Pemanfaatan Modal Sosial Sebagai Strategi Masyarakat dalam Mengatasi Dampak dan Upaya Menurunkan...

19
Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 1 Pemanfaatan Modal Sosial Sebagai Strategi Masyarakat dalam Mengatasi Dampak dan Upaya Menurunkan Tingkat Risiko Bencana: Studi Kasus: Nagari Batu Kalang Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat Oleh: Lany Verayanti Program Magister Sosiologi Pascasarjana Universitas Andalas Padang RINGKASAN Pasca kejadian gempa bumi 30 September 2009, banyak lembaga bantuan kemanusiaan yang datang ke wilayah terdampak termasuk di antaranya Nagari Batu Kalang, Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Di samping menyalurkan bantuan kemanusiaan dalam bentuk logistik dan perlengkapan darurat lainnya secara langsung, banyak juga di antara Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) ini berupaya melakukan program atau proyek Pengurangan Risiko Bencana dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Namun pada praktiknya, tidak semua lembaga ini secara murni melakukan penilaian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan dengan penggunakan prinsip partisipatif seperti pendekatan berbasis komunitas yang ideal. Tidak hanya itu, seringkali bantuan yang diberikan justru menjadi salah satu faktor yang menurunkan rasa solidaritas dan modal sosial yang selama masa-masa darurat sebelum bantuan dari pihak luar datang terasa semakin kuat di antara warga masyarakat yang menjadi korban. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk dan cara-cara modal sosial digunakan oleh warga masyarakat, peran bantuan dari pihak luar terkait dengan modal sosial dan mendeskripsikan hubungan antara cara masyarakat mengatasi dampak bencana dengan struktur sosial masyarakat wilayah penelitian. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan konsep modal sosial Putnam dan teori masyarakat aktif Etzioni yang dipakai sebagai sentral analisis yang akan dirujuk pada pembahasan beberapa kasus yang ditemui pasca kejadian bencana gempa bumi 30 September 2009 yang menimpa Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma alternatif (paradigma teori kritis) dan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial yang dijabarkan oleh Putnam mengacu pada fitur organisasi sosial seperti jaringan, norma-norma, dan kepercayaan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk saling menguntungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial tidak saja berdampak positif dalam pengertian memperkuat diri (self reinforcing) namun juga dapat berdampak negatif jika elemen jaringan, norma dan kepercayaan yang menjadi prasyarat agar dapat saling memperkuat diri tidak terpenuhi. Berbagai aksi kolektif yang dilakukan warga dalam mengatasi dampak bencana gempa bumi di mana mereka menjadi korban terbukti dapat menjadi kekuatan bersama dan pembangkit dari keterpurukan. Aksi kolektif yang dipandu oleh pemimpin dengan pengetahuan yang dilandasi dengan kesadaran akan kondisi lingkunganya dan ditunjang oleh kemampuan dalam membentuk konsensus untuk mencapai kesepakatan- kesepakatan di antara anggota kelompok menjadi faktor penting bagi munculnya masyarakat aktif. Selain faktor kepemimpinan, faktor kesadaran dan pengetahuan akan diri dan lingkungannya, peran individu dalam institusi sosial seperti kesehatan dan agama juga berperan dalam mendorong warga korban bencana menjadi masyarakat aktif yang dapat menentukan sendiri nasib mereka dan mengubah hukum sosial jika diperlukan.

Transcript of Pemanfaatan Modal Sosial Sebagai Strategi Masyarakat dalam Mengatasi Dampak dan Upaya Menurunkan...

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 1

Pemanfaatan Modal Sosial Sebagai Strategi Masyarakat dalam

Mengatasi Dampak dan Upaya Menurunkan Tingkat Risiko Bencana:

Studi Kasus: Nagari Batu Kalang Kecamatan Padang Sago

Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat

Oleh: Lany Verayanti

Program Magister Sosiologi

Pascasarjana Universitas Andalas Padang

RINGKASAN

Pasca kejadian gempa bumi 30 September 2009, banyak lembaga bantuan

kemanusiaan yang datang ke wilayah terdampak termasuk di antaranya Nagari Batu

Kalang, Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat.

Di samping menyalurkan bantuan kemanusiaan dalam bentuk logistik dan perlengkapan

darurat lainnya secara langsung, banyak juga di antara Organisasi Non Pemerintah

(ORNOP) ini berupaya melakukan program atau proyek Pengurangan Risiko Bencana

dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Namun pada praktiknya, tidak semua

lembaga ini secara murni melakukan penilaian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan

kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan dengan penggunakan prinsip partisipatif

seperti pendekatan berbasis komunitas yang ideal. Tidak hanya itu, seringkali bantuan

yang diberikan justru menjadi salah satu faktor yang menurunkan rasa solidaritas dan

modal sosial yang selama masa-masa darurat sebelum bantuan dari pihak luar datang terasa

semakin kuat di antara warga masyarakat yang menjadi korban.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk dan cara-cara modal

sosial digunakan oleh warga masyarakat, peran bantuan dari pihak luar terkait dengan

modal sosial dan mendeskripsikan hubungan antara cara masyarakat mengatasi dampak

bencana dengan struktur sosial masyarakat wilayah penelitian. Dalam penelitian ini

digunakan metode kualitatif dengan konsep modal sosial Putnam dan teori masyarakat

aktif Etzioni yang dipakai sebagai sentral analisis yang akan dirujuk pada pembahasan

beberapa kasus yang ditemui pasca kejadian bencana gempa bumi 30 September 2009

yang menimpa Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

paradigma alternatif (paradigma teori kritis) dan pendekatan studi kasus.

Dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial yang dijabarkan oleh Putnam

mengacu pada fitur organisasi sosial seperti jaringan, norma-norma, dan kepercayaan, yang

memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk saling menguntungkan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa modal sosial tidak saja berdampak positif dalam pengertian

memperkuat diri (self reinforcing) namun juga dapat berdampak negatif jika elemen

jaringan, norma dan kepercayaan yang menjadi prasyarat agar dapat saling memperkuat

diri tidak terpenuhi. Berbagai aksi kolektif yang dilakukan warga dalam mengatasi dampak

bencana gempa bumi di mana mereka menjadi korban terbukti dapat menjadi kekuatan

bersama dan pembangkit dari keterpurukan. Aksi kolektif yang dipandu oleh pemimpin

dengan pengetahuan yang dilandasi dengan kesadaran akan kondisi lingkunganya dan ditunjang oleh kemampuan dalam membentuk konsensus untuk mencapai kesepakatan-

kesepakatan di antara anggota kelompok menjadi faktor penting bagi munculnya

masyarakat aktif. Selain faktor kepemimpinan, faktor kesadaran dan pengetahuan akan diri

dan lingkungannya, peran individu dalam institusi sosial seperti kesehatan dan agama juga

berperan dalam mendorong warga korban bencana menjadi masyarakat aktif yang dapat

menentukan sendiri nasib mereka dan mengubah hukum sosial jika diperlukan.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 2

Namun begitu ketika modal sosial warga yang berfungsi untuk saling memperkuat diri

bersentuhan dengan kepentingan lain atau pihak luar (eksternal), ternyata justru berakibat

pada melemahnya modal sosial.

