INDIKATOR INTERAKSI LINGKUNGAN HIDUPDAN PENDUDUK DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

20
Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014 345 INDIKATOR INTERAKSI LINGKUNGAN HIDUPDAN PENDUDUK DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT Oleh Rudi Iskandar Jurusan Geografi Universitas Negeri Jakarta [email protected] Abstrak Penelitian ini berusaha menemukan indikator interaksi antara lingkungan hidup dan kependudukan di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kabupaten Bogor dengan unit analisis kecamatan, dari bulan Juni hingga Desember 2013. Ada 40 kecamatan yang dijadikan sampel data yang selanjutnya dijadikan dasar analisis. Penentuan variabel penelitian berdasarkan kerangka teoritis aspek Lingkungan Hidup dan kependudukan. Metode dan Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif meliputi: mean, median, mode, frekuensi, crosstabulation, dan analisis faktor serta analisis regresi berganda. Penelitian ini menemukan bahwa (1) Kondisi Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor mengalami penurunan dengan indikator perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian. Perubahan menjadi non-pertanian khususnya permukiman dan lahan terbangun lainya. Perubahan ini terjadi di lokasi sekitar perbatasan Kabupaten Bogor dengan Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan dan DKI Jakarta. (2) Kondisi Lingkungan Hidup sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah dengan indeks kekeringan (sangat kering hingga kering) dengan luasan hampir mencapai 95 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan Kabupaten Bogor bukanlah wilayah yang potensial untuk kegiatan pertanian sawah irigasi, tetapi lebih potensial untuk perkebunan, tegalan, hutan, semak, rumput atau jenis komoditi taman lahan kering lainnya. (3) Kondisi kependudukan di wilayah Kabupaten Bogor ditentukan sebagian oleh kualitas sumberdaya yang dimiliki oleh petani, kualitas penduduk (pendidikan) dan akses rumahtangga dalam menggunakan PLN serta kepadatan agraris. (4) Rumahtangga petani terbukti mengalami peningkatan sejahtera dengan indikatornya adalah maju dalam pendidikan dan lebih sejahtera (indikator penggunaan PLN), dan secara signifikan dapat mengurangi kerusakan lingkungan (melalui indikator jumlah bangunan kumuh). (5) Ada kaitan yang erat antara indikator lingkungan hidup yakni; luas lahan sawah irigasi dan semakin berkurangnya jumlah bangunan kumuh dengan indikator kependudukan (kepadatan agraris). Artinya semakin luas lahan sawah irigasi, maka semakin baik penguasaan lahan pertanian, hal ini dapat digambarkan melalui kepadatan agraris. Selanjutnya kepadatan agraris yang lebih baik (penguasaan lahan yang lebih luas) dapat mengurangi kerusakan lingkungan (jumlah bangun kumuh) di wilayah Kabupaten Bogor. (6) Di Bagian Barat wilayah Kabupaten Bogor, telah terjadi penurunan aktivitas pertanian dengan indikator semakin berkurangnya rumahtangga pertanian. Hal ini menujukkan semakin berkurangnya lahan (pertanian) yang sebelumnya dikelola rumahtangga pertanian menjadi non pertanian atau setidaknya lahan yang sementara tidak diusahakan(7) Terdapat 12 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang mempunyai angka IPM di atas capaian Kabupaten Bogor (72,72) yaitu: Kecamatan Gunung Putri, Kecamatan Cibinong, Kecamatan Kemang, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Tajur Halang, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Citeureup, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Ciomas, Kecamatan Gunung Sindur, Kecamatan Bojonggede dan Kecamatan Ciampea. Sedangkan lima Kecamatan peringkat bawah adalah Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Sukajaya, Kecamatan Cariu, Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan Nanggung. Kata kunci: Lingkungan Hidup Alamiah, Kependudukan, Indeks Pembangunan Manusia, Kabupaten Bogor.

Transcript of INDIKATOR INTERAKSI LINGKUNGAN HIDUPDAN PENDUDUK DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

345

INDIKATOR INTERAKSI LINGKUNGAN HIDUPDAN PENDUDUK DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Oleh Rudi Iskandar

Jurusan Geografi Universitas Negeri Jakarta [email protected]

Abstrak

Penelitian ini berusaha menemukan indikator interaksi antara lingkungan hidup dan kependudukan di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kabupaten Bogor dengan unit analisis kecamatan, dari bulan Juni hingga Desember 2013. Ada 40 kecamatan yang dijadikan sampel data yang selanjutnya dijadikan dasar analisis. Penentuan variabel penelitian berdasarkan kerangka teoritis aspek Lingkungan Hidup dan kependudukan.

Metode dan Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif meliputi: mean, median, mode, frekuensi, crosstabulation, dan analisis faktor serta analisis regresi berganda.

Penelitian ini menemukan bahwa (1) Kondisi Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor mengalami penurunan dengan indikator perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian. Perubahan menjadi non-pertanian khususnya permukiman dan lahan terbangun lainya. Perubahan ini terjadi di lokasi sekitar perbatasan Kabupaten Bogor dengan Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan dan DKI Jakarta. (2) Kondisi Lingkungan Hidup sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah dengan indeks kekeringan (sangat kering hingga kering) dengan luasan hampir mencapai 95 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan Kabupaten Bogor bukanlah wilayah yang potensial untuk kegiatan pertanian sawah irigasi, tetapi lebih potensial untuk perkebunan, tegalan, hutan, semak, rumput atau jenis komoditi taman lahan kering lainnya. (3) Kondisi kependudukan di wilayah Kabupaten Bogor ditentukan sebagian oleh kualitas sumberdaya yang dimiliki oleh petani, kualitas penduduk (pendidikan) dan akses rumahtangga dalam menggunakan PLN serta kepadatan agraris. (4) Rumahtangga petani terbukti mengalami peningkatan sejahtera dengan indikatornya adalah maju dalam pendidikan dan lebih sejahtera (indikator penggunaan PLN), dan secara signifikan dapat mengurangi kerusakan lingkungan (melalui indikator jumlah bangunan kumuh). (5) Ada kaitan yang erat antara indikator lingkungan hidup yakni; luas lahan sawah irigasi dan semakin berkurangnya jumlah bangunan kumuh dengan indikator kependudukan (kepadatan agraris). Artinya semakin luas lahan sawah irigasi, maka semakin baik penguasaan lahan pertanian, hal ini dapat digambarkan melalui kepadatan agraris. Selanjutnya kepadatan agraris yang lebih baik (penguasaan lahan yang lebih luas) dapat mengurangi kerusakan lingkungan (jumlah bangun kumuh) di wilayah Kabupaten Bogor. (6) Di Bagian Barat wilayah Kabupaten Bogor, telah terjadi penurunan aktivitas pertanian dengan indikator semakin berkurangnya rumahtangga pertanian. Hal ini menujukkan semakin berkurangnya lahan (pertanian) yang sebelumnya dikelola rumahtangga pertanian menjadi non pertanian atau setidaknya lahan yang sementara tidak diusahakan(7) Terdapat 12 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang mempunyai angka IPM di atas capaian Kabupaten Bogor (72,72) yaitu: Kecamatan Gunung Putri, Kecamatan Cibinong, Kecamatan Kemang, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Tajur Halang, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Citeureup, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Ciomas, Kecamatan Gunung Sindur, Kecamatan Bojonggede dan Kecamatan Ciampea. Sedangkan lima Kecamatan peringkat bawah adalah Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Sukajaya, Kecamatan Cariu, Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan Nanggung.

