Kedasaran Penduduk Dalam Perekaman Data Kependudukan di Kalimantan Barat

106
STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT Oleh Dr. Erdi, M,Si` BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL KANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT PONTIANAK - 2013

Transcript of Kedasaran Penduduk Dalam Perekaman Data Kependudukan di Kalimantan Barat

STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

DI KALIMANTAN BARAT

Oleh Dr. Erdi, M,Si`

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL KANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PONTIANAK - 2013

ii  

DAFTAR ISI

Halaman Depan ................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................... ii Kata Pengantar ..................................................................................... iii BAB I ~ PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................... 1 1.2. Rumuan Masalah ......................................................................... 10 1.3. Tujuan Kajian ............................................................................. 11 1.4. Kegunaan Hasil Kajian ................................................................. 11 1.5. Metode Pengkajian ..................................................................... 12

1.5.1. Desain Penelitian ............................................................... 12 1.5.2. Lokasi dan SUbjek Penelitian ........................................... 13 1.5.3. Metode Pengabilan Data ................................................ 14 1.5.4. Metode Analisis Data ......................................................... 15

BAB II ~ TINJAUAN PUSTAKA: KURANGNYA (?) KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI KONSEKWENSI BURUKNYA LAYANAN PUBLIK OLEH BIROKRASI PEMERINTAH . ............................ 17 2.1. Buruknya Kualitas Layanan Publik di Indonesia ....................... 17 2.2. Manfaat Data Kependukan bagi Kualitas ............................... Layanan Publik ............................................................................. 21 2.3. Menghubungkan KTP dengan Berbagai Jenis ........................ Layanan Publik ............................................................................. 23 2.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Indonesia .................................................................................. 30 2.5. peran Birokrasi Pemerintah Dalam Meningkatkan Kualitas .... Pelayanan Kependudukan dan pencatatan Sipil Untuk ...... Memacu Meningkatkan Kesadaran Masyarakat ................... 32 2.6. Adanya Keharusan Mewujudkan Kualitas Pelayanan ........... 34 2.7. Alur Pikir Penelitian ........................................................................ 39

iii  

BAB III ~ ANALISIS KUALITAS PENYELESAIAN PERMASALAHAN ....... SEPUTAR RENDAHNYA KESADARAN MASYARAKAT DALAM .............. PEREKAMAN DATA KEPENDUDUKAN DI ............................................. KALIMANTAN BARAT ........................................................................... 40 3.1. Persepsi Masyarakat Kalimantan Barat sebagai pengguna Layanan pada Unit Perekaman Data Kependudukan .......... 41 3.2. Penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan .... Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi ................. Kependudukan ............................................................................. 49 3.3. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran ................... Masyarakat Dalam perekaman Data ...................................... Kependudukan ............................................................................. 57 3.3.1. Domisili yang tidak di tempat Alamat ............................ 59 3.3.2. Faktor Usia ........................................................................... 61 3.3.3. Akses: Bentangan Wilayah .............................................. 63 3.3.4. Usaha yang Berpindah (mobile) ...................................... 65 3.3.5. Merasa KTP Lama Masih Berlaku ..................................... 66 3.3.6. Warga Pendatang yang Malas Lapor .......................... 67 3.4. Aspek Dukungan Publik dan Birokrat Pelaksana Dalam ........ Menyukseskan Perekaman Data Kependudukan .................. 69 3.5. Strategi Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Dalam ........ Perekaman Data Kependudukan ............................................ 70 3.6. Hal-hal yang perlu Diantisipasi Dalam Pembenahan ............ Pelayanan Administrasi Kependudukan dan .......................... pencatatan Sipil ............................................................................ 73 BAB VI ~ PENUTUP ................................................................................ 76 4.1. Kesimpulan .................................................................................. 76 4.2. Saran .......................................................................................... 77 4.3. lesson Learned ............................................................................ 78 Daftar Pustaka ..................................................................................... 79

iv  

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat ALLAH SWT atas

seluruh rahmat dan karunia-NYa sehingga Kajian yang berjudul ” STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT” dapat penulis selesaikan sebagaimana ketentuan yang termaktub dalam Kontrak Perjanjian Kerjasama.

Kandungan dalam buku kecil ini dibagi ke dalam dua topik, yakni: (1) Pertama, Kondisi kesadaran masyarakat dalam tertib administrasi kependudukan, dilihat secara teoritik (Bab II). Beranjak dari kondisi teoritik ini, Pada Bab III dibahas kondisi konkrit kesadaran masyarakat (perspektif emic) yang kemudian dirangkai dengan penjelasan mengikjuti perspektif etic penulis sehingga menjadi kajian yang utuh. (2) Kedua menemukan strategi untuk intervensi kesadaran yang telah teridentifikasi itu agar dapat meningkatkan keberhasilan dalam perekaman dan pelaporan data kependudukan dalam rangka implementasi UU No. 23 tahun 2006 dan sekaligus mewujudkan IKM sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Dalam penelitian ini penulis menyadari masih terdapat berbagai bentuk kekurangan dan kelemahan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu maupun kekeliruan dari kemampuan melihat dan memaparkan materi serta kurang ketelitian dan penguasaan teknik penulisan serta keterbatasan waktu sehingga ditemukan berbagai bentuk kesalahan, ketidak-sinkronan dan kedalaman pembahasan, meskipun seluruh kemampuan dan fikiran telah pun penulis kerahkan untuk melahirkan karya ini.

Atas kekurangan dan kesalahan itu, penulis membuka diri untuk menerima masukan konstruktif agar buku kecil ini dapat menjadi karya yang bagus dan berguna, tidak saja secara akademik tetapi juga berguna untuk dunia praktik. Atas masukan dan koreksi konstruktif dari semua pihak, tak lupa penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih.

Pontianak, 2 Oktober 2013 Penulis, Dr. Erdi, M.Si.

1  

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Selama ini, simpul permasalahan administrasi kependudukan

tidak saja dialamatkan kepada masyarakat, tetapi juga kepada

pemerintah. Dari sisi masyarakat dikatakan bahwa kesadaran yang

masih sangat rendah dalam mensukseskan tertib administrasi

kependudukan disebabkan data kependudukan dimaksud tidak

berimplikasi pada kepentingan masyarakat segingga masyarakat

menilai data kependudukan itu hanya dibutuhkan oleh pemerintah

saat akan pemilu (Putra, 2006); sementara kebutuhan dan manfaat

data kependudukan bagi pemerintah, yakni bagi perencanaan

pembangunan dan pelayanan publik, belum terpahamai secara

mendalam oleh masyarakat.

Untuk menjawab kesadaran akan rendahnya kepedulian

masyarakat terhadap tertib administrasi kependudukan, terbersit

perlunya strategi dari pemerintah untuk memberikan rangsangan

atau bahkan sedikit paksaan agar masyarakat mau mengurus data

kependudukan dengan disertai ”ancaman” yang dapat membuat

masyarakat menjadi sadar akan pentingnya data kependudukan

dimaksud. Bentuk-bentuk ancaman tersebut antara lain adalah

memberlakukan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk

(KTP) sebagai akses pada semua layanan publik yang

diselenggarakan oleh pemerintah. Namun, hingga kini, kondisi ini

masih belum dapat diwujudkan.

Sementara di sisi pemerintah, akuntabilitas pelayanan

administrasi kependudukan kepada masyarakat masih dianggap

terlalu rendah yang ditunjukkan dengan masih banyaknya keluhan

masyarakat, terutama menyangkut lama proses dan biaya yang

dibebankan yang melebihi biaya yang telah distandarkan.

1

2  

Masyarakat kemudian mengklaim bahwa untuk administrasi

kependudukan dikenal dengan jalur lambat, jalur biasa dan jalur

cepat atau jalur kilat (BPK, 2006). Pemilihan jalur kemudian

berkorelasi dengan besaran pembiayaan. Semakin cepat pelayanan,

akan semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan oleh

masyarakat. Terkait dengan itu, pilihan sebagian masyarakat

akhirnya tidak memperdulikan administrasi kependudukan

dimaksud. Apa yang disampaikan di atas adalah paradigm lama

dalam pengurusan administrasi kependudukan, meskipun

fenomena itu, masih saja terjumpai, yang dilakukan oleh penduduk

yang berkebutuhan khusus, yakni terdesak oleh urusan yang

mengharuskan adanya KTP.

Sebagai jawaban sementara atas keluhan dari masyarakat

tersebut, sekarang dikeluarkan kebijakan yang dibuat secara

khusus untuk menghilangkan sisi lemah dari masing-masing pihak,

yakni kebijakan KTP elektronik yang pada tahap awal hingga kini

masih tidak dibebankan pembiayaan kepada penduduk. Dengan

kebijakan ini, pengelolaan adminitrasi kependudukan diharapkan

dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan

daerah, terutama dalam perencanaan pembangunan.

Salah satu contoh daerah yang telah melakukan kebijakan

kependudukan ini adalah Kabupaten Jembrana (Febrianda,

2009:288). Dalam rangka peningkatan mutu Pelayanan dan

Penyelengggaraan tertib administrasi Kependudukan dan

Pencatatan Sipil di kalangan masyarakat, Bupati Jembrana waktu

itu, melalui Dinas Kependudukan Catatan Sipil, mengeluarkan dan

mengimplementasikan kebijakan yang memberikan kemudahan

kepada penduduk untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

dalam mengurus dokumen kependudukan. Bentuk dan isi dari

kebijakan tersebut antara lain adalah:

3  

1. Membebaskan biaya pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu

Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran (AK), Akta Perkawinan

(AP) dan Akta Kematian (AM) sepanjang masa.

2. Memberikan ansuransi kepada pemegang KTP Kabupaten

Jembrana, yakni dengan mengintegrasikan KTP dengan

Jaminan Keselamatan Jiwa (JKJ) yang dapat digunakan untuk

pengobatan serta berbagai program inovasi lainnya.

3. Menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk

membenahi pelayanan administrasi kependudukan kepada

masyarakat Jembrana.

Dengan kebijakan ini, hanya dalam tiga tahun, kesadaran

masyarakat Kabupaten Jembrana meningkat signifikan dalam

mengurus administrasi kependudukan sehingga pada tahun 2010,

kabupaten ini dinyatakan tertib dalam administrasi kependudukan.

Kebijakan ini dimulai pada tahun 2007, dan Pemerintah

Daerah Kabupaten Jembrana telah melaksanakan KTP berbasis NIK

atau KTP SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan)

sebagimana diamanatkan dan dimaksud Undang-Undang No. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Namun, tidak

semua kabupaten dan kota di Indonesia telah menerapkan sistem

administrasi kependudukan secara baik sebagaimana di Kabupaten

Jembrana ini. Meskipun dasar hokum dari implementasi penerapan

administrasi kependudukan telah mewajibkan pemerintah,

terutama pemerintah kabupaten dan kota untuk melaksanakan

KTP berbasis NIK.

Penerbitan KTP atau dokumen pribadi sebagai bentuk dan

bukti kewarganegaraan, berdasarkan konvensi dunia, diakui

sebagai bagian dari hak azasi manusia dengan menjamin hak

penduduk untuk memiliki berbagai dokumen kependudukan.

Dokumen tersebut kemudian dikaitkan denngan berbagai bentuk

pelayanan yang semestinya diperoleh masyarakat, seperti hak

4  

kewarganegaraan, hak membentuk keluarga, hak melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah, hak mendapatkan

jaminan kebebasan memeluk agama dan memilih tempat tinggal di

dalam wilayah Negara (Febrianda, 2009). Namun, tidak semua

pemerintah, terutama pemerintah di Negara Berkembang, belum

dapat mewujudkan itu sehingga ia menjadi bagian dari gerakan

moral masyarakat dunia untuk sedikit memaksa pemerintah dalam

melakukan pengadministrasian penduduk.

Dari sisi masyarakat, pendataan kependudukan yang

dilakukan oleh pemerintah belum dianggap sebagai bagian dari hak

mereka sehingga pengurusan data kependudukan oleh masyarakat

dianggap sebagai proyek pemerintah dalam rangka mencapai

tujuan tertentu, terutama dikaitkan dengan aspek politik, yang

biasanya dilakukan menjelang pesta demokrasi. Oleh karena itu,

masyarakat melihat pengadministrasian penduduk ke dalam

pembuatan KK dan KTP dianggap sebagai proyek pemerintah.

Kepentingan politik pemerintah tersebut kemudian dimaknai

sebagai proyek politik, dimana pemerintah berupaya sekuat tenaga

melakukan pengadministrasian penduduk melalui penertiban KK

dan KTP. Tujuan dari kebijakan ini hanya untuk mengetahui

jumlah pemilih pada satu daerah, sehingga setelah data pemilih

terdata, data tersebut kemudian ditinggalkan tanpa up date

sebagaimana mestinya.

Padahal, upaya sebagaimana dilakukan pemerintah, telah

dilakukan sepanjang masa karena fungsinya yang terintegrasi

dengan sistem perencanaan dan pembangunan nasional. Apapun

usaha yang dilakukan oleh pemerintah, bilamana tanpa partisipasi

aktif masyarakat, maka up date data kependudukan yang

semestinya secara terus-menerus itu tidak berjalan semestinya.

Oleh karena itu, belum ada simbiosis antara validasi data

kependudukan dengan kebutuhan pemerintah masih belum

5  

sinkron sehingga up date data kependudukan terabaikan secara

berkelanjutan.

Up date data kependudukan yang perlu diperbaharui secara

terus menerus antara lain menyangkut perubahan alamat (pindah

menetap), tinggal dalam waktu terbatas dan perubahan status

sosial yang disebabkan oleh kelahiran, kematian, perkawinan,

perceraian; termasuk pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan

anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti nama dan

peristiwa penting lainnya yang dialami oleh seseorang. Sebenarnya,

setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami

oleh setiap penduduk perlu dilaporkan agar validitas data

kependudukan terjaga sepanjang masa. Namun, tidak semua

informasi kependudukan di atas dianggap sesuatu yang panting

bagi masyarakat.

Isu kependudukan saat ini telah menjadi isu aktual seiring

dengan meningkatnya mobilitas dan dinamika kependudukan.

Masalah data kependudukan yang dihadapi Indonesia telah

mendorong keluarnya kebijakan kependudukan melalui penerapan

e-KTP. Dengan diterapkannya sistem ini, database kependudukan

diharapkan dapat dibaca oleh semua pemangku kepentingan dan

tidak terbatas hanya di tempat dimana penduduk bermukim.

Dengan penerapan e-KTP secara nasional dan pembebasan

masyarakat dari pembuatannya diharapkan menjadikan system

kependudukan menjadi lebih sempurna yang dibuktikan dengan

setiap orang memiliki dokumen kependudukn melalui kepemilikan

Kartu Tanda penduduk (KTP) elektronik, Kartu Keluarga (KK)

elektronik, dan Akta-akta yang terkait dengan Pencatatan Sipil

seperti: Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta

Kematian, Akta Pengakuan anak dan Akta Pengasuhan Anak.

Bentuknya tidak harus print out, tetapi dapat melalui softfile yang

dapat dibaca oleh instansi pemerintah yang secara khusus

6  

menangani masalah itu, namun output dari pendataan itu dapat

terbaca oleh seluruh stakeholder, baik pusat maupun di daerah.

Pengelolaan identitas kependudukan secara integrasi ini

mengisyaratkan penggunaan SIAK (sistem informasi administrasi

kependudukan). Persoalan yang dihadapi pemerintah saat ini

adalah lemahnya petugas yang diberi tugas pengurus data

kependudukan. Meskipun telah ada SIAK dan NIK, petugas dan

bahkan semua institusi masih membutuhkan fotocopy KK dan KTP

yang terkadang disertai syarat pengesahan oleh RT, RW atau Lurah

atau Kepala Desa, Camat dan Kepala Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil. Pengurusan yang harus dari bawah, ternyata juga

membawa masyarakat pada sikap bosan atau jemu dan akhirnya

memilih untuk tidak mengurus administrasi kependudukan

sebagaimana mestinya.

Konsep penggunaan NIK mengacu pada penggunaan single

identy number (SIN) yang di Amerika Serikat disebut dengan social

security number (SSN). NIK dapat sangat bermanfaat jika sistem

informasi kependudukannya dilaksanakan secara on line. Sebagai

ilustrasi, jika seorang pindah ke suatu tempat, maka ia cukup

menyebutkan NIK, secepat itu data dirinya dapat terbaca melalui

sistem.

Tantangan terberat dalam pengelolaan kependudukan yang

sering ditemui antara lain adalah masih lemahnya sumber daya

manusia pengelola kependudukan, terutama di tataran bawah yang

merupakan ujung tombak pengelola kependudukan. Kesadaran

masyarakat untuk melaporkan peristiwa penting kependudukan

seperti lahir, mati, pindah, datang juga masih sangat rendah,

sehingga keduanya saling berpengaruh dan berimplikasi pada tidak

validnya database kependudukan.

Sebagian pengelola data kependudukan masih belum mampu

memanfaatkan keberadaan teknologi informasi, sehingga

7  

pengolahan data masih bersifat manual. Kehadiran e-KTP belum

terintegrasi ke dalam sistem on line sehingga semua institusi yang

berkepentingan dengan data kependudukan harus melengkapi

institusinya dengan pembaca e-KTP. Padahal, bilamana data hasil

entri e-KTP terintegrasi ke dalam sistem komputer, maka alat

pembaca KTP sudah tidak diperlukan lagi. Tampaknya, pendekatan

proyek dalam pengurusan data kependudukan masih sangat kental

adanya dan seakan data kependudukan hanya menjadi domain

Dinas Catatan Sipil saja.

Padahal, SIAK dengan on line dan diperkenalkannya NIK

secara nasional akan sangat membantu dalam mendata terjadinya

setiap peristiwa kependudukan seperti lahir, mati, pindah dan

datang. Dengan diberlakukan identitas tunggal secara nasional

semestinya dapat memudahkan pemerintah dalam

mengadministrasikan data kependudukan.

Dari kacamata kebijakan publik, pelayanan administrasi

kependudukan oleh masyarakat masih dianggap rendah

akuntabilitas, responsivitas, dan efisiensinya. Hal ini bisa dilihat

dari banyaknya keluhan masyarakat menyangkut lama proses dan

biaya yang dibebankan yang melebihi dari yang distandarkan.

Inovasi pelayanan juga perlu dilakukan untuk mendapatkan

hasil terbaik, seperti untuk perpanjangan KTP, bagi KTP yang habis

masa berlakunya hanya perlu datang ke TPDK (tempat perekaman

data kependudukan) membawa KTP lama, rekam sidik jari dan

langsung difoto, sehingga bisa mengurangi rentang panjang

birokrasi. Namun, sekali lagi, perekaman baru dapat dilakukan

bilamana diurus dari bawah sehingga database kependudukan yang

sudah ada menjadi tidak bermanfaat. Dengan demikian, masalah

data kependudukan sebagaimana diuraikan di atas, merupakan

cermin dari kegagalan membangun sistem administrasi

kependudukan yang baik oleh pemerintah.

8  

Ada dua pintu yang senantiasa dilalui oleh pihak

penyelenggara dan masyarakat untuk menjadikan data penduduk

itu menjadi valid dan aktual (Mullins, 2002), yakni validasi online

dan konvensional (ofline). Pertama penyelenggaraan administrasi

melalui proses pelayanan berdasarkan sistem validasi data

penduduk yang handal melalui teknologi yang terhubung dengan

internet atau extranet. Oleh pemerintah, upaya ke arah ini telah

dilakukan dengan menyediakan fasilitas sistem komputerisasi

dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan yang dikenal

dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

Sistem ini memerlukan integritas dan kesadaran masyarakat untuk

memberikan informasi tentang dinamika yang dilakukan agar

perekaman atas perubahan atau pergerakan mobilitas data

penduduk melalui sistem dapat menjadi aktual.

Tampaknya, SIAK sebagaimana dimaksud di atas tidak

dilakukan secara sistemik tetapi dilakukan secara konvensional

melalui door to door yang dilakukan oleh pihak penyelenggara

dengan pelibatan perangkat kelurahan atau petugas RW dan RT.

