BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Jantung Jantung ...

35
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Jantung Jantung merupakan organ muskular berongga yang bentunya mirip piramida dan terletak didalam pericardium di mediastinum. Perikardium melekat pada sternum dan bagian mediastinal kanan dan kiri. banyak hubungan ke struktur sekitarnya untuk menjaga kantung perikardial tetap berada di dalam toraks dan dengan demikian membantu menjaga jantung tetap dalam posisinya Jantung mempunyai ventrikel kanan dan kiri sebagai ruang pompa utama. Pada bagian atrium sebagai mengantarkan darah ke ventrikel masing-masing (Lilly, 2016). Jantung mempunyai 3 permukaan: facies stemocostalis (anterior), facies diaphragmatika (inferior), dan basis cordis (posterior), jantung juga mempunyai apex yang arahnya ke bawah, depan dan kekiri (Snell, 2015). Empat katup utama di jantung normal mengarahkan aliran darah ke arah depan dan mencegah kebocoran ke belakang. Katup atrio ventrikular (AV) (trikuspid dan mitral) memisahkan atrium dan ventrikel, sedangkan katup semilunar (pulmonal dan aorta) memisahkan ventrikel dari arteri besar (Semua katup jantung kita menempel pada jantung brous kerangka, yang terdiri dari jaringan ikat padat. Kerangka jantung memiliki fungsi sebagai perlekatan atau otot ventrikel dan atrium (Lilly et al., 2016) Jantung memiliki berat sekitar 7-15 ons (200-425 gram) kira- kira sebesar dari satu keplan tangan manusia. Jantung setiap harinya mampu memompa sampai 100.000 kali dan dapat memompa darah sampai 7.571 liter yang akan di edarkan ke seluruh tubuh melalui aorta (Fikriana, 2018). Gambar 2.1 Bagian Bagian Jantung (Fikriana, 2018)

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Jantung Jantung ...

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung

Jantung merupakan organ muskular berongga yang bentunya mirip piramida

dan terletak didalam pericardium di mediastinum. Perikardium melekat pada

sternum dan bagian mediastinal kanan dan kiri. banyak hubungan ke struktur

sekitarnya untuk menjaga kantung perikardial tetap berada di dalam toraks dan

dengan demikian membantu menjaga jantung tetap dalam posisinya Jantung

mempunyai ventrikel kanan dan kiri sebagai ruang pompa utama. Pada bagian

atrium sebagai mengantarkan darah ke ventrikel masing-masing (Lilly, 2016).

Jantung mempunyai 3 permukaan: facies stemocostalis (anterior), facies

diaphragmatika (inferior), dan basis cordis (posterior), jantung juga mempunyai

apex yang arahnya ke bawah, depan dan kekiri (Snell, 2015).

Empat katup utama di jantung normal mengarahkan aliran darah ke arah

depan dan mencegah kebocoran ke belakang. Katup atrio ventrikular (AV)

(trikuspid dan mitral) memisahkan atrium dan ventrikel, sedangkan katup semilunar

(pulmonal dan aorta) memisahkan ventrikel dari arteri besar (Semua katup jantung

kita menempel pada jantung brous kerangka, yang terdiri dari jaringan ikat padat.

Kerangka jantung memiliki fungsi sebagai perlekatan atau otot ventrikel dan atrium

(Lilly et al., 2016) Jantung memiliki berat sekitar 7-15 ons (200-425 gram) kira-

kira sebesar dari satu keplan tangan manusia. Jantung setiap harinya mampu

memompa sampai 100.000 kali dan dapat memompa darah sampai 7.571 liter yang

akan di edarkan ke seluruh tubuh melalui aorta (Fikriana, 2018).

Gambar 2.1 Bagian Bagian Jantung (Fikriana, 2018)

5

2.2 Tinjauan Infark Miokard Akut

2.2.1 Definisi Infark Miokard Akut

Infark miokard merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di

seluruh dunia karena adanya aterosklerosis yang tidak stabil (Thygesen et al.,

2007). Infark miokard disebabkan oleh adanya obstruksi akut arteri koroner.

Umumnya, obstruksi ini terjadi karena aliran darah sudah terganggu oleh kehadiran

plak aterosklerosis di arteri koroner. Aterosklerosis adalah proses peradangan

kronis pada dinding bagian dalam arteri sedang dan berukuran besar dan melibatkan

sel endotel vaskular, monosit, makrofag, limfosit T, sel otot polos pembuluh darah,

lipid, dan trombosit. Lesi aterosklerotik dimulai sebagai penebalan dalam dinding

arteri koroner (Saleh & Ambrose, 2018). Jika plak aterosklerosis ini pecah maka

akan menimbulkan agregasi platelet sehingga terbentuk oklusi trombotik hingga

menyebabkan nekrosis yang signifikan pada miokardium dan dapat berkembang

menjadi aritmia dan kematian jantung secara mendadak (Gusti et al., 2018).

Infark miokardial atau serangan jantung adalah gangguan aliran darah

secara tiba-tiba ke otot jantung atau miokardium yang disebabkan oleh

penyumbatan arteri koroner atau pendarahan dari pembuluh koroner yang rusak.

Jaringan yang disediakan oleh salah satu yang terkena sering rusak. karena jaringan

miokard tidak meregenerasi, jaringan yang rusak diganti dengan non-kontraktil

jaringan fibrosis, yang menjadi bekas luka permanen pada dinding jantung (Susan,

2014).

2.2.2 Epidemiologi Infark Miokard Akut

Menurut American Collage of Cardiology Penyakit kardiovaskular tetap

menjadi penyebab utama kematian di Amerika Serikat, bertanggung jawab atas

840.768 kematian (635.260 jantung) pada tahun 2016 dari 2006 hingga 2016, angka

kematian AS akibat penyakit kardiovaskular menurun sebesar 18,6% dan dari

penyakit jantung koroner sebesar 31,8%.

Menurut data dari WHO tahun 2004 terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%)

kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Infark Miokard Akut

merupakan bagian dari Penyakit Jantung Koroner yang belakangan ini merupakan

salah satu jenis penyakit jantung yang sangat penting karena di derita oleh jutaan

orang dan merupakan penyebab kematian utama di beberapa negara (Muhammad

6

& Ardhianto, 2015). Angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada

tahun 2020. Di Indonesia, kasus Infark Miokard semakin sering ditemukan

karena pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti,

angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat. Hasil Survei

Kesehatan Nasional tahun 2005 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk

Indonesia menderita Infark Miokard (PERKI 2015).

Jakarta kardiovaskular study pada tahun 2008 memperlihatkan prevalensi

infark miokard pada wanita sebesar 4,1 % pada pria sebesar 7,6 % data keseluruhan

5,29%. Kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2000 sebanyak 1,2% peningkatan

selama tujuh tahun 4,09% rata-rata 0,6 % peningkatan pertahunnya (Fentia &

Mulyadi, 2015).

2.2.3 Etiologi Infark Miokard Akut

Penyebab infark miokard akut adalah penurunan aliran darah koroner.

Pasokan oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga

terjadi iskemia jantung aliran darah koroner yang menurun bersifat multifaktorial.

Plak aterosklerotik secara klasik pecah yang dapat menyebabkan trombosis,

berkontribusi pada penurunan aliran darah di koroner secara akut. Etiologi lain dari

penurunan oksigenasi / iskemia miokard termasuk emboli arteri koroner, yang

terjadi pada 2,9% pasien, iskemia yang diinduksi kokain, diseksi koroner, dan

vasospasme koroner (Mechanic et al., 2020).

Aterosklerosis terjadi adanya aliran trubulen menyebabkan kerusakan lokal

pada intim, plak tersebut menonjol ke dalam lumen kaya akan kolestrol dan

mempunyai inti lipid yang dilapisi oleh selubung fibrosa bila selubung fibrosa

rupture (Neal, 2006). Terjadinya rupture dari plak akan mengaktivasi platelet yang

akan menyebabkan agregasi dan meningkatkan pembentukan trombin yang pada

akhirnya akan membentuk trombus yang dapat menyumbat pembuluh darah,

sehingga kebutuhan oksigen tidak terpenuhi yang akan menyebabkan angina tidak

stabil, Infark miokard atau stroke. Ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen

dan pemakaian oksigen miokard akan menimbulkan keluhan angina. Berkurangnya

oksigen secara absolut akan menyebabkan keluhan angina saat istirahat (angina

pektoris tidak stabil) dan bila disertai dengan nekrosis miokard yang mendadak

disebut infark miokard akut. Sementara itu, berkurangnya pasokan oksigen yang

7

relatif akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard dan

menimbulkan keluhan hanya pada saat beraktivitas (angina pektoris stabil), tanpa

disertai nekrosis miokard (Halim & Adji, 2018).

2.2.4 Patofisiologi Infark Miokard Akut

Infark miokard akut didefinisikan dalam patologi sebagai kematian sel

miokard karena iskemia yang berkepanjangan. Setelah terjadinya iskemia

sedangkan kematian sel histologis tidak langsung terjadi, tetapi membutuhkan

periode waktu yang terbatas untuk berkembang menjadi plak - sedikitnya 20 menit

(Thygesen et al., 2020).

Plak aterosklerosis dalam pembuluh darah koroner akan terjadinya

penyempitan lumen pembuluh darah, plak aterosklerosis dilapisi oleh fibrosa tipis

sehingga sangat rentan rupture (Kurnia, 2020). Ruptur aterosklerotik menyebabkan

inflamasi monosit dan makrofag, pembentukan trombus, dan agregasi trombosit.

