analisis perilaku pengobatan penduduk miskin dikabupaten ...

100
ANALISIS PERILAKU PENGOBATAN PENDUDUK MISKIN DIKABUPATEN MAJENE ANALYSIS OF THE MEDICATION BEHAVIOR OF POOR PEOPLE IN MAJENE REGENCY ANDI ISHAK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2007

Transcript of analisis perilaku pengobatan penduduk miskin dikabupaten ...

ANALISIS PERILAKU PENGOBATAN PENDUDUK MISKIN DIKABUPATEN MAJENE

ANALYSIS OF THE MEDICATION BEHAVIOR OF POOR PEOPLE IN MAJENE REGENCY

ANDI ISHAK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2007

ii

ANALISIS PERILAKU PENGOBATAN PENDUDUK MISKIN DIKABUPATEN MAJENE

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Disusun dan diajukan oleh

ANDI ISHAK

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2007

iii

T E S I S

ANALISIS PERILAKU PENGOBATAN PENDUDUK MISKIN

DIKABUPATEN MAJENE

Disusun dan diajukan oleh

ANDI ISHAK

Nomor Pokok : P03 06 204 506

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 31 Mei 2007

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat

Prof. Dr. M. Tahir Kasnawi, SU Ketua

Dr. M.M Papayungan, MA Anggota

Ketua Program Studi

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dr. Ir. Didi Rukmana, M.Sc

Direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ANDI ISHAK

Nomor Pokok : P03 06 204 506

Program Studi : Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH)

Konsentrasi Studi Perencanaan Kependudukan

dan Sumber Daya Manusia (SDM)

Judul Tesis : Analisis Perilaku Pengobatan Penduduk Miskin

DiKabupaten Majene

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang tersebut diatas adalah

betul-betul disusun oleh penulis sendiri tanpa disadur/dijiplak dari tesis yang

ada.

Demikian pernyataan ini, penulis buat dengan sesungguhnya untuk

dipergunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, 31 Mei 2007 Yang Menyatakan

ANDI ISHAK

v

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesisi ini tepat waktu.

Dengan terselesaikannya tesis ini penulis menyampaikan terima kasih

yang sebesar – besarnya kepada Bapak Prof. Dr. M. Tahir Kasnawi, SU dan

Bapak Dr. M.M. Papayungan, MA sebagai komisi penasihat yang telah

bersedia menjadi pembimbing dari penyusunan proposal penelitian sampai

pada tahap penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang

terhormat Bapak Prof. Dr. Sulaiman Asang. MS, Dr. Paulus Uppun, MA., Dr.dr.

Tahir Abdullah, MPH sebagai Tim Penguji / Penilai , dan juga kami ucapkan

terima kasih kepada Bapak Drs. Johny Anwar , H. Darwis, SE dan ibu Dina

Srikandi, S.ST serta seluruh rekan - rekan kerja atas dukungan moril dan

berbagai saran dalam penyusunan tesis ini.

Akhirnya dengan tulus ikhlas serta iringan doa penulis khaturkan

penghargaan dan terima kasih juga kepada kedua orang tua & Mertua serta

istri tercinta - Enny. B dan ketiga anak – anakku yang tersayang A. Jenyta, A.

Dicky dan A. Felysia atas do’anya sehingga penulisan tesis ini dapat selesai

tepat pada waktunya.

Makassar, M e i 2007

Penulis,

vi

ABSTRAK

ANDI ISHAK. Analisis Perilaku Pengobatan Penduduk Miskin di

Kabupaten Majene dibimbing oleh M.Tahir Kasnawi dan M.M Papayungan

Penelitian ini bertujuan (1) Mengetahui perilaku pengobatan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan di kabupaten Majene pada

tahun 2005, (2) Menjelaskan pengaruh faktor sosial demografi dan

kecenderungan dari setiap faktor yang mempengaruhi perilaku pengobatan

penduduk miskin yang mempunyai keluhan kesehatan di kabupaten Majene

pada tahun 2005.

Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Survey Sosial

Ekonomi Nasional (Susenas) Kabupaten Majene tahun 2005 yang dilakukan

oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan ukuran sampel sebanyak 608

rumah tangga. Data dianalisis dengan teknik tabulasi silang dan regresi

logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 49337 penduduk miskin di

Majene terdapat 14,42 persen penduduk yang mempunyai keluhan

kesehatan atau menderita sakit dalam satu bulan terakhir. Dari jumlah

tersebut terdapat 56,8 persen penduduk yang tidak berobat pada pelayanan

kesehatan, baik ke puskesmas, puskesmas pembantu, polindes, dokter,

tenaga kesehatan, poliklinik, maupun rumah sakit pemerintah/swasta,

sedangkan yang berobat pada pelayanan kesehatan sebesar 43,2 persen.

Faktor tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah

tangga, dan lamanya terganggu aktivitas secara statistik berpengaruh

signifikan terhadap perilaku pengobatan penduduk miskin di Kabupaten

Majene.

vii

ABSTRACT ANDI ISHAK. Analysis of the Medication Behavior of Poor People in Majene Regency. ( supervised by M.Tahir Kasnawi dan M.M Papayungan.

This research aimed to find out (1) medication behavior of poor people

having health problem in Majene Regency in 2005. (2) the influence of demography social factors and the tendency of each factor effecting medication behavior of poor people who had health problem in Majene Regency in 2005.

This research used secondary data obtained through National

Economics Social Survey of Majene Regency in 2005 conducted by Statistics Centre Board. The sample consisted of 608 households. The data were analyzed descriptively using cross tabulation and infererentially using logistic regression analysis.

The results show that from 49.337 poor people in Majene Regency, 14,42 percent of them have health problems or suffer from any diseases in the last one month. There are 56,8 percent of them who do not have any medical treatments at Public Health Centre, Ministrant Public Health Centre, polindes , doctors, paramedics, policlinic, government/private hospital. On the other hand, there are 43,2 percent of them who have medical treatment at health service. Education level of the household head, number of family members, and the length of disturbed activities statistically have a significant influence on medication behaviour of poor people in Majene Regency.

viii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR v

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah. 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Kegunaan Penelitian 6

E. Batasan Penelitian 7

F. Sistematika Penulisan 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9

A. Pelayanan Kesehatan 9

B. Perilaku Pengobatan 10

C. Penduduk Miskin 18

D. Faktor – faktor yang mempengaruhi Perilaku Pengobatan 20

E. Kajian Teori 28

F. Kerangka Pemikiran 29

G. Hipotesis Penelitian 31

H. Definisi Operasional 31

ix

BAB III. METODE PENELITIAN 35

A. Jenis Penelitian dan Sumber Data 35

B. Populasi dan Sampel 35

C. Spesifikasi Model 37

D. Metode Pengumpulan data 38

E. Teknik Analisis 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 48

A. Perilaku Pengobatan Penduduk Miskin yang mengalami

Gangguan Kesehatan 48

B. Perilaku Pengobatan 49

C. Pengaruh Variabel Sosial Demografi Terhadap Perilaku

Pengobatan Pada Pelayanan Kesehatan 62

BAB V. PENUTUP 73

A. Kesimpulan 73

B. Saran 74

Daftar Pustaka 76

Lampiran 80

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Pengkategorian variabel yang digunakan dalam

penelitian 46

2 Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan menurut perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

48

3. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan pendidikan KRT dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

50

4. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan tipe daerah dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

52

5. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan lama terganggu dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

53

6. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan kartu sehat dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

55

7. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan kelompok umur dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

57

8. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan jumlah ART dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

59

9. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan status pekerjaan KRT dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

60

10. Persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan jenis kelamin dan perilaku pengobatan di Kabupaten Majene tahun 2005

61

11. Nilai penduga parameter, statistik Uji Wald, dan nilai

signifikansi 65

12. Nilai penduga parameter dan Odd Ratio 70

xi

DAFTAR GAMBAR

nomor halaman 1. Ilustrasi model Anderson tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan 15

2 Kerangka pikir tentang faktor sosial demografi yang

mempengaruhi perilaku pengobatan 30

xii

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman 1. Output Logistic Regression 80

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang penting, tidak hanya untuk

kesejahteraan setiap individu, akan tetapi lebih penting lagi untuk menjamin

kesinambungan pembangunan bangsa, dengan tujuan untuk menjadi negara

yang maju, mandiri, berkeadilan, sejajar dengan negara-negara maju di

dunia. Kesehatan merupakan suatu investasi kualitas manusia baik fisik

maupun intelektual.

Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari pembangunan nasional, karena kesehatan menyentuh

hampir semua aspek kehidupan manusia. Tujuan jangka panjang

pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai bagian dari kesejahteraan umum

dari tujuan nasional. Gambaran keadaan masyarakat Indonesia dimasa

depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan dirumuskan

sebagai Indonesia sehat 2010, visi Indonesia sehat 2010 adalah mewujudkan

masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup

2

dalam lingkungan dan perilaku yang sehat, memliki kemampauan untuk

menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata

serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Selain itu

ditingkatkan penyediaan berbagai sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan

obat-obatan (DepKes RI, 2000)

Melalui pembangunan kesehatan diharapkan akan tercapai derajat

kesehatan masyarakat yang lebih baik. Berbagai upaya untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat sudah banyak dilakukan pemerintah selama

ini, diantaranya memberikan penyuluhan kesehatan pada masyarakat untuk

berperilaku hidup sehat dan menyediakan berbagai fasilitas kesehatan

umum, seperti puskesmas, posyandu, pos obat desa, pondok bersalin desa,

serta penyediaan fasilitas air bersih (BPS, 2004).

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak 1997, mengakibatkan

tingginya angka inflasi yang juga berimbas pada menurunnya tingkat

kesehatan masyarakat, hal ini disebabkan turunnya pendapatan dan daya

beli masyarakat serta meningkatnya biaya kesehatan. Sementara itu dalam

waktu yang bersamaan, ditemukan pula banyak sarana pelayanan kesehatan

yang terancam lumpuh. Penyebab utamanya tidak saja karena turunnya

jumlah pengunjung, tetapi juga karena sulitnya memperoleh bahan-bahan

habis pakai serta obat-obatan, yang sebagian besar diantaranya memang

masih sangat tergantung dari impor (Azwar, 1999). Oleh karena itu tanggung

3

jawab pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

semakin berat.

Pada tahun 2000 Human Development Indeks (HDI) Indonesia telah

mencapai peringkat 102 dari 190 negara di dunia. Di tahun 2003 peringkat

Indonesia merosot menjadi 112, hal ini menunjukkan bahwa pembangunan

kesehatan Indonesia jauh dari memuaskan (Dyas, 2004).

Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan

meningkatnya angka kesakitan penduduk miskin yang disebabkan oleh

menurunnya akses masyarakat ke pengetahuan dan informasi, serta

rendahnya kemampuan untuk mengakses ke pelayanan kesehatan. Selain itu

kemiskinan juga menyebabkan meningkatnya faktor resiko personal dan

lingkungan yang dapat meningkatkan kesakitan.

Pembangunan bidang kesehatan antara lain bertujuan agar semua

lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah

dan merata. Melalui upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat

kesehatan masyarakat yang lebih baik. Salah satu indikator yang digunakan

untuk memantau derajat kesehatan penduduk adalah angka kesakitan

(morbidity rate). Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2005 menunjukkan

bahwa penduduk miskin di Majene yang mengalami gangguan kesehatan

selama sebulan yang lalu sebesar 14,42 persen. Gangguan kesehatan yang

banyak diderita oleh masyarakat Majene adalah panas (6,12 persen), batuk

4

(5,10 persen), dan pilek (4,61 persen). Dari seluruh penduduk miskin di

Majene yang mengalami gangguan kesehatan selama sebulan yang lalu

persentase penduduk miskin yang berobat pada pelayanan kesehatan

kurang dari 50 persen yaitu sebesar 43,2 persen sementara berdasarkan

Statistik Kesehatan Majene Dalam Angka Tahun 2005 jumlah sarana

pelayanan kesehatan di Majene terdiri dari: 1 rumah sakit umum, 7

puskesmas, 33 puskesmas pembantu, 32 puskesmas keliling, 9 praktek

dokter umum dan 175 posyandu. Jumlah tenaga kesehatan yang ada, terdiri

dari: 12 dokter umum, 5 dokter gigi, 2 dokter ahli, dan 235 tenaga paramedis

yang tersebar di kabupaten Majene, dengan demikian kontak masyarakat

Majene dengan fasilitas kesehatan umumnya masih relatif rendah.

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah salah satu bentuk nyata

untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dengan

memanfaatkan fasilitas kesehatan yang diselenggarakan baik oleh

pemerintah maupun swasta, berarti menurunnya angka kesakitan dan akan

tercipta masyarakat yang sehat sehingga akan menghasilkan sumber daya

manusia yang cerdas dan produktif (Yuliawati, 2002).

Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendekatkan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin dalam rangka

meningkatkan pemerataan akses ke pelayanan kesehatan dan menurunkan

angka gangguan sakit, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut

5

tentang perilaku pengobatan penduduk miskin di Majene pada tahun 2005

dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

B. Rumusan Masalah

Sasaran pembangunan kesehatan dimasa mendatang adalah

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta keterjangkauan sarana

pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin. Dengan demikian diharapkan

masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah pedesaan serta daerah-

daerah terpencil dapat menggunakan sarana pelayanan kesehatan.

