Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita...

16
Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta Fitria Sedjati Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas No. 9 Yogyakarta [email protected] Abstact This study aimed to determine the correlation between self-efficacy and social support to the meaningfulness of life in patients with pulmonary tuberculosis who were undergoing treatment at the Medical Center Lung Disease. Subjects in this study were patients with pulmonary tuberculosis undergoing regular treatment at Medical Clinic Lung Disease Yogyakarta totaling 53 people. Measuring devices used in this research is Life Meaningfulness Scale, Self- Efficacy Scale and the Social Support Scale. Analysis of the statistical method of multiple regression analysis using SPSS 16 for windows. The results showed: (1) there was a significant relationship between self-efficacy and social support to the meaningfulness of life with R = 0.702 and p = 0.000 (p <0.01), (2) there is a significant positive relationship between self-efficacy to the meaningfulness living with r = 0606 and p = 0.000 (p <0.01), (3) there was a significant positive relationship between social support to the meaningfulness of life with r = 0.310 and p = 0.025 (p <0.05). Keyword: Meaningfulness of Life, Social Support, Self-Efficacy Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup pada penderita tuberkulosis paru yang sedang menjalani pengobatan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru. Subjek dalam penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan secara rutin di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta

Transcript of Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita...

Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan

Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit

Paru-Paru (BP4) Yogyakarta

Fitria Sedjati

Fakultas Psikologi

Universitas Ahmad Dahlan

Jalan Kapas No. 9 Yogyakarta

[email protected]

Abstact

This study aimed to determine the correlation between self-efficacy and

social support to the meaningfulness of life in patients with pulmonary

tuberculosis who were undergoing treatment at the Medical Center Lung Disease.

Subjects in this study were patients with pulmonary tuberculosis undergoing

regular treatment at Medical Clinic Lung Disease Yogyakarta totaling 53 people.

Measuring devices used in this research is Life Meaningfulness Scale, Self-

Efficacy Scale and the Social Support Scale. Analysis of the statistical method of

multiple regression analysis using SPSS 16 for windows. The results showed: (1)

there was a significant relationship between self-efficacy and social support to the

meaningfulness of life with R = 0.702 and p = 0.000 (p <0.01), (2) there is a

significant positive relationship between self-efficacy to the meaningfulness living

with r = 0606 and p = 0.000 (p <0.01), (3) there was a significant positive

relationship between social support to the meaningfulness of life with r = 0.310

and p = 0.025 (p <0.05).

Keyword: Meaningfulness of Life, Social Support, Self-Efficacy

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dan

dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup pada penderita tuberkulosis paru

yang sedang menjalani pengobatan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru.

Subjek dalam penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru yang menjalani

pengobatan secara rutin di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta

yang berjumlah 53 Orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Skala Kebermaknaan Hidup, Skala Efikasi Diri dan Skala Dukungan Sosial.

Analisis dengan metode statistik analisis regresi berganda dengan menggunakan

bantuan program SPSS 16 for windows. Hasil menunjukkan : (1) ada hubungan

yang sangat signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan

kebermaknaan hidup dengan R = 0,702 dengan p = 0,000 (p<0,01), (2) ada

hubungan positif yang sangat signifikan antara efikasi diri terhadap kebermaknaan

hidup dengan nilai r = 0606 dan p = 0,000 (p<0,01), (3) ada hubungan positif

yang signifikan antara dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup dengan

nilai r= 0,310 dan p=0,025 (p<0,05).

Kata kunci : Kebermaknaan Hidup, Efikasi Diri, Dukungan Sosial.

Pendahuluan

Penyakit paru bukanlah penyakit yang baru di Indonesia. Terutama

penyakit paru karena infeksi, seperti pada penyakit Tuberkulosis paru. Menurut

WHO, prevelensi kasus penyakit tuberculosis paru di Indonesia ialah

130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar

101.000 pertahun. Penyakit tuberkulosis paru ini merupakan penyebab kematian

urutan ketiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. (WHO,

2005). Setiap tahun diperkirakan dari sembilan juta penderita tuberkulosis ada tiga

juta penderita meninggal, dan sembilan puluh lima persen berada di Negara-

negara berkembang terutama di Asia Tenggara. Angka kematian ini merupakan

dua puluh lima persen dari kematian yang sebenarnya dapat dicegah (Depkes RI,

2002).

Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ketiga sedunia

dalam hal jumlah penderita tuberkulosis (Tb). Berdasarkan Data Badan Kesehatan

Dunia (WHO) pada tahun 2005 menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di

Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan

Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke

posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang dan masuk

dalam milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun Kementerian Kesehatan. Lima

negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina,

Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control,

2010).

Pada Global Report WHO 2010, didapat data TB Indonesia, Total seluruh

kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB

baru BTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB

Extra Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan

ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps).

Menurut Kleinman (Kelly, 2003) meskipun para ahli kesehatan dapat

melihat tuberkulosis sebagai masalah kesehatan masyarakat yang dapat

disembuhkan secara efisien dalam waktu 2 sampai 6 bulan dengan obat, tetapi

penderita tetap mengalami tekanan batin. Bagi mereka, tuberkulosis adalah

penyakit yang memalukan, membuat mereka diisolasi, dan dikucilkan, karena

stigma dicap sebagai transmitter penyakit. Hal tersebut yang menjadi alasan atau

penyebab seseorang yang mengidap penyakit tuberkulosis menjadi merasa kurang

memiliki makna hidup yang baik.

Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang

dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi

seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life).

Pada penderita TB paru selain faktor fisik, penting juga diperhatikan faktor

psikologis antara lain pemahaman individu yang dapat mempengaruhi persepsi

terhadap penyakit. Persepsi negatif terhadap penyakit TB paru akan menyebabkan

penderita takut dan menolak sehingga timbul keinginan untuk mencari

pengobatan. Selain itu diagnosis penderita TB paru, akan mempengaruhi

kepatuhan penderita untuk kontrol medis dan minum obat. Faktor psikososial

berperan dalam pembentukan stigma terhadap penderita oleh lingkungan dan

keluarga. Penerimaan penderita ketika mengetahui bahwa dirinya menderita

tuberkulosis bervariasi, sebagian besar mereka mengatakan terkejut, sedih,

kecewa, marah dan akhirnya pasrah, bahkan ada yang merasakan putus asa dan

tidak memiliki makna hidup yang berarti. Persepsi terhadap sakit ditunjukkan

dengan perubahan perilaku, seperti marah-marah, lebih banyak di rumah,

menghindar dan membatasi diri dan menarik diri, atau bisa dikatakan bahwa

individu menunjukkan krisis efikasi diri. Selain itu penderita merasa ketakutan

akan isolasi dan perlakuan negatif dari masyarakat bila mengetahui dirinya

menderita TB (Ginting, dkk, 2008).

Tuberkulosis paru adalah contoh klasik dari penyakit medis dan masalah

sosial yang berhubungan dengan kemiskinan. Stigma yang terkait dengan

tuberkulosis menambah beban baik laki-laki dan perempuan yang telah berumah

tangga. Sebuah survey dilakukan di india, diperkirakan 100.000 perempuan

ditolak oleh keluarga setiap tahunnya karena menderita penyakit tuberkulosis paru

(Jaggarajamma, dkk, 2008). Penyakit Tb memberikan dampak lingkungan

keluarga, stigma atas penyakit Tb ini merupakan hal yang sering dialami

penderita. Hampir semua penderita mengalami perlakuan yang negatif dari

lingkungan atau keluarga, tetapi ada juga yang mendapatkan dukungan dan

perlakuan yang baik. Perlakuan negatif ini dapat menjadi stersor dan beban

psikologis bagi penderita, sehingga penderita merasa hidupnya tidak berharga dan

tidak bermakna, sedangkan perlakuan baik dari keluarga dapat membantu

penderita menghadapi penyakit Tb yang dideritanya. Selain itu menurut Johnson,

stigma yang diterima menyebabkan penderita ketakutan terhadap isolasi sosial

dan menunda untuk mencari pengobatan (Ginting, dkk, 2008).

Bagi para penderita tuberkulosis (TB) yang belum ataupun telah sembuh

dari penyakitnya, tentu saja tidak mudah untuk bisa kembali melakukan aktifitas-

aktifitas seperti semula sebelum mengidap penyakit tuberkulosis. Hal ini tentunya

membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana

penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya.

Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena

merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat

sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan

disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu

yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru

akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.

Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah

penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga,

diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga

dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup

tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang

berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.

Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan

dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu

bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang

memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar

kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna

dibalik kehidupan itu sendiri.

Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi

kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta,

pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan

dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-

nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan

hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan

hidupnya.

Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan

hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:

a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)

Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas.

Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap

kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus

diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-

wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang

dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan

kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan

psikologis)

b. The will to meaning (kehendak hidup bermakna)

Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk

menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya. Keinginan untuk hidup

bermakna merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat ini yang

mendorong manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya

dirasakan lebih berarti dan berharga. keluarga, dan lingkungan sekitarnya yang

mampu memotivasi manusia untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-

kegiatan penting lainnya agar hidupnya berharga dan dihayati secara bermakna,

hingga akhirnya akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam

menjalani kehidupan.

c. The meaning of life (makna hidup)

Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan

didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup tidak

dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.

Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal yang ingin

dicapai dan dipenuhi dalam hidup.

Kebermaknaan hidup seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor

internal dan faktor eksternal, Faktor internal disini yaitu efikasi diri, sedangkan

faktor eksternalnya yaitu dukungan sosial.

Menurut Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai perkiraan

seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian

tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Individu

dapat saja mempercayai bahwa sebuah perilaku tertentu membuahkan

konsekuensi tertentu, akan tetapi apabila individu tersebut mempunyai keraguan

yang besar terhadap kemampuannya maka informasi tentang konsekuensi itu akan

berpengaruh pada perilakunya. Hal ini pula menjadi alasan mengapa efikasi diri

merupakan prediktor perilaku yang lebih baik daripada outcome expectancy.

Keyakinan individu bahwa individu dapat menyelesaikan tugas dengan baik akan

menentukan perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut,

seberapa besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku

tersebut untuk mencapai tujuan akhir.

Bandura (1997) mengemukakan beberapa dimensi dari efikasi diri, di

antaranya:

a. Magnitude (tingkat kesulitan)

Magnitude berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas yang dibebankan

pada individu. Jika seseorang dihadapkan pada suatu tugas-tugas yang

disusun menurut tingkat kesulitan, maka pengharapan efficacy-nya akan

mudah jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang dan sulit sesuai dengan

batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang

dibutuhkan bagi masing-masing tingkat.

b. Strength (tingkat kekuatan)

Strenght berkaitan dengan kekuatan penilaian tentang kecakapan individu.

Dimensi Strenght mengacu pada derajat kemantapan individu terhadap

keyakinan atau harapan yang dibuatnya. Tingkat efikasi diri yang rendah

lebih mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang

memperlemahkannya. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan

tekun meningkatkan usahanya meskipun banyak pengalaman yang

memperlemahkannya.

c. Generality (generalisasi)

Generality adalah derajat kemantapan individu terhadap keyakinan akan

kemampuannya, yakni berkaitan dengan bidang tugas atau tingkah laku,

seberapa luas individu mempunyai keyakinan dalam melaksanakan tugas-

tugas. Pengalaman yang berangsur-angsur menimbulkan penguasaan

terhadap pengharapan terbatas pada bidang tingkah laku khusus,

sedangkan pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi

berbagai bidang tugas. Ada individu yang merasa yakin pada bidang-

bidang tugas tertentu, ada individu yang merasa yakin pada banyak bidang

tugas.

Setiap individu yang mampu memandang dan mengevaluasi ketiga

dimensi efikasi diri tersebut secara positif maka akan mempengaruhi pemaknaan

hidupnya dan menjadikan kebermaknaan hidupnya menjadi lebih baik. Selain

efikasi diri, dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kebermakanaan hidup pada seseorang. Dukungan sosial adalah

suatu kesenangan yang dirasakan sebagai perhatian, penghargaan atau pertolongan

yang diterima dari orang lain atau kelompok Sarafino (Smet,1994). Lingkungan

yang memberikan dukungan sosial tersebut adalah keluarga, kekasih, dan anggota

masyarakat. Banyak efek dari dukungan sosial karena dukungan sosial dapat

secara positif pula memulihkan kondisi fisik maupun psikologis seseorang, baik

itu secara langsung ataupun tidak langsung (Smet, 1994).

