akuntansi syariah sebagai orientasi di masa depan dalam - OSF
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of akuntansi syariah sebagai orientasi di masa depan dalam - OSF
1
AKUNTANSI SYARIAH SEBAGAI ORIENTASI DI MASA DEPAN DALAM
PERWUJUDAN NILAI AMANAH, KEBENARAN, DAN KEADILAN
Sainada Oktoby Sherly Abdillah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
It can’t be denied that accounting is a very information required in the recording of
the company’s financial transactions. That information is something that adjusts the situation
and conditions that really happen. But on in fact, there is still a lot information that doesn’t
fit in the accounting system. Therefore, this discussion aims to analyze the embodiment of the
system sharia-based accounting that has principles of trustworthiness, truth, and values
justice that can address the things that are not appropriate in the information as well as
orientation in the future.
Keywords: sharia accounting, future orientation, trust, truth, justice
ABSTRAK
Tidak dapat dipungkiri bahwa akuntansi merupakan sebuah informasi yang sangat
dibutuhkan dalam pencatatan transaksi keuangan perusahaan. Informasi tersebut merupakan
sesuatu yang menyesuaikan situasi dan kondisi yang benar-benar terjadi. Namun pada
kenyataanya, saat ini masih banyak informasi yang tidak sesuai di dalam sistem akuntansi.
Maka dari itu, pembahasan ini bertujuan untuk menganalisis perwujudan dari sistem
akuntansi berbasis syariah yang memiliki prinsip nilai-nilai amanah, kebenaran, serta
keadilan yang dapat mengatasi hal-hal yang tidak sesuai di dalam informasi tersebut serta
orientasinya di masa depan.
Kata kunci: akuntansi syariah, orientasi masa depan, amanah, kebenaran, keadilan
I. PENDAHULUAN
Kata perubahan sepertinya tak asing lagi diucapkan maupun didengarkan. Perubahan
adalah sesuatu yang pasti akan terjadi dalam kehidupan ini. Sebagai contoh, umur seseorang
setiap hari berubah, bertambah seiring berjalannya waktu. Demikian pula yang terjadi di
dalam perekonomian dunia. Sistem ekonomi konvensional telah mencetuskan perubahan
dengan adanya sistem ekonomi syariah. Seiring perkembangan masa, nilai-nilai dalam
ekonomi ini menyeret hal di dalamnya seperti adanya bisnis syariah, manajemen syariah,
juga perbankan syariah. Segala aspek yang berbau konvensional ini kemudian diubah ke
syariah meskipun pada dasarnya, konvensional tetap ada dan tetap bertahan. Tak
2
mengherankan jika proses pencatatan transaksi ekonomi perusahaan dapat berubah pula
sistemnya. Proses tersebut ialah proses yang disebut dengan akuntansi.
Akuntansi merupakan disiplin ilmu pengetahuan dan praktik yang an ever-changing
discipline, artinya berubah terus menerus sepanjang masa. Perubahan tersebut adalah fakta
sejarah yang tidak dapat dibantah. Pada masa Babylonia misalnya, tentu sangat berbeda
dengan akuntansi pada masa awal Islam, atau masa Luca Pacioli, atau masa sekarang.1
Perubahan yang sangat identik ini sangat terasa, berubah mengikuti perkembangan ilmu di
tiap masa. Setiap perubahan meskipun baik, pasti ada celah-celah yang bersifat
“kekurangan”. Pada dasarnya, akuntansi zaman ini memang terlihat lebih baik dan modern,
tetapi perlu diketahui bahwa terdapat akar kelemahan yang juga merupakan kekurangan dari
akuntansi modern. Akuntansi modern yang terkenal dengan istilah akuntansi konvensional
ini memiliki kelemahan pada sifat egoisme. Akuntansi modern hanya mengakui peristiwa-
peristiwa ekonomi yang terjadi dalam perusahaan, dan sifatnya juga private, seperti private
benefits. Tetapi, justru ia menegasikan public benefits. Tidak hanya itu, hal ini juga terlihat
pada orientasi akuntansi untuk melaporkan laba kepada shareholders. Akibatnya, dalam
realita ini banyak terjadi kasus fraud dan manipulasi data yang disebabkan egoistik tersebut.
Seorang akuntan hanya bertugas mencatat atas apa yang ia terima dari data yang ada,
manajemen perusahaanlah yang mengetahui asal-usul data tersebut. Manajemen perusahaan
hanya memikirkan bagaimana perusahaan memperoleh laba sebesar-besarnya, sehingga
manajemen dapat melakukan eksploitasi terhadap para pekerjanya agar laba dapat dihasilkan
secara maksimal demi kepentingan shareholders. Maka manipulasi data pun dapat dilakukan.
Seperti contoh kasus Toshiba yang terjerembab skandal akuntansi sejak tahun 2011 dan
diketahui berbohong mengenai laba sebesar US$ 1,22 Miliar dengan pernyataan kesalahan
perhitungan sejak 2008.2
Egoistik tersebut menjadikan manusia menjadi lupa bahwa sebetulnya dunia dan
materi ini tak akan ada selamanya. Dengan materi, manusia hanya dapat memenuhi
kebutuhan fisiknya saja, dan yang akan kembali nantinya bertemu Tuhan bukanlah fisik
(tubuh), tetapi adalah ruhnya. Kesadaran inilah yang menyebabkan kepatuhan terhadap
Tuhan, Allah SWT. Sadar bahwa segala sesuatu yang diperbuat, Allah SWT selalu
mengetahuinya. Dengan demikian, diperlukan sebuah bentuk akuntansi yang selaras dengan
tujuan tersebut, seimbang antara materi dan spiritual, yaitu Akuntansi Syariah.3 Konsep-
konsep syariah tadi inilah turut menyeret akuntansi masuk ke dalam kategori syariah karena
disadari bahwa konsep syariah berperan besar dalam pengukuran kebenaran dan tetap
berpedoman pada hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnahnya.