Fenomena yang terjadi di Kabupaten Majene bahwa pemanfaatan pelayanan

kesehatan oleh penduduk relatif masih rendah dan jumlah penduduk miskin

yang relatif tinggi. Dengan demikian, beberapa permasalahan yang dihadapi

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik faktor sosial demografi yang dapat

mempengaruhi perilaku pengobatan penduduk miskin yang mengalami

gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan di Kabupaten Majene

pada tahun 2005 ?

2. Bagaimana peranan faktor sosial demografi yang paling cenderung

dalam mempengaruhi perilaku pengobatan penduduk miskin yang

mengalami gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan di

Kabupaten Majene pada tahun 2005 ?

6

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pemanfaatan pelayanan

kesehatan secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat

yang akan mendukung pembangunan nasional maupun daerah dengan

menggunakan data sosial demografi dari hasil Survei Sosial Ekonomi

Nasional tahun 2005 di Kabupaten Majene.

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan

penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik faktor sosial demografi yang dapat

mempengaruhi perilaku pengobatan penduduk miskin yang mengalami

gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan di Kabupaten Majene

pada tahun 2005.

2. Mengetahui kecenderungan peranan faktor sosial demografi dalam

mempengaruhi perilaku pengobatan penduduk miskin yang mengalami

gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan di Kabupaten Majene

pada tahun 2005.

D. Kegunaan Penelitian

Kebijakan Pembangunan Nasional dan Otonomi Daerah telah

membawa perubahan strategik pada peningkatan kualitas penduduk.

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan kualitas penduduk yang

7

sehat, namun demikian peningkatan taraf kesehatan penduduk, terutama

penduduk yang miskin merupakan tanggung jawab semua pihak.

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian

ini adalah :

1. Menjadi bahan masukan bagi instansi terkait dalam penetapan

kebijakan serta pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

masalah kependudukan terutama dalam upaya penanggulangan

kemiskinan khususnya di Kabupaten Majene.

2. Dapat menjadi bahan pengembangan ilmu pengetahuan terutama di

bidang kependudukan, peningkatan kesehatan masyarakat dan dapat

menjadi referensi bagi yang berminat terhadap masalah

kependudukan, peningkatan kesehatan masyarakat khususnya

penanggulangan masyarakat miskin.

E. Batasan Penelitian

Dalam penulisan ini permasalahan perilaku pengobatan yang dibahas

dibatasi untuk Kabupaten Majene pada tahun 2005. Analisis deskriptif dan

analisis regresi logistik yang dilakukan terbatas dengan menggunakan faktor

sosial demografi tahun 2005 yang dapat menggambarkan keterkaitannya

dengan perilaku pengobatan penduduk miskin di Kabupaten Majene pada

tahun 2005 adalah : pendidikan kepala rumah tangga, status pekerjaan

8

kepala rumah tangga, tipologi daerah perkotaan dan pedesaan, kepemilikan

kartu sehat, jumlah anggota rumah tangga, jenis kelamin anggota rumah

tangga yang mengalami gangguan kesehatan, umur anggota rumah tangga

yang mengalami gangguan kesehatan, dan lama terganggu aktifitas karena

mengalami gangguan kesehatan.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi kedalam lima bab sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka, berisi tentang tinjauan pustaka, kajian teori,

kerangka teori, hipotesis penelitian, dan defenisi operasional.

Bab III : Metode Penelitian, berisi tentang jenis penelitian dan sumber data,

populasi dan sampel, spesifikasi model, metode pengumpulan

data, dan teknik analisis.

Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi tentang gambaran perilaku

pengobatan penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan dan faktor sosial demografi yang mempengaruhi

perilaku pengobatan penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan.

Bab V : Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran dari penelitian ini.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan

secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta

memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok, dan ataupun

masyarakat (Levey&Loomba (Yulianingsih, 2001)).

Lumenta (Yuliawati, 2002) mendefinisikan pelayanan kesehatan

sebagai upaya dan kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua

upaya dan kegiatan peningkatan akan pemulihan kesehatan yang dilakukan

pranata sosial atau pranata politik terhadap keseluruhan masyarakat sebagai

tujuannya. Pelayanan kesehatan ialah suatu kegiatan makrososial yang

berlaku antara pranata atau lembaga dengan populasi tertentu, masyarakat

atau komunitas.

Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan

sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta yang

penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang

ditetapkan (Azwar, 1993).

10

B. Perilaku Pengobatan pada Pelayanan Kesehatan

Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik secara

langsung ataupun yang dapat diamati secara tidak langsung. Robert Kick

(Nandipinta, 2000) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau

perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.

Menurut Notoatmodjo (Nandipinta, 2000) bahwa perilaku kesehatan

pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan

serta lingkungan. Secara lebih rinci perilaku kesehatan tersebut mencakup

beberapa hal sebagai berikut:

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana

manusia merespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan

mempersepsikan tentang penyakit dan rasa sakit yang ada pada

dirinya dan luar dirinya, maupun aktif (tindakan yang dilakukan

sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon

seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem

pelayanan kesehatan modern maupun tradisional. Perilaku ini

menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan,

petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang terwujud dalam

11

pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan

obat-obatan.

3. Perilaku terhadap makanan, adalah respon seseorang terhadap

makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi

pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan serta

unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengelolaan

makanan, dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita.

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan, adalah respon seseorang

terhadap lingkungan sebagi determinan kesehatan manusia.

Sedangkan Becker (Nandipinta, 2000) mengklasifikasikan perilaku

yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut:

1. Perilaku kesehatan (Health Behavior), yaitu hal-hal yang berkaitan

dengan tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan

kesehatannya, termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah

penyakit, kebersihan perseorangan, memilih makanan, sanitasi dan

sebagainya.

2. Perilaku sakit (Illnes Behavior), yaitu segala tindakan atau kegiatan

yang dilakukan oleh seseorang individu yang merasa sakit, untuk

merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit,

termasuk juga kemampuan atau pengetahuan individu untuk

12

mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha

mencegah penyakit tersebut.

3. Perilaku peran sakit (Sick role behavior), yaitu segala tindakan atau

kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk

memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh

terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap

orang lain.

Menurut Notoatmodjo (Herlina, 2001) ada 6 (enam) perilaku

sehubungan dengan perilaku pengobatan, yaitu:

1. Tidak bertindak apa-apa (no action), alasannya antara lain bahwa

kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka

sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa tindakan

apapun gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya.

2. Bertindak mengobati sendiri (self treatment), alasannya karena orang

tersebut sudah percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa

berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu usaha-usaha

pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan,

sehingga pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.

3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional

(traditional remedy). Pada masyarakat yang masih sederhana,

13

masalah sehat-sakit adalah lebih bersifat budaya dari gangguan-

gangguan fisik. Identik dengan itu pencarian pengobatan pun lebih

berorientasi pada sosial budaya masyarakat daripada hal-hal yang

dianggapnya masih asing.

4. Mencari pengobatan dengan membeli obat ke warung-warung obat

dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu.

5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang

diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta,

yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas dan rumah

sakit.

6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang

diselenggarakan oleh dokter praktek swasta.

Dari uraian tersebut di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat

terhadap sehat-sakit adalah berbeda dengan konsep sehat-sakit dari

pelayanan kesehatan. Demikian pula persepsi sehat-sakit antara kelompok-

kelompok masyarakat pun akan berbeda-beda pula. Persepsi masyarakat

terhadap sehat-sakit sangat erat hubungannya dengan perilaku pengobatan.

Wolansky (Yulianingsih, 1999) menyatakan bahwa pemanfaatan

pelayanan kesehatan pada diri seseorang untuk melawan atau mengobati

melibatkan empat variabel kunci, yaitu:

14

1. Kerentanan terhadap apa yang dirasakan (Perceived susceptibility),

agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah

penyakitnya, ia harus merasakan bahaya dan menyadari bahwa ia

rentan terhadap penyakit. Tindakan pencegahan terhadap suatu

penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia rentan

terhadap penyakit.

2. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness), tindakan individu

untuk mencari pengobatan dan mencegah penyakit yang didorong

oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu maupun

masyarakat.

3. keuntungan yang dirasakan dan hambatan-hambatan (perceived

benefits and barriers), apabila individu merasakan dirinya rentan

terhadap penyakit-penyakit yang dianggap gawat atau serius, ia akan

melakukan tindakan tertentu. Tindakan tersebut tergantung pada

keuntungan-keuntungan yang akan dirasakan dan hambatan-

hambatan yang akan dialaminya, pada umumnya keuntungan tindakan

lebih menentukan daripada hambatan yang mungkin timbul.

4. Isyarat atau tanda-tanda (Cuess), untuk mendapatkan tingkat

penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan, dan

keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat berupa faktor-faktor luar

15

seperti pesan dari media massa, nasehat kawan maupun anggota

keluarga.

Untuk mengetahui keputusan seseorang dalam memanfaatkan

pelayanan kesehatan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Ilustrasi model Anderson tentang faktor - faktor yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan

Dari gambar 1 di atas perilaku penggunaan pelayanan kesehatan

dapat dikelompokkan dalam tiga faktor utama yang mempengaruhi terhadap

pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1. Faktor predisposisi (Predisposing factor), digunakan untuk

menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai

kecenderungan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang berbeda-

beda, digolongkan dalam tiga kelompok yaitu, ciri demografi seperti

jenis kelamin, umur, struktur sosial seperti tingkat pendidikan,

pekerjaan, suku dan ras. Ciri kepercayaan kesehatan (helth believe)

Predisposisi

Pendukung Kebutuhan Penggunaan Pelayanan Kesehatan

? Demografi ? Struktur Sosial ? Kepercayaan

Kesehatan

? Sumber Daya Keluarga

? Sumber Daya Masyarakat

Persepsi Evaluasi

16

seperti keyakinan pada pelayanan kesehatan untuk dapat menolong

proses penyembuhan penyakit, sikap individu atau orang memiliki

perbedaan karakteristik, perbedaan tipe, dan frekuensi penyakit, juga

perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan.

2. Faktor pendukung atau pemungkinan (Enabling factor), mencerminkan

bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk menggunakan

pelayanan kesehatan, seseorang tidak akan menggunakannya.

Penggunaan pelayanan kesehatan tergantung kemampuan konsumen

untuk membayar. Faktor pemungkin meliputi lingkungan fisik

(mencakup) ketersediaan fasilitas dan ketercapaian fasilitas.

3. Faktor kebutuhan (need factor), faktor predisposisi dan faktor yang

mendukung untuk mencari pengobatan dapat terwujud dalam tindakan

bila dirasakan sebagai kebutuhan sehingga kebutuhan merupakan

stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Faktor

kebutuhan (need) dibagi dalam 2 kategori yaitu kebutuhan yang

dirasakan (subjectif assessment) dan teruji (clinical diagnosis).

Model lain yang dikemukakan oleh Wolansky (Herlina, 2001) yaitu

model pendekatan dalam penelitian untuk menmpengaruhi faktor-faktor yang

mempengaruhi tindakan untuk berobat antara lain adalah:

17

1. Model demografi (Demografic model), variabel yang digunakan yaitu

umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan besarnya keluarga.

Perbedaan derajat kesehatan sedikit banyak akan dipengaruhi oleh

variabel di atas, ciri-ciri demografi tersebut adalah cerminan atau

berhubungan dengan ciri-ciri sosial.

2. Model struktur sosial (social structure models), dalam hal ini variabel

yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan, dan kesukuan atau

kebangsaan. Variabel ini mencerminkan porsi sosial individu atau

keluarga di dalam masyarakat, penggunaan pelayanan kesehatan

adalah salah satu aspek dari gaya hidup orang, yang ditentukan oleh

lingkungan fisik, sosial, dan psikologis.

3. Model sosial psikologis (social psychological models), pada model ini

variabel yang digunakan adalah sikap dan keyakinan individu. Variabel

sosial psikologis ini terdiri dari 4 kategori yaitu:

? Kerentanan terhadap penyakit atau sakit

? Menerima keseriusan penyakit atau sakit

? Keuntungan yang diharapkan dalam mengambil tindakan untuk

mengatasi penyakit atau sakit

? Kesiapan tindakan individu

4. Model sumber keluarga (family resource model), variabel yang

digunakan adalah pendapatan, asuransi di dalam keluarga.

18

C. Penduduk Miskin

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis

Republik Indonesia selama 6 (enam) bulan atau lebih dan atau mereka yang

berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk menetap (tinggal)

lebih dari enam bulan (BPS, 2000).

Miskin adalah tidak berharta benda, atau serba kekurangan

(berpenghasilan sangat rendah), sedangkan kemiskinan adalah keadaan

miskin absolute, situasi penduduk atau sebagian penduduk yang tidak dapat

memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan perumahan yang diperlukan

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994).

