Dampak Pengiriman Food Aid dari Amerika Serikat dalam Bidang Ekonomi dan Sosial Ethiopia
Transcript of Dampak Pengiriman Food Aid dari Amerika Serikat dalam Bidang Ekonomi dan Sosial Ethiopia
DAMPAK PENGIRIMAN FOOD AID DARI AMERIKA SERIKAT DALAM BIDANG EKONOMI DAN SOSIAL ETHIOPIA
Disusun untuk memenuhi tugas makalah ujian akhir semester Mata Kuliah Pembangunan Internasional
Oleh:
Dian Fitriyani Agustin
(1206210830)
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok, 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ethiopia merupakan negara yang berada di ujung timur Benua
Afrika. Negara ini memiliki permukaan tanah yang bervariasi, dari
dataran tinggi bersuhu rendah, dataran rendah yang bersuhu tinggi,
sampai gurun pasir yang begitu terik. Ethiopia memiliki populasi
sebanyak 67 juta penduduk, dengan 84% penduduk hidup di wilayah
pedesaan. Lebih dari setengah rakyat Ethiopia hidup di bawah 1 US
$ per hari dan lebih dari 80% mengandalkan sektor pertanian
sebagai tempat mencari nafkah.1
Mayoritas rakyat Ethiopia mengalami kelaparan. Hal utama yang
mendorong adanya kelaparan kronis di Ethiopia adalah kekeringan,
di mana sebagian wilayah Ethiopia memiliki musim hujan yang tidak
bisa diprediksi. Meskipun demikian, kekeringan terus-menerus,
tidak selalu menyebabkan kelaparan di dunia ini. Cuaca merupakan
satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan kelaparan akut.
Alasan utama kelaparan akut di Ethiopia adalah kemiskinan. Sebab,
orang yang miskin tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk
menghadapi keadaan yang terbatas. Selain itu, sistem perdagangan
yang tidak seimbang juga berkontribusi pada kelaparan di Ethiopia,1 ActionAid, “Food and Famine in Ethiopia”, diakses dari http://www.actionaid.org.uk/sites/default/files/doc_lib/196_1_ethiopia_food.pdf,pada 20 Desember 2014.
1
di mana pemerintah membeli hasil pertanian dari petani dengan
harga yang rendah. Faktor lain yang mendorong kelaparan di
Ethiopia adalah sistem pertanian, di mana banyak individu di sana
tidak memiliki ladang sendiri dan dipekerjakan sesuai dengan
ukuran besar atau kecilnya keluarga, dengan keuntungan yang hanya
didistribusikan setiap beberapa tahun sekali. Lahan juga dibagi
untuk beberapa petani dalam waktu tertentu, sehingga jelas, petani
di Ethiopia berkurang pendapatannya.2
Dengan kondisi tersebut, berbagai pihak berusaha untuk
membantu Ethiopia, salah satunya adalah Amerika Serikat. Sejak
tahun 1956-1994, AS telah memberikan lebih dari 773 juta US $ food
aid bagi Ethiopia, lebih dari negara di wilayah sub-Sahara lainnya.3
Namun demikian, adanya food aid tidak serta merta membuat Ethiopia
lepas dari ancaman kelaparan dan kemiskinan. Hal ini terkait
dengan berbagai kritik efektifitas bantuan luar negeri sendiri, di
mana kaum developmentalist menilai bahwa bantuan luar negeri justru
mengakibatkan dependency atau ketergantungan. Selain itu, food aid
juga dinilai mampu menyebabkan distrorsi pasar domestik bagi
negara penerima. Untuk itu, makalah ini akan mencoba mengetahui
lebih jauh mengenai dampak food aid yang telah diberikan AS pada
bidang ekonomi dan sosial di Ethiopia.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana dampak food aid yang diberikan oleh Amerika Serikat
dalam bidang ekonomi dan sosial di Ethiopia?2 ActionAid3 Sharon Benoliel, “Food Aid in Ethiopia: Grain Saved Lives, Helped Stabilize Economy” Impact Evaluation by United States Agency for International Development(1998): hlm. 3
2
1.3. Kerangka Teori/Konsep
1.3.1. Dependency and Foreign/Food Aid
Paul Harvey dan Jeremy Lind mencoba mempelajari mengenai
pengertian dari dependency. Ketergantungan dinilai sebagai kondisi
kurangnya inisiatif masyarakat, yang juga bertentangan dengan
beberapa nilai positif seperti independency (kemandirian), self-
sufficiency (berdiri di kaki sendiri), self-reliance (usaha membantu diri
sendiri), dan sustainability (keberlanjutan). Harvey dan Lind menilai
bahwa ketergantungan merupakan masalah khusus dalam konteks di
mana bantuan telah diberikan dalam periode yang berkepanjangan.4
Harvey dan Lind kemudian menilai bahwa masyarakat atau negara
dapat dikatakan ketergantungan, ketika mereka tidak mampu memenuhi
langsung kebutuhan dasar penduduknya dalam tanpa bantuan
eksternal.5
Secara garis besar, Harvey dan Lind mengidentifikasi empat
hal yang berkaitan dengan ketergantungan dan bantuan:6
a. Bantuan memberikan risiko terciptanya mentalitas
ketergantungan atau sindrom di mana orang mengharapkan bantuan
lanjutan. Hal ini melemahkan inisiatif, baik pada tingkat
individu ataupun masyarakat.