Sekali lagi, model pendataan ini lebih berkarakter proyek. Secara

berantai dari atas ke bawah, semua pejabat publik yang

berhubungan dengan pendataan penduduk meminta Pak RT aktif,

tidak saja menghimbau warga untuk secara aktif memvalidasi data

penduduk itu berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi yang

dialami warga seperti perubahan status (dari belum kawin menjadi

kawin, atau sebaliknya dari kawin menjadi cerai dan seterusnya)

tetapi juga secara langsung Pak RT yang berkeliling kampung

mendatangi dan mencacah warganya secara seksama, -- yang

ternyata validitas itu telah dipesan sebelumnya. Kondisi ini pula

yang menjadikan masyarakat enggan untuk melaporkan semua

kejadian yang mereka alami, karena warga tidak perlu aktif dalam

melaporkan setiap kejadian kependudukan, karena pada saatnya

9  

nanti, Pak RT berikut ”serdadunya” akan mengunjungi warga untuk

pendataan dimaksud.

Pola kerja seperti ini kemduan tersimpulkan bahwa

masyarakat tidak faham akan arti penting informasi

kependudukan. Selanjutnya, hasil pendataan harus ”dilaporkan”

Pak RT kepada petugas yang berada di atasnya dan petugas yang

berada di atasnya Pak RT juga melaporkan kepada pejabat yang

berada lebih tinggi dan secara berjenjang hingga ke petugas

Dukcapil di Dinas Kabupaten dan Kota.

Kalaulah sistem pendataan ini telah dilakukan secara online,

semestinya hasil kerja Pak RT itu dapat diinput ke dalam pusat

data dan Pak RT diberikan password yang hanya valid untuk

perubahan di RT-nya. Bilamana SIAK dapat di up date secara

online, updating data cukup dilakukan Pak RT dari rumahnya atau

ke warung internet yang ada di lingkungan RT-nya.

Dari model konvensional tersebut, validasi data

kependudukan selalu dilakukan melalui tiga proses kegiatan yaitu:

pertama, proses pendaftaran penduduk yang meliputi penerbitan

identitas domisili penduduk, tertib pelaporan perpindahan dan

tertib pelaporan kedatangan penduduk di daerah kedatangan.

Kedua, proses kegiatan administrasi pencatatan sipil meliputi tertib

pemilikan akta-akta catatan sipil yang meliputi tertib pelaporan

kelahiran, pelaporan perkawinan, pelaporan perceraian dan

pelaporan kematian, sedangkan proses kegiatan yang ketiga adalah

pengelolaan data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.

Sejalan dengan arah penyelenggaraan administrasi

kependudukan, maka pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil

sebagai sub-sub sistem pilar dari administrasi kependudukan perlu

ditata sebaik-baiknya agar dapat memberikan manfaat dalam

perbaikan pemerintahan dan pembangunan.

10  

Untuk mewujudkan validitas kependudukan, tampaknya

bukan hanya mengandalkan kesadaran penduduk tetapi juga

penyederhanaan pelayanan dan pelibatan dari petugas garis depan

(street level bureaucracy), yakni mulai dari RT atau RW yang

tentunya diikuti dengan penyediaan sarana kerja yang juga

memadai. Dengan hanya mengandalkan kesadaran masyarakat,

maka validitas kependudukan hanya dapat dicapai bilamana

dilakukan secara door to door yang pendekatannya cenderung

bersifat proyek atau kerja tanpa gaji di pihak pelaksana.

1.2. Rumusan Masalah

Pencatatan biodata penduduk diarahkan pada pemenuhan

data dari setiap penduduk dan keluarga yang merupakan tanggung

jawab pemerintah yang dalam hal ini dibebankan kepada

pemerintah kabupaten dan kota. Data tersebut merupakan sumber

basis data kependudukan secara nasional yang dapat digunakan

untuk dasar kebijakan. Namun hingga saat ini di Indonesia, hasil

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang berupa data atau

validasi kependudukan masih belum dapat dicapai secara maksimal

(Nugraha, 2009). Simpul masalah yang sering dilontarkan, dari sisi

birokrat adalah kurangnya kesadaran masyarakat (dalam mengurus

administrasi kependudukan); sementara dari masyarakat adalah

(aktivitas pendataan dimaksud) terbungkus rapi dalam rujuan

politik (Roberts, 2007).

Peristiwa yang menyebabkan perubahan data kependudukan,

seperti kelahiran dan perkawinan belum terdata secara benar dan

sepanjang waktu. Begitu juga migrasi kependudukan, seperti

pindah dan datang yang juga belum terdapat secara berkelanjutan,

bahkan disinyalir, terdapat penduduk Kalimantan Barat yang

belum memiliki dokumen pendudukan. Kelalaian ini kemudian

11  

dialamatkan kepada masyarakat yang diklaim tidak secara aktif

melaporkan perubahan kependudukan.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat

diidentifikasikan permasalahannya adalah: Pertama, rendahnya

persepsi dan keterlibatan masyarakat dalam perekaman data

kependudukan tidak saja diakibatkan oleh kurangnya sarana

validasi, tetapi juga sistem birokrasi kependudukan yang masih

konvensional meskipun telah dinyatakan “terhubung” dengan

system dan komputerisasi. Kedua, Strategi yang dapat diupayakan

untuk menembus tingkat kesadaran yang rendah (?) dalam

menyukseskan perekaman data kependudukan.

1.3. Tujuan Kajian

Secara umum, tujuan dari tulisan ini adalah untuk

mengintegrasikan data kependudukan dengan sistem pelayanan

public agar simbiosis antara masyarakat, petugas RT dan

pemerintah sama-sama sadar akan pentingnya berkelanjutan

validitas data kependudukan bagi mewujudkan tata pemerintahan

yang baik. Sedangkan secara khusus, tujuan dari penulisan ini

adalah untuk:

1. Mengidentifikasi persepsi masyarakat dari berbagai pihak

terkait upaya pemerintah dalam program Validasi Perekaman

Data Kependudukan melalui penerapan e-KTP.

2. Mencari strategi untuk menembus tingkat kesadaran yang

kurang itu dengan melihat persepsi dan stiga pelayanan publik

yang pilih kasih dari birokrat pemerintah.

1.4. Kegunaan Hasil Kajian

1. Teridentifikasinya persepsi masyarakat terkait program e-KTP

yang dikabarkan lebih kental bernuansa proyek ketimbang

pelayanan public.

12  

2. Untuk membuktikan proposisi bahwa bukan kesadaran

masyarakat yang rendah tetapi banyak factor yang

melingkupi persoalan tersebut sehingga dapat ditepis dugaan

bahwa pengadministrasian penduduk bukan lagi terhubung

dengan kepentingan pemerintah dalam urusan politik, tetapi

telah pada upaya menciptakan kepuasan dan kemitraan

menuju terciptanya data dan informasi kependudukan yang

akurat.

1.5. Metode Pengkajian

1.5.1. Desain Penelitian

Penelitian ini selain dimaksudkan untuk menyusun policy

brief tentang tingkat kesadaran masyarakat dalam melengkapi data

diri melalui penyampaian informasi kependudukan kepada

pemerintah, juga dimaksudkan untuk melihat factor-faktor

kendalam dalam perekaman dan strategi yang dapat dilakukan

dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pencatatan data kependudukan di Kalimantan Barat. Oleh karena

itu, akan dilakukan penelitian empiris yang dilakukan secara

kualitatif untuk kemudian disusun menjadi satu laporan berbentuk

karya ilmiah. Dengan demikian, riset ini termasuk ke dalam

kategori Action Research.

Hasil temuan yang diperoleh dari studi lapangan, yakni pada

beberapa titik di wilayah Kalimantan Barat, yakni Kabupaten

Sambas, Kota Singkawang, Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya

dan Kabupaten Sintang, yakni dengan melakukan wawancara

kepada Kepala Disdukcapil Kabupaten/Kota, Camat, Lurah/Kepala

Desa dan Ketua RT terpilih tentang hambatan perekaman data

kependudukan, faktor yang menyebabkan rendahnya capaian dan

juga hal-hal yang dianggap menjadi pendukung masih adanya

13  

partisipasi masyarakat dalam mesukseskan pendataan

kepandudukan.

1.5.2. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan dalam lingkup tugas Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kabupaten dan Kota yang

dipilih untuk disurvey guna mewakili Provinsi Kalimantan. Setelah

memilih Kabupaten dan Kota, wawancara dilakukan kepada Kepala

Dinas atau pejabat yang mewakili, Camat di setiap Kabupaten dan

Kota, Lurah dalam wilayah kecamatan yang Pak Camatnya

diwawancarai dan RT dalam wilayah yang Pak Lurah/Kepala

Desanya diwawancarai dan kemudian diakhiri dengan memilih

warga yang telah atau belum melakukan perekaman.

Dengan demikian, penelitian ini dilakukan secara berjenjang

ke bawah untuk sekaligus dilakukan cross check kebenaran dari

masing-masing wilayah. Wawancara kemudian dilanjutkan dengnan

meminta kesediaan Pak RT untuk dipertemukan dengan warga

yang telah melakukan perekaman dan warga yang belum

melaksanakan perekaman data kependudukan.

Wilayah yang sudah ditetapkan sebagai wakil daerah

penelitian adalah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kota

Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Sintang. Karena

studi ini adalah untuk mewujudkan layanan kepada masyarakat,

maka unsur dari masyarakat menjadi informasi penting yang akan

mewarnai studi ini. Masyarakat dimaksud dapat berposisi sebagai

individu, sebagai stakeholder atau kelompok yang berkepentingan

untuk mendapatkan hak pelayanan publik yang maksimal, baik

dan berkualitas.

14  

1.5.3. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data dilakukan dengan cara survey

langsung ke daerah sasaran. Pendekatan ini dipakai untuk metode

observasi dan wawancara secara tersetruktur kepada pimpinan

SKPD dan birakrat garis depan (street level bureaucracy) yang

memberikan layanan serta kepada masyarakat dan kepada

masyarakat yang telah menerima layanan serta kepada masyarakat

yang “enggan” melakukan perekaman data kependudukan.

Wawancara dilakukan secara individu, tetapi hasilnya akan

dikelompokkan menurut tiga criteria subjek di atas yakni persepsi

pimpinan, persepsi birokrat garis depan dan persepsi masyarakat

pengguna. Persepsi dari fihak yang disebut ketiga dibagi menjadi

dua, yakni masyarakat yang telah melakukan poerekaman dan

mereka yang belum melakukan perekaman. Dengan pendekatan ini,

peneliti akan mendapatkan informasi akurat terkait kualitas

pelayanan public yang telah diterima masyarakat berdasarkan

desain yang telah ada dalam bidang validasi data kependudukan.

Setelah proses survey dan wawancara, peneliti akan

menyusun laporan dan hasilnya akan diseminarkan dengan

melibatkan beberapa pihak yang telah terlibat dalam proses

penelitian.

1.4.4. Metode Analisis Data

Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis kontens

yang menghubungkan antara bentuk dan proses layanan yang telah

terdesain atau eksis pada setiap SKPD dengan bentuk dan proses

layanan yang diharapkan oleh masyarakat. Model tersebut

diperlihatkan pada Gambar 1 di halaman berikutnya.

Oleh karena itu, untuk mensinergikan antara eksisting dan

harapan layanan, maka akan ditempuh beberapa proses yang

15  

sering disebut model interaksi (Miles and Huberman, 1984) seperti

tergambar pada Gambar 2.

Gambar 1: Image model perbaikan layanan berdasarkan layanan yang sudah eksist pada unit Perekaman Data Kependudukan.

Sumber: Peneliti, 2013

Gambar 2: Analisis Model Interaktif

Sumber: Miles dan Huberman (1984:23)

Pengumpulan Data (Data Collection) 

Penyajian Data  (Data Display) 

Reduksi Data (Data Reduction)  Kesimpulan-kesimpulan

Penarikan/vertifikasi (Conclusions

Drawing/Verifying)

EKSISTING LAYANAN PEREKAMAN DATA PENDUDUK 

PENYEMPURNAAN LAYANAN DAN STRATEGI Jelas dan sederhana

PERBAIKAN PROSEDUR LAYANANPEREKAMAN DATA PENDUDUK

Temuan Studi 

Aman, Pasti dan Akurat

Sikap, sopan dan ramah

Kelengkapan Sarpras

Kenyamanan 

Tanggung jawab 

Kemudahan Akses 

Jelas dan sederhana 

Aman, Pasti dan Akurat

Sikap, sopan dan ramah 

Kelengkapan Sarpras

Kenyamanan 

Tanggung jawab 

Kemudahan Akses

Laporan Penelitian, Policy Brief dan Bahan 

Tayang 

16  

Proses analisis data kualitatif dimulai dari pengumpulan

data, baik terhadap data primer maupun data sekunder.

Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan

informan. Demikian juga informasi hasil observasi yang digunakan

untuk melakukan triangulasi atas hasil wawancara. Data sekunder

mengenai bentuk dan jenis layanan diperoleh dari SKPD yang

dikunjungi yang akan menjadi baseline untuk penyempurnaan

kualitas dan pencapain layanan pada masa berikutnya.

17  

BAB II TINJAUAN PUSTAKA: KURANGNYA (?) KESADARAN

MASYARAKAT SEBAGAI KONSEKWENSI BURUKNYA LAYANAN PUBLIK OLEH

BIROKRASI PEMERINTAH

2.1. Buruknya Kualitas Layanan Publik di Indonesia

Terwujudnya tertib administrasi pendudukan tidak dapat

dicapai secara tiba-tiba. Pencapaian itu, berbanding lurus dengan

upaya mewujudkannya (Grindle, 2007). Salah satu indicator

penting dalam mewujudkan terciptanya validasi data

kependudukan adalah pelayanan birokrasi yang tiada mengenal

diskriminasi, baik diskriminasi masyarakat maupun diskriminasi

pemukiman antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan.

Selama ini, sasaran tembak terhadap rendahnya implementasi

kebijakan administrasi kependudukan di Indonesia masih

dialamatkan kepada masyarakat. Padahal, dari banyak kajian,

muara utama yang sebenarnya juga penting adalah pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah itu sendiri yang belum menunjukkan

kualitas prima.

Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa

pelayanan public, termasuk dalam layanan administrasi

kependudukan di Indonesia yang masih buruk. Laporan GDS

(dalam Rutiana, 2008), yang mengutip Harian Analisa edisi Senin,

24 November 2008 menempatkan”Indonesia pada Peringkat 69

dalam penangan pelayanan birokrasi”. CDS juga menceritakan

pelayanan birokrasi yang terbilang lambat, termasuk dalam layanan

administrasi kependudukan. Demikian juga Bank Dunia (Thakur

dan Wiggen, 2004) dalam laporannya di tahun 2004 yang

menggambarkan pelayanan publik di Indonesia masih sangat

17

18  

rendah dibanding dengan beberapa Negara lain di kawasan Asia

Tenggara.

Kemudian, laporan yang dirilis oleh The Political and Economic

Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai salah

satu negara dengan birokrasi paling buruk di Asia (Alfarugi, 2010).

Masih dari laporan PERC, pelayanan public di Indonesia dikatakan

tidak memiliki kepastian dalam biaya dan waktu pelayanan

sehingga skor penilaiannya menjadi rendah. Juga dikatakan bahwa

ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya praktek

KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok

dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk

mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan, termasuk dalam

pelayanan administrasi kependudukan.

Dari beberapa studi di atas, terdapat tiga masalah penting

yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan

publik yang mendukung kesimpulan sementara, yakni adanya

diskriminasi pelayanan antara si kaya dengan si miskin dan antara

wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan, ketida-pastian waktu

dan biaya. Akibat dari penyebab pertama dan kedua, berimplikasi

pada rendahnya kepuasan rakyat dalam pelayanan public.

Ditengarai bahwa penyelenggaraan pelayanan public di

Indonesia masih dipengaruhi oleh hubungan perkoncoan,

kesamaan afiliasi politik dan bahklan etnis dan agama (Alm, et. al.,

2004). Fenomena semacam ini tetap marak, walaupun telah

diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan

keharusan adanya kesamaan dalam pelayanan. Konsekwensi dari

pelayanan yang demikian adalah rendahnya tingkat kepuasan

masyarakat terhadap pelayanan publik.

Masih dalam kaitan dengan kualitas pelayanan, masih

adanya kendala kultural di dalam birokrasi yang ditampilkan dalam

19  

bentuk perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku

melayani, dan sebaliknya sehingga prilaku birokrat itu cenderung

menunjukkan sikap ingin dilayani.

Dukungan atas pernyataan ini pernah terbahas dalam

sebuah seminar yang diadakan di Jakarta tanggal 29 Desember

2005 dengan tema “Refleksi Akhir Tahun Pelayanan Publik di

Indonesia”, dimana Joe Fernandes, Direktur Institute of Policy and

Community Develovement Studies (IPCOS) mengatakan bahwa

kualitas pelayanan publik di Indonesia yang rendah ini dikarenakan

tidak ada motivasi yang kuat dari birokrat (PNS) untuk melayani

masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan IPCOS tersebut,

sebagian besar orang ingin menjadi PNS karena bisa kerja santai

dan aman (pendapatan jelas dan tidak akan dipecat). Selain itu,

dengan menjadi PNS, seseorang berpeluang mengkomersialkan

tugas dan kewajiban yang diembankan negara kepadanya untuk

keuntungan pribadi.

Tak mau kalah, Taufiq Effendi, Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara (Periode 2004-2009), juga mengatakan bahwa

penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih dihadapkan

pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta

kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai,

sehingga keluhan muncul, mulai dari prosedur pengurusan layanan

yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat yang tidak

menyenangkan. Pak menteri bahkan secara berani menyatakan

bahwa kualitas PNS yang tidak kapabel di negeri ini masih di atas

4% dari total seluruh PNS yang berjumlah 4,7 juta (Erdi, 2013).

Deni (2012) juga melihat pola penyelenggaraan pelayanan

public di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan,

diantaranya adalah:

20  

1. Kurang responsif, terutama terhadap berbagai keluhan,

aspirasi, dan harapan masyarakat yang diwujudkan dengan

tidak ditindak-lanjutinya complain dari warga.

2. Kurang informatif, berbagai informasi yang seharusnya

disampaikan kepada masyarakat, lambat penyampaiannya atau

bahkan tidak sampai sama sekali kepada masyarakat, terlebih

pola hunian dan aktivitas masyarakat pada satu sisi yang

cenderung terpencar; tingkat pengetahuan dan akses media

yang terbatas; sementara dari sisi pemilihan media untuk

menyampaikan informasi penting tersebut adalah media

konvensional seperti rapat, ceramah, sosialisasi door to door

yang akurasi dan frekwensinya terbatas.

3. Kurang accessible, yang ditandai dengan keberadaan berbagai

unit pelaksana pelayanan yang terletak jauh dari jangkauan

masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang

memerlukan pelayanan atau membutuhkan biaya untuk

menggapainya.

4. Kurang koordinasi, berbagai unit pelayanan yang terkait satu

dengan yang lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering

terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan antara kebijakan

yang satu dari sebuah instansi pelayanan dengan kebijakan dari

instansi pelayanan lain yang terkait.

5. Terlalu birokratis, yakni pelayanan dilakukan melalui proses

yang terdiri dari beberapa meja sehingga menyebabkan

penyelesaian pelayanan yang terlalu lama dan bahkan diantara

meja-meja itu memiliki otoritas yang ingin dipentingkan.

Kondisi seperti ini dengan sengaja diciptakan dan dimanfaatkan

untuk mengambil pungutan liar, sehingga mengakibatkan

tingginya biaya pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh

birokrasi dan ketidakpuasan masyarakat penerima layanan.

21  

6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat,

pada umumnya aparat penyedia layanan kurang peduli

terhadap keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya,

pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari

waktu ke waktu.

7. Inefisien, yang ditandai dengan diberlakukannya berbagai

persyaratan yang seringkali tidak relevan dengan pelayanan

yang diberikan dan juga dapat dilakukan atau diselesaikan

secara internal.

Dari beberapa permasalahan tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah

belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang memuaskan

kepada masyarakat, apa yang dilakukan hanyalah bentuk

pelayanan yang didasari oleh kewajiban sebagai pekerja

pemerintah, bukan sebagai abdi masyarakat.