Menurut Bank Dunia (World Bank, 2000), “poverty is a pronounced

deprivation in well being” (kemiskinan dinyatakan sebagai tidak adanya

kesempatan meraih kesejahteraan), dimana kesejahteraan dapat diukur oleh

kekayaan yang dimiliki seseorang, kesehatan, gizi, pendidikan, asset,

perumahan dan hak-hak tertentu dalam masyarakat seperti kebebasan

berbicara. Kemiskinan juga merupakan kurangnya kesempatan/peluang,

ketidakberdayaan, serta kerentanan dalam bidang ekonomi, pendidikan,

kesehatan, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Kemiskinan benar-benar

merupakan masalah multidimensi yang memerlukan kebijakan dan program

19

intervensi pula agar kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya

terbebas dari kemiskinan.

Quibria (Budiantini, 2003) mengemukakan bahwa ada dua istilah

umum yang digunakan dalam mengartikan kemiskinan, yaitu kemiskinan

absolute dan kemiskinan relatif. Seseorang dikategorikan miskin secara

absolute apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis

kemiskinan absolute yang telah ditetapkan, dengan kata lain jumlah

pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang

dicerminkan oleh garis kemiskinan absolute tersebut. Kemiskinan relatif

adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam

masyarakat, yakni antar kelompok yang mungkin tidak miskin karena

mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari garis kemiskinan, dan

kelompok masyarakat relatif lebih kaya.

Kemiskinan merupakan kondisi kehidupan yang serba kekurangan

yang dialami seseorang yang pengeluaran per kapitanya selama sebulan

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan standar hidup minimum. Kebutuhan

standar hidup minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu

batas minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan

minimum makanan dan non makanan. Batas kecukupan minimum makanan

mengacu pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi pada tahun 1978,

yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi

20

kebutuhan minimum energi 2100 kalori per hari, sedangkan kebutuhan

minimum non makanan mencakup pengeluaran untuk perumahan,

penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi,

barang-barang tahan lama serta barang dan jasa esensial lainnya. Jumlah

orang miskin/head count index (HCI) dapat dilihat melalui jumlah orang yang

berada di bawah atau sama dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan

Kabupaten Majene yang dibuat BPS adalah Rp.107.309/kap/bulan.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pengobatan

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pengobatan pada

pelayanan kesehatan terdiri atas:

1. Pendidikan

Cara berpikir seseorang, kematangan, intelektual, wawasan dan

bahkan dalam membuat kebijakan biasanya sangat ditentukan dari

pendidikan orang tersebut. Dalam kehidupan manusia pada umumnya tidak

terlepas dari proses pendidikan karena dalam kehidupan manusia itu sendiri

tidak terlepas dari ketergantungan satu dengan yang lainnya. Pendidikan

adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan

pada anak, yang tertuju pada kedewasaan (Notoatmodjo (Herlina, 2001)).

Pendidikan adalah variabel sosial demografi yang sering dihubungkan

dengan perilaku pengobatan pada pelayanan kesehatan. Pendidikan kepala

21

rumah tangga adalah kunci dari ukuran yang digunakan. Kesenjangan untuk

berobat pada pelayanan kesehatan orang berpendidikan rendah dengan

orang berpendidikan menengah, lebih lebar daripada kesenjangan

pemanfaatan kesehatan antara pendidikan menengah dengan pendidikan

tinggi.

Menurut Feldstein (Yulianingsih, 2001) bahwa tingkat pendidikan

dipercaya mempengaruhi permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan

yang tinggi memungkinkan seseorang untuk mengetahui atau mengenal

gejala awal dari suatu penyakit, sehingga berkeinginan untuk segera

mendapatkan perawatan. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan

sangat menentukan perilaku pengobatan dan pemanfaatan pelayanan

kesehatan manakala anggota keluarga mengalami gangguan sakit.

Orang dengan pendidikan formal lebih tinggi akan mempunyai

pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan pendidikan formal

yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan lebih mudah memahami

arti dan pentingnya kesehatan serta pengobatan pada pelayanan kesehatan.

Notoatmodjo, dkk (Yuliaaningsih, 2001) menyatakan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang canggih. Tingkat

pendidikan mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti kesehatan bagi

diri dan lingkungan yang dapat mendorong kebutuhan akan pelayanan

kesehatan.

22

Penelitian Supriyadi (2004) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan maka cenderung semakin tinggi penggunaan pelayanan

kesehatan formal, dan semakin rendah penggunaan pelayanan kesehatan

informal.

2. Status Pekerjaan

Seseorang yang bekerja di sektor informal cenderung lebih sering sakit

daripada orang yang bekerja di sektor formal, akan tetapi orang yang bekerja

di sektor formal memiliki akses ke pelayanan rawat jalan yang lebih besar

dibandingkan dengan orang yang bekerja di sektor informal, selain didukung

oleh biaya juga kecenderungan jenis penyakit yang dialami relatif berat.

Dalam teori Wolansky (Herlina, 2001) pekerjaan termasuk faktor yang

mempengaruhi tindakan seseorang untuk berobat yaitu masuk dalam model

struktur sosial, sedangkan Andersen (1975) pekerjaan merupakan faktor

yang memberikan kemudahan/kelancaran di dalam bertindak dalam

menggunakan pelayanan kesehatan.

Berdasarkan BKKBN tahun 1999 terdapat dua jenis pekerjaan yaitu:

1. Pekerjaan non formal, yaitu pekerjaan/bekerja yang tidak terikat

dengan aturan resmi, seperti tani, buruh, dan dagang.

2. Pekerjaan formal, yaitu bekerja yang terikat dengan aturan resmi

seperti karyawan swasta, PNS, TNI/POLRI dan pamong desa.

23

Penelitian Sigit (2004) menyebutkan ada hubungan antara variabel

status pekerjaan ayah dengan pencarian pengobatan bagi balita ISPA.

Senada dengan itu, penelitian Supriyadi (2004) juga menyebutkan ada

hubungan yang bermakna antara pekerjaan kepala keluarga dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan. Rumah sakit dan dokter lebih banyak

digunakan oleh tenaga manajemen, sedangkan paramedis lebih banyak

digunakan oleh kelompok pekerjaan tenaga kasar.

3. Jumlah Anggota Keluarga

Bossard dan Boll (Yulianingsih, 2001) menyebutkan perbedaan antara

anak yang berada pada keluarga besar dengan pada keluarga kecil, anak

yang berada pada keluarga kecil biasanya mendapatkan perhatian yang lebih

baik dari segi pendidikan, kesejahteraan. Keluarga kecil biasanya lebih

demokratik dan kooperatif.

Penelitian Supriyadi (2004) menyebutkan ada hubungan yang

bermakna antara variabel jumlah anggota keluarga dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan, keluarga dengan jumlah anggota 4-5 orang memiliki

kecenderungan yang lebih tinggi menggunakan pelayanan kesehatan, dan

pengobatan sendiri lebih banyak digunakan oleh keluarga dengan jumlah

anggota 1-3 orang.

24

4. Umur

Menurut Azwar (1988) umur merupakan variabel yang penting dalam

mempelajari suatu masalah kesehatan karena:

1. Ada kaitannya dengan daya tahan tubuh. Pada umumnya daya tahan

tubuh orang dewasa jauh lebih kuat daripada daya tahan bayi atau

anak-anak.

2. Ada kaitannya dengan ancaman terhadap kesehatan. Orang dewasa

karena pekerjaan ada kemungkinan menghadapi ancaman penyakit

lebih besar daripada anak-anak.

Feldstein (Supriyadi, 2004) menyatakan ada hubungan umur,

penghasilan dan pendidikan terhadap aspek kesehatan. Semakin tinggi usia

seseorang maka semakin tinggi frekuensi pemanfaatan pelayanan

kesehatan. Hubungan antara umur dengan pemanfaatan pelayanan medis

berbeda untuk setiap jenis pelayanan.

Penelitian Yuliawati (2002) menyebutkan ada hubungan yang

bermakna antara umur dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Penelitian Supriyadi (2004) juga menyebutkan adanya hubungan yang

bermakna antara umur dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan bahwa

semakin bertambahnya umur maka cenderung semakin tinggi pemanfaatan

pelayanan kesehatan rawat jalan.

25

5. Tipe Daerah

karakteristik wilayah berhubungan dengan penggunaan pelayanan

kesehatan rawat jalan menurut kebutuhan pada individu. Ketidakmerataan

dalam pelayanan kesehatan tercermin dari perbedaan akses di daerah rural

dan urban.

Di negara berkembang, sebagian besar penduduk umumnya tinggal di

daerah pedesaan yang kekurangan sarana pengobatan modern.

Terpencilnya penduduk desa secara fisik memberikan masalah-masalah

serius dalam memperluas pelayanan dan sarana kesehatan dasar,

pertumbuhan penduduk yang cepat di kota-kota negara berkembang

menambah ketidakpedulian dan penundaan penyediaan pelayanan

kesehatan di desa-desa.

Menurut azwar (1985) penyebaran masalah kesehatan menurut

tempat terjadinya amat penting karena keterangan yang diperoleh akan dapat

diketahui beberapa hal yaitu:

1. Jumlah jenis masalah kesehatan yang ditemukan di suatu daerah.

Dengan diketahuinya penyebaran penyakit di suatu daerah dapat

diketahui dengan tepat masalah-masalah kesehatan yang ada di

daerah tersebut.

2. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan di

suatu daerah. Apabila telah diketahui jumlah dan jenis masalah

26

kesehatan, dapat disusun program kesehatan yang tepat untuk daerah

tersebut.

3. keterangan tentang faktor penyebab timbulnya masalah kesehatan ini

dapat diperoleh dengan membandingkan hal-hal khusus yang ada dan

tidak ada pada suatu daerah. Perbedaan hal-hal khusus tersebut

mungkin adalah penyebab masalah kesehatan yang dimaksud.

Keadaan-keadaan khusus yang dimaksud banyak macamnya, yang

terpenting adalah:

a. Keadaan geografis, misalnya letak wilayah, struktur tanah,

curah hujan, kelembaban udara, dan sebagainya.

b. Keadaan penduduk. Perbedaan keadaan penduduk juga

menentukan perbedaan penyebab penyakit menurut tempat,

misalnya jumlah penduduk dan keadaan penduduk.

c. Keadaan pelayanan kesehatan. Keadaan pelayanan kesehatan

di suatu tempat juga mempengaruhi penyebaran penyakit di

tempat itu.

Penelitian Yulianingsih (2001) dan Yuliawati (2002) menyebutkan ada

hubungan yang bermakna antara tipe daerah tempat tinggal dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan.

27

6. Kartu Sehat

Kartu sehat adalah bukti diri yang diberikan kepada keluarga miskin,

yang termasuk dalam program JPSBK, untuk mendapatkan jaminan

pelayanan kesehatan gratis.

Penelitian Nani Rohani (2003) di Kabupaten Bekasi, menunjukkan

bahwa secara umum program JPSBK meningkatkan kunjungan keluarga

miskin ke sarana pelayanan kesehatan. Penelitian Yuliawati (2002)

menyebutkan bahwa penduduk yang memiliki jaminan kesehatan

(Askes/Astek/Jamsostek, perusahaan/kantor, asuransi lain, dana sehat, kartu

sehat, JPKM) mempunyai peluang memanfaatkan pelayanan kesehatan 1,8

kali dibandingkan yang tidak memiliki jaminan kesehatan.

7. Jenis Kelamin

Dalam Susenas 2005 jenis kelamin tercatat sebagai laki-laki dan

perempuan. Menurut Azwar (1985) jenis kelamin mempengaruhi perilaku

kesehatan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

1. perbedaan anatomi dan fisiologi antara pria dengan wanita.

Contoh tumor prostat yang hanya ditemukan pada kaum pria saja

2. Perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria.

Ditemukan banyak penderita kanker paru-paru pada pria antara lain

karena kaum pria lebih banyak yang merokok daripada kaum wanita.

28

3. Perbedaan macam pekerjaan.

Penyakit akibat kerja misalnya lebih banyak ditemukan pada kaum

pria, karena mereka lebih banyak yang bekerja.

Penelitian Supriyadi (2004) menyebutkan bahwa ada hubungan antara

pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan jenis kelamin.

8. Lamanya Terganggu Aktivitas

Lamanya terganggu aktivitas karena menderita sakit (disability day)

berhubungan langsung terhadap perasaan akan seriusnya penyakit yang

dirasakan. Phelp (Yulianingsih, 2001) mengemukakan bahwa jumlah hari

sakit berhubungan positif dengan angka kunjungan ke dokter.

Penelitian Supriyadi (2004) menyebutkan semakin lama hari

terganggu maka pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan cenderung

semakin meningkat. Musaddad et al (1982) menyatakan bahwa faktor-faktor

jarak ke fasilitas kesehatan, pendidikan ibu, keterpaparan terhadap media

massa, dan lama terganggu berperanan penting dalam pengaruhnya

terhadap pencarian pelayanan kesehatan.

E. Kajian Teori

Dari tinjauan pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku

pengobatan pada pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor;

yaitu: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, ras,

29

keyakinan pada pelayanan kesehatan untuk dapat menolong proses

penyembuhan penyakit, sikap, ketersediaan fasilitas dan ketercapaian

fasilitas, perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, pengeluaran keluarga,

jaminan kesehatan, jarak ke fasilitas kesehatan, pendidikan ibu, keterpaparan

terhadap media massa, dan lama terganggu aktivitas. Faktor sosial demografi

dan ekonomi tersebut selanjutnya disebut sebagai variabel penjelas.

