DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA ... - OSF

53
DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS BUAH-BUAHAN DAN SAYURAN LOKAL PASCA ACFTA (Metode Ekonometrika Sebagai Suatu Cara Pengambilan Keputusan dan Kebijakan Perdagangan Internasional) By: Singagerda, Faurani Santi 1 Nursanti, Tinjung Desy 2 Abstract This paper explained an economic study in international trading after Asian China Free Trade Area (ACFTA) implementation using an econometrics model. On this paper, dometic fruits and vegetables as a part of holticulture commodities are used as an object of the research, where the analysis include model identification, predicting model, validating model, and economic policy simulation; hence 3 SLS is using to get a parameter value to predict and support the simulation of results. The result showed that an explanatory variable (total production) in the model can explain, the model behavior for 73.46 %, while F statistics 4.69 , which means that explanatory variable affect the endogenous variable (total export, total import, and Gross domestic Product) simultaneously and significantly. At the end, the paper conclude that the research is representative enough to explain the phenomenon of domestic fruits and vegetables market comparing to the interntional market, preferably from China fruits and vegetables commodities. Therefore, some of implications for policy are identified as well, such as (1) improvement of competitiveness domestic holticulture products which include in export tax subsidy, banking credit systems, standardization and labeling product, cost efficiency, physically and non-physcically infraturucture , complement products, and linkage programme which support the competitiveness; (2) development of agribusiness area through the central area of production and industrial area production; and (3) campaign of local product Keyword: International trading, simultaneously, and domestic commodities. 1 Student’s of Doctorate Program, Economic of Agriculture, Bogor Agriculture University 2 Economic and Management Lecturer in Binus University, Jakarta 1

Transcript of DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA ... - OSF

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYAPENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS BUAH-BUAHAN

DAN SAYURAN LOKAL PASCA ACFTA(Metode Ekonometrika Sebagai Suatu Cara Pengambilan Keputusan

dan Kebijakan Perdagangan Internasional) By:

Singagerda, Faurani Santi1

Nursanti, Tinjung Desy2

AbstractThis paper explained an economic study in international trading after Asian China

Free Trade Area (ACFTA) implementation using an econometrics model.

On this paper, dometic fruits and vegetables as a part of holticulture commodities are

used as an object of the research, where the analysis include model identification, predicting

model, validating model, and economic policy simulation; hence 3 SLS is using to get a

parameter value to predict and support the simulation of results.

The result showed that an explanatory variable (total production) in the model can

explain, the model behavior for 73.46 %, while F statistics 4.69 , which means that

explanatory variable affect the endogenous variable (total export, total import, and Gross

domestic Product) simultaneously and significantly.

At the end, the paper conclude that the research is representative enough to explain

the phenomenon of domestic fruits and vegetables market comparing to the interntional

market, preferably from China fruits and vegetables commodities. Therefore, some of

implications for policy are identified as well, such as (1) improvement of competitiveness

domestic holticulture products which include in export tax subsidy, banking credit systems,

standardization and labeling product, cost efficiency, physically and non-physcically

infraturucture , complement products, and linkage programme which support the

competitiveness; (2) development of agribusiness area through the central area of production

and industrial area production; and (3) campaign of local product

Keyword: International trading, simultaneously, and domestic commodities.

1 Student’s of Doctorate Program, Economic of Agriculture, Bogor Agriculture University

2 Economic and Management Lecturer in Binus University, Jakarta

1

1. Latar Belakang

Sudah hampir enam tahun terhitung sejak tanggal 4 November 2004

ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau

kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean-China Free

Trade Area (ACFTA) di Phnom Pen, Kamboja. Perjanjian kerjasama ini tentunya

mempunyai tujuan yang sangat ideal, mengingat China adalah negara yang mempunyai

pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia sekarang ini. Dengan jumlah penduduk 1,2 miliar

ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta jiwa maka menjadi sekitar 1,7 miliar

penduduk yang sangat besar di dua kawasan ini dan diprediksikan merupakan pasar empuk

produk dan jasa bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Mulai 1 Januari 2010 ACFTA diberlakukan dan sejak itulah dunia usaha dan industri

mulai mengkhawatirkan kesiapan Indonesia menghadapi kerangka kerjasama dalam Asean

China Free Trade Agreement (ACFTA). Jika keberadaan ACFTA dilihat dari sisi positif,

maka pada dasarnya perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA sangat bermanfaat bagi

suatu negara yang terlibat karena terjadi proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara

kawasan, akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan juga perlu menjadi perhatian. Salah

satu dampak negatif yang dikhawatirkan terkait dengan bagaimana daya saing produk dalam

negeri terhadap membanjirnya produk-produk China yang mana selama beberapa tahun ke

belakang (sebelum berlakunya ACFTA) sudah sangat banyak membanjiri pasar di dalam

negeri, sehingga menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai

secara efisien.

Hubungan perdagangan bilateral Indonesia China sendiri sebetulnya cukup bagus.

Selama ini setelah pelaksanaan ACTFA, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan

China. Bila dibandingkan surplus perdagangan sebelum penandatanganan perjanjian ini rata-

rata hanya mencapai US$ 608 pertahun, sedangkan setelah pelaksanaan perjanjian naik

menjadi US$ 1.160 pertahun, atau hampir dua kali lipat. Di samping itu tercatat peningkatan

share perdagangan Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan

Indonesia pada era pelaksanaan ACFTA, di mana rata-rata share total perdagangan

Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan Indonesia sebelum

ACFTA 6,87 persen, meningkat menjadi 9,40 persen pada pasca ACFTA. Atau dapat

dikatakan telah terjadi pergeseran share sebesar 2,53 persen total perdagangan Indonesia-

negara lain beralih ke Indonesia-China pada era ACFTA. Pada ekspor terjadi pergeseran

2

share sebesar 2,29 persen dan impor sebesar 2,81 persen beralih ke China pada era

pelaksanaan ACFTA.

Sementara itu menurut data BKPM, perkembangan realisasi investasi China ke

Indonesia sebelum dan sesudah ditanda tanganinya ACFTA dapat dilihat dari realisasi

investasi China ke Indonesia, dengan rata-rata jumlah investasi yang masuk pada era

pelaksanaan ACFTA sebanyak 14,67 proyek pertahun, hampir dua kali lipat dibandingkan

jumlah investasi sebelum pelaksanaan ACFTA yang rata-rata hanya sebesar sebesar 7,67

pertahun. Walau demikian, dari nilai investasi tidak terjadi peningkatan yang signifikan

dimana rata-rata realisasi investasi China di Indonesia pada era ACFTA sebesar US$ 35,17,

tidak jauh berbeda dibanding sebelum pelaksanaan ACFTA yang besarnya US$ 32,43

(sumber: Departemen Perdagangan, 2009).

Tabel 1. Perkembangan Total Ekspor Indonesia (Sebelum dan Sesudah ACFTA) dalam ribuan USD

Perdagangan Migas Non Migas TotalSebelum

ACFTA

Sesudah

ACFTA

Sebelum

ACFTA

Sesudah

ACFTA

Sebelum

ACFTA

Sesudah

ACFTAEkspor 954 2,794 2,815 5,146 3,770 7,940Impor 563 1,001 2,598 5,779 3,162 6,780(Sumber: Departemen Perdagangan, 2009)

2. Perumusan Masalah

Berbagai pendapat dikemukakan mengenai dampak dari pelaksanaan ACFTA yang

merupakan salah satu bagian dari kebijakan liberalisasi perdagangan. Sebagian pihak

meyakini bahwa liberalisasi perdagangan akan mampu menciptakan dampak positif bagi

setiap negara, sebagian lagi meyakini bahwa liberalisasi perdagangan dunia hanya akan

menguntungkan negera maju dan akan merugikan negara miskin.

Pembuktian bahwa liberalisasi perdagangan menguntungkan setiap negara

ditunjukkan antara lain oleh Holst and Melo, 1991 (dalam Widjaja, 2000). Sebaliknya,

pembuktian bahwa negara berkembang dirugikan oleh liberalisasi perdagangan antara lain

ditunjukkan oleh Devaragan (1990). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan

liberalisasi perdagangan di negara-negara Afrika melalui berbagai perubahan terms of trade

mendorong peningkatan impor yang lebih tinggi daripada ekspor sehingga menyebabkan

terjadinya neraca perdagangan yang negatif yang dibiayai dengan meningkatnya pinjaman

asing.

3

Pembebasan tarif impor pada beberapa negara Asean termasuk Indonesia dipandang

cukup menakutkan, terutama untuk sebagian pengusaha, petani, dan pelaku ekonomi

terutama yang bergerak di sektor pertanian untuk jenis komoditas holtikultura khususnya.

Menurut mereka bahwa pembebasan tarif tersebut akan mengancam daya saing produk-

produk holtikutura (khususnya sayuran dan buah-buahan domestik), karena dengan

pembebasan tersebut, jelaslah semakin banyak dan membanjirnya produk holtikultura (baik

sayur maupun buah-buahan) masuk ke Indonesia, padahal seperti diketahui, sebelum

diberlakukannya ACFTA komoditas-komoditas tersebut sudah cukup banyak membanjiri

pasar domestik, bahkan mengalahkan dominasi komoditas sayuran dan buah-buahan lokal.

Dengan membanjirnya produk komoditas di pasar domestic ditambah dengan harganya yang

ternyata relatif murah jika dibandingkan dengan produk lokal, tentu saja akan mengurangi

daya saing produk-produk domestik tersebut.

Melihat berbagai masalah yang diperkirakan akan muncul, perlu ditemukan suatu

jawaban apakah ACFTA dapat menguntungkan semua anggota, atau hanya menguntungkan

sekelompok negara saja dalam hal ini adalah China. Salah satu indikator yang dapat

merefleksikan dampak ACFTA adalah kinerja neraca perdagangan dari setiap negara-negara

anggota.

Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana dampak kebijakan ekonomi

terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran local

pasca diberlakukannya ACFTA?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan

ekonomi terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran lokal,

sehingga secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kondisi perdagangan komoditas sayuran dan buah-buahan local di

Indonesia

2. Menganalisis bagaimana dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan

perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal

3. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan ekonomi

terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal setelah

diberlakukannya ACFTA

4

4. Fakta-Fakta Kesiapan Dalam Menghadapi ACFTA

Adapun tujuan dari ACFTA yang sebenarnya adalah meliberalisasi perdagangan

barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja

sama ekonomi yang saling menguntungkan, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang

lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil

pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan buah-buahan semuanya

dikelompokkan dalam EHP (Early Harvest Programme)3. Kerjasama ini mempunyai target

mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010

akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya

produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara Asean maupun dari

China ke Indonesia mengingat sekarang ini sudah banyak produk China yang ikut

meramaikan pasar dalam negeri. Perlu dipertimbangkan apabila produk–produk tersebut tidak

dapat bersaing karena tingginya biaya (high cost) maupun inefisien, sehingga pertanyaan

yang muncul dalam benak adalah “Bagaimana sesungguhnya peta kesiapan industri dalam

negeri menghadapi pemberlakuan ACFTA?” dan “Bagaimana kesiapan dunia usaha dalam

menghadapi ACFTA?”

Sementara itu, produk Indonesia lain yang siap mengikuti kesepakatan FTA

diantaranya industri-industri yang berbasis sumber daya alam seperti industri minyak sawit

mentah (crude palm oil/CPO) dan industri pertambangan. Akan tetapi sangat bertolak

belakang dengan industri dan produk-produk lainnya, khususnya indutri dan produk non

migas lainnya seperti pertanian dan holtikultura, pangan, jasa, telekomunikasi dan

manufaktur, kecemasan begitu besar mulai dialami oleh para pelaku ekonomi di bidang

tersebut, mengingat produk yang ada tidak mampu menyaingi produk dan industri China

yang masuk ke dalam negeri selama ini, hal ini terbukti dari semakin membanjirnya produk-

produk tersebut di pasar dalam negeri mengalahkan produk lokal.

Dari sisi daya saing industri, hal ini menunjukkan Indonesia masih ada masalah dalam

menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut, terutama dengan China. Permasalahan daya

saing muncul karena Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar, baik pada

3 Early Harvest Programme, suatu program untuk mempercepat implementasi ACFTA dimana tarif mostFavored Nation (MFN) sudah dapat dihapus untuk beberapa kategori komoditas tertentu. MFN adalah status yagdiberikan kepada suatu negara oleh negara lain dalam suatu hubungan perdagangan. Status ini memberikankepada suatu negara keuntungan dalam perlakukan perdagangan dalam bentuk (misalnya) tarif rendah ataukuota impor yang lebih tinggi. Negara dengan status MFN harus memperoleh perlakuan dagang yang sama darinegara pemberi status, (http://budikolonjono.blogspot.com/2010/09/sedikit-kata-tentang-acfta.html)

5

tataran makro dan mikro industri, serta kondisi infrastruktur Indonesia yang buruk, sehingga

menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai secara efisien.

