Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita...
Transcript of Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita...
Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan
Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit
Paru-Paru (BP4) Yogyakarta
Fitria Sedjati
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas No. 9 Yogyakarta
Abstact
This study aimed to determine the correlation between self-efficacy and
social support to the meaningfulness of life in patients with pulmonary
tuberculosis who were undergoing treatment at the Medical Center Lung Disease.
Subjects in this study were patients with pulmonary tuberculosis undergoing
regular treatment at Medical Clinic Lung Disease Yogyakarta totaling 53 people.
Measuring devices used in this research is Life Meaningfulness Scale, Self-
Efficacy Scale and the Social Support Scale. Analysis of the statistical method of
multiple regression analysis using SPSS 16 for windows. The results showed: (1)
there was a significant relationship between self-efficacy and social support to the
meaningfulness of life with R = 0.702 and p = 0.000 (p <0.01), (2) there is a
significant positive relationship between self-efficacy to the meaningfulness living
with r = 0606 and p = 0.000 (p <0.01), (3) there was a significant positive
relationship between social support to the meaningfulness of life with r = 0.310
and p = 0.025 (p <0.05).
Keyword: Meaningfulness of Life, Social Support, Self-Efficacy
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dan
dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup pada penderita tuberkulosis paru
yang sedang menjalani pengobatan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru.
Subjek dalam penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru yang menjalani
pengobatan secara rutin di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta
yang berjumlah 53 Orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Skala Kebermaknaan Hidup, Skala Efikasi Diri dan Skala Dukungan Sosial.
Analisis dengan metode statistik analisis regresi berganda dengan menggunakan
bantuan program SPSS 16 for windows. Hasil menunjukkan : (1) ada hubungan
yang sangat signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan
kebermaknaan hidup dengan R = 0,702 dengan p = 0,000 (p<0,01), (2) ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara efikasi diri terhadap kebermaknaan
hidup dengan nilai r = 0606 dan p = 0,000 (p<0,01), (3) ada hubungan positif
yang signifikan antara dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup dengan
nilai r= 0,310 dan p=0,025 (p<0,05).
Kata kunci : Kebermaknaan Hidup, Efikasi Diri, Dukungan Sosial.
Pendahuluan
Penyakit paru bukanlah penyakit yang baru di Indonesia. Terutama
penyakit paru karena infeksi, seperti pada penyakit Tuberkulosis paru. Menurut
WHO, prevelensi kasus penyakit tuberculosis paru di Indonesia ialah
130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar
101.000 pertahun. Penyakit tuberkulosis paru ini merupakan penyebab kematian
urutan ketiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. (WHO,
2005). Setiap tahun diperkirakan dari sembilan juta penderita tuberkulosis ada tiga
juta penderita meninggal, dan sembilan puluh lima persen berada di Negara-
negara berkembang terutama di Asia Tenggara. Angka kematian ini merupakan
dua puluh lima persen dari kematian yang sebenarnya dapat dicegah (Depkes RI,
2002).
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ketiga sedunia
dalam hal jumlah penderita tuberkulosis (Tb). Berdasarkan Data Badan Kesehatan
Dunia (WHO) pada tahun 2005 menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di
Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan
Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke
posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang dan masuk
dalam milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun Kementerian Kesehatan. Lima
negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina,
Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control,
2010).
Pada Global Report WHO 2010, didapat data TB Indonesia, Total seluruh
kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB
baru BTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB
Extra Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan
ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps).
Menurut Kleinman (Kelly, 2003) meskipun para ahli kesehatan dapat
melihat tuberkulosis sebagai masalah kesehatan masyarakat yang dapat
disembuhkan secara efisien dalam waktu 2 sampai 6 bulan dengan obat, tetapi
penderita tetap mengalami tekanan batin. Bagi mereka, tuberkulosis adalah
penyakit yang memalukan, membuat mereka diisolasi, dan dikucilkan, karena
stigma dicap sebagai transmitter penyakit. Hal tersebut yang menjadi alasan atau
penyebab seseorang yang mengidap penyakit tuberkulosis menjadi merasa kurang
memiliki makna hidup yang baik.
Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang
dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi
seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life).
Pada penderita TB paru selain faktor fisik, penting juga diperhatikan faktor
psikologis antara lain pemahaman individu yang dapat mempengaruhi persepsi
terhadap penyakit. Persepsi negatif terhadap penyakit TB paru akan menyebabkan
penderita takut dan menolak sehingga timbul keinginan untuk mencari
pengobatan. Selain itu diagnosis penderita TB paru, akan mempengaruhi
kepatuhan penderita untuk kontrol medis dan minum obat. Faktor psikososial
berperan dalam pembentukan stigma terhadap penderita oleh lingkungan dan
keluarga. Penerimaan penderita ketika mengetahui bahwa dirinya menderita
tuberkulosis bervariasi, sebagian besar mereka mengatakan terkejut, sedih,
kecewa, marah dan akhirnya pasrah, bahkan ada yang merasakan putus asa dan
tidak memiliki makna hidup yang berarti. Persepsi terhadap sakit ditunjukkan
dengan perubahan perilaku, seperti marah-marah, lebih banyak di rumah,
menghindar dan membatasi diri dan menarik diri, atau bisa dikatakan bahwa
individu menunjukkan krisis efikasi diri. Selain itu penderita merasa ketakutan
akan isolasi dan perlakuan negatif dari masyarakat bila mengetahui dirinya
menderita TB (Ginting, dkk, 2008).
Tuberkulosis paru adalah contoh klasik dari penyakit medis dan masalah
sosial yang berhubungan dengan kemiskinan. Stigma yang terkait dengan
tuberkulosis menambah beban baik laki-laki dan perempuan yang telah berumah
tangga. Sebuah survey dilakukan di india, diperkirakan 100.000 perempuan
ditolak oleh keluarga setiap tahunnya karena menderita penyakit tuberkulosis paru
(Jaggarajamma, dkk, 2008). Penyakit Tb memberikan dampak lingkungan
keluarga, stigma atas penyakit Tb ini merupakan hal yang sering dialami
penderita. Hampir semua penderita mengalami perlakuan yang negatif dari
lingkungan atau keluarga, tetapi ada juga yang mendapatkan dukungan dan
perlakuan yang baik. Perlakuan negatif ini dapat menjadi stersor dan beban
psikologis bagi penderita, sehingga penderita merasa hidupnya tidak berharga dan
tidak bermakna, sedangkan perlakuan baik dari keluarga dapat membantu
penderita menghadapi penyakit Tb yang dideritanya. Selain itu menurut Johnson,
stigma yang diterima menyebabkan penderita ketakutan terhadap isolasi sosial
dan menunda untuk mencari pengobatan (Ginting, dkk, 2008).
Bagi para penderita tuberkulosis (TB) yang belum ataupun telah sembuh
dari penyakitnya, tentu saja tidak mudah untuk bisa kembali melakukan aktifitas-
aktifitas seperti semula sebelum mengidap penyakit tuberkulosis. Hal ini tentunya
membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana
penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya.
Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena
merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat
sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan
disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu
yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru
akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah
penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga,
diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga
dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup
tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang
berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan
dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu
bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang
memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar
kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna
dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi
kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta,
pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan
dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-
nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan
hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan
hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan
hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap
kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-
wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang
dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan
kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan
psikologis)
b. The will to meaning (kehendak hidup bermakna)
Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk
menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya. Keinginan untuk hidup
bermakna merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat ini yang
mendorong manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya
dirasakan lebih berarti dan berharga. keluarga, dan lingkungan sekitarnya yang
mampu memotivasi manusia untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-
kegiatan penting lainnya agar hidupnya berharga dan dihayati secara bermakna,
hingga akhirnya akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam
menjalani kehidupan.
c. The meaning of life (makna hidup)
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup tidak
dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.
Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal yang ingin
dicapai dan dipenuhi dalam hidup.