Akan tetapi karena keterbatasan data tidak semua variabel penjelas

dapat diamati. Variabel penjelas di bidang sosial demografi yang diamati

meliputi pendidikan, status pekerjaan, tipe daerah, kartu sehat, jumlah

anggota rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan lama tergangu aktivitas.

Sedangkan variabel ekonomi tidak diamati karena unit analisis yang

digunakan adalah penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan,

jelas memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Dalam penelitian ini variabel

respon yang digunakan adalah perilaku pengobatan penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan.

F. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang dan kerangka teori di atas maka

perilaku pengobatan pada pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa

variabel, yaitu:

30

Variabel Sosial Variabel Demografi

Gambar 2. Kerangka pikir tentang faktor sosial demografi yang mempengaruhi perilaku pengobatan

Kepemilikan Kartu Sehat

Jumlah Anggota Rumah Tangga Miskin

Jenis Kelamin Penduduk dengan

Gangguan Kesehatan

Umur Penduduk dengan Gangguan

Kesehatan

Lama Terganggu Aktifitas karena

Gangguan Kesehatan

Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Tipologi Daerah Tempat Tinggal

Perilaku Pengobatan Penduduk Miskin

Menggunakan Pelayanan Kesehatan

Tidak Menggunakan Pelayanan Kesehatan

31

Perilaku pengobatan yang terdiri atas berobat dan tidak berobat

sebagai variabel respon/variabel tak bebas dipengaruhi oleh faktor sosial

demografi sebagai variabel penjelas/variabel bebas dimana faktor sosial

terdiri atas Pendidikan KRT, Status Pekerjaan KRT, Tipe Daerah, dan Kartu

Sehat, sedangkan faktor demografi terdiri atas JART (Jumlah Anggota

Rumah Tangga), Jenis Kelamin, dan Umur.

G. Hipotesis Penelitian

Untuk menjawab pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan,

maka hipotesa yang akan dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah:

“ Diduga ada pengaruh faktor sosial demografi yaitu pendidikan KRT (Kepala

Rumah Tangga), status pekerjaan KRT, tipe daerah, kartu sehat, jumlah

anggota rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan lama terganggu terhadap

perilaku pengobatan penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan

di kabupaten Majene “.

H. Defenisi Operasional

Sebagaimana telah disebutkan bahwa sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Susenas 2005 KOR, maka defenisi operasional

variabel yang dipakai juga akan merujuk pada konsep dan defenisi Badan

Pusat Staistik (BPS).

32

? Variabel respon (Y) adalah perilaku pengobatan penduduk miskin

pada pelayanan kesehatan adalah kegiatan atau upaya penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan untuk memeriksakan diri

dan mendapatkan pengobatan dengan mendatangi tempat-tempat

pelayanan kesehatan modern atau tradisional tanpa menginap,

termasuk mendatangkan petugas kesehatan ke rumah.

? Variabel penjelas (X) adalah variabel yang digunakan untuk

memprediksi variabel respon. Variabel penjelas yang digunakan disini

adalah variabel dalam faktor sosial demografi yang berhubungan

dengan perilaku pengobatan pada pelayanan kesehatan, yaitu:

1. Pendidikan Kepala Rumah Tangga adalah pendidikan formal

tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, dalam hal ini

tamat sekolah adalah menyelesaikan pelajaran yang ditandai

dengan lulus ujian akhir pada kelas atau tingkatan terakhir suatu

jenjang di sekolah negeri maupun swasta dengan mendapatkan

tanda tamat belajar/ijazah. Seseorang yang belum mengikuti

pelajaran pada kelas tertinggi tetapi sudah mengikuti ujian akhir

dan lulus, dianggap tamat sekolah.

2. Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga adalah macam Pekerjaan

yang dilakukan oleh kepala rumah tangga atau ditugaskan

33

kepadanya seminggu yang lalu. Status pekerjaan ini dikategorikan

menjadi:

? Tidak bekerja, terdiri dari kepala rumah tangga yang

seminggu yang lalu tidak atau belum bekerja.

? Pekerja di sektor formal yaitu kepala rumah tangga yang

seminggu yang lalu bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai,

berusaha di Bantu buruh tetap/buruh dibayar.

? Pekerja di sektor informal yaitu kepala rumah tangga yang

seminggu yang lalu bekerja/berusaha sendiri, berusaha

dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di

pertanian, pekerja bebas di non-pertanian, pekerja tidak

dibayar.

3. Tipe daerah adalah tipe daerah tempat tinggal responden

berdasarkan kriteria dari Badan Pusat Statistik (BPS).

4. Kartu sehat adalah bukti jaminan pembiayaan kesehatan (JPSBK)

yang dimiliki responden untuk keperluan berobat gratis.

5. Jumlah Anggota Rumah Tangga adalah banyaknya anggota rumah

tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang hidupnya

masih menjadi tanggungan kepala rumah tangga.

6. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang dimiliki seseorang baik

laki-laki maupun perempuan.

34

7. umur adalah usia seseorang pada saat pencacahan. Umur dihitung

dalam tahun dengan pembulatan kebawah atau umur pada waktu

ulang tahun yang terakhir.

8. Lama Terganggu Aktivitas adalah jumlah hari responden terganggu

kegiatan sehari-harinya dalam satu bulan terakhir karena sakit.

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan data sekunder

hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan

Pusat Statistik. Berdasarkan batasan masalah yang telah diuraikan

sebelumnya maka data yang digunakan adalah data hasil Susenas yang

surveynya dilaksanakan di Kabupaten Majene tahun 2005.

B. Populasi dan Sampel

Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Survey Sosial

Ekonomi Nasional (Susenas) Kabupaten Majene tahun 2005 yang dilakukan

oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Susenas 2005 dilaksanakan diseluruh

Indonesia dengan ukuran sampel sebanyak 278.352 rumah tangga tersebar

baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, dengan rincian untuk sampel

Kor (tanpa modul) sebanyak 210.064 rumah tangga. Sedangkan Modul

konsumsi (Panel) sebanyak 10.640 rumah tangga.

Ukuran sampel untuk data kor Susenas 2005 Kabupaten Majene

sebanyak 608 rumah tangga dan modul konsumsi 80 rumah tangga,dengan

36

menggunakan garis kemiskinan BPS untuk Kabupaten Majene yaitu

107.309/kap/bln, yaitu jika pengeluaran perkapita penduduk/individu kurang

dari sama dengan garis kemiskinan maka penduduk tersebut masuk dalam

kriteria penduduk miskin.

Kerangka sampel yang digunakan dalam susenas 2005 terdiri dari 3

jenis yaitu, kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, kerangka sampel

untuk pemilihan kelompok segmen dalam blok sensus, dan kerangka sampel

untuk pemilihan rumah tangga dalam blok sensus/kelompok segmen terpilih

(BPS, 2005)

Pemilihan sampel untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan

dilakukan secara terpisah. Rancangan sampel yang digunakan untuk daerah

perkotaan adalah dua tahap. Pada tahap pertama dari kerangka sampel blok

sensus, dipilih sejumlah blok sensus secara linier systematic sampling

dengan banyaknya rumah tangga hasil listing disetiap blok sensus. Kemudian

dari setiap blok sensus terpilih, dipilih 16 rumah tangga secara linier

systematic sampling.

Rancangan sampel untuk daerah pedesaan adalah tiga tahap. Tahap

pertama dari kerangka sampel kecamatan dipilih sejumlah kecamatan secara

probability proportional to size dengan ukuran banyaknya rumah tangga

dalam kecamatan. Tahap kedua dari setiap kecamatan terpilih, dipilih

sejumlah blok sensus secara linier systematic sampling. Tahap ketiga dari

37

setiap blok sensus terpilih, dipilih 16 rumah tangga secara linier systematic

sampling (BPS,2005)

C. Spesifikasi Model

Rancangan model yang digunakan untuk melihat perilaku pengobatan

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan adalah sebagai

berikut:

Penentuan variabel yang digunakan:

1. Variabel respon / Variabel tidak bebas (Y) yaitu perilaku pengobatan

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan.

2. Variabel penjelas / Variabel bebas (X) yaitu

? pendidikan

? status pekerjaan

? tipe daerah

? kartu sehat

? jumlah anggota rumah tangga

? jenis kelamin

? umur

? lama terganggu kesehatan.

38

D. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dari Susenas tahun 2005 dilakukan dengan

cara wawancara langsung dengan responden yang terpilih dalam blok

sensus dengan menggunakan kuesioner VSEN05-K (Kor), dan VSEN05-M

(Modul)

E. Teknik Analisis

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005

merupakan data sekunder. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan

analisa deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif akan dilakukan dengan

membuat tabulasi silang antara variabel-variabel yang digunakan dalam

penelitian ini yang utamanya ditujukan untuk analisis perilaku pengobatan

penduduk miskin pada pelayanan kesehatan.

Sedang analisis inferensial akan dilakukan untuk melihat faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku pengobatan penduduk miskin pada pelayanan

kesehatan. Mengingat variabel respon yang digunakan merupakan variabel

dikotomis, yaitu berobat atau tidak berobat pada pelayanan kesehatan, maka

akan digunakan model regresi logistik.

1. Analisis Deskriptif

Analisis data dengan menerapkan metode analisis deskriptif

dinyatakan sebagai analisis sederhana, atau yang paling sederhana. Akan

39

tetapi hasil analisis tersebut dapat menjadi masukan yang sangat berharga

untuk para pengambil keputusan dan tergantung pada bentuk analisis

tersebut. Dengan demikian, analisis deskriptif dapat merupakan analisis

penting untuk mencapai tujuan penelitian ini, terutama untuk melihat indikasi

adanya hubungan signifikan antara dua variabel sebelum dikontrol variabel

lain.

Untuk menjelaskan hubungan antara perilaku pengobatan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dengan variabel sosial

demografi digunakan tabulasi silang.

Dalam analisis tabulasi silang, digunakan distribusi persentase pada

sel-sel dalam tabel sebagai dasar untuk menyimpulkan hubungan antar

variabel-variabel yang diteliti. Persentase dihitung pada variabel penjelas,

atau jumlah seratus persen adalah kategori variabel penjelas.

Hubungan variabel penjelas dengan variabel respon dilihat dengan

membandingkan distribusi persentase pada kategori-kategori variabel

penjelasnya (Singarimbun, 1989).

Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk mencermati

hubungan perilaku pengobatan penduduk miskin pada pelayanan kesehatan

dengan keadaan sosial demografi, yaitu: daerah tempat tinggal, pendidikan

kepala rumah tangga, status pekerjaan kepala rumah tangga, jenis kelamin,

umur, jumlah anggota rumah tangga, kepemilikan kartu sehat, dan lamanya

40

terganggu aktivitas. Pada analisis deskriptif ini digunakan nilai penimbang

untuk mengestimasi populasinya, sedangkan pada analisis inferensialnya

tidak menggunakan nilai penimbang.

2. Analisis Regresi Logistik

Regresi logistik merupakan salah satu model persamaan yang dipakai

dalam analisis serangkaian data-data kategorik. Metode ini merupakan

metode dasar analisis regresi data biner dalam berbagai bidang, terutama

yang berhubungan dengan bidang kesehatan. Data yang dipakai terbagi

menjadi dua macam, yaitu adanya variabel respon dan variabel penjelas.

Variabel respon berskala biner (dikotomus) atau terdiri dari dua kategori

(Hosmer&Lemeshow, 1989).

Penelitian ini menggunakan variabel respon yaitu periaku pengobatan

dengan kategori berobat untuk y=1 dan tidak berobat untuk y=0, sedangkan

variabel penjelas yang digunakan yaitu variabel umur, jenis kelamin, tipe

daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan KRT, status pekerjaan KRT, jumlah

ART, kartu sehat, dan lama terganggu aktivitas.

Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui seberapa besar

pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon. Dari model yang

terbentuk akan dilihat variabel mana saja yang; berpengaruh secara

signifikan terhadap perilaku pengobatan. Sehingga model yang terbentuk

41

akan menunjukkan peluang perilaku berobat penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan.

Bentuk umum model regresi logistik dengan p variabel adalah sebagai

berikut:

)...exp(1

)...exp()(

110

110

pp

pp

xx

xxx

???

????

????

????

dimana )(x? adalah peluang perilaku pengobatan, dan j? adalah nilai

parameter ke-j (j=0,1,2,3,...,p). Fungsi tersebut merupakan model non linear

sehingga perlu ditransformasikan ke dalam bentuk logit agar dapat dilihat

hubungan antara variabel penjelas dengan variabel respon.

Dengan melakukan transformasi logit dari )(x? didapat persamaan yang lebih

sederhana yang merupakan fungsi linear, yaitu:

pp xxxx

xxg ????

??

???????

???

??

? ...)(1

)(ln)( 22110

Formula di atas merupakan fungsi linear dalam parameter-parameternya.

Jika dari beberapa variabel ada yang bersifat diskrit dan berskala nominal,

maka variabel tersebut tidak akan tepat jika dimasukkan dalam model. Hal ini

disebabkan angka-angka yang digunakan untuk menyatakan tingkatan

tersebut hanya sebagai identifikasi saja dan tidak mempunyai nilai numerik.