b. Bantuan merusak perekonomian lokal, dengan menciptakan
perlunya bantuan lanjutan dan menjebak masyarakat dalam
ketergantungan berkelanjutan atau kronis, khususnya pada
bantuan luar negeri.4 Paul Harvey dan Jeremy Lind, “Dependency and Humanitarian Relief: a CriticalAnalysis” dalam Humanitarian Policy Group Research Report, No. 19 (July, 2005): hlm. 8-95 Paul Harvey dan Jeremy Lind, hlm. 106 Paul Harvey dan Jeremy Lind, hlm. 9-10
3
c. Ketergantungan pada bantuan eksternal menjadi salah satu
pendorong kemiskinan ekstrim, dan biasanya dikaitkan dengan
rasa malu atau kekalahan.
d. Ketergantungan biasanya terjadi pada pemerintah di tingkat
lokal maupun nasional, partai yang berseberangan dan lembaga
bantuan, pada sumber daya bantuan.
Ketergantungan dapat dilihat dari hubungannya dengan dua hal,
yaitu kesejahteraan dan pembangunan. Dalam kaitannya dengan
kesejahteraan, Fineman mendefinisikan keadaan ketergantungan
sebagai suatu hal menurun, yang merupakan hasil dari kemalasan dan
degenerasi, kemiskinan, dan kejahatan.7 Sementara kaitan
ketergantungan dan pembangunan, sebenarnya ketergantungan
merupakan istilah kunci dalam teori-teori mengenai proses
pembangunan. Teory dependency sendiri melihat bahwa keterbelakangan
pembangunan merupakan hasil dari hubungan kekuatan yang tidak
seimbang antara negara kapitalis kaya, dengan negara berkembang
yang miskin. Dengan adanya hal tersebut, terlihat jelas bahwa
ketergantungan berhubungan dengan bantuan yang diterima oleh suatu
negara.8
Oxfam GB memberikan contoh food aid, yang dinilai mencerminkan
ketersediaan surplus perdagangan dan keinginan negara eksportir
untuk memperluas pasarnya dan keterlibatan kepentingan khusus di
dalamnya untuk mencari keuntungan dari food aid program.9Adanya hal
tersebut ditunjukkan dengan kasus di Ethiopia, di mana petani
7 Paul Harvey dan Jeremy Lind, hlm. 118 Paul Harvey dan Jeremy Lind, hlm. 129 Paul Harvey dan Jeremy Lind, hlm. 12
4
miskin di sana sudah tergantung dengan bantuan pangan yang
diberikan oleh pihak eksternal.10
Food aid, selain dapat menimbulkan ketergantungan, juga menjadi
masalah perdagangan. Hal ini disebabkan oleh munculnya potensi
distorsi pasar oleh program tersebut. Food aid berpotensi mengurangi
produksi pangan negara penerima donor, bahkan merusak mata
pencaharian penduduk di pedesaan. Meskipun WTO juga sudah mengatur
adanya pembatasan trade-distorting measures, namun food aid program tidak
tunduk dengan peraturan tersebut, khususnya pada peraturan di
Putaran Uruguay dan Agricultural Agreement. Terlebih sengketa food aid
program pun tidak diatur dalam dispute settlement body WTO.11
Adapun lima permasalahan utama food aid program yang melanggar
prinsip WTO adalah:
a) Merusak produksi lokal dari negara penerima donor;
b) Merupakan usaha displacement exports dari negara maju;
c) Food aid digunakan untuk membuang kelebihan pangan di negara
maju;
d) Food aid digunakan untuk mencari pasar baru; dan
e) Kurangnya kejelasan mengapa food aid lebih cenderung berbentuk
barang dibandingkan dana tunai, seperti yang secara konsisten
dilakukan AS.12
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Program Food Aid Amerika Serikat di Ethiopia10 Collier dan Lancaster, dalam Paul Harvey dan Jeremy Lind, hlm. 1311 Oxfam Briefing Paper, “Food Aid or Hidden Dumping? Separating Wheat from Chaff” (March, 2005): hlm. 1712 Oxfam Briefing Paper, hlm. 17
5
Sejak tahun 1956-1994, Amerika Serikat telah memberikan food
aid kepada Ethiopia sebesar 773 juta US $. Food aid tersebut
merupakan 65% bantuan nonmiliter AS dalam kurun waktu 39 tahun.
Food aid AS sendiri dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis.
Pertama, Title I Program, yaitu bantuan government-to-government, yang
diimplementasikan dengan tingkat yang rendah pada tahun 1963,
1966-1967, dan 1976. Program tersebut merupakan implementasi dari
1% komitmen AS pada Kebijakan Publik Nomor 480 (Public Law 480).