Kebermaknaan hidup seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor
internal dan faktor eksternal, Faktor internal disini yaitu efikasi diri, sedangkan
faktor eksternalnya yaitu dukungan sosial.
Menurut Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai perkiraan
seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian
tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Individu
dapat saja mempercayai bahwa sebuah perilaku tertentu membuahkan
konsekuensi tertentu, akan tetapi apabila individu tersebut mempunyai keraguan
yang besar terhadap kemampuannya maka informasi tentang konsekuensi itu akan
berpengaruh pada perilakunya. Hal ini pula menjadi alasan mengapa efikasi diri
merupakan prediktor perilaku yang lebih baik daripada outcome expectancy.
Keyakinan individu bahwa individu dapat menyelesaikan tugas dengan baik akan
menentukan perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut,
seberapa besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku
tersebut untuk mencapai tujuan akhir.
Bandura (1997) mengemukakan beberapa dimensi dari efikasi diri, di
antaranya:
a. Magnitude (tingkat kesulitan)
Magnitude berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas yang dibebankan
pada individu. Jika seseorang dihadapkan pada suatu tugas-tugas yang
disusun menurut tingkat kesulitan, maka pengharapan efficacy-nya akan
mudah jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang dan sulit sesuai dengan
batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan bagi masing-masing tingkat.
b. Strength (tingkat kekuatan)
Strenght berkaitan dengan kekuatan penilaian tentang kecakapan individu.
Dimensi Strenght mengacu pada derajat kemantapan individu terhadap
keyakinan atau harapan yang dibuatnya. Tingkat efikasi diri yang rendah
lebih mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang
memperlemahkannya. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan
tekun meningkatkan usahanya meskipun banyak pengalaman yang
memperlemahkannya.
c. Generality (generalisasi)
Generality adalah derajat kemantapan individu terhadap keyakinan akan
kemampuannya, yakni berkaitan dengan bidang tugas atau tingkah laku,
seberapa luas individu mempunyai keyakinan dalam melaksanakan tugas-
tugas. Pengalaman yang berangsur-angsur menimbulkan penguasaan
terhadap pengharapan terbatas pada bidang tingkah laku khusus,
sedangkan pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi
berbagai bidang tugas. Ada individu yang merasa yakin pada bidang-
bidang tugas tertentu, ada individu yang merasa yakin pada banyak bidang
tugas.
Setiap individu yang mampu memandang dan mengevaluasi ketiga
dimensi efikasi diri tersebut secara positif maka akan mempengaruhi pemaknaan
hidupnya dan menjadikan kebermaknaan hidupnya menjadi lebih baik. Selain
efikasi diri, dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kebermakanaan hidup pada seseorang. Dukungan sosial adalah
suatu kesenangan yang dirasakan sebagai perhatian, penghargaan atau pertolongan
yang diterima dari orang lain atau kelompok Sarafino (Smet,1994). Lingkungan
yang memberikan dukungan sosial tersebut adalah keluarga, kekasih, dan anggota
masyarakat. Banyak efek dari dukungan sosial karena dukungan sosial dapat
secara positif pula memulihkan kondisi fisik maupun psikologis seseorang, baik
itu secara langsung ataupun tidak langsung (Smet, 1994).
House (Smet, 1994) menyatakan jenis dukungan sosial terdiri dari :
a. Dukungan emosional yaitu mencangkup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik,
penegasan)
b. Dukungan penghargaan dapat terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan)
positif orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain,
seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya
(menambah penghargaan diri)
c. Dukungan instrumental yaitu mencangkup bantuan langsung, seperti kalau
orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan
pekerjaan pada waktu mengalami stress
d. Dukungan informatif yaitu mencangkup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk,
saran-saran atau umpan balik.
Pada kasus yang sering terjadi di masyarakat, Individu penderita
tuberkulosis paru mendapatkan stigma lingkungan, isolasi sosial yang terkadang
terdapat penolakan terhadap pasien oleh lingkungan dan keluarga. Dukungan
sosial yang paling utama berasal dari dukungan keluarga, karena dukungan
keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan pasien penderita
tuberkulosis agar berjuang untuk sembuh, tetap berpikir maju, dan berkembang
dengan rasa optimisme yang dimilikinya dan menjadikan hidupnya lebih
bermakna. Hal yang dapat ditimbulkan dari kurangnya mendapatkan dukungan
sosial dari keluarga dan lingkungannya antara lain yaitu gangguan jiwa yang
komorbid dengan penyakit tuberkulosis. Gangguan jiwa yang menjadi
komorbiditi tuberkulosis meliputi depresi, gangguan penyesuaian, anxiety,
hilangnya arti dan tujuan hidup, melemahnya produktifitas, fobia dan lainnya
(Ginting T. Tuahta, dkk. 2008). Dengan dukungan sosial yang baik dari
lingkungan, individu diharapkan merasa diterima, dicintai, dan diharapkan
sehingga merasa memiliki makna hidup yang baik. Sebaliknya apabila dukungan
sosialnya kurang baik, dikhawatirkan individu penderita Tb akan merasa tidak
memiliki makna hidup yang berarti.
Dalam penelitian ini, disebutkan bahwa untuk membangun kebermaknaan
hidup individu penderita tuberkulosis tidak terlepas dari peran efikasi diri dan
dukungan sosial sebagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
kebermaknaan hidup. Dari kasus yang sering terjadi, individu penderita
tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa dikucilkan
dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang
mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif
karena mengidap penyakit tuberkulosis. Berdasarkan uraian di atas maka diduga
bahwa ada hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan
kebermaknaan hidup bagi individu penderita Tb paru.
Mengacu pada uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti
kebermaknaan hidup penderita TB paru dilihat dari hubungan efikasi diri dan
dukungan sosial yang dimiliki penderita.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan positif antara efikasi diri dan dukungan sosial secara bersama-
sama dengan kebermaknaan hidup penderita TB paru.
2. Ada hubungan positif antara efikasi diri dengan kebermaknaan hidup
penderita TB paru.
3. Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup
penderita TB paru.
Metode Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien penderita tuberkulosis paru-paru
di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta, berjumlah 53 orang,
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pasien tuberkulosis paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4)
Yogyakarta yang masuk dalam tahap lanjutan (pengobatan dari bulan ke 4
sampai bulan ke 6).
2. Berusia antara 16-45 tahun (usia produktif)
3. Tingkat pendidikan minimal SD.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Skala Kebermaknaan Hidup, Skala Efikasi Diri, Skala Dukungan Sosial
yang masing-masing terdiri dari 24 pernyataan.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
regresi ganda, dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS 16.0 for
Windows.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi
ganda. Teknik analisis regresi ganda sebagai salah satu teknik statistik parametik
memiliki beberapa syarat, yaitu data berkategori interval/rasio, distribusinya
berkategori normal dan hubungan antar variabel yang hendak diukur berkategori
linear.
Sebelum dilakukan uji hipotesis maka perlu dilakukan asumi terlebih
dahulu. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linieritas dengan
hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
Variabel Skor KS-Z Sig Keterangan
Kebermaknaan Hidup 1,044 0,226 Normal
Efikasi Diri 1,187 0,119 Normal
Dukungan Sosial 1,157 0,137 Normal
Uji normalitas dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada perbedaan
sebaran skor pada sampel dan populasinya dengan menggunakan teknik One
Sample Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan dalam uji normalitas yaitu
jika p > 0,05 (tidak signifikan) berarti tidak ada perbedaan sebaran skor pada
sampel dan populasinya, maka sebaran data tersebut normal. Hasil uji normalitas
diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sebaran skor pada sampel dan
populasinya, sehingga sebaran data pada penelitian ini normal.
Tabel 2. Hasil Uji Linieritas
Variabel F Sig keterangan
Kebermaknaan Hidup
dengan Efikasi Diri 37,705 0,000 Linier
Kebermaknaan Hidup
dengan Dukungan Sosial 15,437 0,001 Linier
Kaidah yang digunakan dalam uji linier jika pada F linearity harga p <
0,05 dan pada F deviation from linearity harga p > 0,05, maka kedua variabel
yang dikorelasikan dapat dikatakan linier. Hasil uji linearitas pada penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dikorelasikan tersebut berkategori
linear.