Kata kunci: Lingkungan Hidup Alamiah, Kependudukan, Indeks Pembangunan Manusia, Kabupaten Bogor.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

346

PENDAHULUAN

Lingkungan hidup dan Kependudukan adalah sebuah ekosistem yang saling

berinteraksi dan tergantung satu sama lain. Kondisi kependudukan dapat dipengaruhi

oleh lingkungan hidup alamiah, dan sebaliknya. Kondisi lingkungan hidup alamiah

yang sudah mengalami degradasi, baik karena gangguan alami seperti becana

maupun campur tangan manusia seperti adanya kegiatan pembangunan, dan tidak

dapat mendukung aktivitas manusia di dalamnya, efeknya dapat mempengaruhi

kualitas penduduk. Bila tidak ada sumber daya yang lain, misalnya aktivitas di luar

pertanian atau teknologi yang dapat mengatasi kerusakan itu, kualitas penduduk

dapat berpotensi menjadi rendah. Demikian juga halnya jika kondisi kependudukan

yang ekstrim, misalnya jumlah penduduk besar, maka untuk mendukung aktivitas

penduduknya diperlukan sumber daya alam. Pengeksploitasian sumber daya alam

tanpa mengindahkan keterbatasan alam dapat merusak lingkungan hidup alamiah.

Dengan demikian bila kondisi lingkungan hidup alamiah dan kependudukan tidak

serasi, maka kualitas hidup penduduk menjadi jelek, akibatnya dapat mempengaruhi

proses pembangunan pembangunan ke depan.

Untuk meningkatkan kualitas penduduk dan sekaligus menjaga kelestarian

lingkungan hidup, maka perlu diketahui proses interaksi serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Dengan diketahuinya indikator interaksi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya, maka selanjutnya dapat dibuat masukan (input) terhadap

pembangunan yang diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan

penduduk dengan kondisi lingkungan hidup agar proses pembangunan berlangsung

dengan baik dan berkelanjutan. Karena interaksi antara penduduk dan lingkungan

hidup tidak dapat diukur secara langsung, maka diperlukan indikator dari interaksi

tersebut. Indikator ini selanjutnya digunakan untuk menentukan prioritas

pembangunan wilayah yang berkelanjutan.

Patut diakui bahwa komponen pendukung interaksi penduduk dan lingkungan

hidup alamiah telah sering dimasukkan dalam analisis, tetapi belum berhasil

menentukan indikator keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup

alamiah. Tampaknya, pendekatan yang dipakai dalam analisis belum cukup

memperhatikan pemisahan antara variabel daya dukung wilayah dan variabel

keluaran sebagai hasil akhir interaksi antara kependudukan dan lingkungan hidup

alamiah. Studi ini berusaha mengisi kekosongan penjelasan itu terutama di wilayah

Kabupaten Bogor.

Kabupaten Bogor sebagai wilayah penyangga utama di bagian selatan Jakarta,

membutuhkan penanganan pengelolaan lingkungan yang baik. Penduduk adalah

komponen utama dalam pengelolaan pembangunan, sehingga sangat penting untuk

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

347

diketahui bagaimana interaksi antara lingkungan hidup dan penduduknya. Karena

kualitas interaksi ini dapat menentukan kualitas lingkungan secara umum dan hal ini

juga akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap wilayah DKI

Jakarta. Indikator interaksi lingkungan hidup dan penduduk merupakan ukuran yang

dapat dipakai dalam menentukan tingkat perkembangan pembangunan di suatu

wilayah yang sempit. Hal inilah yang ingin diketahui oleh peneliti. Dengan

diketahuinya indikator interaksi tersebut di suatu wilayah Kabupaten Bogor), maka

dapat dipakai sebagai alternatif pemecahan masalah lingkungan hidup dan

kepenudukan dengan cara melakukan penyusunan pengembangan kebijakan seperti:

pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup dan lain-lain di suatu wilayah yang

sempit (lebih detil). Atas dasar maka masalah penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh kondisi Lingkungan Hidup terhadap Indeks Pembangunan

Manusia (kualitas penduduk) di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat?

2. Apakah ada pengaruh kondisi kependudukan terhadap Indeks Pembangunan

Manusia (kualitas penduduk) di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat?

Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan

Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya

adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan

hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah

itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi dua

komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung

limbah (assimilative capacity). Kemampuan lingkungan untuk mendukung peri-

kehidupan semua makhluk hidup yang meliputi ketersediaan sumber daya alam untuk

memenuhi kebutuhan dasar dan tersedianya cukup ruang untuk hidup pada tingkat

kestabilan sosial tertentu disebut daya dukung lingkungan. Keberadaan sumber daya

alam di bumi tidak tersebar merata sehingga daya dukung lingkungan pada setiap

daerah akan berbeda-beda. Oleh karena itu, pemanfaatanya harus dijaga agar terus

berkesinambungan dan tindakan eksploitasi harus dihindari. Pemeliharaan dan

pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional.

Menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat

dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan

manusia.Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi

(ecological footprint).Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat

keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia

kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif.Perbandingan antara jejak

ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

348

perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity

atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat

dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu

yang panjang.Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan

memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang

mendiami suatu kawasan.

Dengan adanya masukan teknologi irigasi misalnya, lahan yang hanya dapat

menghasilkan setahun sekali dapat diubah menjadi dua sampai tiga kali panen

setahun. Tentunya, kalau tidak ada gangguan, penghasilan masyarakat akan

meningkat dan pada gilirannya kualitas hidup meningkat. Dengan demikian teknologi

(irigasi) tidak hanya mengubah lingkungan hidup alamiah, tetapi juga mengubah daya

dukung wilayah karena irigasi dapat melipatgandakan produksi, berarti dapat

meningkatkan penghasilan yang kemudian dapat meningkatkan kualitas hidup.

Jika daya dukung wilayah dikatakan memadai, baik setelah ada perubahan

teknologi dan intervensi pembangunan, maka akan tercermin dalam kualitas hidup. Di

sisi lain teknologi juga dapat langsung mengubah kualitas hidup, misalnya penemuan

teknologi dalam bidang kesehatan dan pengobatan, sehingga kesehatan masyarakat

dan kualitas hidup menjadi baik. Ini berarti, kualitas hidup merupakan cerminan

interaksi lingkungan hidup alamiah dan kependudukan. Dengan demikian, bila suatu

wilayah kualitas hidupnya baik, maka interaksi kependudukan dan lingkungan hidup

alamiah dapat dikatakan serasi.