House (Smet, 1994) menyatakan jenis dukungan sosial terdiri dari :

a. Dukungan emosional yaitu mencangkup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik,

penegasan)

b. Dukungan penghargaan dapat terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan)

positif orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau

perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain,

seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya

(menambah penghargaan diri)

c. Dukungan instrumental yaitu mencangkup bantuan langsung, seperti kalau

orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan

pekerjaan pada waktu mengalami stress

d. Dukungan informatif yaitu mencangkup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk,

saran-saran atau umpan balik.

Pada kasus yang sering terjadi di masyarakat, Individu penderita

tuberkulosis paru mendapatkan stigma lingkungan, isolasi sosial yang terkadang

terdapat penolakan terhadap pasien oleh lingkungan dan keluarga. Dukungan

sosial yang paling utama berasal dari dukungan keluarga, karena dukungan

keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan pasien penderita

tuberkulosis agar berjuang untuk sembuh, tetap berpikir maju, dan berkembang

dengan rasa optimisme yang dimilikinya dan menjadikan hidupnya lebih

bermakna. Hal yang dapat ditimbulkan dari kurangnya mendapatkan dukungan

sosial dari keluarga dan lingkungannya antara lain yaitu gangguan jiwa yang

komorbid dengan penyakit tuberkulosis. Gangguan jiwa yang menjadi

komorbiditi tuberkulosis meliputi depresi, gangguan penyesuaian, anxiety,

hilangnya arti dan tujuan hidup, melemahnya produktifitas, fobia dan lainnya

(Ginting T. Tuahta, dkk. 2008). Dengan dukungan sosial yang baik dari

lingkungan, individu diharapkan merasa diterima, dicintai, dan diharapkan

sehingga merasa memiliki makna hidup yang baik. Sebaliknya apabila dukungan

sosialnya kurang baik, dikhawatirkan individu penderita Tb akan merasa tidak

memiliki makna hidup yang berarti.

Dalam penelitian ini, disebutkan bahwa untuk membangun kebermaknaan

hidup individu penderita tuberkulosis tidak terlepas dari peran efikasi diri dan

dukungan sosial sebagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi

kebermaknaan hidup. Dari kasus yang sering terjadi, individu penderita

tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa dikucilkan

dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang

mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif

karena mengidap penyakit tuberkulosis. Berdasarkan uraian di atas maka diduga

bahwa ada hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan

kebermaknaan hidup bagi individu penderita Tb paru.

Mengacu pada uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti

kebermaknaan hidup penderita TB paru dilihat dari hubungan efikasi diri dan

dukungan sosial yang dimiliki penderita.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan positif antara efikasi diri dan dukungan sosial secara bersama-

sama dengan kebermaknaan hidup penderita TB paru.

2. Ada hubungan positif antara efikasi diri dengan kebermaknaan hidup

penderita TB paru.

3. Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup

penderita TB paru.

Metode Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien penderita tuberkulosis paru-paru

di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta, berjumlah 53 orang,

dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pasien tuberkulosis paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4)

Yogyakarta yang masuk dalam tahap lanjutan (pengobatan dari bulan ke 4

sampai bulan ke 6).

2. Berusia antara 16-45 tahun (usia produktif)

3. Tingkat pendidikan minimal SD.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Skala Kebermaknaan Hidup, Skala Efikasi Diri, Skala Dukungan Sosial

yang masing-masing terdiri dari 24 pernyataan.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

regresi ganda, dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS 16.0 for

Windows.

Hasil dan Pembahasan

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi

ganda. Teknik analisis regresi ganda sebagai salah satu teknik statistik parametik

memiliki beberapa syarat, yaitu data berkategori interval/rasio, distribusinya

berkategori normal dan hubungan antar variabel yang hendak diukur berkategori

linear.

Sebelum dilakukan uji hipotesis maka perlu dilakukan asumi terlebih

dahulu. Uji asumsi yang digunakan adalah uji normalitas dan uji linieritas dengan

hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Uji Normalitas

Variabel Skor KS-Z Sig Keterangan

Kebermaknaan Hidup 1,044 0,226 Normal

Efikasi Diri 1,187 0,119 Normal

Dukungan Sosial 1,157 0,137 Normal

Uji normalitas dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada perbedaan

sebaran skor pada sampel dan populasinya dengan menggunakan teknik One

Sample Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan dalam uji normalitas yaitu

jika p > 0,05 (tidak signifikan) berarti tidak ada perbedaan sebaran skor pada

sampel dan populasinya, maka sebaran data tersebut normal. Hasil uji normalitas

diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sebaran skor pada sampel dan

populasinya, sehingga sebaran data pada penelitian ini normal.