Kata Kunci: Gempa bumi, Modal Sosial, Jaringan, Norma, Kepercayaan.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 3

Penggunaan Jaringan, Norma dan Rasa Saling Percaya (Trust) dalam Mengatasi

Dampak Bencana

Seburuk apapun, dampak bencana harusnya bisa diatasi oleh warga karena

sebetulnya korban tidaklah pasif, hanya duduk meratapi nasib dan menunggu bantuan

datang untuk menyelamatkan mereka. Mereka mampu mencari jalan keluar dari segala

kesulitan baik perseorangan maupun kolektif dalam menanggulangi kebutuhan-kebutuhan

mereka melalui berbagai macam cara. Begitu pula dalam keadaan setelah bencana gempa

bumi 30 September 2009 di Kabupaten Padang Pariaman, di mana jumlah korban baik

jiwa, harta maupun psikologis tidaklah sedikit.

Seperti dikatakan Putnam bahwa ide yang menjadi inti teori modal sosial adalah

jaringan sosial (Putnam, 2002: 6). Stok modal sosial ini mengarah pada memperkuat diri

(self reinforcing) dan bersifat kumulatif (Putnam, 1993: 4). Modal sosial mengikat,

menyatukan orang-orang yang memiliki kesamaan dalam hal-hal penting untuk

menghadapi masalah dan mencari jalan keluar bersama salah satunya adalah kesamaan

wilayah tempat tinggal.

Warga Batu Kalang hidup berkelompok baik dalam satu kesatuan genealogis

tertentu seperti suku maupun dalam satu kelompok kecil yang terdiri dari dua atau lebih

suku atau beberapa buah rumah yang berdekatan dan saling terhubung dalam ikatan sosial

budaya dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini menampakkan perannya yang besar

dalam mengatasi dampak bencana dengan saling membantu untuk memperkecil tingkat

risiko bencana yang lebih besar yang mungkin akan didapat jika persoalan di depan mata

tidak dihadapi atau ditanggulangi bersama. Seperti yang akan disajikan berikut ini, warga

menggunakan jaringan sosial, norma serta mengandalkan rasa percaya mereka terhadap

orang-orang tertentu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sebagai dampak dari

bencana.

Sepanjang sore hingga malam hari setelah gempa besar itu, masih terjadi beberapa

kali gempa susulan dengan kekuatan dan intensitas guncangan yang makin lama makin

menurun. Namun begitu, ketakutan dan kepanikan mereka hadapi bersama dengan

berkumpul dalam suatu tempat tertentu dan berusaha saling melindungi dan saling

menenangkan. Mereka berkumpul di rumah tetangga yang masih bisa ditempati, di dalam

tenda-tenda darurat yang mereka buat dari terpal plastik yang biasanya digunakan untuk

menjadi alas atau penutup komoditas pertanian yang dijemur setelah dipanen atau di laga-

laga, surau atau rumah sanak keluarga yang masih layak ditempati. Berapapun jumlah atau

apapun yang dimasak akan dinikmati bersama-sama.

Sejak hari ke 2 pasca kejadian gempa bumi warga saling membantu membangun

hunian sementara di depan atau samping rumah warga. Kegiatan ini dilakukan oleh

sekelompok warga yang tinggal berdekatan atau mengelompok dengan sistem julo-julo

karajo atau julo-julo tanago. Sistem julo-julo ini hampir sama dengan arisan yang

pelaksanaannya bergiliran dari satu rumah anggota ke rumah lainnya di waktu yang

berlainan, namun pada julo-julo ini, yang diterima pemilik rumah bukanlah uang akan

tetapi tenaga dari anggota lainnya. Satu hunian sementara untuk satu keluarga biasanya

bisa mereka selesaikan bersama-sama dalam waktu satu hari. Bangunan ini pada umumnya

didirikan berbentuk bangunan kamar dari seng atau triplek dari sisa bangunan yang masih

bisa dipakai beratapkan terpal plastik atau hanya berupa tenda-tenda dari terpal plastik jika

tidak ada sisa bahan bangunan yang bisa digunakan lagi.

Selama tiga hari pertama warga bertahan dengan memanfaatkan bahan-bahan

makanan sendiri. Mereka menggunakan cadangan beras di bawah tumpukan puing-puing

rumah-rumah mereka yang hancur atau rusak berat, dari Hueller (Rice Milling) atau yang

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 4

lebih akrab dengan sebutan heler. Sementara untuk lauk pauk mereka hanya

mengkonsumsi sayur yang ada di sekitar rumah, mie instant atau telur dari beberapa

warung yang tersisa atau masakan hari raya yang masih bisa dikonsumsi.

Hal lain yang menggambarkan secara nyata bekerjanya norma sosial yang menjadi

dasar jaringan sosial dan turut memperkuat modal sosial di Nagari Batu Kalang pasca

gempa bumi 30 September 2009 adalah perbuatan saling tolong menolong, bahu membahu

keluar dari kesulitan di antara para korban bencana itu sendiri. Meskipun mereka semua

adalah korban bencana, menolong korban yang tertimpa reruntuhan meskipun rumah

mereka juga roboh, adalah sebuah keharusan. Menyelenggarakan mayat meskipun mereka

juga dalam keadaaan duka yang mendalam karena menjadi korban adalah kewajiban

sesama muslim dan urang kampuang (orang kampung); mengajak keluarga lain yang tidak

memiliki persediaan untuk menikmati bersama hasil olahan makanan keluarga yang masih

menyimpan persediaan beras, lauk-pauk yang cukup; menyumbangkan beras kepada sanak

keluarga dan orang kampung; memberi tumpangan kepada sanak keluarga dan/atau

tetangganya yang rumahnya tidak lagi bisa ditempati oleh keluarga yang rumahnya masih

bisa ditempati, dan lain sebagainya.

Kuatnya jaringan sosial di antara warga diperkuat oleh norma-norma yang ada dan

hidup di dalam adat dan budaya warga masyarakat setempat. Semua hal ini sesuai dengan

adat hidup orang Minangkabau yakni:

Adat hiduik tolong-manolong : Adat hidup tolong-menolong

Adat mati janguak-manjanguak : Adat mati saling melayat

Adat lai bari-mambari : Adat kaya beri-memberi

Adat tidak baselang tenggang : Adat miskin saling membantu

Adat hiduik tolong-manolong mengisyaratkan bahwa orang Minang tidak boleh

menganut paham individualistis yang hanya memikirkan diri sendiri, atau hanya mengurus

kepentingan sindiri sertapeduli pada lingkungan. Yang lemah dan kesulitan harus dibantu,

tetangga harus diperhatikan. Hidup dan kehidupan kekerabatan dan kekeluargaan lebih

diutamakan dibandingkan dengan kedirian. Adat mati janguak-manjanguak menunjukkan

bahwa kesedihan tetangga merupakan kesedihan kita juga. Sebagai tetangga, kenalan,

karib kerabat, apalagi dunsanak, adalah kewajiban kita untuk meringankan beban batin

keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan adat lai bari-mambari, Adat tidak baselang

tenggang bermakna mereka yang mendapat rezeki cukup berkewajiban untuk memberi

bantuan kepada yang membutuhkan. Begitulah pula mereka yang dalam kesulitan ekonomi

wajar sekali untuk mencari bantuan (M.S, 2011: 82-83).