Prilaku demikian menyebabkan timbulnya tudingan-tudingan

negatif yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap aparatur

pemerintah, seperti aparat dianggap kurang profesional, berbelit-

belit (tidak efisien), disiplin kerja rendah, korupsi, lalai dalam

melakukan pengawasan (Noer, 2013). Tak mau dipersalahkan

secara sepihak, maka tudingan balasan pun dialamatkan kepada

masyarakat bahwa karena kesadaran yang kurang, akhirnya

masyarakat memilih untuk tidak mengurus hal yang paling penting

bagi diri mereka, yakni data kependudukan.

2.2. Manfaat Data Kependudukan bagi Kualitas Layanan Publik

Terdapat sejumlah manfaat atau arti penting dari kepemilikan

akta kependudukan, antara lain (1) menjadi bukti bahwa negara

mengakui identitas seseorang yang menjadi warganya, (2) sebagai

alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran

22  

nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan

perlindungan anak, (3) merupakan bukti awal kewarganegaraan

dan identitas diri untuk mendapatkan hak waris dari orangtua,

mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak

kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan

eksploitasi seksual, (4) secara yuridis penduduk berhak

mendapatkan perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman

dan hak-hak lainnya sebagai warga negara.

Mengingat arti penting dokumen kependudukan, menjadi

sangat miris bila tingkat kepemilikan data kependudukan di

Indonesia masih terbilang rendah. Salah satu contoh adalah

kepemilikan akta lahir. Berdasarkan data hasil Survei Sosial

Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 diantara anak balita (usia 0-4

tahun), sebanyak 56.4% belum punya akta kelahiran. Bahkan anak

balita yang berasal dari rumah tangga termiskin yang belum punya

akta kelahiran masih sekitar di angka 75,1%.

Sementara menurut data Survei Penduduk Antar Sensus

(Supas) 2005, kepemilikan akta kelahiran di Indonesia baru

mencapai 58,95%. Salah satu sebab mereka tidak mengurus akta

kelahiran adalah karena tidak ada KK dan KTP sehingga orang tua

tidak berusaha mengurus akta bagi anak mereka.

Melihat data ini, tentu saja membuat kita bertanya-tanya apa

yang salah dalam pelayanan data kependudukan, sehingga begitu

besar jumlah penduduk yang tidak mengurusnya. Jika ditelusuri

lebih lanjut setidaknya terdapat empat hal yang diduga menjadi

hambatan masyarakat dalam melakukan pengurusan akta

kependudukan. Keempat hal itu adalah; Pertama, kesadaran

masyarakat akan pentingnya kepemilikan akta kelahiran masih

rendah. Sebagian masyarakat merasa sulit untuk melakukan

pengurusan dan perekamandata kependudukan dikarenakan waktu

kerja dan sebagian lagi menyatakan belum perlu dan bahkan ada

23  

yang mengatakan karena badan sudah capek sehingga memilih

istirahat di rumah. Kedua, faktor ketidak-tahuan akan prosedur

pembuatan yang sebenarnya terbungkus rapi dengan factor

pertama di atas. Ketiga, mereka juga tidak tahu kalau perekaman

data kependudukan sekarang ini sudah tidak dipungut bayaran,

namun mereka tetap bersikukuh bahwa untuk pengurusan

dimaksud masih tetap mengeluarkan biaya, paling tidak biaya

untuk datang ke kantor kecamatan. Keempat, pendapat ini datang

dari masyarakat perkotaan yang menilai prosedur pengurusan

perekaman dan perubahan data kependudukan terlalu

konvensional. Semestinya, prosedur demikian tidak perlu

diberlakukan seperti itu bilamana status kependudukan warga

sudah jelas dan valid.

Prosedur dimaksud adalah proses pengurusan yang bermula

dari bawah (Bawa Surat Keterangan dari RT, kemudian dibawa ke

Lurah, dan tetap lapor juga ke Camat dan terakhir diselesaikan di

Dinas Kependudukan dan Pencatatan SIpil), padamana prosedur

dimaksud dapat dipotong dengan mudah karena hanya koordinasi

internal.

2.3. Menghubungkan KTP Dengan Berbagai Jenis Pelayanan

Publik

Pelayanan administrasi kependudukan yang tertib dan tidak

diskriminiatif menjadi sangat dibutuhkan, oleh karena peraturan

perundang-undangan mengenai administrasi kependudukan, yakni

UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan telah

memuat pengaturan dan pembentukan sistem administrasi

kependudukan dan pencatatan sipil. Diantara ketentuan itu, dapat

dibaca pada BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa:

24  

"Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain”.

Dalam rangka penataan dan ketertiban Administrasi

Kependudukan, pemerintah juga sudah menerapkan Sistem

Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dimana data

penduduk terekam dalam database yang selalu dimutakhirkan

secara terus-menerus tak kala terdapat perubahan yang

diakibatkan oleh peristiwa kependudukan dan peristiwa penting

yang dialami penduduk.

Catatan perubahan kependudukan itu diberlakukan dan

dibuat bagi setiap orang penduduk sebagai individu merdeka yang

dibuat untuk pencatatan sipil, peristiwa kelahiran, perkawinan,

perceraian, dan kematian, serta pengakuan anak.

Data penduduk dicatat dalam register akta dan diterbitkan

kutipan akta, sedangkan untuk peristiwa penting lainnya seperti

pengangkatan anak, pengesahan anak, perubahan nama,

perubahan status kewarganegaraan, dan perubahan peristiwa

penting lainnya (seperti perubahan jenis kelamin), cara

pencatatannya dibuatkan di pinggir pada akta-akta yang dimiliki

oleh penduduk.

Studi ini, secara spesifik adalah suatu sistem registrasi yang

menghasilkan dokumen kependudukan antara lain dan Akta

Kelahiran. Dengan akta kelahiran, setiap anak yang lahir harus

mempunyai kepastian hukum dalam hal asal-usul keturunan,

status hukum perkawinan orang tuanya, dan stautus

kewarganegaraan. Di samping itu, akta kelahiran juga merupakan

akta dasar yang di kemudian hari menjadi persyaratan pengurusan

berbagai keperluan yang bernilai hukum.

25  

Pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil merupakan

kegiatan yang sangat penting, karena dari kegiatan tersebut akan

diperoleh data mikro yang aktual, dan bukan semata-mata

agregatif. Untuk itu pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil

yang tertib dan valid selain berguna bagi pengesahan secara hukum

atas peristiwa penting dan peristiwa kependudukan perorangan,

juga bermanfaat bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah

untuk perencanaan program-program pembangunan sebagai dasar

penganggaran, peningkatan kualitas pelayanan dan pengembangan

kualitas penduduk sendiri

Masalah kependudukan merupakan salah satu titik

sentral dalam pembangunan. Oleh karena itu, ketika kehadiran

pemerintah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan, tentu data

kependudukan menjadi tidak dapat terhindarkan. Bagaimana

pemerintahj hendak meningkatkan kesejahteraan penduduk

bilamana data lengkap mereka tidak dipunyai. Adalah tidak

mungkin pemerintah dapat meluncurkan program bilamana data

kependudukan tidak jelas dalam persebaran dalam berbagai

katergori. Jika “niat” pemerintah itu adalah hendak

menyejahterakan rakyat, data kependukan menjadi tak mungkin

diabaikan, dan jika persoalan ini tidak diperhatikan, maka kembali

Indonesia akan dikatakan sebagai negara yang gagal (Collins, 2007).

Ternyata itu pula masalahnya, tidak jarang para birokrat

mengabaikan data kependudukan dalam upaya melaksanakan

program-program maupun kebijakan-kebijakannya. Data

kependudukan dibuat di atas kertas dan menjadi angka yang kira-

kira karena saat ditanya alamat, jenis kelamin, tingkat pendidikan

dan lain-lain, data yang tersuguh dalah data prediksi, sebagaimana

dilakukan BPS atas perekaman data penduduk.

Segala aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan

manusia selayaknya dikaitkan dengan jumlah, pertumbuhan dan

26  

komposisi, serta penyebaran penduduk suatu wilayah, sehingga

akurasi dalam memandang prospek ke depan lebih tertuju dengan

jelas. Oleh sebab itu, masalah kependudukan merupakan isu yang

sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, karena

penduduk menjadi sentral pembangunan dan mempengaruhi

dinamika pembangunan itu sendiri.

Dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) dari amandemen kedua

dan Pasal 34 ayat (3) amandemen keempat telah mengamanatkan

negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan umum

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, bilamana

pemerintah tidak mengenal warga negaranya, maka pelayanan

sebagaimana diamanatkan menjadi nisbi adanya. Akibatnya, terjadi

tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat birokrat untuk dan atas

nama kepentingan rakyat,

Oleh karena itu, penyelenggaraan pelayanan publik yang

dilaksanakan oleh aparatur negara dalam berbagai sektor

pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil

dan kebutuhan dasar masyarakat, wajib dilaksanakan sesuai

dengan amanat UUD 1945 tersebut. Di samping itu, dalam

Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:

10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil

memperoleh prioritas pertama dalam penanganan peningkatan

kualitas pelayanan yang sangat diperlukan oleh masyarakat.

KTP menjadi entri point untuk memperoleh berbagai layanan

publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bentuk-bentuk

layanan publik tersebut da[pat dilihat pada tabel 1 yang terdapat

pada halaman berikutnya.

27  

Tabel 1

Jenis Layanan Publik yang Terhubung dengan KTP

No JENIS LAYANAN JENIS PELAYANAN 1. Administrasi

Kependudukan KTP, Akta Kelahiran, Catatan Sipil, Akta Kematian, Akta Nikah, Talak dan Rujuk dan Cerai.

2. Kepolisian Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM) semua jenis (A,B dan C), dan Penyelesaian Laporan Pengaduan Masyarakat.

3. Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi

SIUP, SITU, Tanda Daftar Perusahaan, Metrologi (Tera);Pengujian Hasil Industri dan Kredit Usaha

4. Bea Cukai dan Pajak Pengurusan Bea Masuk, Cukai, NPWP dan Pelayanan Pembayaran Pajak

5. Kesehatan Pelayanan Kesehatan Dasar: Rumah Sakit, Puskesmas dan Posyandu

6. Imigrasi Pengurusan Paspor dan Pengurusan Dokumen Keimigrasian Lainnya

7. Perhubungan Pengurusan Ijin Usaha Angkutan (Darat, Laut dan Udara); Pelayanan Publik di Bandara Pelabuhan, Stasiun dan Terminal Bis; dan Ijin Kelaikan Kendaraan Bermotor

8. Ketenagakerjaan Kartu Kuning (Kartu Pencari Kerja; Informasi Kesempatan Kerja; Penempatan Tenaga Kerja dan Pelayanan TKI di Bandara dan Pelabuhan Laut dan terminal milik pemerintah.

9. Pertanahan dan Pemukiman

Pengurusan Sertifikat Tanah, Pengurusan Pengalihan Hak Atas Tanah, IMB, Ijin Lokasi Industri (Perdagangan); HO (Ijin Gangguang dan Amdal.

10. Pendidikan Pendidikan Dasar; Pendidikan Menengah dan Pendidikan Lainnya yang dimiliki oleh pemerintah.

11. Penanaman Modal Ijin PMA; Ijin PMDN dan Informasi Potensi Investasi

Sumber: SE MENPAN No.10/M.PAN/07/2005 disesuaikan oleh penulis.

28  

Dari tabel di atas, jelas bahwa fungsi KTP sangatlah banyak

dan jelas menjadi dasar atas pelayanan publik yang

diselenggarakan pemerintah. Mengingat banyaknya fungsi KTP

sebagaimana disebutkan di atas, maka mensukseskan

implementasi UU No. 23/2006 menjadi penting, yakni memberikan

pelayanan administrasi kependudukan sebagai pemenuhan hak-

hak administratif kepada masyaralat agar mereka dapat mengakses

pelayanan publik, mendapat perlindungan dari negara, sebagai

bentuk penghapusan perlakuan diskriminatif kepada masyarakat.

Namun di lain pihak, perilaku para birokrat dalam

pelayanan publik masih menunjukkan perlakuan yang

diskriminatif dan menganut pola hubungan kekuasaan top down

(Rabin, 2005). Pendekatan seperti ini selalu menampakkan

kepentingan hierarkhi, formalitas, dan impersonalitas yang sangat

mendukung ke arah tercapainya sebuah kekuasaan. Oleh sebab

itu, baik dan tidaknya kualitas layanan pemerintahan pertama-

tama akan dilihat dari bentuk atau pola hubungan kekuasaan

yang dibangun, sehingga fungsi pemerintah dalam paradigma

baru lebih dapat memacu kemajuan seperti steering, fasilitasi,

motivasi pemberdayaan (enabling, empowering), regulasi,

preventing, sebagai antisipasi dalam lingkup pendayagunaan

aparatur negara.

Secara normatif, pelayanan kependudukan dan pencatatan

sipil telah diatur dalam UU No. 23/2006, namun faktanya

problematika birokrasi pemerintah dalam pelayanan

kependudukan dan pencatatan sipil masih sarat dengan

kompleksitas permasalahan yang tidak hanya menyangkut

persoalan pola hubungan kekuasaan, tetapi juga dalam berbagai

stigma negatif yang melekat pada birokrasi pemerintah. Kondisi ini

tentu saja akan berdampak negatif pada masyarakat, karena iklim

29  

tersebut akan menciptakan kondisi yang tidak kompetitif dan tidak

sensitif terhadap perbaikan secara menyeluruh. Dengan demikian,

keberadaan birokrasi pemerintah dalam pelayanan kependudukan

dan pencatatatan sipil tidak hanya dilihat dalam teks normatifnya

saja, melainkan juga dalam lingkup empirisnya, sehingga

kesenjangan antara apa yang dihukumkam (das Sollen) dengan apa

yang senyatanya (das Sein) selalu dimungkinkan saling bertolak-

belakang.

Bilamana tujuan pelayanan perekaman data kependudukan

adalah untuk memberikan dan mensinergikan antara kepentingan

pemerintah dengan desaian pelayanan public, maka

kelengkapannnya menjadi seauatu yang mutlak adanya. Tujuan

perekaman itu secara legal formal adalah untuk (Marbun, 2001:72):

(1) Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas

dokumen penduduk untuk setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk.

(2) Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk. (3) Menyediakan data dan informasi kependudukan secara

nasional mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya.

(4) Mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan terpadu.

(5) Menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

Namun, tampaknya kelima hal penting di atas tidak atau

belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat sehingga masih

banyak warga yang melum merekamkan data kependudukannya.

Banyak factor yang mengantarkan maasyarakat untuk memilih

tidak perduli dengan perekaman data, baik disebabkan oleh

ketidak-tahuan atau bahkan ada indikasi ketidak-perdulian

30  

sehingga perekamanan yang telah berlangsung lebih dari 1 (satu)

tahun ini belum menunjukkan adanya penuntasan.

2.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan

Di Indonesia Peningkatan kualitas pelayanan publik dalam bidang

kependudukan dan pencatatan sipil membutuhkan komitmen dan

pemahaman yang utuh akan mekanisme pelayanan. Namun

kenyataannya menunjukkan bahwa, pemilihan suatu jenis

peraturan lebih banyak tidak untuk mempermudah penyelesaian

suatu masalah, tetapi justru mempersulit atau membesar-besarkan

suatu persoalan. Berbagai peraturan dan prosedur untuk mengatur

pelayanan publik dalam bidang kependudukan dan pencatatan sipil

justru seringkali menjadi batasan-batasan yang mempersempit dan

memperlambat gerak birokrasi. Regulasi yang kaku ini

menyebabkan beberapa akibat negatif, diantaranya adalah:

1. Kekakuan kinerja birokrasi (Peters, 2005). Hal ini disebabkan

karena berbagai ketentuan yang harus ditaati dan panjangnya

mekanisme prosedur, sehingga birokrat tidak dapat bekerja

dengan cepat dan luwes untuk menyelesaikan berbagai masalah

yang secara dinamis muncul di tengah masyarakat. Pada sisi

masyarakat juga sudah tahan dengan kinerja yang lambat,

proseduran dan terkesan berbelit ini sehingga mereka memilih

“mengabaikan” atau “meninggalkan” layanan demikian itu.

2. Penekanan aspek legalitas (Page dan Jenkins, 2005), dimana

birokrasi sering menempatkan form (bentuk formal) daripada

esensi. Akibatnya, birokrasi sering terjebak pada prosedur,

sehingga berpotensi memunculkan pungutan liar (pungli)

karena ada dugaan bahwa masyarakat umumnya enggan

mengikuti proses yang berbelit-belit dalam mengurus berbagai

kepentingan mereka sehingga mereka mengambil jalan pintas

31  

dengan memberikan tip/suap kepada aparat birokrasi agar

proses mereka cepat selesai. Fenomena ini dapat

diperdengarkan melalui telepon 147 pada gangguan pesawat

telepon dimana setelah pelanggan selesai melaporkan perihal

masalahnya kepada petugas penerima laporan atau keluhan

masyarakat, petugas kemudian menyampaikan agar tidak

member tips dan apapun kepada petugas yang diutus.

Akibatnya, terjadi komunikasi dua arah dengan petugas itu dan

kemudian menjadi hubungan kerja yang saling

menguntungkan, meskipun tips tidak dapat dihindarkan

adanya.

3. Berbelitnya proses dalam birokrasi dapat berpotensi birokrasi

ditinggalkan dalam proses transformasi social, sebagaimana

disinyalir oleh Osborne dan Gaebler (2010) bahwa “birokrasi

yang digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya akan lebih

efektif dan efisien, serta mampu memberikan kewenangan

otonomi kepada para birokrat secara proporsional dan

profesinal dalam memberikan layanan prima karena birokrat

dapat memanfaatkan sumber daya dan lingkungan dengan

seefektif dan seefisien mungkin tanpa melanggar aturan baku

organisasi”. Sebaliknya, masih dari pendapat Osborne dan

Gaebler (2002), bahwa birokrasi pemerintah yang digerakkan

berdasarkan peraturan yang kaku dan mengikat, akan tidak

efektif dan efisien karena kinerjanya berjalan lamban dan

terkesan bertele-tele. Dengan dua fenomena yang saling

bertolak-belakang itu, Osborne dan Gaebler kemudian

memberikan posisi yang berhadap-hadapan antara misi dan

peraturan. Adanya peraturan dalam birokrasi memang memiliki

tujuan yang baik, tetapi dalam praktiknya hal tersebut

menyebabkan birokrasi berjalan lambat dan kurang mampu

dalam merespon tuntutan lingkungan yang berubah dengan

32  

cepat. Birokrat tidak akan mampu melakukan apa yang

menurut pandangannya baik, karena takut terkena sanksi jika

tenyata perbuatan maupun keputusannya dianggap melanggar

peraturan. Kondisi ini jika berlarut akan menimbulkan sikap

dan tindakan aparatur negara menjadi apatis, serba salah dan

kehilangan inovasi dalam memberikan pelayanan publik.

Tampaknya, ketiga bentuk fenomena regulasi di atas masih

kental dan dengan mudah dijumpai dalam banyak pelayanan

public, tidak terkecuali dalam perekaman data kependudukan ini.

Meskipun, intensitas dan volumenya, disinyalir telah berkurang

tetapi diprediksi tidak akan sirna dalam pelayanan public di

Indonesia.

2.5. Peran Birokrasi Pemerintahan Dalam Meningkatkan

Kualitas Pelayanan Kependudukan dan Pencatatan Sipil Untuk Pemicu Meningkatkan Kesadaran Masyarakat

Fungsi utama birokrasi adalah sebagai lembaga pengabdi dan

pelayanan masyarakat. Namun di dalam implementasinya,

seringkali tidak terwujud secara optimal, bahkan kinerja birokrasi

sering mengalami disorientasi dari tugas pokoknya. Ketidakop-

timalan dan penyimpangan (disorientasi) ini, disebabkan oleh

banyak faktor, baik yang ada dalam internal institusi birokrasi itu

sendiri maupun faktor di luar diri birokrasi, yakni factor lingkungan

dimana birokrasi itu berada.

