Kedasaran Penduduk Dalam Perekaman Data Kependudukan di Kalimantan Barat
-
Upload
universitastanjungpura -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Kedasaran Penduduk Dalam Perekaman Data Kependudukan di Kalimantan Barat
STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DI KALIMANTAN BARAT
Oleh Dr. Erdi, M,Si`
BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL KANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT
PONTIANAK - 2013
ii
DAFTAR ISI
Halaman Depan ................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................... ii Kata Pengantar ..................................................................................... iii BAB I ~ PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................... 1 1.2. Rumuan Masalah ......................................................................... 10 1.3. Tujuan Kajian ............................................................................. 11 1.4. Kegunaan Hasil Kajian ................................................................. 11 1.5. Metode Pengkajian ..................................................................... 12
1.5.1. Desain Penelitian ............................................................... 12 1.5.2. Lokasi dan SUbjek Penelitian ........................................... 13 1.5.3. Metode Pengabilan Data ................................................ 14 1.5.4. Metode Analisis Data ......................................................... 15
BAB II ~ TINJAUAN PUSTAKA: KURANGNYA (?) KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI KONSEKWENSI BURUKNYA LAYANAN PUBLIK OLEH BIROKRASI PEMERINTAH . ............................ 17 2.1. Buruknya Kualitas Layanan Publik di Indonesia ....................... 17 2.2. Manfaat Data Kependukan bagi Kualitas ............................... Layanan Publik ............................................................................. 21 2.3. Menghubungkan KTP dengan Berbagai Jenis ........................ Layanan Publik ............................................................................. 23 2.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Indonesia .................................................................................. 30 2.5. peran Birokrasi Pemerintah Dalam Meningkatkan Kualitas .... Pelayanan Kependudukan dan pencatatan Sipil Untuk ...... Memacu Meningkatkan Kesadaran Masyarakat ................... 32 2.6. Adanya Keharusan Mewujudkan Kualitas Pelayanan ........... 34 2.7. Alur Pikir Penelitian ........................................................................ 39
iii
BAB III ~ ANALISIS KUALITAS PENYELESAIAN PERMASALAHAN ....... SEPUTAR RENDAHNYA KESADARAN MASYARAKAT DALAM .............. PEREKAMAN DATA KEPENDUDUKAN DI ............................................. KALIMANTAN BARAT ........................................................................... 40 3.1. Persepsi Masyarakat Kalimantan Barat sebagai pengguna Layanan pada Unit Perekaman Data Kependudukan .......... 41 3.2. Penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan .... Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi ................. Kependudukan ............................................................................. 49 3.3. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran ................... Masyarakat Dalam perekaman Data ...................................... Kependudukan ............................................................................. 57 3.3.1. Domisili yang tidak di tempat Alamat ............................ 59 3.3.2. Faktor Usia ........................................................................... 61 3.3.3. Akses: Bentangan Wilayah .............................................. 63 3.3.4. Usaha yang Berpindah (mobile) ...................................... 65 3.3.5. Merasa KTP Lama Masih Berlaku ..................................... 66 3.3.6. Warga Pendatang yang Malas Lapor .......................... 67 3.4. Aspek Dukungan Publik dan Birokrat Pelaksana Dalam ........ Menyukseskan Perekaman Data Kependudukan .................. 69 3.5. Strategi Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Dalam ........ Perekaman Data Kependudukan ............................................ 70 3.6. Hal-hal yang perlu Diantisipasi Dalam Pembenahan ............ Pelayanan Administrasi Kependudukan dan .......................... pencatatan Sipil ............................................................................ 73 BAB VI ~ PENUTUP ................................................................................ 76 4.1. Kesimpulan .................................................................................. 76 4.2. Saran .......................................................................................... 77 4.3. lesson Learned ............................................................................ 78 Daftar Pustaka ..................................................................................... 79
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat ALLAH SWT atas
seluruh rahmat dan karunia-NYa sehingga Kajian yang berjudul ” STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT” dapat penulis selesaikan sebagaimana ketentuan yang termaktub dalam Kontrak Perjanjian Kerjasama.
Kandungan dalam buku kecil ini dibagi ke dalam dua topik, yakni: (1) Pertama, Kondisi kesadaran masyarakat dalam tertib administrasi kependudukan, dilihat secara teoritik (Bab II). Beranjak dari kondisi teoritik ini, Pada Bab III dibahas kondisi konkrit kesadaran masyarakat (perspektif emic) yang kemudian dirangkai dengan penjelasan mengikjuti perspektif etic penulis sehingga menjadi kajian yang utuh. (2) Kedua menemukan strategi untuk intervensi kesadaran yang telah teridentifikasi itu agar dapat meningkatkan keberhasilan dalam perekaman dan pelaporan data kependudukan dalam rangka implementasi UU No. 23 tahun 2006 dan sekaligus mewujudkan IKM sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
Dalam penelitian ini penulis menyadari masih terdapat berbagai bentuk kekurangan dan kelemahan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu maupun kekeliruan dari kemampuan melihat dan memaparkan materi serta kurang ketelitian dan penguasaan teknik penulisan serta keterbatasan waktu sehingga ditemukan berbagai bentuk kesalahan, ketidak-sinkronan dan kedalaman pembahasan, meskipun seluruh kemampuan dan fikiran telah pun penulis kerahkan untuk melahirkan karya ini.
Atas kekurangan dan kesalahan itu, penulis membuka diri untuk menerima masukan konstruktif agar buku kecil ini dapat menjadi karya yang bagus dan berguna, tidak saja secara akademik tetapi juga berguna untuk dunia praktik. Atas masukan dan koreksi konstruktif dari semua pihak, tak lupa penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih.
Pontianak, 2 Oktober 2013 Penulis, Dr. Erdi, M.Si.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Selama ini, simpul permasalahan administrasi kependudukan
tidak saja dialamatkan kepada masyarakat, tetapi juga kepada
pemerintah. Dari sisi masyarakat dikatakan bahwa kesadaran yang
masih sangat rendah dalam mensukseskan tertib administrasi
kependudukan disebabkan data kependudukan dimaksud tidak
berimplikasi pada kepentingan masyarakat segingga masyarakat
menilai data kependudukan itu hanya dibutuhkan oleh pemerintah
saat akan pemilu (Putra, 2006); sementara kebutuhan dan manfaat
data kependudukan bagi pemerintah, yakni bagi perencanaan
pembangunan dan pelayanan publik, belum terpahamai secara
mendalam oleh masyarakat.
Untuk menjawab kesadaran akan rendahnya kepedulian
masyarakat terhadap tertib administrasi kependudukan, terbersit
perlunya strategi dari pemerintah untuk memberikan rangsangan
atau bahkan sedikit paksaan agar masyarakat mau mengurus data
kependudukan dengan disertai ”ancaman” yang dapat membuat
masyarakat menjadi sadar akan pentingnya data kependudukan
dimaksud. Bentuk-bentuk ancaman tersebut antara lain adalah
memberlakukan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) sebagai akses pada semua layanan publik yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Namun, hingga kini, kondisi ini
masih belum dapat diwujudkan.
Sementara di sisi pemerintah, akuntabilitas pelayanan
administrasi kependudukan kepada masyarakat masih dianggap
terlalu rendah yang ditunjukkan dengan masih banyaknya keluhan
masyarakat, terutama menyangkut lama proses dan biaya yang
dibebankan yang melebihi biaya yang telah distandarkan.
1
2
Masyarakat kemudian mengklaim bahwa untuk administrasi
kependudukan dikenal dengan jalur lambat, jalur biasa dan jalur
cepat atau jalur kilat (BPK, 2006). Pemilihan jalur kemudian
berkorelasi dengan besaran pembiayaan. Semakin cepat pelayanan,
akan semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan oleh
masyarakat. Terkait dengan itu, pilihan sebagian masyarakat
akhirnya tidak memperdulikan administrasi kependudukan
dimaksud. Apa yang disampaikan di atas adalah paradigm lama
dalam pengurusan administrasi kependudukan, meskipun
fenomena itu, masih saja terjumpai, yang dilakukan oleh penduduk
yang berkebutuhan khusus, yakni terdesak oleh urusan yang
mengharuskan adanya KTP.
Sebagai jawaban sementara atas keluhan dari masyarakat
tersebut, sekarang dikeluarkan kebijakan yang dibuat secara
khusus untuk menghilangkan sisi lemah dari masing-masing pihak,
yakni kebijakan KTP elektronik yang pada tahap awal hingga kini
masih tidak dibebankan pembiayaan kepada penduduk. Dengan
kebijakan ini, pengelolaan adminitrasi kependudukan diharapkan
dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan
daerah, terutama dalam perencanaan pembangunan.
Salah satu contoh daerah yang telah melakukan kebijakan
kependudukan ini adalah Kabupaten Jembrana (Febrianda,
2009:288). Dalam rangka peningkatan mutu Pelayanan dan
Penyelengggaraan tertib administrasi Kependudukan dan
Pencatatan Sipil di kalangan masyarakat, Bupati Jembrana waktu
itu, melalui Dinas Kependudukan Catatan Sipil, mengeluarkan dan
mengimplementasikan kebijakan yang memberikan kemudahan
kepada penduduk untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam mengurus dokumen kependudukan. Bentuk dan isi dari
kebijakan tersebut antara lain adalah:
3
1. Membebaskan biaya pembuatan Kartu Keluarga (KK), Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran (AK), Akta Perkawinan
(AP) dan Akta Kematian (AM) sepanjang masa.
2. Memberikan ansuransi kepada pemegang KTP Kabupaten
Jembrana, yakni dengan mengintegrasikan KTP dengan
Jaminan Keselamatan Jiwa (JKJ) yang dapat digunakan untuk
pengobatan serta berbagai program inovasi lainnya.
3. Menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
membenahi pelayanan administrasi kependudukan kepada
masyarakat Jembrana.
Dengan kebijakan ini, hanya dalam tiga tahun, kesadaran
masyarakat Kabupaten Jembrana meningkat signifikan dalam
mengurus administrasi kependudukan sehingga pada tahun 2010,
kabupaten ini dinyatakan tertib dalam administrasi kependudukan.
Kebijakan ini dimulai pada tahun 2007, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Jembrana telah melaksanakan KTP berbasis NIK
atau KTP SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan)
sebagimana diamanatkan dan dimaksud Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Namun, tidak
semua kabupaten dan kota di Indonesia telah menerapkan sistem
administrasi kependudukan secara baik sebagaimana di Kabupaten
Jembrana ini. Meskipun dasar hokum dari implementasi penerapan
administrasi kependudukan telah mewajibkan pemerintah,
terutama pemerintah kabupaten dan kota untuk melaksanakan
KTP berbasis NIK.
Penerbitan KTP atau dokumen pribadi sebagai bentuk dan
bukti kewarganegaraan, berdasarkan konvensi dunia, diakui
sebagai bagian dari hak azasi manusia dengan menjamin hak
penduduk untuk memiliki berbagai dokumen kependudukan.
Dokumen tersebut kemudian dikaitkan denngan berbagai bentuk
pelayanan yang semestinya diperoleh masyarakat, seperti hak
4
kewarganegaraan, hak membentuk keluarga, hak melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah, hak mendapatkan
jaminan kebebasan memeluk agama dan memilih tempat tinggal di
dalam wilayah Negara (Febrianda, 2009). Namun, tidak semua
pemerintah, terutama pemerintah di Negara Berkembang, belum
dapat mewujudkan itu sehingga ia menjadi bagian dari gerakan
moral masyarakat dunia untuk sedikit memaksa pemerintah dalam
melakukan pengadministrasian penduduk.
Dari sisi masyarakat, pendataan kependudukan yang
dilakukan oleh pemerintah belum dianggap sebagai bagian dari hak
mereka sehingga pengurusan data kependudukan oleh masyarakat
dianggap sebagai proyek pemerintah dalam rangka mencapai
tujuan tertentu, terutama dikaitkan dengan aspek politik, yang
biasanya dilakukan menjelang pesta demokrasi. Oleh karena itu,
masyarakat melihat pengadministrasian penduduk ke dalam
pembuatan KK dan KTP dianggap sebagai proyek pemerintah.
Kepentingan politik pemerintah tersebut kemudian dimaknai
sebagai proyek politik, dimana pemerintah berupaya sekuat tenaga
melakukan pengadministrasian penduduk melalui penertiban KK
dan KTP. Tujuan dari kebijakan ini hanya untuk mengetahui
jumlah pemilih pada satu daerah, sehingga setelah data pemilih
terdata, data tersebut kemudian ditinggalkan tanpa up date
sebagaimana mestinya.
Padahal, upaya sebagaimana dilakukan pemerintah, telah
dilakukan sepanjang masa karena fungsinya yang terintegrasi
dengan sistem perencanaan dan pembangunan nasional. Apapun
usaha yang dilakukan oleh pemerintah, bilamana tanpa partisipasi
aktif masyarakat, maka up date data kependudukan yang
semestinya secara terus-menerus itu tidak berjalan semestinya.
Oleh karena itu, belum ada simbiosis antara validasi data
kependudukan dengan kebutuhan pemerintah masih belum
5
sinkron sehingga up date data kependudukan terabaikan secara
berkelanjutan.
Up date data kependudukan yang perlu diperbaharui secara
terus menerus antara lain menyangkut perubahan alamat (pindah
menetap), tinggal dalam waktu terbatas dan perubahan status
sosial yang disebabkan oleh kelahiran, kematian, perkawinan,
perceraian; termasuk pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan
anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti nama dan
peristiwa penting lainnya yang dialami oleh seseorang. Sebenarnya,
setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami
oleh setiap penduduk perlu dilaporkan agar validitas data
kependudukan terjaga sepanjang masa. Namun, tidak semua
informasi kependudukan di atas dianggap sesuatu yang panting
bagi masyarakat.
Isu kependudukan saat ini telah menjadi isu aktual seiring
dengan meningkatnya mobilitas dan dinamika kependudukan.
Masalah data kependudukan yang dihadapi Indonesia telah
mendorong keluarnya kebijakan kependudukan melalui penerapan
e-KTP. Dengan diterapkannya sistem ini, database kependudukan
diharapkan dapat dibaca oleh semua pemangku kepentingan dan
tidak terbatas hanya di tempat dimana penduduk bermukim.
Dengan penerapan e-KTP secara nasional dan pembebasan
masyarakat dari pembuatannya diharapkan menjadikan system
kependudukan menjadi lebih sempurna yang dibuktikan dengan
setiap orang memiliki dokumen kependudukn melalui kepemilikan
Kartu Tanda penduduk (KTP) elektronik, Kartu Keluarga (KK)
elektronik, dan Akta-akta yang terkait dengan Pencatatan Sipil
seperti: Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta
Kematian, Akta Pengakuan anak dan Akta Pengasuhan Anak.
Bentuknya tidak harus print out, tetapi dapat melalui softfile yang
dapat dibaca oleh instansi pemerintah yang secara khusus
6
menangani masalah itu, namun output dari pendataan itu dapat
terbaca oleh seluruh stakeholder, baik pusat maupun di daerah.
Pengelolaan identitas kependudukan secara integrasi ini
mengisyaratkan penggunaan SIAK (sistem informasi administrasi
kependudukan). Persoalan yang dihadapi pemerintah saat ini
adalah lemahnya petugas yang diberi tugas pengurus data
kependudukan. Meskipun telah ada SIAK dan NIK, petugas dan
bahkan semua institusi masih membutuhkan fotocopy KK dan KTP
yang terkadang disertai syarat pengesahan oleh RT, RW atau Lurah
atau Kepala Desa, Camat dan Kepala Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Pengurusan yang harus dari bawah, ternyata juga
membawa masyarakat pada sikap bosan atau jemu dan akhirnya
memilih untuk tidak mengurus administrasi kependudukan
sebagaimana mestinya.
Konsep penggunaan NIK mengacu pada penggunaan single
identy number (SIN) yang di Amerika Serikat disebut dengan social
security number (SSN). NIK dapat sangat bermanfaat jika sistem
informasi kependudukannya dilaksanakan secara on line. Sebagai
ilustrasi, jika seorang pindah ke suatu tempat, maka ia cukup
menyebutkan NIK, secepat itu data dirinya dapat terbaca melalui
sistem.
Tantangan terberat dalam pengelolaan kependudukan yang
sering ditemui antara lain adalah masih lemahnya sumber daya
manusia pengelola kependudukan, terutama di tataran bawah yang
merupakan ujung tombak pengelola kependudukan. Kesadaran
masyarakat untuk melaporkan peristiwa penting kependudukan
seperti lahir, mati, pindah, datang juga masih sangat rendah,
sehingga keduanya saling berpengaruh dan berimplikasi pada tidak
validnya database kependudukan.
Sebagian pengelola data kependudukan masih belum mampu
memanfaatkan keberadaan teknologi informasi, sehingga
7
pengolahan data masih bersifat manual. Kehadiran e-KTP belum
terintegrasi ke dalam sistem on line sehingga semua institusi yang
berkepentingan dengan data kependudukan harus melengkapi
institusinya dengan pembaca e-KTP. Padahal, bilamana data hasil
entri e-KTP terintegrasi ke dalam sistem komputer, maka alat
pembaca KTP sudah tidak diperlukan lagi. Tampaknya, pendekatan
proyek dalam pengurusan data kependudukan masih sangat kental
adanya dan seakan data kependudukan hanya menjadi domain
Dinas Catatan Sipil saja.
Padahal, SIAK dengan on line dan diperkenalkannya NIK
secara nasional akan sangat membantu dalam mendata terjadinya
setiap peristiwa kependudukan seperti lahir, mati, pindah dan
datang. Dengan diberlakukan identitas tunggal secara nasional
semestinya dapat memudahkan pemerintah dalam
mengadministrasikan data kependudukan.
Dari kacamata kebijakan publik, pelayanan administrasi
kependudukan oleh masyarakat masih dianggap rendah
akuntabilitas, responsivitas, dan efisiensinya. Hal ini bisa dilihat
dari banyaknya keluhan masyarakat menyangkut lama proses dan
biaya yang dibebankan yang melebihi dari yang distandarkan.
Inovasi pelayanan juga perlu dilakukan untuk mendapatkan
hasil terbaik, seperti untuk perpanjangan KTP, bagi KTP yang habis
masa berlakunya hanya perlu datang ke TPDK (tempat perekaman
data kependudukan) membawa KTP lama, rekam sidik jari dan
langsung difoto, sehingga bisa mengurangi rentang panjang
birokrasi. Namun, sekali lagi, perekaman baru dapat dilakukan
bilamana diurus dari bawah sehingga database kependudukan yang
sudah ada menjadi tidak bermanfaat. Dengan demikian, masalah
data kependudukan sebagaimana diuraikan di atas, merupakan
cermin dari kegagalan membangun sistem administrasi
kependudukan yang baik oleh pemerintah.
8
Ada dua pintu yang senantiasa dilalui oleh pihak
penyelenggara dan masyarakat untuk menjadikan data penduduk
itu menjadi valid dan aktual (Mullins, 2002), yakni validasi online
dan konvensional (ofline). Pertama penyelenggaraan administrasi
melalui proses pelayanan berdasarkan sistem validasi data
penduduk yang handal melalui teknologi yang terhubung dengan
internet atau extranet. Oleh pemerintah, upaya ke arah ini telah
dilakukan dengan menyediakan fasilitas sistem komputerisasi
dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan yang dikenal
dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Sistem ini memerlukan integritas dan kesadaran masyarakat untuk
memberikan informasi tentang dinamika yang dilakukan agar
perekaman atas perubahan atau pergerakan mobilitas data
penduduk melalui sistem dapat menjadi aktual.
Tampaknya, SIAK sebagaimana dimaksud di atas tidak
dilakukan secara sistemik tetapi dilakukan secara konvensional
melalui door to door yang dilakukan oleh pihak penyelenggara
dengan pelibatan perangkat kelurahan atau petugas RW dan RT.