Dari sisi produksi dan integrasi ekonomi, terdapat kelemahan mendasar dalam

kemampuan produksi barang jadi, setengah jadi dan komponen yang menandakan kerapuhan

struktur industri dalam negeri. Hal itu antara lain disebabkan karena keterbatasan pasokan

bahan baku dan energi, ketergantungan impor bahan baku dan penolong, kapasitas produksi

yang tidak optimal, kelemahan penerapan standardisasi, hingga penguasaan pasar domestik

yang lemah.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tantangan Indonesia dalam mempersiapkan

perdagangan bebas ACFTA, tidak hanya berasal dari aspek daya saing industri, tetapi juga

bersumber dari masalah kesiapan infrastruktur lunak seperti perangkat hokum, misalnya

terkait lembaga anti dumping, safeguard, dan lembaga/orang-orang yang bisa melaksanakan

standar-standar tersebut dalam rangka menjaga fair trade (perdagangan berkeadilan).

5. Konsep Daya Saing

Menurut Porter dalam Arief (2009) konsep daya saing yang dapat diterapkan dalam level

nasional tidak lain adalah produktivitas yang didefinisikan sebagi nilai output yang dihasilkan

oleh seorang tenaga kerja. Oleh Bank Dunia, produktivitas juga dinyatakan sebagai besaran

laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.

Sedangkan Institute Management Development (IMD) menyatakan bahwa daya saing

nasional merupakan bentuk kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam

rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan

agregativitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan

tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial sehingga negara dalam hal ini mampu

menciptakan daya saing domestik dan global melalui peranannya menciptakan iklim yang

kondusif bagi ekonomi nasional.

Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing suatu negara oleh Arief

(dalam bukunya Model-model Kuantitatif Untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi

Daerah, 2010) adalah sebagai berikut:

1. Cakupan daya saing lebih luas dan tidak sebatas produktivitas dan efisiensi saja.

2. Pelaku ekonomi (economic agent) berada dalam suatu sistem ekonomi yang

bersinergi.

6

3. Sasaran peningkatan daya saing suatu perekonomian bermuara pada

meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk.

4. Hakikat daya saing adalah kompetisi. Oleh karena itu, daya saing tidak akan

pernah terjadi pada suatu perekonomian tertutup.

Sedangkan Porter (1990) menyatakan bahwa keunggulan daya saing ditentukan oleh

empat faktor pokok dan dua faktor penunjang. Empat faktor produksi yang merupakan faktor

pokok terdiri dari kondisi produksi (production condition), kondisi permintaan pasar

(demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting

industries) serta strategi perusahaan, struktur perusahaan dan rivalitas (strategy, structure,

and rivalry). Adapun dua faktor penunjangnya adalah peluang (chance) dan peranan

pemerintah (role of government).

6. Faktor Daya Saing4 dan Fakta-Faktanya Terhadap Perkembangan Ekspor

Indonesia

Pada kenyataannya terlepas dari argumentasi mengenai pro dan kontra ACFTA,

pemerintah masih punya banyak 'pekerjaan rumah' yang belum selesai berkaitan dengan

export chain. Lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang

menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC)

masih tertinggi di ASEAN. Hal ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang

dinilai memberatkan. Kedua, biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya

ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan

perijinan baik di pusat maupun daerah. Program 100 hari kabinet belum secara signifikan

mengurangi sumber-sumber ekonomi biaya tinggi. Ketiga, masalah struktural yang dihadapi

industri kita belum tuntas digarap secara serius. Industri Indonesia menghadapi masalah

masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk

seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen. Masalah lainnya mencakup lemahnya

penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang

jahit” dan “tukang rakit”, rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum

terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar,

kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam

kondisi mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan

Sumatra. Keempat, Kementrian Perdagangan dan Perindustrian perlu menyelamatkan produk

4 Impian di Balik FTA Asean-Tiongkok, Mudrajad Kuncoro, Investor-Indonesia.com, 20107

Indonesia yang lemah daya saingnya. Studi Tri Widodo tentang “Dynamic Comparative

Advantages in the ASEAN+3” dalam Journal of Economic Integration edisi September 2009

perlu dijadikan perhatian. Studi ini menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif

kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan komparatif yang rendah di

masa lalu. Pola keunggulan komparatif ASEAN ternyata mengikuti Jepang yang disebabkan

oleh: (1) ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk

tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam; (2) penanaman modal asing

langsung (FDI) Jepang yang masuk ke ASEAN mengikuti pola “angsa terbang” sehingga

terjadi perubahan spesialisasi dari produk berbasis buruh murah menjadi berbasis tenaga

kerja trampil dan teknologi/litbang. Selain itu, pemerintah harus proaktif menyelesaikan

kasus-kasus sengketa perdagangan Indonesia-China. April 2006, perusahaan eksportir buah-

buahan nasional PT Friendship Prima melayangkan keluhan adanya penolakan ekspor produk

papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, dengan alasan bahwa Indonesia hanya

diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. China menawarkan konsesi bebas

bea masuk atas produk cocoa powder Indonesia ke China (turun dari 15% yang berlaku saat

ini). Sebagai kompensasinya, China mengusulkan agar Indonesia dapat memberikan

preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder (turun dari 5% yang berlaku saat ini).

Singkatnya, ACFTA menimbulkan tantangan dan sekaligus peluang. Tinggal

bagaimana pemerintah bersama Kadin bergandengan tangan menjawab tantangan yang belum

terpecahkan. Dalam setiap perjanjian, baik multilateral maupun bilateral, akan selalu ada

pengaman yang diterapkan masing-masing negara. Bentuknya bisa dalam safeguard,

fleksibilitas, atau pengecualian yang mengamankan adanya potensi kerugian. Jadi terkait

dengan hal itu, semestinya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu safeguard dan instrumen

lainnya dengan baik.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dalam kerangka

ACFTA akan meningkatkan volume perdagangan Asean-China, tetapi apakah Indonesia

dapat memanfaatkan peningkatan volume perdagangan tersebut secara optimal? Itulah

kenyataan dan fakta yang harus dihadapi setelah diberlakukan ACFTA saat ini.

7. Dampak ACFTA Terhadap Produk Pertanian Dalam Negeri

Pengalaman menghadapi berbagai perubahan kondisi yang dinamis mulai dari

dampak resesi ekonomi pada awal 1980-an, krisis moneter 1997/1998, krisis energi dan

pangan pada 2006-2007, dan belakangan krisis keuangan global yang terjadi mulai

8

pertengahan 2008, seharusnya mampu menciptakan pebisnis Indonesia menjadi lebih

tangguh, yang tidak lagi panik menghadapi dinamika ekonomi global termasuk pelaksanaan

liberalisasi perdagangan seperti ACFTA, meski tidak pula harus pasrah terhadap ketentuan

liberalisasi yang berlaku, seperti yang dirasakan oleh para petani terhadap produk pertanian

yang dihasilkan dalam Early Harvest Package (EHP) pada 2004-2006 yang lalu. Apakah

ACFTA akan memberikan dampak sistemik terhadap aktivitas ekonomi masyarakat

ketimbang masalah perubahan pasar global dan isu-isu domestik seperti ketersediaan energi,

bahan baku, pembiayaan, nilai tukar, pungutan, dan perlindungan persaingan lainnya?

Terlepas dari apakah keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA merupakan strategi untuk

memperluas ekspor dan investasi atau keterpaksaan. Tetapi secara umum, terlihat ada

kegamangan pelaku bisnis dalam menghadapi kebijakan kerja sama perdagangan tersebut.

ACFTA diprakarsai dalam pertemuan para Kepala Negara Asean dan China di Bandar

Seri Bengawan Brunei Darussalam 6 November 2001, maka setahun kemudian, November

2002 di Pnhom Penh Kamboja, para Kepala Negara tersebut menandatangani pembentukan

ACFTA yang ditetapkan selama 10 tahun.

Setelah itu ditetapkan skema dan jadwal penurunan tarif yang terdiri dari: (1) Early

Harvest Package of products 2004-2006, (2) Normal Track 2005-2010, dan (3) Sensitive

Track. Pada 1 Januari 2010 merupakan tahap akhir jadwal liberalisasi Normal Track terhadap

2528 komoditas dari tarif 5% menjadi 0%, sehingga rata-rata tarif yang berlaku untuk impor

dari China menjadi 2,9%.

Salah satu kerangka Agreement on Comprehensive Cooperation Between ACFTA

adalah mengenai cakupan produk yang masuk dalam Early Harvest Program (EHP) ACFTA

mengenai penurunan tarif pada produk-produk pertanian seperti hewan hidup, daging dan

produk daging olahan, ikan, produk susu, produk hewan lainnya, pohon hidup, sayuran

dikonsumsi, buah-buahan dikonsumsi, dan kacang-kacangan, juga berdampak bagi

kelangsungan produk-produk sejenis yang dihasilkan dalam negeri.

Ini berarti lagi-lagi daya saing produk dalam negeri dipertanyakan, mampukah produk

lokal bersaing dengan produk China tersebut, meskipun mungkin masih terlalu prematur

untuk menilainya, akan tetapi selama beberapa tahun ke belakang (sebelum diberlakukan

ACFTA) produk-produk China tersebut di atas sudah banyak sekali membanjiri pasaran

dalam negeri, mengalahkan produk dan komoditas dalam negeri, baik dari segi kualitas,

kuantitas, maupun harga (yang menjadi unggulan dari produk-produk China).

9

Dari tabel 2 terlihat bagaimana dampak free trade area Asean-China terhadap jumlah

ekspor impor barang dalam negeri, di mana secara garis besar dengan kenaikan TOT (term of

trade) yang disebabkan oleh harga ekspor yang lebih dibandingkan dengan harga impor,

menyebabkan jumlah impor di Indonesia lebih tinggi daripada ekspor, implikasinya adalah

Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing melalui perbaikan iklim investasi yang

lebih kondusif.

Tabel 2. Dampak Free Trade Area dalam Skema Asean-China Terhadap Ekspor (qxw),Impor (qiw), Output (qo), dan Harga Domestik (ppd).

Deskripsi Sektor Ekspor Impor Output HargaDomestik

Paddy -0,570 38,978 -0,39 0,43Wheat -3,586 0,162 -2,768 0,651Ceral gain nec 5,023 5,621 -0,031 0,583Vegetables, Fruits, Nuts 3,333 0,899 0,055 0,578Oilseeds 5,421 -22,935 -0,326 0,495Sugar cane, sugar beat 23,331 0,982 -11,076 -3,673Plant based fibers -0,148 5,549 0,777 0,295Crops nec 3,226 0,896 0,841 0,890Catles, sheep, goats, horses 1,515 1,742 0,077 0,536Animal Production nec 3,769 0,082 0,316 0,558Raw milk -3,738 2,059 0,110 -0,480Wool, silk, worm cocoons -3,975 1,772 0,093 0,295Forestry 7,330 3,487 -0,459 -0,010Fishing 1,944 9,327 0,157 -1,302Coal -0,620 25,928 0,460 0,348Oil -0,507 1,410 0,534 -0,201Gas -0,785 25,928 0,603 0,074Mineral nec 0,016 1,410 -0,671 0,844Meat cattle, sheep, goat 0,221 2,286 -0,225 0,649Meat Product nec -6,997 5,486 0,467 1,079Vegetable oil and fats 0,556 2,257 0,426 0,847Dairy product 0,749 1,741 -0,380 0,639Processed rice 0,691 23,525 -0,363 0,569Sugar 4,998 20,711 -11,927 -1,664Food Product nec 0,251 4,992 -0,167 0,761Beverage and Tobacco product 25,252 10,301 0,951 -0,378Textiles 7,603 9,384 0,775 -0,316Wearing apparel -1,433 8,571 -2,004 0,197Leather product -3,781 6,678 -2,960 0,760Wood Product -1,735 6,001 -1,352 0,990Paper Prod, Publishing 2,776 2,295 1,115 0,675Petroleum, coal prod 2,738 2,014 -0,339 0,273Chemical, rubber, plastic prod 7,596 4,627 1,243 0,684Ferrous metals 1,496 7,682 0,169 0,896Metals nec 1,231 1,283 -2,017 0,660

10

Metals nec -2,413 1,308 -1,961 0,805Motor vehicle and parts 0,856 12,390 -0,476 0,406Transport equipment 15,187 2,684 2,115 0,489Electronic equipment -2,404 2,991 -1,48 0,645Machinery and Equipent 4,403 2,361 3,552 0,250Manufacture products 4,256 2,120 1,711 0,324Electricity -1,357 10,06 -2,674 0.479Water -4,938 2,420 -0,00-4 0,913Construction -2,478 2,507 1,219 0,620Trade 3,590 1,757 0,145 1,016Transport -2,742 1,494 0,063 0,759Sea transport -1,244 1,032 0,358 0,892Air transport 0,835 0,566 0,054 0,254Communication -4,473 2,232 -0,606 1,177Financial services -4,469 2,215 0,063 1,153Insurance -4,138 1,554 -0,215 1,074Business services 3,607 1,083 -0,577 1,000Recreation and other services -3,941 1,952 -0,190 1,029Public adm/defence/health/education -3,956 1,924 -0,179 1,010Dweelings 0,084 0,084 0,107 1,290Sumber: Rina Oktaviani, Ph.D dkk (2009)

Di lain pihak, manfaat dari ACFTA bagi sektor pertanian dapat dilihat sebagai

berikut: (a) peningkatan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea

masuk di negara China yang penduduknya terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara

dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia; (b) peningkatan kerjasama investasi;

(c) kerjasama ekonomi melalui kerjasama peningkatan capacity building. Dengan kata lain

meskipun masih banyak ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran diantara kalangan usahawan

dalam negeri dalam menghadapi ACFTA, jika kita mampu mengambil hikmahnya adalah

selain ancaman yang muncul akan tetapi dibalik itu semua ternyata terdapat peluang yang

cukup besar bagi Indonesia untuk memperluas ekspor dan investasi di China jika industri ini

mampu meningkatkan daya saing5. Selain itu juga diperlukan kemampuan untuk merespon

penawaran yang begitu cepat melalui manajemen rantai (supply chain) yang efisien untuk

memenuhi keinginan konsumen melalui peningkatan kualitas, ketepatan waktu, harga yang

kompetitif, dan jumlah yang tepat.