Kedua, Title Program II, yaitu bantuan dengan proyek spesifik, yang
aktif setiap tahun sejak tahun 1956. Program ini juga merupakan
implementasi komitmen AS pada PL 480, sebesar 87%. Ketiga, Title
Program II, yaitu food for development, yang dilaksanakan dari tahun
1992-1994, di mana program ini turut berkontribusi pada 12%
implementasi dari PL 480. AS sendiri tidak memiliki program food aid
yang besar di Ethiopia sebelum tahun 1985. Pelaksanaan program food
aid AS ini dapat dilihat dari grafik dan tabel berikut:13
13 USAID, “Food Aid in Ethiopia: Grain Saved Lives, Helped Stabilize Economy”(1998): hlm. 3-4
6
Grafik 1. Pelaksanaan Kebijakan Publik AS Nomor 480 tentang Food Aid di
Ethiopia 1956-1994
\
(Sumber: USAID, 1998, hlm. 4)
Tabel 1. Ringkasan Pelaksana, Struktur, dan Operasional Food Aid Programs
Amerika Serikat
7
(Sumber: IATP, 2005, hlm. 13)
Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan masing-masing program
lebih lanjut, pada pertengahan tahun 1960-an, pemerintah Ethiopia
menjual sebagian kecil bantuan kapas yang diberikan dalam Title I
Program dan menggunakan hasil penjualannya untuk membiayai Koperasi
Beras Ethiopia. 14 Sementara, Title II Program dilaporkan berjalan dalam
tingkat yang rendah, yaitu di bawah 1 juta US $ per tahun sebelum
1974. Pada saat itu, Catholic Relief Services merupakan satu-satunya NGO
yang terlibat dan menggunakan dana Title II Program. Pada tahun 1974,
komitmen pada pelaksanaan Title II Program ditingkatkan oelh USAID,
terkait dengan kelaparan parah yang terjadi. Sampai pada tahun
1984, sebagian besar program kelompok Katolik tersebut mendukung
kegiatan kesehatan bagi ibu dan anak, food for work, terutama
pekerjaan untuk pembangunan jalan. 15
Sejak tahun 1984-1994, USAID telah memasok lebih dari 575 juta
US $ bantuan dalam Title II Program. Gandum dan campuran jagung-
kedelai, menjadi komoditas utama yang disalurkan pada bantuan
14 USAID, hlm. 4-515 USAID, hlm. 4-5
9
tersebut, dan telah berkontribusi pada lebih dari 60% bantuan AS
ke Ethiopia. Sorghum dan susu juga merupakan komoditas yang
disalurkan, dengan masing-masing kuantitas yaitu 8 dan 13 %.
Komoditas lainnya adalah minyak, lentil, kacang-kacangan, dan
jagung, yang turut melengkapi 19% sisanya.16
Namun, pada tahun 1979 sampai setelah jatuhnya rezim
Mengistu, AS menghentikan seluruh bantuan ekonominya pada
Ethiopia, kecuali Title II Program, karena pemerintah Ethiopia pada
saat itu menolak untuk menyelesaikan masalah kompensasi bagi AS
atas kasus nasionalisasi property AS oleh Ethiopia di tahun 1975.
Peningkatan bantuan terbesar terjadi kembali pada Title II Program,
setelah kelaparan terjadi di tahun 1984. Pada periode ini, LSM
atau NGO lain mulai berkolaborasi dengan USAID dalam Title II Program.
Mereka yang terlibat adalah CARE, Relief Society of Tigray, Ethiopian Orthodox
Church, Food for the Hungry International, Save the Children, World Vision Relief, dan
Lutheran World Relief.17
Mengenai Title III Program sendiri, mulai dilaksanakan pada 1992.
Bantuan ini berupaya untuk membantu Ethiopia bergerak dari
ketergantungan pada bantuan makanan, demi terciptanya food security
yang lebih baik, di mana setiap orang dapat memiliki akses bagi
ketersediaan makanan dan gizi yang memadai. Program ini merupakan
program bantuan komoditas pertanian, dengan total bantuan sebesar
136 juta US $, demi mendukung transformasi ekonomi nasional
Ethiopia yang lebih berorientasi pasar. Dalam program ini, gandum,
kapas, dan sorgum menjadi komoditas yang disalurkan, di mana
masing-masing komoditas tersebut menyumbangkan 46%, 32%, dan 22%
16 USAID, hlm. 517 USAID, hlm. 4-5
10
dari komitmen implementasi Title III Program. AS telah berkontribusi
pada 28% food aid di Ethiopia pada 25 tahun belakangan (terhitung
sampai 1998). Setelah dilanda kelaparan pada 1984, porsi food aid
semakin meningkat, yang terlihat dari total konsumsi sereal dengan
rata-rata 11%.18
Namun demikian, pada tahun 1995, Kementrian Pertanian AS
memprediksi bahwa Ethiopia masih akan tetap mengalami kelaparan
kronis sampai tahun 2005, ketika food aid sudah mencapai 17% dari
total konsumsi di Afrika Timur (kecuali Kenya). Hal ini akan
membuat negara Ethiopia menjadi salah satu negara yang paling
bergantung pada food aid di dunia.19
2.2. Signifikansi Pengaruh Food Aid Amerika Serikat bagi Bidang
Ekonomi-Sosial Ethiopia
Menurut Little, kehadiran food aid AS di Ethiopia dinilai tidak
memberikan dampak negatif yang signifikan, di antaranya bagi
ekonomi dan perilaku sosial masyarakat Ethiopia. Hal ini berawal
dari penelitian Little yang membandingkan kehidupan masyarakat
Ethiopia yang menerima food aid dengan yang tidak menerimanya.