Tabel 2. Hasil Uji Linieritas

Variabel F Sig keterangan

Kebermaknaan Hidup

dengan Efikasi Diri 37,705 0,000 Linier

Kebermaknaan Hidup

dengan Dukungan Sosial 15,437 0,001 Linier

Kaidah yang digunakan dalam uji linier jika pada F linearity harga p <

0,05 dan pada F deviation from linearity harga p > 0,05, maka kedua variabel

yang dikorelasikan dapat dikatakan linier. Hasil uji linearitas pada penelitian ini

menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dikorelasikan tersebut berkategori

linear.

Berdasarkan hasil analisis korelasi regresi ganda diperoleh nilai koefisien

korelasi (R) sebesar 0,702 dengan taraf signifikan 0,000 (p < 0,01). Hal ini

menunjukkan bahwa ada korelasi ganda antara efikasi diri dan dukungan sosial

dengan kebermaknaan hidup sehingga hipotesis pertama diterima. Berdasarkan

hal ini dapat disimpulkan bahwa konsep diri dan dukungan sosial secara bersama-

sama memiliki korelasi yang positif dengan kebermaknaan hidup.

Secara khusus dapat dilihat dari masing-masing variabel, dari Hasil

analisis (regression) efikasi diri dengan kebermaknaan hidup menunjukkan

koefisien korelasi parsial antara kebermaknaan hidup dengan efikasi diri adalah

r=0,606 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,01) yang berarti semakin tinggi

efikasi diri maka kebermaknaan hidup tinggi dan semakin rendah efikasi diri

maka kebermaknaan hidup semakin rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

efikasi diri memiliki hubungan positif yang sangat signifikan terhadap

kebermaknaan hidup sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

diterima.

Diterimanya hipotesis minor yang pertama yang diajukan oleh peneliti

menunjukkan bahwa efikasi diri merupakan salah satu faktor internal yang sangat

penting dalam kebermaknaan hidup. Setiap individu memiliki tingkat efikasi diri

yang berbeda-beda. Apabila individu memiliki efikasi diri yang tinggi, maka

individu akan maksimal dalam melakukan tugas dan peran hidupnya sehingga

individu merasa bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya apabila individu memiliki

efikasi diri yang rendah, maka tugas dan peran hidupnya tidak dikerjakan secara

optimal.

Individu yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan terlihat optimis,

percaya diri, dan berpandangan positif. Sebaliknya individu dengan efikasi diri

rendah akan terlihat pesimis, tidak percaya diri dan dipenuhi perasaan khawatir

(Bandura, 1997). Efikasi diri sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh

individu sangat berpengaruh pada cara mengatur tugas dan peranan individu yang

bersangkutan secara baik, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan

memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya akan berhasil dalam menjalani suatu

peristiwa atau kondisi tertentu didalam hidupnya sehingga individu tersebut akan

melakukan berbagai upaya untuk mencapai harapannya yaitu memiliki hidup yang

bermakna. Sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan

mudah putus asa sehingga dalama melakukan tugas atau peranannya dalam

kehidupan sehari-hari kurang maksimal dan berarti.

Faktor eksternal dalam hal ini dukungan sosial dari keluarga maupun

dari lingkungan yang memiliki peranan cukup penting yang mempengaruhi

kebermaknaan hidup individu karena individu adalah makhluk sosial yang

membutuhkan interaksi sosial dengan lingkungannya, sehingga dukungan sosial

dari keluarga dan lingkungannya merupakan salah satu faktor eksternal yang

mempengaruhi tinggi rendahnya kebermaknaan hidup yang dimiliki oleh individu

yang bersangkutan.

Dukungan sosial berasal dari sumber-sumber yang ada di lingkungan

individu seperti orangtua, teman, keluarga, atau saudara, derta orang lain yang

berada didekat individu yang berupa penerimaan, bantuan informasi verbal dan

nonverbal yang diberikan kepada individu, pertolongan dalam bentuk fisik,

perhatian emosional, dorongan serta pujian melalui hubungan sosial yang akrab.