Sekali lagi, model pendataan ini lebih berkarakter proyek. Secara
berantai dari atas ke bawah, semua pejabat publik yang
berhubungan dengan pendataan penduduk meminta Pak RT aktif,
tidak saja menghimbau warga untuk secara aktif memvalidasi data
penduduk itu berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi yang
dialami warga seperti perubahan status (dari belum kawin menjadi
kawin, atau sebaliknya dari kawin menjadi cerai dan seterusnya)
tetapi juga secara langsung Pak RT yang berkeliling kampung
mendatangi dan mencacah warganya secara seksama, -- yang
ternyata validitas itu telah dipesan sebelumnya. Kondisi ini pula
yang menjadikan masyarakat enggan untuk melaporkan semua
kejadian yang mereka alami, karena warga tidak perlu aktif dalam
melaporkan setiap kejadian kependudukan, karena pada saatnya
9
nanti, Pak RT berikut ”serdadunya” akan mengunjungi warga untuk
pendataan dimaksud.
Pola kerja seperti ini kemduan tersimpulkan bahwa
masyarakat tidak faham akan arti penting informasi
kependudukan. Selanjutnya, hasil pendataan harus ”dilaporkan”
Pak RT kepada petugas yang berada di atasnya dan petugas yang
berada di atasnya Pak RT juga melaporkan kepada pejabat yang
berada lebih tinggi dan secara berjenjang hingga ke petugas
Dukcapil di Dinas Kabupaten dan Kota.
Kalaulah sistem pendataan ini telah dilakukan secara online,
semestinya hasil kerja Pak RT itu dapat diinput ke dalam pusat
data dan Pak RT diberikan password yang hanya valid untuk
perubahan di RT-nya. Bilamana SIAK dapat di up date secara
online, updating data cukup dilakukan Pak RT dari rumahnya atau
ke warung internet yang ada di lingkungan RT-nya.
Dari model konvensional tersebut, validasi data
kependudukan selalu dilakukan melalui tiga proses kegiatan yaitu:
pertama, proses pendaftaran penduduk yang meliputi penerbitan
identitas domisili penduduk, tertib pelaporan perpindahan dan
tertib pelaporan kedatangan penduduk di daerah kedatangan.
Kedua, proses kegiatan administrasi pencatatan sipil meliputi tertib
pemilikan akta-akta catatan sipil yang meliputi tertib pelaporan
kelahiran, pelaporan perkawinan, pelaporan perceraian dan
pelaporan kematian, sedangkan proses kegiatan yang ketiga adalah
pengelolaan data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Sejalan dengan arah penyelenggaraan administrasi
kependudukan, maka pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil
sebagai sub-sub sistem pilar dari administrasi kependudukan perlu
ditata sebaik-baiknya agar dapat memberikan manfaat dalam
perbaikan pemerintahan dan pembangunan.
10
Untuk mewujudkan validitas kependudukan, tampaknya
bukan hanya mengandalkan kesadaran penduduk tetapi juga
penyederhanaan pelayanan dan pelibatan dari petugas garis depan
(street level bureaucracy), yakni mulai dari RT atau RW yang
tentunya diikuti dengan penyediaan sarana kerja yang juga
memadai. Dengan hanya mengandalkan kesadaran masyarakat,
maka validitas kependudukan hanya dapat dicapai bilamana
dilakukan secara door to door yang pendekatannya cenderung
bersifat proyek atau kerja tanpa gaji di pihak pelaksana.
1.2. Rumusan Masalah
Pencatatan biodata penduduk diarahkan pada pemenuhan
data dari setiap penduduk dan keluarga yang merupakan tanggung
jawab pemerintah yang dalam hal ini dibebankan kepada
pemerintah kabupaten dan kota. Data tersebut merupakan sumber
basis data kependudukan secara nasional yang dapat digunakan
untuk dasar kebijakan. Namun hingga saat ini di Indonesia, hasil
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang berupa data atau
validasi kependudukan masih belum dapat dicapai secara maksimal
(Nugraha, 2009). Simpul masalah yang sering dilontarkan, dari sisi
birokrat adalah kurangnya kesadaran masyarakat (dalam mengurus
administrasi kependudukan); sementara dari masyarakat adalah
(aktivitas pendataan dimaksud) terbungkus rapi dalam rujuan
politik (Roberts, 2007).
Peristiwa yang menyebabkan perubahan data kependudukan,
seperti kelahiran dan perkawinan belum terdata secara benar dan
sepanjang waktu. Begitu juga migrasi kependudukan, seperti
pindah dan datang yang juga belum terdapat secara berkelanjutan,
bahkan disinyalir, terdapat penduduk Kalimantan Barat yang
belum memiliki dokumen pendudukan. Kelalaian ini kemudian
11
dialamatkan kepada masyarakat yang diklaim tidak secara aktif
melaporkan perubahan kependudukan.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat
diidentifikasikan permasalahannya adalah: Pertama, rendahnya
persepsi dan keterlibatan masyarakat dalam perekaman data
kependudukan tidak saja diakibatkan oleh kurangnya sarana
validasi, tetapi juga sistem birokrasi kependudukan yang masih
konvensional meskipun telah dinyatakan “terhubung” dengan
system dan komputerisasi. Kedua, Strategi yang dapat diupayakan
untuk menembus tingkat kesadaran yang rendah (?) dalam
menyukseskan perekaman data kependudukan.
1.3. Tujuan Kajian
Secara umum, tujuan dari tulisan ini adalah untuk
mengintegrasikan data kependudukan dengan sistem pelayanan
public agar simbiosis antara masyarakat, petugas RT dan
pemerintah sama-sama sadar akan pentingnya berkelanjutan
validitas data kependudukan bagi mewujudkan tata pemerintahan
yang baik. Sedangkan secara khusus, tujuan dari penulisan ini
adalah untuk:
1. Mengidentifikasi persepsi masyarakat dari berbagai pihak
terkait upaya pemerintah dalam program Validasi Perekaman
Data Kependudukan melalui penerapan e-KTP.
2. Mencari strategi untuk menembus tingkat kesadaran yang
kurang itu dengan melihat persepsi dan stiga pelayanan publik
yang pilih kasih dari birokrat pemerintah.
1.4. Kegunaan Hasil Kajian
1. Teridentifikasinya persepsi masyarakat terkait program e-KTP
yang dikabarkan lebih kental bernuansa proyek ketimbang
pelayanan public.
12
2. Untuk membuktikan proposisi bahwa bukan kesadaran
masyarakat yang rendah tetapi banyak factor yang
melingkupi persoalan tersebut sehingga dapat ditepis dugaan
bahwa pengadministrasian penduduk bukan lagi terhubung
dengan kepentingan pemerintah dalam urusan politik, tetapi
telah pada upaya menciptakan kepuasan dan kemitraan
menuju terciptanya data dan informasi kependudukan yang
akurat.
1.5. Metode Pengkajian
1.5.1. Desain Penelitian
Penelitian ini selain dimaksudkan untuk menyusun policy
brief tentang tingkat kesadaran masyarakat dalam melengkapi data
diri melalui penyampaian informasi kependudukan kepada
pemerintah, juga dimaksudkan untuk melihat factor-faktor
kendalam dalam perekaman dan strategi yang dapat dilakukan
dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pencatatan data kependudukan di Kalimantan Barat. Oleh karena
itu, akan dilakukan penelitian empiris yang dilakukan secara
kualitatif untuk kemudian disusun menjadi satu laporan berbentuk
karya ilmiah. Dengan demikian, riset ini termasuk ke dalam
kategori Action Research.
Hasil temuan yang diperoleh dari studi lapangan, yakni pada
beberapa titik di wilayah Kalimantan Barat, yakni Kabupaten
Sambas, Kota Singkawang, Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya
dan Kabupaten Sintang, yakni dengan melakukan wawancara
kepada Kepala Disdukcapil Kabupaten/Kota, Camat, Lurah/Kepala
Desa dan Ketua RT terpilih tentang hambatan perekaman data
kependudukan, faktor yang menyebabkan rendahnya capaian dan
juga hal-hal yang dianggap menjadi pendukung masih adanya
13
partisipasi masyarakat dalam mesukseskan pendataan
kepandudukan.
1.5.2. Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan dalam lingkup tugas Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kabupaten dan Kota yang
dipilih untuk disurvey guna mewakili Provinsi Kalimantan. Setelah
memilih Kabupaten dan Kota, wawancara dilakukan kepada Kepala
Dinas atau pejabat yang mewakili, Camat di setiap Kabupaten dan
Kota, Lurah dalam wilayah kecamatan yang Pak Camatnya
diwawancarai dan RT dalam wilayah yang Pak Lurah/Kepala
Desanya diwawancarai dan kemudian diakhiri dengan memilih
warga yang telah atau belum melakukan perekaman.
Dengan demikian, penelitian ini dilakukan secara berjenjang
ke bawah untuk sekaligus dilakukan cross check kebenaran dari
masing-masing wilayah. Wawancara kemudian dilanjutkan dengnan
meminta kesediaan Pak RT untuk dipertemukan dengan warga
yang telah melakukan perekaman dan warga yang belum
melaksanakan perekaman data kependudukan.
Wilayah yang sudah ditetapkan sebagai wakil daerah
penelitian adalah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kota
Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Sintang. Karena
studi ini adalah untuk mewujudkan layanan kepada masyarakat,
maka unsur dari masyarakat menjadi informasi penting yang akan
mewarnai studi ini. Masyarakat dimaksud dapat berposisi sebagai
individu, sebagai stakeholder atau kelompok yang berkepentingan
untuk mendapatkan hak pelayanan publik yang maksimal, baik
dan berkualitas.
14
1.5.3. Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data dilakukan dengan cara survey
langsung ke daerah sasaran. Pendekatan ini dipakai untuk metode
observasi dan wawancara secara tersetruktur kepada pimpinan
SKPD dan birakrat garis depan (street level bureaucracy) yang
memberikan layanan serta kepada masyarakat dan kepada
masyarakat yang telah menerima layanan serta kepada masyarakat
yang “enggan” melakukan perekaman data kependudukan.
Wawancara dilakukan secara individu, tetapi hasilnya akan
dikelompokkan menurut tiga criteria subjek di atas yakni persepsi
pimpinan, persepsi birokrat garis depan dan persepsi masyarakat
pengguna. Persepsi dari fihak yang disebut ketiga dibagi menjadi
dua, yakni masyarakat yang telah melakukan poerekaman dan
mereka yang belum melakukan perekaman. Dengan pendekatan ini,
peneliti akan mendapatkan informasi akurat terkait kualitas
pelayanan public yang telah diterima masyarakat berdasarkan
desain yang telah ada dalam bidang validasi data kependudukan.
Setelah proses survey dan wawancara, peneliti akan
menyusun laporan dan hasilnya akan diseminarkan dengan
melibatkan beberapa pihak yang telah terlibat dalam proses
penelitian.
1.4.4. Metode Analisis Data
Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis kontens
yang menghubungkan antara bentuk dan proses layanan yang telah
terdesain atau eksis pada setiap SKPD dengan bentuk dan proses
layanan yang diharapkan oleh masyarakat. Model tersebut
diperlihatkan pada Gambar 1 di halaman berikutnya.
Oleh karena itu, untuk mensinergikan antara eksisting dan
harapan layanan, maka akan ditempuh beberapa proses yang
15
sering disebut model interaksi (Miles and Huberman, 1984) seperti
tergambar pada Gambar 2.
Gambar 1: Image model perbaikan layanan berdasarkan layanan yang sudah eksist pada unit Perekaman Data Kependudukan.
Sumber: Peneliti, 2013
Gambar 2: Analisis Model Interaktif
Sumber: Miles dan Huberman (1984:23)
Pengumpulan Data (Data Collection)
Penyajian Data (Data Display)
Reduksi Data (Data Reduction) Kesimpulan-kesimpulan
Penarikan/vertifikasi (Conclusions
Drawing/Verifying)
EKSISTING LAYANAN PEREKAMAN DATA PENDUDUK
PENYEMPURNAAN LAYANAN DAN STRATEGI Jelas dan sederhana
PERBAIKAN PROSEDUR LAYANANPEREKAMAN DATA PENDUDUK
Temuan Studi
Aman, Pasti dan Akurat
Sikap, sopan dan ramah
Kelengkapan Sarpras
Kenyamanan
Tanggung jawab
Kemudahan Akses
Jelas dan sederhana
Aman, Pasti dan Akurat
Sikap, sopan dan ramah
Kelengkapan Sarpras
Kenyamanan
Tanggung jawab
Kemudahan Akses
Laporan Penelitian, Policy Brief dan Bahan
Tayang
16
Proses analisis data kualitatif dimulai dari pengumpulan
data, baik terhadap data primer maupun data sekunder.
Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan
informan. Demikian juga informasi hasil observasi yang digunakan
untuk melakukan triangulasi atas hasil wawancara. Data sekunder
mengenai bentuk dan jenis layanan diperoleh dari SKPD yang
dikunjungi yang akan menjadi baseline untuk penyempurnaan
kualitas dan pencapain layanan pada masa berikutnya.
17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA: KURANGNYA (?) KESADARAN
MASYARAKAT SEBAGAI KONSEKWENSI BURUKNYA LAYANAN PUBLIK OLEH
BIROKRASI PEMERINTAH
2.1. Buruknya Kualitas Layanan Publik di Indonesia
Terwujudnya tertib administrasi pendudukan tidak dapat
dicapai secara tiba-tiba. Pencapaian itu, berbanding lurus dengan
upaya mewujudkannya (Grindle, 2007). Salah satu indicator
penting dalam mewujudkan terciptanya validasi data
kependudukan adalah pelayanan birokrasi yang tiada mengenal
diskriminasi, baik diskriminasi masyarakat maupun diskriminasi
pemukiman antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan.
Selama ini, sasaran tembak terhadap rendahnya implementasi
kebijakan administrasi kependudukan di Indonesia masih
dialamatkan kepada masyarakat. Padahal, dari banyak kajian,
muara utama yang sebenarnya juga penting adalah pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah itu sendiri yang belum menunjukkan
kualitas prima.
Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa
pelayanan public, termasuk dalam layanan administrasi
kependudukan di Indonesia yang masih buruk. Laporan GDS
(dalam Rutiana, 2008), yang mengutip Harian Analisa edisi Senin,
24 November 2008 menempatkan”Indonesia pada Peringkat 69
dalam penangan pelayanan birokrasi”. CDS juga menceritakan
pelayanan birokrasi yang terbilang lambat, termasuk dalam layanan
administrasi kependudukan. Demikian juga Bank Dunia (Thakur
dan Wiggen, 2004) dalam laporannya di tahun 2004 yang
menggambarkan pelayanan publik di Indonesia masih sangat
17
18
rendah dibanding dengan beberapa Negara lain di kawasan Asia
Tenggara.
Kemudian, laporan yang dirilis oleh The Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai salah
satu negara dengan birokrasi paling buruk di Asia (Alfarugi, 2010).
Masih dari laporan PERC, pelayanan public di Indonesia dikatakan
tidak memiliki kepastian dalam biaya dan waktu pelayanan
sehingga skor penilaiannya menjadi rendah. Juga dikatakan bahwa
ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya praktek
KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok
dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk
mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan, termasuk dalam
pelayanan administrasi kependudukan.
Dari beberapa studi di atas, terdapat tiga masalah penting
yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang mendukung kesimpulan sementara, yakni adanya
diskriminasi pelayanan antara si kaya dengan si miskin dan antara
wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan, ketida-pastian waktu
dan biaya. Akibat dari penyebab pertama dan kedua, berimplikasi
pada rendahnya kepuasan rakyat dalam pelayanan public.
Ditengarai bahwa penyelenggaraan pelayanan public di
Indonesia masih dipengaruhi oleh hubungan perkoncoan,
kesamaan afiliasi politik dan bahklan etnis dan agama (Alm, et. al.,
2004). Fenomena semacam ini tetap marak, walaupun telah
diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan
keharusan adanya kesamaan dalam pelayanan. Konsekwensi dari
pelayanan yang demikian adalah rendahnya tingkat kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan publik.
Masih dalam kaitan dengan kualitas pelayanan, masih
adanya kendala kultural di dalam birokrasi yang ditampilkan dalam
19
bentuk perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku
melayani, dan sebaliknya sehingga prilaku birokrat itu cenderung
menunjukkan sikap ingin dilayani.
Dukungan atas pernyataan ini pernah terbahas dalam
sebuah seminar yang diadakan di Jakarta tanggal 29 Desember
2005 dengan tema “Refleksi Akhir Tahun Pelayanan Publik di
Indonesia”, dimana Joe Fernandes, Direktur Institute of Policy and
Community Develovement Studies (IPCOS) mengatakan bahwa
kualitas pelayanan publik di Indonesia yang rendah ini dikarenakan
tidak ada motivasi yang kuat dari birokrat (PNS) untuk melayani
masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan IPCOS tersebut,
sebagian besar orang ingin menjadi PNS karena bisa kerja santai
dan aman (pendapatan jelas dan tidak akan dipecat). Selain itu,
dengan menjadi PNS, seseorang berpeluang mengkomersialkan
tugas dan kewajiban yang diembankan negara kepadanya untuk
keuntungan pribadi.
Tak mau kalah, Taufiq Effendi, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara (Periode 2004-2009), juga mengatakan bahwa
penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih dihadapkan
pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta
kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai,
sehingga keluhan muncul, mulai dari prosedur pengurusan layanan
yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat yang tidak
menyenangkan. Pak menteri bahkan secara berani menyatakan
bahwa kualitas PNS yang tidak kapabel di negeri ini masih di atas
4% dari total seluruh PNS yang berjumlah 4,7 juta (Erdi, 2013).
Deni (2012) juga melihat pola penyelenggaraan pelayanan
public di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya adalah:
20
1. Kurang responsif, terutama terhadap berbagai keluhan,
aspirasi, dan harapan masyarakat yang diwujudkan dengan
tidak ditindak-lanjutinya complain dari warga.
2. Kurang informatif, berbagai informasi yang seharusnya
disampaikan kepada masyarakat, lambat penyampaiannya atau
bahkan tidak sampai sama sekali kepada masyarakat, terlebih
pola hunian dan aktivitas masyarakat pada satu sisi yang
cenderung terpencar; tingkat pengetahuan dan akses media
yang terbatas; sementara dari sisi pemilihan media untuk
menyampaikan informasi penting tersebut adalah media
konvensional seperti rapat, ceramah, sosialisasi door to door
yang akurasi dan frekwensinya terbatas.
3. Kurang accessible, yang ditandai dengan keberadaan berbagai
unit pelaksana pelayanan yang terletak jauh dari jangkauan
masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang
memerlukan pelayanan atau membutuhkan biaya untuk
menggapainya.
4. Kurang koordinasi, berbagai unit pelayanan yang terkait satu
dengan yang lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering
terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan antara kebijakan
yang satu dari sebuah instansi pelayanan dengan kebijakan dari
instansi pelayanan lain yang terkait.
5. Terlalu birokratis, yakni pelayanan dilakukan melalui proses
yang terdiri dari beberapa meja sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama dan bahkan diantara
meja-meja itu memiliki otoritas yang ingin dipentingkan.
Kondisi seperti ini dengan sengaja diciptakan dan dimanfaatkan
untuk mengambil pungutan liar, sehingga mengakibatkan
tingginya biaya pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh
birokrasi dan ketidakpuasan masyarakat penerima layanan.
21
6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat,
pada umumnya aparat penyedia layanan kurang peduli
terhadap keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya,
pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari
waktu ke waktu.
7. Inefisien, yang ditandai dengan diberlakukannya berbagai
persyaratan yang seringkali tidak relevan dengan pelayanan
yang diberikan dan juga dapat dilakukan atau diselesaikan
secara internal.
Dari beberapa permasalahan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah
belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang memuaskan
kepada masyarakat, apa yang dilakukan hanyalah bentuk
pelayanan yang didasari oleh kewajiban sebagai pekerja
pemerintah, bukan sebagai abdi masyarakat.