Berikut adalah hasil penelitian tersebut:
Tabel 2. Perbedaan Kehidupan Penerima dan Bukan Penerima Food Aid (Juli
2002-Juli
2003)
18 USAID, hlm. 519 USAID, hlm. 5
11
(Sumber: Peter D. Little, 2008, hlm. 866)
Menurut Little, tabel di atas menunjukkan bahwa food aid tidak
memiliki efek yang signifikan bagi perbedaan pekerjaan masyarakat
Ethiopia. Beberapa pola dapat dilihat dalam tabel tersebut,
misalnya, kebanyakan keluarga, baik dari kelompok penerima maupun
bukan penerima food aid sama-sama berusaha mencari jenis pekerjaan
dalam pertanian dan mereka memiliki proporsi yang sama dalam
penghasilan produksi pertanian. 20
Sementara, persentase keluarga yang menerima uang dari
penjualan ternak atau produk ternak, menunjukkan mereka yang
menerima uang dan bukan penerima food aid adalah sebesar 57%,
dibandingkan dengan mereka yang menerima uang dan penerima food aid
sebesar 51%. Hal ini menunjukkan bahwa food aid tidak berdampak
signifikan pada penerimaan uang keluarga di Ethiopia. Hal yang
lebih penting yang harus diperhatikan adalah lebih besarnya
persentasi penerima food aid dibandingkan dengan bukan penerima food
aid, dalam keterlibatannya di pekerjaan off-farm waged dan usaha jasa
atau perdagangan kecil. 21
Beberapa hal tersebut memperlihatkan bahwa pekerjaan yang
sulit dan rendah statusnya, hanya dicari oleh orang-orang yang
sudah putus ada dan bekerja keras untuk menafkahi anggota
20Peter D. Little, “Food Aid Dependency in Northeastern Ethiopia: Myth or Reality?” dalam World Development, Vol. 36, No. 5 (2008): hlm. 866-86721 Peter D. Little, hlm. 867
12
keluarganya. Misalnya, dengan mengirim anggota keluarga ke luar
daerah untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan kopi atau sebagai
pedagang kaki lima di pusat kota, serta terlibat dalam pembuatan
arang dan kayu bakar lokal. Kegiatan ini dilakukan pada saat musim
kemarau datang, saat food aid tersedia dalam jumlah yang lebih
besar.22
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa penerima food aid lebih
banyak dua kali lipat, yang terlibat dalam usaha non-pertanian.
Ditambah pula, dengan persentasi penerima food aid yang lebih banyak
memperolah pendapatan dari 3+ activities. Hal ini merupakan indikasi
bahwa food aid tidak memiliki efek negatif pada strategi
diversifikasi petani. Menurut Little, adanya pendapat bahwa food aid
mengurangi dorongan untuk pekerjaan dan mengurangi insentif
mencari nafkah, yang disebut sebagai dependency mentality, tidak
terbukti di daerah Wollo Selatan, Ethiopia ini.23
Bukan hanya itu, Little juga melihat bagaimana pengaruh food
aid pada perubahan hubungan sosial masyarakat Ethiopia. Dari data
yang diperoleh bahwa sebanyak 59% penerima dan 55% bukan penerima
food aid, turut berpartisipasi dalam kelompok pertukaran tenaga
kerja. Kegiatan ini meliputi kelompok kecil dari petani yang
saling membantu satu sama lain dalam pekerjaan pertanian. Jika
dilihat dari aktifnya partisipasi, perbedaan di antara kedua
kelompok tersebut hanya sedikit, bahkan, penerima food aid sebanyak
46% lebih cenderung berkenan untuk menyediakan bantuan bagi
tetangganya dibandingkan dengan keluarga bukan penerima food aid.
Bantuan tersebut biasanya meliputi pinjaman utang, tenaga kerja,
22 Peter D. Little, hlm. 86723 Peter D. Little, hlm. 867
13
pembagian tanah atau ternak, dan pemberian utang makanan. Dari
tabel di atas, dapat dilihat bahwa perbedaan kehidupan dan
hubungan sosial kedua kelompok tergolong sedikit. Dalam wilayah
Wollo Selatan, pendapat bahwa food aid mempengaruhi tingkat
kehidupan dan hubungan sosial, tidak berlaku.24
2.3. Dampak Negatif Program Food Aid Amerika Serikat di Ethiopia
Angka statistik boleh jadi menunjukkan rendahnya signifikansi
negatif food aid bagi Ethiopia. Namun demikian, terdapat penjelasan
lain yang bertentangan dengan hal tersebut. Ditemukan penjelasan
bahwa sebenarnya, program food aid yang telah dijalankan selama
hitungan puluhan tahun tersebut, juga memiliki dampak negatif.
Dampak negatif ini khususnya terkait dengan ketersediaan pangan,
di mana yang terjadi dalam Ethiopia bukan food security, namun justru
food insecurity. Selain itu, program food aid juga dinilai mengakibatkan
ketergantungan rakyat Ethiopia kepada bantuan dari pihak luar.
