PERMUKIMAN MASA PRASEJARAH DI SULAWESI UTARA ...

12
60 Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani PERMUKIMAN MASA PRASEJARAH DI SULAWESI UTARA Prehistoric Settlement in North Sulawesi Ipak Fahriani Balai Arkeologi Sulawesi Utara Jalan Pingkan Matindas No. 92 Manado [email protected] Abstract North Sulawesi is one of the regions with a diversity of potential settlement sites, thus it is interesting to be studied and researched, especially the various activities that have been present in this region in the past. This paper aims to explain the potential distribution of settlement sites in the North Sulawesi region, so the past settlement patterns can be identified, especially during the hunting and food gathering, the food-producing, and the megalith periods in North Sulawesi. Based on the results of the survey and excavation study of Balai Arkeologi Sulawesi Utara, many settlement sites in North Sulawesi were known and identified. The specific, contextual, functional and spatial analysis provides several categories of sites in the region, they are the burial, worship, workshop, and occupancy sites. The conclusion is the distribution of settlement sites in the North Sulawesi region has the potential for further investigation as a study of prehistoric site settlements of Indonesia in general and Sulawesi in particular. Keywords: Settlement Study, burial, workshop, occupancy, settlement Abstrak Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah dengan potensi tinggalan situs permukiman yang cukup beragam, sehingga menarik untuk dikaji dan diteliti, terutama berbagai aktifitas yang pernah hadir di wilayah ini pada masa lampau. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan potensi sebaran situs permukiman yang ada di wilayah Sulawesi utara, sehingga dapat diketahui pola permukiman pada masa lampau, terutama pada masa berburu dan mengumpulkan makanan serta masa bercocok tanam serta masa megalit di Sulawesi Utara. Dari hasil penelitian survei dan ekskavasi Balai Arkeologi Sulawesi Utara, berhasil diketahui dan diidentifikasi beberapa situs permukiman di Sulawesi Utara. Analisis spesifik, kontekstual, fungsional serta analisis keruangan menghasilkan beberapa katagori situs di wilayah ini, yang bersifat penguburan dan pemujaan, perbengkelan, dan hunian. Kesimpulannya adalah sebaran situs permukiman yang ada di wilayah Sulawesi Utara cukup berpotensi untuk diteliti lebih lanjut sebagai salah satu kajian permukiman situs prasejarah yang ada di Indonesia secara umum dan Sulawesi pada khususnya. Kata kunci: Permukiman, penguburan, perbengkelan, hunian, pemukiman PENDAHULUAN Banyak istilah yang berkembang mengenai gambaran tentang pemukiman. Secara umum Istiah pemukiman mengacu kepada tempat orang bermukim, yang secara fisik dapat dilihat dengan mata. Sedangkan permukiman mengacu pada hal-hal yang berkenaan dengan pemukiman, sehingga istilah permukiman lebih luas pengertiannya daripada pemukiman (Moendarjito: 20), atau pendapat lain yang mengatakan pemukiman adalah suatu tempat tinggal sebagai tempat berlangsungnya proses sosialisasi dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai, adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, juga tempat manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (E.P Sobroto 1984:50). Selain itu pendapat dari Bintarto (1977:92), yang dimaksud dengan pemukiman adalah suatu tempat atau daerah dimana penduduk bertempat tinggal atau hidup Bersama dimana mereka membanguan rumah, jalan untuk kepentingan mereka. Bukti-bukti tentang adanya situs pemukiman masa lampau di wilayah Indonesia

Transcript of PERMUKIMAN MASA PRASEJARAH DI SULAWESI UTARA ...

60

Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani

PERMUKIMAN MASA PRASEJARAH DI SULAWESI UTARA Prehistoric Settlement in North Sulawesi

Ipak Fahriani

Balai Arkeologi Sulawesi Utara Jalan Pingkan Matindas No. 92 Manado

[email protected]

Abstract North Sulawesi is one of the regions with a diversity of potential settlement sites, thus it is interesting to be studied and researched, especially the various activities that have been present in this region in the past. This paper aims to explain the potential distribution of settlement sites in the North Sulawesi region, so the past settlement patterns can be identified, especially during the hunting and food gathering, the food-producing, and the megalith periods in North Sulawesi. Based on the results of the survey and excavation study of Balai Arkeologi Sulawesi Utara, many settlement sites in North Sulawesi were known and identified. The specific, contextual, functional and spatial analysis provides several categories of sites in the region, they are the burial, worship, workshop, and occupancy sites. The conclusion is the distribution of settlement sites in the North Sulawesi region has the potential for further investigation as a study of prehistoric site settlements of Indonesia in general and Sulawesi in particular. Keywords: Settlement Study, burial, workshop, occupancy, settlement

Abstrak

Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah dengan potensi tinggalan situs permukiman yang cukup beragam, sehingga menarik untuk dikaji dan diteliti, terutama berbagai aktifitas yang pernah hadir di wilayah ini pada masa lampau. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan potensi sebaran situs permukiman yang ada di wilayah Sulawesi utara, sehingga dapat diketahui pola permukiman pada masa lampau, terutama pada masa berburu dan mengumpulkan makanan serta masa bercocok tanam serta masa megalit di Sulawesi Utara. Dari hasil penelitian survei dan ekskavasi Balai Arkeologi Sulawesi Utara, berhasil diketahui dan diidentifikasi beberapa situs permukiman di Sulawesi Utara. Analisis spesifik, kontekstual, fungsional serta analisis keruangan menghasilkan beberapa katagori situs di wilayah ini, yang bersifat penguburan dan pemujaan, perbengkelan, dan hunian. Kesimpulannya adalah sebaran situs permukiman yang ada di wilayah Sulawesi Utara cukup berpotensi untuk diteliti lebih lanjut sebagai salah satu kajian permukiman situs prasejarah yang ada di Indonesia secara umum dan Sulawesi pada khususnya. Kata kunci: Permukiman, penguburan, perbengkelan, hunian, pemukiman

PENDAHULUAN Banyak istilah yang berkembang

mengenai gambaran tentang pemukiman. Secara umum Istiah pemukiman mengacu kepada tempat orang bermukim, yang secara fisik dapat dilihat dengan mata. Sedangkan permukiman mengacu pada hal-hal yang berkenaan dengan pemukiman, sehingga istilah permukiman lebih luas pengertiannya daripada pemukiman (Moendarjito: 20), atau pendapat lain yang mengatakan pemukiman adalah suatu tempat tinggal sebagai tempat berlangsungnya proses

sosialisasi dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai, adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, juga tempat manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (E.P Sobroto 1984:50). Selain itu pendapat dari Bintarto (1977:92), yang dimaksud dengan pemukiman adalah suatu tempat atau daerah dimana penduduk bertempat tinggal atau hidup Bersama dimana mereka membanguan rumah, jalan untuk kepentingan mereka.

Bukti-bukti tentang adanya situs pemukiman masa lampau di wilayah Indonesia

61

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 60 - 71

cukup banyak dijumpai, tidak terkecuali di wilayah Sulawesi Utara. Pada awal berkembangnya hunian, manusia secara umum, masih memiliki kemampuan berfikir yang amat sederhana, dengan kemampuan teknologi yang masih amat rendah, dan memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam, sehingga pemukiman yang mereka gunakan masih seadanya. Mereka memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam tanpa harus mengubahnya. Berdasarkan pemilihan atas ketersediaan lingkungan, pada masa itu (masa parsejarah, berburu dan mengumpulan makanan) gua atau ceruk menjadi alternatif yang layak dan memadai untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim (R.P Soejono, dkk: 1992), dikarenakan lokasi gua/ceruk cukup representatif sebagai tempat beraktifitas. Namun pemilihan atas penempatan gua/seruk sebagai tempat hunian juga tidak begitu saja dijadikan tempat beraktifitas, tetapi juga terjadi pemilahan dan proses uji coba. Sebuah lokasi gua/ceruk yang akan dijadikan sebagai temat beraktifitas keseharian, biasanya memiliki ukuran yang relatif cukup besar. Ukuran gua/ceruk yang besar akan mempermudah manusia beraktifitas di dalamnya. Biasanya semakin besar gua/ceruk yang ada, maka semakin potensial lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat bermukim. Beberapa hasil penelitian terhadap gua/ceruk yang berukuran cukup besar dengan tinggalan artefaknya, umumnya cukup banyak ditemukan adanya indikasi aktifitas yang cukup beragam di dalamnya, seperti adanya aktifitas seperti memasak, perbengkelan, bahkan beberapa diantaranya terdapat aktifitas penguburan, pada lokasi yang sama.

Berfungsinya sebuah gua/ceruk sebagai tempat hunian kemudian juga dilhat dari mudahnya intensitas cahaya yang masuk dalam gua. Umumnya lokasi permukiman manusia masa lampau di gua memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi, sehingga gua/ceruk cukup terang dan kering untuk beraktifitas. Secara umum amat jarang ditemukan gua/ceruk yang lembab dijadikan sebagai tempat hunian, kecuali untuk aktifitas penguburan. Sumber daya Air tawar dan sumber daya makanan juga kemudian menjadi amat penting dalam pemilihan gua/ceruk sebagai tempat beraktifitas. Umumnya temuan gua/ceruk yang penah menjadi tempat atau lokasi beraktifitas manusia masa lampau berada tidak jauh dari ketersediaan

sumber daya air dan sumber daya makanan, baik daratan maupun lauatan.

Kemudian pada masa selanjutnya, ketika manusia sudah lebih memiliki kemampuan berfikir dan memiliki teknologi yang lebih maju, pemilihan atas permukiman juga mengalami perubahan.Manusia mulai menciptakan bangunan-bangunan sebagai tempat berktifitas sehari-hari. Bangunan sebagai pengganti gua/ceruk dibuat dan disesuaikan dengan selera dan ketersediaan bahan baku yang juga disediakan oleh alam, mulai dari bangunan yang sederhana hingga bangunan yang lebih kompleks.

Tempat yang strategis sebagai tempat permukiman dipilih dengan pertimbangan akan mempermudah manusia dalam beraktifitas. Pemilihan atas permukiman biasanya merpakan daerah atau wilayah yang relative rata, tanahnya subur, dekat dengan sumber daya air tawar, serta merupakan daerah yang cukup aman dari bahaya yang akan mengancam. Situs-situs bekas permukiman yang ditemukan secara umum di Indonesia, selain dilihat dari keruangan berdasarkan ketersediaan sumber daya alam, juga pada beberapa situs permukiman dietemukan adanya artefak-artefak yang merupakan sisa dari aktifitas kehidupan sehari-hari, sisa aktifiyas penguburan/pemujaan, bahkan aktifitas perbengkelan.

Gambar 1. Peta Sulawesi Utara.

(Sumber: https://www.indonesia-tourism.com/north-sulawesi/map.html)

Keragaman tinggalan berupa artefaktual dan non artefaktual pada situs-situs permukiman sangat mungkin diperoleh, mengingat aktifitas yang terjadi di suatu situs permukiman cukup banyak dan beragam. Aktifitas manusia yang berlangsung dalam suatu situs permukiman menyangkut berbagai aspek, seperti aspek hunian, aspek penguburan, bahkan aktifitas

62

Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani

lainnya yang menjadi bagian dari keseharian mereka. Aspek penguburan dalam suatu situs permukiman juga memegang peran penting dalam kehidupan manusia masa lalu. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya kepercayaan yang berkembang pada saat itu. Masyarakat kala itu percaya bahwa manusia yang telah meninggal masih bisa berhubungan dengan manusia yang hidup, dan ketika mereka meninggalkan dunia fana, akan kembali hidup di alam arwah. Oleh karena itu ketika mereka meninggal terjadi perlakuan khusus terhadap prosesi kematianya, dengan melakukan upacara-upacara pada saat penguburan dan menyertakan bekal kubur sebagai penghormatan (R.P Soejono, dkk: 1992).

Berdasarkan data artefaktual dan pendekatan lingkungan, di wilayah Sulawesi Utara terdapat sebaran situs permukiman. Situs dimaksud berasal mulai dari masa berburu dan mengumulkan makanan hingga masa bercocok tanam (Megalitik). Dalam kesempatan ini hanya akan dibahas untuk sebaran permukiman yang berasal dari masa/tradisi prasejarah tersebut di atas. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah dimana dan bagaimana situs permukiman yang terdapat di Sulawesi Utara.

Sesuai dengan permasalahan, tujuan yang akan diungkapkan dalam tulisan ini adalah untuk menampilkan model situs permukiman prasejarah yang ada di wilayah Sulawesi Utara. SITUS PERMUKIMAN DARI MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN

Wilayah Sulawesi Utara, yang merupakan salah stau jalur migrasi kedatangan migran asing dari utara, sehingga cukup banyak situs-situs permukiman yang ditemukan di wilayah ini, terutama di wilayah Kepulauan Talaud. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kepulauan Talaud terhadap gua-gua dan ceruk yang tersebar di wilayah ini, menunjukkan bahwa beberapa gua/ceruk pernah digunakan sebagai tempat beraktifitas pada masa lampau. Penelitian yang dilakukan oleh Bellwood, dkk menunjukkan beberapa gua di wilayah Pulau Karakelang merupakan lokasi pemukiman manusia sejak 4000 SM, sebagai contoh Gua Tuwo Maneé dan Ceruk Antil (hasil penelitian ekskavasi balai arkeologi sulut tahun 2018). Selain pemukiman di Pulau Karakelang juga

ditemukan beberapa gua/ceruk bahkan open site yang diindikasikan sebagai lokasi aktifitas penguburan dan pemujaan.

Gua Tuwo Maneé, terletak di Desa Arangkaa, Kecamatan Esang, Kabupaten Talaud. Gua ini berupa sebuah lahan yang ukup luas (cenderung seperti ceruk yang lebar), dan berada sekitar 50 meter dari bibir pantai. Data hasil kegiatan ekskavasi yang dilakukan di situs ini terdahulu, menunjukkan bahwa aktifitas pemukiman dari masa berburu dan mengumpulkan makanan ditemukan pada lapisan bagian bawah. Artefak yang ditemukan berupa serpih-serpih batu pada setiap lapisan tanah yang dibuka (per spit). Pada lapisan tanah pertama ditemukan serpih batu Bersama dengan fragmen tembikar, fragmen logam, gelang yang terbuat dari tulang dan cangkang kerrang. Pada bagian spit akhir (penggalian hingga spit 20) fragmen tembikar sudah tidak ditemukan (3 spit terakhir). Kegiatan ekskavasi yang dilakukan di situs ini, hingga kedalaman spit 20 atau sekitar lebih dari 2 meter ke dalam tanah temuan berupa cangkang kerrang, yang merupakan bahan makanan manusia penghuni gua tersebut. Fragmen kerrang ini ditemukan dalam jumlah yang cukup melimpah, bahkan pada akhir-akhir penggalian temuan kerang dalaam ukuran yang cukup besar ditemukan dan berjumlah hingga mencapai angka ratusan (Daud Aris T; 1995).

Gua atau ceruk lain yang ditemukan di Pulau Karakelang salah satunya adalah ceruk antil yang berada di Desa Pulutan, Kecamatan Beo Timur. Situs ini merupakan sebuah ceruk yang berukuran tidak terlalu besar, namun memiliki intensitas cahaya yang cukup bagus, permukaan ceruk cukup rata. Berada 50 meter dari garis pantai dan lokasi situs tidak jauh dari sumber mata air tawar, berupa aliran sebuah sungai kecil, yang hingga saat ini masih berfungsi dan digunakan oleh masyarakat Desa Pulutan. Data hasil kegiatan ekskavasi yang dilakukan di situs Antil ini juga menunjukkan bahwa lokasi ini pernah menjadi tempat beraktifitas manusia pada masa lampau. Walaupun hasil ekskavasi tidak terlalu banyak menunjukkan bahwa situs ini berasal dari masa berburu dan mengumpulkan makanan (belum di dating), namun beberapa tingalan yang ditemukan dalam kegiatan survey dilingkungan Desa Pulutan menunjukkan bahwa wilayah sekiar Desa Pulutan pernah dihuni dan menjadi lokasi beraktifitas manusia bahkan pada masa

63

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 60 - 71

berburu dan mengumpulkan makanan. Beberapa artefak seperti alat batu dan beberapa alat dari cangkang kerang yng diduga menjadi alat kebutuhan sehari-hari juga ditemukan di wilayah ini. Hasil ekskavasi yang dilakukan di situs Antil ini menunjukkan aktifitas kehidupan terjadi pada lapisan bagian atas hingga akhir lapisan tanah (bedrock) yang memang tidak terlalu dalam. Lapisan budaya pada situs ini hanya 1 lapisan, dengan berbagai temuan artefactual seperti fragmen tembikar, alat tulang, tulang binatang, cangkang kerang, bahkan pada bagian permukaan situs juga ditemukan sejumlah keramik asing. Yang cukup menarik, temuan berupa cangkang kerrang dari kelas Gastropoda ditemukan cukup melimpah dari setiap spit galian ekskavasi di situs ini. Hasil wawancara dan eksperimental arkeologi menunjukkan bahwa konsumsi bahan pangan dari kerrang ini cukup tinggi pada masa lampau, bahkan hingga saat ini. Karena ternyata kerrang ini merupakan bahan makanan yang cukup favorit dikalangan masyarakat Pulau Karakelang hingga saat ini, karena memiliki gizi cukup tinggi dan rasanya cukup lezat (Ipak F: 2018).

Berdasarkan lingkungan alamnya kedua lokasi situs tersebut di atas merupakan tempat yang tidak jauh dari pantai. Secara umum Pulau Karakelang sepanjang pantai yang mengelilingi pulau memiliki bibir pantai yang cukup landau dan rata, serta bertaburan gua dan ceruk yang terbuat dari alam, dan cukup nyaman serta aman sebagai tempat untuk berteduh dan melakukan berbagai aktifitas. Selain itu pada kedua situs yang menjadi contoh kemungkinan merupakan situs pemukiman juga memiliki indikasi keruangan yang cukup baik, seperti tingginya intensitas cahaya, sehingga membuat situs kering dan tidak lembab, berlimpahnya sumber daya makanan untuk dikonsumsi, ketersediaan air tawar dan lainnya. Hasil penelitian hingga saat ini, dapat disimpulkan bahwa kedua situs yang ditemukan di atas merupakan cikal bakal lokasi hunian manusia awal yang berada di Pulau Karakelang pada masa lampau. Pada masa itu kelangsungan hidup manusia mash amat sederhana dan amat tergantung dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada, sehingga apa yang disediakan oleh alam, itu yang akan dieskploitasi dalam aktifitas keseharian mereka. Mereka memilih gua atau ceruk sebagai tempat berteduh yang cukup memadai. Dalam kegiatan beraktifitas mereka

juga mempergunakan sumber daya yang telah disediakan, dengan membuat alat-alat dari batu, tulang dan kerrang sebagai bahan dasarnya. Alat-alat ini dibuat masih amat sederhana dan massif. Alat-alat ini dipergunakan selayaknya alat seperti pisau untuk mengiris, alat untuk menusuk, melubangi dan lainnya. Ketersediaan bahan makanan juga tidak menjadi kendala bagi manusia yang menghuni gua/ceruk, mengingat ketersediaan bahan makanan yang cukup melimpah, baik yang berasal dari laut maupun dari daratan.

Kehidupan manusia pada masa itu masih nomaden atau berpindah-pindah, dari satu wilayah ke wilayah lainnya di kepulauan Karakelang, pemilihan lokasi hunian juga dilakukan oleh merka, dimana sumber daya alam dan lingkungan lebih baik, mereka akan berpindah dan mencari tempat yang lebih nyaman dan baik.

SITUS PERMUKIMAN DARI MASA BERCOCOK TANAM

Selanjutnya pada masa bercocok tanam, permukiman di wilayah Sulawesi Utara semakin bervariasi dan kompleks. Situs-situs masa bercocok tanam, terutama yang ada di Indonesia umumbya berada masih dalam gua/ceruk, bahkan pada situs terbuka yang berada di pinggir pantai, danau atau tepi sungai, dengan ciri luasnya persebaran penggunaan wadah-wadah tembikar yang terbuat dari tanah liat, dan alat-alat dari batu yang sudah halus. Pada masa bercocok tanam temuan artefak berupa fragmen tembikar cukup mendominasi sebaran situs masa ini di Indonesia secara umum dan wilayah Sulawesi Utara pada khususnya.Situs-situs yang berasal dari masa itu adalah situs gua/ceruk dan situs terbuka. Situs gua/ceruk kita temukan di wilayah Kepulauan Talaud, seperti Gua Tuwo mane dan ceruk antil, situs Gua wurro dan Situs terbuka bulude di Desa Makatara. itu situs terbuka lainnya juga ditemukan di wilayah Sulawesi Utara lainnya, yaitu di Minahasa, seperti situs passo, Sinuian, situs Tumalun, situs Matuluntung, dan di wilayah Bolaang Mongondow di situs Guaan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal situs Tuwo mane, terutama pada spit-spit awal banyak ditemukan fragmen tembikar. Berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di situs tersebut, menunjukkan bahwa Gua Tuwo mane merupakan gua yang dibunakan pada masa

64

Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani

berburu dan mengumpulkan makanan sampai pada masa bercocok tanam. Data artefaktual yang ditemukan dalam ekskavasi seperti fragmen tembikar yang merupakan bagian dari sebuah wadah, gelang dari kerrang, serpih seprih batu, dan sisa makanan berupa cangkang kerrang, menunjukkan bahwa situs yang berupa gua/ceruk masih layak untuk dipergunakan sebagai tempat beraktifitas. Hal ini dimungkinkan karena di wilayah Sulawesi Utara cukup banyak ditemukan bentukan-bentukan alan seperti gua dan ceruk yang cukup memadai dan representatif digunakan sebagai tempat beraktifitas. Berdasarkan kuantitas temuan fragmen tembikar hasil ekskavasi di situs Tuwo Maneé menunjukkan penggunaan wadah yang terbuat dari tanah liat tersebut cukup tinggi pada masa itu. Sementara itu konsumsi atas kerang atau hasil laut tetap ada dari waktu ke waktu. Situs lainnya adalah Situs Antil, Desa Pulutan, kecamatan Pulutan, Pulau Karakelang. Situs ini berdasarkan hasil temuan ekskavasi menunjukkan bahwa situs ini telah dihuni cukup lama, walaupun hanya merupakan tempat persinggahan manusia saat itu, namun pada masa kemudian lokasi ini tetap menjadi tempat persinggahan manusia pada masa selanjutnya. Berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di situs Antil, diketahui bahwa sebaran tinggalan fragmen tembikar cukup banyak ditemukan dengan variasi bagian wadah tertentu (Ipak F: 2018).

Gambar 2. Situs Antil, Desa Pulutan, Kecamatan

Pulutan, Pulau Karakelang dan temuan artefak fragmen tembikar di Situs Antil tersebut.

(Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Indikasi permukiman lainnya yang ditemukan di Kepulauan Talaud adalah Situs Gua Wurro. Situs ini tepatnya berada di Desa Tuabatu, Kecamatan TanpaAma, atau tepatnya pada N: 04º18’34.9” dan E: 126º53’31.6”. Penamaan Wurro sendiri dalam Bahasa loal dapat diartikan sebagai perselisihan. Luas Gua

Wurro ini cukup besar, secara keseluruhan berukuran panjang 17,80 meter dan lebar 17 meter. Sedangkan bagian pintu atau mulut gua berukuran panjang 16, 2 meter dan lebar 6,50 meter, dengan ketinggian 4,50 meter dari lantai gua.

Intensitas cahaya yang masuk ke dalam gua cukup banyak, karena gua memiliki arah hadap kearah timur, menghadap pantai samudera pasifik bagian timur, sehingga gua cukup terang. Kenampakan permukaan gua tidak terlalu rata, cukup landau, namun cenderung bisa digunakan sebagai tempat untuk beraktifitas.

Secara umum permukaan gua merupakan tanah yang bercampur dengan pasir dan kerrang-kerang laut yang sudah hancur (remuk). Kenampakan dalam gua cukup luas, dengan ruang yang cukup lebar, dengan langit-langit yang cukup tinggi juga. Beberapa sisa aktifitas kehiduan masa lampau yang ditemukan di areal sekitar gua berupa sisa fragmen tembikar, dan pecahan tengkorak manusia yang sudah mengeras. Fragmen tengkorak kepala tersebut sedang dalam penelitian lebih lanjut untuk diketahui jenis dan usianya, serta keberadaanya yang terpapar di permukaaan dalam gua.

Gambar 3. Temuan sisa manusia (tengkorak

kepala), Gua Wurro, Toa Batu, Kec. Tampan Ama. (Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Menurut Harry Widianto seorang Paleontolog Indonesia dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengatakan bahwa temuan fragmen tersebut adalah bagian parietal sebelah kiri. Ada dua kemunkinan proses transformasi parietal tersebut; pertama adalah akibat tercecernya sisa manusia biasanya tulang-tulang paha, kering, ataupun panggul, sebagai akibat penguburan kedua yang diletakan di dalam ceruk-ceruk gua, seperti yang terjadi pada suku Dayak di Kalimantan. Kemungkinan kedua adalah akibat abrasi pantai sehingga terjadi pengikisan pada lapisa permukaaan gua sehingga menyebabkan apa yang ada atau kubur yang ada di dalamnya dapat tercecer (Ipak F: 2019).

Pengamatan pada konteks temuan dan media tempat parietal ditemukan, dimana lantai

65

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 60 - 71

gua Wurro di beri para-para dari kayu bagi pembuat kopra, dan adanya temuan serupa pada ceruk-ceruk kecil di gua tersebut serta cerita dari pemilik gua yang menyatakan ada seorang penduduk yang ingin dimakakmna di gua tersebut, maka ada kecenderungan proses tarnsformasi yang terjadi adalah akibat tercecernya pada waktu penyimpanan di ceruk-ceruk. Peter Bellwood yang meneliti gua Buidane di Pulau Kabaruan menyatakan bahwa gua tersebut berfungsi sebagai penguburan dengan cara meletakan tempayan-tempayan kubur di dalam gua. Analogi lain adalah etnografi adanya jenazah yang dibungkus tikar lalu diletakkan di bukit Arandangan, Kelompok Buidane, Kecamatan Musi, kepulauan Salibabu, pada tahun 1950. Di lokasi ini tersisa tulang panjang di sela-sela batu karang. Temuan lainnya berasal dari halaman depan gua berupa tembikar kasar terdiri atas bagian badan berukuran kecil, daan ada pula yang agak besar. Fragmen badan tembikar hias ditemukan dengan jumlah 1 buah terdiri hias geometris, garis miring membentuk tumpal kecil dan garis mendatar pendek, yang dibuat dengan teknik gores.

Situs Permukiman lainnya adalah Situs Terbuka Bulude, yang berada di Desa makatara, Kecamatan Beo Utara, tepatnya berada di wilayah Kepulauan Karakelang bagian barat. Di wilayah ini ditemukan 2 lokasi temuan tinggalan budaya masa lalu. Tepatnya berada antara N: 04º15’51.3” dan E: 126º44’22.4” dengan elevasi 7 – 10 meter dpl.

Lokasi yang diyakini oleh masyarakat sebagai kampung tua, berada sekitar 500 meter dari pemukiman masyarakat Makatara saat ini. wilayah ini dikenal dengan sebutan Bulude (kampung tua). Pada areal perkebunan milik ibu Alwiyah Malaa’(54 tahun) yang berada dalam wilayah bulude ini banyak ditemukan adanya sebaran tinggalan tembikar dalam bentuk dan motif hiasan yang beragam. Sebaran artefak yang terdapat di lahan tersebut antara lain pecahan tembikar hias dan polos; keramik Eropa, Cina dan Vietnam; fragmen botol, sisa kerang, dll. Menurut informasi Ratung Banua setempat bapak abner Nae’, areal sekitar tempat tersebut merupakan pemukiman pertama masyarakat Makatara sebelum menghuni lokasi yang ada saat ini. menurut beliau benda-benda tembikar yang banyak ditemukan dilokasi tersebut merupakan alat yang biasa mereka

pergunakan sebagai alat untuk menempatkan makanan, merebus atau memasak makanan dengan wadah yang terbuat dari gerabah. Beberapa motif tembikar yang ditemukan di situs Bulude ini adalah motif hias geometris seperti bentuk segitiga dan garis-garis sejajar dan melengkung, beberapa lainnya berupa bulatan-bulatan yang dikombinasikan dengan motif garis lengkung dan segitiga.

Kearah selatan situs bekas pemukiman tersebut, sekitar 100 meter pada bagian bibir pantai Laut Sulawesi bagian barat ditemukan sebuah lokasi kubur tua, tepatnya pada sebuah bukit dipinggir pantai Laut Sulawesi. Di lokasi ini ditemukan 2 buah kubur tua yang berukuran cukup besar. Pada saat ini kondisi kubur tua tersebut sudah tidak terawatt dan mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi dikarenakan faktor alam, dimana pada salah satu kubur tersebut telah ditumbuhi tanaman yang memiliki akar besar, sehingga membuat kubur yang ada terdesak dan mengalami kerusakan. Kerusakan lainnya disebabkan oleh vadalisme, berupa pembongkaran kubur pada beberapa tahun yang lalu oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dengan tujuan mengambil benda-benda keramik yang merupakan bagian bekal kubur orang yang dikuburkan di lokasi tersebut.

Gambar 4. Situs terbuka “Bulude”di Desa Makatara, Beo Utara, Pulau Karakelang.

(Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Menurut informasi Lurah Makatara, salah satu kubur yang ada dilokasi ini merupakan makam dari Raja Maparuro, yang merupakan menguasa wilayah Makatara pada masa lampau, sedangkan makam yang lain belum diketahui keberadaannya. Jika melihat penempatan makam pada areal yang sama dan menempatkannya pada ketinggian tertentu, bisa dipastikan makam-makam yang berad di lokasi ini memiliki peran penting dalam pemerintahan kerajaan (suku) Makatara pada masa lampau. Di

66

Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani

sekitar makam ini ditemukan gigi manusia berupa gigi geraham dan gigi seri, kerang, tulang hewan dan pecahan tembikar. Pada lokasi kubur 2 ini juga ditemukan beberapa tembikar, gigi manusia dan tulang-tulang, serta keramik asing (Ipak F: 2019)

Kondisi lingkungan dan penempatan tata guna lahan pada situs permukiman di Kepulauan Talaud menunjukkan bahwa masyarakat pada masa lampau telah mengadakan pemilihan atas permukimannya. Pemilihan lokasi sebagai tempat hunian pada umumnya didasari atas keruangan daerah hunian tersebut dan keselarasan lingkungan menjadi salah satu faktor utama yang berkembang dari masa lalu hingga saat ini. Pemilihan antara lahan pemukiman berupa gua/ceruk dan lahan terbuka, menjadi alsan pemilihan atas ketersediaan sumber daya alam yang tersedia di wilayah dimana pemuiman di buat. Hal tersebt tidak menjadi masalah selama sumber bahan alam terus tersedia, bahkan ketika ketersediaan sumber daya mulai menipis, masyarakat pendukung budaya di wilayah ini kana mencari daerah atau lokasi baru sebagai lokasipermukiman mereka.

Situs lain yang merupakan bagian dari masa bercocok tanam, juga ditemukan di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara, terutama situs terbuka (open site), seperti situs Passo, situs Sinuian, Situs Tumalun dan Situs Matuluntung. Situs Passo merupakan salah satu situs masa bercocok tanam yang cukup terkenal, yang telah diteliti oleh Peter Bellwood, daud aris Tanudirjo, bahkan hingga akhir tahun 2000an kembali diteliti oleh Truman Simanjuntak (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional). Situs Passo ini berada di Desa Passo, kecamatan Kakas Barat, kabupaten Minahasa. Sisa peninggalan manusia masa lalu yang telah ditemukan berupa fragmen tembikar, tulang manusia dan hewan, serpih-serpih batu, dan fragmen cangkang kerrang. Berbeda dengan kerang yang ditemukan di kepulauan Talaud, sisa tinggalan cangkang kerrang yang ada di Situs Passo umumnya merupakan kerang air tawar. Berdasarkan pengamatan terhada ligkungan alam di sekitar situs passo, kemungkinan bahwa tempat tersebut dapat dijadikan sebagai tempat bermukim Desa Passo menempati areal tanah yang cukup rata/datar dan berada di lingkungan perkebunan yang tanahnya relatif subur. Kondisi seperti ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pada saat

berlangsungnya kehiduan di situs Passo pada masa lampau (Ipak Fahriani; 2005).

Situs lainnya yang hampir sama dengan Situs Passo, adalah Situs Sinuian. Secara geografis situs Sinuian ini berada di wilayah geografis yang sama dengan Situs Passo, hanya secara administratif, situs Sinuian berada di kecamatan Romboken, yang berada di sebelah utara lokasi situs passo, sekitar 500 meter. Hasil ekskavasi yang dilakukan di situs Sinuian ini menunjukkan adanya sisa tinggalan berbagai macam variasi artefak dari masa bercocok tanam, seperti sebaran fragmen tembikar, gelang yang terbuat dari kaca, batu ike (batu pemukul kulit kayu), serpih batuan dan alat batu sederhana.

Kondisi lingkungan dan penempatan tata guna lahan pada situs Passo dan Sinuian menunjukkan bahwa masyarakat pada masa lampau telah mengadakan pemilihan atas permukimannya. Pemilihan lokasi sebagai tempat hunian pada umumnya didasari atas keruangan daerah hunian tersebut dan keselarasan lingkungan menjadi salah satu faktor utama yang berkembang dari masa lalu hingga saat ini. Salah satu pilihan lokasi yang dijadikan sebagai tempat pemukiman pada masa lampau adalalah di sekitar Danau, karena potensi sumber daya alam yang dapat diandalkan sebagai penopang kehidupan sehari-hari (Gunadi, 2002, fahriani 2012). Jejak hunian sekitar Danau Tondano ini sendiri sudah didengungkan sejak lama, semisal Situs Passo yang telah dibuktikan bahwa manusia sudah tinggal di tepi danau ini sekitar 8000 tahun yang lalu dengan kehidupan yang masih cenderung mengumpulkan makanan (Daud A.Tanudirjo, 2013).

Ketergantungan manusia terhadap lingkungan telah tercipta sejak dahulu kala, hal tersebut menjadikan manusia untuk mengesploitasi lingkungan dimana mereka berada. Pemilihan atas hunian menjadi amat penting ketika di wilayah yang akan dihuni memilik sumber daya alam yang menunjang hal tersebut. Sumber daya alam juga merupakan salah satu pilihan atas permukiman yang terjadi di situs Passo dan Sinuian pada masa lampau. Pemilihan hunian pada saat itu dilakukan terutama karena dekat dengan sumber air yang merupakan salah satu sumber kehidupan sehari-hari yang amat vital. Keterbatasan teknologi pada saat itu menjadikan mereka lebih mudah mengekspolitasi sumber daya alam yang ada

67

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 60 - 71

disekitarnya, sehingga aktifitas yang dilakukan selalu berhubungan dengan alam sekitar. Danau Tondano merupakan tempat flora dan beberapa jenis fauna yang cukup baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat kala itu, dan cukup mudah untuk didapatkan atau ditemukan. Wilayah sekitar Danau Tondano dengan luas sekitar 3000 m², terbentuk akibat aktivitas gunung api yang melingkupi kawasan tersebut pada masa lampau, sehingga menjadikannya daerah yang subur untuk pertanian, tersedianya beberapa jenis fauna yang ada dalam danau merupakan sumber daya alam yang dapat diambil bagi kebutuhan hidup, sehingga sebagian besar penduduk di sekitar danau memiliki mata pencaharian bertani dan nelayan, hal tersebut berlangsung dari masa ke masa, bahkan hingga saat ini. Kehidupan bertani dilakukan di sekitar danau, dengan aliran air yang cukup hasil pertanian dapat dilakukan hingga 2-3 kali pertahun. Sedangkan kehidupan mencari ikan atau nelayan dapat dilakukan sehari-hari di sekitar danau dengan peralatan berupa jala, jaring, bambu, atau tombak. Untuk perluasan usaha yang dilakukan oleh masyarakat, pada saat ini banyak ditemukan adanya pembukaan tambak-tambak ikan yang di buka di Danau Tondano (Ipak. Fahriani: 2004).

Hasil Penelitian di Situs Passo dan Sinuian menunjukkan bahwa pada masa lampau situs ini merupakan bagian dari sejarah Minahasa secara umum yang cukup diperhitungkan. Dimana masyarakat ke dua situs tersebut pada masa lampau telah mengembangkan budaya dan teknologi yang mereka miliki dalam kehidupan mereka sehari-hari. Temuan sisa artefaktual yang ditemukan di Situs ini telah berhasil mengungkapkan dan penjelasan gambaran permukiman yang terjadi di wilayah ini pada masa lampau. Pada saat itu masyarakat pendukung kedua situs telah mengenal sistem organisasi melalui pembagian ruang atas pemukiman yang mereka huni. Data-data yang menunjukkan situs ini merupakan pemukiman yang cukup ramai dengan berbagai aktifitas yang terjadi di dalamnya, selain itu data penting lainnya adalah, beberapa hal yang menjukkan adanya aktifitas penguburan, dengan beberapa sistem yang diberlakukan pada saat itu. Selain temuan data pemukiman, temuan penting lainnya, berupa data tentang adanya aktifitas perbengkelan.

Situs masa bercocok tanam lainnya yang ditemukan di wilayah Sulawesi utara adalah

situs Guaan, yang berada di Kecamatan Modayag, kabupaten Bolaang Mongondow. Situs Guaan merupakan situs permukiman yang terletak di sebuah lokasi terbuka, berupa lahan perkebunan masyarakat. Situs Guaan ini berada di tepi Danau Moaat, yang merupakan sebuah danau yang berada di dataran tinggi, sekitar 1.100 meter di atas permukaan air laut. Kondisi tanah perkebunan tersebut sangat subur, hal ini terlihat dari banyaknya variasi tanaman sayuran yang ditanam di dalam perkebunan tersebut. Hasil ekskavasi yang dilakukan di areal situs ini selama beberapa tahun menghasilkan sejumlah tinggalan artefak yang menunjukkan adanya berbagai aktifitas yang terjadi di wilayah itu pada masa lampau. Temuan hasil penggalian di situs Guaan ini meliputi, sebaran fragmen tembikar yang cukup melimpah, kapak batu, kapak logam, tatal batu, serpih batu, dan sisa pembakaran (arang). Sisa tinggalan fragmen tembikar yang ditemukan cukup bervariasi, baik dari segi bentuk maupun dari segi pola hiasnya. Selain temuan hasil penggalian, dalam areal situs Guaan ini juga cukup banyak ditemukan adanya lumping batu (Joko siswanto; 2002). Temuan lupang batu telah menginformasikan kepada kita, bahwa situs Guaan berasal dari masa bercocok tanam, tetapi pada saat yang sama bangunan megalit sudah dikenal oleh masyarakat Guaan secara umum.

Gambar 5. Temuan Lumpang batu di Situs Guaan,

Desa Guaan, Kecamatan Modayag, Bolaang Mongdow.

(Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Sebaran situs bercorak masa bercocok tanam cukup banyak dan luas di wilayah Minahasa, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sulut, selain situs passo dan Sinuian, di wilayah Minahasa selatan juga ditemukan adanya sebuah situs yang diindikasikan merupakan situs bercorak masa bercocok tanam. Situs tersebut adalah Situs

68

Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani

Tumalun, yang berada di Desa Tumani, Kecamatan Maesaan, Minahasa Selatan. Hasil penelitian di situs ini, baik yang dilakukan melalui kegiatan survey maupun ekskavasi, menunjukkan bahwa Situs Tumalun merupakan salah satu situs permukiman yang ada di wilayah Minahasa Selatan. Beberapa temuan artefak hasil ekskavasi beberapa kotak galian, yang dilakukan selama dua tahun di situs ini menunjukkan adanya beberapa aktifitas permukiman yang terjadi di tempat ini pada masa lampau. Secara umum situs ini merupakan sebuah situs terbuka, yang berada pada sebuah dataran tinnggi yang berada pada sebuah bukit kecil. Dalam areal situs juga ditemukan adanya sebuah lumpang batu dan sebuah Tong batu. Hasil ekskavasi yang dilakukan di situs ini menghasilkan beberapa artefak dan non artefak yang merupakan alat-alat yang biasa digunakan dalam aktifitas keseharian masyarakat pada masa lampau di tempat tersebut Beberapa artefak yang ditemukan berupa fragmen tembikar, yang umumnya difungsikan sebagai alat kebutuhan sehari-hari, kapak batu, yang kemungkinan besar digunakan sebagai alat untuk pertanian, dan beberapa alat logam, yang diasumsikan sebagai bagian dari kebutuhan keseharian masyarakat pendukung situs tersebut.

Gambar 6. Temuan Kapak batu di Situs Tumalun,

Desa Tumani, Kecamataan Maesaan, Minahasa Selatan.

(Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Berdasarkan data artefaktual dan lingkungan alam lokasi pemukiman yang telah dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa situs-situs tersebut memang layak dan memadai untuk dijadikan lokasi pemukiman. Tempat-tempat tersebut mulai dijadikan tempat yang permanen untuk bermukim, bahkan hingga saat ini.. Kelompok-kelompok manusia yang dahulunya cenderung berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, pada masa selanjutnya lebih

sering tinggal di suatu daerah tertentu. Kelompok-kelompok tersebut sudah mulai memiliki ikatan pada suatu tempat tinggal tertentu. Secara teknologi, masyarakat atau kelompok pada masa itu sudah mengenal alat-alat dari logam. Berkaitan dengan adanya temuan fragmen-fragmen logam pada beberapa situs yang telah diteliti oleh Balai Arkeologi Sulut, di duga benda-benda tersebut tidak dihasilkan sendiri, tetapi didatangkan dari luar wilayah situs, atau bahkan didatangkan dari luar wilayah Sulawesi Utara.

Gambar 7. Sisa temuan artefak logam pada salah

satu situs bercorak masa bercocok tanam di Minahasa.

(Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa artefak logam di produksi di wilayah Sulawesi Utara, megingat tidak atau belum ditemukannya pusat perbengkelan atau lokasi produksi pembuatan alat-alat logam di wilayah ini. Walaupun sudah mengenal logam bukan berarti bahwa alat-alat dari batu ditinggalkan begitu saja. Alat-alat yang terbuat dari batu masih dipergunakan untuk mendukung aktifitas keseharian mereka pada masa lampau. SITUS PERMUKIMAN DARI MASA TRADISI MEGALITIK

Situs permukiman yang berasal dari masa megalitik secara umum cukup banyak ditemukan di Sulawesi Utara, terutama di wilayah Minahasa. Tempat atau situs-situs ini dicirikan dengan adanya tinggalan-tinggalan megalitik yang umumnya berfungsi sebagai sarana penguburan. Pada situs megalitik ini juga ditemukan adanya sebaran artefak lain yang mendukung dalam pengidentifikasian situs sebagai tempat bermukim. Secara umum selain temuan sarana penguuran, terkadang juga ditemukan bangunan-bangunan dan alat yang berfungsi sebagai sarana pemujaan, seperti arca

69

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 60 - 71

menhir, menhir, altar batu dan lainnya. Berdasarkan keadaan lingkungan di masing-masing situs megalitik, pada umumnya lingkungan areal situs mendukung dan cukup potensial dalam penyediaan sumber makanan dan air sebagai bagian dari aktifitas keseharian mereka. Sebaran situs megalitik cukup banyak ditemukan di wilayah Sulawesi Utara, terutama di wilayah Minahasa. Beberapa situs megalitik yang sudah menjadi lokasi penelitian Balai Arkeologi adalah: Situs Matuluntung, Desa Tumaluntung, Kec Kauditan, Minahasa Utara, Situs Woloan, Desa Woloan, Kecamatan Tomohon Selatan, dan lainnya. Dalam kesempatan ini Situs Matuluntung dan Situs Woloan menjadi contoh Situs permukiman dari masa megalitik.

Sebaran tinggalan budaya manusia pendukung wilayah Minahasa, khususnya yang berada di wilayah minahasa Utara cukup banyak dan bervariasi. Tinggalan kepurbakalaan yang ditemukan di wilayah ini merupakan tinggalan budaya dari masa megalitik. Tinggalan budaya yang ditemukan di Minahasa Utara membawa asumsi tentang adanya suatu budaya yang cukup maju dengan teknologi pembuatan benda yang cukup baik yang pernah terjadi diwilayah ini. Hasil temuan dari kegiatan ekskavasi menunjukkan bahwa berbagai aktifitas kehidupan pernah terjadi di wilayah ini. Hasil penelitian Balai Arkeologi terhadap sebaran situs megalitik yang ada di Minahasa Utara menunjukkan bahwa, hampir di setiap desa atau kampung yang ada di wilayah ini memiliki situs megalitik, terutama situs dengan tinggalan wadah kubur batu “Waruga”. Salah satu situs yang menjadi lokasi penelitian terbaru adalah Situs Matuluntung. Situs Matuluntung, tepatnya berada di Desa Tumaluntung yang merupakan bagian dari wilayah Minahasa Utara. Hasil pendataan yang dilakukan terhadap wilayah Desa Tumaluntung menunjukkan dominasi sebaran tinggalan obyek waruga cukup banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya yang berasal dari masa megalitik ini cukup lama dan berperan penting pada masa lampau di wilayah ini.

Secara umum sebaran situs megalitik di Desa Tumaluntung cukup banyak ditemukan. Hasil survey menunjukkan ada 6 kompleks situs kubur batu waruga di desa ini. Setiap kompleks situs ditemukan adanya sejumlah sisa tinggalan wadah kubur waruga. Hasil penelitian yang

dilakukan terhadap salah satu situs megalitik yang ada di Desa Tumaluntung pada tahun 2017 menghasilkan sejumlah data temuan artefak dan non artefak yang mengindentifikasikan bahwa areal situs Matuluntung pada masa lampau merupakan lokasi adanya aktifitas kehidupan yang beragam. Selain sebagai lokasi hunian pada masa lampau situs ini juga dipakai sebagai areal pemakaman.

Gambar 8. Situs Matuluntung, Desa Tumaluntung,

Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara. (Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Data yang dihasilkan melaui kegiatan ekskavasi terhadap 4 buah kotak galian di Situs Matuluntung menunjukkan adanya bukti yang merupakan indikasi tentang adanya aktifitas yang terjadi di situs tersebut pada masa lampau. Aktifitas hunian dibuktikan dengan banyaknya temuan fragmen gerabah dan keramik. Beberapa fragmen temuan tersebut merupakan bagian dari benda yang difungsikan sebagai alat kebutuan hidup sehari-hari, seperti piring, cawan dan mangkuk. Temuan lain yang mendukung adanya aktifitas hunian di tempat tersebut, ditemukannya beberapa buah fragmen kaki tungku atau porno, yang berfungsi sebagai tempat untuk pembakaran atau memasak sesuatu yang di panggang atau di bakar.

Gambar 9. beberapa jenis tembikar yang ditemukan

dalam kegiatan ekskavasi di Situs Matuluntung, Desa Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara.

(Sumber: Dok. Balar Sulawesi Utara)

Selain adanya aktifitas hunian, temuan lain juga mengindikasikan bahwa di Situs Matuluntung ini kemungkinan menjadi tempat atau lokasi adanya aktifitas perbengkelan.

70

Permukiman Masa Prasejarah di Sulawesi Utara - Ipak Fahriani

Temuan beberapa sisa fragmen logam besi, walaupun hanya ditemukan pada salah satu kotak galian eklskavasi, namun hal tersebut telah menjelaskan bagaimana benda tersebut pernah menjadi bagian dari budaya yang berlangsung saat itu. Selain temuan coran logam besi, di areal situs ini juga ditemukan sebuah batu asah. Fungsi batu ini sebagai alat pengasah benda tajam membawa asumsi bahwa pada masa lampau, alat-alat yang berhubungan dengan pertanian, seperti alat membajak, memotong dan lainnya yang pasti terbuat dari logam kerap atau sering dipergunakan dalam aktifitas keseharian masyarakat pada saat itu. Walaupun dalam kegiatan ekskavasi kali ini belum ditemukan benda yang dipergunakan sebagai alat pemotong atau alat membajak, namun dapat dipastikan alat-alat tersebut ada dan dipergunakan. Berangkat dari asumsi tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa produksi benda-benda tersebut di buat dari wilayah ini juga atau lokasi yang tidak jauh dari permukiman, sehingga aktifitas yang berhubungan dengan perbengkelan kemungkinan pernah ada di areal situs Matuluntung ini (Ipak F: 2017)

Sebagai situs yang didominasi tinggalan wadah kubur (Waruga), tentunya sudah dapat dipastikan aktifitas yang berhubungan dengan penguburan terjadi di wilayah Tumalunung ini. Kepercayaan yang berkembang dalam budaya masyarakat Minahasa kuno, mempercayai bahwa adanya kehidupan setelah kematian, dimana orang yang telah meninggal dunia akan menempati alam lain yang masih bisa berhubungan dengan alam dunia. Sehingga tidak jarang, ketika saudara, keluarga atau orang yang dikasihi meninggal dunia, maka kubur atau makamnya diletakan tidak jauh dari tempat tinggal mereka. dengan menempatkan kubur dari orang atau keluarga yang meninggal tidak jauh dari mereka, diharapkan hubungan antara mereka dengan orang yang telah meninggal tetap terjalin dan seolah masih bisa berhubungan. Data yang ditemukan dilapangan menunjukkan bahwa tinggalan budaya megalitik berupa wadah kubur waruga pada umumnya diletakan berdekatan dengan tempat hunian. Hasil analisis terhadap sisa tinggalan atau artefak yang ditemukan dari singkapan tanah, selain ditemukan benda yang berfungsi sebagai alat kebutuhan aktifitas keseharian, juga ditemukan sejumlah artefak yang berfungsi sebagai bekal kubur. Alat-alat tersebut menjadi bagian dalam

prosesi kematian eseorang yang dikuburkan dalam waruga. Contoh temuan logam yang kemungkinan berfungsi sebagai senjata, cepu yang berukuran kecil, yang biasa dipakai sebagai wadah kemenyan, keramik asing (sebagai prestise dalam status sosial masyarakat pada masa lampau), dan tinggalan lainnya.

Situs bercorak megalit lainnya ditemukan di wilayah Tomohon, tepatnya di Desa Woloan. Di Desa Woloan ini juga ditemukan beberapa areal kompleks situs yang memiliki sisa tinggalan megalitik, terutama wadah kubur waruga. Sama halnya dengan Situs Matuluntung, Situs Woloan merupakan sistus pemukiman kuno, dimana di dalamnya terdapat tinggalan megalit, kubur bartu Waruga. Hasil ekskavasi yang dilakukan pada beberapa areal situs, dimana terdapat waruga memperlihatkan hasil temuan berupa artefak, seperti fragmen tembikar dengan berbagai fungsi sebagai alat kebutuhan sehari-hari, namun beberapa diantaranya berfungsi sebagai alat sarana pemujaan, seperti temuan cepu kecil, yang biasa digunakan sebagai tempat untuk meletakan dupa, yang besar kemungkinan benda ini digunakan dalam prosesi penguburan waruga, bahkan mungkin dipergunakan juga sebagai bekal kubur. Selain itu juga ditemukan berbagai perhiasan berupa gelang dan manik-manik yang merupakan bagian dari benda-benda yang menjadi bekal kubur bagi orang yang dikuburkan dlaam waruga.

Situs-situs pemukiman yang ditemukan di Minahasa walaupun berada dalam wilayah yang berbeda, namun mempunyai karakter yang relatif sama, dimana dalam situs pemukiman tersebut juga ditemukan adanya tinggalan megalit. Hasil penelitian arkeologi berupa ekskavasi yang telah dilakukan pada beberapa situs bercorak megalit di wilayah Minahasa menunjukkan adanya bukti aktifitas kehidupan beragam yang terjadi di wilayah ini pada masa lampau. KESIMPULAN

Sulawesi Utara merupakan salah satu lokasi ditemukannya sebaran situs permukiman yang cukup melimpah dengan berbagai aktifitas kehidupan di dalamnya. Data tentang permukiman kuno yang tersebar di wilayah Sulawesi Utara dan sekitarnya cukup beragam dan bervariasi. Pada kenyataannya menunjukkan

71

Jurnal Tumotowa Volume 2 Nomor 2, Desember 2019: 60 - 71

bahwa wilayah ini merupakan daerah yang cukup penting dalam rangka penyelusuran sejarah budaya di wilayah ini, terutama permukiman yang berasal dari masa prasejarah. Budaya prasejarah sebagai bahan dari penelitian arkeologi, sekiranya dapat menjadi data untuk menjekaskan bagaimana pola dan system permukiman yang pernah terjadi di wilayah ini pada masa lampau.

Sebaran tinggalan situs permukiman prasejarah yang di temukan di Sulawesi Utara dan sekitarnya diharapkan dapat membuka cakrawala dan sejarah budaya situs-sits di wilayah Sulawesi Utara, sehingga nantinya dapat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah budaya suku atau puak yang mendiami Sulawesi Utara, serta menjadi bahan pembelajaran bagi pendidikan sejarah dan budaya bangsa. Sebaran situs permukiman prasejarah di wilayah ini dapat membangkitkan kesadaran masyarakat, untuk dapat memeliharanya, menjaga dan melestarikannya, karena warisan ini merupakan salah satu aset daerah yang dapat meningkatkan pembangunan daerah, khususnya bagi pendidikan ilmu pengetahuan. DAFTAR PUSTAKA Bintarto, Buku Penuntun Geografi Sosial.

Yogyakarta: UP .Spring: 1977. Daud Aris Tanudirjo, dkk. Laporan Hasil

Penelitian Arkeologi di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Yogyakarta: belum terbit 1995

________________________, Sulawesi Utara Dalam Konteks Persebaran penutur Austronesia, Manado: Seminar Awal Manusia di Sulawesi Utara: 2013

Dwi Yani Yuniawati U, Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Woloan, Kecamatan Tomohon, Kaupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Balai Akeologi Manado: 1994

Endah Purwati Soebroto, Aspek-aspek Sosial Psikologis pada pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah di kota besar, penyunting Eko Budiharjo: Bandung: Penerbit Alumni: 1984

Harkatiningsih (Ed), Metode Penelitian Arkeologi, Jakarata: Puslit Arkeologi: 1999

Ipak Fahriani, Laporan Penelitian Arkeologi Di Situs Passo, Kecamatan Kakas,

Kabupaten Minahasa: Manado: belum terbit : 2002

____________, laporan Penelitian Arkeologi di Situs Passo Kecamatan Kakas, Kabupaten Minahasa: Manado: belum terbit : 2004

____________, laporan Penelitian Arkeologi sebaran situs Kepurbakalaan di Kabupaten Minahasa: Manado: belum terbit : 2012

____________, laporan Penelitian Arkeologi Tinjauan Keruangan Situs Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara: Manado: Balai Arkeologi Sulut, belum terbit : 2017

____________, laporan Penelitian Arkeologi Persebaran budaya penutur Austronesia di Kawasan Sulawesi Utara dan sekitarnya (Tahap I): Manado: Balar Akeologi Sulut, belum terbit : 2018

____________, laporan Penelitian Arkeologi Persebaran budaya penutur Austronesia di Kawasan Sulawesi Utara dan sekitarnya (Tahap II): Manado: Balar Akeologi Sulut, belum terbit : 2019

Joko Siswanto, Laporan Penelitian Arkeologi di Kepulauan Talaud: Manado, Balai Arkeologi Manado, belum terbit: 2002

Moendardjito, Metode Penelitian Permukiman Arkeologi: dalam Rapat Evaluasi Metode penelitian Arkeologi III: 1985

R.P. Soejono, Jaman Prasejarah di Indonesia I, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: 1992