Berdasarkan hasil analisis korelasi regresi ganda diperoleh nilai koefisien
korelasi (R) sebesar 0,702 dengan taraf signifikan 0,000 (p < 0,01). Hal ini
menunjukkan bahwa ada korelasi ganda antara efikasi diri dan dukungan sosial
dengan kebermaknaan hidup sehingga hipotesis pertama diterima. Berdasarkan
hal ini dapat disimpulkan bahwa konsep diri dan dukungan sosial secara bersama-
sama memiliki korelasi yang positif dengan kebermaknaan hidup.
Secara khusus dapat dilihat dari masing-masing variabel, dari Hasil
analisis (regression) efikasi diri dengan kebermaknaan hidup menunjukkan
koefisien korelasi parsial antara kebermaknaan hidup dengan efikasi diri adalah
r=0,606 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,01) yang berarti semakin tinggi
efikasi diri maka kebermaknaan hidup tinggi dan semakin rendah efikasi diri
maka kebermaknaan hidup semakin rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
efikasi diri memiliki hubungan positif yang sangat signifikan terhadap
kebermaknaan hidup sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
diterima.
Diterimanya hipotesis minor yang pertama yang diajukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa efikasi diri merupakan salah satu faktor internal yang sangat
penting dalam kebermaknaan hidup. Setiap individu memiliki tingkat efikasi diri
yang berbeda-beda. Apabila individu memiliki efikasi diri yang tinggi, maka
individu akan maksimal dalam melakukan tugas dan peran hidupnya sehingga
individu merasa bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya apabila individu memiliki
efikasi diri yang rendah, maka tugas dan peran hidupnya tidak dikerjakan secara
optimal.
Individu yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan terlihat optimis,
percaya diri, dan berpandangan positif. Sebaliknya individu dengan efikasi diri
rendah akan terlihat pesimis, tidak percaya diri dan dipenuhi perasaan khawatir
(Bandura, 1997). Efikasi diri sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh
individu sangat berpengaruh pada cara mengatur tugas dan peranan individu yang
bersangkutan secara baik, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan
memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya akan berhasil dalam menjalani suatu
peristiwa atau kondisi tertentu didalam hidupnya sehingga individu tersebut akan
melakukan berbagai upaya untuk mencapai harapannya yaitu memiliki hidup yang
bermakna. Sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan
mudah putus asa sehingga dalama melakukan tugas atau peranannya dalam
kehidupan sehari-hari kurang maksimal dan berarti.
Faktor eksternal dalam hal ini dukungan sosial dari keluarga maupun
dari lingkungan yang memiliki peranan cukup penting yang mempengaruhi
kebermaknaan hidup individu karena individu adalah makhluk sosial yang
membutuhkan interaksi sosial dengan lingkungannya, sehingga dukungan sosial
dari keluarga dan lingkungannya merupakan salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi tinggi rendahnya kebermaknaan hidup yang dimiliki oleh individu
yang bersangkutan.
Dukungan sosial berasal dari sumber-sumber yang ada di lingkungan
individu seperti orangtua, teman, keluarga, atau saudara, derta orang lain yang
berada didekat individu yang berupa penerimaan, bantuan informasi verbal dan
nonverbal yang diberikan kepada individu, pertolongan dalam bentuk fisik,
perhatian emosional, dorongan serta pujian melalui hubungan sosial yang akrab.
