asuhak keperawatan dengan TB Millier

30
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN MASALAH TB MILIER PADA Tn “M” Di RUANG 23 INFEKSI RSU SYAIFUL ANWAR MALANG DISUSUN OLEH : VINDY WAHYU KURNIAWAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG 2014

Transcript of asuhak keperawatan dengan TB Millier

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN MASALAH TB MILIER PADA Tn “M”

Di RUANG 23 INFEKSI RSU SYAIFUL ANWAR

MALANG

DISUSUN OLEH :

VINDY WAHYU KURNIAWAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2014

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dengan masalah TB Milier pada Tn “M” di Ruang

23 infeksi oleh Mahasiswa Profesi Ners Stikes Icme Jombang tahun

2014, telah disetujui dan di sahkan pada

Hari

Tanggal

Malang, Agustus

2014

Mahasiswa

Vindy wahyu k

Mengetahui,

Pembimbing akademik Pembimbing ruangan

Kepala ruangan

1.      Pengertian

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat  infeksi kuman

Mycobacterium sistem sehingga dapat mengenai hampir semua organ

tubuh, dengan lokasi terbanyak diparu yang biasanya merupakan

lokasi infeksi primer (Arief, 2001:459).

Menurut Crofton (2002)  Tuberculosis

Milier  disebabkan  penyebaran TB dalam jumlah besar melalui

aliran darah karena daya tahan pasien lemah untuk membunuh kuman-

kuman tersebut (disebut “milier) karena luka-luka kecil pada paru

tampak sebagai butiran gandum.  

Tuberkulosis Milier adalah suatu bentuk tuberkulosa paru dengan

terbentuknya granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan

penyakit dengan ukuran kurang lebih sama kelihatan seperti biji

“Milet” (sejenis gandum) berdiameter 1-2 mm. (Adwin, 2008).

Tuberkulosis Milier adalah jenis tuberculosis yang

bervariasi dari infeksi kronis, progresif lambat sehingga

penyakit fulminan akut, ini disebabkan oleh penyebaran  hematogen

atau limfogen dari bahan  kaseosa terinfeksi kedalam aliran darah

dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip benih

padi. (Diane,  2000 ).

2.      Etiologi

Diperkirakan Tuberkulosis Milier yang terjadi pada orang

dewasa merupakan komplikasi  infeksi primer atau TB primer dan TB

kronis atau TB post primer  ( Crofton ,2002 :114 ).

Infeksi Primer

Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita

yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB.

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil

ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan

mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di

alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB

berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di

paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran

limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar

hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu

antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer

adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan

terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi

positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman

yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas

seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut

dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian,

ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau

dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu

mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita

Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan

mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar

6 bulan.

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa

bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena

daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status

gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer

adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas

atau efusi pleura.

3.      Patofisiologi

Infeksi awal karena seorang menghirup basil Mycobacterium.

tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli

lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk.

Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai

ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga menyebar

melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain

(ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area  lain dari paru-

paru (lobus atas). Selanjutnya sistem

kekebalan  tubuh  memberikan respons dengan melakukan reaksi

inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi  fagositosis

(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberculosis

menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi

jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam  alveoli

yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul

dalam waktu 2 sampai 10 minggu setelah terpapar bakteri.

Interaksi Mycobacterium. tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada

masa awal infeksi membentuk  sebuah massa jaringan baru yang

disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup

dan mati yang dikelilingi olah makrofag seperti dinding.

Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan

fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.

Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik

yang selanjutnya  membentuk materi yang penampakannya seperti

keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan

akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi

nonaktif. Setelah infeksi awal,  jika respons sistem imun tidak

adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang

kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau

bakteri  yang  sebelumnya tidak aktif  kembali  menjadi aktif.

Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga

menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronchus. Tuberkel yang

ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut.

Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang mengakibatkan

timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya.

Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini

berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di

dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih

panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid

yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-120 hari). Daerah

yang akan mengalami nekrosis  dan menyebar  ke limfa hematogen

lama kelamaan akan menyebabkan Tuberculosis Milier (Mukty, 2000).

5.      Manifestasi Klinis

Gejala TBC Milier timbul perlahan-lahan dan sifatnya tidak

spesifik. Umumnya Tuberkulosis Milier terjadi dalam waktu 1 tahun

setelah infeksi primer. Adapun gejala TBC Milier berupa: febris,

letargi, keringat malam, nafsu makan berkurang dan berat badan

menurun. Febris yang bersifat turun naik sampai 400C dan

berlangsung lama.

Menurut Somantri (2008 : 61) secara umum manifestasi klinis pada

penderita tuberkulosis paru:

a.       Demam            :  Sub febris-febris (400 – 410C) hilang

timbul

b.      Batuk               :  Terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan produksi radang,

dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan

sputum ).

c.       Sesak nafas     :  Terjadi bila sudah lanjut dimana

infiltrasi  radang sampai setengah paru.

d.      Malaise            :  Ditemukan berupa anoreksia, berat

badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam hari.

6.      Pemeriksaan Penunjang

a.       Laboratorium darah rutin  laju endapan darah (LED)

normal atau meningkat

b.      Foto thorax posterior anterior (PA) menunjukkan adanya

gambar badai salju, bercak granuler milier pada kedua

lapangan paru

c.       Pemeriksaan sputum  bakteri tahan asam (BTA) untuk

memastikan diagnosis TBC milier

d.      Pemeriksaan cairan cerebrospinal untuk menunjukkan TBC

milier disertai dengan meningitis.

e.       Pemeriksaan biopsi untuk menunjukkan granuloma pada

paru

7. Komplikasi

Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi, diantaranya :

1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema,

faringitis.

2. Komplikasi lanjut :

• Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi

Pasca Tubercolosis)

• Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru,

Cor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.

8.    Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu

1. Fase intensif (2-3 bulan) :

Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah

sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat

bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4

obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis.

Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi

negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis

Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan

selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB,

Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.

2. Fase lanjutan (4-7 bulan).

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam

waktu yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan

2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya

resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of

the British Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan

INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru.

Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap

INH.

Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi.

Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3

obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2

di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat

tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan

rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,

Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).

Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan

panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan

pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu,

penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:

1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita

dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,

perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral,

spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan

sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran

perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH,

rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap

intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin

tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).

2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap

positif.

diberikan kepada :

Penderita kambuh

Penderita gagal terapi

Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat

3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )

Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya

tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam

kategori I.

4. Kategori IV

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan

rendah karena kemungkinan keberhasilan rendah sekali.

Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :

Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat

Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri

semidormant)

Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas

bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.

Menurut Somantri (2008 : 63) jenis dan dosis obat :

a)      Isoniazid ( INH)

Bersifat bakterisid dapat membunuh 90% kuman populasi kuman dalam

beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif

terhadap kuman dalam metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang

berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kh BB, efek samping

kejang, anoreksia, malaise, demam, nyeri epigastrik dan

trombositopenik.

b)      Rifamfisin

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semidormant (persistent)

yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB

diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3x

seminggu. Efek samping demam, menggigil, anemia hemolitik,

terdapat kerusakan hati yang berat, dan supresi imunitas.

c)      Pirazinomid

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel

dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB.

Sedangkan untuk pengobatan intermitten 3x seminggu diberikan

dengan dosis 3,5 mg/kgBB. Efek samping gangguan hari, gout

anoreksia, mual-muntah, malaise dan demam.

d)     Streptomicin

Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB.

Sedangkan untuk pengobatan intermitten 3x seminggu digunakan

dosisi yang sama. Efek samping vertigo, sempoyongan dan dapat

menurunkan fungsi ginjal

e)      Etambutol

Bersifat sebagai bakterisiostatik. Dosis harian yang dianjurkan

15 mg/kgBB. Sedangkan untuk pengobatan intermitten 3x seminggu

digunakan dosis 30 mg/kgBB. Efek samping penurunan ketajaman

penglihatan, gout, gatal, nyeri sendi, sakit kepala dan nyeri

perut.

Obat harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang

bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Pengawasan

ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah

terjadinya ketebalan obat, memberikan makanan yang bergizi yaitu

makanan  tinggi kalori  tinggi protein (TKTP ) agar nutrisi klien

terpenuhi.

9. Pencegahan Penyakit TBC

Agar orang yang sehat tidak tertular penyakit TBC, ada dua

jalan, yaitu tindakan dari orang yang sehat dan tindakan dari

penderita TBC itu sendiri. Usahakanlah penderita TBC tidak

membuang ludah, batuk dan bersin di sembarang tempat. Ada baiknya

dilakukan di tempat yang terkena sinar matahari langsung. Jadi,

seperti yang dikatakan di atas, kamar penderita TBC harus

mendapatkan sinar matahari langsung. Sinar matahari akan membunuh

bakteri-bakteri TBC yang tersebar.

Ada baiknya bagi seorang yang sehat menghindari kontak

bicara pada jarak yang dekat dengan penderita TBC. Atau Anda bisa

menggunakan masker, namun hal ini masih tetap rentan. Bila

penderita TBC batuk atau bersin, sebaiknya orang yang sehat

menutup mulut. Satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu arah

angin. Jangan sampai angin berhembus mengarah ke orang yang sehat

setelah sebelumnya melalui orang yang menderita TBC. Bukan

mencegah arah anginnya, namun kita yang harus menghindari angin

tersebut yang bisa merupakan angin karena alam atau angin karena

kipas angin dll. Ingat, bakteri TBC bisa terbawa oleh angin.

Jemur tempat tidur penderita TBC di panas matahari langsung,

ini untuk menghindari hidupnya bakteri di tempat tidur tersebut.

Pada bayi, jangan pernah melewatkan imunisasi BCG, ini penting

untuk mencegah dari terserangnya penyakit TBC di kemudian hari.

Dari semua hal-hal diatas, daya tahan tubuh orang yang sehat

sangat berperan dalam mencegah penularan TBC. Karena rasanya

sulit untuk menghindari terhirupnya bakteri TBC di saat tinggal

serumah dengan penderita TBC. Bila seseorang itu memiliki daya

tahan tubuh yang kuat, walaupun bakteri TBC masuk, sistem

pertahanan tubuhnya akan memusnahkannya. Apa saja yang harus

dilakukan untuk memiliki daya tahan tubuh yang kuat ini? Tidak

lain adalah rajin berolahraga, konsumsi cukup makanan yang

seimbang, terapkan pola hidup sehat seperti tidur yang cukup dan

tidak merokok

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :

1. Identitas

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama,

umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis

kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

2. Riwayat Sakit dan Kesehatan

a. Keluhan utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta

pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu:

Keluhan respiratoris, meliputi: Batuk, nonproduktif/

produktif atau sputum bercampur darah, Batuk darah, seberapa

banyak darah yang keluar atau hanya berupablood streak,

berupa garis, atau bercak-bercak darah, Sesak napas, Nyeri

dada

Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah

berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan:

- Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih

dari 600 cc/24 jam.

- Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600

cc/24 jam.

- Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang

dari 250 cc/24 jam.

Keluhan sistematis, meliputi: Demam, timbul pada sore atau

malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin

lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas

serangan semakin pendek, Keluhan sistemis lain: keringat

malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.

b. Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan

perawat dalam melengkapi pengkajian.

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor

penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila

beristirahat?

Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan

atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik

atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam

mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?

Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?

Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan

klien?

Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah

buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul

mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah

timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul

(intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala

timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut

pertama kali timbul (onset).

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah

sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama

pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran

getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru

seperti diabetes mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang

biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-

obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek

samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang

seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan

terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan

erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya

anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat

perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh

anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam

rumah.

e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas

mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat

mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang

kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting

untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-

spiritual yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru

sering mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan keluhan

yang dialaminya.

2. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi

pemerikasaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum,

pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3

(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta

pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh

system pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital

Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan

secara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap

bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang

kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis,

somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru

biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan,

frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut

nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh

dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai

dengan adanya penyulit seperti hipertensi.

B1 (Breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan

pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi,

dan auskultasi.

Inspeksi

Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien

dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya

penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior

dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit

dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka

terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar

intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang

disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak

simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan

intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien

dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan

pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika

terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada

parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak

napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu

napas.

Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien

dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang

disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum

yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila

TB paru disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan

mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak.

Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai

penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah

diberikan.

Palpasi

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru

tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat

bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri.

Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan

pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.

Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika

perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara

adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring

arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding

dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan.

Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut

taktil fremitus.

Perkusi

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya

akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.

Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti

efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi

yang sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.

Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi

hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong

posisi paru ke sisi yang sehat.

Auskultasi

Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan

(ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa

untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana

didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui

stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal.

Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi

pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan

vocal pada sisi yang sakit.

B2 (Blood)

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan

keluhan kelemahan fisik.

Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.

Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran

pada TB paru dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat.

Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi

jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.

B3 (Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis

perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada

pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,

merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian

pada mata, biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemispada

TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake

cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya

oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.

Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna

jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih

normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama fifampisin.

B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan

penurunan berat badan.

B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB

paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan,

insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak

teratur.

3. DIAGNOSA

Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :

1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret

kental / sekret darah, upaya batuk buruk, dapat ditandai dengan:

- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.

- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.

- Dispnoe.

1.Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan

permukaan efektif, atelektasis, kerusakan membran alveolar

kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.

2.Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang )

berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat, penurunan

kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan / penekanan

proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk

menghindari pemajanan patogen.

3.Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan

ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).

4.Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi

obat yang harus diminum.

4. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret

kental / sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema

tracheal / faringeal dapat ditandai dengan:

- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.

- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.

- Dispnoe.

•Rencana jangka pendek :

- Membersihkan nafas pasien.

- Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

•Rencana jangka panjang : Menunjukan perilaku untuk

memperbaiki / mempertahankan bersihan jalan nafas.

Rencana keperawatan

1.Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien

untuk latihan nafas dalam.

2.Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai

dengan keperluan.

3.Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif,

catat karakter, jumlah sputum dan adanya hemoptisis.

4.Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan,

irama dan kedalaman serta penggunaan otot aksesori.

Rasionalisasi

1.Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan

upaya pernafasan, ventilasi meksimal membuka area

atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan

nafas besar untuk dikeluarkan.

2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ;

efek infeksi dan atau tidak adekuat hydrasi ) sputum

berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan

( kapitasi ) paru atau luka bronkial, dan dapat memerlukan

evaluasi / intervensi lanjut.

3. Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan

bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

4. Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi,

mengi, menunjukan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk

membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan pengguanaan

otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan

efektif, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret

kental, tebal, dan edema bronchial.

• Rencana jangka pendek : Menunjukan perbaikan ventilasi dan

oksigenisasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang

normal.

• Rencana jangka panjang : Bebas dari gejala distres

pernafasan.

Rencana tindakan.

1.Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu

aktivitas perawatan diri sesuai dengan keperluan.

2.Tunjukan / dorong bernafas bibir selama ekhalasi,

khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan

parenkhim.

3.Kaji diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi

nafas, peningkatan upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi

dinding dada & kelemahan.

4.Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis

dan / atau perubahan pada warna kulit, termasuk membran

mukosa dan kuku.

Rasionalisasi.

1.Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode

penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.

2.Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah

kolaps / penyempitan jalan nafas, sehingga membantu

menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan /

menurunkan nafas pendek.

3.TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil

bronchopneomonia sampai inflamasi difus luas, necrosis,

effusi pleural dan fibrosis luas, efek pernafasan dapat dari

ringan sampai diespnoe berat sampai diestres pernafasan.

4.Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu

oksigenisasi organ vital dan jaringan.

3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang )

berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat, penurunan

kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan / penekanan

proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk

menghindari pemajanan patogen.

•Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk

mencegah / menurunkan resiko penyebaran infeksi.

•Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan

perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang

aman.

Rencana tindakan.

1.Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada

tissue & menghindari meludah di tempat umum serta tehnik

mencuci tangan yang tepat.

2.Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi

infeksi melalui bronchus untuk membatasi jaringan atau

melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan potensial

penyebaran melalui droplet udara selama batuk, bersin,

meludah,bicara, dll.

3.Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota

rumah, anggota, sahabat karib / teman.

Rasionalisasi.

1. Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi

dapat membantu menurunkan rasa terisolir pasien & membuang

stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.

2. Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi

program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang /

komplikasi. pemahaman begaiman penyakit disebarkan &

kesadaran kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang

terdekat mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang

lain.

3.Orang – orang yang terpajan ini perlu program therapy

obat untuk mencegah penyebaran infeksi.

4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan

ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).

•Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi

untuk menurunkan suhu tubuh.

•Tujuan jangka panjang : Meminimalisir proses peradangan

untuk meningkatkan

kenyamanan

Rencana tindakan :

1.Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan

pemasangan infus

2.Monitoring perubahan suhu tubuh

3.Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna

mengurangi proses peradangan (inflamasi)

4.Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat

berjalan lancar

Rasionalisasi :

1.Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga

homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu tubuh

meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.

2.Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui

perkembangan dan kemajuan dari pasien.

3.Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses

peradangan (inflamasi)

4.Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka

tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan semua benda

asing (antigen) yang masuk.

5. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi

obat yang harus diminum

•Tujuan jangka pendek : memperbaiki gejala,

mengurangi resiko infeksi.

•Tujuan jangka panjang : terapi regimen obat

Rencana tindakan :

1. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian kombinasi

obat.

2. Kaji dari efek penggunaan regimen terapi.

3. Berikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang

ketidakteraturan berobat akan menyebabkan resistensi.

Rasionalisasi :

1. Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi

berbagai obat (obat antituberkulosis/ OAT) yang diberikan

selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan sembuh.

2. Efek dari penggunaan regimen terapi dapat menyebabkan

berbagai komplikasi.

3. Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan

dengan fase TB paru. Sehingga ketidakteraturan akan

menyebabkan resiko resistensi.

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2

Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam

jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-

paru-tb-paru.html diakses pada tanggal 16 November 2010

http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru

diakses pada tanggal 16 November 2010

Somantri, Irma. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Gangguan Sistem Pernapasan.Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

William,2008.