Para ahli sering mengatakan bahwa, alasan lemahnya kinerja

organisasi birokrasi adalah karena berbeda dengan organisasi

swasta. Organisasi birokrasi tidak memiliki mekanisme

penyesuaian diri untuk mengatasi tantangan, hambatan, masalah

dan situasi yang berkembang akibat kompleksitas segala sesuatu

yang berhubungan dengan kerja birokrasi. Sementara birokrasi

pada perusahaan swasta dianggap lebih memiliki alat deteksi

33  

kinerja yang berupa untung dan rugi, sehingga kalau dalam kurun

waktu tertentu dapat mendeteksi prospek itu dan langsung

menghubungkannya dengan kinerja.

Organisasi birokrasi tidak memiliki alat detektor semacam di

perusahaan swasta. Ketiadaan faktor tersebut disebabkan

pemerintah sebagaimana dimaksud oleh Stiver dan King (1998)

menyebabkan birokrasi bergerak lambat, tidak tahu kapan harus

berbenah, tidak efisien, tidak ramah, berbelit-belit, boros, korup,

tidak memiliki standar kepastian kerja yang baik dan pada

akhirnya tidak disukai oleh para pengguna jasanya.

Ahli lain, yakni Sorensen (1993) yang senada dengan King

dan Stivers juga mengemukakan bahwa, setidaknya ada 6 (enam)

faktor yang dapat dijadikan hipotesis mengapa birokrasi pemerintah

tidak memiliki ketidakefisienan dalam melaksanakan pelayanan

kepada masyarakat. Hipotesis dimaksud adalah:

(1) Tidak adanya iklim kompetisi dalam model bekerjanya birokrasi. (2). Sumber pendapatan yang tidak dari usaha organisasi sendiri. (3). Tidak adanya ukuran kinerja. (4). Tidak adanya insentif (5). Tidak adanya tantangan administratif kepada pejabat birokrasi secara personal. Dan (6). Tidak adanya kepemimpinan yang aktif. Dari hipotesis Sorensen di atas, tentu secara keseluruhan

akan berimplikasi pada kualitas pelayanan publik yang diberikan

oleh aparatur Negara. Untuk itu, dalam sub bab ini akan dibahas

mengenai strategi kebijakan birokrasi pemerintahan dalam

meningkatkan kualitas pelayanan kependudukan dan pencatatan

sipil, serta penerapan sistem informasi administrasi kependudukan

yang semestinya dapat dilakukan oleh birokrat berdasarkan

pengumpulan pendapat pengguna dan juga pendapat dari mereka

yang belum melakukan perekaman data kependudukan.

34  

2.6. Adanya Keharusan Mewujudkan Kualitas Pelayanan Jauh sebelum UU tentang Sistem Administrasi

Kependudukan diundangkan, di negeri ini telah dikeluarkan

terlebih dahulu Keputusan MENPAN No. 25/KEP/M.PAN/2/2004

yang mengharuskan instansi public untuk menyelenggarakan SPM

dan sekaligus mengukur IPM atas pelayanan yang telah diberikan

pemerintah itu. Aturan ini merupakan konsekwensi dari

penyelenggaraan otonomi daerah saat ini, dimana kualitas

pelayanan menjadi salah satu indikator kinerja birokrasi dan

keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal

ini, seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good

governance menuju good government, maka tuntutan akan

pelayanan publik yang berkualitas juga semakin besar.

Pemerintah telah merespon tuntutan ini dengan menetapkan

tahun 2004 lalu sebagai tahun peningkatan kualitas pelayanan

public, meskipun kebijakan ini terhubung dengan Standar

pelayanan Minimal (SPM). Keluarnya kebijakan ini sekaligus

mengindikasikan bahwa belum terjadi perbaikan kualitas

pelayanan public sebagaimana mestinya.

Di samping itu, pelayanan publik oleh aparatur negara masih

diwarnai adanya kelemahan dan belum memenuhi kualitas yang

diharapkan oleh masyarakat. Beberapa indikasi kea rah ini antara

lain adalah masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang

disampaikan melalui media massa, dan bukan ke saluran yang

sebenarnya. Penggunaan aduan ke luar jalur ini, sedikit banyak

menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pelayanan public

oleh aparatur negara.

Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani

masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan

kualitas pelayanan. Diketahui bahwa, salah satu upaya untuk

35  

meningkatkan kualitas pelayanan publik pemerintah telah

menyusun indeks kepuasan masyarakat (IKM) sebagai tolak ukur

untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Data indeks kepuasan

akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap unsur pelayanan

yang masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong bagi setiap unit

penyelenggara pelayanan untuk meningkatkan kualitas

pelayanannya.

Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

No. 25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan

Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah,

pada Huruf (c) Angka 1 dijelaskan bahwa:

“Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya”. Mengingat jenis pelayanan publik sangat beragam, maka

untuk memudahkan penyusunan IKM, setiap unit pelayanan

membuar pedoman umum yang digunakan sebagai acuan bagi

instansi, pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan

kabupaten/kota untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan

di lingkungan instansi masing-masing. Oleh sebab itu, berdasarkan

prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam MENPAN

No.63/KEP/M.PAN/7/2003, dikembangkan sebanyak 14 unsur

yang relevan, valid, dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus

ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Ke-14

indikator tersebutadalah:

36  

1. Prosedur pelayanan yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang dilihat dari sisi kesederhanaan alur proses.

2. Persyaratan pelayanan yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan.

3. Kejelasan petugas pelayanan yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggung jawabnya).

4. Kedisiplinan petugas yaitu kesungguhan dalam memberikan pelayanan, terutama dalam hal konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan berlaku.

5. Tanggung jawab pelayanan yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan.

7. Kecepatan pelayanan yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggaraan pelayanan.

8. Keadilan mendapatkan pelayanan yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan dan status masyarakat.

9. Kesopanan dan keramahan petugas yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan mengembangkan sikap sopan, menghormati, ramah dan saling menghargai.

10. Kewajaran biaya pelayanan yaitu aspek keterjangkauan ekonomi masyarakat dan bilaman memungkinkan diberikan secara gratis.

11. Kepastian biaya pelayanan yaitu kesesuaian antara biaya yang telah dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.

12. Kepastian jadwal pelayanan yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

13. Kenyamanan lingkungan yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur agar dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.

14. Keamanan pelayanan yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan pada unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang dari resiko yang diakibatkan dari pelaksanan pelayanan.

Para ahli berpendapat bahwa, mengukur kualitas pelayanan

lebih sulit dibandingkan dengan mengukur kualitas suatu produk

(Shah, 2005). Penyebabnya adalah layanan public pemerintah ini

termasuk ke dalam sektor jasa yang ukuran dan kuantitasnya

37  

bersifat relatif, banyak jenis atau ragamnya, sehingga sulit

dikuantifikasi atau dinilai dengan harga.

Saat ini tolak ukur penilaian terhadap kualitas jasa atau

pelayanan secara umum telah banyak diteliti dan diungkapkan oleh

lembaga penelitian maupun oleh para pakar. Fitzsimmons and

Fitzsimmons (2004) mengutarakan bahwa, kualitas pelayanan

merupakan suatu yang kompleks sehingga untuk menentukan

sejauhmana kualitas pelayanan dapat dilihat dari lima dimensi,

yakni:

1. Reliability, yakni kemampuan untuk memberikan secara tepat

dan benar tentang jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada masyarakat.

2. Responsiveness, adalah kesadaran atau keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.

3. Assurance, yaitu pengetahuan atau wawasan, kesopan-santunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan yang respek terhadap pelanggan yang dilayaninya.

4. Emphaty, adalah kemauan petugas pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, dan berusaha untuk mengetahui keinginan serta kebutuhan pelanggan.

5. Tangibles, yakni penampilan para pegawai dari tampilan fisik dan fasilitas yang digunakan dalam menunjang pelayanan.

Pandangan lainnya, dikemukakan oleh Nancy dan Kotler

(2006) yang mengemukakan enam dimensi kualitas pelayanan

public produk pemerintah, yaitu: (1) Keberadaan pelayanan; (2)

Ketanggapan pelayanan; (3) Ketetapan pelayanan; (4)

Profesionalisme pelayanan; (5) Kepuasan keseluruhan dengan

pelayanan; dan (6) Kepuasan secara menyeluruh. Demikian juga

Simmons et al. (2009) yang menjelaskan lebih lanjut Kriteria Zethl

et al., (1990), menyatakan bahwa, tolak ukur kualitas pelayanan

public dapat diukur dari sepuluh dimensi, yaitu:

1. Tangibles, terdiri dari fasilitas fisik, peralatan, personil, dan

komunikasi. 2. Reliability, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam

menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.

38  

3. Responsiveness, kemampuan untuk membantu pelanggan bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan.

4. Competence, tuntutan dimilikinya pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberi pelayanan.

5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen, serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.

6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.

7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko.

8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.

9. Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

Ukuran lain yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas

pelayanan publik pada birokrasi pemerintah adalah tingkat

efisiensi. Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai nisbah yang

terbaik antara hasil yang diperoleh dengan kegiatan yang

dilakukan. Namun efisiensi dalam sektor publik mempunyai matra

yang lebih luas dari pengertian ini. Fried et al. (2008) menawarkan

efisiensi yang dinilai (valued efficiency) di samping efisiensi teknik

(technical efficiency). Selain itu, ahli lain, yakni Yew-Kwan (2000)

menambahkan ongkos kesempatan (opportunity cost) dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) untuk

mengukur efisiensi sektor public sehingga gabungan dari

kesemunya menjadi akuntabel.

Oleh karena itu, efisiensi sector public menjadi sesuatu yang

bersifat nisbi sehingga aspek yang dipilih adalah efektifitas yang

sedikit mengenyampingkan aspek efisiensi pelayanan dan

menghubungkannya dengan tugas dan peran pemerintah dalam

pelayanan public (Shaffer, 1999).

39  

2.7. Alur Pikir Penelitian

Gambar 3 Sinergi antara Kesadaran dengan Kualitas Pelayanan dalam

Perekaman Data Kependudukan

Kesadaran Masyarakat Dalam Mengurus dan Memperbaharui Data

Kependudukan Diri dan Keluarga

1. Keabsahan dan pengakuan diri 2. Perlindungan status hak sipil 3. Terakomodasinya penduduk dalam layanan

public 4. Terwujudnya tertib admin istrasi

kependudukan 5. Terintegrasinya data kependudukan dengan

layanan public dan privat

Konsekwensi Positif

Konsekwensi lanjutan dari e-KTP

e-KTP Sukses

Kepentingan Masyarakat terhadap layanan Publik

dengan menggunakan KTP sebagai akses utama

Manfaat bagi Masyarakat Integrasi dan

perbaikan pelayanan

Data Hasil perekaman bermanfaat bagi masyarakat dan juga berguna bagi pemerintah dalam perbaikan

layanan publik (Marbun, 2001)

Metode Kualitatif

Tujuan - Manfaat

Kebijakan Umum: Implementasi UU No. 23 tahun 2006 melalui e-KTP dan Kebijakan tentang IKM

dalam layanan publik

Terintegrasinya Data hasil Perekaman e-KTP dengan system perencanaan, penganggaran dan pelayanan public di semua sector oleh pemerintah

Kebijakan Diskresi untuk daerah dengan askes terbatas

Konsistensi sikap Pemerintah dalam

Penyediaan Layanan Publik yang lebih baik

40  

BAB III

ANALISIS KUALITAS PENYELESAIAN PERMASALAHAN SEPUTAR RENDAHNYA KESADARAN MASAYARAKAT

DALAM PEREKAMAN DATA KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT

Dari hasil wawancara dengan para pihak di tingkat

kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan dan satuan pelaksan tugas

validasi kependudukan, aparatur negara pada Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Kalimantan Barat

tidak secara langsung menjalankan Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/2/2004

tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat

Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, termasuk juga dalam urusan

perekaman data kependudukan ini.

Urusan IKM diserahkan kepada pimpinan daerah dan sebagai

unit pelaksana teknis daerah siap melaksanakan keputusan

pimpinan daerah. Untuk perekaman ini, dinas yang diserahi secara

langsung tugas perekaman menangani perekaman ini dengan

mendekatkan unit pelayanan ke satuan pengguna. Satuan terendah

yang dapat difasilitasi untuk perekaman data kependudukan

adalah Kantor Kecamatan sehingga semua urusan perekaman

dilakukan di Kantor Kecamatan.

Namun, sekali lagi penulis tegaskan, sebagaimana ditegaskan

oleh banyak camat yang terlibat dalam penelitian ini bahwa bukan

tugas camat untuk merekam data kependudukan, tetapi camat

sebagai pejabat ujung tiombak yang diminta untuk mengkoordinis

kegiatan perekaman ini untuk wilayah kerja camat. Oleh karena

itu, camat juga mengklaim, bilamana perekaman ini belum

mencapai 100%, maka tidak lah langsung menyalahkan kinerja

40

41  

camat karena memang urusan perekaman adalah menjadi tugas

dan fungsi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

3.1. Persepsi Masyarakat Kalimantan Barat sebagai Pengguna

Layanan pada Unit Perekaman Data Kependudukan Berikut ini akan dibahas hasil wawancara dengan beberapa

informan terkait dengan pelayanan kependudukan dan pencatatan

sipil, khususnya perekaman data kependudukan yang hingga kini

belum mencapai 100%. Fenomena ini kemudian dialamatkan

kepada tingkat kesadaran masyarakat yang belum tinggi.

Dari hasil penelitian lapangan melalui wawancara dengan

para pihak yang pernah menerima pelayanan KTP, informan

pertama adalah seorang PNS di Kelurahan Baning, Kabupaten

Sintang, menyatakan kepada peneliti bahwa:

“Persyaratan dan prosedur mengurus KTP di Kantor Camat Baning Kota Sintang ini saya rasa telah sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan dan saya rasa tidak begitu sulit diikuti masyarakat. Persyaratan yang harus dilengkapi adalah membawa KTP yang sudah habis masa berlakunya dan juga membawa KK asli. Kedua persyaratan tersebut diserahkan kepada petugas, kemudian petugas memberikan formulir data isian, dan formulir tersebut lengkapi, setelah lengkap diisi dikembalikan lagi kepada petugas …… dan selesai ……. lalu pulang dengan diberikan selembar surat keterangan pengganti KTP ….. dengan diberikan janji, bila nanti KTPnya sudah jadi akan segera dihubungi”

Karena telah mendapat pelayanan yang baik, informan ini

juga menyatakan “wajarlah bila kita titip uang rokok kepada petugas

itu ……, maksudnya bukan nyogok, hanya untuk ucapan terima

kasih. Sebenarnya, ia juga tidak minta, apalagi kalau menentukan

besarannya. Saya saja yang ingin memberikannya tanda ucapan

terima kasih itu kepadanya.” Dem ikian ungkap informan ini sambil

42  

meninggalkan Kantor Camat sebagai tanda bahwa perekaman data

kependudukan telah dilaluinya dengan baik.

Dari wawancara di atas, terkesan juga tidak terlihat adanya

unsur keberatan dari masyarakat, meskipun dirinya mengakui

telah memberikan uang tips, yang diakuinya bukan sebagai uang

pembayaran dan bukan pula sebagai upaya “penyogokan” tetapi

sebagai ucapan terima kasih atas pelayanan baik kepada dirinya

selama melakukan pengurusan penggantian KTP di Kantor

Kecamatan Baning.

Informan kedua, adalah seorang nenek berusia usia 75 tahun

yang saat riset lapangan ingin mengambil KTP elektronik yang

sudah jadi, karena proses perekamannya dalam rangka pembuatan

e-KTP di Kantor Camat Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya

sudah dilakukan tiga bulan lalu. Nenek Salbi pada hari Senin

tanggal 16 September 2013 pukul 11.40, menyatakan bahwa:

Saye ni KTP seumor idup cuk eeee ……. waktu mau bikin KTP dolok, ibu itu (sambil menunjuk seseorang di dalam loket pembuatan e-KTP) ….. yang layani nenek cukup baik die nye, ramah dan suke nak gurau same nenek. Tak terase pulak kite dibuatnye ….. tahu-tahu dak lakkak nek eee katenye. Pokok eeee nenek ikut ape kate ibu itu tu tu….. [Saye ini adalah pemegang KTP Semumur Hidup …… sewaktu memproses perekaman dalam rangka pembuatan e-KTP sekitar tiga bulan lalu, ibu itu ….. yang melayani nenek cukup baik, ramah dan suke bergurau dengan nenek. Jadinya (waktu dan proses) menjadi tidak terasa …… tahu-tahu sudah selesai. Pokoknya, nenek mengikuti saja apa yang diminta oleh petugas pelayan] Dari informasi hasil wawancara dengan pemegang KTP

elektronik seumur hidup di atas, petugas pencatat telah

melaksanakan tugansya dengan baik. Petugas ini, secara bijak

memperlakukan masyarakat dan menjadikan proses perekaman

berjalan lancar dan sekarang, nenek itu telah memiliki e-KTP Kubu

Raya dan menurutnya akan dapat ia gunakan untuk berobat ke

43  

Puskesmas dan Rumah Sakit Rujukan Daerah bilamana nanti ia

sakit, sebagaimana diketahuinya dari seorang tetangganya yang

telah memiliki KTP KKR dan KTP tersebut valid untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan pada puskesmas dan RSUD Dr. Soedarso,

Pontianak. Masih dari nenek ini juga, diakuinya kalau dirinya

mengurus KK dan KTP ini adalah dalam rangka mendapatkan

bantuan BLSM dan perobatan gratis.

Menurut informan ketiga, seorang remaja yang melakukan

pengurusan KTP dan sekaligus mengurus surat kepindahan calon

suami untuk keperluan menikah di Kota Pontianak. Namanya

adalah Fitriani yang diberikan KTP Sementara oleh Camat

Pontianak Timur sebagai dasar untuk memproses pengurusan

surat-menyurat pernikahan dan kepindahan agama dari calon

suaminya. Transkrip wawancara dengannya yang dilakukan pada

Hari Kamis, 13 September 2013 pukul 09.00 di Kantor Kecamatan

Pontianak Timur saat yang bersangkutan hendak menukar KTP

sementara dengan e-KTP, menuturkan seperti berikut ini:

Tadeknye saye orang Pontianak yang pindah ke Ketapang …… karena mao kawin, maka saya ngorus surat pindah lagi dari Ketapang ke Kote Pontianak. Lagi pule, calon suami saye ni orang Kristen yang mao masok Islam sehingga perlu pindah agame dolok. Data die di Ketapang sana, udah dihapus dan dikeluarkan orang tue nye dari KK sanak. Semua surat-surat perpidahan dah saye siapkan, mulai dari pindah tempat tinggal sampai lapor pindah agame di Kantor Kecamatan dan Kantor Agama dari Ketapang ke kote. KTP saye dan calon suami pun dah kenak ambek dan ditinggal di Kantor Camat Matan Hilir sana. Ke sinik, cume mbawa surat keterangan pindah dari Pak Camat Ketapang yang telah disahkan oleh Dinas Capil sanak. Saat ngurus KTP di Kantor Camat sinik, mulenye, saye tekejot gak karena cume diberi surat kecil begini (sambil memperlihatkan KTP sementara sebesar kertas bon)….. tapi ternyata, Alhamdulillah pulak tadak ade masalah saat mengurus semua surat-surat pernikahan saye dan termasuk surat pindah tinggal dan pindah agama dari calon suami ini

44  

[Semula saya adalah penduduk Pontianak yang pindah ke Kabupaten Ketapang. Karena hendak melangsungkan pernikahan di Pontianak, saya pun mengurus surat kepindahan lagi dari Kabupaten Ketapang ke Kota Pontianak. Lagi pula, calon suami saya ini dulunya adalah seorang Kristiani yang hendak masuk Islah sehingga perlu merubah perpindahan agama. Lagi pula, data dirinya telah dihapus dari KK orang tua di Ketapang. Semua surat-surat pindah pun sudah disiapkan, mulai dari pindah domisili hingga perpindahan agama yang hendak dicatatkan pada Kantor Kecamatan Pontianak Timur. Ketika mengurus surat pindah, KTP saya dan KTP calon suami juga sudah ditarik dan ditinggal di Kantor Kecamatan Matan Hilir Ketapang dan diganti dengan surat keterangan pindah domisili dari Pak Camat Matan Hilir yang juga saya sahkan ke Kantor Catatan Sipil Kabupaten Ketapang. Saat mengurus pergantian KTP di Kantor Camat Pontianak Timur, semula saya juga kaget karena Pak Camat hanya memberikan sepotong surat kecil begini ……. Tetapi, ternyata, Alhamdulillah, tidak ada kendala dalam pengurusan surat pernikahan di kantor Agama, termasuk surat pindah calon suami saya ini] Dari transkrip di atas, tidak ada kesan informan mendapat

perlakuan yang tidak baik. Memang, karena yang bersangkutan

tidak tahu, semula berpikir langsung mendapatkan pergantian KTP.

Tetapi, KTP yang diharapkan belum jadi, ia diberikan surat

keterangan pengganti KTP dan dengan membawa surat tersebut, ia

mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan.

Dari cerita Fitriani ini, saya sepakat bahwa pelayanan kepada

penduduk dalam rangka administrasi kependudukan telah

diberikan oleh petugas memenuhi unsur kualitas pelayanan

sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 dan

juga memenuhi ketentuan UU. No 23 tahun 2006, sementara

proses perekaman dan pengadministrasian perpindahan penduduk

lintas kabupaten yang telah dilengkapi dengan surat lengkap

seperti telah dipersiapkan Fitriani ini dapat diproses dengan cepat

dan memuaskan bagi masyarakat. Kelancaran dalam proses

45  

perekaman data kependudukan ini disebabkan yang bersangkutan

telah memenuhi syarat yang diperlukan.

Informan keempat adalah penduduk Kota Singkawang, dari

Kelurahan Roban, Kecamatan Singkawang, berinisial LBH (50

tahun) yang datang ke Kantor Pelayanan Satu Atap di Kota

Singkawang untuk mengurus Ijin Gangguan (HO). Karena belum

mengurus KTP, informan ini kemudian marah-marah setelah

petugas loket pelayanan HO yang meminta dirinya agar

melampirkan KTP atau menuliskan Nomor Induk Kependudukan

(NIK) pada formulir pendaftaran HO-nya.

Ternyata informan ini belum merekam data kependudukan

dan KTP yang dipegangnya telah mati sejak dua tahun lalu

sehingga proses pengurusan HO tidak dapat dilanjutkan.

Kepadanya juga disarankan agar menyertakan tanda tangan tidak

keberatan dari minimal 4 (empat) Kepala Keluarga yang berada di

lokasi usaha yang diajukannya dan sekaligus melampirkan KTP

tetangga yang bertanda-tangan pada formulir HO itu.

Karena merasa tidak mendapat pelayanan yang baik,

informan ini kemudian menghubungkan antara kualitas pelayanan

di Kantor Satu Atap (Kantor Perijinan versi baru) dengan Pelayanan

HO di Dinas Peridag (Kantor Perijinan versi lama) jauh lebih baik

versi lama. Oleh karena itu, informasi dari informan ini dianggap

tidak relevan karena informan lain, namanya berinisial YLS (47

tahun) yang juga mengurus perijinan yang sama (HO) justru

berpendapat bahwa pelayanan di Kantor Perijinan Satu Atas Kota

Singkawang ini adalah sudah lebih baik dan ringkas dari yang lama

karena pada kantor yang baru ini, proses perijinan dapat

diselesaikan hanya di satu kantor.

Sementara informan yang marah-marah tadi, menurut

informan ini kecewa dengan pelayanan karena persyaratan

pengurusan yang tidak lengkap. Oleh karena itu, saya akhirnya

46  

sepakat dengan informan kedua pada Kantor Perijinan Satu Atap

Kota Singkawang ini dan kemudian menyimpulkan bahwa

kekecewaan dari informan yang marah-marah tadi disebabkan oleh

tidak lengkapnya persyaratan (KTP) yang diperlukan untuk

memproses perijinan dimaksud sehingga yang bersangkutan tidak

dapat melanjutkan pengurusan ke proses berikutnya dan kemudian

menyalahkan petugas secara sepihak. Ia kemudian menarik berkas

atau usulannya dan pergi meninggalkan kantor dalam keadaan

marah-marah.

Informan lain, penulis temui di Sungai Pangkalan, Kecamatan

Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang. Ia adalah pria tua lajang

dengan usia sekitar 65 tahun, De Koni ia sehari-hari dipanggil.

Dengan pekerjaan pencari kayu bakar di hutan, ia merasa tidak

perlu mengurus KK dan KTP yang hilang karena tidak berdampak

apapun terhadap dirinya. Berikut ini adalah petikan

wawancaranya, saat penulis menemuinya yang sedang memikul

kayu bakar, pada Hari Rabu, tanggal 11 September 2013. Kepada

penulis ia menuturkan:

Illang ye illang lah…… untuk apelah ngurus yang gayye-gayye agek ….. Ape agek katenye harus lapor polisi, macam kitte tok penjahat …… saye tok jak dah tue, sorang agek …….. sean juak faedahnye ……. Nak kemane juak be pakai KTP segale….. mun sakit, tak pakai KTP lah kali …. Mballli obat di pasar, minum, bawa bekumbok, isok dah baik …… [Kalau sudah hilang, ya biarkan saja hilang ….. untuk apa juga saya mengurus KTP lagi. Apalagi, katanya harus lapor ke Polisi, seperti kita ini seorang penjahat saja …… Saya ini kan sudah tua, bujangan lagi .…. tidak ada juga manfaat bagi saya …… Memangnya untuk kemana dengan KTP Itu? ….. bilamana sakit, saya tidak membutuhkan KTP kali …… membeli obat di pasar sana, minum, bungkus badan dengan selimut (bekumbok), besok hari sudah sembuh dari sakit …….]

47  

Oleh karena itu, sepanjang KTP tidak bermanfaat bagi

masyarakat, maka mereka akan tidak tertarik untuk mengurusnya

dan oleh karena itu, dirinya tidak mengetahui pelayanan

pembuatan KTP di Kantor Kecamatan, baik versi KTP lama maupun

KTP baru (elektronik). Terlebih, untuk mengurus KTP, dirinya harus

mengeluarkan uang buat ongkos angkutan pedesaan yang berjarak

sekitar 10 Km dari rumahnya. Tanpa dijemput, penduduk seperti

De Koni ini akan tidak tertarik untuk megurus KTP dan juga tidak

perduli pada kualitas pelayanan public.

Sementara Salah satu Kepala Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil di Kalimantan Barat yang penulis temui di kantornya

pada hari Rabu, 11 September 2013, dan data dirinya tidak ingin

disebutkan, menyatakan bahwa:

“pemerintah membuat aturan ini karena pengurusan KTP direncanakan sekali untuk seumur hidup. Sebagai anggota masyarakat, rasanya tidak terlalu berlebihan jika dalam seumur hidupnya, masyarakat datang sekali ke kantor Camat biar tahu juga dengan apa pekerjaan pemerintah di kantor sana”.

Oleh karena itu, apa yang dikatakan De Koni ini ditanggapi

sebagai sebuah kelit (alasan) kalau ada sebagian penduduk yang

tidak faham akan manfaat KTP dan juga mungkin secara faktual

tidak pernah mempergunakan KTP selama aktivitasnya di desa

tersebut. Kadis itu kemudian melanjutkan bahwa:

“semestinya, Pak Camatnya menulis surat permohonan kepada Kepala Disdukcapil Kabupaten untuk dilakukan perekaman ofline di desa dan kemudian ada tanggung jawab Pak Camat untuk mengumpulkan masyarakat di satu tempat sehingga perekaman dapat dilakukan di desa itu”. Sebagai peneliti yang melihat langsung kondisi De Koni, saya

berpendapat bahwa bukan De Koni yang salah dan tidak juga ingin

menyalahkan pendapat Kepala DInas Dukcapil di atas, semestinya

pemerintah setempatlah yang menjemput dan memfasilitasi dirinya

48  

dengan membuat rentang pengurusan pergantian KTP sependek

mungkin atau meminta Kepala Desa atau Lurah untuk menjemput

yang bersangkutan dan dibawa ke Kantor Kecamatan agar proses

perekaman dapat dituntaskan secara cepat.

Seperti yang diakui oleh De Koni, meskipun KTP yang pernah

dimiliknya telah hilang entah kemana, tetapi hak-hak politik dirinya

tidak dengan serta-merta hilang. Mulai dari pemilihan Kepala Desa,

Pemilihan Bupati Bengkayang dan pemilu untuk Pileg dan Pilpres

tahun 2014 mendatang, namanya tetap terdaftar sebagai pemilih di

desa tersebut.

Mulai dari RT hingga aparat desa tidak lagi membutuhkan

klarifikasi dengan menunjukkan KTP De Koni untuk mendaftarkan

dirinya sebagai pemilih, karena identitas dirinya, tidak hanya

diketahui oleh Pak RT (melalui berkas yang tinggal di Ketua RT),

tetapi Pak Kades dan bahkan masyarakat di desa tersebut pun

sudah mengenal dan mengetahui asal-usul De Koni.

Masih banyak masyarakat Indonesia yang profilnye seperti De

Koni dan secara asal-usul mereka cukup jelas. Namun, karena

tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah, maka

dirinya “membiarkan” segalanya berlalu dengan mengambil sikap

seakan tidak perduli atas status kependudukan dirinya. Namun,

sebenarnya, sikap yang ditampilkan oleh De Koni ini adalah akibat

dari minimnya perhatian pemerintah sehingga ketidak-tahuan akan

fungsi KTP dan identitas diri berlanjut hingga di usia 65 tahun ini.

Pemerintah yang baik, seperti diharapkan oleh Stivers dan

Kings (1998) adalah pemerintah yang perduli dengan masyarakat.

Bilamana masyarakat sulit menjangkau pelayanan, maka

pemerintah membuat strategi, diantaranya strategi menjemput bola

yang ditujukan kepada penduduk yang tidak memiliki kapasitas

dalam mengakses layanan public agar dirinya tidak semakin

49  

termaginalkan oleh pemerintahnya sendiri, yang oleh Al Gore (1994)

disebut cost less dan better services.

Sikap yang ditunjukkan oleh De Koni ini adalah buah atau

ujung dari sikap pemerintah yang kurang intens terhadap warga

Negara yang tidak beruntung,

Oleh karena itu, De Koni menyatakan keberatan bilamana

dirinya dikatakan tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam

pengadministrasian data kependudukan melalui pembuatan KTP.

Menurut De Koni, justru dirinya sudah berpartisipasi kepada

pemerintah dengan tidak menuntut perlakuan yang macam-macam

dan tidak juga membuat pemerintah repot untuk mengurus dirinya

dengan membuatkan KTP pengganti yang telah hilang tersebut,

meskipun, lanjut Pria Renta ini, “dulunya saya ikut

memperjuangkan kemerdekaan negeri ini”. Baginya, ada atau tidak

ada KTP, kehidupannya tidak akan berubah lagi. Sebuah

pernyataan jujur dari seorang De Koni yang sederhana.

3.2. Penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Administrasi kependudukan merupakan sebuah sistem yang

diselenggarakan sebagai bagian dari penyelenggaraan administrasi

Negara yang pelaksanaannya dilakukan dengan azaz universal,

permanen, berkelanjutan, persamaan kedudukan dalam hukum,

perlindungan dan kepastian hukum. Data yang direkan terkait

SIAK adalah peristiwa penting kependudukan yang bermanfaat bagi

kepentingan penduduk itu sendiri dan bagi kepentingan

pemerintah.

Dengan terekamnya data kependudukan melalui SIAK ini,

Negara diharapkan dapat memberikan pelayanan publik dan

50  

berbagai bentuk jaminan sosial dan perlindungan hukum sebagai

warga Negara. Sementara kepentingan pemerintah terhadap SIAK

ini adalah selain mewujudkan tertib administrasi kependudukan,

juga sebagai langkah pertama dalam mendesain pemberian

perlindungan secara wajar, pemberian layanan secara baik kepada

setiap warga Negara (Al Gore, 1994).

Dengan diberlakukannya UU No.23/2006, substansi

administrasi kependudukan mencakup pendaftaran penduduk dan

pencatatan sipil. Pencatatan sipil menitikberatkan pada aspek

keperdataan, sedangkan administrasi kependudukan bersifat

hukum administrasi negara. Dalam BAB II Pasal 2 pada UU No.

23/2006 secara jelas menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal

yang semestinya didapat oleh seorang penduduk dan itu menjadi

kewajiban dari pemerintah untuk memenuhinya. Secara lengkap,

bunyi pasal tersebut adalah:

Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen kependudukan b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan

pencatatan sipil c. Perlindungan atas data pribadi d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk

dan pencatatan sipil atas dirinya dan atau keluarganya f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat

kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh insansi pelaksana.

Berdasarkan ketentuan di atas, SIAK yang dilaksanakan

melalui salah satunya adalah e-KTP menjadi bentuk implementasi

tugas Negara, yang dalam hal ini diperankan oleh pemernintah

beserta jajarannya, untuk menunaikan kewajiban Negara. Oleh

karena itu, menjadi wajar bilamana e-KTP tersebut dilakukan oleh

pemerintah secara gratis dengan tetap berkualitas sebagaimana

dimaksud oleh Linden (1994) dan juga Al Gore (1994) sebagaimana

51  

dikutif di atas bahwa “delivery best services with costless”

merupakan upaya pemerintah dalam menunaikan kewajibannya

kepada masyarakat yang telah mendelegasikan kewenangan,

kekuasaan, sumberdaya dan lain-lain kepada pemerintah.

Pada prinsipnya kebutuhan praktis UU No. 23/2006 adalah

akan membawa implikasi terhadap sistem administrasi

kependudukan menjadi yang lebih baik jika dalam

penyelenggaraannya juga dapat mengaktualisasikan asas-asas

umum pemerintahan yang layak dalam pelaksanaannya.

Seorang Camat di Kabupaten Bengkayang (ZRT, 50 tahun)

menjelaskan bahwa tidak perdulinya masyarakat terhadap

Administrasi pendudukan tidak dapat dengan serta merta

ditujukan kepada masyarakat. Banyak factor yang mesti

diperhatikan, seperti pendidikan, pekerjaan dan waktu yang

dimiliki. Antara kebutuhan masyarakat dengan kebutuhan Negara

atau pemerintah yang saling bertolak belakang. Dicontohkan oleh

Pak Camat adalah pengurusan KTP.

Meskipun pihak kecamatan dan desa telah melaksanakan

sosialisasi pentingnya KTP, tetapi tidak semua mereka dapat

mengikuti kegiatan itu sehingga mereka tidak tahu akan arti

penting KTP bagi dirinya dan juga bagi pemerintah.

Setelah di dalami, ternyata penduduk ini berprofesi sebagai

nelayan yang pulang ke rumahnya per dua minggu sekali dan atau

kadang hanya sebulan sekali. Dirinya memiliki KTP, tetapi KTP

yang saat ini dipegangnya sudah mati. Berikut petikan wawancara

dengan ZRT (50 tahun) pada hari Rabu tanggal 11 September 2013

di ruang kerjanya:

52  

”Masyarakat di sini, menurut saya sudah sangat responsif terhadap administrasi kependudukan. Buktinya, proses perekaman hingga saat ini sudah di atas 80%. Itu tercapai karena sebelumnya kita adakan sosialisasi. Sasaran sosialisasi adalah para Kepala Keluarga yang dalam setiap sosialisasi pada setiap desa hadir berkisar 25 sampai 100 KK dan telah dilaksanakan ke seluruh desa di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan ini. Di beberapa desa, sosialisasi kita lakukan di malam hari dan bahkan beberapa desa berlangsung hingga pukul 10 malam ……. Ya namanya masyarakat, baru saja kita ngomong, sudah ada yang tidur. Apa kita mau paksa mereka supaya tidak tidur? Sebagai Camat, saya maklum karena di siang hari mereka bekerja keras di kebun, di hutan. Faham atau tidak, sudah bukan urusan saya sebagai Camat …. Sama juga dengan Bapak ….. tugas Bapak kan mengajar, yakni menyampaikan materi ajar, namun apakah mahasiswa Bapak serius atau tidak ikut kuliah Bapak ……. Itu sudah urusan mahasiswa masing-masing, sepanjang mahasiswa tidak ribut. Kan Bapak tidak boleh marah sama mahasiswa yang kelihatan tidak serius dan tidak ganggu kawan lain. Sama juga lah dengan saya, saat mensosialisasikan UU tersebut, masyarakat tampaknya serius mengikutinya. Persoalan paham atau tidak, kan tidak bisa saya ukur seketika itu. Tapi dengan proses pendataan yang sudah di atas 50%, saya rasa masyarakat di Kecamatan ini sudah pahan akan arti penting KTP bagi dirinya dan bagi Negara. Namun, sisanya, yang belum melakukan perekaman data kependudukan, mungkin itu yang belum paham. Tetapi, sebagai pelayan masyarakat, kami pihak kecamatan bersama Disdukcapil Kabupaten Bengkayang, selalu men-stanbye-kan fasilitas dan petugas pelayanan perekaman data kependudukan di Kantor Camat ini.

Dari rekaman wawancara di atas, beberapa informan juga

sempat ditanya mengenai sosialisasi tersebut dan mereka

membenarkan bahwa pihak kecamatan berkejasama dengan

Disdukcapil di beberapa kabupaten membenarkan adanya kegiatan

sosialisasi tersebut.

Namun, tetap saja ada anggota masyarakat yang merasa

belum ada kegiatan sosialisasi sebagaimana petikan wawancara

dengan Bapak Ja’far (60 tahun) di Desa Sungai Jaga B pada hari

53  

Jum’at 20 September 2013 pukul 17.00 di rumahnya yang

sederhana, berikut ini adalah pernyataanya.

Sosialisasi UU No. 23 tahun 2006? Tak tahu saya Pak e …..! Saye tok jak kurrang gaol, sibok ke utan, gesek kayu mbuat papan ….. behari-hari dalam uttan sinnun ….. tak tau hal kampong. Mun binni saye mungkin tahu die, tapi die paggi kumme ….. buah hari barok balik ….. kallak Bapak balik agek lah, jumpe dan tanyak-tanyak ngan binni saye ……. [Sosialisasi UU No. 23 tahun 2006? Tak tahu lah saya Pak! Saya ini kurang bergaul, karena kesibukan bekerja di hutan menggesek kayu untuk dibikin papan ….. berhari-hari dalam hutan ….. sehingga tak mengetahui urusan di kampong ini. Kalau isteri saya, mungkin tahu tentang sosialisasi tersebut, tetapi dia saat ini masih bekerja di sawah ….. sore menjelang magrib baru kembali ke rumah. Nanti Bapak kembali lagi ke sini untuk bertemu dan berwawancara dengan istri saya ya ……]. Dari hasil wawancara di atas, Pak Ja’far yang sehari-hari

bekerja di hutan, tidak hanya tidak paham dengan UU No. 23

tahun 2006 tetapi juga tidak tahu dengan urusan di desa. Saat

ditanya tentang perekaman data kependudukan, informan ini

melanjutkan dan bahkan menyarankan sesuatu, seperti petikan

berikut ini:

Mun kate saye ….. pemerentah tok jak dah gille …… kamek tok kan urang kaccik ….. disuruh mbuat KTP segale …… dan harus ke Sungai Duri sinun …… Mun dolok, titip Pak Pong be dah lakkak urusannye. Kintok, nak pakai datangge’ age’ ….. katenye maok difoto di sinun ….. macan tak cayak kamek ini urang sitto’ be ….. mane boleh duit he …. Mun maok …. kandak ang ….. macam kamek tok …. barrek lah duit …… ganti hasel kerje sehari ….. barrok bise mbarakkan kerje ….. mun ndak gayye …… kamek maok makan ape hari ittok dan isok?”

[Menurut saya, pemerintah sekarang sudah gila ….. kami ini orang kecil ….. diminta untuk membuat KTP segala ….. dan harus (pergi) ke Sungai Duri (Kantor Kecamatan) sana ….. Dahulu, membuat KTP boleh dititip dengan Kepala Desa dan tuntas urusan KTP dimaksud. Sekarang, harus mendatangi petugas di sana …… katanya untuk difoto …… seperti tidak percaya kami ini adalah masyarakat di sini …… mana kami

54  

punya uang …. Kalaulah pemerintah bijak, orang seperti kami (yang miskin) ini ….. diberikan uang untuk mengganti hari kerja sehari yang hilang karena tidak bekerja…… sehingga kami dapat meninggalkan kerja untuk mengurus KTP tersebut ….. Kalau tidak ada penggantian biaya meninggalkan kerja, …… hari ini dan esok kami mau makan apa? Dari petikan wawancara di atas, sepertinya sulit mencapai

angka perekaman sebesar 100% bilamana tidak ada kebijakan

khusus dari pemerintah untuk kelompok masyarakat dengan

kebutuhan khusus seperti Pak Ja’far di atas. Bilamana perekaman

dimaksud lebih menekankan untuk kebutuhan penduduk, maka

data orang-orang di keluarga Pak Ja’far akan tetap tidak dapat

direkam karena antara kebutuhan Pak Ja’far dengan kebutuhan

pemerintah tidak saling bertemu.

Dari pembacaan jumlah penduduk miskin di Kalbar, terdapat

sebanyak 39 ribu lebih sebagaimana tertera pada Gambar 4 berikut

ini, dan terlebih khusus di daerah perdesaan yang terbatas akses

menuju kecamatan, perlu mendapat perhatian lebih agar proses

pendataan menjadi lebih cepat.

Pemerintah di satu sisi melihat perekaman data penduduk

adalah untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri yakni dengan

membudahkan pemerintah dalam perencanaan dan implementasi

pelayanan public, sementara bagi Pak Ja’far, untuk merekam data

kependudukan yang membutuhkan biaya tinggi itu akan

menghilangkan pendapatannya sehari sehingga akan mengganggu

ketersediaan konsumsi di rumahnya di hari itu. Pak Ja’far akhirnya

menjatuhkan pilihan pada tidak merekam data kependudukan.

Bagi Pak Ja’far yang hanya tinggal berdua dengan istrinya, karena

kedua anak lelakinya sudah kawin dan telah pisah KK, merasa KTP

tidak dibutuhkannya lagi.

 

S

k

m

p

r

m

p

d

t

K

k

s

B

m

p

Gam

Sumber: S

Nam

kependud

mendapat

pendapata

reratanya

menyediak

profile sep

data kepe

tuntas da

Kasus k

kependud

sehingga

Barat men

Dari

mereka, K

(Juli 1, 20

penduduk

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

mbar 4. Ju

Statistik Pr

mun, sepe

ukan bil

tkan gant

annya dal

sebesa

kan dana

perti Pak

enduduka

lam waktu

khusus

ukan di

para RT p

ngeluh ada

i data k

Kepala BPS

003) meny

k miskin.

0.00 

0.00 

0.00 

0.00 

0.00 

0.00 

0.00 

0.00 

7

umlah Pen

rovinsi Ka

rti diungk

lamana p

ti rugi d

am sehari

ar Rp

sebesar R

Ja’far ini

n sebagai

u yang tid

lambatny

Kalbar i

pada wilay

anya.

kependudu

S Provinsi

yebutkan a

Bila dem

KOTA

PENDU

71,750.00 

duduk Mi

albar, 2013

kapkannya

pendapata

ari peme

i, dari me

80.000,0

Rp 100.00

, maka a

imana UU

dak berlar

ya penu

ini diseba

yah perde

ukan men

Kalbar se

angka seb

mikian, ma

DESA

UDUK MISKIN 

297,260

skin Kalba

3

a, ia berse

an yang

rintah. D

engolah ba

0. Bilam

00,00 untu

da kemun

U No, 23

rut-larut s

untasan

abkan ole

esaan di P

nurut ting

ebagaiman

esar 369.0

aka dibut

KALBAR 2013

0.00  3

ar 2013

edia mere

hilang s

Dari penu

alok menj

mana p

uk keluarg

ngkinan p

tahun 2

seperti sek

perekama

eh bany

Provinsi K

gkat kese

na dimuat

010 (8,24%

tuhkan se

TOTAL369,010.00 

55

ekam data

sehari itu

uturannya,

adi papan

emerintah

ga dengan

perekaman

006 akan

karang ini

an data

yak factor

Kalimantan

ejahteraan

di Antara

%) sebagai

ebesar Rp

a

u

,

n

h

n

n

n

.

a

r

n

n

a

i

p

56  

36,9 M untuk penyediaan uang pengganti hari kerja masyarakat

miskin yang belum merekam KTP. Sementara, dari sumber yang

sama, Penduduk Indonesia hingga tahun September 2013 yang

hiduo di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 28,07 Juta orang

(11,37%). Untuk mengganti biaya produksi yang tertunda akibat

masyarakat harus mengurus perekaman data kependudukan

dibutuhkan dana sebesar Rp 2,8 T.

Mau dikata apa lagi, itu konsekwansi yang harus ditanggung

Negara karena pemerintah gagal membangun perekonomian rakyat

secara berkeadilan sehingga penduduk miskin tetap menjadi

tanggungan Negara (Neo dan Chen, 2007) sebagai konsekwensi dari

UUD 1945. Sepanjang tidak ada kebijakan khusus untuk penduduk

berkebutuhan khusus ini, maka untuk mencapai perekaman

sebesar 100% menjadi nisbi adanya.

Profil seperti yang ditampilkan oleh De Koni dan Pak Ja’far

adalah realita yang nyata dalam kehidupan masyarakat dan dapat

temui di semua daerah dan bahkan mewarnai profil penduduk

Indonesia di wilayah perdesaan di Kalimantan Barat. Mereka ini

merasa tidak membutuhkan KTP karena kebutuhan akan

kepemilikan KTP yang tidak banyak membantu dibanding desakan

kebutuhan ekonomi. Akhirnya, pilihan jatuh pada membiarkan

data kependudukan dirinya tidak diurus, walaupun konsekwensi

dari sikap ini adalah tidak tersalurkannya berbagai program

bantuan kepada penduduk miskin.

Namun, ketika kelompok ini tidak terakomodir dalam sebagai

paket bantuan program pemerintah, kembali pemerintah yang

dipersalahkan sebagai pemerintah bagi semua karena dengan

masyarakatnya saja mereka tidak kenal. Jangankan

memperhatikan kesejahteraan masyarakat, kenal pun tidak.

Ungkapan ini dapat dibaca pada “Equatir Rakyat Kalbar” dimana

Abu Yahya, warga Jalan Selat Panjan, Gag Wartawan Siantan Hulu

57  

yang bercerita bahwa warga buta dan tidak mampu tak dapat

BLSM, tidak ada satu pihakpun yang mengaku salah. Saat

dikonfirmasi ke RT, dibilang itu data dari Kelurahan dan ketika

dikonformasi ke Lurah, melemparkan kesalahan kepada RT. Pendek

cerita, fenomena menunjukkan bahwa update data belum terjadi

dan orang miskin tetap menjadi sasaran tembak yang empuk dan

juga dapat dimanipulasi sedemikian rupa sebagai akibat dari

pemerintah yang tidak perduli akan nasib mereka, termasuk dalam

urusan pendataan dan perekaman data kependudukan.

3.3. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran Masyarakat Dalam Perekaman Data Kependudukan Implementasi sebuah undang-undang memang tidak mudah

karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Dibutuhkan tidak hanya

dukungan dari instransi teknis yang secara langsung bertugas

dalam implementasi, tetapi juga dari berbagai instansi terkait lain,

termasuk juga dukungan dari pihak pembantu pelaksana yang

dalam hal ini adalah Camat, Kades/Lurah dan RT serta RW.

Dukungan terakhir adalah dari masyarakat yang merupakan

sasaran akhir dari implementasi UU No. 23 tahun 2006.

Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa

pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum,

mempermudah urusan publik, mempersingkat prosedur pelayanan,

dan mempersingkat waktu proses tetapi memperpanjang jam

pelayanan. Semua itu dimaksudkan untuk memberikan kepuasan

kepada publik.

Undang-Undang tentang administrasi kependudukan pada

dasarnya hendak menyelesaikan enam masalah mendasar, yaitu

dasar hukum, kelembagaan, aparatur, dokumen dan data serta

pemahaman masyarakat terhadap manfaat dokumen

58  

kependudukan dan mekanismenya. Penertiban di bidang

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil perlu dilakukan

dengan pertimbangan bahwa masih banyak penduduk yang belum

mengurus KTP. Juga ditemukan adanya penduduk yang tidak mau

melaporkan kedatangannya pada pengurus RT setempat mereka

tidak memiliki surat atau dokumen keterangan pindah sehingga

administrasi kependudukannya tidak dapat diproses.

Dengan SIAK, pengurusan administrasi kependudukan

(adminduk) dapat dilakukan secara cepat melalui online antar

petugas pencatat yang terintegrasi ke dalam sistem. Dalam

pelaksanaan adminduk dimaksud, pemerintah daerah Kabupaten

dan Kota berkewajiban dan bertanggungjawab dalam:

a. Koordinasi penyelenggaraan adminduk b. Pembentukan instansi pelaksana c. Pengaturan teknis penyelenggaraan adminduk d. Pembinaan dan sosialisasi e. Pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat f. Penugasan kepada kepala desa untuk menyelenggarakan

sebagian adminduk berdasarkan tugas pembantuan g. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala

Kabupate/Kota h. Melakukan koordinasi dan pengawasan

Administrasi kependudukan dilaksanakan oleh Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil dengan kewajiban antara lain,

mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting,

memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap

penduduk, menertibkan dokumen kependudukan, mendokumen-

tasikan hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil,

menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas peritiwa

kependudukan dan peristiwa penting serta melakukan verifikasi

dan validasi data dan informasi yang disampaikan penduduk dalam

pelayanan pendaftaran penduduk dan catatan sipil.

Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan di Kalimantan Barat secara umum

59  

dapat disimpulkan tidak cukup efektif untuk mentertibkan

masyarakat karena isi undang-undang tersebut belum seluruhnya

di implementasikan secara baik, terutama dalam menjangkau

kantor-kantong penduduk yang memiliki keterbatasan akses.

Dari beberapa temuan di lapangan, terindikasi bahwa tidak

efektifnya Implementasi Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang

Admnistrasi Kependudukan lebih dikarenakan oleh faktor akses,

kemiskinan, pengetahuan dan kepentingan atau tujuan yang tidak

saling bertemu.

Dari hasil wawancara dengan banyak pihak, terkait faktor

yang mempengaruhi perekaman data kependudukan dapat

dirangkum sebagai berikut:

3.3.1. Domisili yang tidak di tempat alamat

Fenomena ini antara lain disebabkan oleh tugas, menjadi TKI,

peniaga antar daerah, studi dan narapidana. Fenomena ini ditemui

di seluruh wilayah di Kalimantan Barat. Masyarakat suatu

kabupaten atau kota tidak harus tinggal di mana namanya tercatat.

Mereka memiliki rumah sesuai alamat KTP, tetapi secara fisik

mereka tidak berada di rumah itu karena tugas tetap di luar

daerah, tidak terbatas pada pegawai negeri sipil, TNI dan POLRI

saja, tetapi juga ada yang menjadi pegawai swasta.

Diantara mereka, bahkan ada yang bekerja di luar negeri

sebagai TKI atau TKW serta pegawai swasta yang bekerja di luar

daerah. Mereka pulang ke alamat dimana namanya teratat hanya

setahun sekali dan saat pulang ke rumah, kantor pemerintah

tempat pencatatan atau perekaman data kependudukan, mulai dari

kantor kelurahan/desa hingga Kantor Catatan Sipil dalam

keaadaan libur sehingga tidak mungkin dilakukan perekaman.

Mereka kembali ke tempat bekerja sebelum kantor atau tempat

perekaman data dibuka kembali sehingga selamanya, penduduk

60  

yang demikian tidak dapat dilakukan perekaman bilamana harus

dicatat di domisili itu.

Oleh karena itu, perekaman untuk penduduk seperti ini

membutuhkan kebijakan khusus, tidak harus direkam pada kantor

kecamatan di alamat sebagaimana tertera dalam KTP, melainkan

dapat direkamkan pada kantor kecamatan terdekat dengan tempat

mereka bekerja. Data hasil perekaman itu dapat dikirimkan kepada

petugas di kecamatan dimana ia beralamat untuk proses

pemutakhiran KK yang bersangkutan. Tanpa kebijakan itu,

selamanya, data penduduk bertipe ini sulit terekam dan baru dapat

direkam setelah yang bersangkutan benar-benar membutuhkan

KTP. Tanpa kebutuhan khusus, perekaman data kependudukannya

tidak dapat dilakukan, maksimal hingga lima tahun berselang.

Penduduk yang tidak dapat segera direkam data

kependudukannya juga datang dari mahasiswa atau pegawai yang

tugas belajar yang memboyong seluruh anggota keluarganya ke

tempat dimana ia studi. Petugas perekaman juga akan mengalami

kesulitan karena dalam interval waktu tertentu (setahun atau

selama masa studi), mereka tidak kembali ke alamat dan baru akan

kembali setelah studi mereka rampung. Untuk penduduk dengan

type ini juga membutuhkan kebijakan khusus sebagaimana

kebijakan untuk perekaman data penduduk yang bekerja di luar

daerah.

Sedangkan narapidana, data kependudukannya akan

mengalami kesulitan dalam perekaman karena proses ijin keluar

lembaga pemasyarakat membutuhkan prosedur yang rumit

sehingga penduduk yang masih atau sedang menjalani hukuman,

juga akan tidak terekam. Meskipun kasus ini tidak merata di setiap

kecamatan, tetapi beberapa wilayah perkotaan, dijumpai penduduk

yang sedang menjalani hukuman. Namun, status narapidana akan

tidak berdampak pada percepatan bilamana terdapat kebijakan

61  

khusus dengan petugas mendatangi lapas dan kemudian

melakukan pendataan sebagaimana dilakukan di kawasan yang

terbatas akses. Data yang terekam dapat didistribusikan ke

kecamatan dimana narapidana itu berdomisili melalui perangkat

intranet atau internet.

3.3.2. Faktor Usia

Faktor usia yang dimaksud adalah usia lanjut dan sebagai

pembanding akan juga disinggung usia tanggung, terutama pada

anak usia sekolah lanjutan atas, yang juga turut menentukan

keberhasilan perekaman. Penduduk dengan usia di atas 60 tahun

semestinya dipandang sebagai penduduk yang berkebutuhan

khusus sehingga pelayanan kepada mereka juga bersifat khusus.

Kekhususan ini tidak saja dalam bentuk pemberian KTP seumur

hidup, tetapi juga menjemput mereka untuk perekaman. Jumlah

mereka, mulai dari usia 60 hingga 95 tahun ke atas sebanyak

258.271 orang (Data Sensus Penduduk 2010). Data lengkap dapat

dilihat pada Gambar 5.

Kelompok ini, karena kerentaannya, pasti mengalami

kesulitan dalam perekaman dan tidak juga dapat dipaksa agar

datang ke Kantor Kecamatan, meskipun berjarak dekat, terutama

pada daerah perkotaan. Dan, menjadi lain kondisi dan kesulitannya

pada daerah perdesaan yang sedemikian rupa memiliki akses

terbatas dengan

Distribusi penduduk usia lanjut yang diperkirakan

mengalami kesulitan dalam pendataan dan perekaman dapat dilihat

pada Grafik 1, yakni golongan penduduk pemegang KTP seumur

hidup atau pada usia 60 tahun ke atas.

62  

Gambar 5 Penduduk Usia 60 tahun ke Atas yang Berkebutuhan Khusus

Di Provinsi Kalimantan Barat, 2011

Sumber: BPS tahun 2011.

Nenek Salbi yang telah diwawancarai di Kecamatan Sungai

Ambawang dengan jujur mengaku bahwa:

“Kalu mao ditorotkan hati malas nenek ni dah bukan agek cok e …… tapi, nenek harus gak ikut nguros KTP ini karena nenek perlu KTP ba. Tok berobat ba cok ….. Pak Bupati, katenye dah ngomong ugak ….. kalau orang KKR dah ade KTP, bise langsong buat berobat …… ke Puskesmas gratis dan ade gak tetangga nenek, waktu itu die berobat ke Sudarso kenak parang kakinye …… pun gunakan KTP ….. langsong ade orang yang ngurus surat berobat gratis orang miskin….. Jadi, nenek pun pingin gak macam tetangga nenek tu …. Bile-bile sakit, unjok KTP ……. berobat pun gratis”

Kalau hendak diturutkan malas hati nenek ini, sudah bukan lagi malasnya! Tapi, nenak harus mengurus pembuatan KTP ini karena nenek memang perlu. Paling tidak, untuk keperluan berobat (gratis). Pak Bupati, katanya sudah juga menyampaikan kepada warga bahwa KTP KKR dapat digunakan untuk berobat …. Khusus buat penduduk KKR yang memiliki KTP, KTP tersebut dapat digunakan untuk berobat ….. ke Puskesmas gratis dan bahkan tetangga nenek, sewaktu berobat ke RSUD Dr. Soedarso, sakit karena kecelakaan kerja (kakinya terbacok golok) … pun

101,023.00 

70,763.00 

43,539.00 

21,878.00 12,221.00 

5,159.00  2,237.00  1,451.00 ‐

20,000.00 

40,000.00 

60,000.00 

80,000.00 

100,000.00 

120,000.00 

60 ‐ 64 65 ‐ 69 70 ‐ 74 74 ‐79 80 ‐ 84 85 ‐ 89 90 ‐ 94 95+

PENDUDUK USIA LANJUT KALBAR, 2010

KELOMPOK UMUR

63  

menggunakan KTP …… Dengan memegang KTP dan berasal dari keluarga miskin, langsung ada pihak yang mengurus surat berobat. Jadi, nenek juga ingin seperti tetangga nenek itu …. Saat sakit nanti (entah kapan), nenek cukup dengan memperlihatkan KTP ….. berobat pun dapat gratis.

Dari ungkapan hati Nenek Salbi di atas, sebenarnya ia juga

mengharapkan perekaman itu dilakukan di rumahnya karena factor

usia. Namun itu tidak dilakukan karena memandang KTP sebagai

hal penting untuk kebutuhan akses pada layanan kesehatan dan

BALSM yang diluncurkan pemerintah terkait konvensasi kenaikan

Bahan Bakar Minyak (BBM). Tanpa kedua tujuan itu, Nenek Salbi

juga menyatakan tidak akan mengurus KTP lantaran usia.

Kemudian, karena factor usia juga, terdapat kelompok

penduduk yang baru memasuki usia 17 tahun dan oleh

Disdukcapil dilakukan penjemputan bola ke sekolah-sekolah seperti

dilakukan oleh Disdukcapil Kota Pontianak (Tribun Pontianak, 1

Oktober 2013) yang berhasil merekam sebantak 1.407 pelajar

SMK/SMA se Kota Pontianak danm akan terus dilakukan sehingga

mencakup seluruh SMA/SMK hingga November 2013 mendatang.

Padahal, pelajar SMA/SMK dimaksud dapat dating sendiri ke

kecamatan terdekat, tanpa harus dijemput seperti ini. Dan akan

menjadi baik bilamana perekaman mobil itu juga dilakukan pada

kelompok usia tua yang secara nyata membutuhkan sentuhan

kebijakan dari pemerintah.

3.3.3. Akses: Bentang Wilayah

Faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi bersinergi dengan

keterbatasan sumberdaya. Faktor akses ini membuat aparat atau

petugas pemerintah kesulitan dalam menjangkau kawasan unit

pemukiman penduduk. Disisi lain, masyarakat juga mengalami

akses yang sulit untuk menjangkau unit pelayanan perekaman data

64  

(Kantor Kecamatan). Unit pelayanan itu baru dapat disediakan di

Kantor Camat, sementara jarak dan akses dari lokasi pemukiman

ke kantor camat baru dapat dijangkau oleh masyarakat setelah

mereka mengeluarkan sejumlah uang.

Dari pandangan masyarakat desa, pengeluaran untuk

merekam data penduduk dimaksud dinilai tidak berbanding lurus

dengan efek manfaat yang dirasakan masyarakat. Bila biaya yang

dikeluarkan untuk menjangkau kecamatan sebesar Rp 100.000,

tetapi masyarakat hanya memperoleh sebuah kertas berlapiskan

plastic yang bergambar dirinya, dianggap tidak sepadan dengan

harga Rp 100.000 itu. Karena dianggap biaya yang dikeluarkan itu

tidak memiliki manfaat yang sepadan, maka sebagian mereka

memilih untuk tidak merekam data kependudukan.

Sementara dari sisi pemerintah, usaha perekaman pada

kawasan dengan akses terbatas, memaksa pemerintah untuk

menjemput bola dengan mendatangi unit pemukiman penduduk.

Perekaman itu dilakukan secara ofline karena daerah yang

dijangkau tidak tersedia listrik dan jaringan internet. Di sisi lain,

keterbatasan sumber daya pelaksana dan dana serta fasilitas selalu

menjadi penghambat utama sehingga upaya menjemput bola

dimaksud tidak dapat dilakukan oleh semua daerah dan kalaupun

dapat dilakukan, prosesnya membutuhkan waktu panjang.

Setelah perekaman secara ofline di kawasan khusus ini

selesai, para petugas harus menyediakan waktu lagi untuk meng-

upload data base tersebut ke dalam system SIAK dan pekerjaan itu,

tidak hanya membutuhkan waktu dan tenaga, tetapi juga uang

untuk lembur yang terkadang tidak dibarengi dengan penghargaan

yang cukup dari pemerintah, sementara tenaga pelaksana adalah

tenaga honorer yang penghasilannya sangat terbatas. Akibatnya,

perekaman data kependudukan pada daerah terbatas akses

menjadi lambat dan bahkan cenderung terabaikan.

65  

Oleh karena itu, akan menjadi baik bilamana upaya ini

dilakukan secara berkesinambungan dan tidak melupakan keringat

dari petugas yang susah payah telah melaksanakan “perintas”

atasan dengan penuh tanggung jawab. Dan, bila memungkinkan,

kepada mereka diberikan insentif khusus dengan menghitung

jumlah kepala atas data yang berhasil direkan, terutama pada

daerah dengan akses yang terbatas ini.

3.3.4. Usaha yang Berpindah (mobile)

Ke dalam kelompok ini antara lain adalah tukang urut,

berdagang antar kota dan sopir ekspedisi atau sopir bis dimana

mereka menjalankan usaha yang berpindah dan dengan akselerasi

yang tinggi sehingga terjadi ketidak-cocokan dengan waktu

pelayanan perekaman data kependudukan.

Ketika wawancara dengan Kepala Dinas Catatan Sipil dan

Kependudukan Kabupaten Sambas, Pak Kadis menyatakan bahwa

proses perekaman di Kabupaten Sambas hingga 27 September 2012

sudah mencapai 85% dan terjadi merata di hampir seluruh

kecamatan se Kabupaten Sambas.

Saat ditanya, apakah mungkin mencapai angka 100%, Pak

Kadis pun spontan menyatakan “agak sulit karena banyak factor”.

Bahkan, Pak Kadis juga memperlihatkan data penduduk yang

belum melakukan perekaman. Dari daftar tersebut, tertera daftar

“by name by address secara lengkap Pak” imbuhnya. Pak Kadis juga

menyatakan bahwa “Data mereka ada di Kabupaten Sambas, tetapi

secara fisik mereka tidak tinggal di Sambas, karena sekolah,

menjadi TKI di Malaysia dan bahkan ada juga yang berniaga, tak

balek-balek ke rumah mereka” demikian ujar Pak Kadis. Mereka

yang paling banyak berniaga atau bekerja secara mobile demikian

adalah pada Kecamatan Sejangkung dan Sajingan.

66  

Baik Camat Sejangkung maupun Camat Sajingan, yang

dihubungi secara terpisah melalui seluler mereka secara sama

mengatakan bahwa proses perekaman data penduduk dalam

rangka e-KTP sudah mencapai antara 85-86%. Mayoritas mereka

yang tidak terekam adalah TKI, peniaga bergerak, kerja PT1, pelajar,

orang tua-renta dan narapidana. Akumulasi berbagai profesi di atas

mencapai rata-rata 20 orang per desa.

Namun, demikian Pak Camat menutup tilponnya bahwa

proses perekaman akan terus dipersiapkan sehingga kapan-kapan

mereka datang ke Kantor Kecamatan, perekaman siap dilakukan.

Tetapi, terkait perekaman yang mobile, kedua camat tersebut

menyatakan belum mengajukan usulan kepada Kadis Dukcapil

Kabupaten Sambas karena medan yang terlalu berat sehingga

dikhawatirkan merusak peralatan yang ada.

3.3.5. Merasa KTP lama masih berlaku

Kejadian yang dialami oleh LBH (50 tahun) di Kota

Singkawang adalah salah satu contoh bahwa pemegang KTP tidak

melihat lagi tahun berakhir KTP yang dipegangnya. LBH yang sibuk

dengan usaha dagangnya tidak memperhatikan lagi masa laku KTP

yang dipegangnya dan pada saat harus memperpanjang usahanya,

dirinya baru sadar kalau KTP adalah penting karena semua instansi

pemerintah meminta dilampirkan KTP sebagai syarat mengakses

layanan public.

                                                            1   Kerje PT adalah pekerjaan yang digeluti oleh sebagian kecil masyarakat Kabupaten Sambas di 

sector kehutanan. Mereka berangkat kerja ke luar daerah dan bahkan ada yang hingga ke luar Kalbar  untuk  “menggarap”  hutan  di  luar  Kabupaten  Sambas.  Pekerja  PT  ini  pada  umumnya adalah kaum  laki‐laki dan biasanya  juga adalah Kepala Keluarga untuk masa kontrak antara 3 hingga  6  bulan.  Selama  ditinggal  oleh  Kepala  Keluarga,  si  Istri  tidak  bersedia merekam  data kependudukan mereka dengan alasan dirinya bukan Kepala Keluarga. Perekaman baru dapat dilakukan  setelah  KK  kembali  ke  kampong  halaman.  Meskipun  terlambat,  Pak  Camat Sejangkung  dan  Samat  Sajingan menyatakan  tidak  ada  persoalan  dalam  pelayanan  kepada mereka dan seluruh anggota KKnya.  

67  

Dari kejadian LBH ini, penulis kemudian mencoba

menghubungi fihak Kantor Kecamatan terdekat dengan alamat LBH

untuk menanyakan apakah LBH telah melakukan perekaman data.

Pak Camat Singkawang Barat yang penulis hubungi via seluler

menyatakan bahwa LBH baru selesai melakukan perekaman data

kependudukannya dengan membawa anak dan istrinya yang telah

berhak memiliki KTP. Dan kemudian, LBH dengan KTP sementara

yang dipegangnya, juga mendatangi Kantor Perijinan Terpadu Kota

Singkawang untuk melanjutkan proses ijin gangguan yang

seminggu sebelumnya sempat terkendala karena KTP yang

kadaluarsa.

3.3.6. Warga Pendatang Yang Malas Lapor.

Salah seorang Administrator Data Base (ADB) di Kabupaten

Kubu Raya mengatakan bahwa setelah KTP diintegrasikan dengan

berbagai layanan publik, terdapat intensitas yang cukup tinggi dari

masyarakat untuk melaporkan perubahan kependudukan. Dulu,

pisah KK dan lain-lain jarang dilaporkan masyarakat kepada

petugas perekaman data. Sekarang dengan adanya berbagai bentuk

bantuan instan dari pemerintah, intensitas itu meningkat hingga

200 kali. Sebelum ada program instan, pelaporan kependudukan

terjadi hanya sekitar 10 kali dalam sebulan, sekarang bisa

mencapai 200 laporan setiap bulannya.

”jumlah pemohon KK dan KTP dapat diindikasikan meningkat sejak setahun ini dikarenakan adanya kebijakan dari pemerintah seperti askeskin, konversi gas, PKH dan lain-lain. Beberapa tahun yang lalu, sebelum ada kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dari pemerintah, intensitas masyarakat yang melaporkan kejadian kependudukan sangat kecil sekali, seiongat saya paling hanya ada 10 orang per bulan. Tetapi sekarang bisa meningkat hingga 200 kejadian per bulan. Jadi, menurut saya, ada hubungan antara intensitas pelaporan dan kemiskinan dengan bantuan instan pemerintah itu. Adanya program-program dari pemerintah terkait keterkaitan KK dan KTP dengan berbagai paket bantuan itu, masyarakat

68  

kemudian membuat laporan kejadian kependudukan seperti pisah KK, pindah alamat dan lain-lain dan semua itu berdampak pada signifikansi dan intensitas pelaporan. Apa lagi sekarang, ada Program Keluarga Harapan (PKH) Sejenis Kartu Pintar Jakarta sehingga KK dari keluarga miskin yang memiliki anak usia sekolah langsung mengupdate data kependudukan mereka agar dapat diakomodasi sebagai peserta PKH. Meskipun hal senada dialami poleh ADB di Kota Pontianak

yakni adanya peningkatan masyarakat dalam mengurus dan

melaporkan perubahan kependudukan, cuma tidak sampai 200%,

meningkatnya sekitar 100% saja. Dari rata-rata 25 kejadian per

bulan, bergerak naik menjadi 100 hingga 150 kali dari posisi dua

tahun sebelumnya. Tetapi ADB di Kota Pontianak ini juga

menyatakan berpendapat lain dengan ADB KKR di atas dan ia

mengatakan bahwa intensitas laporan kependudukan bagi warga

pendatang tidak dengan serta-merta dilakukan masyarakat.

Banyak factor yang menjadi penyebab tidak lapor itu,

diantaranya adalah kesibukan kerja dan lain-lain, pelaporan hanya

dilakukan kepada RT dan Pak RT yang juga sibuk tidak

meneruskan pelaporan itu ke pihak kecamatan.

Terkait malas lapor ini banyak sebab, diantaranya adalah

tidak terakomodirnya dirinya sebagai penerima paket bantuan,

kesibukan bekerja, hanya domisili sementara dan lain-lain. Namun,

penduduk jenis ini tidak mengganggu administrasi kependudukan

karena data kependudukannya telah valid pada alamat yang

sebelum.

Klasifikasi pindah dapat dibedakan menjadi lima kriteria,

yakni:

Klasifikasi 1: dalam satu Kelurarahan

Klasifikasi 2: antar Kelurahan dalam satu Kecamatan

Klasifikasi 3: antar kecamatan dalam satu Kota

Kabupaten/Kota

69  

Klasifikasi 4: antar Kabupaten / Kota dalam satu Propinsi

Klasifikasi 5: antar Propinsi dalam wilayah Indonesia

Jenis pengurusan pindah yang agak rumit adalah jenis ke-4

dan ke-5 karena melibatkan dinas catatan sipil antar kabupaten

dan kota, sementara dokumen kepindahan yang dibawa tidak

lengkap sehingga tidak jarang petugas menjadi sasaran marah

masyarakat. “Sudah tahu dirinya salah, tapi mereka tidak

mengakui kesalahan itu dan kemudian melimpahkan kemarahan

itu kepada petugas pencatat”, demikian ungkap salah seorang ADB

di Kota Pontianak.

3.4. Aspek Dukungan Publik dan Birokrat Pelaksana Dalam Menyukseskan Perekaman Data Kependudukan Guna lebih mengefektifkan efektivitas perekaman data

kependudukan sebagaimana UU No. 23/2006, dibutuhkan strategi

antara lain:

1. Meminta partisipasi Lurah/Kades berikut seluruh jajaran di

tingkat satuan pemukiman: BPD, Kadus dan RT untuk ikut

terlibat dalam menyukseskan perekaman data kependudukan.

2. Memanfaatkan semua media: elektronik dan reklame dalam

mensosialisasikan pentingnya melengkapi data diri.

3. Penjadwalan piket petugas agar tempat pelayanan tidak kosong

di saat warga yang belum melakukan perekaman datang ke

kantor camat.

4. Memberlakukan sistem antri pada saat jam sibuk (masyarakat

yang datang banyak)

5. Membuat lay out atau alur pelayanan, yakni alur proses

pelayanan dari mulai awal proses hingga akhir.

6. Menyediakan baju, cermin, sisir dan dasi di tempat pelayanan

(ruang foto) agar foto yang ditampilkan pada KTP memenuhi

70  

aspek kepantasan. Contoh ini dilakukan di Kantor Camat

Pontianak Timur dimana Pak Camat menyediakan satu ruang

khusus untuk berhias dan di ruang tersebut dilengkapi dengan

berbagai keperluan hias sehingga foto yang dihasilkan untuk

“dipajang” di e-KTP menjadi standar sopan.

7. Menyederhanakan persyaratan, agar masyarakat tidak terlalu

lama menunggu dalam proses perekaman, termasuk membagi

jalur antrian menjadi dua atau tiga sehingga antrian tidak

terlalu panjang.

3.5. Strategi Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Dalam

Perekaman Data Kependudukan Kebutuhan informasi menuntut adanya kelengkapan dan

kecepatan dalam penyampaian dan perekaman informasi. Data

tersebut direkam satu persatu dalam bentuk data mentah yang

kemudian didesain agar dapat menjadi basis data yang dapat

digunakan untuk berbagai kebutuhan, yang sifatnya supporting for

decision making (Hancock, 2003).

Untuk meningkankan validitas data pada sistem yang telah

ada agar dapat disajikan sebagai informasi valid, cepat dan mudah

dibutuhkan pengembangan secara sistemik. Dalam hal ini,

birokrasi pemerintah sebagai agen (pelayan), yang dalam hal ini

diperankan oleh Kementerian Dalam Negeri dan diimplementasikan

oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas atau intansi yang dibentuk

untuk melaksanakan kebijakan tersebut, masih membutuhkan

berbagai dukungan dari pihak lain di luar instansi tersebut. Untuk

mewujudkan pengembangan sistem administrasi kependudukan

yang handal dan responsif terhadap berbagai perkembangan dan

kebutuhan data secara nasional, regional, dan global, diperlukan

langkah-langkah kebijakan yang strategis, antara lain adalah:

71  

1. Menjadikan faktor kependudukan sebagai titik sentral

pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya

pembangunan kesejahteraan rakyat, pemerintah menempuh

strategi bidang didasarkan pada perumusan kebijakan

kependudukan yang diarahkan untuk pengendalian kuantitas,

peningkatan kualitas serta pengarahan mobilitas sesuai hasil

pengolahan administrasi dan informasi kependudukan sebagai

sarana penunjang perumusan kebijakan kependudukan.

Karena itu ke depan hendaknya diupayakan pemahaman

secara komprehensif berbagai fenomena kependudukan dan

dinamikanya di dalam proses pembangunan. Perumusan

kebijakan kependudukan tentunya disesuaikan dengan potensi

dan kebutuhan pengembangan daerah dalam

memperhitungkan faktor kependudukan. Di bidang

administrasi kependudukan sasarannya adalah untuk

membangun Sistem Informasi Administrasi Kependudukan

(SIAK) sebagai sarana penyedia data dan informasi

kependudukan yang diperoleh melalui pendaftaran penduduk

dan pencatatan sipil.

2. Membangun SIAK yang efisien dan terancang untuk

mengakomodasi hak-hak dan perlindungan penduduk. Upaya

pembangunan SIAK ini merupakan kebutuhan yang sudah

sangat mendesak terutama untuk memenuhi hak penduduk

dan perlindungan social melalui penyelengaraan pelayanan

yang transparan, tertib, memuaskan bagi pelanggan serta

terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan landasan

hukum untuk penyelenggaraan administrasi kependudukan

yang lebih komprehensif.

3. Menciptakan SIAK melalui komitmen dan kerja sama dengan

berbagai pihak serta dukungan dari instalasi pemerintah,

swasta, dan institusi masyarakat. Untuk membangun SIAK ini

72  

diperlukan komitmen dan kerja sama antara instalasi terkait

pada semua tingkatan dalam kerangka membangun basis

data, yang berasal dari berbagai instalansi secara terintegrasi.

Untuk itu, diperlukan dukungan dan peran serta masyarakat

secara berkelanjutan.

Adapun beberapa kelebihan yang diharapkan nantinya bisa

berkembang setelah terciptanya SIAK yang dilakukan secara

integrasi dengan system perencanaan pembangunan dan pelayanan

publik adalah:

1. Memberikan informasi yang cepat kepada masyarakat tentang

pembuatan dokumen kependudukan.

2. Mempercepat pembuatan dokumen kependudukan, diantaranya

adalah KTP, Kartu Keluarga dan surat-menyurat kependudukan

lainnya.

3. Menyelenggarakan administrasi kependudukan yang benar,

cepat dan akurat.

4. Mewujudkan pelayanan administrasi kependudukan dan

catatan sipil yang berorientasi pada kepuasan dan kemitraan

masyarakat menuju terciptanya data dan informasi

kependudukan yang akurat.

Strategi yang dilakukan oleh para pihak dalam

menyukseskan perekaman data kependudukan adalah sebagai

berikut:

1. Rapat atau memanggil Kades/Lurah secara periodic.

2. Meminta Kades dan Lurah untuk melengkapi data dan

pelaporan perkembangan keberhasilan perekaman secara

periodic.

3. Meminta RT melaksanakan pertemuan per 3 bulan sekali

dengan warga dan mengundang Kades/Lurah atau camat dalam

pertemuan tersebut.

73  

4. Menyelesaikan data yang tumpang tindih. Sebagai contoh, di

KKR, data yang tumpang tindih, yakni data kependudukan yang

tercatat di KKR dan juga tercatat di luar KKR sebanyak 10.000

warga, sementara data tumpang tindih antar wilayah dalam

wilayah KKR tercatat sebanyak 3 ribu orang. ADB kemudian

menyelesaikan data yang tumpang tindih ini dengan melakukan

komunikasi secara online sehingga sebanyak 13.000 data yang

tumpang tindih ini dapat teratasi. Oleh karena itu, penerapan e-

KTP secara langsung dapat menyisir data yang tumpang tindih

itu dan pada akhirnya penduduk Indonesia dapat diketahui

secara pasti.

5. Koordinasi antar petugas pencatat data base se Indonesia

dengan diberikan fasilitas kerja yang memadai dan insentif yang

cukup.

6. Melakukan bimbingan administrasi kependudukan kepada RT

plus uang insentif bagi RT yang aktif dalam penyampaian

pelaporan data kependudukan kepada kades/Lurah dan Camat.

7. Pemilihan RT terbaik dalam urusan Adminduk dan pemberian

penghargaan kepadanya, yang dilakukan dalam lingkup

Kabupaten/Kota atau kecamatan.

3.6. Hal-Hal yang Perlu Diantisipasi Dalam Pembenahan

Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Penertiban di bidang pendaftaran penduduk dan pencatatan

sipil terus dilakukan dengan karena perekamannya belum

mencapai angka 100%. Namun, dikhawatirkan upaya perekaman

pada penduduk yang tersisa ini dapat menimbulkan kecendrungan

yang tidak biasa sehingga dapat memacu tindakan yang tidak patut

74  

seperti main belakang, Oleh karena itu, perlu diantisipasi empat hal

seperti berikut ini.

1. Berkaitan dengan ketidakpastian pelayanan yang mencakup

adanya ketidakpastian waktu, biaya dan prosedur pelayanan.

Meskipun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil telah

mendekatkan pelayanan ke Kantor Camat, namun upaya ini

tampaknya belum maksimal karena masih terdapat sebagian

dari masyarakat yang berkebutuhan khusus dalam

perekaman dan juga masih “terjadinya” pembiayaan di bawah

tangan meskipun diberikan oleh warga yang merasa telah

dilayani dengan baik. Dihkawatirkan, kasus per kasus ini

menyebabkan petugas pilih kasih. Hal lain adalah terjadinya

masyarakat menggunakan “jasa baik pihak ketiga” dalam

pengurusan dokumen kependudukan sehingga paradigm

“kalau masih bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”

beluh berakhir dalam perekaman e-KTP.

2. Diskriminasi pelayanan, terutama pada kalangan etnis

Tionghoa yang sudah “ekonomi mapan” dengan menyediakan

tips dalam perekaman sehingga dikhawatirkan

mempengaruhi pelayanan pada Warga Negara Indonesia asli

yang tidak mampu.

3. Masih kecilnya kewenangan untuk mengambil dikresi

membuat pejabat birokrasi tidak mampu mengembangkan

inisiatif dan kreativitas dalam penyelenggaraan pelayanan

publik. Keharusan pejabat birokrasi untuk taat prosedur,

membuat birokrasi menjadi rigid dan gagal merespons

dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya

pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil cenderung

gagal dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat yang

dianggap berfikir “out of box”, sehingga peraturan yang ada

75  

lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah daripada

kepentingan masyarakat.