METODE PENELITIAN

Ada dua tahap dalam melakukan analisis data, pertama, analisis Faktor dan

kedua, adalah analisis regrasi linier berganda. Menurut J. Supranto (2010), analisis

faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya

digunakan untuk mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang banyak menjadi

sedikit variabel. Secara garis besar ada dua tipe analisa faktor, yaitu: Confirmatory

Faktor Analysis dan Exploratory Faktor Analysis. Dalam penelitian ini yang dipilih

adalah Confirmatory Faktor Analysis, yaitu: Model yang diasumsikan untuk

menggambarkan, menjelaskan atau menghitung data empirik. Konstruksi dari model

ini berdasar pada informasi yang apriori mengenai sifat dari struktur data atau isi dari

teori.Model yang diasumsikan untuk menggambarkan, menjelaskan atau menghitung

data empirik. Konstruksi dari model ini berdasar pada informasi yang apriori

mengenai sifat dari struktur data atau isi dari teori (Joreskog & Sorbon, 1989 dalam

Crowley & Fan, 1997).

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

349

Dalam penelitian ini Confirmatory Faktor Analysis digunakan untuk

mengetahui Indikator yang selanjutnya dapat digunakan untuk melihat interaksi

antara Variabel Lingkungan Hidup dan Variabel Kependudukan di Kabupaten Bogor.

Dengan rumus sebagai berikut :

Xi = Ail F1 + Ai2 F2 + ….. Aik Fk + µi

Keterangan : Xi : item / variabel dalam faktor Ai1…Aik : konstanta faktor F1…Fk : faktor-faktor µi : faktor unik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Faktor dan Pembahasan

1. Faktor Lingkungan Hidup

Indikator keluaran lingkungan hidup alamiah yang digunakan dalam penelitian

ini adalah aspek fisik antara lain: luas sawah (irigrasi, non irisgasi, tadah hujan dan

lahan kering lainnya), jumlah bangunan kumuh dan indeks kekeringan (sangat kering,

kering, kurang kering, tidak kering). Adapun hasil perhitungan dengan menggunakan

analisis faktor terhadap kondisi lingkungan hidup di Kabupaten Bogor adalah sebagai

berikut:

a. Berdasarkan tabel KMO and Barleet’s test of sphericity, besaran nilai KMO pada

faktor ketidaktahuan sebesar 0,563 artinya lebih besar dari 0,5 maka analisis

faktor tersebut dapat digunakan dan dilanjutkan.

b. Pada tabel Communalities terdapat kolom Extraction, pada kolom tersebut

diketahui nilai dari masing-masing variabel pada faktor > 0,500 yang artinya

variabel-variabel ini cukup efektif, kecuali variabel jumlah bangunan kumuh yang

sedikit di bawah 0,5.

c. Berdasarkan tabel Total Variance Explained dapat dilihat bahwa nilai eigenvalues

yang lebih dari 1 ada 3, dengan masing-masing eigenvalue sebesar 3.852 dengan

persentase sebesar 38.523%, 2.748 dengan persentase 27.480% dan 1.684

dengan persentase 16.840%.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

350

d. Dari tabel Component Matrix dapat diketahui terdapat 3 variabel yang

dikelompokkan. Pengelompokan variabel berdasarkan pada nilai komponen yang

menunjukkan lebih dari 0,500. Variabel yang memiliki nilai komponen lebih dari

0,500 maka variable tersebut berada pada pengelompokannya. Dari tabel rotasi

dapat dikelompokkan variabel 1 atau komponen 1 yang terdiri dari: Luas Sawah

Non-Irigasi (Ha), Luas Total Sawah (Ha), lahan kering (kebun. Tegalan, hutan,

semak, rumput/ha), Luas Sawah Tadah Hujan, Indeks Kekeringan (Proporsi Luas

Sangat Kering, Proporsi Luas Kering, Proporsi Luas Kurang Kering, Proporsi Luas

Tidak Kering) , Jumlah Bangunan Kumuh.Kumuh. Variabel 2 atau komponen 2

terdiri dari: Indeks kekeringan (Proporsi Luas Kurang Kering, Proporsi Luas Tidak

Kering) dan Jumlah Bangunan Kumuh. Sedangkan variabel 3 atau komponen 3

terdiri dari: Indeks Kekringan (proporsi luas kering) dan Luas Sawah Irigasi (Ha).

e. Setelah dilakukan Rotasi, maka pengelompokannya adalah sebagai berikut:

variabel 1 atau komponen 1 yang terdiri dari: Indeks Kekeringan (Proporsi Luas

Kering, Proporsi Luas Sangat Kering), lahan kering (kebun, tegalan, hutan, semak,

rumput/ha), Luas Sawah Non-Irigasi (Ha), Luas Sawah Tadah Hujan. Variabel 1

atau komponen 1 ini selanjutnya disebut fator Penggunaan Lahan Kering. Variabel

2 atau komponen 2 terdiri dari: Luas Sawah Tadah Hujan, Luas Sawah Irigasi (Ha),

Luas Total Sawah. Variabel 2 atau komponen 2 ini selanjutnya disebut faktor Luas

Sawah Total. Variabel 3 atau komponen 3 terdiri dari: Indeks Kekeringan

(Proporsi Luas Tidak Kering, Proporsi Luas Kurang Kering), dan Jumlah Bangunan

Kumuh. Variabel 3 atau komponen 3 ini selanjutnya disebut faktor Bangunan

Kumuh.

Dari hasil analisis faktor terhadap sekumpulan data lingkungn hidup Kabupaten

Bogor, maka dapat diketahui bahwa indikator Lingkungan Hidup di Kabupaten Bogor

(varibel 1 atau komponen 1) didominasi oleh faktor Penggunaan Lahan kering, yaitu

(proporsi luas sangat kering dan kering). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah

Kabupaten Bogor sebagian besar merupakan wilayah dengan indeks kekeringan

sangat kering hingga kering) hampir mencapai 96 persen dari seluruh luas wilayah

Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan Kabupaten Bogor bukanlah wilayah yang

potensial untuk aktifitas pertanian sawah irigasi, tetapi potensial untuk perkebunan,

tegalan, hutan, semak, rumput atau jenis komoditi taman lahan kring lainnya. Oleh

karena itu peluang untuk dikonversi menjadi lahan non-pertanian (mengingat wilayah

yang dekat DKI Jakarta) menjadi cukup besar (karena larangan keras hanya berlaku

bagi wilayah yang termasuk ke dalam irigasi teknis), jika tidak dibuatkan aturan yang

lebih ketat.Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya permukiman penduduk di

wilayah Kabupaten Bogor terutama yang berdekatan dengan kota-kota seperti Kota

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

351

Bogor, Kota Tangerang Selatan, Jakarta dan Bekasi. Pentingnya membuat aturan

terhadap larangan mengkonversi lahan pertanian, hutan, perkebunan, tegalan ke

non-pertanian ini, mengingat wilayah Kabupaten Bogor merupakan daerah

penyangga (buffer zone) yang penting bagi wilayah di bagian utaranya (DKI Jakarta).

Variabel atau komponen kedua yang menunjukkan indikator interaksi lingkungan

hidup di wilayah Kabupaten Bogor adalah Faktor luas sawah total. Komponen kedua

ini menunjukkan ada kemiripan sebagian dengan komponen pertama (seperti luas

sawah non-irigasi atau tadah hujan), hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan

kering merupakan indikator penting dalam intekasi lingkungan hidup di wilayah

Kabupaten Bogor.

Adapun variabel lain adalah faktor jumlah bangunan kumuh. Ada kaitan erat yang

bersifat negatif, antara luas lahan tidak kering yang mana sebagiannya merupakan

sawah irigasi dengan jumlah bangunan kumuh. Semakin luas sawah irigasi maka

jumlah bangunan kumuh akan semakin berkurang. Artinya, petani dengan

kepemilikan lahan sawah irigasi dapat mengurangi jumlah bangunan kumuh.

Sementara itu, faktor jumlah bangunan kumuh juga dapat menjelaskan kondisi

lingkungan di wilayah Kabupaten Bogor.Karena kondisi ini dapat menggambarkan

bahwa ada sebagian di wilayah Kabupaten Bogor kondisi lingkungan permukiman

penduduknya yang masih belum sehat.Mengingat ada hampir 14.000 bangunan

kumuh yang ada di Kabupaten Bogor.Tapi kondisi ini menjadi faktor yang kurang

signifikan dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan hidup Kabupaten Bogor.Tapi

walaupun demikian rumah yang kumuh dapat menggambarkan kondisi sanitasi

lingkungan yang kurang sehat.

Beberapa indikator lingkungan hidup di atas masih perlu dikembangkan

mengingat begitu kompleksnya masalah lingkungan hidup di Wilayah Kabupaten

Bogor.Misalnya wilayah bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan yang

sejuk, yang mengundang pendatang dari kota-kota lain untuk berinvestasi disini,

akibatnya tidak sedikit bangunan-bangunan villa atau rumah yang tidak memenuhi

persyaratan Ijin Mendirikan Bangunan.Dampaknya adalah semakin mempercepat

deforestasi sehingga mempengaruhi daerah resapan penting sebagai penyimpan air.

Sementara itu di bagian utaranya adalah wilayah endapan yang sangat potensial

bagi pertanian irigasi. Tetapi mengingat wilayah ini sangat dekat dengan kota-kota

besar (KotaDepok, Kota Bogor dan Jakarta) maka yang menjadi tantangannya adalah

dikonversi menjadi permukiman, mengingat permintaan yang sangat besar bagi orang

yang bekerja di Jakarta dan sekitarnya tetapi tidak mampu berinvestasi lahan di

Jakarta (mengingat harga lahan yang sangt mhal). Hal ini dibuktikan terutama di

wilayah Kecamatan Ciomas, Kecamatan Bojonggede, Kecamatan Cibinong dan

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

352

Kecamatan Gunung Putri yang mengalami kepadatan penduduk yang tinggi di

Kabupaten Bogor. Di wilayah tersebut tumbuh subur pembangunan perumahan

menengah ke bawah, sehingga banyak diminati kelompok pekerja dengan

pendapatan menengah ke bawah.

2. Faktor Kependudukan

Kabupaten Bogor adalah salah satu Kabupaten di propinsi Jawa Barat yang pada

tahun 1990 mempunyai penduduk sebesar 3.736.897 jiwa.Pada tahun 2000 turun

menjadi 3.508.826 jiwa.Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk

Kabupaten Bogor mencapai 4.771.932 jiwa.Penurunan jumlah penduduk Kabupaten

Bogor karena pada tahun 1999 terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Bogor menjadi

Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Sebagian wilayah di Kabupaten Bogor yang

menjadi bagian dari Kota Depok, yaitu: Kecamatan Beji, Kecamatan Sukmajaya,

Kecamatan Sawangan, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Limo, dan Kecamatan

Cimanggis.

Dengan rumus baku laju pertumbuhan penduduk, maka didapatan laju

pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor periode 1990-2000, cederung mengalami

penurunan (0,63%) sedangkan laju pertumbuhan penduduk periode 2000-2010

sebesar 3,15%. Dari hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dibandingkan dengan

luas wilayah Kabupaten Bogor didapatkan kepadatan penduduk sebesar 17,91 jiwa

perhektar ini berarti, terdapat 1.791 orang untuk area dengan luas 1 km persegi.

Dengan demikian kepadatan penduduk disuatu wilayah implikasinya semakin berat

permasalahan yang harus dihadapi pemerintah daerah setempat.Besarnya populasi di

Kabupaten Bogor ini diharapkan bukan lagi sebagai beban pembangunan tetapi lebih

sebagai asset pembangunan.

Indikator Kependudukan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Jumlah

Rumahtangga Pertanian (2013), Pertumbuhan rumahtangga pertanian (RTP) Antara

tahun 2003-2013, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah,

Rumahtangga Pengguna Perusahaan Listrik Negara (PLN), Rumahtangga Non

Pengguna PLN, Jumlah Keluarga Petani, Jumlah Rumahtangga yang ada buruh tani,

Kepadatan Agraris, Proporsi Rumahtangga Petani terhadap Rumahtangga Total.

Adapun hasil perhitungan dengan menggunakan analisis faktor terhadap

kependudukan di Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan tabel KMO and Barleet’s test of sphericity, besaran nilai KMO pada

faktor ketidaktahuan sebesar 0,647 artinya lebih besar dari 0,5 maka analisis

faktor tersebut dapat digunakan dan dilanjutkan.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

353

b. Pada tabel Communalities terdapat kolom Extraction, pada kolom tersebut

diketahui nilai dari masing-masing variabel pada faktor > 0,500 yang artinya

variabel-variabel ini cukup efektif.

c. Berdasarkan tabel Total Variance Explained dapat dilihat bahwa nilai eigenvalues

yang lebih dari 1 ada 4, dengan masing-masing eigenvalue sebesar 4.473 dengan

persentase sebesar 40.667%, 1.445 dengan persentase 53.801% dan 1.356 dengan

persentase 66.125%, 1.139 dengan persentase 76.484%.

d. Dari tabel Component Matrix dapat diketahui terdapat 4 variabel yang

dikelompokkan. Pengelompokan variabel berdasarkan pada nilai komponen yang

menunjukkan lebih dari 0,500. Variabel yang memiliki nilai komponen lebih dari

0,500 maka variable tersebut berada pada pengelompokannya. Dari tabel rotasi

dapat dikelompokkan variabel 1 atau komponen 1 yang terdiri dari: Rata-rata

Lama Sekolah, Proporsi Rumahtangga Petani terhadap Rumahtangga Total,

Jumlah Rumahtangga Pertanian (2013), Jumlah Rumahtangga yang ada buruh

tani, Jumlah Keluarga Petani, Angka Melek Huruf. Dan Rumahtangga Pengguna

PLN.

Variabel 2 atau komponen 2 terdiri dari : Angka Harapan Hidup, Kepadatan

Agraris. Variabel 3 atau komponen 3 terdiri dari: Rumahtangga Non Pengguna

PLN, Pertumbuhan Rumahtangga Pertanian, Angka Harapan Hidup. Variabel 4

atau komponen 4 teridir dari: Jumlah Keluarga Petani.

e. Setelah dilakukan Rotasi, maka pengelompokannya adalah sebagai berikut:

variabel 1 atau komponen 1 yang terdiri dari: Jumlah Keluarga Petani, Proporsi

Rumahtangga Petani terhadap Rumahtangga Total, Jumlah Rumahtangga

Pertanian (2013), Jumlah Rumahtangga yang ada buruh tani.Variabel 1 atau

komponen 1 ini selanjutnya disebut faktor Kuantitas Petani dan buruh tani.

Variabel 2 atau komponen 2 terdiri dari : Rata-rata Lama Sekolah, Rumahtangga

Pengguna PLN, Angka Melek Huruf, Kepadatan Agraris. Variabel 2 atau komponen 2

ini selanjutnya disebut faktor Kesejahteraan Penduduk. Variabel 3 atau komponen 3

terdiri dari: Angka Harapan Hidup dan Pertumbuhan Rumahtangga Pertanian, KK non

Pengguna PLN selanjutnya disebut faktor pertumbuhan RTP (2003-2013)

Dari hasil analisis faktor di atas dengan melakukan rotasi, maka dapat diketahui

bahwa kondisi kependudukan wilayah Kabupaten Bogor didominasi oleh indikator

Kuantitas Petani dan buruh tani (Jumlah Keluarga Petani, Proporsi rumanhtangga

Petani terhadap rumahtangga seluruh penduduk Kabupaten Bogor (total), Jumlah

Rumahtangga Pertanian (2013), Jumlah rumahtangga yang ada buruh tani). Hal ini

menunjukkan bahwa komponen kuantitas petani dan buruh tani merupakan faktor

yang menjadi indikator interaksi kependudukan di wilayah Kabupaten Bogor.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

354

Variabel atau komponen lain yang muncul sebagai indikator interaksi

kependudukan di Wilayah Kabupaten Bogor adalah Rata-rata Lama Sekolah

penduduk, jumlah rumahtangga yang menggunakan Perusahaan Listrik Negara (PLN),

Angka Melek Huruf penduduk, Kepadatan Agraris (banyaknya rumahtangga petani

pada setiap hektar lahan pertanian). Variabel atau komponen kedua ini lebih

bervariasi dimana, aspek pendidikan penduduk (Rata-rata Lama Sekolah dan Angka

Melek Huruf) cukup dominan pada variabel atau komponen kedua ini, selain faktor

banyaknya keluarga yang menggunakan PLN dan kepadatan agraris. Ada kaitan yang

erat antara tingkat pendidikan penduduk dengan penggunaan Perusahaan Listrik

Negara (PLN), semakin tinggi pendidikan penduduk, maka semakin cenderung untuk

menggunakan fasilitas PLN. Hal yang sama dengan kepadatan agraris, artinya di

wilayah yang kepadatan agrarisnya lebih besar (penguasaan rumahtangga terhadap

luas lahan pertanian sawah), maka memiliki kecenderungan pendidikan di

keluarganya lebih baik dan cenderung menggunakan fasilitas listrik negara (PLN). Hal

ini menunjukkan kondisi keluarga petani sudah lebih maju dibidang pendidikan

sehingga lebih rasional dalam memanfaatkan listrik. Pemanfaatan listrik sebagai

kebutuhan dasar ini tentu memiliki efek multiplier (efek pengganda), artinya akan

cenderung memaksimalkan fasilitas ini seperti membeli kebutuhan tersier lainnya

(televisi, kulkas, magicom dan kebutuhan rumahtangga yang berbasis listrik lainnya).

Artinya, penggunaan listrik ini akan merangsang penduduk untuk memiliki kebutuhan

lain yang lebih banyak. Bahkan rekening tagihan listrik dapat dijadikan ukuran bahwa

sebuah rumahtangga itu lebih mapan.Sehingga variabel atau komponen yang kedua

ini lebih tepat disebut sebagai faktor kesejahteraan atau standar hidup layak.

Variabel atau komponen berikutnya yang muncul sebagai indikator interaksi

kependudukan di wilayah Kabupaten Bogor adalah Angka Harapan Hidup, KK Non

pengguna PLN dan Pertumbuhan Rumahtangga Pertanian (RTP) Antara tahun 2003 –

2013. Dimana sifat hubungannya adalah negatif, artinya semakin baik Angka Harapan

Hidup penduduk Kabupaten Bogor ternyata pertumbuhan Rumahtangga Pertaniannya

terjadi sebaliknya yaitu semakin menurun. Hal ini dapat pula diartikan bahwa jumlah

rumahtangga pertanian sekarang ini (walaupun jumlahnya menurun), tapi memiliki

kualitas yang lebih baik.

Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas

yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam

hidupnya sehari-hari. Angka melek huruf (AMH) ini dapat : (1) mengukur keberhasilan

program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah pedesaan dimana

masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD; (2)

menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

355

berbagai media; (3) menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan

tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat mencerminkan potensi perkembangan

intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah.

Secara keseluruhan, walaupun terjadi penurunan jumlah Rumahtangga

pertanian dari tahun 2003-2013, tapi kualitas rumahtangga petani mengalami

peningkatan setidaknya dari aspek Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf,

meskipun rata-rata lama sekolah yang lebih panjang. Kesejahteraan petani juga

meningkat dengan semakin banyaknya rumahtangga yang mengakses PLN. Hal ini

merupakan kemajuan yang cukup signifikan mengingat selama ini lokasi rumahtangga

petani yang tersebar diberbagai pelosok wilayah, bahkan di balik perbukitan karena

wilayah Kabupaten Bogor yang sebagian besar bertopografi kasar (berbukit).

Fenomena menarik lain dari faktor kependuduan di wilayah Kabupaten Bogor adalah

rumahtangga petani yang tetap bertahan ternyata bisa meningkatkan

kesejahteraannya. Tantangan penelitian berikutnya adalah apakah rumahtangga

pertanian yang beralih ke non-pertanian mengalami hal yang sama atau bahkan

sebaliknya, kesejahteraannya semakin menurun.

Analisis Regresi dan Pembahasan

Untuk melihat apakah ada pengaruh sebagai akibat dari interaksi Lingkungan

Hidup dan Kependudukan, maka dilakukan analisis regresi.Analisis regresi ini

dimaksudkan sebagai tindak lanjut dari analisis faktor yang sebelum sudah dilakukan.

Setelah dilakukan analisis regresi linier berganda terhadap pengelompokan variabel

lingkungan idup, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Analisis Regresi Linier Berganda Untuk Lingkungan Hidup Terhadap Indeks Pembanguan Manusia (IPM)

Analisis regresi linier berganda ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Dengan demikian yang

dicari adalah pengaruh variabel bebas (independen variable) yaitu faktor

Penggunaan Lahan Kering (X1), faktor Luas Sawah Total (X2), faktor Bangunan

Kumuh(X3) terhadap variabel terikat (dependen variable) yaitu Indeks

Pembangunan Manusia (Y).

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e

Dimana: Y = Indeks Pembangunan Manusia (Y) A = Konstanta b1,b2,b3 = Koefisien determinasi

X1 = faktor Penggunaan Lahan Kering X2 = faktor Luas Sawah Total X3 = faktor Bangunan Kumuh E = Error

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

356

Adapun hasil pengolahan hasil dengan SPSS versi 22terhadap persamaan regresinya

adalah sebagai berikut: Correlations

Indeks Pembangunan

Manusia

faktor Penggunaan Lahan Kering

faktor Luas Sawah Total

faktor Bangunan

Kumuh

Pearson Correlation Indeks Pembangunan Manusia 1.000 -.613 -.402 -.042

fator Penggunaan Lahan Kering -.613 1.000 .000 .000 faktor Luas Sawah Total -.402 .000 1.000 .000 faktor Bangunan Kumuh -.042 .000 .000 1.000

Sig. (1-tailed) Indeks Pembangunan Manusia . .000 .005 .399 fator Penggunaan Lahan Kering .000 . .500 .500 faktor Luas Sawah Total .005 .500 . .500 faktor Bangunan Kumuh .399 .500 .500 .

N Indeks Pembangunan Manusia 40 40 40 40 fator Penggunaan Lahan Kering 40 40 40 40 faktor Luas Sawah Total 40 40 40 40 faktor Bangunan Kumuh 40 40 40 40

Berdasarkan tabel diatas dapat diperoleh rumus regresi sebagai berikut:

Y = 1.000 – 0.613 X1 - 0,402 X2 - 0,042 X3 + e

Interpretasi dari regresi diatas adalah sebagai berikut:

1. Konstanta (a)

Ini berarti jika semua variabel bebas memiliki nilai nol (0) maka nilai variabel terikat

(Indeks Pembangunan Manusia) sebesar 1.0.

2. Faktor Penggunaan Lahan Kering (X1) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Y)

Nilai koefisien faktor Penggunaan Lahan Kering untuk variabel X1 sebesar -0.613.

Hal ini mengandung arti bahwa setiap kenaikan Penggunaan Lahan Kering satu

satuan maka variabel IPM (Y) akan turun sebesar -0.613 dengan asumsi bahwa

variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.

3. Faktor Luas Sawah Total (X2) terhadap IPM (Y)

Nilai koefisien Faktor Penggunaan Lahan untuk variabel X2 sebesar -0,402 dan

bertanda negatif, ini menunjukkan bahwa Faktor Penggunaan Lahan mempunyai

hubungan yang berlawanan arah dengan IPM. Hal ini mengandung arti bahwa

setiap kenaikan Faktor Penggunaan Lahan satu satuan maka variabel IPM (Y) akan

turun sebesar 0,402 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model

regresi adalah tetap.

4. Faktor Bangunan Kumuh (X3) terhadap IPM (Y)

Nilai koefisien Faktor Bangunan Kumuh terstandarisasi untuk variabel X3 sebesar -

0,042 dan bertanda negatif, ini menunjukkan bahwa Faktor Bangunan Kumuh

mempunyai hubungan yang berlawanan arah dengan IPM. Hal ini mengandung arti

bahwa setiap kenaikan Faktor Bangunan Kumuh satu satuan maka variabel IPM (Y)

akan turun sebesar 0,023 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari

model regresi adalah tetap.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

357

Untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial

berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen maka dilakukan dengan Uji

t. Derajat signifikansi yang digunakan adalah 0,05. Apabila nilai signifikan lebih kecil

dari derajat kepercayaan maka kita menerima hipotesis alternatif, yang menyatakan

bahwa suatu variabel independen secara parsial mempengaruhi variabel dependen.

Analisis uji t juga dilihat dari tabel ”Coefficient” di bawah ini:

Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

Correlations Collinearity Statistics

B Std. Error Beta

Zero-order Partial Part

Tolerance VIF

1 (Constant) 71.439 .288 248.174 .000

(faktor penggunaan lahan kering)

-1.582 .292 -.613 -5.427 .000 -.613 -.671 -.613 1.00 1.00

(faktor luas sawah total)

-1.038 .292 -.402 -3.559 .001 -.402 -.510 -.402 1.00 1.00

(faktor Bangunan Kumuh)

-.108 .292 -.042 -.371 .713 -.042 -.062 -.042 1.00 1.00

a. Dependent Variable: Indeks Pembangunan Manusia

1. Faktor penggunaan lahan kering (X1) terhadap IPM (Y)

Terlihat pada kolom Coefficients model 1 terdapat nilai sig 0,000. Nilai sig lebih

kecil dari nilai probabilitas 0,05, atau nilai 0,000<0,05, maka H1 diterima dan Ho

ditolak. Variabel X1 mempunyai thitung yakni 5.427 dengan ttabel = 2,021. Jadi

thitung>ttabel atau -thitung<-ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X1 memiliki

kontribusi terhadap Y. Nilai t negatif menunjukkan bahwa variabel X1 mempunyai

hubungan yang berlawanan arah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan Faktor

penggunaan lahan kering memiliki pengaruh signifikan (berlawanan arah)

terhadap IPM.

2. Faktor luas sawah total (X2) terhadap IPM (Y)

Terlihat pada kolom Coefficients model 1 terdapat nilai sig 0,001. Nilai sig lebih

kecil dari nilai probabilitas 0,05, atau nilai 0,001<0,05, maka H1 diterima dan Ho

ditolak. Variabel X2 mempunyai thitung yakni 3,559 dengan ttabel=2,021. Jadi

thitung>ttabel atau -thitung<-ttabeldapat disimpulkan bahwa variabel X2 memiliki

kontribusi terhadap Y. Nilai t negatif menunjukkan bahwa X2 mempunyai

hubungan yang berlawanan arah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan Faktor luas

sawah total memiliki pengaruh signifikan terhadap IPM.

3. Faktor Bangunan Kumuh (X3) terhadap IPM (Y)

Terlihat nilai sig untuk Faktor Bangunan Kumuh adalah 0,713. Nilai sig lebih besar

dari nilai probabilitas 0,05, atau nilai 0,713>0,05, maka H1 ditolak dan Ho

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

358

diterima. Variabel X3 mempunyai thitung yakni 0,371 dengan ttabel=2,021. Jadi

thitung<ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X3 tidak memiliki kontribusi

terhadap Y. Nilai t negatif menunjukkan bahwa X3 mempunyai hubungan yang

berlawanan arah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan Faktor Bangunan Kumuh tidak

berpengaruh signifikan terhadap risiko IPM.

Untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara simultan

berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen maka perlu dilakukan uji F.

Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 0,05. Apabila nilai F hasil perhitungan

lebih besar daripada nilai F menurut tabel maka hipotesis alternatif, yang menyatakan

bahwa semua variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

variabel dependen. Untuk analisisnya dari output SPSS dapat dilihat dari tabel

”Anova”, ANOVA

a

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 140.072 3 46.691 14.087 .000b

Residual 119.323 36 3.315

Total 259.395 39

a. Dependent Variable: Indeks Pembangunan Manusia

b. Predictors: (Constant), faktor Bangunan Kumuh , faktor Luas Sawah Total, fator Penggunaan

Lahan Kering

Pengujian secara simultan X1, X2, dan X3 terhadap Y:

Dari tabel diperoleh nilai Fhitung sebesar 14.087 dengan nilai probabilitas

(sig)=0,000. Nilai Fhitung(14.087)>Ftabel (2,61), dan nilai sig. lebih kecil dari nilai

probabilitas 0,05 atau nilai 0,000<0,05; maka H1 diterima, berarti secara bersama-

sama (simultan) X1 faktor Penggunaan Lahan Kering,faktor Luas Sawah Total, faktor

Bangunan Kumuh berpengaruh signifikan terhadap IPM.

Untuk mengetahui seberapa besar hubungan dari beberapa variabel dalam

pengertian yang lebih jelas maka digunakan koefisien Determinasi. Koefisien

determinasi akan menjelaskan seberapa besar perubahan atau variasi suatu variabel

bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi pada variabel yang lain. Dalam bahasa

sehari-hari adalah kemampuan variabel bebas untuk berkontribusi terhadap variabel

terikatnya dalam satuan persentase.

Nilai koefisien ini antara 0 dan 1, jika hasil lebih mendekati angka 0 berarti

kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel amat

terbatas.Tapi jika hasil mendekati angka 1 berarti variabel-variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi

variabel dependen. Untuk analisisnya dengan menggunakan output SPSS versi 22.0

dapat dilihat pada tabel ”Model Summary”.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

359

Berdasarkan Tabel ”Model Summary” dapat disimpulkan bahwa faktor

Penggunaan Lahan Kering,faktor Luas Sawah Total, faktor Bangunan Kumuh

berpengaruh sebesar 54% terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan

46% dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti. Karena nilai R Square di atas 50%

atau cenderung mendekati nilai 1 maka dapat disimpulkan kemampuan variabel-

variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel cukup kuat.

Model Summary

b

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

Change Statistics

R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F

Change

1 .735a .540 .502 1.82059 .540 14.087 3 36 .000

a. Predictors: (Constant), faktor Bangunan Kumuh , faktor Luas Sawah Total, fator Penggunaan Lahan Kering

b. Dependent Variable: Indeks Pembangunan Manusia

2. Analisis Regresi Linier Berganda Faktor Kependudukan Terhadap Indeks Pembanguan Manusia (IPM)

Dengan demikian yang dicari adalah pengaruh variabel bebas (independen

variable) yaitu faktor Kuantitas Petani dan buruh tani (X1), faktor Kesejahteraan

Penduduk (X2), faktor KK Non-PLN(X3) terhadap variabel terikat (dependen variable)

yaitu Indeks Pembangunan Manusia (Y).

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e

Dimana: Y = Indeks Pembangunan Manusia (Y) a = Konstanta b1,b2,b3 = Koefisien determinasi X1 = faktor Kuantitas Petani dan buruh tani X2 = faktor Kesejahteraan Penduduk X3 = faktor KK Non-PLN E = Error

Adapun hasil pengolahan hasil dengan SPSS versi 22.0 terhadap persamaan

regresinya adalah sebagai berikut: Berdasarkan tabel diatas dapat diperoleh rumus

regresi sebagai berikut:

Y = 1.000 – 0.497 X1 + 0,766 X2 - 0,012 X3 + e

Interpretasi dari regresi diatas adalah sebagai berikut:

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

360

1. Konstanta (a) : Ini berarti jika semua variabel bebas memiliki nilai nol (0) maka nilai

variabel terikat (Indeks Pembangunan Manusia) sebesar 1.000. Correlations

Indeks Pembangunan

Manusia

faktor Kuantitas Petani dan buruh

tani

faktorKesejah teraan

Penduduk faktorpertumbuhan RTP

Pearson Correlation

Indeks Pembangunan Manusia 1.000 -.497 .766 -.012 faktor Kuantitas Petani dan buruh tani

-.497 1.000 .000 .000

faktor Kesejahteraan Penduduk .766 .000 1.000 .000 faktor KK Non-PLN -.012 .000 .000 1.000

Sig. (1-tailed) Indeks Pembangunan Manusia . .001 .000 .471 faktor Kuantitas Petani dan buruh tani

.001 . .500 .500

faktor Kesejahteraan Penduduk .000 .500 . .500 faktor KK Non-PLN .471 .500 .500 .

N Indeks Pembangunan Manusia 40 40 40 40

faktor Kuantitas Petani dan buruh tani

40 40 40 40

faktor Kesejahteraan Penduduk 40 40 40 40 faktor KK Non-PLN 40 40 40 40

2. Faktor Kuantitas Petani dan buruh tani (X1) terhadap IPM (Y).

Nilai koefisien Faktor Kuantitas Petani dan buruh tani X1 sebesar -0.497. Hal ini

mengandung arti bahwa setiap kenaikan Penggunaan Lahan Kering satu satuan

maka variabel IPM (Y) akan turun sebesar 0.497 dengan asumsi bahwa variabel

bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.

3. Faktor Kesejahteraan Penduduk (X2) terhadap IPM (Y)

Nilai koefisien Faktor Penggunaan Lahan untuk variabel X2 sebesar 0,766, ini

menunjukkan bahwa Faktor Kesejahteraan Penduduk mempunyai hubungan yang

positif dengan IPM. Hal ini mengandung arti bahwa setiap kenaikan Faktor

Kesejahteraan Penduduk satu satuan maka variabel IPM (Y) akan naik sebesar

0,766 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi adalah

tetap.

4. Faktor KK Non-PLN (X3) terhadap IPM (Y)

Nilai koefisien Faktor KK Non-PLN terstandarisasi untuk variabel X3 sebesar -0,012

dan bertanda negatif, ini menunjukkan bahwa Faktor KK Non-PLN mempunyai

hubungan yang berlawanan arah dengan IPM. Hal ini mengandung arti bahwa

setiap kenaikan Faktor KK Non-PLN satu satuan maka variabel IPM (Y) akan turun

sebesar 0,012 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi

adalah tetap. Untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara

simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen maka perlu dilakukan

uji F. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 0,05. Apabila nilai F hasil

perhitungan lebih besar daripada nilai F menurut tabel maka hipotesis alternatif,

yang menyatakan bahwa semua variabel independen secara simultan berpengaruh

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

361

signifikan terhadap variabel dependen. Untuk analisisnya dari output SPSS versi 22

dapat dilihat dari tabel ”Anova” Pengujian secara simultan X1, X2, dan X3 terhadap

Y:

Dari tabel diperoleh nilai Fhitung sebesar 44.189 dengan nilai probabilitas

(sig)=0,000. Nilai Fhitung(44.189)>Ftabel (2,61), dan nilai sig. lebih kecil dari nilai

probabilitas 0,05 atau nilai 0,000<0,05; maka H1 diterima, berarti secara bersama-

sama (simultan)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 216.522 4 54.130 44.189 .000b

Residual 42.874 35 1.225

Total 259.395 39

a. Dependent Variable: Indeks Pembangunan Manusia

b. Predictors: (Constant), faktor KK Non-PLN, faktor Kesejahteraan Penduduk, , faktor Kuantitas Petani

dan buruh tani.

faktor Kuantitas Petani dan buruh tani (X1), faktor Kesejahteraan Penduduk

(X2), faktor KK Non-PLN (X3) berpengaruh signifikan terhadap IPM (X3).

Untuk mengetahui seberapa besar hubungan dari beberapa variabel dalam

pengertian yang lebih jelas maka digunakan koefisien Determinasi. Koefisien

determinasi akan menjelaskan seberapa besar perubahan atau variasi suatu variabel

bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi pada variabel yang lain.

Dalam bahasa sehari-hari adalah kemampuan variabel bebas untuk berkontribusi

terhadap variabel terikatnya dalam satuan persentase.

Nilai koefisien ini antara 0 dan 1, jika hasil lebih mendekati angka 0 berarti

kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel amat

terbatas.Tapi jika hasil mendekati angka 1 berarti variabel-variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi

variabel dependen. Untuk analisisnya dengan menggunakan output SPSS dapat dilihat

pada tabel ”Model Summary”.

Model Summary

b

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

Change Statistics

R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F

Change

1 .914a .835 .816 1.10678 .835 44.189 4 35 .000

a. Predictors: (Constant), faktor KK Non-PLN, faktor Kesejahteraan Penduduk

, faktor Kuantitas Petani dan buruh tani.

b. Dependent Variable: Indeks Pembangunan Manusia

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

362

Berdasarkan Tabel ”Model Summary” dapat disimpulkan bahwa faktor

Kuantitas Petani dan buruh tani,faktor Kesejahteraan Penduduk, faktor KK Non-

PLNberpengaruh sebesar 83,5% terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM),

sedangkan 16,5% dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti. Karena nilai R Square

mendekati nilai 1 maka dapat disimpulkan kemampuan variabel-variabel independen

dalam menjelaskan variasi variabel dependen adalah kuat.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Kondisi Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor terus mengalami penurunan

dengan indikator terjadinya secara terus menerus perubahan fungsi lahan dari

pertanian ke non-pertanian. Perubahan menjadi non-pertanian khususnya

permukiman dan lahan terbangun lainya, terjadi di sekitar perbatasan

Kabupaten Bogor dengan Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan

dan DKI Jakarta.

2. Kondisi Lingkungan Hidup sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor

merupakan wilayah dengan indeks kekeringan sangat kering hingga kering)

dengan luasan hampir mencapai 95 persen dari seluruh luas wilayah

Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan Kabupaten Bogor bukanlah wilayah

yang potensial untuk kegiatan pertanian sawah irigasi, tetapi lebih potensial

untuk perkebunan, tegalan, hutan, semak, rumput atau jenis komoditi taman

lahan kering lainnya.

3. Kondisi kependudukan di wilayah Kabupaten Bogor ditentukan sebagian besar

oleh sumberdaya petani, kualitas penduduk (pendidikan) dan akses

rumahtangga dalam menggunakan PLN serta kepadatan agraris.

4. Faktor lingkungan Hidup (faktor Penggunaan Lahan Kering,faktor Luas Sawah

Total, faktor Bangunan Kumuh) berpengaruh cukup kuat (sebesar 54%)

terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sisanya ditentukan oleh faktor

yang yang tidak diteliti disini.

5. Faktor kependudukan (faktor Kuantitas Petani dan buruh tani,faktor

Kesejahteraan Penduduk, faktor KK Non-PLN) berpengaruh sebesar 83,5%

terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sisanya ditentukan oleh faktor

yang yang tidak diteliti disini.

6. Di Bagian Barat wilayah Kabupaten Bogor, telah terjadi penurunan aktivitas

pertanian dengan indikator semakin berkurangnya rumahtangga pertanian.

Hal ini menujukkan semakin berkurangnya lahan (pertanian) yang sebelumnya

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

363

dikelola rumahtangga pertanian menjadi non pertanian atau setidaknya lahan

yang sementara tidak diusahakan.

7. Terdapat 12 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang mempunyai angka IPM di

atas capaian IPM Kabupaten Bogor (72,72) yaitu: Kecamatan Gunung Putri,

Kecamatan Cibinong, Kecamatan Kemang, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan

Tajur Halang, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Citeureup, Kecamatan

Dramaga, Kecamatan Ciomas, Kecamatan Gunung Sindur, Kecamatan

Bojonggede dan Kecamatan Ciampea. Sedangkan lima Kecamatan peringkat

bawah adalah Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Sukajaya, Kecamatan Cariu,

Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan Nanggung.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Bogor. 2012. Kabupaten dalam Angka. Kabupaten Bogor.

BPS Kabupaten Bogor. 2010. Kabupaten dalam Angka. Kabupaten Bogor.

BPS. 2010. Kecamatan dalam Angka. Kabupaten Bogor.

Hufschmidt, Maynard M dkk. 1996. Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan (Pedoman Penilaian Ekonomi). Gadjah Mada University Press Yogyakarta.

Indonesia. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi dan Konservasi lahan. Jakarta.

IPM Kecamatan Kabupaten Bogor 2012, Kerjasama Bappeda Kabupaten Bogor dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor

Iskandar, Rudi. 2010. Perilaku Rumahtangga dalam Pengelolaan Limbah Domestik. Kasus Desa-desa Wilayah Jakarta, Depok dan Bogor Sepanjang Aliran Sungai Ciliwung. Disertasi S-3 Program Studi: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB.

Kunkle, S.H dan Thames, J.L.. 1976. Hydrological techniques for upstrearn conservation. New York: Forest Resources Division, Forestry Department.

MacDonald, Peter F dan Alip Sontosudarmo. 1974. Response to population pressure; the case study of special region of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moos, Rudolf, H.,1976, The Human Context: Environmental Determinants of Behavior, Toronto, A VViley Interscience Publication.

Muta’ali, Lutfi. 2013. Pengembangan Wilayah Perdesaan (perspektif Keruangan). Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.

Muta’ali, Lutfi. 2012. Daya Dukung Lingkungan untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.

Odum, Eugene P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Prosiding Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) Ikatan Geograf Indonesia-2014

364

Redclift, Michael. 1987. Sustainable Development: Exploring The Contradiction. New York: Routledge, NY 10001.

Sajogyo. 1991. Indeks Mutu Hidup. Bogor: Pertemuan Kerja PPL Perkembangan Penduduk Indonesia PJPT I.

Sharma, P.D., 1981, Element of Ecology, foreword by R. Misra. 4 rd. ed. India: Rastologi Publication.

Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi sumberdaya lahan. Bandung: Tarsito.

Soemarwoto, Otto. 1987. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.

Suratmo, F Gunarwan. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

United Nations Funds and Population Activities (UNFPA). 1991. "Population and the Enviroument: Issues, Prospects and Policies", Kumpulan Makalah pada Diskusi Population And Environment, New York, 4-5 Maret.

Universitas Gadjah Mada. Pusat Penelitian Kependudukan. 1989. Faktor-Faktor Keserasian Kualitas Kependudukan dan Lingkungan di Bengkulu, Kalimantan Selatan dan Bali. Yogyakarta. 1989.

WCED. 1987. Our Common Future. Oxford Univ. Press. New York

Wikipedia, 2012. Indeks Pembangunan Manusia. (www.wikipedia.com)