Jadi dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan yang baik akan membuat

individu merasa memiliki makna hidup yang berarti. Oleh sebab itu, dapat

diketahui bahwa dukungan sosial memiliki peranan yang cukup penting untuk

individu dalam memaknai hidupnya. Individu memerlukan bantuan untuk

memotivasi hidupnya agar dapat tetap menjalani hidupnya secara baik walaupun

dalam kondisi tubuh yang kurang optimal karena terserang bekteri Tb. Apabila

dukungan sosial yang diterima oleh individu yang bersangkutan rendah, hal ini

dapat menyebabkan individu merasa kurang bermakna di dalam hidupnya, dan hal

ini dapat menyebabkan stress karena individu mengalami krisis motivasi.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa analisis dukungan sosial

memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kebermaknaan hidup koefisien

korelasi parsial antara kebermaknaan hidup dengan dukungan sosial adalah

r=0,310 dengan taraf signifikansi 0,025 (p<0,05) yang berarti semakin tinggi

dukungan sosial maka kebermaknaan hidup semakin tinggi, dan semakin rendah

dukungan sosial maka kebermaknaan hidup semakin rendah. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan positif yang signifikan

terhadap kebermaknaan hidup sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian

ini diterima.

Diterimanya hipotesis minor yang kedua yang diajukan oleh peneliti

menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor eksternal yang

cukup penting dalam kebermaknaan hidup. Apabila individu memperoleh

dukungan sosial yang tinggi dari keluarga dan lingkungan sosialnya, yang dapat

berupa semangat, informasi, penyediaan sarana dan prasarana, maupun

reinforcement maka individu akan merasa keberadaannya berarti atau hidupnya

bermakna. Sebaliknya apabila individu kurang mendapat dukungan sosial dari

keluarga dan lingkungan sosialnya, maka individu yang bersangkutan menjadi

merasa kurang berarti atau kurang memiliki kebermaknaan dalam hidupnya

karena individu tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari lingkungan di

sekitarnya.

Dukungan sosial cukup berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup. Hal

ini dapat dijelaskan bahwa motivasi, informasi, pemenuhan yang diberikan

terutama oleh keluarga cukup berpengaruh untuk individu yang bersangkutan.

Individu memperoleh dukungan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan

aktualisasi diri sehingga kebutuhan akan keberartian atau kebermaknaan dalam

hidupnya terpenuhi. Individu yang memperoleh dukungan sosial dengan baik dari

keluarga dan lingkungan sosialnya akan lebih bersemangat dalam mengatur

hidupnya untuk berusaha lebih baik, untuk penderita tuberkulosis misalnya

dukungan sosial dapat membantu individu untuk berjuang mendapatkan

kesembuhan dan menjalankan aktivitas normalnya sehari-hari secara baik.

Sedangkan individu yang kurang mendapatkan perhatian, arahan, informasi dari

keluarga akan menjadi kurang bersemangat dalam mengatur hidupnya.

Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa Efikasi diri dan dukungan

sosial memberikan sumbangan efektif terhadap kebermaknaan hidup atau

koefisien diterminan ( ) sebesar 0,493 artinya yaitu terdapat 49,3% pengaruh

efikasi diri dan dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup. Hal ini berarti

terdapat 50,7% variabel lain yang mempengaruhi kebermaknaan hidup selain

efikasi diri dan dukungan sosial. Sumbangan efektif untuk masing-masing

variabel adalah (a) efikasi diri terhadap kebermaknaan hidup sebesar 42,17% dan

(b) sumbangan efektif dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup sebesar

7,13%. Hal ini dapat diprediksi bahwa efikasi diri memberikan sumbangan yang

lebih besar kemungkinannya untuk mempengaruhi kebermaknaan hidup individu

dibandingkan dengan dukungan sosial.

Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebanyak 16 subjek penelitian

atau 30,18% dari 53 subjek penelitian memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang

sedang. Sedangkan 37 subjek penelitian atau 69,81% dari 53 subjek penelitian

memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

pada umumnya subjek memiliki kehendak hidup bermakna bagi diri sendiri dan

orang lain yang relatif tinggi, hal ini dapat disebabkan karena kemampuan dan

keinginan subjek dalam menjalankan peran dan aktivitas hidupnya secara baik

walaupun dalam kondisi yang kurang sehat.