8. Dampak ACFTA Bagi Perdagangan Produk-Produk Holtikultra Dalam Negeri

Pada kenyataannya berdasarkan laporan Kadin disebutkan bahwa dampak dari

ACFTA yang diberlakukan 1 Januari lalu khususnya untuk produk pertanian cukup berat5 Oktaviani, Rina,. Widyastutik,. Amaliah, Syarifah,. 2010. Dampak Asean –China Terhadap Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor

11

terutama bagi produk hortikultura Indonesia. Tanpa ACFTA, produk buah dan sayur asal

Indonesia sudah begitu terdesak oleh produk sejenis asal China, terutama jeruk. Produk dari

Negeri Tirai Bambu ini telah membanjiri pasar Indonesia. Sayangnya, konsumen dalam

negeri justru mencintai produk impor itu yang harganya jauh lebih murah.

Konsumen lokal seolah tidak memperhatikan bagaimana proses pengadaan buah-

buahan asal China tersebut dilakukan kendati Badan Karantina Kementerian Pertanian

menyatakan produk buah asal China sudah disimpan selama setahun. Produk itu merupakan

buah yang tidak laku dijual di dalam negeri, sehingga dijual murah, dan dibeli oleh importir

asal Indonesia. Produk tersebut, meski sudah setahun disimpan, tetapi masih digemari karena

harganya murah dan sesuai dengan kocek mayoritas masyarakat Indonesia, yang daya belinya

masih rendah6.

Laporan departemen Pertanian juga menyatakan bahwa selama ini banyak produk

buah-buah asal negara China yang masuk ke Indonesia sudah dalam kondisi tidak bagus

karena telah lama dipanen sehingga harganya sangat murah. Selain kualitasnya rendah,

sejumlah faktor yang dinilai menjadikan produk buah-buahan asal China bisa dijual murah

antara lain adanya subsidi dari negara, dan dumping. Meskipun di lain pihak sejak beberapa

tahun terakhir Indonesia sudah mengekspor buah hasil pertanian Indonesia ke China. Negara

itu meminta Indonesia mengekspor buah tertentu, karena jenis buah tersebut tidak ada di

China. Secara umum, kualitas buah dan hasil pertanian Indonesia lainnya tidak kalah dengan

hasil pertanian negara lain. Untuk lebih mempersiapkan lagi pemberlakuan perdagangan

bebas, diperlukan peningkatan kualitas hasil pertanian, sehingga para petani dan masyarakat

umum bisa percaya diri kalau hasil pertanian Indonesia benar-benar bagus atau tidak kalah

dengan hasil pertanian negara lain. Selain itu, Indonesia harus tetap mewaspadai taktik dan

'trik' perdagangan China dimana pada tahun 2006, misalnya, melalui perusahaan eksportir

buah-buah nasional PT Friendship Prima yang melayangkan complain adanya penolakan

ekspor produk papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, alasannya Indonesia hanya

diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. Pada konsultasi bilateral RI - China

di Hanoi, Vietnam, Indonesia telah meminta klarifikasi dari pihak China atas penolakan

ekspor buah-buahan tersebut, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena

instansi yang berwenang tidak ikut serta dalam sidang7. Padahal, sebagaimana diketahui,

produk buah-buahan yang masuk dalam kerangka EHP ACFTA maka sejak 1 Januari 2004

6 Lestari, Diena,. 2010. Produk Hortikultura di Bawah Bayangan Keterpurukan. Bisnis Indonesia

7 Produk hortikultura di bawah bayangan keterpurukan,Bisnis Indonesia, 201012

tarif bea masuknya sudah turun. Secara formal, Direktorat Jenderal Hortikultura mengajukan

surat resmi kepada Departemen Perdagangan c.q. Direktorat Regional selaku focal point

Indonesia. Kendati pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian siap memperketat

tindakan kontrol terhadap produk buah-buah asal China yang masuk ke Indonesia, seperti

menerapkan SNI wajib dan mendorong para petani menanam produk hortikultura sesuai

dengan asas good agricultural practices (GAP), tetapi ada hal yang tetap harus diingat dari

fenomena tersebut, maka perlu dicarikan formulasi yang tepat dalam menghadapi produk-

produk buah dan sayuran impor yang masuk ke Indonesia, khususnya daya saing produk

lokal terhadap produk buah dan sayur impor. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing

ini adalah melalui pembinaan kepada petani yang selama ini masih dirasakan belum optimal,

khususnya di tingkat daerah. Bahkan pemerintah pusat, misalnya, menuding selama ini peran

pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih sangat kurang. Padahal, dalam

era otonomi daerah, program pendampingan sudah sepenuhnya dilimpahkan oleh pemda.

Dalam konferensi pers baru-baru ini yang dilakukan oleh Dewan Hortikultura Indonesia

menyarankan untuk melakukan penerapan SNI wajib (meski sudah terlambat). Jika hal

tersebut dilakukan, sementara instrumen pendukung lainnya seperti infrastruktur jalan,

pelabuhan tidak dibenahi, produk pertanian-tidak hanya hortikultura-tidak akan efisien dan

mampu bersaing dengan produk impor. Selain itu juga dikatakan bahwa pembenahan sektor

pertanian khususnya hortikultura tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian

Pertanian, tapi juga dari institusi yang lain8.

Tabel 3. Perkembangan Ekspor Sayuran dan Buah-Buah Indonesia-China

TahunKomoditi

Total Neraca Perdagangan

(Indonesia-China)non migasBuah Sayuran2004 153 139.3 292.3 8,706,064.20

2005 206.1 175.8 381.9 12,505,216.302006 225.8 171.9 397.7 14,980,466.402007 279.9 122.4 402.3 18,233,389.80

2008 302.1 264.3 566.4 26,883,672.60

2009 230.7 246.7 477.4 22,567,793.70Sumber: Depdag, 2009 (data diolah)

Tabel 4. Perkembangan Import Sayuran dan Buah-Buahan Indonesia-China

TahunKomoditi

TotalNeraca Perdagangan

(Indonesia-China)non migasBuah Sayuran2004 216.4 109.3 325.7 8,706,064.20

8 Produk hortikultura di bawah bayangan keterpurukan,Bisnis Indonesia, 2010

13

2005 217.5 127.4 344.9 12,505,216.30 2006 327.8 190.6 518.4 14,980,466.40 2007 435.4 245.1 680.5 18,233,389.80 2008 452 292.7 744.7 26,883,672.60 2009 549.5 275.8 825.3 22,567,793.70

Sumber: Depdag, 2009 (data diolah)

9. Metodologi Pengukuran Dampak ACFTA Terhadap Daya Saing Produk Buah-

Buahan dan Sayuran.

Seperti diketahui bahwa ACFTA memberikan dampak positif maupun negatif bagi

perkembangan perdagangan nasional khususnya di sektor pertanian, melalui konsep

comparative advantage di mana hubungan perdagangan antar negara dapat terjadi apabila

negara yang melakukan hubungan dagang masing-masing memiliki keunggulan-keunggulan

tertentu dalam menghasilkan dan memproduksi barang/jasa. Besarnya pengaruh dan dampak

kebijakan tarif sangat mempengaruhi perkembangan perdagangan dan produksi secara

keseluruhan.

Studi empiris mengenai seberapa besar dampak kebijakan ekonomi yang diambil oleh

pemerintah terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buaha-buahan lokal dalam

rangka meningkatkan daya saing pasca ditandanganinya ACFTA, kali ini akan dibahas secara

kuantitatif di mana penelitian ini menggunakan data time series. Adapun model ekonomi

yang diterapkan dalam penelitian ini berfungsi untuk menjelaskan fenomena ekonomi yang

terjadi berkaitan dengan kondisi perdagangan internasional setelah diberlakukannya ACFTA.

Dalam model yang digunakan terdapat empat model persamaan yaitu:

1) TP = a0 + a1X - a2M + a3 GDP+ a4 ER + a5 T

2) GDP = b0 + b1INF + b2 CG + b3 CT + b4 NP

3) X = c0 + c1Xsb*ER - c2 T

4) M = d0 + d1Msb*ER – d2 T

Di mana diketahui:

Xsb: eksport buah dan sayur,

NPsb= neraca perdagangan ekspor buah dan sayur,

M= import buah dan sayur,

NP= neraca perdagangan total14

X = total ekspor,

M= total import

INF= inflasi

ER = exchange rate

T = pajak

CT = konsumsi rumah tangga

CG = Konsumsi pemerintah

TP = total perdagangan

Sebagai variabel endogen adalah: TP, GDP, X, dan M. Sedangkan variabel eksogen terdiri

dari: CT, CG, ER, Xsb, Msb, NPsb, NP, dan INF.

Model dapat diartikan sebagai suatu penjelasan dari suatu fenomena nyata sebagai

suatu sistem atau proses yang sistematis (Koutsoyiannis, 1977). Labys (1973) menjelaskan

lebih lanjut bahwa model suatu komoditas merupakan penjelasan formal dari suatu pasar

domestik dan industri yang mencakup masalah ekonomi, kebijakan dan kelembagaan.

Suatu model merupakan representasi atau penyederhanaan dari fenomena aktual yang

ada didunia nyata (Intriligator, 1980). Untuk menyederhanakan fenomena tersebut dikenal

bentuk model aljabar. Model aljabar merupakan suatu model yang mampu mempresentasikan

keadaan dunia nyata atau fenomena dengan menggunakan berbagai sistem persamaan.

Suatu fenomena disederhanakan agar dapat melakukan estimasi yang akurat atas

perilaku dan fenomena. Model pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu

fenomena ekonomi adalah salah satu model ekonometrika.

Menurut Suharyono (1996) suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria di

bawah ini :

1. Kriteria ekonomi (menyangkut tanda dan besar parameter)

2. Kriteria statistik (menyangkut uji statistik)

3. Kriteria ekonometrika (mencakup asumsi ekonometrika)

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder deret waktu 1969-

2000 yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari instansi terkait seperti Badan Pusat

Statistik, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Bank Indonesia, Bank Dunia, FAQ,

ASKINDO, dam Departemen Pertanian maupun dari berbagai informasi-informasi lain

seperti jurnal-jurnal perkebunan, ekonomi dan hasil penelitian terdahulu serta internet. Data

yang digunakan merupakan data tahunan dan merupakan agregrasi secara nasional.

15

Sedangkan secara umum, analisa data digunakan untuk menjawab permasalahan yang

muncul dan mencapai tujuan yang ditetapkan serta dilakukan melalui beberapa tahapan

analisis. Adapun tahapan analisis tersebut mencakup: (1) identifikasi model, (2) metode

pendugaan model, (3) validasi model, dan (4) simulasi kebijakan ekonomi.

Setelah tahap perumusan model, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk

menduga model dalam bentuk persamaan simultan dengan melakukan identifikasi model

(Koutsoyiannis, 1977). Identifikasi berhubungan dengan masalah estimasi model. Jika suatu

persamaan tidak teridentifikasi (under identified), maka tidak ada teknik ekonometrika yang

dapat dilakukan untuk pendugaan semua parameter. Jika persamaan teridentifikasi secara

tepat (exactly identified), maka teknik yang paling tepat digunakan adalah Indirect Least

Square (ILS), sedangkan jika teridentifikasi secara berlebihan (over identified) maka berbagai

teknik dapat digunakan seperti Two Stage Least Squares (2SLS), Three Stage Least Squares

(3SLS), Limited Information Maximum Likehood (LIML) dan Full Information Maximum

Likehood (FIML). Identifikasi dilakukan dengan mengikuti dua syarat yaitu syarat keharusan

(order condition) dan syarat kecukupan (rank condition). Syarat keharusan terpenuhi jika

jumlah peubah predeterminan yang dikeluarkan dari persamaan yang diperiksa lebih besar

atau sama dengan jumlah peubah endogen yang di masuk-kan dalam persamaan tersebut

dikurangi satu.

Rumusan identifikasi model berdasarkan order condition adalah sebagai berikut :

(K-M) ≥ (G-1)

Di mana,

K = total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah

Pre-determined

M = jumlah peubah endogen dan oksigen yang termasuk dalam suatu

persamaan tertentu dalam model.

G = total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam

model.

Jika (K-M) lebih besar dari (G-1), maka suatu persamaan dalam model teridentifikasi

berlebih; jika (K-M) sama dengan (G-1) , maka persamaan tersebut teridentifikasi secara

tepat; sedangkan jika (K-M) lebih kecil dari (G-1), maka persamaan tersebut tidak

teridentifikasi.

Sementara itu, syarat kecukupan (rank condition) untuk suatu persamaan dapat diidentifikasi

adalah jika dan hanya jika mungkin membentuk sekurang-kurangnya satu determinan tidak

16

nol dari (G-1) susunan dan koefisien-koefisien struktural peubah yang dikeluarkan dari

persamaan yang diperiksa tersebut.

Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 4 persamaan atau 4

peubah endogen (G) dan 9 peubah eksogen. Sedangkan untuk pendugaan model digunakan

model persamaan simultan dengan kondisi setiap persamaan yang teridentifikasi terlebih

dahulu, maka pendugaan parameternya dapat menggunakan beberapa metode yang ada

seperti 2SLS, 3SLS, LIML, dan FIML. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan

penelitian, yaitu untuk mendapatkan koefisien peubah dari persamaan struktural secara

simultan. Pendugaan parameter secara simultan akan membantu simulasi kebijakan secara

tepat dan efisien. Metode yang dipilih untuk memperoleh nilai parameter dugaan pada model

perkembangan dan ekspor kakao di Indonesia adalah 3SLS. Metode 3SLS memberikan

pendugaan parameter struktural yang lebih efisien secara asimptotis dibandingkan metode

2SLS, karena dalam metode 3SLS digunakan informasi penuh berupa penggunaan kolerasi

unsur galat dalam persamaan struktural (Intriligator, 1980).

Alasan-alasan mengapa memilih metode 3SLS adalah:

1. Metode ini cocok digunakan untuk mengestimasi parameter model

ekonometrika simultan yang teridentifikasi berlebih (over identified).

2. Metode ini lebih efisien dibandingkan metode 2 SLS, karena dalam

pendugaannya digunakan lebih banyak informasi dibandingkan metode 2SLS

3. Metode ini lebih sederhana dibandingkan metode FIML.

Sedangkan kelemahan metode 3SLS adalah membutuhkan jumlah data pengamatan

yang lebih besar dari peubah predeterminan dan pengetahuan yang lengkap mengenai

spesifikasi seluruh model. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan penseleksian peubah yang

digunakan dalam pendugaan tahap pertama, yaitu dengan membuang sementara peubah yang

tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen, kemudian dimasukkan kembali bila

ternyata tidak mempengaruhi keragaan peubah penjelas yang telah dimasukkan terlebih

dahulu.

Estimasi nilai parameter dalam persamaan-persamaan ekonometrika tersebut

dilakukan dengan menggunakan program computer SAS/ETS (Statistical Analysis System

Econometric Rime Series).

Uji kolerasi serial dengan menggunakan Durbin-Watson statistic tidak valid untuk

model persamaan simultan jika model mengandung lagged endogenous variables. Untuk

17

menguji apakah model mengalami kolerasi serial atau tidak digunakan Durbin h Statistik

(Pindyck dan Rubinfeld, 1991).

…………………………………………………(53)

Di mana,

h = angka Durbin h Statistik

T = jumlah pengamatan contoh

var = varians dari koefosien lagged endogenus variables

DW = nilai statistik Durbin-Watson

Jika nilai T (var lebih besar dari satu, maka uji statistic Durbin h tidak valid. Jika

statistik Durbin h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami

korelasi.

Dalam penelitian ini juga digunakan suatu validasi model yang dilakukan untuk

mengetahui apakah model tersebut cukup valid untuk simulasi kebijakan atau tidak. Dalam

validasi model, untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi maka

dilakukan dengan menggunakan RMSE (Root Mean Square Error), RMSPE (Root Mean

Square Precent Error) dan U-theil (Theil’s Inequqlity Coefficent) (Pindyck dan Rubinfeld,

1991).

Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi

digunakan R² (koefisien determinan). Makin kecil RMSE, RMSPE, U, serta makin besar R²

maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0, maka

pendugaan model sempurna. Sebaliknya jika U=1, maka pendugaan model naïf.

Nilai statistik tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

RMSE = ……………………………………………….(54)

18

RMSPE = ……………………………………………….(55)

U = ….…………….……………………….(56)

Di mana,

= Nilai simulasi dasar

= Nilai aktual observasi

n = Jumlah periode simulasi

Dari hasil validasi tersebut, pada akhirnya penulis dapat melakukan suatu simulasi

yang digunakan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap peubah-peubah endogen.

Analisis simulasi diterapkan pada periode 1988-2009 karena lebih lengkap dan terjamin.

Analisis ini mencakup periode yang sudah lampau, sehingga simulasi ini dinamakan simulasi

historis. Dengan demikian alternatif kebijakan ekonomi yang disimulasi adalah sebagai

berikut :

1. Kenaikan harga barang-barang (inflasi) sebesar 15 persen.

Naiknya harga barang-barang di dalam negeri diasumsikan akan mempengaruhi daya

beli dan daya saing produksi komoditas buah-buahan dan sayuran lokal. Hal ini dipicu

oleh naiknya harga pupuk, dan biaya transportasi yang akan mempengaruhi harga

komoditas tersebut sekaligus biaya produksi. Berdasarkan kondisi ini maka akan

dicoba skenario kenaikan harga rata-rata sebesar 15 persen.

2. Depresiasi nilai tukar rupiah (IDR) terhadap dolar (USD) sebesar 18 persen.

Adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan nilai tukar

rupiah melemah sampai dengan 18 persen. Skenario ini dilakukan untuk melihat

pengaruh penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terhadap

ekspor buah dan sayuran Indonesia.

3. Penurunan Nilai Ekspor Buah dan Sayuran sebesar 20 persen akibat globalisasi

perdagangan dan kebijakan perdagangan semenjak diberlakukannya ACFTA.

19

4. Pembebasan Tarif Perdagangan (T=0) baik ekspor maupun impor sebagai

konsekuensi dan komitmen dari pelaksanaan kesepakatan free trade area, di mana

masing-masing anggota negara yang menandatanganinya harus berkomitmen dalam

membebaskan tarif dari barang/jasa yang masuk ke suatu negara anggota yang

menandatangani kesepakatan.

10. Hasil Pendugaan Model

Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R² sistem cukup tinggi

yaitu mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat

menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 23.54

persen diterangkan oleh peubah-peubah di luar model. Secara keseluruhan statistik F

mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara

bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah endogen,

digunakan uji statistik t.

Hasil statistik t menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara

individu tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen jika menggunakan taraf nyata

atau α sebesar 5 persen. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel yaitu menggunakan α

yang lebih besar hingga 15 persen, maka sebagian besar peubah penjelas dalam setiap

persamaan perilaku berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Taraf nyata yang

digunakan dalam penelitian ini adalah A merupakan taraf nyata α sebesar 5 persen, B

merupakan taraf nyata α sebesar 10 persen, C merupakan taraf nyata α sebesar 15 persen .

Pengujian uji statistik DW pada model persamaan simultan yang mengandung lag merupakan

hal yang tidak valid, maka untuk menguji apakah terjadi autokorelasi atau tidak digunakan uji

statistik Durbin h. Berdasarkan hasil dugaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model yang

digunakan dalam penelitian ini cukup representatif dalam menjelaskan fenomena-fenomena

perdagangan sayur dan buah lokal di pasar domestik dan pasar dunia.

8.1. Total Perdagangan

Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total

ekspor (X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan

Pajak Perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari

peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total perdagangan disajikan pada

20

table 5 berikut. Tabel. 5. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total

Perdagangan (TP)

PeubahParameter

dugaanT for H0

Parameter=0

ElastisitasJk pendek Jk panjang

Intersep 16885031Ekspor Total 25.4817 -0.27 0.032 0.15Impor Total -94.2654 -0.89 -0.73 -0.58GDP 69.40472 0.87 -0.22 0.36ERTotal Pajak Perdagangan

321.3292 26.22723

0.68 3.05 A

0.12 -0.08

0.09-0.18

R² = 0.59456 Fhit = 4.69

Dari tabel di atas, terlihat secara keseluruhan R square yang diperoleh adalah sebesar

0.59456, terlihat bahwa hanya Total Pajak Perdagangan yang berpengaruh secara

signifikan yaitu pada taraf nyata 5 persen, dengan nilai parameter sebesar 26.23

berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg akan meningkatkan nilai

perdagangan sebesar 26.23 rupiah per-kg.

Sementara nilai parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan

adalah 25.48 yang menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000

rupiah per-kg akan menaikkan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg.

Hal ini disebabkan karena dengan naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total

perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak

secara signifkan. Sesuai dengan teori dikatakan bahwa total perdagangan suatu negara

merupakan jumlah keseluruhan barang-barang yang diekspor dikurangi dengan

barang-barang yang diimpor. Apabila nilai ekspor lebih besar dibanding dengan nilai

impor, menunjukkan bahwa negara tersebut mengalami surplus pada neraca

perdagangan dan sebaliknya apabila nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor,

maka dapat dikatakan negara tersebut mengalami defisit perdagangan sehingga neraca

perdagangannyapun mengalami defisit. Pada penelitian ini diketahui bahwa untuk

parameter peubah total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang

mana menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan

menyebabkan terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg.

Nilai parameter peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40

yang menandakan bahwa dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah

akan menyebabkan kenaikan GDP sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter

peubah nilai tukar (ER) terhadap total perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa

21

jika nilai tukar IDR menguat sebesar 1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan

total perdagangan sebesar 321.33 rupiah per-kg.

Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsif (respon

positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar

0,032 dan 0.15. Ini menunjukkan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan

menyebabkan terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan

akibat semakin tingginya penawaran komoditas sayur dan buah lokal di luar negeri

yang menyebabkan nilai total perdagangan akan ikut meningkat.

Dalam jangka pendek dan jangka panjang total impor responsif terhadap total

perdagangan di mana elastisitas yang diperoleh adalah sebesar -0.73 dan -0.58 yang

menunjukkan bahwa dengan meningkatnya nilai impor sayur dan buah lokal akan

menyebabkan terjadinya penurunan nilai total perdangangan secara keseluruhan

sebesar nilai tersebut.

Sebaliknya pada parameter peubah GDP terlihat memiliki respon yang negatif

dalam jangka pendek sebesar -0.22 yang menunjukkan dalam jangka pendek apabila

nilai perdagangan mengalami penurunan maka akan berpengaruh juga terhadap

penurunan total GDP. Hal ini disebabkan karena nilai perdagangan tersebut

mengalami defisit sehingga berpengaruh pada total GDP secara keseluruhan. Walau

demikian dalam jangka panjang ternyata antara GDP dan total perdagangan

mengalami respon yang positif sebagai akibat kenaikan nilai perdagangan yang

disebabkan oleh kenaikan ekspor (dengan asumsi jika diterapkan pemberlakukan

pembebasan tarif ekspor kepada negara-negara lain yang menandatangani perjanjian

ACFTA) dengan nilai elastisitas sebesar 0.36 sehingga penawaran akan komoditas

sayur dan buah lokal di luar negeri akan ikut meningkat.

Nilai tukar IDR terhadap USD dalam jangka pendek maupun panjang

memiliki respon yang positif terhadap nilai total perdagangan. Ini berarti jika nilai

tukar IDR terhadap USD mengalami depresiasi maka nilai total perdagangan

Indonesia ke luar negeri juga akan meningkat sebesar nilai rupiah terhadap USD,

dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang

adalah sebesar 0.12 dan 0.09 yang menunjukkan bahwa para petani dalam hal ini akan

cenderung meningkatkan produksinya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

ekspor komoditas sayur dan buah (secara tidak langsung petani akan cenderung

berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya sesuai dengan standar

22

yang telah ditentukan oleh negara-negara tujuan ekspor). Hal ini tentu saja akan

menciptakan daya saing bagi produk komoditas tersebut.

Pajak perdagangan (pajak ekspor dan impor) dalam jangka pendek maupun

jangka panjang terhadap total perdagangan memiliki respon yang negatif yaitu sebesar

0.08 dan 0.18. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan nilai impor pajak akan

menurunkan nilai total perdagangan secara keseluruhan. Jika dianalisa kenaikan pajak

tersebut cenderung akan menurunkan nilai ekspor. Apabila dilihat dari sisi nilai

impornya kenaikan pajak impor tersebut tentu saja sangat berguna bagi daya saing

komoditas lokal di dalam negeri karena terbukti dalam beberapa tahun terakhir ini

saja sudah sangat banyak sayuran dan buah impor yang masuk dan membanjiri pasar

domestik (bahkan mematikan daya saing petani sayur dan buah lokal didalam negeri).

Akan tetapi jika dilihat dari sisi ekspor tentu saja hal ini sangatlah menghambat bagi

para petani dan khususnya para eksportir, karena dengan kenaikan pajak ini tentu saja

akan mengurangi daya saing produk/komoditas sejenis di negara lain, sehingga akan

berpotensi menurunkan nilai ekspor sayur dan buah secara khusus dan total ekpor

secara keseluruhan.

8.2. Gross Domestic Product

Dari model diperoleh bahwa GDP dipengaruhi oleh tingkat Inflasi (INF), Konsumsi

Pemerintah (CP), Konsumsi Rumah Tangga (CT) dan Nilai Perdagangan (NP). Secara

rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubah-peubah yang mempengaruhi

nilai total perdagangan disajikan pada tabel 6 sebagai berikut.

