ANALISIS POSKOLONIALISME DALAM NOVEL SALAH ASUHAN

23
ANALISIS POSKOLONIALISME DALAM NOVEL SALAH ASUHAN: BAB SATU SAMPAI DENGAN SEMBILAN Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Lulus Mata Kuliah Kajian Prosa Nusantara Oleh: Christopher Allen Woodrich NIM: 084114001 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Transcript of ANALISIS POSKOLONIALISME DALAM NOVEL SALAH ASUHAN

ANALISIS POSKOLONIALISME DALAM NOVEL SALAH ASUHAN:BAB SATU SAMPAI DENGAN SEMBILAN

MakalahDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratLulus Mata Kuliah Kajian Prosa Nusantara

Oleh:Christopher Allen Woodrich

NIM: 084114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIAJURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang

saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang

lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan

daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,................

Penulis

Christopher Allen

Woodrich

2

KATA PENGANTAR

Atas bantuan mereka dalam penyelesaian makalah ini

saya ingin ucapkan terima kasih kepada orang-orang

berikut:

Trifosa Sie Yulyani Retno Nugroho, atas

dukungannya dalam semua tugas akademik.

S. E. Peni Adji, untuk segala ajarannya tentang

teori-teori kajian sastra.

Abdoel Moeis untuk karangannya yang begitu

menarik dan penuh makna.

Makalah ini tidak sempurna dan apabila terjadi

kekurangan saya mohon maaf lebih dahulu. Terima kasih.

3

Yogyakarta, ………………….. 2009

Christopher Allen

Woodrich

NIM: 084114001

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................... ii

KATA PENGANTAR ..................................... iii

DAFTAR ISI ......................................... iv

4

BAB I: PENDAHULUAN ................................ 1

A. Latar Belakang Masalah .................. 1

B. Tujuan Analisis ....................... 1

C. Sistematika Penyajian ................. 1

BAB II: ANALISIS STRUKTURAL ........................ 3

A. Narasi .................................. 3

B. Alur Cerita ............................. 3

1)

Perkenalan .................................... 4

2)

Timbulnya Konflik ............................. 4

3) Peningkatan Konflik ................... 4

C. Latar ................................... 4

1) Latar Waktu ........................... 4

2) .......................................Latar

Tempat 5

3) .......................................Latar

Sosial Budaya ...................................... 6

D. Penokohan ............................... 6

1) Hanafi ................................ 6

2) Corrie Du Busée ....................... 7

3) Mariam ................................ 8

4) Tuan Du Busée ......................... 8

5

5)

Rapiah .......................................9

BAB III: ANALISIS POSKOLONIAL .................. 10

BAB IV: PENUTUP ............................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................... 15

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Walaupun selama zaman Balai Pustaka Indonesia

dijajah oleh Belanda, karya-karya sastra dari zaman itu

masih mempunyai pesan yang mengindonesia dan mencerminkan

kebudayaan lokal. Ada pula pesan-pesan nasionalis yang

disembunyikan dalam teks.

Demikian pula di Salah Asuhan. Sebagai karya Balai

Pustaka, sebelum diterbit Salah Asuhan sudah disensor oleh

penguasa Belanda. Namun, masih ada perasaan yang terbawa

dalam teks, diantara lain keinginan untuk keseimbangan,

takut pada budaya luar, dan keperluan untuk mempunyai

identitas sendiri.

Mengapakah seorang Pribumi menjadi bagai orang

Belanda? Bagaimanakah pengaruh keputusan itu dalam

kehidupan dan lingkungannya? Apakah hidup selayaknya

ketika ada lebih dari satu budaya? Dengan menjawab

pertanyaan ini, dalam karyanya Abdoel Moeis mencerminkan

ketakutan rakyat Indonesia.

6

B. Tujuan Analisis

Tujuan dari makalah ini adalah menganalisis bab satu

sampai dengan sembilan dari buku Salah Asuhan. Untuk itu,

akan digunakan metode poskolonial, yaitu teori yang

menganalisis keadaan di suatu negara mantan penjajahan.

C. Sistematika Penyajian

Makalah ini dibagi menjadi empat bab, tujuh subbab,

dan sebelas sub-subbab. Bab satu adalah bab pendahuluan,

yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagai menjadi

tiga subbab dan menjelaskan latar belakang masalah,

tujuan dan metode analisis, dan sistem penyajian.

Bab dua adalah analisis struktur Salah Asuhan dari bab

satu sampai dengan sembilan; ini dibagai dalam empat

subbab dan sebelas sub-subbab. Bab ini berfungsi sebagai

informasi latar belakang yang menjelaskan bentuk cerita,

plot, narasi, dan sebagainya; informasi ini akan

diperlukan untuk memahami analisis poskolonial. Terdapat

dalam bab ini adalah penjelasan narasi, alur cerita,

latar, dan penokohan dalam cerita Salah Asuhan.

Bab tiga adalah analisis Salah Asuhan dari sudut

pandang poskolonialisme. Dalam bab ini akan dilihat

7

kebudayaan Indonesia, keraguan Indonesia, dan pula rasa

kedaulatan Indonesia yang tercermin dalam Salah Asuhan.

Bab empat adalah penutup. Penutup ini merupakan

kesimpulan dari makalah ini.

8

BAB II: ANALISIS STRUKTURAL

A. Narasi

Dalam Salah Asuhan narasi ada di bentuk orang

ketiga maha-tahu. Ini terbukti karena narator mengetahui

pikiran semua tokoh utama. Contohnya:

“Semalam-malaman itu Hanafi tidak tidur

sekejap juga. Rindu dan cinta, kepada Corrie

sekonyong—konyong sudah berbalik menjadi dendam

dan benci. Mengertilah ia, bahwa gadis itu

sudah mempermain-mainkannya, seolah-olah

dipergunakan buat perintang-rintang hati dan

buat penyingkat-nyingkatkan waktu dalam pakansi

(Moeis, 2009: 59).

Dan:

“Semalam-malaman itu Corrie tidak merasai

tidur nyenyak. Setiap saat ia bertanya dalam

hatinya, “Cintakah ia pada Hanafi?” Tapi

senantiasa didengarnya pula sahutan “Oh! Anak

Belanda dengan orang Melayu, bagaimana boleh

jadi! Tapi seketika itu juga berbunyi pula

suara “Orang Melayu boleh disamakan haknya

dengan orang Eropa (Moeis, 2009: 34).

9

Ini juga terbukti karena ada bab dengan tokoh utama

berbeda; kadang kala tokoh utama lain tidak muncul

sepanjang bab itu. Contohnya, dalam bab enam (Terbang

Membubung ke Langit Hijau), tokoh utama adalah Corrie

tanpa Hanafi muncul sama sekali. Sedangkan, dalam bab

delapan (Istri Pemberian Ibu), Hanafi dan ibunya

difokuskan tetapi Corrie tidak muncul.

B. Alur Cerita

Konflik utama tidak diselesaikan dalam bab-bab yang

dianalisis. Akibatnya, kedua bagian plot itu tidak akan

dibahas dalam seksi ini.

1) Perkenalan

Perkenalan dalam Salah Asuhan terjadi pada ketiga bab

pertama. Dalam bab pertama Hanafi dan Corrie

diperkenalkan, kemudian pada bab kedua Tuan Du Busée

diperkenalkan. Dalam bab ketiga Mariam diperkenalkan.

Pada bab ketiga tokoh utama terakhir dibicarakan, tetapi

dia baru diperkenalkan pada bab delapan.

2) Timbulnya Konflik

10

Konflik utama Salah Asuhan, yaitu ketidakcocokan

Hanafi dengan adat setempat, sudah ditandai dalam bab

satu. Konflik ini mulai benar-benar jelas pada bab tiga

ketika Hanafi berbicara dengan Mariam; rasa bencinya

terhadap bangsa Minangkabau kelihatan jelas. Walaupun

ibunya sedih akan perbuatan anaknya, dia hanya bisa

terima. Akibatnya, konflik tidak bisa cepat selesai.

3) Peningkatan konflik

Konflik meningkat selama berbab-bab, tetapi ada pula

yang cepat dipecahkan. Konflik utama dikembangkan dengan

kuat pada bab tiga, tujuh, delapan, dan sembilan.

Kebencian Hanafi atas semua kebudayaan Minangkabau

dicerminkan jelas dalam gaya pembicaraannya dengan Mariam

dalam bab tiga. Dalam bab delapan, digambarkan bagaimana

Hanafi suruh orang-orang yang menyiapkan pernikahannya

untuk menggunakan cara Barat.

C. Latar

1) Latar Waktu

Cerita ini tidak punya tanggal atau tahun yang

ditentukan, maka dapat dimengerti bahwa cerita terjadi

pada tahun pertama terbitnya Salah Asuhan, yaitu pada tahun

1928. Ini juga dicerminkan dengan beberapa hal seperti

11

media komunikasi (surat), pemerintah (penjajahan

Belanda), dan kendaraan (kereta angin dan mobil).

Ketujuh bab pertama terjadi dalam waktu dua hari.

Cerita mulai subuh hari dengan pertemuan di antara Hanafi

dan Corrie dan perjanjian untuk mereka bertemu kembali

hari berikutnya. Karena cerita lanjut beberapa hari

berturut-turut, ada bab yang terjadi di siang hari dan

ada pula bab yang terjadi di malam hari.

Setelah Hanafi rela menikah dengan Rapiah, cerita

dimulai kembali setelah waktu dua tahun. Oleh karena

waktu sebanyak itu sudah berlalu, ada banyak perubahan

dalam fisik dan keadaan tokoh. Contohnya, Hanafi sudah

beranak.

Cuaca dan suasana selain jam tidak digambarkan

secara detail. Oleh karena itu, hanya bisa ditangkap

bahwa semua cerita ini terjadi dalam cuaca dan suasana

yang rata; dalam kata lain, tiada musim hujan, musim

panas, musim dingin atau apapun.

2) Latar Tempat

Bab satu sampai dengan sembilan terjadi di Solok,

suatu desa di Sumatra, dekat Padang. Daerahnya diduduki

oleh suku Minangkabau dan tidak ramai. Dikatakan bahwa

12

Solok hanya “negeri kecil” di mana semua saling kenal dan

mengurusi urusan tetangga.

Tempat yang lebih spesifik ganti setiap bab. Tempat-

tempat utama dalam kesembilan bab ini adalah rumah Corrie

dan rumah Hanafi. Ada pula satu tempat minor, yaitu di

lapangan tennis.

Latar tempat tidak dideskripsikan secara mendalam.

Pada umumnya teks terfokus pada dialog dan bukan pada

deskripsi. Memang deskripsi hanya terbatas pada satu atau

dua kalimat saja. Contohnya:

“Tempat bermainan tennis, yang dilindungi

oleh pohon-pohon ketapang sekitarnya, masih

sunyi. Cahaya matahari yang diteduhkan oleh

daun-daun di tempat bermain itu, masih keras,

karena dewasa itu baru pukul tengah lima petang

hari (Moeis, 2009: 1).”

Akibatnya, deskripsi tempat tidak dapat dijelaskan

secara mendalam. Latar tempat juga sulit dibayangkan.

3) Latar Sosial Budaya

Latar sosial budaya dalam cerita ini adalah budaya

Minangkabau dalam waktu penjajahan Belanda. Kebudayaan

13

seperti utang budi, kawin paksa, dan mempunyai budak

diwujudkan dalam cerita.

Sebagai akibat dari latar sosial budaya ini ada

beberapa kata daerah yang digunakan dan perlu dijelaskan.

Contohnya, sebutan orang japutan dijelaskan sebagai

berikut: orang berbangsa, jika dia kawin menurut adat

yang biasa, pihak perempuan yang menjemput uang dan lain-

lain.

Kebudayaan lain yang muncul dalam termasuk agama.

Mariam digambarkan sebagai wanita yang heran karena

anaknya tidak punya rasa agama Islam yang kuat, sesuai

dengan pikiran pada saat itu.

Pengaruh dari latar belakang sosial budaya penulis

sangat jelas. Bangsa digambarkan tidak mampu berbaur,

sesuai dengan pikiran umum pada waktu itu. Orang Belanda

pada umumnya digambarkan secara positif, sesuai dengan

kewajiban sensor.

D. Penokohan

Dalam bab satu sampai sembilan ada lima tokoh utama

yang muncul. Dari kelimat tokoh utama ini, yang paling

pokok ada dua. Berikut adalah analisis penokohan tokoh-

tokoh utama, mulai dari kedua tokoh pokok.

14

1) Hanafi

Tokoh utama pertama adalah Hanafi, yang juga

merupakan tokoh protagonis sekalian antagonis cerita ini.

Dia adalah anak yatim bangsa Minangkabau yang pernah

bersekolah di Betawi dan tinggal dengan keluarga Belanda.

Dengan pendidikan dan kebiasaan itu, Hanafi merasa lebih

seperti orang Belanda daripada orang Minangkabau, hingga

pakaian dan bahasanya pun seperti orang Belanda (Moeis,

2009: 24 – 29); oleh karena itu, dia merasa berpangkat

lebih tinggi daripada orang-orang Pribumi lain dan malu

disebut Pribumi (Moeis, 2009: 3).

Walaupun dia cinta pada ibunya, dia amat benci

budaya Minangkabau. Ini terbukti dengan pernyataannya

seperti “negeri Minangkabau sungguh indah, hanya sayang

sekali penduduknya si Minangkabau.” Kebudayaannya, di

antara lain utang budi, kawin paksa, dan dowry (Moeis,

2009: 26 – 32).

Hanafi dan Corrie Du Busée sudah berteman sejak masa

dini. Namun, setelah beberapa tahun rasa cinta telah

timbul dalam hati Hanafi dan akhirnya mereka bercium-

ciuman di depan rumah Hanafi (Moeis, 2009: 46 – 47).

Setelah Corrie Du Busée melarikan diri karena merasa

bersalah, hatinya patah dan dia menjadi tertutup dan

sakit (Moeis, 2009: 59 – 60).

15

Pada bab delapan, Hanafi dinikahkan dengan Rapiah,

anak dari mamaknya. Pernikahan paksa ini membuat Hanafi

semakin kasar, hingga ia ditinggal oleh teman-teman

Belandanya. Dia tidak dapat mengindahkan istrinya ataupun

menganggap dia sebagai ada, walaupun dalam budaya Belanda

perempuan bukanlah budak lelaki. Malahan dia marah kepada

Rapiah setiap ada kesempatan dan tidak mengakui dia

ataupun anak mereka (Moeis, 2009: 79 – 96).

2) Corrie Du Busée

Corrie Du Busée (selanjutnya disebut Corrie) adalah

putri campuran Prancis dan Pribumi yang berusia sembilan

belas tahun. Pada awal cerita ibunya sudah meninggal dan

ayahnya sudah pensiun. Dia bersekolah di Betawi dan

ketika cerita mulai dia pakansi dari sekolah (Moeis,

2009: 1 – 13).

Walaupun dia campuran Pribumi dengan Prancis, Corrie

tidak mengaku budaya ibunya. Ketika bicarakan dirinya dia

selalu menegaskan kebaratannya, biasanya sebagai orang

Belanda. Ketika bergaul dengan orang Pribumi, dia merasa

dirinya lebih penting dan menomorduakan mereka (Moeis,

2009: 1 – 15).

Pikiran Corrie pada umumnya tidak teratur secara

logis dan kurang tegas. Setelah Hanafi mengakui bahwa dia

16

mencintainya, Corrie tidak bisa tidur semalaman dan

mencari-cari bukti bahwa dia tidak merasa apa-apa untuk

Hanafi. Dia menghitung batu, menghitung daun di bunga,

sampai menghitung bunyi toket tetapi selalu tidak setuju

dengan hitungan itu. Akhirnya dia bohong diri terus

(Moeis, 2009: 34 – 40).

Corrie juga seseorang yang mudah terbawa emosi. Saat

pembantunya tidak cukup cepat sediakan minuman, dia marah

dan bersikap keras. Juga, ketika mendadak dicium oleh

Hanafi, dia balas dengan sebirahi-birahinya. Setelah itu,

dia merasa bersalah dan putuskan semua hubungan dengan

Hanafi dan kota Solok; dia melarikan diri ke Betawi

(Moeis, 2009: 46 – 52).

3) Mariam

Mariam adalah ibu dari Hanafi. Dia orang desa totok

dari bangsa Minangkabau yang tidak berpendidikan. Dia

sangat sederhana dalam perilakunya dan tidak suka hal-hal

yang asing baginya. Dia juga takut pada orang-orang

Belanda (Moeis, 2009: 24 – 33).

Mariam merasa sangat berutang kepada Sutan Batuah,

ayah dari Rapiah, karena ia telah membantu dengan

pembayaran sekolah Hanafi. Utang itu merupakan utang uang

17

dan utang budi; oleh karena utang budi ini, Mariam ingin

Hanafi menikah dengan Rapiah (Moeis, 2009: 24 – 33).

Dia bersifat sabar dengan Hanafi dan kekerasannya.

Ketika Hanafi bicara buruk tentang budaya Minangkabau dan

orang-orang di sekitarnya, Mariam sabar mengingatkan dia

atas hidup baik. Dia tidak bersifat marah sama sekali dan

terus memberi nasihat tulus (Moeis, 2009: 24 – 33).

4) Tuan Du Busée

Tuan Du Busée adalah ayah dari Corrie Du Busée. Dia

orang Prancis yang pindah ke Solok, menikah orang lokal,

dan berkeluarga. Walau dulu dia seorang arsitek, pada

awal cerita dia sudah pensiun dan senang habiskan waktu

luang dengan memburu harimau (Moeis, 2009: 10 – 11).

Penokohan Tuan Du Busée tidak begitu dijelaskan;

hanya dua sifat dijelaskan, yaitu bahwa dia tidak peduli

pada warga-warga di luar keluarganya sendiri dan bersifat

sabar dengan putrinya. Ketidakpeduliannya kepada dunia

luar disebabkan karena istrinya diasingkan oleh kawan-

kawan Belanda (Moeis, 2009: 10 – 13). Akhirnya, dia hanya

akrab dengan Corrie dan karena itu mengizinkan dia

lakukan hampir apa saja (Moeis, 2009: 48 - 53).

Oleh karena pengalamannya dengan istri, Tuan Du

Busée sangat ketat tentang hubungan mesra di antara suku

18

Eropa dan Pribumi. Oleh karena itu, dia menjelaskan

kesulitan hubungan romantis antar-etnis kepada Corrie

ketika ditanya apakah hubungan sejenis itu boleh atau

tidak (Moeis, 2009: 18 – 22)

5) Rapiah

Rapiah adalah anak dari Sutan Batuah. Dia anak

kampung yang tidak berpendidikan tinggi. Dia

diperkenalkan dalam bab delapan dan dijodohkan dengan

Hanafi. Dari pernikahan itu dia melahirkan satu anak,

yaitu Syafei (Moeis, 2009: 75 – 81).

Rapiah sangat cinta pada Hanafi, tetapi sudah mulai

putus asa karena dibuang-buangnya. Akhirnya dia menjadi

akrab dengan Mariam dan berusaha keras mengurus rumah

tangga supaya tidak dimarahkan. Ketika dia dimarahkan dia

tinggal hanya sabar (Moeis, 2009: 120 – 128).

19

BAB III: ANALISIS POSKOLONIAL

Hubungan di antara Hanafi, Corrie dan Rapiah dapat

dipandang sebagai analogi keadaan Indonesia pada saat

itu. Hanafi mewakili budaya dan bangsa Indonesia, yang

telah lama dididik oleh kaum asing. Corrie mewakili

budaya Belanda yang asing dan menarik bagi kaum

Indonesia; bisa dikatakan menggoda hati orang Indonesia.

Sedangkan, Rapiah mewakili tradisi dan adat yang sudah

berada di Indonesia beratus tahun.

Oleh karena ada analogi itu, cerita Salah Asuhan

menjadi bukan hanya suatu novel hiburan, tetapi juga

panggilan untuk rakyat Indonesia agar tidak meninggalkan

budaya lama dan berpura-pura Eropa. Masa Hanafi

bersekolah sebelum cerita mulai mewakili zaman penjajahan

Belanda, yang sampai saat itu masih kuat. Hanafi mendapat

ide dan filsafat asing yang membuatnya tidak cocok dengan

asal usulnya.

Masa Hanafi pendekatan dengan Corrie mencerminkan

bagaimana bangsa Indonesia mencoba mengikuti cara hidup

Barat; mendirikan surat kabar, mendirikan sistem

demokratis, hingga menggunakan teknologi seperti sepeda

20

dan mobil. Dengan percobaannya untuk mengistrikan Corrie,

Hanafi menjadi bagai bangsa Indonesia coba mendapatkan

hak yang sama dengan bangsa Eropa.

Namun, harapan itu dihancurkan ketika Corrie

melarikan diri setelah mereka bermesraan; dalam analogi

ini, ketidakinginan Belanda untuk memberi hak asasi ke

bangsa Pribumi. Alasannya sudah dijelaskan oleh Tuan Du

Busée dalam pembicaraannya dengan Corrie: Barat adalah

Barat, Timur adalah Timur, dan kapan pun keduanya

dicampur tiada hasil baik. Orang (negara) lain

meninggalkannya, hingga ditinggal sendiri dengan

pasangannya.

Oleh karena amat kecewa dengan perilaku Corrie,

Hanafi mulai sakit hingga akhirnya rela dijodohkan dengan

Rapiah. Hubungan suami-istri ini mencerminkan kedudukan

budaya tradisional dalam kaum orang yang berpendidikan

Belanda; tradisi-tradisi hanya dipegang karena terpaksa,

tetapi tidak dipercayai ataupun disayangi. Ini

menimbulkan rasa marah dan kecewa dengan budayanya

sendiri, seperti perasaan Hanafi terhadap Rapiah.

BAB IV: PENUTUP

Secara struktural Salah Asuhan tidak istimewa. Ada

tokoh yang utama, ada tokoh minor, ada latar, dan ada

21

narasi. Narasinya dilakukan dengan mendalam pada pikiran

tokoh utama dan penokohan dikembangkan dengan dialog.

Namun, sebagai suatu analogi hubungan Indonesia-

Belanda salah asuhan bersifat luar biasa. Walaupun di

bawah sensor penguasa, Moeis mampu menyampaikan harapan

agar bangsa Indonesia memeluk adat-istadat sendiri dan

tidak berubah menjadi bangsa lain.

Oleh karena kemampuan dan keberanian Abdoel Moeis

itu Salah Asuhan patut dibaca berkali-kali dan diartikan

sebagai perjuangan rahasia bangsa Indonesia. Apalagi,

pesan dalam novel ini agar tidak berubah menjadi yang

bukan-bukan sangat penting kala kini karena globalisasi

dan kehilangan kebudayaan tradisional.

22

DAFTAR PUSTAKA

Moeis, Abdoel. 2009. Salah Asuhan. Catatan ketiga puluh

sembilan. Jakarta: Balai Pustaka.

23