Menurut Kehler, pada tahun 2003, sebanyak 13 juta rakyat
Ethiopia masih membutuhkan food aid untuk bertahan hidup. Ia
mengatakan bahwa meskipun Ethiopia sudah menerima food aid selama 30
tahun, namun hal tersebut justru menumbuhkan food insecurity, terlebih
program food aid telah dilembagakan. Ethiopia telah menerima rata-
rata sebanyak 700.00 ton makanan per tahunnya dalam kurun waktu 15
tahun terakhir. Ethiopia menjadi negara penerima bantuan terbesar
di Afrika, namun ironisnya, Ethiopia menerima sedikit sekali
investasi pembangunan.25 24 Peter D. Little, hlm. 86725 Ellen Jaka, “The Impact of Protracted Food Aid on Chipinge District Communities in Zimbabwe” (University of The Free State, October, 2009): hlm. 19-20
14
Pendapat yang sama juga muncul, di mana food aid per tahunnya
justru dinilai memunculkan food insecurity yang kronis. Hal ini
disampaikan oleh BBC News pada tahun 2006. Dalam BBC News, Famine Early
Warning System (FEWS), mengatakan bahwa sebanyak 10,4 juta rakyat
Ethiopia mengalami ketergantungan pada food aid. Artikel tersebut
menilai bahwa food aid memang menyelamatkan hidup rakyat Ethiopia,
namun FEWS menyalahkan adanya impor makanan yang terjadi yang
mengakibatkan rendahnya pembayaran produksi petani lokal oleh
pemerintah. Hal ini mengakibatkan berkurangnya insentif bagi
petani lokal untuk menbangun pertanian yang lebih baik. Bahkan,
dengan intensitas hujan yang membaik pun, produksi makanan di
Ethiopia masih tergolong stagnan.26
Mengenai adanya ketergantungan terus-menerus Ethiopia terhadap
food aid, dapat terlihat pada data mengenai perbandingan food aid
dengan program bantuan AS lainnya, di mana food aid masih
mendominasi bantuan yang diberikan AS kepada Ethiopia. Bukan hanya
itu, jumlahnya juga relative besar, meskipun fluktuatif. Berikut
adalah beberapa grafiknya:Grafik 2. Food Aid dan Program Bantuan USAID Lainnya Pada 1952-2013 di Ethiopia
(Sumber: USAID, 2011)
Grafik 3. Total Food Aid Amerika Serikat ke Ethiopia Pada 1952-2011
26 Ellen Jaka, hlm. 20
15
(Sumber: USAID, 2011)
Grafik 4. Bantuan USAID ke Ethiopia Berdasarkan Sektor Pada 2001, 2007,
2013
(Sumber: USAID, 2011)
Data yang dikeluarkan oleh pemerintah AS sendiri juga
menunjukkan hal yang sama, di mana, secara umum, meskipun besaran
food aid sangat fluktuatif, namun tren yang ada memperlihatkan
besaran food aid yang dikirim kan ke Ethiopia dari tahun 1980-2010
16
justru berada dalam kisaran yang tergolong tinggi. Hal ini dapat
dilihat dalam tabel berikut:Tabel 3. Perkembangan Jumlah Food Aid Amerika Serikat ke Ethiopia dari
1980-2010
(Sumber: USAID, 2014)
Kondisi ketergantungan juga telah disadari oleh pemerintah
Ethiopia sendiri. Dalam beberapa dekade terakhir, jutaan rakyat
Ethiopia memang masih bergantung pada food aid dari negara donor.
Setiap tahunnya, baik pada musim kemarau maupun hujan, setidaknya
terdapat lima juta rakyat Ethiopia yang membutuhkan food aid untuk
dapat bertahan enam bulan ke depan. Menyadari adanya
ketergantungan mereka pada food aid, pada tahun 2004, pemerintah
Ethiopia kemudian memutuskan untuk mengambil langkah-langkah guna
mengurangi ketergantungan mereka pada food aid.27 Akhirnya, pada
tahun 2005, pemerintah Ethiopia mengeluarkan strategi pembangunan
yang disebut productive safety nets programme (PSNP), yang diharapkan
27 Irin News, “Ethiopia: Struggling to End Food Aid Dependency”, diakses dari http://www.irinnews.org/report/58056/ethiopia-struggling-to-end-food-aid-dependency, pada 21 Desember 2014 (7 February, 2006)
17
mampu mengakhiri ketergantungan pada food aid dalam kurun waktu tiga
tahun. 28
Pemerintah menempatkan pembangunan agrikultur sebagai inti
dari rencana pembangunan tersebut, yang secara efektif merupakan
skema food for work, di mana masyarakat lokal membangun sistem
perairan dan irigasi kecil, serta bekerja untuk membantu mencegah
erosi tanah, untuk mendapatkan bantuan makanan. Dengan begitu, di
satu sisi masyarakat dapat memperoleh makanan, di sisi lain, hal
tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut pemerintah
Ethiopia, bantuan dapat menyebabkan ketergantungan, sementara
pembangunan dapat menghilangkan ketergantungan. PSNP tersebut
merupakan kombinasi antara bantuan dengan pembangunan. PSNP
menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk meninggalkan
ketergantungannya pada food aid, kemudian mengantarkan mereka kepada
situasi yang solutif untuk menyambung kehidupan.29 Berikut adalah
ilustrasi rencana pencapaian PSNP:Gambar 1. Tujuan Productive Safety Net Programme (PSNP) di Ethiopia
(Sumber: Stephen Devereux and Bruce Guenther, hlm. 7)
Meskipun demikian, hal tersebut belum mampu menghilangkan
ketergantungan food aid di Ethiopia. Pendapat seorang narasumber
dalam sebuah penelitian di tulisan Kehler justru menunjukkan bahwa
28 Irin News29 Irin News
18
program tersebut tidak cukup efektif dalam mengurangi
ketergantungan. Berawal dari tahun 2006, di mana Handino meneliti
keanehan atas banyaknya food aid yang justru mengakibatkan food
insecurity di Ethiopia. Ia mewawancarai beberapa narasumber secara
mendalam. Narasumber dari keluarga yang tidak mampu, menilai bahwa
apa yang mereka butuhkan bukanlah keberlanjutan dari food aid, namun
lebih kepada dukungan bagi produksi pertanian melalui akses ladang
pertanian, pupuk, irigasi, benih, dan teknik pertanian yang lebih
baik. Food aid dinilai telah merenggut moral dan harga diri
masyarakat Ethiopia. Di mana, narasumber itu mengatakan bahwa
mereka tidak menghargai adanya food aid dan productive safety net program
(PSNP) sebagai solusi bagi kekurangan pangan di sana. Mereka
menilai, saat mereka menerima food aid, mereka akan bergantung pada
orang lain. Hal itu akan mengurangi rasa percaya diri dan moral
untuk bekerja lebih keras. Dukungan melalui food aid justru dinilai
tidak membantu kekurangan pangan di Ethiopia.30
Sementara itu, bagi narasumber dari keluarga yang mampu, yang
bukan merupakan penerima food aid, juga mengeluhkan mahalnya input
bagi pertanian, karena subsidi pertanian dicabut atas saran dari
World Bank dan IMF. Mereka yang mampu mandiri, kemudian menjual aset
mereka demi bertahan dalam keadaan tersebut. Menurut Kehler,
program food aid yang begitu besar di Ethiopia memang menyematkan
nyawa mereka, namun tidak menghentikan penurunan kepemilikan aset,
tingkat malnutrisi, dan kerentanan masyarakat atas keterbatasan
ekonomi yang melanda.31
30 Ellen Jaka, hlm. 20-2131 Ellen Jaka, hlm. 21
19
Kehler menekankan bahwa food aid, tidak dapat membantu
menciptakan food security yang berkelanjutan di Ethiopia. Ia menilai
bahwa jika penargetan dan strategi pembangunan melalui food aid
dilaksanakan dengan tepat, sebenarnya mampu memiliki dampak yang
berkelanjutan. Misalnya, pada tahun 2002, program food aid oleh WFP
mampu mengurangi 40% kekurangan pangan di sana, yang membantu 1,4
juta orang pada 800 komunitas di Ethiopia. Barret kemudian
menambahkan bahwa bahkan program food aid yang didesain dan diatur
dengan baik pun tetap memiliki kekurangan, karena masalah sulitnya
melakukan penargetan. Hal ini yang mendorong adanya food insecurity.
Barret mengatakan bahwa kelalaian dan kesalahan yang tidak
disengaja seringkali menyebabkan dampak yang tidak diinginkan yang
kemudian merugikan kesehatan masyarakat. Selain itu, kesalahan
yang tidak disengaja dalam pelaksanaan food aid juga dapat
mengakibatkan pengiriman food aid di waktu yang tidak tepat atau
dalam bentuk yang tidak sepantasnya, sehingga menciptakan
diinsentif yang tidak diinginkan pula.32
Bukan hanya dari sisi pasokan, dari sisi permintaan food aid di
Ethiopia pun mengalami peningkatan. Banyaknya food aid dari AS,
tidak mengurangi kebutuhan permintaan food aid di Ethiopia. Menurut
data yang ada, pada tahun 2003, permintaan food aid justru meningkat
dua kali lipat dari tahun 2002. Berikut adalah tabelnya:Tabel 4. Jumlah Populasi Terdampak dan Kebutuhan terhadap Food Aid Pada 2000-2003
(Sumber: Getahun Tafesse, 2004, hlm. 14)
32 Ellen Jaka, hlm. 21
20
Munculnya permintaan food aid yang tinggi bisa jadi berhubungan
dengan keterangan Peter Greste. Ia mengatakan bahwa Ethiopia
mengalami pertumbuhan penduduk sekitar 2 juta orang tiap tahunnya.
Namun, lebih dari 10 tahun (terhitung sebelum 2006) produksi
agrikultur mereka secara konsisten menurun. Bahkan, sekitar 5 juta
penduduk masih membutuhkan food aid untuk bertahan hidup. Hal ini
menurut Menameno, disebabkan pula oleh kemalasan rakyat Ethiopia.
Meskipun banyak bantuan yang telah diberikan, tetapi rakyat
Ethiopia sendiri malas bekerja. Mereka hanya duduk sambil menunggu
datangnya bantuan. Mereka tidak berpartisipasi dalam kegiatan
apapun. Mereka hanya menunggu bantuan di dalam rumah mereka
masing-masing, sambil bermimpi mendapatkan bantuan yang lebih
banyak lagi. 33
Dijelaskan pula bahwa setidaknya ada dua masalah dalam food aid
di Ethiopia. Pertama, adanya intervensi skala besar yang kemudian
menganggu ekonomi lokal masyarkat Ethiopia. Menurut Legesse, hal
ini terkait dengan impor beras yang begitu besar dilakukan oleh
Ethiopia. Hal ini, secara otomatis, akan mempengaruhi produksi dan
pasar dalam negeri. Ketika bantuan luar negeri datang, harga
produk lokal akan collapse, dan kehadiran produk petani lokal pun
tidak ada artinya lagi. Petani kemudian tidak memiliki uang untuk
membeli benih atau pupuk untuk produksi di tahun-tahun
berikutnya.34 Masalah kedua adalah psikologis. Menurut Admassie,
sebenarnya Ethiopia sendiri tidak bisa menentukan harus bertindak
seperti apa, karena mereka tidak ingin merusak inisiatif33 Peter Greste, “Ethiopia’s Food Aid Addiction”, BBC News, diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/4671690.stm, pada 21 Desember 2014 (2 February2006) 34 Peter Greste
21
pemerintah, maupun rakyat. Wakil PM Ethiopia mengakui bahwa
pemerintah memang lamban dalam mengatasi struktural yang
menyebabkan krisis ini. Menurutnya, masalah terletak pada
implementasi penyelesaian masalah, yang tidak selalu dapat
dilakukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Cara untuk dapat
terlepas dari ketergantungan tersebut adalah dengan mengembangkan
perdagangan produk pertanian dan mengimplementasikan pembangunan
industri. Dengan demikian, Ethiopia akan mampu mandiri dalam 15
atau 20 tahun ke depan.35
Terkait dengan distorsi pasar yang telah dikatakan sebelumnya,
data yang penulis dapatkan memang menunjukkan hal demikian, di
mana kekhawatiran mengenai dampak negatif dari food aid salah
satunya adalah karena produk impor food aid mampu mempengaruhi
kestabilan harga produk domestik di Ethiopia. Sebab, produk impor
food aid cenderung lebih murah jika dibandingkan dengan produk
domestik. Hal ini akan membuat produk domestik tersingkirkan dari
pasar negara itu sendiri. Bukti adanya hal tersebut terlihat dalam
grafik berikut:Grafik 4. Perbandingan Tingkat Harga Domestik dengan Harga Produk Impor di
Ethiopia Pada 2007-2009
35 Peter Greste
22
(Sumber: FAO dan WFP, 2010, hlm. 22)
Sementara itu, bukti hadirnya ketidakstabilan harga komoditi
agrikultur di Ethiopia, dapat terlihat pada grafik di bawah ini,
di mana kuantitas produk impor dibandingkan dengan produksi dalam
negeri Ethiopia, menyebabkan ketidakstabilan harga gandum
khususnya: Grafik 5. Perbandingan Impor Gandum dari Food Aid maupun Impor Komersial di Ethiopia Pada
2004-2009
(Sumber: Carlo del Ninno, Paul A. Dorosh, Kalanidhi Subbarao, 2005, hlm. 57)
23
Grafik 6. Perbandingan Total Impor, Produksi, dan Harga Gandum di Ethiopia
Pada 1980- 2002
(Sumber: FAO dan WFP, 2010, hlm. 21)
Merespon adanya kritik atas food aid yang mampu menimbulkan
dampak negatif, pemerintah AS sebagai pemasok food aid utama bagi
Ethiopia, sebenarnya juga menyadari hal tersebut. Namun,
pemerintah AS berdalih bahwa perubahan kebijakan food aid tidak
dapat diubah begitu saja tanpa persetujuan dari Kongress. Bukan
hanya itu, Kongress pun tidak ingin kehilangan dukungan dari
petani Kansas, yang menjual produknya kepada pemerintah untuk
keperluan food aid tersebut.36 Dengan demikian, sulit untuk mengubah
kebijakan tersebut.
2.4. Analisis Teori Dependency dalam Kasus Ketergantungan Food Aid
di Ethiopia
36 Peter Greste
24
Kasus ketergantungan pada food aid oleh Ethiopia, secara jelas
menunjukkan beberapa premis dalam kerangka teori atau konsep yang
telah dijelaskan sebelumnya. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa
berlimpahnya food aid dari AS, kemudian memunculkan beberapa gejala
ketergantungan, baik menurut Harvey dan Lind, maupun penelitian
yang diadakan oleh Oxfam Briefing Paper. Pertama, bahwa bantuan yang
diberikan oleh AS memang menimbulkan kurangnya inisiatif
masyarakat Ethiopia. Mentalitas atau sindrom ketergantungan
terlihat dari keterangan bahwa masyarakat Ethiopia memang
cenderung malas dalam mencari pekerjaan. Mereka lebih cenderung
mengandalkan bantuan dari AS, dibandingkan dengan mencari nafkah
sendiri. Kedua, gejala ketergantungan food aid juga ditandai dengan
begitu berkepanjangannya penyaluran bantuan dari AS tersebut ke
Ethiopia, yang telah menelan waktu selama berpuluh-puluh tahun.
Bukan hanya menyebabkan kondisi ketergantungan, food aid juga
mendorong rusaknya perekonomian dalam negeri Ethiopia, di mana
dari data yang ada, terlihat bahwa komoditas pertanian asli
Ethiopia kalah bersaing dengan komoditas impor pertanian dari AS
yang disalurkan dalam konteks bantuan pangan. Atas begitu
banyaknya produk impor tersebut, harga produk lokal menjadi lebih
mahal, sehingga banyak konsumen yang berpindah kepada produk impor
food aid AS yang lebih murah. Petani di Ethiopia pun kehilangan mata
pencaharian dan semakin sulit mendapatkan insentif dalam membangun
sektor pertanian yang lebih baik.
Hal tersebut juga mengindikasikan praktik dumping terselubung
dari AS, di mana food aid yang dilakukan merupakan usaha pembuangan
surplus produk pertanian mereka dan usaha menemukan pasar baru.
25
Bukti dari pendapat tersebut adalah keterangan Murphy dan McAfee
bahwa program food aid memang dirancang dan digunakan untuk membuang
surplus komoditas di negara donor, khususnya AS, yang tidak dapat
lagi menemukan pasar baru.37 Bukan hanya mereka, Sandy Ross juga
menyebutkan bahwa pembentukan organisasi internasional seperti
World Food Program, yang banyak memberikan bantuan pangan memang
didasari oleh usaha untuk mengatasi permasalahan surplus produk
agrikultur dan berkontribusi pada pengembangan pasar ekspor AS.38
Adanya penjelasan ini semakin menekankan permasalahan food aid, di
mana program tersebut merupakan usaha displacement export dari AS.