Jadi dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan yang baik akan membuat
individu merasa memiliki makna hidup yang berarti. Oleh sebab itu, dapat
diketahui bahwa dukungan sosial memiliki peranan yang cukup penting untuk
individu dalam memaknai hidupnya. Individu memerlukan bantuan untuk
memotivasi hidupnya agar dapat tetap menjalani hidupnya secara baik walaupun
dalam kondisi tubuh yang kurang optimal karena terserang bekteri Tb. Apabila
dukungan sosial yang diterima oleh individu yang bersangkutan rendah, hal ini
dapat menyebabkan individu merasa kurang bermakna di dalam hidupnya, dan hal
ini dapat menyebabkan stress karena individu mengalami krisis motivasi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa analisis dukungan sosial
memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kebermaknaan hidup koefisien
korelasi parsial antara kebermaknaan hidup dengan dukungan sosial adalah
r=0,310 dengan taraf signifikansi 0,025 (p<0,05) yang berarti semakin tinggi
dukungan sosial maka kebermaknaan hidup semakin tinggi, dan semakin rendah
dukungan sosial maka kebermaknaan hidup semakin rendah. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan positif yang signifikan
terhadap kebermaknaan hidup sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini diterima.
Diterimanya hipotesis minor yang kedua yang diajukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor eksternal yang
cukup penting dalam kebermaknaan hidup. Apabila individu memperoleh
dukungan sosial yang tinggi dari keluarga dan lingkungan sosialnya, yang dapat
berupa semangat, informasi, penyediaan sarana dan prasarana, maupun
reinforcement maka individu akan merasa keberadaannya berarti atau hidupnya
bermakna. Sebaliknya apabila individu kurang mendapat dukungan sosial dari
keluarga dan lingkungan sosialnya, maka individu yang bersangkutan menjadi
merasa kurang berarti atau kurang memiliki kebermaknaan dalam hidupnya
karena individu tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari lingkungan di
sekitarnya.
Dukungan sosial cukup berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa motivasi, informasi, pemenuhan yang diberikan
terutama oleh keluarga cukup berpengaruh untuk individu yang bersangkutan.
Individu memperoleh dukungan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan
aktualisasi diri sehingga kebutuhan akan keberartian atau kebermaknaan dalam
hidupnya terpenuhi. Individu yang memperoleh dukungan sosial dengan baik dari
keluarga dan lingkungan sosialnya akan lebih bersemangat dalam mengatur
hidupnya untuk berusaha lebih baik, untuk penderita tuberkulosis misalnya
dukungan sosial dapat membantu individu untuk berjuang mendapatkan
kesembuhan dan menjalankan aktivitas normalnya sehari-hari secara baik.
Sedangkan individu yang kurang mendapatkan perhatian, arahan, informasi dari
keluarga akan menjadi kurang bersemangat dalam mengatur hidupnya.
Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa Efikasi diri dan dukungan
sosial memberikan sumbangan efektif terhadap kebermaknaan hidup atau
koefisien diterminan ( ) sebesar 0,493 artinya yaitu terdapat 49,3% pengaruh
efikasi diri dan dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup. Hal ini berarti
terdapat 50,7% variabel lain yang mempengaruhi kebermaknaan hidup selain
efikasi diri dan dukungan sosial. Sumbangan efektif untuk masing-masing
variabel adalah (a) efikasi diri terhadap kebermaknaan hidup sebesar 42,17% dan
(b) sumbangan efektif dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup sebesar
7,13%. Hal ini dapat diprediksi bahwa efikasi diri memberikan sumbangan yang
lebih besar kemungkinannya untuk mempengaruhi kebermaknaan hidup individu
dibandingkan dengan dukungan sosial.
Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebanyak 16 subjek penelitian
atau 30,18% dari 53 subjek penelitian memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang
sedang. Sedangkan 37 subjek penelitian atau 69,81% dari 53 subjek penelitian
memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
pada umumnya subjek memiliki kehendak hidup bermakna bagi diri sendiri dan
orang lain yang relatif tinggi, hal ini dapat disebabkan karena kemampuan dan
keinginan subjek dalam menjalankan peran dan aktivitas hidupnya secara baik
walaupun dalam kondisi yang kurang sehat.
Kategorisasi efikasi diri menunjukkan bahwa sebanyak 23 subjek atau
43,39% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang sedang. Sedangkan 30
subjek atau 56,60% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek cenderung sangat baik dalam
menentukan atau memastikan terpenuhinya motif mengarah pada tindakan yang
diharapkan sesuai situasi yang dihadapi, dan memiliki keyakinan mengenai
kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas dengan baik yang menentukan
perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut, seberapa
besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku tersebut untuk
mencapai tujuan akhir.
Kategorisasi dukungan sosial menunjukkan bahwa sebanyak 20 subjek
atau 37,73% dari 53 subjek penelitian memiliki dukungan sosial yang sedang.
Sedangkan 33 subjek penelitian atau 62,26% dari 53 subjek penelitian memiliki
efikasi diri yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek
mendapatkan dukungan sosial yang cenderung tinggi dari keluarga dan
lingkungan sekitarnya, karena individu memperoleh perhatian, motivasi, dan
arahan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi permasalahan di dalam
hidupnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan terhadap
hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial
keluarga dengan kebermaknaan hidup.
2. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan
kebermaknaan hidup. Semakin tinggi efikasi diri, makan semakin tinggi
kebermaknaan hidup. Semakin rendah efikasi diri maka semakin rendah
kebermaknaan hidup.
3. Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan
kebermaknaan hidup. Semakin tinggi dukungan sosial, maka semkain tinggi
kebermaknaan hidup. Semakin rendah dukungan sosial maka semakin
rendah kebermaknaan hidup.
Sumbangan efektif variabel efikasi diri dan dukungan sosial terhadap
kebermaknaan hidup sebesar 49,3%. Pengaruh efikasi diri sebesar 7,13%
sedangkan variabel dukungan sosial sebesar 42,17%. Hal ini berarti terdapat
50,7% variabel lain, diluar variabel efikasi diri dan dukungan sosial keluarga yang
mempengaruhi kebermaknaan hidup
Saran
Berdasarkan landasan teori, hasil penelitian dan pembahasan tentang
hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup
maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut :
1. Saran Teoritis
Hasil ini dapat menjadi salah satu informasi bagi peneliti selanjutnya
yang terkait dengan masalah kebermaknaan hidup, agar lebih memperluas
variabel dan mengontrol variabel-variabel lain yang mungkin dapat
mempengaruhi kebermaknaan hidup, seperti pengaruh kepercayaan diri, tingkat
religiusitas, kemapanan.
Selain itu, peneliti sebaik melakukan penelitian dengan subjek yang
berbeda atau tempat penelitian yang berbeda dengan peneliti saat ini. Peneliti
lain hendaknya melakukan wawancara dan observasi agar memperoleh data awal
yang lebih detai dan mendalam.
2. Saran Praktis
a. Bagi pasien penderita tuberkulosis agar lebih meningkatkan efikasi diri
yang dimiliki sehingga kebermaknaan hidup dapat dimiliki sekalipun
dalam kondisi yang kurang sehat atau dalam masa penyembuhan
penyakit tuberkulosis. Peningkatan pada efikasi diri akan membuat
individu atau pasien penderita tuberkulosis memiliki semangat hidup
untuk memperoleh kesembuhan, dan mampu menjalankan peran dan
tugasnya secara baik.
b. Bagi keluarga, supaya dapat memberikan dukungan sosial yang terdiri
dari dukungan emosional seperti memberikan perhatian dan semangat,
dukungan informatif berupa nasihat dan arahan sesuai dengan
kebutuhan anggota keluarga yang menderita penyakit tuberkulosis,
dukungan instrumental seperti memberikan dana untuk berobat,
pemberian makanan bergizi, dan dukungan penghargaan yang dapat
dilakukan dengan memberikan penghargaan apabila penderita TB
mengalami kemajuan dalam memperoleh kesembuhan.
c. Bagi lingkungan sosial, supaya dapat memberikan dukungan sosial
seperti memberikan motivasi kepada teman atau kerabat yang menderita
penyakit TB agar memiliki semangat dan tetap merasa memiliki
kebermaknaan hidup yang baik dan bukan justru menjauhi sang
penderita, karena penderita TB cenderung sensitif dengan respon orang
di sekitarnya akibat penyakit TB yang dideritanya.
d. Saran bagi pihak medis khususnya di Balai Pengobatan Penyakit Paru-
paru (BP4) yang khusus menangani pasien TB Paru supaya tetap
memberikan pelayanan kesehatan secara baik, komunikatif, dan
memberikan perhatian dan motivasi kepada setiap pasien TB yang
menjalani pengobatan, supaya pasien tanpa ada unsur paksaan dari
pihak luar sekalipun pasien patuh dalam menjalani pengobatan, hal ini
dilakukan karena pasien merasa hidupnya bermakna.