Kategorisasi efikasi diri menunjukkan bahwa sebanyak 23 subjek atau

43,39% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang sedang. Sedangkan 30

subjek atau 56,60% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek cenderung sangat baik dalam

menentukan atau memastikan terpenuhinya motif mengarah pada tindakan yang

diharapkan sesuai situasi yang dihadapi, dan memiliki keyakinan mengenai

kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas dengan baik yang menentukan

perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut, seberapa

besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku tersebut untuk

mencapai tujuan akhir.

Kategorisasi dukungan sosial menunjukkan bahwa sebanyak 20 subjek

atau 37,73% dari 53 subjek penelitian memiliki dukungan sosial yang sedang.

Sedangkan 33 subjek penelitian atau 62,26% dari 53 subjek penelitian memiliki

efikasi diri yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek

mendapatkan dukungan sosial yang cenderung tinggi dari keluarga dan

lingkungan sekitarnya, karena individu memperoleh perhatian, motivasi, dan

arahan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi permasalahan di dalam

hidupnya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan terhadap

hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial

keluarga dengan kebermaknaan hidup.

2. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan

kebermaknaan hidup. Semakin tinggi efikasi diri, makan semakin tinggi

kebermaknaan hidup. Semakin rendah efikasi diri maka semakin rendah

kebermaknaan hidup.

3. Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan

kebermaknaan hidup. Semakin tinggi dukungan sosial, maka semkain tinggi

kebermaknaan hidup. Semakin rendah dukungan sosial maka semakin

rendah kebermaknaan hidup.

Sumbangan efektif variabel efikasi diri dan dukungan sosial terhadap

kebermaknaan hidup sebesar 49,3%. Pengaruh efikasi diri sebesar 7,13%

sedangkan variabel dukungan sosial sebesar 42,17%. Hal ini berarti terdapat

50,7% variabel lain, diluar variabel efikasi diri dan dukungan sosial keluarga yang

mempengaruhi kebermaknaan hidup

Saran

Berdasarkan landasan teori, hasil penelitian dan pembahasan tentang

hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup

maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut :

1. Saran Teoritis

Hasil ini dapat menjadi salah satu informasi bagi peneliti selanjutnya

yang terkait dengan masalah kebermaknaan hidup, agar lebih memperluas

variabel dan mengontrol variabel-variabel lain yang mungkin dapat

mempengaruhi kebermaknaan hidup, seperti pengaruh kepercayaan diri, tingkat

religiusitas, kemapanan.

Selain itu, peneliti sebaik melakukan penelitian dengan subjek yang

berbeda atau tempat penelitian yang berbeda dengan peneliti saat ini. Peneliti

lain hendaknya melakukan wawancara dan observasi agar memperoleh data awal

yang lebih detai dan mendalam.

2. Saran Praktis

a. Bagi pasien penderita tuberkulosis agar lebih meningkatkan efikasi diri

yang dimiliki sehingga kebermaknaan hidup dapat dimiliki sekalipun

dalam kondisi yang kurang sehat atau dalam masa penyembuhan

penyakit tuberkulosis. Peningkatan pada efikasi diri akan membuat

individu atau pasien penderita tuberkulosis memiliki semangat hidup

untuk memperoleh kesembuhan, dan mampu menjalankan peran dan

tugasnya secara baik.

b. Bagi keluarga, supaya dapat memberikan dukungan sosial yang terdiri

dari dukungan emosional seperti memberikan perhatian dan semangat,

dukungan informatif berupa nasihat dan arahan sesuai dengan

kebutuhan anggota keluarga yang menderita penyakit tuberkulosis,

dukungan instrumental seperti memberikan dana untuk berobat,

pemberian makanan bergizi, dan dukungan penghargaan yang dapat

dilakukan dengan memberikan penghargaan apabila penderita TB

mengalami kemajuan dalam memperoleh kesembuhan.

c. Bagi lingkungan sosial, supaya dapat memberikan dukungan sosial

seperti memberikan motivasi kepada teman atau kerabat yang menderita

penyakit TB agar memiliki semangat dan tetap merasa memiliki

kebermaknaan hidup yang baik dan bukan justru menjauhi sang

penderita, karena penderita TB cenderung sensitif dengan respon orang

di sekitarnya akibat penyakit TB yang dideritanya.

d. Saran bagi pihak medis khususnya di Balai Pengobatan Penyakit Paru-

paru (BP4) yang khusus menangani pasien TB Paru supaya tetap

memberikan pelayanan kesehatan secara baik, komunikatif, dan

memberikan perhatian dan motivasi kepada setiap pasien TB yang

menjalani pengobatan, supaya pasien tanpa ada unsur paksaan dari

pihak luar sekalipun pasien patuh dalam menjalani pengobatan, hal ini

dilakukan karena pasien merasa hidupnya bermakna.