Struktur Sosial Sebagai Tambatan Modal Sosial Modal sosial tertambat pada struktur sosial. Modal sosial terdiri dari beberapa

aspek struktur sosial dan mereka memfasilitasi tindakan tertentu dari aktor - baik individu

maupun kelompok dalam struktur. Karena itu, struktur sosial turut memfasilitasi

terbentuknya modal sosial. Sebaliknya, struktur sosial itu tidak dengan sendirinya menjadi

tambatan modal sosial kalau tidak ada individu atau kelompok yang memanfaatkan atau

memfungsikan struktur sosial itu untuk keperluan individu atau kelompok.

Struktur sosial di sini bisa berada pada tataran mikro seperti status dan peran

beserta nilai dan norma yang melandasi hubungan di antara aktor; pada tataran mezo dalam

institusi sosial maupun makro dalam stratifikasi sosial (Lawang, 2005). Dari kasus-kasus

yang dibahas dalam penelitian ini, nampak bahwa keluarga (keluarga inti maupun keluarga

luas) dan tetangga, institusi sosial maupun pemimpin (formal dan informal) memainkan

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 5

peranan yang sangat penting dalam mengatasi dampak bencana. Hubungan di anatar para

aktor yang terdapat pada ketiga tataran struktur sosial.

Dalam kajian merantau, Naim (2013: 65) menggambarkan bahwa wilayah budaya

minangkabau berpusat di Luhak nan Tigo yang terdiri dari Luhak Tanah Datar, Agam dan

50 Kota. Dari ketiga luhak ini kemudian berekspansi ke dataran rendah pantai barat (rantau

pesisir) maupun ke timur (rantau timur). Selain luhak, ketiga wilayah asal minangkabau ini

juga dikenal sengan sebutan darek. Wilayah Kabupaten Padang Pariaman adalah salah

satu wilayah rantau. Wilayah Pariaman yang terletak di rantau pesisir yang di samping

berfungsi sebagai pusat perdagangan, rantau pesisir juga berfungsi sebagai pusat-pusat

kegiatan dakwah Islam (Naim, 2013: 76). Berbeda dengan masyarakat darek yang

homogen, masyarakat Padang Pariaman adalah masyarakat heterogen. Karena persentuhan

masyarakat pantai secara terus menerus dengan para pendatang asing menyebabkan

mereka memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat darek. Mereka lebih bersifat

inklusif terhadap perbedaan yang datang silih berganti (Suryadi, dalam Natsir 2011: 54).

Beberapa bentuk dari sistem matrilinial yang berlaku di darek juga tidak dipatuhi di rantau

ini seperti pemberian gelar Sidi, Bagindo atau Sutan yang merupakan gelar turunan dari

Bapak, tradisi „jemputan‟. topografi yang tidak sesubur di daratan yang membuat

masyarakatnya banyak menjadi pedagang yang cendrung materialistik membentuk watak

penduduknya (Ka‟bati, 2009).

Makna dari kata sosial dalam modal sosial haruslah bersifat positif. Dia harus

mampu mejadi alat perekat di antara warga masyarakat atau anggota sebuah kelompok

untuk dapat menghasilkan solusi yang baik dari pemecahan masalah sosial yang dihadapi.

Karena itu, peran dan status seseorang beserta nilai dan norma yang terkandung di dalam

dalam hubungan-hubungan sosial di antara individu dalam masyarakat atau dengan kata

lain hubungan-hubungan yang terjadi di dalam memenuhi status dan peran sangatlah

penting dilihat dalam proses membangun kerekatan ini. Status seseorang sebagai orangtua,

suami, istri, anak, pastilah memiliki peran tertentu dalam sebuah rumah tangga yang diikat

oleh nilai dan norma dalam masyarakat, begitu pula halnya dengan status sebagai tetangga

atau teman. Dalam mempertahankan sebuah hubungan, tiap individu senantiasa berusaha

melakukan hal-hal yang baik, yang dapat menguntungkan dirinya dan orang lain sesuai

dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Hubungan ini terus dipertahankan agar suatu

saat nanti ketika dia berada dalam sebuah kesulitan, orang lain yang diharapkannya dapat

membantu keluar dari kesulitan memang betul-betul dapat berperan sesuai dengan

harapannya itu.

Di dalam satu kelompok rumah warga di Minangkabau yang biasa disebut sebagai

kampuang ketek biasanya terdiri dari orang-orang yang memiliki ikatan kekerabatan atau

hubungan perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari warga saling berinteraksi dan

berusaha membangun hubungan baik yang saling menguntungkan di antara mereka.

Kejadian bencana gempa bumi yang telah menyebabkan kehilangan dan kerugian telah

mendorong warga untuk bekerja bahu membahu keluar dari kesulitan yang mereka hadapi.

Keluarga dalam masyarakat minangkabau dapat juga berarti keluarga inti dan keluarga

luas. Dalam penanganan korban bencana, mengatasi kesulitan bahan makanan, pakaian,

pengobatan, pembangunan hunian baik sementara maupun permanen menjadi

tanggungjawab dan dilakukan bersama antara orangtua, anak, suami, istri, cucu, nenek,

kakek, mamak, mamak rumah, mamak kapalo warih, anak pisang, bako, dan lain

sebagainya.

Apa yang dilakukan warga korban bencana untuk saling melindungi dan saling

menguatkan serta saling bantu dalam menghadapi kesulitan bersama ini tentu saja tidak

terjadi secara tiba-tiba. Hubungan atau kedekatan (jaringan sosial-pen) yang selama ini

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 6

terbangun di antara individu dalam sebuah kelompok atau komunitas tertentu membuat

mereka yakin dapat saling mengandalkan dalam memecahkan persoalan bersama. Interaksi

di antara anggota kelompok atau komunitas memungkinkan untuk saling mengenal satu

sama lain dan karena itulah rasa saling percaya di antara mereka tumbuh. Hubungan dan

rasa saling percaya ini diikat oleh norma bersama yang sangat mereka yakini bahwa setiap

kesulitan, jika dihadapi bersama tidak saja akan meringankan beban orang yang ditolong,

namun juga akan dapat menolong kita di masa depan. Terlebih lagi, mereka semua adalah

korban gempa bumi yang sama-sama menderita. Penderitaan jika dihadapi bersama akan

semakin terasa ringan.

Dalam masyarakat yang komunal seperti masyarakat Minangkabau, semua tugas

menjadi tanggung jawab bersama. Gotong royong menjadi keharusan, saling membantu

dan menunjang menjadi kewajiban. Yang berat sama dipikul dan yang ringan sama

dijinjing (Amir, M.S, 2011: 122). Ini tergambar dalam pepatah Minangkabau yang

berbunyi:

Nan barek samo dipikua : Yang berat sama dipikul

Nan ringan samo dijinjiang : Yang ringan sama dijinjing

Ka bukik samo mandaki : Ke bukit sama mendaki

Ka lurah samo manurun : Ke lurah sama menurun

Nan ado samo dimakan : Yang ada sama dimakan

Nan indak samo dicari : Yang tidak sama dicari

Di sisi lain, norma juga memegang peranan yang sangat signifikan dalam

memperkuat jaringan sosial warga. Norma berisi suatu keharusan bagi individu atau warga

masyarakat dalam berperilaku, menjadi pedoman bagi individu apa yang harus dilakukan,

bersikap dan menyesuaikan dengan aturan-aturan yang ada serta memiliki pengaruh yang

penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat Minangkabau, norma sering

disebut sebagai adat, seperti yang dinyatakan oleh Amir. M.S (2011: 189) bahwa adat

adalah aturan hidup berkelompok (bermasyarakat) yang ditaati secara turun temurun dari

masa ke masa.