Tujuan akuntansi syariah sangat bervariasi, Triyuwono (1995; 1996a; 1997; 2000a),
misalnya, menggunakan teologi pembebasan tauhid-nya menetapkan tujuan akuntansi
syariah sebagai instrument untuk membebaskan manusia dari ikatan jaringan kuasa
1 Iwan Triyuwono, Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori, Edisi 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 3. 2 Berita Toshiba, sumber dari http://finansial.bisnis.com/read/20150721/9/455185/toshiba-diguncang-skandal-akuntansi-senilai-us12-miliar 3 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 6.
3
kapitalisme atau jaringan kuasa lainnya yang semu, dan kemudian diikatkan pada jaringan
kuasa ilahi, dengan informasi yang dihasilkan oleh akuntansi syariah ini akan tercipta realitas
tauhid, yaitu realitas yang sarat dengan jarring kuasa tauhid yang mendorong manusia pada
kesadaran tauhid, sedangkan menurut Harahap (1997: 120) tujuan akuntansi syariah adalah
mengungkapkan kebenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan, dan akuntabilitas dari
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan.4 Dalam perkembangannya, akuntansi
syariah memiliki dua aliran pemikiran, yaitu Akuntansi Syariah Filosofis-Teoritis dan
Akuntansi Syariah Praktis. Aliran yang pertama lebih menekankan pada pengembangan teori
akuntansi syariah berdasarkan pada nilai-nilai filosofis islam secara murni dan bertujuan agar
penggunanya terbebas dari realitas materi yang semu untuk kemudian meningkatkan diri
pada realitas tauhid dimana konsep ini terkandung dalam kalimat Laa ilaa ha illa Allah,
sedangkan aliran kedua lebih menekankan kepada kebutuhan praktis dunia usaha tanpa
memerhatikan nilai-nilai dasar syariah lebih mendalam, aliran kedua pada dasarnya
merupakan akuntansi modern yang dimodifikasi sepertinya dengan nilai syariah untuk
memenuhi kebutuhan pragmatis dunia usaha.5 Pada dasarnya, kedua aliran tersebut memiliki
tujuan yang sama untuk kemaslahatan umat, namun hanya saja berbeda pada nilai-nilai murni
dan pemodifikasian.
Jauh sebelum adanya konsep akuntansi syariah, Al-Qur’an sudah lebih dahulu
membahas mengenai pencatatan transaksi dalam bentuk yang lebih konkret, hal ini dijelaskan
dalam QS Al-Baqarah [2] : 282 yang dapat disimpulkan bahwa akuntansi syariah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari trilogi iman (faith), ilmu (knowledge), dan amal (action),
artinya wujud keimanan seseorang harus diekspresikan dalam bentuk perbuatan (amal)
dimana perbuatan tersebut harus didasari dan dituntun oleh ilmu (dalam hal ini yaitu
akuntansi syariah).6 Akuntansi syariah juga ditempatkan dalam tafsir pembebasan dengan
nilai-nilai universal seperti egaliter, keadilan, ekologis dan anti terhadap bentuk penindasan
baik penindasan antara manusia maupun dengan alam. Tafsir pembebasan ini bersifat
revolutif, tidak terjebak pada model reformatif yang cenderung hanya mengakomodir isu
“etika” untuk dikonfrontasikan dengan akuntansi kapitalisme, sebab kapitalisme menguat
bukan karena pengenduran etika, melainkan sebaliknya.7 Berkaitan dengan tafsir
pembebasan dengan nilai-nilai keadilan, konstruksi akuntansi syariah ini diasumsikan pada
hakikat diri manusia yang sejati dan pemahaman aspek ontologi yang lebih lengkap bila
dibandingkan dengan akuntansi modern. Dalam konstruksi akuntansi syariah, hakikat diri
manusia dan pandangan ontologis terhadap realitas adalah dua hal yang sangat penting,
karena hakikat diri akan memengaruhi cara pandang seseorang terhadap realias yang ia
hadapi. Dengan mempersepsikan diri sendiri sebagai homo economicus, misalnya, akan
mengantarkan orang tersebut untuk melihat realitas dari sudut pandang ekonomi (materi)
saja. Akibatnya tindakan-tindakan yang dilakukan cenderung mengarah pada pembentukan
realitas yang berkonsentrasi pada ekonomi. Tentu saja hal ini sangat berbeda bila seseorang
4 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 29. 5 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 33. 6 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 14. 7 Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme: Sejarah Kemunculan dan Ramalan Tentang Perkembangan Kultur Indusrial Kontemporer Secara Menyeluruh, Terjemahan oleh Utomo dan Yusup, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. Xxxv.
4
mempersepsikan dirinya sebagai Khalifatullah fil Ardh.8 Dengan persepsi semacam ini, ia
secara etis mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh makhluk,9
dengan jalan amr ma’ruf nahy munkar.10 Pencapaian akan hakikat diri ini dapat dilakukan
dengan melakukan proses dialektik dalam dirinya sendiri yang melibatkan akal dan hatinya.
Dengan asumsi semacam itu, seorang akuntan tidak hanya diminta secara kritis melihat dan
mengerti hubungan antara akuntan itu sendiri dengan apa yang harus dia
pertanggungjawabkan (accounted for) (Morgan, 1988: 484), tetapi juga dituntut akuntansi
macam apa yang harus dia ciptakan dan bagaimana menciptakannya.11
Seorang akuntan juga diharuskan bersikap amanah. Sebagaimana rupanya, akuntansi
ini sudah mulai digunakan islam sejak abad 6 M dimana Muslim telah memiliki konsepsi
tentang akuntansi yang mengatur model dan sistem pencatatan atas pendistribusian zakat.