Dapat dilihat pula bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh
adanya food aid tersebut lebih berada di ranah makro, dengan
pengaruh yang lebih masif dan berbahaya bagi rakyat Ethiopia. Hal
tersebut yang tidak sebanding dengan dampak positif food aid yang
hanya berada di tataran mikro, dengan pengaruh yang dirasakan di
tingkat komunitas dan individu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara umum, dampak
yang diberikan food aid AS terhadap bidang ekonomi dan sosial
Ethiopia justru bernilai negatif. Ethiopia masih berada dalam
lingkaran ketergantungan AS yang tidak ketahui di mana ujungnya.
Ethiopia masih dibayangi oleh kemiskinan dan kelaparan yang dapat
melanda mereka, kecuali jika mereka mampu berusaha keluar dari
kondisi ketergantungan dan belajar membangun perekonomian mereka
dengan mandiri.
37 Sophia Murphy dan Kathy McAfee, “U.S. Food Aid: Time to Get it Right” (Institute for Agriculture and Trade Policy, 2005): hlm. 938 Shaw dalam Sandy Ross, “The World Food Programme: a Case of Benign US Policy?”dalam Australian Journal of International Affairs, Vol. 61, No. 2, (June, 2007): hlm. 273
26
BAB III
PENUTUP
3.1. KesimpulanDari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa food aid
Amerika Serikat memberikan dampak positif dan negatif bagi bidang
ekonomi dan sosial Ethiopia. Dampak positif dari bidang ekonomi
yang dapat terlihat adalah tidak adanya perbedaan yang signifikan
dalam tingkat kehidupan keluarga penerima bantuan dan bukan
penerima bantuan. Mereka sama-sama terlibat dalam berbagai
aktivitas pertanian, dengan tingkat pendapatan yang tidak jauh
berbeda. Bukan hanya itu, dari bidang sosial pun, bahkan keluarga
yang menerima bantuan justru lebih memiliki kemauan untuk membantu
perekonomian tetangganya. Namun, dampak positif yang ditimbulkan
tersebut cenderung berada di ranah mikro, dibandingkan dengan
dampak negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif yang ditimbulkan
oleh adanya food aid ini lebih berada di ranah makro, dengan
pengaruh yang lebih masif dan jelas berbahaya. Dampak negatif
tersebut adalah terdistorsinya pasar lokal Ethiopia dan munculnya
kondisi ketergantungan terhadap food aid. Hal ini yang menjadi alasan
sulitnya Ethiopia keluar dari jurang kemiskinan dan kelaparan yang
sangat akut.
Atas adanya kasus ini, penulis menilai perlunya pemikiran yang
kritis dalam melihat fenomena food aid. Sebab, fenomena ini tidak
terlepas dari kepentingan negara maju di dalamnya, yang merugikan
negara miskin penerima donor. Selain itu, dibutuhkan pula strategi
pembangunan mandiri dari negara berkembang dan miskin, untuk mampu
27
menghilangkan ketergantungan mereka kepada bantuan dari negara
maju sedikit demi sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
ActionAid. “Food an Famine in Ethiopia”, diakses darihttp://www.actionaid.org.uk/sites/default/files/doc_lib/196_1_ethiopia_food.pdf, pada 20 Desember 2014.
Benoliel, Sharon. “Food Aid in Ethiopia: Grain Saved Lives,Helped Stabilize Economy” Impact Evaluation by United StatesAgency for International Development (1998)
Carlo del Ninno, et. al. “Food Aid and Food Security in theShort and Long Run: Country Experience from Asia and Sub-SaharanAfrica” (November, 2005)
Devereux, Stephen dan Bruce Guenther, “Social Protection andAgriculture in Ethiopia” (30 November 2007)
FAO dan WFP. “FAO/WFP Crop and Food Security AssessmentMission to Ethiopia” (26 February 2010)
28
Greste, Peter. “Ethiopia’s Food Aid Addiction”, BBC News,diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/4671690.stm, pada21 Desember 2014 (2 February 2006)
Harvey, Paul dan Jeremy Lind. “Dependency and HumanitarianRelief: a Critical Analysis” dalam Humanitarian Policy Group ResearchReport, No. 19 (July, 2005)
Institute for Agriculture and Trade Policy. “U.S. Food Aid:Time to Get it Right” (2005)
Irin News. “Ethiopia: Struggling to End Food Aid Dependency”,diakses dari http://www.irinnews.org/report/58056/ethiopia-struggling-to-end-food-aid-dependency, pada 21 Desember 2014 (7February, 2006)
Jaka, Ellen. “The Impact of Protracted Food Aid on ChipingeDistrict Communities in Zimbabwe” (University of the Free State,October, 2009)
Little, Peter D. “Food Aid Dependency in Northeastern Ethiopia:Myth or Reality?” dalam World Development, Vol. 36, No. 5 (2008): hlm.860-874
Oxfam Briefing Paper. “Food Aid or Hidden Dumping? SeparatingWheat from Chaff” (March, 2005)
Ross, Sandy. “The World Food Programme: a Case of Benign USPolicy?” dalam Australian Journal of International Affairs, Vol. 61, No. 2,(June, 2007): hlm. 267-281
Sophia Murphy dan Kathy McAfee, “U.S. Food Aid: Time to Get itRight” (Institute for Agriculture and Trade Policy, 2005)
Spevacek, Anne Marie. “USAID and Predecessor Loans andGrants/Food Aid to Ethiopia FY 1952-2011” (26 October 2011)
Tafesse, Getahun. “External in the Making of DevelopmentPolicy in Ethiopia” (Friedrich Ebert Stiftung, November, 2004)
USAID, “Food Aid in Ethiopia: Grain Saved Lives, HelpedStabilize Economy” (1998)
29