Prilaku demikian menyebabkan timbulnya tudingan-tudingan
negatif yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap aparatur
pemerintah, seperti aparat dianggap kurang profesional, berbelit-
belit (tidak efisien), disiplin kerja rendah, korupsi, lalai dalam
melakukan pengawasan (Noer, 2013). Tak mau dipersalahkan
secara sepihak, maka tudingan balasan pun dialamatkan kepada
masyarakat bahwa karena kesadaran yang kurang, akhirnya
masyarakat memilih untuk tidak mengurus hal yang paling penting
bagi diri mereka, yakni data kependudukan.
2.2. Manfaat Data Kependudukan bagi Kualitas Layanan Publik
Terdapat sejumlah manfaat atau arti penting dari kepemilikan
akta kependudukan, antara lain (1) menjadi bukti bahwa negara
mengakui identitas seseorang yang menjadi warganya, (2) sebagai
alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran
22
nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan
perlindungan anak, (3) merupakan bukti awal kewarganegaraan
dan identitas diri untuk mendapatkan hak waris dari orangtua,
mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak
kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan
eksploitasi seksual, (4) secara yuridis penduduk berhak
mendapatkan perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman
dan hak-hak lainnya sebagai warga negara.
Mengingat arti penting dokumen kependudukan, menjadi
sangat miris bila tingkat kepemilikan data kependudukan di
Indonesia masih terbilang rendah. Salah satu contoh adalah
kepemilikan akta lahir. Berdasarkan data hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 diantara anak balita (usia 0-4
tahun), sebanyak 56.4% belum punya akta kelahiran. Bahkan anak
balita yang berasal dari rumah tangga termiskin yang belum punya
akta kelahiran masih sekitar di angka 75,1%.
Sementara menurut data Survei Penduduk Antar Sensus
(Supas) 2005, kepemilikan akta kelahiran di Indonesia baru
mencapai 58,95%. Salah satu sebab mereka tidak mengurus akta
kelahiran adalah karena tidak ada KK dan KTP sehingga orang tua
tidak berusaha mengurus akta bagi anak mereka.
Melihat data ini, tentu saja membuat kita bertanya-tanya apa
yang salah dalam pelayanan data kependudukan, sehingga begitu
besar jumlah penduduk yang tidak mengurusnya. Jika ditelusuri
lebih lanjut setidaknya terdapat empat hal yang diduga menjadi
hambatan masyarakat dalam melakukan pengurusan akta
kependudukan. Keempat hal itu adalah; Pertama, kesadaran
masyarakat akan pentingnya kepemilikan akta kelahiran masih
rendah. Sebagian masyarakat merasa sulit untuk melakukan
pengurusan dan perekamandata kependudukan dikarenakan waktu
kerja dan sebagian lagi menyatakan belum perlu dan bahkan ada
23
yang mengatakan karena badan sudah capek sehingga memilih
istirahat di rumah. Kedua, faktor ketidak-tahuan akan prosedur
pembuatan yang sebenarnya terbungkus rapi dengan factor
pertama di atas. Ketiga, mereka juga tidak tahu kalau perekaman
data kependudukan sekarang ini sudah tidak dipungut bayaran,
namun mereka tetap bersikukuh bahwa untuk pengurusan
dimaksud masih tetap mengeluarkan biaya, paling tidak biaya
untuk datang ke kantor kecamatan. Keempat, pendapat ini datang
dari masyarakat perkotaan yang menilai prosedur pengurusan
perekaman dan perubahan data kependudukan terlalu
konvensional. Semestinya, prosedur demikian tidak perlu
diberlakukan seperti itu bilamana status kependudukan warga
sudah jelas dan valid.
Prosedur dimaksud adalah proses pengurusan yang bermula
dari bawah (Bawa Surat Keterangan dari RT, kemudian dibawa ke
Lurah, dan tetap lapor juga ke Camat dan terakhir diselesaikan di
Dinas Kependudukan dan Pencatatan SIpil), padamana prosedur
dimaksud dapat dipotong dengan mudah karena hanya koordinasi
internal.
2.3. Menghubungkan KTP Dengan Berbagai Jenis Pelayanan
Publik
Pelayanan administrasi kependudukan yang tertib dan tidak
diskriminiatif menjadi sangat dibutuhkan, oleh karena peraturan
perundang-undangan mengenai administrasi kependudukan, yakni
UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan telah
memuat pengaturan dan pembentukan sistem administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil. Diantara ketentuan itu, dapat
dibaca pada BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa:
24
"Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain”.
Dalam rangka penataan dan ketertiban Administrasi
Kependudukan, pemerintah juga sudah menerapkan Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dimana data
penduduk terekam dalam database yang selalu dimutakhirkan
secara terus-menerus tak kala terdapat perubahan yang
diakibatkan oleh peristiwa kependudukan dan peristiwa penting
yang dialami penduduk.
Catatan perubahan kependudukan itu diberlakukan dan
dibuat bagi setiap orang penduduk sebagai individu merdeka yang
dibuat untuk pencatatan sipil, peristiwa kelahiran, perkawinan,
perceraian, dan kematian, serta pengakuan anak.
Data penduduk dicatat dalam register akta dan diterbitkan
kutipan akta, sedangkan untuk peristiwa penting lainnya seperti
pengangkatan anak, pengesahan anak, perubahan nama,
perubahan status kewarganegaraan, dan perubahan peristiwa
penting lainnya (seperti perubahan jenis kelamin), cara
pencatatannya dibuatkan di pinggir pada akta-akta yang dimiliki
oleh penduduk.
Studi ini, secara spesifik adalah suatu sistem registrasi yang
menghasilkan dokumen kependudukan antara lain dan Akta
Kelahiran. Dengan akta kelahiran, setiap anak yang lahir harus
mempunyai kepastian hukum dalam hal asal-usul keturunan,
status hukum perkawinan orang tuanya, dan stautus
kewarganegaraan. Di samping itu, akta kelahiran juga merupakan
akta dasar yang di kemudian hari menjadi persyaratan pengurusan
berbagai keperluan yang bernilai hukum.
25
Pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil merupakan
kegiatan yang sangat penting, karena dari kegiatan tersebut akan
diperoleh data mikro yang aktual, dan bukan semata-mata
agregatif. Untuk itu pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil
yang tertib dan valid selain berguna bagi pengesahan secara hukum
atas peristiwa penting dan peristiwa kependudukan perorangan,
juga bermanfaat bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah
untuk perencanaan program-program pembangunan sebagai dasar
penganggaran, peningkatan kualitas pelayanan dan pengembangan
kualitas penduduk sendiri
Masalah kependudukan merupakan salah satu titik
sentral dalam pembangunan. Oleh karena itu, ketika kehadiran
pemerintah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan, tentu data
kependudukan menjadi tidak dapat terhindarkan. Bagaimana
pemerintahj hendak meningkatkan kesejahteraan penduduk
bilamana data lengkap mereka tidak dipunyai. Adalah tidak
mungkin pemerintah dapat meluncurkan program bilamana data
kependudukan tidak jelas dalam persebaran dalam berbagai
katergori. Jika “niat” pemerintah itu adalah hendak
menyejahterakan rakyat, data kependukan menjadi tak mungkin
diabaikan, dan jika persoalan ini tidak diperhatikan, maka kembali
Indonesia akan dikatakan sebagai negara yang gagal (Collins, 2007).
Ternyata itu pula masalahnya, tidak jarang para birokrat
mengabaikan data kependudukan dalam upaya melaksanakan
program-program maupun kebijakan-kebijakannya. Data
kependudukan dibuat di atas kertas dan menjadi angka yang kira-
kira karena saat ditanya alamat, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan lain-lain, data yang tersuguh dalah data prediksi, sebagaimana
dilakukan BPS atas perekaman data penduduk.
Segala aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan
manusia selayaknya dikaitkan dengan jumlah, pertumbuhan dan
26
komposisi, serta penyebaran penduduk suatu wilayah, sehingga
akurasi dalam memandang prospek ke depan lebih tertuju dengan
jelas. Oleh sebab itu, masalah kependudukan merupakan isu yang
sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, karena
penduduk menjadi sentral pembangunan dan mempengaruhi
dinamika pembangunan itu sendiri.
Dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) dari amandemen kedua
dan Pasal 34 ayat (3) amandemen keempat telah mengamanatkan
negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan umum
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, bilamana
pemerintah tidak mengenal warga negaranya, maka pelayanan
sebagaimana diamanatkan menjadi nisbi adanya. Akibatnya, terjadi
tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat birokrat untuk dan atas
nama kepentingan rakyat,
Oleh karena itu, penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh aparatur negara dalam berbagai sektor
pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil
dan kebutuhan dasar masyarakat, wajib dilaksanakan sesuai
dengan amanat UUD 1945 tersebut. Di samping itu, dalam
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil
memperoleh prioritas pertama dalam penanganan peningkatan
kualitas pelayanan yang sangat diperlukan oleh masyarakat.
KTP menjadi entri point untuk memperoleh berbagai layanan
publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bentuk-bentuk
layanan publik tersebut da[pat dilihat pada tabel 1 yang terdapat
pada halaman berikutnya.
27
Tabel 1
Jenis Layanan Publik yang Terhubung dengan KTP
No JENIS LAYANAN JENIS PELAYANAN 1. Administrasi
Kependudukan KTP, Akta Kelahiran, Catatan Sipil, Akta Kematian, Akta Nikah, Talak dan Rujuk dan Cerai.
2. Kepolisian Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM) semua jenis (A,B dan C), dan Penyelesaian Laporan Pengaduan Masyarakat.
3. Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
SIUP, SITU, Tanda Daftar Perusahaan, Metrologi (Tera);Pengujian Hasil Industri dan Kredit Usaha
4. Bea Cukai dan Pajak Pengurusan Bea Masuk, Cukai, NPWP dan Pelayanan Pembayaran Pajak
5. Kesehatan Pelayanan Kesehatan Dasar: Rumah Sakit, Puskesmas dan Posyandu
6. Imigrasi Pengurusan Paspor dan Pengurusan Dokumen Keimigrasian Lainnya
7. Perhubungan Pengurusan Ijin Usaha Angkutan (Darat, Laut dan Udara); Pelayanan Publik di Bandara Pelabuhan, Stasiun dan Terminal Bis; dan Ijin Kelaikan Kendaraan Bermotor
8. Ketenagakerjaan Kartu Kuning (Kartu Pencari Kerja; Informasi Kesempatan Kerja; Penempatan Tenaga Kerja dan Pelayanan TKI di Bandara dan Pelabuhan Laut dan terminal milik pemerintah.
9. Pertanahan dan Pemukiman
Pengurusan Sertifikat Tanah, Pengurusan Pengalihan Hak Atas Tanah, IMB, Ijin Lokasi Industri (Perdagangan); HO (Ijin Gangguang dan Amdal.
10. Pendidikan Pendidikan Dasar; Pendidikan Menengah dan Pendidikan Lainnya yang dimiliki oleh pemerintah.
11. Penanaman Modal Ijin PMA; Ijin PMDN dan Informasi Potensi Investasi
Sumber: SE MENPAN No.10/M.PAN/07/2005 disesuaikan oleh penulis.
28
Dari tabel di atas, jelas bahwa fungsi KTP sangatlah banyak
dan jelas menjadi dasar atas pelayanan publik yang
diselenggarakan pemerintah. Mengingat banyaknya fungsi KTP
sebagaimana disebutkan di atas, maka mensukseskan
implementasi UU No. 23/2006 menjadi penting, yakni memberikan
pelayanan administrasi kependudukan sebagai pemenuhan hak-
hak administratif kepada masyaralat agar mereka dapat mengakses
pelayanan publik, mendapat perlindungan dari negara, sebagai
bentuk penghapusan perlakuan diskriminatif kepada masyarakat.
Namun di lain pihak, perilaku para birokrat dalam
pelayanan publik masih menunjukkan perlakuan yang
diskriminatif dan menganut pola hubungan kekuasaan top down
(Rabin, 2005). Pendekatan seperti ini selalu menampakkan
kepentingan hierarkhi, formalitas, dan impersonalitas yang sangat
mendukung ke arah tercapainya sebuah kekuasaan. Oleh sebab
itu, baik dan tidaknya kualitas layanan pemerintahan pertama-
tama akan dilihat dari bentuk atau pola hubungan kekuasaan
yang dibangun, sehingga fungsi pemerintah dalam paradigma
baru lebih dapat memacu kemajuan seperti steering, fasilitasi,
motivasi pemberdayaan (enabling, empowering), regulasi,
preventing, sebagai antisipasi dalam lingkup pendayagunaan
aparatur negara.
Secara normatif, pelayanan kependudukan dan pencatatan
sipil telah diatur dalam UU No. 23/2006, namun faktanya
problematika birokrasi pemerintah dalam pelayanan
kependudukan dan pencatatan sipil masih sarat dengan
kompleksitas permasalahan yang tidak hanya menyangkut
persoalan pola hubungan kekuasaan, tetapi juga dalam berbagai
stigma negatif yang melekat pada birokrasi pemerintah. Kondisi ini
tentu saja akan berdampak negatif pada masyarakat, karena iklim
29
tersebut akan menciptakan kondisi yang tidak kompetitif dan tidak
sensitif terhadap perbaikan secara menyeluruh. Dengan demikian,
keberadaan birokrasi pemerintah dalam pelayanan kependudukan
dan pencatatatan sipil tidak hanya dilihat dalam teks normatifnya
saja, melainkan juga dalam lingkup empirisnya, sehingga
kesenjangan antara apa yang dihukumkam (das Sollen) dengan apa
yang senyatanya (das Sein) selalu dimungkinkan saling bertolak-
belakang.
Bilamana tujuan pelayanan perekaman data kependudukan
adalah untuk memberikan dan mensinergikan antara kepentingan
pemerintah dengan desaian pelayanan public, maka
kelengkapannnya menjadi seauatu yang mutlak adanya. Tujuan
perekaman itu secara legal formal adalah untuk (Marbun, 2001:72):
(1) Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas
dokumen penduduk untuk setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk.
(2) Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk. (3) Menyediakan data dan informasi kependudukan secara
nasional mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya.
(4) Mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan terpadu.
(5) Menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Namun, tampaknya kelima hal penting di atas tidak atau
belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat sehingga masih
banyak warga yang melum merekamkan data kependudukannya.
Banyak factor yang mengantarkan maasyarakat untuk memilih
tidak perduli dengan perekaman data, baik disebabkan oleh
ketidak-tahuan atau bahkan ada indikasi ketidak-perdulian
30
sehingga perekamanan yang telah berlangsung lebih dari 1 (satu)
tahun ini belum menunjukkan adanya penuntasan.
2.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan
Di Indonesia Peningkatan kualitas pelayanan publik dalam bidang
kependudukan dan pencatatan sipil membutuhkan komitmen dan
pemahaman yang utuh akan mekanisme pelayanan. Namun
kenyataannya menunjukkan bahwa, pemilihan suatu jenis
peraturan lebih banyak tidak untuk mempermudah penyelesaian
suatu masalah, tetapi justru mempersulit atau membesar-besarkan
suatu persoalan. Berbagai peraturan dan prosedur untuk mengatur
pelayanan publik dalam bidang kependudukan dan pencatatan sipil
justru seringkali menjadi batasan-batasan yang mempersempit dan
memperlambat gerak birokrasi. Regulasi yang kaku ini
menyebabkan beberapa akibat negatif, diantaranya adalah:
1. Kekakuan kinerja birokrasi (Peters, 2005). Hal ini disebabkan
karena berbagai ketentuan yang harus ditaati dan panjangnya
mekanisme prosedur, sehingga birokrat tidak dapat bekerja
dengan cepat dan luwes untuk menyelesaikan berbagai masalah
yang secara dinamis muncul di tengah masyarakat. Pada sisi
masyarakat juga sudah tahan dengan kinerja yang lambat,
proseduran dan terkesan berbelit ini sehingga mereka memilih
“mengabaikan” atau “meninggalkan” layanan demikian itu.
2. Penekanan aspek legalitas (Page dan Jenkins, 2005), dimana
birokrasi sering menempatkan form (bentuk formal) daripada
esensi. Akibatnya, birokrasi sering terjebak pada prosedur,
sehingga berpotensi memunculkan pungutan liar (pungli)
karena ada dugaan bahwa masyarakat umumnya enggan
mengikuti proses yang berbelit-belit dalam mengurus berbagai
kepentingan mereka sehingga mereka mengambil jalan pintas
31
dengan memberikan tip/suap kepada aparat birokrasi agar
proses mereka cepat selesai. Fenomena ini dapat
diperdengarkan melalui telepon 147 pada gangguan pesawat
telepon dimana setelah pelanggan selesai melaporkan perihal
masalahnya kepada petugas penerima laporan atau keluhan
masyarakat, petugas kemudian menyampaikan agar tidak
member tips dan apapun kepada petugas yang diutus.
Akibatnya, terjadi komunikasi dua arah dengan petugas itu dan
kemudian menjadi hubungan kerja yang saling
menguntungkan, meskipun tips tidak dapat dihindarkan
adanya.
3. Berbelitnya proses dalam birokrasi dapat berpotensi birokrasi
ditinggalkan dalam proses transformasi social, sebagaimana
disinyalir oleh Osborne dan Gaebler (2010) bahwa “birokrasi
yang digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya akan lebih
efektif dan efisien, serta mampu memberikan kewenangan
otonomi kepada para birokrat secara proporsional dan
profesinal dalam memberikan layanan prima karena birokrat
dapat memanfaatkan sumber daya dan lingkungan dengan
seefektif dan seefisien mungkin tanpa melanggar aturan baku
organisasi”. Sebaliknya, masih dari pendapat Osborne dan
Gaebler (2002), bahwa birokrasi pemerintah yang digerakkan
berdasarkan peraturan yang kaku dan mengikat, akan tidak
efektif dan efisien karena kinerjanya berjalan lamban dan
terkesan bertele-tele. Dengan dua fenomena yang saling
bertolak-belakang itu, Osborne dan Gaebler kemudian
memberikan posisi yang berhadap-hadapan antara misi dan
peraturan. Adanya peraturan dalam birokrasi memang memiliki
tujuan yang baik, tetapi dalam praktiknya hal tersebut
menyebabkan birokrasi berjalan lambat dan kurang mampu
dalam merespon tuntutan lingkungan yang berubah dengan
32
cepat. Birokrat tidak akan mampu melakukan apa yang
menurut pandangannya baik, karena takut terkena sanksi jika
tenyata perbuatan maupun keputusannya dianggap melanggar
peraturan. Kondisi ini jika berlarut akan menimbulkan sikap
dan tindakan aparatur negara menjadi apatis, serba salah dan
kehilangan inovasi dalam memberikan pelayanan publik.
Tampaknya, ketiga bentuk fenomena regulasi di atas masih
kental dan dengan mudah dijumpai dalam banyak pelayanan
public, tidak terkecuali dalam perekaman data kependudukan ini.
Meskipun, intensitas dan volumenya, disinyalir telah berkurang
tetapi diprediksi tidak akan sirna dalam pelayanan public di
Indonesia.
2.5. Peran Birokrasi Pemerintahan Dalam Meningkatkan
Kualitas Pelayanan Kependudukan dan Pencatatan Sipil Untuk Pemicu Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Fungsi utama birokrasi adalah sebagai lembaga pengabdi dan
pelayanan masyarakat. Namun di dalam implementasinya,
seringkali tidak terwujud secara optimal, bahkan kinerja birokrasi
sering mengalami disorientasi dari tugas pokoknya. Ketidakop-
timalan dan penyimpangan (disorientasi) ini, disebabkan oleh
banyak faktor, baik yang ada dalam internal institusi birokrasi itu
sendiri maupun faktor di luar diri birokrasi, yakni factor lingkungan
dimana birokrasi itu berada.