Sehingga dapat menyebabkan penurunan pengiriman oksigen melalui arteri koroner

yang akan mengakibatkan penurunan oksigenasi ke miokardium (Mechanic et al.,

2020). Thrombus yang menyumbat pembuluh darah koroner baik parsial maupun

total yang mengakibatkan kematian sel miokard. Nekrosis mulai berkembang

sekitar 15-30 menit setelah oklusi korener pada subendokardium daerah nekrotik

meluas kearah luar epikardium selama 3-6 jam setelahnya, antara 4 sampai 12 jam

setelah kematian sel dimula, miokardium yang mengalami infark mulai mengalami

koagulasi nekrosis yaitu suatu proses yang ditandai dengan adanya pembengkakan

sel, kerusakan organel, serta denaturasi protein. Setelah sekitar 18 jam neutrophil

(limfosit fagositik) memasuki infark, meningkatnya jumlah neutrofilsekitar 5 hari

dan kemudian menurun. Setelah 3-4 hari jaringan granulasi muncul ditepi zona

infark yang terdiri dari makrofak,fibroblas yang menyusun jaringan luka serta

kapiler baru. Saat jaringan granulasi bermigrasi kedalam menuju pusat infark

selama beberapa minggu, jaringan nekrotik akan di cerna oleh makrofag. Setelah 2-

3 bulan, infark telah sembuh meninggalkan wilayah non-kontrak di dinding

ventrikel yang menipis, mengeras dan berwarna abu-abu pucat (Aaronson, 2013).

8

2.2.5 Manifestai Klinis Infark Miokard Akut

Kejadian IMA pada sekitar kurang lebih 50% pasien didahului dengan

serangan angina pektoris yang menimbulkan gejala nyeri dada. Akan tetapi pada

sebagian kecil 20% hingga 30% pasien IMA tidak memunculkan gejala nyeri dada

sehingga disebut Silent Acute Miokard Infarct (Muhammad & Ardhianto, 2015).

Nyeri dada yang terjadi pada IMA terasa berat seperti diperas, di daerah dada dan

atau epigastrium yang dapat menjalar ke lengan, kadang ke abdomen, punggung,

rahang bawah dan leher. Nyeri dada lebih dari 20 menit dan terus menerus, biasanya

timbul saat istirahat (Karuniawati et al., 2014).

Sebagian besar penderita infark miokard tampak cemas dan gelisah.

Seringkali ekstremitas tampak pucat disertai keringat dingin. Sekitar seperempat

pasien infark anterior dapat dijumpai manifestasi takikardi pada keadaan berat bisa

didapati irama gallop (bunyi jantung S3 dan S4) (Wahyudi & Gani, 2019).

Gambar 2.2 Patofisilogi IMA (Aaronson, 2013)

9

2.2.6 Klasifikasi Infark Miokard Akut

Infark Miokard diklasifikasikan berdasarkan perbedaan patologis, klinis,

dan prognostik yang diusulkan di klasifikasikan menjadi 5 yaitu :

2.2.6.1 Tipe 1 (Infark Moikard Spontan)

MI tipe 1 adalah kejadian yang berhubungan dengan atherothrombosis,

termasuk pecahnya plak, ulserasi, fisura, erosi, atau diseksi, dengan mengakibatkan

trombus koroner di satu atau lebih coroner arteri. Kebanyakan pasien dengan

elevasi MI segmen ST (STEMI) dan banyak dengan elevasi MI segmen non-ST

(NSTEMI) masuk ST-segment Elevation Myocardial Infarction (Morrow, 2017).

a. STEMI

Infark miokard akut elevasi-ST (STEMI) adalah kejadian di mana

iskemia miokard transmural menyebabkan cedera miokard atau nekrosis

oleh karena oklusi trombosis total secara akut pada arteri coroner.

diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi

total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemi

miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya J point yang persistent,

adanya elevasi segmen ST serta meningkatnya biomarker kematian sel

miokardium yaitu troponin (cTn) (Priasmoro et al., 2017). Hal ini yang

menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawat

daruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya.

Gambar 2.3 Infark Miokard Tipe 1 (Denmark et al., 2019)

10

b. NSTEMI

Sedangkan Penyebab dari NSTEMI ini ketidak seimbangan

penurunan darah secara tiba-tiba akibat trombosit coroner yang non oklousif

pada plak yang sudah ada, obstruksi dinamik (Spasme coroner /

vasokontriksi), obstruksi mekanik yang progresif serta inflamasi atau

infeksi. Serta ketidak seimbangan permintaan oksigen ke miokardium

terutama akibat penyempitan arteri coroner yang akan menyebabkan

iskemik local. Iskemik yang sementara akan menyebabkan reversible pada

tingkat sel jaringan. Terapi yang digunaan untuk menangani NSTEMI ini

antitrombotik dan revaskularisasi koroner ( Zaenal, 2017).

2.2.6.2 Tipe 2 (Infark Miokard Sekunder Ketidak Seimbangan Iskemik)

Infark Miokard Akut tipe 2 didefinisikan sebagai IMA yang terjadi sebagai

akibat dari ketidak seimbangan antara suplai oksigen miokard dan permintaan, yang

dikontribusikan oleh kondisi lainnya dari CAD. Tipe 2 MI dapat terjadi di

pengaturan stabil yang mendasari aterosklerosis koroner itu ketidak cocokan

pasokan-permintaan kebutuhan oksigen miokard atau berkurangnya pengiriman

oksigen. Hal ini paling sering terjadi karena adanya penyakit arteri koroner, yang

Gambar 2.5 Oklusi Parsial Arteri Koroner pada NSTEMI (Morrow, 2017)

Gambar 2.4 Oklusi Total Pada STEMI (Morrow,2017)

11

membatasi peningkatan perfusi koroner pada kasus anemia berat, aritmia yang

signifikan, dan penyebab stres lainnya (Morrow, 2017).

2.2.6.3 Tipe 3 (Kematian Jantung Disebabkan Oleh Infark Miokard)

Pada pasien sesekali yang memiliki gejala khas iskemia miokard tetapi nilai

cTnnya belum meningkat karena pasien meninggal sebelum nilai diukur atau yang

terserang kematian mendadak dengan bukti MI melalui otopsi (Bernard et al.,

2018).

Pendeteksian biomarker jantung dalam darah sangat penting untuk

menegakkan diagnosis infark miokard. Namun, pasien dapat mengetahui dari

iskemia / infark miokard, termasuk perubahan EKG iskemik atau fibrilasi ventrikel,

dan meninggal sebelum dilakukan pengukuran nilai enzim pada jantung. mungkin

untuk mendapatkan darah untuk penentuan biomarker jantung ataupun pasien

mungkin meninggal setelah timbulnya gejala atau sebelum terjadi peningkatan nilai

biomarker (Denmark et al., 2019).

2.2.6.4 Tipe 4 (Infark Miokard Yang Berhubungan Dengan Prosedur

Revaskularisasi)

Cedera atau infark miokard periprocedural dapat terjadi selama

revaskularisasi mekanis, baik dengan intervensi koroner perkutan (tipe 4) atau arteri

coroner bypass graft (CABG) (tipe 5). MI yang terkait dengan PCI lebih jauh

diklasifikasikan sebagai MI periprocedural (tipe 4a) dan trombosis stent (tipe 4b).

PCI dan MI terkait CABG adalah dengan ditentukan oleh ambang tertentu di atas

Gambar 2.6 Infark Miokard Akut Tipe 2 (Denmark et al., 2019)

12

URL dalam hubungannya dengan adanya iskemia, hilangnya miokardium, atau

komplikasi klinis yang jelas (Morrow, 2017).

Iskemia dapat dikenali dari perubahan elektrokardiogram, temuan pada

prosedur pencitraan, atau sebagai akibat dari komplikasi terkait prosedur yang

menyebabkan aliran darah koroner berkurang. Pemilihan titik potong biomarker ini

didasarkan pada asumsi bahwa nilai cTn pra-prosedural memiliki baseline normal.

Pada pasien dengan peningkatan nilai pra-prosedural yang tingkat cTnnya stabil

(variasi ≤20%) atau menurun, nilai pasca-prosedur harus naik> 20% tetapi tetap

harus lebih dari 5 atau 10 kali URL (Morrow, 2017).

2.2.6.5 Tipe 5 (Infark Miokard dengan Cangkok Bypass Arteri Koroner )

Banyak faktor yang dapat menyebabkan cedera miokard prosedural selama

prosedur CABG diantaranya terkait dengan kardiak, luasnya cedera traumatis

miokardium, serta potensi cedera iskemik. Cedera atau infark miokard

periprocedural dapat terjadi selama revaskularisasi mekanis coronary artery bypass

graft (CABG) (tipe 5). Infark miokard yang berhubungan dengan CABG adanya

peningkatan nilai biomarker jantung 10 kali lebih besar dari pasien dengan

nilai-nilai dasar CTN normal, dengan peningkatan biomarker nilai jantung > 10x

URL persentil ke-99 pada pasien dengan nilai normal dasar cTn (≤ URL persentil

ke-99 (Denmark et al., 2019; Thygesen et al., 2012).

2.2.7 Faktor Resiko Infark Miokard Akut

Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi Infark Miokard Akut

salah satunya dapat dimodifikasi (dapat diobati) dan lainnya tidak dapat

dimodifikasi (tidak bisa diubah) antara lain : (Rathore et al., 2018).

2.2.7.1 Faktor Resiko Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Faktor Usia

Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung

pertama akibat Infark Miokard Akut adalah usia 65,8 tahun sedangkan usia

rata-rata untuk perempuan adalah 70,4 tahun. Risiko terjadinya IMA

meningkat setelah umur >40 tahun pada laki-laki yaitu 49% dan

perempuan 32%, meskipun kejadian IMA bagi perempuan lebih lambat

10-20 tahun dari pada laki-laki (Susilo, 2015).