42

Dalam situasi ini diperlukan variabel dummy sebanyak k-1. misalkan variabel

ke-j yaitu xj mempunyai kj tingkatan, maka variabel dummy kj-1 dinotasikan

Dju dengan koefisien ju? , u=1, 2, 3, ..., kj-1

Maka model transformasi logit menjadi:

pp

k

ujuju xDxxxg

j

????? ?????? ??

?

1

122110 ...)(

2.1. Pengujian Parameter

2.1.1. Uji Likelihood Ratio atau Uji Signifikansi Model

Untuk mengetahui peran seluruh variabel penjelas di dalam model

secara bersama-sama dapat digunakan uji Likelihood Ratio atau uji

Signifikansi Model, dengan hipotesis:

H0: 0...21 ???? p??? (tidak ada pengaruh antara variabel penjelas

terhadap variabel respon)

H1: minimal ada satu 0?j? (minimal ada satu variabel penjelas yang

berpengaruh terhadap variabel respon)

Dengan statistik uji G= -2ln ??

???

?

kLL0

Dimana: L0 = likelihood tanpa variabel penjelas

Lk = likelihood dengan semua variabel penjelas

43

Statistik G ini mengikuti sebaran Khi-kuadrat bila n ?? dengan

derajat bebas banyaknya kategori dikurangi 1 atau (k-1) dari variabel yang

masuk dalam model. H0 ditolak jika signifikansinya kurang dari 0,05 atau nilai

G> ),(2

?? db , yang berarti dapat disimpulkan bahwa variabel penjelas x secara

keseluruhan mempengaruhi variabel respon y. H0 ditolak berarti paling sedikit

ada satu 0?j? . Untuk melihat 1? mana yang nol (tidak signifikan), dapat

digunakan uji koefisien parameter ? secara parsial (uji Wald).

2.1.2. Uji Wald

Umumnya tujuan analisis adalah untuk mencari model yang cocok

dengan keterkaitan yang kuat antara model dengan data yang ada.

Pengujian keberartian parameter (koefisien ? ) secara parsial dapat

digunakan uji Wald dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:

H0: 0?j? (tidak ada pengaruh antara variabel penjelas ke-j dengan

variabel respon)

H0: 0?j? (ada pengaruh antara variabel penjelas ke-j dengan

variabel respon)

dengan statistik ujinya yaitu:

44

2

^

^

????

?

?

????

?

?

???

???

?

j

j

SeW

?

?

dimana:

^

j? merupakan penduga j?

Se (^

j? ) adalah penduga galat baku dari j?

W diasumsikan mengikuti sebaran Khi-kuadrat bila n ?? . Tolak H0

jika W> ),1(2

?? , atau nilai dari probabilita kurang dari 0,05. H0 ditolak berarti

j? signifikan dan dapat disimpulkan bahwa variable penjelas x secara parsial

2.1.3 Odds Ratio

Odds ratio merupakan perbandingan tingkat resiko relatif dari 2 buah

nilai variabel penjelas xj atau rasio kecenderungan xj=1 terhadap xj=0. Odds

ratio dilambangkan dengan ? yang merupakan ukuran untuk mengetahui

tingkat resiko, yaitu perbandingan antara 2 nilai variabel penjelas xj, antara

kejadian-kejadian yang masuk kategori sukses dan yang gagal. Dalam

penelitian ini Odds ratio digunakan untuk mengetahui kecenderungan faktor

sosial demografi yang mempengaruhi perilaku pengobatan. Misalkan ada

variabel penjelas dengan dua kategori: satu dan nol (dengan nol digunakan

sebagai kategori referensi) maka dituliskan sebagai berikut:

45

???????

?

?

???????

?

?

??

?

??

?

?

)0(1

)0(

)1(1

)1(

^

^

^

^

^

j

j

j

j

x

x

x

x

?

?

?

?

? = exp ???

??? ^

j?

Artinya peluang atau resiko terjadinya peristiwa y=1 pada kategori xj=1

adalah sebesar exp )(^

j? kali resiko terjadinya peristiwa y=1 pada kategori

xj=0. Nilai odds ratio menunjukkan kecenderungan kategori tertentu pada

satu variabel penjelas untuk ”sukses” dibanding kategori pembanding pada

variabel yang sama. Dengan selang kepercayaan sebesar 100 (1-? )% bagi

? adalah:

exp ??

???

????

????

?

^

21

^

jj SEZ ?? ?

3 .Terapan

variabel penjelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat

pendidikan kepala rumah tangga, status pekerjaan kepala rumah tangga,

daerah tempat tinggal, jenis kelamin, umur, jumlah anggota rumah tangga,

kepemilikan kartu sehat, dan lamanya terganggu aktivitas, sedangkan

variabel responnya adalah perilaku pengobatan. Pengkategorian variabel

yang digunakan tercantum pada tabel 1.

46

Tabel 1. Pengkategorian Variabel yang Digunakan dalam Penelitian

Dummy Nama Variabel Variabel Kategori

1 2 3

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Perilaku Pengobatan Y Dengan Yankes

Tanpa Yankes

1

0

Tingkat Pendidikan KRT Kategori Dasar

D1

Tidak tamat SD

Tamat SD ke atas

0

1

Jumlah ART Kategori Dasar

D2

? 5 orang

> 5 orang

0

1

Tipe Daerah Kategori dasar

D3

Perdesaan

Perkotaan

0

1

Lama Terganggu Kategori dasar

D4

? 3 hari

> 3 hari

0

1

Umur

Kategori dasar

D51

D52

D53

0-5 tahun

6-18 tahun

19-54 tahun

? 55 tahun

0

1

0

0

0

0

1

0

0

0

0

1

Jenis Kelamin Kategori dasar

D6

Perempuan

Laki-laki

0

1

Kartu Sehat Kategori dasar

D7

Tidak ada KS

Ada KS

0

1

Status Pekerjaan KRT

Kategori dasar

D81

D82

Tidak bekerja

Formal

Informal

0

1

0

0

0

1

47

Pengolahan data menggunakan software SPSS versi 10.0 dengan

metode backward stepwise (Wald) dan reference category adalah first,

dengan tingkat signifikan sebesar 0,05. Pada tabel Variable in the Equation

dalam output hasil pengolahan SPSS nilai Odds ratio tersebut dapat dibaca

pada kolom exp )(^

j? .

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perilaku Pengobatan Penduduk Miskin yang Mengalami

Gangguan Kesehatan

Dari 49.337 penduduk miskin di Majene terdapat 7.116 (14,42 persen)

penduduk yang mengalami gangguan kesehatan atau pernah menderita

sakit, dari jumlah tersebut terdapat 56,8 persen penduduk miskin yang

pernah mengalami gangguan kesehatan melakukan pengobatan, tetapi tidak

berobat pada tempat pelayanan kesehatan, sedangkan yang melakukan

pengobatan pada pelayanan kesehatan sebesar 43,2 persen.

Tabel 2. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan menurut perilaku pengobatan di Majene

Perilaku Pengobatan Persentase

(1) (2)

? Tidak Menggunakan Pelayanan Kesehatan (Tanpa Yankes)

? Menggunakan Pelayanan Kesehatan (Dengan Yankes)

56,8

43,2

Total 100 (7116)

Sumber: Hasil pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Dimana fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di Kabupaten

Majene pada tahun 2005 berupa rumah sakit umum 1 unit, puskesmas

49

sebanyak 7 unit, puskesmas pembantu sebanyak 33 unit, puskesmas keliling

sebanyak 7 unit, tempat praktek dokter umum dan spesialis sebanyak 9 unit,

bidan praktek swasta sebanyak 7 unit, dan posyandu sebanyak 175 unit.

Tingginya persentase penduduk miskin yang pernah mengalami

gangguan kesehatan tetapi melakukan pengobatan bukan di tempat

pelayanan kesehatan mengindikasikan bahwa sarana pelayanan kesehatan

yang ada di Majene belum dimanfaatkan secara optimal khususnya oleh

penduduk miskin.

B. Perilaku Pengobatan

1. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Pendidikan KRT

Dalam penelitian yang menjadi ukuran adalah pendidikan kepala

rumah tangga seluruh penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan, tujuan penggunaan pendidikan kepala rumah tangga sebagai

ukuran adalah karena kepala rumah tangga sebagai pemimpin dalam rumah

tangga, sehingga dia mampu membuat keputusan akan pengobatan pada

pelayanan kesehatan anggota rumah tangganya.

Pada umumnya tingkat pendidikan penduduk miskin sangat rendah,

maka variabel tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu

kelompok pendidikan tamat SD keatas dan kelompok yang tidak tamat SD,

50

termasuk yang tidak pernah bersekolah, karena persentase penduduk miskin

yang tamat SLTP keatas sangat kecil (BPS, 2005). Dari pengolahan data

didapatkan persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan perilaku

pengobatan, seperti pada tabel 3 .

Tabel 3 memperlihatkan bahwa penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan dengan pendidikan kepala rumah tangganya tamat SD

keatas, lebih banyak yang berobat pada pelayanan kesehatan yaitu 54,6

persen, sedangkan penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan

dengan pendidikan kepala rumah tangganya tidak tamat SD, termasuk yang

tidak pernah sekolah ada 25,8 persen yang berobat pada pelayanan

kesehatan.

Tabel 3. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan pendidikan KRT dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan

Pendidikan KRT Dengan Yankes Tanpa Yankes

Total

(1) (2) (3) (4)

Tidak tamat SD

Tamat SD keatas

25,8

54,6

74,2

45,4

100 (2812)

100 (4304)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

51

Jadi semakin tinggi tingkat pendidikan pemanfaatan fasilitas

pengobatan semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian

yang sudah dilakukan sebelumnya, diantaranya yang dilakukan oleh

Notoatmodjo dan Supriyadi.

Notoatmodjo, dkk (Yulianingsih, 2001) menyatakan tingkat pendidikan

yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang canggih.

Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti

kesehatan bagi diri dan lingkungan yang dapat mendorong kebutuhan akan

pelayanan kesehatan.

Penelitian Supriyadi (2004) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan maka cenderung semakin tinggi penggunaan pelayanan

kesehatan formal, dan semakin rendah penggunaan pelayanan kesehatan

informal.

2. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Tipe Daerah Tempat Tinggal

Karakteristik wilayah berhubungan dengan pengobatan pada

pelayanan kesehatan, di negara-negara berkembang sebagian besar

penduduknya tinggal di daerah pedesaan yang kekurangan sarana

kesehatan modern, individu yang tinggal di daerah perkotaan memiliki

probabilitas untuk akses lebih tinggi dibandingkan individu yang tinggal di

daerah pedesaan, daerah perkotaan memiliki infrastruktur lebih baik

52

dibandingkan individu yang tinggal di daerah pedesaan, sehingga akses di

daerah perkotaan lebih mudah.

Pada tabel 4 memperlihatkan bahwa dari 2.332 penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan dan tinggal di daerah perkotaan, ada 43,2

persen penduduk yang berobat pada pelayanan kesehatan. Sedangkan dari

4784 penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dan tinggal di

daerah pedesaan, terdapat 43,3 persen penduduk berobat pada pelayanan

kesehatan.

Tabel 4. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan tipe daerah dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan Tipe Daerah

Dengan Yankes Tanpa Yankes Total

(1) (2) (3) (4)

Perkotaan

Pedesaan

43,2

43,3

56,8

56,7

100 (2332)

100 (4784)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Dari data di atas terlihat bahwa persentase penduduk yang berobat

baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan tidak

berbeda jauh atau relatif sama yaitu masing-masing 43,3 persen dan 43,2

persen hal ini dikarenakan keadaan geografis antara daerah perkotaan dan

53

perkotaan di Kabupaten Majene hampir sama, dan pembangunan fasilitas

kesehatan relative sudah merata sampai di daerah pedesaan. Menurut Azwar

(1985) penyebaran masalah kesehatan dapat disebabkan oleh hal-hal

khusus diantaranya keadaan geografis misalnya letak wilayah.

3. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Lama Terganggu

Lamanya menderita sakit (disability day) berhubungan langsung

terhadap perasaan akan seriusnya penyakit yang dirasakan. Dari pengolahan

data didapatkan persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan berdasarkan lama terganggu dan perilaku pengobatan, seperti

pada tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan lama terganggu dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan Lama

Terganggu Dengan Yankes Tanpa Yankes Total

(1) (2) (3) (4)

= 3 Hari

> 3 Hari

24,3

66,2

75,7

33,8

100 (3901)

100 (3215)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Tabel 5 memperlihatkan bahwa penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan lebih dari tiga hari lebih cenderung berobat pada

54

pelayanan kesehatan yaitu 66,2 persen, sedangkan persentase penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan kurang dari atau sama dengan

tiga hari untuk berobat pada pelayanan kesehatan yaitu 24,3 persen,

sehingga kebanyakan tidak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan.

Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Phelp dan penelitian

yang dilakukan oleh Supriyadi.

Phelp (Yulianingsih, 2001) mengemukakan bahwa jumlah hari sakit

berhubungan positif dengan angka kunjungan ke dokter.