Pepatah Nan buruak dibuang jo etongan, nan elok dipakai jo mufakat (Yang buruk

dibuang dengan perhitungan, yang baik dipakai dengan mufakat) memperlihatkan kepada

kita bahwa adat Minang mempunyai daya lentur yang luar biasa (Amir, M.S, 2011: 73) dan

ini terlihat pada kasus Baharuddin. Kelenturan ini telah memperkuat rasa saling percaya

semakin meningkatkan hubungan kekerabatan dan sosial serta rasa persaudaraan di antara

para korban bencana yang saling memperkuat diri (self reinforcing).

Norma yang ada dalam masyarakat dengan tingkat ikatan dan keeratan hubungan

antara satu individu dengan individu yang lain cukup kuat seperti pada wilayah penelitian

ini menjadi jaringan kontrol yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan atau mengatasi

masalah bersama. Untuk mengontrol perilaku dalam hubungan di antara warga, seseorang

haruslah memiliki pengetahuan dan komitmen untuk mencapai sebuah tujuan bersama agar

mereka dapat memutuskan tindakan apa yang tepat diambil dalam mengatasi dampak

bencana. Tanpa komitmen bersama yang diwujudkan dalam tindakan, tidak akan terjadi

apa yang disebut Etzioni sebagai masyarakat aktif. Tanpa komitmen, warga hanya akan menjadi orang-orang yang pasif dan pasrah.

Kejadian bencana telah terbukti memperkuat jaringan sosial di antara warga di tiap

kampung maupun secara keseluruhan di dalam nagari dengan ditunjang oleh norma yang

terbangun dalam masyarakat. Di antara orang-orang yang memiliki kesamaan baik nasib,

kepentingan maupun genealogis serta di antara warga yang tinggal berdekatan telah

menjadi dasar bagi munculnya rasa solidaritas dan kesetiakawanan di antara mereka. Tipe

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 7

hubungan masyarakat yang seperti ini disebut Tӧnnies sebagai hubungan darah

(relationship by blood) dan hubungan pertetanggaan (relationship by neighbourliness)

dalam konsep gemeinschaft yang dia kemukakan.

Korban yang sadar betul akan keterbatasan kemampuan diri dan keluarganya

dalam menghadapi dampak bencana mengambil keputusan untuk saling bantu dalam

keadaan yang serba sulit. Diminta atau tidak, memiliki hubungan kekerabatan atau tidak,

orang-orang yang tinggal dalam satu lingkungan teritorial tertentu bertindak meringankan

beban orang atau keluarga yang dianggap paling tinggi memiliki kesulitan.

Kesadaran akan diri dan lingkungannya ditunjang oleh pengambilan keputusan

yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang dilandasi oleh nilai dan norma serta tujuan

hidup bersama telah menjadikan warga korban bencana di Nagari Batu Kalang menjadi

masyarakat yang aktif. Mereka mengambil tindakan-tindakan berdasarkan komitmen

personal maupun kelompok agar dapat megontrol sendiri nasib diri sendiri. Adat babuhue

sentak telah menjadi dasar bagi keputusan dan tindakan yang diambil oleh keluarga

korban dan anggota sukunya yang lain sehingga penerapan norma adat tidak lagi terlalu

ketat dan dapat menanggulangi kebutuhan korban bencana.

Unit sosial seperti organisasi yang ada di dalam masyarakat ditujukan salah satunya

untuk mengatasi masalah sosial. Seperti sudah disinggung sebelumnya, bahwa bencana

juga dipandang sebagai salah satu masalah sosial yang menyebabkan terganggunya unit-

unit sosial di dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan dan fungsinya itulah, organisasi

sosial yang ada dalam masyarakat diharapkan mampu mengatasi dampak dari kejadian

bencana seperti memberikan pelayanan dan perlindungan kepada keluarga korban atau

jaminan sosial tertentu sehingga mereka dapat terus melanjutkan hidupnya.

Namun kenyataan yang nampak di berbagai kejadian bencana, unit-unit atau

organisasi sosial banyak yang tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya. Ketika unit-

unit sosial tidak lagi mampu memberikan perlindungan bagi anggota kelompok atau

warganya, maka ancaman atau bahaya sekecil apapun dapat berubah menjadi bencana.

Karena itu, berbagai upaya harus dilakukan secara bersama-sama dalam menyadari dan

memahami ancaman atau bahaya yang dihadapi sehari-hari serta menemukan cara atau

alternatif pemecahan masalah untuk menanggulanginya. Pengetahuan dan kesadaran satu

orang, satu keluarga harus terus diperluas kepada seluruh warga agar menjadi kesadaran

bersama sehingga dapat menimbulkan aksi-aksi nyata yang dapat melindungi mereka

semua dari ancaman atau bahaya.

Pengalaman seorang ketua UEMSP dapat menjadi pembelajaran penting bagi kita.

Sebagai pemimpin dengan cara berpikir berbeda dari kebanyakan orang dengan melihat

bahwa korban juga adalah orang-orang yang berdaya dan mampu segera bangkit dari

kesulitan ditunjang oleh kemampuannya persuasifnya mampu mempengaruhi keputusan

anggota kelompok. Pandangannya terhadap keberdayaan korban bencana dan situasi serta

kondisi riil telah membantunya dalam menemukan solusi untuk membantu anggota

kelompok keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dalam masa kepemimpinannya yang selalu

mengutamakan hubungan baik dan komunikasi dengan anggota yang diikat oleh

kesepakatan-kesepakatan yang dibangun bersama telah membuahkan tingkat kepercayaan

di antara mereka yang cukup tinggi dan dengan demikian telah mampu meningkatkan

modal sosial di antara anggota kelompok.

Pada kasus lainnya, meskipun tidak memiliki status sebagai pemimpin sebuah

kelompok atau organisasi tertentu, ketokohannya selama ini sangat diakui oleh warga

Nagari Batu Kalang. Dia adalah seorang perempuan yang pernah menjadi kepala desa pada

era orde baru dan merupakan tokoh yang selalu dijadikan panutan dan tempat warga

berkeluh kesah. Kelincahannya dan kemampuan membangun hubungan dengan warga

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 8

lainnya maupun dengan kelompok atau warga lain di luar nagari sangat membantunya

dalam proses interaksi sehari-hari dengan orang lain. Perannya sebagai tokoh atau

pemimpin informal kemudian nampak pada situasi darurat pasca bencana. Dengan

pengalamannya dalam mengorganisir masyarakat dan luasnya hubungan dengan pihak luar

ditunjang oleh sikap luwesnya dan pemikiran yang berorientasi pada pemecahan maslah

bersama, dia kemudian mengambil peran sebagai pengelola posko Korongnya. Tidak

hanya sekedar mengelola bantuan yang sampai di posko korong saja, dia juga mendorong

anak-anaknya untuk dapat mencari alternatif pemecahan masalah kebutuhan untuk

bertahan hidup dengan memanfaatkan posisi dan jejaring anak-anaknya dalam menggalang

bantuan dari para perantau.

Peran institusional dalam menghadapi dampak bencana turut mempertegas

kelekatan atau ketertambatan modal sosial dengan struktur sosial khususnya pada level

mezo. Kebutuhan krusial para korban baik terkait dengan kesehatan fisik maupun mental

jika tidak diintervensi oleh peran institusional seperti digambarkan di atas akan dapat

berdampak sangat buruk yang bisa saja berupa kematian atau depresi. Pengetahuan dan

keahlian yang dimiliki oleh orang-orang yang mewakili institusi ini, tanpa dibarengi

dengan komitmen individu dari petugas yang diwujudkan dalam tindakan konkrit tidak

akan menolong korban dan keluarganya untuk dapat bangkit dari keterpurukannya. Melalui

peran kedua institusi ini warga korban bencana menjadi masyarakat aktif yang dapat

menentukan sendiri nasib mereka serta lebih tenang dan bisa lebih fokus berpikir untuk

mencari alternatif pemecahan solusi dari masalah lainnya yang mereka hadapi, misalnya

masalah keterbatasan makanan, pakaian dan tempat berlindung.

Tipologi Modal Sosial dalam Menghadapi Dampak Bencana

Modal Sosial Menjembatani (Bridging) dan Modal Sosial Berwawasan ke luar (Out

Ward Looking)

Hal ini nampak mana kala cara dan orientasi berpikir seorang pemimpin kelompok

memandang bahwa semua orang dapat berperan dan memiliki hak dan kewajiban yang

sama dalam memecahkan masalah. Hal ini ditunjang oleh sikap hidup yang selalu

membantu orang yang sedang menghadapi kesulitan, terbukti dapat menyumbang pada

pemenuhan kebutuhan warga korban bencana. Seperti apa yang dikatakan Putnam bahwa:

“....sebuah komunitas yang hanya memiliki bonding social capital

saja dan tidak memiliki bridging social capital berada dalam

bahaya serius....”

Bahaya yang serius mungkin saja berupa kelaparan, penyakit dan kematian yang

merupakan dampak ikutan setelah sebuah kejadian bencana. Ini mungkin saja terjadi pada

kasus ini bila tidak ada orag-orang seperti mengambil peran dalam menjembatani

kebutuhan ini. Bantuan yang berdatangan dari rantau didistribusikannya kepada sanak

keluarga dan warga lainnya di Korong tersebut. Hasbullah (2006: 31) menyatakan:

“Orientasi kelompok dengan tipologi bridging social capital dalam

gerakannya lebih memberikan tekanan pada dimensi “fight for”

(berjuang untuk) yang mengarahkan pada pencarian jawaban

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 9

bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh

kelompok (pada situasi tertentu)..... “

Sementara, banyak kasus lainnya di mana anak-anak korban yang pulang dari rantau

masih banyak yang berpikir hanya untuk menyelamatkan keluarganya saja, tidak atau

belum berpikir untuk turut membantu warga lain di kampung halamannya terutama bagi

korban yang tidak memiliki sanak keluarga di rantau yang mampu atau berkesempatan

pulang ke kampung untuk membantu mereka.

Modal Sosial Formal dan Informal

Meskipun semua adalah korban, namun tanggungjawab sebagai peminjam untuk

mengembalikan dana pinjaman dan hak sebagai anggota untuk dapat mengakses pijaman

selalu berusaha dijamin keberlangsungannya oleh para pengurus. Mengingat kondisi pasca

bencana, pengurus dan anggota membangun kembali kesepakatan dari yang semula

pinjaman hanya diperbolehkan untuk usaha menjadi sedikit lebih longgar, untuk

mencukupi kebutuhan hidup dan membeli perlengkapan lainnya yang dibutuhkan. Dengan

berpegang pada tujuan dan kesepakatan bersama, salah satu kelompok UEMSP di Nagari

Batu Kalang ini telah terbukti mampu menjadi solusi dalam mengatasi kesulitan anggota.

Modal sosial informal seperti kelompok julo-julo, pengajian, majelis taklim, posko

mandiri (meskipun didirikan sebagai bentuk kekecewaan) telah mampu menjadi jawaban

atas kesulitan yang dihadapi para korban. Kebutuhan untuk bersama-sama melakukan

sebuah upaya keluar dari kesulitan dengan prinsip saling menguntungkan dilakukan

kelompok julo-julo dalam membangun hunian sementara maupun permanen. Sementara

pemenuhan kebutuhan secara psikologis atau dalam bentuk ketenangan batin agar dapat

segera bangkit dari keterpurukan dipenuhi oleh kelompok pengajian dan majelis taklim.

Modal Sosial Mengikat (Bonding) dan Modal Sosial Berorientasi ke Dalam (Inward

Looking) ; Limitasi Modal Sosial

Tipologi modal sosial mengikat (bonding) ini biasanya bersifat eksklusif. Dia berada

di antara, dilakukan dan digunakan oleh serta bermanfaat bagi individu anggota sebuah

kelompok, organisasi atau komunitas tertentu. Mereka biasanya adalah orang-orang

dengan kesamaan tertentu seperi suku, ras, agama, kepentingan, kesamaan wilayah tempat

tinggal (teritorial) dan lain sebagainya. Karena itu, peran, hubungan, tanggungjawab dan

perhatian lebih berorientasi ke dalam dibandingkan ke luar.

Modal sosial dengan tipe seperti ini nampak sekali pada hubungan kekerabatan dan

pertetanggaan masih sangat kuat diikat oleh norma bersama-sama bahu membahu

mengatasi kesulitan yang dihadapi. Meski semua orang adalah korban, namun norma

“yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing” sudah sangat menginternalisasi dan

mewarnai kehidupan masyarakat. Apa yang masih bisa dilakukan dalam membantu

meringankan penderitaan orang lain harus dilakukan oleh orang-orang yang tinggal dalam

komunitas tersebut.

Namun meski pada ketiga kasus tersebut modal sosial warga korban bencana nampak

meningkat, tidak begitu halnya dengan kasus pendirian posko mandiri. Semangat

solidaritas dan kedekatan hubungan serta kesamaan wilayah tempat tinggal membuat

pengurus posko korong tidak dapat mengembangkan solidaritasnya kepada anggota

kelompok warga lainnya, meskipun masih berada dalam satu korong. Jalinan kohesivitas

kultural yang tercipta belum tentu merefleksikan kekuatan modal sosial dan dalam

kelompok masyarakat seperti ini hanya ada “kami” sebagai “kita” serta kebenaran

berperilaku dan etika ada pada kelompok kami (Hasbullah, 2006: 26).

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 10

Kondisi seperti inilah yang kemudian membuat modal sosial menjadi terbatas.

Kekuatan modal sosial hanya terbatas pada satu lingkungan atau kelompok kecil saja dan

pada keadaan tertentu dapat merugikan kelompok lain. Limitasi modal sosial pada kasus

pendirian posko mandiri, julo-julo menghilang, upah buruh melambung dan tukang gempa

serta kasus manipulasi data menunjukkan kepada kita bahwa modal sosial warga korban

bencana menjadi melemah ketika bersentuhan dengan bantuan (sumberdaya) eksternal

yang direncanakan dan dikelola dengan tidak mempertimbangkan sumberdaya internal

atau energi sosial yang dimiliki warga korban bencana.

Bagaimanapun, masyarakat memiliki cara-cara sendiri yang mereka bangun untuk

menghadapi kesulitan bersama secara internal berdasarkan nilai dan norma yang ada dan

mengikat hubungan di antara mereka. Kesadaran diri akan situasi lingkungan, kemampuan

diri dan diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan yang bertujuan untuk dapat saling

merigankan beban, saling bantu serta saling mengandalkan menjadikan warga korban

bencana menjadi masyarakat aktif yang mampu menentukan sendiri nasib mereka dan

dapat mengubah hukum sosial.

