pidana yang memperhatikan
filosofis masyarakat tersebut sehingga masyarakat akan menghormati sanksi
pidana dimana sanksi pidana tersebut menjadi bermartabat di
masyarakat.Teori ini digunakan untuk melihat nilai keadilan dalam
pembaharuan sanksi pidana dan agar pembaharuan sanksi sanksi pidana
menghasilkan sanksi pidana yang bermartabat, yaitu budaya taat hukum, baik
oleh masyarakat, aparat maupun Pemerintah sesuai dengan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat.
B. Teori Tujuao Pemidaoaao
Tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang berbeda
Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran dalam hukum
67Heather Leawoods, Gustw Radbroch: An Extraordinary Legal Philosopher, Wanshington University Press, Journal of Law and Policy, Vol. 2, 2000, him. 495
51
pidana. Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari tujuan pidana
terdiri dari aliran ldasik, aliran modern dan aliran neo-klasik, maka tujuan
pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga, yakni teori absolut, teori
relatif dan teori gabungan. Akan tetapi dalam perkembangannya selain ketiga
teori tesebut ada juga teori-teori kontemporer tentang tujuan pidana.
I. Teori Absolut
Teori absolut labir pada aliran klasik dalam hukum pidana.
Menurut teori ini pembalasan adalab legitimasi pemidanaan". Negara
berhak menjatuhkan pidana karena penjabat telab melakukan penyerangan
dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telab dilindungi68•
Vos dalam Leerboeknya berkomentar, "De absolute theorieen, die vooral
tegen het eind det I Be eeuw opkomen, zoeken de rechtsgrond van de strqf
in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond om de
dader to bestraffen. ... " (Teori absolut, terutama bermunculan pada akhir
abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan:
kejabatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku)69.
Selanjutnya teori absolut atau teori pembalasan yang menjadi dasar
pijakan aliran ldasik tediri dari atas pembalasan subjektif dan pembalasan
objektif. Vos menyatakan, "Subjectieve verge/ding is verge/ding van de
schuld van de dader, verge/ding naar mate van het verwijt, ... ; objectieve
verge/ding is verge/ding naar mate van dat, wat de dader door zijn
toedoen .... "(Pembalasan subjektif adalah pembalasan kesalaban pelaku,
pembalasan terhadap pelaku yang tercela .... ; pembalasan objektif adalab
68 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, PT Raja Grafmdo Persada Jakarta, 2007, him. 157
69 H.B. Vos. Op.Cit., him. 10
52
pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah di lakukan oleh
pelaku .. -)'0•
Penganut teori absolut ini antara lain adalah Imannuel Kant, Hegel,
Herbart dan Julius Stahl. Pendapat Kant, pidana adalah etik; praktisnya
adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu kejahatan harus dipidana (de
straf als eis van ethiek; de practische rede eist onvoorwaardelijk, dat op
het misdrijf de straf volgt). Menurut Hegel, kejahatan adalah pengingkaran
terhadap hukum, kejahatan tidak nyata keberadaannya, dengan penjatuhan
pidana kejahatannya dihapus (de misdaad is een negatie van het rechl, dat
wezenlijk is; de misdaad heeft dus slecht een schijnbestaan, dat dan weer
door de straf wordt opgeheven).
Sedangkan Herbert menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas tidak
disenangi. Tuntutan yang harus dipenuhi bahwa pelaku mengalami
beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita (de
overgolden misdaad mishaagt. Het is dus een eis van aesthetische
noodwendigheid, dat de dader een gelijk quantum teed ondervindt als hij
heeft doen lijden ). Sementara Stahl mengemukakan bahwa pidana adalah
keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus
memberlakukan keadilan Tuhan di dunia (de .. straf als eis van Goddel{jke
gerechtigheid. De overheid als vertegenwoordigster van God op aarde
heeft die goddelijke gerechligheid tot gelding to brengen ).
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Kant, Hegel, Herbart dan
Stahl, menurut Remmelink sebenamya pemikiran-pemikiran mereka yang
70 Ibid. him. 11
53
digolongkan ke dalam teori absolut ini berbeda antara satu dengan yang
lain. Kesamaan yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa
syarat dan pembenaran penjatuhan pidana tercakup di dalam kejahatan itu
sendiri, terlepas dari pandangan absolut terhadap pidana71• Masih men urut
Remmelink, sebenarnya teori absolut yang menjadi ciri aliran klasik sudah
dikembangkan pada zaman kuno. Seneca dengan merujuk pada ajaran
filsufYunani, Plato, menyatakan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed
ne peccetur (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa,
melainkan agar tidak lagi terjadi dosa). Upaya mencegah kejahatan
dilakukan dengan membuat takut sehingga hukum pidana kuno kemudian
mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya
dilakukan di depan umum dengan memberi peringatan pada masyarakat
luas72•
2. Teori Relatif
Jika teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana sebagai
pembalasan, maka teori relatif mencari dasar pernidanaan adalah
penegakan ketertiban masyarakat dan tujuan pidana untuk mencegah
kejahatan ( .... relatieve theoriee ,deze zoe ken de rechtsgrond van de straf in
de handhaving der maatschappelijke orde en bijgevolg is het doe/ der straf
preventie der misdaad)73• Teori relatifjuga disebut sebagai teori relasi atau
teori tujuan. Hal ini karena relasi antara ketidakadilan dan pidana bukanlah
hubungan secara apriori. Hubungan antara keduanya dikaitkan dengan
71 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komenlar Atas Pasal-pasa/ Terpenting Da/am Kitab Undang-undang hukum Pidana Be/anda dan Padangantrya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indanesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. him. 600
12Ibid, him. 605 73 H.B. Vos. Op. Cit., him. 13
54
tujuan yang hendak dicapai pidana, yaitu perlindungan kebendaan hukum
dan penangkal ketidakadilan ( .... tussen onrecht en straf bestaat hier niet
dat aprioristische begrijpsverband. Hun relatie ligt in lets daarbuiten, in
het met de straf te bereiken doe/, de bescherming der rechtsgoederen, het
afweren van onrecht .... )74·
Pencegahan terhadap kejahatan pada dasarnya dibagi menjadi
pencegahan umum dan pencegahan khusus. Adanya penjatuhan pidana
secara umum agar setiap orang tidak lagi melakukan kejahatan ( .... de
generale-preventie-gedachte wi/ de straf doen dienen om in het a/gemeen
ieder van het begaan van delicten terug te houden. ... )75• Prevensi umum
untuk mencegah teljadinya kejahatan oleh von Feuerbach dikenal dengan
istilah teori psychologischezwang atau paksaan psikologis. Artinya, adanya
pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan
akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat.
Oleh karena itu menurut von Feuerbach, sanksi pidana yang diancamkan
terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis dalam undang-undang
sehingga mengurungkan niat orang untuk berbuat jahat.
Th. W. van Veen dalam disertasinya dengan judul "Generale
Preventie" menyatakan ada tiga. fungsi pencegahan urn urn. Pertama,
menjaga atau menegakkan wibawa penguasa, terutama dalam perumusan
perbuatan pidana yang berkaitan dengan wibawa pemerintah, seperti
kejahatan terhadap penguasa umum. Kedua, menjaga atau menegakkan
norma hukum.Ketiga, pembentukan norma untuk menggarisbawahi
74 Hazewinkel Suringa, Op. Cit., him. 499 75 H.B. Vos, Op.Cit., him. 13
55
pandangan bahwa perbuatanperbuatan tertentu dianggap asusila dan oleh
karena itu tidak diperbolehkan 76•
Prevensi khusus ditujukan terhadap pelaku kejahatan yang telah
dijatuhi pidana sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya. Menurut van
Hamel" sebagai penganut teori relatif berupa prevensi khusus - bersama-
sarna dengan Frank von Liszt, pidana bertujuan untuk menakutkan atau
memperbaiki atau melenyapkan jika tidak bisa lagi diperbaiki ( ... dit doe/
kon worden bereikt door cifschrikking, hetzij door verbetering hetzij door
onschndelijkmaking/4•
3) Teori Gabungan
Puniendis nemo est ultrameritum, intra merili vera modum magis
aut minus peccate puniuntur pro uti/ita/e. Demikian Groritius atau Hugo
de Groot yang menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang
sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang
layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan
berat ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari suatu
adagium yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat
yang berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang berbuat kejahatan,
maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya penderitaan semata
sebagai suatu pembalasan tetapijuga ketertiban masyarakat77•
Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori
relatif juga terdapat kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini
76 Jan Remme link, Op. Cit .• him. 607 77 Jan Remmelink, Op.Cit .• hlm. 611
56
terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat
" ... de derde groep, de verenigingstheorieen. Hier vindt men een
combinotie van de gedachten der verge/ding en der bescherming van de
maatschoppelijke orde). Masih menurut Vos, selain titik berat pada
pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk
melindungi ketertiban hukum ( ... men kan als uitgangspunt de verge/ding
nemen en deze dan beperken in die zin, dat niet verder mag worden
gegaan dan voor de hondhaving der rechtsorde nodig is)". Sebagai
penganut teori gabungan, Vos menyatakan titik berat yang sama pada
pidana adalab pembalasan dan perlindungan masyarakat ( .... dat de straf
tegelijk voldoet en aan de eis van verge/ding en aan die der
maatschappelijke bescherming)78. Dengan demikian, Vos memberi bobot
yang sama antara pembalasan dan perlindungan masyarakat.
Penganut teori gabungan lainnya adalah Zevenbergen, seorang ahli
hukum pidana Jerman. Zevenbergen lebih menitikberatkan pada
pembalasan, namun bertujuan melindungi tertib hukum, karena respek
terhadap hukum dan penguasa ( ... dat het wezen der straf verge/ding is,
maar het doe/ bescherming der rechtsorde, omdat namelijk door de strqf
het respect voor recht en overheid hersteld en behouden word/) 79 Masih
menurut Zevenbergen, pada hakikatnya pidana adalah suatu ultimum
remedium.
Penganut teori gabungan yang lebih menitikberatkan perlindungan
masyarakat daripada pembalasan adalah Simons. Menurutnya, prevensi
78 H.B. Vos, Op.Cit., him. 18 79 Ibid, him. 17
57
umum terletak pada pidana yang diancamkan, dan subsider -----.sifat dari
pidana terhadap pelaku- prevensi khusus, menakutkan, memperbaiki dan
melenyapkan ( ... degenerale prevenJie, in de strajbedreiging gelegen, en
subsidiair waar de strajbedreiging blijkbaar voor de dader niet voldoende
was-speciale preventie, bestaande in qfschrikking, verbetering en
onschadelijkmakinl0J.
4) Teori Kontemporer
Selain teori absolut, teori relatif dan teori gabungan sebagai tujuan
pi dana, dalam perkem bangannya terdapat teori-teori baru yang penulis
sebut sebagai teori kontemporer. Bila dikaji lebih mendalam,
sesungguhnya teori-teori kontemporer ini berasal dari ketiga teori tersebut
di atas dengan beberapa modifl.kasi. Wayne R. Lafave menyebutkan salah
satu tujuan pidana adalah sebagai deterrence effect atau efek jera agar
pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga
pidana bertujuan sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana
perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk81• Tujuan pidana
sebagai deterrence effoct pada hakikatnya sama dengan teori relatif terkait
dengan prevensi khusus.
Masih menurut Lafave, tujuan pidana yang lain ad alah rehabilitasi.
Artinya, pelaku kejahatan harus diperbaiki ke arab yang lebih baik, agar
ketika kembali ke masyarakat is dapat diterima oleh komunitasnya dan
tidak lagi mengulangi perbuatan jabal Sebenamya tujuan pidana sebagai
rehabilitasi bukanlah hal barn. Thomas Aquinas dari sudut pandang
80 Ibid. him. 18 81 Wayne R. Lafave, Principle Of Criminal Law, West A Thomson Reuters Business, 2010,
hlm.25
58
Katolik sudah memisahkan antara poenae ut poenae (pidana sebagai
pidana) dengan poenae ut medicine (pidana sebagai obat)82• Menurut
Aquinas, tatkala negara menjatuhkan pidana dengan daya keija
pengobatan, maka perlu diberikan perhatian terhadap prevensi umum dan
prevensi khusus (poenae praesentis vitae magis sunt medicinales quam
retributative/3. Hemat penulis, teori rehabilitasi juga tidak terlepas dari
teori relatif yang berkaitan dengan prevensi. Pidana sebagai obat yang
dikemukakan Aquinas adalah dalam rangka memperbaiki terpidana agar
ketika kembali ke masyarakat tidak lagi mengulangi perbuatannya
sebagaimana tujuan prevensi khusus.
Selanjutnya menurut Lafave, pidana juga bertujuan sebagai
pengendalian sosial. Artinya, pelaku kejahatan diisolasi agar tindakan
berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan masyarakat84• Tegasnya,
masyarakat harus dilindungi dari tindakan jahat pelaku. Terkait fungsi
pengendali sosial pada awal abad ke-20 telah dikemukakan oleh Adolphe
Prins seorang ahli pidana Belgia. Menurut Prins, pidana dalam konteks
pembelaan masyarakat harus sebanding dengan seberapa jauh pelaku
mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat (Ia defense sociale et les
transformations du. droit penal). PascaPerang Dunia II, ajaran Prins
dilanjutkan oleh Marc Ancel, Anggota Cour de Cassation Perancis dengan
teori defense sociale nouvelle (gerakan sosial baru). Menurut Ancel, tujuan
pidana adalah melindungi tatanan masyarakat dengan tekanan pada
resosialisasi atau pemasyarakatan kembali dengan penegakan hukum yang
82 Hazewinkel Suringa, Op. Cit, hlm. 505 83 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 612 84 Wayne R. Lafave, Op.Cit., hlm. 26
59
tidak menitikberatkan hanya pada yuridis formal tetapi juga bernuansa
sosial. Masih menurut Ancel, pentingnya individualisasi pidana dalam
penjatuhannya dengan fokus pada tanggung jawab manusia sebagai
individu yang juga adalah makhluk sosial85.
Terakhir menurut Lafave, pidana bertujuan untuk memulihkan
keadilan yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan
restoratif6• Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan
penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku
kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait
untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada
pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan87• Istilah
keadilan restoratif berasal dari Albert Eglash pada tahun 1977, yang
mencoba untuk membedakan tiga bentuk peradilan pidana, masing-masing
adalah retributive justice, distributive justice dan restorative justice.
Menurut Eglash, fokus retributive justice adalah menghukum pelaku atas
kejahatan yang telah dilakukan olehnya. Sedangkan distributive justice
memiliki tujuan rehabilitasi pelaku. Sementara restorative justice pada
dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan
pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi
korban dan rehabilitasi pelaku.
85 Jan Remmelink, Op. Cit .. him. 613-614 86 Wayne R. Lafave, Op.Cit., him. 25 87 Eva Achjani Zulfa, Konsep Dasar Restorative Justice, disampaikan daiam acara
Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi "Asas-Asas Hukum Pidana Dan Kriminologi Serta Perkembangan Dewasa lni", Ketjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Masyarakat Hukum Pi dana Dan Kriminologi, Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, him. I
60
Marshall sebagaimana yang dikutip oleh Antony Duff;
mendefmisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses para pihak yang
terlibat dalam sebuah kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan
dengan cara mengatasi tindakan tersebut dan implikasinya di masa yang
akan datang. Tujuan dari keadilan restoratif menurut van Ness adalah
untuk memulihkan kembali keamanan masyarakat korban dan pelaku yang
telah menyelesaikan konflik mereka88• M. Kay Harris yang mengutip
pendapat Braithwaite dan Strang memberikan dua pengertian keadilan
restoratif. Pertama, keadilan restoratif sebagai konsep proses yaitu
mempertemukan para pihak yang terlibat dalam sebuah kejahatan untuk
mengutarakan penderitaan yang telah mereka alami dan menentukan apa
yang harus dilakukan untuk memulihkan keadaan. Kedua, keadilan
restoratif sebagai konsep nilai yakni mengandung nilai - nilai yang berbeda
dari keadilan biasa karena menitikberatkan pada pemulihan dan bukan
penghukuman.
C. Teori Mediasi Penal
Sebelum membahas mengenai teori mediasi penal terlebih dahulu
diurakan mengenai munculnya teori teljadinya sengketa adalah oleh
kebutuhan dasar manusia.
Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa penyebab terjadinya
sengketa adalah oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental, dan sosial
yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan,
88 James Dignan, Understanding Victims and Restorative justice, Open University Press, 2005, him. 94
61
partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang
ingin dicapai teori ini adalab:
I. membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mengidentifikasi
dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan
menghasi!kan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan itu;
dan
2. agar pihak-pihak yang mengalami sengketa mencapai kesepakatan untuk
memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuab teori
tentang penyelesaian sengketa. Kedua abli ini mengemukakan sebuah teori,
yang disebut dengan teori strategi penyelesaian sengketa. Ada lima strategi
dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana disajikan berikut ini.
"Pertama, contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya. Kedua, yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Ketiga, problem solving (pemecahan masa!ah), yaitu mencari a[tematif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis. Kelima, inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa" .89
Ahli antropologi hukum juga mengemukakan pendapatnya tentang
cara-cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat, baik dalam
masyarakat modem maupun tradisional. Laura Nader dan Harry F. Todd Jr.,
mengemukakan tujuh cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Ketujuh
cara itu, meliputi:
I. lumping it (membiarkan saja); 2. avoidance (mengelak);
89 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, K01rflik Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, him. 4-6
62
3. coercion (paksaan); 4. negotiation (perundingan); 5. mediation (mediasi); 6. arbitration (arbitrase); dan 7. adjudication (peradilan)".90
Membiarkan saja atau lumping it, yaitu pihak yang merasakan
perlakuan yang tidak adil, gaga! dalam upaya untuk menekankan tuntutannya
Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu yang
menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya
dengan pihak yang dirasakan merugikannya. lni dilakukan karena berbagai
kemungkinan seperti kurangnya faktor informasi mengenai bagaimana proses
mengajukan keluhan itu ke peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan
atau sengaja tidak diproses ke peradilan karena diperkirakan bahwa
kerugiannya lebih besar dari keuntungannya ( dari arti mater iii maupun
kejiwaan).
Mengelak (avoidance), yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih
untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya
atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut. Misalnya, dalam
hubungan bisnis, hal semacam ini bisa teljadi. Dengan mengelak, maka isu
yang menimbulkan keluhan dielakkan saja. Berbeda dengan pemecahan
pertama, di mana hubungan-hubungan berlangsung terus, isunya saja yang
dianggap selesai. Dalam hal bentuk kedua ini, pihak yang dirugikan
mengelakkannya. Pada bentuk satu hubungan-hubungan tetap diteruskan,
pada bentuk kedua hubungan-hubungan dapat dihentikan untuk sebagian atau
untuk keseluruhan.
90 Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, New York: Columbia University Press, 1978, him. 9-11.
63
Paksaan (coercion), satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak
lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau
ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi
kemungkinan penyelesaian secara damai.
Perundingan (negotiation), yaitu dua pihak yang berhadapan
merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang
dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak
ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling
meyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak
memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
Mediasi (mediation), yaitu pihak ketiga yang membantu kedua belah
pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga
ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau
ditunjukkan oleh yang berwenang untuk itu. Apakah mediator hasil pilihan
kedua pihak, atau karena ditunjuk oleh orang yang mempunyai kekuasaan,
kedua pihak yang bersengketa harus setuju bahwa jasa-jasa dari seorang
mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan. Dalam
masyarakat-masyarakat kecil (paguyuban) bisa sljja tokoh-tokoh yang
berperan sebagai mediator juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai
hakim.
Arbitrase, yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk
meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju
bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu. Peradilan
(adjudication), yaitu pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri
64
pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa. Pihak
ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu
artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan.91
Ketujuh cara ini, dapat dibagi menjadi tiga cara penyelesaian
sengketa, yaitu tradisiona~ AD R, dan pengadilan. Yang termasuk cara
tradisional adalah membiarkan saja atau lumping it, mengelak (avoidance)
dan paksaan. Ketiga cara ini tidak ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan. Yang termasuk dalam penyelesaian dengan menggunakan ADR
adalah perundingan (negotiation), mediasi, dan arbitrase. Ketiga cara ini
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan dikenal dalam hukum acara.
Untuk memberikan gambaran penyelesaian dengan menerapkan
metode mediasi maka peneliti akan mengangkat beberapa tipe metode atau
model mediasi yang menjadi acuan dalam penyelesaian anak yang
bermasalah dengan hukum. Adapun keempat type f model mediasi adalah
sebagai berikut:
I. Model penyelesaian (Settlement Model atau Compromise/2
a. Mediasi dimaksudkan guna mendekatkan perbedaan nilai tawar atas suatu kesepakatan.
b. Mediator hanya terfokus pada permasalahan atau posisi yang dinyatakan para pihak.
c. Fungsi mediator adalah menentukan posisi "bottom-line" para pihak dan melakukan berbagai pendekatan untuk mendorong para pihak mencapai titik kompromi.
d. Biasanya mediator adalah orang yang memiliki status yang tinggi dan model ini tidak menekankan kepada keahlian dalam proses atau teknik mediasi.
91 T.O. Ihromi, Antropo/ogi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, him. 2!0-212
92 Said Faisal, Mediasi (makalah) dalam Prosiding him. 50 lihatjuga Denaldy Mauna dalam Mediator's Skill Reframing and Questioning in Practice, him. 153
65
2. Model fasilitasi (Facilitative Model) a. Memberikan fasilitas dan mengarahkan pada pihak-pihak yang
berperkara agar sedapat mungkin menyelesaikan sendiri masalah b. Mediator mengarahkan para pihak dari positional negotiation ke
interest based negotiation yang mengarah ke penyelesaian yang saling menguntungkan. Penekanan lebih ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak yang berselisih.
c. Mediator mengarahkan para pihak untuk lebih kreatif dalam mencari altematif penyelesaian.
d. Mediator perlu memahami proses dan teknik mediator tanpa harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan.
e. Kelebihannya adalah para pihak ketika selesai sengketa akan merasa puas, karena yang diangkat adalah kepentingannya dan bukan sekedar hal yang dipersengketakan saja.
f. Kekuranganya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama, g. Prosesnya lebih terstruktur.
3. Therapeutic a. Fokus pada penyelesaian yang komprehensif tidak terbatas hanya pada
penyelesaian sengketa tapi juga rekonsiliasi an tara para pihak. b. Yang diharapkan adalah selesainya sengketa dan juga para pihak
benar-benar menjadi baik/tetap berhubungan baik. c. Proses negosiasi yang mengarah ke pengambilan keputusan tidak akan
dimulai, sebelum masalah emosional antara para pihak yang berselisih diselesaikan.
d. Fungsi mediator adalah untuk mendiagnosa penyebab konflik dan menanganinya berdasarkan aspek psikologis dan emosional hingga para pihak yang berselisih dapat memperbaiki dan meningkatkan kembali hubungan mereka
e. Mediator diharapkan memiliki kecakapan dalam "counseling" dan juga proses serta teknik mediasi.
f. Penekannya lebih ke terapi, baik tahapan pre-mediasi atau kelanjutannya dalam proses mediasi.
g. Biasanya digunakan dalam ;;amily dispute (sengketa keluarga) seperti perceraian, perwalian anak. 3
4. Eva/uative94
a. Court annexed lebih berfokus ke evaluative model. b. Para pihak datang dan mengharapkan mediator akan memberikan
semacam pemahaman bahwa apabila kasus ini terns berlangsung, maka siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
c. Lebih berfokus pada hak dan kewajiban. d. Mediator biasanya ahli pada bidangnya atau ahli dalam bidang hukum
karena pendekatan yang difokuskan adalah pada hak. Disini mediator cenderung memberi jalan keluar dan informasi bidang hukum (legal
93 Jacqueline M Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell St Paul, Minn, 2001, him 75
94 Said Faisal, ibid, him. 51
66
information) guna mengarah ke suatu hasil akhir yang pantas. e. memberikan saran atau nasihat kepada para pihak berupa
nasihat-nasihat hukum dalam proses mediasi, bisa juga menjadi semacam tempat dimana para pihak hadir dan ada semacam draft keputusan dari mediator atau semacam jalan keluar yang diberikan oleh mediator.
£ Kelemahannya adalah para pihak akan merasa tidak memiliki basil kesepakatan yang ditandatangani bersama.
Silbey dan Mary telah membagi dua jenis atau model mediasi yaitu:
jenis tawar-menawar (bargaining style) atau jenis menolong (theurapetic
style). Jenis pertama adalah pendekatan pragmatis yang terfokus pada
penyelesaian masalah dan langsung ke pokok masalah. Sementara jenis
theurapetic style lebih menekankan pada konteks emosional dan terfokus
pada proses komunikasi kedua belah pihak.95
D. Pengertian Keadilan Restoratif
"Restorative Justice" atau sering diterjemahkan sebagai keadilan
restoratif,96 merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,
pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku,
korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas
dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis,
akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak
mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.
95 Jaqualine M. Nolan Haley, op.cit., him. 76 96Jstilah ini dipergunakan UNICEF dalam seminar lnternasional yang digelar di Jakarta
pada tahun 2002 dan diberbagai seminar maupun tulisan, para penulis lazim menggunakan istilah ini, Misalnya Diah D. Yanti, Diversi dan Keadilan Resforatif Dalam Penanganan Kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lampung.
67
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna
tindak pidana pada dasamya sama seperti pandangan hukum pidana pada
umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasyarakatan. 97 Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban
utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada.98 Oleh karenanya
kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan
akibat terjadinya suatu tindak pidana.99 Sementara keadilan dimaknai sebagai
proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana
dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam
usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha
perbaikan tersebut. 100
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling
mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB
melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan
keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem
97Dalam kenyataannya perubahan ini tidak lepas dari pandangan ilmu kriminologi yang melihat adanya perkembangan dalam melihat pelaku tindak pidana, pendefinisian tindak pidana serta respon yang terjadi alas suatu tindak pidana. Meskipun tidak dapat dinyatakan bahwa pandangan kriminologi baru adalah serupa dengan pandangan keadilan restoratif, akan tetapi tidak dapat dipur.gkiri bahwa kehadiran keduanya berdarnpak pada perubahan paradigma sebagai akibat perkembangan pemikiran ini. Koesriani Siswosoebroto, , PendekaJan Baro dalam Kriminologi, Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta, 2009
98/bid 99Crime is a violation of people and relationships ... It creaJes obligations to make things
right.Ibid. 100Jbid
68
peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P.
Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a
rational total of the responses to crime). 101Pendekatan keadilan restoratif
merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi
penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas
bekeljanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekeJja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir
yang barn yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi
penegak dan pekelja hukum. Beberapa definisi tentang keadilan restoratif:
a. Dignan: Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. 102 Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the gerson harmed, the person causing the harm, and the affocted community. 3
b. Mark Umbreit: Restorative justice provides a very different framework for understanding and responding to crime. Crime is understood as harm to individuals and communities, rather than simply a violation of abstract laws against the state. Those most directly affected by crime - victims, community members and offonders - are therefore encouraged to play on active role in the justice process. Rather than the current focus on offonder punishment, restoration of the emotional and material losses resulting from crime is for more important. 104
101Barda Nawawi, Op. Cit. 102Jhid 103ibid 104Mark Umbreit, "Avoiding the Marginalization and 'McDonaldizotion' of Victim-Offonder
mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream" in Restorative Juvenile Justice
69
c. Braithwaite: "On (the prosedural} view, restorative justice is a process that brings keadilan together all stakeholder affected by some harm. That has been done . .. These stakehorlders meet in a circle to discuss how they have been affocted by the harm and come to some agreement as to what should be done to right any wrongs suffered . . .. Restorative justice is about healing (restorative) than hurting. 105
d. Howard Zehr: Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance. "106
e. Burt Soloway and Joe Hudson: A definition of restorative justice includes the following fundamental elements:
"first, crime is viewed primarily as a conflict between individuals that results in injuries to victims, communities, and the offenders themselves; second, the aim of the criminal justice process should be to create peace in communities by reconciling the parties and repairing the injuries caused by the dispute; third, the criminal justice process should facilitate active participation by the victims, offenders, and their communities in order to find solutions to the conflict. "107
Tidak mudah memberikan definisi bagi pendekatan keadilan restoratif
ini, mengingat banyaknya variasi model dan bentuk yang berkembang dalam
penerapannya. Karenanya banyak terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan aliran keadilan restoratif ini antara lain "communitarian
justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational
justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif) dan
community justice (keadilan masyarakat) serta communitarian
justice "J08Terminologi yang dipakai untuk menyebut "communitarian
Repairing the Harm of Youth Crime, edited by Gordon Bazemore and Lode Walgrave. Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1999, him. 213
105John Braitwaite, Crime Shame and Reintegration. Op.Cil. 1""Howard Zebr, 1990, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale,
Pennsylvania; Wolerloo, Ontario: Herold Press, 1990, hlm.181. 107Burt Galaway and Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation,
Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1990, him. 2 108Miers, Op Cit, him. 88.
70
justice" berasal dari teori komunitarian yang berkembang di Eropa saat ini.109
Paham individualis yang selama ini lekat dengan dunia barat, berangsur-
angsur ditinggalkan sejalan dengan kesadaran peran masyarakat terhadap
perkembangan kehidupan seseorang. Pandangan-pandangan tersebut
menempatkan keadilan restoratif pada posisi yang mengusung lembaga
musyawarah sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencari jalan terbaik
atas suatu pemecahan masalah yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak
pi dana.
Banyak penulis menganggap keadilan restoratif bukanlah konsep yang
barn. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu
sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana, pendekatan
justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana.
Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai
usang, kuno dan tradisional kini j ustru dinyatakan sebagai pendekatan yang
progresif. 110 Hooker menjadi menggambarkan unsur-unsur universal yang
menjadi dasar hukum adat serta sistemnya sebagai berikut:
(a) The distribution of obligation is often a function of an actual or putative genealogical relationship;
(b) The community, wether de fined on a genealogical or a territorial basis, almost always has a greater right over fond distribution than the individual possesor or occupies;
(c) The institution of tolong menolong and gotong-royong exemplifY the individual's subjection to a common set the obligations;
(d) ... all the a dots posit the preservation of harmony between the community and nature. 11 r
109/bid 11~arc Levin, Restorative justice in Texas: Past, Present and Future, Texas: Texas Public
Policy Foundation, him. 5-7 ditelusur melalui www.TexasPolicy.com pada langgal 3 Februari 2008.
111!. Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, him. 60
71
Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan
adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari keadilan
restoratif. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada
umumnya amat mendukung penerapan keadilan restoratif. Hal ini dapat
dilihat dari ciri-dri umum hukum adat Indonesia, pandangan terhadap
pelanggaran adat/delik adat serta model dan cara penyelesaian yang
ditawarkannya.
Supomo mendeskripsikan ciri umum tersebut sebagai berikut: (a) corak religius yang menempatkan hukum adat sebagai bentuk kesatuan
batin masyarakat dalam suatu persekutuan (komunal); (b) sifitt komunal dari hukum adat menempatkan individu sebagai orang
yang terikat dengan masyarakat Seorang individu sosok yang bebas dalam segala laku karena ia dibatasi oleh batasan-batasan norma yang telah diterapkan baginya;
(c) tujuan dari persekutuan masyarakat adalah memelihara keseimbangan lahir batin antara individu, golongan dan lingkungan hidupnya (levemilieu). Tujuan ini pada dasamya diemban oleh masing-masing individu anggotanya demi mencapai tujuan dari persekutuan;
(d) tujuan memelihara keseirnbangan-keseimbangan lahir batin berangkat dari pandangan atas ketertiban yang ada dalam alam semesta (kosmos), dimana ketertiban masyarakat merupakan berjalan kembali seperti biasa. 112
Pada dekade 1970-1980-an permasalahan korban tersebut menjadi dasar
reorientasi sistem peradilan pidana dan mulai muncul tuntutan supaya sistem
peradilan juga memperhatikan kepentingan korban kejahatan yang kemudian
menjadi gerakan intemasional untuk memberdayakan korban dalam prosedur
pidana. Puncaknya adalah disetujuinya Dek:larasi PBB 1985 Nomor 40/43
tanggal 29 Nopember 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice
112Poin-poin ini di sarikan dari tulisan Supomo dalam Supomo, Hubungan lndividu dan Masyarakat Dalam Hukum Ada/, Cet. 2, 1970, Jakarta: Pradnya Paramita dan Pidato Dies Natal is Universitas ~jab Mada pada 17 Maret 1947 yang dibukukan dalarn Supomo, 1947, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, Cet. 2, Jakarta: Kebangsaan Pustaka Rakyat
72
for Victims of Crime and Abuse of Power. /J3Deklarasi PBB merupakan
bentuk kepedulian nyata masyarakat intemasional terhadap nasib korban
kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan. Dilihat dari sudut proses
pembentukannya, deklarasi tersebut merupakan puncak keberhasilan gerakan
korban berskala regional dan intemasionaL dan dilihat dari sudut PBB,
deklarasi tersebut mengikat negara anggotanya dan menjadi bahan masukan
untuk melakukan pembaruan hukum pidana pada masing-masing negara
anggota. 114
Deklarasi PBB tahun 1985 kemudian menjadi trend dalam pembaruan
hukum pidana yang memperhatikan kepentingan korban dalam
penyelenggaraan sistem peradilan pidana Di sarnping itu, deklarasi tersebut
Ielah menempatkan masalah korban kejahatan menjadi persoalan dasar
kehidupan manusia dan kemanusiaan yang memerlukan perhatian masyarakat
dan Negara dan persoalan peradilan pidana juga ditujukan pada kepercayaan,
perlindungan dan kompensasi korban.
Atas dasar falsafah ini, secara objektif persoalannya bukan beratnya
pemidanaan sebagai bentuk pelampiasan balas dendam terhadap pelanggar,
tetapi untuk memperbaiki atau mengganti kerugian atau luka-luka yang
diderita yang disebabkan oleh kejahatan. Roger Matthews mengatakan:
"The growth of what has been refored to as the "victim movement" and the emergence of victim support has dramatically changed the orientation of analysis and intervention. It has modified the criminal justice agenda and altered tradisional w~s of thinking about crime and crime contro/". 115
1 13Trisno Rahardjo, Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradi/an Pidana Suatu Kajian Perbandingan dan Penerapanrrya di Indonesia, Yogyakarta: UMJ dan Litera, 2011, him. 27.
114Ibid n5Roger Matthews, "Crime Preventation, Disorder and Victimization: Some Recent
Western Experiences". International Journal oft he Sociology of Law, Junil994, him. 95.
73
Perspektif restoratif memandang kejahatan, meskipun kejahatan
dilakukan juga melanggar hukum pidana, aspek yang lebih penting bukan
perbuatan pelanggarannya tetapi proses kerugian atau viktimisasi kepada
korban kejahatan, masyarakat dan sebenamya juga melanggar kepentingan
pelanggar itu sendiri.
Suatu pelanggaran hukum pidana dipahami sebagai konflik antar
individu yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan
pelanggar sendiri. Di antara ketiga kelompok tersebut, kepentingan korban
kejahatan sebagai bagian yang utama, karena kejahatan utamanya adalah
melanggar hak korban. 116
Tony F. Marshall menggambarkannya hubungan terse but di atas dalam
sistem peradilan pidana 117 bahwa secara historis, restorative justice
memperoleh inspirasi dari "commnity justice" (peradilan a tau keadilan
masyarakat) yang masih dipergunakan pada beberapa budaya masyarakat
non-Barat, khususnya masyarakat adat (indigenous population). Dalam
perkembangannya, konsep restorative justice dipengaruhi oleh pemikiran
mengenai persamaan dan hubungan masyarakat. Meski inspirasinya tidak
datang dari budaya masyarakat Indonesia, namun pola-pola restorative justice
tertanam dalam beberapa tradisi masyarakat adat di Indonesia.
Dalam Black's Law Dictionary ditegaskan bahwa restorative justice
merupakan sanksi altematif atas kejahatan yang memfokuskan pada
perbaikan atas perbuatan yang membahayakan, mempertemukan kebutuhan
116Andrew Ashworth, Victim Impact StatemenJs and Sentencing, The Criminal Law Review, August, 1993, him. 25.
117Tony F. Marshall, Restorative Ju slice An Overview. A report by the Home Office Research Development and Statistics Directorate, him. 5.
74
korban dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya. Keadilan
restoratif ini menggunakan pendekatan keseimbangan, menghasilkan
disposisi yang membatasi dengan memusatkan pada tanggung jawab pelaku
dan memberikan bantuan pada korban. Pelaku mungkin diperintahkan untuk
memberi ganti kerugian (restitusi), untuk melakukan pelayanan pada
masyarakat, atau membuat perubahan dalam beberapa cara atas perintah
(putusan) pengadilan.
"an alternative delinquency sanction that focuses on repairing the harm done, meeting the victim's need, and holding the o.ffonder responsible for his or her actions. Restorative justice sanctions use a balanced approach, producing the least restrictive disposition while stressing the o.ffonder's accountability and providing relief to the victim. The o.ffonder may be ordered to make restitution, to peiform communi~[ service, or to make amends in some other way that the court orders". 11
Dalam salah satu ensiklopedia online, dikatakan bahwa Restorative
justice (atau seringjuga disebut "reparative justice") atau secara istilah dalam
bahasa Indonesia dapat diteljemahkan dengan "peradilan atau keadilan
restoratif atau reparatif' merupakan suatu pendekatan untuk peradilan yang
berfokus pada kebutuhan para korban dan pelaku, serta masyarakat yang
terlibat, bukan memuaskan prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum
pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku
didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, "untuk
memperbaiki kerugian yang telah mereka lakukan dengan meminta maaf,
mengembalikan uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat. Restorative
melibatkan baik korban maupun pelaku dan berfokus pada kebutuhan mereka
secara pribadi.
118Bryan A. Gamer, ed., Black's Law Dictionary. Eight Edition. United State of America: West, a Thomson Business, 2004, him. 1340.
75
Selain itu, ia menyediakan bantuan bagi pelaku untuk mengbindari
pelanggaran di masa datang. Hal ini didasarkan pada sebuab teori keadilan
yang menganggap kejabatan dan pelanggaran merupakan pelanggaran
terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan restoratif yang
menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku menunjukkan tingkat
tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
"an approach to justice that focuses on the needs of the victims and the offenders, as well as the involved community, instead of satisfying abstract legal principles or punishing the offender. Victims take an active role in the process, while offenders are encouraged to take responsibility for their actions, "to repair the harm they've done-by apologizing, returning stolen money, or community service". Restorative justice involves both victim and offender and focuses on their personal needs, In addition, it provides help for the offender in order to avoid future offences. It is based on a theory of justice that comiders crime and wrongdoing to be an offence against an individual or community, rather than the state. Restorative justice that fosters dialogue between victim and offender shows the highest rates of victim satisfaction and offender accountability". 119
Sedangkan dalam pengaturan di Indonesia, pada Pasal I angka 6 UU
No. 12 tabun 2011 tentang Siste Peradilan Pidana Anak, mendefinisikan
bahwa "Keadilan Restoratif adalab penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakulkorban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan."
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat diambil pengertian babwa
restorative justice merupakan desain peradilan pidana yang memperhatikan
kepentingan atau kebutuhan korban, keluarga, dan masyarakat yang
119http://www.en.wikioedia.org. diunduh tanggal8 April2012, pk. 21.10 wib.
76
terpengaruh atas dasar pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Sehingga,
peradilan pidana bukan semata-mata bertujuan menghukum atau meminta
pertanggungjawaban pelaku, namun kebutuhan atau kepentingan korban
mendapatkan perhatian yang seimbang dalam proses peradilan yang dapat
dikukuhkan melalui putusan pengadilan.
1. Bentuk Proses Restorative Justice
Keadilan restoratif memiliki beberapa bentuk proses sebagaimana diterapkan diberbagai negara, di antaranya: ( I) mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation), (2) pertemuan kelompok keluarga (family group conferencing), (3) pertemuan restoratif (restorative coriferencing), (4) dewan peradilan masyarakat (commnity restorative boardY), (5) lingkaran restoratif a tau sistem restoratif (restorative circles or restorative systems). 120
Mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation) atau disebut
dialog/pertemuan/rekonsiliasi pelaku-korban biasanya dilakukan
pertemuan antara pelaku dan korban, yang menghadirkan mediator
terlatih. Dalam area perkara pidana, model atau teknik ini digunakan baik
kasus-kasus kecil untuk mengurangi penumpukan perkara, maupun kasus-
kasus serius untuk memfasilitasi pengampunan dan proses penyembuhan
yang lebih mendalam, baik untuk korban maupun pelaku. Data
internasional menunjukkan bahwa teknik ini berhasil di terapkan di
Australia, New Zeland, Kanada, dan Belanda dalam berbagai konteks,
yang meliputi sistem peradilan anak dan berhasil menurunkan
residivisme. 121
120 Undang Mangapol, Penerapan Restorative Justice da/am Proses Peradilan Pidana di Indonesia, UNISBA, Bandung, 2012, him. 328
121Peter Cane dan Herbert M. Kritzer, Cane, ed., The ()>ford Handbook of Empirical Legal Research, Oxford: Oxford University Press, 2010, him. 611.
77
Pertemuan kelompok keluarga (family group conforencing)
merupakan lingkaran partisipan yang lebih luas daripada mediasi pelaku
korban, yaitu menambah orang yang dikaitkan dengan pihak-pihak utama,
seperti melibatkan ternan, keluarga, dan profesional. Teknik ini
merupakan sistem paling tepat untuk kasus-kasus kenakalan anak, seperti
di Kolumbia, Australia dan·New Zeland.122 Di Kolumbia (British
Columbia) model ini dipergunakan dalam konteks untuk kesejahteraan
anak. Proses ini didesain untuk menawarkan perencanaan dan
pembentukan putusan yang kooperatif dan untuk membangun kembali
jaringan kerja dukungan keluarga. Model ini mengandung pengertian: (a)
fasilitasi untuk melibatkan keluarga anak, keluarga besar, dan anggota
masyarakat lainnya dalam pembentukan putusan terhadap masalah
kesejahteraan anak, (b) memberi alternatif non-adversarial pada
pengadilan untuk membuat perencanaan dalam situasi perlindungan anak,
(c) dapat digunakan untuk mendorong putusan, namun tidak terbatas
pada, penempatan perawatan, perencanaan tetap, dan penyatuan anak
dengan keluarganya, (d) menentukan keluarga yang memilih pertemuan
dengan koordinator yang tidak memihak untuk mengoordinasi dan
memfasilitasi pertemuan, (e) memberL hak ada keluarga untuk menolak
pertemuan, mendukung pengadilan, mediasi atau proses alternatif
penyelesaian lainnya.
Pertemuan restoratif (restorative conferencing) juga melibatkan
partisipan yang lebih luas ketimbang mediasi pelaku-korban, sebagai
122Lihatjuga Trisno Rahardjo, Op.Cit., hlm. 47-50.
78
respon terhadap kenakalan anak Ouvenile crime). Teknik ini bersifat
volunter (sukarela), yang terdiri dari pelaku, korban, keluarga para pihak
dan ternan, untuk mencapai konsekuensi dan restitusi (ganti kerugian).
Model ini dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana,
tetapi biasanya digunakan relatif awal. Sebagai contoh pada beberapa
yurisdiksi, polisi telah mengembangkan program ini sebagai altematif
untuk penangkapan dan rujukan ke sistem peradilan formal pidana.
Model ini dikembangkan di Selandai Baru. Pada tahun 1989,
"Children Young Person and Family Act" menciptakan altematif barn
untuk menanggapi kejahatan rem~a dan persoalan perlindungan anak
dengan menempatkan lebih banyak otoritas pengambilan keputusan di
tangan keluarga dan masyarakat. Proses ini memiliki akar dalam praktek
praktek tradisional dalam tradisi Maori. Sejak diperkenalkan di Selandia
Baru, model ini telah diterapkan di Australia, Amerika Serikat, lnggris
dan Wales dan Kanada. 123
Dewan peradilan masyarakat(community restorative boards) atau
yang disebut Komite Peradilan Masyarakat (community justice
committees) di Kanada atau panel untuk rujukan (Referal Order Panels)
seperti di Inggris dan Wales, bentuknya merupakan kelompok kecil (small
group), dipersiapkan melalui pelatihan intensif, yang dilakukan
masyarakat, sebagai pertemuan tatap-muka face-to:face meeting). Hakim
dapat memerintahkan pelaku untuk terlibat, polisi dapat merujuk sebelum
menetapkan status, atau mereka dapat menempuh di luar sistem hukum.
123Lihat Trisno Rahardjo, Ibid, him. 50.
79
"Model ini sekaligus merupakan contoh: non-adversarial decision
making practices" (praktik pengambilan putusan non-adversarial) yang
diinspirasi oleh perspektif keadilan masyarakat atau restorative. Karakter
model ini di antaranya: (I) dimasukkannya anggota masyarakat dalam
proses peradilan, (2) pemulihan penderitaan akibat kejahatan, (3)
reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat.
Lingkaran atau sistem restoratif(restorative circles or restorative
systems), pendekatan ini melibatkan banyak lingkaran partisipan yang
lebih luas daripada pertemuan pelaku-korban yang konvensional, seperti
dilakukan di Brazil, Jerman, Amerika, dan Inggris, yang dimulai dengan
membangun sistem restoratif di lingkungan a tau sekolah tern pat lingkaran
(lingkungan restoratif) akan diselenggarakan. Di Hawai, Huikahi
Restorative Circles mengizinkan terpidana bertemu dengan keluarga dan
ternan-ternan dalam suatu proses kelompok (group proces) untuk
mendukung transisi balik pada masyarakat. Pertemuan secara khusus
diarahkan pada kebutuhan untuk rekonsiliasi dengan korban kejahatan.
2. Mendinamisasi Restorative Justice dengan Cara Progresif
Ketiadaan aturan atau ketentuan hukum yang mendasari tindakan
penyidikan, penuntutan, maupun .pembentukan putusan pengadilan dari
sudut pandang positivisme hukum merupakan pembenaran yang tidak
berdasar hukum dan karenanya tidak dapat dipertahankan, kendati
memiliki dasar moral. Seperti diungkapkan oleh Hart bahwa "Moral
80
judgement camwt be established or defended by rational argument;
evidence or proof'. 124
Hal ini berarti fungsionalisasi konsep restorative justice dalam
praktik peradilan pidana tanpa didukung oleh hukum positif baik hukum
pidana formal atau substantif (hukum acara) merupakan praktik "moral
judgement". Hal tersebut tentu dapat dikatakan bertentangan dengan
prinsip atau asas·legalitas yang sangat berpengaruh dalam hukum pidana.
Konsep hukum seperti itu dapat dikatakan beiWatak legalistik, yang
pada gilirannya sangat lambat mengakomodasi dinamika masyarakl!t,
seperti tuntutan restorative justice. Sebab, dalam pandangan legisme atau
positivisme, undang-undang kerap sekali dianggap sebagai benda yang
keramat. Ia dianggap sebagai suatu sistem yang logis bagi penerapan dan
penyelesaian seluruh perkara karena sifatnya yang rasional. Teori
rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjukkan dengan istilah
"ideenjurisprudenz". 125
Lambatnya akomodasi dinamika sosial oleh hukum, tennasuk dalam
kasus restorative justice mengakibatkan kesenjangan antara hukum dan
masyarakatnya. Sehingga, kasus pencurian kakao oleh mbok Minah di
Banyumas, kasus dugaan pencurian celana. dalam dan bra (BH) oleh
Samsu Alam yang telah diputus oleh PN Jakarta Timur tidak perlu harus
sampai berlanjut ke pengadilan apabila sejak penyidikan sudah diterapkan
model restorative justice.
12"M.R. Zafer, M.R. Zafer, Jurisprodence an Outline, lntemational Law Book Services, Kualalumpur, 1994, him. 5.
125Y esmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya dolam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, him. 19.
81
Hambatan-hambatan yang muncul dari bekeljanya hukum yang
legalistik bisa diatasi apabila, seperti dikatakan oleh Karl Renner, yaitu
kesediaan untuk membuka klep-klep sehingga hukum mampu
mengakomodasi dinamika dalam masyarakat. Inilah yang dimaksud oleh
Renner, pada saat ia mengatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan
menemukan jalannya sendiri secara progresif, "the development of the law
grodually works out what is socially reasonable". Dengan kearifan yang
demikian itu, maka hukum tidak perlu selalu tertatih-tatih sibuk membuat
undang-undang baru, oleh karena tanpa membuat yang bam pun, praksis
hukum yang progresif bisa menjadi penyalur atau kanalisasi dinamika
masyarakat.t26
Dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia,
hukum progresif mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia, sehingga hukum selalu berada dalam status "law in
the making". Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri dan tidak bersifat
fmaL 127
Cara berhukum yang progresif dalam proses peradilan pidana bukan
ihwal mudah sebab penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam konteks
sistem peradilan pidana .Indonesia terbiasa, bahkan telah menjadi kultur
hukum, dengan paradigma "rule-bound" atau "bound by the rules';
khususnya terikat pada hukum negara. Sedangkan hukum progresif
memilih "pembebasan" dari ikatan-ikatan norma hukum negara yang
126Satjipto Rahardjo, Op.Cit., him. 47. 127Sa~ipto Rahardjo, "Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan", dalam "Jumal
Hukum Progresif', Program Doktor llmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hlm. 16.
82
membelenggu. Munurut Satjipto Rahardjo128 pembebasan-pembebasan
merupakan hal yang biasa dalam praktik hukum di dunia. Apabila kita
mengamati sejarah, kita mencatat pembebasan-pembebasan yang
dilakukan oleh suatu bangsa terhadap asas-asas yang dianggap
membelenggunya, sehingga menghambat pencapaian tujuan yang
dikehendaki.
Untuk dapat menerapkan konsep restorative justice dalam proses
peradilan pidana di Indonesia, maka upaya untuk membebaskan diri dari
norma atau prinsip dalam hukum pidana Nasional yang membelenggu
menjadi keniscayaan. Artinya, norma maupun prinsip yang tidak
membelenggu tetap dapat mendasari proses-proses meskipun dengan
pemaknaan yang sejalan dengan penerimaan konsep restorative justice.
Bersamaan dengan ini, maka pembentukan hukum untuk proses peradilan
pidana yang beiWatak restoratif menjadi terbuka sebagai konsekuensi
pembebasan dari belenggu untuk mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia atau dalam konteks restorative justice untuk
mencapai harmoni kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dikatakan
berhukum dengan mendasarkan pada pertimbangan nilai praktis, yang
sepenuhnya sangat. bergantung pada pilihan bebas personal berdasarkan
pada·kepentingan pencapaian harmoni dalam kehidupan masyarakat
setelah teijadinya kejahatan.
Penerapan konsep restorative justice yang belum didukung penuh
oleh kekuatan peraturan perundang-undangan, sebenarnya merupakan
128Satjipro Rahardjo, Ibid, him. 14.
83
bentuk yang disebut, dengan meminjam istilah yang dipakai Lauren B.
Edelman, Sally Riggs Fuller, dan Iona Mara-Drita, "manajerialisasi
hukum" (manageria/ization of law), menyatakan bahwa:
"Legal rules tend to be filtered through a set of manageriallemes chiefly designed to encourage smooth employment relation and high productivity. Thus, as legal ideas move into managerial and organizational arenas, law tends to become "managerialized', or progressively irifUsedwith managerial values". 129
(Aturan hukum cenderung disaring melalui serangkaian lensa manajerial terutama dirancang untuk mendorong hubungan kelja yang halus dan produktivitas yang tinggi. Dengan demikian, ide-ide hukum pindah karena manajemen dan organisasi, sehingga hukum cenderung menjadi "managerialized," atau semakin diresapi dengan nilai-nilai manajerial").
Itu berarti penerapan konsep restorative justice sangat bergantung pada
kapasitas managerial dalam masing-masing tingkatan institusi. Dalam me-
manage proses peradilan, di satu tingkatan, baik di tingkat penyidikan
atau penuntutan sebagai contoh, bisa terjadi kesenjangan pemahaman
antara penyidik atau penuntut umum di tingkat bawah dengan kebijakan
pimpinan dalam penanganan perkara pidana
3. Restorative Justice dalam Konteks Penyidikan
Polisi adalah gerbang (gatekeepers) dari sistem peradilan pidana.
Seperti dikatakan Donald Black, perannya sebagai penyelidik dan
penyidik tindak pidana, menempatkan polisi berhubungan dengan
sebagian besar tindak pidana umum atau biasa (ordinary or common
crimes). Sebagian besar polisi bekerja reaktif daripada proaktif, dengan
sangat bergantung pada warga masyarakat untuk mengadu atau melapor
129Lauren B. Edelman, Sally Riggs Fuller, dan lona Mara-Drita Edelman, Lauren B., Fuller, Sally Riggs, dan Mara-Drita, lona, May 2001, "Diversity Rhetoric and the Manageridlization of Law", dalam American Journal of Sociology, Volume 106, Number 6, 1589-1641, 2001, hlm. 1599
84
alas dugaan teljadinya tindak pidana.130 Dengan bukti-bukti cukup,
berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP), polisi selaku penyidik
melimpahkan perkara ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.
Pertanyaan penting dalam hal ini, yaitu mungkinkah polisi selaku
penyidik menerapkan proses-proses restorative justice? Hal ini terutama
terkait dengan kewenangan penyidik untuk mencari keterangan,
melakukan penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan, penahanan
atau menghentikan penyidikan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat
(I) KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) jo. Undang-Undang Polri
(Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia), wewenang penyidik meliputi:
a. menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tern pat kejadian; c. menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara; 1. mengadakan penghentian penyid ikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Seperti diungkapkan di alas, dalam cara berpikir normatif-
positivistik, di Indonesia belum terdapat perundang-undangan khusus atau
ketentuan khusus yang mengatur mengenai restorative justice dalam
130Shary L. Roach Anleu, 2010, hlm. 152.
85
proses penyidikan, semisal untuk kenakalan anak (juvenile delinquency),
sebagaimana di negara negara tersebut di atas.
Perubahan model penyidikan dari yang bersifat semata-mata punitif
(menghukum) ke arah restoratif (pemulihan pelaku maupun korban)
merupakan perubahan lebih dari sekadar teknik, namun kultur penyidikan.
Oleh karena itu, membutuhkan proses panjang untuk adaptasi, yang
tampaknya tidak dapat ditunda-tunda. Sebagai contoh, skema melibatkan
korban (victims' participation scheme) dalam proses penyelidikan atau
penyidikan bukan hal mudah karena menuntut peruhahan dari pola-pola
yang biasa "tertutup" menjadi lebih "terbuka". Bel urn lagi persoalan,
partisipasi korban (victims' participation) itu sendiri sulit untuk
didefinisikan, artinya sampai batas apa partisipasi itu dimungkinkan,
meskipun secara keseluruhan potensial memberi manfat restoratif,
terutama pemulihan dan rehabilitasi korban.
4. Restorative Justice dalam Konteks Pennntntan
Penuntutan sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana, memiliki
posisi strategis pula dalam merealisasikan konsep restorative justice.
Secara urn urn restorative justice terkait dengan setiap tahap pelaksanaan
kewenangan kejaksaan untuk melakukan penahanan, prapenuntutan,
penyusunan dakwaan dan tuntutan pidana, serta upaya hukum. Kondisi
paling ekstrim atas peran yang dapat dimainkan oleh kejaksaan dalam
implementasi restorative justice, yaitu mengalihkan (to divert) penuntutan
untuk mencapai penyelesaian perkara di luar pengadilan pada kasus-kasus
tertentu. Diversi (pengalihan) penuntutan itu sendiri telah menjadi
86
kecenderungan luas dalam refonnasi hukum pidana dalam sistem
peradilan pidana di berbagai negara. Diversi dapat berupa pembebasan
bersyarat (conditional discharge), penyederhanan prosedur (simplified
procedure), dan dekriminalisasi perilaku tertentu (decriminalization of
certain conduct). Hal-hal ini tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), kecuali penghentian
penuntutan.
Implementasi restorative justice tentu membutuhkan kreativitas
kejaksaan Oaksa penuntut umum) untuk mengembangkan program
program restoratif, sehingga dapat meminimalisir penyelesaian perkara di
pengadilan. Dalam konteks itu, kejaksaan dituntut untuk mendayagunakan
atau membangun strategi-strategi atau pendekatan-pendekatan yang
berorientasi pada masalah {problem-oriented approach). Hal ini bukan
persoalan mudah sebab menggeser paradigma kejaksaan yang selama ini
dianggap sebagai "case processors" (pemroses kasus) menjadi "problem
solvers" (penyelesaian kasus), yang melibatkan masyarakat (communty
involvement). Jaksa penuntut umum selama ini justru cenderung untuk
meneruskan penyelesaian kasus melalui proses peradilan pidana yang
fonnal untuk memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap daripada menyelesaikan dengan model-model restoratif.
Dengan restorative justice, pola-pola tradisional seperti itu harus
dilihat sebagai altematif penyelesaian problem sosial, yang muncul
sebagai kejahatan atau tindak pidana yang bersentuhan dengan
kepentingan korban, keluarganya a tau masyarakat yang terpengaruh.
87
Sehingga, ketika proses peradilan dalam bingkai penuntutan, tidak dapat
memenuhi kepentingan korban, keluarga dan masyarakat yang
terpengaruh atas kejahatan, maka kreativitas ke arah penerapan model
restorative justice menjadi keniscayaan, meski dari teleskop hukum acara
pidana belum memperoleh justiflkasi.
Seperti dikutip oleh Luhut M.P. Pangaribuan, di Skotlandia penuntutan bisa diakhiri dengan "prosecutor fine", yaitu "the victim and the person responsible for the crime are brought together and, if the mediation is successful, the public prosecutor's office can decide not to pursue prosecution" (korban dan pelaku kejahatan secara bersama-sama melakukan mediasi dan apabila berhasil, jaksa penuntut umum dapat memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan). Bahkan kemudian diperluas dengan penggunaan mediasi. Demikian pula di Perancis, sejak tahun 1993, seperti dikatakan oleh Chaterine Elliot dan Catherine Vernon bahwa "public prosecutors often in practice seek to apply intermediatery solution". Alasan yang dipergunakan, seperti dikatakan oleh Davies, Croall dan Tyrer, yaitu "role of prosecutor is not to seek a conviction at all costs: they should prosecute not persecute" (peran penuntut bukan berusaha men;-;alahkan dengan segala cara: mereka menuntut, bukan menganiaya).1 1
Di samping persoalan tradisi sistem peradilan pidana; hambatan
institusional kejaksaan menjadi variabel keberhasilan atau k.egagalan
implementasi restorative justice di tingkatan penuntutan ketika seperti
dinyatakan oleh Yudi Kristiana132 bahwa pelaksanaan tugas dan
kewenangan kejaksaan dilaksanakan dengan pendekatan birokratis,
sentralistik dan sistem komando serta pertanggungjawaban hierarkhis.
Keputusan pimpinan kejaksaan sebagai bentuk pengendalian tahap
penuntutan, pada tingkatan birokrasi yang memiliki jarak jauh dengan
realitas kasus dapat mendistorsi penyelesaian kasus dalam konteks
131Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Srudi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia dan Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2009, him. 156-157.
132Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif. Studi Tentang Petryelidikan, Petryidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana, LSHP- Indonesia, Yogyakarta,2009, him. 125.
88
restorative justice, seperti dilakukan atau tidak diversi penuntutan dalam
kasus delinkuensi anak atau kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence). Terlebih ketika kriteria diversi itu tidak ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan atau kebijakan kejaksaan secara umum.
Oleh karena itu, perubahan dari dalam melalui kebijakan Jaksa Agung
menjadi faktor penting fungsionalisasi restoratif justice, sampai KUHAP
memberi dasar eksplisit.
5. Restorative Justice dalam Konteks Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara pidana di Indonesia
berdasar Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau
hukum acara pidana khusus tidak didesain untuk menyelesaikan perkara
secara interpersonal. Desain yang dibangun dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia, yaitu pengadilan berfungsi untuk menentukan apakah
hukum pidana Ielah dilanggar dan apabila dilanggar, maka pelaku dijatuhi
pidana; atau apabila tidak dilanggar, maka terdakwa dibebaskan atau
dilepaskan dari segala tuntutan. Peran pengadilan yang tradisional seperti
itu jelas berbeda, bahkan berseberangan dengan konsep restorative justice
yang bermaksud mengembalikan keseimbangan dalam hubungan sosial di
samping hasil proses peradilan, yaitu kompromi yang dapat diterima
secara timbal batik antara korban, masyarakat dan pelaku tindak pidana
atau kejahatan. Dengan ungkapan lain, secara tradisional berwatak
"ajudikatif', konsep restoratifmenawarkan model "negosiasi".
Atas dasar hal itu, maka pertanyaan yang perlu diajukan, yaitu
apakah peran pengadilan dan hakim dalam mengembangkan dan
89
mengimplementasikan inisiasi restorative justice?133. Sebelum
mendiskusikan peran hakim itu, dibutuhkan perubahan ke dalam
paradigma bahwa hukum acara pidana yang mengatur prosedur
pemeriksaan di tingkatan pengadilan, dapat disimpangi untuk kepentingan
restorative justice. Paradigma ini jelas menunjukkan pembebasan dari
hukum acara pidana yang selama ini menjadi batasan pemeriksaan sidang
pengadilan.
Restorative justice yang menganut prinsip berbeda dengan
pemeriksaan sidang pengadilan menjadi permasalahan paling jelas pada
tingkatan ini. Dalam konteks sistem peradilan pidana Indonesia,
ketentuan-ketentuan mengenai "keterbukaan" sudah sangat tegas danjelas
diatur dalam KUHAP, yang diderivasi dari prinsip "pemeriksaan sidang
pengadilan terbuka untuk umum". Sementara itu, model pertemuan
(conforence, meeting) dari restorative justice Iazimnya disusun secara
pribadi (private setting), sehingga persoalannya bagaimana hakim dan
penasihat hukum menilai babwa kepentingan masing-masing pihak
dihormati.
Secara Iebih luas, hal ini berkaitan dengan kemampuan hakim untuk
mendesain model pertemuan di antara para pihak dalam suatu forum yang
bukan bersifat "pemeriksaan sidang pengadilan untuk perkara pidana
Dalam konteks Indonesia, berhubungan juga dengan aktivitas yang
mungkin dapat dilakukan hakim untuk mendesain model pertemuan di
luar kelaziman sebagaimana telah diatur dalam KUHAP. Pengalaman
133Undang Mangapol, Op. Cit., him. 335
90
Indonesia atas mediasi yang diintegrasikan dengan pengadilan (court
connected mediation) dalam perkara-perkara perdata masih belum
menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu; introduksi
restorative justice pada tingkatan pengadilan tanpa didasari kriteria
hukum yang jelas tentu menjadi persoalan sendiri di samping persoalan
utama di atas. Model restorative justice di tingkatan pemeriksaan
pengadilan hakikatnya memberi kesempatan pada para pihak untuk
menyelesaikan melalui model-model "conference" yang harmonis bagi
korban, pelaku dan masyarakat. Sehingga, hakim dituntut untuk
menggunakan strategi atau me-manage penyelesaian perkara pidana itu
dengan memilih dan menawarkan model altematifyang sesuai.
E. Pengertian, Kedudukan, Hak, dan Kewajiban Anak
1. Pengertian Anak
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja
dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat
ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum
dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual
dalam lingkungan sosia1.134 Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Pasal l ayat (4) dijelaskan bahwa : "anak yang menjadi korban
tindak pidana yang selaf1iutnya disebut anak korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak
134 Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Crasindo, Jakarta, 2000, him I
91
pidana, dan dalam ketentuan ayat (5) dijelaskan bahwa: "anak yang
menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan /atau dialaminya sendiri.
Menurut Arief Gosita dan F achri Bey, yang dimaksud anak nakal
yaitu anak yang berusia antara 8-18 tahun yang melakukan hal-hal tersebut
dibawah:
I. Melakukan tindak pi dana; 2. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang tua atau wali atau
pengasuh; 3. Sering meninggalkan rumah tanpa izin atau sepengetahuan orang tua
atau wali atau pengasuh; 4. Bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang tidak
bermoral dan anak mengetahui tentang itu; 5. Kerap kali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi anak; 6. Sering menggunakan kata-kata kotor, 7. Melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak baik bagi
perkembangan pribadi secara sosial, rohani dan jasmani anak tersebut. 135
Pengertian anak menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, oleh
Irma Setyowati Soemitro, dijabarkan sebagai berikut :
"Ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berarti pengertian anak yaitu: seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara harfiah, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas Relayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosia1."1 6
•
135 Kumpufan Kufiah Hukum Perfindungan Anal<, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm49
136 Maulana Hassan Wadong. Op.cit., him 18
92
Hukum Perdata nasional memberikan pengertian sendiri tentang
anak dengan istilah "belum dewasa" dan mereka yang berada dalam
pengasuhan orang tua dan perwalian. 137 Seperti dalam Pasal 330 KUH
Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih
dahulu telah menikah. 138 Pengertian yang dimaksud sama halnya dengan
pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 1974
tentang Perkawinan, Yurisprudensi, Hukum Adat, dan Hukurn Islam.
Pengertian tentang anak diletakkan sama makna dengan mereka yang
belum dewasa, dan seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi
huknm (21 tahun) sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum
normal yang ditentukan oleh perundang-undangan.139
Pada Pasal 7 ayat (I) Undang-Undang Nomor I Tahun 1974
mengenai Perkawinan mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin
apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
telah mencapai 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut
hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. Namun
disayangkan, dalam prakteknya terdapat kesulitan menentukan usia ini,
sebab tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat Kenai
Lahir. Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor,
Surat Baptis atau Surat Keterangan dari Kepala Desa atau Lurah saja
Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar lengkap
dengan kumis dan jenggotnya tapi menurut keterangan usia masih muda.
137 Ibid, him 19 138 Darwan Prinst, Op.cil., him 3 139 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 19
93
Bahkan terkadang orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan
dia masih anak-anak, sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. 140
Pengertian anak dalam ruang lingkup Hukum Tata Negara memiliki
makna yang tidak jauh berbeda dengan makna yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945, dan dalam pengertian politik maupun dari
pengertian hukum perdata. Sedangkan pengertian anak menurut ketentuan
hukum tata negara itu sendiri dapat meliputi hak-hak orang tua yang
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan atau ABRI!TNI seperti :
a hak untuk memperoleh tunjangan;
b. hak untuk memperoleh akses, tunjangan kepegawaian, dan lain-lain.141
Pengertian anak menurut Hukum Pidana lebih mengutamakan
pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara
kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum
dipandang sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk
pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subjek hukum yang
normal. Pengertian ini menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses
normalisasi anak dari perilaku menyimpang (kejahatan dan pelanggaran
pidana) untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang akhimya
anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang
lebih baik.142
Dalam KUH Pidana Pasal 45 mendefinisikan anak yang belum
dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu,
apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim boleh memerintahkan
1.w Darwan Prinst, Loc.cil. 141 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 23 142lbid, him. I
94
supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau
pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak
dikenakan sesuatu hukuman. 143
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
juga memberikan pengertian mengenai anak pada Pasal I ayat (2) yang
berbunyi: "Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun dan belum pernah kawin". Sedangkan pada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak memberikan
pengertian anak secara umum, namun pada Pasal I ayat (8)nya langsung
memberikan pengertian mengenai anak didik pemasyarakatan yang terdiri
dari:
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak paling lama sampai umur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAP AS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.144
Sesuai pembagian pengertian anak didik pemasyarakatan tersebut
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian anak sesuai Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah seseorang
yang masih dibawah dan sampai dengan umur 18 tahun dan belum pernah
menikah. Hal tersebut juga didasarkan atas ketentuan dalam LAP AS Anak
bahwa hanya menampung narapidana dengan batas usia maksimal 18
143 Darwan Prinst, Loc-cit. 144 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan beserta PeraJuran
Pelaksanaanrl)la, Harvarindo, Jakarta, 2000, him 8
95
tahun, apabila narapidana telah melewati usia tersebut maka ia harus
dipindahkan ke LAPAS Pemuda. Namun pada kenyataannya kapasitas
LAP AS Pemuda hanya bisa menampung 700 orang, sedangkan narapidana
yang ada mencapai 1300 orang, maka diberi toleransi kepada LAPAS
Anak untuk menampung sampai usia maksimal 21 tahun.
Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang Nomor 12
Tabun 1948) memberikan defmisinya sendiri mengenai anak. Pada Pasal 1
ayat (l) dijelaskan bahwa anak adalah orang laki-lak:i atau perempuan
berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.145Selain pengertian yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan tersebut diatas, terdapat pula
beberapa pengertian tentang anak yang dapat dikhususkan menjadi :
I. Pengertian Religius atau Agama
Pandangan anak dalam pengertian relegius akan dibangun sesuai
dengan pandangan Islam yang mempermudah untuk melakukan kajian
sesuai dengan konsep-konsep AI Quran dan Hadist Nabi Muhanunad
SAW. Islam memandang pengertian anak sebagai suatu yang mulia
kedudukannya. Anak memiliki atau mendapat kedudukan yang
istimewa dalam Nash AI Quran dan AI Hadist. Oleh karena itu seorang
anak dalam pengertian Islam harus diperlakukan secara manusiawi dan
diberi pendidikan, pengajaran, ketrampilan dari akhlak mulkarimah
agar anak tersebut kelak akan bertanggung jawab dalam
mensosialisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa depan
145 Darwan Prinst, Loc.cit.
96
yang kondusif. Masalah anak dalam pandangan AI Quran menjadi
tanggungan kedua orang tua. 146
2. Pengertian Anak dari Aspek Sosiologis
Anak sebagai mahluk sosial ciptaan Allah SWT yang senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam
aspek sosiologis ini kedudukan anak diposisikan sebagai kelompok
sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di lingkungan tempat
berinteraksi. Status sosial yang dimaksud ditujukan pada kemampuan
untuk meneJjemahkan ilmu dan teknologi sebagai ukuran interaksi yang
dibentuk dari esensi-esensi kemampuan komunikasi sosial yang berada
dalam skala paling rendah. Hal tersebut sebenarnya lebih mengarahkan
pada perlindungan kodrati anak karena keterbatasan-keterbatasan yang
dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana
orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak
berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi
dari akibat usia yang belum dewasa yang disebabkan kemampuan daya
nalar (akal) dan kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spiritual
yang berada di bawah kelompok orang dewasa. 147
3. Pengertian Ekonomi
Status anak sering dikelompokkan pada golongan yang non produktif.
Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif dalam kelompok
anak, kemampuan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi
146 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 10 147 Ibid, him. 12
97
finansial yang disebabkan dari teJjadinya interaksi dalam lingk:ungan
keluarga yang berdasarkan nilai kemanusiaan. Pengertian anak dalam
bidang ekonomi adalah elemen yang mendasar untuk menciptakan
kesejahteraan anak ke dalam suatu konsep normatif, agar status anak
tidak menjadi korban (victim) dari ketidakmampuan ekonomi keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Namun, kesejahteraan anak diperoleh
dan faktor internal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal dari
keluarga anak itu.148
2. Kedudukan Anak
Pengertian-pengertian mengenai anak seperti yang telah disebutkan
sebelumnya dapat membantu memahami kedudukan anak yang
sebenamya. Dalam masyarakat, kedudukan anak pada hakikatnya
memiliki makna dari sub-subsistem hukum yang ada dalam lingk:ungan
perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyarakatan yang universal,
disamping sistem kodifikasi dan uniflkasi hukum yang telah pula
membawa dampak yang positif terhadap anak, yang dijabarkan secara
transparan pada beberapa peraturan perundang-undangan, Hukum Anak
dalam lapangan pekeJjaan dan kewarganegaraan. Kedudukan anak dalam
lingkungan hukum sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan
sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di
dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur
menurut penjelasan Undang-Undang. Tidak mampu disini karena
kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam
'"Ibid. him. 13
98
diri anak yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewenangan
sistem hukum nasional Indonesia untuk meletakkan hak-hak anak sebagai
suatu supremacy of law terhadap perbuatan hukum dari anak dengan hak
hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul secara kodrati. 149
Apabila dilihat dari bidang politik, sangat sulit untuk menjabarkan
kedudukan anak melalui pola ilmu pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan
adanya eliminasi kegiatan politik yang semakin menjelajahi dimensi usia
dari warga masyarakat. Meluasnya kehidupan politik semakin
membangkitkan kekuatan kelompok-kelompok sosial yang berusia muda
untuk berpartisipasi secara terbuka. Akan tetapi, tetap ada esensi yang
mendasar pada kelompok anak yang kemudian dijadikan sebagai subyek
dalam diplomasi politik dari elite-elite politik baik partai maupun
pemerintahan dari bangsa dan negara yang meletakkan anak sebagai
tern pat issue bargaining politik yang kondusif. 150
Kedudukan anak pun dapat diperhatikan dari beberapa
pengelompokan bidang hukum, seperti :151
a. Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Kedudukan anak yang ditetapkan menurut UUD 1945 terdapat dalam
kebijaksanaan Pasal. 34 .. Yang menjadi esensi dasar kedudukan anak
yaitu anak adalah subjek hukum dari subjek hukum nasional, yang
harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan
anak. Disini pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab
terhadap masalah sosial yuridis dan politik yang ada pada seorang anak.
149 Ibid hlm2 150fbid,,hlm 14 151Ibid, him 17
99
b. Menurut Hukum Perdata
Pasal 330 ayat (I) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP)
mendudukkan status anak: "Belum Dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin".
Sedangkan dalam ayat (3)nya disebutkan "Mereka yang belum dewasa
dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian
ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini". Kedudukan dalam
hukum perdata ini menunjukkan pada hak-hak anak dan kewajiban
kewajiban anak yang memiliki kekuatan hukum secara formal maupun
secara material.
c. Menurut Hukum Pidana
Kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam
pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif.
Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang
seharusnya bertanggung jawab terhadap pidana (strafbaar foit) yang
dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata kedudukan sebagai seorang
anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai
seseorang yang mempunyai hak-hak khusus.dan perlu untuk mendapat
perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Selain itu, kedudukan anak dalam pengertian pidana dapat pula
dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dengan menggunakan
beberapa pengertian seperti dalam Pasal I ayat (8) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat (2)
100
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.
Dalam kedudukan yang demikian, status anak sebagai seseorang yang
kehilangan hak-hak kemerdekaan akibat dari hukum pidana, berhak
untuk mendapat perlakuan istimewa yang ditetapkan oleh ketentuan
hukum pidana itu sendiri sebagai kelompok subjek hukum yang
dipandang belum dewasa. Pada hakikatnya, kedudukan status anak
daiam pengertian hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian
sebagai berikut :152
I. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;
2. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak
anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan dan tata negara
dengan maksud untuk mensejahterakan anak;
3. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan
mental spiritual akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan anak
itu sendiri;
4. Hak-hak untuk menerima peiayanan dan asuhan;
5. Hak-hak dalam proses hukum acara pidana
d. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Hukum. Tata Negara)
Kedudukan anak adalah sebagaimana yang telah ditetapkan dengan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Kedudukan tersebut sangat bergantung pada status orang tua,
152 Ibid, him 22
101
keanggotaan dalam keluarga atau juga disebut kedudukan yang
diberikan oleh ketentuan perundang-undangan.
e. Menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Perkawinan
Masalah kedudukan anak diatur dalam Bab IX Pasal 42 sampai dengan
Pasal 47. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai kedudukan anak
dalam perkawinan yang sah. Seperti dalam Pasal 42 yang mengatakan
bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah itu adalah
perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 2 Undang
Undang Pokok-Pokok Perkawinan, yaitu perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang
undangan yang berlaku. 153 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kedudukan anak dalam Undang-undang Pokok-Pokok Perkawinan
tersebut lebih berdasarkan pada perkawinan yang sah kedua orang
tuanya. Sebab sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) Undang
Undang Pokok-Pokok Perkawinan, apabila anak tersebut lahir diluar
pemikahan yang sah,-maka kedudukannya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
3. Hak-hak dan Kewajiban Anak
Setelah melihat pengertian dan kedudukan anak seperti yang telah
diuraikan diatas, beberapa diantaranya secara langsung mencantumkan
153 Darwan Prinst, Op.cit., h1m 88
102
mengenai hak-hak anak. Hak anak dapat dibangun dengan pengertian hak
secara umum ke dalam pengertian sebagai berikut: "Hak anak adalah
sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan
kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum atau tertib hukum
kepada anak yang bersangkutan". Dapat dilihat secara jelas apa saja yang
menjadi hak dari anak, untuk lebih jelasnya perlu diuraikan kembali
mengenai hak-hak anak tersebut, yaitu:
a Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah pandangan kehidupan
agama Islam, terdiri dari:
I) Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan
atau rahim (Q.S. AI Baqarah ayat 233);
2) Hak untuk disusui selama dua tahun (Q.S. AI Baqarah ayat 233);
3) Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak
yang benar (Q.S. Mujaadalah ayat II);
4) Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orang tuanya (Q.S.
An Nisa ayat 2, 6 dan I 0);
5) Hak untuk mendapatkan nafkah orang tuanya (Q.S. Qashash ayat
20).154
b. Undang-Undang. Nomor 4 Tahun. I 979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam undang-undang ini hak anak diatur dalam tujuh pasal pada Bab
II. Namun secara garis besar dapat disimpulkan bahwa anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan, perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
154 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 11
I03
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
yang tidak wajar. Hak-hak tersebut termasuk pula didalamnya
klasifikasi hak anak untuk dinafkahi, dididik untuk melakukan kegiatan
produktivitas yang wajar, sehat dan tidak bertentangan dengan hak asasi
anak.l55
c. Menurut Hukum Pidana
Pakar Pidana Bismar Siregar dan Abdul Hakim Garuda Nusantara
menyebutkan bahwa:
"Hukum harus menitikberatkan pada hak anak pada umumnya, dan dalam proses peradilan pidana pada khususnya akan disoroti sebagai social study dari anak-anak yang melakukan tindak pidana (delikuensi anak) sehingga dapat dikaji secara individual latar belakang dan sebab-sebab pelanggaran pidananya." 156
Dengan demikian hak anak dalam hukum pidana yaitu untuk
mendapatkan hak-haknya secara umum, dianggap sebagai individu
yang utuh, dengan tidak terlepas untuk tetap menganggap bahwa anak
tersebut adalah suatu penelitian yang tetap harus diteliti secara seksama
mengenai alasan dan penyebab melakukan suatu pelanggaran
pidananya. Disini berarti terdapat hak istimewa dari anak, seperti yang
diatur dalam Pasal45, 46 dan 47 KUHPidana
d. Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Chid- 20
November 1959)
1. Hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum;
2. Kesempatan dan fasilitas untuk berkembang, sehat, wajar, dan bebas;
1"Ihid, hlm 14 100lbid, him 21
104
3. Hak untuk memiliki nama dan kebangsaan atau ketentuan
kevvarganegaraan;
4. Mendapat jaminan sosial: gizi, perumahan, rekreasi, pelayanan,
kesehatan, pendidikan, dan peravvatan. Pelayanan khusus untuk yang
cacat;
5. Tumbuh, berkembang dan dibesarkan dalam suasana kasih sayang,
pengertian dan rasa aman;
6. Hak untuk didahulukan dalam perlindungan;
7. Hak untuk dibesarkan dalam penuh toleransi, persahabatan antar
bangsa, perdamaian dan persaudaraan semesta;
8. Hak untuk mendapatkan pertolongan dan perlindungan dari
penindasan rezim, penyia-nyiaan dan kekejaman, diskriminasi rasial,
agama maupun diskriminasi lainnya. 157
e. Hak Asasi Anak yang berhubungan dengan proses peradilan.
Hak-hak anak yang terdapat dalam proses advokasi dan Hukum
Perlindungan Anak dapat dikelompokkan ke dalam ketentuan-ketentuan
Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981),
Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan
Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yang meliputi prinsip-prinsip proses peradilan sebagai
berikut:
(1) Hak yang diperoleh sebelum sidang peradilan 1.1. anak sebagai tersangka 1.2. anak sebagai korban kejahatan 1.3. anak sebagai saksi dalam pemeriksaan tersangka
151Kumpulan Kuliah Hukum Perlindungan Anak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 22
105
(2} Hak yang diperoleh selama persidangan 2.1. anak sebagai pelaku kejahatan (terdakwa) 2.2. anak sebagai korban kejahatan 2.3. anak sebagai saksi dalam suatu bentuk kejahatan
(3} Hak yang diperoleh sete1ah persidangan (terhukum) 3.1. anak sebagai pelaku kejahatan yang dihukum pengadilan
(terdakwa) 3.2. anak sebagai anggota lembaga pemasyarakatan anak 3.3. anak sebagai anggota rumah asuh partikelir 3.4. anak sebagai terhukum yang dikembalikan kepada orang
tuanya.Iss f. Hak Asasi Anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi anak da1am undang-undang ini hampir seluruhnya telah
diadopsi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Hanya beberapa saja yang tidak secara eksplisit
diadopsi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, yaitu :
I. Hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi;
2. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,
penculikan, perdagangan anak dan dari penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya;
3. Hak tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup;
4. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai
upaya terakhir. 159
g. Hak Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
1. Hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrirninasi. Hak ini sesuai
158 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 36 159 Darwan Prins!, Op.cil., him 145
106
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal28 B ayat (2) dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.
2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan. 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua. 4. Hak untuk mengetahui orang tuanya. 5. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. 6. Hak mendapat pendidikan dan pengajaran. 7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya.
8. Hak istirahat dan memanfaatkan waktu luang. 9. Hak anak penyandang cacat untuk memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosia~ dan pemeliharaan taraf kesejabteraan sosial. l 0. Berhak mendapat perlindungan Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan;
c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan f. Perlakuan salah lainnya, seperti tindakan pelecehan atau
perbuatan tidak senonoh kepada anak. II. Hak diasuh orang tuanya 12. Hak memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Perlibatan dalam kerusuhan sosial; d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan. 13. Hak memperoleh perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 14. Hak memperoleh kebebasan 15. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara sesuai dengan
hak yang berlaku
16. Hak anak yang dirampas kebebasannya
!07
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan bantuan lainnya
secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang ob~ktif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk urn urn. 1
Dari seluruh hak-hak anak seperti yang telah disebutkan diatas,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam Pasal 19 mengatur pula mengenai kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhi oleh seorang anak, yaitu:
I. Wajib menghormati orang tua, wali dan guru;
2. Wajib mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi ternan;
3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. 161
Berdasarkan RUU KUHP Tahun 2015 Bagian IV Pidana Dan Tuntutan
Bagi Anak Paragraf I Pidana Anak dalam ketentuan:
Pasal115 (1) Anak yang be1um mencapai umur 12 (dua be1as) tahun melakukan
tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. (2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang
berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan betas) tahun yang melakukan tindak pidana.
Pasal 116 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman
pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56, demi kepentingan terbaik bagi anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan.
160lbid, him 150 161 Ibid, him 155
108
(2) Penundaan a tau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) disertai dengan syarat: a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya. Pasal I I 7 (I) Setiap penyidik, penuntut umum, dan hakirn dalam memeriksa
anak wajib mengupayakan diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada aya.t (I) dilaksanakan dalam
hal tindak pidana yang dilakukan: a diancam dengan: pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal II8 (!) Pelaksanaan diversi wajib memperhatikan:
a kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan!atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; b. tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah m1mmum
provinsi setempat. Pasal119 Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaiinana dimaksud dalam Pasal 14I dan Pasal I42, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana. Pasal I20 Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: _ a. menyerahkannya kembali kepada orang tua!wali; atau mengikut
sertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
H. Pengertian Mediasi Penal
Mediasi pidana menurut Martin Wright adalah: "a process in which
I09
victim(s) and offender(s) communicate with the help of an impartial third
party, either directly (face-to face) or indirectly via the third party, enabling
victim(s) to express their needs andfoelings and offender(s) to accept and act
on their responsibilities." ("Suatu proses di mana korban dan pelaku
kejahatan sating bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga
baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak
ketiga sebagai penghubung, memudabkan korban untuk mengekspresikan apa
yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku
menerima dan bertanggungjawab atas perbuatannya".)162
Mediasi pidana dalam Explanatory Memorandum to the Council of
Europe Recommendation tentang Mediation in Penal Matters sebagaimana
tertuang dalam Mediation in Penal Matters, Recommendation No. R (99) 19
adopted by the Committee of Ministers of the Council of Frolic oil September
1999, mendefinisikan mediasi pidana sebagai proses di mana korban dan
pelaku kejahatan dimungkinkan secara sukarela, untuk berpartisipasi secara
aktif dalam penyelesaian masalah mereka akibat dari perbuatan pidana yang
dilakukan pelaku tindak pidana dengan melibatkan pihak ketiga atau
mediator.
Mediasi pidana menjadi perhatian yang luas sebagaimana tampak
dalam rekomendasi yang disampaikan dalam kongres Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang The Prevention of Crime And The Treatment of Offenders dan
konferensi Intemasional. Dokumen penunjang Kongres Perserikatan Bangsa-
Bangsa ke-9 Tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan
162 Martin Wright sebagaimana dikutip oleh Marc Groenhuijsen, Victim-OffenderMediation: Lagal And Procedural Sqfeguards Experiments And Legislation In Some European Jurisdictions, Leuven, Oktober !999, him. I
110
pidana. Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa perlu
mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice fonctrons
dan alternative dispute resolution. Anjuran ini dikemukakan untuk mengatasi
problem kelebihan muatan atau penumpukan perkara di pengadilan.
Deklarasi Wina yang dihasilkan Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa
ke-1 0 Tahun 2000 khusus ten tang upaya perlindungan kepada korban
kejahatan, perlu diupayakan pengaturan prosedur mediasi dan peradilan
restoratif. Ecosoc telah menerima Resolusi 2002112 mengenai Baric
Principles on the Use Restorative Justice Programmes in Criminal Matters
pada tanggal24 Juli 2002,didalamnyajuga mencakup masalah mediasi163•
Komisi para Menteri Dewan Eropa, The Committee of Ministers of
The Council of Europe, telah menerima Recommendation No. R (99) tentang
Mediation in Penal Matters, pada tanggal 15 September 1999 yang
selanjutnya dikeluarkan The EU Council Framework Decision tentang
kedudukan korban di dalam proses pidana, EU 200 1/220/JBZ, yang mengatur
pula tentang mediasi, pada 15 Maret 200 ! 164•
International Penal Reform Conforence yang diselenggarakan di
Royal Holloway College, University of London, pada 13-17 April 1999
mengemukakan salah satu dari agenda baru pembaharuan hukum pidana ialah
perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem mekanisme
informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar Hak Asasi
163 Barda Nawawi Arief, "Mediasi Pidana (Penal Mediation) dalam Penye/esaian Sengketa!MasalahPerbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan", dalam Paulus Hadisuprapto, el al., Kapita Se/ekJa Hukum: Menyambut Dies NaJalis Ke-50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, him. 17
164/bid
lll
Manusia 165•
Mediasi menurut Kamus lstilah Hukum Belanda Indonesia Fockema
Andreae menyatakan sebagai berikut :166Mediatie adalah jasa-jasa baik,
mediasi, perantaraan didalam pergaulan hukum antar bangsa. Jasa-jasa baik
tidak mengikat. Artibrage, bans offices. Mediasi menurut Hendry Campbell
Black's MA menyatakan bahwa: "mediation, private, informal dispute
resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps
disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to
impose a decision on the parties. See also alternative dispute resolution:
Arbitation Consoliation. 167
Adapun pengertian konflik dan penyelesaian konflik dalam hukum
pidana adalah konflik adalah pertentangan atau percekcokan168. Achrnad Ali
yang mungutip pandangan Schuyt menyatakan konflik adalah:
"Setiap situasi di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gaga! mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk mempeJjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka."169
Sela~utnya Chris Mitchell mengartikan konflik sebagai "hubungan
antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau
165Ibid 166 N.E. Algra; H.R. W. Gokkel; Saleh Adiwinata, DH; A. Teloeki; H. Burhanoeddin, St
Batoeta, Kamus lstilah Hukum Foclrema Andreae, Alwnni, Bandung, 1972, him. 293 167 Hendry Campbell, Black's Low Dictionary, St. Paul, Minn West Publishing Co. New
York, 1990, him. 981 168 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1976,
him. 519 Lihat pula Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, him. 587.
169 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Penga.dilan, BPIBLAM, Jakarta, 1998, hal60
112
merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan"170• Mediasi pidana
adalah suatu proses di mana korban dan pelaku kejahatan saling bertemu dan
berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga baik secara langsung atau secara
tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagai penghubung,
memudahkan korban untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan
dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung
jawab atas perbuatannya.
Restorative Justice menekankan pengertian kejahatan sebagai
tindakan yang melawan individu atau masyarakat bukan sebagai bentuk
pelanggaran kepada Negara. Korban memainkan peran utarna dan menerima
restitusi dati pelaku kejahatan. Adapun penegakan hukum merupakan faktor
yang harus diperhatikan dalam hal penegakan peraturan perundang-undangan
antara lain sebagai berikut:
I) faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.
2) faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak terlibat dalam
peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan
masalah mentalitas.
3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
4) faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum yang merefleksi perilaku masyarakat
5) faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
17° Chris Mitchell, dalam Simon Fisher el. a/., Menge/o/a KOtif/ik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta, 1998, him. 4.
113
Menjadi suatu kenyataan bahwa kelima faktor tersebut saling
berpengaruh, berkaitan dan saling menentukan agar penegakan hukum atas
pidana, dapat diterima di tengah masyarakat. Probabilitas dalam realitas
hukum dimungkinkan bahwa peraturan perundang-undangan sudah memadai,
namun penegak hukum tidak profesiona~ yang mengakibatkan kegagalan.
Kemungkinan yang lain dapat teijadi undang-undang dan penegak hukum
sudah baik, namun sarana atau kesadaran masyarakat kurang, mengakibatkan
penegakan hukum akan tidak optimal dilaksanakan, demikian seterusnya.
Kelima faktor pemecahan hukum, temyata faktor penegak hukurn dianggap
yang dominan.171 Organ/penegak hukum yang menjadi operator hukum dalam
law enforcement. Pendapat Herman Manheim dalam bukunya beijudul
Criminal Justice and Social reconstruction mengatakan :
"it is not the formula that decide the issue but the men who have to apply the
formula". Betapapun baiknya perangkat perundang-undangan j ika para
penegaknya berwatak buruk maka hasilnya akan buruk pula". 172
Barda Nawawi Arief menjelaskan perkembangan dan latarbelakang
munculnya ide mediasi penal sebagai pilihan penyelesaian perkara pidana
yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana. Perkembangan tersebut
dapat dilihat dalam:
I. Kongres PBB ke-9 tahun 1995 dalam dokumen penunjang yang berkaitan
dengan manajemen peradilan pidana mengungkapkan perlunya semua
negara mempertimbangkan ''privatizingsomelaw enforcement and justice
171 Soerjono Soekanto, Faktor-jaktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, him. 14
172 A. Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Daiam flmu Hukum, Pada Fakuitas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 23 Juli 1998, him. 5
114
jUnctions" dan "alternative dispute resolution!ADR" (berupa mediasi,
konsiliasi, restitusi,dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.
Khusus mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut:
"The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been dtn~elop in the civil law environment, may well be more widely applicable in crimina/law. For example, it is possible that' some of the serious problem sthat complex and lengthy cases involving fraud antiwhite-collar crime pose for courts could by reduced, if no/entirely eliminated, by applying principles developed inconciliationand arbitration hearings. In particular, if the accused isacorporation or business entity rather than anindividual person, the fUndamental aim of the court hearing mustbenot to impose punishment but to achitn~e an out come that is in the interest of society asa whole and to reduce the probability of recidivism. "
2. Laporan Kongres PBB ke 9 tahun 1995 tentang The Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders mengemukakan:
a Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara) di
pengadilan, para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan
bersyarat, mediasi, restitusi,dan kompensasi, kbususnya untuk pelaku
pemula dan pelaku muda (dalam laporan No.ll2).
b. Ms.Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan
mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu altematif penuntutan
yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku
tindak pidana dengan korban (dalam laporan No.319).
c. Dalam Konferensi Intemasional Reformasi Pidana (International Penal
Reform Conference) yang diselenggarakan di Royal Holloway
College,University of London, pada tanggal 13-17 April 1999,
dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru
pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for
115
penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal
dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengk:eta
yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to
enrich the formal judicial system with informa/,locally based, dispute
resolution mechanisms which meet human rights standards).
Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener, Ontario, Kanada
pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat,
lnggris, dan negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat, mediasi penal
pertama kali dipraktikkan di Elkhart, Indiana dan di lnggris oleh The
Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi
penal tersebar ke banyak negara di dunia.Yang perkembangannya paling
subur adalah dinegara-negara Eropa.
Semakin maraknya penggunaan mediasi penal sebagai altematif
sistem peradilan pidana untuk menangani ABH adalah karena keunggulan-
keunggulan yang ditawarkan oleh mediasi sebagai pilihan penyelesaian
sengketa, seperti fleksibilitas, kecepatan, rendahnya biaya, dan kekuasaan
yang dimiliki oleh para pihak untuk menentukan proses dan kesepakatan
yang diinginkan.Umbreit173 seorang profesor,pionir, dan pakar mediasi
penal dari Amerika Serikat,menawarkan definisi mediasi penal,yaitu:
"A process that gives victims of property crimes orminorassaults the opportunity to meet the perpetrators of these crimes in as afoand structured setting, with the goal of holding the offenders directly accountable while providing important assistance and compensation to the victims. Assisted by a trained mediator, the victim is able to let the offender know how the crime affected him or her, receive answers
173Mark Umbreit, "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation",dalam The Handbookof Victim Qffender Mediation: An Essential Guideto Practice and Research, ed Umbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, hlm.xxxviii.
116
to questions, and be directly involved indeveloping a restitution plan for the offonder to be accountable for the loss or damage caused "
(Terjemahan bebas: Proses yang memberikan kesempatan kepada korban pencurian dan tindak pidana ringan untuk bertemu pelaku dalam suasana yang aman yang terstruktur, dengan tujuan meminta pelaku langsung bertanggungjawab sambil menyediakan bantuan dan kompensasi untuk korban. Dengan dibantu seorang mediator yang ahl~ korban mampu memberitahu pelaku bagaimana kejahatan yang dilakukan mempengaruhi hidupnya, mendapatkanjawaban, dan secara langsung terlibat dalam membuat rencana restitusi sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku terhadap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan.)
Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang
dilakukan orang dewasa maupun anak-anak. Barda Nawawi
Arief 74menjelaskan bahwa metode ini melibatkan berbagai pihak yang
bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediator dapat
berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi
ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijakan
polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan, atau setelah pemidanaan.
Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, atau
khusus untuk anak; atau untuk tipe tindak pidana tertentu (misal
pengutilan, perampokan, dan tindak kekerasan). Selain itu, bisa ditujukan
pada pelaku anak, pelaku pemula, juga untuk delik-delik berat atau bahkan
residivis.
Penggunaan mediasi penal sebagai altematif peradilan pi dana anak
dalam penanganan ABH terbilang barn karena biasanya mediasi penal
digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak pidana
ringan lainnya. Namun seiring perkembangan zaman dan kebutuhan
174 Bar<la Nawawi Arief, Mediasi Pena/:Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan. Artikel dalam http:/lbardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi-penalpenyelesaian-perkara·pidana-di luar pengadilan/ 2009, diakses pada tanggal24 Maret 2011. hlm.8.
l!7
korban, mediasi penal juga dipakai untuk menyelesaikan tindak pidana
berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan. 175 Banyak program mediasi
penal dibuat untuk menghindarkan ( diversi) ABH dari penjara untuk
mendapatkan pilihan mekanisme yang lebih murah, cepat, dan lebih ringan
hukumannya. 176
Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan saat ini sangat
diperlukan, karena:
a Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara.
b. Merupakan salab satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap
lebih cepat, murah, dan sederhana
c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang
bersengketa untuk memperoleh keadilan.
d. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan pemidanaan.
Stefanie Trankle menyatakan hakikat mediasi penal dikembangkan
dengan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai
berikut: m
a Penanganan konflik (Conflict Handling/Koriflikbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan
mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, babwa kejabatan telah menimbulkan konflik
175 RodneyA.EIIis dan Karen M.Sowers,Juvenile Justice Practice: Across Disciplinary Approach to lntervenJion, Wadsworth, Belmon~ 2001, hlm.205.
176 Mark Umbreit dan Robert B.Coates,"The Impact of Victim Offender Mediation:Two Decades of Research", dalam The Handbook of Victim Offender Mediation, ed Umbrei~ M.,Jossey- Bass, San Fransisco, 200!,hlm.l69.
177 Stefanie Trank.le, The Tension between Judicial Control and Autonomy in VictimOffender Mediation- a Microsociologica/ Study of a Paraoxisal Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.uscrim. mpg.de/forschlkrirnltraenkle_ e.ttml. dalam: Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Pe"Yelesaian. .. , Ibid, him. 5-6
118
interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.
c. Proses informal (Informal Proceeding-Informalitat): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukurn yang ketat.
d. Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak (Active and Autonomous Participation-Parteiautonomie/Subjektivierung): Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai kalangan
akademisi terhadap penyelesaian konflik dalam masyarakat di Indonesia,
pada dasamya budaya untuk penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi
merupakan nilai yangbanyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berbagai
suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara
damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra Selatan, Lombok,
Papua, Sulawesi Barat dan masyarakat Sulawesi Selatan178•
Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin
diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan
selanjutnya dari hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya
terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai
kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam
masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin
178 Ahmad Hasan, "Perryelesaian Sengketa Mela/ui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan11 daJam Jurna/ AI-Banjari, Vol5, No.9, Januari-Juni 2007, him. 5.
119
menjaga suasana perdamaian179•
Penyelesaian-penyelesaian konflik yang dilakukan melalui
mekanisme hukum adat baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana.
Berbeda dengan hukum pidana barat, tujuan hukum pidana adat adalah
memulihkan keseimbangan hukum yangmenjadi tujuan segala reaksi atau
koreksi adat sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang
yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yangterdapat pada sistem
hukum pidana barat, tidak terdapat pada sistem hukum adat.180
Penyelesaian konflik secara musyawarah guna mencapai penyelesaian
antara pelaku dan korban tindak pidana sebagian besar masyarakat di
Indonesia yang umumnya beragama Islam, banyak memperoleh pengaruh
dari hukum Islam. Konflik-konflik dalam masyarakat banyak dimintakan
penyelesaiannya kepada tokoh masyarakat, dan umumnya pada daerah-daerah
yang pengaruh hukum Islamnya kuat, seperti di Aceh, Sumatra Barat, dan
Jawa maka para tokoh masyarakat atau adat di dalamnya termasuk para
tokohtokoh agama. Penyelesaian konflik yang diselesaikan oleh tokoh-tokoh
agama Islam umumnya dilakukan dengan pendekatan musyawarah. Menurut
Hazairin penyelesaian yang dilakukan oleh tokoh agama Islam vang
dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi tradisi membentuk hukum
adat dalam masyarakat tersebut, dalam hal ini adalah hukum Islam yang telah
dipraktekkan selama berabad-abad semenjak Islam dipeluk oleh masyarakat
179 Sudargo Gautama, "Penye/esaian Sengketa Secara A/ternatif(ADR)," dalam Hendarmin Djarab, et al, (Editor), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Aim. Prof Dr. Komar Kanlaahnatjja, S.H, LL.M, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, him. 124.
180 IbiO: him. 180
120
Indonesia. 181
Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh
masyarakat Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang
berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik
misalnya, akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai
titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada
mufakat. Suatu musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk
memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang
diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara
perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.182
Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya didapatkan
di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang pengadilan.183
Penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak pidana tidak hanya
diselesaikan dalam sistem peradilan pidana sebagai penyelesaian formal akan
tetapi dalam masyarakat Indonesia penyelesaian secara hukum adat juga
menjadi cara penyelesaian konflik. Hukum Adat adalah hukum asli Indonesia
yang tidak tertulis atau tidak tertuang di dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia dan disana-sini mengandung unsur agama.184
Berdasarkan rekomendasi Dewan Eropa Nomor R (99) 19 tentang
Mediation in Penal Matters sebagaimana termuat dalam Explanatory
181 Hazairin dalam Siti Juwariyah, Potret Mediasi dolam Islam, dalam http://www. badilag.net, diakses 20 Desember 2009.
182 Adi Sulistiyo, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006, him. 367-369
183 Marc. Galanter, Keadi/an di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradi/an, Penalaan Masyarakat serta Hukum Rakyat dalam T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, 1993, him. 81
184 Rumusan Hulrum Adat yang dihasilkan dalam seminar hukum adat dan pembinaan hulrum nasional di Yogyakarta 15-17 Januari 1975 dalam Imam Sudiyat, Peran Pendidikan dolam Pembangunan Hukum Nasional Ber/andaskan Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty, 1980, him. I.
121
memorandum, terdapat salah satu model mediasi pidana adalah traditional
village or tribunal moots, menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu
untuk mencegah konflik kejahatan di antara warganya. Model ini telah ada
sebelum terbentuknya hukum barat. Karena karakteristik model ini lebih tepa!
diterapkan pada masyarakat gemeinschaft, 185maka sampai saat ini masih
diterapkan di negara-negara berkembang khususnya di daerah pedesaan.
Penyelesaian dengan pendekatan model ini senantiasa diarahkan untuk
memberikan keuntungan bagi masyarakat secara luas. Meskipun ·model ini
tampaknya tidak tepat untuk diterapkan pada masyarakat moderen atau
masyarakat dengan pola kehidupan perkotaan, akan tetapi model ini telah
banyak memberikan kontribusi dan inspirasi bagi model mediasi modem. 186
Penyelesaian konflik perlu memperhatikan hukum adat yang berlaku
di masyaralr.at. Sebab jika hukum adat masih sangat kuat dipertahankan
dalam masyarakat maka mekanisme hukum adat akan menjadi faktor
penentu
keberhasilan penyelesaian konflik. Van Vollenhoven sebagaimana
dikutip oleh Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan:
"Jika penguasa memutuskan akan mempertahankan hukum adat, padahal hukum itu sudah surut. Maka penetapan itu akan tiada guna. Sebaliknya, seandainya telah ditetapkan dari atas bahwa hukum adat harus diganti, sedangkan rakyat masih menaatinya, maka Hakim Negara sekalipun akan tidak berdaya menghadapinya.187
Sedangkan Soerrjono Soekanto menyatakan "hukum adat yang masih
185 Masyarakat gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Lihat Soerjono Soekanto,. So.siologi Suatu Penganlar, Jakarta: Rajawali Pers, 1986, him. 119.
186 Rekomendasi Dewan Eropa NoR (99) 19, op. cit 187 Sudiman Kartohadiprodjo, Hukum Nasiona/, Beberapa Catalan, Bandung: Binacipta,
1971, hlm.8.
122
berlaku merupakan bagian dari hukum yang hidup ... hukum yang hidup
merupakan bagian dari hukum nasional dan menjadi tujuan untuk dicapai,
karena hukum yang hidup berlaku secara yuridis, sosiologis maupun
filosofis. 188
Apabila teijadi peristiwa pelanggaran pidana adat maka yang dilihat
bukan semata-mata perbuatan dan akibatrlya, tetapi, juga dilihat apa yang
menjadi Jatar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian,
maka dalam cara mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukum
terhadap suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.189
Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Mediasi di Beberapa Suku Adat
Indonesia:
a. Mediasi Pada Masyarakat Adat Banjar
Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang
lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat badamai bermakna sebagai
hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama
dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu
masalah.190 Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme
musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna
memecahkan persoalan yang teljadi dalam masyarakat. Masyarakat Baqjar
berkecenderungan menyelesaikan sengketa melalui adat badamai. Adat
badamai diakui efektif dalam penyelesaian pertikaian atau sengketa.
188 Soerjono Soekanto, "Pembahasan dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukwn Nasionaf' dalam Imam Sudiya~ Peran Pendidikan hlm.S.
189 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni, hlm.l3 190 Jebar Hafif, Kamus Bahasa Banjar, Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat
Perss, 1999, him. 32.
123
Sekaligus untuk menghilangkan perasaan dendam.
Adat badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik
yang bersifat keperdataan maupun pidana. Adat badamai dalam penyelesaian
sengketa pidana disebutjuga dengan istilah Baparbaik dan Bapatut. 191
Menurut hasil penelitian Ahmad Bahruni dari data kecelakaan lalu
Iintas yang teljadi di Banjarmasin selama tahun 1995-2000 teljadi sebanyak
43 perkara kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 25 perkara lalu lintas
diselesaikan secara badamai. Inisiatif penyelesaian diambil dari pihak pelaku
atau keluarganya sebanyak 17 kasus, inisiatif diambil oleh pihak korban atau
keluarganya sebanyak 5 kasus, dan inisiatif dilakukan oleh pihak kepolisian
bersama keluarga korban sebanyak 3 kasus. 192
Melalui perundingan badamai maka dicapai kesepakatan secara
umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: 193
I) Korban mendapat bantuan biaya perawatan atau pengobatan, terdapat pada I 5 kasus. 194
2) Korban meninggal dunia, menda~at santunan berupa uang duka dari pihak penabrak, terdapat pada 6 kasus. 1 5
3) Korban mendapat bantuan biaya perbaikan kendaraan dan biaya perawatan, terdapat pada 4 kasus.
b. Mediasi Pada Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah
Dalam ketentuan Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Nomor 15
191 Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Diserlasi, Pascasarjana FH VII, 2007 him. 117
192 Ahmad Bahruni, "Penye/esaian Tindak Pelanggaran La/u.-Lintas Secara Keke/uargaan, sebuah Tinjauan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif', dalam Ahmad Hasan, Penye/esaian Sengketa Hukum Berdasarkan Ada/ Badamai pada Masyarakat Ba,Yar da/am Kerangka Hukum Nasional, Disertasi, Pascasaijana 83 Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2007, him. 299
193ibid 194 Biaya perawatan atau pengobatan sesuai dengan kesepakatan badamai mulai dari
Rpl50.000,00 195 Biaya uang duka sesuai dengan kesepakatan badamai paling besar Rp 7.500.000,00
124
Tahun 2001 tentang Kedemangan dan Peraturan Daerah Pulang Pisau Nomor
II Tahun 2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan Pemberdayaan Adat
Dayak, mengharuskan setiap kedamangan harus mempunyai seorang demang
sebagai pemimpin. 196 Demang dan let adat-nya membentuk sebuah Dewan
Adat. 197
Tugas utama demang antara lain mengawasi penerapan hukum ada!
dan memelihara institusi-institusi ada! menyelesaikan perselisihan dan
pelanggaran hukum ada! memberi nasihat kepada pemerintah setempat yang
berkaitan dengan hukum adat melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
penduduk asli mempromosikan nilai-nilai budaya Dayak.198
Berdasarkan tugas tersebut maka Adat harus menjadi tempat pertama
bagi resolusi damai. Damang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan baik
kasus perdata maupun pidana. Keputusan adat dianggap "mengikat" pada
pihak-pihak yang terlibat, namun putusan tersebut hanya menjadi
"pertimbangan" bagi aparat hukum jika suatu sengketa diproses di sistem
formal. Artinya keputusan secara adat tidak mencegah tindakan hukum
formal. Pengadilan bebas mengabaikan basil resolusi secara adat.
Perkara pembunuhan di Palangkaraya, diselesaikan melalui mediasi,
salah satu motivasi pelaku tindak pidana menggunakan hukum ada! adalah
mengurangi hukuman pe~ara yang dijatubkan oleh pengadilan. 199 Selain itu
196 Tidak perlu ada keterkaitan dengan batas administratif, namun dalam praktek sebuah kedamangan biasanya mencakup wilayah kecamatan. Di bawah damang pada tingkat desa atau kelurahan ada perangkatnya, yang dikenal sebagai mantir atau let adat. Di atas damang, pada tingkat kabupaten terdapat Koordinator Adat Wilayah, yang dipilih dari para damang sendiri.
197 Peri Umar Farouk, dkk., "Kembali ke Masa Depan: Otonomi Daerah dan Kebangkitan Ada/ yang 1ldak Pasti." him. 4<http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/ publikasi/vjakalteng.~t>, diakses 17 Oktober 2007, 11:00 WIB.
1 lbidhlm. 5 199 lbid,hlm. I
125
dimaksudkan pula untuk memelihara kerukunan sosial, dan mediasi juga
dianggap lebih murah dan lebih pasti dalam menyelesaikan konflik antara
pelaku dan korban tindak pidana.200
Ketentuan hukum adat mencakup baik kasus perdata remeh walaupun
tindak pidana berat seperti pembunuhan dan perkosaan. Di bawah hukum
adat, jika kedua belah pihak rela, semua masalah dapat diselesaikan dengan
damai melalui konsiliasi.
Ketua Dewan Adat Kabupaten Kotawaringin Timur menjelaskan
proses yang ia terapkan, yangsecara umum menggambarkan proses resolusi
sengketa, baik secara adat maupun non-adat di Kalimantan Tengah?01
a. Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis atau lisan b. Biaya perkara sekitar Rp I 00,000 dibayarkan kepadanya oleh pelapor. Ini
mencakup makanan ringan untuk acara "persidangan" dan biaya operasional.
c. Kemudian damang akan menelaah kasus, memeriksanya dahulu dengan kepala desa/let adat (jika ada) untuk melihat apakah upaya-upaya resolusi telah dilakukan di tingkat desa.
d. Maka damang memanggil pihak-pihak yang terlibat dan saksisaksi ke rumahnya untuk "persidangan".
e. Damang akan mengajukan sebuah resolusi atau membailtu memediasi untuk mencapai kompromi. Jika pihak-pihak sepakat, hasil kesepakatan akan dicatat dan ditandatangani. Jika tidak, maka mereka biasanya akan merujuk masalah itu ke sistem peradilan.
f. Jika ditetapkan denda berupa uang atau kompensasi, I 0% dari jumlah denda dibayarkan kepada damang sebagai biaya perkara.
g. Kesepakatan tertulis diberikan juga kepada let adat atau kepala desa sebagai alat untuk memastikan ditaatinya kesepakatan tersebut.
Selain damang, di tingkat desa, berdasarkan rasa hormat serta
popularitas pribadinya, kepala desa acap dilibatkan untuk menyelesaikan
perselisihan. Sebagaimana diamati seorang penghulu. Masalah pidana ringan
yangdapat diselesaikan dengan perdamaian biasanya dirujuk kepada ketua
2C>Ofbid,hlm. 2 201 !bid him. 7
126
RTIRW, kepala adat atau kepala desa.202
c. Mediasi Pada Masyarakat Adat Aceh
Di Aceh proses penyelesaian adat dapat berbeda-beda di masing
masing kabupaten atau daerah akan tetapi terdapat kesamaan cara atau
metode dalam penyelesaian sengketa. Secara umum setiap kasus akan
diajukan kepada geudtik, yang terlebih dahulu akan mendorong para pihak
untuk membahas persoalan tersebut mencapai kompromi melalui
musyawarah. Apabila para pihak tidak mencapai kompromi barulah geuchik
dan para tetua gampong lainnya akan berusaha untuk menegosiasikan
kesepakatan, dan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan
bersama. Keterangan saksi diperlukan untuk membenarkan fakta, untuk itu
kejujuran para pihak sangat penting untuk mencapai hasil penyelesaian yang
adil.
Dalam bidang pidana ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan
dengan adat aceh. Penyesuaian ini misalnya sebagai berikut seratus onta
dipahami sama dengan seratus ekor kerbau atau lembu, dan di dalam
kenyataan hukum qisas tidak pemah dijatuhkan karena keluarga korban
selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya diakui
seratus ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari
hari pada umurnnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor
kerbau. Mengenai ta'zir dijatuhkan melalui musyawarah pimpinan gampong,
jarang yang sampai pada mahkamah yang waktu itu hanya ada pada tingkat
pemerintahan uleebalang dan ibu kota kerajaan. Hukurnan denda atau ganti
202/bid,hlm. 10
127
rugi pengakuan bersalah dan meminta maaf secara resmi di muka umum,
dicambuk dan diusir dari gampong merupakan bentuk-bentuk
hukumannya. 203
Empat pola penyelesaian konflik dalam tradisi masyarakat gampong
di Aceh yaitu di'iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe. Pola ini merupakan
pola penyelesaian konflik yangmenggunakan kerangka adat dan syari'at. 204
Penyelesaian konflik dengan pola di'iet ditujukan untuk
menghilangkan dendam dan rasa permusuhan berkepanjangan antara para
pihak bertikai yang telah mengakibatkan kekerasan dan bahkan pembunuhan.
Penyelesaian konflik yang teJjadi dalam komunitas masyarakat gampong,
baik yang bersifat individual atau internal keluarga, antar individu maupun
antar kelompok, melalui bingkai adat dan agama, temyata dapat membawa
kepada kedamaian yang a bad i dan permanen. 205
Penyelesaian konflik melalui mekanisme di'iet, dilakukan pada
penyelesaian kasus pembunuhan. Di'iet diwujudkan melalui kompensasi
yangdibayarkan oleh pelaku pidana kepada korban atau ahli waris korban
dalam kasus pembunuhan. Keuchik, teunglcu meunasah dan tetua gampong
termasuk pemangku adat biasanya bertindak sebagai fasilitator, negosiator
dan mediator dalam penyelesaian konflik melalui mekanisme di'iet. Mereka
inilah yangmelakukan pembicaraan-pembicaraan awal dengan ahli waris
korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya. Pelibatan keluarga besar dari
203 Al Yasa' Abubakar, "Islam. Hukum dan Masyarakut di Aceh Tajdid Syari'al Dalam Negara Bangsa", Seminar: First International Co'!forence of Aceh and Indian Ocean Studies, penyelenggara Asia Risearch Institute, National University of Singapore and Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia. 24-27 Februari 2007, him 3
204 Syahrizal dan Agustina Arida, "Po/a Penyelesaian Konj/ik dalam Tradisi Masyarakut GampOnf! Aceh", Jurnal Seumikec, Volume II, 2006, Aceh Institute, him. 7.
20'5ibid
128
para pihak menjadi sangat penting dalam pembicaraan tersebut, karena untuk
menghindari dendam di kemudian hari?06
Keuchik, teungku meunasah dan tetuagampong memulai proses
pemeriksaan kepada pelaku tindak pidana untuk dapat mengukur tingkat maaf
yang diberikan oleh korban atau ahli waris korban. Jika pemaafan telah
diberikan, maka para pemangku adat atau tetua gampong mengkompromikan
atau bermusyawarah dengan pelaku atau ahli warisnya tentang jumlah di'iet
yang harus dibayarkan oleh pelaku pidana.207
Selanjutnya, pelaku pidana atau keluarganya memberikan sesuatu,
biasanya emas, kepada keluarga korban dan menyembelih hewan berupa sapi
atau kerbau yang diprakarsai oleh imuem mukim, geuchik, dan teungku
meunasah. Biasanya pembayaran di'iet dilakukan dengan suatu upacara adat
yang didalamnya terdiri atas kegiatan peusijuee08dan peumat
jaroe. 209Keterlibatan institusi adat dan budaya dalam penyelesaian kasus
pidana, bertujuan untuk menghilangkan dendam antara para pihak
yangbertikai. 21 o
Tempat upacara pembayaran di'iet biasanya digelar di meunasah, atau
di rumah korban atau diselenggarakan di tempat lain tergantung kesepakatan
206ibid 207ibid 208 Perangkat peusijuek berupa: nasi ketan kuning, keiapa gongseng gula merah (ue mierah),
ayam panggang, lurnpce (tepung yang Ielah diaduk dengan guia merah yang digongseng), daun senijuek, daun iiaiang (naleung samboe), padi dicampur beras, air tepung/ air bunga, air putih, air cuci Iangan dan kemenyan. Untuk penyelesaian kasus pembunuhan ditambah lagi dengan kain putih dan pedang/rencong di daiam sarung. Bahkan di beberapa daerah tertentu ditambah lagi dengan ~mberian nang sokitar 2 juta sampai 5 juta rupiah.
2 Peuniat jaroe, berjabat tangan. Dalam proses peumaJ jaroe, pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: "Nyoe kaseb oh no dan bek na deundam /e. Nyoe heujeul keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe" yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang iagi. Bersaiaman ini diharapkan menjadi awal dari jaiinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab iru ajaran agama kita
210ibid
129
para pihak yangterlibal Penyelesaian konflik melalui mekanisme sayam
dilakukan pada penyelesaian kasus di luar pembunuhan seperti penganiayaan,
atau pertengkaran yang menyebabkan luka, sehingga mengalimya darah.
Sarna dengan di'iet, sayam juga menggunakan mekanisme kompensasi namun
kompensasi yang diberikan berupa kambing atau yang setara dengan itu? 11
Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber dari adagium yang
sudah dikenal lama yaitu" luka disipat, darah disukat". Makna adagium ini
adalah luka akibat penganiayaan atau kekerasan harus diperhitungkan,
demikian pula dengan tumpahnya darah juga harus diperhitungkan.
Pandangan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Aceh betul-betul
memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap tubuh
manusia, sebagai ciptaan Allah. Sayam merupakan bentuk kompensasi yang
bertujuan untuk melindungi dan memberikan penghormatan terhadap ciptaan
Allah berupa tubuh manusia. Sarna halnya dengan di'iet, prosesi sayam
dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa atau bertikai dihubungi
oleh keuchik dan teungku meunasah. Apabila kedua pihak telah bersepakat
baru prosesi sayam dilaksanakan di rumah korban atau di meunasah.
Mengingat sayam hanya ditujukan kepada tindak pidana yang bersifat ringan,
namun menimbulkan luka atau keluar darah, maka peralatan dan bahan
prosesi yang harus disiapkan oleh pelaku atau ahli warisnya sama dengan
di'iet, namun jumlahnya yang berbeda.212
Penyelesaian konflik melalui mekanisme Suloh, merupakan pola
penyelesaian konflik bukan hanya untuk kasus pi dana, tetapi juga untuk kasus
211ihid 212ibid
130
perdata atau sengketa dalam rumah tangga. Bahkan suloh merupakan dasar
dari mekanisme penyelesaian konflik melalui di'iet dan snyam jika
pengakhiran konflik diwujudkan dalam islah.
Penyelesaian kasus melalui peuniat jaroe, merupakan bagian dari
penyelesaian konflik dalam bentuk di'iet, sayam, suloeh. Pada mekanisme
peumat jaroe umumnya digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus sangat
ringan. Biasanya langsung dilakukan setelah teJjadi konflik oleh para tetua
adat yangmenguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik atau
teungku meunasah. Penyelesaian seperti ini biasanya untuk dan cukup dengan
bersalam-salaman (peumat jaroe). 213
Bentuk aktivitas adat dan budaya yangmelekat pada di'iet, sayam dan
suloeh adalah peusijuek dan peumat jaroe (sating berjabat tangan). Kedua
institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan
(ukhuwah) an tara para pihak yang bersengketa?14
d. Penyelesaian Perkara Pidana melalui Mediasi Masyarakat Adat Ambon
Perkara pidana ringan seperti perkelahian antar pemuda di lingkungan
atau penganiayaan ringan dapat diselesaikan secara informal oleh komunitas
setempat, Raja atau kepala desa mempunyai posisi sentral serta memiliki
peranan dan pengaruh yang.besar dalam penyelesaian sengketa informal. Raja
menengahi dan membantu menyelesaikan berbagai persoalan dan kasus yang
ada di masyarakat. Raja pula yang berhubungan dan berkoordinasi dengan
ZIJibid 214 Masyarakat Aceh menganggap belum sempurnanya penyelesaian konflik tanpa ada
prosesi peusijuek danpeumal jaroe. Oleh karenanya Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adalah peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri).
131
pihak kepolisian dalam kasus-kasus pidana ringan atau sengketa tanah.215
Di komunitas Maluku, Raja dikenal sebagai pihak pemutus akbir
dalam kasus atau sengketa yang sulit ditangani.216 Kepala Dusun juga
bertindak sebagai mediator dalam sengketa perdata dan pidana ringan.
Namun pada umumnya, penyelesaian sengketa mulai di tingkat yang terendah
yakni melalui kepala soa dan ketua RTIRW pada wilayah yanglebih urban
seperti kota Ambon, kepala dusun kemudian Raja.
Tujuan utama penyelesaian sengketa secara informal adalah untuk
menjaga kel)armonisan dan pemulihan relasi antara masyarakat dan agar
penyelesaian kasus yang ada dapat mengbemat biaya dan waktu para pihak
yang bersengketa. Sayangnya, walaupun menjadi pilihan utama, mekanisme
informal ini belum meqjadi bagian yang terintegrasi dari mekanisme atau
sistem hukum yang didukung oleh pemerintah secara sungguh-sungguh.
Dalam keseharian dan dalam penyelesaian sengketa, seorang Raja
dibantu oleh semacam dewan yang disebut sebagai "Saniri" di mana Raja
sekaligus menjadi anggotanya. Apabila ada kasus yang diajukan kepada pihak
Raja, maka Saniri akan memberikan dukungan baik dalam melakukan
investigasi maupun dalam musyawarah yang dilakukan. Namun sebagian
besar keputusan dan kata akbir tetap berada di tangan Raja.
Adapun urutan proses penyelesaian sengketa di tingkat komunitas
215 Peri Umar Farouk, et al., "Mekanisme Penye/esaian Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kola Ambon don Kabupalen Maluku Tengah", <http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/ publikasi/vja-ambonpdf>, diakses 17 Oktober 2007, II: 10
216 Pengertian raja dalam hukum adat Maluku adalah orang yang memimpin suatu Negeri atau Desa baik yang menduduki jabatan tersebut turun-menurun maupun dipilih secara Demokrads. Peri Urnar Farouk, et al., "Mekanisme Perryelesaian Sengkela ... 11 Ibid
132
sebagian besar mengikuti alur berikue17
I. Pengaduan masuk ke pihak aktor penyelesai sengketa (misalnya Raja, tokoh agama atau tokoh masyarakat). Di tingkat desa atau Negeri, ada juga kasus yang diajukan ke Saniri Negeri terlebih dahulu sebelum diajukan ke pihak Raja.
2. Apabila kasus adalah pidana berat, maka diajukan ke pihak Kepolisian; 3. Para pihak dipanggil dan diwawancara dalam suatu pertemuan terbuka.
Untuk tingkat desa/negeri, biasanya juga dihadiri oleh Saniri Negeri; 4. Raja/ tokoh agama/ tokoh masyarakat kemudian menganalisa kasus dan
hasil wawancara; 5. Untuk kasus tanah, Raja akan meminta bantuan pihak Saniri terutama
dalam melakukan investigasi; 6. Raja memanggil para pihak untuk mengambil putusan sekaligus
bemegosiasi mengenai sanksi nya. Apabila para pihak sepakat dengan hasilnya, maka biasanya ditulis suatu Berita Acara sederhana yang ditandatangani oleh para pihak;
7. Apabila para pihak tidak puas terhadap proses penyelesaian yang ada, maka mereka dapat menempub jalur pengadilan.
Proses penyelesaian dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak
korban dan pelaku, hal ini ditegaskan oleh Raja Hative Kecil: "Kita harus
minta persetujuan dari pihak korban". Hal yang sama juga disampaikan oleh
Raja Asilulu, "Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita menggunakan
pendekatan kekeluargaan. Namun himbauan saya jarang yang tidak dipatuhi
oleh para pihak yang bersengketa.218
Raja berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa. Dengan
demikian, harapannya setelah para pihak pergi dari rumah negeri atau rumah
Raja, tempat di mana. musyawarah dilakukan, maka komunitas setempat
menjadi damai kembali. Dengan perkataan lain, kondisi komunitas
yangterganggu akibat sengketa yangteljadi, kini telah dipulihkan.
Kasus Perkelahian akibat pelemparan mobil angkot di Dusun Rubua -
Desa Sepa, P. Seram - Kab. Maluku Tengah Kasus teljadi pada bulan
217 Peri Umar Farouk, et al., Op.cit. 218ibid
133
Desember 2003, bermula dari pemuda Ruhua yang pergi memetik cengkeh
tapi oleh masyarakat Desa Haya para pemuda tersebut disangka sebagai
anggota masyarakat Tehoru. Sejak dulu masyarakat Haya punya masalah
dengan masyarakat Tehoru. Orang Haya juga menduga bahwa Halue adalah
orang Tehoru. Orang Haya sempat memukuli dan melempari orang-orang
Ruhua yang memetik cengkeh ini. Untuk itu, Halue dan kawan-kawan
membalas dengan menghentikan mobil angkot atau angkutan kota yang
dimiliki oleh orang Haya dan melempari kacanya dengan batu sampai pecah
berantakan. Akibatnya orang Haya melaporkan persoalan ini ke pihak
kepolisian. 219
Selanjutnya pihak polisi memfasilitasi musyawarah untuk
menyelesaikan persoalan ini. Di kantor polisijuga hadir Bapak Raja Sepa dan
Sekretaris Desa. Bapak Raja memberikan nasihat untuk menyelesaikan kasus
ini. di ujung musyawarah, para pihak diminta untuk membayar denda dan
membuat surat pernyataan damai. Halue diminta membayar 500 ribu rupiah
sebagai bentuk ganti rugi kaca mobil yang telah dipecahkan.220
Kasus perkelahian antara tetangga di Desa Tamilou, P. Seram - Kab.
Maluku Tengah, Kasus bermula ketika seorang ayah yang kedua anaknya
meninggal secara berturut-turut. Si ayah menduga bahwa tetangga sebelahnya
mempunyai andil atas kematian anaknya. Ia menganggap si tetangga memiliki
ilmu hitam sehingga menyebabkan kematian atas anaknya.221
Kasus sempat dibawa ke pihak Polisi, namun ditarik kembali oleh
aparat desa karena dianggap masih bisa diselesaikan sendiri. Musyawarah
219ibid 220ibid 22 libid
134
diadakan oleh pihak desa dan para pihak diminta membuat pemyataan damai.
Pihak yangmenuduh diminta untuk memberikan I bal kain putih ke pihak
mesjid.222
e. Mediasi Pada Masyarakat Adat Lombok Utara
Masyarakat Lombok Utara memiliki kepemimpinan adat yang dikenal
sebagai adat Wet Tu Telu. Namun semenjak dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa kepemimpinan adat Wet Tu
Telu kehilangan eksistensinya.223
Inisiatif untuk mengembalikan eksistensi Wet Tu Telu, muncul seiring
dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Desa, yakni dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat
Adat Lombok Utara atau Perekat Omharn Mereka mendeklarasikan
keberadaannya di pertemuan besar (gundem) ke-5 tokoh-tokoh kepala desa
dari 25 desa di Lombok, tanggal 9 Desember 1999 di Desa Becingah,
Kacamatan Bayan, Kabupaten Utara Lombok Barat.224
Awalnya gerakan Perekat Ombara ini merupakan wadah keprihatinan
beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus sama berkenaan dengan
degradasi_. ekosistem hutan, yang diakibatkan eksploitasi perusahaan
pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pertemuan-pertemuan
selanjutnya, tidak saja hanya membicarakan masalah degradasi lingkungan,
222ibid 223 Peri Umar Farouk dkk., "Wet Tu Telu: Peluang Membangun Peradilan di Tingkat
Desa", <http://www.justiceforthepoor.ar .id/documents/publikasi/vja-ntb.pdf.> diakses I 7 Oktober 2007,Il:I5 WIB.l7 Ibid
224lbid Upaya penyelesaikan sengketa oleh masyarakat adat selaku mediator ada yang memformalkan menjadi bagian dari struktur pemerintahan di desa dan mengakuinya secara informal, yakni tanpa memasukk:annya dalam struktur pemerintahan desa.
135
melainkan berkembang ke wacana revitalisasi adat budaya. Termasuk di
dalamnya memunculkan upaya pembentukan model penyelesaian sengketa di
luar institusi formal hukum yang dihadapi masyarakat. 225
Berkenaan dengan prosesnya, penyelesaian sengketa di tingkat
masyarakat belum ada aturan ketat tertentu. Meski diupayakan relevan
dengan hierarki pemerintahan di desa yangdiurutkan mulai yang terbawah
dari RT/RW kemudian Dusun lalu Desa, namun pendekatan langsung ke
tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka, akan tetapi selalu ada himbauan
terlebih dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang lebih rendah, RT/
R W atau Dusun?26
Kasus-kasus yang ditangani antara lain perkelahian atau
pengeroyokan, hamil luar nikah, pemidangan (ape!) kepada istri orang dan
perzinahan. Umumnya perkara dilaporkan oleh pelaku pada kasus
perkelahian atau pengeroyokan agar tidak teJjadi balas dendam. Sedangkan
pada kasus yang berhubungan dengan pergaulan laki-laki perempuan, inisiatif
berasal dari Ketua RT/RW, pemuka masyarakat seperti penghulu, kiyai, atau
mangku adat, atau tokoh pemuda. Pengaduan/laporan bisa diberikan secara
I. ,. 227 tertu 1s maupun 1san.
Penggalian informasi dari pihak pertama Pada kesempatan
yangpertama informasi digali dari pengadu/pelapor atau orang yang diketahui
mempunyai kasus. Di kesempatan ini, pihak yang diakses seperti RT/RW,
Kadus, Kades, mempunyai hak diskresi untuk melibatkan orang lain atau
225 Ibid him. 8 226/bid him. 9. Biasanya yangdatang adalah orang yang berhubungan langsung dengan
kasus, dengan didampingi oleh keluarganya atau yang dianggap sesepuh keluarga yang bersan~kutan
"227ibid
136
tidak, terutama anggota Krama-nya(penghulu dan niangku adat) untuk
mendengarkan keterangan pendahuluan. Pada kasus-kasus tertentu ada yang
coba diselesaikan sendiri oleh RT/ RW, Kadus, Kades tanpa melibatkan
majelis yang lebih besar.
Penggalian informasi dari pihak lainnya atau pihak lawan dilakukan,
kesempatan berikutnya, selang satu sampai tiga hari, mediator penyelesai
sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang ditangani untuk didengar
keterangan serta informasinya. Di kesempatan ini pihak yang diundang
ditanyakan balik tentang versi dan konfmnasi sebagaimana
pengaduan/laporan orang pertama.
Penggalian informasi dari saksi Bilamana terdapat saksi atau pihak-
pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus yangsedang ditangani, maka
para saksi ini pun diundang untuk didengar keterangannya. Proses berkenaan
dengan saksi sendiri bisa juga teljadi pada saat menggali keterangan dari
pengadu/pelapor, saat mana para pengadu/pelapor membawa serta mereka
dalam rangka menguatkan keterangannya.228
Mempertemukan para pihak menggemukkan secara terbuka
persoalannya dan didengar langsung pihak lawannya. Di sesi ini juga bisa
teljadi tany~awab, sating mengkonfirmasi, bahkan saling silang pendapat Di
sesi ini juga semua kalangan yang berkaitan langsung dengan kejadian,
seperti saksi, dihadirkan dan mengemukakan apa yang disaksikannya.
Pertemuan para pihak ini lebih terfokus pada tuntutan yangdikehendaki satu
pihak kepada pihak lainnya. Mediator akan memperhatikan layak tidaknya
228 Karolus Kopong Medan, Peradi/an Relwnsi/iatif Konstruktif Penye/esaian Kasus Kriminal Menuru/ Tradisi Masyarakat Lamaholot, di Flores NTT; Disertasi, PDIH Undip, 2006, hlm. 240.
137
sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi pihak lainnya.
Pendekatan pertama para aktor memposisikan diri terlebih dahulu
sebagai orang yang meminta kesepakatan pihak satu dari tuntutan pihak
lainnya. Dia bertindak laksana negosiator atau konsiliator,
mengkomunikasikan atau menawarkan kehendak pihak yang menuntut untuk
dipenuhi oleh pihak lainnya. Perkara-perkara kriminal ringan, dapat
diselesaikan cepat. seperti perkelahian, pencurian. Pada perkara-perkara
tersebut polisi menyerahkan terlebih dulu penyelesaian kepada kepala Tokoh
Adat lingkungan.
f. Mediasi Masyarakat Adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur
Masyarakat Lamaholot berpandangan untuk bisa menyelesaikan
dengan baik kasus-kasus sengketa krimina~ institusi adat me/a sareka
difungsikan untuk memperbaiki relasi sosial yangrusak antara pihak229.Proses
ritual adat perdamaian me/a sareka yaitu para pihak melakukan getun liko
petin pepa atau pemisahan para pihak, karena ada konflik maka harus
dipisahkan sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan
bersama jika dilanggar maka akan terkena risiko adat yaitu sakit, celaka atau
meninggal230•
Ritual herun haban, acara untuk mempertemukan para pihak dan
diakhiri dalam Bua Behin atau deklarasi hidup dalam damai, melalui makan
minum bersama menandakan konflik telah hilang antara pelaku dan
korban231 .Soba Sewalet ajakan damai, mediator adat dipilih dari orangorang
yang mempunyai pengaruh besar dalam suku atau kampung Pada pertikaian
229lbidhlm. 295·2% 230ibid 231 lbid
138
antar kampung maka tokoh adat yang akan menjadi mediator adalah tokoh
adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian. Mediator akan
mengupayakan gencatan senjata (leba rekat leu) menghasilkan peijanjian adat
(nayu baya) agar dinamika masyarakat tidak terganggu232.Uku loyak gatu
gatan atau rekonstruksi kebenaran, pelaku tindak pidana berbicara dari hati
ke hati untuk merekonstruksi kebenaran, pihak yang merasa paling
bersalah wajib metnohon kepada korban untuk melakukan perdamaian233•
Selanjutnya baik pelaku . dan korban untuk menghapus segala
kesalahan yang dilakukan oleh para pihak maka baik pelaku dan korban
melakukan ritual adat haput ele kirin. Selanjutnya dilakukan ritual haput
nuhuka bohok weweka untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan
melalui kata-kata. Puncaknya dilakukan melalui me/a sareka yaitu menuju
dunia baru penuh damai sebagai puncak ritual.234•
Penyelesaian konflik antara pelaku tindak pidana dan korban tindak
pidana dalam masyarakat adat di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam
masyarakat adat Banjar, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah,
masyarakat adat Aceh, masyarakat adat Ambon, masyarakat adat Lombok
Utara, masyarakat adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur,
menu~ukkan kesamaan bentuk yaitu adanya upaya perdamaian dan
mengakhiri konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang merupakan bentuk
pendekatan mediasi pidana yang dikenal sebagai Traditional village or tribal
moots. Traditional village or tribal nzoots. Penyelesaian Hukum Adat melalui
upaya perdamaian tersebut dapat menjadi dasar bagi program mediasi
232fbidh1m. 301. 233 !bid him. 303. 234lbidhlm. 306.
139
modern, tennasuk untuk mediasi pidana yang dapat dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pengertian mediasi dalam konteks hukum perdata dapat
merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No. I Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan, Mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
Berdasarkan uraian literatur dari doktrin ahli, konvensi intemasional,
hukum agama, hukum adat, dan hukum nasional diatas, maka definisi mediasi
penal yang dimaksud peneliti dalam disertasi ini adalah penyelesaian perkara
pidana melalui perundingan/ musyawarah dengan bantuan mediator yang
netral, melibatkan pelaku, orang tua, korban dan perwakilan masyarakat
untuk memperoleh kesepakatandengan tujuan memulihkan pelaku, korban
dan masyarakat secara seimbang.
140
BABIII
MEDIASI PENAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
A. Mediasi Penal Dengan Pendekatan Restorative Justicedalam Sistem
Peradilan Pidana Anak
Mediasi pidana tidak terdapat dalam sistem peradilan pidana
Indonesia saat ini, jika ada hanyalah merupakan bentuk penyelesaian di luar
pengadilan yang diatur oleh kedua belah pihak. Menurut Andi Hamzah,
Indonesia tidak menganut seperti pada beberapa negara baik seperti Amerika
Serikat, Eropa, maupun beberapa negara Asia, akan tetapi seiring dengan
upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penyelesaian perkara pada tingkat
awal maka kepada kedua belah pihak yang hadir pada proses penyelidikan,
penyidikan sebelum proses penuntutan pada persidangan, dianjurkan untuk
melakukan mediasi atau lebih dikenal saat ini restorative justice.
Di Indonesia karakteristik dari hukum adat ditiap daerah amat
mendudukung penerapan restorative justice, yaitu kerelaan dan partisipasi
dari korban, pelaku, dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak
pidana yang teijadi. Dengan adanya sanksi-sanksi sebagai bentuk restitusi
dapat berupa;235
a. Penggantian kerugian immaterial b. Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena sebagai
pengganti kerugian rohani. c. Permintaan maaf d. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata
hukum dengan sanksi pembatasan hak nya sebagai anggota masyarakat adat.
235 Eva Achjani Zulfa, Op.cil, him. 71
141
Sebagai contoh mekanisme penyelesaian melalui mediasi dengan
pendekatan restorative justice antara lain;
a. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, atau lingkungan;
b. Penyelesaian dengan mediator kepala kerabat atau kepala adat.
Oleh karena itu restorative justice dapat dimasukkan dalam sistem
peradilan pidana Indonesia guna menyelesaikan kasus-kasus hukum pidana
pada umumnya dan khususnya kasus-kasus dalam tindak pidana terhadap
anak. Menurut Remington dan Ohlin mengemukakan, bahwa criminal justice
system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu
sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan
secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu
dengan segala keterbatasannya.236Mardjono memberikan batasan pengertian
sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat.237
Sistem hukum secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu sistem
hukum Anglo Saxon dan sistem Kontinental. Kedua sistem hukum ini
memiliki perbedaan yang cukup besar pada pembangunan sistem peradilan
236 Romli Atmasasmita, Sis/em Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensia/isme dan Abo/isionisme, Bandung: Bina Cipta, !996, him. 14
237 Mardjono Reksodipoetro, "Sis/em Peradilan Pidana lndonesia:Peran Penegak Hukum Melawan Kejahotan", daiam Hak Asmi Manusia do/am Sis/em Peradilan Pidana, i994, him. 84-85.
142
pidananya, akibat perbedaan akar falsafah dan politik yang melatar
belakanginya.238
Walaupun kedua sistem tersebut dibangun dalam semangat liberalisme
namun pendekatan yangdiambil berbeda.239 Sistem Anglo Saxon
memperlihatkan ide individualisme dan desentralisasi mengutamakan
keadilan serta perlindungan hak individu yang sangat tinggi. Sedangkan
Sistem Kontinental bersandar prinsip keseragaman, organisasi birokratik,
sentralisasi serta menekankan pengembangan secara pada sistem hukum acara
yang memadai, untuk memastikan fakta, agar dicapai keputusan yang adil
perkara. 240
Sistem peradilan pidana Anglo Saxon dan Eropa Kontinental,
memunculkan metode penemuan fakta yang pada dasarnya berbeda yaitu
metoda akuisitor pada Anglo Saxon dan inkuisitor pada Eropa Kontinental.
Masing-masing metode tumbuh dalam sejarah penerapan hukum acara pidana
dalam kurun waktu yang lama dan mapan pada masyarakat yang
bersangkutan. Jadi sistem akuisitor yangcocok di Amerika belum tentu efektif
untuk digunakan di Eropa Daratan, demikian pula sebaliknya?41
Terdapat berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana
(criminal justice system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan
238 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung: Armico, 1984, hlm. 27.
239 Sistem Anglo Saxon dibangun dengan semangat liberalisme Inggris dengan adanya pembatasan kekuasaan penguasa (Raja) melalui kemandirian badan peradilan. Sedangkan sistem Kontinental dibangun dengan semangat liberalisme Eropa daratan yang membatasi kekuasaan penguasa (Raja) melalui lembaga legislatif (badan perundang-undangan).
240 Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit. 241 /bid, hlm. 37-38
143
atau pendekatan trikotomi.242
Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh teori hukum pidana di
Amerika Serikat. Adalah Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas
Stanford, dengan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai
praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.243
Terdapat data model dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime
control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan
harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana, sehingga perhatian
utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana. Titik tekan pada
model ini adalah efektifitas yaitu kecepatan dan kepastian. Pembuktian
kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh
petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk mempercepat
pemrosesan tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan.244 Nilai-ni!ai yang
melandasi crime control model adalah:245
I . tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan;
3. proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan merupakan model manajerial;
4. asas praduga bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien;
5. proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuantemuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah: I) Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau 2) Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.
242 Romli Atmasasmita, Kapita Se/ekta Hukum Pidnna dnn Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995, him. 137.
243ibid 244 Ibid, him. 138 245 Romli Atmasasmita, "Sistem .. ", Op.Cit., him. 19
144
Kedua, due process model, model ini menekankan seluruh temuan-
temuan fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal
yangsudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah penting
dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yangketat
mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya
suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang
tersangka yangnyata-nyata tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan
dari tuduhan melakukan kejahatan. Presumption of innocence merupakan
tulang punggung model ini?46 Adapun nilai-nilai yang melandasi due process
model adalah?47
I. mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yangpenuh untuk mengajukan pembelaannya;
2. menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
3. proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;
4. memegang teguh doktrin legal audit, yaitu: a. seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan
secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu;
b. seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yangbersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yangtidak memihak;
5. gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan; 6. lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi
hukum, dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan
246 Romli Atmasasmita, "Kapila ... ", Op. Cit., hlm.138. 247 Romli Atmasasmita, "Sistem ... ", Op. Cit, him. 20.
145
diri di atas hukum. Setiap penegakan hukum harus seusai dengan persyaratan
konstitusional, harus mentaati hukum, serta harus menghormati:248
I. The right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa menjadi saksi yangmemberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.
2. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara.
3. Setiap orang harus "terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan.
4. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan.
5. Hak memperoleh pemeriksaan yangcepat. 6. Hak perlindungan yangsama dan perlakuan yangsama dalam hukum. 7. Hak mendapat bantuan penasihat hukum.
Pendekatan trikotomi, diperkenalkan Denis Szabo, Direktur the
International Centre for Comparative Criminology, the University of
Montreal, Canada dalam Konperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang
Desember 1982.249
Terdapat tiga model dalam pendekatan trikotomi. Pertama, medical
model, pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan
penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yangmenyimpang,
dan disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu sistem peradilan pidana
harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan menjadi manusia yang
normal. Pemikiran ini diperkuat oleh teori social defonce, yang dikemukakan
oleh Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan sosial harus
menggantikan hukum pidana yang ada sekarang dalam tulisan berjudul La
Iotta contra Ia pena sehingga seorang individu pelaku tindak pidana
diintegrasikan kembali dalam masyarakat bukan diberi pidana terhadap
248 M. Yahya Harahap, Op. Cit., him. 95-96. 249 Romli Atmasasmita, "Kapita .. " Op. Cit., him. 139;
146
perbuatannya, 250 dan diperbaharui oleh Marc Ancel251
Kedua, justice model, model ini melakukan pendekatan pada masalah-
masalah kesusilaan, kemasyarakatan dan norma-norma hukum serta
pengaruh-pengaruh sistem peradilan pidana. Pendekatan justice model
diperkenalkan oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak
pada mekanisme peradilan dan perubahan-perubahan penghukuman. Model
ini melakuan reevaluasi terhadap hasil-hasil dari administrasi peradilan
pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral dan
social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas
masyarakat dari kejahatan.252
Ketiga, model gabungan dari preventive model dan justice
model. Model ini menitikberatkan pada kompensasi atas korban-korban
kejahatan. Dasar pemikiran model ini menempatkan negara selain sebagai
pemberantas kejahatan dan perlindungan masyarakat juga hams memberikan
Jamman sosial kepada seorang korban kejahatan, sama halnya dengan
jaminan sosial yang diperoleh dari pendapatan negara dari sektor pajak.
Melalui pendekatan model ini sistem peradilan pidana harus
mempertimbangkan faktor financial-accountability. 253
Kontinental mulai dikenal model ketiga sistem peradilan pidana yang
disebut model kekeluargaan (Family Model), yang diperkenalkan oleh John
Griffith. Model ini merupakan reaksi terhadap adversary model, yang
dipandang tidak menguntungkan. Model kekeluargaan menempatkan pelaku
250 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legis/ali/ dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: BP Undip, 1994, him. 19.
251 Romli Atmasasmita, Loc. Cit. 252ibid 253 Ibid, him. 140
147
tindak pidana tidak sebagai musuh masyarakat, melainkan dipandang sebagai
anggota keluarga yang harus dimarahi guna mengendalikan kontrol
pribadinya, tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan. Semua dilandasi oleh
semangat cinta kasih?54
Sedangkan sistem peradilan pidana terpadu yang terdiri dari sistem
peradilan pidana dan peradilan pidana terpadu.
1. Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau dikenal dengan Criminal
Justice System pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum
pidana (SPHP). Sistem "penegakan hukum" pada dasarnya merupakan
"sistem kekuasaanlkewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikkan
pula dengan istilah "kekuasaan kehakiman", oleh karena itu, SPP atau
SPHP pada hakikatnya juga identik dengan "Sistem Kekuasaan
Kehakiman di Bidang Hukum Pidana" (SKK-HP).
Sistem peradilan pidana menjadi komponen penting dalam
pencapaian tujuan hukum. Karena begitu pentingnya kedudukan SPP,
Daniel S. Lev menyebutkan:
"Dimana nilai-nilai dan mitos-mitos cultural menekankan pada cara-cara pengaturan serta hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari .wilayah hukum otonom, maka sebagai akibatnya disitu lembaga-lembaga hukum akan kurang dapat mengembangkan kekuasaannya yang mandiri seperti yang dimilikinya di negara-negara Eropa dan Arnerika Serikat. Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur-unsur esensial bagi adanya sistem hukum yang kuat, tak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap beketjanya hukum, terutama apabila misalnya nilai-nilai patrimonial juga tetap bercokol dengan kuat"
254 Muladi, Hak Asasi Manusia, Po/itik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP Undip, 1997, hlm.l82.
148
Pendekatan SPP tidak menggunakan perspektif nonnative,
melainkan perspektif manajemen dalam peradilan pidana, yang
menekankan sating hubungan dari masing-masing usur lembaga penegak
hukum, bagaimana mekanisme bekerjanya dan pengaruh dari masing-
masing yang berperan dalam penegakan hukum tersebut sekaligus dampak
dari keseluruhan hasil penegakan hukum itu, dengan demikian pendekatan
sistem lebih diutamakan. Sesuai dengan resolusi PBB tentang "The
Prevention of the Crime and the Treatmen of Offenders "ke-8 yang
diselenggarakan di Havana, Cuba tahun 1990. Resolusi butir 19 tentang
manajemen peradilan pidana dan pengembangan kebijakan pidana
(management of criminal justice and development of sentencing policies)
sebagai berikut:
a. Only if criminal justice system is well managed can rational change be made to improve the situation.
b. In-adequate management of the criminal justice system can result in certain practices, such as long delays before trial, that may create injustice for person whose cases are being processed by the system.
c. Satisfactory relations between difforent agencies of the criminal justice system can contribute to effoctive allocation of resources.
Pendekatan sistem dalam peradilan pidana menurut Romli
Atmasasmita adalah sebagai berikut:
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi. komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan).
b. Pengawasan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk menetapkan the administration ofjustice.
Sistem peradilan pidana yang disusun atas dasar prinsip birokrasi
modern sebagaimana dikemukakan oleh Weber tersebut, yang dipertalikan
149
dengan Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan KUHAP (Undang
Undang Nom or 8 Tahun 1981 ). Sub-sistem peradilan pi dana dalam
penanganan tindak pidana korupsi, sudah barangtentu juga harus dapat
dikembalikan pada tujuan dan fungsi hukum. Namun demikian hukum
acara pidana tidak mengatur bagaimana mekanisme internal birokrasi
subsistem peradilan pidana tersebut bekerja.
Masing-masing subsistem peradilan memilik:i aturan tersendiri.
Kepolisian memiliki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kejaksaan memiliki Undang
Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pengadilan
memiliki Undang-Undang Nomor Nomor 5 tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
Nom or 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Demikian juga dengan
advokad dan lembaga pemasyarakat.
Kejaksaan sebagai bagian dari subsistem peradilan pidana, dalam
penanganan TPK memiliki kekhususan yaitu tidak hanya sebagai lembaga
penuntutan tetapi juga sebagai lembaga penyidik. Bagaimana struktur
organisasi, bagaimana bekerjanya masing-masing struktur organisasi
kejaksaan, tidak .diatur secara detail dalam. Undang-Undang Kejaksaan
tetapi diatur dalam peraturan yang lain baik berupa Keputusan Presiden
maupun peraturan internal kejaksaan yang Keputusan Jaksa Agung dan
Surat Edaran Jaksa Agung.
150
2. Sistem Peradilan Pidana Terpadn
MenW1!1 Barda Nawawi Ariet; sistem kekuasaan menegakkan
hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana
diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (em pat) sub-sis tern, yaitu:
a Kekuasaan "penyidikan" ( oleh badanllembaga penyidik); b. Kekuasaan "penuntutan" (oleh badan!lembaga penuntut umum); c. Kekuasaan "mengadili dan menjatuhkan putusanlpidana" ( oleh badan
pengadilan), dan d. Kekuasaan"pelaksaanan putusanlpidana" ( oleh badan/aparat pelaksana/
eksekusi).
Keempat sub-sistem peradilan pidana yaitu sub-sistem penyidikan,
sub-sistem penuntutan, sub-sistem pengadilan dan sub-sistem pelaksana
putusan sebagaimana tersebut di alas, merupakan satu kesatuan sistem
penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Namun demikian sangat disayangkan, konsep sistem peradilan pidana
terpadu belum tercermin dalam masing-masing sub-sistem peradilan.
Dalam konteks sistem peradilan pidana yang terpadu, terdapat 2 ( dua)
persoalan mendasar dan sangat sangat krusial tetapi belum mendapatkan
perhatian yang serius (1) kecenderungan teljadi fragmentasi di antara sub-
sistem sub-sistem peradilan pidana; (2) tidak semua sub-sistem peradilan
memiliki independensi.
Identifikasi terhadap timbul penyebab persoalan tersebut
setidaknya bersumber pada dua hal, (I) belum adanya Undang-Undang
paying yang mengintegrasikan masing-masing sub-sistem peradilan ke
dalam satu sistem tertentu; (2) Pemaknaan kekuasaan kehakiman yang
hanya terbatas pada kekuasaan kehakiman dalam arti sempit.
151
Pertama, belum ada undang-undang payung sebagaimana yang
teijadi saat in~ bahwa masing-masing sub-sistem peradilan pidana diatur
dalam Undang-Undang sendiri. Setiapkali lahir Undang-Undang yang
mengatur salah satu sub-sistem peradilan pidana, lebih berorientasi pada
kemantapan eksistensi sub-sistem peradilan tersebut, dan pada saat yang
bersamaan seolah-olah teijadi fragmentasi karena tidak berorientasi pada
sistem peradilan pidana yang terintegrasi, sehingga dalam sistem peradilan
pidana tidak dijumpai otoritas yang terintegrasi, antara satu sub-sistem
dengan sub-sistem yang lain. Perlu adanya ketentuan yang mengatur
tentang sistem peradilan pidana yang terintegrasi mulai dari sub-sistem
penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pelaksana pidana, atau yang
disebut dengan undang-undang payung atau umbrella act.
Kedua, pemaknaan kekuasaan kehakiman yang hanya terbatas pada
kekuasaan kehakiman dalam arti sempit. Untuk dapat memahami
kekuasaan kehakiman secara komprehensif, perlu ditelusuri mulai dari
ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Namun demikian, perlu
mendapatkan catatan tersendiri bahwa pengertian kekuasaan kehakiman
diliat dari konstitusi, menampakkan adanya kemunduran atau penyempitan
makna. Penyempitan makna ini dapat dilihat dari pengertian kekuasaan
kehakiman sebelum amandemen dan sesudah terjadinya amandemen.
Sebelum amandemen, ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan
kehakiman terdapat dalam Pasal24 ayat (I) berbunyi:
"Kekuasaan kehaldman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehaldman menurut Undang-Undang". Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa:
!52
"Kekuasaan kehaldman ialah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ".
Memperhatikan rumusan Pasal 24 ayat ( 1) berikut penjelasannya,
Barda Nawawi Ariefmenyatakan bahwa:
"UUD'45 pada awalnya tidak memberikan baJasan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan 'kekuasaan kehakiman '. Pasal 24 UUD'45 (asli sebelum amandemen) hanya menegaskan badan mana yang diserahi tugaslwewenang untuk melakukan atau melaksanakan kekuasaan kehakiman (yaitu diserahkan kepada Mahkamah Agung dan badan kehakiman lainnya menurut UU). Demikian pula 'pe,Yelasan pasal 24' (sebelum amandemen) tidak memberikan batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, tetapi hanya menegaskan sifat/ kedudukan/ eksistensi dari kekuasaan kehakiman. yaitu sebagai kekuasaan yang merdeka dan mandiri (terlepas dari pengaruhlintervensi kekuasaan pemerintah) ".
Hakim Komisaris ( di Be Ianda sebagai Rechter Commisaris dan
Perancis sebagai Judge d'instruction) berperan proaktif sebelwn adanya
pelaksanaan upaya pakasa dari penyelidik/penyidik/ penuntut berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan alat bukti, penggeledahan badan,
pemasukan tempat tinggal atau tempat lainnya bahkan penentuan cukup
atau tidaknya suatu bukti diajukan dalam suatu proses peradilan pidana.
Mengenai cukup tidaknya suatu bukti ini dimaksudkan sebagai salah satu
cara untuk melakukan minimalisasi arus perkara (pidana) dalam proses
peradilan pidana.
Ada dua hal pokok dalam pembahasan ini, pertama mengenai
makna dari kata "advokat", dan kedua adalah pengertian dari Sistem
Peradilan Pidana itu sendiri. Rwnusan kata "advokat" ini dapat ditemukan
pada Rechtterlijke Organisatie (RO), yaitu aturan mengenai Susunan
Kehakirnan dan Kebijaksanaan Mengadili.
153
Sebagaimana telah dijelaskan secara umum adanya perbedaan
antara makna advokat, penasehat hukum dan konsultan hukum. Penasehat
hukum dan Konsultan hukum memiliki persamaan makna, di antara
keduanya, yaitu kedua peranan profesi itu lebih bersifat pasif dengan cara
melakukan atau memberikan nasehat-nasehat berkenaan dengan hukum,
baik dikemukakan secara lisan maupun tulisan yang sifatnya lebih banyak
pada pengertian realitas sebagai "non-ligasi (non/it)".
Maka Advokat jauh lebih luas dari kedua profesi sebelumnya.
Advokat dapat melakukan pemberian nasehat-nasehat hukum (pasif), juga
melakukan pembelaan di hadapan peradilan (litigasi) maupun tindakan-
tindakan penyelesaian altematif, seperti di Amerika Serikat yang dikenal
sebagai Alternatif Dispute Resolution (ADR) melalui produk semacam
mediator. negosiator ataupun maupun arbitrator, 255 yang memiliki bentuk
kegiatan yang aktif.
Di negara-negara persemakmuran (commonwealth)256 dengan ciri
sistem Anglo Saxon, para pembela ini dikenal dengan nama "Barrister"
dan "Solicitor". Barrister bertugas memberikan nasehat (hukum)
mengenai perkara-perkara yang akan dilakukan di pengadilan oleh
Solicitor. Hanya para Barrister yang berhak melakukan tugas-tugas
peradilan, baik nasehat maupun pembelaan, di lingkungan peradilan tinggi
(High Court), sedangkan Solicitor melakukan tugas yang sama pada
lingkungan Country Court maupun Magister Court.
255Luhut MP Pangaribuan, AdvokaJ dan Contempol of Court: Suatu Proses di Depan Dewa Kehormatan Profesi. Cetakan I. Jakarta: Djambatan, 1996, hlm. 2.
2560p.cit, hlm. 2
!54
Fungsi hakim dalam sistem peradilan pidana selalu menjadi titik
simpul karena itu hakim selalu ikut "mengontrol dalam arti menilai apa
yang dilakukan oleh instansi-instansi yang ada dalam sistem yang
menangani perkara sebelumnya sesuai kewenangan masing-masing yakni
kepolisian dan kejaksaan. Dalam fase pra-ajudikasi hakim mengawasi
penyidikan dalam bentuk kedudukan sebagai magistrate atau justice of the
piece dimana hakim yang akan menilai apakah adanya probable cause
dugaan adanya tindak pidana dan adanya reasonablesness dalam
melakukan penahanan oleh penyidik betul adanya.
Penyidik (Belanda: "opsporing", Inggris: "investigation'') dan
Pendakwaan (Inggris: "prosecution") atau Penuntutan (Be Ianda:
"vervolging ') adalah kewenangan negara untuk menegakkan hukum (to
enforce the law). Adapun alat negara penegak hukum (law
enforcementagencies) adalah instansi pemerintah : Kepolisian dan Instansi
pemerintah Kejaksaan.257
Beberapa "kekeliruan" di Indonesia, ingin di "luruskan" disini :258
l. Alat penegak hukum (milik Negara) adalah hanya instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan. Keliru menyebut Pengadilan, Advokat, Notaris dan Instansi Pemasyarakatan Narapidana sebagai "penegak hukum" (law enforcement agencies). Kita harus dapat membedakan antara pengertian harfiah, bahasa, dengan makna suatu konsep (concept). Penggunaan istilah "aparat" (yang dipakai di surat kabar) juga kurang tepat, karena berasal dari istilah partai komunis Rusia "apparatchik"
2. Instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan adalah bagian dari Kekuasaan Eksekutif (pemerintah ), dan bukan Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pengertian (kewenangan) Kepolisian "dan "(kewenangan) Kejaksaan" yang independen, hanya berarti bebas interensi (politik) untuk kasus", tetapi bukan berati "bebas pengaruh
257 Mardjono Reksidipuro, Kewenangan Penyidikan dan PendakwaanlpenunJutan (Makalah) di sampaikan dalam seminar Hukum Nasional tanggal 9 September 2009 di Hotel J.W. Marriot Jakarta, 2009, him. 6
258/bid, him. 10
!55
politik Kabinet" ( dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintah, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden, setingkat Menteri, tunduk kepada politik/kebijakan kabinet); apakah Kapolri harus duduk dalam (sidang) kabinet (setara menteri) adalah kebijaksaan politik, bukan hukum.
3. Kepolisian dan kejaksaan harus bekeijasama dalam proses SPP, secara "in tandem" (keduanya bekeljasama secara erat). Bagian, Kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upaya paksa yang diberi undang-undang, hanya "Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)" (Bel: de rechterlijke politie, Ing: criminal investigation division - CID) dan kalau divisi ini dahulu dinamakan "hulp-magistraat" (magistrat-pembantu), jangan merasa ''terhina", ini sekedar "istilah" dan bukan untuk merendahkan Kepolisian, seperti juga ada istilah "magistral - duduk" (hakim) dan "magistral berdiri" (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa ''terhina" kalau pejabat reskrim dinamakan sebagai "magistrat-pendamping";
4. Tidak c dikenal "monopoli" wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal ''tertangkap tangan"), begitu pula : instansi imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansi-instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal "monopoli" wewenang pendakwaan (procecutorial powers). Dalam KUHAP untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya ''private prosecutor" (disamping "state/public prosecutor'') atau "special prosecutor" ( dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di Inggris ''prosecution "diserahkan oleh Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).
5. Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umumlkejaksaan, harus dilihat dalam pengertian "division of powers" (pembagian kewenangan) dan bukan "separation of powers" (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk "saling mengawasi" (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi ( disinilah letak pengertian SPP Terpadu)
Kekuasaan- kehakiman berasal dari teijemahan istilah (konsep)
Belanda "rechterlijke macht" (rechter : hakim, rechterlijke, kehakiman).
Dalam konsep "kekuasaan kehakiman" ini tercakup pengertian "judicial
power" oleh "the Judiciary" (jajaran hakim pengadilan), tetapi juga dari
"officers of the court" (pejabat pengadilan lainnya). Siapa yang lain ini?
Menurut saya antara lain: the judicial police" (Indonesia : Polisi
156
kehakiman atau Reserse, sebagai "pendamping magistral berdiri/penuntut
umum", dan Jaksa I PU sebagai magistral berdiri, "officers of the court",
para advokat ketika mereka "memakai toganya" (melaksanakan
kewenangan "membela perkara pidana") dan Panitera/Panitera pengganti.
Dalam kedudukan dan kewenangan penuntut urn urn sebagai "officer of the
court", dia dapat "memerintah kegiatan" (direct the activities) dari
"judicial police. " Karena itu:259
I. Instansi Kepolisian memang bukan bagian dari bab kekuasaan kehakiman UUD/Konstitusi kita. Instansi kepolisian masuk dalam Bab lain (Bab kekuasaan eksekutif). Namun, kewenangan kepolisian kehakimanlkewenangan reserse sebagai "judicial police" ada di dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu pula, kepala Reserse pada Kepolisian berada secara administratif di bawah Kapolri, tetapi secara fungsional di bawah "officer of the court": yaitu Penuntut Urn urn (Jaksa Agung) dan Majelis Hakim (Pengadilan) yang sedang bersidang memeriksa perkara yang bersangkutan.
2. Instansi Kejaksaan(Agung) adalah bagian dari pemerintahan (kekuasaan eksekutif), seperti juga instansi Kepolisian. Akan tetapi kewenangan pendakwaan {prosecutorial powers)/penuntutan (vervolging) adalah sebagai "officer of the court" dan karena itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan merupakan wakil publik bersama dengan polisi-reserse, mewakili kekuasaan negara (publik) membuktikan teljadinya tindak-pidana, adanya kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman (tetapi juga, bila tidak cukup bukti membatalkan dakwaan dan hukuman). Didalam bahan pustaka, maka bilamana dibicarakan tentang reformasi "judiciary", yang dimaksud adalah reformasi hakim dan penuntut umum (judges and prosecutors). Dan secara logika tentunya juga reformasi polisi kehakiman/reserse
3. Advokat adalah .. organisasi swasta {private), tetapi begitu mereka berperan sebagai "pembela", baik dalam tahap pra-adyudikasi (penyidikan), maupun dalam tahap adyudikasi {pendakwaan di pengadilan), mereka adalah bagian pula dari "kekuasaan kehakirnan". Mereka disebut sebagai " "counsel of the court" ataupun juga "officer of the court'. Di Inggris, advokat (barrister) dapat bertindak mewakili publik (negara) mendakwa di pengadilan, sedangkan di Belanda, advokat dapat diangkat (sementara) sebagai hakim (rechter). Kekeliruan desain KUHAP 1981 adalah karena mengarah pada peng"kotak-kotak"an. Ini salah satu basil "kompromi" pada waktu
259/bid, him. 6
157
pembentukannya
Sejak dikeluarkan pedoman pelaksanaan KUHAP oleh S.K.
Menteri Kehakiman 1982 telah mulai terlihat masalah pengertian
pelaksanaan putusan itu mempunyai arti eksekusi yang sempit ataukah
eksekusi yang luas sehubugnan dengan ketentuan Pasal 277, Pasal 278
KUHAP. Pengertian pelaksanaan putusan yang demikian itu, karena
hukum acara belum mengembangkan bagian hukum pelaksanaan pidana
dalam arti strafoollstrecungsrecht (die Vollstreckung und der Vollzug)
yang cenderung semata-mata masuk wilayah badang eksekutif diluar
ketentuan wewenang badan yudikatif dalam lingkup Hukum Acara Pidana.
Dipandang dari sudut pengikut aliran hukum kritis yang rasional
tentang kehidupan hukum dalam masyarakat sebagian hukum sebagai
kenyataan sosial, maka kekosongan hukum dan ketidakjelasan rumusan
KUHAP itu tidak tertutup pintu bagi pengisian hukum atau
penyempumaan hukum melalui pendekatan doktrin hukum sebagaimana
telah dikembangkan oleh ilmu hukum. Peluang luas untuk mengisi
kekosongan dan penyempumaan rumusan Undang-Undang dapat
diupayakan melalui integrasi serta koordinasi tugas yang dikembangkan
dari sinkr.onisasi struktur hukum oleh kelompok aparat the administration
of criminal justice system, terutama dari Hakim Pengadilan atau
Mahkamah Agung memegang peranan penting, tanpa mengurangi
kemungkinan peran aparat lainnya dalam sistem peradilan pidana yang
dimungkinkan aparat dari badan koordinasi semacam Mahkejapol dengan
158
batasan wewenang yang ditentukan secara limittatif demi kepentingan
kebutuhan hukum masyarakat.
Pokok pikiran tentang hukum pelaksanaan putusan pengadilan dan
hal-hal yang terkait dari dalam KUHAP perlu diadakan peninjauan
kembali, yaitu mengenae60:
I. Jenis-jenis Putusan dan Penetapan; 2. Tidak hadirnya Terdakwa dalam Pengadilan; 3. Menunggu Putusan Grasi yang sementara itu terhukum berada diluar
tahanan; 4. Hak mencabut pemyataan untuk menerima atau menolak Putusan
Hakim oleh Terdakwa; 5. Lamanya Salin an Surat Putusan Pengadilan yang sementara diganti
dengan Surat Petikan Putusan Pengadilan akan mempersulit pihakpihak untuk menyusun memori upaya hukum;
6. Batas waktu pelelangan barang bukti yang dirampas atau tidak ada pelelangan barang bukti itu;
7. Biaya perkara yang dibebankan kepada Terhukum dan kemungkinan pelelangan barang miliknya;
8. Tenggang waktu penahanan yang habis berlakunya bertepatan dengan waktu putusan Hakim;
9. Lembaga Rupbasan yang belum terperinci aturannya mengenai pengorganisasian dan pembiayaan;
l 0. Tanggungjawab dari pinjaman dari instansi lain; II. Pembentukan tim tetap dari perkara koneksitas.
Peninjauan kembali bersifat penyempumaan isi peraturan KUHAP
dari kesebalasan masalah itu perlu terobosan dalam menumbuhkan
kemanfaatan sistem peradilan pidana beserta dengan doktrin kepustakaan
hukum.- Salah satu terobosan yang telah dilakukan dengan wewenang
Sura! Edaran/Fatwa Mahkamah Agung dan dalam hal tertentu wewenang
Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Polisi (makehjapol) akan
bermanfaat daripada menunggu perubahan dengan amandemenlsuplemen
Undang-Undang baru, kecuali bagi aliran legisme.
260 Mardjono Reksodipuro, Ibid, him. 7
!59
Mengenai gugatan pihak ketiga dalam perkara pidana khusus dan
masalah penekalan keterlibatan terdakwa/tersangka dalam kejahatan
intemasional atau transnasional, memerlukan pertimbangan dasar hak
asasi manusia dan konvensi intemasional. Kasus gugatan pihak ketiga
dalam perkara pidana khusus menjadi bagian dari hukum acara pidana
khusus eksepsional tidak dapat dimasukkan dalam aturan hukum acara
pidana umum, karena memang mengandung doktrin penyimpangan
hukum. Sedangkan dalam hallarangan orang untuk melakukan peijalanan
keluar negeri terutama berstatus orang asing juga perlu pertimbangan dari
konvensi intemasional dan deklarasi Hak Asasi Manusia.
Ketidakpedulian terhadap yang tidak jelas kekosongan undang-
undang hukum acara, bukanlah sekedar hanya membiarkan ketidakjelasan
hukum tetapi akan berakibat lanjut pada penempatan posisi peradilan
pidana dalam lingkaran problem sosial dengan alasan:
I. Jalannya peradilan pidana tidak terkontrol yang potensial tumbuhnya penyalahgunaan wewenang (fundamental uncontrollability of criminal justice system);
2. Peradilan pidana menjadi fakto kriminogen dan/atau viktimogen yang termasuk melalui jalur kondisi undang-undang yang kurang baik;
3. Perundang-undangan peradilan pidana menjadi disfungsional yang menumbuhkan semakin besar ketidakpercayaan dan keefektifannya;
4. Semakin banyak kelemahan peraturan undang-undang akan semakin ... memudarkan kebijakan peradilan pidana untuk mencapai tujuan social
civilization dan social welfare dalam kehidupan bermasyarakat.
Usaha yang positif penyelenggaraan panel diskusi antara aparat
(the administration of criminal justice system) bersama akademisi, akan
dapat membantu pemecahan masalah hukum untuk memperlancar fungsi
positif dari hakekat sistem peradilan pidana. Perkembangan ilmu
pengetahuan tumbuh kecenderungan berpikir maju yang antara lain telah
160
membedakan dengan tajam antara institusi peradilan pidana dan institusi
peradilan pidana dan institusi pengadilan yang akan memutus perkara
pi dana.
Proses perkara pidana terdapat kecenderungan dapat diputus dan
berakhir pada tingkat peradilan pidana hanya sampai tahap penyelesaian di
kepolisian atau di kejaksaan, apabila perkembangan penegakan hukum
telah mengikuti fungsi kontrol negatif bagi perkara tertentu, berdaarkan
pertirnbangan "utility" untuk pemanfaatan hukum yang efektif, praktis dan
rational.
Penegakan hukum dengan control negatif dianggap sebagai jalan
keluar dari Pengadilan "The wedding cake model" yaitu suatu kenyataan
diperadilan pidana akan terdapat disparatis yang besar bagi perkara oleh
Hakim yang berbeda dan sering tidak konsisten putusanya.261
Keputusan yang mengandung disparatis dan sering tidak konsisten
itu akan dapat mengundang sorotan dari ilmu filsafat yang mengamati
masalah keadilan relatif, dari ilmu sosial yang mengamati masalah utilitas,
dan dari psikologi yang mengamati masalah "behavioural and human
relation".
Keputusan Pengadilan untuk setiap perkara pidana (control positij)
masih menjadi pendapat umum bahwa "Sentecing is almost universally
viewed as the apex of the criminal justice process, the culmination of
protrected investigatory, prosecutorial, defimse, administrative, and fact-
261 Bambang Poemomo, Proses Pengambilan Kepu1usan dalam Perkara Pidana di Pengadilan, Jakarta: Kumpulan Kuliah Program S2 FH Jayabaya, 2010, him. 48
161
finding efforf62• Standar profesi dari putusan Pengadilan untuk setiap
penerapan hukum dan sanksi hukum yang berdasarkan ilmu pengetahuan
hukum yang telah berkembang maju (penal law reform) dari segala
perubahan pembaharuan dalam sistem hukum yang terbuka terhadap basil
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang relevan.
Ajaran pembaharuan hukum pidana materiil membawa wawasan
luas tentang integritas ilmu hukum pidana yang baik di masa depan.
Apabila tidak mengikuti ajaran hukum pidana yang maju, maka seringkali
menambah banyak putusan Pengadilan yang keliru sesat dan sulit untuk
diperbaiki dengan membawa korban bagi orang yang terlibat perkara
pidana, termasuk keluarga dan lingkungan masyarakat Peradilan pidana
seringkali sesat ketika mengajukan perkara maupun dalam menjatuhkan
putusan. Bukan lagi mustahil para ahli psikologi menaruh perhatian
terhadap proses pengambilan keputusan dalam perkara pidana di
Pengadilan. Aspek psikologi cukup banyak didalam perkembangan maju
hukum pidana dan putusan pengadilan dalam perkara pidana?63
Hukum pidana baik pada masa perubahan yang masih pada tingkat
ajaran klasik maupun perubahan yang masuk tingkat modem banyak
dipengaruhi oleh faktor perubahan ekonomi, sosial, politik dan legal
system. Salah satu dalil yang menonjol bahwa hukum pidana (materiel dan
formi[) modem harus berdasarkan kemanusiaan dan perikemanusiaan.
Aspek basil kemajuan psikologi yang memasuki hukum pidana
materiel yang berpandangan maju, tercermin pada doktrin bahwa
262Jbid; 263 Ibid, him. 48
162
perrnasalahan dasar hukum terletak dari pemisahan antara "perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana" yang berakar dari asas legalitas
hukum pidana dan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pola pikir tentang
masalah dasar hukum pidana tersebut belum dimaklumi arti pentingnya
oleh para ahli hukum yang teljebak pada pandangan yuridis-norrnatif
belaka.264
Di bidang pembaharuan hukum pidana forrnil (hukum acara
pidana) untuk menyelenggarakan proses pembuktian perkara perlu
dokumen 4 sistem pembuktian untuk kasus per kasus dan 2 pola konsep
pemeriksaan "crime control model" dan "due process model" bagi
kepentingan petugas sesuai dengan tipe kejahatan dan kepentingan perkara
yang bersangkutan. Sistem pembuktian yang menghubungkan antara
"keyakinan dan alat bukti" sedemikian rupa baik masing-masing berdiri
sendiri maupun penggabungan itu harus menjadi dasar sikap Hakim untuk
memutus perkara.
Kedua doktrin dari pembaharuan hukum pidana dan hukum acara
pidana tidak dapat dikesampingkan untuk mendapatkan bobot/mutu
peradilan yang baik dalam rangka proses pengambilan keputusan dalam
perkara pidana di Pengadilan. Di luar doktrin tersebut masih terdapat
perkembangan doktrin baru dari kecenderungan pembaharuan peradilan
pidana melalui pendekatan sistematik berdasarkan kesepakatan
internasional melalui kongres internasional yang diselenggarakan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun oleh organisasi profesi internasional
264 Ibid, him. 49
163
yang berhubungan dengan "criminal justice system" dan "criminal
policy".
Hukum positif di Indonesia belum tercennin secara eksplisit dalam
peraturan undang-undang tentang aspek-aspek pembaharuan hukum yang
telah berkembang tumbuh untuk penyelenggaraan peradilan pidana yang
menyebabkan semakin terbuka sorotan tajam terhadap basil penuntutan
perkara maupun putusan perkara di pengadilan yang masih kurang
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan baru. Sorotan itu datang dari
berbagai bidang ilmu yang factual sehingga menghasilkan kemajuan
hukurn yang berorientasi pada kenyataan (foitelijke strafochtswetenschap)
tidak semata-mata ilmu hukum yang normative saja (normatieve
strafrechtswetenschap) dengan salah satu contoh bahwa psikologi forensic
sangat penting. !sue kontempori yang sekarang menantang adalah:265
"At the same time, the amount of sophisticated research into crime and the criminal justice system has increased dramatically. Because of these developments it now should be possible to take a realistic look at various crime control policies that have been developed and implemented by numerous criminal justice institutions.
Menurut kepustakaan hukum yang dimaksud proses pengambilan
keputusan dalam perkara pidana di Pengadilan dapat diartikan sempit
maupun yang luas. Dalam arti sempit apabila mengacu pada ketentuan
Pasal 183 KUHAP yaitu sejak pemeriksaan selesai dan sidang ditunda
selanjutnya diadakan sidang tertutup para majelis hakim, sedangkan yang
luas sejak sidang dibuka sampai keputusan.
265 Ibid, him. 50
164
Dalam musyawarah majelis Hakim tennuda mulai lebih dahulu
untuk menyampaikan mengenai pendapat dan penilaian terhadap pelkara
yang bersangkutan, diteruskan oleh Hakim yang tua (senior) berdasalkan
hasil pemeriksaan sidang dan surat dakwaan dari penuntut umum.
Substansi musyawarah itu mengenai (1) syarat fonnil tentang surat
dakwaan dan kewenangan pengadilan, dan selanjutnya (2) perbuatan mana
yang dianggap terbukti dan alat bukti apa yang menyertai, (3) keadaan
Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dituduhkan,
dan (4) apabila sampai terbukti maka ditentukan hukum yang pantas serta
adil bagi Terdakwa. Hasil musyawarah agar diperoleh dengan mufakat
bulat dan jika tidak mungkin diambul dengan suara terbanyak dan
pendapat yang paling menguntungkan bagi Terdakwa. Pada tingkat
musyawarah tersebut harus diusahakan kedua doktrin hukum pidana
dikembangkan dalam aplikasi hukum terlebih dahulu. Sudah barang tentu
pengembangan aplikasi hukum dalam perkara pidana dapat diterapkan
"ilmu pengetahuan yang relevan" untuk memperoleh putusan yang
memenuhi standar profesi di Pengadilan.
Apabila putusan pengadilan diartikan luas merupakan suatu hal
yang sangat menarik bahwa peradilan pidana di muka sidang itu "terlibat
banyak orang" (human relation) yang terdiri dari:
a. Terdakwa; b. Saksi-saksi; c. Penuntut Umum; d. Pembela!Pengacara; e. Hakim dan pegawai sebagai petugas ; f. Petugas lain; g. Pengunjung yang menghadiri sidang terbuka untuk umum tennasuk
para wartawan.
165
Dipandang dari sudut Terdakwa dan pihak-pihak lain tersebut
ternyata sangat penting dukungan aspek "behavior/social behavioural
sciences" untuk memperoleh putusan yang tepat guna dan berhasil guna
bagi kepentingan hukum yang pasti, adil dan manfaat (patut) sesuai
dengan pandangan berbagai ilmu pengetahuan hukum dan jurisprudence.
Pertirnbangan ilmu pengetahuan dari Hakim yang luas dari aspek
non yuridis yang disunting sedemikian rupa untuk memantapkan
kebenaran fakta dan hukum me!Uadi dasar putusan penerapan hukum yang
baik dan berbobot agar tidak tetjadi "kesesatan Hakim" (Rechterl!ike
Dwaling). Dalam putusan Hakim tidak menjatuhkan pidana perlu
didukung pertimbangan yang luas, dan jika putusan menjatuhkan pidanan
semakin luas lagi dasar pertimbangan karena menyangkut "human
relation" sebagai dimaksudkan dalam "crimina/policy".
Hukum pidana materil maupun hukum pidana formil telah
mengalami era reformasi perubahan dalam arti "penal reform" dan
penegakan hukum di tingkat Pengadilan juga mengalami perubahan
dengan pendekatan sistematik melalui konsep sistem peradilan pidana
terpadu (the integrated criminal justice system) dan konsep "treatment of
offender", sehingga proses perkara pi dana dan proses keputusan di
Pengadilan harus dapat memperoleh justifikasi berdasarkan kemajuan ilmu
pengetahuan, oleh karena hukum dalam jurisprudence perlu mendapat
tempat untuk menyelesaikan perkara pidana dari awal pemeriksaan
perkara sampai pada putusan perkara di peradilan pidana.
166
Bersamaan dengan konsepsi demokrasi sebagai gagasan untuk
membatasi kekuasaan sebagaimana konsep penelitian disertasi, maka
kemudian berkembang pemikiran bagaimana pewadahan nonnative dari
gagasan. Hans Kelsen merupakan salah satu saijana yang serius
memberikan jawaban untuk gagasan kebebasan sebagai dasar pembeda
antara otokrasi dan demokrasi dalam kaitan dengan pembuatan aturan
hukum?66 Pandangan Kelsen tersebut merupakan segi nonnative konsepsi
demokrasi karena melihat kebebasan dalam kaitan dengan pembentukan
aturan hukum. Kerangka kebebasan positif dan kebebasan negatif di atas,
maka demokrasi yuristik ini dapat digolongkan ke dalam 2 model
demokrasi, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi partisipatoris.
Kebebasan dalam konsep negatif yang mengagungkan kebebasan individu
dan menolak segala pembatasan kebebasan telah melahirkan demokrasi
konstitusional, sedangkan konsep kebebasan dalam pengertian positif yang
menekankan kesamaan defl\iat untuk menggali potensi diri melahirkan
demokrasi partisipatoris.
Demokrasi konstitusional sebagai model yang menekankan kepada
lembaga perwakilan dan prosedur konstitusi, dengan kompetisi bebas yang
membuka peluang teijadi perubahan konstitusional secara berkelanjutan.
Perubahan tersebut dilaksanakan lewat pemilihan umum yang melahirkan
lembaga perwakilan rakyat, dalam pengelolaan Negara berlaku aturan
mayoritas, dan aspek procedural sehingga mengabaikan moral. Hal ini
sejajar dengan ekonomi pasar bebas atau laissez-faire yang meyakini
266 Hans Kelsen, General Theory of Law ond State, New York: Russel & Russel, 1973, hlm.l29
167
26
tangan tersembunyi dalam mengatur mekanisme kebebasan. Demokrasi
konstitusional menghendaki "Negara minimal" yang memberikan
kebebasan penuh kepada individu dengan cara membatasi kekuasaan
Negara sebanyak mungkin. Konsep demokrasi ini dikenal sebagai Negara
Hukum Formal atau Negara Jaga Malam.267
Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme dicapai
pada abad ke- I 9 dan akhir abad ke-20 yang ditandai dengan pemberian
istilah Rechtsstaat ( diberikan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental)
atau Rule of Law (diberikan oleh ahli Anglo Saxon). Rechtsstaat atau Rule
of Law yang di Indonesia diteljemahkan sebagai "Negara Hukum"268 ini
berkembang dengan warna dan ciri-ciri tersendiri.
Frederich Julius Stahl dari kalangan ahli Eropa Barat Kontinental
memberikan ciri-ciri Rechtstaat sebagai berikut: (a) hak asasi manusia; (b)
pemisahan atau pembagian kekuasaan; (c) pemerintahan berdasarkan
peraturan-peraturan (Wetmatigheid van bestuur); dan (d) peradilan
administrasi dalam perselisihan.Z69
Sementara itu, A.V. Dicey, seorang ahli dari kalangan Anglo
Saxon memberikan ciri Rule of Law sebagai berikut : (a) supremasi hukum
dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang
hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; (b) kedudukan yang sama di
depan hukum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan (c) jaminan hak
asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan
267 AriefBudiman, Negara Jaga Malam dalam Demokrasi, Yogyakarta: FH UII, 1997, him.
268 lsmail Sunny, Mencari Keadi/an, Jakarta: Ghalia, 1982, him. 123 269 Oemar Seno Adjl, Prasarana Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta: Seruling
Mas, 1966, him. 24
168
pengadilan, 270 sehingga semakin terlihat betapa peranan pemerintah hanya
sedikit sebab ada dalil "pemerintahan yang palng sedikit yang paling baik"
sehingga karena sifatnya yang pasif dan tunduk kepada kemauan rakyat
yang liberalistic, maka dikenal sebagai "Negara jaga malam"
(Nachtwachterstaat). Ruang gerak pemerintah sangat sempit dan bukan
saja di lapangan politik, akan tetapijuga dalam lapangan ekonomi dikuasai
datil laissez faire, laissez aller (keadaan ekonomi Negara akan sehat jika
setiap manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonomi masing-masing).
Ditinjau dari sudut politik, Nachtwachterstaat mempunyai tugas primer
untuk menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari mereka yang
menguasai alat-alat pemerintahan.211
Konsep demokrasi konstitusional dan Negara hukum formal di atas
menjelang pertengahan abad ke-20 mulai digugat. Menurut Miriam
Budiardjo, faktor pendorong ekses-ekses negative dalam industrialisasi
dan kapitalisme, faham sosialisme yang menginginkan pembagian
kekuasaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialis di
Eropa.212 Berpijak kepada pemikiran Rousseau, John Stuart Mill, dan
Marxisme, pada tahun 1960-an dan 1970-an berkembang suatu pemikiran
barn mengenai demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi partisipatoris.
Model demokrasi ini memandang tidak hanya berurusan dengan legal
formal dan sistem peiWakilan saja, tetapi lebih dari itu mempunyai tujuan
moral untuk membantu pengembangan hidup manusia, bernilai sebagai
270 M. Mahfud MD, Politik Hukum KetaJanegaraan Indonesia, Jakarta: Radjawali Press, 2001, him. 23
271 E. Utrech~ Pengantar Tala Hukum Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 2002, him. 21 272 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar I/mu Po/itik, Jakarta: Gramedia, 1993, him. 59
169
alat peningkatan kapasitas manusia agar terbentuk masyarakat demokratik
sebagai hasil dari peningkatan tersebut dan sebagai alat pengembangan
kemudian.
Model demokrasi ini bersesuaian dengan kebebasan positif karena
mempunyai tujuan moral untuk persamaan kebebasan dan realisasi diri.
Demokrasi partisipatoris lebih menekankan kepada partisipasi aktif
warganegara secara berkelanjutan dan bukan hanya secara periodic dalam
pemilu, proses politik, dan ketatanegaraan saja, yang melahirkan prinsip
"pemerintahan oleh orang banyak" sebagaimana terkandung di dalam
definisi demokrasi yang sesungguhnya.
Dalam skala yang lebih luas, seiring dengan populasi dan luas
wilayah menjadi bertambah, bentuk demokrasi langsung dilengkapi
dengan institusi pokok demokrasi konstitusional, termasuk lembaga
perwakilan, sistem kepartaian yang kompetitif, dan pemilihan umum
secara periodik, agar demokrasi partisipatoris dapat berlangsung secara
wajar. Model demokrasi partisipatoris jelas bukan penegasan demokrasi
konstitusional, melainkan lebih merupakan pendalaman atau peningkatan
kualitas atas model demokrasi sebelum agar tidak bersifat elitis.
Di sisi lain, gagasan bahwa pemerintahan dilarang campur Iangan
dalam urusan warganegara di bidang social maupun ekonomi bergeser
kearah gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyat, maka pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau
hanya sebagai "penjaga malam" melainkan harus aktif melaksanakan
upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat dengan cara
170
mengatur kehidupan ekonomi dan social. Peran yang demikian besar
mendorong pertumbuhan birokrasi pemerintah, dengan kala lain, fungsi
"zorgen" membawa akibat kekuasaan pemerintah seolah-olah tidak
terbatas asalkan kekuasan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.273 Pengertian dan makna kesejahteraan
masyarakat ini diidentikkan dengan kepentingan umum, bahwa pemerintah
dapat berbuat apa saja. Kepentingan umum menghalalkan segala cara.274
Kekuasaan pemerintah ini semakin membengkak tidak terbendung
dibarengi faktor-faktor sebagai berikut:275
1. Dalam mencampuri aspek kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk pengaturan dan perizinan, pemerintah meninggalkan metode pendekatan sosial (social approach method), dan hanya menggunakan satu macam pendekatan saja. Dengan hanya menggunakan pendekatan keamanan (security approach method), kebebasan pemerintah untuk mencampuri aspek kehidupan masyarakat tidak terbatas, yang berarti akan membelenggu kebebasan individu.
2. Hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai aturan permainan dalam hidup bernegara itu bersifat paradoks. Peraturan perundang-undangan yang demikian akan berorientasi kepada keadilan dan kebenaran menurut penguasa, yang berarti sulit untuk menjamin perlindungan hukum yang berbobot yang diberikan kepada masyarakat; dan
3. Sistem paternalisme yang berakar kuat pada kehidupan masyarakat. Dengan kuatnya sistem ini, hubungan antara penguasa dan masyarakat merupakan hubungan antar patroon dan client.Patroon dapat dan berhak memaksakan kehendaknya kepada client dan apa yang diperbuat oleh patroon pasti selalu baik.
Pembesaran peranan pemerintah yang membesar sering dianggap
konsekuensi alas pertumbuhan dan perkembangan yang semak:in kompleks
dari suatu masyarakat yang membuat permintaan jasa pelayanan semakin
besar. Huntington, menyatakan bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat
273 Feisal Tam in, Reformasi Birokrasi, Ana/isis Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta: Belantika, 2004, him. 173
274 Muchsan, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 1981, him. !06 215ibid
171
dilakukan dengan baik jika terdapat tingkat kestabilan dan ketertiban
politik yang mapan. Berbeda dengan di negara-negara baru (developing
countries) pembangunan politik dalam bentuk mobilisasi dan yang cepat
justru akan menimbulkan kekacauan dan pertikaian politik. Jaminan
stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan, maka dimulailah dilakukan serangkaian
usaha untuk menyehatkan dan memodemisasikan birokrasi pemerintahan
sebagai instrumen penting negara yang akan menopang dan memperlancar
usaha-usaha pembangunan ekonomi tersebut.
Gagasan baru tersebut membawa cakupan demokrasi kepada hal
yang lebih luas yaitu demokrasi ekonomi dan sosial terutama harus
mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat.
Ide ini sering disebut sebagai "Negara Kesejahteraan" (Welfarestate) atau
Negara Hukum Material dengan ciri-ciri yang berbeda dengan Negara
Hukum Formal. Pencirian yang dilakukan oleh para sarjana seperti Stahl
dan Dicey ditinjau ulang sehingga mampu menggambarkan substansi yang
lebih luas.
Negara kesejahteraan dikembangkan dalam konteks ekonomi pasar
(market economy) dan dalam hubungannya dengan sistem ekonomi
campuran (mixed economy). Peranan negara dalam konsep negara
kesejahteraan memodifikasikan berbagai kekuatan pasar (to modifY the
play of market forces). 276 Perlu pengendalian dan pembatasan terhadap
kekuatan-kekuatan pasar tersebutuntuk mengatasi unsur-unsur negatif
276 Donald J. Moon, (ed)Responsibility Rights and Welfare, Colorado, 1988, him. 22
172
yang tidak diharapkan sebagai basil atau akibat kekuatan-kekuatan pasar
tersebut. Menurut Goodin, campur tangan negara dalam negara
kesejahteraan tersebut merupakan "campur tangan publik dalam mengatur
pasar'' (a public inJervention in privat marcel economy)/77 untuk
menciptakan kesejahteraan umum (promiting public welfare) dan
memaksimumkan kesejahteraan sosial (to maximize social welfare)
sehingga memperkecil dampak kegagalan pasar (market failure) terhadap
masyarakat karena moral hazarddan penggunaan yang keliru terhadap
berbagai sumber daya (misallocation of resources).
Konsep negara kesejahteraan bermula dari gagasan yang muncul
dalam Beveridge Report berisi dari laporan Beveridge, seorang anggota
parlemen Inggris yang mengusulkan keterlibatan negara di bidang
ekonomi atas yang berhubungan dengan pemerataan pendapatan
masyarakat atau kesejahteraan sosial sejak manusia dilahirkan sampai mati
ifrom the cradle to the grave), lapangan kelja, pengawasan atas upah
pekelja oleh pemerintah, dan usaha dalam bidang pendidikan. Gagasan
tersebut kemudian diterima di berbagai negara Inggris, Jerman, dan
Am erika Serikat. 278 Meskipun konsep negara kesejahteraan tersebut mulai
digugat dan wacana reformasi gagasan tersebut terus bergulir, namun
dewasa ini konsep negara kesejahteraan masih tetap digunakan di negara
Inggris dan Arnerika Serikat. Dalam hubungan dengan pasar bebas, konsep
negara kesejahteraan juga tetap relevan guna menjadi acuan bagi analisa
277 lbid, him. 24-33 278 Muchsan, op.cit., him. I
173
terhadap berbagai kebijakan publik di bidang regulasi ekonomi yang
dianggap sebagai intervensi pemerintah untuk menjaga kemurnian pasar.
Perspektif yang lain, Sri Rejeki Hartono berpendapat bahwa asas
campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan salah satu
dari 3 asas yang dibutuhkan untuk pembinaan citra hukum. Dua asas yang
lain yaitu asas keseimbangan dan asas pengawasan publik.279 Kegiatan
ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat membutuhkan campur tangan
negara mengingat tujuan dasar dari kegiatan ekonomi untuk mencari
keuntungan. Sasaran tersebut mendorong timbul berbagai penyimpangan
bahkan kecurangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, bahkan
semua pihak. Campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi secara
umum untuk hubungan hukum yang teijadi dan tetap dalam batas-batas
keseimbangan kepentingan semua pihak. Campur tangan negara dengan
demikian bertujuan untuk menjaga kepentingan semua pihak dalam
masyarakat, melindungi kepentingan produsen dan konsumen, dan
melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum, terhadap
kepentingan perusahaan dan pribadi?80
Peranan pemerintah yang lebih luas dan tidak lagi pasif.
International Comissiqn of Jurist pada konferensi di Bangkok tahun 1965
menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui
pula hak-hak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk dasar-dasar
standar sosial ekonomi. Dirumuskan juga bahwa pemerintahan demokratis
di bawah We/fares tate mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (I)
279 Sri Redjeki Hartono, Kapita Se/ekla Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Madju, 2000, him. 13
""Ibid, him. 15
174
Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu
konstitusi juga harus menentukan prosedur untuk memperoleh
perlindungan hak-hak yang dijamin; (2) Badan Kehakiman yang bebas dan
tidak memihak; (3) Pemilihan urn urn yang bebas; ( 4) Kebebasan
manyatakan pendapat; (5) Kebebasan berserikatlberorganisasi dan
beroposisi; dan (6) Pendidikan kewarganegaraan.
Menjadi jelas bahwa ada pengakuan tentang perlu perluasan tugas
pemerintah agar menjadi lebih aktif. Pemerintah dalam negara hukum
modem diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai
lapangan dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada
administrasi negara dalam menjalankan. Pemerintah dalam rangka
diberikan kemerdekaan untuk bertindak menurut inisiatif sendiri dan tidak
selalu atas usul parlemen.
Kepada administrasi negara diberikan Freies Ermessen untuk
pouvoir discretionaire, kemerdekaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk
turut serta dalam kehidupan sosial dan kekuasaan hak selalu terikat kepada
produk legislasi parlemen. Freus Ermessen berasal dati bahasa Jerman dan
diturunkan dati kala frei dan freire yang arti bebas, merdeka, dan tidak
terikat, lepas, dan orang bebas. Ermessen mengandung arti
mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, bebas
menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan." Selain itu,
istilah tersebut sepadan dengan discretionaire yang artinya menurut
kebijaksanaan dan sebagai kata sifat berarti, menurut wewenang atau
kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat dengan undang-undang.
175
Menurut Prajudi Atmosudirjo, diskresi artinya pejabat atau
penguasa negara tidak boleh menolak men gam bil keputusan dengan alasan
"tidak ada peraturannya" dan oleh karena itu, diberi kekuasaan untuk
mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar
asas yurikditas dan asas legalitas.281 Senada dengan pendapat tersebut
Sjahran Basah mengatakan bahwa diperlakukannya freies Ermessen oleh
administrasi negara dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas
inisiatif sendiri terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting
yang timbul tiba-tiba Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa
bertindak cepat dan membuat penyelesaian, namun keputusan-keputusan
yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat
dipertanggung-jawabkan.282 Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf
mengatakan bahwafreies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan
seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak
sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak
jelas ataupun dengan pertimbangan yang individual subjektif. Sebagai
implikasi diberikan freies Ennessen kepada administrasi negara, maka
administrasi negara memiliki pouvoir discretionaire dan oleh karena itu
dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Ada 3 implikasi yang timbul di bidang
legislasi, yaitu adanya hak inisiatif (membuat peraturan yang sedel"l\iat
dengan undang-undang tanpa persetujuan parlemen meskipun daya
lakunya dibatasi kurun waktu tertentu), hak delegasi (membuat peraturan
281 Prajudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, him. 185
282 Sjahran Basha, Op.cit., him. 126.
176
yang derajatnya di bawah undang-undang) dan droit function (menafsirkan
sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif).
Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham
kerakYatan sebab pada hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan
negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar
kekuasaan atau kedaulatan raeyat. Begitu eratnya hubungan antara paham
negara hukum dengan paham kedaulatan rakYat sehingga ada sebutan
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).283
Salah satu asas penting dari negara hukum adalah asas legalitas.
Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap
tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa
dasar undang-undang, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang
melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi
keadaan hukum warga masyarakat. Asas legalitas berkaitan erat dengan
gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi
menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan
mendapatkan persetujuan dari wakil rakYat dan lebih banyak
memperhatikan kepentingan raeyat. Gagasan negara hukum menuntut agar
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan kepada
undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar raeyat
yang tertuang di dalam undang-undang. Menurut Sjahran Basah, asas
legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara
paham kedaulatan hukum dengan kedaulatan raeyat berdasarkan prinsip
283 Bagir Manan, Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Sinar Harapan, 1994, him. 167
177
monodualistis selaku pilar-pilar yang bersifat konstitutif84. Penerapan asas
legalitas, menurut Indroharto yang dikutip oleh Ni'matul Huda akan
menunjang keberlakuan kepastian hukum dan kesamaan perlakuan.
Dalam konteks ini, secara operasional muncul perdebatan perihal
eksistensi undang-undang atau peraturan perundang-undangan pada
umumnya, sebagai salah satu subsistem hukum, berhubungan dengan
politik. Dalam praktik kerapkali politik melakukan intervensi atas
pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga menimbulkan pertanyaan
manakah antara hukum dan politik yang lebih supreme dan sejauh mana
pengaruh politik terhadap hukum. Jika dilakukan pengkajian tentang
hubungan kasualitas antara hukum dan politik, minimal ada 3 (tiga)
macam jawaban, pertama, hukum determinan atas politik, dalam arti,
bahwa kegiatan-kegiatan politik harus diatur dan harus tunduk kepada
aturan-aturan hukum, kedua, politik determinan atas hukum, karena
hukum merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi dan bahkan bersaingan. Dan ketiga, politik dan hukum
sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi sederajat
determinasi seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada,
maka semua kegiatan politik harus tunduk kepada aturan-aturan hukum.
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentang mana yang lebih
determinan di antara pertama dan kedua, tentu sangat ditentukan oleh
sudut pandang masing-masing ahli. Kaum idealis yang lebih berdiri pada
284 Sjahran Basha, Op.Cil., hlm. 201.
178
sudut das sol/en mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan
dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politik.
Sebagai keinginan tentu wajar, jika ada upaya untuk meletakkan hukum
sebagai penentu arab peijalanan masyarakat karena dengan itu fungsi
hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan
masyarakat akan menjadi lebih relevan.
Menurut Afan Gaffar, hukum tidaklah berada dalam keadaan yang
vakum, akan tetapi merupakan entitas yang berada pada suatu environment
di mana antara hukum dengan environment tersebut terjadi hubungan yang
kait mengait Akan tetapi tampaknya hukum merupakan produk berbagai
elemen, terrnasuk di dalamnya elemen politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan sistem nilainya, dan agama. Oleh karena itu ekosistem hukum banyak
tergantung kepada faktor-faktor yang berada di luar hukum. Jadi, hukum
bukan sesuatu yang supreme. Adanya hukum karena adanya kepentingan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain285 .Mana yang paling banyak
terlibat di dalam pembentukan agenda sebelum keluarnya sebuah
rancangan undang-undang, Afan Gaffar membuat perbandingan286• Di
negara-negara yang tingkat demokratisnya rendah sekali, yang terlibat di
dalam pembentukan hukum, para elit utama di negara itu. Kalau di regime
yang sosialistis pemimpin partai ditambah sejumlah tokoh militer,
sedangkan di negara yang nonsosialistik para top birokrat, pemimpin
militer, dan pengusaha kaya. Orientasi hukum tentu saja bersifat elitis dan
selalu saja melindungi dan membela kepentingan mereka sendiri. Di
285 Afan GafTar, Pembangunan Hukum don Demokrasi, Yogyakarta: UTI Pres, 1992, him. 104
,,. Ibid, hlm. I 08
179
samping itu, karakteristik Jain yang menonjol sangat konservatif dan
rumusan-rumusan aturan (wardings) seringkali bersifat jumbuh sehingga
terbuka untuk mengadakan interpretasi baru dengan peraturan lebih Janjut
dan harap diperhatikan bahwa interpretasi yang paling kuat datang dari
penguasa
Sebaliknya, dalam pemerintahan yang demokratis, pelbagai macam
lembaga terlibat di dalam agenda pembentukan hukum. Keterlibatan
masyarakat sangat tinggi karena diakui pluralisme politik di mana
kelompok-kelompok dalam masyarakat baik yang tergabw1g di dalam
partai politik ataupun tidak (pressure group, interest group, mass media,
dan lain-lain), termasuk Jembaga swadaya masyarakat, oleh karena itu
produk hukumnya bersifat populis yang sangat berbeda dengan elitis di
dalam regime tidak demokratis. Hukum yang dikembangkan bersifat
progressive dan memberikan space yang sedikit kepada pihak eksekutif
untuk memberikan interpretasi lebih lanjut dari suatu peraturan.
Di dalam sistem politik, para pengambil keputusan selalu
mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompok-kelompok
kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada legitimasi.
Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan keluaran berupa
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara lain dalam bentuk
yang utama, yaitu berupa pelbagai hukum dan kebijakan umum. Apabila
ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme
untuk menyerap umpan balik, ditegaskan bahwa "hukum" dan "politik
hukum" (legal policy) merupakan produk dari sistem politik. Dengan
180
demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam
masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang
berlaku. 287
Politik hukum tidak lebih merupakan perumusan kebijakan-
kebijakan yang mempengaruhi pelaksanaan serta pengembangan hukum
sebagai pengejawantahan dari konstitusi. Secara teoritik, di samping
dilengkapi dengan kekuasaan yang represif, pemerintah juga mengemban
kewajiban konstitutif dalam arti kewajiban untuk melakukan tindakan-
tindakan yang mendorong pelaksanaan konstitusi. Sudah pada saat
terbentuknya pemerintahan, pemerintah itu menerima pekeijaan rumah
untuk secara aktif mengupayakan pelaksanaan konstitusi. Dalam negara
modern upaya itu dilaksanakan dengan cara-cara administrasi negara yang
mencakup kegiatan legislasi dan regulasi yang terencana sedemikian rupa
sehingga menciptakan perangkat undang-undang dan peraturan-peraturan
yang sesuai dengan konstitusi.
Menurut Budiono Kusumohamidjojo suatu politik hukum yang
berantakan pada tahap pertama akan menghasilkan kaidah-kaidah hukum
dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang simpang siur
dan tidak jelas sampai pada tahap pelaksanaan. Kesimpangsiuran itu pada
tahap kedua akan membiasakan orang untuk melakukan by pass di segala
tahapan pemerintahan. Kebiasaan itu akan mendorong orang untuk
melakukan spekulasi hukum dengan berpegang kepada pomeo "Jika tidak
jelas hukumnya, maka bolehlah kaidahnya." Spekulasi hukum yang
287 Muladi, Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Habibie Centre, 2002, him. 259
181
semakin meluas dan mengantarkan masyarakat kepada tahap berikut,
berupa keadaan tanpa kepastian hukum. Jika negara tidak memiliki
kepastian hukum, maka akan sulit sekali menampilkan diri sebagai negara
hukum.
Uraian di atas menegaskan hukum sebagai dependent variable dan
politik sebagai independent variable. Dalam masa transisi, dari suatu
rezim otoriter menuju rezim demokratis teljadi pergeseran nilai yang
mengakibatkan hukurn mempunyai "fungsi ganda" (dual function). Proses
politisasi hukurn tetap teljadi oleh rezim baru yang reformis dan
demokratis, di mana hukurn digunakan untuk membongkar dan
mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi demokratis, yang sekaligus
memfungsikan hukum sebagai independent variable terhadap kehidupan
sosial politik.
Berkaitan dengan fungsi hukum ini, banyak buku mengenai filsafat
hukum membahas tentang keadilan dan kepastian hukum sebagai target
utama yang hendak dicapai oleh manusia melalui pelaksanaan hukurn.
Kenyataan memperlihatkan bahwa perdebatan untuk memperoleh jawaban
bagi pertanyaan mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil semakin
l!lma m.enjadi semakin rumit, seiring dengan kebutuhan hidup manusia
serta semakin terbatas pemenuhan sumber daya yang diperlukan.
Penyelenggara kepastian hukum banyak tergantung dari struktur
organisasi penegak hukurn serta konsistensi dalam cara kerj a dari orang
orang yang mendukung.
182
Selagi para srujana hukum berdiskusi semakin intim tentang esensi
dari keadilan, organisasi penegak hukum justru tidak memperoleh kedua
duanya, bahkan juga tidak sekedar suatu ketertiban umum yang minimaL
NaJar hukum itu dibiarkan, jika dibiarkan mengembara akan membawa
konsekuensi disintegrasi sosial yang bermuara dalam anarkis, di balik itu
melalui hukum manusia hendak menghindarkan diri dari anarki, seperti
yang dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno bahwa fungsi hukum yang
paling dasar mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam
konflik terbuka, maka hukum merupakan sarana pemecahan konflik yang
rasional, karena tidak berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan alamiah belaka
melainkan menurut kriteria obyektif yang berlaku umum. Pemahaman
tentang keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan ketertiban
umum, karena keadilan memang lebih dari sekedar ketertiban, melainkan
juga keadilan itu bekeJja lebih sebagai prinsip prosedur daripada substansi.
3. Komponen Sistem Peradilan Pidana
Mardjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa, komponen
dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan. Namun apabila sistem peradilan pidana
dilihat sebagai suatu instrumen dari kebijakan kriminal, maka termasuk
dalam komponen sistem peradilan pidana adalah pembuat undang-undang.
Karena pembuat undang-undang adalah penentu arah kebijakan hukum
pidana dan hukum pelaksanaan pidana yanghendak ditempuh dan
sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.288 Selanjutnya secara
288 Romli Atmasasmita, "Sistem ... " Op. cit., him. 24.
183
singkat akan dijelaskan tugas dari masing-masing komponen sistem
peradilan pidana sebagaimana pandangan Mardjono Reksodipoetro,
sebagai berikut:
a. Kepolisian
Kepolisian merupakan satu-satunya organisasi yang berhadapan
langsung berkaitan dengan penanggulangan kejahatan dalam
masyarakat Agar kepolisian dapat menjalankan fungsinya dengan baik,
maka perlu ada transparansi tugas-tugas penegak hukum, sehingga
hukum dapat ditegak.kan dan keadilan dapat dicapai tanpa pengorbanan
semua hak masyarakat yang seharusnya dilindungi. Status kepolisian
dalam sistem peradilan pidana secara internasional diakui, yakni dalam
Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa V (kelima) tahun 1975 mengenai
the prevention of crime and the treatment of offenders, khususnya
dalam membicarakan masalah the emerging rules of the police and
other law enforcement agencies yang menegaskan "it was recognized
that the police were a component of the larger system of criminal
justice which operated against criminality. "28~
b. Kejaksaan
Jaksa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana berdasarkan
Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa VIII (kedelapan) tentang
Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap orang yang Bersalah di
Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September 1990, memiliki peranan
289 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Undip, 2000, him. 45-46
184
sebagai berikut:290
I) Jabatan jaksa harus dipisahkan dengan tegas dari fungsi-fungsi kehakiman;
2) Jaksa harus menjalankan peran aktif dalam proses persidangan pidana, termasuk lembaga kejaksaan, dan apabila diberi wewenang oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, dalam menyelidiki kejahatan, pengawasan atas legalitas dari penyelidikan ini, penyelidikan atas pelaksanaan keputusan pengadilan serta pelaksanaan fungsi-fungsi lain sebagai wakil dari kepentingan urn urn;
3) Jaksa, sesuai dengan hukum, akan melaksanakan kewajiban mereka secara jujur, konsisten dan cepat, dan menghormati serta melindungi martabat kemanusiaan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan dengan demikian memastikan proses dengan semestinya dan berfungsinya sistem peradilan pidana dengan lancar;
4) Jaksa dalam melaksanakan tugas, akan selalu melaksanakan fungsi tanpa memihak dan menghindari segala macam diskriminasi politik, sosial, agama, ras, budaya, jenis kelamin atau jenis-jenis diskriminasi lainnya; melindungi kepentingan umum, bertindak dengan obyektif, memperhitungkan dengan seksama posisi dari tertuduh dan korban, dan menaruh perhatian pada semua keadaan terkait, tanpa memandang apakah keadaan itu menguntungkan atau merugikan orang yang tertuduh; meJUaga hal-hal yang mereka kuasai sebagai rahasia, kecuali kalau pelaksanaan kewajiban atau kebutuhan akan keadilan masyarakat sebaliknya; mempertimbangkan pandangan dan kekuatiran para korban ketika kepentingan pribadi mereka terkena.
5) jaksa tidak akan memprakarsai atau melanjutkan penuntutan, atau akan melakukan setiap usaha untuk meneruskan proses persidangan, apabila suatu penyelidikan yang tidak memihak memperlihatkan bahwa tuduhan itu tidak benar;
6) jaksa akan memberikan perhatian yang semestinya kepada penuntutan atas kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, apabila diberi wewenang oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat;
7) jaksa yang menguasai bukti terhadap para tertuduh yang diketahui atas dasar yang masuk akal diperoleh lewat cara yang tidak sah, berasal dari pelanggaran berat terhadap hak asasi tertuduh, jaksa harus menolak untuk menggunakan bukti tersebut.
c. Pengadilan
290 ELSAM, Dimensi-dimensi HAM pada Administrasi keadi/an, (Jakarta: Elsam, 2000), him. 61-62
185
Pengadilan sebagai tempat pembuktian terhadap perbuatan
pidana yang dituduhkan kepada terdakwa. Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah menyepakati prinsip-prinsip dasar tentang kemandirian peradilan
pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa VII (k:etujuh) tentang
Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, yang
diselenggarakan di Milan dari tanggal 26 Agustus sampai 6 September
1985 dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum 40/32 tanggal 29
Nopember 1985, dan 40/146 tanggall3 Desember 1985, yaitu:291
I) kemandirian peradilan harus dijamin oleh negara; 2) peradilan harus memutus perkara yang diajukan kepadanya secara
adi~ atas dasar fakta-fakta dan perundang-undangan; 3) peradilan harus memiliki semua yuridiksi berkaitan dengan semua
pokok masalah yangbersifat hukum; 4) tidak boleh ada campur tangan apa pun yangtidak pantas atau tidak
diperlukan terhadap proses peradilan; 5) setiap orang berwenang diadili dalam persidangan biasa, yang
menggunakan prosedur-prosedur hukum yang sudah mapan; 6) prinsip kemandirian peradilan berhak dan mewajibkan peradilan
untuk menjamin bahwa hukum peradilan dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak para pihak dihormati;
7) kewajiban setiap negara anggota untuk menyediakan sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan peradilan melaksanakan fungsifungsinya dengan tepat.
Selain kemandirian lembaga peradilan untuk membentuk
peradilan yang berwibawa dalam konteks sistem peradilan pidana,
maka hal-hal yang juga perlu diperhatikan adalah:292
I) Asas-asas dasar prosedural kewenangan untuk menangani tindak pidana merupakan kewenangan negara.
2) Asas-asas prosesual: setiap perorangan dan lembaga baik publik maupun privat harus bekerjasama dengan pengadilan apabila diminta; penundaan yang tidak beralasan harus dihindari.
3) Hak-hak terdakwa: harus didampingi penasihat hukum sejak pemeriksaan pendahuluan kecuali yang bersangkutan menolak; hak
291Ibid, hlm. 51-52. 292 Muladi, Op.Cit, him. 217-218
186
untuk didampingi peneljemah apahila diperlukan; Iarangan penggunaan kekerasan, ancaman, iming-iming dan sebagainya untuk memperoleh pengakuan; perlu sanksi kriminal atau disiplin yang tegas bagi para penegak hukum yang melanggar asas-asas
4) peradilan; bukti-bukti yang diperoleh secara tidak sah harus ditolak oleh pengadilan; bantuan hukum yang dipilih secara bebas harus pula dimungkinkan pada setiap tahap peradilan pidana, termasuk pada saat yang bersangkutan harus menjalani pidananya; kerahasiaan komunikasi antara terdakwa dan penasihat hukumnya teljamin.
4) Hak -hak korban kejahatan, bantu an yang d iperlukan mengatasi akibat-akibat yangdialaminya.
harus mendapatkan pelayanan dan dalam memperoleh keadilan dan negatif akibat tindak pidana
5) Kewaj iban negara, untuk menyelenggarakan latihan-latihan terpadu untuk menghasilakan penegak hukum yang profesional.
d. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari proses
sistem peradilan pidana. Beberapa Kongres Perserikatan Bangsa-
. Bangsa tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,
sejak tahun 1955, sudah mengakui, bahwa, masalah perlakuan terhadap
narapidana, merupakan masalah intemasional, dan sekaligus, telah
menetapkan, standar minimum rules for the treatment of prisoners.
4. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP telah memberikan pendekatan sistem pada peradilan pidana di
Indonesia adalah pendekatan yang mempergunakan segenap unsur terlibat
didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan dan saling
mempengaruhi satu sama lain, yaitu polisi, jaksa, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan.Sistem peradilan pidana Indonesia memiliki 10
(sepuluh) asas sebagai berikut:
187
a perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apa pun; b. praduga tidak bersalah; c. hak untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi; d. hak untuk memperoleh bantuan hukum; e. hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; f. peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; g. peradilan yang terbuka untuk umum; h. pelanggaran terhadap hak-hak warga negara harus didasarkan pada
undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah; i. hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya; dan j. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan
putusannya.
Setiap komponen sistem peradilan pidana di Indonesia telah diatur
dengan undang-undang yang terpisah-pisah. Kelemahan terbesar dari
peraturan perundang-undangan yang disusun secara terpisah-pisah
berdampak pada kinerja penegakan hukum, karena masing-masing
komponen lebih menitik- beratkan pada kepentingan instansi atau mef\iadi
instansi sentris. Kondisi ini menunjukkan sitem peradilan pidana di
Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Untuk itu perlu
pemikiran membangun sistem peradilan pidana di Indonesia.
B. Perbandingan Penerapan Mediasi Penal di Negara Lain
Dalam perkembangannya di dunia, mediasi penal dikenal dengan
berbagai istilah. Terminologi yang paling banyak dikenal adalah victim-
offender nedialion (mediasi antara korban dan pelaku). Namun sebenarnya
terminologi yang paling awal dikenalistilah victim-offonder reconciliation
program. 293Jstilah ini kemudian tidak banyak dipakai karena banyak pakar
293 Secara teori, memang banyak kemiripan antara mediasi dan konsiliasi, bahkan banyak pakar ADR (Alternative Dispute Resolutior berpendapat tidak ada perbedaan di antara keduanya Kalaupun ada perbedaan hanyalab peran konsiliator yang lebih besar (directive)dibandingkan mediator
188
yang menganggap penggunaan istilah rekonsiliasi tidak cocok karena terlalu
agamis dan tidakrnenggambarkan proses perdamaian.294Apalagi umumnya
antara korban dan pelaku tidak mempunyai hubungan (baik kekeluargaan
maupun pertemanan) sama sekali ketika suatu tindak kriminal terjadi. Oleh
karena itu istilah rekonsiliasi yang menggambarkan perdamaian kembali
antara kedua pihak yang sebelumnya mempunyai hubungan menjadi tidak
tepat.
Kemudian dikenal pula istilah victim offender meetings dan victim
offender conftrencing. lstilah penal mediation juga dipakai karena mediasi
digunakan untuk mendamaikan perkara pidana, bukan perkara perdata yang
biasanya menjadi fungsi mediasi. Di Belanda, mediasi penal dikenal dengan
istilah strajbemiddeling dan di Prancis istilah yang dikenal adalah de
mediation penale.
Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener, Ontario, Kanada
pada tahun 1974. Kemudian program ini menyebar ke Amerika Serikat,
Jnggris, dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat, mediasi penal
pertama kali dipraktikkan di Elkhart Indiana dan di lnggris oleh The Exeter
Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi penal
tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang paling subur adalah di negara-
negara Eropa. Perkembangan program mediasi penal di dunia terlihat pada
Tabel berikut:295
294 Mark Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Voss, "Victim-Offender Mediation: An Evolving Evidence Based Practice" dalam Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, eels Sullivan, D. dan Tifft, L., Routledge, New York, 2006, him. 52-62
295 M. Umbreit, "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation" da lam The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, ed Umbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. xlv
189
No Negara Jumlah Program
I Australia 5 2 Austria 17 3 Belgia 31 4 Kanada 26 5 Denmark 5 6 Finlandia 175 7 Prancis !59 8 Jerman 450 9 I tali a 4 10 Belanda 2 I! Selandia Baru Ada dalam setiap yurisdiksi 12 Norwegia 41 l3 Polandia 5 14 Afrika Selatan I 15 Swedia 50 16 lnggris 46 17 Amerika Serikat 302
Total 1.319 I
Berdasarkan Tabel tersebut, bab ini akan mengambil contoh beberapa
negara yang telah berhasil menerapkan mediasi penal dalam menangani
perkara ABH yang terintegrasi ke dalam sistem peradilan pidana mereka.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman mereka, mencari dasar hukum bagi
pelaksanaannya, dan hila memungkinkan mengadopsi sistem dan mekanisme
yang cocok dengan kondisi Indonesia. Amerika Serikat dipilih karena negara
ini adalah salah satu pemrakarsa pelaksanaan mediasi penal perkara ABH di
dunia Beberapa negara di Eropa dipilih karena di kawasan ini mediasi penal
mengalami perkembangan sangat pesat dan beberapa di antaranya Ielah
memiliki perangkat peraturan sebagai dasar hukum dalam sistem peradilan
pidana mereka. Negara Eropa yang dipilih adalah Swedia dan Norwegia
Selain itu, perkembangan mediasi penal dan keadilan restoratif di dua negara
di Asia, yaitu Thailand dan Jepang, juga akan sedikit dibahas.
190
l. Mediasi Penal di Amerika Serikat
Sebagaimana Ielah disampaikan sebelumnya, mediasi penal dalam
menangani perkara ABH pertama kali diterapkan di Elkhart, negara bagian
Indiana, Amerika Serikat. lnisiatif pelaksanaan metode penyelesaian
sengketa altematif di negara ini dilakukan oleh Komunitas Gereja
Mennonite yang bertujuan untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan
hubungan baik para pihak dan masyarakat luas.
Mediasi penal di Amerika Serikat sepenuhnya bersifat
kesukarelaan para pihak. Dari 289 program mediasi penal yang
teridentifikasi pada tahun 2000, 45% digunakan untuk menangani perkara
ABH. Jenis tindak kriminal yang paling banyak dimediasi adalah
vandalisme, penyerangan ringan, pencurian dan perampokan, dan sedikit
jumlah kejahatan berat. Umbreit dan Armour96 melakukan penelitian
tentang perkembangan pelaksanaan mediasi penal di seluruh negara bagian
di Amerika Serikat, baik yang bersifat komunitas maupun yang terintegrasi
dengan sistem peradilan pidana. Dari 50 negara bagian, ada 23 yang
mempunyai landasan hukum yang terintegrasi dengan sistem peradilan
pidana yang terdiri dari adanya peraturan dasar tentang mediasi penal,
adanya peraturan khusus untuk mediasi, dan program yang bersifat
komprehensif untuk mediasi penal.
2% Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An
Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 2010, him. 116-117
191
Perkembangan mediasi penal di Amerika
Ada Ada
Ada Tidak ada/ peraturan
peraturan peraturan Program
N sedik:it yang dasar
secara komprehen penyebutan memungkink
tentangmedia khusus sifuntuk
0 peraturanmedia andialog untuk mediasi
si si penal korban
penal mediasi penal
dan pelaku penal I Connecticut Alaska Alabama Arkansas Delaware
2 District of Florida Arizona Louisiana Indiana
Columbia
3 Georgia Illinois California Minnesota Kansas
4 Hawaii Maine Colorado Ohio Montana
5 Idaho New York Iowa Oklahoma Nebraska
6 Kentucky Vermont Missouri Texas Oregon
7 - North Maryland Virginia Tennesse
Carolina
8 Massachusetts Washington
9 Michigan - Wisconsin - -10 Mississippi - - - -
I I Nevada - - - -
12 New - - - -
Hampshire
13 New Jersey - - - -
14 New Mexico - - - -15 North Dakota - - - -
16 Pennsylvania - - - -
17 Rhode Island - - - -
18 South Carolina - - - -19 South Dakota - - - -
i
1 20 Utah - - - -' ; 21 West Virginia - - - -
22 Wyoming - - - -
192
Umbreit dan Armour juga menyatakan walaupun ada negara bagian
yang tidak mempunyai peraturan tentang mediasi penal, bukan berarti
mekanisme tersebut tidak dipakai. Mediasi penal biasa digunakan di level
komunitas dan bahkan menempati urutan tertinggi (43%) dibandingkan
dengan pemakaian oleh lembaga penegak hukum (33%) dan komunitas gereja
(23%).
Kebanyakan program mediasi penal di Amerika Serikat menggunakan
sukarelawan dari masyarakat sebagai mediator. Biasanya mediator dibantu
oleh seorang co-mediator yang membantu jalannya proses mediasi dengan
membagi peran dan tanggung jawab,terutarna ketika menghadapi kasus yang
kompleks. Program mediasi penal bisa dilaksanakan melalui beberapa jalur
rujukan, yaitu:
I. Langsung dari polisi sebelum laporan didaftarkan.
2. Setelah polisi membuat laporan, namun sebelum masuk ke pengadilan
sebagai diversi dari kejaksaan.
3. Setelah menerima atau menemukan pemyataan bersalah sebelum jatuhnya
putusan.
4. Setelah jatuhnya putusan.
Program mediasi penal di negara ini lebih banyak menerima rujukan
setelah pengakuan formal bersalah dari pelaku di pengadilan. Beberapa
program juga menerima kasus yang dirujuk sebelum pengakuan formal
bersalah sebagai upaya untukmenunda penuntutan. Kasus yang paling banyak
ditangani mediasi penal adalah vandalisme, penyerangan ringan, pencurian,
dan perampokan. Aparat penegak hukum menggunakan beberapa kriteria
sebagai dasar melakukan rujukan, yaitu:
a. Jenis kejahatan, yaitu tindak kriminal terhadap properly berupa
193
perampokan, pencurian, vandalisme, dan penyerangan ringan. b. Pengakuan bersalah dari pelaku. c. Kerugian yang bisa diidentifikasi dan adanya kebutuhan untuk restitusi. d. Pelaku tidak boleh mempunyai lebih dari dua hukuman dari vonis
kejahatan sebelumnya. e. Tidak ada masalah kesehatan mental yang berat. f. Tidak ada masalah perilaku kekerasan yang berat.
Umbreit dan Armour"97 juga meneliti efektivitas pemakaian mediasi penal sebagai altematif sistem peradilan pidana dari berbagai aspek, yaitu: I. Partisipasi para pihak
Dalam aspek ini, para pihak memperlihatkan tingkat keikutsertaan yang tinggi, yaitu 40-60%, bahkan ada yang mencapai 90%.
2. Alasan partisipasi Hampir sebagian besar (91 %) para pihak merasa bahwa keikutsertaan mereka dalam proses mediasi penal adalah sukarela, tanpa paksaan sama sekali.
3. Kepuasan para pihak 8 dari 10 para pihak (baik korban maupun pelaku) merasa pugs terhadap proses dan kesepakatan yang dihasilkan dari mekanisme mediasi penal.
4. Keadilan Lebih dari 80% para pihak merasa proses dan kesepakatan mediasi penal adil bagi kedua belah pihak.
5. Restitusi dan perbaikan kerusakan Sekitar 90% kasus berhasil mencapai kesepakatan yang terdiri dari beberapajenis restitusi, yaitu:
a. Kompensasi langsung pada korban. b. Pelayanan pada masyarakat. c. Bekerja untuk korban. d. Bentuk/kreasi Jain yang disepakati oleh korban dan pelaku. e. Permintaan maaf, yang biasanya digabungkan dengan bentuk
restitusi lain tersebut di atas. 6. Residivisme
Sebagai tujuan jangka panjang, mediasi penal telah berhasil menekan pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan (residivisme) dibandingkan dengan pemakaian sistem peradilan pidana biasa.
7. Biaya Pemakaian mediasi penal secara dramatis telah mengurangi biaya perkara.
8. Pelaksanaan mediasi penal juga mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh keterbatasan dana dan minimnya jumlah rujukan.
2. Mediasi Penal di Eropa
Hampir bersamaan dengan pelaksanaan mediasi penal di Kanada
""Ibid, him. 128-134
194
dan Amerika Serikat, eksperimen program mediasi penal juga mulai
diterapkan di beberapa negara Eropa. Mestitz298 menyatakan bahwa
mediasi penal di Negara Uni Eropa digunakan dengan tujuan sebagai alat
untuk:
a. Memberdayakan korban.
b. Mengurangi peran negara dan memberdayakan masyarakat sipil.
c. Membuat warga negara berpartisipasi dalapi administrasi peradilan.
d. Mengurangi biaya dan tunggakan perkara dalam sistem peradilan
pidana.
Mestitz juga melakukan penelitian mengenai perkembangan
program mediasi penal di negara-negara Eropa sejak pertama kali
eksperimen dilakukan dalam pilot project hingga implementasi
peraturan/undang-undang untuk menjadi landasan hukum yang terintegrasi
ke dalam sistem peradilan pidana. Perkembangan interval waktu tersebut
dapat dilihat dalam Tabel berikut.
Tabel
Interval waktu penyelenggaraan mediasi penal sejak pilot projecthingga
keluarnya peraturan
Tahun
No Negara Tahun Pilot Keluarnya Interval
Project Peraturan Waktu Mediasi Penal
1. Austria 1984 1988 4
2. Belgia/Walloon 1984 (tidak ada
Tidak ada peraturan)
298 Anna Mestitz, "A Comparative Perspective on Vic..iim~OffemJer Mediation with Youth Offenders Throughout Europe", dalam Victim-Offender Mediation with Youth Offenders in Europe, eds Mestitz, A dan Ghetti, S., Springer, Dordrecht, 2005, hlm. 5
!95
3. Belgia/Flanders 1987 sda sda
4. Tnggris dan Wales 1983 sda sda
sda 5. Findlandia 1983 sda
H
6. Prancis 1984 1993 9
7. Jerman 1984 1990 6
8. Irlandia 1999 2001* 2
9. Italia 1995 (tidak ada
Tidakada peraturan)
10. Luxembourg 1997 sda sda
11. Belanda 1990 sda sda
12. Norwegia 1981 1991 10
13. Polandia 1995 1997 2
14. Spanyoi/Catalonia 1990 2001 10
15. Swedia 1987 2002 15
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat 3 (tiga) negara mempunyai
rentang waktu paling lama, yaitu: Swedia ( 15 tahun) serta Norwegia dan
Spanyol (masing-masing 10 tahun). Rentang waktu yang panjang ini
tentunya cukup membuat tiga negara ini mendapatkan pengalaman baik
positif maupun negatif, dalam pengintegrasian mediasi penal ke dalam
sistem peradilan pidana. Oleh karena mediasi. penal di Spanyol baru
sebatas diterapkan di Provinsi Catalonia dan belum berlaku secara
nasional, maka pengalaman Swedia dan Norwegia yang akan diulas lebih
lanjut untuk belajar dari sejarah program mediasi penal mereka.
a. Swedia
Perkembangan mediasi penal di Swedia diprakarsai oleh
masyarakat lokal pada akhir tahun 1980-an tanpa campur tangan
!96
negara sama sekali. Pada tahun I 988, berdiri sebuah lembaga nasional
yaitu Asosiasi Mediasi Swedia yang bertujuan mengembangkan dan
menyebarkan penggunaan mediasi sebagai metode resolusi konflik di
negara ini. Fokus utama organisasi ini adalah penggunaan mediasi
penal untuk menangani perkara ABH. Batasan umur ABH yang bisa
dimediasi di Swedia adalah 15-18 tahun, namun tidak mengecualikan
umur yang sedikit lebih muda atau tua Bila tindak kriminal dilakukan
oleh anak berusia di bawah I 5 tahun, biasanya dirujuk ke Iembaga
sosial.
Mediator di negara ini juga tidak disyaratkan berasal dari
kalangan profesional tertentu, namun tergantung pada kasus yang
dihadapi. Yang dianggap lebih penting untuk diperhatikan adalah
imparsialitas mediator dan keahlian yang baik dengan m~ngikuti
pelatihan yang memadai. Dalam praktiknya, mayoritas mediator
adalah pekeJja sosial yang menerima rujukan dari kepolisian dan
kejaksaan. Mereka wajib melaporkan basil proses mediasi penal ke
polisi dan jaksa sebelum investigasi ditutup. Jika mediasi dilakukan
sebelum jatuhnya putusan oleh pengadilan, maka mediator wajib
melaporkannya pada kejaksaan untuk menghentikan proses peradilan.
Mediasi biasa dilakukan di tempat yang netral seperti di kantor
lembaga sosial, sekolah, atau balai rakyat.
Momentum bersejarah dalam pelaksanaan mediasi penal
diSwedia adalah dikeluarkannya Undang-Undang Mediasi Penal
(Victim-Offender Mediation Act) pada tahun 2002. Pada tahun yang
197
sama, pemerintah mendirikan National Council for Crime Prevention
untuk mengurus administrasi dan implementasi mediasi penal di
negara mt. Beberapa peraturan yang terkait dengan mediasi penal
adalah:
l. Victim-Offender Mediation Act 2002 yang mengatur persyaratankasus untuk bisa dimediasi, yaitu: a. Hanya berlaku untuk mediasi penal yang diorganisasi oleh
pemerintah pusat atau daerah. b. Pelaku telah mengaku bersalah. c. Tindak kriminal tersebut telah dilaporkan pada polisi. d. Para pihak secara sukarela mengikuti proses mediasi. e. Mediator telah berkonsultasi dengan aparat penegak hukum
sesuai dengan tahapan kasus yang dihadapi. 2. Law on Special Provisions concerning Young Offenders tahun 1964
yang berisikan ketentuan bila ada tindak kriminal yang dilakukan anak berusia di bawah 18 tahun maka hams ditangani segera dan membuka kemungkinan mediasi penal.
3. The Social Services Act tahun 200 I yang menjelaskan tanggung jawab pemerintah daerah untuk menyelenggarakan mediasi penal di daerahnya.
4. The Secrecy Act tahun 1980 yang menyatakan bahwa semua informasi personal dalam proses mediasi bersifat rahasia.
5. The Swedish Penal Code tahun 1962 yang menyebutkan bahwa pengadilan harus membuka kemungkinan pemberian sanksi yang lebih ringan kepada ABH, di antaranya dengan mediasi penal.
6. Rekomendasi No. R (99) 19 Komite Menteri Uni Eropa untuk negara anggota yang menjelaskan prinsip umum mediasi penal
Menurut Wahlin"', secara umum tidak ada batasan jenis kasus
yang bisa ditangani mediasi. Namun, kejahatan yang tidak ada korban
dan kekerasan sesuai dianggap. tidak cocok untuk dimediasi. Pada
tahun 2003, ada 12.971 tindak kriminal yang dilakukan ABH. Dari
jumlah tersebut, hanya 411 kasus yang dirujuk untuk mediasi dan
mencapai tingkat keberhasilan 74%. Jenis kasus yang paling banyak
dimediasi adalah pencurian di tempat belanja, penyerangan, dan
vandalisme. Sedikitnya kasus yang dirujuk untuk mediasi, menurut
198
Wahlin, karena tidak diwajibkannya dan tidak terintegrasinya mediasi
penal dalam sistem pemberian sanksi di negara ini. Walaupun sudah
ada peraturan yang menjadi landasan hukum pelaksanaan mediasi
penal serta pemerintah juga berkeinginan untuk menerapkannya,
sampai saat ini belum ada ketentuan yang mewajibkan mediasi penal.
b. Norwegia
Program pilot project mediasi penal untuk menangani perkara
ABH di negara ini pertama kali dilakukan pada tahun 1980 di bawah
administrasi Kementerian Urusan Sosial. Perkembangan mediasi
penal ini dipengaruhi oleh terbitnya tulisan Nils Christie, seorang
pakar kriminologi Norwegia, beljudul Conflict as Propertyyang
kemudian menjadi salah satu bahan rujukan penting bagi
perkembangan konsep keadilan restoratif di dunia. Dalam artikel
tersebut Christie berpendapat bahwa kontlik yang terjadi antara
korban dan pelaku telah dicuri oleh aparat penegak hukum dan negara.
Ia mengusulkan untuk membuat altematif dari sistem peradilan pidana
yang bisa membuat para pihak terlibat secara aktif untuk mencari
solusi permasalahan mereka sendiri (mediasi penal).
Mediasi penal. untuk perkara ABH ditujukan pada pelaku
anak berusia 15-18 tahun. Hal ini ditegaskan dalam amendemen
peraturanpada tahun 1991 yang sebelumnya mengatur Batas umur
minirnum14 tahun. Oleh karena tidak ada pengadilan khusus untuk
anak dinegara ini, maka mediasi penal untuk perkara ABH adalah
bagian darisistem peradilan pidana secara umum. Keadaan ini
199
menyebabkarunediasi penal juga bisa dipakai untuk menyelesaikan
tindak kriminalyang dilakukan oleh orang dewasa. Namun dalam
praktiknya, yangpaling banyak dimediasi adalah pelaku anak. Kasus
tindak pi-dana yang dimediasi bisa dirujuk oleh jaksa pada level
kepolisian, petugas masa percobaan, dan pengadilan kepada Lembaga
Mediasi.'36 Keputusan untuk mengikuti proses mediasi penal harus
berdasarkan kesukarelaan pihak korban dan pelaku.
Perangkat hukum yang mengatur mediasi penal di N orwegia
terlihat komprehensif karena terdapat dalam peraturan selevel
denganundang-undang dan peraturan pelaksana. Dasar hukum
pemberlakuan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Norwegia
terdapat pada ketentuan berikut:
a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1991 tentang Mediasi dan Konsiliasi yang Diadakan oleh Lembaga Mediasi dan Konsiliasi.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diamendemen tahun 2003 pada Pasal 53 yang secara eksplisit menyatakan mediasi sebagai kondisi khusus untuk menunda persidangan kasus.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 1998, Pasal 67 ayat 4 dan Pasal 71 butir a yang memberikan kewenangan kepada polisi dan jaksa untuk melakukan diskresi merujuk kasus untuk dimediasi jika pelaku mengaku bersa1ah dalam suatu tindak pi dana.
d. Parliamentary Bill (1989-1990) tentang pendirian Lembaga Mediasi Nasional.
e. Surat Edaran J(ejaksaan talJUn 1993 yang menyatakan kasus yang bisa dimediasi adalah tindak pidana pencurian, vandalisme, pencurian, dan kekerasan ringan (minor assaults). Karban dalam kasus tersebutjuga harus ada!teridentiflkasi untuk bisa dimediasi.
f. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang mediasi dan konsiliasi.
g. Peraturan pelaksana lainnya.
Siri Kemeny menyatakan bahwa masuknya mediasi penal ke
dalam sistem peradilan pidana berdasarkan landasan hukum yang kuat
200
mengakibatkan keuntungan dan kerugian. Aspek yang meng-
untungkan adalah sejak awal undang-undang menyatakan pemerintah
bertanggung jawab terhadap pendanaan program mediasi penal. Hal
ini menjamin kontinuitas program dengan lancar. Namun ada dua
kerugian yang ditimbulkan yaitu:
I. Surat Edaran Kejaksaan tahun 1993 tentang pembatasan kasus
yang bisa dimediasi mengakibatkan hanya kasus ringan!minor
yang bisa dimediasi, sementara kasus berat tetap tidak bisa
dimediasi.
2. Mediasi tidak bisa dilaksanakan dalam setiap tahapan proses
peradilan pidana karena hanya sampai sebelum persidangan
perkara.
Dalam Parliamentary Bill ( 1989-1990) ten tang pendirian
Lembaga Mediasi Nasional dinyatakan beberapa prinsip yang
mendasari penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana
Norwegia, yaitu:
a. Memperkuat kemampuan masyarakat lokal dalam mencari solusi sengketa untuk mengembalikan konfiik kepada para pihak tanpa melemahkan pengamanan hukum.
b. Diversifikasi pilihan penyelesaian sengketa da1am sistem peradilan pidana.
c. Penanganan perkara yang cepat dan sederhana. d. Respons yang cepat dan konkret terhadap pelaku. e. Respons yang bersifat mendidik. f. Keikutsertaan para pihak da1am menye1esaikan sengketa. g. Menemukan solusi individual. h. Berkontribusi terhadap resolusi yang nyata terhadap konflik. i. Memberikan perhatian kepada korban, termasuk kemungkinan
untuk mendapat kompensasi dengan cepat.
Siri Kemeny melakukan penelitian tentang perkembangan pe-
201
laksanaan mediasi penal di Norwegia. Pada tahun 200 I ada 5.520
tindak pidana ABH yang ditangani oleh Lembaga Mediasi. Dati total
kasus tersebut, 91% berhasil mencapai kesepakatan dalam bentuk:
kompensasi uang (41%), kerja (21%), rekonsiliasi (21%), kompensasi
uang dan kerja (7%), dan bentuk kesepakatan lain (10%). Jenis kasus
yang paling banyak terjadi adalah vandalisme, pencurian di tempat
belanja, dan kekerasan fisik.
Yang paling banyak menjadi mediator adalah orang yang ber
pendidikan tinggi, seperti guru, pengacara, pekerja sosial, dan
pensiunan polisi. Jarang sekali orang yang berpendidikan rendah
mendaftarkan diri menjadi mediator di Lembaga Mediasi walaupun
tidak ada ketentuan yang mengatur persyaratan untuk menjadi
mediator. Setelah mendaftar, talon mediator wajib mengikuti pelatihan
dasar selama 4 (empat) hari yang lebih banyak berisi keahlian praktis
dalam menghadapi segala macam situasi mediasi kasus. Mediator di
Norwegia berasal dari orang kebanyakan dan melakukan tugas sebagai
sukarelawan dengan bayaran tidak memadai. Oleh karena itu biasanya
mereka mempunyai pekerjaan tetap selain menjadi sukarelawan
mediator
3. Mediasi Penal di Asia
Ada beberapa negara di kawasan ini yang sudah lama
mempraktikkan mediasi sebagai salah satu model keadilan restoratif yang
memang sesuai dengan kearifan lokal dalam menyelesaikan sengketa.
Jepang adalah negara Asia yang terkenal dengan pemakaian konsep
202
keadilan restoratif sejak John Braithwaite mengambilnya sebagai contoh
negara dalam pemikirannya yang terkenal, Reintegrative Shaming.
Keadilan restoratif menjadi dasar dari sistem peradilan pidana negara ini.
Banyak tindak kriminal yang diselesaikan di Jepang dengan diawali
pengakuan bersalah, diikuti dengan permintaan maaf dan usaha perbaikan,
baik berupa restituasi maupun bentuk lain. Dengan melakukan hal
tersebut, tidak hanya pelaku yang melepaskan beban psikologis karena
telah melakukan perbuatan yang salah tetapi juga keluarga dan masyarakat
luas. Mediasi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang
dalam menyelesaikan sengketa, baik perdata maupun pidana.
Di kawasan Asia Tenggara sudah ada beberapa negara yang telah
mendirikan Mediasi di Pengadilan (Court-annexed mediation), di
antaranya Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Filipina mediasi pengadilan
hanya dipakai untuk menyelesaikan perkara perdata. Di Malaysia mediasi
juga dipakai untuk mencari kesepakatan dalam kasus perdata, walaupun
ada sedikit yang terkait dengan yurisdiksi mediasi penal yaitu mediasi
antara korban dan pelaku kecelakaan lalu-lintas.
Di Thailand, selain perkembangan mediasi perdata, dua model
keadilan restoratif yaitu Family Group Conferencing dan mediasi penal
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Alasan yang
mendorong negara ini memakai keadilan restoratif adalah membludaknya
tahanan di luar kapasitas penjara karena kebijakan ketat dalam memerangi
kejahatan narkoba Keadilan restoratif model Family Group Conferencing
cocok dengan budaya Thailand karena itu mulai dipakai dalam menangani
203
ABH sejak tahun 2003. Efektivitas mekanisme ini segera terlihat. Menurut
penelitian Liebmann, dari 11.538 kasus yang ditangani dengan mekanisme
ini sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, hanya 3% ABH yang
mengulangi kejahatan. Bandingkan dengan persentase 1519% ketika
diselesaikan melalui pengadilan.
Pada tahun 2004, Probation Services Thailand memulai proyek
keadilan restoratif di I I kantor mereka yang kemudian berkembang pesat
menjadi 96 kantor dengan menyediakan dua sampai tiga mediator di setiap
kantor .cabang. Untuk model keadilan restoratif berbentuk mediasi penal,
Thailand telah mengadopsinya ke dalam sistem peradilan pidana secara
luas, yaitu untuk semua usia (anak dan dewasa) serta mengakomodasi
ban yak jenis kasus pidana. Perkembangan mediasi penal di Thailand akan
diulas berikut ini.
Mediasi perkara perdata sudah terintegrasi pada sistem peradilan
perdata di Thailand sejak tahun 1994 di Pengadilan Perdata Bangkok.
Setelah program ini mendapat sambutan yang baik dengan ditandai
banyaknya kasus yang dimediasi dan berhasil mencapai kesepakatan,
maka program mediasi di pengadilan didirikan di seluruh pengadilan
Thailand pad a tahun 2003.
Perkembangan mediasi penal di negara ini diawali pada tahun
2007. Pada tahun tersebut, terjadi amendemen Administration Regulation
Act yang menekankan pemakaian mediasi dalam perkara perdata dan
mulai mendayagunakan mediasi penal. Amendemen ini masih terbatas
pada satu kategori yaitu kasus kriminal gabungan (compound case) dengan
204
pengecualian kejahatan seksual. Berdasarkan peraturan baru ini, jika
mediasi penal berhasil mencapai kesepakatan dan pelaku melaksanakan
kewajiban restitusi maka kasus tersebut akan terhindar dari sistem
peradilan pidana. Peraturan baru ini juga memberdayakan kepala daerah
lokal dan sekretarisnya untuk meqjadi mediator. Mediasi penal yang
dilakukan harus berdasarkan kesukarelaan para pihak, yaitu korban dan
pelaku.
Hukum acara perdata Thailand juga memberikan kewenangan
kepada hakim untuk memediasi perkara perdata pada setiap tahap
(sebelum atau pada saat persidangan dimulai) sebelum jatuhnya putusan.
Walaupun hukum acara baru sebatas memediasi perkara perdata, dalam
praktiknya hakim juga memediasi perkara pidana sebatas kejahatan
terhadap property (pencurian, perampokan, vandalisme) dan penipuan
penerbitan cek kosong. ltu pun harus didaftarkan oleh para pihak sendiri
ke pengadilan, bukan kasus yang didaftarkan oleh kejaksaan. Alasannya
adalah kasus tersebut bisa segera dicabut langsung dari dokumentasi
pengadilan bila tercapai kesepakatan antara korban dan pelakum.
Mediasi penal mengalami perkembangan yang signiflkan ketika
Criminal Procedure Code diamendemen pada tahun 2004 yang
menegaskan hak korban berdasarkan konstitusi untuk mendapatkan
kompensasi dari pelaku. Karban dapat mengajukan permohonan kepada
hakim untuk memerintahkan pelaku membayar kompensasi tersebut.
Hakim kemudian dapat mempertemukan kedua belah pihak untuk
menegosiasikan basil yang dapat disepakati bersama.
205
Tanpa ada batasan kasus kriminal yang bisa dimediasi dalam
amendemen peraturan ini, kecuali untuk kasus KDRT (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga), maka banyak pengadilan yang dalam praktiknya
mengeluarkan surat edaran agar hakim mencoba melakukan mediasi penal
terhadap kasus kriminal yang dihadapi. Walaupun tujuan darimedisai
penal di sini adalah untuk menegosiasikan jumlah kompensasi, banyak
kasus yang mempertemukan korban dan pelaku membahas hal-hal di luar
isu kompensasi seperti pengaruh tindakan yang dilakukan terhadap korban,
- rasa pertanggungjawaban pelaku, dan proses penyembuhan.
Saat ini di Thailand ada perkembangan baru dalam penerapan
mediasi penal. Kepolisian negara ini telah mencoba mengusulkan
peraturan yang memungkinkan pemakaian mediasi penal dalam dalam
proses investigasi. Menurut usulan peraturan ini, polisi bisa menjadi
mediator antara korban dan pelaku. Beberapa syarat yang harus dipenuhi
untuk terlaksananya mediasi penal dalam tahap ini adalah: kasus kriminal
gabungan, tindak kriminal terhadap property, dan kasus yang ancaman
pidana kurang dari 5 (lima) tahun. Apabila tercapai kesepakatan, maka
tidak perlu masuk ke pengadilan.
C. Perbandingan Mediasi Penal dengan Diversi dalam Undang-nndang
Sistem Peradilan Pidana Anak
Diversi mulai dikenal sejak tahun 1985 dengan disepakatinya
pertemuan di Beijing yang melahirkan United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Salah
206
satu standar dalam diversi mengacu pada Article 5 Beijing Rules yang
menyatakan: "The juvenile justice ~ystem shall emphasize the well-being of
the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall
always be in proportion to the circumstances of both the offenders and the
offence". Article ini memberikan suatu himbauan seyogyanya sistem
peradilan anak harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anak serta
memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan terhadap pelaku anak
bersifat proporsional. Beijing Rules juga memberikan suatu definisi tentang
diversi yakni remaja atau anak yang menurut sistem hukum setiap negara,
dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda
dari perlakuan terhadap orang dewasa. Pada intinya, Beijing Rules
memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil
tindakan pengalihan pemeriksaan formal yang kemudian dikenal sebagai
diversi.
Di samping itu, instrumen hukum yang paling sering dirujuk adalah
Article 37 Convention on the Rights of the Child (CRC) yang menyatakan
bahwa: "No child shall be deprived of her or his liberty unlawjtilly or
arbitrarily. The arrest, detention or imprisonment of a child shall he in
conformity with the law and shall be used only as a measure of last resort
and far the shariesi appropriate period of time". Pasal ini pada prinsipnya
sangat tidak menyetujui adanya penangkapan, penahanan atau pidana penjara
di mana upaya terse but dapat dilakukan hanya sebagai primum remedium atau
upaya yang sangat terakhir. Sebaiknya anak dijauhkan dan dihindarkan dari
207
adanya perampasan kemerdekaan yang seringkali juga merampas hak-haknya
sebagai anak.
Pasal lain yang menguatkan hal tersebut ialah Article 40 ayat I CRC
yang pada intinya menyatakan agar anak yang bermasalah dengan hukum
dihormati hak dan martabatnya dan agar perlakuan terhadap anak dilakukan
dengan mengingat usia anak serta reintegrasi sosial anak. Selain Beijing Rules
dan CRC, beberapa instrumen internasional yang juga menghindarkan anak
dari pidana perampasan kemerdekaan adalah UN Standard Minimum Rules
for Non-Custodial Measures (dikenal dengan Tokyo Rules), The Beijing
Rules, The Riyadh Guidelines, dan UN Rules for the Protection of Juveniles
Deprived of Their Liberty. Semua instrumen tersebut memuat klausul tentang
pentingnya menghindarkan anak-anak yang berkonflik dengan hukum dari
adanya pidana perampasan kemerdekaan sebagai bentuk perlindungan
terhadap hak-hak anak. Negara-negara yang telah melaksanakan Diversi
• Aturan hukum tentang diversi
FIJI • Digunakan rekonsiliasi dan sedang dikembangkan model musyawarah kelompok keluarga
• Konsiliasi dan mediasi sering digunakan
• UU Peradilan Anak tentang Restratif Justice (2003) termasuk mediasi, konsiliasi, dan
FILIP INA musyawarah kelompok keluarga sebagai alternatif selain pengadilan
• Dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa diversi dapat dilaksanakan pada tingkat desa, polisi, dan kejaksaan
PAPUA NEW UU Diversi berlaku 1991 GUINEA
REPUBLIK LAOS • Mediasi paling sering digunakan
• Re-edukasi ada dalam Hukum Adat
THAILAND • Konsiliasi dan mediasi sering digunakan
• Rencana penyusunan UU Peradilan Anak
208
tennasuk musyawarah kelompok keluarga
TIMOR TIMUR • Mediasi dalam Hukum Adat
• Gereja biasa terlibat dalam proses diversi
Munculnya ide diversi bennula pada suatu pemikiran tentang
pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil
tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah
pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain
mengbentikan atau tidak meneruskanlmelepaskan dari proses peradilan
pidana atau mengembalikan/ menyerahkan kepada orang tua, ma~yarakat dan
bcntuk-bentuk kegiatan pelayanan sosiallainnya. Melalui diversi, maka tidak
setiap perkara pidana yang pelakunya adalah anak secara otomatis langsung
masuk dalam sistem peradilan pidana. Harus diupayakan suatu penyelesaian
konflik melalui forum yang disebut sebagai mediasi penal. Mediasi penal
sendiri merupakan salah satu bentuk altematif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (dikenal dengan istilah ADR atau Altemative Di,pute Resoluiion).
Adapun pengertian Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-
kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal
dengan atau tanpa syarat. Prinsip yang terdapat dalam pelaksanaan program
diversi adalah proses pemidanaan tidak akan diteruskan bagi seorang anak
jika ada alternatif penyelesaian lain untuk perkaranya, kecuali menyangkut
kepentingan umum. Di samping itu prinsip yang lain dalam program diversi
ini ialah hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah
melakukan suatu kesalahan, dan tidak boleh ada pemaksaan di samping itu
pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi, karena struktur dan
mekanisme diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala
209
bentuk. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan
pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang
pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini
dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam
proses peradilan tersebut.
Di bawah ini adalah skema diversi:
Peringatan Informal
Restitusi
DIVERSI
Mediasi ----7 Restorative Justice
Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam
penanganan awal cepat terhadap perilaku menyimpang seorang anak.
Penanganan awal ini juga menghemat biaya yang selama ini merupakan
beban yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat. Manfaat pelaksanaan
program diversi adalah:
I. Membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi sesegera mungkin;
2. Memperbaiki kerugian baik fisik, psikis maupun materi karena kejadian tersebut, baik kepada korban maupun keluarganya dan masyarakat ;
3. Keijasama dengan pihak orang tua ataupun wali; 4. Melengkapi dan membangkitkan anak untuk belajar membuat keputusan
yang bertanggung jawab; 5. Diupayakan untuk dapat memberikan restitusi pada korban; 6. Membuat anak bertanggung jawab atas perbuatannya dan memberikan
kesempatan untuk mempelajari akibat dan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya;
7. Memberikan pilihan bagi pelaku untuk tidak mendapatkan stigma dari masyarakat;
8. Mengurangi beban anggaran dalam proses pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;
9. Pencegahan terhadap teijadinya residivis anak.
210
bentuk. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan
pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang
pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini
dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam
proses peradilan tersebut.
Di bawah ini adalah skema diversi:
Peringalml Informal Restitusi
DIVERS I
Mediasi -----t Restorative Justice
Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam
penanganan awal cepat terhadap perilaku menyimpang seorang anak.
Penanganan awal ini juga menghemat biaya yang selama ini merupakan
beban yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat. Manfaat pelaksanaan
program diversi adalah:
1. Membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi sesegera mungkin;
2. Memperbaiki kerugian baik fisik, psikis maupun materi karena kejadian terse but, baik kepada korban maupun keluarganya dan masyarakat ;
3. Kerjasama dengan pihak orang tua ataupun wali; 4. Melengkapi dan membangkitkan anak untuk belajar membuat keputusan
yang bertanggung jawab; 5. Diupayakan untuk dapat memberikan restitusi pada korban; 6. Membuat anak bertanggung jawab atas perbuatannya dan memberikan
kesempatan untuk mempelajari akibat dan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya;
7. Memberikan pilihan bagi pelaku untuk tidak mendapatkan stigma dari masyarakat;
8. Mengurangi beban anggaran dalam proses pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;
9. Pencegahan terhadap teljadinya residivis anak.
210
Oleh karena itu, diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice
menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan
perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan Pasal 40 Konvensi
Hak Anak, negara diwajihkan untuk mengkaji dan menetapkan undang-
undang yang dapat diterapkan secara khusus terhadap anak-anak yang
disangka, dituduh, atau diakui telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum
pidana, agar menyediakan langkah-langkah penanganan tanpa melalui
pengenaan tindakan hukum.
Beberapa faktor yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pelaksanaan diversi adalah:
I. Sifat dan kondisi perbuatan; 2. Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan; 3. Derajat keterlibatan anak dalam kasus; 4. Sikap anak terhadap perbuatan tersebut; 5. Reaks! orang tua dan/atau keluarga anak terhadap perbuatan tersebut; 6. Dampak perbuatan terhadap korban; 7. Pandangan hakim tentang latar belakang dan penyebab perbuatan
tersebut.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 ada
upaya untuk menyelesaian tindak pidana anak diluar jalur penal atau non
penal yaitu penyelesaian diversi dilakukan dengan musyawarah dengan
melibatkan beberapa pihak baik pelaku, korban, keluarga, masyarakat, dan
lain lain dengan pendekatan restorative justice. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (I) dan ayat (2) Undang-undang Nomor II Tahun 2012
yang mengatur bahwa:
(I) proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
dan orang tua atau wali, korban dan!atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan
211
keadilan restoratif;
(2) dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (I)
dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.
Dengan ketentuan diatas, maka penerapan diversi dalam penyelesaian
setiap perkara dengan pelaku anak-anak merupakan kewajiban bagi para
aparat penegak hukum di setiap proses mulai dari tahap penyidikan,
penuntutan sampai tahap di pengadilan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (I) dan Pasal 7 UU
SPPA. Dalam Pasal 5 ayat (I) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana
Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan
restoratif yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan
Diversi. Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor II Tahun 2012
diatur bahwa:
(I) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi". (2) "Diversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana".
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU SPPA sebagaimana disebutkan,
bahwa Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan
pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan
tindak pidana (residive). Bahkan sebelum memutuskan nntuk melakukan
proses diversi, penyidik, penuntut umurn dan hakim harus
212
mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana yang diatur dalam Pasal9 ayat
(I) Undang-undang Nomor II Tahun 2012 yaitu (a) kategori tindak pidana;
(b) umur anak; (c) basil penelitian kemasyarakatan dan Bapas; dan (d)
dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Hal ini sangat perlu diperbatikan untuk memperkecil potensi
pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Karena seorang
anak tidak boleb merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-
program diversi. Sebingga dalam proses diversi wajib diperbatikan:"
I) kepentingan korban;
2) kesejahteraan dan tanggungjawab anak;
3) penghindaran stigma negatif;
4) penghindaran pembalasan;
5) keharmonisan masyarakat; dan
6) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum?99
Kesepakatan Diversi barus mendapatkan persetujuan korban dan!atau
keluarga Anak Karban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk
tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana
tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat.30° Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan oleb penyidik bersama dengan
pelaku danlatau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat
melibatkan tokob masyarakat.301 Adapun basil kesepakatan diversi tersebut
dapat berbentuk: (I) perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; (2)
299 Pasa18 ayat (3) UU No. II Tahun 2012 300 Pasal 9 ayat (2) UU No. II Tahun 2012 301 Pasal 10 ayat (I) UU No. 11 Tahun 2012
213
penyerahan kembali kepada orang tua/wali; (3) keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; (4) pelayanan
masyarakat. 302
Setelah teljadi kesepakatan antara pihak yaitu pelaku dan korban,
maka selanjutnya kesepakatan diversi jersebut dituangkan dalam penetapan
diversi yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal ini
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor II Tahun
2012 yang menyebutkan bahwa.
I. Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.
2. Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) disampaikan o1eh atasan 1angsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
3. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
4. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
5. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian pendidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Ketentuan diatas khususnya ayat (2) jelas bahwa basil Diversi harus
disampaikan oleh atasan langsung yang bertanggung jawab disetiap tingkat
pemeriksaan (artinya dalam proses penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan dipersidangan) kepada Pengadilan Negeri untuk diterbitkan
Penetapan dan secara institusional pejabat yang berwenang menerbitkan
Penetapan adalah Ketua Pengadilan Negeri didaerah hukumnya.
302 Pasal ll UU No. ll Tahun 2012
214
Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan, Penyidik dan Penuntut
Umum harus menyampaikan hasil diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang untuk selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menerbitkan penetapan
dan berdasarkan penetapan tersebut, maka Penyidik akan menerbitkan
penetapan penghentian penyidikan, sedangkan Penuntut Umum akan
menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Peneliti juga mengidentifikasi perbandingan antara proses diversi
yang telah diatur dalam UU No. II tahun 2012 dengan konsep mediasi penal
berdasarkan praktik yang akan diatur selanjutnya, antara lain:
Perbedaan Diversi dengan Mediasi Penal
No Kriteria Diversi Mediasi Penal
I Ancaman - 7 (tujuh) tahun kebawah\ - 7 (tujuh) tahun atau keatas
Hukuman - Bukan Pengulangan - Diutamakan kualifikasi
ringan
2 Pelaksana Fasilitator/ Wakil Fasilitator Mediator/Wakil Mediator
3 Fungsi F asilitator berperan secara Mediator berperan secara aktif
Pelaksana pas if dengan memberikan wacana,
nasihat dan membantu mencari
altematif solusi
4 Mekanisme - Dilaksanakan oleh - Penyidik dilakukan setelah
Penyidik, Penuntut BAP, Penuntut Umum
Umum, Pengadilan dilakukan pada saat
pelimpahan berkas perkara
tahap dua, sedangkan di
215
pengadilan mediasi
dilakukan setelah
pemeriksaan anak (pelaku)
sebelum pembacaan
tuntutan.
- Dialihkan keluar Sistem - Terintegrasi dalam hukum
Peradilan Pidana Anak acara Sistem Peradilan
(non penal) Pidana Anak (penal)
5 Hasil Diserahkan kepada Ketua Hasil kesepakatan mediasi
I
Kesepakatan Pengadilan untuk ditingkat penyidikan dan
mendapatkan penetapan penuntutan serta di Pengadilan
diversi. menjadi pertimbangan dalam
tuntutan dan putusan. I
6 Keluaran Apabila isi kesepakatan Kesepakatan mediasi
(Output) diversi telah dilaksanakan dipertimbangkan dalam
berdasarkan laporan PK tuntutan untuk menuntut
BAPAS maka ditingkat berupa tindakan dan
penyidikan , dikeluarkan dipertimbangkan dalam
SP3, ditingkat Penuntutan putusan berupa tindakan atau
dikeluarkan SKP2, dan di pidana yang seringan-
tingkat pengadilan ringannya (pidana bersyarat)
dikeluarkan perintah kasuistis.
penghentian Penuntutan.
216
Persamaan Diversi dengan Mediasi Penal
No Kriteria Diversi Mediasi Penal
I Tujuan - Memulihkan Pelaku, - Memulihkan Pelaku,
Korban, dan Masyarakat Korban, dan Masyarakat
2. Asas - Musyawarah mufakat - Musyawarah mufakat
3. Pihak-pihak - Korban, Pelaku, Korban, - Korban, Pelaku, Korban,
dan Perwak:ilan dan Perwak:ilan Masyarakat
Masyarakat
--
D. IMPLEMENTASI MEDIAS! PENAL DALAM BEBERAPA PUTUSAN
PERKARA PIDANA ANAK
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 (dua) putusan
sebagai bahan penelitian dengan mengacu pada putusan Pengadilan Negeri
Cibinong.
I. Putusan Pengad ilan Negeri Cibinong No. 128/Pid .SUS/20 14/PN .Cbn
Dalam Putusan tersebut, hakim menyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 310 ayat (4) dan ayat (2) UU Rl No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana didakwa oleh Penuntut Umum
yang didukung oleh bukti-bukti yang terungkap di persidangan.
Hakim mendasarkan putusannya tersebut dengan telah mempertimbangkan
rekomendasi dari BAP AS berik"llt,
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim Pengadilan Negeri Cibinong telah memperhatikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyaraakatan atas nama AT. Setelah PK BAP AS mendengar keterangan keluarga korban, saksi korban dan Terdakwa juga an tara keluarga Terdakwa
217
I
dan keluarga korban telab dilakukan musyawarab (mediasi penal) di ruang mediasi dan telab labir Kesepakatan Perdamaian untuk sating memaafkan dan tidak ada keberatan dalam penyelesaian secara musyawarah dengan tujuan untuk melindungi hak anak sebagai generasi bangsa supaya Terdakwa yang masih berusia anak dapat mewujudkan cita-citanya apabila Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah, maka Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS merubab rekomendasi dipersidangan agar Terdakwa dikembalikan kepada orangtuanya dibawah pengawasan BAPAS hingga dewasa.303
Selain itu Hakim juga temyata memperhatikan konvensi Intemasional,
Hakim juga mempertimbangkan salah satu Negara yang meratifikasi konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) tahun 1990, dengban Keppres No. 36 Tabun 1990, maka Negara Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasalpasa!nya, khusunya yang mengatur pemidanaan terhadap Anak bermasalab hukum berdasarkan acara persidangan, dengan pendekatan "Restorative Justice" yang menitik beratkan pada pemulihan kondisi, baik dari segi kejiwaan, tumbuh kembang anak serta kehidupan dan demi kepentingan terbaik baik bagi anak serta masa depan anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Sagai implementasi dari konvensi hak-hak anak yang Ielah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia tersebut Ielah lahir UndangUndang No. 23 Tabun 2002 Tetang Perlindungan Anak dan Ielah diamanatkan pula dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa penangkapan, penabanan atau Pidana Penjara Anak hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai Upaya Terakhir (The Last Resort), hal ini Ielah pula dipertegas oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL (mantan Ketua Mahkamah Agung RI) yang menyatakan bahwa "Pemidanaan Anak agar dihindarkan dari Penjara Anak''?04
Hakim juga memperhatikan Sural Keputusan bersama yang Ielah di buat
oleh beberapa instansi terkait,
Babwa dengan memperhatikan pula amanat Sural Keputusan Bersama Ketua MA-RI,Jaksa Agung RI,Kapolri,Menteri Hukum dan Ham RI,Menteri Sosial RI,Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, No.I66/KMA/SKBIXII/2009tanggal 22/12/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum melalui pendekatan Restorative J ustice,maka HakinJ telah men gambit
303Putusan No. 128/Pid.SUS/2014/PN.Cbn, him. 22 304ibid, him. 24
218
langkah-langkah rrlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan Hukum.30
Mediasi yang telah dilakukan oleh beberapa pihak telah menghasilkan
surat Peryataan Bersama yang berisi antara lain,
Para pihak sepakat dan menyadari kecelakaan tersebut adalah sebagai musibah. Pihak Terdakwa telah memberikan santunan kepada istri mkorban berupa uang tunai dengan jumlah keseluruhan Rp. 6.425.000. Pihak istri korban yang meninggal menerima kesepakatan dengan pihak dan memohon untuk pihak Kepolisian tidak melanjutkan perkara kecelakaan lalu lintas ini kepada pihak Kejaksaan dan pihak Pengadilan dan diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak Terdakwa memberikan bantuan pengobatan dan perawatan yang sejumlah Rp. 2.200.000. dan tidak akan menuntut secara hukum baik pidana maupun perdata. Terdakwa juga telah mengakui, menyesal, bahkan telah meminta maaf kepada pihak keluarga almarhum dan kepada korban dan tidak akan menguiklangi lagi perbuatan yang sangat merugikan orang dan akan selalu berhati-hati, Terdakwa ingin menjadi anak yang sukses dan ingin melanjutkan sekolah lagi, dan akan kembali tinggal dengan kakak kandungnya yang telah berjanji di ruang mediasi bahwa akan menanggung biaya sekolah Terdakwa.306
Akhirnya Hakim memberikan hukuman dengan menjatuhkan tindakan
terhadap Tcrdakwa AT untuk dikcmbalikan kcpada orangtualwalinya
dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor sampai dengan Terdakwa
dewasa.
2. Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No. 140/PN/Sus/2013/PN.Cbn.
Putusan dengan inisial Anak yang Berkonflik dengan I-lukum INL
didakwa oleh Kejaksaan Negeri Cibinong terhadap perbuatan melanggar
ketentuan Pasal 372 KUH Pidanayang diancam pidana dalam Pasal 378
KUHPidana.
305ibid, him. 25. "
16ibid, him. 26
219
Hakim dalam putusannya telah secara tegas mempertimbangkan mengenai
keadilan restoratif dengan menyampaikan bahwa,
Restorative Justice adalah suatu penyelesaian sengketa secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secata bersama-sama mencari penyelesaian tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan bukan pembalasan. Selain itu, penangkapan, penahanan atau pidana peqjara anak hanya dapat dilakukan abita sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai Upaya Terakhir (The Last Resort)307
Hakim juga memperhatikan hasil kesepatakan hasi Forum Mediasi yang
menyepakati beberapa hal berikut,
Ibu kandung Terdakwa telah mendatangi pihak keluarga korban dan telah meminta maaf kepada keluarga korban atas kelakuan Terdakwa. Pihak korban tidak akan menuntut atau memperpanjang perkara yang sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Cibinong dan selanjutnya mempersilahkabn proses hukum dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Hakim. Pihak keluarga Terdakwa dengan ini akan memberikan bantuan biaya yang sudah keluarga korban keluarkan dalam mengurus perkara ini dengan kemampuan dari pihak keluarga Terdakwa yaitu sebesar Rp.l.200.000dan pihak pihak keluarga korban dengan ikhlas akan menerimanya. Pihak lbu Terdakwa merasa menyesal karena tidak bisa mendidik anaknya dan beljanji akan segera mendidik dan memperhatikan anaknya tersebut dengan penuh kasih sayang. Terungkap pula bahwa Terdakwa saat ini mengandung/hamil 4 bulan dan akhimya lakilaki yang menghamili Terdakwa bertanggungjawab, sehingga saat ini Terdakwa telah menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. 308
Dalam putusan tersebut, hakim memberikan putusan bahwa, Terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didukung dengan bukti-bukti yang terungkap di persidangan, kemudian hakim menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUH Pidana dan Pasal 378 KUH Pidana, maka dalam putusannya menyatakan INL bersalah melakukan tindak pidana penggelapan; menjatuhkan tindakan INL mengembalikan kepada orang tuanya I walinya di bawah
307Putusan Pengadiian Negeri Cibinong No. 140/PN/Sus/2013/PN.Cbn., him. 23 308ibid, him. 24
220
pengawasan BAPAS kelas II Bogor sampai dengan terdakwa dewasa; memerintahkan barang bukti dikembalikan kepada saksi; dan menghukum terdakwa untuk membayar perkara sebesar Rp. 1.000.309
Terhadap putusan PN Cibinong tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum
menyataka.t1 banding dengan dasar pertimbangan Hakim telah memutuskan
dan menghukum terdakwa dengan mengembalikan kepada orang tua
terdakwa dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor sampai dengan
terdakwa dawasa. Dalam putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No.
389/Pid.Sus/2013/PT. Bdg menyatakan menolak dan bahkan mengukuhkan
Putusan PN. Cibinong dengan alasan bahwa perbuatan yang dilakuka.t! oleh
Anak yang Berkonflik dengan Hukum telah memenuhi unsur-unsur
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUH Pidana dan Pasal 378
telah terbukti.
Undang-Undang No.I I tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
menuntut rcorientasi tujuan pemidanaan yang berdampak pada bekerjanya
Sistem Peradilan Pi dana Anak. Dirumuskannya tujuan "restorative justice"
dan mekanisme diversi yang diakui sebagai mekanisme penanganan pidana
yang dilakukan oleh anak menuntut kinelja sub sistem peradilan pidana
mengubah orientasinya. Betapa tidak bila mengacu pada tujuan bekeljanya
sistem radilan pidana maka penggunaan pendekatan restorative sebagai tujuan
pemidanaan menyebabkan bekeljanya sistem ini harus keluar dari "track-
nya11•
Membandingkan pencapaian tujuan pemidanaan dengan menggunakan
pendekatan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana yang ada pada
'09ibid, him 27.
221
saat ini sungguh menunjukkan suatu hal yang sangat berbeda. Disatu pihak
otoritas negara yang penuh atas pemidanaan melahirkan sistem peradilan
pidana yang hanya berorientasi pada penyelesaian perkara pidana lewat satu
jalur yaitu melalui proses peradilan pidana. Sementara keadilan restoratif,
dengan paradigma yang dikembangkannya membuka peluang adanya
alternatif penyelesaian perkara pidana melalui jalur lain diluar sistem
peradilan pidana, antara lain jalur mediasi dan rekonsiliasi secara langsung,
bebas dan mandiri dalam menentukan model penyelesaian perkara pidana
yang dianggap paling baik dan adil.310 Dengan pendekatan ini, maka
penyelesaian perkara pidana tidak lagi menjadi monopoli negara melainkan
juga menjadl bagian dari kewenangan masing-masing individu untuk meneari
mekanisme dan solusi terbaik atas masalah yang dihadapinya.
Membandingkan pendekatan keadilan restoratif dengan sistem peradil-
an pidana yang ada pada saat ini sungguh menunjukkan suatu hal yang
bertolak belakang. Disatu pihak otoritas negara yang penuh atas pemidanaan
melahirkan sistem peradilan pidana yang hanya berorientasi pada
penyelesaian perkara pidana Iewat satu jalur yaitu melalui proses peradilan
pidana. Sementara keadilan restoratif, dengan paradigma yang
dikembangkannya membuka peluang adanya alternatif penyelesaian perkara
pidana melalui jalur lain diluar sistem peradilan pidana, antara lain jalur
mediasi dan rekonsiliasi secara Iangsung, bebas dan mandiri dalam
menentukan model penyelesaian perkara pidana yang dianggap paling baik
310 Antonius Cahyadi menyatak:an bahwa konstruksi pemikiran ini san gat nyata dalarn lindale pidana kekerasan dalam rumah tangga, ketika lindale pidana terjadi dalam rumah tangga di mana pelaku dan korban terikat oleh hubungan perkawinan. Antonius Cahyadi., Namun legitimasi terhadap kasus-kasus KDRT menjadi tidale ada karena peraturan perundang-undangan belum memberikan kemungkinan penanganan perkara ini diluar Sistem Peradilan Pidana. Antonius Cahyadi Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
222
dan adil. Dengan pendekatan ini, maka penyelesaian perkara pidana tidak lagi
menjadi monopoli negara melainkan juga menjadi bagian dari kewenangan
masing-masing individu untuk meneari mekanisme dan solusi terbaik atas
masalah yang dihadapinya.Ketentuan dalam UU SPPA pada dasarnya hanya
merupakan pengukuhan atas sistem hukum yang selama ini hidup dan
mengakar pada masyarakat.
Di Indonesia, paradigma yang ditawarkan oleh keadilan restoratif dalam
prakteknya bukan merupakan hal yang sama sekali baru. Praktek
penyelesaian sengketa non adversary atau di luar proses peradilan pidana,
dalam kenyataannya sudah diterapkan masyarakat sebagai cerminan dari
lembaga musyawarah mufakat yang menjadi bagian dari filosofis bangsa
Indonesia. Realita menunjukkan bahwa penyelesaian suatu konflik didalam
masyarakat Indonesia, meskipun merupakan suatu pelanggaran perundang
undangan pidana, tidak selalu berakhir di pengadilan. Kasus-kasus ringan
seperti kenakalan anak, pencurian ringan, bahkan sampai pada penganiayaan
dan perkosaan ternyata juga dapat diselesaikan melalui lewat lembaga
musyawarah ini dengan atau tanpa melibatkan petugas terkait. Tak jarang kita
mendengar peran aparat seperti ketua rukun tetangga (R T) a tau rukun warga
(R W) atau kepala dusun atau kepala kampung menjadi penentu dari
penyelesaian perkara-perkara dimaksud. Melalui lembaga-lembaga dimaksud
maka peran Negara sebagai mediator atau fasilitator justru dengan baik
dimainkan oleh lembaga-lembaga ini dibandingkan dengan otoritas lembaga
dalam sub sistem peradilan pidana seperti polis~ jaksa atau bahkan hakim
yang kerap hanya memainkan peran sebagai lembaga pengadilan dan
eksekutor/pelaksana hukuman yang kadang menganggap tidak perlu
mempertanyakan apakah putusannya rela memberikan keadilan pada pelaku
223
dan korban atau tidak.
UU SPPA meneoba membangun suatu sistem yang mampu
memberikan dasar hukum yang lebih kokoh atas mekanisme hukum yang ada
dengan mewadahinya dengan suatu mekanisme dalam ketentuan perundang-
undangan. Ini merupakan jalan keluar bagi mekanisme yang rela bekelja
dalam masyarakat dengan melibatkan penegak hukum sebagai bagian dari
bekerjanya sistem ini. Adapun perubahan orientasi dan tujuan pemidanaan
dapat tergambar dari matriks berikut:
Retributive Justice Restitutive Restorative Justice Justice
Menekankan keadilan Menekankan Menekankan keadilan pada pad a pembalasan keadilan perbaikan/pemulihan keadaan. Anak di posisi sebagai pemberian Berorientasi pada korban objek Penyelesaian ganti rugi Memberikan kesempatan pada berrnasalah hukum pelaku untuk mengungkapkan tidak seimbang rasa sesalnya pada korban dan
sekaligus bertanggungjawab. Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu untuk mengurangi perrnusuhan dan kebencian. Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat Melibatkan anggota masyarakat . dalam uoava oemulihan.
Dalam Undang-undang ini keadilan restoratif dimaknai sebagai
penyelesaian perkiira tiridak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku!korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadan semula dan bukan pembalasan?11 Berdasarkan Pasal I angka 6 UU
SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara
311Pasal5 UU 11/2012
224
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
Sebagaimana diamanatkan dalam Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ)atau yang lebih dikenal dengan
Beijing Rule, bahwa dipandang penting adanya jaminan bagi aparat penegak
hukum untuk mengarnbil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalarn menangani
atau menyelesaikan masalah dan kejahatan yang melibatkan anak, dengan
tidak mengarnbil jalan formal, seperti menghentikan atau tidak meneruskan
melalui proses peradilan pidanaatau mengembalikan/ menyerahkan kepada
masyarakat atau orang tua dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial
lainnya. Tindakan-tindakan Kebijaksanaan tersebut ditegaskan dalam Rule
11.1 dan 11.2 SMR-JJ (Beijing Rule) di bawah judul Diversion.
Diversi pada hakikatnya juga mempunyai tujuan agar anak terhindar
dari dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap
menjarnin anak turnbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental.
Dengan demikian, maka juga dapat dikatakan, bahwa pada dasarnya diversi
mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan terhadap anak. Relevansi
antara diversi dengan tujuan pemidanaan bagi anak nampak dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Diversi sebagai pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non
yustisial bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana
yang seringkali memberikan pengalarnan yang pahit berupa stigmatisasi
225
berkepanjangan, dehumanisasi dan menghindarkan anak dari kemungkinan
terjadinya prisonisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap
anak. Demikian juga tujuan pemidanaan bagi anak adalah untuk tetap
memberikan jaminan kepada anak agar tumbuh dan berkembang baik
secara fisik maupun secara mental.
2. Perampasan kemerdekaan terhadap anak, baik dalam bentuk pidana
penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalui mekanisme
peradilan pidana memberikan pengalaman yang traumatis terhadap anak,
sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan j iwanya.
Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi
bayangbayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah untuk dilupakan.
3. Apabila ditinjau secara teoretis dari konsep tentang tujuan pemidanaan,
maka pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial
terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika akan terlihat
relevansinya sebagai berikut.
a. Secara umum tujuan pemidanaan pada hakikatnya terdiri dari upaya
untuk melindungi masyarkat di satu sisi dan melindungi individu
(pelaku) di sisi yang lain312• Relevansi pengalihan proses dari proses
yustisial.. menuju proses non yustisial dalam penanggulangan
penyalahgunaan narkotika oleh anak terhadap dua aspek pokok tujuan
pemidanaan tersebut, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek
perlindungan individu dapat dijelaskan sebagai berikut:
I) Dengan pengalihan tersebut, maka anak akan terhindar dari
312 Barda Nawawi Arief, Op.Cit .• him. 94.
226
penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan
sebagai salah satu faktor kriminogen. Dampak negatif penerapan
hukum pidana, termasuk kepada anak, akan melahirkan stigmatisasi
maupun dehumanisasi yang justru dapat menjadi faktor kriminogen.
Dengan demikian, maka menghindarkan anak dari penerapan hukum
pidana (depenalisasi) justru dapat menghindarkan adanya faktor
kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dari kemungkinan
menjadi jahat kembali (residivis), oleh karenanya juga berarti
menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban ak:ibat
kejahatan.
2) Dengan pengalihan tersebut juga akan memberikan dua keuntungan
sekaligus terhadap individu anak. Pertama, dengan pengalihan
tersebut anak akan tetap dapat melakukan komunikasi dengan
lingkungannya, sehingga dengan demikian anak tidak perlu lagi
melakukan readaptasi sosial pasca teijadinya kejahatan. Kedua,
dengan pengalihan itu juga anak akan terhindar dari kemungkinan
dampak negatif prisonisasi yang seringkali merupakan sarana "trans
fer" kejahatan.
b. Dalam perkembangannya, hukum pidana juga perlu memperhatikan
korban kejahatan. Orientasi hukum pidana yang hanya cenderung pada
persoalan perbuatan (pidana) dan pelaku (daad-dader strafrecht) telah
melahirkan konstruksi hukum pidana yang tidak respec terhadap
korban. Padahal dalam konteks, anak sebagai orang yang melakukan
penyalahgunaan narkotika, ia tidak dapat semata-mata dilihat sebagai
227
pelaku, tetapi ia juga harus dilihat sebagai korban yang membutuhkan
prioritas pengentasan dari ketergantungannya dengan narkotika.
c. Pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisialjuga
sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang dianut pada umumnya
yaitu falsafah pembinaan (philosopy treatment). Dengan demikian,
pengalihan proses dari yustisial menuju proses non yustisial juga
mempunyai relevansi dengan transformasi konseptual dalam sistem
pidana dan pemidanaan yang teJjadi di dunia pada umumnya dari
konsepsi retribusi ke arab konsepsi reformasi313•
BekeJjanya lembaga peradilan dalam proses peradilan pidana
berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Proses peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada pelaku
tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi
terpidana maupun hak-haknya sebagai tersangka atau pun terdakwa sangat
dilindungi oleh KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan
pidana sesuai KUHAP adalah Offender Minded/Offender Oriented Criminal
Justice Process. Oleh karena sangat berfokus pada kepentingan pelaku tindak
pidana maka kepentingan korban (victim's interests) tidak mendapat tempat di
dalam KUHAP. KUHP sebenarnya telah mengatur kepentingan korban untuk
memperoleh ganti kerugian kepada pelaku melalui keputusan hakim yang
berupa pidana bersyarat, di mana mengganti kerugian kepada korban
dijadikan sebagai syarat khususnya. Namun demikian karena hanya sebagai
syarat khusus dari pidana bersyarat maka seringkali tidak diterapkan oleh
313 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang BentukBentuk Pidana Dalam Tradisi /<lqh dan Re/avansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Penerbit Angkasa Bandung, 1996, him. 167.
228
hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat, sehingga tidak efektif
pelaksanaannya.
Dewasa ini perkembangan intemasional dalam konsep peradilan pidana
dan prosedur penanganan kasus pidana di beberapa negara telah dikenal
adanya mediasi penal (penal mediation, mediation penali; mediation in
criminal matters, Victim - Offender Mediation) yang merupakan bagian dari
sistem peradilan pidana. Mediasi yang sebelumnya hanya dikenal dalam
hukum perdata, telah sering digunakan di beberapa negara untuk
menyelesaikan perkara-perkara pidana. Mediasi penal merupakan bentuk
perwujudan dari konsep restorative justice, yang hendak memulihkan hak-
hak korban. Dalam mediasi penal penyelesaian kasus pidana dilakukan tanpa
melalui proses peradilan pidana formaVtradisional karena itu dikenal sebagai
Penal Mediation atau Victim- Offonder Mediation (YOM), Offender-victim
Arrangement (OVA), atau Mediation in Criminal Matters, atau dalam bahasa
Jerman Der Aujlergerichtliche Talausgleich" (ATA314) dan dalam istilah
Prancis disebut "de mediation penale". Tiiter Opfer-Ausgleich (TOA).
Dalam penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama
dengan yang kita kenai diskresi (discretion) yang dimiliki oleh lembaga
sistem _peradilan pidana kita, seperti kepolisian dan kejaksaan untuk
menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak meneruskan sebagian kasus
tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi
yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih
mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan
314 Ui Austria terdiri dari ATA-J (Ariflergerichllicher Talausgleichfur Jugendliche) untuk anak, dan ATA-E (Aujlergerichtlicher Talausg/eichfor Erwachsene) untuk orang dewasa.
229
korban, sehingga tercapai win win solution yang menguntungkan pelaku
tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan
secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan
tuntutannya sehingga dihasilkan perdamaian para pihak. Melalui mediasi
penal proses penanganan perkara dilakukan dengan transparan sehingga dapat
mengurangi permainan kotor yang seringkali teijadi dalam proses peradilan
pidana tradisional.
Mediasi penal telah dilakukan negara-negara oleh antara lain Amerika,
Kanada, San Fransisco, Italia, Belgia, Austria, Prancis, dan Jerman. Jika
digali beberapa daerah di Indonesia di mana peradilan adat masih
dipertahankan keberadaannya seperti di Papua, Bali, dan Aceh melalui
peradilan pidana adat praktik mediasi penal diterapkan dalam menyelesaikan
perkara pidana. Namun demikian sebagai sebuah lembaga penyelesaian
perkara pidana, mediasi penal belum populer dilakukan dalam menyelesaikan
perkara pidana sebagai bagian dari proses peradilan pidana di Indonesia
Sementara itu dengan masih digunakannya peradilan pidana tradisional,
proses peradilan dilakukan dalam proses yang panjang, melalui tahapan
tahapan pemeriksaan dari pemeriksaan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Dengan tahap-tahap pemeriksaan tersebut, maka diperlukan
waktu yang panjang, biaya dan tenaga yang besar untuk satu kasuslperkara
pidana. Keadaan seperti ini menyebabkan timbulnya beban penumpukkan
perkara pidana bagi lembaga pengadilan.
Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal,
sebagaimana telah dipraktikan di beberapa negara, maka diperlukan upaya
230
berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana
Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Jndonesia.Mediasi
penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice, yaitu
konsep yang memandang kejahatan secara lebih luas. Konsep ini memandang
bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya sekadar urusan pelaku
tindak pidana dengan negara yang mewakili korban, dan meninggalkan
proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara (Jaksa penuntut
umum). Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk
memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang
dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran
paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana.
Mediasi penal menurut European Forum For Victim Service
digambarkan sebagai process which involves contact between the victim and
the offender, either directly or through the mediator. The process of
mediation is generally regarded as part of the broader issue of restorative
justice. 315Sementara itu Undang-Undang Acara Pidana di Belgia the Belgian
Law of 22 June 2005 menggambarkan mediation in criminal matter"as a -
process that allows people involved in a conflict to have voluntary, active
participation in a fully confidential process for solving difficulties that arise
from a criminal offence, with the help of a neutral third person and based on
a certain methodology. The goal of mediation is to facilitate communication
315Stalement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the Executive Committee of the Europea 11 Forum for Victim Services, November 2003.
231
and to help parties to come to an agreement by themselves concerning
pacification and res tara lion."
Kecenderungan dalam perkembangan hukum pidana dan pemidanaan
serta pembaharuan peradilan pidana baik dalam teori maupun praktik, lebih
dikembangkan bentuk rekonsiliasi atau mediasi dalam penyelesaian perkara
pidana. Hal ini mengingat secara etik, tren ini bersandar pada asas
pertanggung jawaban individu, dalam hukum pidana substantive, dengan
mengacu pada pengambilan pertanggungjawaban pelaku terhadap sanksi
pidananya, dalam hukum pelaksanaan sanksi. Metode altematif resolusi
kesepakatan ini juga memberikan lebih besar kepentingan korban dan
membuat ruang bagi manajemen konflik rasional. Mengingat pandangan etik
pula sebuah reaksi terhadap sebuah tindak pidana adalah sebuah kejahatan
tersendiri, tapi tidak diperlukan timbulnya kerugian atau luka baru terhadap
pelaku tindak pidana.316
Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihak-pihak yang
menginginkan untuk merekonstruksi model peradilan pidana yang sangat
panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat posisi korban dan
mencari altematif pidana, serta mencari cara untuk mengurangi kerugian dan
beban berat pada sistem peradilan pidana mengingat sistem ini lebih efektif
dan efisien?17
316oieter Rossner, Mediation as a Basic Element ofCrimeContro/: Theoretical and Empirical Comments, www.buffalo university journal.
317Recommendalion No. R (99) 19. (the Committee of Ministers of the Council of Europe) 15 September 1999.
232
Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip
kelja (working principles) sebagai berikut.318
a. Penanganan konflik (Conflict Hand/ing!Konf/iktbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pad a kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut sehingga mediasi penal dapat dikatakan menyelesaikan perkara secara menyeluruh.
c. Proses informal (!'!formal Proceeding- Iriforma/itiit): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation- Parteiautonomie/Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri, dengan suka rela dalam menyelesaikan perkara pidananya
Sementara itu European Forum For Victim Service memberikan Guiding
Principles dalam mediasi sebagai berikue 19:
a. Mediation requires the ii1Volvement of the victim and it is therefore important that their interests are considered fully;
b. Mediation processes should only be used with free and informed consent of the parties and the parties should be able to 1-vithdraw consent at any time;
c. Victim/ offender mediation in criminal cases is different from similar processes of mediation in other areas of life- the mediation process must include the offinder accepting responsibility for his act and the acknowledgement of the adverse consequences of the crime for the victim;
d. It is vital that the mediator and everyone ii1Volved in the mediation process has received appropriate training on the special issues
318Stefanie Trankle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in VictimOffender Mediation-a Microsocio/ogica/ Study of a Paradoxical Procedure Based on Exomp/es of the Mediation Process in Germany and France, http:ffwww.iuscrim.mpg.de/ orschlkrimf traenkle e.htrnl.
3~Statement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the Executive Committee oft he European Forum for Victim Senvices, November 2003.
233
concerning victims of crime which will be relevant to the mediation process.
Berdasarkan pengalaman dalam praktik mediasi penal yang
dikembangkan di North Carolina yang pelaksanaannya didasarkan pada G.S.
7 A-38.30 and the Supreme Court's Rules Implementing Mediation in Matters
Pending In District Criminal Court, alasan-alasan dipilihnya mediasi karena
beberapa keuntungan yang dinyatakan sebagai berikue20:
There are many reasons why you should consider mediation. Mediation is usually less stressfUl and time consuming than a trial. You will not have to take the stand and testifY, nor will you have to bring witnesses. You don't even need a lawyer. Mediation offers you and the other party(ies) the opportunity to be in control of the outcome of your dispute. Some research indicates that people are more likely to follow through on agreements that they make as opposed to ones forced upon them by a court. lf you arc a defendant, a successfUl mediation may mean thot you can avoid a criminal record and more expensive fines and costs. lf you are a complaining witness, an opportunity to sit down with others involved in the dispute and work out your conflicts may provide more satisfaction than a judge's verdict. Sometimes mediation can help bring people together. lf those involved in a dispute are relatives, neighbors, or were once friends, talking about and working through conflict can often be an important first step in repairing damaged relationships. People may be angry or hurt when they come to mediation and the mediator(s) will try to help everyone understand the differing perspectives of those involved in the conflict. When underlying causes of a conflict are broughJ to light, people ofterz settle the case at hand and also learn how to avoid fUture conflicts.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan keuntungan-
keuntungan mediasi penal adalah sebagai berikut :
a. Keuntungan mediasi bagi korban, tekanan berkurang dibanding jika berperkara di pengadilan, tidak perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan mendapat kesempatan untuk mengkontrol hasilnya;
b. Bagi pelaku tindak pidana dapat diuntungkan karena terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan, atau denda dan biaya-biaya perkara yang lebih besar;
32° Frequently Asked Questioru about Criminal District Court MediaJion, www. nmnc. orglpg 1. cfm.
234
c. Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali hubungan an tar tetangga, ternan, dan saudara jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan pelajaran bagi pelaku untuk menghindari konflik di masa mendatang.
Dalam "Explanatory memorandum" dari Rekomendasi Dewan Eropa
No. R (99) 19 tentang "Mediation in Penal Matters': dikemukakan beberapa
model mediasi penal sebagai berikut'l21:
a. Model "informal mediation"
1) Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pi dana (criminal justice
personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU
(Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk
melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan
penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Mediator dapat dilakukan oleh
pekelja sosial atau pejabat pengawas (probation officer) atau pejabat
polisi atau Hakim.
2) Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
b. Model "Traditional village or tribal moots"
Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan
konflik pidana di antara warganya.
I) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah
pedesaan/pedalaman;
2) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas;
3) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi
kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi
321Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.
235
modem sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari
pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan
struktur masyarakat modem dan hak-hak individu yang diakui menurut
hukum.
c. Model "victim-offender mediation"
I) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling
sering ada dalam pikiran orang;
2) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri
oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini.
Mediatomya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen,
atau kombinasi;
3) Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap
pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau
setelah pemidanaan;
4) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana,
ada yang khusus untuk pelaku anak, ada yang untuk tipe tindak pidana
tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada
yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada
juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
d. Model "Reparation negotiation programmes"
I) Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi atau
perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada
korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.
236
2) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak,
tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.
3) Dalam model ini pelaku tindak pi dana dapat dikenakan program keija
agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugilkompensasi.
e. Model "Community panels or courts"
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel
dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f. Model "Family and community group conferences"
I) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana.
Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga
keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu
(seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban.
2) Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang
komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk
menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
Dalam teori restorative justice keberadaan dan kedudukan korban
diakui dan korban dilibatkan dalam proses yang akan memberikan hasil
berupa pemulihan atau perbaikan alas kerugian yang dideritanya sebagai
akibat perbuatan pelaku, biasanya proses ini dilakukan melalui mediasi penaL
237
Konsep restorative justice merupakan konsep yang memperbaiki
peradilan pidana tradisional dengan keuntungan dan pergeseran konsep
sebagai berikuf22:
I) it views criminal acts more comprehensively: rather than defining crime only as lawbreaking, it recognizes that offenders harm victims, communities and even themselves.
2) it involves more parties: rather than giving key roles only to government and the offinder, it includes victims and communities as well.
3) it measures success diffirently: rather than measuring how much punishment has been inflicted, it measures how much harm has been repaired or prevented
4) it recognizes the importance of community involvement and initiative in responding to and reducing crime, rather than leaving the problem of crime to the government alone.
Restorative justice adalab konsep penyelesaian masalab-masalab
kejabatan secara lebih menyeluruh, hal ini dapat dilihat dari program-program
dalam proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan konsep restorative
justice yang berupa323:
I) victim-offender reconciliation/mediation programs use trained mediators to bring victims and their offenders together in order to discuss the crime, its ciftermath, and the steps needed to make things right.
(Program rekonsiliasi/mediasi Korban dan Pelaku dengan menggunakan mediator yang terlatih untuk bersama-sama korban dan pelaku melakukan diskusi tentang kejabatan yang menimpanya, dan kejadian setelabnya (akibat kejabatan) serta tabap-tabap yang diperlukan untuk memulihkan keadaan).
2) conferencing programs are similar to victim-offinder reconciliation! mediation, but diffir in that they involve not only the offinder and victim, but also their family members and community representatives.
(Program Konferensi adalab sama dengan rekonsiliasi/mediasi antara korban-pelaku, tetapi bedanya yang terlibat di sini bukan hanya pelaku dan korban akan tetapi juga para anggota keluarga mereka dan perwakilan-perwakilan masyarakat).
322RJ. Library Online, Restorative Justice. 323 Loc. Cit.
238
3) victim-offinder panels bring together groups of unrelated victims and offinders, linked by a common kind of crime but not by the particular crimes that have involved the others.
(Panel Karban-Pelaku bersarna-sarna dengan kelompok yang tidak ada hubungan dengan korban dan pelaku, dihubungkan rasa yang sama terhadap kejahatan tetapi tidak pada kejahatan yang melibatkan mereka ).
4) victim assistance programs provide services to crime victims as they recoi'cr jrL 'lll the crime and proceed through the criminal justice process.
(Program bantuan korban menyediakan pelayanan kepada korban kejahatan sarnpai mereka pulih dari akibat kejahatan dan dihasilkan melalui proses peradilan pidana.
5) prisoner assistance programs provide services to offenders while they are in prison and on their release .
(Program bantuan Terpidana menyediakan jasa layanan kepada para terpidana selama mereka di penjara dan pada saat pembebasan mereka)
6) community crime prevention programs reduce crime by addressing its underlying causes.
(Program pencegahan kejahatan oleh Masyarakat mengurangi kejahatan dengan menitikberatkan pada penyebab-penyebabnya).
Praktik mediasi penal dalarn menyelesaikan perkara pidana tertentu, baik
yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian
antara pelaku dan korban yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian
kepada korban (Penal mediation out of court) maupun dalam penyelesaian
perkara pidana pada tahap-tahap proses peradilan pidana yang kesepakatan
dan pembayaran ganti kerugiannya dari pelaku kepada korban hanya dijadikan
sebagai pertimbangan yang meringankan tuntutan pidana dan penjatuhan
pidana (Penal mediation within court).
Pada tahap penyidikan, utamanya dalarn perkara lalu lintas seperti dalam
kecelakaan lalu lintas, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil atau
luka yang kecil biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan
korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai,
239
perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan
korban. Namun demikian jika kecelakaan akibat kelalaian tersebut
menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat
dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan
penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan
yang·nantinya digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada
terdakwa. Dengan demikian kesepakatan mengganti kerugian tidak
menghapuskan tindak pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan diproses
dalam sistem peradilan pidana.
Pada delik aduan yang proses penyidikannya didasarkan pada pengaduan
korban, di sini dimungkinkan untuk adanya mediasi penal, baik sebelum
dilakukannya pengaduan sehingga korban tidak jadi mengajukan pengaduan,
maupun jika pengaduan telah dibuat oleh korban, akan tetapi korban masih
mempunyai kesempatan untuk menarik pengaduannya. Di sini pun peran
polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang
menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan
d . 324 per amman.
Sementara itu pada tahap penuntutan, dimungkinkan dilakukannya
mediasi penal sebelum dilakukannya penuntutan. Dalam mediasi ini pihak
korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila
teljadi kesepakatan dari pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian,
kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan
tetap beljalan sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya
324Kompol Suharyanto, Bagian Reserse Polda Jawa Tengah.
240
bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan
tetap di Iangan hakim. Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan
tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan
mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal.
Jadi, pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu
dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori delik
biasa, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian seperti dalam
Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain),
serta dalam tindak pidana terhadap harta benda seperti Pasal 372 KUHP
tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang penipuan yang biasanya antara
korban dan pelaku sudah sating mengenal, maka dapat dilakukan mediasi
penal di mana korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan
sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian
kepada korban. Namun demikian meskipun telah dilakukan kesepakatan
mengganti kerugian kepada korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana tetap dilakukan, dengan alasan kejaksaan beketja berdasarkan aturan
nonnatifnya, selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi
penal dalam penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah
dilakukan pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah
satu alasan pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum
tuntutannya. 325
Pengalaman praktik mediasi penal oleh hakim tidak pemah dilakukan,
oleh karena tidak ada peraturan nonnatif yang mengatumya, biasanya hal-hal
325Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Wawancara tanggal 25 Oktober 2009.
241
yang menyangkut kesepakatan para pelaku dan korban ada pada tingkat
penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan
mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan yang
salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum perkara
dilimpahkan ke pengadilan.
Mediasi penal sebenamya telah dikenal dalam penyelesaian delik-delik
adat di beberapa daerah adat di Indonesia. RUU KUHP mengakomodasi
berlakunya hukum yang hidup dengan menuangkannya di dalam Pasal I ayat
3. Dalam hukum pidana adat penyelesaian konflik pidana didasarkan pada
kearifan lokal, yang bersifat kekeluargaan, oleh karena tindak pidana tidak
dipandang sebagai urusan individu dengan individu, melainkan sebagai urusan
antar suku dari pelaku maupun pihak korban, sehingga penyelesaiannya pun
diupayakan dengan cara yang tidak merusak keselarasan hubungan an tar suku,
antara lain dilakukan dengan cara "mediasi" untuk menghasilkan kesepakatan
perdamaian para pihak bersengketa.
Dengan melihat telah banyaknya praktik mediasi penal dalam 0
menyelesaikan perkara pidana baik dengan mekanisme yang tidak terlembaga
maupun dengan mekanisme yang terlembaga seperti dalam peradilan adat,
menunjukkan adanya kebutuhan masyarakaL untuk adanya mediasi penal
sebagai altematif dalam menyelesaikan perkara pidana untuk menghindari
kesulitan yang ada dalam proses peradilan pidana.
Mediasi penal selain dalam hukum adat di Indonesia, juga sudah dikenal
dalam hukum Islam yaitu /s/ah.Ishlah merupakan norma dasar di dalam
menghadapi setiap sengketa yang teijadi antara orang-orang yang beriman.
242
Sumber teori ishlah adalah surat al-hujurat ayat 9 dan I 0. Berdasarkan ayat 9
surat al-hujurat (wa in thaifatani mina/ mu 'minina iqtata/uu faashlihu) bahwa
sengketa yang terjadi antara orang yang beriman harus diselesaikan dengan
ishlah. Oleh karena itu, menurut al-Quran ishlah merupakan haq Allah yang
bersifattaa'budi yang harus dita'ati oleh orang mu'min ketika menghadapi
sengketa, sedangkan haq insaniah-nya adalah teknis melaksanakan ishlah baik
berupa metode, syarat dan kewenangan dalam forum ishlah. Diperingatkan
oleh al-Quran bahwa perintah ishlah (faaslihu) itu bukan hanya ditujukan
kepada orang!lembaga yang berwenang mengadakan ishlah melainkan juga
menjadi kewajiban para pihak yang berperkara. Hal ini ditegaskan di dalam
surat al-hujurat ayat I 0, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara
Maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat''. Di dalam hokum
Islam apabila pihak korban Ielah memaafkan pelaku, maka pidana dihapuskan.
243
BABIV
KONSEP DAN PENGATURAN MEDIASI PENAL DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
A. Konsep Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Perubahan paradigrna tentang keadilan dalarn hukum pidana
merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat
internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada
perubahan pola pikir yang radikal dalarn menangani pennasalahan ABH.
Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributif
dan restitutif hanya memberikan wewenang kepada negara yang
didelegasikan pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan sipir
penjara). Pelaku (ABH) dan korbannya sedikit sekali mendapat kesempatan
untuk menyarnpaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang
menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman
penjara pada pelaku. Tak heran, tindak kriminal yang dilakukan ABH
semakin meningkat karena di penjara merekajustru mendapat tarnbahan ilmu
untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk
mengikutinya.
Jim Consedine, salah seorang pelopor keadilan restoratif dari New
Zealand, berpendapat konsep keadilan retributif dan restitutif yang
berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan
perusakan harus digantikan oleh keadilan restoratif yang berdasarkan
244
rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan, dan
pengampunan.326
Peachey27 menambahkan penjelasan perbedaan antara ketiga
paradigma tersebut dalam label berikut ini:
No Perbedaan Restitusi Retributif Restorasi 1 Landasan Memperbaiki Mencapai Pemberian maaf
filosofi kesalahan dengan keadilan dengan sebagai dasar mengganti atau memberi memperbaiki memperbarui balasan alas hubungan
de rita/ saki! antarrnanusia yang ditimbulkan
2 Cara Korban menerima Pelaku dijatuhi Pelaku menyesali ganti rugi hukuman yang perbuatan, beljanji
setimpal a tau tidak mengulangi lebih berat (dengan
memberikan ganti rugi bila diperlukan)
3 Fokl!S_ _ __ _Korban _ Pelaku Korban dan pelaku
Bila kita lihat perbandingan ketiga paradigma keadilan tersebut,maka
keadilan restoratif menawarkan solusi yang k'hih komprehensi f bagi korban
dan pelaku mulai dari penyadaran perbuatan, pemyataan maaf, pemulihan
korban, dan pemberian ganti rugi bila diperlukan. Hal ini tidak terdapat pada
pada nilai-nilai paradigma keadilan retributif dan restitutif.
Umbreif28 kemudian menekankan nilai-nilai yang membeddkcin
keadilan restoratif dengan paradigma keadilan lain sebagai berikut:
I. Keadilan restoratif lebih peduli terhadap pemulihan korban dan komunitas
326 Jim Conscdine, RestoraJive Justice: Healing the Effects of Crime. Ploughshares Publications, Lyttelton, 1995, him. 11
327 Dean E. Peachey, "Restitution, Reconciliation, Retribution: Identifying the Fonns of Justice People Desire", dalam RestoraJive Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, eds Messmer, Hand Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1992, him. 552-553
328Mark Umbreit, "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation", dalarn The Handbook of Victim Offender Media/ion: An Essential Guide to Practice and Research, Jessey-Bass, San Fransisco, 2001, him. xxviiiMxxix.
245
daripada hukuman terhadap pelaku. 2. Keadilan restoratif meningkatkan peran korban dalam proses peradilan
pidana melalui peningkatan keterlibatan, masukan, dan pelayanan. 3. Keadilan restoratif mensyaratkan pelaku untuk secara langsung
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban atau komunitas. 4. Keadilan restoratif mendorong seluruh komunitas untuk terlibat dalam
pemulihan korban dan pelaku. 5. Keadilan restoratif menyadaritanggung jawab komunitasterhadap kondisi
sosial yang berpengaruh terhadap perbuatan pelaku.
Nilai-nilai keadilan restoratif memberikan perhatian yang sama
terhadap korban dan pelaku. Otoritas untuk menentukan rasa keadilan ada di
tangan para pihak, bukan pada negara. Mereka tidak mau lagi menjadi korban
kedua kali ketika negara menentukan derajat keadilan yang tidak sesuai
dengan keinginan mereka seperti dalam keadilan retributif dan restitutif.
1. Keadilan Restoratif sebagai Alternatif PeradilanAnak
Jim Consedine329 yang juga menjabat sebagai penasihat spiritual
Lembaga Pemasyarakatan Anak di New Zealand melihat dan terlibat
secara langsung akibat buruk dari penjara terhadap masa depan anak. Oleh
karena itu, dia mendorong penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif
yang meminimalkan peran negara dan berfokus pada pemulihan korban
dan pelaku. Consedine mendefinisikan keadilan restoratif sebagai berikut:
"Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by one person against another. It is based on recognition of the humanity of both offender and victim. The goal of the restorative process is to heal the wounds of every person q!Jected by the offence, including the victim and the offender. Options are explored that focus on repairing the damage. " (Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara,tapi kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Proses restoratif bertujuan untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan. Altematif solusi dieksplorasi dengan berfokus untuk
329 Jim Consedine, Restorative Justice: Healing the Effects of Crime. Ploughshares Publications, Lytelton, 1995, him. 158
246
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan).
Definisi keadilan restoratif yang diberikan Consedine mempunyai
kesamaan dengan pengertian keadilan restoratifi:nenurut Undang- Undang
No II Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah:
I. Suatu penyelesaian secara adil, 2. Melibatkan:
a. Pelaku, b. Korban, c. Keluarga mereka, d. Dan pihak-pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana.
3. Secara bersama-sama mencari penyelesaian, 4. Terhadap tindak pidana (tertentu) tersebut dan implikasinya, 5. Dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula
Supeno330 membedakan pengertian keadilan restoratif dari segi
penggunaan paradigma tersebut pada kasus ABH. Ia menggunakan istilah
keadilan restoratif sejati yang menampiksama sekali pemidanaan terhadap
anak, apa pun alasannya. Sepanjang dia belum berusia 18 tahun, dia tidak
boleh dipidanakan dan hanya boleh dikenai tindakan. Oleh karena proses
peradilan restoratif diakhiri dengan tindakan, bukan pemidanaan, tidak ada
pengadilan anak melalui pengadilan yang dikenal selama ini. Selain itu,
ada juga keadilan restoratif sebagai salah satu metode dari berbagai
metode pemidanaan anak yang hanya digunakan untuk kasus-kasus yang
sangat ringan. Pemidanaan terhadap anak masih bisa diterima, dengan
persyaratan beratnya kenakalan yang dilakukan anak dan usia pelaku.
Sejarah keadilan restoratif diawali pada awal tahun 1970-an ketika
mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Kitchener, Ontario, Kanada.
Secara teori, konsep keadilan restoratif yang disinergikandengan sistem
330 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradi/an Anak Tanpa Pemidanann, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, him. 216
247
peradilan pidana dikembangkan oleh John Braithwaite, seorang profesor
kriminologi dari National University of Australia. Pada tahun 1989, dia
menerbitkan sebuah buku berjudul Crime, Shame, and Reintegration yang
kemudian menjadi teks klasik keadilan restoratif.
Pengembangan konsep keadilan restoratif berdasarkan pemikiran
John Braithwaite ini bersinergi dengan penerapan keadilan restoratif yang
dikembangkan di Amerika Serikat, lnggris, dan Australia. Braithwaite331
menyatakan keadilan restoratif mendorong reintegrasi dan menghindari
stigmatisasi; memelihara rasa tanggung jawab, penyesalan, restitusi, dan
pemaafan; dan menolak hukuman penjara dan bentuk pengasingan lain.
Salah satu babak baru yang penting dalam penerapan keadilan
restoratif adalah Vienna Declaration on Crime and Justice yang
mendorong pengembangan kebijakan, prosedur, dan program keadilan
restoratif yang menghormati sepenuhnya hak-hak, kebutuhan, dan
kepentingan korban, pelaku, masyarakat, dan semua pihak yang terkait.
Deklarasi ini dicetuskan pada kongres yang dihadiri oleh perwakilan dari
119 negara pada tanggal 17 April 2000.
Deklarasi yang disepakati secara aklamasi oleh seluruh perwakilan
negara peserta itu memutuskan untuk mengambil tindakan yang lebih
efektif dalam memerangi tindak kriminal. Setelah itu, pada bulan Agustus
2002 Dewan ECOSOC (Economic Social Council) PBB menetapkan
resolusi yang mengimbau negara anggota agar menerapkan program
keadilan restoratif dan memanfaatkan Prinsip Dasar Penggunaan Keadilan
331John Braithwaite, Resolving Crime in the Community: Restorative Justice Reforms in New Zealand and Australia. Paper presented at the "Resolving Crime in the Community: Mediation in Criminal Justice", 1994, hlm. 8
248
Restoratif dalam Kasus Kriminal (Basic Principles on the use of
Restoarative Justice Programmes in Criminal Matters).
Pada tahun 2005, Deklarasi PBB ke-11 tentang Pencegahan
Kejahatan dan Pembinaan Narapidana (Prevention of Crimes
andTreatment of Offenders) mengimbau negara anggota untuk mengakui
pentingnya mengembangkan kebijakan, prosedur, dan program keadilan
restoratif yang merupakan alternatif penuntutan tindak pi dana.
Dalam pelaksanaannya, keadilan restoratifdilandasi oleh beberapa
prinsip, yaitu:
I. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai "stakeholders" yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution).
2. Mendorong pelaku/anak bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang Ielah menimbulkan cedera atau kerugian pada korban. Selanjutnya membangun tanggung jawab untuk tidak mengulangi lagi perbuatan pidana yang pemah dilakukannya
3. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk pelanggaran antarindividu yaitu hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok orang). Oleh karena itu, sudah semestinya pelaku diarahkan pada pertanggungjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan pertanggungjawaban hukum (legal formal).
4. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, daripada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal di pengadilan (kaku) dan inpersonal
Prinsip-prinsip tersebut hampir sama dengan prinsip dasar keadilan
restoratif yang dijelaskan oleh Bazemore dan O'Brien, yaitu:332
I. Memperbaiki kerusakan yang timbul dari suatu tindak pidana untuk menyembuhkan korban, pelaku, dan masyarakat.
2. Melibatkan seluruh pihak secara aktif dalam proses pencarian keadilan
332Gordon Bazemore dan Sarah O'Brien "The Quest for a Restorative Model of Rehabilitation: Theory-for-Practice and Practice-for-Theory", dalam Restorative Justice and the Law, ed Walgrave, L., Willan Publishing, Oregon, 2001, him. 42-43
249
sejak awal dan secara penuh. 3. Mentransfonnasi peranan dan hubungan antara masyarakat dan
pemerintah.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kita dapat memaknai
bahwa penerapan keadilan restoratif memakai pendekatan:
I. Respons yang lentur terhadap kejahatan, pelaku, dan korban yang memungkinkan penyelesaian kasus secara individual (tidak diajukan ke pengadilan secara fonnal).
2. Respons atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan marta bat setiap orang, mem ban gun sating pengertian dan hannonis melalui pemulihan korban, pelakn, dan masyarakat.
3. Mengurangi dampak stigmatisasi bagi pelaku. 4. Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih
dipertahankan (penyelesaian secara adat setempat). 5. Pemecahan masalah dan sekaligus menemukan akar konflik 6. Memperhatikan kerugian dan kebutuhan korban. 7. Mendorong pelaku untuk melihat lebih dalam mengenai sebab dan
akibat perbuatannya, menyadarinya, dan bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
8. Dapat disesuaikan dengan tradisi hukum, asas dan filosofi setempat, dan sistem hukum nasional.
9. Sangat tepat untuk kasus yang melibatkan anak di bawah umur dengan menempatkan peran masyarakat pada tempat yang penting, bukan hanya untuk mengatasi masalah yang bersangkutan, tapi juga untuk mencegah terjadinya kembali tindak pidana di masa depan.
Dengan pendekatan keadilan restoratif di atas, maka penerapan
dalam penanganan ABH sebenamya sangat sederhana. Dalam Family
Conference yang diadakan di New Zealand, John Braithwaite
mengusulkan penerapan unsur-unsur keadilan restoratif dalam
menyelesaikan perkara antara korban dan pelaku, yaitu dengan cara:
I. Menyelenggarakan pertemuan yang mengundang korban, pelaku, dan keluarga yang mendukung mereka.
2. Memberikan kesempatan kepada semua pihakuntukmenceritakan bagaimana kejahatan yang telah teljadi dan mengusulkan solusi atau rencana aksi.
3. Setelah pelaku dan keluarganya mendengarkan pendapat pihak lain, beri mereka kesempatan untuk mengusulkan solusi akhir yang dapat disetujui oleh semua pihak yang hadir.
4. Awasi pelaksanaan dari proposal tersebut, terutama yang berkaitan
250
dengan kompensasi untuk korban.
2. Syarat Penerapan Keadilan Restoratif
Dalam konteks peradilan pidana anak di Indonesia sekarang ini,
ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan
apakab sebuah penanganan kasus ABH memerlukan pendekatan keadilan
restoratif atau tidak. Syarat-syarat penerapan keadilan restoratif tersebut
adalah:
a. Syarat pada diri pelaku
Pada syarat ini terkait beberapa faktor, yaitu:
I) Usia anak.
2) Ancaman hukuman (maksimum 7 tahun).
3) Pelaku mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya.
4) Persetujuan korban dan keluarga.
5) Tingkat seringnya pelaku melakukan pidana (residiv).
b. Sifat dan jumlab pelanggaran yang pernab dilaknkan sebelumnya
(residiv)
Jika sebelumnya anak pemah melakukan pelanggaran hukum
ringan, keadilan restoratif hams tetap menjadi pertimbangan. Kesulitan
untuk memberikan keadilan restoratif akan muncul ketika menemukan
catatan bahwa anak sering melakukan perbuatan pelanggaran hukum
(residivis). Langkah selanjutnya hams diambil dengan sangat berhati
hati dan melalui pemikiran rna-tang, demi kepentingan terbaik bagi
anak.
c. Penyelasan dan pengakuan anak/pelaku terbadap tindak pidana
251
I) J ika anak mengakui dan menyesali perbuatannya, maka hal ini menjadi sebuah pertimbangan positif untuk dapat menangani dengan pendekatan keadilan restoratif.
2) Pengakuan atas perbuatan tidak boleh didapatkan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan, misalnya dengan mengatakan, "Kalau kamu mengaku nanti akan diberi keadilan restoratif."
3) Keadilan restoratif tidak dapat dipertimbangkan kalau anak tidak mengakui perbuatannya. ·
Apabila anak tidak mengakui perbuatannya dan di dalam proses
persidangan hakim berkeyakinan semua unsur pasal yang didakwakan
tidak terbukti menurut hukum, maka dalam putusannya hakim
menyatakan anak tersebut bebas (vrijspraak) dan dipulihkan nama
baiknya. Dengan demikian hal ini bukan menjadi area restorative
justice.
d. Dampak perbuatan terhadap korban
Korban akan menginginkan respons yang berbeda-beda pada
keadaan yang hampir sama karena setiap kejahatan memberikan
dampak yang berbeda dan situasi yang unik bagi korban. Kalau
kejahatan berdampak sangat serius pada korban, misalnya luka berat
dan korban tidak dapat memaafkan pelaku, meskipun pelaku/anak
tidak bermaksud demikian, maka keadilan restoratif mungkin tidak
dapat menjadi pilihan.
Pelaku meminta maaf pada korban juga bisa menjadi alasan
penting untuk dasar penggunaan keadilan restoratif, yakni dengan cara:
I) Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan pemulihan
keadaan adalah kesediaan pelaku/anak minta maafkepada korban.
2) Perbaikan pemulihan keadaan (to restore) yang dilakukan untuk
252
mengganti kerugian yang diakibatkan oleh pelakulanak adalah
dengan memberikan restitusi untuk kerugian financial dan/atau
harta benda. Pelaku/anak harus memberikan biaya perbaikan bila
terdapat kerusakan dan mengembalikan barang yang diambil.
Apabila tidak memungkinkan, maka harus ada penggantian harga
atas barang tersebut, termasuk juga penggantian atas nilai
sentimentil barang. Selain itu, dengan permintaan maaf pelakulanak
terhadap korban menunjukkan pelaku/anak mau bertanggung jawab
atas perbuatannya. Permintaan maaf dapat dilakukan melalui surat
atau secara langsung kepada korban.
3) Persetujuan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan.
Harus ada persetujuan dari korban dalam proses keadilan
restoratif agar persetujuan korban mengenai dampak perbuatan
pelaku/anak turut dipertimbangkan. Korban biasanya merasa
khawatir sehingga sulit menerima proses keadilan restoratif. Untuk
itu, penanganan yang dilakukan harus pantas dan proporsional antara
perbuatan pelaku/anak dengan dampak yang dialami korban.
e. Silmp keluarga pelaku/anak tersebut
Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat penting agar
keadilan restoratif dapat berhasil. Jika keluarga berusaha menutup
nutupi perbuatan anak, maka akan sulit mengimplementasikan rencana
keadilan restoratif yang efektif. Keluarga mungkin merasa malu atas
tindakan anak tersebut sehingga tidak mau memberikan dukungan
kepada anak, tetapi keadilan restoratif tetap harus dilakukan untuk
253
memberikan support kepada anak. Pelanggaranpelanggaran yang sering
dilakukan pelaku/anak juga akan membentuk persepsi negatif
orangtua!keluarga, namun mereka juga dapat menyambut baik
kemungkinan keadilan restoratif untuk membantu orangtua!keluarga
dan pelaku!anak tersebut.
3. Kelemahan Keadilan Restoratif
Di tengah segala keunggulan dalam menangani perrnasalahan
ABH, keadilan restoratif juga memiliki kelemahan. Van Ness333
berpendapat bahwa proses keadilan restoratif berpotensi melanggar hak-
hak anak yang telah diakui masyarakat internasional dalam Beijing Rules.
Penulis merangkum beberapa hak yang berpotensi dilanggar
tersebut dalam konteks Indonesia, yaitu:
a. Hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum
Keadilan restoratif bisa mendiskriminasi para pihak, baik korban
maupun pelaku. Dalam budaya patriarki yang kental seperti di
Indonesia, korban perempuan bisa dianggap memancing terjadinya
sebuah tindak pidana (misalnya pemerkosaan) atau pelaku laki-laki
dikenai hukuman yang lebih ringan karena dianggap sebagai kenakalan
wajar seorang anak laki-laki.
b. Hak bebas dari penyiksaan, kekejaman, dan hukuman yang tidak
manusiawi
Walaupun keadilan restoratif juga bertujuan melindungi pelaku dari
333 Daniel van Ness, "Legal Issues of Restorative Justice", dalam Restoralive Juvenile Justice: Repairing/he Harm of Youth Crime, eds Bazemore, G dan Walgrave, L., Criminal Justice Press, New York, 1999, him. 266-270.
254
stigma negatif dalam kerangka rehabilitasi, namun para aparat penegak
keadilan restoratif bisa !alai dalam menjalankan program restoratif.
Kelalaian ini bisa menimbulkan rasa malu pada pelaku. Kelalaian ini
adalah salah satu bentuk perlakuan yang tidak manusiawi.
c. Hakatas praduga tak bersalah
Salah satu syarat bagi pelaku untuk dapat menghindari peradilan
pidana (penjara) dengan menempuh proses keadilan restoratif adalah
pengakuan bersalah atas tindakan dan bertanggung jawab terhadap
perbuatan tersebut Hal ini bisa melanggar hak atas praduga tak
bersalah pelaku. Cara untuk mengatasi masalah ini adalah mediasi
penal sebagai salah satu bentuk keadilan restoratifharus dapat menjaga
prinsip kerahasiaan hingga semua hal yang disampaikan tidak bisa
dijadikan alat bukti di pengadilan.
d. Hak mendapatkan pengadilan yang adil
Keadilan restoratifbisa mengabaikan hal ini karena pelaku sudah
dianggap bersalah ketika memilih proses keadilan restoratif.
e. Hak didampingi penasihat
Keadilan restoratif adalah sebuah proses informal hingga kehadiran
seorang pengacara tidak diharapkan karena dianggap memformalisasi
dan menghambat jalannya proses restorasi.
4. Bentuk Keadilan Restoratif
Dalam praktiknya di Indonesia dewasa ini, keadilan restoratif
dapat diterapkan dalam beberapa bentuk, yaitu:
255
a. Musyawarah kelompok keluarga
Dalam musyawarah kelompok keluarga, perlu diperhatikan:
I) Kehadiran pihak-pihak terkait, meliputi: korban, pelaku, keluarga
pelaku, dan orang-orang penting lain yang perlu datang, siapa saja
yang dirugikan oleh perbuatan pelaku/ anak
2) Pihak lain yang perlu dihadirkan, antara lain pihak yang mendukung
korban ( dipersiapkan oleh korban); pihak yang mendukung pelaku
(dipersiapkan oleh pelaku dan keluarga pelaku).
3) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan, antara lain: memberikan
informasi kepada para pihak mengenai adanya pertemuan;
4) mendapatkan informasi dari para pihak yang akan membantu
memfasilitasi pertemuan; dan menentukan tempat, ruang, dan
pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut.
b. Pelayanan di masyarakat
Pelayanan yang bersifat pemulihan dapat dilakukan oleh lembaga
lembaga dan organisasi independen peduli anak yang bergerak di
bidang perlindungan anak, dalam rangka mewujudkan tatanan
kehidupan yang mampu mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak
anak dan pelanggaran yang dilakukan oleh pelakul anak. Dalam kasus
anak sebagai korban maupun pelaku dapat diterapkan nilai-nilai
keadilan restoratif untuk pemulihan korban serta memberikan
pendampingan psikologis bagi korban dan pelaku.
c. Di setiap tahapan sistem peradilan
Pada setiap tahapan sistem peradilan mulai dari penyidikan, penuntutan,
256
hingga proses persidangan wajib dilakukan diversi melalui forum
musyawarah/mediasi dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan
masyarakat.
Stephenson, Giller, dan Brown334 berpendapat ada 4 ( empat)
bentuk keadilan restoratif. Semua bentuk tersebut mempunyai tujuan yang
sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan
kepentingan ABH, korban, dan komunitas. Keempat bentuk keadilan
restoratif tersebut adalah:
a. Mediasi penal (victim-offender mediation)
Sebuah proses dengan dibantu pihak ketiga yang netral dan imparsial,
membantu korban dan pelaku untuk berkomunikasi satu sama lain
dengan harapan dapat mencapai sebuah kesepakatan.
Mediasi dapat terjadi secara langsung di mana korban dan pelaku hadir
bersama; atau secara tidak langsung di mana korban dan pelaku tidak
sating bertemu dengan difasilitasi oleh mediator (shuttle mediation).
b. Restorative conference
Hampir sama dengan mediasi penal, yang membedakan hanyalah peran
mediator sebagai pemandu diskusi, adanya naskah pemandu, dan
hadimya pihak selain pelaku dan korban (yaitu keluarga dari masing-
masing pihak).
c. Family group conferencing
Keluarga kedua belah pihak (pelaku dan korban) membuat sebuah
rencana aksi (action plan) berdasarkan informasi dari pelaku, korban,
334 Martin Stephenson, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland 2007, hlm. 163-166.
257
dan kalangan profesional yang membantu. Rencana aksi itu bertujuan
membahas konsekuensi dari tindakan yang telah dilakukan dan
pencegahan agar hal tersebut tidak terulang kembali.
d. Community panel meetings
Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban (bila
mau), dan orangtua pelaku untuk untuk mencapai sebuah kesepakatan
perbaikan kesalahan.
Daly and Immarigeon335 menambahkan bentuk-bentuk keadilan
restoratif yang berkembang di dunia, terutama di Amerika Serikat dan
Kanada, selain yang telah disebutkan di atas, yaitu:
a. Hak tahanan dan altematif selain penjara
Bentuk keadilan restoratif ini berkembang sekitar tahun 1970 ketika
penjara mengalami ledakan penghuni. Berkembang kesadaran bahwa
tahanan adalah korban dari penyingkiran sosial masyarakat dan
dikriminasi, karena itu mereka juga harus diberi hak untuk kern bali ke
masyarakat dan hams ada altematif selain penjara.
b. Pilihan penyelesaian sengketa
Berkembang pertengahan tahun 1970, ditandai dengan gerakan untuk
memakai proses yang lebih informal dan turut melibatkan masyarakat.
Alternatif penyelesaian sengketa difokuskan pada negosiasi, pertemuan
korban-pelaku, dan berkurangnya peran para profesional hukum.
c. Advokasi korban
Keadilan restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan
335 Kathleen Daly dan Russ lnunarigeon, "The Past, Presen~ and Future of Restorative Justice: Some Critical Reflections", dalam Contemporary Justice Review. 1(1). 1998, hlm. 24-26.
258
kriminal k:arena mereka kurang bisa bersuara dalam proses peradilan
pidana.
d. Justice circle
Muncul di Kanada sekitar tahun 1980-an, yaitu proses mencapai
konsensus berdasarkan kerangka komprehensif yang tidak hanya
melibatkan korban dan pelaku, tetapi juga keluarga mereka dan
masyarakat.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, oleh k:arenanya juga termasuk di dalarnnya penggunaan hukum
pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika, sedang
mendapat sorotan tajam. Efektifitas penggunaan hukum pidana sebagai
sarana penanggulangan kejahatan menjadi perdebatan konseptual yang
panjang. Meski perdebatan koseptual itu masih melahirkan pro dan kontra
terhadap penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, namun dalam konteks ini upaya untuk mencari altematif di luar
hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan juga patut
mendapatkan perhatian. Dalam tulisan ini dianut pandangan, bahwa
penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan tidak
dapat dinisbikan, dengan pengertian penggunaannya tetap harus bersifat
subsider. Artinya, sepanjang penggunaan sarana di luar hukum pidana
dipandang lebih efektif, maka penggunaan hukum pidana sedapat mungkin
dihindarkan. Selain itu, apabila (hukum) pidana akan digunakan sebagai
sarana untuk mencapai manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan
humanistic harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena
259
kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi
juga karena pada hakikatnya hukum pidana itu sendiri mengandung unsur
penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling
berharga bagi kehidupan manusia336• Karenanya penggunaan hukum
pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan,
bahkan penggunaannya harus diintegrasikan dengan sarana di luar hukum
pidana.
Secara konseptual, penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik
dengan menggunakan sarana hukum pidana (sanma penal) maupun sarana
lain di luar hukum pidana (sarana non penal)337.Penggunaan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan diorientasikan untuk
penanggulangan setelah kejahatan teijadi. Sedang penanggulangan
kejahatan melalui sarana non penal diorientasikan pada upaya mencegah
terjadinya kejahatan. Jadi, penanggulangan kejahatan melalui sarana non
penal diorientasikan pada upaya sebelum kejahatan terjadi.
Dengan konstruksi pemikiran yang demikian, dapat dikemukakan,
bahwa upaya penanggulangan dengan menggunakan sarana hukum pidana
lebih bersifat korektif, sedangkan upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sarana non hukum pidana lebih bersifat caUYatif.Pengaturan
penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal
sebagaimana konteks di atas diatur secara parsial, terbatas dan gradasi
pengaturannya diatur pada level di bawah undang-undang. Akan tetapi,
336 Bania Nawai Arief, Kebijakan Legis/aJif da/am Penanggu/angan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 1994, him. 41.
337 Paulus Hadisuprapto, Pemberian Malu Reintegratif sebagai sarana non penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta), Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2002, him. 21.
260
dalam batas pengaturan ditingkat undang-undang, untuk perkara pidana
pada asasnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam
hal-hal tertentu, dimungkinkan ada penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan akan tetapi tidak termasuk ruang lingkup mediasi penal.
Dalam hal terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
sebagaimana ketentuan Pasal I ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89 ayat 4 dan
Pasal 96 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang diberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan
mediasi dalam kasus pelanggaran HAM. Aspek ini sifatnya hanya bersifat
parsial, karena tidaka ada ketentuan secara tegas menyatakan bahwa semua
kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM,
karena ketentuan Pasal 89 ayat (4) menentukan bahwa Komnas HAM
dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan, atau hanya memberi rekomendasi kepada
pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Selain itu,
juga ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tidak mengatur
secara tegas yang menyatakan bahwa akibat adanya mediasi Komnas
HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan, tetapi
berdasarkan Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan bahwa, "keputusan mediasi
mengikat acara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah". 338
Upaya mengalihkan proses dari proses yustisial menuju proses non
yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pada
dasamya merupakan upaya untuk menyelesaikan penyalahgunaan
338 Lilik Mulyadi, Mediasi Penal da/am Sistem Peradilan Pidano Indonesia, Alumni, Bandung, 2015, him. 40-42
261
narkotika yang dilakukan oleh anak ke luar jalur hukum pidana. Artinya,
pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial dalam
penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, pada
dasarnya adalah upaya untuk menghindarkan anak dari penerapan hukum
pidana.
Upaya menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana tidak saja
bertolak dari kenyataan, bahwa dampak negatif penerapan sanksi pidana
terhadap anak justru akan mempengaruhi jiwa anak yang bersifat sangat
kompleks, tetapi upaya menghindarkan anak dari 'penerapan hukum pidana
juga bertolak dari pemikiran, bahwa hukum pidana pada hakikatnya
mempunyai keterbatasan kemampuan dalam penanggulangan kejahatan,
termasuk keterbatasan dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan
narkotika. Sebagai bahan ilustrasi berikut ini dikemukakan pandangan para
ahli hukum tentang keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam
penanggulangan kejahatan seperti berikut:
I. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.
2. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekeijanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.
3) Johanes Andenaes menyatakan, bahwa bekeijanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktorfaktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita.
4) WolfMiddendoifmenyatakan, bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari general de terence karena mekanisme pencegahan (deterence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya
262
lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.
5) Donald R Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan, bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosiaL Kebiasaan, keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkahlaku manusia dari pada sanksi hukum.
6) R Hood dan R. Sparks menyatakan, bahwa beberapa aspek lain dari general prevention seperti reinforcing social values, strengthening conscience, allevating fear dan providing a sence of communal security sulit untuk diteliti.339
Beberapa pandangan ahli hukum tentang keterbatasan kemampuan
hukum pidana seperti tersebut di atas mengisyaratkan, bahwa hukum
pidana tidak memberikan jaminan terhadap penanggulangan kejahatan.
Tidak ada jaminan, bahwa dengan digunakannya hukum pidana tidak
terjadi lagi kejahatan di dalam masyarakat.Bertolak dari pandangan ahli
hukum tersebut di atas juga tersimpul, bahwa kemampuan hukum pidana
sebagai sarana hukum pidana bisa jadi juga sama dengan sarana lain di
luar hukum pidana seperti agama, kepercayaan, keyakinan
maupunkebiasaan.Dengan demikian menurut hemat peneliti, maka
penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan
masih diperdebatkan efektifitasnya, padahal dampak negatifuya juga
demikian jelas, apalagi diberlakukan terhadap anak.
Di dalam konsideran bagian menimbang huruf a sebagai landasan
filosofis Undang-Undang Nomor II tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak dinyatakan, bahwa anak adalah bagian dari generasi muda
339Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, him. 41-42.
263
sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya.
Sementara pada bagian menimbang huruf b dinyatakan bahwa
untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem
peradilan. Kemudian, pada bagian menimbang huruf c menyatakan bahwa
Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the rights of the Child) yang mengatur prinsip
perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untnk
memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum.
Bertolak dari konsiderans Undang-Undang Nomor IITahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut tersimpul, bahwa tujuan
pemidanaan bagi anak yang ditempuh melalui mekanisme Undang
Undang Nomor II Tahun 2012 adalah dalam rangka untuk memberikan
pembinaan dan perlindungan kepada kepentingan anak untuk menjamin
pertum buhan dan perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
Stephenson, Giller, dan Brown berpendapat ada 4 ( empat) bentuk
keadilan restoratif. Semua bentuk tersebut mempunyai tujuan yang sama
yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan
kepentingan ABH, korban, dan komunitas. Keempat bentuk keadilan
restoratif tersebut adalah: a Victim-offonder mediation; b. Restorative
264
conference; c. Family group conferencing; dan d.Community panel
meetings. 340
Mengkaj i konsep mediasi penal yang berlandaskan keadilan
restoratif tidak dapat dilepaskan dari literatur mengenai konsep mediasi
secara umum itu sendiri. Mediasi pada dasamya merupakan bentuk
penyelesaian sengketa. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin
mengemukakan sebuab teori tentang penyelesaian sengketa. Ada lima
strategi dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana disajikan berikut
ini.Pertama, contending (benanding), yaitu mencoba menerapkan suatu
solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya.Kedua,
yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan.Ketiga, problem solving
(pemecahan masalah), yaitu mencari altematif yang memuaskan aspirasi
kedua belah pihak.Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih
meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun
psikologis.Kelima, inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.341
Sepemikiran dengan itu, Laura Nader dan Harry F. Todd Jr.,
mengemukakan tujuh cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat.
Ketujuh cara itu, melipilti: Pertama, lumping it (membiarkan saja);
Kedua,avoidance (mengelak); Ketiga, coercion (paksaan); Keempat,
negotiation (perundingan); Kelima, mediation (mediasi); Keenam,
340 Martin Stephenson, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland 2007, him. 163-166.
341 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Konjlik Sosia/, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, him. 4-6
265
arbitration (arbitrase); dan Ketujuh, adjudication (peradilan).342
Konsep mediasi juga dapat dilihat dari model mediasi secara
umum,sebagaimana disampaikan Denaldy Mauna bahwa model mediasi
antara Iain:343
I. Model penyelesaian (Settlement Model atau Compromise)
a. Mediasi dimaksudkan guna mendekatkan perbedaan nilai
tawar atas suatu kesepakatan.
b. Mediator hanya terfokus pada Permasalahan atau posisi
yang dinyatakan para pihak.
c. Fungsi mediator adalah menentukan posisi "bottom-line"
para pihak dan melakukan berbagai pendekatan untuk
mendorong para pihak mencapai titik kompromi.
d. Biasanya mediator adalah orang yang memiliki status yang
tinggi dan model ini tidak menekankan kepada keahlian
dalam proses atau teknik mediasi.
2. Model fasilitasi (Facilitative Model)
a. Memberikan fasilitas dan mengarahkan pada pihak-pihak
yang berperkara agar sedapat mungkin menyelesaikan
sendiri masalah
b. Mediator mengarahkan para pihak dari positional
negotiation ke interest based negotiation yang mengarah ke
penyelesaian yang saling menguntungkan. Penekanan lebih
342 Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, New York: Columbia University Press, 1978, him. 9-11.
343 Said Faisal, Mediasi (makalah) dalam Prosiding him. 50 lihat juga Denaldy Mauna dalam Mediator's Skill Reframing and Questioning in Practice, him. 153
266
ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak
yang berselisih.
c. Mediator mengarahkan para pihak untuk lebih kreatif dalam
mencari alternatif penyelesaian.
d. Mediator perlu memahami proses dan teknik mediator
tanpa harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan.
e. Kelebihannya adalah para pihak ketika selesai sengketa
akan merasa puas, karena yang diangkat adalah
kepentingannya dan bukan sekedar hal yang
dipersengketakan saja.
f. Kekuranganya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih
lama,
g. Prosesnya lebih terstruktur.
3. Evaluative
a. Court annexed lebih berfokus ke evaluative model.
b. Para pihak datang dan mengharapkan mediator akan
memberikan semacam pemahaman bahwa apabila kasus ini
terus berlangsung, maka siapa yang akan menang dan siapa
yang akan kalah.
c. Lebih berfokus pada hak dan kewajiban.
d. Mediator biasanya ahli pada bidangnya atau ahli dalam
bidang hukum karena pendekatan yang difokuskan adalah
pada hak. Disini mediator cenderung memberi jalan keluar
dan informasi bidang hukum (legal information) guna
267
mengarab ke suatu basil akhir yang pantas.
e. memberikan saran atau nasibat kepada para pibak berupa
nasibat-nasibat bukum dalam proses mediasi, bisa juga
menjadi semacam tempat dimana para pibak badir dan ada
semacam draft keputusan dari mediator atau semacam jalan
keluar yang diberikan oleb mediator.
f. Kelemabannya adalah para pibak akan merasa tidak
memiliki basil kesepakatan yang ditandatangani bersama.
Selain itu juga- ada pendapat dari Jacqueline M Nolan Haley
mengenai model mediasi yaitu Therapeutic:344
a. Fokus pa-da penyelesaian yang komprebensif tidak terbatas
banya pada penyelesaian sengketa tapi juga rekonsiliasi
antara para pihak.
b. Yang diharapkan adalab selesainya sengketa dan juga para
pihak benar-benar menjadi baik/tetap berbubungan baik.
c. Proses negosiasi yang mengarah ke pengambilan keputusan
tidak akan dimulai, sebelum masalab emosional antara para
pihak yang berselisih diselesaikan.
d. Fungsi mediator adalah untuk mendiagnosa penyebab
konflik dan menanganinya berdasarkan aspek psikologis
dan emosional hingga para pihak yang berselisih dapat
memperbaiki dan meningkatkan kembali hubungan mereka.
e. Mediator dibarapkan memiliki kecakapan dalam
344 Jacqueline M Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell St Paul, Minn, 2001, him 75
268
"counseling" dan juga proses serta teknik mediasi.
f. Penekannya lebih ke terapi, baik tahapan pre-mediasi atau
kelanjutannya dalam proses mediasi.
g. Biasanya digunakan dalam family dispute (sengketa
keluarga) seperti perceraian, perwalian anak.
Pendapat lain dikemukakan oleh Silbey dan Mary yang membagi
dua jenis atau model mediasi yaitu: jenis tawar-menawar (bargaining
style) atau jenis menolong (theurapetic style). Jenis pertama adalah
pendekatan pragmatis yang terfokus pada penyelesaian masalah dan
langsung ke pokok masalah. Sementara jenis theurapetic style lebih
menekankan pada konteks emosional dan terfokus pada proses komunikasi
kedua belah pihak.345
Berdasarkan konsep mediasi secara umum sebagaimana telah
dibahas diatas, berkembanglah praktik mediasi yang diterapkan dalam
peradilan pidana khususnya perkara yang melibatkan anak yaitu mediasi
penal. Dalam perkembangannya di dunia, mediasi penal dikenal dengan
berbagai istilah, terminologi yang paling banyak dikenal adalah victim
offinder mediation (mediasi antara korban dan pelaku). Namun
sebenarnya terminologi yang paling awal dikenal istilah victim-offender
reconciliation program. Kemudian dikenal pula istilah victim offinder
meetings dan victim offinder conferencing. Istilah penal mediation juga
dipakai karena mediasi digunakan untuk mendamaikan perkara pidana,
345 Ibid hlm. 76
269
bukan perkara perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. 346
Dalam "Explanatory memorandum" dari Rekomendasi Dewan
Eropa No. R (99) 19 tentang "Mediation in Penal Matters", dikemukakan
beberapa model mediasi penal sebagai berikuf47:
a. Model"informal mediation"
l) Model ini dilaksanakan oleh person if peradilan pidana
(criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu
dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan
mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian
informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan
apabila tercapai kesepakatan. Mediator dapat dilakukan
oleh pekelja sosial atau pejabat pengawas (probation
officer) atau pejabat polisi atau Hakim.
2) Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh
sistem hukum.
b. Model"Traditional village or tribal moots"
Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk
memecahkan konflik pidana di antara warganya.
l) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di
wilayah pedesaan/pedalaman;
2) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas;
346 Mark Umbreit, Robert B. Coates dao Betty Voss, "Victim-Offender Mediation: An Evolving Evidence Based Practice" dalam Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, eds Sullivan, D. dan Tifft, L., Routledge, New York, 2006, him. 52-62
'47Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalarn Penyelesaian
Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.
270
3) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi
inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi
modem. Program mediasi modem sering mencoba
memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku
(tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan
struktur masyarakat modem dan hak-hak individu yang
diakui menurut hukum.
c. Model "victim-offender mediation"
-J.) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang
paling sering ada dalam pikiran orang;
2) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan
dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari
model ini. Mediatomya dapat berasal dari pejabat formal,
mediator independen, atau kombinasi;
3) Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik
pada tahap pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan,
tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan;
4) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku
tindak pidana, ada yang khusus untuk pelaku anak, ada
yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan,
perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama
ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada
juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
d. Model "Reparation negotiation programmes"
271
I) Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi
atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak
pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di
pengadilan.
2) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara
para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan
perbaikan materiel.
3) Dalam model ini pelaku tindak pidana dapat dikenakan
program kerja agar dapat menyimpan uang untuk
membayar ganti rugifkompensasi.
e. Model "Community panels or courts"
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana
dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih
fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f. Model "Family and community group conferences"
I) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New
Zealand, yang meiibatkan partisipasi masyarakat dalam
Sistem Peradilan Pidana. Tidak hanya melibatkan korban
dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan
warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi
dan hakim anak) dan para pendukung korban.
2) Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan
kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban
272
serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari
kesusahan/persoalan berikutnya.
Secara hitoris, mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener,
Ontario, Kanada pada tahun 1974. Kemudian program ini menyebar ke
Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika
Serikat, mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Elkhart Indiana dan di
Inggris oleh The Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu,
program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang
paling subur adalah di negara-negara Eropa. Perkembangan program
mediasi penal di dunia terlihat pada Tabel berikut:348
No Negara Jumlah Program
I Australia 5 2 Austria 17 3 Belgia 31 4 Kanada 26 5 Denmark 5 6 Finlandia 175 7 Prancis 159 8 Jennan 450 9 Italia 4 10 Belanda 2 11 Selandia Bam Ada dalam setiap
yurisdiksi 12 Norwegia 41 13 Polandia 5
. 14 Afrika Selatan 1 15 Swedia 50 16 lnggris 46 17 Am erika 302
Serikat Total 1.319
348 Mark Umbreit, "Introduction: Restorative Justice lbrough Victim Offender Mediation" da lam The Handbook of Victim Offender Media/ion: An Essential Guide /o Practice and Research, ed Umbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. xlv
273
Berdasarkan Tabel tersebut, akan diambil contoh beberapa negara
yang telah berhasil menerapkan mediasi penal dalam menangani perkara
ABH yang terintegrasi ke dalam sistem peradilan pidana mereka.
Komparasi model mediasi penal dalam praktik beberapa Negara di dunia
akan merujuk bentuk keadilan restoratif yaitu Victim-offender mediation,
Restorative conforence, Family group conferencing,Community panel
meetings, dan Restorative circles or restorative system. 349
Mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation) atau disebut
_ dialog/pertemuan/rekonsiliasi pelaku-korban biasanya dilakukan
pertemuan antara pelaku dan korban, yang menghadirkan mediator terlatih.
Dalam area perkara pidana, model atau teknik ini digunakan baik kasus-
kasus kecil untuk mengurangi penumpukan perkara, maupun kasus-kasus
serius untuk memfasilitasi pengampunan dan proses penyembuhan yang
lebih mendalam, baik untuk korban maupun pelaku. Data internasional
menunjukkan bahwa teknik ini berhasil di terapkan di Australia, New
Zeland, Kanada, dan Belanda dalam berbagai konteks, yang meliputi
sistem peradilan anak dan berhasil menurunkan residivisme. 350
Pertemuan kelompok keluarga (family group conferencing)
merupakan lingkaran partisipan yang lebih luas daripada mediasi pelaku-
korban, yaitu menambah orang yang dikaitkan dengan pihak -pihak uta rna,
seperti melibatkan ternan, keluarga, dan profesional. Teknik ini merupakan
sistem paling tepat untuk kasus-kasus kenakalan anak, seperti di
349 Undang Mangapol, Penerapan Restorative Justice dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, UNISBA, Bandung, 2012, him. 328
""Peter Cane dan Herbert M. Kritzer, Cane, ed., The Oxford Handbook of Empirical Legal Research, Oxford: Oxford University Press, 2010, him. 611.
274
Kolurnbia, Australia dan·New Zeland.351 Di Kolumbia (British Columbia)
model ini dipergunakan dalam konteks untuk kesejahteraan anak. Proses
ini didesain untuk menawarkan perencanaan dan pembentukan putusan
yang kooperatif dan untuk membangun kembali jaringan kerja dukungan
keluarga. Model ini mengandung pengertian: (a) fasilitasi untuk
melibatkan keluarga anak, keluarga besar, dan anggota masyarakat lainnya
dalam pembentukan putusan terhadap masalah kesejahteraan anak, (b)
memberi alternatif non-adversarial pada pengadilan untuk membuat
perencanaan dalam situasi perlindungan anak, (c) dapat digunakan untuk
mendorong putusan, namun tidak terbatas pada, penempatan perawatan,
perencanaan tetap, dan penyatuan anak dengan keluarganya, (d)
menentukan keluarga yang memilih pertemuan dengan koordinator yang
tidak memihak untuk mengoordinasi dan memfasilitasi pertemuan, (e)
memberi hak ada keluarga untuk menolak pertemuan, mendukung
pengadilan, mediasi a tau proses altematif penyelesaian lainnya.
Pertemuan restoratif (restorative conferencing) juga melibatkan
partisipan yang lebih luas ketimbang mediasi pelaku-korban, sebagai
respon terhadap kenakalan anak (juvenile crime). Teknik: ini bersifat
volunter (sukarela), yang terdiri dari pelaku, korban, keluarga para pihak
dan ternan, untuk mencapai konsekuensi dan restitusi (ganti kerugian).
Model ini dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana,
tetapi biasanya digunakan relatif awal. Sebagai contoh pada beberapa
yurisdiksi, polisi Ielah mengembangkan program ini sebagai alternatif
351Lihatjuga Trisno Rahardjo, Op.Cit., him. 47-50.
275
untuk penangkapan dan rujukan ke sistem peradilan fonnal pidana. Sejak
diperkenalkan di Selandia Baru, model ini telah diterapkan di Australia,
Amerika Serikat, Inggris dan Wales dan Kanada.352
Dewan peradilan masyarakat(communily restorative boards) atau
yang disebut Komite Peradilan Masyarakat (community justice
committees) di Kanada atau panel untuk rujukan (Referal Order Panels)
seperti di Inggris dan Wales, bentuknya merupakan kelompok kecil (small
group), dipersiapkan melalui pelatihan intensif, yang dilakukan
masyarakat, sebagai pertemuan tatap-muka face-to:face meeting}. Hakim
dapat memerintahkan pelaku untuk terlibat, polisi dapat merujuk sebelum
menetapkan status, atau mereka dapat menempuh di luar sistem hukum.
"Model ini sekaligus merupakan contoh: non-adversarial decision-making
practices" (praktik pengambilan putusan non-adversarial) yang diinspirasi
oleh perspektif keadilan masyarakat atau restorative. Karakter model ini
di antaranya: (I) dimasukkannya anggota masyarakat dalam proses
peradilan, (2) pemulihan penderitaan akibat kejahatan, (3) reintegrasi
pelaku ke dalam masyarakat.
Lingkaran atau sistem restoratif (restorative circles or restorative
systems), pendekatan ini melibatkan banyak lingkaran partisipan yang
lebih luas daripada pertemuan pelaku-korban yang konvensional, seperti
dilakukan di Brazil, Jennan, Amerika, dan Inggris, yang dimulai dengan
membangun sistem restoratif di lingkungan atau sekolah tempat lingkaran
(lingkungan restoratif) akan diselenggarakan. Di Hawai, Huikahi
352Lihat Trisno Rahardjo, Ibid, him. 50.
276
Restorative Circles mengizinkan terpidana bertemu dengan keluarga dan
ternan-ternan dalam suatu proses kelompok (group proces) untuk
mendukung transisi balik pada masyarakat. Pertemuan secara khusus
diarahkan pada kebutuhan untuk rekonsiliasi dengan korban kejahatan.
Selanjutnya peneliti juga akan mengkaji dari perkembangan
mediasi penal dan keadilan restoratif di Negara Asia yaitu Thailand dan
Jepang. Jepang adalah negara Asia yang terkenal dengan pemakaian
konsep keadilan restoratif sejak John Braithwaite mengambilnya sebagai
contoh negara dalam pemikirannya yang terkenal, Reintegrative Shaming.
Keadilan restoratif menjadi dasar dari sistem peradilan pidana negara ini.
Banyak tindak kriminal yang diselesaikan di Jepang dengan diawali
pengakuan bersalah, diikuti dengan permintaan maaf dan usaha perbaikan,
baik berupa restituasi maupun bentuk lain. Dengan melakukan hal
tersebut, tidak hanya pelaku yang melepaskan beban psikologis karena
telah melakukan perbuatan yang salah tetapi juga keluarga dan masyarakat
luas. Mediasi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang
dalam menyelesaikan sengketa, baik perdata maupun pidana.353
Di Thailand, selain perkembangan mediasi perdata, dua model
keadilan restoratif yaitu Family Group Conferencing dan mediasi penal
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Alasan yang
mendorong negara ini memakai keadilan restoratif adalah membludaknya
tahanan di luar kapasitas penjara karena kebijakan ketat dalam memerangi
kejahatan narkoba. Keadilan restoratif model Family Group Conferencing
353 D.S. Dewi dan Fatahillah, Op. Cit, him. 166.
277
cocok dengan budaya Thailand karena itu mulai dipakai dalam menangani
ABH sejak tahun 2003. Efek:tivitas mekanisme ini segera terlihat. Menurut
penelitian Liebmann, dari 11.538 kasus yang ditangani dengan mekanisme
ini sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, hanya 3% ABH yang
mengulangi kejahatan?54
Pada tahun 2004, Probation Services Thailand memulai proyek
keadilan restoratif di II kantor mereka yang kemudian berkembang pesat
menjadi 96 kantor dengan menyediakan dua sampai tiga mediator di setiap
kantor cabang. Untuk model keadilan restoratif berbentuk mediasi penal,
Thailand telah mengadopsinya ke dalam sistem peradilan pidana secara
luas, yaitu untuk semua usia (anak dan dewasa) serta mengakomodasi
banyak jenis kasus pidana.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman mereka, mencari dasar
hukum bagi pelaksanaannya, dan bila memungkinkan mengadopsi sistem
dan mekanisme yang cocok dengan kondisi Indonesia. Beberapa negara di
Eropa dipilih karena di kawasan ini mediasi penal mengalami
perkembangan sangat pesat dan beberapa di antaranya telah memiliki
perangkat peraturan sebagai dasar hukum dalam sistem peradilan pidana
mereka. Sedangkan di negara Asia juga telah berkembang prak:tik mediasi
penal dan menunjukan keberhasilan mengurangi tingkat kejahatan yang
dilakukan oleh anak.
Beralih dari perbandingan dengan Negara lain sebagaimana telah
diuraikan diatas. Peneliti juga akan mengaitkan konsep mediasi penal
"'Ibid, him. 167.
278
dengan praktik hukum adat di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh berbagai kalangan akademisi terhadap penyelesaian konflik
dalam masyarakat di Indonesia, pada dasamya budaya untuk penyelesaian
secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yangbanyak dianut
oleh masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia
mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai, misalnya
masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra Selatan, Lombok, Papua,
Sulawesi Barat dan masyarakat Sulawesi Selatan. 355
Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin
diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan
selanjutnya dari hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya
terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai
kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam
masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin
menjaga suasana perdamaian.356
Penyelesaian-penyelesaian konflik yang dilakukan melalui
mekanisme hukum adat baik untuk perkara perdata maupun perkara
pidana. Berbeda dengan hukum pidana barat, tujuan hukum pidana adat
adalah memulihkan keseimbangan hukum yangme~adi tujuan segala
reaksi atau koreksi adat sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang
"' Ahmad Hasan, "Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-UntkJngan" dalam Jurnal Al-Banjari, Vol5, No. 9, Januari-Juni 2007, him. 5.
356 Sudargo Gautama, "Penye/esaian Sengketa Secara Alternatif(ADR)," dalam Hendannin Djarab, et al, (Editor), Prospek dan Pelak.sanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Aim. Prof Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, him. 124.
279
salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yangterdapat
pada sistem hukum pidana barat, tidak terdapat pada sistem hukum adat.357
Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh
masyarakat Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak
yang berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan
konflik misalnya, akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat
dicapai titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung
pada mufakat. Suatu musyawarah memerlukan tokoh yang dihonnati
untuk memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang
diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara
perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.358
Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya
didapatkan di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang
pengadilan.359 Penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak
pidana tidak hanya diselesaikan dalam sistem peradilan pidana sebagai
penyelesaian fonnal akan tetapi dalam masyarakat Indonesia penyelesaian
secara hukum adat juga menjadi cara penyelesaian konflik. Hukum Adat
adalah hukum asli Indonesia yang tidak tertulis atau tidak tertuang di
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia dan mengandung
unsur agama 360
351Ibi4hlm. 180 358 Adi Sulistiyo, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di lndonesia, Surakarta:
Sebelas Maret University Press, 2006, him. 367-369 359 Marc. Galanter, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradi/an, Penataan
Masyarakat serta Hukum Rakyat dalam T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai, Yayasan Ohor, Jakarta, 1993, him. 81
360 Rumusan Hukum Adat yang dihasilkan dalam seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional di Yogyakarta 15-17 Januari 1975 dalarn Imam Sudiyat, Peran Pendidikan dalam Pembangunan Hukum Nasional Ber/andaskan Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 1980, him. I.
280
Selain hukum adat, konsep mediasi dalam hukum pidana juga
dikenal dalam hukum agama khususnya agamas Islam yang biasa disebut
Jslah. Penyelesaian kontlik secara musyawarah guna mencapai
penyelesaian antara pelaku dan korban tindak pidana sebagian besar
masyarakat di Indonesia yang umumnya beragama Islam, banyak
memperoleh pengaruh dari hukum Islam. Konfiik-konflik dalam
masyarakat banyak dimintakan penyelesaiannya kepada tokoh masyarakat,
dan umumnya pada daerah-daerah yang pengaruh hukum Islamnya kuat,
seperti di Aceh, Sumatra Barat, dan Jawa maka para tokoh masyarakat
atau adat di dalamnya termasuk para tokohtokoh agama. Penyelesaian
konflik yang diselesaikan oleh tokoh-tokoh agama Islam umumnya
dilakukan dengan pendekatan musyawarah. Menurut Hazairin
penyelesaian yang dilakukan oleh tokoh agama Islam yang dilakukan
secara terus-menerus sehingga menjadi tradisi membentuk hukum adat
dalam masyarakat tersebut, dalam hal ini adalah hukum Islam yang telah
dipraktekkan selama berabad-abad semenjak Islam dipeluk oleh
masyarakat Indonesia. 361
Berdasarkan konsep-konsep mediasi penal yang terdapat dalam
komparasi hukum di negara lain, hukum adat, dan hukum Islam,
selanjutnya akan ditelaah konsep mediasi penal dari beberapa doktrin.
Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang dilakukan
orang dewasa maupun anak. Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa
metode ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh
361 Hazairin dalam Siti Juwariyah, Polrel Mediasi dalam Islam, dalam http://www. badilag.ne~ diakses 20 Desember 2009.
281
mediator yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari pejabat formal,
mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada
setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan,
tahap pemidanaan, atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang
diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, atau khusus untuk anak;
atau untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan, dan
tindak kekerasan). Selain itu, bisa ditujukan pada pelaku anak, pelaku
pemula, juga untuk delik-delik berat atau bahkan residivis?62
Penggunaan mediasi penal sebagai altematif peradila11 pidana
anak dalam penanganan ABH terbilang baru karena biasanya mediasi
penal digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak
pidana ringan lainnya. Namun seiring perkembangan zaman dan
kebutuhan korban, mediasi penal juga dipakai untuk menyelesaikan tindak
pi dana be rat seperti pemerkosaan dan pembunuhan. 363 Banyak program
mediasi penal dibuat untuk menghindarkan (diversi) ABH dari penjara
untuk mendapatkan pilihan mekanisme yang lebih murah, cepat, dan lebih
. hku 364 nngan u mannya.
Beberapa pandangan ahli hukum tentang keterbatasan
kemampuan hukum pidana seperti tersebut di atas mengisyaratkan, bahwa
hukum pidana tidak memberikan jaminan terhadap penanggulangan
362 Bar<la Nawawi Arief, Mediasi Penai:PeiT)'elesaian Perkara Pidana di Luar Pengadi/an. Artikel dalam htto://bardanawawi.wordpress.com/2009/12127/mediasi-oenalpenyclesaian-perkara-pidana-di luar pengadilan/2009, diakses pada tanggal24 Maret 2011. hlm.8.
363 RodneyA.Eilis dan Karen M.Sowers,Juvenile Justice Practice: Across Disciplinary Approach to Inrervention, Wadsworth, Belmont, 2001, hlm.205.
364 Mark Umbreit dan Robert B.Coates, "The Impact of Victim Offender Mediation:Two Decades of Research", dalarn The Handbook of Victim Offender Mediation, ed Umbreit, M.,Jossey- Bass, San Fransisco, 2001,hlm.l69.
282
kejahatan. Tidak ada jaminan, bahwa dengan digunakannya hukurn pidana
tidak terjadi lagi kejahatan di dalam masyarakat.Rubin menyatakan, bahwa
pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum
atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap
masalah kejahatan. Sedangkan Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya
kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-
perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam
putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekeljanya atau
berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan
masyarakat. 365
Umbreit dan Annour juga meneliti efektivitas pemakaian mediasi
penal sebagai altematif sistem peradilan pidana dari berbagai aspek,
yaitu?66
I. Partisipasi para pihak Dalam aspek ini, para pihak memperlihatkan tingkat keikutsertaan yang tinggi, yaitu 40-60%, bahkan ada yang mencapai 90%.
2. Alasan partisipasi Hampir sebagian besar (91 %) para pihak merasa bahwa keikutsertaan mereka dalam proses mediasi penal adalah sukarela, tanpa paksaan sama sekali.
3. Kepuasan para pihak 8 dari I 0 para pihak (baik korban maupun pelaku) merasa pugs terhadap proses dan kesepakatan yang dihasilkan dari mekanisme mediasi penal.
4. Keadilan Lebih dari 80% para pihak merasa proses dan kesepakatan mediasi penal adil bagi kedua belah pihak.
5. Restitusi dan perbaikan kerusakan Sekitar 90% kasus berhasil mencapai kesepakatan yang terdiri dari beberapa jenis restitusi, yaitu: a. Kompensasi langsung pada korban. b. Pelayanan pada masyarakat.
365Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan don Pengembangan Hukwn Pidona, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, him. 41-42.
366Ibid, him. 128-134
283
c. Bekeija untuk korban. d. Bentuk!kreasi lain yang disepakati oleh korban dan pelaku. e. Pennintaan maaf, yang biasanya digabungkan dengan bentuk
restitusi lain tersebut di atas. 6. Residivisme
Sebagai tujuan jangka panjang, mediasi penal telah berhasil menekan pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan (residivisme) dibandingkan dengan pemakaian sistem peradilan pidana biasa.
7. Biaya Pemakaian mediasi penal secara dramatis telah mengurangi biaya perkara.
8. Pelaksanaan mediasi penal juga mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh keterbatasan dana dan minimnya jumlah rujukan.
Dalam yuridis nonnatif yang berlaku di Indonesia saat ini,
pengaturan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-
Undang No. 11 Tahun 2012. Di dalam konsideran bagian menimbang
huruf a sebagai landasan filosofis Undang-Undang Nomor II tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan, bahwa anak adalah
bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Sementara pada bagian
menimbang huruf b dinyatakan bahwa untuk menjaga harkat dan
martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama
perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Kemudian, pada bagian
menimbang huruf c menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara pihak
dalam konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the rights of the Child)
yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang
mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap
284
anak yang berhadapan dengan hukum.
Secara konseptual mediasi penal belum diatur dalam hukum acara
pi dana maupun dalam Undang-Undang No. II tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Pengaturan tentang penyelesaian perkara pidana
anak diluar pengadilan hanya melalui musyawarah di dalam acara diversi.
Jadi masih terdapat kekosongan hukum terhadap anak yang melakukan
dugaan perbuatan pidana yang tidak termasuk dalam syarat diversi yaitu
ancaman maksimal dibawah 7 (tujuh) tahun. Sedangkan untuk yang 7
(tujuh) tahun dan keatas bel urn terakomodir. Untuk .itulah, melalui konsep
mediasi penal akan dapat mengakomodir perlindungan anak 7 (tujuh)
tahun dan keatas dengan tetap berlandaskan keadilan restoratif.
Kekurangan hukum normatif tersebut dan pengaturan mediasi penal akan
dibahas pada bagian selanjutnya.
Berdasarkan seluruh uraian diatas, konsep mediasi penal dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia merupakan fenomena hukum
pidana yang membawa implikasi diterapkannya dimensi bersifat publik ke
dalam hukum privat. Pada dimensi mediasi penal ini yang dicapai
bukanlah keadilan formal (formal justice), melainkan keadilan substantif
(substantive justice). Pada perspektif filosofis, eksistensi mediasi penal
mengandung asas diterapkannya solusi "menang-menang" (win-win) dan
bukan berakhir dengan situasi "kalah-kalah" (lose-lose) atau "menang
kalah" (win-lose).
Konsep mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan anak di
Indonesia saat ini sangat diperlukan, karena:
285
a. Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara.
b. Merupakan salab satu proses penyelesaian sengketa yang
dianggap lebih cepat, murab, dan sederhana.
c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak
yang bersengketa untuk memperoleh keadilan.
d. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
dalam penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan
pemidanaan.
Berdasarkan praktik di beberapa negara dan didasarkan doktrin
model mediasi penal yang disampaikan oleh Rekomendasi Dewan Eropa,
maka konsep mediasi penal yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia
adalah kombinasi Victim Ojfrnder Medation dan Family and Community
Group Conforence. Hal ini dilandaskan pemikiran bahwa model Mediasi
Pelaku dan Korban (Victim Offender Mediation) yang melibatkan berbagai
pihak bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediatomya
dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi.
Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap
pemeriksaan di kepolisian, tabap penuntutan, tabap pemidanaan atau
setelah pemidanaan. Namun, model tersebut haruslab dikombinasikan
dengan model Konferensi Orang tua dan Perwakilan Masyarakat (Family
and Community Group Conference) karena norma hukum Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia mengutamakan kewajiban pendekatan
keadilan restoratif yang mana mengharuskan pelibatan semua pihak
termasuk keluarga dan masyarakat. Selain itu, juga berkaitan erat dengan
286
budaya hukum (legal culture) dan kearifan lokal (local wisdom) yang
berkembang di Indonesia.
B. Pengaturan Mediasi Penal yang diterapkan dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia
Pengaturan mengenai peradilan pidana anak di Indonesia saat ini
diatur dalam Undang-Undang No. II Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 20 I 5 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur I2
Tahun, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun,
belum terdapat pengaturan yang secara eksplisit mengatur mengenai
mediasi penal sebagai pengejawantahan keadilan restoratif. Meskipun,
secara tersirat telah ada ketentuan dalam Pasal 8 UU No II Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mewajibkan diversi dalam
setiap tingkatan penyidikan, penuntutan dan pengadilan melalui
musyawarah.
Pasal I angka I Undang-Undang No. II tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak .menyatakan bahwa, "Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana." Sedangkan Pasal 5
menyebutkan, "Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif'. Norma hukurn ini menunjukan perubahan
287
paradigma keadilan yang semula keadilan retributif (pembalasan) telah
bergeser kepada keadilan restoratif (pemulihan) bagi anak sebagai pelaku,
korban, dan masyarakat. Berarti keseluruhan pelaksanaan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, persidangan dan pasca putusan saat ini harus berlandaskan
paradigma keadilan restoratif.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (I) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 diatur bahwa, "Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan
diversi." Sedangkan ayat (2) mengatur bahwa, "Diversi dilaksanakan
dalam hal tindak pidana yang dilakukan: diancam dengan pidana penjara
di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana". Pasal 7 UU SPPA sebagaimana disebutkan, bahwa Diversi hanya
dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di
bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana
(residive). Bahkan sebelum memutuskan untuk melakukan proses diversi,
penyidik, penuntut umum dan hakim harus mempertimbangkan faktor
faktor sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 yaitu (a) kategori tindak pidana; (b) umur anak; (c)
basil penelitian kemasyarakatan dan Bapas; dan (d) dukungan lingkungan
keluarga dan masyarakat.
Lebih Ian jut merujuk pada Pasal 8 ayat (I) Undang-undang
Nom or II Tahun 2012 yang mengatur bahwa, "Proses diversi dilakukan
melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua atau wali,
288
korban dan/atau orang tualwalinya, pembimbing kemasyarakatan, dan
pekelja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif." dan
ayat (2) "Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan tenaga
kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat." Dengan ketentuan diatas,
maka penerapan diversi dalam penyelesaian setiap perkara dengan pelaku
anak merupakan kewajiban bagi para aparat penegak hukum di setiap
proses mulai dari tahap penyidikan, penuntutan sampai tahap pengadilan.
Hal ini sangat perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi
pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap diversi. Karena seorang anak
tidak boleh merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program
program diversi. Sehingga dalam proses diversi wajib diperhatikan
sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, "kepentingan
korban;kesejahteraan dan tanggungjawab anak;penghindaran stigma
negatif;penghindaran pembalasan;keharmonisan masyarakat;
dankepatutan, kesusilaan, dan ketertiban urn urn."
Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban
dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya,
kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana
ringan, tindak .pidana tanpa. korban. atau nilai kerugian korban tidak lebih
dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana diatur Pasal 9
ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012. Kesepakatan diversi sebagaimana diatur
Pasal 10 ayat (!) UU No. II Tahun 2012 menyatakan untuk
menyelesaikan tindak pidana sebagaimana dimaksud diatas dapat
dilakukan oleh penyidik bersama dengan pelaku dan/atau keluarganya,
289
pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat
AdapunPasal II UU No. II Tahun 2012 menegaskan bahwa hasil
kesepakatan diversi tersebut dapat berbentuk: (I) perdamaian dengan atau
tanpa ganti kerugian; (2) penyerahan kembali kepada orang tua/wali; (3)
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan lembaga pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; (4)
pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan diversi disetiap tahapan diserahkan kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh penetapan.
Selanjutnya setelah menerima penetapan (penyidik anak, penuntut umum
anak, dan hakim anak) atas laporan dari PK Bapas sebagai pengawas yang
melaporkan bahwa pihak-pihak telah melaksanakan isi kesepaktan diversi,
maka penyidik menerbitkan penetapan pengehentian penyidikan I penuntut
umum menerbitkan penetapan pengehentian penyidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 UU No. 12 tahun 20 II.
Berdasarkan uraian tersebut, sebenarnya saat ini di Indonesia telah
mengenal penanganan ABH dengan diversi melalui musyawarah antara
pelaku, korban, dan masyarakat. Namun masih dilaksanakan di luar Sistem
Peradilan. Pidana Anak (non penal), Akan tetapi, diversi hanya masih
mengakomodir anak sebagai pelaku yang diancam hukuman dibawah 7
(tujuh) tabun. Untuk itulah dengan adanya konsep dan pengaturan mediasi
penal akan mengakomodir pelaku anak yang diancam hukuman 7 (tujub)
tabun atau keatas. Selain itu, mediasi penal juga akan memberikan ruang
untuk bermusyawarah/ berunding bagi korban dan masyarakat dengan
290
pelaku anak yang berumur 12 sampai dengan dibawah 14 tahun yang juga
belum diakomodir dalam diversi apabila ancaman hukumannya 7 (tujuh)
tahun atau keatas. Padahal pelaku anak tersebut hanya dapat dihukum
berupa tindakan, untuk melindungi hak korban, maka diakomodir juga
melalui mediasi penal.
Pengaturan tentang peradilan pidana anak lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun.
PP ini terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 92 Pasal yang mengatur mengenai
Ketentuan Umum, Pedoman Pelaksanaan Proses Diversi; Tala Cara dan
Koordinasi Pelaksanaan Diversi; serta Penanganan Anak Yang Bel urn
Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan
Penutup.
PP No. 65 Tahun 2015 menyatakan bahwa pihak yang terlibat
dalam diversi antara lain: a. Penyidik I Penuntut Umum I Hakim (sesuai
tahapan); b. Anak dan/atau orang tua!Walinya; c. korban atau Anak
Karban dan/atau orang tua/Walinya; d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan
e. Pekerja Sosial Profesional. Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau
orang tua/Wali,. pelaksanaan musyawarah Diversi dapat melibatkan
masyarakat yang terdiri alas: a. tokoh agama;b. guru; c. tokoh masyarakat;
d. Pendamping; dan/atau e. Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum. Ketika
tidak terdapat Pekeija Sosial Profesional, keterwakilan Pekeija Sosial
Profesional dapat digantikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial.
PP No. 65 Tahun 2015 juga ini menjelaskan lebih rinci
291
pelaksanaan diversi disetiap tingkatan dipimpin oleh fasilitator dari
masing-masing tahap yang didampingi oleh wakil fasilitator dari petugas
pembimbing kemasyarakatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16
(I), "Musyawarah Diversi dipimpin oleh Penyidik sebagai fasilitator dan
Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator." Pasal 34 (I)
Musyawarah Diversi,"dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator
dan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator." Pasal 52 (I)
Musyawarah Diversi, "dipimpin oleh Hakim sebagai fasilitator dan
Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator."
Pasal 6 ayat (3) PP No. 65 Tahun 2015 mengatur, "Hasil
kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan
atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat."
Sedangkan Kesepakatan Diversi tanpa persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 7, dapat
berbentuk: "a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. rehabilitasi
medis dan psikososial; c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; d.
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau e. pelayanan masyarakat paling
lama 3 (tiga) bulan." Menurut Pasal 9 ayat (!), Hasil kesepakatan Diversi
dituangkan dalam bentuk Surat Kesepakatan Diversi." Lalu ayat (2),
"Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) harus
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri di wilayah tempat terjadinya
292
perkara atau di wilayah tempal kesepakatan Diversi dibuat."
Sebelum disahkanya PP No. 65 tahun 2015, sebenarnya
Mahkamah Agung dalam rangka mengisi kekosongan hukum Ielah
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selanjutnya, secara substansial Perma No. 4 Tahun 2014 terdiri dari 5
(lima) Bab yang mengatur tentang Kelentuan Umum, Kewajiban Diversi,
Pelaksanaan Diversi Di Pengadilan, Kelentuan Peralihan dan Kelentuan
Penulup.
Pada dasarnya, sesuai konleks di atas sebagai fungsi memenuhi
kekosongan dan penegakan hukum untuk praktik penyelenggaraan
pemerintahan dan sislem peraturan perundang-undangan in casu
berdasarkan konsiderans menimbang huruf b Per RI Nom or 4 Tahun 2014
disebulkan bahwa Undang-undang Nomor I 1 Tahun 2012 lentang Sistem
Peradilan Pidana Anak belum mengatur secara jelas tentang tata cara dan
tahapan Diversi.
Pasal 3 Perma No. 4 Tahun 20 I 4 mengatur bahwa, "Hakim wajib
mengupayakan Diversi dalam hal Anak didakwa melakukan tidak pidana
yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan
didakwa pula dengan lindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7
(tujuh) tahun alau lebih dalam bentuk sural dakwaan subsidaritas,
altemalif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)"
Berdasarkan uraian normalif diatas, ditemukan inkonsistensi atau
dualisme pegaturan yaitu Pasal 3 Perma No. 4 Tahun 2014 yang
293
mewajibkan hakim melakukan musyawarah diversi terhadap dakwaan
yang ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun atau diatas 7 (tujuh)
tahun ( dakwaan alternatif, subsideritas, dan komulatif). Di sisi lain,
Pemerintah No. 65 Tahun 2015 dalam Pasal 3 hanya mewaj ibkan diversi
terhadap ancaman dibawah 7 (tujuh) tahun. Hal ini mengakibatkan
multitafsir pelaksanaan oleh Aparat Penegak Hukum khususnya hakim.
Selain itu, Jaksa Agung telah mengirim sura! kepada Ketua Mahkamah
Agung untuk melakukan peniqjauan kembali terhadap Perma No.4 Tahun
2014. Namun, sampai saat ini Mahkamah Agung berpandangan bahwa
Perma No. 4 Tahun 2014 tetap harus mengatur untuk melindungi hak anak
yang dakwaanya bukan tunggal.
Hal inilah yang juga menjadi urgensi ditawarkanya konsep
mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak yaitu sebagai upaya
untuk mengharmonisasi Pasal 3 Perma No.4 Tahun 2014 dan Pasal 3 PP
No. 65 Tahun 2015. lntegrasi konsep mediasi penal bertujuan untuk
mengakomodir kekosongan hukum yaitu terhadap anak yang diancam 7
(tujuh) tahun atau keatas belum terakomodir akibat dua peraturan yang
berbeda tersebut.
. Berbeda dengan . normatif sebagaimana yang telah diuraikan
diatas, dalam praktik empiris sebenarnya terobosan mediasi penal sebagai
instrumen keadilan restoratif sudah pernah dilakukan oleh hakim, penuntut
umum, dan penyidik dalam beberapa kasus di Indonesia. lmplementasi
tersebut namun masih dilakukan diluar sistem peradilan pidana anak dan
hasilnya tidak mengikat untuk menjadi pertimbangan penuntut umum
294
dalam menunutut maupun hakim dalam memutus. Peneliti sebagai praktisi
telah membuktikan sendiri pelaksanan praktik mediasi penal yang
dilakukan di lima pengadilan negeri yang merupakan tempat peneliti
pernah dan sedang bertugas sebagai hakim anak dan hakim mediator.
Pengadilan tersebut yaitu di Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, Pengadilan Negeri Stabat, Pengadilan Negeri
Cibinong dan Pengadilan Negeri Bale Bandung dan Pengadilan Negeri
Bandung khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No.
128/Pid.SUSI2014 /PN.Cbn dan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong
No.I40/PNISus/2013/PN.Cbn.Untuk memberikan uraian yang
komprehensif tentang praktik mediasi penal yang akan diatur, peneliti
akan mengkaji dan menawarkan pengaturan dariberbagai aspek, yaitu:
Syarat, tempat dan waktu pelaksanaan, mediator, para pihak, proses, dan
basil kesepakatan.
1. Syarat Mediasi Penal
Pengaturan syarat mediasi penal menurut pendapat peneliti dilakukan
di penyidikan, penuntutan, dan pengadilan yakni apabila:
l. Pelaku mengakui perbuatannya (sebagai syarat utama), beijanji tidak
mengulangi dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
2. Korban berkeinginan memaafkan dan bersedia untuk melakukan
perundingan.
3. Perwakilan masyarakat mendukung dilakukan perundingan
4. Kualifikasi perkara ringan.
Bila semua syarat itu terpenuhi, maka penyidik I penuntut umum I
295
hakim melaksanakan proses mediasi.
2. Waktu dan Tempat Mediasi Penal
Pengaturan waktu pelaksanaan mediasi penal dilaksanakan dalam
tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Pada tahap penyidikan
mediasi penal dilakukan setelah pemeriksaan korban, saksi, dan pelaku
dilaksanakan di ruang mediasi unit PPA (Perlindungan Perempuan dan
Anak). Sedangkan dalam tahap penuntutan, mediasi penal dilakukan pada
pelimpahan berkas tahap dua di ruang mediasi Kejaksaan. Untuk
pelaksanaan di pengadilan dilakukan setelah proses pemeriksaan korban,
saksi, bukti, dan pelaku, sebelum proses pembacaan tuntutan apabila telah
memenuhi syarat-syarat pelaksanan mediasi penal, dilaksanakan di ruang
mediasi pengadilan.
Dalam praktik pelaksanaan mediasi penal di pengadilan negeri,
jangka waktu yang dibutuhkan dalam menangani perkara ABH tidak sama/
tetap, namun tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
a Berat/ringannya (kompleksitas) tindak pidana yang dilakukan.
b. Adanya korban dalam tindakan kriminal tersebut. Misalnya, mediasi
kasus narkoba yang korban secara langsung adalah si pelaku sendiri
(dan masyarakat-secara tidak langsung) akan berlangsung lebih cepat
dibandingkan mediasi kasus kejahatan seksual di mana ada orang
lain yang menjadi korban.
c. Jumlah para pihak (baik korban atau pelaku) yang terlibat.
d. Itikad baik dan keija sama para pihak.
Waktu adalah faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan
296
proses mediasi penaL Mediator harus memberikan waktu yang cukup
kepada korban karena pada awalnya mereka bisa mempunyai perasaan
untuk membalas dendam (baik secara fisik atau melalui putusan
pengadilan), kehilangan kepercayaan, atau merasa dikhianati oleh
komunitas dan perlindungan hukum, serta ingin meninggalkan lingkungan
yang tidak aman bagi mereka. 367 Dengan waktu yang cukup, korban akan
meraih kembali ketenangan serta kepercayaan terhadap diri sendiri dan
orang lain hingga siap untuk berhadapan dengan pelaku di dalam proses
mediasi.
Proses mediasi penal di pengadilan dilakukan di ruang khusus
untuk mediasi. Belum ada pengaturan mengenai ruang khusus untuk
mediasi perkara pidana anak, sehingga hakim yang ingin melaksanakan
mediasi sebagai implementasi keadilan restoratif dapat memakai ruang
mediasi perdata.368 Fasilitas yang harus disediakan dalam ruang mediasi
adalah ruangan yang nyaman dengan perabotan yang dapat membuat
suasana kekeluargaan, antara lain: meja bundar, kursi, papan tulis (white
board), AC, dan lukisan-lukisan yang dapat menimbulkan suasana nyaman
dan kekeluargaan.
Mark- -Umbreit dan Jean Greenwood menekankan pentingnya
penataan ruang mediasi untuk menciptakan suasana yang kondunsif untuk
367 Sylvie Dongier dan Denis van Doosselaere, 11Approaching Mediation in Juvenile Court Rationale and Methodological Aspects", dalam Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, eds Messmer, H. dan Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1992, him. 504-505.
368 Setiap Pengadilan Negeri (dan Pengadilao Agama) di seluruh Indonesia mengupayakan adanya sebuab ruangan khusus untuk mediasi setelab prosedur ini diwajibkao untuk menyelesaikao perkara perdata. Walaupun demikian, setiap pengadilan memiliki fasilitas yang berbeda. Ruang mediasi ini juga bisa dipakai untuk mediasi penal dalam menangani perkara ABH.
297
melangsungkan proses mediasi. Mediator perlu hadir lebih awal untuk
mempersiapkan ruangan yang tenang dan tersendiri agar tidak terganggu
suara dari luar. Pengaturan tempat duduk secara fisik juga penting karena
dapat mempengaruhi jalannya proses mediasi. Mediator seharusnya
menata ruangan dan tempat duduk yang dapat membuat para pihak merasa
aman dan nyaman, kecuali ada permintaan khusus dari para pihak yang
masuk aka!. 369
3. Mediator Mediasi Penal
Mediator dalam penanganan perkara ABH adalah hakim yang
bertugas di Pengadilan Negeri, terutama hakim anak yang secara khusus
memang ditugaskan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan ditetapkan oleh
Ketua Mahkamah Agung RI yang berwenang melakukan sidang anak.
Ketika bertugas menjadi mediator, hakim anak didampingi oleh jaksa anak
dan PK Bapas sebagai co-mediator. Hal ini sesuai dengan pendapat
Umbreit dan Greenwood yang menjelaskan pertimbangan penting dalam
tahap mediasi ini adalah apakah perlu menggunakan co-mediator untuk
membantu mediator, khususnya dalam kasus yang rum it. 370
Untuk menjadi aparat penegak hukum anak (penyidik anak,
penuntut umum anak, hakim anak) harus dipenuhi, yaitu: telah
berpengalaman sebagai hakim di Pengadilan Negeri dan mempunyai
369 Mark Umbreit dan Jean Greenwood, "The Mediation Process: Phases and Tasks", dalam The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, ed Umbrei~ M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. 48-49
370 Mark Umbreit dan Jean Greenwood, "The Mediation Process: Phases and Tasks", dalam The Handbook of Victim Offender Media/ion: An Essential Guide to Practice and Research, ed Umbrei~ M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. 47.
298
minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak,371serta hams
mengikuti pendidikan dan pelatihan secara terpadu sesuai dengan
ketentuan UU No. 11 Tahun 2012. Ketika melakukan mediasi penal dalam
perkara ABH, hakim mempunyai kewenangan untuk tidak harus selalu
memenjarakan setiap kali ada anak melakukan tindak pidana (kasuistis).
Tidak seperti mediasi dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Agama yang mewajibkan mediator (terutama kalangan
non-hakim) untuk mengikuti pelatihan sertifikasi mediator terlebih dahulu,
mediator yang menangani perkara ABH tidak harus bersertiftkat mediator
terlebih dahulu. Walaupun tidak perlu mengikuti pelatihan sertiftkasi,
mediator seyogyanya memiliki keahlian I pengetahuan yang memadai
dalam menangani perkara ABH di forum mediasi penal, di antaranya:
1. Mempunyai wawasan tentang anak.
2. Berperan netral.
3. Bersikap sabar.
4. Tidak mudah terpancing emosi.
5. Dapat membangun kepercayaan para pihak.
6. Dapat membangun komunikasi para pihak.
7. Dapat menggali kepentingan tersembunyi baik pelaku maupun
korban.
8. Membantu para pihak untuk mencari altematif solusi bagi pelaku,
korban, dan masyarakat dengan tujuan pemulihan untuk pelaku,
korban, dan masyarakat secara seimbang.
371 Ibid, Pasal 10
299
Gronfor meJtielaskan urgensi pelatihan mediasi bagi mediator anak
agar mempunyai kemampuan mendengar, bersikap netral, berpikiran
terbuka, serta ketenangan dan keberanian untuk mengambil tindakan.372
Umbreit menambahkan penjelasan mengenai beberapa sifat yang
seharusnya dimiliki oleh seorang mediator dalam menangani perkara
ABH, yaitu:373
a. Keahlian berkomunikasi yang bailc, terutama dalam mendengarkan
secara refleksif dan asertif.
b. Keahlian bernegosiasi dan memecahkan masalah.
c. Kemampuan untuk melakukan kepemimpinan yang tepa!.
d. Keahlian berorganisasi yang baik.
e. Berkomitmen terhadap filosofi dan teknik penyelesaian sengketa
tanpa kekerasan.
f. Kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan sistem
peradilan pidana.
Dengan memiliki keahlian tersebut, mediator dapat menjalankan
tugasnya dengan baik. Mediator yang tidak memiliki cukup keahlian dan
pengalaman akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan mediasi
perkara ABH karena kekhususan dan kompleksitas kasus ini, apalagi kalau
tidak didukung dengan persiapan yang cukup.
Peran mediator sangat penting dalam mempersiapkan korban dan
372 Martti Gronfors, 11 Mediation: A Romantic [deal or a Workable Altemativen, dalam Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-lnlernationa/ Research Perspectives, eds Messmer, H dan Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1992, him. 425.
m Mark Umbreit, Victim Meets Offender: The Impact of Restorative Justice and Media/ion, Willow Tree Press, New York, 1994, him. 150.
300
pelaku sebelum memasuki proses mediasi penal agar mereka mendapatkan
cukup informasi dan mempunyai harapan yang realistis.374 Bila persiapan
dilakukan dengan baik, para pihak akan percaya bahwa mediasi penal
memberikan kesempatan pada mereka untuk memecahkan masalah yang
mereka hadapi dan mediator hanya membantu untuk mencapai
kesepakatan yang memuaskan semua pihak.375 Selain itu, mediator juga
hams berhati-hati dalam memilih atau mengundang pihak-pihak yang
berguna untuk membuat proses mediasi beijalan lancar, bukan malah
mengganggu.376
Ketika menjalankan fungsinya dalam proses mediasi penal, mediator
berperan secara aktif dengan memberikan wacana, nasihat, dan altematif
solusi. Peran ini sesuai dengan pendapat Fulton377 yang menyatakan
bahwa jenis mediator aktif adalah mediator yang turut membantu
pengembangan penyelesaian sengketa, bukan seperti mediator pasif yang
hanya berfungsi sebagai fasilitator. Umbreit and Armour78 menyatakan
bahwa mediator bertindak paling aktif ketika mempersiapkan para pihak
dalam menghadapi sesi-sesi mediasi penal dan ketika membuat sebuah
kesepakatan.
Peran mediator yang aktif dalam memediasi perkara ABH di
374 Milt Carroll, "Implementational Issues: Considering The Options for Victoria", dalam Family Conferencing and Juvenile Justice: The Way Forward or Misplaced Optimism?, eds Alder, C dan Wundernitz, J., Australian Institute of Criminology, Canberra, 1994, him. 177
375 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Annour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 20 I 0, him. 128
376 Martin Wright, "Victim/Offender Conferencing: The Need for Safeguards", dalam Restorative Justice for Juveniles: Potentialities, Risks, and Problems. ed Walgrave, L., Leuven Univernitr, Press, Leuven, 1998, him. 80
37 Maxwell J. Fulton, Commercial Alternative Dispute Resolution, The Law Book, Sydney, 1989, him. 75
378 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Annour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 2010, him. 128.
301
Indonesia ini banyak menjurus kepada dominannya keikutsertaan mediator
dalam setiap tahapan proses mediasi, sejak dimulainya mediasi hingga
perancangan kesepakatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Jenis kasus yang dimediasi adalah kasus pidana yang sedikit banyak
memerlukan intervensi dari mediator.
b. Jabatan yang melekat pada mediator sebagai hakim anak di
pengadilansebagai perwakilan negara dalam membantu mencapai
kesepakatan yang sesuai dengan hukum pidana positif.
c. Kebiasaan hakim memutus (to adjudicate) dalam setiap perkara di
pengadilan, hingga tidak terbiasa untuk sekadar memfasilitasi proses
mediasi (to facilitate).
d. Ekspektasi dari para pihak yang memang mengharapkan mediator
sebagai orang yang mempunyai wibawa, otoritas, pengetahuan, dan
pengalaman lebih banyak untuk membantu memberikan nasihat atau
bahkan putusan yang terbaik dan memuaskan semua pihak.
Dominannya peran mediator ini disebut juga sebagai directive
mediator. Para pakar mediasi berbeda pendapat mengenai sejauh mana
seorang mediator bisa melakukan intervensi. Bila kita melihat mediasi
yang dilakukan negara-negara Barat, maka boleh dikatakan para pihaklah
yang memiliki kewenangan untuk menentukan proses dan kesepakatan
yang mereka inginkan. Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator yang
membantu para pihak untuk menciptakan suasana mediasi yang
konstruktif hingga bisa mencapai kesepakatan yang memuaskan semua
302
pihak.379
Sebaliknya, dalam perspektif negara-negara di Asia, mediator
memiliki kewenangan yang lebih besar untuk memberikan nasihat atau
bahkan putusan dalam sebuah kasus, hila diinginkan oleh para pihak yang
terlibat. Hal ini karena mediator yang ditunjuk oleh prinsipal adalah orang
dihormati atau dituakan yang memiliki pengalaman, kebijakan, dan
pengetahuan hidup lebih lugs untuk memberikan solusi pennasalahan yang
dihadapi. 380 Namun dari semua pendapat pakar tersebut, ada sebuah
kesepakatan bahwa mediator tidak boleh memiliki kckuasaan untuk
memutuskarena tidak akan berbeda dengan peran seorang arbiter dalam
proses arbitrase.
Sesuai dengan sifat mediasi penal sebagai pengejawantahan
keadilan restoratif, model mediasi yang digunakan adalah pendekatan
transformatif 81 di mana para pihak terlibat secara aktif untuk menentukan
bagaimana menyelesaikan sengketa yang dapat mencapai keadilan
menurut kehendak mereka menuju perubahan sikap dan kondisi hidup
korban dan pelaku ke arab yang lebih baik (transfonnasi). Keluarga dan
masyarakatjuga diharapkan ikut ter-transfonnasi dalam model mediasi ini.
Profesor John Paul Lederach, seorang pakar mediasi dan mediator
intemasional dari Amerika Serikat, mendukung penyelesaian konflik
379 Hilary Astor dan Christine Chinkin, Dispute Resolution in Australia 2" ed, Butterworths, Sydney, 2002. L. Boulle, Mediation: Principles, Process, Practice 2nd ed., Butterworths, New South Wales, 2005. C.W Moore, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict 3' ed., Jossey-Bass, San Fransisco, 2003.
380Joel Lee dan Teh Hwee Hwee, 11The Quest for an Asian Perspective on Med.iation 11 dalam An Asian Perspective on Mediation, eds Lee, J dan Hwee, T., Academy Publishing, Singapore, 2009
381 Linda·Fisher dan Mieke Brandon, Mediating with Families: Making The Difference, Prentice Hall, New South Wales, 2002, him. 14.
303
No I
2.
3.
4.
5.
6.
melalui pendekatan transfonnatif dibandingkan resolusi konflik karena
memiliki beberapa keunggulan seperti terlihat dalam Tabel berikue82
Tabel Perbandingan cara pandang resolusi konflik dengan
transfonnasi konflik
Aspek Resolusi Konflik Transformasi Konflik Pertanyaan kunci Bagaimana kita Bagaimana kita mengakhiri
mengakhiri sesuatu yang sesuatu yang merusak dan tidak kita inginkan membangun yang
diinginkan? Fokus Berpusat pad a is if Berpusat pada hubungan
substansi perkara (relationship-centered) (content-cantered)
Tujuan Menghasilkan Membangun proses kesepakatan dan solusi perubahan yang konstruktif, untuk masalah yang termasuk solusi yang cepat. dihadapi.
Perkembangan Dibangun berdasarkan Menganggap masalah yang proses hubungan singkat para dihadapi sebagai
pihak pada gejala kesempatan untuk konflik. menanggapi gejala konflik
dan pemberlakuan sistem. Jangka waktu Solusi jangka pendek Solusi jangka menengah
untuk mengatasi dan panjang. masalah.
Pandangan Berdasarkan kebutuhan Menganggap konflik: terhadap konflik untuk menurunkan sebagai dinamika hubungan
Skala kon flik. untuk mencapai perubahan konstruktif.
Berdasarkan perbedaan cara pandang inilah Lederach lebih
memilih penggunaan terminologi conflict transformation dibandingkan
conflict resolution atau conflict management. Selanjutnya, Lederach
menawarkan pengertian dari transformasi konflik, yaitu: 383
"Conflict transformation is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as lifo-giving opportunities for creating
382John Paul Lederach, The Little Book of Conflict Transformation, Good Books, PhiladeiEhia, 2003, him. 33
3 Ibid, him. 22
304
constructive change processes that reduce violence, increase justice in direct interaction and social structures, and respond to real-lifo problems in human relationships." "Transfonnasi konflik memandang dan menanggapi alur konflik sosial sebagai kesempatan yang diberikan kehidupan untuk menciptakan proses perubahan yang konstruktif yang mengurangi kekerasan, meningkatkan rasa keadilan dengan cara interaksi langsung dan struktur sosial, dan menanggapi masalah hidup yang nyata dalam hubungan antannanusia."
Transfonnasi konflik merupakan pendekatan yang lebih cocok
dalam menangani perkara ABH dengan beberapa alasan: transfonnasi
konflik tidak hanya ingin mengakhiri kerusakan akibat perbuatan pelaku,
tetapi juga memperbaiki luka sesuai keinginan para pihak; melibatkan
semua pihak secara langsung dalam penyelesaian masalah; dan bertujuan
jangka panjang untuk melindungi tidak hanya kepentingan korban dan
pelaku, tetapi juga kepentingan keluarga dan masyarakat secara luas.
Dalam melaksanakan perkara ABH, mediator wajib melihat dan
menganalisis semua aspek yang melingkupi perkara tersebut secara
komprehensif (holistic), tidak sekadar fakta hukum yang terjadi (linear).
Hal ini sangat penting untuk nnencapai proses mediasi dan kesepakatan
yang baik , langgeng, dan memuaskan semua pihak.
Analisis semua aspek secara komprehensif akan berdampak pada
pengambilan putusan hakirn. Fakta maupun Jatar belakang kejadian
perbuatan anak menjadi pertirnbangan hakim dalam memberikan altematif
solusi kepada pihak-pihak yang bennusyawarah. Hal ini berbeda dengan
mediasi perkara perdata di mana mediator tidak membahas materi pokok
perkara, tetapi mengawali dengan mengidentifikasi masalah sehingga
dalam perkara perdata tidak ada pembahasan benar salahnya para pihak.
305
Dalarn perkara pidana anak, hakim sudah mengetahui fakta-fakta yang
terungkap di persidangan dan latar belakang teJjadinya peristiwa pidana
anak dari Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang disampaikan
oleh PK Bapas di awal persidangan. Hakim juga dapat menanyakan
langsung dalarn persidangan, sehingga pada saat mediasi hakim lebih
mudah mengungkap hal-hal yang tersembunyi dari kepentingan para
pihak.
Keterlibatan perwakilan masyarakat secara kasuistis juga meru
pakan aspek yang harus dipertimbangkan oleh mediator. Kalau pelaku
masih berstatus siswa, maka mediator harus mendengar keterangan dari
guru atau wali kelas tentang perilaku anak di sekolah. Keterangan dari
Ketua RTIRW dan Kepala Desa juga perlu didengar untuk mendapat
gambaran tentang perilaku anak di rumah/tempat tinggalnya. Jadi,
referensi dari perwakilan masyarakat juga masuk dalam proses mediasi
penal dan berpengaruh terhadap putusan yang perlu diambil atau
kesepakatan yang ingin dicapai.
Mediator perlu menggunakan taktik khusus dalam melaksanakan
perkara ABH karena menjadi mediator perkara pidana anak sangat berbeda
dengan menjadi mediator untuk perkara perdata. Hal ini karena dalarn
pelaksanaannya seorang mediator perkara pidana anak harus dapat
memulihkan pelaku, korban, dan lingkungan masyarakat sesuai prinsip
keadilan restoratif. Oleh karena itu mediator harus dapat memaharni
kejiwaan atau psikologi anak untuk menggali dan mengungkap hal-hal
yang tersembunyi dari pelaku maupun korban. Penanganan anak tentu
306
sangat berbeda dengan penanganan orang dewasa, sebagaimana juga diatur
secara lex specialis di dalam Undang-undang Nomor I I Tahun 2012
tentang Pengadilan Pidana Anak.
Dalam memediasi perkara ABH, isu gender juga memainkan pe
ranan penting. Penulis berpendapat, perempuan lebih cocok menjadi
mediator dalam penanganan ABH, namun tidakmenutup kemungkinan
bagi laki-Iaki menjadi mediator tersebut karena penekanan dalam Undang
Undang Pengadilan Anak bukanlah terhadap jenis kelamin tetapi dedikasi
sensitif terhadap anak. Dalam praktiknya Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (UP2A) di Kepolisian didominasi oleh polisi wanita, sementara di
kejaksaan maupun pengadilan berimbang antara laki-laki dan perempuan.
Dalam penanganan ABH lebih baik dominan perempuan karena memiliki
sentuhan keibuan, kesabaran, dan ekspresi kasih sayang yang lebih
memungkinkan menyentuh kalbu pelaku, korban, dan masyarakat.
Menurut pendapat penulis, PK Bapas sebagai pendamping anak
sejak awal penyidikan hingga proses persidangan juga dapat bertindak
sebagai mediator atau co-mediator di setiap tahap proses peradilan. Pasal
65 UU No. I I tahun 20I2 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyebutkan tugas PK Bapas yaitu:
a Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan
Diversi melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan
terhadap anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan,
termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak
dilaksanakan.
307
b. Membuat laporan peneliotian kemasyrakatan untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik
dalam maupun di luar sidang termasuk di dalam LPAS dan LPKA;
c. Menentukan program perawatan Anak LPAS dan Pembinaan Anak
di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;
d. Melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan terhadap
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau
dikenai tindakan, dan;
e. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan
terhadap anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat,
cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat.
Informasi yang diberikan PK Bapas melalui laporan penelitian
kemasyarakatan sangat diperlukan sebagai pertimbangan hakim untuk
memutus perkara sesuai dengan ketentuan Pasal60ayat (3)Undang-undang
Nomor II tahun 20 12. Apabi Ia hakim tidak mempertimbangkan laporan
Litmas dari PK Bapas, maka putusan hakim batal demi hukum. Dengan
demikian penulis berpendapat bahwa keberadaan PK Bapas dalam proses
persidangan maupun proses mediasi penal sangat membantu hakim untuk
mendapatkan informasi dilapangan, baik mengenai lingkungan tempat
tinggal pelaku, korban, maupun lingkungan masyarakat, untuk mendorong
tercapainya pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
4. Para Pihak Mediasi Penal
Secara umum, dalam proses mediasi perkara perdata di pengadilan
para pihak yang hadir adalah yang terkait secara langsung, yaitu penggugat
308
dan tergugat. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar kerahasiaan mediasi yang
harus dijaga. Namun dalam proses mediasi penal, para pihak yang hadir
tidak hanya yang terlibat secara langsung, tetapi juga aparat penegak
hukum dan pihak lain yang turut berperan agar perkara dapat diselesaikan
secara tuntas dan komprehensif. Kondisi ini sesuai dengan pendapat
Liebman384 yang menyatakan "victim-offender mediation is most usually
undertaken with one victim and one offender, although both may bring
supporters. But it can also be done with large numbers (multi-party
mediation)."
Dalam praktik mediasi penal di pengadilan Indonesia, para pihak
yang ikut terlibat dalam proses mediasi adalah:
1) Mediator: Penyidik anak I Penuntut Hukum anak I Hakim anak.
2) Co-mediator: Petugas kemasyarakatan BAPAS.
3) Pelaku anak.
4) Orangtua pelaku anak.
5) Karban I anak bersama orang tua korban
6) Pekelja Sosial Profesional (PEKSOS)
7) Penasihat hukum anak.
8) Perwak:ilan masyarakatlkasuistis (RT I R WI kepala desa I guru I
tokoh agama I tokoh masyarakat I LSM anak).
Prinsip dasar proses mediasi mensyaratkan adanya keseimbangan
kekuatan385 dari para pihak agar mediasi dapat beljalan lancar dan
384 Marian Liebmann, Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London, 2007, him. 74
385 Yang dimaksud dengan kekuatan di sini mencakup banyak aspek, seperti jabatan yang dimiliki, kesetaraan pendidikan!pengetahuanlinformasi, kekayaan, gender, dan lain-lain
309
menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Namun,
ketidakseimbangan kekuatan (imbalance of power) dalam proses mediasi
penal sering muncul, terutama dalam kasus yang melibatkan adanya
korban. 386 Hal ini teljadi karena pihak keluarga korban merasa berhak
menuntut ganti rugi atau tindakan retributif lain untuk memuaskan
perasaan ingin membalas dendam terhadap perbuatan pelaku. Pelaku
merasa terpojok dan sulit mengutarakan perasaan dan kepentingannya.
Dalam banyak kasus lain, korban juga mengalami rasa tertekan dan malu
untuk mengutarakan kern bali akibat. dari perbuatan yang dideritanya
kepada banyak orang. Rasa malu ini menyebabkan sulitnya penyampaian
kepentingan yang mereka inginkan.
Maddocks387 berpendapat senada mengenai rumitnya masalah
keseimbangan kekuata.n dalam proses mediasi penal. Hal ini karena
perbuatan salah yang dilakukan dari satu pihak terhadap pihak lain
mengakibatkan para pihakmenjadi berkumpul bersama. Korban terlihat
mempunyai posisi tawar (bargaining power) lebih tinggi karena mereka
tidak harus memberikan apa-apa (nothing to lose). Pelaku terlihat harus
selalu memberi karena terancam sanksi yang lebih berat hila mediasi tidak
mencapai kesepakatan yang memuaskan korban. Korban juga bisa merasa
tidak punya kekuatan disebabkan perasaan tidak mampu mencegah
kejahatan sedari awal atau karena ada hubungan social diantara keduanya
di masyarakat. Dalam hal ini, mediator sangat dibutuhkan untuk
386 Bukan dalam kasus yang hanya merugikan pelaku secara langsung seperti dalam kasus narkoba
387 Shane C. Maddocks, Victim/Offender Media/ion in The South Australian Juvenile Justice System, South Australian Institute of Technology, Adelaide, 1990, him. 63·64
310
meminimalisasi ketidakseimbangan dari para pihak agar mediasi dapat
beljalan Iancar.
5. ProsesMediasi
Sebagaimana ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dan ketentuan acara sidang dalam Undang-undang Nomor ll tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, urutan pemeriksaan perkara
anak adalab sebagai berikut:
a Pada hari sidang yang telab ditentukan, Penuntut Umum
menghadapkan terdakwa anak, selanjutnya disidangkan dalam ruang
sidang khusus anak dengan pemeriksaan tertntup untuk urn urn.
b. Setelab hakim menanyakan identitas terdakwa, selanjutnya atas
perintah hakim petugas PK Bapas membacakan laporan penelitian
kemasyarakatan
c. Atas perintah Hakim Anak, Penuntut Umurn Anak mernbacakan
dakwaan.
d. Apabila penasihat hukurn Anak tidak rnengajuk:an eksepsilkeberatan
atas dakwaan jaksa penuntut urnurn, rnaka dilanjutkan dengan
perneriksaan saksi-saksi dan alas bukti yang di~ukan jaksa penuntut
urnurn anak ke persidangan.
e. Hakim mendengarkan keterangan Anak. Selanjutnya, apabila hakirn
berkeyakinan semua unsuryang didakwakan penuntut umum telab
terbukti dan Anak rnengakui perbuatannya, sedangkan saksi korban
atas pertanyaan hakirn berkeinginan untuk rnemaafkan Anak, maka
kriteria dari keadilan restoratiftelab terpenuhi yaitu :
311
1) Perkara kualifikasi ringan.
2) Anak telah mengakui perbuatannya.
3) Saksi korban berkeinginan memaafkan.
4) Perwakilan masyarakat mendukung dan tidak berkeberatan untuk
ikut berm usyawarah.
f. Selanjutnya hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
melakukan musyawarah di ruang mediasi didampingi oleh pihak-pihak
yang terkait. Persidangan ditunda untuk acara tuntutan dan hakim
mengimbau para pihak untuk melaksanakan pertemuan di ruang
mediasi.
Musyawarah di ruang mediasi ini bertujuan untuk mendapat akses
keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Sebelum menjatuhkan
putusan berupa tindakan, hakim dapat terlebih dahulu mempertemukan
Anaklpelaku/orangtua, korbanlorangtua, dan perwakilan masyarakat agar
hakim dapat melakukan pendekatan keadilan restoratif untuk mewujudkan
putusan yang bukan saja mempertimbangkan legal justice akan tetapi juga
memperhatikan moral justice dan social justice agar tercapai
keseimbangan dalam masyarakat pasca putusan hakim.
Dalam pertemuan pertama mediasi penal, mediator membuka
proses tersebut dengan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan
mediasi sebagai implementasi dari keadilan restoratif. Disampaikan pula
bahwa tujuan pokok pertemuan mediasi adalah untuk mencari solusi yang
adil dengan menekankan kepada pemulihan bagi pelaku anak, korban, dan
masyarakat secara seimbang, serta menyambung silaturahim antara
312
korban, pelaku, dan keluarga agar tidak ada rasa dendam di kemudian hari.
Penekanannya di sini adalah pemulihan pelaku agar menjadi pembelajaran
dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
Sebelum memulai proses mediasi penal, mediator menyampaikan
beberapa hal mengenai aturan main (ground rules) yang hams disepakati
dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat agar proses mediasi dapat
beljalan dengan lancar. Aturan main tersebut berisi:
a. Semua informasi penting akan disampaikan untuk didiskusikan
bersama.
b. lnformasi yang bersifat pribadi boleh disimpan/dirahasiakan.
c. Mendengar orang lain.
d. Tidak boleh ada tuduhan, hinaan, atau interupsi ketika ada pihak yang
berbicara.
e. Semua pihak harus mengendalikan emosi.
f. Jika diperlukan, mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan terpisah)
dengan salah satu pihak dalam proses mediasi.
g. Setiap pihak berhak untuk mundur dari proses mediasi, tapi harus
menjelaskan alasan dan memberikan waktu yang cukup bagi pihak lain
untuk memberikan komentar.
h. Kesepakatan yang tercapai dibuat secara tertulis dan harus dihormati.
Setelah membuka mediasi dan para pihak menyepakati aturan main
tersebut, maka tahapan mediasi penal di pengadilan dalam menyelesaikan
perkara ABH adalah sebagai berikut:
a. Semua pihak yang hadir diharapkan menciptakan suasana akrab dan
313
kekeluargaan ( dalam bentuk lingkaran).
b. Pertemuan diawali dengan ritual khusus (sesuai budaya dan kondisi
yang dihadapi) untuk mengangkat semangat kebersamaan serta
mendukung ketulusan dan keterbukaan.
c. Setiap orang memperkenalkan diri seraya menjelaskan alasan
kehadiran dalam pertemuan.
d. Mediator memulai dengan menanyakan pada pelaku tentang apa yang
ia rasakan ketika dan sesudah melakukan perbuatan tersebut, serta
menanyakan pula apa yang dirasakan orangtua pelaku.
e. Mediator kemudian menanyakan pada korban tentang apa yang ia
rasakan ketika dan sesudah perbuatan tersebut teijadi, serta
menanyakan pula apa yang dirasakan orangtua korban (apabila korban
adalah anak).
f. Mediator menanyakan kepada perwakilan komunitas masyarakat,
bagaimana perilaku pelaku sebelum dan sesudah melakukan perbuatan
pidana dan mengaitkan dengan Jatar belakang teljadinya peristiwa
pidana dari laporan litmas PK Bapas.
g. Mediator bertanya kepada pihak lain yang hadir tentang pe
. __ ngalaman/pendapatmerekamengenai perbuatan yang teljadi.
h. Mediator kemudian bertanya bagaimana mencapai keadilan yang
memuaskan dalam situasi yang teljadi dan bertanya kepada
pelaku/orangtua dan korban/orangtua tentang apa yang menjadi
harapan masing-masing.
i. Apabila mencapai kesepakatan, maka kesepakatan itu dibuat secara
314
tertulis dan ditandatangani oleh pelakulkeluarga, korban/ keluarga, dan
pihak lain yang hadir.
J. Proses mediasi berakhir dengan ritual khusus.
k. Apabila diperlukan, mediatordapat melakukan kaukus (pertemuan
terpisah) atas persetujuan para pihak.
Umbreit dan Armoufl88 menyatakan bahwa tidak seperti proses
mediasi umum yang mengutamakan tercapainya kesepakatan (settlement
driven), proses mediasi penal berfokus pada terciptanya dialog antara
korban dan pelaku (dialogue driven). Penekanannya terletak pada
pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dan perbaikan atas kerusakan
yang ditimbulkan. Liebmann389 membagi proses mediasi penal menjadi
dua tahap, yaitu:
1. Pertemuan terpisah (separate meetings):
Bertemu dengan korban dan pelaku secara terpisah untuk melihat
kemungkinan melakukan mediasi.
Jika memungkinkan, dilakukan persiapan untuk mempertemukan
para pihak secara langsung, termasuk mendiskusikan aturan main
(ground rules).
2. Pertemuan bersama Ooint meeting):
Pernyataan pembukaan, pengenalan, dan aturan main.
Setiap pihak menyampaikan cerita mereka tanpa interupsi.
Saling bertukar pertanyaan.
388 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice. Springer Publishing, New York, 2010, him. 128
389 Mariam Liebmann, Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publisher, London, 2007, him. 73-74
315
Mulai membangun kesepakatanjika memungkinkan.
Penulisan kesepakatan.
Penutupan dan mengatur tindak lanjut.
Penjelasan penutup dari mediator.
5. Kesepakatan
Apabila mediasi penal yang dilakukan dalam menangani perkara
ABH berhasil mencapai titik temu, maka dibuat kesepakatan perdamaian
antara pelaku/orangtua, korban/orangtua, dan saksi-saksi yang terdiri dari
perwakilan masyarakat (guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
penasihat hukum), dan mediator (terdiri dari PK Bapas, jaksa anak, dan
hakim anak) yang ditandatangani oleh pihak-pihak terkait. Dalam mediasi
penal kasus ABH, mediator perlu menyampaikan ke pada para pihak
bahwa orangtua mereka juga harus setuj u dengan butir-butir kesepakatan
yang dicapai untuk memastikan kemampuan ABH memenuhinya.390
Peneliti juga mengidentifikasi perbandingan antara proses diversi
yang telah diatur dalam UU No. II tahun 2012 dengan konsep mediasi
penal berdasarkan praktik yang akan diatur selanjutnya, antara lain:
Perbedaan Diversi dengan Mediasi Penal
No Kriteria Diversi Mediasi Penal
I Ancaman - 7 (tujuh) tahun kebawah\ - 7 (tujuh) tahun atau
Hukuman - Bukan Pengulangan keatas
390 Mark Umbreit dan Jean Greenwood, 'The Mediation Process: Phases and Tasks" dalan he Handbook of Victim Offender Medialion: An &sential Guide to Practice and Research. ec Jmbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. 42.
316
- Diutamakan kualifikasi
ringan
2 Pelaksana Fasilitator/ Wakil Fasilitator Mediator!Wakil Mediator
3 Fungsi Fasilitator berperan secara Mediator berperan secara
Pelaksana pas if aktif dengan memberikan
wacana, nasihat dan
membantu mencari
altematif solusi
4 Mekanisme - Dilaksanakan oleh - Penyidik dilakukan
Penyidik, Penuntut setelah BAP, Penuntut
Umum, Pengadilan Umum dilakukan pada
saat pelimpahan berkas
perkara tahap dua,
sedangkan di pengadilan
mediasi dilakukan
setelah pemeriksaan
anak (pelaku) sebelum
pembacaan tuntutan.
-- · Dialihkan keluar Sistem - Terintegrasi dalam
Peradilan Pidana Anak hukum acara Sistem
(non penal) Peradilan Pidana Anak
(penal)
5 Hasil Diserahkan kepada Ketua Hasil kesepakatan mediasi
Kesepakatan Pengadilan untuk ditingkat penyidikan dan
317
mendapatkan penetapan penuntutan serta di
diversi. Pengadilan menjadi
pertimbangan dalam
tuntutan dan putusan.
6 Keluaran Apabila isi kesepakatan Kesepakatan mediasi
(Output) diversi telah dilaksanakan dipertimbangkan dalam
berdasarkan laporan PK tuntutan untuk menuntut
BAPAS maka ditingkat berupa tindakan dan
--- penyidikan , dike\uarkan dipertimbangkan dalam
SP3, ditingkat Penuntutan putusan berupa tindakan
dikeluarkan SKP2, dan di atau pidana yang seringan-
tingkat pengadilan ringannya (pidana
dike\uarkan perintah bersyarat) kasuistis.
penghentian Penuntutan.
--
Persamaan Diversi dengan Mediasi Penal
No Kriteria Diversi Mediasi Penal
I Tujuan - Memulihkan Pelaku, - Memulihkan Pelaku,
- -Korban, dan Masyarakat Korban, dan Masyarakat
2. Asas - Musyawarah mufakat - Musyawarah mufakat
3. Pihak-pihak - Korban, Pelaku, Korban, - Korban, Pelaku, Korban,
dan Perwakilan dan Perwakilan
Masyarakat Masyarakat
318
Dalam persidangan yang akan datang, PK Bapas diharap dapat
melaporkan basil pertemuan mediasi. Apabila mediasi berhasil
menandatangani kesepakatan perdamaian o leb para pibak, maka PK Bapas
membacakan basil kesepakatan tersebut di persidangan yang telab -
ditentukan oleb bakim. Selanjutnya basil kesepakatan perdamaian
diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan rencana
tuntutan. Hasil kesepakatan perdamaian juga dilampirkan dalam pledoi
penasihat bukum anak dan dilampirkan pula dalam berkas perkara sebagai
bahan pertimbangan bakirn untuk memutus perkara pidana tersebul
Dengan keberbasilan mediasi yang bertujuan pemulihan bagi
pelaku dan korban, diharapkan tuntutan dan putusan adalah berupa
tindakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak.391
PK Bapas juga bisa berfungsi sebagai pembimbing dan pengawas sesuai
ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak392 dan Undang-Undang
Pemasyarakatan.393 Keberhasilan musyawarah dalam mediasi penal
Sebagai instrumen keadilan restoratif tidak berakibat dihentikannya proses
peradilan bagi anak, namun banya berdampak kepada tuntutan jaksa
penuntut umum maupun putusan bakim yaitu berupa tindakan.
Pengaturan . mengenai syarat, tempat dan waktu pelaksanaan,
mediator, para pibak, proses, dan basil kesepakatan mediasi penal
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas kedepannya hams diatur menjadi
bagian dalam bukum acara Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
391 Pasa16 ayat 3 hurufc dane Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 392 Pasal 34, ibid 393 Pasal 6 ayat 3 huruf c dan e Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
319
Dalam praktiknya, kegagalan mediasi penal untuk mencapai
kesepakatan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
I. Pihak korban dan keluarganya tidak mau dipulihkan dan tidak mau
meminta sejumlah ganti rugi dan syarat-syarat lain karena memiliki rasa
dendam sehingga korban menginginkan tenlakwa dijatuhi pidana
penjara.
2. Kegagalan ini bisa teljadi karena ada pengaruh dari luar seperti desakan
keluarga besar korban atau tekanan masyarakat.
3. Pelaku sudah mengaku tetapi tidak sanggup memenuhi permintaan
korban dan keluarganya, misalnya dalam bentuk sejumlah ganti rugi.
Setelah menguraikan pembahasan pengaturan normatif mengenai
Sistem Peradilan Pidana Anak dan praktik mediasi penal di Indonesia.
Peneliti selanjutnya akan menganalisis dengan teori dan konsep yang
berkaitan. Grand theory dalam penelitian ini di mana peneliti
menggunakan teori keadilan oleh John Rawls yang menyatakan pada
dasarnya keadilan merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang
diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok
dalam masyarakat. Untuk mencapa\ keadilan, maka rasional j ika seseorang
memaksakan .pemenuhan keinginannya sesuai dengan prinsip kegunaan.
Prinsip keadilan dipilih karena mengadopsi ide yang lebih realistis
dalam menyusun aturan sosial di atas prinsip saling menguntungkan, yang
akan meningkatkan efektifitas kerja sama sosial. Dalam konsepsi keadilan
sebagai kewajaran (justice of fairness), ditemukan kumpulan prinsip
prinsip yang saling berhubungan untuk mengidentifikasi pertimbangan-
320
pertimbangan yang relevan dan menentukan keseimbangan. Justice of
fairness lebih memiliki ide yang lebih umum dan lebih pasti, karena
prinsip-prinsip keadilan (principles of justice) sudah dipilih dan sudah
diketahui umum. Hal ini berbeda dengan prinsip kegunaan (principle of
utility), dimana makna konsep keadilan diambil dari keseimbangan yang
tepat antara tuntutan-tuntutan persaingan. Prinsip kegunaan dapat dilihat
dari 2 (dua) sisi.
I. bahwa masyarakat yang teratur merupakan pola dari kelja sama
untuk memperoleh keuntungan timbal batik yang diatur oleh
prinsip-prinsip yang dapat dipilih dalam situasi awal sebagai
sesuatu yang wajar.
2. sebagai efesiensi administrasi dari sumber-sumber sosial untuk
memaksimalkan kepuasan dari sistem dari keinginan yang
dikonstruksikan oleh pengamat yang netral.
John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasamya sebagai
kebaikan utama dari hadimya institusi-institusi sosial (social institutions).
Namun kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan
atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh
rasa .keadilan, khususnya masyarakat yang lemah. Dengan demikian harus
terdapat keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
bersama. Untuk menghindari teljadinya benturan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan bersama tersebut diperlukan adanya ketentuan
hukum yang mengatumya.
Dalam kehidupan di masyarakat, keadilan berusaha untuk
321
memposisikan adanya situasi yang sama dan secara antara setiap individu,
serta tidak ada pihak yang memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, sehingga kedudukan para pihak dalam suatu
perjanjian harus sama dan seimbang. Menurut John Rawls, kondisi ini
sebagai "posisi original" yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan,
(freedom), dan persamaan (equality) gun a mengatur struktur dasar
masyarakat (basic structure of society). Orang akan sampai pada suatu
peijanjian original (original agreement) mengenai prinsip keadilan jika
persyaratannya dipenuhi. Salah satu persyaratan yang hams dipenuhi yaitu
keadilan yang dipilih harus berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan
bersama oleh para pihak, sehingga menghasilkanjustice as fairness. Teori
keadilan yang bersifat kontrak ini akan menjamin kepentingan semua
pihak secara fair. Dengan demikian seluruh gagasan John Rawls mengenai
keadilan dan berbagai implikasinya dalam penataan sosial politik dan
ekonomi harus ditempatkan dan dimengerti dalam perspektif kontrak.
Pendikotomian antara keadilan yang menekankan pada prosedur
dengan keadilan yang menekankan pada basil tidak akan mendatangkan
.dampak positif bagi upaya menciptakan keadilan itu sendiri.
Pendistribusian sumberdaya yang dari sisi prosedur sudah dilaksanakan
secara layak, memberi kebebasan, dan memberi kedudukan yang sama
tidak akan mempunyai makna apapun jika hasilnya dinilai tidak adil oleh
masyarakat. Oleh karenanya baik dari segi prosedur maupun hasil,
pendistribusian sumberdaya barns dinilai adil oleh masyarakat.
322
Konsep keadilan dari pemikiran John Rawls sebagaimana
dijelaskan diatas berkaitan dengan penarapan mediasi penal yang
melandaskan pada keadilan restoratif. John Rawls menyatakan prinsip
keadilan menyusun aturan sosial di atas prinsip sating menguntungkan
yang akan meningkatkan efektifitas kelja sama sosial. Salah satu
persyaratan yang hams dipenuhi yaitu keadilan yang dipilih hams
berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama oleh para pihak,
sehingga menghasilkan keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness)
untuk mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan yang relevan dan
menentukan keseimbangan. Eksistensi mediasi penal menciptakan
keadilan yang sating menguntungkan antara pelaku, korban, dan
masyarakat, sehingga tercapailah keadilan sebagai kewajaran yang
seimbang bagi para pihak.
Analisa selanjutnya akan dikaitkan dengan middle range theory
yang menggunakan teori tujuan pemidanaan. Negara mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam menjamin keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat. Salah satu alat untuk menjamin hal itu, yaitu adanya
ketentuan hukum pidana yang memberikan kepastian hukum dan keadilan
bagi masyarakat. Namun, tidak selamanya ketentuan dapat dilaksanakan,
karena banyak masyarakat yang melanggar ketentuan yang tercantum di
dalam KUHP. Sehingga, para pelaku yang melanggar ketentuan itu dapat
dikenakan hukuman atau sanksi pidana. Sanksi pidana yang dijatuhkan itu,
disesuaikan dengan berat atau ringannya perbuatan pidana yang dilakukan
oleh pelaku. Yang menjadi pertanyaan kini, mengapa negara menjatuhkan
323
sanksi pidana kepada pelaku, apakah karena ada unsur pembalasan,
menakut-nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat, dan lain
lain.
Teori-teori yang mengkaji dan menganalisis tentang mengapa
negara menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku disebut dengan teori
pemidanaan. Teori pemidanaan, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut
dengan theory of punishment, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut
dengan theorie van de straf berkaitan erat dengan penjatuhan pidana
kepada pelaku yang melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan adanya pandangan bahwa tindak pidana bukan semata
mata sebagai pelanggaran terhadap hukum negara tetapi juga merupakan
perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat khususnya korban
yang langsung merasakannya, maka mudah dipahami
pertanggungjawabannya bukan ditujukan kepada negara tetapi lebih
dipusatkan kepada korban sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus
ditebus melalui pemberian ganti rugi bagi si korban dan bukan kepada
negara.
Wayne R. Lafave yang menyebutkan salah satu tujuan pidana
adalah sebagai deterrence effict atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak
lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga pidana bertujuan sebagai
edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk. Tujuan pidana sebagai deterrence effect pada
hakikatnya sama dengan teori relatif terkait dengan prevensi khusus.
Tujuan pidana yang lain adalah rehabilitasi. Artinya, pelaku kejahatan
324
harus diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke
masyarakat dapat diterima oleh komunitasnya dan tidak lagi mengulangi
perbuatan jahat. Selanjutnya menurut Lafave, pidana juga bertujuan
sebagai pengendalian sosial. Artinya, pelaku kejahatan diisolasi agar
tindakan berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan masyarakat.
Terakhir menurut Lafave, pidana bertujuan untuk memulihkan keadilan
yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif.
Tujuan pemidanaan sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Wayne R. Lafave diatas tentunya sejalan dengan konsep Restorative
Justice yang merupakan pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum
pidana yang melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau
pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan
bukan pembalasan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan
sebagaimana yang disampaikan oleh Lafave tersebut juga sejalan pula
dengan konsep mediasi penal yang dilandaskan pada keadilan restoratif.
Sedangkan kajian berdasarkan applied theory menggunakan teori
dan konsep mediasi penal. Penanggulangan tindak pidana melalui jalur
penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan atau
pemberantasan atau penumpasan sesudah kejahatan teijadi, sedangkan
jalur nonpenal lebih menitik beratkan pada sifat preventif
(pencegahan/penangkalan dan pencegahan) sebelum kejahatan teijadi.
Jalur non penal adalah jalur penanggulangan tindak pidana dan
penaggulangan terhadap dampak yang muncul dari tindak pidana.
325
Konsep mediasi penal yang peneliti jadikan dasar kajian adalah
pandangan yang disampaikan oleh Stefanie Trankle yang menyatakan
prinsip kerja (working principles) mediasi penal sebagai berikut:
a. Penanganan konflik (Conflict Handling! Konf/ikbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan
kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam
proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa
kej ahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Kon-{iik
itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozess
orientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas
proses dari pada basil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak
pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik
terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan
sebagainya.
c. Proses informal (Informal Proceeding-Informa/itat): Mediasi
penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat
birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d. Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak (Active and
Autonomous Participation Parteiautonomie
/Subjektivieruxg): Para pihak (pelaku dan korban) tidak
dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih
sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan
kemam-opuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas
326
kehendaknya sendiri.
Prinsip kelja itulah yang nantinya akan menjadi prinsip yang harus
dilaksanakan oleh para pihak dalam melaksanakan mediasi penal. Namun
berdasarkan pengalaman peneliti sebagaimana telah diuraikan pada bagian
praktik mediasi penal, terdapat satu prinsip lagi yang seharusnya
diterapkan dalam mediasi penal yaitu pelibatan perwakilan masyarakat
untuk bersama-sama korban dan pelaku mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pada pemulihan sebagaimana pengejawantahan
paradigma keadilan restoratif. Pemikiran peneliti ini akan melengkapi
konsep mediasi penal yang disampaikan oleh Stefanie Trankle yang hanya
menekankan pelibatan pastisipasi aktif dari pihak korban dan pelaku.
327
A. Kesimpulan
BABV
PENUTUP
Berdasarkan pada pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti
berkesimpulan sebagai berikut:
I. Mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum pidana
yang membawa implikasi diterapkannya dimensi bersifat publik ke dalam
ranah hukum privat. Pada perspektif filosofis eksistensi mediasi penal
mengandung nilai keadilan dan pada perspektif sosiologis mengandung nilai
kemanfaatan. Eksistensi mediasi penal merupakan pengejawantahan keadilan
restoratif sama dengan upaya diversi yang telah diatur secara normatif dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengandung asas keseimbangan (win-win
solution). Mediasi penal penting diterapkan dalam sistem peradilan pidana
anak karena mediasi penal memberikan ruang untuk bermusyawarah atau
berundingbagi anak yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam
hukuman 7 (tujuh) tahun atau keatas. Mediasi penal juga dapat memberikan
ruang untuk bermusyawarahl berunding bagi korban dan masyarakat dengan
pelaku anak yang berumur 12 sampai dengan dibawah 14 tahun yang hanya
dapat dijatuhi putusan berupa tindakan. Model mediasi penal yang paling ideal
diterapkan di Indonesia adalah kombinasi model Victim Offender Mediation
dan model Family and Community Conference. Dengan tujuan mencari solusi
yang dapat memulihkan pelaku, korban, serta masyarakat secara seimbang
dengan mengutamakan pendekatan keadilanrestoratif.
328
2. Pengaturan proses mediasi penal yang diterapkan dalam sistem peradilan
pidana anak dapat dilakukan dari tahap penyidikan penuntutan, dan
pengadilan dengan memenuhi syarat-syarat antara lain pelaku mengakui
perbuatannya, berjanji tidak mengulangi, meminta maaf kepada korban dan
bertanggung jawab, sebaliknya korban bersedia menerima permohonan maaf
dan bersedia melakukan musyawarah atau perundingan, sedangkan perwakilan
masyarakat mendukung untuk dilakukan musyawarah, syarat kbusus mediasi
penal diutamakan perkara kualifikasi ringan. Proses mediasi diawali dengan
pembukaan oleh mediator, tahap pembahasan Permasalahan, tahap akhir
menyusun kesepakatan mediasi dan seluruh pihak yang hadir menandatangani
kesepakatan mediasi. Hasil kesepakatan mediasi dijadikan pertimbangan
dalam tuntutan Penuntut Umum dan putusan Hakim yang berupa tindakan.
B. Saran
Saran yang dapat disampaikan dari basil analisis di atas adalah:
I. Perlu adanya perubahan Undang-Undang No II Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak kbususnya tentang batasan ancaman dalam
Pasal 7 tentang syarat diversi ditambah dengan pengaturan perkara anak
yang ancaman hukuman 7 (tujuh) tahun atau 7 (tujuh) tahun keatas
dengan kualifikasi ringan dapat dilaksanakan konsep mediasi penal yang
diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, kbususnya Pasal 3 yang bertentangan dengan
329
syarat diversi pada Pasal 3 (2) PP Nom or 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Anak yang Belum Berumur 12 (dua betas)
tahun. Agar di dalam revisi Perma diatur tentang pelaksanaan konsep
mediasi penal yang dapat mengakomodir perlindungan terhadap anak yang
dilimpahkan dengan dakwaan bukan tunggal dengan ancaman 7 (tujuh)
tahun atau ke atas.
330
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A, Bryan Garner, ed .. Black's Law Dictionary, Eight Edition. United State of America: West, a Thomson Business. 2004.
A, Gede B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Ke Masa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2005.
Achjani, Eva Zulfa. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.
Adi, Koesno. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientasi pada
Kepentingan Terbaik Bagi Anak. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar daiam bidang
llmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Maiang, 2009.
Adrnosudirdjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghaiia Indonesia, 198.
Agus, Muhari Santoso. Paradigma Baru Hukum Pidana. Maiang: Averroes Press. 2002.
Allen, Steven. daiam Purnianti, Ni Made Martini Tinduk, et.ail, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003.
Algra, NE H.R. W. Gokkel; Saleh Adiwinata, DH; A Teloeki; H. Burhanoeddin, St. Batoeta.
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Alumni, Bandung, 1972.
Ali, Mahrus. Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara Carok Berdasarkan
Niai-Nilai Budaya Masyarakat Madura. Yogyakarta: Rangkang Indonesia, 2009.
Ali, Ahmad. Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta: BPIBLAM. 1998
Andrisman, Tri. Mediasi Penal. Jakarta: PT Rienika Cipta. 2010.
Anwar, Yesrnil. dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.
Arifm, M . Filsafat Pendidikan likm Jakarta: Bina Aksara, 1987.
A, Richard, Myren, Law and Justice, An Introduction,, Brooks/Cole Publishing, Pacific Groove. 1988.
A, Rodney Ellis dan Karen M.Sowers,Juvenile Justice Practice: Across Disciplinary Approach to Intervention, Wadsworth, Belmont. 2001.
Asshiddiqie, Jimly. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Fiqh dan Relavansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Bandung: Penerbit Angkasa. 1996.
Astor, Hilary dan Christine Chinkin, Dispute Resolution in Australia 2" ed. Sydney: Butterworths. 2002.
Atmasasmita, Romly. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 1995.
Atmasasmita, Romly. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. 2010.
Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. 1996.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta. 1996.
Bazemore, Gordon dan Sarah O'Brien "The Quest for a Restorative Model of Rehabilitation: Theory-for-Practice and Practice-for-Theory", dalarn Restorative Justice and the Law, ed Walgrave, L., Willan Publishing, Oregon. 2001
Bill, Shaw dan Wolfe, Art, The Structure of Legal Environment :Law, Ethics, and Business, PWS-KENT Publishing Company, Boston, 1991
Black, Donald. Sociological Justice. Oxford University Press. 1989.
Braithwaite, John. Restorative Justice & Responsive Regulation, Oxford University Press,
England. 2002.
Boulle, L. Mediation: Principles, Process, Practice 2nd ed., Butterworths, New South Wales, 2005. C. W Moore, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict 3' ed., Jossey-Bass. San Fransisco. 2003.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Grarnedia. 1993.
Budiman, Arif. Negara Jaga Malam dalam Demokrasi, Yogyakarta: FH UII. 1997.
Cahyadi, Antonius. Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Campbell, Hendry. Black's Low Dictionary, St. Paul. New York: Minn West Publishing Co. 1990.
Cane, Peter dan Herbert M. Kritzer, Cane, ed., The Oxford Handbook of Empirical Legal Research, Oxford: Oxford University Press. 2010.
Carroll, Milt "Implementational Issues: Considering The Options for Victoria", dalarn Family Conferencing and Juvenile Justice: The Way Forward or Misplaced Optimism?, eds Alder, C dan Wundersitz, J., Australian Institute of Criminology, Canberra, 1994
Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Consedine, Jim. Restorative Justice: Healing the Efficts of Crime. Lyttelton : Ploughshares Publications, 1995.
C, Shane Maddocks, Victim/Offender Mediation in The South Australian Juvenile Justice System, South Australian Institute of Technology, Adelaide. 1990.
Daradjat, Zakiyah, dkk. flmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1992.
Daly, Kathleen dan Russ Immarigeon. The Past, Present, and Future of Restorative Justice :
Some Critical Rejlection,dalam Contemporary Justice Review I (1), 1998.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-polwk Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indanesia. Jakarta: Gramedia 2004.
Dewi, DS dan Fatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie Publishing. 2011.
Dinstein, Yoram. HakAtas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan
Dirdjosisworo, Soedjono, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung: Arrnico, 1984.
Diijosisworo, Soedjono. Pengantar flmu Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010.
Dvannes. Restorative Justice Briefing Paper-2.Centre for Justice & Reconciliation, November
2008.
E, Dean Peachey, "Restitution, Reconciliation, Retribution: Identifying the Forms of Justice People Desire", dalam" Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, eds Messmer, H and Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. 1992.
ELSAM. Dimensi-dimensi HAM pada Administrasi keadilan, Jakarta: Elsam. 2000.
Erwin , Muhammad. dan Amrullah Arpan. Filsafat Hukum Mencari Hakikat Hukum. Palembang : Penerbit UNSRI. 2001.
Enew, Judt. Difficult Circumstances:Some Reflections on "Street Children" in Africa, Children,
Youth and Environments 13(1 ). Spring 2003.
F, George Cole, Criminal Justice, Law & Politic, 4th Edition. California: Brooks/Cole Publishing Company Monterey. 1984.
Galaway, Burt and Joe Hudson. Criminal Justice, Restitution and Reconciliation, Monsey, NY: Criminal Justice Press. 1990.
G, Dean Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Gopaster, Gary. Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa
Melalui Negosiasi. Jakarta: Elips Projek. 1993.
Gultom, Samuel. Mengadili Karban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara,
Jakarta: Elsam. 2003.
Hamzah, Andi. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafik:a. 2009.
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta: Airlangga. 1983.
Hanitijo, Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990.
Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20. Bandung: Alumni. 1994.
Hanitijo, Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990.
Hassan, Maulana Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Crasindo, Jakarta, 2000
Herman, Manheim. Comperative Criminology, Boston New York, 1985.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2005.
Huijbers,Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Ihromi, TO Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 1993.
James, Rachel. Filsafat Moral. Kanisius, Yogyakarta, 2004.
J, Maxwell Fulton, Commercial Alternative Dispute Resolution. The Law Book, Sydney. 1989.
Joachim, Carl Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia. 2004.
Kaime, Wanjku -Atterhog. The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances
(CEDC), ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually
Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali. 1992.
Kelana, Momo. Memahami Undang-Undang Kepolisian: Latar Belakang dan Komentar Pasal
demi Pasal. Jakarta: PTIK Press. 2002.
Ke1sen, Hans. General Theory of Law and Stat. New York: Russel & Russel. 1973.
Kristiana, Yudi. Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan TindakPidana, Yogyakarta: LSHP- Indonesia,. 2009.
Liang, The Gie. Teori-teori Keadilan, Sumbangan Bahan untuk Pemahaman Pancasila,Yogyakarta: Super. 1979.
Lee, Joel. dan Teh Hwee Hwee, "The Quest for an Asian Perspective on Mediation" dalarn An Asian Perspective on Mediation, eds Lee, J dan Hwee, T. Singapore: Academy Publishing. 2009.
L, Bernard. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006.
Liebmann, Mariam. Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publisher, London, 2007.
L, Herbert Packer. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press.
1968.
Made, I Widnyana. Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia. Bandung: Eresco. 1995.
Made, Ni Martini Tinduk, et.all. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice
System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003.
Mabfud., MMD. Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Radjawali Press. 2001.
Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Predana Media. 2005.
Manan, Bagir. Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.
Manan, Bagir. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2000, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005.
Manan, Bagir. Restorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Rejleksi Dinamika Hukum
Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Jakarta: Perum Percetakan Negara Rl.
2008.
Mangapol, Undang. Penerapan Restorative Justice dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia. Bandung: UNISBA, 2012.
Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga). Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia 2010.
Margono, Suyud. Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia. 2000.
Mas, Marwan. Pengantar llmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. 2004.
M, Jacqueline Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell St Paul: Minn. 2001.
Mitchell, Chris. dalam Simon Fisher et. al., Mengelola Konjlik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta: The British Council Indonesia. 1998.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum; Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 2005.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyak:arta.
2010.
Moon, Donald. (ed)Responsibility Rights and Welfare, Colorado. 1988.
MP, Luhut Pangaribuan, Advokat dan Contempot of Court: Suatu Proses di Depan Dewa
Kehormatan Profosi. Cetakan I. Jakarta: Djambatan. 1996.
M.P, LuhutPangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Srudi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Fakultas Hukwn Pascasarjana Universitas Indonesia dan Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2009.
Muhammad, Rusli. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Y ogyakarta : UII Press. 2011.
Muchsan, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 1981
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Penerbit Alumni. 2002.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. 1995.
Mu1yadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia Bandung: PT. Alumni. 2014.
Mulyadi, Lilik. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : Alumni. 2015
Muraskin, Roslyn dan Albert R. Roberts, Visions for Change: Crime and Justice in The TwentyFirst Centwy, New jersey: Prentice-Hall. 1996.
Nawawi, Barda Arief. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1994.
Nawawi, Barda Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1998.
Nawawi Barda Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Undip. 2000.
Nawawi, Barda Arief. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan. Semarang:
Pustaka Magister 2010.
N, Bunyarnin Cardozo. The Growth of the Law. New Delhi: Universal Law Publishing. 2006.
Noor, NA Muhammad. Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam
Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor). Jakarta: Elsam. 2001.
Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Gunung Mulia, Jakarta, 1975
Paul, John Lederach, The Little Book of Conflict Transformation. Philadelphia, : Good Books. 2003.
Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Poernorno, Bambang. Proses Pengambilan Keputusan dalam Perkara Pidana di Pengadilan, Jakarta: Kumpulan Kuliah Program S2 FH Jayabaya. 2010.
Poerwadanninta,, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1976
Radbruch, G., Rechtphilosophie, Koehler: Stutgart. 1973.
Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain Hukum di Indonesia. Jakarta: Kornpas. 2003.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. 2007.
Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas. 2007.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. 2010.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju. 2007.
Rawls, John. A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press. 1971 .
Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press. 1995.
R, John Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 5th Edition, Upper Saddle River: Pearson Education. 2007 .
Redjeki, Sri Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Madju, 2000
Reksodipoetro, Mardjono. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian UI. 1994
Reksodiputro, Maijono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI. 1994.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar At as Pasal-pasal Terpenting Dalam Kitab Undangundang hukum Pidana Belanda dan Padangannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. : Gramedia Pustaka Utarna. 2003
Ritchie, Myles. Children In "Especially Difficult Circumstances": Children Living On The
Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Provisioning?
Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission. 1999.
Rizky, Rudi (ed), Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir),
Perum Percetakan Negara Indonesia, Jakarta, 2008.
Sage!, Irene Grande. Restorative Justice in the Netherlands, Specific Programme Criminal
Justice European Commission, Final National Report of The Netherlands. 2013.
Sahetapy, JE dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradok dalom Kriminologi. Jakarta: Rajawali Press 1989.
Rahardjo, Trisno. Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Suatu Kajian Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta: UM1 dan Litera. 2011.
Roes1an Saleh, Suatu Reorientasi dalam Huk:um Pidana, Jakarta: Aksara Barn. 1983.
R, Wayne Lafave, Principle Of Criminal Law, West A Thomson Reuters Business. 2010.
Salman, Otje. Filsafat Huk:um (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung: Refika
Aditarna 2010.
Setia, Hadi Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Harvarindo. 2000.
Setiawan, Guntur. Implementasi Da/am Birokrasi Pembangunan. Jakarta : Cipta K.arya. 2004.
Siswosoebroto, Koesriani. Pendekatan Baru dalam Kriminologi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. 2009.
Simanjuntak, B. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni. 1984.
SW Maria W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas
Hukum Universitas Gaja Mada. 1989.
Soehuddin, Sistem Sanksi Dalam Huk:um Pidana, Ide Dasar Double Track System Dan
Impelementasinya, Jakarta: Raja Grafmdo Persada. 2003.
Stephenson, Matin Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan
Publishing, Portland. 2007.
Sukanto, Soeijono. Penelitian Huk:um Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Stephenson, Martin, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland 2007
Sunarso, Siswanto. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Sunny, Ismail. Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia 1982.
Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Grarnedia Pustaka Utarna. 2010.
Susanto, IS. Kejahatan Korporasi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP. 1995.
Tamin, Feisal. Reformasi Birokrasi, Ana/isis Pendayagunaan Aparatur Negara. Jakarta: Belantika 2004 .
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta
Tonry, Michael. Sentencing Matters, Oxford University Press, New York. 1996.
Umbreit, Mark. Victim Meets Offender: The Impact of Restorative Justice and Mediation, Willow Tree Press, New York, 1994.
Umbreit, Mark, "Avoiding the Marginalization and 'McDonaldizotion' of Victim-Offonder mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream" in Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime, edited by Gordon Bazemore and Lode Walgrave. Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1999.
Umbreit, M. "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation" da lam The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, Jossey-Bass, San Fransisco. 2001.
Umbreit, Mark and Robert B. Coates dan Betty Voss, "Victim-Offender Mediation: An Evolving Evidence Based Practice" dalam Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, eds Sullivan, D. dan Tifft, L., Routledge, New York, 2006.
Umbreit, Mark dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 2010.
United Nation, Comparative on Juvenile Delinquency, Part IV, Asia and The Far East. 1953.
UNO DC. Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, UN
New York, Vienna, 2006.
Usman, Nurdin. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2002.
Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit Universitas Bandung. 1965.
Utrecht, E. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Pradnya Pararnita. 2002.
Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum
Pidona. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. 2009.
Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Y ogyakarta: Genta Publishing. 2011.
Walgito, Bimo. Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency) Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Wanjku Kaime-AtterhOg, The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005
Widiartana, G Viktimologi Perspektif Karban Dalam Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2013.
Wright, Martin, "Victim/Offender Conferencing: The Need for Safeguards", dalam Restorative Justice for Juveniles: Potentialities, Risks, and Problems, ed Walgrave, L., Leuven University Press, Leuven, 1998.
W.Mulyana, Kusumah, Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis,
Bandung:AJunnU, 1981
Zafer, M.R, Jurisprudence an Outline. Kualalumpur : International Law Book Services. 1994.
Zehr, Howard & AJi Gohar. The Little Book of Restorative Justice. Good Books. Pennyslvania.
2003.
Maka1ah dan Jnrnal
Adi, Koesno. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientasi pada Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009.
Braithwaite, Jhon. Resolving Crime in the Community: Restorative Justice Reforms in New Zealand and Australia, Paper presented at the "Resolving Crime in the Community: Mediation in Criminal Justice". 1994 .
Fisher, Linda dan Mieke Brandon, Mediating with Families: Making The Difference, Prentice Hall, New South Wales. 2002.
Hadisuprapto, Paulus. Peradilan Restotarif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang,
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006.
Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum, Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 23 Juli 1998
Herlina, Apong Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.3 No. III September
2004.
Kartayasa, Mansyur. Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi, Makalah
yang disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan
Profesionalisme Menrgu Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAID dalam rangka
Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April2012.
Komariah, Emong Saparadjaja. Keadilan Restoratif dalam Putusan Mahkamah Agung,
Makalah yang dipresentasikan dalam rangka Seminar IKAHI pada tanggal25 April2012
di Hotel Mercure Ancol Jakarta
Levin, Marc. Restorative justice in Texas: Past, Present and Future, Texas: Texas Public Policy
Foundation, him. 5-7 ditelusur melalui www.TexasPolicy.com pada tanggal 3 Februari
2008
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada
Seminar Nasional "Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan
yang Agung", Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59
Tanggal25 April2012.
Muladi dan Barda Nawawi, Ruang Lingkup Penegakan Hukum Pidnna dnlam Konteks Politik
Kriminal, makalah yang disampaikan dalam seminar Kriminologi yang diselenggarakan
o1eh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Semarang, Tanggal 11-13 November
1986.
Mulyadi, Lilik. "Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal
(Penal Mediation) Dalam Sistem Peradilan Pidnna. Pengkajian Asas, Norma, Teori dan
Praktek:', Makalah ini dipresentasikan dalam rangka Penelitian untuk wilayah Pengadilan
Tinggi Palangkaraya, Mataram, Jambi dan Semarang diselenggarakan Badan Penelitian
dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung RT (Badan Litbang Diklat Kumdil MARl) pada bulan April-Mei Tahun 2011.
Mulyadi, Lilik. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas,
Norma, Teori, dan Praktik, Makalah Seminar hasil penelitian tentang Mediasi Penal
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah
Agung Rl, pada tanggal 26 Oktober 2011, di Hotel Alita Pecenongan, Jakarta Pusat
Nawawi, Barda Arief, Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,
Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggung jawaban Hukum
korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance Tanggal 27 Maret 2007.
Nawawi, Bada Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Makalah, Seminar Nasoinal Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta: Inter Continental Hotel, 27 Maret 2007
Nawawi, Barda Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.
Nawawi, Barda Arief, Mediasi Penal:Penyelesaian Perkara Pidnna di Luar Pengadilan. Artikel
dalam http:/lbardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi-penal-penyelesaian-perkara-pidana-di luar pengadilan/2009, diakses pada tanggal24 Maret 2011
Polk, Kenneth. Juvenile Diversion in Australia: a National Review, Paper Presented at the Juvenile Justice: From lesson of the Past to a Road Map for the Future Conference Convected by the Auatralian Institut of Criminology in Conjunction with the NSW
Departement of Juvenile of Justice and held in Sidney, 1-2 December 2003.
Priyatno, Dwidja. Pemindanaan untuk Anak dalam Konsep Rancangan KUHP (dalam Kerangka
Restorative Justice), Lembaga Advokasi Hak Anak (LARA), Edisi VIIINolume
III, Bandung, 2007, him. 9.
Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,
edisi April2005, vol. 1, No. 1, UNDIP, Semarang, 2005.
Rahardjo, Satjipto. Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, Makalah dalam Seminar
Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Diponegoro
beke!jasarna dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas
Hukum Universitas Trisakti, Jakarta dan Semarang, 15 Desember 2007.
Supomo, Hubungan lndividu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Cet. 2, 1970, Jakarta: Pradnya Pararnita dan Pidato Dies Natal is Universitas Gajah Mada pada 17 Maret 1947
Surbakti, Natangsa. Mediasi Penal Sebagai Terobosan Alternatif Perlindungan Hak Korban
Tindak Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2011.
Tim KPAI :Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli 2009. Dalam,
Achmad Ratomi, Prosedur Pelaksanaan Diversi pada Tahap Penyidikan dalam
Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak. Fakultas Hukum Universitas
Lambung Mangkurat, Makalah, tth.
United Nation, Comparative on Juvenile Delinquency, Part IV, Asia and The Far East, 1953
Utomo, Setyo, . Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang "Politik Perumusan Ancaman Pidana Dalam Undang-Undang Diluar KUHP", diselenggarakan oleh Pusat Perencanalin Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement Hukum dan HAM. di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010
William, Mark Baker, "Repairing The Breach and Reconciling the Discondant: Mediation in The Criminal Justice System", North Carolina Law Review, No. 72 Tahun 1984
·-
Media Internet
Stefanie Triinkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender
Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples
of the Mediation Process in Germany and France, http://www.
iuscrim.mpg.de/forschlkrim/traenkle _ e.html.
sfin.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B I %5D.doc.
Keadilan Restorasi, Sumber: http://www.negarahukum.com/hukum/keadilan-restorasi.html,
diakes pada tanggal 9 Januari 2014.
Kejaksaan Agung Akan Revisi Juknis Penuntutan Anak, Sumber:
htto://www.tribunnews.com/2012/0I/20/kejaksaan-agung-akan-revisi-juknis-penuntutan
anak, diakses pada tanggal 9 Januari 2014.
Sistem Database Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/20 14/month/9 diakses tanggal 7 Oktober 2016
Peraturan Perundang-Undangan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (the
Convention on the Rights of the Child)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor II Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.UHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
DAFI'AR RIWAYAT HIDUP
I. Nama : Hj. Diah Sulastri Dewi, SH., MH
Tempatffgl. Lahir : Medan, 2 April1961
Alamat Rumah : Jl. Cijaura Girang I No 14 Kei.Sekejati Kec. Buah Datu Bandung
Alamat Kantor : Jl. LL. RE Martadinata No 74-80 Bandung Jawa Barat
Peketjaan : Hakim Pegawai Negeri Sipil
Jabatan : Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A Kbusus Ban dung
Pangkat/Gol : IV C Pembina Utama Muda
Status Perkawinan : Kawin
Suami : Hazuardi, SE
Anak I. Suhadi Putra Wijaya, SH, MH
2. Ayu Widya Suharti, SH., M.Kn
3. Muhammad Reza Winata, SH
It. Pendidikan
• Sekolah Dasar Negeri No. 35 Gajah Mada di Medan tamat tahun 1973
• Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri I Medan di Medan, tamat tahun 1976
• Sekolah MenengahAtas No 2 Medan di Medan tamat tahun 1979/1980
• Fakultas HukumUniversitas Islam Sumatera Utara (UISU) (S.I) di Medan , tamat tahun 1989 (Judul Skripsi:GugatanDinyatakanTidakDapatDiterima (NO))
• Pascasarjana SekolahTinggi Ilmu Hukum ffiLAM (82) di Jakarta, tamattahun 2005 (Judu!Tesis : Perlindungan Terhadap Anak Nakai Dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak)
ill. Riwayat Pekerjaan CPNS/ PNS Pengadilan Tinggi Medan (1982-1987) PaniteraPengganti Pengadilan Tinggi Medan (198 CaJon Hakim Pengadilan Negeri Jakarta PusatKelas lA Khusus (1992· 1996) Hakim PengadilanNegeri Sumber Kelas 2A (Tahun 1996-2000) Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas I A( Tahun 2000-2004) Hakim Pengadilan Negeri Bandung Kelas lA Khusus (Tahun 2004-2007) Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Kelas lA {Tahun 2007-2008) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat Kelas 2A (Tahun 2009-2010) Ketua Pengadilan Negeri Stabat Kelas 2A (Tahun 201 0-2012) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Kelas IB (Tahun 2012-2014) Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Kelas IB {Tahun 2014 -2015) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas lA (Tahun 2015-20160 Wakil Ketua Pengadilan Negeri Ke1as lA Khusus Bandung (Tahun 20 16· Sekarang)
IV. Pengalaman
PengalamanDalamNegeri
1. Aktif sebagai pembicara dalam Seminar, Workshop, Diskusi Jlmiah, Lokakarya, Antara lain tentang :
o Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan. o Sosialisasi PERMA No. I Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. o Dosen Tamu di Universitas Indonesia dan Universitas
Sumatera Utara o Sosialisasi mengenai Keberhasilan Mediasi di Pengadilan.
2. Trainer Pelatihan Sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh PUSDIKLAT MA RI, IICT, PMN, UNPAR, USU,UMSU.
3. Staff Pengajar Mediasi PenaV Restorative Justice Dik:lat CaJon Hakim Mahkamah Agung RI, Staff Pengajar Diklat Kejaksaan Agung RI, Staff Pegajar Diklat Kementerian Sosial, dan Diklat Kementerian Hukum dan HAM.
4. Anggota POKJA MEDIAS! pada MA RI
Pengalaman Lnar Negeri
I. Mediation Training System di Osaka dan Tokyo kerjasama MA Rl dan JICAI Ministry of Justice Japan.
2. Study Banding Sistem Mediasi di Perancis dan Belanda 3. Study Banding Sistem Mediasi di Singapore kerjasama BISMAC dengan
Singapore Mediation Centre. 4. Konferensi lnternasional Assosiasi Mediator Asian di Kuala Lumpur. 5. Konferensi International Mediator Se-Asia Paciflk di Bangkok. 6. Training of Trainers Perlindungan dan Penanganan Saksi, Korban Anak
dan Pelaku Anak Se- Asia Pasifik di United Nation Bangkok (UNICEF, UNOCD, TIJ)
7. Macau symposioum " Toward of well-beingof the child through! the hague Child abduction and protection of children convention an AsiaPasific Symposioum.
Top Related