Tabel. 6. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi GDP

PeubahParameter

dugaanT for H0

Parameter=0

ElastisitasJk pendek Jk panjang

Intersep 33031.71 6.94Inflasi -335.979 -1.26 -0.162 -0.008CP 0.011746 0.21 0.56 0.92CT -0.00282 -0.67 -0.082 -0.133NP -0.52519 -1.81B

0.018 0.11

R² = 0.35089 Fhit = 2.3

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan R square dari persamaan model

tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukkan terdapat hubungan antara

23

variabel dependen terhadap variabel independen meskipun hanya sebesar 0.35089

atau 35 persen, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (eksogen).

Nilai parameter peubah inflasi terhadap GDP adalah sebesar -335.979 yang

menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga sebesar 1000 rupiah akan

menyebabkan penurunan GDP sebesar 336 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun

jangka panjang antara GDP dan tingkat inflasi mengalami respon yang negatif yaitu

sebesar 0.162 yang berarti dalam jangka pendek dengan kenaikan tingkat inflasi akan

menyebabkan terjadinya penurunan GDP sebesar 0.162 dan GDP akan turun sebesar

0.008 apabila terjadi kenaikan tingkat inflasi. Hal ini disebabkan karena dengan

naiknya harga-harga barang dalam negeri akan memicu peningkatan konsumsi baik

konsumsi pemerintah maupun konsumsi rumah tangga sehingga akan mengurangi

pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

Parameter peubah konsumsi pemerintah terhadap GDP sebesar 0.011746

menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi pemerintah akan menaikkan GDP

sebesar 0.011746. Dalam jangka pendek maupun panjang konsumsi pemerintah akan

merespon secara positif terhadap kenaikan GDP, hal ini terlihat pada tabel di mana

dalam jangka pendek elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.56 dan 0.92 untuk

jangka panjang. Dengan kata lain kenaikan konsumsi pemerintah (dalam hal ini

merupakan konsumsi pemerintah dalam rangka meningkatkan pembangunan) akan

merespon secara baik terhadap kenaikan GDP secara keseluruhan. Hal ini terjadi

karena umumnya konsumsi pemerintah tersebut berkaitan dengan investasi dalam

negeri yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan perbaikan infrastruktur

sehingga dapat meningkatkan taraf pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Parameter penduga konsumsi rumah tangga (CT) terhadap GDP adalah

sebesar -0.00282, yang menunjukan bahwa jika konsumsi rumah tangga naik maka

kedua variabel akan menyebabkan penurunan GDP sebesar 0.00282. Sedangkan

dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah

sebesar 0.082 dan 0.133, yang dapat diartikan bahwa terdapat respon yang negatif

antara GDP dengan konsumsi rumah tangga (CT). Ini juga berarti apabila terjadi

kenaikan pada konsumsi rumah tangga (CT) akan menyebabkan terjadinya penurunan

GDP yang mungkin salah satunya disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang-

barang komoditas (inflasi) di dalam negeri sehingga menyebabkan semakin besarnya

24

uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengkonsumsi barang dan

berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

Begitu pula dengan parameter penduga Neraca perdagangan (NP) terhadap

GDP yang merupakan selisih dari nilai total ekspor dikurangi nilai total impor. Dari

tabel diperoleh angka sebesar -0.52519. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan defisit

neraca perdagangan (impor lebih besar dari ekspor) akan berakibat pada penurunan

GDP secara keseluruhan (sebagai akibat semakin menurunnya produk barang dan jasa

yang dihasilkan di dalam negeri). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang

elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.018 dan 0.11. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup responsif antara Neraca

Perdagangan dengan GDP, di mana dengan semakin membaiknya posisi neraca

perdagangan (nilai ekspor lebih besar dari impor) akan mempengaruhi peningkatan

GDP dan ini berarti bahwa pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan semakin

meningkat sejalan dengan meningkatnya produk barang dan jasa yang dihasilkan.

Salah satu kenaikan ekspor tersebut adalah disebabkan semakin meningkatnya daya

saing produk lokal di luar negeri yang memicu para petani maupun eksportir lebih

meningkatkan kualitas dan kuantitas barang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

pasar luar negeri.

8.3. Total Ekspor

Dari model diperoleh bahwa Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan

sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan

total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari

peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 7 berikut.

Tabel. 7. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor

PeubahParameter

dugaanT for H0

Parameter=0

ElastisitasJk pendek Jk panjang

Intersep 26155.74 4.28Xsb*ER 0.000048 1.57 0.22 0.34T 0.097921 3.37 A 0.036 0.072

R² = 0.73249Fhit = 26.01

25

Secara keseluruhan diperoleh R square adalah sebesar 0.73249 atau sebesar

73.25 persen. Nilai parameter peubah Xsb*ER adalah sebesar 0.000048 pada taraf

nyata sebesar 15 persen, hal ini cenderung menjelaskan bahwa dengan kenaikan

ekspor sayur dan buah lokal sebesar 1000 rupiah per kg akan meningkatkan total

ekspor sebesar 48 rupiah per kg. Sedangkan untuk jangka pendek dan jangka panjang

nilai elastitasnya sebesar 0.22 dan 0.34 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang cukup responsif antara Total ekspor (X) dan total ekspor buah dan sayuran

dikalikan dengan nilai kurs IDR terhadap USD (Xsb*ER), di mana baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang peningkatan nilai ekspor buah dan sayuran lokal akan

meningkatkan total ekspor secara keseluruhan. Ini berarti bahwa dengan semakin

meningkatnya daya saing komoditas sayur dan buah lokal bagi kebutuhan luar negeri

akan mendorong peningkatan ekspor komoditas tersebut sekaligus mampu

menyumbang peningkatan ekspor secara keseluruhan.

Begitu pula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X),

diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar

1000 rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah

per-kg dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara

signifikan terhadap kemampuan daya saing produk lokal akan tetapi kenaikan pajak

tersebut justru ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia

(impor). Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas

pajak terhadap ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini

memungkinkan bahwa dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor

terhadap komoditas tertentu) akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga

penawaran produk/komoditas sayur dan buah lokal tidak terpengaruh oleh kenaikan

pajak tersebut.

8.4. Total Impor (M)

Dari model diperoleh bahwa Total impor (M) dipengaruhi oleh nilai impor buah dan

sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Msb*ER), dan

total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari

peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 8

Tabel. 8. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor

Peubah Parameterdugaan

T for H0

Parameter=0 ElastisitasJk pendek Jk panjang

26

Intersep 20204.57 5145.121Msb*ER 1.495E-6 0.000048 0.038 0.012T 0.102744 0.059818B 0.175 0.28

R² = 0.63281Fhit = 16.37

Dari tabel diatas diperoleh R square sebesar 0.63281 atau sebesar 63.28 persen,

dengan nilai parameter peubah Msb*ER terhadap nilai impor (M) sebesar 1.495E-6,

yang berarti bahwa dengan kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan

menyebabkan kenaikan impor sebesar 1.49 rupiah per-kg. Sedangkan dalam jangka

pendek dan jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012

yang menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara

tertentu (misal China) akan menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor

sebesar nilai tersebut, dan juga menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri

terhadap komoditas sayur dan buah akan meningkat apabila penawaran komoditas

tersebut juga meningkat sebagai akibat membanjirnya produk-produk tersebut di

dalam negeri dengan harga murah. Apabila dikaitkan dengan daya saing terhadap

komoditas dalam negeri tentu saja akan menjadi suatu ancaman yang sangat serius

(karena berpotensi mematikan usaha petani dan menurunkan produksi terhadap

komoditas tersebut).

Pada parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara

statistik sebesar 0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk

1000 rupiah per-kg komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor

sebesar 0.102744. Hal ini terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor

yang menyebabkan harga komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga

sebelum kenaikan pajak. Dengan kata lain kondisi tersebut tentu saja akan mematikan

daya saing produk lokal terhadap produk-produk impor yang nasuk ke dalam negeri.

Begitu pula secara jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas sebesar 0.175 dan

0.28 yang menunjukkan hubungan yang cukup responsif antara pajak dan total impor

di mana dengan adanya pembebasan tarif (apabila ACFTA tersebut diberlakukan)

akan mempengaruhi daya saing produk/komoditas lokal terhadap komoditas impor

yang harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.

8.5. Validasi Model

27

Validasi model diperlukan untuk mengetahui kualitas model dalam menduga perilaku

data aktual yang digunakan di dalam model. Validasi statistik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah RMSPE untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah

endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau

seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persentase Selain itu, digunakan koefisien U

Theil untuk mengevaluasi kehandalan model untuk digunakan dalam analisis simulasi

kebijakan. Suatu pendugaan model dikatakan baik apabila nilai RMSE (Root Mean Square

Error), RMSPE (Root Mean Square Percent Error), dan U Theil (Theill Inequality

Coefficient) semakin kecil. Di mana nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U sama dengan 0

maka pendugaan model adalah sempurna dan bila U sama dengan 1 maka pendugaan model

sangat buruk (Theil, 1965 dalam Tri Imido Sematoto, 2004).

Model yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi selama 28 tahun terakhir

dengan menggunakan nilai RMSE, RMSPE, dan U yang disajikan dalam tabel 9 dan hasil

evaluasi berdasarkan kriteria tersebut menjelaskan bahwa dari 4 persamaan yang membentuk

model diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 9. Validasi model Daya Saing Produk Buah dan Sayuran Lokal

Peubah Endogen RMSE RMSPE U R²

Total Perdagangan (TP) 11234.5 70.5194 0.2592 0.3477

GDP 3026463 13.0906 0.0750 0.5026Total ekspor (X) 15070.6 30.3376 0.1196 0.7325Total Impor (M) 14610.1 34.3469 0.1603 0.6328

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 4 persamaan yang membentuk model terdapat 3

persamaan atau 75 persen diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara

itu berdasarkan sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki

nilai U diatas 0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21

tersebut adalah Total Perdagangan (TP).

8.6. Simulasi Analisis Daya Saing Produk Buah dan Sayur

8.6.1. Dampak Kenaikan Tingkat Inflasi sebesar 15 persen

Tabel 10. Dampak Kebijakan Tingkat Inflasi sebesar 15 persen Terhadap Peubah-peubah Endogen

Peubah Endogen Satuan Nilai Rata-rata

Perubahan Simulasi dasar Simulasi scenario 1

28

Total Perdagangan (TP) 1000/ton 18695 18127.9 -0.030334314GDP 1000 19868997 19827732 -0.002076854Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 56910.7 0.001220943Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.2. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR Terhadap USD sebesar 18 persen Terhadap

Peubah-peubah Endogen

Tabel 11. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR sebesar 18 persen Terhadap Peubah-peubahEndogen

Peubah Endogen Satuan Nilai Rata-rata

Perubahan Simulasi dasar Simulasi scenario 1Total Perdagangan (TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582GDP 1000 19868997 20217589 0.017544519Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 56910.7 0.001220943Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.3. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap Peubah-

peubah Endogen

Tabel 12. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadapPeubah-peubah Endogen

Peubah Endogen Satuan

Nilai Rata-rata

Perubahan Simulasi

dasarSimulasi

scenario 1

Total Perdagangan(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582GDP 1000 19868997 19866875 -0.0001068Total ekspor (X) IDR/KG 45473.1 56910.7 0.251524528

Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.4. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadap Peubah-

peubah Endogen

Tabel 13. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadapPeubah-Peubah EndogenPeubah Endogen Satuan Nilai Rata-rata Perubahan

29

Simulasidasar

Simulasiscenario 1

Total Perdagangan(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582GDP 1000 19868997 17210530 -0.133799758Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 38393.2 -0.324554505Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 20600.2 -0.485359108

9. Implikasi Kebijakan Dalam menghadapi ACFTA

9.1. Implikasi Kredit Perbankan Dalam Menghadapi Dampak ACFTA

Sudah menjadi stigma, bahwa produk China yang variatif dan berdaya saing luar

biasa tinggi karena produktivitas SDM yang didukung infrastruktur, pembiayaan murah, dan

penguasaan sumber energi yang tangguh selalu mencari celah untuk membanjiri pasar dunia.

Ketika aggregat demand dunia merosot sebagai dampak krisis keuangan global 2008,

produk-produk China melakukan pelarian pasar ke negara yang konsumsinya tinggi seperti

Indonesia termasuk dengan menerapkan skema konsinyasi atau bayar belakangan dan kredit.

Bagi China yang penting produknya laku dipasaran.

Jika diamati dengan saksama, produk China umumnya hanya masuk ke segmen pasar

menengah ke bawah dan mudah menyingkirkan produk UMKM dosmetik terutama buah-

buah dan hortikultura lainnya, perikanan, makanan minuman, obat-obatan, jamu-jamuan,

kosmetik, pakaian jadi, alas kaki, mebel, keramik, hingga barang kerajinan.