Penelitian Supriyadi (2004) menyebutkan semakin lama hari

terganggu maka pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat jalan cenderung

semakin menigkat. Musaddad et al (1982) menyatakan bahwa faktor-faktor

jarak ke fasilitas kesehatan, pendidikan ibu, keterpaparan terhadap media

massa, dan lama terganggu berperanan penting dalam pengaruhnya

terhadap pencarian pelayanan kesehatan.

4. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Kepemilikan Kartu Sehat

Kartu sehat adalah bukti diri yang diberikan kepada rumah tangga

miskin yang termasuk dalam sasaran program JPSBK, untuk mendapatkan

jaminan pelayanan kesehatan gratis. Kartu sehat hanya diberikan satu buah

kepada setiap rumah tangga miskin untuk digunakan oleh seluruh anggota

55

rumah tangganya, kartu sehat dikelompokkan menjadi ada dan tidaknya kartu

sehat.

Tabel 6 memperlihatkan bahwa persentase penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan dan tersedia kartu sehat hanya sebesar

32,4 persen yang berobat pada pelayanan kesehatan. Sedangkan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dan tidak tersedia kartu sehat

ada 50,2 persen yang berobat pada pelayanan kesehatan.

Tabel 6. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan kartu sehat dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan Kartu Sehat

Dengan Yankes Tanpa Yankes Total

(1) (2) (3) (4)

Ada KS

Tidak Ada KS

32,4

50,2

67,6

49,8

100 (2784)

100 (4332)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Persentase penduduk miskin yang tersedia kartu sehat lebih kecil

dibandingkan penduduk miskin yang tidak tersedia kartu sehat untuk berobat

pada pelayanan kesehatan, kartu sehat yang merupakan bukti pembayaran

gratis tidak membuat akses pemegangnya meningkat terhadap pelayanan

kesehatan. Menurut WHO dalam Yulianingsih (2001), ini dikarenakan untuk

56

mendapatkan pelayanan kesehatan diperlukan tidak hanya sekedar biaya

untuk kesehatan sendiri, tetapi ada biaya lainnya. Biaya tersebut adalah

biaya transportasi, biaya untuk obat, atau biaya untuk hilangnya waktu kerja.

5. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Kelompok Umur.

Menurut Anderson (Herlina, 2001) umur adalah komponen predisposisi

keluarga dalam penggunaan pelayanan kesehatan, berarti pola pemanfaatan

pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh individu-individu dari berbagai

kelompok usia. Untuk memudahkan analisis maka umur dikelompokkan

menjadi empat yaitu umur 0-5 tahun, 6-18 tahun, 19-54 tahun dan = 55 tahun.

Dari data didapatkan persentase penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan berdasarkan kelompok umur dan perilaku kesehatan,

tabel 7 memperlihatkan bahwa penduduk miskin yang berumur = 55 tahun

dengan gangguan kesehatan mempunyai persentase untuk berobat pada

pelayanan kesehatan paling banyak yaitu sebesar 55,5 persen, kemudian

disusul oleh yang berumur 0-5 tahun ada sebanyak 46,1 persen dan

kelompok umur 19-54 tahun yaitu sebesar 44,3 persen untuk pergi ke fasilitas

kesehatan.

Kelompok umur yang paling sedikit tidak berobat pada pelayanan

kesehatan adalah umur 6-18 tahun yaitu sebanyak 27,2 persen. Penelitian

Supriyadi (2004) menyebutkan adanya hubungan yang bermakna antara

57

umur dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan bahwa semakin

bertambahnya umur maka cenderung semakin tinggi pemanfaatan pelayanan

kesehatan rawat jalan.

Tabel 7. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan kelompok umur dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan Umur

Dengan Yankes Tanpa Yankes Total

(1) (2) (3) (4)

0-5 tahun

6-18 tahun

19-54 tahun

= 55 tahun

46,1

27,2

44,3

55,5

53,9

72,8

55,7

44,5

100 (990)

100 (1602)

100 (2911)

100 (1613)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Namun berdasarkan data di atas untuk kabupaten Majene pada tahun

2005 terdapat sedikit perbedaan dimana untuk penduduk miskin yang

berumur 0-5 tahun ternyata lebih banyak berobat ke fasilitas kesehatan

dibandingkan kelompok umur 19-54 tahun. Menurut penulis hal ini

disebabkan pada usia balita yaitu 0-5 tahun adalah usia yang rentan

terhadap penyakit karena daya tahan tubuh yang masih kurang, hal ini sesuai

58

dengan teori yang dikemukakan oleh Azwar dalam bukunya 1 yang

menyatakan umur merupakan variabel penting dalam mempelajari suatu

masalah kesehatan karena umur terkait dengan daya tahan tubuh, pada

umumnya daya tahan tubuh orang dewasa jauh lebih kuat daripada daya

tahan tubuh balita.

Fenomena diatas jg terkait dengan data yang menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan penduduk miskin di Kabupaten Majene pada tahun 2005

masih rendah sehingga masih banyak orang tua yang kurang mengerti

bagaimana memperlakukan anaknya dengan baik, menjaga agar tidak

mudah terinfeksi oleh kuman. Seperti yang disebutkan oleh Thabrany

(1995), bahwa secara teoritis pendidikan meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran tentang penyakit dan pencegahan penyakit.

6. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Jumlah ART

Dari pengolahan data didapatkan persentase penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan jumlah anggota rumah tangga

dan perilaku pengobatan. Pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa dari 2.136

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dan tinggal bersama

keluarga kecil (ART < 5 orang) ada 23,5 persen penduduk yang berobat pada

pelayanan kesehatan. Sedangkan dari 4.980 penduduk miskin yang 1 Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan (Aplikasi Prinsip Pemecahan Masalah). Jakarta

59

mempunyai gangguan kesehatan dan tinggal bersama keluarga besar (ART =

5 orang) terdapat 51,7 persen penduduk berobat pada pelayanan kesehatan.

Tabel 8. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan jumlah ART dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan Jumlah Anggota

Rumah Tangga

Miskin Dengan Yankes Tanpa Yankes

Total

(1) (2) (3) (4)

< 5 Orang

= 5 Orang

23,5

51,7

76,5

48,3

100 (2136)

100 (4980)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Hasil ini sesuai dengan penelitian Yulianingsih (2001) yang

menyebutkan bahwa orang yang berada pada keluarga besar memiliki akses

yang lebih tinggi daripada orang yang berada pada keluarga kecil.

7. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Status Pekerjaan KRT

Variabel status pekerjaan dalam penelitian ini yang menjadi ukuran

adalah status pekerjaan kepala rumah tangga, karena apabila pengukuran

status pekerjaan dilakukan pada semua responden akan menimbulkan bias

pengukuran disebabkan banyaknya anggota rumah tangga yang tidak

60

bekerja (anak-anak, usia sekolah). Status pekerjaan kepala rumah tangga

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan terbagi dalam tiga

kategori yaitu tidak bekerja, pekerja di sektor formal dan pekerja di sektor

informal.

Tabel 9 memperlihatkan bahwa dari 1192 penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan dengan kepala rumah tangganya bekerja di

sektor formal, ada 63,5 persen penduduk berobat pada pelayanan

kesehatan, hanya 45,9 persen penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan dengan kepala rumah tangganya tidak bekerja/pengangguran

berobat pada pelayanan kesehatan.

Tabel 9. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan status pekerjaan KRT dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan

Status Pekerjaan

KRT Dengan Yankes Tanpa Yankes Total

(1) (2) (3) (4)

Tidak Bekerja

Formal

Informal

45,9

63,5

38,1

54,1

36,5

61,9

100 (831)

100 (1192)

100 (5093)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

61

Sedangkan dari 5093 penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan dengan kepala rumah tangganya bekerja di sektor informal,

terdapat 38,1 persen penduduk yang berobat pada pelayanan kesehatan.

Hasil di atas sesuai dengan penelitian Supriyadi (2004) yang menyebutkan

ada hubungan positif antara pekerjaan kepala keluarga dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan.

8. Perilaku Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin tercatat sebagai laki-laki dan perempuan, tabel 10

memperlihatkan bahwa penduduk miskin perempuan yang mempunyai

gangguan kesehatan 47,1 persen berobat pada pelayanan kesehatan,

sedangkan 48,5 persen untuk laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa laki-laki

dan perempuan memiliki persentase yang relatif sama untuk berobat pada

pelayanan kesehatan.

Tabel 10. Persentase penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan jenis kelamin dan perilaku pengobatan di Majene tahun 2005

Perilaku Pengobatan Jenis Kelamin

Dengan Yankes Tanpa Yankes Total

(1) (2) (3) (4)

Laki-laki

Perempuan

48,5

47,1

51,5

52,9

100 (3194)

100 (3922)

Total 43,2 (3077) 56,8 (4039) 100 (7116)

Sumber: Hasil Pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

62

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuliawati (2002) yang

dalam penelitiannya menemukan bahwa tidak ada perbedaan laki-laki dan

perempuan dalam berobat pada pelayanan kesehatan.

Pada penelitian ini jenis kelamin bukan merupakan faktor yang

berhubungan dengan perilaku pengobatan pada pelayanan kesehatan,

dimana menurut asumsi peneliti dikarenakan bahwa keluhan kesehatan yang

terdapat pada data Susenas 2005 dapat menyerang siapa saja dan tidak

membedakan gender. Hal ini didukung oleh komposisi penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan berdasarkan jenis kelamin adalah hampir

sama yaitu 45 persen laki-laki dan 55 persen perempuan.

C. Pengaruh Variabel Sosial Demografi terhadap Perilaku

Pengobatan Pada Pelayanan Kesehatan

Pembahasan ini menggunakan analisis regresi logistik, untuk

keperluan analisis lebih lanjut antara faktor sosial demografi dengan perilaku

pengobatan penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan di

Majene tahun 2005.

Taraf nyata yang digunakan dalam uji signifikansi model, jika tingkat

signifikansi dalam model tersebut lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka

model tersebut sudah tepat yang berarti paling sedikit terdapat satu variabel

yang signifikan mempengaruhi model. Penjelasan besar hubungan antara

63

masing-masing variabel penjelas yang memiliki pengaruh terhadap perilaku

pengobatan penduduk miskin, digunakan nilai Odd ratio.

Penghitungan regresi logistik dilakukan dengan menggunakan paket

program SPSS for windows version 10,0 dengan metode Backward Stepwise

(Wald) untuk memilih model regresi logistik yang terbaik dan reference

category adalah first, dengan analisa output sebagai berikut:

a. Uji Signifikansi Model

Uji Signifikansi model digunakan untuk menentukan model regresi

logistik yang menggunakan delapan variabel penjelas yang berpengaruh

terhadap perilaku pengobatan penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan

dengan membandingkan p-value dengan taraf nyata yang telah ditentukan

sebesar 0,05.

Berdasarkan nilai signifikansi = 0,000 < 0,05 maka keputusan H0

ditolak, hal ini mengindikasikan bahwa minimal ada satu variabel dari delapan

variabel penjelas yang berpengaruh terhadap perilaku pengobatan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan.

b. Uji Parameter Model

Model regresi logistik yang dipakai adalah bertahap (backward). Uji

parameter model dilakukan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel

penjelas secara parsial terhadap variabel responnya. Berdasarkan uji

keberartian secara parsial dengan menggunakan statistik Wald dimana nilai

64

ini merupakan hasil kuadrat dari pembagian antara estimasi koefisien ß

terhadap estimasi standar error koefisien ß yang dihasilkan pada output

analisis.

Berdasarkan output regresi logistik, diperoleh nilai penduga parameter,

statistik uji wlad, dan nilai signifikansi variabel-variabel yang masuk dalam

model regresi logistik dan berpengaruh terhadap perilaku pengobatan

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan pada pelayanan

kesehatan.

Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa ada tiga variabel yang

mempunyai pengaruh secara nyata terhadap perilaku pengobatan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan, yaitu variabel pendidikan

kepala rumah tangga (KRT), jumlah anggota rumah tangga (ART) dan lama

terganggu karena masing-masing variabel memiliki statistik uji Wald > ?2(1:0,05)

= 3,841 atau nilai signifikansi kurang dari (<) a = 0,05.

Sedangkan variabel yang tidak mempunyai pengaruh secara nyata

terhadap perilaku pengobatan penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan pada pelayanan kesehatan adalah umur, status pekerjaan kepala

rumah tangga, jenis kelamin, kartu sehat, dan tipe daerah karena memiliki

statistik uji Wald kurang dari (<) ?2(1:0,05) = 3,841 atau nilai signifikansi lebih

besar (>) dari a = 0,05.

65

Tabel 11. Nilai penduga parameter, statistik Uji Wald, dan nilai signifikansi

Variabel ?̂ Se( ?̂ ) Wald df Sig

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Pendidikan KRT 1,551 0,45 11,897 1 0,001

Jumlah ART 1,198 0,475 6,369 1 0,012

Tipe Daerah -0,115 0,500 0,053 1 0,818

Lama Terganggu 2,146 0,432 24,705 1 0,000

Umur (0-5 th) 6,068 3 0,108

Umur (6-18 th) -1,064 0,729 2,130 1 0,144

Umur (19-54 th) 0,125 0,654 0,037 1 0,848

Umur (= 55 th) 0,330 0,722 0,209 1 0,648

Jenis Kelamin -0,244 0,426 0,328 1 0,567

Kartu Sehat -0,425 0,461 0,841 1 0,357

STAT_KRT (Tidak Bekerja) 0,382 2 0,826

STAT_KRT (Formal) -0,542 0,880 0,379 1 0,538

STAT_KRT (Informal) -0,396 0,768 0,265 1 0,607

Sumber: Hasil pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Berdasarkan pengujian parameter model yang telah dilakukan maka

diperoleh model peluang regresi logistik berdasarkan variabel yang masuk

dalam model, adalah:

66

? ???̂ = ? ?

? ?421

421

146,2198,1551,1146,31146,2198,1551,1146,3

DDDExpDDDExp

?????????

? ? 421 146,2198,1551,1146,3ˆ DDDxg ?????

Keterangan: D1 = Tingkat Pendidikan KRT

D2 = Jumlah ART

D4 = Lama Terganggu

Sebagai contoh penduduk miskin yang mempunyai gangguan

kesehatan lebih dari tiga hari, tinggal bersama keluarga kecil (ART<5 orang)

dan kepala rumah tangganya tamat SD ke atas, maka model persamaan

regresi logistik di atas didapat besarnya peluang untuk berobat pada

pelayanan kesehatan sebagai berikut:

? ???̂ = ? ?

? ?)1(146,2)0(198,1)1(551,1146,31)1(146,2)0(198,1)1(551,1146,3

?????????

ExpExp

=? ?

? ?551,01551,0

ExpExp?

= 0,6344

Jadi peluang penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan

untuk berobat pada pelayanan kesehatan yang memiki gangguan kesehatan

lebih dari tiga hari, tinggal bersama keluarga kecil (ART<5 orang) dan kepala

rumah tangganya tamat SD keatas adalah 0,6344 (63,44 persen).

67

Berdasarkan koefisien regresi ?̂ pada model peluang regresi logistik

dapat dilihat hubungan antara variabel penjelas yang berpengaruh terhadap

perilaku pengobatan penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan

pada pelayanan kesehatan dengan menganggap faktor lain konstan, seperti

berikut:

1. Terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan kepala rumah

tangga dengan perilaku pengobatan. Hal ini berarti bahwa penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dengan kepala rumah

tangga tamat SD keatas lebih berobat pada pelayanan kesehatan dari

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dengan

kepala rumah tangga tidak tamat SD, termasuk yang tidak pernah

bersekolah.

2. Terdapat hubungan positif antara jumlah anggota rumah tangga

dengan perilaku pengobatan. Hal ini berarti bahwa penduduk miskin

yang mempunyai gangguan kesehatan dan tinggal bersama keluarga

besar (ART=5 orang) lebih berobat pada pelayanan kesehatan dari

penduduk miskin yang mempunyai gangguan kesehatan dan tinggal

bersama keluarga kecil (ART<5 orang).

3. Terdapat hubungan positif antara lama terganggu dengan perilaku

pengobatan. Hal ini berarti bahwa penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan lebih dari tiga hari, lebih berobat pada

68

pelayanan kesehatan dari penduduk miskin yang mempunyai

gangguan kesehatan kurang dari atau sama dengan tiga hari.

Klasifikasi model digunakan untuk menentukan tingkat ketepatan

model dalam memprediksi. Dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan

tingkat ketepatan model dalam memprediksi perilaku pengobatan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan,

tingkat ketepatan model dalam memprediksi perilaku pengobatan penduduk

miskin yang mempunyai gangguan kesehatan pada pelayanan kesehatan

sebesar 71,6 persen.

C. Odd Ratio

Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989), penarikan kesimpulan dari

model regresi logistik yang tepat adalah dengan menganalisis nilai Odd ratio

dari variabel dalam model.

Nilai ini diperoleh dengan mengeksponensialkan koefisien dari variabel

dalam model regresi logistik yang terbentuk. Dalam penelitian ini akan

digunakan rujukan (reference category) first untuk menganalisis Odd ratio,

seperti pada tabel 12.

Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat nilai odd ratio atau rasio

kecenderungan berobat pada pelayanan kesehatan, sebagai berikut:

69

1. Pendidikan KRT

Nilai odd ratio untuk pendidikan kepala rumah tangga adalah 4,714, ini

berarti bahwa kecenderungan penduduk miskin dengan gangguan kesehatan

yang kepala rumah tangganya tamat SD keatas untuk berobat pada

pelayanan kesehatan 4,714 kali dibandingkan penduduk miskin dengan

gangguan kesehatan yang kepala rumah tangganya tidak tamat SD,

termasuk yang tidak pernah bersekolah.

Jadi dapatlah dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

maka cenderung semakin berobat pada pelayanan kesehatan. Hasil ini

sesuai dengan penelitian Supriyadi (2004), bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan kepala rumah tangga maka cenderung semakin tinggi

penggunaan pelayanan kesehatan formal, dan semakin rendah penggunaan

pelayanan kesehatan informal.

Tingginya penggunaan pelayanan kesehatan pada kelompok yang

berpendidikan kemungkinan disebabkan oleh utuhnya pemahaman tentang

pola hidup sehat dengan upaya preventif yang efektif dan efisien.

Pencegahan dini, pemulihan dan pembatasan kecacatan menjadi suatu hal

yang mendorong mereka menggunakan pelayanan kesehatan tersebut.

Feldstein (1993) seperti dikutip Supriyadi menyatakan bahwa

pendidikan dapat mempengaruhi demand (permintaan) untuk pelayanan

medis. Tingkat pendidikan kepala keluarga akan sangat menentukan

70

pencarian pengobatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan manakala

anggota keluarga mengalami gangguan sakit.

Tabel 12. Nilai penduga parameter dan Odd Ratio

Variabel ?̂ Exp ( ?̂ )

(1) (2) (3)

Jumlah ART 1,198 3,315

Lama Terganggu 2,146 8,552

Pendidikan KRT 1,551 4,714

Sumber: Hasil pengolahan data Susenas 2005 Kabupaten Majene

Thabrany (1995) menyampaikan bahwa secara teoritis pendidikan

dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dengan dua cara.

Pertama, pendidikan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang

penyakit dan pencegahan penyakit. Kedua, pengaruh pendidikan pada status

kesehatan melalui pendapatan/income. Secara umum orang yang

berpendidikan baik memiliki lebih besar kesempatan mendapatkan

penghasilan, sehingga mereka akan mendapatkan nutrisi yang lebih baik,

lingkungan yang sehat dan perawatan kesehatan yang terjaga. Green

(Supriyadi, 2004) mengkategorikan pengetahuan sebagai faktor predisposisi

dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu tidak berlebihan

bila upaya merubah perilaku pengobatan penduduk miskin pada pelayanan

71

kesehatan perlu adanya intervensi terus menerus terhadap bidang

pendidikan.

2. Jumlah Anggota Rumah Tangga (JART)

Nilai odd ratio untuk jumlah anggota rumah tangga adalah 3,315, ini

berarti bahwa kecenderungan penduduk miskin dengan gangguan kesehatan

dan tinggal bersama keluarga besar (ART=5 orang) untuk berobat pada

pelayanan kesehatan 3,315 kali dibandingkan penduduk miskin dengan

gangguan kesehatan dan tinggal bersama keluarga kecil (ART<5 orang).

Hasil ini sejalan dengan penelitian Yulianingsih (2001) yang

menyatakan bahwa penduduk yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih

dari empat orang ternyata akan memanfaatkan pelayanan kesehatan 1,07

kali dibandingkan dengan penduduk yang jumlah anggota keluarganya

kurang dari atau sama dengan empat orang.

Penulis mengasumsikan bahwa banyaknya anggota rumah tangga

akan meningkatkan pendapatan/income rumah tangga tersebut karena ada

banyak anggota rumah tangga yang bekerja. Feldstein (Yuliawati, 2002)

menyatakan bahwa kenaikan 10 persen penghasilan menaikkan 15 persen

penggunaan pelayanan kesehatan. Anderson (Supriyadi, 2004) menyatakan

bahwa besarnya anggota keluarga dan terdapatnya anggota keluarga yang

72

masih balita, sudah dewasa atau telah menikah cenderung lebih sering

menggunakan pelayanan kesehatan.

3. Lama terganggu

Nilai odd ratio untuk lama terganggu adalah 8,552, ini berarti bahwa

kecenderungan penduduk miskin dengan gangguan kesehatan lebih dari tiga

hari untuk berobat pada pelayanan kesehatan 8,552 kali dibandingkan

dengan penduduk miskin dengan gangguan kesehatan kurang dari atau

sama dengan tiga hari.

Dari hasil tersebut memberikan bukti bahwa tingkat kesehatan untuk

memeriksakan atau berkunjung ke pelayanan kesehatan semakin tinggi

seiring semakin lamanya hari terganggu. Kebutuhan akan pelayanan

kesehatan (need for health service) adalah jumlah dan jenis pelayanan

kesehatan yang diperlukan untuk mengurangi atau meringankan masalah

kesehatan.

Supriyadi (2004) dalam penelitiannya tentang pemanfaatan pelayanan

kesehatan rawat jalan di Banyumas menyebutkan bahwa semakin lama hari

terganggu karena sakit maka pemanfaatan pelayanan kesehatan semakin

meningkat.

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku pengobatan penduduk miskin yang

mempunyai gangguan kesehatan di Kabupaten Majene sebagai berikut:

1. Secara signifikan dipengaruhi oleh tiga variabel dengan R2 = 38,8 %

yaitu :

- Pendidikan kepala rumah tangga

- Jumlah anggota rumah tangga.

- Lamanya terganggu aktivitas.

2. Tidak signifikan adal lima variabel dengan R2 = 5,1 % yaitu :

- Status pekerjaan kepala rumah tangga

- Tipe daerah

- Kepemilikan kartu sehat

- Jenis kelamin

- umur.

3. Penduduk miskin di Kabupaten Majene memiliki tingkat pendidikan

yang rendah terutama pada kepala rumah tangganya, hal ini

74

mempengaruhi cara pandang mereka tentang pentingnya kesehatan.

Adanya kecenderungan penduduk miskin baru berobat setelah

mengalami gangguan kesehatan lebih dari tiga hari, jumlah anggota

rumah tangga miskin masih didominasi rumah tangga dengan

anggota rumah tangga lebih dari lima orang.

B. Saran

Dengan melihat hasil pembahasan dan kesimpulan ada beberapa

saran yang akan disampaikan :

1. Diperlukan kebijakan pembangunan pada program pembangunan

bidang kesehatan dan program pendukungnya di Kabupaten Majene;

seperti Program Lingkungan Sehat, dengan mewujudkan mutu

lingkungan hidup yang lebih sehat agar masyarakat terbebas dari

masalah kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak

sehat. Peningkatan program KB dalam upaya pengendalian kelahiran,

serta peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, karena KB

dapat mengubah struktur kependudukan, tidak saja dalam arti

menurunkan angka kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk namun

juga mengubah pandangan hidup penduduk terhadap nilai anak serta

kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Penambahan Kartu Sehat

untuk membantu penduduk miskin dalam menjalani pengobatan, lebih

75

dari 4.000 penduduk miskin belum memiliki Kartu Sehat dari 7.116

penduduk miskin yang ada di Kabupaten Majene

2. Penduduk dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban

dalam pembangunan, oleh karena dalam proses membangun,

masyarakat juga perlu meningkatkan kualitas kesehatannya secara

aktif dalam berbagai kesempatan.

3. Penelitian ini dirasakan masih belum komprehensif, sehingga perlu

dikembangkan dengan melihat faktor lain yang mempengaruhi

perilaku pengobatan penduduk miskin, seperti kepuasan pelayanan,

kepercayaan, nilai-nilai budaya, jarak ke sarana kesehatan, sikap dan

perilaku petugas kesehatan, tipe dan frekuensi penyakit, serta

keterpaparan terhadap media massa, demikian juga dengan

keterbatasan metodologi penelitian yang digunakan, masih perlu

diujicoba dengan menggunakan metodologi yang berbeda pada

penelitian berikutnya.

76

DAFTAR PUSTAKA

Agresti A. 1990. Categorical Data Analysis. Canada:JohnWiley & Sons.Inc. Agung IGN . 2000. Analisis data kategorik. Tidak di publikasikan. Andrayanti SL. 1999. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan

Kartu Sehat di Kalangan Keluarga Miskin di Kabupaten Limo Puloh Kota dan Pesisir Selatan Propinsi Sumatra Barat Tahun 1999 [Tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Azwar A.1993. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan (Aplikasi

Prinsip Pemecahan Masalah). Jakarta: Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia.

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2005a . Statistik Kesejahteraan Rakyat 2005.

Jakarta: BPS . 2005b . Data dan Informasi Kemiskinan 2005.

Jakarta: BPS . 2005c. Majene Dalam Angka 2005 . Jakarta:

BPS . 2005d . Pedoman Pencacah Kor dan Modul

Susenas 2005 . Jakarta : BPS . 2005e . Statistik Indonesia Tahun 2004. Jakarta:

BPS.

77

Budiantini S. 2003. Analisis Rumah Tangga Miskin yang Dikepalai oleh Wanita di Propinsi Gorontalo Tahun 2002 [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

Budiarti W. 2004. Analisis Karakteristik Demografi, Sosial dan Ekonomi

Penduduk Miskin di DKI Jakarta Tahun 2002 [Skripsi] . Jakarta. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik .

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Depdikbud]. 1996. Pedoman

Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Depdikbud RI.

Departemen Kesehatan RI [Depkes RI]. 1992. Undang-Undang Republik

Indonesia Tahun 1992 tentang Kesehatan. Jakarta: Depkes RI . . 1999a. Visi, Misi, Kebijakan dan

Strategi Pembangunan Kesehatan. Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Depkes RI.

. 1999b . Pedoman Pelaksanaan

Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Jakarta: Depkes RI.

Herlina M . 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Jenis

Pengobatan Alternatif pada Masyarakat Pengguna Pengobatan Alternatif di Kota Bengkulu Tahun 2001 [Tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Hosmer DW , Lemeshow S. 1989. Appilied Logistic Regression. Canada:

John Wilei & Sons.Inc Mubarok I. 2005. Analisis Perilaku Pengobatan Penduduk Jawa Barat tahun

2004 [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.

78

Nacrhowi ND, Usman H. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri: pendekatan populer dan Praktis Dilengkapi Tehnik Analisis & Pengolahan Data dengan Menggunakan Paket Program SPSS. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Nandipita. 2000. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku

Pencarian Pengobatan pada Pria/Klien yang Menderita Penyakit Menular Seksual yang Berkunjung ke Lokalisasi/Tempat Prostitusi di Kabupaten Indramayu Tahun 2000 [Tesis] Jakarta: Fakultas Kesehatan masyarakat, Universitas Indonesia.

Purnamasari D. 2004. Analisis Menejemen Pelaksanaan Program Pelayanan

Kesehatan Keluarga miskin di Puskesmas Kota Depok Tahun 2004[Skripsi]. Jakarta:Fakultas Kesehatan masyarakat, Universitas Indonesia.

Purwatmoko SB. 2004. Pengaruh Tingkat Ekonomi Keluarga terhadap

Pencarian Pengobatan bagi Balita ISPA di Indonesia tahun 2001[Tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Pusponegoro NH. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Alat

Kontrasepsi Suntikan atau IUD di Kecamatan Jenawi dan Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar tahun 2002 [skripsi]. Jakarta: Sekolah tinggi ilmu Statistik.

Santoso S. 2004. SPSS Versi 10.0 Mengolah Data Statistik Secara

Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Siegel S. 1994. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:

Pustaka Utama.

79

Supriyadi. 2004. Analisis Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan di Kabupaten Banyumas tahun 2001 [skripsi]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Thabrany H, et.al.1998. Analisa Data Susenas Tentang Pemanfaatan

Pelayanan Kesehatan Peserta Wajib PT. Askes [Laporan penelitian]. Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Usman H. 2002. Determinan dan Eksploitasi Pekerja Anak-Anak di Indonesia

(Analisis Data Sunsenas 2000 Kor) [Tesis]. Jakarta: Program Kajian Kependudukan dan Ekonomi Sumber Daya Manusia, Universitas Indonesia.

Yulianingsih. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan

Pelayanan Kesehatan pada Keluarga miskin di Provinsi Jawa Barat Tahun 1999 [Skrispi]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Yuliawati. 2002. Faktor-Faktor Sosial Demografi yang Berhubungan dengan

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan pada Masyarakat Banten Tahun 2001 [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

80

LAMPIRAN 1 : Output Logistic Regression

Case Processing Summary

148 100.00 .0

148 100.00 .0

148 100.0

Unweighted Casesa

Included in AnalysisMissing CasesTotal

Selected Cases

Unselected CasesTotal

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the totalnumber of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0

1

Original Valuetidak berobat padapelayanan kesehatanberobat padapelayanan kesehatan

Internal Value

81

Categorical Variables Codings

20 .000 .000 .00033 1.000 .000 .00061 .000 1.000 .000

34 .000 .000 1.00017 .000 .00030 1.000 .000

101 .000 1.000

44 .000104 1.000

81 .00067 1.000

81 .00067 1.00089 .00059 1.00059 .000

89 1.000104 .000

44 1.000

umur 0-5 tahunumur 6-18 tahunumur 19-54

>= 55 tahun

umur

tidak bekerjaformalinformal

Status PekerjaanKRT

<= 5 orang> 5 orang

Jumlah ART

perempuanlaki-laki

Jenis Kelamin

<= 3 hari> 3 hari

Lama terganggu

tidak ada KSada KS

kartu sehat

tidak tamat SD

tamat SD keatas

Tingkat PendidikanKRT

desakota

tipe daerah

Frequency (1) (2) (3)Parameter coding

82

Block 0: Beginning Block

Iteration History a,b,c

202.461 -.270202.461 -.272

Iteration12

Step0

-2 Loglikelihood Constant

Coefficients

Constant is included in the model.a.

Initial -2 Log Likelihood: 202.461b.

Estimation terminated at iteration number 2 becauselog-likelihood decreased by less than .010 percent.

c.

Variables in the Equation

-.272 .166 2.686 1 .101 .762ConstantStep 0B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

83

Variables not in the Equation

.000 1 .99210.738 1 .001

.982 1 .32225.091 1 .0004.872 1 .027

12.693 1 .0006.832 2 .0336.188 1 .0135.661 1 .0175.693 3 .1284.413 1 .036.044 1 .834

2.873 1 .09050.224 11 .000

TIPE(1)JART(1)JK(1)LAGU(1)KS(1)EDUC_KRT(1)STAT_KRTSTAT_KRT(1)STAT_KRT(2)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)

Variables

Overall Statistics

Step0

Score df Sig.

84

Block 1: Method = Backward Stepwise (Wald)

Omnibus Tests of Model Coefficients

58.697 11 .00058.697 11 .00058.697 11 .000

-.053 1 .81858.644 10 .00058.644 10 .000

-.382 2 .82658.262 8 .00058.262 8 .000

-.328 1 .56757.934 7 .00057.934 7 .000

-.853 1 .35657.081 6 .00057.081 6 .000-6.580 3 .08750.501 3 .00050.501 3 .000

StepBlockModelStepBlockModelStepBlockModelStepBlockModelStepBlockModelStepBlockModel

Step 1

Step 2a

Step 3a

Step 4a

Step 5a

Step 6a

Chi-square df Sig.

A negative Chi-squares value indicates that theChi-squares value has decreased from theprevious step.

a.

85

Model Summary

143.763 .327 .439143.816 .327 .439144.198 .325 .437144.527 .324 .435145.380 .320 .429151.960 .289 .388

Step123456

-2 Loglikelihood

Cox & SnellR Square

NagelkerkeR Square

Hosmer and Lemeshow Test

12.313 8 .13811.051 8 .19913.360 8 .10010.699 8 .21910.242 8 .24821.275 6 .002

Step123456

Chi-square df Sig.

86

Variables in the Equation

-.115 .500 .053 1 .818 .8921.398 .509 7.551 1 .006 4.048-.323 .451 .512 1 .474 .7242.078 .466 19.923 1 .000 7.989-.424 .481 .778 1 .378 .6541.649 .519 10.102 1 .001 5.203

.429 2 .807-.597 .914 .426 1 .514 .551-.429 .784 .299 1 .584 .651

5.343 3 .148-1.049 .739 2.012 1 .156 .350

.177 .675 .069 1 .793 1.194

.279 .776 .130 1 .719 1.322-2.459 1.121 4.813 1 .028 .0861.402 .508 7.603 1 .006 4.062-.298 .439 .463 1 .496 .7422.081 .466 19.971 1 .000 8.013-.401 .470 .726 1 .394 .6701.635 .515 10.089 1 .001 5.128

.382 2 .826-.542 .880 .379 1 .538 .582-.396 .768 .265 1 .607 .673

5.432 3 .143-1.042 .739 1.990 1 .158 .353

.193 .671 .082 1 .774 1.213

.297 .772 .149 1 .700 1.346-2.553 1.043 5.994 1 .014 .0781.352 .490 7.609 1 .006 3.865-.244 .426 .328 1 .567 .7832.054 .456 20.280 1 .000 7.795-.431 .462 .872 1 .350 .6501.542 .489 9.951 1 .002 4.676

6.412 3 .093-1.070 .742 2.078 1 .149 .343

.183 .674 .074 1 .786 1.201

.421 .741 .323 1 .570 1.524-2.855 .868 10.818 1 .001 .0581.331 .488 7.427 1 .006 3.7862.090 .451 21.441 1 .000 8.084-.425 .461 .849 1 .357 .6541.528 .487 9.830 1 .002 4.608

6.621 3 .085-1.086 .737 2.172 1 .141 .338

.207 .668 .096 1 .756 1.230

.400 .735 .297 1 .586 1.492-2.967 .844 12.368 1 .000 .0511.302 .487 7.152 1 .007 3.6752.146 .448 22.948 1 .000 8.5471.672 .464 12.959 1 .000 5.322

6.068 3 .108-1.064 .729 2.130 1 .144 .345

.125 .654 .037 1 .848 1.134

.330 .722 .209 1 .648 1.391-3.180 .810 15.418 1 .000 .0421.198 .475 6.369 1 .012 3.3152.146 .432 24.705 1 .000 8.5521.551 .450 11.897 1 .001 4.714

-3.146 .590 28.466 1 .000 .043

TIPE(1)JART(1)JK(1)LAGU(1)KS(1)EDUC_KRT(1)STAT_KRTSTAT_KRT(1)STAT_KRT(2)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)Constant

Step1

a

JART(1)JK(1)LAGU(1)KS(1)EDUC_KRT(1)STAT_KRTSTAT_KRT(1)STAT_KRT(2)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)Constant

Step2

a

JART(1)JK(1)LAGU(1)KS(1)EDUC_KRT(1)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)Constant

Step3

a

JART(1)LAGU(1)KS(1)EDUC_KRT(1)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)Constant

Step4

a

JART(1)LAGU(1)EDUC_KRT(1)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)Constant

Step5

a

JART(1)LAGU(1)EDUC_KRT(1)Constant

Step6

a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: TIPE, JART, JK, LAGU, KS, EDUC_KRT, STAT_KRT, UMUR.a.

87

Variables not in the Equation

.053 1 .818

.053 1 .818

.004 1 .947

.383 2 .826

.118 1 .731

.002 1 .960

.434 3 .933

.002 1 .967

.329 1 .566

.247 2 .884

.055 1 .815

.008 1 .929

.761 4 .944

.053 1 .817

.306 1 .580

.854 1 .356

.389 2 .823

.024 1 .876

.067 1 .7961.608 5 .900

.004 1 .952

.574 1 .449

.186 1 .6661.169 2 .557

.042 1 .838

.318 1 .573

6.381 3 .0946.133 1 .0131.033 1 .3091.391 1 .238

7.883 8 .445

TIPE(1)VariablesOverall Statistics

Step 2a

TIPE(1)STAT_KRT

STAT_KRT(1)STAT_KRT(2)

Variables

Overall Statistics

Step 3b

TIPE(1)

JK(1)STAT_KRTSTAT_KRT(1)STAT_KRT(2)

Variables

Overall Statistics

Step 4c

TIPE(1)JK(1)KS(1)STAT_KRT

STAT_KRT(1)STAT_KRT(2)

Variables

Overall Statistics

Step 5d

TIPE(1)

JK(1)KS(1)STAT_KRTSTAT_KRT(1)

STAT_KRT(2)UMURUMUR(1)UMUR(2)UMUR(3)

Variables

Overall Statistics

Step 6e

Score df Sig.

Variable(s) removed on step 2: TIPE.a.

Variable(s) removed on step 3: STAT_KRT.b.

Variable(s) removed on step 4: JK.c.

Variable(s) removed on step 5: KS.d.

Variable(s) removed on step 6: UMUR.e.

88

Classification Tablea

67 17 79.8

20 44 68.8

75.0

68 16 81.0

21 43 67.2

75.0

67 17 79.8

21 43 67.2

74.3

66 18 78.6

19 45 70.3

75.0

69 15 82.1

24 40 62.5

73.6

67 17 79.8

25 39 60.9

71.6

Observedtidak berobat padapelayanan kesehatanberobat padapelayanan kesehatan

Perilakupengobatan

Overall Percentagetidak berobat padapelayanan kesehatan

berobat padapelayanan kesehatan

Perilakupengobatan

Overall Percentagetidak berobat padapelayanan kesehatanberobat padapelayanan kesehatan

Perilakupengobatan

Overall Percentagetidak berobat padapelayanan kesehatanberobat padapelayanan kesehatan

Perilakupengobatan

Overall Percentagetidak berobat padapelayanan kesehatan

berobat padapelayanan kesehatan

Perilakupengobatan

Overall Percentage

tidak berobat padapelayanan kesehatanberobat padapelayanan kesehatan

Perilakupengobatan

Overall Percentage

Step 1

Step 2

Step 3

Step 4

Step 5

Step 6

tidak berobatpada

pelayanankesehatan

berobat padapelayanankesehatan

Perilaku pengobatan

PercentageCorrect

Predicted

The cut value is .500a.