Para ahli sering mengatakan bahwa, alasan lemahnya kinerja
organisasi birokrasi adalah karena berbeda dengan organisasi
swasta. Organisasi birokrasi tidak memiliki mekanisme
penyesuaian diri untuk mengatasi tantangan, hambatan, masalah
dan situasi yang berkembang akibat kompleksitas segala sesuatu
yang berhubungan dengan kerja birokrasi. Sementara birokrasi
pada perusahaan swasta dianggap lebih memiliki alat deteksi
33
kinerja yang berupa untung dan rugi, sehingga kalau dalam kurun
waktu tertentu dapat mendeteksi prospek itu dan langsung
menghubungkannya dengan kinerja.
Organisasi birokrasi tidak memiliki alat detektor semacam di
perusahaan swasta. Ketiadaan faktor tersebut disebabkan
pemerintah sebagaimana dimaksud oleh Stiver dan King (1998)
menyebabkan birokrasi bergerak lambat, tidak tahu kapan harus
berbenah, tidak efisien, tidak ramah, berbelit-belit, boros, korup,
tidak memiliki standar kepastian kerja yang baik dan pada
akhirnya tidak disukai oleh para pengguna jasanya.
Ahli lain, yakni Sorensen (1993) yang senada dengan King
dan Stivers juga mengemukakan bahwa, setidaknya ada 6 (enam)
faktor yang dapat dijadikan hipotesis mengapa birokrasi pemerintah
tidak memiliki ketidakefisienan dalam melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat. Hipotesis dimaksud adalah:
(1) Tidak adanya iklim kompetisi dalam model bekerjanya birokrasi. (2). Sumber pendapatan yang tidak dari usaha organisasi sendiri. (3). Tidak adanya ukuran kinerja. (4). Tidak adanya insentif (5). Tidak adanya tantangan administratif kepada pejabat birokrasi secara personal. Dan (6). Tidak adanya kepemimpinan yang aktif. Dari hipotesis Sorensen di atas, tentu secara keseluruhan
akan berimplikasi pada kualitas pelayanan publik yang diberikan
oleh aparatur Negara. Untuk itu, dalam sub bab ini akan dibahas
mengenai strategi kebijakan birokrasi pemerintahan dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kependudukan dan pencatatan
sipil, serta penerapan sistem informasi administrasi kependudukan
yang semestinya dapat dilakukan oleh birokrat berdasarkan
pengumpulan pendapat pengguna dan juga pendapat dari mereka
yang belum melakukan perekaman data kependudukan.
34
2.6. Adanya Keharusan Mewujudkan Kualitas Pelayanan Jauh sebelum UU tentang Sistem Administrasi
Kependudukan diundangkan, di negeri ini telah dikeluarkan
terlebih dahulu Keputusan MENPAN No. 25/KEP/M.PAN/2/2004
yang mengharuskan instansi public untuk menyelenggarakan SPM
dan sekaligus mengukur IPM atas pelayanan yang telah diberikan
pemerintah itu. Aturan ini merupakan konsekwensi dari
penyelenggaraan otonomi daerah saat ini, dimana kualitas
pelayanan menjadi salah satu indikator kinerja birokrasi dan
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal
ini, seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good
governance menuju good government, maka tuntutan akan
pelayanan publik yang berkualitas juga semakin besar.
Pemerintah telah merespon tuntutan ini dengan menetapkan
tahun 2004 lalu sebagai tahun peningkatan kualitas pelayanan
public, meskipun kebijakan ini terhubung dengan Standar
pelayanan Minimal (SPM). Keluarnya kebijakan ini sekaligus
mengindikasikan bahwa belum terjadi perbaikan kualitas
pelayanan public sebagaimana mestinya.
Di samping itu, pelayanan publik oleh aparatur negara masih
diwarnai adanya kelemahan dan belum memenuhi kualitas yang
diharapkan oleh masyarakat. Beberapa indikasi kea rah ini antara
lain adalah masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang
disampaikan melalui media massa, dan bukan ke saluran yang
sebenarnya. Penggunaan aduan ke luar jalur ini, sedikit banyak
menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pelayanan public
oleh aparatur negara.
Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani
masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan
kualitas pelayanan. Diketahui bahwa, salah satu upaya untuk
35
meningkatkan kualitas pelayanan publik pemerintah telah
menyusun indeks kepuasan masyarakat (IKM) sebagai tolak ukur
untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Data indeks kepuasan
akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap unsur pelayanan
yang masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong bagi setiap unit
penyelenggara pelayanan untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah,
pada Huruf (c) Angka 1 dijelaskan bahwa:
“Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya”. Mengingat jenis pelayanan publik sangat beragam, maka
untuk memudahkan penyusunan IKM, setiap unit pelayanan
membuar pedoman umum yang digunakan sebagai acuan bagi
instansi, pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan
kabupaten/kota untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan
di lingkungan instansi masing-masing. Oleh sebab itu, berdasarkan
prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam MENPAN
No.63/KEP/M.PAN/7/2003, dikembangkan sebanyak 14 unsur
yang relevan, valid, dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus
ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Ke-14
indikator tersebutadalah:
36
1. Prosedur pelayanan yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang dilihat dari sisi kesederhanaan alur proses.
2. Persyaratan pelayanan yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan.
3. Kejelasan petugas pelayanan yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggung jawabnya).
4. Kedisiplinan petugas yaitu kesungguhan dalam memberikan pelayanan, terutama dalam hal konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan berlaku.
5. Tanggung jawab pelayanan yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan.
7. Kecepatan pelayanan yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggaraan pelayanan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan dan status masyarakat.
9. Kesopanan dan keramahan petugas yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan mengembangkan sikap sopan, menghormati, ramah dan saling menghargai.
10. Kewajaran biaya pelayanan yaitu aspek keterjangkauan ekonomi masyarakat dan bilaman memungkinkan diberikan secara gratis.
11. Kepastian biaya pelayanan yaitu kesesuaian antara biaya yang telah dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
12. Kepastian jadwal pelayanan yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan lingkungan yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur agar dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.
14. Keamanan pelayanan yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan pada unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang dari resiko yang diakibatkan dari pelaksanan pelayanan.
Para ahli berpendapat bahwa, mengukur kualitas pelayanan
lebih sulit dibandingkan dengan mengukur kualitas suatu produk
(Shah, 2005). Penyebabnya adalah layanan public pemerintah ini
termasuk ke dalam sektor jasa yang ukuran dan kuantitasnya
37
bersifat relatif, banyak jenis atau ragamnya, sehingga sulit
dikuantifikasi atau dinilai dengan harga.
Saat ini tolak ukur penilaian terhadap kualitas jasa atau
pelayanan secara umum telah banyak diteliti dan diungkapkan oleh
lembaga penelitian maupun oleh para pakar. Fitzsimmons and
Fitzsimmons (2004) mengutarakan bahwa, kualitas pelayanan
merupakan suatu yang kompleks sehingga untuk menentukan
sejauhmana kualitas pelayanan dapat dilihat dari lima dimensi,
yakni:
1. Reliability, yakni kemampuan untuk memberikan secara tepat
dan benar tentang jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada masyarakat.
2. Responsiveness, adalah kesadaran atau keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.
3. Assurance, yaitu pengetahuan atau wawasan, kesopan-santunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan yang respek terhadap pelanggan yang dilayaninya.
4. Emphaty, adalah kemauan petugas pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, dan berusaha untuk mengetahui keinginan serta kebutuhan pelanggan.
5. Tangibles, yakni penampilan para pegawai dari tampilan fisik dan fasilitas yang digunakan dalam menunjang pelayanan.
Pandangan lainnya, dikemukakan oleh Nancy dan Kotler
(2006) yang mengemukakan enam dimensi kualitas pelayanan
public produk pemerintah, yaitu: (1) Keberadaan pelayanan; (2)
Ketanggapan pelayanan; (3) Ketetapan pelayanan; (4)
Profesionalisme pelayanan; (5) Kepuasan keseluruhan dengan
pelayanan; dan (6) Kepuasan secara menyeluruh. Demikian juga
Simmons et al. (2009) yang menjelaskan lebih lanjut Kriteria Zethl
et al., (1990), menyatakan bahwa, tolak ukur kualitas pelayanan
public dapat diukur dari sepuluh dimensi, yaitu:
1. Tangibles, terdiri dari fasilitas fisik, peralatan, personil, dan
komunikasi. 2. Reliability, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam
menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.
38
3. Responsiveness, kemampuan untuk membantu pelanggan bertanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan.
4. Competence, tuntutan dimilikinya pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberi pelayanan.
5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen, serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.
7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko.
8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.
9. Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.
10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.
Ukuran lain yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
pelayanan publik pada birokrasi pemerintah adalah tingkat
efisiensi. Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai nisbah yang
terbaik antara hasil yang diperoleh dengan kegiatan yang
dilakukan. Namun efisiensi dalam sektor publik mempunyai matra
yang lebih luas dari pengertian ini. Fried et al. (2008) menawarkan
efisiensi yang dinilai (valued efficiency) di samping efisiensi teknik
(technical efficiency). Selain itu, ahli lain, yakni Yew-Kwan (2000)
menambahkan ongkos kesempatan (opportunity cost) dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) untuk
mengukur efisiensi sektor public sehingga gabungan dari
kesemunya menjadi akuntabel.
Oleh karena itu, efisiensi sector public menjadi sesuatu yang
bersifat nisbi sehingga aspek yang dipilih adalah efektifitas yang
sedikit mengenyampingkan aspek efisiensi pelayanan dan
menghubungkannya dengan tugas dan peran pemerintah dalam
pelayanan public (Shaffer, 1999).
39
2.7. Alur Pikir Penelitian
Gambar 3 Sinergi antara Kesadaran dengan Kualitas Pelayanan dalam
Perekaman Data Kependudukan
Kesadaran Masyarakat Dalam Mengurus dan Memperbaharui Data
Kependudukan Diri dan Keluarga
1. Keabsahan dan pengakuan diri 2. Perlindungan status hak sipil 3. Terakomodasinya penduduk dalam layanan
public 4. Terwujudnya tertib admin istrasi
kependudukan 5. Terintegrasinya data kependudukan dengan
layanan public dan privat
Konsekwensi Positif
Konsekwensi lanjutan dari e-KTP
e-KTP Sukses
Kepentingan Masyarakat terhadap layanan Publik
dengan menggunakan KTP sebagai akses utama
Manfaat bagi Masyarakat Integrasi dan
perbaikan pelayanan
Data Hasil perekaman bermanfaat bagi masyarakat dan juga berguna bagi pemerintah dalam perbaikan
layanan publik (Marbun, 2001)
Metode Kualitatif
Tujuan - Manfaat
Kebijakan Umum: Implementasi UU No. 23 tahun 2006 melalui e-KTP dan Kebijakan tentang IKM
dalam layanan publik
Terintegrasinya Data hasil Perekaman e-KTP dengan system perencanaan, penganggaran dan pelayanan public di semua sector oleh pemerintah
Kebijakan Diskresi untuk daerah dengan askes terbatas
Konsistensi sikap Pemerintah dalam
Penyediaan Layanan Publik yang lebih baik
40
BAB III
ANALISIS KUALITAS PENYELESAIAN PERMASALAHAN SEPUTAR RENDAHNYA KESADARAN MASAYARAKAT
DALAM PEREKAMAN DATA KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT
Dari hasil wawancara dengan para pihak di tingkat
kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan dan satuan pelaksan tugas
validasi kependudukan, aparatur negara pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Kalimantan Barat
tidak secara langsung menjalankan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/2/2004
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat
Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, termasuk juga dalam urusan
perekaman data kependudukan ini.
Urusan IKM diserahkan kepada pimpinan daerah dan sebagai
unit pelaksana teknis daerah siap melaksanakan keputusan
pimpinan daerah. Untuk perekaman ini, dinas yang diserahi secara
langsung tugas perekaman menangani perekaman ini dengan
mendekatkan unit pelayanan ke satuan pengguna. Satuan terendah
yang dapat difasilitasi untuk perekaman data kependudukan
adalah Kantor Kecamatan sehingga semua urusan perekaman
dilakukan di Kantor Kecamatan.
Namun, sekali lagi penulis tegaskan, sebagaimana ditegaskan
oleh banyak camat yang terlibat dalam penelitian ini bahwa bukan
tugas camat untuk merekam data kependudukan, tetapi camat
sebagai pejabat ujung tiombak yang diminta untuk mengkoordinis
kegiatan perekaman ini untuk wilayah kerja camat. Oleh karena
itu, camat juga mengklaim, bilamana perekaman ini belum
mencapai 100%, maka tidak lah langsung menyalahkan kinerja
40
41
camat karena memang urusan perekaman adalah menjadi tugas
dan fungsi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
3.1. Persepsi Masyarakat Kalimantan Barat sebagai Pengguna
Layanan pada Unit Perekaman Data Kependudukan Berikut ini akan dibahas hasil wawancara dengan beberapa
informan terkait dengan pelayanan kependudukan dan pencatatan
sipil, khususnya perekaman data kependudukan yang hingga kini
belum mencapai 100%. Fenomena ini kemudian dialamatkan
kepada tingkat kesadaran masyarakat yang belum tinggi.
Dari hasil penelitian lapangan melalui wawancara dengan
para pihak yang pernah menerima pelayanan KTP, informan
pertama adalah seorang PNS di Kelurahan Baning, Kabupaten
Sintang, menyatakan kepada peneliti bahwa:
“Persyaratan dan prosedur mengurus KTP di Kantor Camat Baning Kota Sintang ini saya rasa telah sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan dan saya rasa tidak begitu sulit diikuti masyarakat. Persyaratan yang harus dilengkapi adalah membawa KTP yang sudah habis masa berlakunya dan juga membawa KK asli. Kedua persyaratan tersebut diserahkan kepada petugas, kemudian petugas memberikan formulir data isian, dan formulir tersebut lengkapi, setelah lengkap diisi dikembalikan lagi kepada petugas …… dan selesai ……. lalu pulang dengan diberikan selembar surat keterangan pengganti KTP ….. dengan diberikan janji, bila nanti KTPnya sudah jadi akan segera dihubungi”
Karena telah mendapat pelayanan yang baik, informan ini
juga menyatakan “wajarlah bila kita titip uang rokok kepada petugas
itu ……, maksudnya bukan nyogok, hanya untuk ucapan terima
kasih. Sebenarnya, ia juga tidak minta, apalagi kalau menentukan
besarannya. Saya saja yang ingin memberikannya tanda ucapan
terima kasih itu kepadanya.” Dem ikian ungkap informan ini sambil
42
meninggalkan Kantor Camat sebagai tanda bahwa perekaman data
kependudukan telah dilaluinya dengan baik.
Dari wawancara di atas, terkesan juga tidak terlihat adanya
unsur keberatan dari masyarakat, meskipun dirinya mengakui
telah memberikan uang tips, yang diakuinya bukan sebagai uang
pembayaran dan bukan pula sebagai upaya “penyogokan” tetapi
sebagai ucapan terima kasih atas pelayanan baik kepada dirinya
selama melakukan pengurusan penggantian KTP di Kantor
Kecamatan Baning.
Informan kedua, adalah seorang nenek berusia usia 75 tahun
yang saat riset lapangan ingin mengambil KTP elektronik yang
sudah jadi, karena proses perekamannya dalam rangka pembuatan
e-KTP di Kantor Camat Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
sudah dilakukan tiga bulan lalu. Nenek Salbi pada hari Senin
tanggal 16 September 2013 pukul 11.40, menyatakan bahwa:
Saye ni KTP seumor idup cuk eeee ……. waktu mau bikin KTP dolok, ibu itu (sambil menunjuk seseorang di dalam loket pembuatan e-KTP) ….. yang layani nenek cukup baik die nye, ramah dan suke nak gurau same nenek. Tak terase pulak kite dibuatnye ….. tahu-tahu dak lakkak nek eee katenye. Pokok eeee nenek ikut ape kate ibu itu tu tu….. [Saye ini adalah pemegang KTP Semumur Hidup …… sewaktu memproses perekaman dalam rangka pembuatan e-KTP sekitar tiga bulan lalu, ibu itu ….. yang melayani nenek cukup baik, ramah dan suke bergurau dengan nenek. Jadinya (waktu dan proses) menjadi tidak terasa …… tahu-tahu sudah selesai. Pokoknya, nenek mengikuti saja apa yang diminta oleh petugas pelayan] Dari informasi hasil wawancara dengan pemegang KTP
elektronik seumur hidup di atas, petugas pencatat telah
melaksanakan tugansya dengan baik. Petugas ini, secara bijak
memperlakukan masyarakat dan menjadikan proses perekaman
berjalan lancar dan sekarang, nenek itu telah memiliki e-KTP Kubu
Raya dan menurutnya akan dapat ia gunakan untuk berobat ke
43
Puskesmas dan Rumah Sakit Rujukan Daerah bilamana nanti ia
sakit, sebagaimana diketahuinya dari seorang tetangganya yang
telah memiliki KTP KKR dan KTP tersebut valid untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan pada puskesmas dan RSUD Dr. Soedarso,
Pontianak. Masih dari nenek ini juga, diakuinya kalau dirinya
mengurus KK dan KTP ini adalah dalam rangka mendapatkan
bantuan BLSM dan perobatan gratis.
Menurut informan ketiga, seorang remaja yang melakukan
pengurusan KTP dan sekaligus mengurus surat kepindahan calon
suami untuk keperluan menikah di Kota Pontianak. Namanya
adalah Fitriani yang diberikan KTP Sementara oleh Camat
Pontianak Timur sebagai dasar untuk memproses pengurusan
surat-menyurat pernikahan dan kepindahan agama dari calon
suaminya. Transkrip wawancara dengannya yang dilakukan pada
Hari Kamis, 13 September 2013 pukul 09.00 di Kantor Kecamatan
Pontianak Timur saat yang bersangkutan hendak menukar KTP
sementara dengan e-KTP, menuturkan seperti berikut ini:
Tadeknye saye orang Pontianak yang pindah ke Ketapang …… karena mao kawin, maka saya ngorus surat pindah lagi dari Ketapang ke Kote Pontianak. Lagi pule, calon suami saye ni orang Kristen yang mao masok Islam sehingga perlu pindah agame dolok. Data die di Ketapang sana, udah dihapus dan dikeluarkan orang tue nye dari KK sanak. Semua surat-surat perpidahan dah saye siapkan, mulai dari pindah tempat tinggal sampai lapor pindah agame di Kantor Kecamatan dan Kantor Agama dari Ketapang ke kote. KTP saye dan calon suami pun dah kenak ambek dan ditinggal di Kantor Camat Matan Hilir sana. Ke sinik, cume mbawa surat keterangan pindah dari Pak Camat Ketapang yang telah disahkan oleh Dinas Capil sanak. Saat ngurus KTP di Kantor Camat sinik, mulenye, saye tekejot gak karena cume diberi surat kecil begini (sambil memperlihatkan KTP sementara sebesar kertas bon)….. tapi ternyata, Alhamdulillah pulak tadak ade masalah saat mengurus semua surat-surat pernikahan saye dan termasuk surat pindah tinggal dan pindah agama dari calon suami ini
44
[Semula saya adalah penduduk Pontianak yang pindah ke Kabupaten Ketapang. Karena hendak melangsungkan pernikahan di Pontianak, saya pun mengurus surat kepindahan lagi dari Kabupaten Ketapang ke Kota Pontianak. Lagi pula, calon suami saya ini dulunya adalah seorang Kristiani yang hendak masuk Islah sehingga perlu merubah perpindahan agama. Lagi pula, data dirinya telah dihapus dari KK orang tua di Ketapang. Semua surat-surat pindah pun sudah disiapkan, mulai dari pindah domisili hingga perpindahan agama yang hendak dicatatkan pada Kantor Kecamatan Pontianak Timur. Ketika mengurus surat pindah, KTP saya dan KTP calon suami juga sudah ditarik dan ditinggal di Kantor Kecamatan Matan Hilir Ketapang dan diganti dengan surat keterangan pindah domisili dari Pak Camat Matan Hilir yang juga saya sahkan ke Kantor Catatan Sipil Kabupaten Ketapang. Saat mengurus pergantian KTP di Kantor Camat Pontianak Timur, semula saya juga kaget karena Pak Camat hanya memberikan sepotong surat kecil begini ……. Tetapi, ternyata, Alhamdulillah, tidak ada kendala dalam pengurusan surat pernikahan di kantor Agama, termasuk surat pindah calon suami saya ini] Dari transkrip di atas, tidak ada kesan informan mendapat
perlakuan yang tidak baik. Memang, karena yang bersangkutan
tidak tahu, semula berpikir langsung mendapatkan pergantian KTP.
Tetapi, KTP yang diharapkan belum jadi, ia diberikan surat
keterangan pengganti KTP dan dengan membawa surat tersebut, ia
mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan.
Dari cerita Fitriani ini, saya sepakat bahwa pelayanan kepada
penduduk dalam rangka administrasi kependudukan telah
diberikan oleh petugas memenuhi unsur kualitas pelayanan
sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 dan
juga memenuhi ketentuan UU. No 23 tahun 2006, sementara
proses perekaman dan pengadministrasian perpindahan penduduk
lintas kabupaten yang telah dilengkapi dengan surat lengkap
seperti telah dipersiapkan Fitriani ini dapat diproses dengan cepat
dan memuaskan bagi masyarakat. Kelancaran dalam proses
45
perekaman data kependudukan ini disebabkan yang bersangkutan
telah memenuhi syarat yang diperlukan.
Informan keempat adalah penduduk Kota Singkawang, dari
Kelurahan Roban, Kecamatan Singkawang, berinisial LBH (50
tahun) yang datang ke Kantor Pelayanan Satu Atap di Kota
Singkawang untuk mengurus Ijin Gangguan (HO). Karena belum
mengurus KTP, informan ini kemudian marah-marah setelah
petugas loket pelayanan HO yang meminta dirinya agar
melampirkan KTP atau menuliskan Nomor Induk Kependudukan
(NIK) pada formulir pendaftaran HO-nya.
Ternyata informan ini belum merekam data kependudukan
dan KTP yang dipegangnya telah mati sejak dua tahun lalu
sehingga proses pengurusan HO tidak dapat dilanjutkan.
Kepadanya juga disarankan agar menyertakan tanda tangan tidak
keberatan dari minimal 4 (empat) Kepala Keluarga yang berada di
lokasi usaha yang diajukannya dan sekaligus melampirkan KTP
tetangga yang bertanda-tangan pada formulir HO itu.
Karena merasa tidak mendapat pelayanan yang baik,
informan ini kemudian menghubungkan antara kualitas pelayanan
di Kantor Satu Atap (Kantor Perijinan versi baru) dengan Pelayanan
HO di Dinas Peridag (Kantor Perijinan versi lama) jauh lebih baik
versi lama. Oleh karena itu, informasi dari informan ini dianggap
tidak relevan karena informan lain, namanya berinisial YLS (47
tahun) yang juga mengurus perijinan yang sama (HO) justru
berpendapat bahwa pelayanan di Kantor Perijinan Satu Atas Kota
Singkawang ini adalah sudah lebih baik dan ringkas dari yang lama
karena pada kantor yang baru ini, proses perijinan dapat
diselesaikan hanya di satu kantor.
Sementara informan yang marah-marah tadi, menurut
informan ini kecewa dengan pelayanan karena persyaratan
pengurusan yang tidak lengkap. Oleh karena itu, saya akhirnya
46
sepakat dengan informan kedua pada Kantor Perijinan Satu Atap
Kota Singkawang ini dan kemudian menyimpulkan bahwa
kekecewaan dari informan yang marah-marah tadi disebabkan oleh
tidak lengkapnya persyaratan (KTP) yang diperlukan untuk
memproses perijinan dimaksud sehingga yang bersangkutan tidak
dapat melanjutkan pengurusan ke proses berikutnya dan kemudian
menyalahkan petugas secara sepihak. Ia kemudian menarik berkas
atau usulannya dan pergi meninggalkan kantor dalam keadaan
marah-marah.
Informan lain, penulis temui di Sungai Pangkalan, Kecamatan
Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang. Ia adalah pria tua lajang
dengan usia sekitar 65 tahun, De Koni ia sehari-hari dipanggil.
Dengan pekerjaan pencari kayu bakar di hutan, ia merasa tidak
perlu mengurus KK dan KTP yang hilang karena tidak berdampak
apapun terhadap dirinya. Berikut ini adalah petikan
wawancaranya, saat penulis menemuinya yang sedang memikul
kayu bakar, pada Hari Rabu, tanggal 11 September 2013. Kepada
penulis ia menuturkan:
Illang ye illang lah…… untuk apelah ngurus yang gayye-gayye agek ….. Ape agek katenye harus lapor polisi, macam kitte tok penjahat …… saye tok jak dah tue, sorang agek …….. sean juak faedahnye ……. Nak kemane juak be pakai KTP segale….. mun sakit, tak pakai KTP lah kali …. Mballli obat di pasar, minum, bawa bekumbok, isok dah baik …… [Kalau sudah hilang, ya biarkan saja hilang ….. untuk apa juga saya mengurus KTP lagi. Apalagi, katanya harus lapor ke Polisi, seperti kita ini seorang penjahat saja …… Saya ini kan sudah tua, bujangan lagi .…. tidak ada juga manfaat bagi saya …… Memangnya untuk kemana dengan KTP Itu? ….. bilamana sakit, saya tidak membutuhkan KTP kali …… membeli obat di pasar sana, minum, bungkus badan dengan selimut (bekumbok), besok hari sudah sembuh dari sakit …….]
47
Oleh karena itu, sepanjang KTP tidak bermanfaat bagi
masyarakat, maka mereka akan tidak tertarik untuk mengurusnya
dan oleh karena itu, dirinya tidak mengetahui pelayanan
pembuatan KTP di Kantor Kecamatan, baik versi KTP lama maupun
KTP baru (elektronik). Terlebih, untuk mengurus KTP, dirinya harus
mengeluarkan uang buat ongkos angkutan pedesaan yang berjarak
sekitar 10 Km dari rumahnya. Tanpa dijemput, penduduk seperti
De Koni ini akan tidak tertarik untuk megurus KTP dan juga tidak
perduli pada kualitas pelayanan public.
Sementara Salah satu Kepala Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil di Kalimantan Barat yang penulis temui di kantornya
pada hari Rabu, 11 September 2013, dan data dirinya tidak ingin
disebutkan, menyatakan bahwa:
“pemerintah membuat aturan ini karena pengurusan KTP direncanakan sekali untuk seumur hidup. Sebagai anggota masyarakat, rasanya tidak terlalu berlebihan jika dalam seumur hidupnya, masyarakat datang sekali ke kantor Camat biar tahu juga dengan apa pekerjaan pemerintah di kantor sana”.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan De Koni ini ditanggapi
sebagai sebuah kelit (alasan) kalau ada sebagian penduduk yang
tidak faham akan manfaat KTP dan juga mungkin secara faktual
tidak pernah mempergunakan KTP selama aktivitasnya di desa
tersebut. Kadis itu kemudian melanjutkan bahwa:
“semestinya, Pak Camatnya menulis surat permohonan kepada Kepala Disdukcapil Kabupaten untuk dilakukan perekaman ofline di desa dan kemudian ada tanggung jawab Pak Camat untuk mengumpulkan masyarakat di satu tempat sehingga perekaman dapat dilakukan di desa itu”. Sebagai peneliti yang melihat langsung kondisi De Koni, saya
berpendapat bahwa bukan De Koni yang salah dan tidak juga ingin
menyalahkan pendapat Kepala DInas Dukcapil di atas, semestinya
pemerintah setempatlah yang menjemput dan memfasilitasi dirinya
48
dengan membuat rentang pengurusan pergantian KTP sependek
mungkin atau meminta Kepala Desa atau Lurah untuk menjemput
yang bersangkutan dan dibawa ke Kantor Kecamatan agar proses
perekaman dapat dituntaskan secara cepat.
Seperti yang diakui oleh De Koni, meskipun KTP yang pernah
dimiliknya telah hilang entah kemana, tetapi hak-hak politik dirinya
tidak dengan serta-merta hilang. Mulai dari pemilihan Kepala Desa,
Pemilihan Bupati Bengkayang dan pemilu untuk Pileg dan Pilpres
tahun 2014 mendatang, namanya tetap terdaftar sebagai pemilih di
desa tersebut.
Mulai dari RT hingga aparat desa tidak lagi membutuhkan
klarifikasi dengan menunjukkan KTP De Koni untuk mendaftarkan
dirinya sebagai pemilih, karena identitas dirinya, tidak hanya
diketahui oleh Pak RT (melalui berkas yang tinggal di Ketua RT),
tetapi Pak Kades dan bahkan masyarakat di desa tersebut pun
sudah mengenal dan mengetahui asal-usul De Koni.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang profilnye seperti De
Koni dan secara asal-usul mereka cukup jelas. Namun, karena
tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah, maka
dirinya “membiarkan” segalanya berlalu dengan mengambil sikap
seakan tidak perduli atas status kependudukan dirinya. Namun,
sebenarnya, sikap yang ditampilkan oleh De Koni ini adalah akibat
dari minimnya perhatian pemerintah sehingga ketidak-tahuan akan
fungsi KTP dan identitas diri berlanjut hingga di usia 65 tahun ini.
Pemerintah yang baik, seperti diharapkan oleh Stivers dan
Kings (1998) adalah pemerintah yang perduli dengan masyarakat.
Bilamana masyarakat sulit menjangkau pelayanan, maka
pemerintah membuat strategi, diantaranya strategi menjemput bola
yang ditujukan kepada penduduk yang tidak memiliki kapasitas
dalam mengakses layanan public agar dirinya tidak semakin
49
termaginalkan oleh pemerintahnya sendiri, yang oleh Al Gore (1994)
disebut cost less dan better services.
Sikap yang ditunjukkan oleh De Koni ini adalah buah atau
ujung dari sikap pemerintah yang kurang intens terhadap warga
Negara yang tidak beruntung,
Oleh karena itu, De Koni menyatakan keberatan bilamana
dirinya dikatakan tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam
pengadministrasian data kependudukan melalui pembuatan KTP.
Menurut De Koni, justru dirinya sudah berpartisipasi kepada
pemerintah dengan tidak menuntut perlakuan yang macam-macam
dan tidak juga membuat pemerintah repot untuk mengurus dirinya
dengan membuatkan KTP pengganti yang telah hilang tersebut,
meskipun, lanjut Pria Renta ini, “dulunya saya ikut
memperjuangkan kemerdekaan negeri ini”. Baginya, ada atau tidak
ada KTP, kehidupannya tidak akan berubah lagi. Sebuah
pernyataan jujur dari seorang De Koni yang sederhana.
3.2. Penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Administrasi kependudukan merupakan sebuah sistem yang
diselenggarakan sebagai bagian dari penyelenggaraan administrasi
Negara yang pelaksanaannya dilakukan dengan azaz universal,
permanen, berkelanjutan, persamaan kedudukan dalam hukum,
perlindungan dan kepastian hukum. Data yang direkan terkait
SIAK adalah peristiwa penting kependudukan yang bermanfaat bagi
kepentingan penduduk itu sendiri dan bagi kepentingan
pemerintah.
Dengan terekamnya data kependudukan melalui SIAK ini,
Negara diharapkan dapat memberikan pelayanan publik dan
50
berbagai bentuk jaminan sosial dan perlindungan hukum sebagai
warga Negara. Sementara kepentingan pemerintah terhadap SIAK
ini adalah selain mewujudkan tertib administrasi kependudukan,
juga sebagai langkah pertama dalam mendesain pemberian
perlindungan secara wajar, pemberian layanan secara baik kepada
setiap warga Negara (Al Gore, 1994).
Dengan diberlakukannya UU No.23/2006, substansi
administrasi kependudukan mencakup pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil. Pencatatan sipil menitikberatkan pada aspek
keperdataan, sedangkan administrasi kependudukan bersifat
hukum administrasi negara. Dalam BAB II Pasal 2 pada UU No.
23/2006 secara jelas menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal
yang semestinya didapat oleh seorang penduduk dan itu menjadi
kewajiban dari pemerintah untuk memenuhinya. Secara lengkap,
bunyi pasal tersebut adalah:
Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen kependudukan b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil c. Perlindungan atas data pribadi d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk
dan pencatatan sipil atas dirinya dan atau keluarganya f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat
kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh insansi pelaksana.
Berdasarkan ketentuan di atas, SIAK yang dilaksanakan
melalui salah satunya adalah e-KTP menjadi bentuk implementasi
tugas Negara, yang dalam hal ini diperankan oleh pemernintah
beserta jajarannya, untuk menunaikan kewajiban Negara. Oleh
karena itu, menjadi wajar bilamana e-KTP tersebut dilakukan oleh
pemerintah secara gratis dengan tetap berkualitas sebagaimana
dimaksud oleh Linden (1994) dan juga Al Gore (1994) sebagaimana
51
dikutif di atas bahwa “delivery best services with costless”
merupakan upaya pemerintah dalam menunaikan kewajibannya
kepada masyarakat yang telah mendelegasikan kewenangan,
kekuasaan, sumberdaya dan lain-lain kepada pemerintah.
Pada prinsipnya kebutuhan praktis UU No. 23/2006 adalah
akan membawa implikasi terhadap sistem administrasi
kependudukan menjadi yang lebih baik jika dalam
penyelenggaraannya juga dapat mengaktualisasikan asas-asas
umum pemerintahan yang layak dalam pelaksanaannya.
Seorang Camat di Kabupaten Bengkayang (ZRT, 50 tahun)
menjelaskan bahwa tidak perdulinya masyarakat terhadap
Administrasi pendudukan tidak dapat dengan serta merta
ditujukan kepada masyarakat. Banyak factor yang mesti
diperhatikan, seperti pendidikan, pekerjaan dan waktu yang
dimiliki. Antara kebutuhan masyarakat dengan kebutuhan Negara
atau pemerintah yang saling bertolak belakang. Dicontohkan oleh
Pak Camat adalah pengurusan KTP.
Meskipun pihak kecamatan dan desa telah melaksanakan
sosialisasi pentingnya KTP, tetapi tidak semua mereka dapat
mengikuti kegiatan itu sehingga mereka tidak tahu akan arti
penting KTP bagi dirinya dan juga bagi pemerintah.
Setelah di dalami, ternyata penduduk ini berprofesi sebagai
nelayan yang pulang ke rumahnya per dua minggu sekali dan atau
kadang hanya sebulan sekali. Dirinya memiliki KTP, tetapi KTP
yang saat ini dipegangnya sudah mati. Berikut petikan wawancara
dengan ZRT (50 tahun) pada hari Rabu tanggal 11 September 2013
di ruang kerjanya:
52
”Masyarakat di sini, menurut saya sudah sangat responsif terhadap administrasi kependudukan. Buktinya, proses perekaman hingga saat ini sudah di atas 80%. Itu tercapai karena sebelumnya kita adakan sosialisasi. Sasaran sosialisasi adalah para Kepala Keluarga yang dalam setiap sosialisasi pada setiap desa hadir berkisar 25 sampai 100 KK dan telah dilaksanakan ke seluruh desa di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan ini. Di beberapa desa, sosialisasi kita lakukan di malam hari dan bahkan beberapa desa berlangsung hingga pukul 10 malam ……. Ya namanya masyarakat, baru saja kita ngomong, sudah ada yang tidur. Apa kita mau paksa mereka supaya tidak tidur? Sebagai Camat, saya maklum karena di siang hari mereka bekerja keras di kebun, di hutan. Faham atau tidak, sudah bukan urusan saya sebagai Camat …. Sama juga dengan Bapak ….. tugas Bapak kan mengajar, yakni menyampaikan materi ajar, namun apakah mahasiswa Bapak serius atau tidak ikut kuliah Bapak ……. Itu sudah urusan mahasiswa masing-masing, sepanjang mahasiswa tidak ribut. Kan Bapak tidak boleh marah sama mahasiswa yang kelihatan tidak serius dan tidak ganggu kawan lain. Sama juga lah dengan saya, saat mensosialisasikan UU tersebut, masyarakat tampaknya serius mengikutinya. Persoalan paham atau tidak, kan tidak bisa saya ukur seketika itu. Tapi dengan proses pendataan yang sudah di atas 50%, saya rasa masyarakat di Kecamatan ini sudah pahan akan arti penting KTP bagi dirinya dan bagi Negara. Namun, sisanya, yang belum melakukan perekaman data kependudukan, mungkin itu yang belum paham. Tetapi, sebagai pelayan masyarakat, kami pihak kecamatan bersama Disdukcapil Kabupaten Bengkayang, selalu men-stanbye-kan fasilitas dan petugas pelayanan perekaman data kependudukan di Kantor Camat ini.
Dari rekaman wawancara di atas, beberapa informan juga
sempat ditanya mengenai sosialisasi tersebut dan mereka
membenarkan bahwa pihak kecamatan berkejasama dengan
Disdukcapil di beberapa kabupaten membenarkan adanya kegiatan
sosialisasi tersebut.
Namun, tetap saja ada anggota masyarakat yang merasa
belum ada kegiatan sosialisasi sebagaimana petikan wawancara
dengan Bapak Ja’far (60 tahun) di Desa Sungai Jaga B pada hari
53
Jum’at 20 September 2013 pukul 17.00 di rumahnya yang
sederhana, berikut ini adalah pernyataanya.
Sosialisasi UU No. 23 tahun 2006? Tak tahu saya Pak e …..! Saye tok jak kurrang gaol, sibok ke utan, gesek kayu mbuat papan ….. behari-hari dalam uttan sinnun ….. tak tau hal kampong. Mun binni saye mungkin tahu die, tapi die paggi kumme ….. buah hari barok balik ….. kallak Bapak balik agek lah, jumpe dan tanyak-tanyak ngan binni saye ……. [Sosialisasi UU No. 23 tahun 2006? Tak tahu lah saya Pak! Saya ini kurang bergaul, karena kesibukan bekerja di hutan menggesek kayu untuk dibikin papan ….. berhari-hari dalam hutan ….. sehingga tak mengetahui urusan di kampong ini. Kalau isteri saya, mungkin tahu tentang sosialisasi tersebut, tetapi dia saat ini masih bekerja di sawah ….. sore menjelang magrib baru kembali ke rumah. Nanti Bapak kembali lagi ke sini untuk bertemu dan berwawancara dengan istri saya ya ……]. Dari hasil wawancara di atas, Pak Ja’far yang sehari-hari
bekerja di hutan, tidak hanya tidak paham dengan UU No. 23
tahun 2006 tetapi juga tidak tahu dengan urusan di desa. Saat
ditanya tentang perekaman data kependudukan, informan ini
melanjutkan dan bahkan menyarankan sesuatu, seperti petikan
berikut ini:
Mun kate saye ….. pemerentah tok jak dah gille …… kamek tok kan urang kaccik ….. disuruh mbuat KTP segale …… dan harus ke Sungai Duri sinun …… Mun dolok, titip Pak Pong be dah lakkak urusannye. Kintok, nak pakai datangge’ age’ ….. katenye maok difoto di sinun ….. macan tak cayak kamek ini urang sitto’ be ….. mane boleh duit he …. Mun maok …. kandak ang ….. macam kamek tok …. barrek lah duit …… ganti hasel kerje sehari ….. barrok bise mbarakkan kerje ….. mun ndak gayye …… kamek maok makan ape hari ittok dan isok?”
[Menurut saya, pemerintah sekarang sudah gila ….. kami ini orang kecil ….. diminta untuk membuat KTP segala ….. dan harus (pergi) ke Sungai Duri (Kantor Kecamatan) sana ….. Dahulu, membuat KTP boleh dititip dengan Kepala Desa dan tuntas urusan KTP dimaksud. Sekarang, harus mendatangi petugas di sana …… katanya untuk difoto …… seperti tidak percaya kami ini adalah masyarakat di sini …… mana kami
54
punya uang …. Kalaulah pemerintah bijak, orang seperti kami (yang miskin) ini ….. diberikan uang untuk mengganti hari kerja sehari yang hilang karena tidak bekerja…… sehingga kami dapat meninggalkan kerja untuk mengurus KTP tersebut ….. Kalau tidak ada penggantian biaya meninggalkan kerja, …… hari ini dan esok kami mau makan apa? Dari petikan wawancara di atas, sepertinya sulit mencapai
angka perekaman sebesar 100% bilamana tidak ada kebijakan
khusus dari pemerintah untuk kelompok masyarakat dengan
kebutuhan khusus seperti Pak Ja’far di atas. Bilamana perekaman
dimaksud lebih menekankan untuk kebutuhan penduduk, maka
data orang-orang di keluarga Pak Ja’far akan tetap tidak dapat
direkam karena antara kebutuhan Pak Ja’far dengan kebutuhan
pemerintah tidak saling bertemu.
Dari pembacaan jumlah penduduk miskin di Kalbar, terdapat
sebanyak 39 ribu lebih sebagaimana tertera pada Gambar 4 berikut
ini, dan terlebih khusus di daerah perdesaan yang terbatas akses
menuju kecamatan, perlu mendapat perhatian lebih agar proses
pendataan menjadi lebih cepat.
Pemerintah di satu sisi melihat perekaman data penduduk
adalah untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri yakni dengan
membudahkan pemerintah dalam perencanaan dan implementasi
pelayanan public, sementara bagi Pak Ja’far, untuk merekam data
kependudukan yang membutuhkan biaya tinggi itu akan
menghilangkan pendapatannya sehari sehingga akan mengganggu
ketersediaan konsumsi di rumahnya di hari itu. Pak Ja’far akhirnya
menjatuhkan pilihan pada tidak merekam data kependudukan.
Bagi Pak Ja’far yang hanya tinggal berdua dengan istrinya, karena
kedua anak lelakinya sudah kawin dan telah pisah KK, merasa KTP
tidak dibutuhkannya lagi.
S
k
m
p
r
m
p
d
t
K
k
s
B
m
p
Gam
Sumber: S
Nam
kependud
mendapat
pendapata
reratanya
menyediak
profile sep
data kepe
tuntas da
Kasus k
kependud
sehingga
Barat men
Dari
mereka, K
(Juli 1, 20
penduduk
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
mbar 4. Ju
Statistik Pr
mun, sepe
ukan bil
tkan gant
annya dal
sebesa
kan dana
perti Pak
enduduka
lam waktu
khusus
ukan di
para RT p
ngeluh ada
i data k
Kepala BPS
003) meny
k miskin.
‐
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7
umlah Pen
rovinsi Ka
rti diungk
lamana p
ti rugi d
am sehari
ar Rp
sebesar R
Ja’far ini
n sebagai
u yang tid
lambatny
Kalbar i
pada wilay
anya.
kependudu
S Provinsi
yebutkan a
Bila dem
KOTA
PENDU
71,750.00
duduk Mi
albar, 2013
kapkannya
pendapata
ari peme
i, dari me
80.000,0
Rp 100.00
, maka a
imana UU
dak berlar
ya penu
ini diseba
yah perde
ukan men
Kalbar se
angka seb
mikian, ma
DESA
UDUK MISKIN
297,260
skin Kalba
3
a, ia berse
an yang
rintah. D
engolah ba
0. Bilam
00,00 untu
da kemun
U No, 23
rut-larut s
untasan
abkan ole
esaan di P
nurut ting
ebagaiman
esar 369.0
aka dibut
KALBAR 2013
0.00 3
ar 2013
edia mere
hilang s
Dari penu
alok menj
mana p
uk keluarg
ngkinan p
tahun 2
seperti sek
perekama
eh bany
Provinsi K
gkat kese
na dimuat
010 (8,24%
tuhkan se
TOTAL369,010.00
55
ekam data
sehari itu
uturannya,
adi papan
emerintah
ga dengan
perekaman
006 akan
karang ini
an data
yak factor
Kalimantan
ejahteraan
di Antara
%) sebagai
ebesar Rp
5
a
u
,
n
h
n
n
n
.
a
r
n
n
a
i
p
56
36,9 M untuk penyediaan uang pengganti hari kerja masyarakat
miskin yang belum merekam KTP. Sementara, dari sumber yang
sama, Penduduk Indonesia hingga tahun September 2013 yang
hiduo di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 28,07 Juta orang
(11,37%). Untuk mengganti biaya produksi yang tertunda akibat
masyarakat harus mengurus perekaman data kependudukan
dibutuhkan dana sebesar Rp 2,8 T.
Mau dikata apa lagi, itu konsekwansi yang harus ditanggung
Negara karena pemerintah gagal membangun perekonomian rakyat
secara berkeadilan sehingga penduduk miskin tetap menjadi
tanggungan Negara (Neo dan Chen, 2007) sebagai konsekwensi dari
UUD 1945. Sepanjang tidak ada kebijakan khusus untuk penduduk
berkebutuhan khusus ini, maka untuk mencapai perekaman
sebesar 100% menjadi nisbi adanya.
Profil seperti yang ditampilkan oleh De Koni dan Pak Ja’far
adalah realita yang nyata dalam kehidupan masyarakat dan dapat
temui di semua daerah dan bahkan mewarnai profil penduduk
Indonesia di wilayah perdesaan di Kalimantan Barat. Mereka ini
merasa tidak membutuhkan KTP karena kebutuhan akan
kepemilikan KTP yang tidak banyak membantu dibanding desakan
kebutuhan ekonomi. Akhirnya, pilihan jatuh pada membiarkan
data kependudukan dirinya tidak diurus, walaupun konsekwensi
dari sikap ini adalah tidak tersalurkannya berbagai program
bantuan kepada penduduk miskin.
Namun, ketika kelompok ini tidak terakomodir dalam sebagai
paket bantuan program pemerintah, kembali pemerintah yang
dipersalahkan sebagai pemerintah bagi semua karena dengan
masyarakatnya saja mereka tidak kenal. Jangankan
memperhatikan kesejahteraan masyarakat, kenal pun tidak.
Ungkapan ini dapat dibaca pada “Equatir Rakyat Kalbar” dimana
Abu Yahya, warga Jalan Selat Panjan, Gag Wartawan Siantan Hulu
57
yang bercerita bahwa warga buta dan tidak mampu tak dapat
BLSM, tidak ada satu pihakpun yang mengaku salah. Saat
dikonfirmasi ke RT, dibilang itu data dari Kelurahan dan ketika
dikonformasi ke Lurah, melemparkan kesalahan kepada RT. Pendek
cerita, fenomena menunjukkan bahwa update data belum terjadi
dan orang miskin tetap menjadi sasaran tembak yang empuk dan
juga dapat dimanipulasi sedemikian rupa sebagai akibat dari
pemerintah yang tidak perduli akan nasib mereka, termasuk dalam
urusan pendataan dan perekaman data kependudukan.
3.3. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran Masyarakat Dalam Perekaman Data Kependudukan Implementasi sebuah undang-undang memang tidak mudah
karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Dibutuhkan tidak hanya
dukungan dari instransi teknis yang secara langsung bertugas
dalam implementasi, tetapi juga dari berbagai instansi terkait lain,
termasuk juga dukungan dari pihak pembantu pelaksana yang
dalam hal ini adalah Camat, Kades/Lurah dan RT serta RW.
Dukungan terakhir adalah dari masyarakat yang merupakan
sasaran akhir dari implementasi UU No. 23 tahun 2006.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa
pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan publik, mempersingkat prosedur pelayanan,
dan mempersingkat waktu proses tetapi memperpanjang jam
pelayanan. Semua itu dimaksudkan untuk memberikan kepuasan
kepada publik.
Undang-Undang tentang administrasi kependudukan pada
dasarnya hendak menyelesaikan enam masalah mendasar, yaitu
dasar hukum, kelembagaan, aparatur, dokumen dan data serta
pemahaman masyarakat terhadap manfaat dokumen
58
kependudukan dan mekanismenya. Penertiban di bidang
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil perlu dilakukan
dengan pertimbangan bahwa masih banyak penduduk yang belum
mengurus KTP. Juga ditemukan adanya penduduk yang tidak mau
melaporkan kedatangannya pada pengurus RT setempat mereka
tidak memiliki surat atau dokumen keterangan pindah sehingga
administrasi kependudukannya tidak dapat diproses.
Dengan SIAK, pengurusan administrasi kependudukan
(adminduk) dapat dilakukan secara cepat melalui online antar
petugas pencatat yang terintegrasi ke dalam sistem. Dalam
pelaksanaan adminduk dimaksud, pemerintah daerah Kabupaten
dan Kota berkewajiban dan bertanggungjawab dalam:
a. Koordinasi penyelenggaraan adminduk b. Pembentukan instansi pelaksana c. Pengaturan teknis penyelenggaraan adminduk d. Pembinaan dan sosialisasi e. Pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat f. Penugasan kepada kepala desa untuk menyelenggarakan
sebagian adminduk berdasarkan tugas pembantuan g. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala
Kabupate/Kota h. Melakukan koordinasi dan pengawasan
Administrasi kependudukan dilaksanakan oleh Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil dengan kewajiban antara lain,
mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting,
memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap
penduduk, menertibkan dokumen kependudukan, mendokumen-
tasikan hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil,
menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas peritiwa
kependudukan dan peristiwa penting serta melakukan verifikasi
dan validasi data dan informasi yang disampaikan penduduk dalam
pelayanan pendaftaran penduduk dan catatan sipil.
Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan di Kalimantan Barat secara umum
59
dapat disimpulkan tidak cukup efektif untuk mentertibkan
masyarakat karena isi undang-undang tersebut belum seluruhnya
di implementasikan secara baik, terutama dalam menjangkau
kantor-kantong penduduk yang memiliki keterbatasan akses.
Dari beberapa temuan di lapangan, terindikasi bahwa tidak
efektifnya Implementasi Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang
Admnistrasi Kependudukan lebih dikarenakan oleh faktor akses,
kemiskinan, pengetahuan dan kepentingan atau tujuan yang tidak
saling bertemu.
Dari hasil wawancara dengan banyak pihak, terkait faktor
yang mempengaruhi perekaman data kependudukan dapat
dirangkum sebagai berikut:
3.3.1. Domisili yang tidak di tempat alamat
Fenomena ini antara lain disebabkan oleh tugas, menjadi TKI,
peniaga antar daerah, studi dan narapidana. Fenomena ini ditemui
di seluruh wilayah di Kalimantan Barat. Masyarakat suatu
kabupaten atau kota tidak harus tinggal di mana namanya tercatat.
Mereka memiliki rumah sesuai alamat KTP, tetapi secara fisik
mereka tidak berada di rumah itu karena tugas tetap di luar
daerah, tidak terbatas pada pegawai negeri sipil, TNI dan POLRI
saja, tetapi juga ada yang menjadi pegawai swasta.
Diantara mereka, bahkan ada yang bekerja di luar negeri
sebagai TKI atau TKW serta pegawai swasta yang bekerja di luar
daerah. Mereka pulang ke alamat dimana namanya teratat hanya
setahun sekali dan saat pulang ke rumah, kantor pemerintah
tempat pencatatan atau perekaman data kependudukan, mulai dari
kantor kelurahan/desa hingga Kantor Catatan Sipil dalam
keaadaan libur sehingga tidak mungkin dilakukan perekaman.
Mereka kembali ke tempat bekerja sebelum kantor atau tempat
perekaman data dibuka kembali sehingga selamanya, penduduk
60
yang demikian tidak dapat dilakukan perekaman bilamana harus
dicatat di domisili itu.
Oleh karena itu, perekaman untuk penduduk seperti ini
membutuhkan kebijakan khusus, tidak harus direkam pada kantor
kecamatan di alamat sebagaimana tertera dalam KTP, melainkan
dapat direkamkan pada kantor kecamatan terdekat dengan tempat
mereka bekerja. Data hasil perekaman itu dapat dikirimkan kepada
petugas di kecamatan dimana ia beralamat untuk proses
pemutakhiran KK yang bersangkutan. Tanpa kebijakan itu,
selamanya, data penduduk bertipe ini sulit terekam dan baru dapat
direkam setelah yang bersangkutan benar-benar membutuhkan
KTP. Tanpa kebutuhan khusus, perekaman data kependudukannya
tidak dapat dilakukan, maksimal hingga lima tahun berselang.
Penduduk yang tidak dapat segera direkam data
kependudukannya juga datang dari mahasiswa atau pegawai yang
tugas belajar yang memboyong seluruh anggota keluarganya ke
tempat dimana ia studi. Petugas perekaman juga akan mengalami
kesulitan karena dalam interval waktu tertentu (setahun atau
selama masa studi), mereka tidak kembali ke alamat dan baru akan
kembali setelah studi mereka rampung. Untuk penduduk dengan
type ini juga membutuhkan kebijakan khusus sebagaimana
kebijakan untuk perekaman data penduduk yang bekerja di luar
daerah.
Sedangkan narapidana, data kependudukannya akan
mengalami kesulitan dalam perekaman karena proses ijin keluar
lembaga pemasyarakat membutuhkan prosedur yang rumit
sehingga penduduk yang masih atau sedang menjalani hukuman,
juga akan tidak terekam. Meskipun kasus ini tidak merata di setiap
kecamatan, tetapi beberapa wilayah perkotaan, dijumpai penduduk
yang sedang menjalani hukuman. Namun, status narapidana akan
tidak berdampak pada percepatan bilamana terdapat kebijakan
61
khusus dengan petugas mendatangi lapas dan kemudian
melakukan pendataan sebagaimana dilakukan di kawasan yang
terbatas akses. Data yang terekam dapat didistribusikan ke
kecamatan dimana narapidana itu berdomisili melalui perangkat
intranet atau internet.
3.3.2. Faktor Usia
Faktor usia yang dimaksud adalah usia lanjut dan sebagai
pembanding akan juga disinggung usia tanggung, terutama pada
anak usia sekolah lanjutan atas, yang juga turut menentukan
keberhasilan perekaman. Penduduk dengan usia di atas 60 tahun
semestinya dipandang sebagai penduduk yang berkebutuhan
khusus sehingga pelayanan kepada mereka juga bersifat khusus.
Kekhususan ini tidak saja dalam bentuk pemberian KTP seumur
hidup, tetapi juga menjemput mereka untuk perekaman. Jumlah
mereka, mulai dari usia 60 hingga 95 tahun ke atas sebanyak
258.271 orang (Data Sensus Penduduk 2010). Data lengkap dapat
dilihat pada Gambar 5.
Kelompok ini, karena kerentaannya, pasti mengalami
kesulitan dalam perekaman dan tidak juga dapat dipaksa agar
datang ke Kantor Kecamatan, meskipun berjarak dekat, terutama
pada daerah perkotaan. Dan, menjadi lain kondisi dan kesulitannya
pada daerah perdesaan yang sedemikian rupa memiliki akses
terbatas dengan
Distribusi penduduk usia lanjut yang diperkirakan
mengalami kesulitan dalam pendataan dan perekaman dapat dilihat
pada Grafik 1, yakni golongan penduduk pemegang KTP seumur
hidup atau pada usia 60 tahun ke atas.
62
Gambar 5 Penduduk Usia 60 tahun ke Atas yang Berkebutuhan Khusus
Di Provinsi Kalimantan Barat, 2011
Sumber: BPS tahun 2011.
Nenek Salbi yang telah diwawancarai di Kecamatan Sungai
Ambawang dengan jujur mengaku bahwa:
“Kalu mao ditorotkan hati malas nenek ni dah bukan agek cok e …… tapi, nenek harus gak ikut nguros KTP ini karena nenek perlu KTP ba. Tok berobat ba cok ….. Pak Bupati, katenye dah ngomong ugak ….. kalau orang KKR dah ade KTP, bise langsong buat berobat …… ke Puskesmas gratis dan ade gak tetangga nenek, waktu itu die berobat ke Sudarso kenak parang kakinye …… pun gunakan KTP ….. langsong ade orang yang ngurus surat berobat gratis orang miskin….. Jadi, nenek pun pingin gak macam tetangga nenek tu …. Bile-bile sakit, unjok KTP ……. berobat pun gratis”
Kalau hendak diturutkan malas hati nenek ini, sudah bukan lagi malasnya! Tapi, nenak harus mengurus pembuatan KTP ini karena nenek memang perlu. Paling tidak, untuk keperluan berobat (gratis). Pak Bupati, katanya sudah juga menyampaikan kepada warga bahwa KTP KKR dapat digunakan untuk berobat …. Khusus buat penduduk KKR yang memiliki KTP, KTP tersebut dapat digunakan untuk berobat ….. ke Puskesmas gratis dan bahkan tetangga nenek, sewaktu berobat ke RSUD Dr. Soedarso, sakit karena kecelakaan kerja (kakinya terbacok golok) … pun
101,023.00
70,763.00
43,539.00
21,878.00 12,221.00
5,159.00 2,237.00 1,451.00 ‐
20,000.00
40,000.00
60,000.00
80,000.00
100,000.00
120,000.00
60 ‐ 64 65 ‐ 69 70 ‐ 74 74 ‐79 80 ‐ 84 85 ‐ 89 90 ‐ 94 95+
PENDUDUK USIA LANJUT KALBAR, 2010
KELOMPOK UMUR
63
menggunakan KTP …… Dengan memegang KTP dan berasal dari keluarga miskin, langsung ada pihak yang mengurus surat berobat. Jadi, nenek juga ingin seperti tetangga nenek itu …. Saat sakit nanti (entah kapan), nenek cukup dengan memperlihatkan KTP ….. berobat pun dapat gratis.
Dari ungkapan hati Nenek Salbi di atas, sebenarnya ia juga
mengharapkan perekaman itu dilakukan di rumahnya karena factor
usia. Namun itu tidak dilakukan karena memandang KTP sebagai
hal penting untuk kebutuhan akses pada layanan kesehatan dan
BALSM yang diluncurkan pemerintah terkait konvensasi kenaikan
Bahan Bakar Minyak (BBM). Tanpa kedua tujuan itu, Nenek Salbi
juga menyatakan tidak akan mengurus KTP lantaran usia.
Kemudian, karena factor usia juga, terdapat kelompok
penduduk yang baru memasuki usia 17 tahun dan oleh
Disdukcapil dilakukan penjemputan bola ke sekolah-sekolah seperti
dilakukan oleh Disdukcapil Kota Pontianak (Tribun Pontianak, 1
Oktober 2013) yang berhasil merekam sebantak 1.407 pelajar
SMK/SMA se Kota Pontianak danm akan terus dilakukan sehingga
mencakup seluruh SMA/SMK hingga November 2013 mendatang.
Padahal, pelajar SMA/SMK dimaksud dapat dating sendiri ke
kecamatan terdekat, tanpa harus dijemput seperti ini. Dan akan
menjadi baik bilamana perekaman mobil itu juga dilakukan pada
kelompok usia tua yang secara nyata membutuhkan sentuhan
kebijakan dari pemerintah.
3.3.3. Akses: Bentang Wilayah
Faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi bersinergi dengan
keterbatasan sumberdaya. Faktor akses ini membuat aparat atau
petugas pemerintah kesulitan dalam menjangkau kawasan unit
pemukiman penduduk. Disisi lain, masyarakat juga mengalami
akses yang sulit untuk menjangkau unit pelayanan perekaman data
64
(Kantor Kecamatan). Unit pelayanan itu baru dapat disediakan di
Kantor Camat, sementara jarak dan akses dari lokasi pemukiman
ke kantor camat baru dapat dijangkau oleh masyarakat setelah
mereka mengeluarkan sejumlah uang.
Dari pandangan masyarakat desa, pengeluaran untuk
merekam data penduduk dimaksud dinilai tidak berbanding lurus
dengan efek manfaat yang dirasakan masyarakat. Bila biaya yang
dikeluarkan untuk menjangkau kecamatan sebesar Rp 100.000,
tetapi masyarakat hanya memperoleh sebuah kertas berlapiskan
plastic yang bergambar dirinya, dianggap tidak sepadan dengan
harga Rp 100.000 itu. Karena dianggap biaya yang dikeluarkan itu
tidak memiliki manfaat yang sepadan, maka sebagian mereka
memilih untuk tidak merekam data kependudukan.
Sementara dari sisi pemerintah, usaha perekaman pada
kawasan dengan akses terbatas, memaksa pemerintah untuk
menjemput bola dengan mendatangi unit pemukiman penduduk.
Perekaman itu dilakukan secara ofline karena daerah yang
dijangkau tidak tersedia listrik dan jaringan internet. Di sisi lain,
keterbatasan sumber daya pelaksana dan dana serta fasilitas selalu
menjadi penghambat utama sehingga upaya menjemput bola
dimaksud tidak dapat dilakukan oleh semua daerah dan kalaupun
dapat dilakukan, prosesnya membutuhkan waktu panjang.
Setelah perekaman secara ofline di kawasan khusus ini
selesai, para petugas harus menyediakan waktu lagi untuk meng-
upload data base tersebut ke dalam system SIAK dan pekerjaan itu,
tidak hanya membutuhkan waktu dan tenaga, tetapi juga uang
untuk lembur yang terkadang tidak dibarengi dengan penghargaan
yang cukup dari pemerintah, sementara tenaga pelaksana adalah
tenaga honorer yang penghasilannya sangat terbatas. Akibatnya,
perekaman data kependudukan pada daerah terbatas akses
menjadi lambat dan bahkan cenderung terabaikan.
65
Oleh karena itu, akan menjadi baik bilamana upaya ini
dilakukan secara berkesinambungan dan tidak melupakan keringat
dari petugas yang susah payah telah melaksanakan “perintas”
atasan dengan penuh tanggung jawab. Dan, bila memungkinkan,
kepada mereka diberikan insentif khusus dengan menghitung
jumlah kepala atas data yang berhasil direkan, terutama pada
daerah dengan akses yang terbatas ini.
3.3.4. Usaha yang Berpindah (mobile)
Ke dalam kelompok ini antara lain adalah tukang urut,
berdagang antar kota dan sopir ekspedisi atau sopir bis dimana
mereka menjalankan usaha yang berpindah dan dengan akselerasi
yang tinggi sehingga terjadi ketidak-cocokan dengan waktu
pelayanan perekaman data kependudukan.
Ketika wawancara dengan Kepala Dinas Catatan Sipil dan
Kependudukan Kabupaten Sambas, Pak Kadis menyatakan bahwa
proses perekaman di Kabupaten Sambas hingga 27 September 2012
sudah mencapai 85% dan terjadi merata di hampir seluruh
kecamatan se Kabupaten Sambas.
Saat ditanya, apakah mungkin mencapai angka 100%, Pak
Kadis pun spontan menyatakan “agak sulit karena banyak factor”.
Bahkan, Pak Kadis juga memperlihatkan data penduduk yang
belum melakukan perekaman. Dari daftar tersebut, tertera daftar
“by name by address secara lengkap Pak” imbuhnya. Pak Kadis juga
menyatakan bahwa “Data mereka ada di Kabupaten Sambas, tetapi
secara fisik mereka tidak tinggal di Sambas, karena sekolah,
menjadi TKI di Malaysia dan bahkan ada juga yang berniaga, tak
balek-balek ke rumah mereka” demikian ujar Pak Kadis. Mereka
yang paling banyak berniaga atau bekerja secara mobile demikian
adalah pada Kecamatan Sejangkung dan Sajingan.
66
Baik Camat Sejangkung maupun Camat Sajingan, yang
dihubungi secara terpisah melalui seluler mereka secara sama
mengatakan bahwa proses perekaman data penduduk dalam
rangka e-KTP sudah mencapai antara 85-86%. Mayoritas mereka
yang tidak terekam adalah TKI, peniaga bergerak, kerja PT1, pelajar,
orang tua-renta dan narapidana. Akumulasi berbagai profesi di atas
mencapai rata-rata 20 orang per desa.
Namun, demikian Pak Camat menutup tilponnya bahwa
proses perekaman akan terus dipersiapkan sehingga kapan-kapan
mereka datang ke Kantor Kecamatan, perekaman siap dilakukan.
Tetapi, terkait perekaman yang mobile, kedua camat tersebut
menyatakan belum mengajukan usulan kepada Kadis Dukcapil
Kabupaten Sambas karena medan yang terlalu berat sehingga
dikhawatirkan merusak peralatan yang ada.
3.3.5. Merasa KTP lama masih berlaku
Kejadian yang dialami oleh LBH (50 tahun) di Kota
Singkawang adalah salah satu contoh bahwa pemegang KTP tidak
melihat lagi tahun berakhir KTP yang dipegangnya. LBH yang sibuk
dengan usaha dagangnya tidak memperhatikan lagi masa laku KTP
yang dipegangnya dan pada saat harus memperpanjang usahanya,
dirinya baru sadar kalau KTP adalah penting karena semua instansi
pemerintah meminta dilampirkan KTP sebagai syarat mengakses
layanan public.
1 Kerje PT adalah pekerjaan yang digeluti oleh sebagian kecil masyarakat Kabupaten Sambas di
sector kehutanan. Mereka berangkat kerja ke luar daerah dan bahkan ada yang hingga ke luar Kalbar untuk “menggarap” hutan di luar Kabupaten Sambas. Pekerja PT ini pada umumnya adalah kaum laki‐laki dan biasanya juga adalah Kepala Keluarga untuk masa kontrak antara 3 hingga 6 bulan. Selama ditinggal oleh Kepala Keluarga, si Istri tidak bersedia merekam data kependudukan mereka dengan alasan dirinya bukan Kepala Keluarga. Perekaman baru dapat dilakukan setelah KK kembali ke kampong halaman. Meskipun terlambat, Pak Camat Sejangkung dan Samat Sajingan menyatakan tidak ada persoalan dalam pelayanan kepada mereka dan seluruh anggota KKnya.
67
Dari kejadian LBH ini, penulis kemudian mencoba
menghubungi fihak Kantor Kecamatan terdekat dengan alamat LBH
untuk menanyakan apakah LBH telah melakukan perekaman data.
Pak Camat Singkawang Barat yang penulis hubungi via seluler
menyatakan bahwa LBH baru selesai melakukan perekaman data
kependudukannya dengan membawa anak dan istrinya yang telah
berhak memiliki KTP. Dan kemudian, LBH dengan KTP sementara
yang dipegangnya, juga mendatangi Kantor Perijinan Terpadu Kota
Singkawang untuk melanjutkan proses ijin gangguan yang
seminggu sebelumnya sempat terkendala karena KTP yang
kadaluarsa.
3.3.6. Warga Pendatang Yang Malas Lapor.
Salah seorang Administrator Data Base (ADB) di Kabupaten
Kubu Raya mengatakan bahwa setelah KTP diintegrasikan dengan
berbagai layanan publik, terdapat intensitas yang cukup tinggi dari
masyarakat untuk melaporkan perubahan kependudukan. Dulu,
pisah KK dan lain-lain jarang dilaporkan masyarakat kepada
petugas perekaman data. Sekarang dengan adanya berbagai bentuk
bantuan instan dari pemerintah, intensitas itu meningkat hingga
200 kali. Sebelum ada program instan, pelaporan kependudukan
terjadi hanya sekitar 10 kali dalam sebulan, sekarang bisa
mencapai 200 laporan setiap bulannya.
”jumlah pemohon KK dan KTP dapat diindikasikan meningkat sejak setahun ini dikarenakan adanya kebijakan dari pemerintah seperti askeskin, konversi gas, PKH dan lain-lain. Beberapa tahun yang lalu, sebelum ada kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dari pemerintah, intensitas masyarakat yang melaporkan kejadian kependudukan sangat kecil sekali, seiongat saya paling hanya ada 10 orang per bulan. Tetapi sekarang bisa meningkat hingga 200 kejadian per bulan. Jadi, menurut saya, ada hubungan antara intensitas pelaporan dan kemiskinan dengan bantuan instan pemerintah itu. Adanya program-program dari pemerintah terkait keterkaitan KK dan KTP dengan berbagai paket bantuan itu, masyarakat
68
kemudian membuat laporan kejadian kependudukan seperti pisah KK, pindah alamat dan lain-lain dan semua itu berdampak pada signifikansi dan intensitas pelaporan. Apa lagi sekarang, ada Program Keluarga Harapan (PKH) Sejenis Kartu Pintar Jakarta sehingga KK dari keluarga miskin yang memiliki anak usia sekolah langsung mengupdate data kependudukan mereka agar dapat diakomodasi sebagai peserta PKH. Meskipun hal senada dialami poleh ADB di Kota Pontianak
yakni adanya peningkatan masyarakat dalam mengurus dan
melaporkan perubahan kependudukan, cuma tidak sampai 200%,
meningkatnya sekitar 100% saja. Dari rata-rata 25 kejadian per
bulan, bergerak naik menjadi 100 hingga 150 kali dari posisi dua
tahun sebelumnya. Tetapi ADB di Kota Pontianak ini juga
menyatakan berpendapat lain dengan ADB KKR di atas dan ia
mengatakan bahwa intensitas laporan kependudukan bagi warga
pendatang tidak dengan serta-merta dilakukan masyarakat.
Banyak factor yang menjadi penyebab tidak lapor itu,
diantaranya adalah kesibukan kerja dan lain-lain, pelaporan hanya
dilakukan kepada RT dan Pak RT yang juga sibuk tidak
meneruskan pelaporan itu ke pihak kecamatan.
Terkait malas lapor ini banyak sebab, diantaranya adalah
tidak terakomodirnya dirinya sebagai penerima paket bantuan,
kesibukan bekerja, hanya domisili sementara dan lain-lain. Namun,
penduduk jenis ini tidak mengganggu administrasi kependudukan
karena data kependudukannya telah valid pada alamat yang
sebelum.
Klasifikasi pindah dapat dibedakan menjadi lima kriteria,
yakni:
Klasifikasi 1: dalam satu Kelurarahan
Klasifikasi 2: antar Kelurahan dalam satu Kecamatan
Klasifikasi 3: antar kecamatan dalam satu Kota
Kabupaten/Kota
69
Klasifikasi 4: antar Kabupaten / Kota dalam satu Propinsi
Klasifikasi 5: antar Propinsi dalam wilayah Indonesia
Jenis pengurusan pindah yang agak rumit adalah jenis ke-4
dan ke-5 karena melibatkan dinas catatan sipil antar kabupaten
dan kota, sementara dokumen kepindahan yang dibawa tidak
lengkap sehingga tidak jarang petugas menjadi sasaran marah
masyarakat. “Sudah tahu dirinya salah, tapi mereka tidak
mengakui kesalahan itu dan kemudian melimpahkan kemarahan
itu kepada petugas pencatat”, demikian ungkap salah seorang ADB
di Kota Pontianak.
3.4. Aspek Dukungan Publik dan Birokrat Pelaksana Dalam Menyukseskan Perekaman Data Kependudukan Guna lebih mengefektifkan efektivitas perekaman data
kependudukan sebagaimana UU No. 23/2006, dibutuhkan strategi
antara lain:
1. Meminta partisipasi Lurah/Kades berikut seluruh jajaran di
tingkat satuan pemukiman: BPD, Kadus dan RT untuk ikut
terlibat dalam menyukseskan perekaman data kependudukan.
2. Memanfaatkan semua media: elektronik dan reklame dalam
mensosialisasikan pentingnya melengkapi data diri.
3. Penjadwalan piket petugas agar tempat pelayanan tidak kosong
di saat warga yang belum melakukan perekaman datang ke
kantor camat.
4. Memberlakukan sistem antri pada saat jam sibuk (masyarakat
yang datang banyak)
5. Membuat lay out atau alur pelayanan, yakni alur proses
pelayanan dari mulai awal proses hingga akhir.
6. Menyediakan baju, cermin, sisir dan dasi di tempat pelayanan
(ruang foto) agar foto yang ditampilkan pada KTP memenuhi
70
aspek kepantasan. Contoh ini dilakukan di Kantor Camat
Pontianak Timur dimana Pak Camat menyediakan satu ruang
khusus untuk berhias dan di ruang tersebut dilengkapi dengan
berbagai keperluan hias sehingga foto yang dihasilkan untuk
“dipajang” di e-KTP menjadi standar sopan.
7. Menyederhanakan persyaratan, agar masyarakat tidak terlalu
lama menunggu dalam proses perekaman, termasuk membagi
jalur antrian menjadi dua atau tiga sehingga antrian tidak
terlalu panjang.
3.5. Strategi Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Dalam
Perekaman Data Kependudukan Kebutuhan informasi menuntut adanya kelengkapan dan
kecepatan dalam penyampaian dan perekaman informasi. Data
tersebut direkam satu persatu dalam bentuk data mentah yang
kemudian didesain agar dapat menjadi basis data yang dapat
digunakan untuk berbagai kebutuhan, yang sifatnya supporting for
decision making (Hancock, 2003).
Untuk meningkankan validitas data pada sistem yang telah
ada agar dapat disajikan sebagai informasi valid, cepat dan mudah
dibutuhkan pengembangan secara sistemik. Dalam hal ini,
birokrasi pemerintah sebagai agen (pelayan), yang dalam hal ini
diperankan oleh Kementerian Dalam Negeri dan diimplementasikan
oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas atau intansi yang dibentuk
untuk melaksanakan kebijakan tersebut, masih membutuhkan
berbagai dukungan dari pihak lain di luar instansi tersebut. Untuk
mewujudkan pengembangan sistem administrasi kependudukan
yang handal dan responsif terhadap berbagai perkembangan dan
kebutuhan data secara nasional, regional, dan global, diperlukan
langkah-langkah kebijakan yang strategis, antara lain adalah:
71
1. Menjadikan faktor kependudukan sebagai titik sentral
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya
pembangunan kesejahteraan rakyat, pemerintah menempuh
strategi bidang didasarkan pada perumusan kebijakan
kependudukan yang diarahkan untuk pengendalian kuantitas,
peningkatan kualitas serta pengarahan mobilitas sesuai hasil
pengolahan administrasi dan informasi kependudukan sebagai
sarana penunjang perumusan kebijakan kependudukan.
Karena itu ke depan hendaknya diupayakan pemahaman
secara komprehensif berbagai fenomena kependudukan dan
dinamikanya di dalam proses pembangunan. Perumusan
kebijakan kependudukan tentunya disesuaikan dengan potensi
dan kebutuhan pengembangan daerah dalam
memperhitungkan faktor kependudukan. Di bidang
administrasi kependudukan sasarannya adalah untuk
membangun Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) sebagai sarana penyedia data dan informasi
kependudukan yang diperoleh melalui pendaftaran penduduk
dan pencatatan sipil.
2. Membangun SIAK yang efisien dan terancang untuk
mengakomodasi hak-hak dan perlindungan penduduk. Upaya
pembangunan SIAK ini merupakan kebutuhan yang sudah
sangat mendesak terutama untuk memenuhi hak penduduk
dan perlindungan social melalui penyelengaraan pelayanan
yang transparan, tertib, memuaskan bagi pelanggan serta
terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan landasan
hukum untuk penyelenggaraan administrasi kependudukan
yang lebih komprehensif.
3. Menciptakan SIAK melalui komitmen dan kerja sama dengan
berbagai pihak serta dukungan dari instalasi pemerintah,
swasta, dan institusi masyarakat. Untuk membangun SIAK ini
72
diperlukan komitmen dan kerja sama antara instalasi terkait
pada semua tingkatan dalam kerangka membangun basis
data, yang berasal dari berbagai instalansi secara terintegrasi.
Untuk itu, diperlukan dukungan dan peran serta masyarakat
secara berkelanjutan.
Adapun beberapa kelebihan yang diharapkan nantinya bisa
berkembang setelah terciptanya SIAK yang dilakukan secara
integrasi dengan system perencanaan pembangunan dan pelayanan
publik adalah:
1. Memberikan informasi yang cepat kepada masyarakat tentang
pembuatan dokumen kependudukan.
2. Mempercepat pembuatan dokumen kependudukan, diantaranya
adalah KTP, Kartu Keluarga dan surat-menyurat kependudukan
lainnya.
3. Menyelenggarakan administrasi kependudukan yang benar,
cepat dan akurat.
4. Mewujudkan pelayanan administrasi kependudukan dan
catatan sipil yang berorientasi pada kepuasan dan kemitraan
masyarakat menuju terciptanya data dan informasi
kependudukan yang akurat.
Strategi yang dilakukan oleh para pihak dalam
menyukseskan perekaman data kependudukan adalah sebagai
berikut:
1. Rapat atau memanggil Kades/Lurah secara periodic.
2. Meminta Kades dan Lurah untuk melengkapi data dan
pelaporan perkembangan keberhasilan perekaman secara
periodic.
3. Meminta RT melaksanakan pertemuan per 3 bulan sekali
dengan warga dan mengundang Kades/Lurah atau camat dalam
pertemuan tersebut.
73
4. Menyelesaikan data yang tumpang tindih. Sebagai contoh, di
KKR, data yang tumpang tindih, yakni data kependudukan yang
tercatat di KKR dan juga tercatat di luar KKR sebanyak 10.000
warga, sementara data tumpang tindih antar wilayah dalam
wilayah KKR tercatat sebanyak 3 ribu orang. ADB kemudian
menyelesaikan data yang tumpang tindih ini dengan melakukan
komunikasi secara online sehingga sebanyak 13.000 data yang
tumpang tindih ini dapat teratasi. Oleh karena itu, penerapan e-
KTP secara langsung dapat menyisir data yang tumpang tindih
itu dan pada akhirnya penduduk Indonesia dapat diketahui
secara pasti.
5. Koordinasi antar petugas pencatat data base se Indonesia
dengan diberikan fasilitas kerja yang memadai dan insentif yang
cukup.
6. Melakukan bimbingan administrasi kependudukan kepada RT
plus uang insentif bagi RT yang aktif dalam penyampaian
pelaporan data kependudukan kepada kades/Lurah dan Camat.
7. Pemilihan RT terbaik dalam urusan Adminduk dan pemberian
penghargaan kepadanya, yang dilakukan dalam lingkup
Kabupaten/Kota atau kecamatan.
3.6. Hal-Hal yang Perlu Diantisipasi Dalam Pembenahan
Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Penertiban di bidang pendaftaran penduduk dan pencatatan
sipil terus dilakukan dengan karena perekamannya belum
mencapai angka 100%. Namun, dikhawatirkan upaya perekaman
pada penduduk yang tersisa ini dapat menimbulkan kecendrungan
yang tidak biasa sehingga dapat memacu tindakan yang tidak patut
74
seperti main belakang, Oleh karena itu, perlu diantisipasi empat hal
seperti berikut ini.
1. Berkaitan dengan ketidakpastian pelayanan yang mencakup
adanya ketidakpastian waktu, biaya dan prosedur pelayanan.
Meskipun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil telah
mendekatkan pelayanan ke Kantor Camat, namun upaya ini
tampaknya belum maksimal karena masih terdapat sebagian
dari masyarakat yang berkebutuhan khusus dalam
perekaman dan juga masih “terjadinya” pembiayaan di bawah
tangan meskipun diberikan oleh warga yang merasa telah
dilayani dengan baik. Dihkawatirkan, kasus per kasus ini
menyebabkan petugas pilih kasih. Hal lain adalah terjadinya
masyarakat menggunakan “jasa baik pihak ketiga” dalam
pengurusan dokumen kependudukan sehingga paradigm
“kalau masih bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”
beluh berakhir dalam perekaman e-KTP.
2. Diskriminasi pelayanan, terutama pada kalangan etnis
Tionghoa yang sudah “ekonomi mapan” dengan menyediakan
tips dalam perekaman sehingga dikhawatirkan
mempengaruhi pelayanan pada Warga Negara Indonesia asli
yang tidak mampu.
3. Masih kecilnya kewenangan untuk mengambil dikresi
membuat pejabat birokrasi tidak mampu mengembangkan
inisiatif dan kreativitas dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Keharusan pejabat birokrasi untuk taat prosedur,
membuat birokrasi menjadi rigid dan gagal merespons
dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya
pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil cenderung
gagal dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat yang
dianggap berfikir “out of box”, sehingga peraturan yang ada
75
lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah daripada
kepentingan masyarakat.