4. Masih kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat akan

pentingnya dokumen kependudukan terutama dalam

pengurusan akta kelahiran, menyebabkan masyarakat

merasa tidak perlu untuk mengurus administrasi

kependudukan. Padahal, untuk mengakses layanan public

KTP menjadi persyaratan dasar dan ketiadaan KTP berarti

masyarakat kehilangan hak untuk mendapatkan akses pada

berbagai layanan public yang disediakan oleh pemerintah dan

juga pihak swasta.

76  

BAB IV

P E N U T U P 4.1. Kesimpulan

Kesimpulan ini dibuat menjadi dua bagian. Pertama terkait dengnan

rendahnya tingkat kesadaran warga dalam mengurus KTP dan kedua

strategi yang dapat disampaikan terkait dengan persoalan pertama di atas.

Berdasarkan hasil kajian ini, terkait rendahnya kesadaran

masyarakat dalam perekaman dan pelaporan data kependudukan,

ternyata:

1. Tingkat kesadaran masyarakat akan pengurusan KTP tidak saja

berhubungan dengan factor kesadaran masyarakat itu sendiri, tetapi

juga tercakup factor pengetahuan, akses, usia, pekerjaan dan aktivitas

warga yang berkaitan dengan penggunaan KTP.

2. Semakin sering masyarakat mengakses layanan public, semakin tinggi

tingkat kesadaran mereka dalam memproses e-KTP. Namun, dari studi

ini juga ditemui bahwa tingkat kesadaran itu tidak berlanjut setelah

mereka memiliki KTP.

3. Tingkat kesadaran dimaksud juga berhubungan dengan tujuan

mendadak dari kepemilikan KTP, seperti karena hendak menikah,

mengurus perpanjangan usaha, masuk sekolah dan lain-lain.

Masyarakat dengan kebutuhan khusus ini secara tiba-tiba juga

mendatangi petugas perekaman e-KTP di Kantor Kecamatan dengan

tidak melalui prosedur dari bawah (RT), dan ingin seketika itu juga

mencetak KTP. Mereka pada umumnya tidak tahu kalau e-KTP

dimaksud dicetak di Jakarta sehingga setelah perekaman, kepadanya

diberikan surat keterangan yang secara hokum valid bagi mengakses

berbagai layanan publik.

4. Secara implicit, prosedur pelayanan dan perekaman data

kependudukan di kantor camat telah memenuhi dan

memperhitungkan indek kepuasan masyarakat (IKM) sebagaimana

diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum

Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan

76

77  

Instansi Pemerintah, namun secara ekplisit tidak mencantumkan

criteria layanan dimaksud.

Sementara terkait dengan strategi dalam meningkatkan kesadaran

masyarakat terhadap pelaporan dan perekaman perubahan

kependudukan, berdasarkan hasil studi ini antara lain adalah:

1. Dibutuhkan adanya komitmen pemerintah untuk menjangkau

penduduk dengan “tingkat kesadaran rendah” dengan tidak

mengkaitkan keterlambatan mereka dengan hukuman tanpa melihat

penyebab dari keterlambatan itu.

2. Menyederhanakan prosedur layanan sedemikian rupa agar tidak

terkesan birokratis.

3. Secara konsisten menghubungkan KTP sebagai akses untuk

memperoleh berbagai layanan public dan seterusnya meminta

kerjasama sector privat untuk juga memanfaatkan KTP sebagai kases

layanan.

4. Memfasilitasi kerja ADB secara lebih baik agar dapat menimbulkan

motovasi kerja yang lebih tinggi sehingga kesiapan petugas dan

kehandalan kerja tetap terjaga selama proses perekaman data

kependudukan daerah belum maksimal.

4.2. Saran.

Dari hasil studi ini, selanjutnya direkomendasikan beberapa saran

sebagai berikut:

1. Berhubung e-KTP telah diintegrasikan dengan system computer,

semestinya prosedur pelaporan untuk kebutuhan update

kependudukan yang dilakukan oleh masyarakat sudah tidak

membutuhkan prosedur yang bertangga, dari RT ke RW, Lanjut ke

Kades atau Lurah dan ke Camat serta ke Disdukcapil. Semestinya

prosedur tersebut sudah ditinggalkan sebagai konsekwensi dari

penerapan SIAK berbasis komputer. Agar dapat melakukan itu,

tampaknya dibutuhkan latihan adminduk bagi para pihak yang

terlibat dalam proses perekaman dan pemutakhiran data, termasuk

kepada para Ketua RT.

78  

2. Penerapan e-KTP dengan ADB yang saling terhubung juga mampu

menyelesaikan data yang tumpang tindih. Sebagai contoh adalah

kasus di Kabupaten Kubu Raya yang menemukan sebanyak 13.000

data penduduk yang ganda dan dengan komunikasi intensif

diantara ADB, data tumpang tindih itu dapat diselesaikan. Namun,

bilamana pemerintah mengeluarkan kebijakan proyek pembaca card

reader, maka kesan perbaikan pelayanan menjadi kurang karena hal

yeng lebih mengemuka adalah proyek yang dibungkus ke dalam

program pemerintah.

2.3. Lesson Learned

E-KTP yang dimulai dengan melakukan perekaman data

kependudukan (SIAK) secara terintegrasi dengan layanan public

merupakan implementasi dari e-Government yang diharapkan berkorelasi

dengan fungsi lain dengan layanan berbasis computer. Hal ini kemudian

menjadi sesuai dengan tujuan e-Government yakni melakukan perbaikan

mutu pelayanan publik.

Manfaat yang didapat dari pengembangan SIAK berbasis computer

dan internet atau extranet antara lain adalah untuk mewujudkan

pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil yang berorientasi

kepada kepuasan dan kemitraan masyarakat menuju terciptanya data dan

informasi kependudukan yang akurat dan terintegrasi dengan fungsi lain,

yakni dalam penyusunan program, penganggaran dan system pelayanan

secara terpadu.

Validasi data kependudukan dimaksud selain memudahkan proses

pendataan penduduk, pencatatan biodata penduduk, dan pembuatan

surat-surat, juga dapat digunakan oleh instansi lain yang membutuhkan

atau menggunakan data penduduk dalam meningkatkan kualitas layanan

kepada mereka. Dengan fenomena tersebut, maka nyatalah bahwa e-KTP

merupakan langlah awal mensinergikan data kependudukan dengan

berbagai program pemerintah

79  

DAFTAR PUSTAKA

Al Gore. 1994. Common Sense Government: Works Better and Costs Less. Third Report of the National performance Review.

Alfaruqi, Jabir. 2010. Sempurnalah Korupsi di Indonesia. Diakses dari laman gratis pada pada: http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/03/11/sempurnalah-korupsi-di-indonesia/ pada pada hari Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 07.14.

Alm, James; Jorge Martinez-Vazquez, dan Sri Mulyani Indrawati. 2004. Reforming Intergovernmental Fiscal Relations and the Rebuilding of Indonesia The ‘Big Bang’ Program and its Economic Consequences. Edward Elgar. Northampton (USA).

Antara. 2013. Penduduk Miskin Di Kalbar 369.010 orang, diakses dari http://kalbar.antaranews.com/berita/314190/penduduk-miskin-di-kalbar-369010-orang pada Minggu, 21 September 2013 pukul 15.44.

Antara. 2013. Penduduk Miskin Indonesia 28,07 Juta Orang, diakses dari http://kalbar.antaranews.com/berita/314194/penduduk-miskin-indonesia-2807-juta-orang pada Minggu, 21 September 2013 pukul 16.06.

BPK. 2006. Peranan dan Stategi BPK Dalam Pemberantasan Korupsi. Makalah Keynote Speech pada Seminar “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Ulang Tahun ke-4 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jakarta.

Camilla M. Stiver dan Simrell King. 1998. Government Is Us: Strategies for an Anti-Government Era. Sage Publication.

Collins, Elizabeth Fuller. 2007. Indonesia Betrayed: How Development Fails. University of Hawaii Press. Honolulu.

79

80  

Dadang Juliantara (ed), Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik, Pembaharuan, Yogyakarta, 2005, hal. vi.

Deni, Saiful. 2012. Menyoal Hak-hak Pelayanan Publik Dalam Pembangunan Masyarakat. UMMU Press. Ternate.

Erdi. 2013. “Sanksi Lembut, Kinerja Pun Ulut: Fenomena Kinerja PNS di Tengah Upaya Pemberantasan Narkoba dan Tindak Korupsi” dalam Equator Rakyat Kalbar. Minggu, 19 Mei.

Febrianda, Lies. 2009. Rekonstruksi Regulasi Pelayanan Kependududkan dan Pencatatan Sipil oleh Birokrasi Pemerintahan Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara. Disertasi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Feisal Tamin, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara, Belantika, Jakarta, 2004, hal. 50

Fried, Harold O.; C. A. Knox Lovell dan Shelton S. Schmidt. 2008. The Measurement of Productive Efficiency and Productivity Growth. Oxford University Press. Oxford.

Grindle, Merilee S. 2007. Going Local: Decentralization, Democratization and the Promise of Good Governance. Princeton University Press.

Hancocok, Elise. 2003. Mastering the Craft of Science Writing. The John Hopkins University Press. Baltimore.

James A. Fitzsimmons and Mona J. Fitzsimmons. 2004. Service Management: Operations, Strategy, and Information Technology.

Lee, Nancy R. and Philip R Kotler. 2006. Marketing in the Public Sector: A Roadmap for Improved Performance. Prentice Hall. New Jersey.

Marbun, S. F. 2001. Pembentukan Pemberlakuan dan Peran Asas- Asas Umum Pemerintah Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintah Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung.

81  

Mile, Matthew. B. dan A. Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. Second Edition. London.

Mullins, Craig S. 2002. Database Administration: The Complete Guide to Practice and Procedures. Addison Wesley.

Neo, Boon Siong dan Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. Wolrd Scientifik. Singapore.

Noer, Syaifullah. 2013. Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik di Indonesia (Mengembalikan Kepercayaan Publik). Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nugraha, Rizki. 2009. Perancangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Sebagai Pengembangan E-Government menuju Good Governance. UPI. Bandung.

Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Reading, Mass.: Addison-Wesley.

Osborne, Stephen P. (Edt). 2010. The New Public Governance: Emerging Perspectives on the Theory and Practice of Public Governance. Routledge. London.

Page, Edward C dan Bill Jenkins. 2005. Policy Bureaucracy: Government with A Cast of Thaousands. Oxford University Press. Exford.

Peter. B. Guy. 2005. The Politics of Bureaucracy. Routledge. London.

Putra, I Gusti Made Darma. 2006. Sikap Tertib Administrasi Kependudukan Masyarakat Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng Berdasarkan UU No. 23 tahun 2006. ISSN 1829-5282 hal. 162-178.

Rabin, Jack. 2005. Encyclopedia of Public Administration and Public Policy: First Update Supplement. Taylor and Francis. New York.

82  

Richard S. Takashi,1963. Measuring Efficieny in Governance: Public Administration Practices and Perspective, Oxford.

Roberts, Peri. 2007. Political Constructivism. Routledge. London.

Rutina, Dwi N. 2008. Pelayanan Publik, Rule of Law dan Social Morality. diakses dari laman gratis http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/265-fullteks.doc pada hari Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 06.45.

Shaffer, Harry G. 1999. American Capitalism and the Changing Role of Government. Frager. Westport, Conneticut. London.

Shah, Anwar. 2005.Public Services Delivery: Public Sector Governance nad Accountability Series. The Wolrd Bank. Washington.

Simmons, Richard; Martin Powell and Ian Greener. 2009. The Consumer in Public services: Choice, values and difference. The Policy Press. Bristol.

Sorensen R.J. dalam Eliassen, K.A. dan Kooiman. 1993. Managing Public Organization: Lessons from Comtemporary European Experiences, Sage Publication. London.

Thakur, Ramesh and Oddny Wiggen. 2004. South Asia in the world: Problem Solving Perspectives on Security, Sustainable Development, and Good Governance. The United Nations University. Washington.

Yew-Kwan Ng. 2000. Efficiency, Equality and Public Policy: With a Case for Higher Public Spending. Palgrave Macmillan. London.

Zeithaml, V.A., Parasuraman, A, & Berry, L. L. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New York (NY): Macmillan.

STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT

OlehDr. Erdi, M,Si`

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONALKANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARATKANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARATPONTIANAK ‐ 2013

PENDAHULUAN: PROPOSISI 1(Perspektif dari Masyarakat)

k d k d hBukan KesadaranMasyarakat yang rendah, melainkan:

Kualitas Pelayanan Birokrasi yang  burukKualitas Pelayanan Birokrasi yang  burukKEPMENPAN ttg SPM dan IKMKemiskinan yang terlalu dalam

SEMENPANNo.10/M.PAN/07/2005: KTP terhubung dgn layanan publikKepentingan danTujuan yang tidak salingKepentingan danTujuan yang tidak salingbertemu

UU. No. 23/2006: e‐KTP Gratis dan terhubungdengan berbagai macam layanan publikdengan berbagai macam layanan publik

PENDAHULUAN: PROPOSISI 1(Perspektif dari Pemerintah)

Program e‐KTP sebagai bentukmenjawab Kesadaran Masyarakat yangrendah karena e KTPrendah, karena e‐KTP:Sebagai wujud pengakuan negara padawarga negarawarga negaraUpaya menuju tertib admindukEntri poin menuju database yangp j y gterintegrasi dengan sistem perencanaandan pelayanan pemerintah (kepadamasyarakat)masyarakat)

METODE PENELITIAN: KUALITATIF

METODE ANALISIS: INTERAKTIF

Analisis Model Interaktif; Miles dan Huberman (1984:23)

FENOMENA

Ini sayaHa …..! Macamginik jak  BaruIni saya

serahkan hasilpekerjaan, telah

i d

ginik jak. Barutiga tu Bro…! Kurang satu ya

sesuai order ….

REAL PROBLEMProgram e‐KTP belum tuntas. Di Kalbar, tercatat rata‐rata sukses sebesar 85% untuk wilayah Kabupaten dan 95% untukwilayah Kota.Tidak saja faktor kesadaran sebagai “biangj g gkerok” tetapi merupakan akumulasi daribanyak faktoryJustru, diduga kesadaran bukan sebagaipenyebab, melainkan akibat ataupenyebab, melainkan akibat ataukonsekwensi dari adanya sebab‐sebab.

RUMUSAN MASALAHPertama, rendahnya persepsi dan keterlibatanmasyarakat dalam perekaman datakependudukan tidak saja diakibatkan olehkurangnya sarana validasi, tetapi juga sistembi k i k d d k ihbirokrasi kependudukan yang masihkonvensional meskipun telah dinyatakan“terhubung” dengan system danterhubung dengan system dankomputerisasi.Kedua Strategi yang dapat diupayakan untukKedua, Strategi yang dapat diupayakan untukmenembus tingkat kesadaran yang rendah (?)dalam menyukseskan perekaman datadalam menyukseskan perekaman datakependudukan.

TUJUANMengidentifikasi persepsi masyarakat dariMengidentifikasi persepsi masyarakat dariberbagai pihak terkait upaya pemerintahdalam program Validasi Perekaman Datadalam program Validasi Perekaman DataKependudukan melalui penerapan e‐KTP.M i t t i t k b ti k tMencari strategi untuk menembus tingkatkesadaran yang kurang itu dengan melihat

i d ti l blikpersepsi dan stiga pelayanan publik yangpilih kasih dari birokrat pemerintah.

ALUR PEMIKIRAN1 Keabsahan dan

pengakuan diri

2 Perlindunganstatus hak sipil

3 Terakomodasinya

E‐KTP

3 Terakomodasinyapenduduk dalamlayanan public

4 Terwujudnya tertib4 Terwujudnya tertibadmin istrasikependudukan

5 T i i5 Terintegrasinyadata kependudukandengan layanandengan layananpublic dan privat

FAKTOR‐FAKTOR PEREKAMAN BELUM TUNTAS

i ili id k d l1. Domisili tidak pada alamat yang tercatat

2. Faktor Usia (tua dan tanggung)3 Akses: BentangWilayah3. Akses: BentangWilayah4. Usaha yang bergerak dan berpindah

(mobile)5. Merasa KTP Lama masih berlaku5. Merasa KTP Lama masih berlaku6. Warga Pendatang yang malas lapor

CONTOH KTP SEMENTARA:CONTOH PROFILE INFORMAN

DUKUNGAN KE UPAYA PEREKAMAN

Adanya dukungan Kades/Lurah besertaseluruh jajaran pemerintahan di tingkat satuanseluruh jajaran pemerintahan di tingkat satuanpemukimanDukunganMediaDukunganMediaPenjadwalan piket petugas (shg loket tidakkosong)kosong)Memberlakukan sistem antreMendesain lay out pelayananMenyediakan baju, sisir dan cermin agar fotoe‐KTP standarMenyederhanakan persyaratan

STRATEGI MENINGKATKAN KESADARANKESADARAN

Menjadikan kependudukan sebagai titik sentralj p gpembangunan berkelanjutan

Membangun SIAK yang efisien dan terancang untuk jenisl  l ipelayanan yang lain

Meyelesaikan Data Kependudukan yang tumpang tindih. Contoh di KKR: 10.000 data overlapping dgn luar KKR Contoh di KKR: 10.000 data overlapping dgn luar KKR terselesaikan dan juga sebanyak 3.000 data internal KKR.

Koordinasi antarADB secara berkelanjutan

Adanya insentif cukup kepadaADB atas kerja gigihmereka

M l k k bi bi d i d k k d RTMelakukan bimbingan adminduk kepada RT

Pemilihan RT terbaik dalam urusanAdminduk

HAL YANG PERLU DIANTISIPASI

Tips kepada ADB krn dikhawatirkan dapatmenjadi praktek buruk dalam pelayananDiskriminasi pelayanan, terutama pada kalanganetnis tertentu yang sudah mapan dikhawatirkandapat mempengaruhi kualitas pelayanan padawarga yang tidak mampuwarga yang tidak mampuDiberikannya Camat atau ADB kebijakandeskresi untuk berfikir out of box dalamdeskresi untuk berfikir out of box dalammengatasi konteks lokalSosialisasi atau mobile perekaman pada daerahSosialisasi atau mobile perekaman pada daerahyangmasih rendah prosentase perekamannya

PENUTUPPerekaman rendah tidak terkait langsungdengan tingkat kesadaran tetapi lebihpada faktor lain.Prosedur standar dianggapmasih kaku krnwarga harus datang sendiri secarag gberjenjang untuk pelaporanMenghubungkan KTP dengan pelayananMenghubungkan KTP dengan pelayananpemerintah dan kependinganmasyarakatMemfasilitasi ADB dengan fasilitas kerjaMemfasilitasi ADB dengan fasilitas kerjadan insentif

SARANSARANProsedur lapor secara berjenjang tidakp j j gdiperlukan lagi bilamana RT dapat terhubungdengan petugasADBKomunikasi antar ADB tetap diteruskan danbahkan dibuat seperti sebuah tantangan kerjad i i i i i tif k (k kdengan iming‐iming insentif cukup (krn merekatenaga honorer dengan semangat kerja tinggi).H il k ti d t di bli h kHasil perekaman semestinya dapat dipublish keweb dan dapat diakses oleh semua, sementaradata base tetap menjadi domian disdukcapildata base tetap menjadi domian disdukcapil

LESSON LEARNEDE‐KTP dengan model SIAK yang terintegrasidengan berbagai layanan publik sudah dapatdengan berbagai layanan publik sudah dapatdibuktikan adanya sehingga perlu terusditingkatkan dan dikembangkan dengang g gmenyantolkan e‐KTP pada kepentinganmasyarakat.Layanan e‐KTP yang sudah dilaksanakan inisebenarnya memenuhi kebutuhan pemerintahk d t lid t k i t t dakan data valid untuk sistem perencanaan terpadu.

Database kependudukan sebagai langkah awal darie Go ernment men j e Go ernancee‐Government menuju e‐Governance.

SEKIANSEKIAN

TQTQ