Seiring dengan lahirnya Baitul Maal sebagai institusi yang menaunginya.12 Sebab dalam
Islam, dipahami bahwa akuntansi bukan hanya sebagai kebutuhan, melainkan ia juga adalah
perintah Tuhan (Allah SWT).13
II. PEMBAHASAN
Perubahan sistem konvensional akuntansi menjadi syariah, ternyata bukanlah suatu
ilmu baru. Islam sudah lebih dahulu menerapkan pencatatan transaksi keuangan. Hal ini
ditemukan dari peradaban Islam pertama yang sudah memiliki “Baitul Maal” yang
merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “Bendahara Negara” serta menjamin
kesejahteraan sosial. Masyarakat muslim sejak itu telah memiliki jenis akuntansi yang
disebut “Kitabat al-Amwal” (Pencatatan uang). Di pihak lain istilah akuntansi juga telah
disebutkan dalam beberapa karya tulis umat Islam. Tulisan ini muncul lama sebelum double
entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia pada tahun 1949. Double entry Lucas ini
merupakan asal double entry book keeping yang sekarang dipakai kalangan perusahaan dan
para pekerja akuntansi. Double entry ini muncul karena beberapa faktor, diantaranya menurut
Littelon yang mengakui double entry muncul karena persyaratan penyajian yang berkaitan
dengan masalah materi dan bahasa. Persyaratan materi mencakup pribadi, modal,
perdagangan dan kredit. Sementara persyaratan bahasa, berkaitan dengan tulisan, uang, dan
perhitungan.
Meskipun kedua persyaratan tersebut telah dipenuhi dengan baik, namun keduanya
tidak dapat menjamin percepatan pertumbuhan double entry pada masa itu. Bahkan dapat
dikatakan bahwa double entry telah gagal menjadi suatu hal yang penting pada masanya. Hal
ini disebabkan karena energi dan intensitas yang diperlukan masih kurang. Adapun faktor
8 QS. Al-Baqarah [2]: 30 9 QS. Al-Anbiya [21]: 107 10 QS. Ali ‘Imran [3]: 110 11 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 402-403. 12 Sofyan Syaifri Harahap, Akuntansi dalam Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004, hal. 122-123. 13 QS Al-Baqarah: 282
5
yang menyebabkan terjadinya percepatan perkembangan akuntansi hingga sekarang
diantaranya adalah:
1. Adanya motivasi awal yang memaksa orang untuk mendapatkan keuntungan besar
(maksimalisasi laba).
2. Pengakuan pengusaha akan pentingnya aspek sosial yang berkaitan dengan persoalan
maksimalisasi laba. Dalam hal ini pemimpin perusahaan harus membuat keputusan
yang menjaga keseimbangan antara keinginan perusahaan, pegawai, langganan,
supplier, dan masyarakat umum.
3. Bisnis dilakukan dengan peranan untuk mencapai laba sebagai alat untuk mencapai
tujuan bukan “akhir suatu tujuan”. Dengan pernyataan lain, laba bukanlah tujuan
akhir dari suatu aktivitas bisnis, tetapi bisnis dilakukan untuk memperluas
kesejahteraan sosial. Dengan demikian, akuntansi akan memberikan informasi yang
secara potensial berguna untuk membuat keputusan ekonomi dan jika itu diberikan
akan memberikan perluasan kesejahteraan sosial.
Percepatan pertumbuhan akuntansi tersebut tidak selamanya memberikan jalan lurus.
Pasang surut juga terjadi dalam alur sejarah akuntansi. Pada tahun 1970-an, anggapan
akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-free) sudah
mulai digoyangkan keberadaannya. Keadaan ini semakin kuat karena adanya kecenderungan
perilaku masyarakat yang terbawa arus era informasi dan globalisasi. Kemudian sejak tahun
1980-an, mulai ada perhatian dari para peneliti dalam memahami akuntansi dengan
pengertian yang lebih luas. Perhatian ini muncul karena pada kurun waktu lalu, akuntansi
telah dipahami sebagai prosedur nasional yang menyediakan informasi yang bermanfaat
untuk pengambilan keputusan dan pengendalian. Namun di zaman sekarang, terjadi
perubahan terhadap keberadaan akuntansi. Akuntansi yang dahulu dianggap sebagai sebuah
prosedur, akhirnya dipandang sebagai suatu entitas yang berubah. Maksudnya adalah,
akuntansi selalu mengalami perubahan setiap waktu tergantung di mana lingkungan ia hidup
dan dipraktikkan. Tricker secara tegas menyatakan bahwa “(bentuk) akuntansi sebetulnya
tergantung pada ideologi dan moral masyarakat. Akuntansi tidak bebas nilai. Akuntansi
adalah anak dari budaya (masyarakat).” Pandangan ini jelas memberikan implikasi terhadap
studi akuntansi kontemporer.14
Islam sebagai sebuah ideologi, masyarakat, dan ajaran, tentunya sangat sarat dengan
nilai. Dengan demikian bangunan akuntansi yang berlaku dalam masyarakat Islam tentunya
harus menyesuaikan diri dengan karakteristik Islam itu sendiri. Namun perlu diketahui,
bahwa universalitas ajaran Islam tentunya dapat dijadikan acuan secara menyeluruh bagi
semua kelompok masyarakat, baik Timur maupun Barat, Islam maupun non-Islam.
Akuntansi syariah (Triyuwono dan Gaffikin, 1996) merupakan salah satu upaya
mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Yang
menjadi tujuan dari akuntansi syariah ini adalah terciptanya peradaban bisnis dengan
wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal. Konsekuensi ontologis
dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari
ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian
14 Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah, Jakarta: Salemba Empat, 2002, hal. 8-10.
6
memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa
ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari (ontologi tauhid). Dengan cara
demikian, realitas alternatif diharapkan akan dapat membangkitkan kesadaran diri (self-
consciousness) secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang pada kuasa ilahi.
Dan dengan kesadaran diri ini pula, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dimensi
waktu dan tempat di mana ia berada. Jadi, dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang
dikonstruk mengandung nilai tauhid dan ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa ilahi, yang
semuanya dilakukan dengan meta-perspektif, yaitu perspektif Khalifatullah fil Ardh (suatu
cara pandang yang sadar akan hakikat diri manusia dan tanggung jawab kelak di kemudian
hari di hadapan Tuhan Yang Maha Esa).15
Munculnya akuntansi syariah ini didorong oleh berbagai hal seperti:
1. Meningkatnya religiousity masyarakat.
2. Meningkatnya tuntunan kepada etika dan tanggung jawab sosial yang selama ini
tampak diabaikan oleh Akuntansi Konvensional.
3. Semakin lambatnya Akuntansi Konvensional mengantisipasi tuntutan masyarakat
khususnya mengenai penekanan pada keadilan, kebenaran, dan kejujuran.
4. Kebangkitan umat Islam khususnya kaum terpelajar yang merasakan kekurangan
yang terdapat dalam kapitalisme Barat. Kebangkitan Islam baru terasa setelah
beberapa negara yang penduduknya beragama Islam, merdeka lima puluh tahun yang
lalu seperti Mesir, Arab Saudi, India (Pakistan dan Bangladesh), Iran, Irak, Indonesia,
Malaysia, dan lain sebagainya. Negara baru ini tentu siap dengan pembangunan
SDM-nya dan lahirlah penduduk muslim yang terpelajar dan mendapatkan ilmu dari
Barat. Dalam akulturasi ilmu ini maka pasti ada beberapa kontradiksi dan di sinilah
ia bersikap. Dan mulai merasakan perlunya digali keyakinan akan agamanya yang
dianggapnya konprehensif. Sehingga dalam akuntansi lahirlah ilmu Akuntansi Islam
ini. Dalam Asia Megatrends, Naisbitt (1995:102) mengemukakan:
“Kebangkitan Islam, sebagaimana juga agama lain, sebagian disebabkan reaksi
terhadap modernisasi dan pengaruh luar lainnya. Dalam 25 tahun terakhir ini terlihat
pertumbuhan Islam yang taat sangat menakjubkan”….Para remaja mengamalkan
agama dengan kegiatan yang lebih intensif.”
5. Perkembangan atau anatomi disiplin akuntansi itu sendiri.
6. Kebutuhan akan sistem akuntansi dalam lembaga bisnis syariah seperti Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Trading, dan lain-lain.
7. Kebutuhan yang semakin besar pada norma perhitungan zakat dengan menggunakan
norma akuntansi yang sudah mapan sebagai dasar perhitungan.
8. Kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban, dan pengawasan harta umat
misalnya dalam Baitul Maal atau kekayaan milik umat Islam atau organisasinya.
Sebagaimana sudah tersirat di atas, dapat diambil pernyataan bahwa akuntansi
syariah merupakan disiplin ilmu, bukan masalah keyakinan atau masalah tata cara ibadah
ritual sebagaimana sering diduga banyak orang. Mempelajari akuntansi syariah sudah
15 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 216.
7
merupakan keharusan dalam ekonomi yang semakin global ini. Hal ini misalnya didorong
oleh:
1. Munculnya kesadaran orang membayar zakat baik zakat pribadi maupun zakat
perusahaan.
2. Munculnya berbagai yayasan atau organisasi Islam yang memerlukannya.
3. Semakin banyaknya lembaga bisnis yang menerapkan syariat Islam akan
memerlukan akuntansi syariah dan tenaga yang menguasainya. Keberadaan lembaga
ini tentu membuka peluang untuk masyarakat luas bekerja sama dengan lembaga ini.
Misalnya jika ada bank yang dijalankan secara syariah seperti Bank Muamalat maka
bank lain atau perusahaan lain yang ingin meminjam atau ingin bekerja sama, join
financing, pinjaman, atau sindikasi maka mau tidak mau perlu mengetahui sistem
akuntansi lembaga yang ingin bekerja sama ini.16
Islamisasi Akuntansi
Kalau diyakini bahwa alam semuanya ini diciptakan Tuhan maka tentu juga konsep
akuntansi ini tidak lepas dari kekuasaannya, artinya tidak salah jika konsep itu dijadikan
pedoman dalam merumuskan teori yang Islami. Hal ini berarti bahwa konsep teori akuntansi
yang sekarang dapat dipakai sebagai dasar dan intelektual muslim cukup menjadi tukang
pangkas untuk yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan tukang tambal untuk yang perlu
tambahan dan penekanan sesuai syariat. Hal ini dapat dilihat dari gambaran sebagai berikut.
- Gambar teknik Islamisasi Akuntansi Konvensional:
AKUNTANSI ISLAM (SYARIAH) HASIL CONVERSENSI:
1. AKUNTANSI YANG LAHIR
DARI MASYARAKAT ISLAM
“KAFFAH”
2. AKUNTANSI KAPITALIS YANG
DISESUAIKAN DENGAN SYARIAT
ISLAM
16 Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hal. 10-11.
ISLAM
MASYARAKAT ISLAM
EKONOMI ISLAM
AKUNTANSI ISLAM
8
Akuntansi syariah akan dapat memberikan sumbangan besar pada kemajuan
akuntansi dunia. Islam sebagai rahmatan lil alamiin mestinya juga akan memberikan konsep
akuntansi yang memberikan manfaat untuk sekalian alam. Tanda-tanda ke arah ini sudah
terlihat antara lain dari topik konferensi akuntansu internasional di Adelaide tahun 1994 yang
lalu. Dua ideologi yang saat ini berkembang akan sampai pada satu situasi konvergensi
menuju arah yang benar dan kebenaran itu adalah dari Tuhan dan hukum alam. Dalil ini
secara tepat diakui oleh Stephen Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective
People (1993):
“I believe thet correct principle are natural laws, and that God, the Creator and
Father of us all, is the source of them and also the source of our conscience”.
Sedangkan dalam Al-Quran disebutkan bahwa kebenaran itu adalah dari Allah SWT.
(Al haqqu min rabbikum). Jika akuntansi konvensional dilahirkan dari natural laws dan
akuntansi Islam (syariah) diinspirasi oleh Al-Quran, maka keduanya akan dapat saling
mengisi dan melahirkan konsep menyejahterakan manusia dari seluruh alam. Trend-trend
akuntansi yang mulai berkembang akhir-akhir ini membuktikan kesamaan arah akuntansi
konvensional dengan akuntansi Islam.17
Nilai-nilai Dasar Akuntansi Syariah
Sementara ini akuntansi syariah (lihat Triyuwono, 1995; Triyuwono dan Gaffikin,
1996) masih dalam tataran filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berguna dalam memberikan
arah bagaimana akuntansi syariah bisa dikonstruk. Dengan ditetapkannya dasar-dasar
filosofis ini bukan berarti bahwa bangunan akuntansi syariah diperoleh dengan pendekatan
deduktif (deductive approach) saja, atau pendekatan induktif (inductive approach) saja, atau
pendekatan etika (ethical approach) saja, atau pendekatan sosiologi (sociological approach)
saja, atau ekonomi (economic approach) saja, secara terpisah antara yang satu dengan yang
lain (lihat Belkaoui, 1993: 60-5). Tetapi, secara metodologis, akuntansi syariah memandang
pendekatan-pendekatan di atas tidak mempunyai batas-batas yang tegas (bordeless), dan
17 Sofyan Syafri Harahap, Ibid, 1997, hal. 155.
MASYARAKAT MIX.
EKONOMI MIX.
AKUNTANSI KAPITALIS
SYARIAT ISLAM
UPAYA KITA:
MERUMUSKAN
AKUNTANSI ISLAM
9
bahkan ia menggunakan agama (kitab suci) sebagai salah satu sumber yang digunakan untuk
mengonstruk bangunannya.
Dalam mencari bentuknya, akuntansi syariah berangkat dari suatu asumsi bahwa
akuntansi adalah sebuah entitas yang mempunyai dua arah kekuatan. Artinya, akuntansi tidak
saja dibentuk oleh lingkungannya, termasuk perilaku manusia yang menggunakan informasi
akuntansi (Morgan, 1988). Dari asumsi ini terlihat bahwa akuntansi mempunyai kekuatan
yang besar untuk memengaruhi perilaku manusia (Morgan, 1988: Francis, 1991). Oleh
karena itu, usaha yang dilakukan adalah bagaimana akuntan menciptakan sebuah “bentuk”
akuntansi yang dapat mengarahkan perilaku manusia ke arah perilaku yang etis dan ke arah
terbentuknya peradaban bisnis yang ideal, yaitu peradaban bisnis dengan nilai humanis,
emansipatoris, transendental, teleogikal. Dengan kata lain, tujuan dari akuntansi syariah
adalah menciptakan informasi akuntansi yang sarat nilai (etika) dan dapat memengaruhi
perilaku para pengguna (users) informasi akuntansi ke arahnya terbentuknya peradaban ideal
seperti yang dimaksud di atas. Jadi, nilai yang terkandung dalam akuntansi syariah adalah
nilai yang sama dengan tujuan yang akan dicapainya, yaitu nilai humanis, emansipatoris,
transendental, dan teleogikal.
Akuntansi syariah dengan nilai humanis berarti bahwa akuntansi yang dibentuk ini
ditujukan untuk memanusiakan manusia, atau mengembalikan manusia pada fitrahnya yang
suci. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa praktik akuntansi telah mengakibatkan
perilaku manusia menjadi less humane (lihat Morgan, 1988). Ini tidak berbeda dengan apa
yang dikatakan oleh Kuntowidjojo:
Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat
industrial menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah
kemanusiaan. Kita mengalami objektivikasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin
politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungam
reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial (1991: 289).
Dengan menciptakan “bentuk”-nya yang tertentu akuntansi syariah diharapkan dapat
menstimulasi perilaku manusia menjadi perilaku yang humanis. Keadaan semacam ini akan
semakin memperkuat kesadaran diri (self-consciousness) tentang hakikat (fitrah) manusia itu
sendiri. Kesadaran diri tentang hakikat manusia juga merupakan dasar yang memberi nilai
emansipatoris pada akuntansi syariah. Artinya, akuntansi syariah tidak menghendaki segala
bentuk dominasi atau penindasan satu pihak atas pihak lain. Senada dengan hal ini
Kuntowidjojo mengatakan:
Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran
teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-
sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri (1991: 289).
Dengan kata lain, informasi yang dipancarkan oleh akuntansi syariah menebarkan
angin pembebasan. Ia tidak lagi mementingkan satu pihak dan menyepelekan pihak lain
sebagaimana terlihat pada akuntansi modern, tetapi sebaliknya ia berdiri pada posisi yang
adil.
10
Nilai transdental memberikan suatu indikasi yang kuat bahwa akuntansi tidak semata-
mata instrumen bisnis yang bersifat profan, tetapi juga sebagai instrumen yang melintas batas
dunia profan. Dengan kata lain, akuntansi syariah tidak sengaja sebagai bentuk akuntabilitas
(accountability) manajemen terhadap pemilik perusahaan (stockholders), tetapi juga sebagai
akuntabilitas kepada stakeholders dan Tuhan. Nilai ini semakin mendorong seseorang untuk
selalu menggunakan, atau tunduk dan pasrah terhadap kehendak tuhan (yang terwujud dalam
etika syariah), dalam melakukan praktik akuntansi dan bisnis. Nilai transendental ini juga
mengantarkan manusia untuk selalu sadar bahwa praktik akuntansi dan bisnis yang ia
lakukan mempunyai satu tujuan transendental, yaitu sebagai suatu bentuk penyembahan
(ibadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa yang secara riil diaktualisasi dalam bentuk kegiatan
menciptakan dan menyebarkan kesejahteraan bagi seluruh alam. Nilai inilah yang dimaksud
dengan teleologikal.
Pada tatanan yang lebih “operasional”, akuntansi syariah adalah instrumen yang
digunakan untuk menyediakan informasi akuntansi yang berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
menggunakan nilai etika sebagai dasar bangunan akuntansi, (2) memberikan arah pada, atau
menstimulasi timbulnya, perilaku etis, (3) bersikap adil terhadap semua pihak, (4)
menyeimbangkan sifat egoistik dengan altruistik, dan (5) mempunyai kepedulian terhadap
lingkungan. Dengan nilai dan ciri yang terlihat di atas, maka diharapkan akuntansi syariah
akan mempunyai bentuk yang lebih sempurna bila disbanding dengan akuntansi modern.18
Prinsip Umum Akuntansi Syariah
Prinsip-prinsip dalam akuntansi syariah didasari oleh QS. Al-Baqarah: 28219,
diantaranya yaitu:
1. Prinsip Amanah (pertanggungjawaban atau accountability)
Merupakan konsep “amanah”. Bagi kaum muslim, persoalan amanah
merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khaliq mulai dari alam kandungan.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk menjalankan fungsi-fungsi
kekhalifahannya. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah.
Banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban
manusia sebagai pelaku amanah Allah di muka bumi.20 Implikasi dalam bisnis dan
akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu
melakukan pertanggugjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada
pihak-pihak yang terkait. Wujud pertanggungjawabannya biasanya dalam bentuk
laporan akuntansi.
18 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 218-221. 19 Muhamad, Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 42. 20 Uraian ayat-ayat Al-Quran mengenai prinsip pertanggungjawaban dibahas pada pembahasan prinsip khusus akuntansi syariah poin 1, 2, 3, 5, 7, 9.
11
2. Prinsip Keadilan
Penafsiran lebih lanjut dalam QS. Al-Baqarah: 282 mengandung prinsip
keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai
yang sangat penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan
nilai yang secara inheren melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa
manusia itu pada dasarnya memilki kapasitas dan energy untuk berbuat adil dalam
setiap aspek kehidupannya. Dalam konteks akuntansi, menegaskan kata adil dalam
ayat 282 QS. Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang
dilakukan oleh perusahaan dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah
sebesar Rp. 100 juta, maka akuntansi (perusahaan) akan mencatatnya dengan jumlah
yang sama. Dengan kata lain, tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi
perusahaan.21
Dengan demikian, kata keadilan dalam konteks aplikasi akuntansi
mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama, adalah berkaitan dengan praktik moral,
yaitu kejujuran, yang merupakan faktor yang sangat dominan. Tanpa kejujuran ini,
informasi akuntansi yang disajikan akan menyesatkan dan sangat merugikan
masyarakat. Kedua, kata adil bersifat lebih fundamental (dan tetap berpijak pada
nilai-nilai etika/syariah dan moral). Pengertian kedua inilah yang lebih merupakan
sebagai pendorong untuk melakukan upaya-upaya dekonstruksi terhadap bangun
akuntansi modern menuju pada bangun akuntansi (alternatif) yang lebih baik.
3. Prinsip Kebenaran
Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip
keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akuntansi kita akan selalu dihadapkan pada
masalah pengakuan, pengukuran dan pelaporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan
dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat
menciptakan keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan transaksi-
transaksi ekonomi. Kebenaran di dalam Al-Quran tidak diperbolehkan untuk
dicampurkan dengan kebathilan.22 Namun, barangkali ada pertanyaan dalam diri kita,
siapakah yang berhak menentukan kebenaran? Alat operasional apa yang dapat
dijadikan ukuran tujuan praktis kebenaran? Untuk hal ini tampaknya manusia masih
terkendala. Namun sebagai muslim, selayaknya tidak risau akan hal tersebut. Sebab
Al-Quran telah menggariskan, bahwa ukuran, alat atau instrumen untuk menetapkan
kebenaran tidaklah didasarkan pada nafsu.23
21 Iwan Triyuwono, “Akuntansi Syariah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora Amanah”, Makalah Kuliah Umum, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Surakarta, 1997, hal. 1 22 QS Al-Baqarah: 24. 23 QS An-Najm: 29 dan QS Al-Haqqah: 51.
12
Prinsip Khusus Akuntansi Syariah
Berdasarkan prinsip umum akuntansi syariah yang ketiganya bersumber dari QS. Al-
Baqarah: 282, maka dapat dirasionalisasikan bahwa prinsip khusus akuntansi syariah adalah
sebagai berikut:
1. Dilaporkan secara benar (QS. Yunus: 5)
2. Cepat pelaporannya (QS. Al-Baqarah: 202; QS. Ali Imran: 19; QS. Al-Maidah: 4;
QS. Ar-Ra’du: 41, 14, 51; QS. An-Nuur: 39; QS. Saad: 16; QS. Ghaafir:17)
3. Dibuat oleh ahlinya (akuntan) (QS. Ar-Ra’du: 21, 40; QS. Al-Mu’minun: 117; QS.
Al-Ghasyiyah: 26)
4. Terang, jelas, tegas dan informatif (QS. Al-Israa’: 12; QS. Ibrahim: 41; QS. Al-
Insyiqaq: 8)
5. Memuat informasi yang menyeluruh (QS. Al-An’aam: 52, 39, 10)
6. Informasi ditujukan kepada semua pihak yang terlibat secara horizontal maupun
vertikal (QS. Al-Baqarah: 212; QS. Ali Imran: 27, 37; QS. Ar-Ra’du: 18, 40; QS. An-
Nur: 38; QS. Ash-Shaad: 39; QS. Al-Haqqah: 26)
7. Terperinci dan teliti (QS. Ath-Thalaq: 8)
8. Tidak terjadi manipulasi (QS. Al-Haqqah: 20; QS. An-Naba’: 27)
9. Dilakukan secara kontinu (tidak lalai) (QS. Al-Anbiya’: 1; QS. Ash-Shaad: 26)
Prinsip-prinsip dalam nash-nash di atas dapat diaplikasikan dalam kehidupan di dunia
(khususnya dalam dunia bisnis), yaitu apa yang dilakukan atau apa yang diperbuat oleh
seorang (pengusaha) harus melakukan perhitungan atau pencatatan. Kesemuanya itu akan
digunakan sebagai bahan pertanggungjawaban. Tujuannya adalah untuk menjaga keadilan
dan kebenaran. Artinya prinsip-prinsip tersebut menekankan pada kepentingan
pertanggungjawaban agar pihak yang terlibat dalam transaksi itu tidak dirugikan, tidak
menimbulkan konflik, dan adil. Al-Quran melindungi kepentingan masyarakat dengan
menjaga terciptanya kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, tekanan akuntansi syariah
bukanlah pengambilan keputusan tetapi pertanggungjawaban (amanah atau
accountability).24
Akuntansi Syariah Sebagai Orientasi Masa Depan
Ilmu pengetahuan modern memiliki kelemahan fundamental, yaitu membersihkan
dirinya dari aspek etika, aspek normatif, dan aspek spiritual. Akibatnya, ilmu pengetahuan
(termasuk akuntansi di dalamnya) menjadi steril (bebas dari nilai). Selanjutnya, peradaban
manusia sebagai aktualisasi ilmu, juga menjadi terasa kering dan hampa. Posmodernisme
mencoba untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ditampakkan oleh modernism. Dengan
pendekatannya yang sangat terbuka, posmodernisme menyajikan peluang yang sangat besar
bagi dibangunnya bentuk ilmu pengetahuan yang lebih holistic. Posmodernisme memberikan
24 Muhammad, Ibid, 2002, hal. 62.
13
peluang masuknya perasaan, intuisi, nilai-nilai agama, kreativitas, dan lain-lainnya dalam
proses konstruksi ilmu pengetahuan.
Melalui posmodernisme ini, pendekatan islamisasi ilmu pengetahuan mendapatkan
pembenaran keilmuan. Islamisasi ilmu pengetahuan tentu saja menggunakan nilai-nilai Islam
(yang dalam modernism ditolak) sebagai basis konstruksinya. Demikian halnya dengan
proses konstruksi akuntansi syariah. Sebagai sebuah alternative, konstruksi akuntansi syariah
dapat mengikuti pola Islamisasi ilmu pengetahuan orientasi masa depan yang melingkupi
aspek: (1) keterbukaan (inclusiveness), (2) realitas dan realitas tertinggi (reality and ultimate
reality), (3) subjek (al-nafs al-muthmainnah), (4) “ilmu pengetahuan sakral” (sacred
knowledge), dan (5) kesatuan dari “diri” (self), “ilmu pengetahuan sakral”, dan aksi (the unity
of self, “sacred knowledge”, and action). Kelima aspek ini sangat membantu dalam proses
konstruksi akuntansi syariah. Aspek ini tidak hanya menyangkut bagaimana akuntansi
syariah dibangun, tetapi juga menyangkut bentuk pribadi subjek yang muthmainnah, bentuk
disiplin akuntansi syariah yang sakral, dan tindakan nyata untuk melakukan perubahan.25
Aspek keterbukaan memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam memperkaya
perbendaharaan ilmu pengetahuan Islam. Oleh karena itu, untuk orientasi masa depan
Islamisasi ilmu pengetahuan, prinsip “keterbukaan” (inclusiveness) sama sekali tidak dapat
diabaikan.26 Sementara itu, aspek realitas dan realitas tinggi dapat mengarahkan orientasi
Islamisasi pada konstruksi ilmu pengetahuan yang holistic. Ini juga merupakan jenis ilmu
pengetahuan yang mempelajari tidak saja realitas materi, tetapi juga realitas psikis, spiritual,
dan bahkan juga dihubungkan dengan Asma’ Sifatiyyah dan Realitas Tertinggi dan Absolut.27
Pemahaman kita tentang keterbukaan (inclusiveness), realitas, dan “diri” (self) tidak dapat
dipandang secara independen dari fitrah manusia, yaitu “kapasitas pemberian Tuhan atau
kecenderungan untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya” (tauhid) (Mohamed,
1995: 2). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh metodologi Islam akan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengarahkan manusia untuk percaya pada,
atau memperkuat keimanan mereka pada Tuhan. Karakteristik “ilmu pengetahuan sakral” ini
yang sebetulnya membedakan dirinya dengan ilmu pengetahuan modern. Karakteristik
tersebut memiliki kekuatan untuk menstimulasi dan membangkitkan fitrah manusia yang
telah tertutupi oleh debu-debu sejarah kehidupan modern. Dan aspek yang terakhir yaitu
kesatuan dari “diri” (self), “ilmu pengetahuan sakral”, dan aksi (the unity of self, “sacred
knowledge”, and action) adalah membangkitkan fitrah manusia yang secara inheren tertanam
pada bagian dalam “diri” (self). Ketika “diri” (self), menginternalisasikan nilai-nilai “ilmu
pengetahuan sakral”, maka nilai-nilai tersebut akan mengangkat “diri” (self) pada tingkat
yang lebih tinggi, misalnya ke tingkat al-nafs al-lawwamah, atau al-nafs al-muthmainnah.
Titik pusat fitrah manusia yang merupakan sasaran internalisasi “ilmu pengetahuan sakral”
adalah keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid). Ketika “diri” (self) mengambil
posisi yang lebih tinggi, maka kualitas “ilmu pengetahuan sakral” yang dibangun oleh “diri”
(self) yang bersangkutan juga akan meningkat. Tentu usaha ini dijembatani oleh aksi (action)
yang dilakukan oleh “diri” (self) tadi. Tanpa aksi tak ada sesuatu apa pun yang terjadi. Cita-
25 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 287. 26 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 276. 27 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 279.
14
cita umat muslim di sini adalah bahwa kesatuan antara “diri” (self), “ilmu pengetahuan
sakral”, dan aksi akan membentuk kepribadian “diri” (self) dan karakter masyarakat ilmiah
yang bertauhid. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan tidak saja diarahkan pada
penciptaan “ilmu pengetahuan sakral”, tetapi juga terbentuknya kepribadian dan masyarakat
yang bertauhid.28
III. KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis melalui pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa akuntansi syariah adalah hal yang sangat penting untuk diterapkan dalam proses
pencatatan transaksi perusahaan pada masa kini dan masa depan. Hal tersebut dikarenakan
akuntansi syariah memiliki prinsip berupa amanah (accountability atau tanggung jawab),
keadilan, dan kebenaran. Dengan prinsip tersebut, maka proses pencatatan keuangan akan
lebih mudah dilacak asal-usulnya. Selain itu, akuntansi syariah juga bebas dari hal-hal yang
berbau kapitalis seperti sistem konvensional saat ini. Berpedoman pada QS. Al-Baqarah: 282,
melalui ayat tersebut, akuntansi syariah sepertinya dirancang untuk menyempurnakan sistem
akuntansi yang saat ini sifatnya lebih memikirkan duniawi. Akuntansi syariah hadir untuk
menyeimbangkan material dan spiritual. Pencatatan murni, tidak ada fraud, manipulasi data,
dan hal-hal lain yang tidak diinginkan serta merugikan.
Akar-akar sistem akuntansi syariah ini bahkan sudah ada sebelum ditemukan double
entry book keeping di Italia oleh Lucas Pacioli. Dilihat ke belakang, dahulu ternyata umat
Islam sudah menggunakan metode pencatatan transaksi keuangan pada Baitul Maal yang
berfungsi sebagai bendahara negara. Jenis akuntansi yang dipakai saat itu oleh umat Islam
adalah “Kitabat Al-Amwal” (Pencatatan Keuangan). Hal-hal inilah yang menjadi dasar dari
akuntansi syariah masa kini. Dengan banyaknya kemunculan lembaga keuangan di dunia saat
ini (khususnya negara-negara muslim dan mayoritas muslim), hal tersebut menjadi pemicu
terus berkembangnya akuntansi syariah pada masa kini dan masa depan nantinya. Di masa
depan, mungkin saja sistem akuntansi syariah sudah diterapkan di semua perusahaan dunia
menggantikan sistem konvensional karena karakteristiknya yang membuat perusahaan
menjadi lebih berakhlak serta tetap menjaga eksistensi di mata dunia dan di mata Tuhan.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme: Sejarah Kemunculan dan
Ramalan Tentang Perkembangan Kultur Indusrial Kontemporer Secara
Menyeluruh. Terjemahan oleh Utomo dan Yusup. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
QS. Al-Baqarah [2]: 30
QS. Al-Anbiya [21]: 107
28 Iwan Triyuwono, Ibid, 2015, hal. 285-286.
15
QS. Ali ‘Imran [3]: 110
Triyuwono, Iwan. 2015. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Edisi 2.
Jakarta: Rajawali Pers.
Harahap, Harahap, Sofyan Syafri. 2004. Akuntansi dalam Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
QS Al-Baqarah: 282
Muhamad. 2000. Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Al-Quran. Yogyakarta: UII Press.
Triyuwono, Iwan. 1997. Akuntansi Syariah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format
Metafora Amanah. Makalah Kuliah Umum, Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Surakarta.
QS Al-Baqarah: 24
QS An-Najm: 29
QS Al-Haqqah: 51
Muhammad. 2002. Pengantar Akuntansi Syariah. Jakarta: Salemba Empat.
Harahap, Sofyan Syafri. 1997. Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
http://finansial.bisnis.com/read/20150721/9/455185/toshiba-diguncang-skandal-akuntansi-
senilai-us12-miliar