analisis geomorfologi tektonik sistem sesar baribis di daerah ...

14
ANALISIS GEOMORFOLOGI TEKTONIK SISTEM SESAR BARIBIS DI DAERAH MAJALENGKA DAN SEKITARNYA Oleh : Aminudin HAMZAH*), Imam A. SADISUN**), Irwan MEILANO*), Budi BRAHMANTYO*), SUPARTOYO***) *)Graduate Research on Earthquake and Active Active Tectonics (GREAT), Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung **)Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung ***)Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ABSTRAK Geomorfologi tektonik adalah faktor utama yang mengontrol perkembangan bentuk lahan pada daerah tektonik yang aktif dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem sungai dan bentang alam pegunungan muka di sekitar Sistem Sesar Baribis, Majalengka. Daerah ini terletak pada Zona Antiklinorium Bogor dan orientasi- orientasi kelurusan tektonik dengan arah barat baratlaut-timur tenggara dan utara-selatan yang dimulai dari adanya peristiwa tumbukan antara Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia sejak Miosen hingga saat ini yang menghasilkan kompresi di Pulau Jawa dan mempengaruhi pembentukan struktur lipatan dan pensesaran di Jawa Barat. Analisis indikasi geomorfik digunakan untuk mengkaji aktivitas tektonik di daerah ini seperti indeks gradien sungai (SL), asimetri cekungan pengaliran (Af), kurva hipsometrik (Hc), dan bentuk cekungan (Bs). Semua indikasi geomorfik ini dikombinasikan untuk menghasilkan derajat aktivitas tektonik relatif dengan menggunakan sistem informasi geografi (GIS). Berdasarkan hasil nilai dari indeks aktivitas tektonik relatif, daerah penelitian terbagi ke dalam empat kelas; kelas 1 (indeks aktivitas tektonik relatif sangat tinggi), kelas 2 (indeks aktivitas tektonik relatif tinggi), kelas 3 (indeks aktivitas tektonik relatif sedang) dan kelas 4 (indeks aktivitas tektonik relatif rendah). hasil ini konsisten dengan observasi lapangan bentuk lahan dan geologi. Kata Kunci: Sistem Sesar Baribis, Geomorfologi Tektonik, Morfometri, Majalengka. Pendahuluan Sesar aktif merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya gempabumi. Menurut Keller dan Pinter (1996), sesar aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu 10.000 tahun yang lalu. Hampir semua gempabumi yang bersifat merusak dihasilkan oleh pergerakan sepanjang sesar. Salah satu sesar yang diperkirakan sesar aktif yang memicu terjadinya gempabumi di Jawa Barat adalah Sistem Sesar Baribis di Majalengka terbukti dengan adanya gempabumi pada tahun 1990 dan 2001 di Daerah Talaga bedasarkan katalog kegempabumian Supartoyo dan Surono (2008) yang menyebabkan beberapa rumah rusak dan terjadi longsoran besar. Sistem Sesar Baribis merupakan salah satu sistem sesar naik utama yang berkembang di Jawa Barat dan pertama kali dicetuskan oleh Martodjojo (1984). Nama Baribis diambil dari nama Perbukitan Baribis diambil dari nama Perbukitan Baribis di Daerah Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Struktur sesar tersebut dapat diamati jejak-jejaknya sepanjang kurang lebih 70 km dari Subang hingga ke perbukitan Baribis di sebelah barat Gunung Ciremai. Sistem Sesar Baribis ini terdiri dari banyak sesar terutama sesar anjak yang berarah relatif baratlaut- tenggara dan sesar mendatar yang berarah relatif utara-selatan berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Djuri (1995), Putranto (2008), Suardiputra (2008), Wicaksono (2010) dan, Haryanto (1999). Tim 9 (Irsyam dkk., 2010) yang membuat revisi peta percepatan gempabumi Indonesia belum memasukkan Sistem Sesar Baribis ke dalam analisis perhitungan percepatan gempabumi dan dijadikan hanya sebagai background saja. Padahal saat ini di Majalengka sedang digalakkan pembangunan infrastruktur yang mendukung ekonomi Jawa Barat yaitu pembangunan DAM Jatigede, Bandara Internasional Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 19 ½

Transcript of analisis geomorfologi tektonik sistem sesar baribis di daerah ...

ANALISIS GEOMORFOLOGI TEKTONIK SISTEM SESAR BARIBIS DI DAERAH MAJALENGKA DAN SEKITARNYA

Oleh :Aminudin HAMZAH*), Imam A. SADISUN**), Irwan MEILANO*), Budi BRAHMANTYO*),

SUPARTOYO***)

*)Graduate Research on Earthquake and Active Active Tectonics (GREAT), Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

**)Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung***)Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

ABSTRAK

Geomorfologi tektonik adalah faktor utama yang mengontrol perkembangan bentuk lahan pada daerah tektonik yang aktif dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem sungai dan bentang alam pegunungan muka di sekitar Sistem Sesar Baribis, Majalengka. Daerah ini terletak pada Zona Antiklinorium Bogor dan orientasi-orientasi kelurusan tektonik dengan arah barat baratlaut-timur tenggara dan utara-selatan yang dimulai dari adanya peristiwa tumbukan antara Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia sejak Miosen hingga saat ini yang menghasilkan kompresi di Pulau Jawa dan mempengaruhi pembentukan struktur lipatan dan pensesaran di Jawa Barat. Analisis indikasi geomorfik digunakan untuk mengkaji aktivitas tektonik di daerah ini seperti indeks gradien sungai (SL), asimetri cekungan pengaliran (Af), kurva hipsometrik (Hc), dan bentuk cekungan (Bs). Semua indikasi geomorfik ini dikombinasikan untuk menghasilkan derajat aktivitas tektonik relatif dengan menggunakan sistem informasi geografi (GIS). Berdasarkan hasil nilai dari indeks aktivitas tektonik relatif, daerah penelitian terbagi ke dalam empat kelas; kelas 1 (indeks aktivitas tektonik relatif sangat tinggi), kelas 2 (indeks aktivitas tektonik relatif tinggi), kelas 3 (indeks aktivitas tektonik relatif sedang) dan kelas 4 (indeks aktivitas tektonik relatif rendah). hasil ini konsisten dengan observasi lapangan bentuk lahan dan geologi.

Kata Kunci: Sistem Sesar Baribis, Geomorfologi Tektonik, Morfometri, Majalengka.

Pendahuluan

Sesar aktif merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya gempabumi. Menurut Keller dan Pinter (1996), sesar aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu 10.000 tahun yang lalu. Hampir semua gempabumi yang bersifat merusak dihasilkan oleh pergerakan sepanjang sesar. Salah satu sesar yang diperkirakan sesar aktif yang memicu terjadinya gempabumi di Jawa Barat adalah Sistem Sesar Baribis di Majalengka terbukti dengan adanya gempabumi pada tahun 1990 dan 2001 di Daerah Talaga bedasarkan katalog kegempabumian Supartoyo dan Surono (2008) yang menyebabkan beberapa rumah rusak dan terjadi longsoran besar.

Sistem Sesar Baribis merupakan salah satu sistem sesar naik utama yang berkembang di Jawa Barat dan pertama kali dicetuskan oleh Martodjojo (1984). Nama Baribis diambil dari nama Perbukitan Baribis

diambil dari nama Perbukitan Baribis di Daerah Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Struktur sesar tersebut dapat diamati jejak-jejaknya sepanjang kurang lebih 70 km dari Subang hingga ke perbukitan Baribis di sebelah barat Gunung Ciremai. Sistem Sesar Baribis ini terdiri dari banyak sesar terutama sesar anjak yang berarah relatif baratlaut-tenggara dan sesar mendatar yang berarah relatif utara-selatan berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Djuri (1995), Putranto (2008), Suardiputra (2008), Wicaksono (2010) dan, Haryanto (1999). Tim 9 (Irsyam dkk., 2010) yang membuat revisi peta percepatan gempabumi Indonesia belum memasukkan Sistem Sesar Baribis ke dalam analisis perhitungan percepatan gempabumi dan dijadikan hanya sebagai background saja. Padahal saat ini di Majalengka sedang digalakkan pembangunan infrastruktur yang mendukung ekonomi Jawa Bara t ya i tu pembangunan DAM Jatigede, Bandara Internasional

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 19½

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data geomorfologi dan morfometri. Data morfometri diperoleh dari peta topografi digital skala 1:25.000 yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Data morfometri yang akan dianalisis adalah menghitung kurva hipsometrik (Hc), asimetri

cekungan pengaliran (Af), dan gradien indeks panjang sungai (SL). Data geomorfologi dapat diamati secara langsung di lapangan. Geomorfologi tektonik mempelajari hubungan antara struktur geologi dengan bentuk lahan atau lebih spesifik lagi hubungan antara struktur neotektonik dan bentuk lahan (Stewart dan Hancock, 1994). Data morfotektonik yang diperoleh melalui peta topografi, SRTM atau foto udara akan dianalisis pola umum kelurusan menggunakan perangkat lunak map info dan Arc GIS 9.3 untuk mengetahui pola umum kelurusan sepanjang Zona Sesar Baribis. Hal ini dilakukan untuk membantu mengidentifikasi Sistem Sesar Baribis, bentukan-bentukan lahan, serta kenampakan morfotektonik lainnya. Data morfometri diintegrasikan untuk mengetahui derajat aktivitas tektonik Sistem Sesar Baribis. Semua data, baik data lapangan dan data hasil perhitungan dianalisis secara kuantitatif sehingga akan didapatkan klasifikasi geomorfologi tektonik yang merupakan cerminan derajat aktivitas tektonik Sistem Sesar Baribis.

Tatanan Tektonik

Daerah penelitian sebagian besar termasuk ke dalam fisiografi Zona Bogor dan sebagian masuk ke dalam Zona Gunungapi Kuarter berdasarkan pembagian zona fisiografi Pulau Jawa yang dibuat oleh van Bemmelen (1949). Zona Bogor merupakan suatu jalur kompleks dengan lebar kurang lebih 40 km, membentang mulai dari Jasinga, Jawa barat dan menerus ke arah tenggara hingga ke Bumiayu, Jawa Tengah. Zona Bogor merupakan suatu antiklinorium yang kompleks dan cembung ke arah utara, disusun oleh batuan sedimen Neogen yang terlipat kuat serta disertai adanya batuan volkanik dan intrusi.

Struktur geologi yang berkembang di Jawa Barat dipengaruhi oleh aktivitas tumbukan Lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Lempeng Eurasia (Hamilton, 1979). Adanya peristiwa tumbukan dua lempeng tersebut menghasilkan tegasan kompresi di Jawa sejak Miosen hingga sekarang yang mempengaruhi pembentukan struktur lipatan dan pensesaran di Jawa Barat (Martodjojo, 1984; Simandjuntak, 1994). Secara umum pola struktur di Jawa Barat menurut Martodjojo dan Pulunggono (1994) dikelompokkan menjadi tiga arah yaitu timurlaut-baratdaya (Pola Meratus), utara-selatan (Pola Sunda) dan barat-timur

20 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½

Jatitujuh dan Tol Cisumdawu yang membentang dari Ci leunyi hingga Dawuan. Pembangunan infrastruktur tersebut tentu harus memperhitungan aspek kode bangunan terutama yang berkaitan dengan gempabumi di sekitar Sistem Sesar Baribis karena berada dekat dengan lokasi pembangunan infrastruktur tersebut demi keselamatan dan keamanan masyarakat di sekitar lokasi maupun pengguna infrastruktur tersebut.