Itulah mengapa penting mempertimbangkan sumberdaya internal atau energi sosial

yang telah ada dan berkembang di antara korban bencana harus menjadi pertimbangan

penting bagi tindakan-tindakan yang akan diambil oleh pihak eksternal yang akan

membantu mereka. Bukannya meringankan beban, interaksi bantuan dari pihak eksternal

dengan modal sosial warga korban bencana malah justru dapat menurunkan modal sosial

yang telah ada.

Di sisi lain, untuk dapat terus menjadi masyarakat aktif yang dapat menguasai dunia

sosial, mampu mengendalikan diri sendiri dan dapat mengubah hukum sosial, masyarakat

harus terus berupaya mengembangkan kesadaran diri terhadap kondisi lingkungan.

Kesadaran dan pengetahuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk

kebaikan diri, keluarga dan kelompok kecil di mana mereka hidup akan menjadi kunci dari

masyarakat aktif yang dapat membimbing dirinya sendiri (self guiding). Pemimpin dan

institusi yang ada dapat memainkan peranan penting dalam mendorong masyarakat untuk

bernegosiasi dalam mengambil keputusan yang menguntungkan semua pihak akan sangat

membantu untuk tetap menjadi masyarakat aktif.

Kesimpulan

Modal sosial yang digunakan terdiri dari jaringan sosial, kepercayaan dan norma.

Dalam dimensi jaringan sosial, kelompok kekerabatan dan ketetanggaan (teritorial) paling

umum digunakan. Ini menunjukkan bahwa tipe hubungan gemeinschaft yang dikemukakan

Tӧnnies menjadi dasar modal sosial warga. Jaringan dari kelompok kekerabatan di sini

tidak hanya dari kekerabatan matrilineal, melainkan juga dengan kelompok kekerabatan

dari pihak bapak (laki-laki). Jaringan sosial ini bekerja dan berkontribusi berdasarkan

norma-norma adat dan agama tentang saling membantu, bukan berdasarkan pertukaran

sosial. Rasa percaya terhadap kerabat yang dapat diandalkan untuk menjadi jembatan

penghubung yang sangat penting terhadap aktor-aktor.

Warga korba bencana di Nagari Batu Kalang ditemukan menggunakan modal sosial

menjembatani (bridging social capital) dan modal sosial berwawasan ke luar (Out Ward

Looking). Orang-orang yang tidak memiliki kesamaan satu sama lain disatukan dalam

kepentingan untuk membantu korban bencana yang difasilitasi oleh seseorang dalam

komunitas yang menyadari betul pentingnya mencari dukungan akan pemenuhan

kebutuhan pasca bencana. Kesadaran bahwa semua orang dalam komunitas memiliki hak

yang sama untuk mendapatkan bantuan ini diwujudkan melalui aksi-aksi voluntarisme.

Modal sosial berwawasan ke luar ditunjang oleh jaringan eksternal yang luas dalam

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 11

kerangka mencapai tujuan pemecahan masalah yang diahadapi bersama terbukti menjadi

faktor yang penting dalam meningkatkan modal sosial.

Di samping itu, modal sosial formal dan informal juga ditemukan dalam wilayah

penelitian. Bentuk modal sosial ini berkembang dan meningkat ketika penggunaannya

ditunjang oleh faktor kepemimpinan yang memiliki hubungan atau jaringan sosial yang

kuat dengan anggota atau warga lainnya, memiliki integritas tinggi dan terbukti dapat

dipercaya sebagai orang yang dapat diandalkan dalam mencari jalan keluar dari kesulitan

bersama. Selain itu, dia juga haruslah orang yang memiliki kemampuan negosiasi untuk

mempengaruhi tindakan orang-orang yang berada di dekatnya agar sesuai dengan apa yang

diinginkannya. Inilah yang kemudian menjadi faktor penting bagi munculnya masyarakat

aktif.

Dalam penelitian ini juga ditemukan kenyataan bahwa modal sosial mengikat

(bonding) dengan modal sosial berwawasan ke dalam (inward looking) selain berguna

dalam mempererat kohesivitas dan rasa solidaritas kelompok juga sekaligus sebagai

penghambat berkembang atau meningkatnya modal sosial warga korban bencana.

Solidaritas dan kedekatan hubungan serta kesamaan wilayah tempat tinggal membuat

orang-orang yang berada dalam satu kelompok tidak dapat mengembangkan solidaritasnya

kepada anggota kelompok lainnya.

Limitasi ini berpengaruh pada keputusan seseorang untuk bekerjasama, rasa saling

percaya saling bantu dan saling mengandalkan untuk keluar dari kesulitan yang sama-sama

dihadapi. Akibatnya dalam kasus-kasus yang diungkapkan di dalam penelitian ini, modal

sosial warga menjadi menurun ketika bersentuhan dengan bantuan eksternal yang dikelola

dengan tidak mempertimbangkan sumberdaya internal (modal sosial) warga.

Dengan demikian kemampuan masyarakat aktif dalam menentukan sendiri nasib

mereka dapat terganggu ketika bersentuhan dengan sumberdaya eksternal yang sulit

dikontrol secara internal. Ketidakmampuan mengontrol di sini disebabkan oleh situasi dan

kondisi yang dihadapi saat banyaknya bantuan datang ditengah-tengah kekurangan dan

tingginya tingkat kebutuhan yang dirasakan warga korban bencana. Di sinilah letak

pentingnya bantuan dari pihak luar untuk dapat menjembatani (bridging) kebutuhan warga

korban bencana.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa modal sosial bekerja di dalam dan

tertambat pada struktur sosial masyarakat baik dalam level mikro dan mezo. Pada level

mikro, posisi dan peran seseorang dalam sebuah komunitas yang memiliki tingkat

kohesivitas yang tinggi. Di sini hubungan yang terjalin diatur oleh norma dan dilandasi

rasa saling percaya dan telah terbukti menjadi faktor yang sangat kuat dalam mendorong

modal sosial. Institusi sosial (dalam kasus ini ditunjukkan oleh institusi kesehatan dan

agama) yang dalam hal ini diwakili oleh individu seperti bidan, garin, labai, memiliki

peranan yang sangat penting dalam menolong korban bencana. Sementara dalam tataran

makro, peran pemimpin formal dan informal dengan cara berpikir serta integritas yang

tidak dipertanyakan menjadi sangat signifikan. Ditunjang oleh kemampuan berkomunikasi

dan negosiasi yang baik dalam menggalang dukungan dalam menentukan tindakan, tipe

pemimpin seperti ini sangat dibutuhkan masyarakat agar dapat bertindak dan menentukan

arah nasib mereka sendiri ke depannya.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa poin penting yang penulis anggap penting

untuk menjadi rekomendasi bagi para pihak adalah sebagai berikut:

1. Korban bencana bukanlah orang-orang yang sama sekali tanpa daya, pasif dan

pasrah. Untuk itu diperlukan upaya-upaya penguatan institusi, sistem atau struktur

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 12

sosial yang ada dalam masyarakat baik oleh pemerintah daerah setempat dan

terutama oleh warga masyarakat itu sendiri.

2. Untuk dapat menemukan sumber kekuatan sosial warga korban bencana Pemerintah,

dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) perlu menyusun sebuah alat (tool)

penilaian pasca bencana yang di dalamnya selain mengidentifikasi dampak

kerusakan dan kerugian secara fisik, ekonomi dan psikologis, juga daftar kebutuhan

bagi kelompok khusus serta upaya-upaya yang telah dilakukan warga dalam

mengatasi dampak bencana sehingga bantuan yang diberikan kepada korban dapat

lebih optimal.

3. Mengingat besarnya tingkat bahaya atau ancaman serta risiko bencana di wilayah

Sumatera Barat, perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dalam

meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan serta kemampuan teknis

masyarakat untuk meminimalkan risiko dan mengelola dampak bencana.

Sistematisasi di sini termasuk jaminan keberlanjutannya dengan memasukkannya

dalam rencana pembangunan dan anggaran daerah.

4. Pendekatan cash for work dalam mengatasi persoalan atau dampak bencana harus

diganti dengan yang lebih memberdayakan warga korban dan meminimalkan tingkat

kecurangan dalam pelaksanaannya. Karena itu, menemukan dan mengenali dengan

tepat apa yang menjadi kebutuhan dan sumberdaya lokal termasuk sistem dan

struktur sosial yang ada menjadi sangat penting sehingga dapat ditemukan strategi

yang tepat pula. Dalam hal ini peneliti mengusulkan kalau dalam profil nagari juga

disertakan gambaran dan analisa mengenai hubungan antara bahaya atau ancaman

serta risiko bencana – dalam hal ini tidak hanya alam - yang ada di wilayah itu

dengan sumberdaya lokal yang ada dan memungkinkan untuk menjadi sarana untuk

mengurangi risiko atau mengelola dampak bencana.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adnan, Nurlela, 2001, Kamus Bahasa Indonesia-Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta,

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Adolf, Frank, The Interaction of Collective Actors, dalam McWilliams, Wilson Carey, The

Active Society Revisited, 2006, Wilson Rowman & Littlefield publishers, Inc,

USA.

Afrizal, 2008, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif; Dari Pengertian Sampai Penulisan

Laporan, Laboratorium Sosioligi FISIP Unand, Padang.

Affeltrnger et al., 2006. Living with Risk, “A Global Review of Disaster Reduction

Initiatives”. Buku terjemahan oleh MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana

Indonesia), Jakarta.

Anonim, 2009, Terminologi Pengurangan Risiko Bencana, dengan asistensi dari United

Nation for International Disaster Reduction (UNISDR), Asian Disaster Reduction

and Response Network (ADRRN), Kantor Asia dan Pasifik, Bangkok. Translasi

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 13

dan Adaptasi Terminologi Edisi Bahasa Indonesia oleh Humanitarian Forum,

Indonesia.

---------, 2007, UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah Republik

Indonesia.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Pariaman, Kecamatan Padang Sago dalam Angka,

2011.

Blackwood, Evelyn, 2000, Webs of Power: Women, Kin, and Community in a Sumatran

Village, Rowman and Littlefield Publishers, USA.

Cuttler, M.D Howard., Dalai Lama, 2004, The Art of Happiness, PT SUN, Jakarta,

diterjemahkan oleh Alex Tri Kantjono Widodo, Seni Hidup Bahagia; Buku

petunjuk untuk hidup.

Denzin, Norman K., Yvonna S Lincoln, 2009, Handbook of Qualitative Research, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Giddens, Anthony, 2009, The consequences of modernity, Kreasi Wacana, Yogyakarta,

diterjemahkan oleh Nurhadi, Konsekuensi-konsekuensi Modernitas.

Griffin, David Ray, Spiritually and Society: Post Modern Visions, terjemahan oleh

Kanisius dalam Visi-visi Post Modern, Spiritualitas dan Masyarakat; Kanisius,

Yosyakarta, 2005

Guba & Lincoln, Berbagai paradigma yang bersaing dalam penelitian kualitatif, dalam

Denzin, Norman K., Yvonna S Lincoln, Handbook of Qualitative Research,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hasbullah, Jousairi, 2006, Social Capital; Menuju Keunggulan Budaya Manusia

Indonesia, MR-United Press, Jakarta.

Hunter, James Davidson., Stephen C Ainlay, 1986, Making Sense of Modern Times; Peter

L Berger and the Vision of Interpretive Sociology, Routledge & Kegan Paul Inc,

New York.

Hannigan, John, 2006, Environmental Sociology, Second edition, Routledge, USA.

Indian Ocean Tsunami and International Cooperation, East Asian Strategic Review 2006,

Chapter 2.

ISDR, 2004, Living with Risk ” A Hundred Positive Examples of How People are Making

The World Safer” United Nation Publication, Geneva, Switzerland, 2004.

Joas, Hans, 2006, Knowledge, Power, and Consensus, dalam McWilliams, Wilson Carey,

The Active Society Revisited, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, USA.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 14

Jones, PIP, 1998, Pengantar Teori-teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-

Modernisme, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.

Kasim, Muslim, 2010, Getar Episentrum di Ranah Minang; Penanganan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi Pasca Gempabumi di Kabupaten Padang Pariaman, Indomedia,

Bogor.

Lash, Szerszynski., Wynne, 2010, Risk, Environment & Modernity Towards a New

Ecology, Sage Publication Ltd, California.

Lawang, Rober. M, 2005, Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik; Suatu Pengantar,

Fisip UI Press, Depok.

Loomis Charles P., 2002, Community and Society, David & Charles, Brunel House, Forde

Close, Newton Abbot, Devon TQ12 4PU, United Kingdom.

Mehta, Michael. D., Eric Ouellet, 1995, Environmental Sociology, Theory and Practice,

Captus Press Inc, Canada.

McWilliams, Wilson Carey, 2006, The Active Society Revisited, Wilson Rowman &

Littlefield publishers, Inc, USA.

M.S Amir, 2011, Adat Minangkabau; Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Citra Harta

Prima, Jakarta.

Muhadjir, Noeng, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta.

Naim, Mochtar, 2013, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta.

Panuh, Helmy, 2012, Peranan Kerapatan Adat Nagari dalam Proses Pendaftaran Tanah

Adat di Sumatera Barat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Rencana

Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat 2008-2012.

----------, Rencana Aksi Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa

Bumi Di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009-2011

Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, RPJMD Kab. Padang Pariaman, 2010-2015.

----------Laporan Korban Gempa Kab. Pd. Pariaman 30 September 2009.

Pemerintah Nagari Batu Kalang, R PJMD dan RKP Nagari Batu Kalang 2011-2015.

----------, Rekap Data Kerusakan Bangunan Rumah Nagari Batu Kalang 2009.

----------, Laporan Dampak Gempa Nagari Batu Kalang 30 September 2009.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 15

Pemerintah Republik Indonesia, Badan Penanggulangan Bencana Nasional, Rencana Aksi

Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014.

Poloma, Margaret M, 2010, Sosiologi Kontemporer, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah

Yasogama dari judul asli Contemporary Sociological Theory, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta.

Pranoto, 2011, Lessons Learned Pembelajaran Rehab Rekon Pasca Gempa di Sumatera

Barat 30 September 2009; Building Back Better.

Priyono, Herry, 2002, Anthony Giddens; Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer

Gramedia.

Putnam, Robert D, 2002, Democracies in Flux: The Evolution of Social Capital in

Contemporary Society, OXFORD UNIVERSITY PRESS, Inc, New York.

Reason, Peter, 2009, Tiga Pendekatan dalam Penelitian Partisipatif dalam Denzin,

Norman K & Lincoln Yvonna S, Handbook of Qualitative Research, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Redclift, Michael., Graham Woodgate, 2004, The International Handbook of

Environmental Sociology, Second Edition, MPG Books Group, UK.

Ritzer, George, 2010, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ritzer, George,. Barry Smart, 2011, Handbook Teori Sosial, Diadit Media, Jakarta.

Ritzer, George., Douglas.J Goodman, 2010, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta.

Rodríguez, Quarantelli., Dynes, 2007, Handbook of Disaster Research, Springer, USA.

Rojas, Fabio, 2006, The Sybernetic Institutionalist, dalam McWilliams, Wilson Carey, The

Active Society Revisited, Wilson Rowman & Littlefield publishers, Inc, USA.

Smith, Anthony Oliver., Susanna M Hoffman, 1999, The Angry Earth; Disaster in

Anthropological perspective, Routledge, New York.

----------, 2001, Catasthrophe and Culture; The Anthropology of Disaster, School of

Disaster Research Press, OXFORD.

Stake, Robert E, 2009, Studi Kasus dalam Denzin, Norman K & Lincoln Yvonna S,

Handbook of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Stallings, Robert A, 1997, Sociological Theories and Disaster Studies, University of

Delaware Disaster Research Center.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 16

Suparjan dan Suyatno, 2003, Pengembangan Masyarakat; dari Pembangunan sampai

Pemberdayaan, Aditya Media, Yogyakarta.

Wisner et. al., 2003, At Risk; Natural Hazards, Pepople’s vulnerability and Disasters,

Second Edition, Routledge, New York.

B. Jurnal/Karya Ilmiah/Kertas Kerja/Laporan

Abdulah, Irwan, 2008, Konstruksi dan Reproduksi Sosial Atas Bencana Alam, Yogyakarta.

Anonim, 2010, Laporan Khusus Penanganan Bencana Gempa Bumi di Prov. Sumatera

Barat Tanggal 27 Oktober.

--------, 2007, Laporan Penilaian Kerusakan dan Kerugian akibat Bencana Gempabumi di

Provinsi Sumatera Barat 6 Maret 2007, Kementerian Negara Perencanaan

Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(BAPPENAS).

--------, 2004, Laporan Preliminary Damage and Loss Assessment, The December 26, 2004

Natural Disasters.

---------, 2009, Ringkasan Eksekutif Rencana Aksi Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah

Pascabencana Gempa Bumi Di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009-2011,

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

--------, 2007, West Sumatra and Jambi Natural Disasters: Damage, Loss and Preliminary

Needs Assessment.

Coleman, James S, 1994, Foundations of Social Theory, Harvard University, USA.

---------, 1988, Social Capital in the Creation of Human Capital, Supplement:

Organizations and Institutions: Sociological and Economic Approaches to the

Analysis of Social Structure, The American Journal of Sociology, Vol. 94.

Drabek Thomas E, 2006, Social Problems Perspectives, Disaster Research and Emergency

Management: Intellectual Contexts, Theoretical Extensions, and Policy

Implications.

Drabek, 2005, Sociology, Disasters and Emergency Management: History, Contributions,

and Future Agenda, Department of Sociology and Criminology, University of

Denver.

Dunlap, Riley. E and Catton, William. R, 1979, Environmental Sociology, Annual Review

of Sociology, Vol 5.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 17

Dynes, Russel, 2006, Social Capital: Dealing with Community Emergencies, The Journal

of The Naval Postgraduate School Center for Homeland Defense and Security,

Volume II No. 2: July.

Fatimah dan Budhi, 2009, Kerentanan dan Dampak Bencana; Potret Gender Sumatera

Barat, Desember.

Fischer Henry W, 2003, The Sociology of Disaster: Definitions,Research Questions, &

Measurements Continuation of the Discussion in a Post-September 11

Environment, Sociology Department, Millersville University of Pennsylvania,

USA.

Kreps, G. A, 1985, Disaster and the Social Order, Source: Sociological Theory, Vol. 3,

No. 1.

---------, 1994, Sociological Inquiry And Disaster Research, Department of Sociology,

College of William and Mary, Williamsburg, Virginia.

Ka‟bati, 2009, Perempuan-perempuan Ordo Ulakan, Srinthil, Media Perempuan

Multikultural, Edisi 17.

Maarif, Syamsul, 2010, Bencana dan Penanggulangannya; Tinjauan dari Aspek

Sosiologis, Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana.

Nakagawa, Yuko., Rajib Shaw, 2004, Social Capital: A Missing Link to Disaster Recovery,

United Nation Center for Regional Development (UNCRD) dalam International

Journal of Mass Emergencies and disasters, Vol. 22, No. 1, Maret.

Natsir, 2011, Peranan Surau Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional Di Padang

Pariaman Sumatera Barat (Surau Syaikh Burhanuddin), Jurusan Pendidikan Luar

Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.

Pretty, Jules., Hugh Ward, 2001, Social Capital and The Environment, World

Development Vol. 29, No. 2, Elseiver Science Ltd, Great Britain.

Putnam, Robert D, 1995, Bowling Alone: America's Declining Social Capital, The Johns

Hopkins University Press, Journal of Democracy 6:1. March 21.

---------, 2004 , The Prosperous Community The American Prospect vol. 4 no. 13,

---------, Social Capital: Measurement and Consequences, Kennedy School of

Government, Harvard University.

---------, 2004, Education, Diversity, Social Cohesion and “Social Capital” Note for

Discussion, Meeting of OECD Education Ministers, Dublin.

Quarantelly, E.L, 1989, Conceptualizing Disasters from a Sociological Perspective,

International Journal of Mass Emergencies and Disasters, Disaster Research

Center, University of Delaware, USA, November, Vol 7 No. 3.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 18

---------, 2007, Theory Award Lecture presented at the annual meeting of the American

Sociological Association, New York City, New York, August.

Quarantelly, EL and Perry, 2005, What is a Disaster? New Answers to Old Questions,

International Research Committee on Disasters, USA.

Rodrigues, Quarantelly and Dynes, 2007, Hand Book of Disaster Research, Springer, New

York, USA.

C. Website

http://bundokanduang.wordpress.com/ (Diunduh pada tanggal 15 April 2013 pukul 08.36)

http://dictionary.reference.com/browse/trust (Dinduh pada tanggal 9 Juni 2013 pukul

14.27)

http://id.wikipedia.org/wiki/Bundo_Kanduang/ , (Diunduh pada tanggal 15 April 2013

pukul 07.58)

http://padangpariamankab.go.id/ , (Diunduh tanggal 01 Mei 2013 pukul 16.58)

http://www.socialcapitalresearch.com/, (Diunduh pada tanggal 19 Januari 2012 pukul: 0.54

http://www.imadiklus.com/, (Diunduh tanggal 7 November 2012 pukul 16.05)

http://www.infed.org/thinkers/putnam.htm, (Diunduh tanggal 12 Februari 2012 pukul

13.56)

http://www.scribd.com/, (Diunduh tanggal 6 November 2012 pukul 15.55)

http://www.surabaya.go.id/, (Diunduh pada tanggal 15 April 2013 pukul 09:14)

D. Surat Kabar

Teguh, Tradisi Julo-julo di Tengah Ekonomi Modern, Harian Haluan, Selasa, 26 April

2011.

Artikel Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas Padang 19