13

b. Jenis Kelamin

Pria cenderung mengalami serangan jantung lebih awal daripada

wanita. Tingkat serangan jantung wanita meningkat setelah menopause

tetapi tidak sama dengan tingkat pria. Meski begitu, penyakit jantung

merupakan penyebab utama kematian baik bagi pria maupun wanita, Hal

ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek proteksi terhadap

terjadinya arterosklerosis (Susilo, 2015).

c. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dari infark miokard merupakan faktor risiko

independen untuk IMA. Beberapa varian genetik dikaitkan dengan

peningkatan risiko IMA dan riwayat keluarga AMI. Pasien Infark Miokard

Akut yang memeliki prevalensi keluarga akan meningkat menjadi

terjadinya IMA dua kali lipat (Shah & Kelly, 2016).

2.2.7.2 Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi

a. Merokok

Merokok dianggap sebagai faktor resiko kuat dari Infark miokard.

Merokok menyebabkan STEMI lebih awal terutama pada pasien yang lebih

sehat (Rathore et al., 2018). Merokok dapat menyebabkan inflamasi

pembuluh darah yang berakibat pada penyempitan pembuluh darah,

mengurangi aliran darah serta suplai oksigen ke organ termasuk jantung

yang dapat menyebabkan infark miokard. Merokok dapat menyebabkan

thrombosis coroner, pembentukan plak koroner dan destabilisasi plak,

aktivasi trombosis, kerusakan endotel serta spasme pembuluh darah

koroner melalui peningkatan pengeluaran katekolamin (Prihandani, 2019).

b. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol dikaitkan dengan peningkatan akut risiko infark

miokard dalam satu jam berikutnya antara orang yang biasanya tidak minum

alkohol setiap hari. Alkohol mengganggu pengaturan eksitasi atau

inhibisi di otak, sehingga mengkonsumsi alkohol dapat mengakibatkan

terjadinya disinhibisi, ataksia dan sedasi. Efek farmakologis etanol

meliputi pengaruhnya pada proses timbulnya penyakit kardiovaskular

(Tritama, 2015).

14

c. Dyslipidemia

Dislipidemia, faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, secara

umum didefinisikan sebagai kadar kolesterol total, LDL, trigliserida.

Peningkatan kadar trigliserida dan partikel LDL padat dan kecil bertindak

sebagai faktor risiko predisposisi untuk infark miokard. Kadar kolesterol

total yang tinggi, LDL dan kadar HDL yang rendah merupakan faktor risiko

utama untuk penyakit aterosklerosis koroner (Rathore et al., 2018).

d. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan faktor risiko mapan untuk penyakit

kardiovaskular. Orang dengan diabetes mellitus tipe 2 memiliki morbiditas

dan kardiovaskular yang lebih tinggi kematian dan dipengaruhi oleh

kardiovaskular secara tidak proporsional dibandingkan dengan subjek non-

diabetes. Diabetes tipe 2 merupakan faktor risiko yang sama dengan

penyakit arteri koroner, seperti usia, hipertensi, dislipidemia,

obesitas,ketidak aktifan fisik dan stres, peningkatan prevalensi diabetes

secara tidak langsung berimplikasi pada peningkatan risiko penyakit arteri

koroner juga. Diabetes meningkatkan risiko penyakit jantung koroner

sebanyak dua sampai empat kali. Penderita diabetes menanggung risiko

aterosklerotik yang lebih besar penyakit vaskular di jantung serta di

vaskularisasi lainnya (Rathore et al., 2018).

Diabetes meningkatkan faktor risiko infark miokard dengan

meningkatkan laju perkembangan aterosklerotik dan mempengaruhi profil

lipid dan memfasilitasi pembentukan plak aterosklerotik. Diabetes juga

merupakan faktor risiko terjadinya kasus infark miokard fatalitas: yaitu

infark miokard lebih sering berakibat fatal pada penderita diabetes

dibandingkan dengan infark miokard pada mereka yang tidak menderita

diabetes (Rathore et al., 2018).

e. Hipertensi

Hipertensi meningkatkan risiko dari infark miokard dan semakin

tinggi tekanan, itu lebih besar risikonya. Ini adalah faktor risiko utama

penyebab aterosklerosis pada pembuluh darah coroner dengan

memperkeras arteri dan mendorong terbentuknya bekuan darah dan

15

aneurisme yang mengakibatkan serangan jantung atau infark miokard.

Hipertensi dan infark miokard sangat erat kaitannya (Qodir, 2016) .

Tekanan darah tinggi menyebabkan tekanan pada jantung dan

sirkulasi meningkat.Tekanan darah tinggi pada pembuluh nadi akan

merusak dinding pembuluh nadi dan merangsang timbulnya ateroma.

Jantung juga harus bekerja lebih keras untuk memompa darah yang

bertekanan tinggi tanpa suplai oksigen yang mencukupi akibatnya terjadi

hipertropi ventrikel terjadi di latasi dan payah jantung dengan semakin

terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner, hal ini

meningkatkan kemungkinan terkena Serangan angina atau serangan

infark miokard akut (Rathore et al., 2018).

f. Obesitas

Peningkatan berat badan secara langsung berhubungan dengan

kejadian miokard infark. Infark sangat ditingkatkan oleh obesitas ekstrim

karena merupakan faktor risiko infark miokard. Kegemukan dan obesitas

dapat mempengaruhi kesehatan, dan obesitas seseorang perlu dikendalikan

untuk mencegah IMA kelebihan berat badan merupakan salah satu faktor

resiko independent Infark Miokard Akut (Rathore et al., 2018).

Kelebihan berat badan dapat meningkatkan beban kerja jantung dan

kebutuhan akan oksigen. Besarnya suplai oksigen dengan kebutuhan akan

oksigen haruslah seimbang. Pengurangan suplai oksigen atau peningkatan

kebutuhan oksigen dapat mengganggu keseimbangan ini dan

membahayakan fungsi miokardium (Haryuni, 2015).

g. Stress

Kecemasan yang meningkat dapat meningkatkan resiko dari

serangan jantung dan stroke, Mekanisme patofisiologi stres emosional akut

masih belum jelas, tetapi di asumsikan terkait dengan stres hemodinamik di

arteri koroner dan pecahnya plak aterosklerosis, dengan akibatnya

thrombosis (Rathore et al., 2018).

h. Asam Urat

Penderita asam urat memiliki peningkatan risiko infark miokard.

Pada penderita asam urat, terjadi respon inflamasi terkait dengan asam urat

16

dan perkembangan aterosklerosis, yang mengarah ke akut koroner kejadian

seperti angina atau infark miokard (Rathore et al., 2018).

2.2.8 Komplikasi Infark Miokard Akut

2.2.8.1 Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik merupakan salah satu komplikasi umum dari Infark

Miokard Akut Penyebab terjadinya syok kardiogenik termasuk ruptur septum

ventrikel, pecahnya otot kapiler, dan dinding jantung (Bajaj, 2015). Syok

kardiogenik disebabkan oleh hilangnya jaringan miokard yang secara ekstensif dan

ditandai dengan tekanan sistolik <90 mmHg dan tekanan pengisian pusat > 20

mmHg atau indeks jantung <1,8 L / menit (Bernard, 2013).

Pasien yang mengalami syok kardiogenek terkait dengan IMA berada pada

risiko sangat tinggi kematian di rumah sakit dengan data dari register yang

mendokumentasikan kematian berkisar dari 45%-60%. Uji syok menunjukkan

secara definitif bahwa pasien yang lebih muda dari 75 tahun dengan syok infaksi

miokard yang menjalani PCI (Precutaneus coronary intervention) memiliki

mortalitas yang lebih rendah dibandingkan pada pasien yang dirawat secara

konservatif dengan terapi medis, termasuk trombolisis (Allen, 2010).

2.2.8.2 Gagal Jantung

Gagal jantung terjadi di sebagian besar rumah sakit penerimaan di antara

orang-orang yang lebih tua dengan umur > dari 65 tahun yang mempunyai

prognosis yang buruk.1 Meskipun meliputi etiologinya berbagai kondisi, penyakit

jantung koroner (PJK), 2 khususnya, infark miokard akut (IMA), 3 penyebab yang

mendasari terjadinya Gagal jantung setelah IMA (Sulo et al., 2016).

Gagal jantung akut sering terjadi setelah infark miokard akut dengan elevasi

segmen ST (STEMI) Banyak ujiklinis menunjukkan bahwa pasien dengan bukti

klinis gagal jantung atau dengan adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah

IMA memiliki prognosis yang buruk. Infark miokard mengganggu fungsi

miokardium karena menyebabkan menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan

abnormalita gerakan dinding jantung, dan menguba daya kembang ruang

jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel, terutama ventrikel

kiri,maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel

meningkat. Hal ini akan meningkatkan tekanan jantung (Dewi et al., 2017).

17

2.2.8.3 Aritmia

Menurut asbir 2020 Aritmia merupakan gagungan kecepatan dari proses

depolarisasi, repolarisasi, atau bisa keduanya. Gangguan otomatis berupa

percepatan atau perlambatan pada nodus sinus, misalnya pada sinus akikardi

maupun sinus bradikardi (Asbir, 2020).

Infark miokard akut menyebabkan gangguan elektrofisiologis yang semula

-80 mV menjadi -60mV dan penurunan dari kecepatan konduksi sehingga akan

menimbulkan aritmia. Aritmia yang timbul pada pasien IMA biasanya ventricular

fibrilasi atau aritmia ventricular maglina yang paling banyak menyebabakan

kematian pada pasien IMA (Aditya, 2018).

2.2.8.4 Aneurisma Ventrikel

Aneurisma dibentuk oleh penonjolan tebal dinding ventrikel yang sering

mengenai permukaan posterior atau diafragma dari pada dinding apical atau lateral.

Sebaliknya, aneurisma ventrikel dibentuk oleh pecahnya dinding ventrikel, yang

terdapat di perikardium dan sekitarnya. Infark miokard inferior dan anterior terjadi

dengan frekuensi yang hampir sama (Sattar, 2020).

Gambaran EKG kedua jenis aneurisma ini berupa elevasi segmen-ST

persisten dan gelombang Q patologis yang muncul mengikuti episode IMA

sebelumnya. Elevasi segmen-ST biasanya terbatas pada sadapan I, aVL, dan V1

– V6, dipengaruhi oleh lokasi tersering aneurisma (Banjuradja, 2017)

2.2.8.5 Perikarditis

Peradangan perikardial setelah infark miokard dapat terlihat akut setelah 3

hingga 10 hari setelah terjadinya infark miokard transmural, disebut perikarditis

per-infark atau inflamasi yang dimediasi imun setelah 1 hingga 8 minggu disebut

sebagai sindrom infark pasca miokard. Nyeri perikarditis dapat disalah artikan

sebagai akibat angina pasca infark atau infark rekuren. Sifat khas nyeri pada

penderita pericarditis ini sangat khas (Sondhi et al., 2017). Temuan khas pada

auskultasi jantung adalah pericardial friction rub (pada 85% kasus). Bunyi ini

terjadi akibat friksi kedua lapisan perikardium yang mengalami inflamasi,

terdengar seperti suara goresan bernada tinggi (Willim & Supit, 2019)

18

2.3 Pemeriksaan Penunjang Infark Miokard Akut

Pemeriksaan diagnostik utama pada pasien Infark Miokard Akut (IMA)

adalah EKG serta pemeriksaan enzim jantung (Muttaqin, 2009).

2.3.1 Pemeriksaan Elektrokardiogram Infark Miokard Akut

Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai elektrofisiologi

jantung dengan melalui pembacaan dari wakatu ke waktu, dengan memantau

perkembangan serta resolusi suatu Infark Miokard Akut (Muttaqin, 2009).

Perubahan EKG pada Infark Miokard Akut (IMA) pada segmen ST dan gelombang

T diakibatkan karena iskemia dan akan menghilang sesudah jangka waktu tertentu.

Infark miokard akut sering dikaitkan dengan perubahan dinamis dalam

bentuk gelombang EKG dan akuisisi EKG serial dapat memberikan informasi

penting, terutama jika EKG pada presentasi awal non-diagnostik. Merekam

beberapa EKG standar dengan posisi elektroda tetap di Interval 15-30 menit untuk

awal 1 - 2 jam, atau penggunaan kontinu perekaman EKG 12-lead berbantuan

komputer (jika tersedia) untuk dideteksi perubahan EKG dinamis, wajar untuk

pasien dengan persisten atau gejala berulang atau EKG non-diagnostik awal

(Denmark et al., 2019).

2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Infark Miokard Akut

Pemeriksaan enzim pada jantung dalam plasma merupakan bagian dari

profil diagnostic yang meliputi gejala, riwayat, dan elektrokardiogram untuk

mendiagnosis infark miokardium (Muttaqin, 2009). Tes troponin jantung

sensitivitas tinggi (cTn). Kadar serum troponin jantung IM mulai meningkat 3

sampai 4 jam setelah onset ketidaknyamanan, puncaknya antara 18 dan 36 jam dan

kemudian menurun secara perlahan sehingga memungkinkan deteksi hingga 14 hari

setelah infark miokard besar. dengan demikian, pengukurannya dapat membantu

Gambar 2.7 EKG pada NSTEMI dan STEMI (Morrow,2017)

19

untuk mendeteksi infark miokard selama hampir 2 minggu setelah kejadian tersebut

terjadi (Lilly, 2011).

Tes ini secara substansial telah mengubah cara evaluasi infark miokard

berlangsung, meskipun kriteria klinis untuk infark miokard tidak berubah. Ini masih

ditentukan oleh cedera miokard yang dideteksi oleh biomarker jantung abnormal

dalam pengaturan iskemia miokard akut. Namun, peningkatan sensitivitas uji cTn

telah mengungkap fakta bahwa ada sejumlah besar keadaan di mana cedera miokard

dapat muncul sebagai suatu entitas dengan sendirinya tanpa adanya penyakit

jantung iskemik akut (Allans et al., 2018). Peningkatan kadar troponin selain dari

akibat STEMI dan NSTEMI ada bebrapa faktor yang mempengaruhi yaitu :

1. Takiaritmia atau bradiaritmia

2. Mikokarditis

3. Dissecting aneurysm

4. Emboli paru

5. Gangguan ginjal akut dan kronik

6. Stroke atau perdarahan subarachnoid

7. Penyakit kritis terutama pada sepsis

2.3.3 Kreatinin Kinase pada Infark Miokard Akut

Kreatinin kinase ditemukan di jantung, otot rangka, otak, dan banyak organ

lainnya, konsentrasi serum enzim dapat meningkat setelah cedera pada salah satu

jaringan ini. CK-MB terdapat di jantung CK-MB juga membuat 1% sampai 3% dari

kreatinin kinase di otot rangka. Peningkatan CK-MB sangat menandakan cedera

miokard. Diagnosis MI dengan peningkatan CK-MB adalah umum untuk

menghitung rasio CK-MB total kreatinin kinase. Rasio biasanya> 2,5% dalam

keadaan cedera miokard dan kurang dari itu ketika peningkatan CK-MB dari

sumber lain tingkat serume CK-MB mulai naik 3 hingga 8 jam setelah infark

memuncak pada 24 jam dan kembali ke normal dalam 48 hingga 72 jam (Lilly,

2011).

Untuk mendokumentasikan karakteristik naik turunnya konsentrasi CK-

MB, sampel darah harus diambil setiap 4 sampai 8 jam. Meskipun CK-MB tidak

sensitif atau spesifik untuk jantung sebagai biomarker seperti cTn, konsentrasi

darahnya menurun lebih cepat daripada cTn, yang menjadikannya biomarker

20

pilihan untuk mengevaluasi dugaan infark yang berulang pada pasien yang

mengalami nyeri dada berulang dalam beberapa hari setelah terjadi infark miokard

(DiPiro, 2015).

2.4 Penatalaksanaan Terapi Infark Miokard Akut

Terapi yang diberikan pada pasien IMA bertujuan untuk meminimalisir

infark yang terjadi, mencegah komplikasi, menghambat progresivitas iskemia

miokardium, dan mencegah kematian. Upaya utama yang dilakukan setelah

serangan IMA adalah melancarkan kembali aliran darah pembuluh darah koroner

yang tersumbat dengan terapi reperfusi, sehingga dapat kembali menyeimbangkan

antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium sehingga akan meminimalkan

infark yang terjadi dan fungsi miokardium dapat dipertahankan. Terapi reperfusi

yang dilakukan pada pasien IMA dapat berupa Percutaneous Coronary

Intervention (PCI) atau dengan menggunakan fibrinolitik. Namun pemilihan terapi

tersebut sangat bergantung pada lamanya waktu sejak onset dari simptom sampai

memperoleh terapi reperfusi, kontraindikasi dan efek samping perdarahan pada

pasien serta lamanya waktu yang diperlukan untuk merujuk pasien menuju sarana

kesehatan yang mampu melaksanakan PCI (Parung et al., 2015).

Apabila saat dilakukan rujuk ke RS Total waktu saat terjadinya iskemik harus

dipertahankan 120 menit tetapi idealnya selama 60 menit sehingga diberikan PCI

selama 90 menit atau kurang serta PCI lebih aman di banding dengan fibrinolisis

(Reed et al., 2017). Apabila diperlukan waktu > 120 menit, maka harus segera

Gambar 2. 8 Waktu Timbulnya Berbagai Jenis Marka Jantung (Bernard, 2013)

21

diberikan terapi reperfusi dengan fibrinolitik dalam waktu ˂ 30 menit untuk pasien

dengan onset iskemia antara 12-24 jam (Parung et al., 2015).

Fibrinolitik dibagi menjadi non-fibrin dan fibrin. Kelompok non-fibrin adalah

Streptokinase dan Urokinase; sedangkan yang spesifik Alteplase, Tenecteplase, dan

Reteplase itu fibrinolitik yang direkomendasikan untuk STEMI oleh PERKI adalah

Streptokinase, Alteplase, dan Tenecteplase (Novrianti et al., 2020).

Pada dasarnya banyak pilihan dalam penatalaksanaan infark miokard.

Penatalaksanaan yang konvensional adalah dengan tirah baring, pemberian

oksigen, pengobatan terhadap aritmia yang terjadi, penggunaan obat –obatan

trombolitik untuk menghancurkan oklusi yang terjadi (Wahyudi & Gani, 2019).

2.5 Terapi Farmakologi Infark Miokard Akut

Standart terapi medis dan rekomendasi untuk perawatan awal dari pasien

NSTEMI dan STEMI berfokus kepada penanganan gejala awal, pengurangan

cedera iskemik dan kebutuhan oksigen miokard, dan penggunaan agen antiplatelet

yang dipandu dengan waktu angiografi koroner invasive (Harrington et al., 2018).

2.5.1 Terapi NSTEMI

Manajemen terapi pada NSTEMI bertujuan menghilangkan iskemia dan

mencegah berulangnya iskemia yang lebih jelek. Hal ini dapat dicapai dengan

pemberian terapi anti iskemia, antiplatelet dan antitrombin. Pembedaan risiko akan

membantu menetapkan pasien untuk tindakan konservatif atau invasif dini (Halim

& Adji, 2018). Non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat diberikan

terapi obat-obatan atau juga bisa dengan prosedur revaskularisasi dengan

Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) keuntungan dari

penggunan in lebih baik dari pada diberi metode operasi Bypass (Zainal, 2017).

Menurut ACC/AHA pengobatan awal mencakup : oksigen intranasal (jika

saturasi oksigen <90%), SL NTG (terapi IV untuk pasien tertentu), Aspirin,

penyekat β oral (terapi IV opsional), serta antikoagulan (UFH, Enoxaparin,

Fondaparinux, atau Bivalirubin). Morfin juga diberikan pada pasien dengan angina

refrakter diberikan saat pasien masih dalam keadaan darurat (DiPiro, 2009).

Enoxaparin, UFH, Fondaparinux, atau Bivalirudin untuk strategi invasif dini;

Enoxaparin atau Fondaparinux lebih disukai jika tidak ada angiografi / PCI yang

direncanakan tetapi UFH dapat diterima; Fondaparinux lebih disukai jika berisiko

22

tinggi untuk pendarahan; Antikoagulan pilihan UFH untuk pasien yang menjalani

CABG. Pada pasien tidak mungkin menjalani CABG. Mungkin memerlukan dosis

tambahan IV. Membutuhkan bolus UFH tambahan untuk PCI. Untuk tanda dan

gejala iskemia berulang. Enoxaparin SC atau UFH dapat dilanjutkan dengan dosis

yang lebih rendah untuk profilaksi tromboemboli vena (DiPiro, 2009).

2.5.2 Terapi STEMI

Manajemen terapi STEMI adalah untuk memulihkan aliran darah miokard,

untuk menyelamatkan jantung, dan untuk mengurangitingkat kematian. Bisa jadi

reperfusi arteri coroner dilakukan dengan pemberian intervensi PCI atau fibrinolitik

tidak hanya dengan pemberian PCI atau fibrinolitik pada pasien STEMI juga di

NSTEMI

PCI (< 12 jam pada

pasien berisiko tinggi)

Oksigen (jika saturasi ≤ 90%), SL NTG, Aspirin, IV Nitrogliserin,

Morfin Sulfat, antikoagulan (seperti IV UFH, Enoxaparin, atau IV

Bivalirudin), Clopidogrel, β-blocker

PCI tertunda → > 12 jam Tidak dilakukan PCI

(pada pasien berisiko

rendah)

Abciximab atau

eptifibatide → dimulai

saat PCI untuk pasien

penerima UFH,

Enoxaparin

β-blocker, Statin, ACE

Inhibitor atau ARB

Dilanjutkan pemberian

Abciximab (12 jam),

Eptifibatide (24 jam),

NTG, antikoagulan

Eptifibatide atau

Tirofiban → sebelum

dan saat PCI NTG,

antikoagulan

β-blocker, Statin, ACE

Inhibitor atau ARB

Penderita berisiko tinggi

atau sedang

β-blocker, Statin, ACE

Inhibitor, NTG,

antikoagulan

Stress Test

Abciximab, Eptifibatide

(dengan UFH atau

Enoxaparin) atau

Bivalirudin saat PCI

Gambar 2.9 Algoritma Terapi IMA dengan NSTEMI (DiPiro, 2009)

23

berikan terapi pendukung untuk menjaga kondisi pembuluh darah setelah

pemberian reperfusi antara lain: Antitrombotik agen dengan tujuan untuk

memperkuat kondisi arteri setelah terapi perfusi dan mengurani potensi

pembentukan thrombus di pembuluh darah (Novrianti et al., 2020).

American College of Cardiology Foundation / Pedoman American Heart

Association (ACCF / AHA) merekomendasikan bahwa semua pasien dengan

STEMI dan tanpa kontraindikasi diberikan oksigen intranasal (jika saturasi oksigen

rendah), sublingual (SL), Nitrogliserin (NTG), Aspirin, P2Y12 platelet inhibitor,

dan antikoagulasi dengan Bivalirudin, Unfractionated heparin (UFH), atau

Enoxaparin (DiPiro, 2015).

STEMI

Oksigen (Jika saturasi O2 < 90%) SL

NTG, Aspirin, Morphine, Sulfativ

NTG

Gejala < 12 jam Gejala > 12 jam

Clopidogrel ,

Statin

PCI

Statin dengan intensitas tinggi

Terapi referfusi

Fibrinolisis

Clopidogrel, Prasugrel,

atau Ticagrelor

Bivalirudin, Heparin

dengan penghambat

reseptor GP IIb/IIIa

IV UFH dan SC

Enoxaparin

PCI atau CAGB

atau pemberian

Fibrinolitik

β-Blocker, ACE inhibitor / ARB), Eplerenone atau Spironolakton

Gambar 2.10 Algoritma Terapi IMA dengan STEMI (DiPiro, 2015)

24

2.5.3 Terapi Oksigen

Pemberian terapi oksigen ini adalah ketika terjadi penurunan aliran darah

pada jantung, pemberian oksigen akan meningkatkan tekanan perfusi koroner

sehingga meningkatkan oksigenasi pada jaringan jantung yang mengalami

iskemik atau memperbaiki ketidak seimbangan oksigen di jantung (Rachmawati,

2017).

Pemberian terapi ini juga merupakan alah satu tindakan untuk mencegah

perluasan Infark Miokard Akut dan nyeri dada adalah terapi oksigenasi. Terapi

oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan tetap adekuat dan

dapat menurunkan kinerja miokard akibat kekurangan suplai oksigen

(Widyaresmi, 2018). Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang

berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara

95 – 100 %. Pada neonatus dengan gangguan sistem pernafasan akan mengalami

perubahan pada oksigenasinya (Andarmoyo,2012).

2.5.4 Nitrat

Terapi golongan nitrat untuk mengobati angina, keuntungan terapi nitrat

terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan

volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium

berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang

normal maupun yang mengalami aterosklerosis (PERKI, 2015). Nitrogliserin

mempunyai efek vasodilatasi koroner dan perifer yang mengakibatkan penurunan

kebutuhan oksigen miokard dan meningkatkan penghantaran oksigen ke miokard.

Untuk menghilangkan nyeri yang dihubungkan dengan iskemia dapat diberikan

nitrogliserin di bawah lidah setiap 5 menit sampai 3 dosis (Halim & Adji, 2018).

Pemberian golongan nitrat saja diindikasikan pada fase akut untuk

mengatasi hipertensi atau kegagalan jantung atau untuk menghilangkan gejala

anginanya. Manfaat pemberian nitrat dalam jangka panjang belum jelas, nitrat tidak

diberikan di luar 48 jam pertama, keculai terdapat angina atau kegagalan ventrikel

(Bernard, 2013).

Obat pertama kali melepaskan ion nitrit (NO2-) merupakan proses yang

membutuhkan tiol jaringan. Di dalam sel, NO2- diubah menjadi nitrat oksida (NO)

yang kemudian mengaktivasi guanilat siklase yang menyebbakan peningkatan

25

konsentrasi guanosisn monofosfat siklik (cGMP) intraseluler pada sel otot polos

vaskuler. cGMP menyebabkan relaksasi secara cepat tidak jelas, tetapi hal tersebut

akhirnya menyebabkan defosforilisasi myosin rantai pendek kemungkinan dengan

menurunkan konsentrasi ion Ca2+ bebas dalam sitosol (Neal, 2006).

Table II.1 Obat Golongan Nitrat (PERKI,2015)

Golongan obat nitrat Dosis

Isosorbide dinitrat (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg (onset 5 menit)

Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 monotrate Oral 2x20 mg/hari

Oral (slow release) 120-40 mg/hari

Nitroglycerin

(Trinitrit, TNT,Glyceryl trinitrat)

Sublingual tablet 0,3-0,6 mg -1,5 mg

Intravena 5-200 mcg/menit

2.5.5 Terapi Analgesik

Morfin saat ini digunakan dan direkomendasikan untuk pengobatan nyeri

dada selama infark miokard, infark miokard berulang dan gagal jantung tampaknya

lebih sering bila Morfin digunakan sebelumnya PCI (Bonin et al., 2018).

Pasien dengan hipersensitivitas Morfin tidak bisa diberikan analgesik

golongan Morfin (Thygesen et al., 2012). Untuk infark miokard, BNF

merekomendasikan 5 sampai 10 mg dapat diberikan melalui injeksi intravena

dengan kecepatan 1 untuk 2 permadani / menit diikuti dengan 5 sampai 10 mg jika

perlu, untuk pasien manula atau pasien yang lemah diberikan setengah dari dosis

ini (Martindale, 2014).

Efek samping yang terjadi saat pemberian Morfin salah satunya mual,

muntah, sembelit. Mual dan muntah yang terjadi sebagai efek samping Morfin,

disebabkan oleh akibat Morfin menstimulasi pada pusat muntah di bagian otak

medulla oblongata. Ketika pusat muntah menerima rangsangan impuls afferen

dari CTZ dimana melalui stimulasi langsung maupun tidak pada saluran

pencernaan (Annisa et al., 2020).

2.5.6 Fibrinolitik

Terapi fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang diperlukan dalam

terapi STEMI ketika PCI primer tidak dapat tepat waktu dilakukan. Pemberian

fibrinolitik dapat mencegah 30 kematian per 1000 pasien yang dirawat dalam enam

jam setelah gejala awal. Terapi harus diberikan dalam 12 jam gejala awal jika PCI

26

primer tidak mungkin dilakukan dalam 120 menit setelah diagnosis STEMI dan bila

ada tidak ada kontraindikasi. Idealnya diberikan dalam waktu 30 menit setelah

timbulnya gejala (Novrianti et al., 2020).