Oleh karena itu, diperlukan sinergi untuk meningkatkan efektivitas dan optimalisasi

pelaksanaan program dan kebijakan tersebut seperti yang lahir dari Paket Kebijakan

Perbaikan Iklim Investasi dan Pemberdayaan UMKM (Inpres 3/2006, Inpres 6/2007, dan

Inpres 5/2008), Kebijakan Counter cyclical, dan Kebijakan Debottlenecking. Akan tetapi

masalah yang tidak pernah berkembang adalah pembiayaan perbankan untuk pembiayaan

modal kerja dan investasi. Tidak jelas apakah risiko usaha di Indonesia begitu menakutkan

ataukah ada kelemahan entrepreneurship para bankers Indonesia dibandingkan dengan begitu

mudahnya sektor riil di China dan negara tetangga kita memperoleh kredit. Untuk menarik

bank masuk ke sektor tertentu perlu intervensi anggaran pemerintah, seperti mengambil risiko

dengan penjaminan atau pemberian subsidi suku bunga. Kebijakan-kebijakan tadi sangat

memerlukan kecepatan sinergi dan komando lapangan yang mengawasi dan mengevaluasi

efektivitasnya terhadap penguatan sektor riil.

30

Salah satu permasalahan mengapa produk-produk lokal tidak dapat bersaing dengan

produk-produk China adalah kemampuan dari para pelaku-pelaku ekonomi yang

memproduksi barang yang setara dan bersaing dalam harga. Karena pada umumnya para

pelaku ekonomi China mampu membaca situasi suatu negara dengan tingkat konsumsi tinggi

tetapi daya belinya rendah. Dengan kenyataan tidak adanya dukungan dari dunia perbankan

dalam menggerakkan ekonomi sektor riil, karena suku bunga pinjaman kepada pelaku-pelaku

bisnis dalam negeri masih dirasakan sangat tinggi, hal ini ditandai dengan tingginya kredit

yang belum dicairkan nasabah (undisbursed loan) di sektor perdagangan pada tahun 2009

yang menunjukkan adanya kelesuan di dunia perdagangan dalam negeri. Ada beberapa alasan

mengapa sektor perbankan cukup enggan untuk terlibat dalam menggerakkan sektor riil

tersebut. Pertama, kondisi perdagangan yang tidak menguntungkan, hal ini biasa dilakukan

dengan cara melihat kapasitas daya beli masyarakat yang rendah yang berarti pesimisme dari

pemerintah terhadap daya beli masyarakat dan terhadap perdagangan internasional juga

cukup mempengaruhi pemerintah. Selain itu juga kecenderungan pedagang yang memiliki

kebiasaan untuk menunggu melonjaknya permintaan juga ikut berpengaruh karena

mengharapkan keuntungan besar dari lonjakan permintaan tersebut. Masalahnya, perjanjian

itu secara keseluruhan dapat menahan pengusaha untuk mencairkan kredit. Pedagang akan

cenderung menahan kredit itu. Di sisi lain, perbankan pun bakal cenderung bersikap hati-hati

dalam menyalurkan kreditnya.

Selain masalah perdagangan. kredit yang tidak tercairkan itu juga dapat disebabkan

karena proyek infrastruktur yang tertunda. Kemudian, sejumlah pengusaha beralih ke bentuk

pinjaman lain yang dinilai lebih dapat bersaing. Bank Indonesia mengumumkan perjanjian

kredit perbankan dengan nasabah yang belum dicairkan sepanjang 2009 mencapai Rp 250

triliun, di mana sebagian besar kredit yang tidak dicairkan itu berasal dari sektor

perdagangan9.

Hal itu bertolak belakang sekali dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah China

dalam menggerakkan ekonomi sektor riil-nya. Perhatian pemerintah China terhadap industri-

industri kecil dan menengah di China sangatlah besar, terbukti pemerintah China telah

mengeluarkan paket subsidi bunga bagi perbankan yang mendukung industri kecil dan

menengah di negara tersebut, sehingga para pebisnis dan pelaku ekonomi kecil dan

menengah di China merasa terbantu dan dimudahkan dalam kendala permodalan. Berbeda

dengan kondisi di Indonesia, di mana suku bunga pinjaman dirasakan masih sangat timggi

dan sangat tidak kompetitif. Suku bunga Indonesia masih sekitar 13%-15%, sementara negara9 Bank Indonesia, 2009

31

Asean termasuk China sudah 3%-5%, bahkan untuk kredit usaha kecil seperti kredit usaha

rakyat (KUR) penetapan suku bunga sangat tinggi sekitar 22%-24%. Jelas di sini terlihat,

bagaimana kesuksesan produk-produk China terjadi, dukungan yang kuat dari pemerintah

baik regulasi perdagangan, regulasi perbankan, dan infrastruktur menjadi salah satu faktor

utama. Mestinya hal inilah yang harus ditiru oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, hal ini

bukan hanya merupakan perkerjaan rumah yang ditujukan kepada Departemen Perdagangan

dan Industri saja tetapi juga merupakan pekerjaan rumah berupa dukungan dan koordinasi

antar departemen yang terkait termasuk dalam hal ini bank sentral dan lembaga-lembaga

negara lainnya (seperti kepolisian, kejaksaan, departemen PU), BUMN, Kadin, dan pihak

swasta lainnya.

9.2. Implikasi Perbandingan Tingkat Harga Akibat Adanya Hambatan Hambatan

Bisnis

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu implikasi penyebab dari

ketidakmampuan bersaing produk-produk lokal dalam negeri terhadap produk-produk China

yang masuk dikarenakan tidak adanya dukungan dari sektor perbankan dalam menggerakkan

ekonomi kerakyatan (mikro) di Indonesia. Adapun penghambat lainnya yang dapat disinyalir,

mengapa produk lokal tidak mampu bersaing dengan produk China dapat dilihat pada tabel

14 dibawah ini.

Tabel 14. Tingkat Penghambat Bisnis Indonesia-China (dalam persentase)

No Jenis Persentase Tingkat HambatanIndonesia China

1. Akses Finansial 7,8 16,82. Efisiensi Birokrasi Pemerintah 23,2 11,13. Aturan Pajak NA 9,64. Instabilitas Kebijakan 9,0 8,55. Kekurangan Infrastruktur 14,8 8,56. Korupsi 8,7 7,47. Kekurangan SDM ahli NA 7,88. Tarif Pajak 6,8 7,19. Inflasi 6,1 5,810. Peraturan Tenaga Kerja 7,1 NA11. Regulasi Tukar Rupiah 5,2 NASumber: E. Gumbira-Said, Dampak dan Peluang ACFTA Pada Kinerja Agribisnis dan

Agroindustri Indonesia, 2010

Dari tabel terlihat bahwa, dibandingkan dengan China, ternyata Indonesia rata-rata

memiliki tingkat penghambat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat penghambat

di China, kecuali pada efisiensi birokrasi pemerintah (yaitu sebesar 23,2 persen), meskipun32

demikian faktor penghambat dari efisiensi birokrasi pada kenyataannya masih dirasakan

sangat kurang dan belum berdampak besar bagi perkembagan industri dan perdagangan di

Indonesia. Hal ini terbukti dari sebagian besar pernyataan di kalangan usahawan yang selalu

mengeluhkan pelayanan birokrasi pemerintahan sehingga menyebabkan adanya ekonomi

biaya tinggi yang berasal dari berbagai pungutan yang dikenakan bagi pelaku-pelaku bisnis di

Indonesia. Pungutan-pungutan tersebut menyebabkan para pelaku bisnis cenderung

mengambil langkah mudah dengan cara menaikkan harga produk yang lebih tinggi dibanding

dengan produk China, meskipun terkadang produk tersebut memiliki tingkat kualitas yang

sama bahkan terkadang jauh lebih baik dari produk China.

10. Kesimpulan dan Saran

10.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Upaya

Peningkatan Daya Saing Sayur dan Buah Lokal Pasca ACFTA, maka dapat disimpulkan

beberapa hal:

1) Perdagangan Indonesia mengalami masalah dalam daya saing baik produksi maupun

besaran laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.

Lemahnya dayasaing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang menyebabkan

ekonomi biaya tinggi seperti: (1) biaya pengurusan kontainer di pelabuhan (THC) masih

tertinggi di ASEAN ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan,

(2) adanya biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor baik itu

ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat

maupun daerah, (3) masalah struktural yang dihadapi industri yang belum tuntas digarap

secara serius seperti masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara,

dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen, masalah lain

seperti lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi, rendahnya produktivitas tenaga

kerja industry, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai

dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan, dan masih

terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra, (4) adanya perubahan

keunggulan komparatif kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan

komparatif yang rendah dimasa lalu.

2) Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R² system cukup rendah yaitu

mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat

33

menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 27.54

persen diterangkan oleh peubah-peubah diluar model. Secara keseluruhan statistik F

mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara

bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah

endogen.

3) Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total ekspor

(X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan Pajak Perdagangan

(T). R quare yang diperoleh adalah sebesar 0.59456, terlihat bahwa hanya Total Pajak

Perdagangan yang berpengaruh secara signifikan yaitu pada taraf nyata 5 persen, dengan

nilai parameter sebesar 26.23 berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per- kg

akan meningkatkan nilai perdagangan sebesar 26 rupiah per-kg. Sementara nilai

parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan adalah sebesar 25.48 ini

menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000 rupaih per-kg akan

menaikan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg. Ini berarti dengan

naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total perdagangan baik dalam negeri

maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak secara signifkan. Parameter peubah

total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang mana menunjukan

bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan

terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg. Nilai parameter

peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40 yang menandakan bahwa

dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah menyebabkan kenaikan GDP

sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter peubah nilai tukar (ER) terhadap total

perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa jika nilai tukar IDR menguat sebesar

1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan total perdagangan sebesar 321.33 rupiah

per-kg. Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsive (respon

positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar 0,032

dan 0.15 ini menunjukan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan menyebabkan

terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan akibat semakin

tingginya penawaran komoditas sayur dan buah local di luar negeri yang menyebabkan

nilai total perdagangan pun akan ikut meningkat. Dalam jangka pendek dan jangka

panjang total impor responsive terhadap total perdagangan dimana elastisitas yang

diperoleh adalah sebesar -0.73 dan -0.58 yang menunjukan bahwa dengan meningkatnya

nilai impor sayur dan buah local menyebabkan terjadinya penurunan nilai total

34

perdangangan secara keseluruhan sebesar nilai tersebut. Sebaliknya pada parameter

peubah GDP terlihat memiliki repon yang negative dalam jangka pendek sebesar -0.22

yang menunjukan dalam jangka pendek apabila nilai perdagangan mengalami penurunan

maka akan berpengaruh juga terhadap penurunan total GDP, hal ini disebabkan karena

nilai perdagangan tersebut mengalami deficit sehingga berpengaruh pada total GDP

secara keseluruhan. Sebaliknya dalam jangka panjang ternyata antara GDP dan total

perdagangan mengalami respon yang positif sebagai akibat kenaikan nilai perdagangan

yang disebabkan oleh kenaikan ekspor (dengan asumsi jika diterapkan pemberlakukan

pembebasan tariff ekspor kepada negara-negara lain yang menandatangani perjanjian

ACFTA) dengan nilai elastisitas sebesar 0.36. Nilai tukar IDR terhadap USD dalam

jangka pendek maupun panjang memiliki respon yang positif terhadap nilai total

perdagangan ini berarti jika nilai tukar IDR terhadap USD mengalami depresiasi maka

nilai total perdagangan Indonesia ke luar negeri juga akan meningkat sebesar nilai rupiah

terhadap USD , dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun

jangka panjang adalah sebesar 0.12 dan 0.09 Pajak Perdagangan (pajak ekspor dan impor)

dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap total perdagangan memiliki

respon yang negatif yaitu sebesar 0.08 dan 0.18. Hal ini menunjukan jika terjadi kenaikan

dan nilai impor pajak akan menurunkan nilai total perdagangan secara keseluruhan. Jika

kita anlisakan bahwa dengan kenaikan pajak tersebut cenderung akan menurunkan nilai

ekspor.

4) GDP dipengaruhi oleh tingkat Inflasi (INF), Konsumsi Pemerintah (CP), Konsumsi

Rumah Tangga (CT) dan Nilai Perdagangan (NP) dimana R square dari persamaan model

tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukan terdapat hubungan antara variabel

dependent terhadap variabel independent meskipun hanya sebesar 0.35089 atau 35

persen, dan sisanya dipengaruhi oleh factor-faktor lain (eksogen). Nilai parameter peubah

inflasi terhadap GDP adalah sebesar -335.979 yang menunjukan bahwa jika terjadi

kenaikan harga sebesar 1000 rupiah akan menyebabkan penurunan GDP sebesar 336 juta

rupiah. Dan dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara GDP dan tingkat inflasi

mengalami respon yang negative yaitu sebesar 0.162 yang berarti dalam jangka pendek

dengan kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP sebesar

0.162 dan GDP akan turun sebesar 0.008 apabila terjadi kenaikan tingkat inflasi.

Parameter peubah konsumsi pemerintah terhadap GDP sebesar 0.011746 yang

menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi pemerintah maka akan menaikan

35

GDP sebesar 0.011746. Dan dalam jangka pendek maupun panjang konsumsi pemerintah

akan merespon secara positif terhadap kenaikan GDP, hal ini terlihat pada table dimana

dalam jangka pendek elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.56 dan 0.92 untuk jangka

panjang. Parameter penduga konsumsi rumah tangga (CT) terhadap GDP adalah sebesar -

0.00282, yang menunjukan bahwa jika konsumsi ruah tangga naik maka kedua akan

menyebabkan penurunan GDP sebesar 0.00282. Sedangkan dalam jangka pendek maupun

jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.082 dan 0.133; dimana dalam

hal ini dapat diartikan bahwa terdapat respon yang negatif antara GDP dengan konsumsi

rumah tangga (CT) ini juga berarti apabila terjadi kenaikan pada konsumsi rumah tangga

(CT) akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP yang mungkin salah satunya

disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang-barang komoditas (inflasi) didalam negeri

sehingga menyebabkan semakin besarnya uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat

untuk mengkonsumsi barang dan berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat

secara keseluruhan. Parameter penduga Neraca perdagangan (NP) terhadap GDP yang

merupakan selisih dari nilai total ekspor dikurangi nilai total impor. Dari tabel diperoleh

sebesar -0.52519. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan deficit neraca perdagangan

(impor lebih besar dari ekspor) akan berakibat pada penurunan GDP secara keseluruhan

(sebagai akibat semakin menurunnya produk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam

negeri). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah

sebesar 0.018 dan 0.11; kondisi tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

culup responsive antara Neraca Perdagangan dengan GDP.

5) Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai

tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan total pajak perdagangan (T),

dengan R square adalah sebesar 0.73249 atau sebesar 73.25 persen. Nilai parameter

peubah Xsb*ER adalah sebesar 0.000048 pada taraf nyata sebesar 15 persen, hal ini

cenderung menjelaskan bahwa dengan kenaikan ekspor sayur dan buah local sebesar

1ooo per kg akan meningkatkan total ekspor sebesar 48 rupiah per kg Sedangkan untuk

jangka pendek dan jangka panjang nilai elastitasnya sebesar 0.22 dan 0.34 yang

menunjukan bahwa terdapat hubungan yang cukup responsive antara Total ekspor (X)

dan total ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai kurs IDR terhadap USD

(Xsb*ER. Dan ini berarti bahwa dengan semakin meningkatnya daya saing komoditas

sayur dan buah local bagi kebutuhan luar negeri mendorong peningkatan ekspor

komoditas tersebut sekaligus mampu menyumbang peningkatan ekspor secara

36

keseluruhan. Begitupula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X),

diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar 1000

rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah per-kg

dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan

terhadap kemampuan daya saing produk local akan tetapi justru dengan kenaikan pajak

tersebut ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia (impor).

Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas pajak terhadap

ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini memungkinkan bahwa

dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor terhadap komoditas tertentu)

akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga penawaran produk/komoditas

sayur dan buah local tidak terpengaruh oleh kenaikan pajak tersebut.

6) Total impor (M) dipengaruhi oleh nilai impor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai

tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Msb*ER), dan total pajak perdagangan (T),

dengan nilai R square sebesar 0.63281 atau sebesar 63.28 persen, dengan nilai parameter

peubah Msb*ER terhadap nilai impor (M) sebesar 1.495E-6, yang berarti bahwa dengan

kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan kenaikan impor

sebesar 1.49 rupiah per-kg. Sedangkan dalam jangka pemdek dan jangka panjang

elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012 menunjukkan bahwa dengan

adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara tertentu (missal China) akan

menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor sebesar nilai tersebut, dan juga

menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri terhadap komoditas sayur dan buah akan

meningkat apabila penawaran komoditas tersebut juga meningkat sebagai akibat

membanjirnya produk-produk tersebut didalam negeri dengan harga murah. Pada

parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara statistic sebesar

0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk 1000 rupiah per-kg

komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor sebesar 0.102744. ini

terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor yang menyebabkan harga

komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga sebelum kenaikan pajak. Diketahui

juga jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas adalah sebesar 0.175 dan 0.28 yang

menunjukkan terdapat hubungan yang cukup respionsive antara pajak dan total impor

dimana dengan adanya pembebasan tariff (apabila ACFTA tersebut diberlakukan) akan

mempengaruhi daya saing produk/komoditas local terhadap komoditas impor yang

harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.

37

7) Terdapat 4 persamaan yang membentuk model, terdapat 3 persamaan atau 75 persen

diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara itu berdasarkan

sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki nilai U diatas

0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21 tersebut

adalah Total Perdagangan (TP).

8) Simulasi dilakukan dengan 4 skenario, dimana untuk scenario ke-1 yaitu berupa kenaikan

tingkat inflasi sebesar 15 persen maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18127.9), GDP

(19827732), X (56910.7), dan M (40029.8). Skenario 2 yaitu Depresiasi IDR Terhadap

USD sebesar 18 persen, maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18691.9), GDP

(20217589), X(56910.7), dan M(40029.8). Skenario 3 yaitu penurunan nilai Ekspor Sayur

dan Buah sebesar 20 persen, maka perubahannya akan diperoleh nilai rata-rata untuk TP

(18691.9), GDP (19866875), X (56910.7), dan M (40029.8). Sedangkan untuk scenario ke-

4 adalah kebijakan pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0), sehingga perubahan

rata-rata diperoleh sebagai berikut: TP (18691.9), GDP (17210530), X(38393.2), dan

M(20600.2)

10.2. Saran

Adapun saran-saran yang bisa diberikan dalam tulisan ini adalah:

A. Peningkatan daya saing produk

Pemerintah dan para pelaku usaha agrisbisnis Indonesia dituntut untuk dapat

meningkatkan daya saing komoditas khususnya untuk produk sayuran dan buah-buah,

sehingga produknya dapat bersaing dengan produk-produk dari China yang masuk ke

Indonesia.

Adapun usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing tersebut adalah:

1. Pemberian Subsidi untuk barang-barang yang akan diekspor berupa pemberian

insentif pajak.

2. Perbaikan Sistem Kredit Perbankan, melalui pemberian kredit dengan suku bunga

yang rendah.

3. Pemberian standarisasi dan label kepada jenis buah dan sayuran yang masuk ke

Indonesia, dimana peningkatan ekspor produk buah-buah Indonesia perlu diiringi penerapan

standar nasional karena negara pengimpor mulai memperketat aspek kesesuaian dengan

standar internasional.

4. Efisiensi Cost

38

Terhadap biaya-biaya dan kendala-kendala yang dianggap tidak mendukung

peningkatan volume perdagangan ekspor, termasuk dalam hal ini peraturan-peraturan (baik

perpu maupun perda) maupun penidaktegasan terhadap pungutan-pungutan liar yang

mempengaruhi daya saing produk (baik harga maupun kualitas)

5. Pemantapan infrastruktur (baik yang soft maupun hard)

Yang bisa mendukung daya saing produk baik kualitas, harga, dan jumlah; seperti:

aturan-aturan dan regulasi dalam negeri dan luar negeri, transportasi, promosi, listdaik,

komunikasi, dan lain-lain.

6. Mengembangkan komoditas/produk non komplementer potensial

Seperti buah-buah tropik eksotik (mangga, nenas, pisang, durian, manggis, rambutan,

papaya), sayuran tropika khusus (kacang panjang, kangkung, nangka, labu siam, ikan tangkap

(kerapu, hiu, pari, tuna, teri), rumput laut, dan makanan olahan khas Indonesia.

7. Konsep Kemitraan

Untuk memfasilitasi petani dengan penguatan modal, kualitas produk, dan pemasaran,

maka perlu dibangun suatu pola kemitraan. Penguatan modal dilakukan berdasarkan

pengembangan kawasan. Penekanannya pada jumlah petani yang mendapatkan modal, petani

yang bermitra, dan jumlah komoditas yang diusahakan. Sementara mengenai fasilitas

kemitraan, pemerintah harus mampu membantu penataan rantai pasokan (management

supply chain). Untuk lebih meningkatkan kemitraan, pemerintah akan menerbitkan peraturan

pemerintah karena memang belum ada yang mengatur kemitraan di bidang hortikultura.

Selama ini kemitraan diserahkan kepada petani langsung atau pengusaha yang punya model

sendiri. Konsepnya akan ditawarkan kepada pelaku usaha.

Sesungguhnya model kemitraan tergantung jenis komoditasnya. Pada kentang

misalnya, perusahan benih membantu penyediaan benih dan modal kepada petani. Lalu

petani menanam kentang sesuai varietas yang sudah disiapkan perusahaan tersebut dan sesuai

dengan permintaan pabrik. Nanti ketika panen, pabrik membeli hasil produksinya.

B. Pengembangan kawasan agribisnis holtikultura

Berdasarkan komoditas dan jenis-jenis usaha tani melalui sentra-sentra produksi dan

industri hortikultura diwilayah-wilayah tertentu.

C. Kampanye Kecintaan Produk dalam negeri disemua kalangan

39

Melalui upaya penggalakan program penggunaan dan kecintaan terhadap produk

dalam negeri. Dengan program ini diharapkan masyarakat dapat ikut berperan serta dalam

meningktkan daya saing produk dalam negeri, melalui upaya penggunaan produk dalam

negeri, kecintaan dan kebanggaan terhadap produk dalam negeri, sekaligus memberi

kesempatan yang besar bagi produk dalam negeri untuk menguasai pangsa pasar di negeri

sendiri. Sehingga secara langsung produk dalam negeri dapat bersaing dalam kualitas dan

produknya terhadap membanjirnya produk-produk luar.

DAFTAR PUSTAKA

Curry, F.E. 2001. Memahami Ekonomi Internasioanal. World Trade Press, Jakarta.40

Debirtin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics, Macmillan Publishing CompanyNew York.

Dornbusch, R.dan S. Fischer. 1987. Makro Ekonomi, Erlangga, Jakarta.

Handarson, J.M. dan R.E. Quant. 1980. Micro Economic Theory: A MathematicalApproach, Mc Graw-Hill. International Stududen Edition. Singapura.

Intriligator, M.D. 1980. Econometric models, Techniques and Applications. Prentice-HallInc New Delhi.

Junaidi. 1996. Teori Ekonomi Mikro. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kindleberger, C.P. dan D.H. lindert. 1982. Internacional Economics. Richard D. Irwin Inc,Massachusetts.

Koustsoyiannis, 1997. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition ofEconometrics Methods, Second Edition. The Machmillan press Ltd, London.

Krugman, P.R. dan M. Obstfeld.2000, Internacional Economics: Theory and Policy. FifthEdition. Addison-Wesley Publishing Company, New York.

Labys, W.C. 1973. Dinamic Comodity Models: Specipicatio, Estimation and Simulation.Mass D.C Heath and Company, Lexington.1975. Qualitative Model of CommodityMarkets. Balinger Publishing Company, Cambrige.

Lindert, P.H. Ekonomi Internasional. Edisi Kesembilan. Bumi Aksara, Jakarta.

Lolowang, T.F.1999. Analisis Penawaran dan Permintaan kakao Indonesia di pasardomestic dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program pascasarjana, InstitutPertanian Bogor, Bogor.

Indonesia Policy Briefs,. 2010,. Memulihkan Daya Saing,. World Bank Report

Irawadi, Putra, Edy,. 2009. Sinergi Penguatan Sektor Riil. Bisnis Indonesia

Kamar Dagang dan Industri,. 2010,. Bukti-Bukti Pemikiran Perdagangan Indonesia 2019-2014, Kadin.

Kuncoro Mudrajad,. 2010,. Impian di Balik Asean-Tiongkok,. Investorindonesia,com

Lestari, Diena,. 2010. Produk Hortikultura di Bawah Bayangan Keterpurukan. BisnisIndonesia

Lijun, Sheng,. 2003. China –Asean Free Trade Area: Origins, Development, and StrategicMotivation,. ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues SeriesNo. 1

Medalla, M.,Erlinda and Balboa, D,. Jenny,. 2007. The Impact of Asean-China FTA EarlyHarvest Program: The Case of Philipines with Focus on Short-Run Effects on theAlgiculture Sector. Research Paper Series No. 01. Philipine Institute ForDevelopment Studies

Oktaviani, Rina,. Widyastutik,. Amaliah, Syarifah,. 2010. Dampak Asean –China TerhadapEkonomi Makro dan Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor

Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld.1991. Econometrics Model and Economic Forecasts.Third Edition,. McGraw-Hill Inc, SIngapura.

Ragimun. 2010. Sebelum dan Seudah ACFTA. Sinar Harapan

41

Saefuddin, A.M. 2000. Pasar ekspor Pertanian Indonesia Era Liberalisasi Perdagangan.Makalah disampaikan pada Pengukuhan Guru besar tetap Ilmu Pemasaran Pertanian,Fakultas Pertanian Djuanda, Bogor.

Sudaryanto, 2000. Arah kebijakan distribusi perdagangan beras dalam mendukungketahanan Pangan: Aspek perdagangan luar negri. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sudaryanto, T.dan P.U. hadi.2000. Dampak liberaliasasi Perdagangan pada komoditasAgribisnis Indonesia. Makalah disampaikan pada Agro Expo, Jakarta.

Theil, H. 1965. Economic Forecast and Policy. Second Edition. North-Hollad PublishingCompany, Amsterdam.World Bank. 1993. Price Prospects for Major PrimaryCommodities. 1990-2005 Vol JJ, The World bank, Washington D.C.

Wattanapruttipaisan, Thitapha,. 2003. Asean-China Free Trade Area: Advantages,Challenges, and Implications for the Newer Asean Member Countries. AseanEconomics Bulletin vol 20.

Widodo, Tri,. 2009. Dynamic Comparative Advantages in the ASEAN+3, Journal ofEconomic Intergration

Wijaya, A. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia:Suatu Pendekatan Makroekonometrika. Disertasi doktor. Program Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zuhud, A,. M,. Ervizal,. 2010. Tujuh Belas Jurus untuk Menanggulangi Krisis danPerdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) dan Dunia Global (sebuahpengembangan dari pemikiran Dr. Hidayat Nataatmadja), Institut Pertanian Bogor.

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56349

http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/719-sektor-ukm-dapat-fasilitas-kredit-ekspor.html

www.CSIS.or.id

http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=1035

http://budikolonjono.blogspot.com/2010/09/sedikit-kata-tentang-acfta.html

www.spi.or.id

www.bsn.go.id

www.deptan.go.id

www.bps.go.id

www.depdag.go.id

Lampiran-Lampiran

The SAS System

42

The SYSLIN ProcedureTwo-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA

Dependent Variable TP

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 5 2.351E14 4.703E13 4.69 0.0079

Error 16 1.604E14 1.002E13

Corrected Total 21 4.051E14

Root MSE 3165735.53 R-Square 0.59456

Dependent Mean 19868997.3 Adj R-Sq 0.46786

Coeff Var 15.93304

Parameter Estimates

Variable DF ParameterEstimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 16885031 2536441 6.66 <.0001

X 1 25.4817 94.91370 -0.27 0.7918

M 1 -94.2654 105.5350 -0.89 0.3850

GDP 1 69.40472 79.59843 0.87 0.3961

ER 1 321.3292 475.0814 0.68 0.5085

T 1 26.22723 8.595745 3.05 0.0076

T signifikan pada taraf nyata 5%

The SAS System

The SYSLIN ProcedureTwo-Stage Least Squares Estimation

43

Model PERSAMAA

Dependent Variable GDP

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 4 1.4936E9 3.7339E8 2.30 0.1011

Error 17 2.763E9 1.6253E8

Corrected Total 21 4.2566E9

Root MSE 12748.7498 R-Square 0.35089

Dependent Mean 18694.9786 Adj R-Sq 0.19815

Coeff Var 68.19344

Parameter Estimates

Variable DF ParameterEstimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 33031.71 5563.455 5.94 <.0001

INF 1 -335.979 261.8323 -1.28 0.2166

CG 1 0.011746 0.055752 0.21 0.8356

CT 1 -0.00282 0.004176 -0.67 0.5089

NP 1 -0.52519 0.290170 -1.81 0.0880

NP signifikan pada taraf nyata 10 persen

The SAS SystemThe SYSLIN Procedure

44

Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA

Dependent Variable X

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 1.368E10 6.8409E9 26.01 <.0001

Error 19 4.9966E9 2.6298E8

Corrected Total 21 1.868E10

Root MSE 16216.5609 R-Square 0.73249

Dependent Mean 56841.3409 Adj R-Sq 0.70434

Coeff Var 28.52952

Parameter Estimates

Variable DF ParameterEstimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 26155.74 6113.642 4.28 0.0004

Xsb*ER 1 0.000048 0.000030 1.57 0.1330

T 1 0.097921 0.029062 3.37 0.0032

T signifikan pada taraf nyata 5 persen dan Xsb*ER pada taraf nyata 15 persen

45

The SAS System

The SYSLIN ProcedureTwo-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA

Dependent Variable M

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 8.0929E9 4.0465E9 16.37 <.0001

Error 19 4.696E9 2.4716E8

Corrected Total 21 1.279E10

Root MSE 15721.3101 R-Square 0.63281

Dependent Mean 40028.3091 Adj R-Sq 0.59415

Coeff Var 39.27548

Parameter Estimates

Variable DF ParameterEstimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 20204.57 5145.121 3.93 0.0009

Msb*ER 1 1.495E-6 0.000048 0.03 0.9753

T 1 0.102744 0.059818 1.72 0.1021

T singifikan pada taraf nyata 10 persen dan Msb*Er pada taraf nyata 10 persen

46

The SAS System

The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA Dependent Variable TP

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 5 2.351E14 4.703E13 4.69 0.0079 Error 16 1.604E14 1.002E13 Corrected Total 21 4.051E14

Root MSE 3165735.53 R-Square 0.59456 Dependent Mean 19868997.3 Adj R-Sq 0.46786 Coeff Var 15.93304

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 16885031 2536441 6.66 <.0001 X 1 25.4817 94.91370 -0.27 0.7918 M 1 -94.2654 105.5350 -0.89 0.3850 GDP 1 69.40472 79.59843 0.87 0.3961 ER 1 321.3292 475.0814 0.68 0.5085 T 1 26.22723 8.595745 3.05 0.0076

The SAS System

The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA Dependent Variable GDP

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 4 1.4936E9 3.7339E8 2.30 0.1011 Error 17 2.763E9 1.6253E8 Corrected Total 21 4.2566E9

Root MSE 12748.7498 R-Square 0.35089 Dependent Mean 18694.9786 Adj R-Sq 0.19815 Coeff Var 68.19344

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 33031.71 5563.455 5.94 <.0001 INF 1 -335.979 261.8323 -1.28 0.2166 CG 1 0.011746 0.055752 0.21 0.8356 CT 1 -0.00282 0.004176 -0.67 0.5089 NP 1 -0.52519 0.290170 -1.81 0.0880

47

The SAS System

The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA Dependent Variable X

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 2 1.368E10 6.8409E9 26.01 <.0001 Error 19 4.9966E9 2.6298E8 Corrected Total 21 1.868E10

Root MSE 16216.5609 R-Square 0.73249 Dependent Mean 56841.3409 Adj R-Sq 0.70434 Coeff Var 28.52952

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 26155.74 6113.642 4.28 0.0004 A 1 0.000048 0.000030 1.57 0.1330 T 1 0.097921 0.029062 3.37 0.0032

The SAS System

The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA Dependent Variable M

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 2 8.0929E9 4.0465E9 16.37 <.0001 Error 19 4.696E9 2.4716E8 Corrected Total 21 1.279E10

Root MSE 15721.3101 R-Square 0.63281 Dependent Mean 40028.3091 Adj R-Sq 0.59415 Coeff Var 39.27548

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 20204.57 5145.121 3.93 0.0009 B 1 1.495E-6 0.000048 0.03 0.9753 T 1 0.102744 0.059818 1.72 0.1021

48

1. Scenario 1 = INF naik 15%

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4 Endogenous 4 Parameters 17 Equations 4 Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979) c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744) a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723) Equations TP GDP X M

Scenario 1 = INF naik 15%

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

Solution Summary

Variables Solved 4 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.15E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 22 Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22 Solved 22

Variables Solved For GDP TP X M

1. Skenario 1 : Inflasi Naik 15 persen

Scenario 1 = INF naik 15%

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18127.9 8730.4 TP 22 22 19868997 4392182 19827732 3041877 X 22 22 56841.3 29823.6 56910.7 25568.0 M 22 22 40028.3 24677.9 40029.8 19632.3

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -567.1 19.3885 8662.6 58.6119 11234.5 70.5194 0.3477 TP 22 -41265.5 1.6562 2042319 9.2775 3026463 13.0908 0.5026 X 22 69.3389 6.5749 10290.8 20.2686 15070.6 30.3378 0.7325 M 22 1.4725 8.2393 9881.7 26.1707 14610.1 34.3489 0.6328

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2621E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.23 0.77 0.4821 0.2592 TP 22 9.159E12 0.71 0.00 0.00 1.00 0.19 0.81 0.1489 0.0750

49

X 22 2.2712E8 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.2359 0.1196 M 22 2.1346E8 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.3127 0.1603

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.4803 0.48 0.11 0.76 0.12 0.45 0.44 2.3972 0.6329 TP 21 0.0194 0.53 0.00 0.27 0.72 0.00 0.99 0.9608 0.4652 X 21 0.0407 0.43 0.00 0.35 0.65 0.01 0.99 1.0367 0.4971 M 21 0.0805 0.52 0.00 0.29 0.71 0.00 0.99 0.9494 0.4590

2. Skenario 2 , Depresiasi IDR Terhadap USD 18 persen Scenario 2 = ER naik 18%

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4 Endogenous 4 Parameters 17 Equations 4 Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979) c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744) a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723) Equations TP GDP X M

Scenario 2 = ER naik 18%

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

Solution Summary

Variables Solved 4 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.16E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 22 Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22 Solved 22

Variables Solved For GDP TP X M

Scenario 2 = ER naik 18%

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18691.9 8435.4 TP 22 22 19868997 4392182 20217589 3207227 X 22 22 56841.3 29823.6 56910.7 25568.0 M 22 22 40028.3 24677.9 40029.8 19632.3

50

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -3.1231 26.2326 8635.1 57.7438 11206.8 69.4819 0.3509 TP 22 348591 3.5905 2109118 9.9205 3056275 13.9110 0.4927 X 22 69.3389 6.5749 10290.8 20.2686 15070.6 30.3378 0.7325 M 22 1.4725 8.2393 9881.7 26.1707 14610.1 34.3489 0.6328

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2559E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.26 0.74 0.4809 0.2563 TP 22 9.341E12 0.71 0.01 0.00 0.99 0.14 0.84 0.1504 0.0749 X 22 2.2712E8 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.2359 0.1196 M 22 2.1346E8 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.3127 0.1603

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.5467 0.46 0.14 0.75 0.11 0.44 0.41 2.5575 0.6483 TP 21 0.0211 0.53 0.04 0.29 0.67 0.01 0.95 1.0010 0.4653 X 21 0.0407 0.43 0.00 0.35 0.65 0.01 0.99 1.0367 0.4971

M 21 0.0805 0.52 0.00 0.29 0.71 0.00

3. Skenario 3, Ekspor turun 20 persen Scenario 3 = X turun 20%

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4 Endogenous 4 Parameters 17 Equations 4 Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979) c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744) a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723) Equations TP GDP X M

Scenario 3 = X turun 20%

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

Solution Summary

Variables Solved 4 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.15E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 22 Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22 Solved 22

51

Variables Solved For GDP TP X M

Scenario 3 = X turun 20%

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18691.9 8435.4 TP 22 22 19868997 4392182 19866875 3035256 X 22 22 45473.1 23858.9 56910.7 25568.0 M 22 22 40028.3 24677.9 40029.8 19632.3

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -3.1231 26.2326 8635.1 57.7438 11206.8 69.4819 0.3509 TP 22 -2122.1 1.8709 2057455 9.3802 3034708 13.1808 0.4999 X 22 11437.6 33.2186 11831.2 34.1931 17363.0 49.7396 0.4452 M 22 1.4725 8.2393 9881.7 26.1707 14610.1 34.3489 0.6328

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2559E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.26 0.74 0.4809 0.2563 TP 22 9.209E12 0.71 0.00 0.00 1.00 0.19 0.81 0.1493 0.0751 X 22 3.0147E8 0.86 0.43 0.08 0.48 0.01 0.56 0.3398 0.1533 M 22 2.1346E8 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.3127 0.1603

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.5467 0.46 0.14 0.75 0.11 0.44 0.41 2.5575 0.6483 TP 21 0.0197 0.53 0.01 0.28 0.72 0.00 0.99 0.9663 0.4663 X 21 0.1301 0.43 0.58 0.22 0.20 0.03 0.39 1.8539 0.5825

M 21 0.0805 0.52 0.00 0.29 0.71 0

4. Skenario 4 Tidak ada tariff perdagangan (T=0) T=0

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4 Endogenous 4 Parameters 17 Equations 4 Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979) c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744) a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723) Equations TP GDP X M

T=0

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

52

Solution Summary

Variables Solved 4 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 3.4E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 22 Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22 Solved 22

Variables Solved For GDP TP X M

T=0

The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18691.9 8435.4 TP 22 22 19868997 4392182 17210530 547884 X 22 22 56841.3 29823.6 38393.2 8616.6 M 22 22 40028.3 24677.9 20600.2 353.1

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -3.1231 26.2326 8635.1 57.7438 11206.8 69.4819 0.3509 TP 22 -2658468 -10.3054 2843699 11.4008 4798202 17.7147 -.2503 X 22 -18448.1 -21.3057 20017.7 28.7658 29815.6 33.6585 -.0471 M 22 -19428.1 -34.8545 20417.1 41.8126 30761.4 45.9168 -.6278

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2559E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.26 0.74 0.4809 0.2563 TP 22 2.302E13 0.60 0.31 0.18 0.51 0.61 0.08 0.2360 0.1278 X 22 8.8897E8 0.76 0.38 0.21 0.41 0.48 0.13 0.4668 0.2890 M 22 9.4626E8 0.76 0.40 0.34 0.26 0.60 0.00 0.6583 0.4569

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.5467 0.46 0.14 0.75 0.11 0.44 0.41 2.5575 0.6483 TP 21 0.0451 0.22 0.34 0.25 0.41 0.00 0.66 1.4631 0.6914 X 21 0.1432 0.37 0.52 0.28 0.20 0.05 0.43 1.9447 0.7152 M 21 0.3215 0.28 0.61 0.16 0.23 0

53