5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Ginjal 2.1 ...

29
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Ginjal 2.1.1 Struktur dan Anatomi Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ vital manusia yang memiliki bentuk seperti kacang, dua ginjal tersebut terletak di posterior perut dan dirongga luar peritoneum. Karena posisinya yang berada di posterior dari peritoneum rongga perut maka ginjal disebut sebagai organ retroperitoneum ( retro = di belakang). 2.1.2 Anatomi Eksternal Ginjal Ginjal orang dewasa umumnya memiliki panjang 10-12 cm (4 -5 in), lebar 5 7 cm (2-3 in) dan tebal 3 cm (1 in) dan memilik berat sekitar 150 gram (Tortora J,2014). Ginjal memiliki batas media cekung dimana terdapat hillus yang merupakan tempat saraf masuk, ureter keluar, dan pembuluh darah dan getah bening masuk dan keluar, dan batas lateral cembung. Dua permukaan ginjal tersebut memiliki lapisan yang berfungsi sebagai lapisan luar yaitu kapsul fibrous yang tipis (Hall, 2016). Gambar 2. 1 Penampang melintang ginjal (a), piramida ginjal (b) dan nefron (c) (Shier, 2012)

Transcript of 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Ginjal 2.1 ...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Ginjal

2.1.1 Struktur dan Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ vital manusia yang memiliki bentuk

seperti kacang, dua ginjal tersebut terletak di posterior perut dan dirongga luar

peritoneum. Karena posisinya yang berada di posterior dari peritoneum rongga

perut maka ginjal disebut sebagai organ retroperitoneum ( retro = di belakang).

2.1.2 Anatomi Eksternal Ginjal

Ginjal orang dewasa umumnya memiliki panjang 10-12 cm (4 -5 in), lebar 5

– 7 cm (2-3 in) dan tebal 3 cm (1 in) dan memilik berat sekitar 150 gram (Tortora

J,2014). Ginjal memiliki batas media cekung dimana terdapat hillus yang

merupakan tempat saraf masuk, ureter keluar, dan pembuluh darah dan getah

bening masuk dan keluar, dan batas lateral cembung. Dua permukaan ginjal

tersebut memiliki lapisan yang berfungsi sebagai lapisan luar yaitu kapsul fibrous

yang tipis (Hall, 2016).

Gambar 2. 1 Penampang melintang ginjal (a), piramida ginjal (b) dan nefron (c)

(Shier, 2012)

6

2.1.3 Anatomi Internal Ginjal

Potongan frontal ginjal memperlihatkan dua region berbeda yaitu daerah

superfisial berwarna merah muda yang dinamakan korteks ginjal dan bagian lebih

dalam yang berwarna coklat merah gelap disebut medulla ginjal (Tortora J, 2014).

Penampilan granular disebabkan oleh banyaknya glomeruli pada korteks. Medula

terdiri dari bagian dalam ginjal. Medula terdiri dari bagian luar dan sebuah bagian

dalam. Bagian luar memiliki penampilan lurik yaitu karena banyak tubulus

berjalan dari korteks ke bawah ke dalam medulla (gambar 2.1). Tubulus ini adalah

bagian dari nefron, unit fungsional ginjal, dan tubulus mengumpulkan ke dalam

struktur yang disebut piramida ginjal (Feher, 2017). Medula terbagi antara 8 – 10

massa jaringan bernetuk kerucut yang disebut pyramid ginjal. Setiap pyramid

ginjal merupakan perbatasan antara medula dan korteks yang berakhir di papilla

yang menghubungkan ke dalam ruang ginjal panggul (Hall, 2016) .

2.1.3.1 Struktur Makroskopik Ginjal

Nefron adalah unit fungsional ginjal dengan jumlah pada setiap manusia

sekitar 800.000 hingga 1.000.000 nefron yang masing-masing mampu

membentuk urin. Namun, ginjal tidak dapat meregenerasi nefron baru. Nefron

terdiri dari dua bagian yaitu : korpuskulum (badan kecil) ginjal tempat plasma

darah disaring dan tubulus ginjal yang dalamnya mengalir cairan yang telah

difiltrasi.

2.1.3.2 Korpuskulum Ginjal

a. Glomerulus

Glomerulus adalah seperti bola kapiler yang dikelilingi oleh cawan

epitel berdinding rangkap (Tortora, 2014). Glomerulus berisi jaringan

percabangan dan kapiler glomerulus anastomosis yang, dibandingkan

dengan kapiler lain, memiliki tekanan hidrostatik tinggi (sekitar 60 mm

Hg) (Hall, 2016).

b. Kapsul Bowman

Kapsul glomerulus (bowman) terdiri atas lapisan visceral dan parietal.

Lapisan visceral terdiri dari sel epitel skuamosa sederhana termodifikasi

atau yang disebut podosit. Terdapat dinding dalam kapsul yang

7

tersususn dari tonjolan-tonjolan beberbentuk kaki dari sel podosit yang

melingkari selapis sel endotel kapiler glomerulus. Cairan yang disaring

dari glomerulus masuk ke kapsul bowman, ruang anatara dua lapisan

kapsul bowman disebut lumesn saluran urin (Tortora, 2014).

2.1.3.3 Tubulus Ginjal

a. Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus kontortus proksimalis menunjukkan bagian dari tubulus yang

menyatu atau melekat ke kapsul glomerulus. Kontortus berarti tubulus

tersebut berbentuk bergulung rapat dan tidak lurus. Tubulus ini terletak

di korteks ginjal. Reabsoprsi terbesar zat terlarut dan air berlangung

pada tubulus ini dengan mereabsorpsi 65% dari air, Na+, dan K

+ yang

terfiltrasi 100% (Gambar 2.2.) (Tortora, 2014).

b. Lengkung Henle

Bentuk tajam berbentuk U atau jepit rambut loop yang masuk ke

medula ginjal (Sherwood, 2016). Disetiap nefron lengkung henle

sebagai penghubung tubulus kontortus prosimalis dan distalis. Bagian

pertama dari lengkung henle yang bernama pars desendens ansa henle

masuk ke dalam medula ginjal kemudian membelok tajam dan kembali

ke korteks ginjal sebagia pars asendens ansa henle. Lumen pars

asendens tipis sama seperti di bagian-bagian lain tubulus ginjal, hanya

epitelnya yang lebih tipis. Nefron dengan lengkung henle panjang

memungkinkan ginjal mengekskresikan urin yang sangat encer atau

sangat pekat (Gambar 2.2.) (Tortora, 2014).

c. Tubulus Kontortus Distal

Saat cairan mencapai ujung tubulus kontortus distalis 90-95% zat

teralarut dan air yang terfiltrasi telah dikembalikan ke dalam darah.

Tubulus distal terdiri atas bagian lurus yang tebal menanjak dari

lengkung henle kembali ke korteks (Mescher, 2013).

8

Gambar 2. 2 Bagian Nefron (Hall, 2016)

2.1.4 Fungsi Ginjal

Ginjal memiliki beberapa fungsi penting dalam tubuh manusia salah satunya

yaitu mengeksresikan sisa metabolisme dalam tubuh, namun masih ada beberapa

fungsi penting lainnya, diantaranya adalah :

2.1.4.1 Mengeksresikan Sisa Metabolisme Tubuh

Ginjal memiliki fungsi utama untuk menghilangkan sisa metabolisme yang

tidak dibutuhkan kembali oleh tubuh. Sisa metabolisme ini termasuk urea (dari

metabolism asam amino), kreatinin (dari keratin otot), asam urat (dari asam

nukleat), produk akhir dari kerusakan hemoglobin (seperti bilirubin) dan berbagai

metabolit hormone. Sisa metabolism tersebut harus dihilangkan tubuh secepat

mereka diproduksi. Selain itu, ginjal juga mengeksresikan sebagian besar racun

dan zat asing lainnya baik diproduksi oleh tubuh atau dicerna seperti pestisida,

obat-obatan dan zat aditif makanan (Hall, 2016).

2.1.4.2 Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa

Ginjal dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa yaitu melalui

pengeluaran urin yang asam atau basa. Pengeluaran urin asam akan mengurangi

jumlah asam dalam cairan ekstraselular, sedangkan urin basa akan mengurangi

jumlah basa dalam cairan ekstraseluler. Perubahan pH dapat memberikan

pengaruh terhadap beberapa organ tubuh. Keseimbangan asam-basa terkait

9

dengan pengaturan konsentrasi ion hidrogen bebas dalam cairan tubuh.

Konsentrasi ion hidrogen sangat mempengaruhi proses metabolisme yang

berlangsung dalam tubuh karena hampir semua aktivitas enzim dipengaruhi oleh

konsentrasi ion hydrogen (Jauharany dan Widyastuti, 2017).

Ginjal dalam mempertahankan pH darah agar tetap normal (7,4), darah

harus menyangga dan membuang kelebihan asam yang dibentuk oleh asupan

makanan dan metabolism tubuh. Ion bikarbonat mempengaruhi kapasitas dapar

darah, ion bikarbonat mudah disaring oleh glomerulus dan harus cepat

dikembalikan ke darah untuk mempertahankan pH yang tepat. Sekresi ion

hidrogen oleh tubulus ginjal dalam filtrate mencegah bikarbonat diekresikan ke

dalam urin dan menyebabkan kembalinya ion bikarbonat ke dalam plasma

(Strasinger, 2014).

2.1.4.3 Produksi Hormon

a. Eritropoietin

Selain fungsi utamanya mengatur volume dan komposisi plasma, dan

karenanya berkontribusi pada homeostasis semua cairan tubuh, ginjal

melakukan fungsi-fungsi penting lainnya. Ini termasuk sekresi

erythropoietin sebagai respons terhadap hipoksia. Erythropoietin

adalah hormon glikoprotein yang merangsang laju pembentukan sel

darah merah atau erythropoiesis. Ini membentuk loop umpan balik

negatif lain: pasokan oksigen yang buruk ke ginjal menstimulasi

sekresi erythropoietin, yang merangsang pembentukan sel darah merah

yang pada gilirannya meningkatkan pasokan oksigen ke ginjal (Feher,

2017).

b. Vitamin D

Vitamin D disintesis di kulit dan kemudian dikenakan untuk dua reaksi

hidroksilasi. Yang pertama terjadi di hati dan menghasilkan 25-OH-

cholecalciferol. Kedua Reaksi hidroksilasi terjadi pada mitokondria

ginjal sel tubulus proksimal dan menghasilkan 1,25-(OH)2

cholecalciferol, bentuk sirkulasi aktif vitamin D. Reaksi hidroksilasi di

ginjal dirangsang oleh hormon paratiroid, PTH, dan dengan plasma

10

rendah [Pi]. 1,25- (OH) 2 cholecalciferol menstimulasi Ca2 dan Pi

penyerapan dari usus dan membantu menjaga plasma [Ca2] dan [Pi]

dengan aksi pada tulang dan ginjal. Reaksi hidroksilasi ginjal sangat

penting untuk aktivitas vitamin D dan membentuk bagian dari umpan

balik negatifloop yang mengontrol homeostasis dari Ca2 dan fosfat

(Feher, 2017).

c. Renin

Renin angiotensin aldosterone sistem. Renin adalah enzim yang

disekresikan oleh sel granul di arteriol aferen sebagai respons terhadap

aferen yang lebih rendah tekanan arteriolar. Renin dapat mengubah

protein plasma precursor yang dibuat di hati menjadi untuk angiotensin

I, Angiotensin I lalu dikonversi menjadi angiotensin II oleh ACE,

terutama yang terletak di paru-paru. Angiotensin II memiliki dua

fungsi yaitu vasokonstriktor (meningkatkan total resistensi perifer,

sehingga cenderung mengembalikan tekanan darah menuju normal)

kuat dan melepaskan aldosteron dari korteks adrenal. Peningkatan

aldosteron yang bersirkulasi memiliki efek mengurangi ekskresi Na+

dan meningkatkan ekskresi K+. Hasilnya adalah kecenderungan untuk

mempertahankan ekstraseluler volume, dengan demikian

mempertahankan terhadap penurunan tekanan darah (Feher, 2017).

2.2 Tinjauan Tentang Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang menahun dan bersifat

progresif, pada pasien penyakit ginjal kronik kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan uremia. Penyakit ginjal kronik terjadi apabila Laju Filtrasi

Glomeruler (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih.

Berbagai faktor yang mempengaruhi kecepatan kerusakan serta penurunan fungsi

ginjal dapat berasal dari genetik, perilaku, lingkungan maupun proses degeneratif

(Gabriyelin, 2016). PGK didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal

11

lebih dari 3 bulan dengan implikasi terhadap kesehatan. (McManus dan Wynter-

Minott, 2017).

2.2.2 Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronik

Di Amerika Serikat menurut The United States Renal Data System

(USRDS) dengan menggunakan data dari National Health and Nutrition

Examination Survey (NHANES) memperkirakan bahwa prevalensi gagal ginjal

kronik di Amerika Serikat adalah 13,6% pada sekitar 44 juta penduduk. Penyakit

ginjal kronik lebih sering terjadi pada orang yang berusia lebih dari 60 tahun pada

orang Amerika dan Afrika (Schonder et al., 2016).

Di Indonesia kejadian penyakit ginjal kronik meningkat seiring

bertambahnya usia, berdasarkan hasil Riskedas tahun 2018 prevalensi PGK di

Indonesia meningkat dari 2% menjadi 3,8% dengan prevalensi pada laki-laki lebih

tinggi daripada perempuan yaitu (0,471%) lebih tinggi dari (0,352%) terjadi

peningkatan yang signifikan pada kelompok usia 45-54 tahun (0,56%), usia 55-64

tahun (0,72%), dan tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun (0,82%), sedangkan

pada usia ≥75 tahun (0,74%). Menurut Infodatin 2017, perawatan penyakit ginjal

merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah

penyakit jantung. DKI Jakarta merupakan provinsi tertinggi yang pernah/sedang

cuci darah pada pendududuk berumur ≥15 tahun yang pernah didiagnosis penyakit

ginjal kronik dan jawa timur berada pada urutan ke 9 (RISKESDAS, 2018).

Gambar 2. 3 Prevalensi PGK di Indonesia (RISKESDAS, 2018)

12

2.2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal dapat diklasifikan menjadi 5 berdasarkan kondisi ginjal yaitu

stage 1 – 5, setiap stage memiliki karakteristik sendiri. Penentuan kondisi ginjal

dapat ditentukan dengan Glomerulus Filtration Rate (GFR). GFR digunakan

sebagai ukuran untuk mengetahui besarnya kerusakan ginjal karena filtrasi

glomerulus merupakan tahap awal dari fungsi nefron

Tabel II. 1 Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR (KDOQI, 2014)

GFR

Category

GFR (mL/min/1.73

m2)

Terms

G1 ≥90 Normal or high

G2 60-89 Midly decreased

G3a 45-59 Midly to moderately

decreased

G3b 30-44 Midly to severely

decreased

G4 15-29 Severely decrease

G5 <15 Kidney failure

GFR dapat diperkirakan (eGFR) dengan studi Modification of Diet in Renal

Disease (MDRD). MDRD merupakan sebuah persamaan kreatinin serum. Usia

dan angka tersebut dapat bervariasi tergantung pada jenis kelamin dan etnis. GFR

dinyatakan dalam mL/min/1,732. eGFR dapat dihitung dengan rumus berikut :

eGFR (ml/menit/1,73 m2 ) = 186 x (Serum Kreatinin)-1,154 x (umur)-

0,203 x (0,742 jika perempuan) x (1,212 jika African American) (Pagana et

al., 2015).

The National Kidney Foundation merekomendasikan bahwa estimated GFR dapat

diperhitungkan sesuai dengan serum kreatinin, usia, berat badan dan jenis kelamin

(persamaan Cockcroft and Gault)

𝐺𝐹𝑅 𝑚𝐿/min =

13

2.2.4 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik

Berdasarkan hasil Indonesia renal registry tahun 2018 untuk etiologi

penyakit ginjal kronik hipertensi kembali menjadi etiologi tertinggi yaitu 36% lalu

diikuti oleh nefropati diabetik yaitu 28% dan glomerupati primer 10%.

2.2.4.1 Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama CKD karena efek buruk yang

meningkatkan TD pada pembuluh darah ginjal. Hipertensi tidak terkontrol

menyebabkan tekanan intraglomerular tinggi, mengganggu filtrasi glomerulus.

Kerusakan glomeruli menyebabkan peningkatan filtrasi protein, menghasilkan

peningkatan jumlah protein yang tidak normal dalam urin (mikroalbuminuria atau

proteinuria). Mikroalbuminuria adalah presentasi sejumlah kecil albumin dalam

urin dan seringkali merupakan tanda pertama CKD. Proteinuria (rasio protein

terhadap kreatinin ≥200 mg / g) berkembang ketika CKD berkembang, dan

dikaitkan dengan prognosis buruk untuk penyakit ginjal dan CVD. Hubungan

antara CKD dan HTN bersifat siklis, karena CKD dapat berkontribusi atau

menyebabkan HTN. Peningkatan TD menyebabkan kerusakan pembuluh darah di

dalam ginjal, serta di seluruh tubuh. Kerusakan ini merusak kemampuan ginjal

untuk menyaring cairan dan limbah dari darah, yang menyebabkan peningkatan

volume cairan dalam darah sehingga menyebabkan peningkatan TD (Buffet dan

Ricchetti, 2012).

2.2.4.2 Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyebab tertinggi kedua pada penyakit ginjal

kronik atau juga sering dikenal dengan nefropati diabetik. Kerusakan pada

membrane glomerulus tidak hanya disebabkan oleh adanya penebalan membran

glomerulus teteapi juga akibat adanya peningkatana proliferasi sel-sel mesangial

dan peningkatan endapan bahan seluler dan non-seluler didalam matriks

glomerulus sehingga menyebabkan adanya akumulasi bahan padat pada sekitar

berkas kapiler. Saat kadar gula darah tidak terkontrol akan menyebabkan adanya

pengendapan protein glikosilasi dan pengendapan ini diyakini berkaitan dengan

kerusakan glomerulus sehingga struktur vascular di glomerulus mengalami

14

sclerosis (Strasinger, 2014). Berikut tabel dibawah tentang klasifikasi klinis

penyakit ginjal diabetik :

Tabel II. 2 Klasifikasi klinis penyakit ginjal diabetik (Strasinger, 2014)

Albuminuria Durasi Hipertensi Glomerulus filtration

rate

Fase 1

Hiperfiltrasi

< 30

mg/hari

Onset normal ↑ 20 -50 %

Fase 2

Normoalbuminuria

(Silent phase)

< 30

mg/hari

2-5 tahun normal Normal / ↑

Fase 3

Mikroalbuminuria

(Incipient)

30 – 300

mg/hari

5-15

tahun

tinggi Normal

Fase 4

Mikroalbuminuria

(over nephropathy)

>300

mg/hari

10-20

tahun

tinggi ↓ 12-15 ml/menit/tahun

Fase 5

PGTA

20-30

tahun

tinggi <10-15 ml/menit

2.2.4.3 Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis merujuk pada proses inflamasi steril mengenai

glomerulus dan terkait temuan darah, protein dan silinder dalam urin. Terdapat

bermacam jenis glomerulonephritis dan kondisi dapat berkembang dari satu

bentuk kebentuk lainnya yaitu glomerulonephritis glomerulus progresif-cepat

menjadi glomerulofritis kronik yang dapat bekembang menjadi sindrom nefrotik

dan pada akhirnya penyakit ginjal kronik (Strasinger, 2014).

Glomerulonefritis akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan gejala

yang mendadak dengan gejala demam, edema di sekitar mata, hipertensi dan

hematuria. Glomerulonefritis progresif-cepat dengan prognosis yang lebih buruk

daripada glomerulonefrtis akut dan sering berakhir dengan penyakit ginjal. Gejala

dimulai dengan adanya pengendapan kompleks imun di dalam glomerulus.

Glomerulonefritis kronik dengan pemeriksaan menunjukkan adanya hematuria,

proteinuria, glukosuria sebagai akibat dari disfungsi tubulus dan beragam silinder.

Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria masif yaitu lebih besar dari 3,5

15

g/hari, kadar albumin rendah, kadar lemak serum tinggi dan edema (Strasinger,

2014).

Gambar 2. 4 Etiologi Penyakit Ginjal kronik (IRR, 2018).

2.2.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Saat nefron terluka dan sisa nefron akan hidup beradaptasi kompensasi,

dengan aliran darah per nefron dan terjadi hiperfiltrasi untuk menormalkan GFR

(hipotesis Brenner). Perubahan permeabilitas dinding kapiler glomerulus adalah

ciri dari penyakit glomerulus. Vasodilatasi ginjal merupakan gejala awal dan

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kapiler pada glomerulus dan cedera

pada dinding endotel intra glomerulus sehingga terjadi kerusakan glomerulus.

Proteinuria mungkin disebabkan oleh lesi glomerulus yang mendasari atau hasil

dari peningkatan tekanan intra-glomerular. Protein atau faktor yang terikat dengan

albumin yang rusak (seperti asam lemak, growt factor, atau produk akhir

metabolisme) mungkin menuju cedera sel tubulus proksimal, Sintesis sitokin lokal

(meningkatkan rekrutmen inflatori interstitial sel) lalu terjadi hipertrofi

glomerulus. Terjadi peningkatan produksi ECM menyebabkan glomerulosklerosis

sehingga terjadi chronic kidney disease (Steddon, 2014).

16

Gambar 2. 5 Patofisiologi PGK (Steddon, 2014).

2.2.6 Faktor Resiko Penyakit Ginjal Kronik

PGK disebabkan oleh 3 jenis faktor diantaranya adalah faktor kerentanan,

faktor inisiasi dan faktor progresi. Faktor kerentanan adalah faktor yang dapat

meningkatkan resiko penyakit ginjal namun tidak menyebabkan kerusakan ginjal

secara langsung, diantaranya adalah usia lanjut, berkurangnya massa ginjal, berat

lahir yang rendah, ras atau etnis minoritas, riwayat keluarga, pendapatan dan

pendidikan yang rendah, peradangan sistemik dan dislipidemia. Faktor inisiasi

adalah faktor yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung dan

dapat dimodifikasi dengan terapi obat, diantaranya adalah diabetes melitus,

hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik dan HIV nefropati.

Sedangkan faktor progresi adalah faktor yang mempercepat penurunan fungsi

ginjal setelah inisiasi dari kerusakan ginjal seperti glikemia pada penderita

diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia dan merokok (Hill et al, 2016).

17

2.2.7 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronik

Pada PGK stage awal keadaan GFR masih normal kemudian fungsi nefron akan

menurun secara perlahan ditandai dengan adanya peningkatan kadar ureum dan serum

kreatinin. Ketika GFR 60-89% masih asimtomatik namun terjadi peningkatan kadar

ureum dan serum kreatinin. Ketika GFR sebesar 15-29% pasien mulai menunjukkan

gejala anemia, peningkatan TD, gangguan fosfor dan kalsium, pruiritus dan muntah.

Ketidakseimbangan elektrolit dan air juga terjadi.Selain itu pasien juga mudah

terkena infeksi seperti ISK. Pada saat LFG pasien PGK <15% maka pasien akan

menunjukkan gejala serta komplikasi yang lebih serius dan pasien memerlukan terapi

pengganti ginjal (kidney replacement) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.

Pada keadaan ini pasien sudah dikatakan masuk pada kategori Penyakit Ginjal Kronik

Stadium 5 (ESRD) (Hudson, 2014)

2.2.8 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

2.2.8.1 Anemia

Menurut KDIGO (2012), anemia adalah kondisi kadar hemoglobin (Hb)

pasien <13 g/dL untuk laki-laki dewasa dan <12 g/dL untuk perempuan dewasa.

Eritropoietin diproduksi di ginjal oleh fibroblas interstitial peritubular kortikal.

Produksi eritropoietin oleh ginjal akan menurun apabila terjadi penurunan massa

ginjal yang berfungsi. Kekurangan zat besi juga merupakan faktor umum yang

berkontribusi terhadap anemia pada PGK. Metabolisme besi biasanya diatur

dengan ketat oleh hepcidin. Kelainan pada hepcidin dapat mengurangi

ketersediaan zat besi untuk erythropoiesis yang disebabkan oleh peradangan.

Erythrocytosis adalah kejadian yang jauh lebih jarang pada pasien dengan PGK.

Fungsi trombosit yang rusak dengan kecenderungan perdarahan diketahui terjadi

pada pasien dengan PGK lanjut dan uremia (Berns, 2015).

2.2.8.2 Ketidakseimbangan Na+ dan Air

Ginjal berfungsi dalam menjaga keseimbangan natrium dan air. 130-147

mEq/L merupakan kadar Na+ normal didalam tubuh. Pada pasie PGK fungsi

ginjal terganggu menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan elektrolit. Biasanya

pasien PGK mengalami kelebihan Na+ dan air. Apabi;a kelebihan Na+ berjalan

18

terus-menerus maka dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung, hipertensi dan

edema perifer. Kelebihan air menyebabkan hiponatremia (Perlman et al., 2014).

2.2.8.3 Hiperkalemi

Penurunan eksresi kalium pada pasien PGK sangat berbahaya karena

mengakibatkan hiperkalemi. Hiperkalemia dapat diklasifikasikan menjadi 3

menurut kalium serum yaitu : ringan (5,5-6,5 mmol / l), sedang (6,5-7,5 mmol / l)

dan hiperkalemia berat (> 7,5 mmol / l). Hiperkalemia berpotensi mengancam

jiwa kondisi di mana serum kalium melebihi 5,5 mmol / l. Pada pasien gangguan

fungsi ginjal, terutama ketika GFR <15 ml / menit, apabila terjadi sedikit

peningkatan asupan potasium dapat menyebabkan hiperkalemia berat. Selain

gagal ginjal akut dan kronis, hipoaldosteronisme, dan kerusakan jaringan masif

seperti pada rhabdomyolysis merupakan kondisi khas yang menyebabkan

hiperkalemia. Gejala tidak spesifik dan sebagian besar terkait dengan disfungsi

otot atau jantung (Lehnhardt dan Kemper, 2011).

2.2.8.4 Mineral Bone Disorder (Renal Osteodystrophy)

Gangguan tulang dan mineral termasuk defisiensi hidroksivitamin D, umum

terjadi pada semua pasien PGK. Gangguan tersebut bertambah parah oleh

hiperfosfatemia yang diakibatkan oleh berkurangnya eksresi fosfat sehingga

mengurangi konsetrasi kalsium serum terionisasi dan menyebabkan menurunnya

jumlah kalsium dalam tulang dan dalam jaringan lunak. Hipokalsemia dan

hiperfosfatemia menghasilkan peningkatan sekresi hormon PTH. Ginjal tidak

dapat menanggapi PTH dengan meningkatkan reabsorpsi kalsium ginjal. Kadar

PTH tetap meningkat dan terjadi hiperplasia kelenar paratiroid.

Hiperparatiroidisme sekunder menghasilkan gangguang pada struktur tulang

normal dan ini disebut osteosclerosis (pergeseran tulang) (Whittlesea, 2019).

2.2.8.5 Uremia

Uremia yaitu ketika terjadi penumpukan hasil dari efek biologis dan

metabolit yang tidak diekresikan sehingga tertahan di dalam tubuh. Metabolit

tersebut kemudia disebut dengan retens uraemik atau racun uraemik jika

memberikan efek toksik (Vanholder et al., 2016).

19

2.2.8.6 Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik terjadi akibat hilangnya kemampuan ginjal dalam

menjalankan fungsinya dalam mengekskresikan asam dan menghasilkan basa.

Terjadi penurunan GFR secara progresif sehingga terjadi penurunan pH <7,35

dan ketika plasma [HCO3] < 22 mEq /yang menandai awal asidosis metabolik

(Goraya dan Wesson, 2017). Asidosis menyebabkan pH dalam darah dan jaringan

rendah atau berada dibawah pH normal karena tingginya konsentrasi ion H+. Pada

kondisi normal nilai pH untuk tubuh manusia yaitu 7,40 ± 0,02 untuk tekanan

parsial CO2 (pCO2) adalah 38 ± 2 mmHg dan untuk konsentrasi HCO3 yaitu 24 ± 2

mmol/L. Sekitar 20 % pasien dewasa dengan PGK lanjut mengalami asidosis

metabolik (Harambat et al., 2017). Rendahnya konsentrasi bikarbonat membawa

beberapa konsekuensi negatif pada pasien, seperti peningkatan risiko

perkembangan penyakit ginjal, degradasi tulang yang lebih tinggi oleh osteoklas,

dan penghambatan osteoblast, peningkatan kematian, peradangan, dan kekurangan

gizi (Rodrigues Neto Angéloco et al., 2018).

2.2.9 Data Laboratorium

Untuk memastikan adanya penyakit ginjal kronik maka perlu dilakukan uji

laboratorium. Berikut parameter uji laboratorium yang dapat digunakan untuk

menentukan adanya penyakit ginjal kronik :

1. Urinalisis : Memberikan informasi awal tentang gangguan penyakit ginjal

kronik dengan kerusakan metabolisme (Strasinger, 2014).

Warna : Kuning pucat - kuning

Kejernihan : jernih tidak terlihat partikulat, transparan

Berat Jenis : 1,015 - 1,030

pH : 4,5 – 8,0

2. Klirens Kreatinin : penilaian fungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi

glomerulus masih banyak yang menggunakan kreatinin karena biaya yang

lebih murah, mudah dilakukan dan klirens kreatinin adalah parameter yang

baik untuk menilai fungsi ginjal (Rahmawati, 2018). Pada pasien penyakit

ginjal kronik akan mengalami penurunan pada nilai klirens kreatininnya.

Nilai normal pada orang dewasa (<40 tahun) yaitu :

20

Pria : 107-139 mL/menit

Wanita : 87-107 mL/menit

Egfr : >60/mL/menit/1,73 m2 (Pagana et al., 2015).

3. BUN (Blood Urea Nitrogen) : BUN biasanya digunakan dalam kombinasi

dengan kreatinin serum konsentrasi sebagai tes skrining sederhana untuk

mendeteksi kelainan fungsi ginjal. Pasien penyakit ginjal kronik

mengalami peningkatan pada nilai BUN. Nilai BUN normal pada orang

dewasa : 10-20 mg/dL (Pagana et al., 2015).

4. Serum Kreatinin : kadar kreatinin di plasma relatif konstan dan

klirensnya dapat diukur sebagai indikator laju filtrasi glomerulus. Metode

analisis yang digunakan untuk mengukur kreatinin adalah metode kimia

berdasarkan reaksi Jaffe, metode enzimatik dan High performance liquid

chromatography (HPLC). Nilai kreatinin serum normal: 0,6 – 1,3 mg/dL.

Kreatinin serum > 1,5 mg/dL menunjukkan telah adanya gangguan fungsi

ginjal (Rahmawati, 2018).

5. Serum dan Urinary Cystatin C Cystatin C adalah 132 sistein protease

inhibitor asam amino (13,3 kDa) diproduksi oleh semua sel tubuh berinti

yang dianggap biomarker fungsi ginjal. Konsentrasi cystatin mulai

meningkat ketika GFR turun di bawah 88 mL/mnt/1,73 m2 (0,85mL/s/m

2). Konsentrsi cystain yang disarankan pada anak yang lebih tua dari usia

1 tahun 0,70-1,38 mg/L dan 0,55 hingga 1,37 mg/ L pada orang dewasa

(Dipiro, 2011).

6. Anion Gap Kesenjangan anion, menunjukkan perbedaan dalam kation

dan anion yang tidak diukur, juga harus dihitung. Perbedaan anion yang

tinggi (>17 mEq/L [>17 mmol/L]) adalah sering hadir pada pasien

penyakit ginjal kornik dengan stadium 4 atau 5 karena akumulasi anion

organik, fosfat. Berikut perhitungan serum anion gap :

SAG = [Na+] − [Cl−] − [HCO3)

Anon gap normal adalah sekitar 9 mEq/L (9 mmol/L) dengan kisaran 3

hingga 11 mEq/L (3–11 mmol/L) (Dipiro, 2015).

Menurut Rahmawati, 2018 berikut nilai normal ion yang digunanakan

dalam perhitungan anion gap:

21

Kalium (K+

) : 3,5 – 5 meq/L.

Natrium (Na+) : 136 – 146 meq/L.

Klorida (Cl-) : 95 – 107 mmol/L

Fosfat : 2,5 – 4,5 mg/dl.

Bikarbonat : 20 – 28 mmol/L (Patrick, 2014).

2.2.10 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

2.2.10.1 Terapi Konservatif

Terapi yang dapat diberikan dengan non-farmakologis yaitu dengan

membatasi (diet) asupan protein hingga 0,8g/kg/hari jika GFR <30

mL/menit/1,73m2, berhenti merokok untuk memperlambat perkembangan

penyakit dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Selain itu terapi non-

farmakologis lainnya yaitu melakukan olahraga minimal 30 menit lima kali dalam

seminggu untuk mencapai body massa index (BMI) 20 hingga 25 kg/m2 (Dipiro,

2015).

2.2.10.2 Terapi Terhadap Komplikasi

Tujuan dari terapi pada pasien penyakit ginjal kronik yaitu untuk menunda

perkembangan CKD, meminimalkan perkembangan atau keparahan komplikasi.

terdapat dua terapi yaitu terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis, untuk

terpai farmakologis disesuaikan berdasarkan manifestasi yang terjadi pada pasien.

Penatalaksaan secara farmakalogis berdasarkan manifestasi yang dialami

yaitu sebagai berikut :

2.2.10.2.1 Hipertensi

Secara umum, untuk pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK), ACE

inhibitor dan ARB dianggap sebagai agen antihipertensi lini pertama oleh

sebagian besar pedoman, terutama pada kondisi albuminuria (ekskresi albumin>

300 mg / d). Terapi lini kedua agen antihipertensi pada pasien dengan PGK yaitu

diuretik karena pilihan yang masuk akal bagi sebagian besar pasien dengan PGK

terutama dalam mengatur terjadinya peningkatan volume urin dan diuretik akan

22

menurukan GFR. Diuretik seperti tiazid adalah antihipertensi yang efektif dengan

kemungkinan melalui mekanisme vasodilatory tidak langsung (Ku et al., 2019).

2.2.10.2.2 Anemia

Definisi anemia menurut KDIGO adalah apabila kadar Hemoglobin (Hb)

kurang dari 13 g/dL (130 g/L; 8,07) mmol/L) untuk pria dewasa dan kurang dari

12 g/dL (120 g/L; 7,45 mmol/L) untuk perempuan dewasa (Dipiro, 2015).

Anemia pada pasien PGK memberikan hasil yang buruk dan menurunkan

kualitas hidup. Pemberian zat besi, dan erythropoietin rekombinan dan turunan

sintetiknya (epoetin alfa, epoetin beta, darbepoetin alfa, metoksi polietilen

glikolepoetin beta; secara kolektif dikenal sebagai erythropoietic-stimulating

agent [ESA]) banyak digunakan untuk mengobati anemia dan telah terbukti

mengurangi kebutuhan transfusi darah pada orang dengan PGK (Webster et al.,

2017).

2.2.10.2.3 Hiperkalemia

Pada pasien PGK jumlah nefron berkurang sehingga ekskresi kalium

tidak berjalan normal dan terdapat penumpukan kalium yang menyebabkan

hiperkalemi. Pasien hiperkalemi harus dilakukan monitoring terhadap perubahan

EKG Kebanyakan terapi medis untuk hiperkalemia hanya menyediakan perbaikan

sementara dengan mengubah K+ menjadi intraseluler ruang tanpa benar-benar

menghilangkan kalium. Pemberian dekstrosa dan infus insulin memberikan efek

yang segera terlihat tetapi diperlukan pemantauan efek samping hipoglikemi. Ca-

gluconas juga dapat diberikan pada pasien hiperkalemi. Terapi selanjutnya juga

dapat diberikan untuk meningkatkan eksresi kalium dengan pemberian diuretic

seperti furosemide (Lehnhardt, 2010).

2.2.10.2.4 Hiperfosfatemia

Penatalaksanaan hiperfosfatemia pada pasien PGK difokuskan pada

pengendalian faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk asupan dan

pembuangan fosfat dari tubuh. Ada 3 strategi utama untuk memperbaiki

hiperfosfatemia yaitu membatasi asupan fosfat dari makanan, meningkatkan

eliminasi dengan menghilangkan fosfat dengan dialisis yang memadai,

meminimalkan penyerapan fosfat dengan mengurangi penyerapan diusus dengan

menggunakan agen pengikat fosfat (Calcium-based phosphate binders (calcium

23

carbonate and calcium acetate, non-absorbable Polymers (sevelamer), heavy

Metal Salts (lanthanum carbonate and aluminium hydroxide) (Shaman dan

Kowalski, 2016). Agen pengikat fosfat merupakan pengobatan lini pertama untuk

mengontrol kadar serum fosfor dan kalsium (Dipiro, 2015).

2.2.10.2.5 Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik terjadi akibat penurunan konsentrasi bikarbonat dalam

plasma sehingga terjadi penurunan pH darah (asidosis tidak terkompensasi)

(Blanco, 2017). Penatalaksanaan utama pada penderita gangguan keseimbangan

asam basa untuk menstabilkan kondisi dan diikuti dengan memperbaiki penyebab

yang mendasari. Terapi tambahan diberikan tergantung pada keparahan dari

gejala. Penanganan secara farmakologi pada keadaan asidosis metabolik dapat

diberikan natrium sitrat, kalium sitrat, kalium bikarbonat, dan natrium bikarbonat.

Penanganan secara farmakologi pada keadaan alkalosis yaitu dengan Bertujuan

pengobatan untuk memperbaiki faktor yang bertanggung jawab untuk

mempertahankan alkalosis dan tergantung pada apakah kelainan tersebut responsif

atau resisten terhadap natrium klorida (Dipiro, 2015).

2.2.10.3 Terapi Pengganti Ginjal

Pada pasien penyakit ginjal dengan stadium akhir terdapat 3 pilihan

perawatan utama yaitu hemodialysis (HD), Dialisis peritoneal (PD), dan

transplantasi ginjal (Dipiro, 2011). Pasien penyakit ginjal stage 4 dengan nilai

LFG 15-30 mL/menit/1,73 m2 dan stage 5 yang memiliki nilai LFG <15

mL/menit/1,73 m2 perlu adanya terapi pengganti untuk mengganti fungsi

ginjalnya (Ziegler et al., 2014).

2.2.10.2.1 Hemodialisis

Hemodialisis (HD) sangat penting sebagai upaya untuk mencegah

komplikasi, mengatur keseimbangan ureum, memperpanjang usia harapan hidup

dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien penyakit ginjal kronik. Hemodialisis

menggantikan fungsi ginjal manusia yaitu membersihkan darah dengan cara

membuang produk-produk sisa metabolism yang berbahaya, membuang ekses

cairan dan menyeimbangkan elektrolit. Biasanya hemodialisis dilakukan tiga kali

dalam seminggu (Syamsudin, 2011). Darah dikeluarkan dari pasien, antikoagulan,

24

dipompa melalui dialyser dan kemudian kembali ke pasien. Di dalam alat tersebut

darah dan dialisat (mengalir ke arah yang berlawanan) dipisahkan oleh membran

dialisis semi-permeabel (Steddon et al., 2014).

2.2.10.2.2 Dialisis Peritoneal

Dialisis peritoneal hampir sama dengan hemodialisis yaitu terapi dengan

menggantikan fungsi ginjal. Cateter ditanamkan ke dalam rongga peritoneum.

Pertukaran ini dapat dilakukan baik secara manual (dialisis peritoneal rawat jalan

terus menerus (CAPD)) atau menggunakan mesin (dialisis peritoneal otomatis

(APD)). Selama pertukaran dialisis zat terlarut kecil (Urea, kalium, kreatinin)

berdifusi dari sirkulasi ke dialisat dan dihilangkan saat efluen dikeringkan.

Dengan CAPD standar pendekatannya adalah dengan melakukan empat

pertukaran selama periode 24 jam menggunakan 2 liter dialisat pada setiap

kesempatan. Resep dapat bervariasi sesuai dengan kebutuhan setiap individu.

Dengan APD, mesin dialisis melakukan pertukaran berulang semalam dan pasien

memiliki pertukaran siang hari tambahan. Air dihilangkan melalui osmotik efek

glukosa dalam dialisat, meskipun agen osmotik lainnya dapat juga digunakan,

termasuk icodextrin, suatu polimer glukosa, dan asam amino. Komplikasi yang

paling umum adalah peritonitis (Gillis dan Wilkie, 2019).

2.2.10.2.3 Transplantasi Ginjal

Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal dengan menanamkan

ginjal dari pendonor kepada penderita penyakit ginjal kronik. Namun kebutuhan

transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan

biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga

dengan pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai

pengobatan yang dipilih oleh pasien. Transplantasi ginjal ini juga dapat

menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh (Nisa,

2015).

2.3 Tinjauan Tentang Asidosis metabolik pada penyakit Ginjal Kronik

2.3.1 Definisi Asidosis Metabolik

Asidosis metabolik terjadi jika pH sistemik turun <7,35 dan kadar HCO3

turun. Hal tersebut terjadi melalui kehilangan bikarbonat (usus atau ginjal), retensi

25

asam, Produksi atau pemberian asam berlebihan (HCl) (Steddon, 2014). Asidosis

metabolik adalah rendahnya konsentrasi serum bikarbonat dalam tubuh yaitu <22

mmol/L, sekitar 20 % pasien dewasa dengan PGK lanjut mengalami asidosis

metabolik (Harambat et al., 2017). Penanganan ginjal terhadap H+ selama terjadi

asidosis dan alkalosis tergantung pada efek langsung dari status asam-basa plasma

pada ginjal sel tubular. Dalam keadaan normal, tubular proksimal dan sel

interkalasi tipe A sebagian besar aktif, mempromosikan sekresi H+ bersih dan

reabsorpsi HCO3- (Sherwood, 2016). Untuk derajat asidosis ditentukan

berdasarkan kadar pH yaitu pH 7,2-7,29 asidosis ringan sedangkan pH<7,2

asidosis berat (Itzel, et all, 2008).

2.3.2 Epidemiologi Asidosis metabolik pada PGK

Diperkirakan bahwa asidosis metabolik hadir pada pasien PGK 2,3%

hingga 13% individu di PGK Tahap 3 dan 19% hingga 37% individu di Tahap 4

(Rodrigues Neto Angeloco et al, 2017). Kebanyakan pasien yang tidak tergantung

dialisis tidak memiliki asidosis metabolik karena kompensasi produksi NH3 ginjal

dan penyangga tulang. Namun, 15% pasien dengan CKD memiliki asidosis

metabolik, dan prevalensi meningkat pada setiap stagenya. Misalnya, dalam

peserta, Chronic Renal Insufficiency Cohort (CRIC) prevalensi asidosis metabolik

adalah 7% pada tahap 2, 13% pada tahap 3, dan 37% pada tahap 4 penyakit ginjal

kronik (Raphael, 2019).

2.3.3 Etiologi Asidosis Metabolik

a. Penyakit Ginjal, ginjal tidak dapat mengeksresikan atau terjadi

penurunan fungsi ginjal dalam mengeksresikan asam sehingga terjadi

penumpukan H+ (Sherwood, 2016).

b. Diare Berat, selama diare HCO3- akan hilang dari tubuh dan HCO3

- yang

tersedia untuk buffer H+ berkurang sehingga menyebabkan lebih banyak

H+

(Sherwood, 2016).

c. Diabetes Melitus, adanya metabolisme lemak abnormal akibat

ketidakmampuan untuk menggunakan glikolis karena jumlah insulin

yang tidak memadai menyebabakn pembentukan asam keto berlebih dan

meningkatkan plasma H+

(Sherwood, 2016).

26

d. Olahraga Berat, pada saat olahraga berat otot menggunakan glikolisis

anaerob terjadi produksi asam laktat dan peningkatan plasma H+

(Sherwood, 2016).

2.3.4 Patofisiologi Asidosis Metabolik pada PGK

Gambar 2. 6 Patofisologi Asidosis Metabolik pada PGK (Kraut, 2012)

Pada individu dengan fungsi ginjal normal akan menghasilkan hidrogen

yang cukup untuk mendapatkan kembali semua bikarbonat yang difilter dan akan

disekresi sekitar 1 mEq/kg Ion hidrogen perhari yang didapatkan dari

metabolisme protein makanan, maka akan dipertahankan pH cairan tubuh normal

melalui dapar hidrogen oleh ion protein, hemoglobin, fosfat dan bikarbonat.

Sedangkan pada pasien gagal ginjal kronis parah (stage IV dan V) semua

bikarbonat tersaring tetapi terjadi penurunan kemampuan ginjal untuk mensistensi

ammonia atau kemampuan ginjal terganggu. Penurunan dapar urin ini

menyebabkan jumlah ekresi asam dan keseimbangan ion hidrogen terus menurus

sehingga terjadi asidosis metabolik. Metabolisme yang signifikan secara klinis

asidosis umumnya terlihat ketika GFR turun di bawah 20 hingga 30 mL / mnt

pada stadium 4 PGK (Dipiro, 2015).

Ekskresi asam awalnya dipertahamkan

oleh peningkatan ekskresi ammonium

(NH4+)

Jumlah nefron yag berfungsi

pada pasien CKD menurun

Terjadi penurunan ekskresi

ammonium perGFR total tiga kali

diatas normal

Ketika GFR dibawah 40-50

mL/menit

Retensi ion hidrogen Penurunan pH

27

2.3.5 Gambaran Klinis Asidosis Metabolik pada PGK

Efek sistemik dari asidosis metabolik yang parah (pH <7,1) yaitu Air

Hunger (pernapasan Kussmaul, peningkatan volume tidal, dengan respirasi dalam

dan desah) dan hiperventilasi (untuk menghilangkan CO2) menurunkan

kontraktilitas miokard (menurunkan pelepasan Ca2+ dari sarkoplasma retikulum),

arteriodilatasi, dan venokonstriksi, Menggeser kurva disosiasi oksigen ke kanan

(lebih banyak melepaskan O2) dan Aritmia resisten (Steddon, 2014).

2.3.6 Penatalaksanaan Asidosis Metabolik pada PGK

Penatalaksaan pada asidosis metabolik adalah untuk mengatasi gangguan

yang mendasari. Pasien yang asimtomatik yaitu asidemia ringan sampai sedang

(HCO3- 12-20 mEq/L {12-20 mmol/L}; pH 7,2-7,4) dapat diberikan natrium

bikarbonat per oral. Pengobatan dilakukan secara bertahap satu hari sampai

beberapa minggu (Dipiro, 2015). Karena ginjal adalah rute utama untuk

mengeluarkan ion H+, CKD dapat menyebabkan asidosis metabolik. Ini akan

menyebabkan pengurangan dalam serum bikarbonat yang dapat segera diobati

dengan dosis oral natrium bikarbonat 1-6 g/hari. Karena takaran bikarbonat tidak

kritis, mudah untuk bereksperimen dengan dosis berbeda bentuk dan kekuatan

yang sesuai dengan pasien individu. Jika asidosis parah dan persisten, maka

dialisis mungkin diperlukan (Whittlesea, 2019).

2.4 Tinjauan tentang Buffer

Buffer adalah sistem penyangga asam basa kimiawi dalam cairan tubuh,

yang dengan segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah perubahan

konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan. Buffer ini bekerja dengan menetral kan

kelebihan ion hidrogen, bersifat temporer dan tidak melakukan eliminasi. Fungsi

utama sistem buffer adalah mencegah perubahan pH yang disebabkan oleh

pengaruh asam fixed dan asam organic pada cairan ekstraseluler (Seifter, 2014).

Buffer didalam tubuh dibagi menjadi 2 yaitu buffer ekstraseluler dan buffer

intraseluler. Fraksi penyangga yang dilakukan di luar kompartemen ekstraseluler

terjadi di dalam otot. Buffer intraseluler protein dan fosfat berfungsi sebagai

sistem penyangga. Di ruang intravascular protein darah khususnya Hb memiliki

28

kapasitas buffer. Pada buffer ekstraseluler asam bikarbonat/karbonat merupakan

sistem buffer yang paling penting diproduksi oleh aktivitas seluler. Larut dalam

cairan tubuh dan dihidrasi dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh anhidrase

karbonat untuk menghasilkan asam karbonat, yang dengan cepat terionisasi

menjadi bikarbonat dan H+. Konsentrasi HCO3

− tergantung pada jumlah CO2 yang

terlarut dan PCO2 (Blanco, 2017).

2.5 Tinjauan tentang Bikarbonat

2.5.1 Pembentukan Bikarbonat

Bikarbonat dihasilkan oleh ginjal melalui tiga proses yaitu : sekresi H+ dan

titrasi HPO4 yang disaring, metabolisme α-ketoglutarate yang berasal dari

glutamin dan metabolisme organik tersaring dan terserap kembali seperti laktat

dan sitrat (Kraut dan Nagami, 2018).

Pada sel tubular terjadi pembentukan H HPO42-

yang telah melalui

glomerulus akan bereaksi dengan hasil eksresi sel tubular yaitu H+ di lumen

tubular menjadi HPO4- yang akan dieksresi melalui urin. Namun Sekresi dan

ekskresi ion hidrogen ditambah dengan penambahan plasma HCO3. H+ yang

disekresikan tidak bergabung dengan HPO4 dan kemudian tidak diekskresikan.

Ekskresi H+ ditambah dengan adanya HCO3 baru dalam plasma. Pada pasien

asidosis ekskresi H+ terganggu sehingga terjadi penumpukan asam dan tidak

terjadi pembentuka HCO3 yang baru (Gambar 2.7) . (Sherwood, 2016).t

Gambar 2. 7 Pembentukan Bikarbonat (Sherwood, 2016)

Bikarbonat yang telah di filtrasi oleh glomerulus akan direabsorpi oleh

tubulus proksimal yang diperantai oleh penukar ion Na+/H+ (NHE3) yang terletak

pada membran luminal sel epitel. Lalu bikarbonat (HCO3-) akan bereaksi dengan

29

ion H+ menjadi H2CO3. H2CO3 tersebut berdisosiasi menjadi H2O dan CO2.

CO2 mudah menembus membrane lalu masuk kedalam sel tubulus dan berikatan

dengan H2O menjadi H2CO3. Setelah itu H2CO3 tersebut akan berdisosiasi

menjadi H+ dan HCO3-. HCO3- kembali ke cairan interstisial ginjal dan ke aliran

darah kapiler diikuti dengan pertukaran Na+ untuk mengganti proton H+ dari

dalam sel sehingga dapat mempertahankan konsentrasi Na+ intraseluler rendah.

Pada pasien penyakit ginjal kronik dengan asidosis metabolik terjadi penurunan

fungsi ginjal. Akibatnya tidak dapat memfiltrasi bikarbonat dengan baik sehingga

pembentukan bikarbonat menurun, kadar bikarbonat dalam darah menurun

menyebabkan pH menurun dan terjadilah asidosis metabolik (Katzung, 2015).

Gambar 2. 8 Mekanisme Fisiologis Bikarbonat (Katzung, 2015)

2.5.2 Sistem Bikarbonat

H2CO3 dan HCO3 adalah pasangan buffer yang paling penting sistem di

ECF untuk buffering perubahan pH dibawa oleh penyebab selain fluktuasi H2CO3

yang dihasilkan CO2. Ini adalah sistem penyangga ECF yang efektif karena dua

alasan. Pertama, H2CO3 dan HCO3 berlimpah di ECF, jadi sistem ini sudah

tersedia untuk menahan perubahan pH. Kedua setiap komponen pasangan

penyangga ini sangat erat diatur. Ginjal mengatur HCO32, dan pernapasan sistem

mengatur CO2, yang menghasilkan H2CO3.

30

Jadi, dalam tubuh H2CO3: HCO3 2 sistem penyangga termasuk keterlibatan

CO2 melalui reaksi berikut :

Gambar 2. 9 Sistem Bikarbonat (Sherwood, 2016)

Sistem penyangga bikarbonat terdiri dari larutan air yang mengandung dua

bahan: (1) asam lemah, H2CO3, dan (2) garam bikarbonat, seperti natrium

bikarbonat (NaHCO3). H2CO3 terbentuk dalam tubuh oleh reaksi CO2 dengan

H2O. H2CO3 yang terbentuk tanpa enzim karbonat anhydrase (berlimpah dalam

didinding alveoli paru-paru dan juga di dalam sel epitel tubulus ginjal) reaksinya

lambat dengan jumlah yang sedikit. Buffer bikarbonat adalah buffer ekstraseluler

paling kuat dalam tubuh disebabkan oleh dua elemen dari system buffer HCO3-

dan CO2 karena diatur oleh ginjal dan paru-paru. pH cairan ekstraseluler dapat

dikontrol dengan pengurangan atau penambahan HCO3- oleh ginjal dan tingkat

pengurangan kadar CO2 oleh paru-paru (Hall et al., 2016).

2.6 Tinjauan tentang Natrium Bikarbonat

Gambar 2. 10 Struktur Kimia Natrium Bikarbonat (PubChem, 2019)

Natrium Bikarbonat merupakan Agen alkali yaitu meningkatkan konsentrasi

bikarbonat plasma dan urin. 12 mEq bikarbonat setara dengan 1 g natrium

bikarbonat. Natrium Bikarbonat merupakan alkalinisasi yang paling sering

digunakan untuk terapi IV asidosis sistemik dengan rentang terapinya yaitu 24-31

mEq/L (Papich, 2016).

31

Gambar 2. 11 Mekanisme Sodium Bikarbonate (Papadakis, 2015)

Saat diberikan NaHCO3, NaHCO3 akan terpecah menjadi Na+ dan HCO3

-

lalu HCO3- dalam cairan ekstraselular akan bergabung dengan H

+ menjadi H2CO3.

H2CO3 terpecah menjadi H2O dan CO2 (diekskresikan melalui urin) sehingga pH

meningkat (Schrier, 2010)

Tabel II. 3 Tinjauan Natrium Bikarbonat (Ashley dan Dunleavy, 2019).

SODIUM BIKARBONAT

Rumus Molekul NaHCO3

BM 84

Indikasi - Asidosis Metabolik

- Asidosis tubulus ginjal

- Resusitasi berkepanjangan

Golongan Obat Elektrolit, agen alkalinisasi

Nama Dagang Meylon 8,4 % Injeksi, Sodium Bikarbonat 500 mg

tablet

Rute Oral dan Intravena

Dosis P.O : 0,5-1,5 g 3 kali sehari. Dosis umum: 1−2 mmol /

kg

Untuk menghitung dosis yang diperlukan berdasarkan

defisit basa (Berikan setengah dari dosis yang dihitung).

Encerkan hingga konsentrasi maksimum tidak lebih dari

0,5 mmol / mL (osmolaritas = 1000 mOsm / L).

IV: Infus selama minimal 30 menit

Monitoring Pantau keseimbangan asam-basa.

Pantau situs infus lokal untuk tanda-tanda ekstravasasi.

Kontraindikasi Asidosis respiratorik dan alkalosis

32

SODIUM BIKARBONAT

Interaksi Obat Penggunaan ketoconazole secara bersamaan dapat

mengurangi paparan ketoconazole.

Hindari pemberian natrium bikarbonat dan katekolamin

secara bersamaan (dopamin, dobutamin, adrenalin

(epinefrin), noradrenalin (norepinefrin)) melalui IV

yang sama kateter atau tabung, larutan natrium

bikarbonat akan menonaktifkan katekolamin.

Onset of action P.O : 15 menit IV : cepat setelah pemberian IV

Duration of action P.O : 8-10 menit IV : 1 – 2 jam

Ekskresi Melalaui urin < 1%

Efek Samping Hipernatraemia, Hiperosmolalitas, hipokalsemia,

hipokalemia. Jika diberikan selama ventilasi yang tidak

adekuat, PaCO2 dapat meningkat sehingga

memperburukm asidosis.

Nekrosis jaringan local trombosis di lokasi pemberian

Alkalosis dan tetani metabolik. Kram perut, mual,

muntah.

Penyimpanan Simpan botol di bawah 30 ° C. Larutan encer dapat

disimpan hingga 24 jam pada 2-8 ° C.

Asidosis metabolik sedang: 50 hingga 150 mEq natrium bikarbonat yang

dilarutkan dalam 1 L D5W untuk diinfus secara intravena pada kecepatan 1

hingga 1,5 L / jam selama jam pertama.

Asidosis metabolik yang parah: 90 hingga 180 mEq natrium bikarbonat

yang dilarutkan dalam 1 L D5W untuk diinfus secara intravena pada kecepatan 1

hingga 1,5 L / jam selama jam pertama. Jika status asam-basa tidak tersedia, dosis

harus dihitung sebagai berikut: 2 hingga 5 mEq / kg infus IV selama 4 hingga 8

jam; dosis berikutnya harus didasarkan pada status asam-basa pasien (Medscape,

2019).

Untuk menentukan dosis natrium bikarbonat iv perlu menghitung dengan

analisis pH dan gas darah dengan rumus :

Awalnya, berikan 25% -50% dari hasil perhitungan dalam cairan IV selama

20-30 menit. Natrium Bikarbonat terbagi atas dua kekuatan yaitu yang diberikan

secara perlahan dengan kekuatan 8,4% atau dengan intravena kontinu dengan

33

kekuatan lebih kecil yaitu 1,26%. Jumlahnya sesuai dengan besarnya kekurangan

basa (BPOM RI, 2015).

Contoh :

Pasien : Ny. X dengan umur 64 tahun dan berat badan 50 kg di diagnosa penyakit

ginjal kronik dengan asidosis metabolik. berdasarkan hasil analisa gas darah kadar

bikarbonat pasien yaitu 18 mEq/L dan pH 7,1.

N 𝐻

= 90

(Kebutuhan Bikarbonat)

Karena valensi NaHCO3 sama dengan 1 maka, 90 mEq/L = 90 mmol/L (1 ml = 1

mEq). Dosis diberikan ½ dari perhitungan = 45 mEq/L. 12 mEq bikarbonat setara

dengan 1 g natrium bikarbonat. Maka 15 mEq = 3,78 gram.

8,4% =

𝑚 maka,

𝑚

𝑚𝐿

𝑚

𝑚𝐿

x= 45 ml

Tabel II. 4 Sediaan Natrium Bikarbonat yang beredar di Indonesia (BPOM,

2017)

Natrium Bikarbonat

1. Nama Produk

Bentuk Sediaan

Komposisi

Kemasan

Pendaftar

Sodium Bicarbonate

Tablet 500 mg

Sodium Bicarbonate

-Botol Plastik @100 Tablet

BALATIF - Indonesia

2. Nama Produk

Bentuk Sediaan

Kemasan

Pendaftar

Diproduksi oleh

MEYLON 84-BP

Cairan Injeksi 8.4 %Sodium Bicarbonate

Dus, 120 Ampul Plastik @25 ml

OTSUKA Indonesia – Indonesia

OTSUKA Indonesia - Indonesia