Obat fibrinolitik digunakan secara luas pada infark miokard untuk

melisiskan trombi yang menghambat arteri koroner. Obat ini diberikan secara infus

intravena dan menyebabkan referfusi pada sekitar 50% arteri, bila diberikan dalam

3 jam. Streptokinase adalah litik yang bukan spesifik fibrin dan tidak mempunyai

aktivitas enzimatik intrinsik sehingga harus membentuk kompleks dengan

plasminogen. Streptokinase (dan Urokinase) menurunkan fibrinogen dalam

sirkulasi sehingga menghasilkan keadaan lisis yang sistemik. Apabila obat

trombolitik khususnya Streptokinase digunakan bersama Aspirin oral akan

menurunkan mortalitas (Halim & Adji, 2018).

Alteplase merupakan aktivator plasminogen tipe jaringan pada manusia,

yang dihasilkan oleh teknologi DNA rekombinan. Alteplase tidak menyebabkan

reaksi alergi dan dapat digunakan pada pasien dimana infeksi streptokokus yang

baru terjadi atau penggunaan streptokinase yaitu pasien yang mungkin mengalami

kegagalan reperfusi karena efek antibodi penetralisisasi atau pasien yang

mempunyai resiko anafilaksis. Alteplase Ini memiliki waktu paruh awal 4 hingga

5menit dan waktu paruh terminal sekitar 40 menit (Neal, 2006).

Rateplase (rPA) agen khusus fibrin hanya bolus dan Tenecteplase adalah

mutan jaringan plasminogen activator (tPA) yang mencapai patensi pembuluh

darah agen khusus non-fibrin (Streptokinase dan Urokinase) dan manfaat mortalitas

yang serupa tetapi dengan perdarahan sistemik yang lebih sedikit dibandingkan

infus Tpa (Bernard, 2013).

Table II.2 Obat Golongan Fibrinolitik (PERKI, 2015)

Golongan fibrinolitik Dosis

Streptokinase 1,5 um over 30-60 min IV

Alteplase 15 mg IV bolus

Reteplase 10 unit IV bolus

Tenecteplase 30 mg jika < 60 kg, 35 mg jika 60-

<70 kg, 40 mg jika bb 70 -<80 kg, 45

mg jika BB 80 - < 90 kg, 50 mg - >

90 kg.

27

2.5.7 Calcium Channel Blocker (CCB)

Pemberian CCB digunakan untuk meredakan gejala iskemik pada pasien

yang memiliki kontraindikasi terhadap β-blocker. Nifedipin dan Amplodipin

mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node

atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA

(PERKI, 2015).

CCB bekerja secara langsung sebagai vasodilator koroner. Efek yang

bermanfaat disebabkan karena penurunan kebutuhan oksigen miokard dan

memperbaiki aliran darah ke miokard. Tidak semua penyekat kanal kalsium bekerja

dengan cara yang sama dan harus diperhatikan dalam menentukan jenis yang

dipilih. Penyekat kanal kalsium dapat digunakan untuk mengontrol keluhan yang

berhubungan dengan iskemia pada pasien yang tidak berespon atau tidak toleransi

terhadap nitrat dan penyekat (kelas I dengan tingkat bukti B) (Halim & Adji, 2018).

Verapramil bekerja dengan memblok kanal kalsium tipe L dan mempunyai

efek khusus yang sangat kuat pada AVN, dimana kondisi seluruhnya tergantung

pada spike kalsium. Verapramil juga menghambat Ca2+ selama fase plateu dari

potensial aksi sehingga mempunyai efek inotropik negative. Verapramil dan

diltiazem menekan nodus sinus yang menyebabkan bradikardia yang ringan.

Verapramil terikat terutama oleh (DiPiro, 2015).

Verapamil dan diltiazem akan menyebabkan kontraindikasi pada pasien

dengan bradikardia dan penyakit konduksi yang sudah ada sebelumnya. Verapamil

dan Diltiazem harus digunakan dengan hati-hati dalam kombinasi dengan obat lain

yang menekan konduksi nodus AV (misalnya, penyekat β dan Digoxin) (Marie,

2019).

Nifedipin mempunyai pelepasan yang cepat, hal ini harus dihindari karena

telah menunjukkan aktivasi simpatis refleks, takikardia, dan memperburuk iskemia

miokard.

Table II.3 Obat Golongan CCB (PERKI,2015)

Penghambat kanal kalsium Dosis

Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis

Nifedipine (Long acting) 30-90 mg/hari

Amplodipine 5-10 g/hari

28

2.5.8 Antiplatelet

Antiplatelet menjadi salah satu obat penting untuk pencegahan sekunder

pada pasien pasien yang menderita penyempitan pembuluh darah koroner (Firdaus,

2016). Obat antiplatelet mengurangi agregasi platelet dan thrombosis arteri, pada

arteri dengan atheroma plak yang kemungkinan rupture yang mempunyai banyak

lemak yang di selubungi oleh fibrosa tipis. Rupturnya selubung fibrosa membuat

kolagen subendotel terpapar sehingga mengaktifasi platelet dan menyebabkan

agregasi (Martindale, 2014).

Hal yang harus diperhatikan pada pemberian antiplatelet yaitu memastikan

obat dikonsumsi sesudah makan dan memperhatikan tanda-tanda gastritis atau feses

yang menjadi hitam. Hindari penggunaan dua macam antiplatelet (Dual anti

platelet) tanpa indikasi kecuali untuk pasien-pasien PJK pasca pemasangan stent

yang diberikan dua macam antiplatelet selama 1 tahun (Firdaus, 2016).

Table II.4 Obat Golongan Antiplatelet (ACC/AHA, 2008)

a. Aspirin

Aspirin bekerja menghambat acetyl cyclooxygenase (COX-1) dalam

platelet secara menetap sehingga mencegah pembentukan thromboxane A2

dan menurunkan agregasi platelet. Sejumlah penelitian menunjukkan efek

yang bermanfaat dari aspirin pada pasien sindroma koroner akut. Aspirin

mempunyai efektivitas terbatas terbatas pada 10-20% pasien yang

menggunakan Aspirin tetap mengalami kekambuhan kejadian vascular.

Penelitian yang dilakukan oleh Eikelboom dan Hengki pada tahun 2003

menunjukkan bahwa Aspirin gagal mencegah lebih dari 81% kejadian

kekambuhan vascular yang serius pada pasien berisiko tinggi meskipun

telah memakai aspirin (Yunita et al., 2015).

Terapi antiplatelet Dosis

Aspirin / Asetosal 165-325 mg load before procedure

81-325 mg daily maintenance dose

81 mg daily is the preferred

maintenance dose

Clopidogrel 600 mg

Prasugrel 60 mg

Ticagrelor 180 mg

29

b. Clopidogrel

Pasien yang menjalani PCI primer diberikan golongan reseptor inhibitor

P2Y12 seperti Clopidogrel, Prasugrel atau Ticagrelor. Clopidogrel

mengurangi agregasi dengan menghambat efek ADP pada platelet secara

irreversibel, Clopidogrel mempunyai efek sinergis bila diberikan bersama

Aspirin (DiPiro, 2015). Clopidogrel secara kompetitif dan irreversibel

menghambat adenosine diphospate (ADP) P2Y12 reseptor. Adenosine

diphosphate yang berikatan dengan P2Y12 reseptor menginduksi perubahan

ukuran platelet dan melemahkan agregasi platelet sementara (Firdaus,

2016).

Pemberian dengan dosis 300 mg secara peroral untuk fibrinolisis atau

tidak reperfusi untuk pasien <75 tahun. Dosis 600 mg dapat digunakan jika

dimulai 24 jam setelah fibrinolisis (Bernard, 2013). Clopidogrel peroral 75

mg/hari ditambah Aspirin pada pasien IMA yang menerima terapi

fibrinolitik. Apabila Clopidogrel diberikan dosis 75 mg diberikan dalam

dosis tunggal dan dikonsumsi jangka panjang dengan pantauan klinik tiap

3-6 bulan sebagai maintenance dose (Firdaus, 2016). Clopidogrel

mengurangi agregasi dengan menghambat efek ADP pada platelet secara

ireversibel. Clopidogrel akan mempunyai efek sinergis apabila

pemberiannya bersamaan dengan Aspirin, Aspirin mempunyai efek

antiplatelet yang relative lemah bila di berikan sendiri. Onset dari

Clopidogrel terjadi dalam 2 jam setelah pemberian dosis 600 mg sedangkan

dosis 300 mg akan mencapai onset dalam 6 jam (Marie et al., 2019).

c. Prasugrel

Prasugrel memegang peranan penting dalam pengobatan penderita

dengan STEMI. Prasugrel merupakan golongan baru thienopyridine

(prodrug) generasi ke-3 yang permulaan kerjanya lebih cepat dan

penghambatan plateletnya lebih kuat dibandingkan Clopidogrel oleh karena

kurangnya ketergantungan Prasugrel terhadap sitokrom P450 (Bernard,

2013). Onset dari Prasugrel dicapai dalam 1–1,5 jam setelah pemebrian oral

dengan dosis 60 mg (Marie et al., 2019). Prasugrel harus dihentikan

30

setidaknya 7 hari ketika pasien direncanakan pembererian CAGB kecuali

revaskularisasi urgensi melebihi risiko pendarahan (Rampengan, 2015).

d. Ticagrelol

Ticagrelol salah satu golongan antiplatelet non-thienopyridine dari

cyclopentyl triazolopyrimidinines dengan mekanisme kerja yang berikatan

pada reseptor P2Y12 yang mengakibatkan adanya sifat ikatan yang

reversible pada Ticagrelol. Pemberian Ticagrerol dilakukan tanpa

memandang strategi pengobatan awal, pemberian Ticagrelol juga dilakukan

pada pasien yang sudah mendapat terapi Clopidogrel tetapi apabila

diberikan terapi Ticaglerol maka terapi Clopidogrel dihentikan. Ticagrelol

direkomendasikan untuk semua pasien dengan resiko kejadian iskemik

sedang hingga tinggi misalnya pada peningkatan troponin dengan dosis

loding 180 mg dilanjutkan 90 mg dua kali sehari (PERKI, 2015).

Ticagrelol memiliki onset of action 30 menit setelah pemberian oral

serta mempunyai duration of action hingga 3-4 hari. Metabolisme

Ticagrelol terutama terjadi di hati oleh sitokrom P450 enzim CYP3A4 untuk

eliminasi metabolitnya melalui sekresi billier.Ticagrelol mempunyai waktu

paruh 7 jam sedangkan metabolitnya mempunyai waktu paruh 9 jam

(Medikamen, 2013).

2.5.9 Antikoagulan

a. Heparin

Heparin diberikan secara subkutan atau infus intravena untuk

mengurangi thrombosis vena pada pasien infark miokard. Efek

antikoagulannya membutuhkan keberadaan antitrombin III suatu inhibitor

protease dalam darah yang membentuk kompleks dengan thrombin,

komplek heparin-antitrombin III juga menghambat faktor Xa dan beberapa

faktor lainnya (Neal, 2006).

Pedoman yang merekomendasikan bolus awal 60–70 IU / kg hingga

maksimum 5000 IU, diikuti dengan infus 12-15 IU / kg / jam. Penggunaan

antikoagulasi parenteral tambahan sebelum maupun sesudah fibrinolysis di

ST-elevasi ACS dengan pemberian antikoagulasi sampai diberikannya

31

revaskularisasi, pemberian koagulan setidaknya selama 48 saat ditanagani

secara medis (Onwordi et al., 2018).

b. Warfarin

Terapi antikoagulan harus dimulai dalam keadaan darurat kemudian

dilanjutkan selama 48 jam atau lebih pada pasien tertentu yang akan

menerima antikoagulasi Warfarin setelah infark miokard. Warfarin aktif

diberikan secara oral, Warfarin memblok karboksilasi ˠ yang tergantung

vitamin K dari resido glutamate menyebabkan produksi faktor VII, IX, X

dan prototrombin (II) yang termodifikasi. Pemberian Warfarin secara oral

di absorbsi dengan baik, sedangkan awitan efek antikoagulan akan tertunda

selama 2-3 hari, Warfarin mempunyai waktu paruh yang panjang sekitar 40

jam dan dapat membutuhkan waktu sampai 5 hari agar prototrombin

kembali normal setelah pemberian terapi (Neal, 2006). Penggunaan

antikoagulasi oral secara rutin setelah infark miokard akut pada pasien tanpa

indikasi lain biasanya tidak dianjurkan, meskipun Warfarin mungkin

digunakan pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat antiplatelet.

c. Enoxaparin

Enoksaparin disarankan diberikan pada pasien dengan risiko

pendarahan rendah apabila Fondaparinuk tidak tersedia.

Table II.5 Golongan Antikoagulan (ACC/AHA, 2008)

Antikoagulan Dosis

UFH

(unfractionated

heparin)

Bolus IV 60 U / kg (maksimum5000 U), diikuti

dengan infus 12 U / kg / jam (maksimum 1000 U)

pada awalnya, disesuaikan untuk mempertahankan

aPTT pada 1,5 hingga 2,0 kali kontrol (sekitar 50

hingga 70 detik) selama 48 jam.

Enoxaparin Jika usia > 75 thn dosis 0,75 mg/kg subkutan selama

12 jam (maksimum 75mg untuk dua dosis pertama)

Jika usia < 75 tahun dosis 30 mg IV bolus 1mg/kg

dalam 15 menit

Fondaparinux Dosis awal 2,5 mg IV, kemudian 2,5 mg subkutan

setiap hari

2.5.10 Statin

Statin adalah penghambat 3-hidroksi- 3-metilglutaryl-koenzim A (HMG-

CoA) reduktase, penentu laju menggunakan enzim untuk sintesis kolesterol.

Mereka mengurangi kolesterol dengan merangsang peningkatan kepadatan rendah

32

lipoprotein reseptor pada membran hepatosit, dengan demikian meningkatkan

pembersihan LDL dari sirkulasi, serta statin efektif untuk pencegahan primer dan

Sekunder pada pasien IMA dengan konsentrasi kolestrol tinggi yang telah

dianjukan untuk pasien penderita infark miokard. Efek utamanya adalah

mengurangi kolesterol LDL, tetapi Statin juga dapat mengurangi trigliserida sampai

batas tertentu dan meningkatkan kolesterol-lipoprotein densitas tinggi (HDL).

Statin merupakan obat paling efektif menurunkan lipid (Martindale, 2014).

a. Simvastatin

Simvastatin menginduksi reseptor LDL hepar sehingga meningkatkan

masukan kolesterol LDL ke hepar. Absorbsi Simvastatin yang telah

dilakukan uji pada hewan di dapatkan absorbs rata-rata 80% dari dosis oral,

setelah pemberian secara oral mencapai substansial lebih tinggi dihati dari

pada pada jaringan, kerena Simvastatin mengalami metabolism lintas

pertama (Simatupang, 2017).

b. Atorvastatin

Atorvastatin digunakan untuk mengurangi kadar kolesterol LDL,dan

trigliserilida, dan untuk meningkatkan kadar kolesterol HDL pada

pengobatan hyperlipidemia. Efek Atorvastatin lebih poten dibandingkan

dengan simvastatin, penurunan kadar kolesterol oleh Atorvastatin sekitar 5-

20% lebih rendah dibanding dengan simvastatin (Simatupang, 2017).

2.5.11 Golongan Beta-bloker

Beta-blocker merupakan golongan obat yang bekerja melalui mekanisme

penghambatan reseptor reseptor beta adrenergik di beberapa organ seperti jantung,

pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas dan hati. Menurut Frederix & Mcintosh

(2017) dalam European Society of Cardiology, beta-blocker merupakan pengobatan

lini pertama untuk mengendalikan denyut jantung dan mengurangi atau mencegah

timbulnya gejala pada gangguan kardiovaskuler arteri koroner stabil. Adapun pada

kondisi post miokard infark, beta-blocker mampu mengurangi resiko kematian

sebesar 20-25% (Novrianti et al., 2020).

Manfaat pemberian obat golongan beta-blocker pada pasien infark miokard

diantaranya mengurangi resiko jangka pendek dari reinfark dan resiko jangka

panjang dari kematian, Selain itu pada infark miokard beta-blocker membantu

33

mencegah remodeling dan menurunkan resiko fibrilasi ventrikel (Sari, 2020). Beta-

bloker mempunyai kelemahan atau efek samping seperti tangan dingin dan fatigue,

semua golongan beta-bloker menurunkan tekanan darah (Neal, 2006).

Propranolol dapat bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat

besar dalam menurunkan frekuensi denyut jantung. Propanolol mekanisme kerja β-

bloker non selektif (antiaritmia), memblok secara kompetitif respon terhadap

stimulasi α-bloker dan β- bloker adrenergik yang akan menghasilkan penurunan

denyut jantung (Sari, 2020).

Table II.6 Golongan Beta-bloker (PERKI, 2015)

Golongan Betabloker Selektivitas Dosis untuk angina

Atenolol β1 50 – 200 mg/hari

Bisoprolol β1 10 mg/hari

Carvediol α dan β 2x6,25 mg/hari,

titrasi sampai

maksimum 2,25

mg/hari

Metoprolol β1 50-200 mg/hari

Propranolol Non selektif 2x20-80 mg/hari

2.5.12 ACE-Inhibitor

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) dapat mengurangi

remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pasca infark miokard yang

disertai dengan gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung.

ACE-Inhibitor dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang kecuali ada

kontra indikasi pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% serta pasien

yang mempunyai diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit gagal ginjal (PERKI,

2015).

Inhibitor ACE misalnya kaptopril dapat menurunkan beban jantung serta

pada uji klinis telah menunjukkan bahwa ACE inhibitor menurunkan gejala,

memperlambat progresi penyakit. Dilatasi vena menurunkan tekanan preload serta

dilatasi ateriol afterload. Pengurangan tonus vascular menurunkan kerja serta

kebutuhan oksigen pada gagal jantung misalnya Captopril, Enalapril (Neal, 2006).

Captopril digunakan sebagai profilaksis pada pasien yang mempunyai disfungsi

ventrikel kiri simtomatik atau asimtomatik yang bertujuan untuk meningkatkan

kelangsungan hidup dan mengurangi terjadinya infark berulang. Captopril

34

mempunyai absorbsi cepat apabila diberikan secara oral serta memiliki

bioavailabilitas sampai 75 % konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 1 jam,

sebagian besar Captopril di eliminasi dalam urin, 40-50% sebagai Captopril dan

sisanya sebagai dimer kaptopril disulfide dan kaptopril sistein disulfide. Waktu

paruh pada Captopril 2 hingga 3 jam tetapi peningkatan ini pada gangguan ginjal

(Martindale, 2014).

Ramipril yang diberikan secara oral diserap dengan cepat (puncak

konsentrasi dalam 1 jam; tingkat tetapi tidak sejauh penyerapan oral (50% -60%)

apabila di sertai dengan makanan. Ramipril dimetabolisme menjadi Ramiprilat oleh

hati esterase dan metabolit tidak aktif yang diekskresikan terutama oleh ginjal

(Brunton, 2018).

Lisinopril adalah analog lisin enalaprilat, Lisinopril lebih poten dibanding

Enalaprilat, Lisinopril diabsorbsi secra berlahan sekitar 30% bioavailabilitas tidak

dipengaruhi oleh makanan, Lisinopril mencapai kadar puncak dalam 7 jam

(Brunton, 2018).

Table II.7 Golongan ACE Inhibitor (PERKI,2015)

ACE inhibitor Dosis

Captopril 2-3 x 6,25 – 50 mg

Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam dosis 1 atau 2

dosis

Lisinopril 2,5 – 20 mg/hari dalam 1 dosis

Enalapril 5-20g/hari dalam 1 atau 2 dosis

2.5.13 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

ACEI/ARB telah menjadi salah satu pengobatan IMA mempunyai efek

jangka pendek dan jangka panjang. Namun, dalam uji klinis menunjukkan manfaat

dengan Beta-bloker dan ACEI/ARB di IMA sebelum dilakukan PCI untuk STEMI

serta manajemen invasive untuk NSTEMI (Sim et al., 2020). ARB dapat diberikan

pada pasien dengan intoleransi ACE-I, dengan memilih agen dan dosis yang telah

terbukti efikasinya. Golongan ARB menghambat secara langsung reseptor

angiotensin yang lebih selektif yaitu AT1 (PERKI, 2015).

Valsartan Kadar plasma puncak terjadi 2-4 jam setelah pemberian oral;

makanan secara nyata menurunkan penyerapan; t plasma ½ sekitar 9 jam. Valsartan

dibersihkan dari sirkulasi oleh hati (~ 70% dari pembersihan total), dan ketidak

cukupan hati akan mengurangi pembersihan (Brunton, 2018).

35

Table II. 8 Golongan ARB (DiPiro et al., 2011)

Obat golongan ARB Dosis

Candesartan 32 mg sehari sekali secara oral

Valsartan 160mg 2x sehari secara oral

2.6 Tinjauan Obat Asetosal

Asetosal merupakan antiplatelet yang digunakan untuk terapi kardiovaskular,

stroke, rheumatoid artritis, serta gout. Terapi asetosal digunakan untuk mencegah

agregasi trombosit dan thrombosis lebih lanjut pada arteri yang mengalami infark.

Aspirin mengurangi kematian sekitar 50% dibandingkan dengan tanpa terapi

antiplatelet pada pasien dengan NSTEMI (PERKI, 2015).

a. Struktur Asetosal

Gambar 2.11 Struktur Asetosal (Martindale, 2014)

b. Dosis

Dosis permulaan 160-325 mg/hari/oral dan diteruskan dengan dosis harian 75-

162 mg/hari/oral (DiPiro, 2015). Meskipun aman, aspirin dihubungkan dengan

meningkatnya perdarahan intrakranial dan gastrointestinal. Data penelitian dari

CURE (the Clopidogrel in Unstable Angina to PreventReccurrent Events) dan

BRAVO menunjukkan angka perdarahan yang kecil pada dosis aspirin yang rendah

(75-100 mg) dibandingkan dosis 200-325 mg (Halim & Adji, 2018). Pengulangan

dosis aspirin dapat menghasilkan efek kumulatif pada fungsi platelet (Brunton,

2018).

c. Farmakodinamik

Aspirin adalah obat antiplatelet yang menghambat siklooksigenase atau COX.

Enzim COX-1 juga merupakan kunci enzim dalam pembentukan tromboksan A2

(TXA2). TXA2 tromboksan menyebabkan penggumpalan trombosit di atas

robekan pembuluh untuk memperbaiki ketika pembuluh darah rusak atau sakit.

36

Agregasi trombosit menghasilkan bekuan yang menghentikan pendarahan dan

membantu perbaikan pembuluh darah yang rusak. Aspirin menghambat COX-1,

oleh karena itu TXA2, sehingga mengurangi kemampuan trombosit untuk

menumpuk. Dalam proses pemblokiran COX, gugus asetil pada aspirin dihidrolisis

dan kemudian diikat ke gugus alkohol serin sebagai ester. Ini memiliki efek

memblokir saluran di enzim dan asam arakidonat tidak dapat masuk ke situs aktif

enzim dan diubah menjadi prostaglandin (Gasparyan et al., 2008).

d. Farmakokinetik

Aspirin diabsorpsi secara cepat di saluran pencernaan bagian atas terutama di

bagian pertama duodenum namun mempunyai bioavailabilitas yang rendah akibat

first pass effect metabolisme dan hidrolisis menjadi salisilat di dinding usus

(Siswanto et al., 2016). Kadar plasma memuncak 30 hingga 40 menit setelahnya

pemberian aspirin, dan penghambatan fungsi platelet terbukti dalam 1 jam.

Sebaliknya, untuk mencapai kadar plasma memebutuhkan waktu 3 sampai 4 jam

Aspirin dalam bentuk tablet memliki bioavailabilitas 40-50 % dari berbagai

pemberian dosis (Eikelboom et al., 2012).

Konsentrasi aspirin dalam plasma mempunyai waktu paruh antara 15 sampai

20 menit, Aspirin menghambat agregasi platelet melalui jalur agregasi tromboxan,

blokade dilakukan dengan menginhibisi enzim siklooksigenase-1 (COX-1) melalui

Gambar 2.12 Mekanisme Kerja Aspirin (Gasparyan et al., 2008)

Gambar 2.13 Mekanisme Kerja Aspirin (Gasparyan et al., 2008)

37

proses asetilasi, yang akan menghasilkan berkurangnya produksi tromboxan A2,

derivate prostaglandin serta promotoragregasi platelet. Rentang rata-rata trombosit

manusia adalah 10 hari yang berrati 10% sampai 20% dari trombosit yang

bersikulasi diganti setiap hari (Eikelboom et al., 2012).

e. Efek Samping

Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak di perut, mual, dan

perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak

lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau antagonist Hz dapat

mengurangi efek tersebut Obat ini dapat mengganggu hemostasis pada tindakan

operasi dan bila diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral dapat

meningkatkan risiko perdarahan. Efek samping lain dari penggunaan Aspirin

adalah gangguan pada saluran pencernaan. Adanya gugus asam karboksilat pada

Aspirin memberikan efek samping pada pencernaan. Selain itu penghambatan dari

COX menyebabkan turunnya prostaglandin yang mengakibatkan turunnya aliran

darah mikrovaskuler, menurunkan sekresi mukus dan meningkatkan sekresi asam

lambung. Efek samping Aspirin dapat meningkatkan agregasi platelet serta

gangguan pada saluran pernafasan (Rahmadanita, 2020).

f. Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lain. Ulkus peptikum, penyakit

hemoragik, gangguan koagulasi (misalnya hemofilia, trombositopenia), asam urat.

gangguan hati dan ginjal berat. Anak-anak <16 tahun dan sedang dalam proses

pemulihan dari infeksi virus. Kehamilan (dosis> 100 mg setiap hari selama

trimester ke-3) dan menyusui. Penggunaan bersamaan dengan NSAID dan

methotrexate lainnya (MIMS, 2021).

g. Interaksi Obat

Aspirin dapat meningkatan risiko perdarahan gastrointestinal dan ulserasi

apabila digunakan bersama kortikosteroid. Pemberian Aspirin bersama

antikoagulan Kumarin (misalnya Heparin, Warfarin, Fenindione) dapat

meningkatan risiko perdarahan dan dapat menggantikan warfarin dari tempat

berikatan dengan protein, menyebabkan perpanjangan waktu prothrombin.

Mengurangi pengikatan fenitoin dan valproat ke albumin serum yang menyebabkan

peningkatan konsentrasi obat bebas. Mengurangi efek urikosurik (misalnya

38

Probenesid, Sulfinpyrazone). Mengganggu ekskresi litium dan digoksin ke ginjal.

Adapun yang berpotensi fatal yaitu: Peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal

dan ulserasi dengan NSAID lain (MIMS, 2021).

h. Bentuk Sediaan

Table II.9 Sediaan Golongan Antiplatelet Di Indonesia (MIMS, 2021)

Nama obat/ pabrik Jenis sediaan Dosis

Aspilet (Darya-varia) Tablet kunyah 80 mg 1x/hari

Astika (Ikapharmindo) Tablet salut enterik 100 mg/hari

Cardio aspirin Tablet salut enterik 100 mg-300 mg/hari

Farmasal (Fahrenheit) Tablet salut enterik 100 mg 1tab/hari

Miniaspi 80

(Mersifarma TM)

Tablet salut enterik 80 -160 mg/hari

Proxime (Sanbe) Tablet Maksimum 300

mg/hari

Thrombo aspilet

(Darya-Varia)

Tablet salut enterik 80 mg 1-2 tab 1x

sehari

2.7 Terapi Non-Farmakologi Infark Miokard Akut

2.7.1 Terapi Non- Farmakologi STEMI

Untuk pasien dengan STEMI yang muncul dalam waktu 12 jam

setelah onset gejala, pilihan pengobatan reperfusi adalah reperfusi dini

dengan PCI primer dari infark arteri dalam waktu 90 menit sejak kontak

pertama (DiPiro, 2015).

2.7.2 Terapi Non-Farmakologi NSTEMI

Untuk pasien dengan NSTEMI ACS, pedoman praktik

merekomendasikan angiografi coroner dengan PCI atau revaskularisasi

bedah bypass arteri coroner sebagai pengobatan dini untuk pasien yang

berisiko tinggi; pendekatan seperti itu juga dapat dipertimbangkan pasien

yang tidak berisiko tinggi (DiPiro, 2015).