Dari latar belakang tersebut dan berdasarkan kejadian gempabumi yang pernah terjadi di Majalengka, diduga bahwa Sistem Sesar Baribis ini merupakan sesar aktif. Penelitian dengan

menggunakan analisis geomorfologi tektonik ini ditujukan untuk dapat mengetahui tingkat keaktifan Sistem Sesar Baribis salah satunya dengan menggunakan analisis morfometri. Beberapa parameter morfometri yang digunakan yaitu perhitungan kurva hipsometrik (Hc), asimetri cekungan pengaliran (Af), dan gradien indeks panjang sungai (SL). Peneliti sebelumnya yang menggunakan metode morfometri ini di Jawa Barat yaitu Supartoyo (2008) yang menganalisis Sesar Cimandiri dan Hidayat (2009) yang menganalisis Sesar Lembang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat keaktifan Sistem Sesar Baribis berdasarkan metoda morfometri dengan menggunakan data geomorfologi, dan morfometri. Pengetahuan yang tepat mengenai tektonik aktif di wilayah ini tentunya akan dapat mempermudah memahami potensi kebencanaan gempabumi yang mungkin akan terjadi kembali kemudian hari di daerah ini sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana gempabumi.

Data dan Metode Penelitian

Daerah penelitian terletak di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1) yang membentang dari Kabupaten Sumedang pada bagian barat hingga sebelah selatan kota Majalengka pada bagian timur dan terletak pada koordinat 108°BT - 108,4°BT dan 6,7°LS - 7,1°LS.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

(Pola Jawa). Pola Jawa merupakan struktur geologi topografi (Gambar 3) yang digambarkan sebagai yang paling muda. Di Jawa Barat, Pola Jawa ini Peta Morfotektonik Daerah Majalengka. Dari dicerminkan oleh adanya Sistem Sesar Baribis. gabungan keduanya terlihat banyak sekali

kelurusan di daerah ini yang umumnya berarah Djuri (1995) dan Silitonga (1973), masing-masing barat-timur dan utara-selatan. Selain kelurusan, memetakan Geologi Lembar Arjawinangun dan dapat ditarik juga garis-garis pembatas antara Bandung menyatakan bahwa urutan stratigrafi dari pegunungan muka (mountain front) dengan dataran tua ke muda di daerah tersebut adalah Formasi yang sering disebut sebagai piedmount junction. Cinambo (Miosen Awal), Formasi Halang (Miosen Pada peta morfotektonik tersebut, terlihat bahwa Tengah), Formasi Subang (Miosen Akhir), Formasi sesar-sesar yang berada di daerah penelitian Kaliwangu (Pliosen), Formasi Citalang (Pliosen), mengikuti bentuk morfologi perbukitan yang Breksi Hasil Gunungapi Tua (Plistosen), dan memanjang relatif barat-timur.Endapan Hasil Gunungapi Muda (Plistosen). Gambar 2 menggambarkan penyebaran satuan Berdasarkan hasil analisis frekuensi kelurusan batuan di daerah penelitian berdasarkan Peta (Gambar 3), terlihat bahwa pola umum kelurusan di Geologi Lembar Ardjawinangun (Djuri, 1995). sekitar Zona Sesar Baribis yaitu kelurusan berarah

dominan E-W hingga ESE-WSW (N 80°-90°E, N Analisis Morfometri dan Hasi Penelitian 90°-100°E, dan N 110°-120°E) serta berarah NNE-Morfotektonik Sistem Sesar Baribis SSW (N 10°-20°E). Analisis frekuensi ini

menggunakan 476 data dengan jumlah frekuensi Keberadaan Sistem Sesar Baribis di daerah maksimum yaitu 236. Hasil kelurusan ini umumnya penelitian dapat diamati dari kenampakan SRTM lebih menggambarkan adanya unsur struktur (shuttle radar topography mission) dan peta geologi seperti lipatan, sesar, dan perlapisan.

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 21½

Gambar 2. Peta penyebaran satuan batuan di daerah penelitian mengacu kepada Djuri (1995).

Keberadaan struktur geologi (sesar maupun lipatan) di sekitar Sistem Sesar Baribis dapat teramati dari data struktur geologi di lapangan berupa breksiasi, gawir sesar, gores-garis, offset batuan, kekar gerus, kekar tarik, maupun dari kelurusan. Struktur-struktur geologi dalam hal ini adalah sesar yang terdapat di daerah penelitian adalah kombinasi dari beberapa peneliti terdahulu seperti Djuri (1995), Haryanto (1999), Putranto (2008), dan Suardiputra (2008).

Morfometri

Analisis morfometri ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penentuan daerah aliran sungai, penentuan komposisi batuan dari masing-masing DAS, dan yang terakhir melakukan perhitungan parameter morfometri. Perhitungan morfometri ini menggunakan data dari peta topografi digital 1:25.000. Parameter morfometri yang akan dihitung meliputi kurva hipsometrik, asimetri cekungan drainase, gradien indeks panjang sungai, dan bentuk cekungan.

a) Daerah Aliran Sungai

Parameter morfometri diperoleh dari daerah aliran sungai (DAS) di sekitar Sistem Sesar Baribis yang berorde 1 dan merupakan sub DAS dari Sungai Cilutung dan Sungai Cimanuk yang mengalir relatif ke utara. DAS orde I ini dipilih karena apabila terjadi suatu proses tektonik yang baru (neotektonik), maka yang akan mewakili proses-proses geomorfiknya ada di DAS orde I (proses tektonik > proses erosi) (Keller dan Pinter, 1996; Arisco dkk., 2006; Dehbozorgi dkk., 2010). Pembagian DAS di daerah penelitian ini ada 71 DAS (Gambar 4). Luas dari DAS-DAS ini bervariasi mulai dari 397.395 m2 hingga yang terluas yaitu 15.812.122 m2.

b) Komposisi Batuan Penentuan komposisi formasi batuan dan persentasenya di masing-masing DAS dianalisis dari Peta Geologi Regional Lembar Ardjawinangun yang dibuat oleh Djuri (1995). Penentuan komposisi formasi batuan di masing-masing DAS ini dilakukan dengan cara meng-overlay peta batuan tersebut dengan data DAS orde I dan hasilnya seperti terlihat

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

22 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½

c) Kurva Hipsometrik

Kurva hipsometrik menggambarkan distribusi elevasi melintang suatu daerah dari sebuah cekungan drainase atau sub-cekungan drainase pada suatu daerah (Keller dan Pinter, 1996). Indeks ini mendefinisikan area relatif di bawah kurva hipsometrik dan hal itu menggambarkan volume dari suatu cekungan yang belum tererosi. Gambar 6 menggambarkan beberapa DAS di daerah penelitian yang menunjukkan stadium muda, stadium dewasa, dan stadium tua dari hasil pengukuran kurva hipsometrik. Hasil perhitungan dan penggambaran kurva hipsometrik menunjukkan bahwa secara umum DAS di sekitar Zona Sesar Baribis berada pada stadia muda. Bentang alam topografi stadium muda mengindikasikan adanya proses tektonik. Pengkelasan kurva hipsometrik mengacu kepada Dehbozorgi (2010), yaitu jika bentang alam stadium muda akan dikategorikan ke kelas satu (1), stadium menengah dikategorikan ke kelas dua (2), dan stadium tua dikategorikan ke kelas tiga (3) seperti terlihat di Gambar 7.

d) Faktor Asimetri (Af)

Metode faktor asimetri (Af) ini digunakan untuk mengevaluasi kemiringan tektonik pada skala DAS (Keller dan Pinter, 1996). Perhitungan nilai Af diperoleh dari :

Af = 100 (Ar/At)

Gambar 3. Peta morfotektonik daerah penelitian.

Ar yaitu area dari bagian sebelah kanan dari daerah aliran sungai yang dibatasi oleh sungai utama (melihat ke arah hilir) dan At adalah total area dari daerah aliran sungai. Dari hasil perhitungan, apabila nilai faktor asimetri yang diperoleh mendekati 50 (AF ? 50), maka daerah tersebut relatif stabil, artinya proses tektonik yang bekerja sangat kecil. Apabila nilai AF lebih besar atau kurang dari 50, maka terjadi kemiringan akibat tektonik. Metode ini diterapkan paling cocok pada cekungan drainase dengan batuan dasar yang sama. Mengacu kepada El Hamdouni dkk (2007), pembagian kelas untuk AF ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas 1 (nilai AF>65 atau AF<35), kelas 2 (35<AF<43 atau 65>AF>57) dan kelas 3 (43<AF<57) seperti terlihat pada Gambar 8. Hasil perhitungan berdasarkan metoda Af ini menunjukkan bahwa DAS yang berada pada kelas 1 (memiliki kemiringan lebih besar dengan Af > 65 atau Af <35) contohnya yaitu pada DAS 0, 2, 4, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 19, 25, 26, 29, 62, 63, 68 dan 33.

e) Bentuk Cekungan (Bs)

Bentuk cekungan atau rasio elongasi (Bs) dari suatu cekungan menggambarkan proyeksi horizontal dari DAS tersebut (Ramirez-Herrera, 1998). Secara relatif, DAS yang berada pada tahapan muda dengan tektonik yang aktif cenderung mempunyai bentuk yang memanjang (Ramirez-Herrera, 1998). Oleh karena itu, Bs dapat merefleksikan laju dari tektonik aktif. Ukuran bentuk cekungan dapat dijelaskan dengan perbandingan panjang diameter (Bs) yang diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Cannon, 1976 dalam Ramirez-Herrera, 1998) :

Bs = Bl/Bw

pada Gambar 5. Luas dari masing-masing formasi batuan ini kemudian dihitung dan ditabulasikan. Hasil perhitungan komposisi batuan ini untuk mendukung analisis morfometri apakah ada pengaruh dari lebih besar pengaruh litologi atau lebih besar pengaruh adanya proses tektonik. Formasi-formasi batuan yang dominan dari tiap-tiap DAS yaitu Omtl dengan litologi berupa batupasir gampingan dan serpih, Omtu dengan litologi berupa serpih, Mhl dengan litologi berupa breksi dan batupasir, Mhu dengan litologi berupa batupasir dan serpih pasiran, Msc dengan litologi berupa batulempung, Pk dengan litologi berupa batulempung, konglomerat dan lensa batupasir, Pt dengan litologi berupa konglomerat, breksi dan batupasir, Qob dengan litologi berupa breksi terlipat serta Qvu dengan litologi berupa batuan gunungapi tak teruraikan.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 23½

dengan Bl adalah panjang maksimum dari cekungan dan Bw adalah lebar maksimum dari cekungan. Bs dihitung menggunakan DEM dan diklasifikasikan ke dalam tiga kelas: 1 (Bs > 3); 2 (3 > Bs > 2) dan 3 (Bs < 2) mengacu kepada El Hamdouni dkk., (2007). Bs di daerah penelitian berkisar dari nilai 0,32 hingga 3,40. Kurang dari setengah DAS yang ada di daerah penelitian berada pada kelas tiga (3) dengan bentuk mendekati lingkaran (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa laju tektonik di daerah penelitian berdasarkan metoda ini kecil sehingga tidak membentuk DAS dengan elongasi yang besar kecuali di DAS 29, 36, 54, 12, 6, 7, 48, 40 dan DAS 6 dengan nilai Bs yang besar.

f) Indeks Gradien Panjang Sungai (SL)

Sungai yang mengalir dan melewati batuan serta tanah mempunyai variasi kekuatan berbeda untuk mencapai kesetimbangan dengan membentuk profil longitudinal yang spesifik dan geometri hidrolik (Bull, 2007). Hack (1982 dalam Dehbozorgi dkk, 2010) mendefinisikan indeks gradien panjang sungai (SL) sebagai variabel yang mempengaruhi lingkungan pada profil sungai longitudinal dan menguji sungai yang sudah mencapai titik kesetimbangan. Indeks SL ini dapat digunakan untuk menguji aktivitas tektonik secara relatif. Meskipun pada area dengan batuan yang lunak, SL dengan nilai tinggi dapat mencerminkan adanya aktivitas tektonik. Indeks gradien panjang sungai (SL) dihitung dari peta topografi berdasarkan persamaan:

SL = (DH / L) x L

D H merupakan beda elevasi dari titik yang akan dihitung, DL merupakan panjang sungai hingga titik yang akan dihitung dan L merupakan total panjang sungai hingga ke arah hulu dengan titik yang akan dihitung.

D

Gambar 4. DAS-DAS orde I di lokasi penelitian.

Gambar 5. DAS-DAS orde I di lokasi penelitian beserta komposisi satuan batuannya.

Gambar 6. Kurva hipsometrik dari tiga DAS di lokasi penelitian. Kurva hipsometrik DAS 9 menunjukkan tahap stadium muda, DAS 13 menunjukkan tahap stadium dewasa, dan DAS 15 menunjukkan tahap stadium tua.

Indeks SL dihitung menggunakan DEM yang diolah dari peta topografi digital 1:25.000 dengan menggunakan GIS dan menghitung nilai rata-rata dari masing-masing dan hasilnya terlihat pada Gambar 10. Nilai indeks SL di daerah penelitian bervariasi dari 42,14 hingga terbesar yaitu 6427,2. Hasil perhitungan SL dari masing-masing DAS tersebut kemudian digabungkan dengan profil sungai utama dari DAS tersebut dan hasilnya kemudian digabungkan dalam grafik (lihat Gambar 11) dan digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian antara nilai SL dengan profil sungai serta litologi penyusunnya. DAS 7 menggambarkan adanya kenaikan nilai indeks SL saat profil sungai turun yang mengindikasikan adanya Sesar Cisaar. DAS 6 menggambarkan jenis litologi tidak terlalu

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

24 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½

Gambar 7. Pengkelasan DAS-DAS di lokasi penelitian berdasarkan metode kurva hipsometrik.

Gambar 8. Pengkelasan DAS-DAS di lokasi

g) Kelas Aktivitas Tektonik Relatif

Studi sebelumnya mengenai aktivitas tektonik relatif berdasarkan indikasi geomorfik cenderung hanya berfokus pada evaluasi pada pegunungan muka atau area-area (Ramirez-Herrera,

1998; Arisco dkk., 2006). Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi tektonik dengan area yang lebih luas dengan menggunakan beberapa parameter geomorfologi. Nilai rata-rata dari empat parameter geomorfologi yang telah diukur (Hc, Af, Bs, dan SLV) digunakan untuk mengevaluasi distribusi dari aktivitas tektonik relatif di daerah penelitian (El Hamdouni dkk., 2007). Nilai dari indeks rata-rata ini dibagi ke dalam empat kelas untuk mendefinisikan derajat dari aktivitas tektonik yaitu kelas 1-sangat tinggi (1,0 ? lat <1,5), kelas 2-tinggi (1,5 ? lat < 2,0), kelas 3- sedang (2,0 ? lat < 2,5), dan kelas 4-rendah (2,5 ? lat) berdasarkan El Hamdouni dkk. (2007).

Hasil pengkelasan derajat aktivitas tektonik terlihat pada Gambar 13. Tiga DAS yang berada di timur daerah penelitian (DAS 29, DAS 54 dan DAS 64) dan satu DAS yang berada di tengah daerah penelitian (DAS 7) termasuk ke dalam kelas 1 dengan formasi batuan berupa Omtl, Omtu, Mhl dan Qvu. 37 DAS yang berada di bagian barat, tengah dan timur tenggara daerah penelitian (contohnya DAS 4, 7, 9, 10, 11, 14, 18, 19, 0, 1, 2, 20, 27, 33, 39, 41, 45, 46, 35 dan 34) termasuk ke dalam kelas 2 dengan formasi batuan yaitu Omtl, Omtu, Mhl, Mhu dan Qvu.

Gambar 9. Pengkelasan DAS-DAS di lokasi penelitian berdasarkan metode indeks bentuk cekungan

berpengaruh terhadap nilai SL baik pada batuan yang resisten maupun batuan yang kurang resisten. DAS 29 menggambarkan adanya kenaikan nilai SL pada jenis litologi yang berbeda walaupun profil sungai semakin ke hilir. Hal ini menunjukkan adanya indikasi proses tektonik yang bekerja di DAS tersebut (adanya sesar). DAS 27 menggambarkan pada batuan yang kurang resisten pun ada kenaikan nilai SL walaupun tidak ada sesar di sekitar DAS tersebut. Hal ini mungkin dikarenakan adanya sesar yang tertutup ataupun proses eksogen lainnya yang cukup intensif dan cepat seperti adanya longsoran maupun erosi vertikal.

Nilai-nilai tersebut kemudian dikelaskan menjadi tiga kelas yaitu kelas 1 (SL > 500), kelas 2 (500 < SL < 300) dan kelas 3 (SL < 300) mengacu kepada El Hamdouni (2007). Hasil dari pengkelasan ini terlihat pada Gambar 12. Dari hasil pengkelasan berdasarkan metoda ini, dua per tiga DAS di daerah penelitian berada pada kelas 1 atau mempunyai indeks gradien panjang sungai yang tinggi. DAS-DAS pada kelas ini berada pada litologi yang relatif homogen dengan DAS pada kelas 2 dan 3 sehingga faktor litologi bukan menjadi pengaruh utama tetapi adanya proses tektonik aktif.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 25½

Gambar 10. Hasil perhittungan indeks SL di lokasi penelitian

Gambar 11. Hasil perhitungan SL terhadap profil sungai utama dari masing-masing DAS.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

26 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½

Gambar 12. Pengkelasan DAS-DAS di lokasi penelitian berdasarkan metode indeks SL.

23 DAS yang berada di utara dan tengah daerah penelitian (contohnya DAS 3, 5, 6, 16, 17, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 8, 21, 40 dan 22) termasuk kelas 3 dengan formasi batuan berupa Msc, Qob, Mhl, Pt dan Omtl dan tujuh DAS sisanya yang berada di utara dan tengah daerah penelitian (DAS 15, 23, 28, 13, 38, 21, dan 70) termasuk kelas 4 dengan formasi batuan berupa Pt, Pk dan Omtl.

Diskusi

Berdasarkan hasil perhitungan kurva hipsometrik (lihat Gambar 6) menunjukkan bahwa secara umum daerah penelitian berada pada tahapan geomorfologi stadium muda. Formasi batuan pada stadium muda ini berupa Omtl, Omtu, Mhl, Mhu, Pt, Qob dan Qvu dengan litologi berupa breksi, konglomerat, batuan gunungapi, dan batupasir gampingan yang merupakan litologi yang relatif resisten terhadap erosi. Namun ada pula pada stadium ini litologi berupa serpih dan batupasir tufan yang relatif kurang resisten. Hal ini jelas karena dipengaruhi oleh adanya suatu proses tektonik.

Berdasarkan hasil perhitungan metoda asimetri cekungan drainase (Af) ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah DAS-DAS di daerah penelitian memiliki nilai Af > 50 dan Af < 50 yang menunjukkan adanya kemiringan (tilting) seperti terlihat pada Gambar 8. DAS-DAS dengan Af >50 dan Af < 50 berada pada formasi batuan seperti Omtl, Omtu, Pt, Qvu, Mhl dan Msc dengan litologi berupa batuan gunungapi, breksi, batupasir gampingan, batupasir tufan, dan serpih. Hal ini menunjukkan

bahwa litologi tidak terlalu berperan dalam pembentukan kemiringan DAS-DAS di daerah penelitian berdasarkan metoda ini melainkan adanya proses tektonik yang lebih aktif.

Berdasarkan hasil perhitungan metoda bentuk cekungan (Bs) ini menunjukkan bahwa kurang dari setengah DAS yang ada di daerah penelitian memiliki nilai Bs~1 dengan bentuk mendekati

Gambar 13. Pengkelasan aktivitas tektonik relatif dari masing-masing DAS berdasarkan pengukuran parameter morfometri

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 27½

Gambar 14. Peta variasi spasial derajat aktivitas tektonik masing-masing sesar di daerah penelitian hasil dari tumpang tindih dengan pengkelasan aktivitas tektonik relatif dari masing-masing DAS.

lingkaran (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa laju tektonik di daerah penelitian yang ditunjukkan oleh metoda ini relatif kecil. Formasi batuan pada DAS dengan Bs > 3 ini yaitu Qvu, Qyu, Qvb, Omtl dan Omtu berupa batuan gunungapi, batupasir gampingan serta serpih. DAS pada batuan gunungapi menunjukkan bahwa tahapan geomorfologinya berada pada tahapan muda sehingga membentuk elongasi yang cukup memanjang. Pengaruh dari adanya struktur primer seperti perlapisan pada saat pengendapan seperti yang terjadi pada batuan-batuan volkanik ikut membentuk DAS dengan elongasi yang memanjang. Pada DAS dengan formasi batuan Omtl dan Omtu yang batuannya sudah cukup tua namun masih menunjukkan elongasi yang besar sehingga dapat disimpulkan adanya proses tektonik yang bekerja di DAS ini dan berperan sangat aktif seperti dengan adanya proses pengangkatan akibat sesar maupun lipatan.

Hack (1982 dalam Dehbozorgi dkk., 2010) mengatakan indeks gradien panjang sungai (SL) dihitung sebagai variabel yang mempengaruhi lingkungan pada profil sungai longitudinal dan menguji sungai yang sudah mencapai titik kesetimbangan. Indeks SL ini dapat digunakan untuk menguji aktivitas tektonik secara relatif. Meskipun pada area dengan batuan yang lunak, SL dengan nilai tinggi dapat mencerminkan adanya aktivitas tektonik. Hasil perhitungan indeks SL menunjukkan adanya pengaruh proses tektonik jika terjadi pada litologi yang sama.Jika ada kenaikan pada kontak batuan yang sama, mungkin ini disebabkan oleh perbedaan kekuatan dan resistensi batuan yang berbeda. Namun ada pula indeks SL pada batuan yang berbeda tetapi tidak menunjukkan adanya kenaikan nilai SL. Hal ini mungkin disebabkan tahapan geomorfologinya sudah berada pada tahapan tua dan proses erosi berlangsung cukup intensif.

Gambar 15. Lembah linier di lokasi penelitian di sekitar perbatasan Bantarujeg dengan Talaga, sebagai salah satu indikasi morfologi khas dari kehadiran sesar naik.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

28 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½

Gambar 16. Kehadiran longsoran di lokasi penelitian juga sebagai salah satu morfologi penciri adanya sesar; gambar kiri foto diambil di Daerah Cintajaya (di baratlaut-barat daerah penelitian) dan gambar kanan di Daerah (di timur-tenggara daerah penelitian).

Hasil dari semua analisis morfometri digabungkan dengan data sesar-sesar di daerah penelitian menjadi peta variasi spasial derajat aktivitas tektonik (Gambar 14). Peta ini menunjukkan bahwa suatu segmen sesar membentuk segmen-segmen derajat aktivitas tektonik. Jadi, dalam satu segmen sesar ada segmen dengan derajat aktivitas tektonik tinggi, sedang, dan rendah. Segmentasi ini menunjukkan area dimana gempabumi atau pergerakan tektonik sering berlangsung dan digunakan untuk mengestimasi maksimum magnitudo momen gempabumi yang mungkin terjadi. Sesar dengan derajat aktivitas tektonik tinggi-paling tinggi ada di sekitar Zona Sesar Tegaltjiwel dan Zona Sesar Cisaar. Sesar Tegaltjiwel ini memotong formasi batuan Qvu dan Qyu yang berupa batuan gunungapi Kuarter, sedangkan Sesar Cisaar memotong formasi batuan Omtl dan Omtu berupa breksi, batupasir dan serpih yang berumur Oligo-Miosen sehingga dimungkinkan sesar-sesar ini yang menjadi sumber dari gempabumi. Sesar dengan derajat aktivitas tektonik tinggi yaitu Sesar Maja, Sesar Cijaweu, Sesar Pareang, Sesar Cimeong, Sesar Cidarma dan Sesar Bantarujeg yang memiliki yang memotong satuan batuan yang tua seperti Omtu, Omtl, Mhu, Mhl, Pk dan Pt. Walaupun tidak ditemukan adanya batuan muda yang berumur Kuarter yang terpotong, namun indikasi-indikasi morfologi menunjukkan bahwa adanya aktivitas tektonik yang cukup intensif.

Pengamatan morfologi dilakukan untuk mengetahui kondisi bentuk morfologi di lapangan terutama yang berhubungan dengan hasil analisis morfometri.

Pengamatan ini terutama difokuskan pada daerah dengan derajat aktivitas tektonik relatif sangat tinggi dan tinggi. Pengamatan morfologi ini penting untuk menganalisis tektonik aktif atau neotektonik karena hasil deformasi akan terlihat lebih jelas yang dicerminkan oleh bentukan-bentukan morfologi. Bentukan-bentukan morfologi yang ditemukan di lapangan yaitu kelurusan lembah (lembah linier), pembelokan sungai, gawir, longsoran, adanya material aluvial yang terpotong oleh sesar, segitiga faset dan mata air (Gambar 15, Gambar 16, Gambar 17, dan Gambar 18).

Adanya bentukan-bentukan alam ini dan hasil analisis morfometri yang menunjukkan adanya aktivitas tektonik yang aktif (neotektonik) sesuai dengan model pembentukan struktur sesar naik dan sesar mendatar yang terjadi bersamaan yang dibuat oleh Davis (1984 dalam Haryanto, 1999). Model ini menggambarkan bentukan-bentukan morfologi yang dapat terbentuk akibat adanya sesar naik dan sesar mendatar ini seperti lembah linier, pegunungan muka (piedmount junction) dan segitiga faset.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 29½

Gambar 17. Adanya pembelokan sungai menjadi salah satu penciri morfologi adanya pergerakan sesar. Gambar kiri pembelokan Sungai Cilutung di dekat Bantarujeg-Lemahsugih sebagai indikasi sesar naik dan pembatas piedmont junction dan smf dari Sesar Bantarujeg. Gambar kanan pembelokan Sungai Cibodas di Desa Kulur (bagian tengah daerah penelititan).

Gambar 18. Segitiga faset di daerah penelitian yang ditemukan di Desa Cibodas. Bentukan morfologi ini disebabkan oleh adanya Sesar Mendatar Menganan Cimeong.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu bahwa analisis geomorfologi tektonik dengan menggunakan parameter morfometri yang dihitung meliputi kurva hipsometrik, asimetri cekungan drainase, gradien indeks panjang sungai, dan bentuk cekungan dapat dikombinasikan dengan data sesar-sesar di lapangan menjadi peta variasi spasial derajat aktivitas tektonik relatif dan diaplikasikan di daerah penelitian yaitu di Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka.

Nilai dari indeks rata-rata ini dibagi ke dalam empat kelas untuk mendefinisikan derajat dari aktivitas tektonik yaitu kelas 1-sangat tinggi, kelas 2-tinggi, kelas 3-sedang, dan kelas 4-rendah. Derajat aktivitas tektonik tinggi-paling tinggi ada di sekitar Zona Sesar Maja, Sesar Tegaltjiwel dan Zona Sesar Cisaar. Derajat aktivitas tektonik yang tinggi yaitu pada Sesar Cijaweu dan Sesar Bantarujeg yang memiliki sinusitas pegunungan muka. Derajat aktivitas tektonik rendah-sedang paling dominan terlihat di sekitar Sesar Mangkubumi, Sesar Karamas, dan Sesar Kadu di utara daerah penelitian.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

30 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½

Daftar Pustaka

Anonim, 2007. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana.

Arisco. G., Arnone, G., Favara, R., Nigro, F., Perricone, M., Renda, P., dan Mondello, C., 2006 . In tegra t ed Neo tec ton i c s and Morphometrics Analysis of Northern Sicilly. Boll. Soc, Geol, It., 125, 15p.

Bull, W. B., 2007. Tectonic Geomorphology of Mountains: A New Approach to Seismology. Blackwell, Malden.

Dehbozorgi, M., Poukermani, M., Arian, M., Matkan, A.A., Motamedi, H., dan Hosseiniasi, A., 2010. Quantitative Analysis of Relative Tectonic Activity in The Sarvestan Area, Central Zagros, Iran. Geomorphology 03284, 13p.

Djuheni dan Martodjojo, S., 1989, Stratigrafi Daerah Majalengka dan Hubungannya dengan Tatanama Satuan Litostratigrafi di Cekungan Bogor, Majalah IAGI, 12(1), 227 - 252.

Djuri., 1995. Peta Geologi Lembar Ardjawinangun, Jawa Barat, Skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

El Hamdouni, R., Irigaray, C., Fernandez, T., Chacón, J., Keller, E.A., 2007. Assessment of Relative Active Tectonics, Southwest Border of S i e r r a N e v a d a ( S o u t h e r n S p a i n ) . Geomorphology, 96, 150-173.

Hamilton, R., 1979. Tectonics of Indonesia Region. Geological Survey Professional Paper 1078, 345 p.

Haryanto, I., 1999. Tektonik Sesar Baribis, Daerah Majalengka, Jawa Barat. Tesis Magister. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Hidayat, E., 2009. Analisis Morfotektonik Sesar Lembang; Thesis Master. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Irsyam. M., Sengara, W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Hilman, D., Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono., Asrurifak, M., dan Ridwan, M. 2010. Summary of Study: Development of Seismic Hazard Map of Indonesia for Revision of Hazard Map in SNI 03-1726-2002. Bandung

Nilai dari indeks rata-rata ini dibagi ke dalam empat kelas untuk mendefinisikan derajat dari aktivitas tektonik yaitu kelas 1-sangat tinggi, kelas 2-tinggi, kelas 3-sedang, dan kelas 4-rendah. Derajat aktivitas tektonik tinggi-paling tinggi ada di sekitar Zona Sesar Maja, Sesar Tegaltjiwel dan Zona Sesar Cisaar. Derajat aktivitas tektonik yang tinggi yaitu pada Sesar Cijaweu dan Sesar Bantarujeg yang memiliki sinusitas pegunungan muka. Derajat aktivitas tektonik rendah-sedang paling dominan terlihat di sekitar Sesar Mangkubumi, Sesar Karamas, dan Sesar Kadu di utara daerah penelitian.

Peta variasi spasial derajat aktivitas tektonik menunjukkan bahwa derajat aktivitas tektonik relatif membentuk segmen-segmen derajat aktivitas tektonik. Satu sesar dapat terdiri dari beberapa segmen dengan derajat aktivitas tektonik yang berbeda-beda. Segmentasi ini menunjukkan area dimana gempabumi atau pergerakan tektonik sering berlangsung hingga saat ini dan digunakan sebagai kajian bahaya gempabumi dan mengestimasi maksimum gempabumi yang mungkin terjadi.

Bentukan-bentukan morfologi yang ditemukan di lapangan yaitu kelurusan lembah (lembah linier), pembelokan sungai, gawir, longsoran, adanya material aluvial yang terpotong oleh sesar, segitiga faset dan mata air. Bentukan-bentukan alam ini semakin mendukung adanya aktivitas tektonik di daerah penelitian.Pengetahuan yang tepat mengenai tektonik aktif di wilayah ini tentunya akan dapat mempermudah memahami potensi kebencanaan gempabumi yang mungkin akan terjadi kembali kemudian hari di daerah ini sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana gempabumi.

Ucapan Terimakasih

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada GREAT (Graduate Research on Earthquake and Active Tectonics) yang telah mendukung pendanaan untuk penelitian ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Ripa Apriani yang telah bersedia membantu dalam investigasi morfologi di lapangan.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi Vol.5 No.2. Juli 2013 31½

Keller, E. A., dan Pinter, N., 1996. Active Tectonic Earthquake, Uplift and Landscape. New Jersey: Prentice Hall, 338 pp.

Martodjojo, S., 1984. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat; Disertasi Doktor. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Pulunggono dan Martodjojo S., 1994. Perubahan Tektonik Paleogen-Neogen Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa, Proceedings Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa Sejak Akhir Mesozoik Hingga Kuarter, 37 - 50.

Putranto, D. H., 2008. Geologi dan Karakteristik Sesar Anjak Daerah Jatigede dan Sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat; Tugas Akhir Sarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Ramirez-Herrera, M. T., 1998. Geomorphic Assesment of Active Tectonics in The Acambay Graben, Mexican Volcanic Belt. Earth Surface Processes and Landforms, 23, 317-332.

Silitonga, P.H., 1973. Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa, Skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Simandjuntak, T. O., 1994. Back-Arc Thrusting and Neogene Orogeny in Jawa, Indonesia. Prosiding Tahunan CCOP 31, Kuala Lumpur, 18 p.

Stewart, I.S., dan Hancock, P.L., 1994. Continental Deformation in Neotectonic. Pergamon Press.

Suardiputra, A., 2008. Geologi dan Analisis Struktur Geologi untuk Karakteristik Sesar Anjak Daerah Cimanintin dan Sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat; Tugas Akhir Sarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Supartoyo., 2008. Analisis Morfometri Sesar Cimandiri, Sukabumi; Thesis Master. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Supartoyo, dan Surono., 2008. Katalog Gempabumi Merusak Indonesia Tahun 1629 - 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral: 101 hal.

Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA. The Haque, Martinus, Nijhoff.

Wicaksono, A., 2010. Geologi dan Studi Sedimentologi Daerah Wado dan Sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat; Tugas Akhir Sarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Analisis Geomorfologi Tektonik Sistem Sesar Baribis di Daerah Majalengka dan Sekitarnya (Aminudin Hamzah dkk)

32 Vol.5 No.2 Jurnal Gunungapi & Mitigasi Bencana Geologi . Juli 2013½