Daftar Pustaka
Adicondro, N. 2011. Hubungan antara Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga
dengan Self Regulated Learning pada Siswa Kelas VIII. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan.
Aisyah. 2007. Hubungan antara religiusitas dengan kebermaknaan hidup pada
mahasiswa teknik Universitas Negeri Makassar. Skripsi (Tidak
diterbitkan). Makassar: Fakultas Psikologi UNM.
Aqirrom, M. 2009. Hubungan antara Harga Diri dengan Kebermaknaan Hidup
pada pengguna Motor Antik Klub maci Yogyakarta. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan.
Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Azwar, S. 2006. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A. 1997. Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman
and Company
Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Paramadina.
Bastaman, H.D. 2005. Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan yayasan Insan Kamil.
Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan
Meraih hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chotijah, S. 2007. Perbedaan Kebermaknaan Hidup pada Lanjut Usia yang
Tinggal Bersama Keluarga dan yang Tinggal di Panti. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan.
Depkes, R I. 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Eviana, D. 2005. Hubungan antara Emosi Positif dengan Kebermaknaan Hidup
pada Wanita Dewasa Madya. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Farhati, F dan Rosyid, H.F. 1996. Karakteristik Pekerjaan, Dukungan Sosial dan
Tingkat Burn-out pada Non Human Service Corpooration. Jurnal
Psikologi. 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Francis, S. dan Satiadarma, M.P. 2004. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap
Kesembuhan Ibu yang Mengidap Kanker Payudara. Jurnal Ilmiah
Psikologi “ARKHE”. 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada.
Frankl, V.E. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi.
Penerjemah: M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Frankl, V.E. 2004. Man’s Search for Meaning, Mencari Makna Hidup. Pengalih
Bahasa: Dharma L.H. Bandung Nuansa Cendekia.
Ginting T. Tuahta, dkk. 2008. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap
Timbulnya Gangguan Jiwa pada penderita Tuberkulosis Paru Dewasa
di RS. Persahabatan. Jurnal Respir Indo Vol.28, No. 1. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Greenberg. 1996. Managing Behavior in Organizational. New Jersey: Prentice
Hall Inc.
Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi
Hawari, D. 1997. Kesehatan Mental dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Jaggarajamma, K., Ramachandran, R., Charles, N., & Chandrasekaran. 2008.
Psycho-Sosial dysfunction: Perceived and enacted stigma among
tuberculosis patient registered under revised national tuberculosis
control programme. Indian Journal of Tuberculosis, 55, 179-187
Johnson, D. W, Johnson. F. 1991. Joining Together. Group Theory and Group
Skill. Fourth Edition. Englewood Cliffts. Prentice Hall Inc
Kelly, P. 2003. Isolationand stigma: The experience of patients with active
tuberculosis. Journal of community health nursing, 63 (6), 518-526.
Koeswara, E. 1992. Logoterapi: psikologi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius.
Safaria, T. 2008. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup antara Kelompok
Pengguna NAPZA dengan Kelompok Non—Pengguna NAPZA.
Humanitas. Vol.5, No.1, 67-79.
Selvianti dan Aryani, L. Self Efficacy penderita Kanker Payudara.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo
Soleh, M. 2001. Kebermaknaan Hidup Mahasiswa Reguler dan Mahasiswa
Unggulan Universitas Islam Indonesia. Psikologika. No.11,53-63.
Sugiyono, 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah Membentuk Kepribadian yang
Bertanggung Jawab, Professional dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani
Press.
World Health Organization, (2005). Dalam: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
World Health Organization, (2010). Dalam: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta