Dari lokal ke global: Berfikir kontekstual, indigenous psychology, dan masa depan psikologi...

16
Dari lokal ke global: Berfikir kontekstual, indigenous psychology, dan masa depan psikologi Indonesia di arena internasional 1 Moh. Abdul Hakim Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret [email protected] Abstrak Indigenous psychology (IP) merupakan salah satu pendekatan baru dalam bidang psikologi yang saat ini semakin populer, terutama di kalangan para akademisi di kawasan Afrika, Pasifik, dan Asia, termasuk Indonesia. Berbeda dengan psikologi mainstream yang terobsesi dengan teori-teori yang bersifat universal dan bebas nilai, pendekatan IP justru mendorong para psikolog untuk mampu berpikir secara kontekstual; memahami perilaku dan proses mental berdasarkan partikularitas latar dimana keduanya muncul, baik itu dari segi latar kesejarahan, kultur, agama, sosial-ekonomi, dan lain sebagainya. Di artikel ini, saya akan memaparkan rangkuman teoritis, hasil penelitian empiris, dan beberapa gagasan yang bertujun untuk menjawab tiga pertanyaan berikut, yaitu (i) mengapa kita perlu mengubah cara berfikir dari pola deduktif ke arah yang lebih kontekstual? (ii) apa relevansi IP dengan trend penelitian global? Dan, (iii) riset-riset seperti apa yang diperlukan oleh dunia psikologi di Indonesia agar dapat mendapatkan posisi terhormat di dalam forum akademik internasional? Saya berharap bahwa tiga hal pokok yang ingin saya share ini mampu menstimulasi semangat para akademisi muda untuk melakukan penelitian dengan pendekatan IP dan sekaligus menawarkan sebuah gagasan alternatif tentang peta riset psikologi Indonesia di masa depan. Kata kunci: berfikir kontekstual, indigenous psychology, psikologi Indonesia, trend riset psikologi global Mengapa perlu berfikir secara kontekstual? Setiap kali saya memulai diskusi tentang indigenous psychology (IP), saya selalu teringat bagaimana Professor Uichol Kim--mentor sayaselalu mengawali uraiannya dengan 1 Makalah ini disusun sebagai bahan kuliah umum yang diselenggarakan oleh Prodi Psikologi, Universitas Paramadina, tanggal 2 Oktober, Jakarta.

Transcript of Dari lokal ke global: Berfikir kontekstual, indigenous psychology, dan masa depan psikologi...

Dari lokal ke global:

Berfikir kontekstual, indigenous psychology, dan masa depan psikologi Indonesia di

arena internasional1

Moh. Abdul Hakim

Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret

[email protected]

Abstrak

Indigenous psychology (IP) merupakan salah satu pendekatan baru dalam

bidang psikologi yang saat ini semakin populer, terutama di kalangan para

akademisi di kawasan Afrika, Pasifik, dan Asia, termasuk Indonesia. Berbeda

dengan psikologi mainstream yang terobsesi dengan teori-teori yang bersifat

universal dan bebas nilai, pendekatan IP justru mendorong para psikolog

untuk mampu berpikir secara kontekstual; memahami perilaku dan proses

mental berdasarkan partikularitas latar dimana keduanya muncul, baik itu

dari segi latar kesejarahan, kultur, agama, sosial-ekonomi, dan lain

sebagainya. Di artikel ini, saya akan memaparkan rangkuman teoritis, hasil

penelitian empiris, dan beberapa gagasan yang bertujun untuk menjawab tiga

pertanyaan berikut, yaitu (i) mengapa kita perlu mengubah cara berfikir dari

pola deduktif ke arah yang lebih kontekstual? (ii) apa relevansi IP dengan

trend penelitian global? Dan, (iii) riset-riset seperti apa yang diperlukan oleh

dunia psikologi di Indonesia agar dapat mendapatkan posisi terhormat di

dalam forum akademik internasional? Saya berharap bahwa tiga hal pokok

yang ingin saya share ini mampu menstimulasi semangat para akademisi muda

untuk melakukan penelitian dengan pendekatan IP dan sekaligus menawarkan

sebuah gagasan alternatif tentang peta riset psikologi Indonesia di masa

depan.

Kata kunci: berfikir kontekstual, indigenous psychology, psikologi Indonesia,

trend riset psikologi global

Mengapa perlu berfikir secara kontekstual?

Setiap kali saya memulai diskusi tentang indigenous psychology (IP), saya selalu teringat

bagaimana Professor Uichol Kim--mentor saya—selalu mengawali uraiannya dengan

1 Makalah ini disusun sebagai bahan kuliah umum yang diselenggarakan oleh Prodi Psikologi, Universitas Paramadina, tanggal 2 Oktober, Jakarta.

meyakinkan para mahasiswa bahwa berfikir kontekstual merupakan sebuah keniscayaan. Hal

ini mudah dimengerti mengingat cara berfikir kontekstual itu sendiri merupakan kunci dalam

pendekatan IP (Kim & Berry, 1993; Allwood & Berry, 2006; Hwang, 2006). Baik, sekarang

ini saya memilih melakukan cara yang sama.

Bayangkan bola dunia berada di hadapan Anda, ia bersinar biru dengan torehan-torehan

warna hijau dan kelabu di beberapa bagiannya. Bola bumi ini terlihat memantulkan cahaya

matahari dengan indah di tengah ruang gelap alam semesta. Nah, sekarang cobalah Anda

renungkan, apakah Anda sebagai manusia tinggal di bumi dengan kondisi seperti apa adanya

di sana? Ataukah, sebenarnya Anda tinggal di dunia yang Anda kontruksi di dalam pikiran?

Hewan dan tumbuhan tinggal di alam yang mereka terima apa adanya. Mereka hidup dengan

cara merespon setiap stimulasi yang muncul dari lingkungan hidupnya. Untuk bertahan

hidup, mereka melakukan penyesuaian diri. Hewan dan tumbuhan tidak memiliki kesadaran

untuk melakukan proses berfikir dan melakukan evaluasi, dan tidak memiliki intensitas untuk

merespon dengan cara tertentu. Respon hewan dan tumbuhan muncul secara otomatis

sebagaimana digambarkan oleh hukum S-R dalam pendekatan Behaviorisme (Skinner, 1963).

Tentu saja manusia memiliki cara respon terhadap alam semesta yang berbeda dengan hewan

dan tumbuhan. Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran, yang memungkinkannya

untuk tidak hanya mempersepsi stimulus, melainkan juga melakukan evaluasi atasnya dan

memiliki kemampuan untuk menentukan respon tertentu yang menurutnya paling efektif.

Aspek kesadaran inilah yang olesh Albert Bandura (1997) disebut sebagai agency. Berkat

agency manusia tidak hanya menerima kondisi lingkungan hidupnya sebagaimana adanya

atau semata-mata melakukan adaptasi melainkan juga mampu mengelola sumber daya untuk

memenuhi kepentingan-kepentingan hidupnya. Dalam perspektif perilaku transaksional

(Bandura, 1997; Kim & Park, 2006), manusia mampu menjalin hubungan timbal balik

dengan lingkungan hidupnya. Ia melakukan adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya dan sekaligus secara kreatif mengelola sumber daya lingkungannya untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Hubungan transaksional antara manusia dengan lingkungan ekologis menyebabkan

munculnya variasi cara berfikir dan perilaku dari satu konteks ekologis dengan konteks

ekologis lainnya (Berry & Kim, 1993). Dengan kerangka pikir tersebut, budaya kemudian

dipahami sebagai separangkat nilai kolektif yang berfungsi untuk mengkoordinasikan

perilaku semua anggota komunitas dalam rangka mencapai tujuan bersama di dalam konteks

ekologis tertentu (Kim, Hwang, & Yang, 2006). Dalam hal ini, tata nilai kultural memiliki

fungsi sebagai kerangka kerja dasar mental manusia (mental framework) (Kim & Park, 2006).

Secara lebih sederhana, cara kerja sistem nilai budaya di dalam sistem kognitif manusia dapat

diibaratkan seperti cara kerja Operating System dalam sebuah Central Processing Unit (CPU)

komputer. Meskipun di sisi lain kita juga harus menyadari bahwa proses kerja CPU ini

menjadi sangat berbeda dengan sistem kognitif manusia karena di sana tidak terdapat intensi.

Dalam perspektif perilaku transaksional tersebut, pemahaman atas proses-proses mental tidak

dapat dilepaskan dari konteks kulturalnya (Bandura, 1997). Sebuah stimulus yang sama tidak

lantas diikuti oleh respon yang sama apabila terjadi di dalam konteks yang berbeda-beda.

Sebuah stimulus obyektif berupa secarik kain merah putih akan dimaknai secara berbeda oleh

orang Indonesia dan orang Australia. Apabila Anda membakar atau menginjak-injak kain

merah putih tersebut di tengah pasar Beringharjo Yogyakarta dan dilihat oleh banyak orang

termasuk polisi, saya kira konsekuensi nasib yang akan Anda alami selanjutnyajauh lebih

tragis bila dibandingkan jika Anda melakukannya di tengah perkampungan Aborigin di

Australia. Sebuah perilaku tidak cukup hanya dipahami berdasarkan stimulus yang

mendahuluinya melainkan mengharuskan kita memahami kerangka nilai kultural individu

yang terpapar oleh stimulus tersebut.Memahami perilaku secara kontekstual inilah yang

menjadi epistimologi dalam pendekatan indigenous psychology.

Indigenous psychology sebagai bagian dari global psychology

Indigenous psychology sebenarnya bukan satu-satunya pendekatan yang menekankan

pentingnya mempertimbangkan pengaruh konteks budaya di dalam proses mental dan

perilaku. Interaksi antara pendekatan kultural dan psikologi setidaknya melahirkan tiga

perspektif dalam psikologi (Kim, 2000), yaitu perspektif universalis yang direpresentasikan

oleh psikologi lintas budaya (cross-cultural psychology, CCP), perspektif kontekstualis yang

direpresentasikan oleh psikologi kultural (cultural psychology, CP), dan, yang

terakhir,perspektif integrasionis yang diwakili oleh indigenous psychology. Untuk memahami

keunikan IP dibandingkan dua pendekatan lainnya, berikut saya akan memberikan ulasan

singkat mengenai CCP dan CP kemudian selanjutnya saya akan mencoba memberi paparan

tentang IP secara lebih detail.

1. Psikologi lintas budaya

Berry, Poortinga, Segall dan Dasen (2002) mendefinisikan psikologi lintas budaya

sebagai "the scientific study of human behavior and its transmission, taking into

account the ways in which behaviors are shaped and influenced by social and cultural

forces". Di dalam pendekatan ini, budaya diposisikan secara superfisial sebagai

sebuah variabel independen semu yang menyebabkan variasi dalam persepsi, proses-

proses kognitif, psikopatologis, kepribadian dan lain sebagainya (Kim, 2000; Kim,

Park & Park, 2000). Para psikolog lintas budaya biasanya berupaya untuk

membuktikan universalitas sebuah teori, alat ukur atau model intervensi dengan cara

menguji kecocokannya pada berbagai komunitas kultural.

Orientasi generalisasi yang ditekankan oleh pendekatan ini mendapatkan sorotan

tajam dari para kontekstualis (lihat Heinrich, Heine & Norenzayan, 2010; Shweder,

1991; Smith, Bond, & Kagitcibasi, 2006). Kim dan kolega-koleganya (Kim, 2000;

Kim, Hwang, & Yang, 2006) menilai bahwa pendekatan ini mengandung bias

Eurosentrisme yang perlu diwaspadai oleh para sarjana di luar masyarakat Barat.

Berry, dkk. (2004) secara lebih terperinci memaparkan empat level terjadinya bias

etnosentrismetersebut, yaitupada saat (i) pemilihan aitem dan stimuli dalam sebuah

instrumen, (ii) pemilihan jenis instrumen beserta prosedur penggunaannya, (iii)

definisi konsep-konsep teoritis, dan (iv) dalam pemilihan topik penelitian.

2. Psikologi budaya

Berkebalikan dengan pendekatan psikologi lintas budaya, para psikolog budaya

menggunakan perspektif kontekstualis dengan asumsi bahwa mentalitas dibentuk oleh

konteks budaya (Chiu & Chao, 2013). Hal ini mengimplikasikan pandangan dasar

mereka bahwa mentalitas sebuah komunitas kultural tertentu selalu bersifat unik dan

partikularsehingga tidak dapat diperbandingkan dengan mentalitasdari komunitas-

komunitas kultural lainnya. Shweder (1991) mendefiniskan psikologi budaya sebagai

“...the study of the way cultural traditions and social practices regulate, express, and

transform the human psyche, resulting less in psychic unity for humankind than in

ethnic divergences in mind, self, and emotion”.

Meskipun para sarjana psikologi kultural telah diakui kontribusinya dalam membawa

isu bias etnosentrisme psikologi Barat ke dalam wacana psikologi mainstream (lihat

Markus & Kitayama, 1991; Heinrich, Heine & Norenzayan, 2010), akan tetapi

mereka mendapatkan kritik tajam dalam hal pengabaiannya terhadap aspek

universalitas manusia. Kita memang bisa melihat variasi ekspresi perilaku antar

konteks budaya, akan tetapi pada lapisan yang lebih dalam kita tetap dapat

menemukan faktor-faktor universal yang melandasi variasi perilaku tersebut. Para

integrasionis memahami budaya bukan sebagai sebuah variabel independen semu

yang mempengaruhi munculnya perilaku melainkan sebagai mediator yang akan

menentukan bagaimana cara sebuah perilaku terekspresikan di dalam konteks

ekologis tertentu (Enriquez, 1993; Barkow, Cosmides, & Tooby, 1995; Kim, 2000;

Liu & Ng, 2007).

.

Bagan 1

Perspektif (A) universalisme psikologi lintas budaya, (B) kontekstualisme psikologi budaya,

dan (C) integrasionisme indigenous psychology

IP merupakan suatu pendekatan yang berupaya mengakomodasi baik aspek partikularitas

maupun aspek universalitas dari perilaku manusia (Allwood & Berry, 2010). Kim dan

kolega-koleganya (Kim & Berry, 1993; Kim, 2000; Kim, Park, & Park, 2000) mendefinisikan

IP sebagai psikologi yang berasal dari orang lokal, dikembangkan oleh orang lokal, dan

digunakan untuk kepentingan orang lokal. Walaupun orientasi IP lebih diarahkan kepada

kepentingan orang lokal, akan tetapi di sisi lain mereka juga memiliki agenda untuk

Psikologi

Global

IP 1

IP 2

IP 3

IP 4

Psikologi

kultural 1

Psikologi

kultural 3

Psikologi

kultural 2

(A) (B)

(C)

membangun psikologi global (Enriquez, 1993; Ho, 1993). Berbeda dengan universalitas ala

psikologi mainstreamyang mengandung bias etnosentris (Berry, dkk., 2004) dan terlalu

terhegemoni oleh pandangan hidup (world view) sekelompok kecil orang Barat kulit putih

kelas menengah (Heinrich, Heine & Norenzayan, 2010), psikologi global yang dicita-citakan

ini merupakan representasi akumulasi aspek kesamaan dari studi-studi IP dari berbagai

konteks budaya yang masing-masing bersifat saling melengkapi dan berada di dalam posisi

yang egaliter (Enriquez, 1993; Ho, 1993; Kim, Hwang, & Yang, 2006). Dengan pengertian

ini, psikologi mainstream yang ada sekarang akan diposisikan sebagai IP-nya orang-orang

Barat (Hwang, 2003).

Enriquez (1993) memetakan dua model indigenisasi yang umum digunakan oleh para peneliti

IP dalam mengembangkan psikologi global, yaitu indigenisasi dari jalur luar (indigenization

from without) dan indigenisasi dari jalur dalam (indigenization from within).

Indigenisasi dari jalur luar merupakan usaha indigenisasi dengan cara mengambil konsep,

teori, dan metode psikologi yang sudah ada dan memodifikasinya sehingga menjadi fit secara

kultural (Kim, 2000). Di dalam model ini, peneliti berusaha menghindari asumsi awal tentang

universalitas suatu teori sebagaimana yang umum dimiliki oleh para peneliti lintas budaya

dan menggunakan pengetahuan emic dari suatu konteks budaya untuk memodifikasi dan

mengadaptasi suatu teori. Dengan pendekatan jalur dari luar, peneliti menempatkan diri

sebagai ‘orang luar’ dan, melalui pendekatan top-down, menempatkan budaya lokal sebagai

target indigenisasi (Enriquez, 1993). Studi Cheung (2004) tentang Six Factors of Chinese

Personality Traits Theory dan Hakim (2012) tentang konsep kelekatan orangtua-anak di Jawa

merupakan dua contoh penelitian yang cukup merepresentasikan pendekatan ini.

Di sisi lain, model indigenisasi dari jalur dalam berusaha mengembangkan teori psikologi

yang berakar dari konsep-konsep, teori, dan metode penelitian yang sesuai dengan budaya

lokal (Kim, 2006; Kim, Park, & Park, 2000). Alih-alih mengimpor konsep dari luar, model

ini merekomendasikan para peneliti untuk melakukan studi eksploratori terlebih dahulu guna

mengidentifikasi dan mendefinisikan konsep-konsep psikologis lokal beserta analisis

semantiknya. Selanjutnya, peneliti akan mengembangkan konsep-konsep indigenous ini

menjadi teori-teori psikologi formal dari perspektif ‘orang dalam’ dengan pendekatan bottom-

up. Di dalam model indigenisasi dari jalur dalam ini, budaya diposisikan sebagai sumber

pengetahuan untuk melakukan indigenisasi (Enriquez, 1993). Studi Lestari (2013) merupakan

contoh yang menarik tentang bagaimana mengaplikasikan pendekatan ini dalam

pengembangan konsep psikologi Jawa rukun dalam setting kehidupan sosial.

Perbandingan dengan metode,

teknik,konsep-konsep lain, dsb.

Transfer teknologi; modernisasi

Indigenisasi dari jalur dalam

Dasar: dorongan dari dalam (indigenous)

Arah: ke luar (kultur sebagai sumber)

Indigenisasi dari jalur luar

Dasar: dorongan dari luar

(exogenous)

Arah: ke dalam (kultur sebagai

target)

Bagan 2

Konsep indigenisasi dari jalur dalam dan indigenisasi dari jalur luar (Enriquez, 1993)

Bagan 2 saya cuplik dari Enriquez (1993) untuk menggambarkan alur proses kedua model

indigenisasi dari jalur dalam dan dari jalur luar. Indigenisasi dari jalur luar diawali oleh

motivasi dari ‘orang luar’ untuk mengetahui partikularitas konstruk psikologis tertentu di

dalam suatu komunitas kultural. Proses indigenisasi diawali dari kajian eksploratif terhadap

pengetahuan-pengetahuan indigenous dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan emic

terhadap suatu konstruk kemudian menyusun ulang atau memodifikasi alat tes atau skala dan

INDIGENOUS

Asimilasi budaya, versi indigenous

dari konsep impor

Indigenisasi sebagai sebuah strategi

Indigenisasi teoritis

Indigenisasi isi, modifikasi tes, dan

penerjemahan material impor

EXOGENOUS

Identifikasi konsep-konsep kunci/

teori / metode indigenous

Elaborasi semantik

Kodifikasi atau rekodifikasi

indigenous

Aplikasi/ Penggunaan

menerjemahkan material-material impor yang relevan. Berdasarkan langkah awal tersebut

peneliti kemudian melakukan abstraksi teoritis untuk mengembangkan teori indigenous baru

atau memodifikasi teori tertentu yang sudah ada. Dengan demikian, indigenisasidari dari jalur

luar berperan sebagai sebuah strategi asimilasi kultural untuk mendapatkan versi indigenous

dari sebuah konsep psikologis yang diimpor dari luar (Enriquez, 1993; Kim, 2000)

Pendekatan indigenisasi dari jalur luar mendapatkan banyak kritik dari para psikolog

indigenous. Meskipun seorang peneliti berusaha menyingkirkan berbagai asumsi apriori nya,

bagaimanapun juga pengalaman hidup, nilai-nilai budaya asal yang menempel, dan

epistimologi yang ia bawa di dalam sistem berfikir akan turut mempengaruhi bagaimana ia

melakukan interpretasi atas temuannya (Yang, 2004; Hwang, 2005). Selain itu, Kim (2000)

juga menyoroti sisi kelemahan kompetensi cultural ‘orang luar’ untuk benar-benar bisa

menangkap budaya lokal secara utuh. Budaya bukan sekedar artefak-artefak empiris dan

sekumpulan pengetahuan yang bisa dianalisis melainkan juga sebuah pengalaman. Orang luar

mungkin bisa memahami budaya lokal akan tetapi ia tidak akan mampu menangkap aspek

pengalaman emosional dan transendental dari budaya tersebut sebagaimana yang dimiliki

oleh ‘orang dalam’ yang tumbuh dan berproses selama bertahun-tahun di dalamnya.

Di sisi lain, kehadiran peneliti dari luar juga penting dalam pengembangan IP. Orang-orang

dalam yang sudah terlalu familier dengan budayanya sendiri akan menerima budaya sebagai

sesuatu yang sudah jadi dan alamiah. Hal ini membuat mereka tidak lagi peka terhadap

keunikan-keunikan perilaku yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Kim, Hwang, & Yang

(2006) merekomendasikan para peneliti orang dalam untuk bekerjasama dengan orang-orang

dari luar budayanya karena mereka cenderung lebih sensitif dalam menangkap kekhasan

perilaku di dalam konteks budaya yang asing baginya.

Berkebalikan dengan indigenisasi dari jalur luar, indigenisasi dari jalur dalam mensyaratkan

peneliti berasal dari komunitas budaya yang akan menjadi target penelitian. Menurut

Enriquez (1993) langkah pertama yang harus dilakukan dalam model ini adalah

mengidentifikasi konsep-konsep, teori-teori, dan metode indigenous yang dapat

dikembangkan menjadi sebuah konsep psikologi. Kesalahan yang umum dilakukan oleh para

peneliti di dalam tahap ini adalah memperlakukan konsep-konsep indigenous dan filosofis

yang terdapat di dalam teks-teks tradisional atau folklore secara langsung sebagai sebuah

teori psikologi. Padahal, sebagaimana pendapat Kim, Hwang, dan Yang (2006), konsep-

konsep ini dikembangkan sejak puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan tahun yang lalu dan

tidak dimaksudkan sebagai sebuah teori psikologi ilmiah. Tentu saja konsep-konsep ini tidak

bisa secara valid menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia modern di zaman sekarang

ini. Oleh karena itu, para pionir IP menyarankan para peneliti untuk melakukan proses

‘penerjemahan’ dari sebuah konsep filosofis menjadi konstruk psikologis. Hal ini bisa

dilakukan dengan memperjelas definisi setiap konsep terlebih dahulu, baik melalui analisis

semantik (Enriquez, 1993), refleksi filosofis (Hwang, 2005) ataupun dengan studi empiris

(Kim & Park, 1995; Yamaguchi & Ariizumi, 2006). Melalui proses penerjemahan inilah

seorang peneliti akan mampu menyusun sebuah sistem teori formal secara indigenous yang

dapat diuji kebenarannya secara ilmiah melalui serangkaian penelitian empiris.

Sekarang ini gerakan indigenisasi teori psikologi telah menjadi semangat zaman (zeitgeist)

yang membawa kemajuan signifikan di dunia psikologi Asia. Leung (2007) mencatat, kajian-

kajian indigenous psychology di berbagai negara Asia telah berhasil memberikan kontribusi

yang signifikan di dunia psikologi global. Karya-karya teoritis dari beberapa tokoh

indigenous psychology seperti Kuo-shu Yang, Kwang Kuo Hwang, dan Uichol Kim memiliki

suntingan dalam jumlah yang tinggi (high citation) tidak hanya di kalangan ilmuwan di

lingkungan budaya asalnya saja melainkan juga dari kalangan luas di luar lingkungan

budayanya. Gerakan indigenisasi juga telah berhasil menginspirasi kebangkitan intelektual

para ilmuwan psikologi di negara-negara berkembang lain baik di sesama kawasan Asia

seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand, maupun dari kawasan lain seperti Afrika, Amerika

Selatan, dan Pasifik.

Yang menarik untuk dicatat, adalah Professor Virgilio Enriquez dari Filipina yang menjadi

pionir utama dan tokoh yang berpengaruh dalam gerakan indigenisasi psikologi (Kim,

Hwang, & Yang, 2006). Akan tetapi dalam perkembangannya sekarang ini, tokoh-tokoh dan

penelitian-penelitian IP sangat didominasi oleh para ilmuwan dari negara-negara maju di

Asia Timur seperti Jepang, Korea, Cina, dan Taiwan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi

para ilmuwan bangsa Melayu di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina

untuk kembali bangkit dengan mengusung indigenous psychology sebagai sebuah semangat

intelektual zaman yang lahir dari dalam rahimnya.

Dimana posisi Psikologi Indonesia?

Pada titik ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada Anda yang baru saja memutuskan

untuk memilih kuliah di jurusan psikologi, Universitas Paramadina. Saya juga ingin

mengucapkan selamat juga kepada sesama rekan akademisi muda yang baru meniti karir di

dunia akademia psikologi. Welcome to the club! Ada kabar baik yang ingin saya bagi di sini:

Psikologi Indonesia, khususnya dalam bidang riset, adalah lahan luas nan subur, dan...belum

banyak ditanami! Mengapa demikian?

Dalam sebuah tulisan menyambut satu dekade usia Association of Asian Social Psychology

(AASP), Liu dan Ng (2007) mengatakan bahwa psikologi Asia sudah mulai memiliki

identitas yang jelas dan posisi yang cukup terhormat di pentas akademia global, akan tetapi di

sisi lain masih belum mampu merepresentasikan keseluruhan atau jika tidak mayoritas wajah

psikologi Asia, terutama dari kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Perkembangan

psikologi dari Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya berbagi masalah yang

sama: belum banyak tersuarakan di outlet-outlet riset global. Laporan ini tentu saja tidak

menafikan kenyataan banyaknya program riset yang dijalankan oleh para peneliti psikologi

Indonesia. Setiap tahun lembaga-lembaga pemerintah seperti Dikti menyalurkan anggaran

yang cukup besar kepada para akademisi di Indonesia. Akan tetapi tampaknya hanya sedikit

dari riset ini yang menghasilkan artikel-artikel ilmiah yang terpublikasi secara luas, dan lebih

sedikit lagi yang terpublikasi di arena internasional, baik dalam bentuk artikel jurnal maupun

presentasi dalam kongres (lihat Tabel 1).

Tabel 1

Kehadiran Psikologi dari Negara-Negara Asia di Ajang Internasional

Negara Entri di PsycLit Partisipasi dalam kongres

Dengan kehadiran signifikan

Jepang

India

Cina

Hong Kong

Taiwan

Korea

Singapura

17217

8382

2594

1925

909

688

456

643

179

68

65

18

28

12

Kehadiran tidak terlalu

signifikan

Malaysia

Filipina

234

204

11

12

Pakistan

Thailand

Bangladesh

Indonesia

201

145

110

60

1

3

1

4

Sumber: Adair (2004)

Mengapa psikologi Indonesia belum menunjukkan kiprahnya secara signifikan di arena

internasional? Mungkin kita bisa mendapatkan jawabannya secara sekilas dari gambaran

perkembangan Psikologi Indonesia yang diuraikan oleh Prawitasari (2006). Analisis awalnya

terhadap artikel-artikel yang terpublikasi di tiga dua jurnal nasional terakreditas, yaitu Anima

dari Universitas Surabaya dan Jurnal Psikologi dari Universitas Gadjah Mada, dari tahun

2004-2005 menunjukkan sangat sedikit kajian psikologi yang menunjukkan kedekatannya

dengan konteks kultural Indonesia. Psikologi Indonesia masih belum memiliki bentuk wajah

otentiknya yang jelas dan masih bergantung pada trend penelitian psikologi di Amerika Utara

dan Eropa. Selain itu, kebanyakan penelitian bersifat studi sekali jalan (one-shot study),

biasanya menggunakan survei sebagai metode pengambilan data dengan pertimbangan paling

gampang untuk dilakukan. Tidak mudah untuk mengidentifikasi agenda riset jangka panjang

di balik penelitian-penelitian semacam ini.

Namun demikian tampaknya banyak hal telah berubah sejak Prawitasari (2006) melakukan

refleksi kritisnya terhadap psikologi Indonesia. Saya yakin dalam lima tahun terakhir ini

wajah psikologi Indonesia sudah banyak berubah. Inisiatif Fakultas Psikologi UGM atas

dorongan dari Professor Uichol Kim untuk mendirikan Center for Indigenous and Cultural

Psychology (CICP) pada akhir tahun 2009 lalu telah menghembuskan angin segar perubahan

yang membangkitkan kalangan ilmuwan di negeri kita untuk melakukan studi-studi IP.

Memang benar bahwa sebelumnya sudah ada beberapa peneliti Indonesia yang tergerak

untuk melakukan kajian-kajian psikologis berbasis konteks budaya, seperti studi Darmanto

Jatman (1991) tentang Psikologi Jawa, M. A. Subandi tentang dimensi-dimensi kultural kasus

pasien psikotik di Jawa (2006; 2008), dan Prihartanti (2004) tentang olah rasa. Akan tetapi

keberadaan CICP telah menciptakan setidaknya empat dampak positif yang meluas di

Indonesia:

Pertama adalah gerakan indigenisasi yang terprogram. Sebelumnya, penelitian IP di

Indonesia banyak dilakukan oleh individu per individu secara sporadis. Oleh karena itu,

pada saat itu perkembangan IP sangat tergantung pada kompetensi, orientasi, dan sumber

daya yang dimiliki oleh tiap individu yang tentu saja sangat bervariasi. IP bergerak

secara lambat, semangatnya menular melalui jalur hubungan-hubungan interpersonal

seperti antar pembimbing dan mahasiswa atau antar sesama peminat budaya. CICP

menawarkan strategi yang berbeda. Keberadaan peran lembaga memungkinkan

sekelompok peneliti untuk bekerjasama dan menyusun agenda dan program riset jangka

panjang yang bisa dijalankan bersama dan melibatkan lebih banyak lagi peneliti lain

serta para mahasiswa sarjana, master, dan doktoral. Strategi ini terbukti mampu

menciptakan daya dorong yang lebih besar sehingga dalam jangka waktu yang relatif

singkat, kurang lebih tiga tahun, para peneliti yang bernaung di bawah CICP berhasil

menghasilkan banyak artikel-artikel berbasis studi IP yang saling terintegrasi satu sama

lain.

Kedua adalah memperkuat perspektif internasional. Penelitian-penelitian IP pra CICP

yang diawali oleh minat pribadi si peneliti dan lebih banyak berorientasi pada

kepentingan-kepentingan lokal dan nasional. Mereka biasanya tergerak karena didasari

oleh kepedulian terhadap kelestarian kebudayaan lokal, semangat untuk

mengkontekstualisasi ajaran-ajaran tradisional di dalam kehidupan modern, dan

membebaskan diri dari cengkeraman kolonialisme teori-teori psikologi Barat. Para

peneliti di CICP masih mewarisi semangat yang sama. Akan tetapi, selain orientasi-

orientasi lokal tersebut, mereka juga memiliki keinginan kuat untuk dapat

mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian IP-nya kepada audiens yang lebih di dunia

internasional.

Indikasi adanya trend internasionalisasi para akademisi psikologi Indonesia adalah

meningkatnya keterlibatan mereka di dalam forum-forum ilmiah internasional. Sebagai

ilustrasi, di dalam forum Binneal Conference of Asian Association of Social Psychology

(BCAASP) ke-8 di India tahun 2009, jumlah peserta dari Indonesia kurang dari 50 orang

dan hanya 7 diantaranya yang mempresentasikan penelitian IP, jauh lebih sedikit

dibanding peserta dari negara-negara Asia lain seperti Jepang, India, Cina, Korea, dan

lain-lain. Akan tetapi dua tahun berikutnya ketika forum yang sama (BCAASP ke-9)

diselenggarakan di Kunming, China, jumlah peserta dari Indonesia melonjak dramatis

menjadi sebanyak 117 peserta (Liu, 2011) atau terbanyak kedua setelah tuan rumah Cina,

dan lebih dari separuhnya mempresentasikan studi IP. Geliat kemajuan Psikologi

Indonesia, khususnya yang berbasis pendekatan IP berhasil mendapatkan perhatian dunia

akademia internasional sehingga Indonesia dipercaya untuk menyelenggarakan

International Conference of Indigenous and Cultural Psychology (ICICP) yang pertama

tahun 2010 di Yogyakarta dan yang kedua pada tahun 2011 di Bali secara berturut-turut.

Kemudian tahun 2013 ini Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah untuk forum

yang lebih prestisius, yaitu BCAASP ke-10 di Yogyakarta.

Ketiga adalah mendorong kerja-kerja riset kolaboratif antar universitas. Penelitian-

penelitian IP pra CICP umumnya diselenggarakan secara individual atau sekelompok

kecil peneliti yang berasal dari lembaga yang sama. Walaupun jumlah riset kelompok ini

relatif banyak akan tetapi dalam pelaksanaannya sering kali sepenuhnya dikerjakan oleh

satu atau dua peneliti. CICP beserta cerita-cerita suksesnya ternyata kemudian

menginsipirasi kalangan akademisi psikologi Indonesia sehingga mereka tergerak untuk

membangun bekerjasama untuk mengembangkan program riset IP di institusinya

masing-masing. Sampai sejauh ini terdapat lima unit penelitian indigenous psychology

yang saling bekerjasama satu sama lain, yaitu CICP di Fakultas Psikologi UGM,

Yogyakarta; Center for Indigenous and Health Psychology (CIHP) di Prodi Psikologi

Universitas Udayana, Denpasar; Center for Indigenous and Islamic Psychology (CIIP) di

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Center for Community and

Indigenous Psychology (CCIP) Prodi Psikologi Universitas Sebelas Maret, Surakarta;

Pusat Pemberdayaan dan Pengembangan Keluarga (PPPK) Universitas Diponegoro,

Semarang; dan Unit Penelitian Indigenous Psychology UIN Syarif Kasim, Riau.

Keempat adalah mendorong keterlibatan dan pengembangan para peneliti muda. Sejak

awal pendiriannya, CICP telah melibatkan para peneliti muda terdiri dari mahasiswa

doktoral, master, dan sarjana selain tentu saja pada dosen senior dan Professor. Mereka

tidak hanya mendapatkan tugas untuk melakukan hal-hal teknis dalam pelaksanaan

penelitian, melainkan juga didorong lebih jauh untuk terlibat dalam proses analisis data,

penulisan naskah ilmiah, dan presentasi di forum-forum ilmiah nasional dan

internasional di bawah bimbingan para dosen senior dan Professor Uichol Kim sendiri.

Keterlibatan para peneliti muda ini dimungkinkan berkat visi dari Direktur CICP saat itu,

Professor Kwartarini W. Yuniarti, dan supervisor internasionalnya Professor Uichol Kim

yang berpandangan bahwa masa depan perkembangan Psikologi Indonesia berada di

tangan para peneliti generasi muda. Oleh karena itu, selain berfungsi sebagai pusat

penelitian, CICP juga memainkan peran penting sebagai kawah candradimuka guna

membangun tradisi akademik baru di Indonesia dan membentuk mentalitas dan

kompetensi akademik yang baik dalam diri para peneliti mudanya.

Sekarang ini, harapan tersebut mulai menampakkan hasilnya. Hampir seluruh pusat-

pusat studi yang saya sebutkan sebelumnya dikelola dan dimotori oleh para akademisi

muda berusia di bawah 40 tahun, yang memiliki orientasi IP yang kuat. Para akademisi

muda Indonesia yang saat aktif dalam pengembangan IP di institusinya masing-masing

antara lain David H. Tobing dan Yohannes Hendy di CHIP, Udayana; Yopina G. Pratiwi

dan Haidar B. Thontowi di CICP UGM; Moordiningsih di CIIP UMS, Moh. Abdul

Hakim dan Nugraha A. Karyanta di CCIP UNS, Dian V. S. Kaloeti dan Costrie G.

Widayanti di PPPK UNDIP, dan Mirra N. Milla di UIN Syarif Kasim Riau.

IP telah menjadi zeitgeist yang membuka peluang terciptanya kebangkitan intelektual di

kalangan peneliti psikologi di Indonesia. Mempertimbangkan bahwa kekayaan kultural

merupakan modal berharga dalam pengembangan psikologi di Asia (Kashima & Haslam,

2007; Leung, 2007), psikologi Indonesia memiliki potensi besar untuk dapat berkontribusi

secara signifikan dalam membangun psikologi global di masa depan. Sejauh ini

perkembangan Psikologi Indonesia sudah berada di dalam jalur yang benar dan cukup

menjanjikan. Akan tetapi hal ini tidak berarti kita boleh beranggapan bahwa karpet merah

telah tergelar muus di hadapan kita. Ada setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Dalam suatu diskusi personal dengan Professor James Liu, saya mendapatkan beberapa poin

penting yang harus menjadi catatan para akademisi psikologi Indonesia. Yang pertama,

ilmuwan Psikologi Indonesia harus memiliki agenda riset jangka panjang dan program riset

yang jelas dan khas. Apa yang ingin disampaikan oleh Psikologi Indonesia kepada dunia

psikologi global? Yang kedua, Psikologi Indonesia akan berkembang baik apabila tumbuh di

tengah iklim dan tradisi akademik yang baik. Iklim akademik yang baik akan terbentuk ketika

setiap aktor yang terlibat di dalamnya memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan dan mampu bersikap terbuka untuk membangun kerjasama dan menerima kritik

dari orang lain. Yang terakhir, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuwan Asia (Leung,

2007; Kim, komunikasi pribadi; Liu & Ng, 2007), perkembangan psikologi Asa terletak di

tangan para akademisi muda. Oleh karena itu, kunci untuk membangun Psikologi Indonesia

adalah membentuk barisan generasi peneliti muda yang memiliki ambisi, komitmen, dan

kreatifitas untuk mengembangkan IP versi Indonesia sehingga nantinya dapat memberikan

kontribusi signifikan arena akademia global.

Daftar Pustaka

Allwood, C. M., & Berry, J. W. (2006). Origins and development of indigenous

psychologies: An international analysis. International Journal of Psychology, 41(4),

243-268.

Bandura, A., & Wessels, S. (1997). Self-efficacy: W.H. Freeman & Company.

Barkow, J. H., Cosmides, L., & Tooby, J. (1995). The adapted mind: Evolutionary

psychology and the generation of culture: Oxford University Press, USA.

Berry, J. W., & Kim, U. (1993). The way ahead: From indigenous psychologies to a universal

psychology. In U. Kim & J. W. Berry (Eds.), Cross-cultural research and

methodology series, Vol. 17. Indigenous psychologies: Research and experience in

cultural context (pp. 277-280). Thousand Oaks, CA, US: Sage Publications, Inc.

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (2002). Cross-Cultural

Psychology Research and Applications (2nd ed.). Cambridge, UK Cambridge University

Chiu, C.-y., & Chao, M. M. (2013). Society, culture, and the person: Ways to personalize and

socialize cultural psychology Understanding culture (pp. 456-465): Psychology Press.

Enriquez, V. G. (1993). Developing a Filipino psychology.

Henrich, J., Heine, S. J., & Norenzayan, A. (2010). Most people are not WEIRD. Nature,

466(7302), 29.

Ho, D. Y.-F. (1993). Relational orientation in Asian social psychology.

Hwang, K.-K. (2006). Constructive Realism and Confucian Relationalism Indigenous and

cultural psychology (pp. 73-107): Springer.

Jatman, D. (1997). Psikologi Jawa: Yayasan Bentang Budaya.

Kim, U. (2000). Indigenous, cultural, and cross‐cultural psychology: A theoretical,

conceptual, and epistemological analysis. Asian Journal of Social Psychology, 3(3),

265-287.

Kim, U. E., & Berry, J. W. (1993). Indigenous psychologies: Research and experience in

cultural context: Sage Publications, Inc.

Kim, U., & Park, Y.-S. (2006). The scientific foundation of indigenous and cultural

psychology Indigenous and Cultural Psychology (pp. 27-48): Springer.

Kim, U., Yang, K.-S., & Hwang, K.-K. (2006). Contributions to indigenous and cultural

psychology Indigenous and Cultural Psychology (pp. 3-25): Springer.

Liu, J. H., & Ng, S. H. (2007). Connecting Asians in global perspective: Special Issue on past

contributions, current status and future prospects for Asian social psychology. Asian

Journal of Social Psychology, 10(1), 1-7.

Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition,

emotion, and motivation. Psychological review, 98(2), 224.

Prawitasari, J. E. (2006). Psikologi Nusantara: Kesanakah Kita Menuju? Buletin Psikologi,

14(1).

Prihartanti, N. (2004). Kepribadian sehat menurut konsep Suryomentaram. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Shweder, R. A. (1991). Thinking through cultures: Expeditions in cultural psychology:

Harvard University Press.

Skinner, B. F. (1963). Operant behavior. American Psychologist, 18(8), 503.

Smith, P., & Bond, M. Kagitcibasi.(2006). Understanding social psychology across cultures:

Living and working in a changing world.

Yamaguchi, S., & Ariizumi, Y. (2006). Close interpersonal relationships among Japanese

Indigenous and cultural psychology (pp. 163-174): Springer.

Kutipan dapat ditulis sebagai berikut:

Hakim, M. A. (2013, Oktober). Dari lokal ke global: Berfikir kontekstual, indigenous

psychology, dan masa depan psikologi Indonesia di arena

internasional. Makalah disampaikan pada Kuliah Umum Psikologi

Indigenous, Universitas Paramadina, Jakarta