4. Masih kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat akan
pentingnya dokumen kependudukan terutama dalam
pengurusan akta kelahiran, menyebabkan masyarakat
merasa tidak perlu untuk mengurus administrasi
kependudukan. Padahal, untuk mengakses layanan public
KTP menjadi persyaratan dasar dan ketiadaan KTP berarti
masyarakat kehilangan hak untuk mendapatkan akses pada
berbagai layanan public yang disediakan oleh pemerintah dan
juga pihak swasta.
76
BAB IV
P E N U T U P 4.1. Kesimpulan
Kesimpulan ini dibuat menjadi dua bagian. Pertama terkait dengnan
rendahnya tingkat kesadaran warga dalam mengurus KTP dan kedua
strategi yang dapat disampaikan terkait dengan persoalan pertama di atas.
Berdasarkan hasil kajian ini, terkait rendahnya kesadaran
masyarakat dalam perekaman dan pelaporan data kependudukan,
ternyata:
1. Tingkat kesadaran masyarakat akan pengurusan KTP tidak saja
berhubungan dengan factor kesadaran masyarakat itu sendiri, tetapi
juga tercakup factor pengetahuan, akses, usia, pekerjaan dan aktivitas
warga yang berkaitan dengan penggunaan KTP.
2. Semakin sering masyarakat mengakses layanan public, semakin tinggi
tingkat kesadaran mereka dalam memproses e-KTP. Namun, dari studi
ini juga ditemui bahwa tingkat kesadaran itu tidak berlanjut setelah
mereka memiliki KTP.
3. Tingkat kesadaran dimaksud juga berhubungan dengan tujuan
mendadak dari kepemilikan KTP, seperti karena hendak menikah,
mengurus perpanjangan usaha, masuk sekolah dan lain-lain.
Masyarakat dengan kebutuhan khusus ini secara tiba-tiba juga
mendatangi petugas perekaman e-KTP di Kantor Kecamatan dengan
tidak melalui prosedur dari bawah (RT), dan ingin seketika itu juga
mencetak KTP. Mereka pada umumnya tidak tahu kalau e-KTP
dimaksud dicetak di Jakarta sehingga setelah perekaman, kepadanya
diberikan surat keterangan yang secara hokum valid bagi mengakses
berbagai layanan publik.
4. Secara implicit, prosedur pelayanan dan perekaman data
kependudukan di kantor camat telah memenuhi dan
memperhitungkan indek kepuasan masyarakat (IKM) sebagaimana
diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan
76
77
Instansi Pemerintah, namun secara ekplisit tidak mencantumkan
criteria layanan dimaksud.
Sementara terkait dengan strategi dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap pelaporan dan perekaman perubahan
kependudukan, berdasarkan hasil studi ini antara lain adalah:
1. Dibutuhkan adanya komitmen pemerintah untuk menjangkau
penduduk dengan “tingkat kesadaran rendah” dengan tidak
mengkaitkan keterlambatan mereka dengan hukuman tanpa melihat
penyebab dari keterlambatan itu.
2. Menyederhanakan prosedur layanan sedemikian rupa agar tidak
terkesan birokratis.
3. Secara konsisten menghubungkan KTP sebagai akses untuk
memperoleh berbagai layanan public dan seterusnya meminta
kerjasama sector privat untuk juga memanfaatkan KTP sebagai kases
layanan.
4. Memfasilitasi kerja ADB secara lebih baik agar dapat menimbulkan
motovasi kerja yang lebih tinggi sehingga kesiapan petugas dan
kehandalan kerja tetap terjaga selama proses perekaman data
kependudukan daerah belum maksimal.
4.2. Saran.
Dari hasil studi ini, selanjutnya direkomendasikan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Berhubung e-KTP telah diintegrasikan dengan system computer,
semestinya prosedur pelaporan untuk kebutuhan update
kependudukan yang dilakukan oleh masyarakat sudah tidak
membutuhkan prosedur yang bertangga, dari RT ke RW, Lanjut ke
Kades atau Lurah dan ke Camat serta ke Disdukcapil. Semestinya
prosedur tersebut sudah ditinggalkan sebagai konsekwensi dari
penerapan SIAK berbasis komputer. Agar dapat melakukan itu,
tampaknya dibutuhkan latihan adminduk bagi para pihak yang
terlibat dalam proses perekaman dan pemutakhiran data, termasuk
kepada para Ketua RT.
78
2. Penerapan e-KTP dengan ADB yang saling terhubung juga mampu
menyelesaikan data yang tumpang tindih. Sebagai contoh adalah
kasus di Kabupaten Kubu Raya yang menemukan sebanyak 13.000
data penduduk yang ganda dan dengan komunikasi intensif
diantara ADB, data tumpang tindih itu dapat diselesaikan. Namun,
bilamana pemerintah mengeluarkan kebijakan proyek pembaca card
reader, maka kesan perbaikan pelayanan menjadi kurang karena hal
yeng lebih mengemuka adalah proyek yang dibungkus ke dalam
program pemerintah.
2.3. Lesson Learned
E-KTP yang dimulai dengan melakukan perekaman data
kependudukan (SIAK) secara terintegrasi dengan layanan public
merupakan implementasi dari e-Government yang diharapkan berkorelasi
dengan fungsi lain dengan layanan berbasis computer. Hal ini kemudian
menjadi sesuai dengan tujuan e-Government yakni melakukan perbaikan
mutu pelayanan publik.
Manfaat yang didapat dari pengembangan SIAK berbasis computer
dan internet atau extranet antara lain adalah untuk mewujudkan
pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil yang berorientasi
kepada kepuasan dan kemitraan masyarakat menuju terciptanya data dan
informasi kependudukan yang akurat dan terintegrasi dengan fungsi lain,
yakni dalam penyusunan program, penganggaran dan system pelayanan
secara terpadu.
Validasi data kependudukan dimaksud selain memudahkan proses
pendataan penduduk, pencatatan biodata penduduk, dan pembuatan
surat-surat, juga dapat digunakan oleh instansi lain yang membutuhkan
atau menggunakan data penduduk dalam meningkatkan kualitas layanan
kepada mereka. Dengan fenomena tersebut, maka nyatalah bahwa e-KTP
merupakan langlah awal mensinergikan data kependudukan dengan
berbagai program pemerintah
79
DAFTAR PUSTAKA
Al Gore. 1994. Common Sense Government: Works Better and Costs Less. Third Report of the National performance Review.
Alfaruqi, Jabir. 2010. Sempurnalah Korupsi di Indonesia. Diakses dari laman gratis pada pada: http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/03/11/sempurnalah-korupsi-di-indonesia/ pada pada hari Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 07.14.
Alm, James; Jorge Martinez-Vazquez, dan Sri Mulyani Indrawati. 2004. Reforming Intergovernmental Fiscal Relations and the Rebuilding of Indonesia The ‘Big Bang’ Program and its Economic Consequences. Edward Elgar. Northampton (USA).
Antara. 2013. Penduduk Miskin Di Kalbar 369.010 orang, diakses dari http://kalbar.antaranews.com/berita/314190/penduduk-miskin-di-kalbar-369010-orang pada Minggu, 21 September 2013 pukul 15.44.
Antara. 2013. Penduduk Miskin Indonesia 28,07 Juta Orang, diakses dari http://kalbar.antaranews.com/berita/314194/penduduk-miskin-indonesia-2807-juta-orang pada Minggu, 21 September 2013 pukul 16.06.
BPK. 2006. Peranan dan Stategi BPK Dalam Pemberantasan Korupsi. Makalah Keynote Speech pada Seminar “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Ulang Tahun ke-4 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jakarta.
Camilla M. Stiver dan Simrell King. 1998. Government Is Us: Strategies for an Anti-Government Era. Sage Publication.
Collins, Elizabeth Fuller. 2007. Indonesia Betrayed: How Development Fails. University of Hawaii Press. Honolulu.
79
80
Dadang Juliantara (ed), Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik, Pembaharuan, Yogyakarta, 2005, hal. vi.
Deni, Saiful. 2012. Menyoal Hak-hak Pelayanan Publik Dalam Pembangunan Masyarakat. UMMU Press. Ternate.
Erdi. 2013. “Sanksi Lembut, Kinerja Pun Ulut: Fenomena Kinerja PNS di Tengah Upaya Pemberantasan Narkoba dan Tindak Korupsi” dalam Equator Rakyat Kalbar. Minggu, 19 Mei.
Febrianda, Lies. 2009. Rekonstruksi Regulasi Pelayanan Kependududkan dan Pencatatan Sipil oleh Birokrasi Pemerintahan Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara. Disertasi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Feisal Tamin, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara, Belantika, Jakarta, 2004, hal. 50
Fried, Harold O.; C. A. Knox Lovell dan Shelton S. Schmidt. 2008. The Measurement of Productive Efficiency and Productivity Growth. Oxford University Press. Oxford.
Grindle, Merilee S. 2007. Going Local: Decentralization, Democratization and the Promise of Good Governance. Princeton University Press.
Hancocok, Elise. 2003. Mastering the Craft of Science Writing. The John Hopkins University Press. Baltimore.
James A. Fitzsimmons and Mona J. Fitzsimmons. 2004. Service Management: Operations, Strategy, and Information Technology.
Lee, Nancy R. and Philip R Kotler. 2006. Marketing in the Public Sector: A Roadmap for Improved Performance. Prentice Hall. New Jersey.
Marbun, S. F. 2001. Pembentukan Pemberlakuan dan Peran Asas- Asas Umum Pemerintah Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintah Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung.
81
Mile, Matthew. B. dan A. Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. Second Edition. London.
Mullins, Craig S. 2002. Database Administration: The Complete Guide to Practice and Procedures. Addison Wesley.
Neo, Boon Siong dan Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. Wolrd Scientifik. Singapore.
Noer, Syaifullah. 2013. Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik di Indonesia (Mengembalikan Kepercayaan Publik). Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nugraha, Rizki. 2009. Perancangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Sebagai Pengembangan E-Government menuju Good Governance. UPI. Bandung.
Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Reading, Mass.: Addison-Wesley.
Osborne, Stephen P. (Edt). 2010. The New Public Governance: Emerging Perspectives on the Theory and Practice of Public Governance. Routledge. London.
Page, Edward C dan Bill Jenkins. 2005. Policy Bureaucracy: Government with A Cast of Thaousands. Oxford University Press. Exford.
Peter. B. Guy. 2005. The Politics of Bureaucracy. Routledge. London.
Putra, I Gusti Made Darma. 2006. Sikap Tertib Administrasi Kependudukan Masyarakat Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng Berdasarkan UU No. 23 tahun 2006. ISSN 1829-5282 hal. 162-178.
Rabin, Jack. 2005. Encyclopedia of Public Administration and Public Policy: First Update Supplement. Taylor and Francis. New York.
82
Richard S. Takashi,1963. Measuring Efficieny in Governance: Public Administration Practices and Perspective, Oxford.
Roberts, Peri. 2007. Political Constructivism. Routledge. London.
Rutina, Dwi N. 2008. Pelayanan Publik, Rule of Law dan Social Morality. diakses dari laman gratis http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/upload_file/265-fullteks.doc pada hari Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 06.45.
Shaffer, Harry G. 1999. American Capitalism and the Changing Role of Government. Frager. Westport, Conneticut. London.
Shah, Anwar. 2005.Public Services Delivery: Public Sector Governance nad Accountability Series. The Wolrd Bank. Washington.
Simmons, Richard; Martin Powell and Ian Greener. 2009. The Consumer in Public services: Choice, values and difference. The Policy Press. Bristol.
Sorensen R.J. dalam Eliassen, K.A. dan Kooiman. 1993. Managing Public Organization: Lessons from Comtemporary European Experiences, Sage Publication. London.
Thakur, Ramesh and Oddny Wiggen. 2004. South Asia in the world: Problem Solving Perspectives on Security, Sustainable Development, and Good Governance. The United Nations University. Washington.
Yew-Kwan Ng. 2000. Efficiency, Equality and Public Policy: With a Case for Higher Public Spending. Palgrave Macmillan. London.
Zeithaml, V.A., Parasuraman, A, & Berry, L. L. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New York (NY): Macmillan.
STUDI TENTANG KESADARAN MASYARAKAT DALAM TERTIB MASYARAKAT DALAM TERTIB ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KALIMANTAN BARAT
OlehDr. Erdi, M,Si`
BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONALKANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARATKANTOR PERWAKILAN PROVINSI KALIMANTAN BARATPONTIANAK ‐ 2013
PENDAHULUAN: PROPOSISI 1(Perspektif dari Masyarakat)
k d k d hBukan KesadaranMasyarakat yang rendah, melainkan:
Kualitas Pelayanan Birokrasi yang burukKualitas Pelayanan Birokrasi yang burukKEPMENPAN ttg SPM dan IKMKemiskinan yang terlalu dalam
SEMENPANNo.10/M.PAN/07/2005: KTP terhubung dgn layanan publikKepentingan danTujuan yang tidak salingKepentingan danTujuan yang tidak salingbertemu
UU. No. 23/2006: e‐KTP Gratis dan terhubungdengan berbagai macam layanan publikdengan berbagai macam layanan publik
PENDAHULUAN: PROPOSISI 1(Perspektif dari Pemerintah)
Program e‐KTP sebagai bentukmenjawab Kesadaran Masyarakat yangrendah karena e KTPrendah, karena e‐KTP:Sebagai wujud pengakuan negara padawarga negarawarga negaraUpaya menuju tertib admindukEntri poin menuju database yangp j y gterintegrasi dengan sistem perencanaandan pelayanan pemerintah (kepadamasyarakat)masyarakat)
FENOMENA
Ini sayaHa …..! Macamginik jak BaruIni saya
serahkan hasilpekerjaan, telah
i d
ginik jak. Barutiga tu Bro…! Kurang satu ya
sesuai order ….
REAL PROBLEMProgram e‐KTP belum tuntas. Di Kalbar, tercatat rata‐rata sukses sebesar 85% untuk wilayah Kabupaten dan 95% untukwilayah Kota.Tidak saja faktor kesadaran sebagai “biangj g gkerok” tetapi merupakan akumulasi daribanyak faktoryJustru, diduga kesadaran bukan sebagaipenyebab, melainkan akibat ataupenyebab, melainkan akibat ataukonsekwensi dari adanya sebab‐sebab.
RUMUSAN MASALAHPertama, rendahnya persepsi dan keterlibatanmasyarakat dalam perekaman datakependudukan tidak saja diakibatkan olehkurangnya sarana validasi, tetapi juga sistembi k i k d d k ihbirokrasi kependudukan yang masihkonvensional meskipun telah dinyatakan“terhubung” dengan system danterhubung dengan system dankomputerisasi.Kedua Strategi yang dapat diupayakan untukKedua, Strategi yang dapat diupayakan untukmenembus tingkat kesadaran yang rendah (?)dalam menyukseskan perekaman datadalam menyukseskan perekaman datakependudukan.
TUJUANMengidentifikasi persepsi masyarakat dariMengidentifikasi persepsi masyarakat dariberbagai pihak terkait upaya pemerintahdalam program Validasi Perekaman Datadalam program Validasi Perekaman DataKependudukan melalui penerapan e‐KTP.M i t t i t k b ti k tMencari strategi untuk menembus tingkatkesadaran yang kurang itu dengan melihat
i d ti l blikpersepsi dan stiga pelayanan publik yangpilih kasih dari birokrat pemerintah.
ALUR PEMIKIRAN1 Keabsahan dan
pengakuan diri
2 Perlindunganstatus hak sipil
3 Terakomodasinya
E‐KTP
3 Terakomodasinyapenduduk dalamlayanan public
4 Terwujudnya tertib4 Terwujudnya tertibadmin istrasikependudukan
5 T i i5 Terintegrasinyadata kependudukandengan layanandengan layananpublic dan privat
FAKTOR‐FAKTOR PEREKAMAN BELUM TUNTAS
i ili id k d l1. Domisili tidak pada alamat yang tercatat
2. Faktor Usia (tua dan tanggung)3 Akses: BentangWilayah3. Akses: BentangWilayah4. Usaha yang bergerak dan berpindah
(mobile)5. Merasa KTP Lama masih berlaku5. Merasa KTP Lama masih berlaku6. Warga Pendatang yang malas lapor
DUKUNGAN KE UPAYA PEREKAMAN
Adanya dukungan Kades/Lurah besertaseluruh jajaran pemerintahan di tingkat satuanseluruh jajaran pemerintahan di tingkat satuanpemukimanDukunganMediaDukunganMediaPenjadwalan piket petugas (shg loket tidakkosong)kosong)Memberlakukan sistem antreMendesain lay out pelayananMenyediakan baju, sisir dan cermin agar fotoe‐KTP standarMenyederhanakan persyaratan
STRATEGI MENINGKATKAN KESADARANKESADARAN
Menjadikan kependudukan sebagai titik sentralj p gpembangunan berkelanjutan
Membangun SIAK yang efisien dan terancang untuk jenisl l ipelayanan yang lain
Meyelesaikan Data Kependudukan yang tumpang tindih. Contoh di KKR: 10.000 data overlapping dgn luar KKR Contoh di KKR: 10.000 data overlapping dgn luar KKR terselesaikan dan juga sebanyak 3.000 data internal KKR.
Koordinasi antarADB secara berkelanjutan
Adanya insentif cukup kepadaADB atas kerja gigihmereka
M l k k bi bi d i d k k d RTMelakukan bimbingan adminduk kepada RT
Pemilihan RT terbaik dalam urusanAdminduk
HAL YANG PERLU DIANTISIPASI
Tips kepada ADB krn dikhawatirkan dapatmenjadi praktek buruk dalam pelayananDiskriminasi pelayanan, terutama pada kalanganetnis tertentu yang sudah mapan dikhawatirkandapat mempengaruhi kualitas pelayanan padawarga yang tidak mampuwarga yang tidak mampuDiberikannya Camat atau ADB kebijakandeskresi untuk berfikir out of box dalamdeskresi untuk berfikir out of box dalammengatasi konteks lokalSosialisasi atau mobile perekaman pada daerahSosialisasi atau mobile perekaman pada daerahyangmasih rendah prosentase perekamannya
PENUTUPPerekaman rendah tidak terkait langsungdengan tingkat kesadaran tetapi lebihpada faktor lain.Prosedur standar dianggapmasih kaku krnwarga harus datang sendiri secarag gberjenjang untuk pelaporanMenghubungkan KTP dengan pelayananMenghubungkan KTP dengan pelayananpemerintah dan kependinganmasyarakatMemfasilitasi ADB dengan fasilitas kerjaMemfasilitasi ADB dengan fasilitas kerjadan insentif
SARANSARANProsedur lapor secara berjenjang tidakp j j gdiperlukan lagi bilamana RT dapat terhubungdengan petugasADBKomunikasi antar ADB tetap diteruskan danbahkan dibuat seperti sebuah tantangan kerjad i i i i i tif k (k kdengan iming‐iming insentif cukup (krn merekatenaga honorer dengan semangat kerja tinggi).H il k ti d t di bli h kHasil perekaman semestinya dapat dipublish keweb dan dapat diakses oleh semua, sementaradata base tetap menjadi domian disdukcapildata base tetap menjadi domian disdukcapil
LESSON LEARNEDE‐KTP dengan model SIAK yang terintegrasidengan berbagai layanan publik sudah dapatdengan berbagai layanan publik sudah dapatdibuktikan adanya sehingga perlu terusditingkatkan dan dikembangkan dengang g gmenyantolkan e‐KTP pada kepentinganmasyarakat.Layanan e‐KTP yang sudah dilaksanakan inisebenarnya memenuhi kebutuhan pemerintahk d t lid t k i t t dakan data valid untuk sistem perencanaan terpadu.
Database kependudukan sebagai langkah awal darie Go ernment men j e Go ernancee‐Government menuju e‐Governance.