Daftar Pustaka

Adicondro, N. 2011. Hubungan antara Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga

dengan Self Regulated Learning pada Siswa Kelas VIII. Skripsi (Tidak

Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad

Dahlan.

Aisyah. 2007. Hubungan antara religiusitas dengan kebermaknaan hidup pada

mahasiswa teknik Universitas Negeri Makassar. Skripsi (Tidak

diterbitkan). Makassar: Fakultas Psikologi UNM.

Aqirrom, M. 2009. Hubungan antara Harga Diri dengan Kebermaknaan Hidup

pada pengguna Motor Antik Klub maci Yogyakarta. Skripsi (Tidak

Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad

Dahlan.

Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press

Azwar, S. 2006. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandura, A. 1997. Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman

and Company

Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Paramadina.

Bastaman, H.D. 2005. Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan yayasan Insan Kamil.

Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan

Meraih hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Chotijah, S. 2007. Perbedaan Kebermaknaan Hidup pada Lanjut Usia yang

Tinggal Bersama Keluarga dan yang Tinggal di Panti. Skripsi (Tidak

Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad

Dahlan.

Depkes, R I. 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Eviana, D. 2005. Hubungan antara Emosi Positif dengan Kebermaknaan Hidup

pada Wanita Dewasa Madya. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Farhati, F dan Rosyid, H.F. 1996. Karakteristik Pekerjaan, Dukungan Sosial dan

Tingkat Burn-out pada Non Human Service Corpooration. Jurnal

Psikologi. 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Francis, S. dan Satiadarma, M.P. 2004. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap

Kesembuhan Ibu yang Mengidap Kanker Payudara. Jurnal Ilmiah

Psikologi “ARKHE”. 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas

Gajah Mada.

Frankl, V.E. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi.

Penerjemah: M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Frankl, V.E. 2004. Man’s Search for Meaning, Mencari Makna Hidup. Pengalih

Bahasa: Dharma L.H. Bandung Nuansa Cendekia.

Ginting T. Tuahta, dkk. 2008. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap

Timbulnya Gangguan Jiwa pada penderita Tuberkulosis Paru Dewasa

di RS. Persahabatan. Jurnal Respir Indo Vol.28, No. 1. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Greenberg. 1996. Managing Behavior in Organizational. New Jersey: Prentice

Hall Inc.

Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi

Hawari, D. 1997. Kesehatan Mental dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Jaggarajamma, K., Ramachandran, R., Charles, N., & Chandrasekaran. 2008.

Psycho-Sosial dysfunction: Perceived and enacted stigma among

tuberculosis patient registered under revised national tuberculosis

control programme. Indian Journal of Tuberculosis, 55, 179-187

Johnson, D. W, Johnson. F. 1991. Joining Together. Group Theory and Group

Skill. Fourth Edition. Englewood Cliffts. Prentice Hall Inc

Kelly, P. 2003. Isolationand stigma: The experience of patients with active

tuberculosis. Journal of community health nursing, 63 (6), 518-526.

Koeswara, E. 1992. Logoterapi: psikologi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius.

Safaria, T. 2008. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup antara Kelompok

Pengguna NAPZA dengan Kelompok Non—Pengguna NAPZA.

Humanitas. Vol.5, No.1, 67-79.

Selvianti dan Aryani, L. Self Efficacy penderita Kanker Payudara.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo

Soleh, M. 2001. Kebermaknaan Hidup Mahasiswa Reguler dan Mahasiswa

Unggulan Universitas Islam Indonesia. Psikologika. No.11,53-63.

Sugiyono, 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah Membentuk Kepribadian yang

Bertanggung Jawab, Professional dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani

Press.

World Health Organization, (2005). Dalam: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta

World Health Organization, (2010). Dalam: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta