Masa Depan Protokol Kyoto

17
Melihat Kemungkinan Kelanjutan Protokol Kyoto Periode Kedua disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keterampilan Akademik Semester Dua Dosen Pengampu: Dian Mutmainah, S.IP, MA Oleh: Firdaus Teguh Gumelar 125120400111007 A HI 2 HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Transcript of Masa Depan Protokol Kyoto

Melihat Kemungkinan KelanjutanProtokol Kyoto Periode Kedua

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keterampilan AkademikSemester Dua

Dosen Pengampu:

Dian Mutmainah, S.IP, MA

Oleh:Firdaus Teguh Gumelar

125120400111007A HI 2

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2013

Abstract

Kyoto protocol is an agreement that was issued by the United Nations whose

function is to issue rules for its members, in this case is the state to limit or even

reduce the amount of emissions released as a result of industrial activities, especially

by developed country industries. If effective, the Kyoto Protocol is expected to reduce

significantly the level of global emissions. The Kyoto Protocol received positive

feedback from some who want to care about the natural conditions, especially for

the future. But the reaction came not all positive, the Kyoto Protocol by all its

provisions are also opposed by a number of countries, especially the developed

countries here or industrialized countries that do not want to participate in this

agreement and instead issued a variety of reasons ranging from the economic and

other others to reject the treaty. with a variety of positive and negative reactions

from various parties, the question that arises is whether the Kyoto Protocol can

continue effectively in the second period.

Kata kunci: Protokol Kyoto, perubahan iklim, negara,

kelanjutan masa depan bumi, hubungan internasional, respon

positif, respon negatif

Pendahuluan

Pemanasan global yang terjadi di bumi telah menjadi isu

hangat sejak beberapa dekade terakhir ini. Berbagai dampak

buruk telah terjadi akibat pemanasan global ini, mulai dari

efek rumah kaca, mencairnya es kutub, bencana alam, hingga

cuaca yang tidak beraturan sehingga semakin sulit untuk

diprediksi. Seiring dengan semakin meningkatnya efek pemanasan

global ini kemudian menimbulkan kesadaran manusia untuk

setidaknya memperkecil peningkatan dampak buruk pemanasan

global. Niat inilah yang direpresentasikan oleh negara dan

dinaungi oleh PBB dengan membuat suatu perjanjian untuk

menurunkan atau mengurangi jumlah pengeluaran emisi hasil

industri yang disebut dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto

tahap I sendiri sudah berjalan dan berakhir pada 2012

lalu.meskipun beberapa mengatakan bahwa Protokol Kyoto ini

tidak efektif namun akhir-akhir ini ramai terdengar bahwa

Protokol Kyoto akan dilanjutkan ke tahap atau periode kedua.

Dengan adanya banyak kontroversi dan beberapa negara besar

yang tidak mendukung perjanjian ini di periode I, akankah

Protokol Kyoto dapat berlanjut dan berlangsung efektif di

periode selanjutnya?

Berangkat dari pertanyaan tersebut, maka melalui tulisan

dalam paper berikut ini penulis bermaksud untuk membahas

mengenai Protokol Kyoto dan kemungkinan Protokol Kyoto untuk

bisa dilanjutkan di periode selanjutnya.

Pembahasan

Seperti yang diketahui, Protokol Kyoto adalah sebuah

perjanjian internasional yang merupakan kelanjutan dari

Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim dengan nama

resmi Kyoto Protocol to the United Nations Framework

Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dirancang pada

tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Penanda tanganan Protokol Kyoto

mulai dibuka pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret

1999, dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah

ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

Isi dari Protokol Kyoto sendiri adalah, intinya, mencegah

pemanasan global dengan mengurangi gas emisi dan mengurangi

faktor-faktor penyebab pemanasan global.

Seperti yang dikutip dari rilis pers dari Program

Lingkungan PBB, isi dari protokol kyoto adalah sebagai

berikut:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di

mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi

gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2%

dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu

diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan

jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini

berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk

mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca -

karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur

heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-

rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target

nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7%

untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan

yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk

Islandia." [2]

Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan

mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C

pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003).

Protokol Kyoto merupakan salah satu kajian ilmu hubungan

internasional karena merupakan bentuk hubungan berupa

kesepakatan negara-negara dunia dalam menyikapi suatu fenomena

internasional, yaitu perubahan iklim (HI bukanlah ilmu yang

hanya membahas fenomena internasional dari aspek politik saja,

tetapi juga melibatkan aspek-aspek lainnya) [Sprout, 1950].

Secara langsung, isi dari Protokol Kyoto tersebut mengikat

negara-negara maju anggotanya yang rata-rata menjadi

penyumbang terbesar gas rumah kaca hasil dari aktivitas

industri mereka untuk menurunkan emisi gas penyebab pemanasan

global tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Jika dihubungkan dengan studi HI, ini sejalan dengan

pendekatan realis yang berhubungan dengan pendapat dari

Machiavelli bahwa manusia perlu dipaksa. (Machiavelli, 1532)

Sebanyak 141 negara telah menyetujui dan meratifikasi

perjanjian ini di awal, hanya AS yang tidak meratifikasi

perjanjian ini sejak awal. Pada 3 Desember 2007, tercatat

jumlah negara yang meratifikasi meningkat menjadi 174 negara

yang telah meratifikasi, termasuk Tiongkok, India, Jepang,

Selandia Baru, Rusia, serta Rumania dan Bulgaria. Termasuk

juga dalam tambahan negara-negara tersebut adalah Kanada dan

Uni Eropa yang merupakan negara-negara Annex I (negara

penghasil gas rumah kaca terbesar). Namun ada 2 negara yang

telah menanda tangani namun belum meratifikasi, yaitu Amerika

Serikat dan Kazakhstan.

Adanya Protokol Kyoto ini sebenarnya cukup mendapat respon

positif dari beberapa pihak mulai dari negara berkembang

hingga negara maju pun ada yang memberikan respon positif

seperti contohnya Jerman yang mendukung protokol ini meskipun

timbul banyak kecurigaan atas sikap setuju tersebut yang

ditengarai sebagai upaya pemolesan citra saja. Menteri

lingkungan jerman pada saat itu juga mengkritisi AS yang tidak

mau ikut serta dalam Protokol Kyoto dan mengatakan, “ tidaklah

dapat diterima bahwa di AS pada standar hidup yang sama seperti di Eropa, emisi

gasnya dua setengah kali lebih banyak.” Beliau juga menegaskan bahwa,

“perlindungan iklim juga semacam politik sosial global, sebab kerugian diakibatkan

oleh perubahan iklim , terutama akan dirasakan oleh rakyat miskin, dalam bentuk

badai, banjir atau kekeringan.”

Dukungan terhadap protokol kyoto juga datang dari

perusahaan minyak British Petroleum yang justru menganggap

bahwa perlindungan iklim merupakan peluang dan bukan sebagai

masalah, seperti yang dikatakan oleh sumber dari British

Petroleum (BP):

“BP merasa berkewajiban mendukung kesinambungan perlindungan iklim .

Hanya dengan demikian dalam jangka panjang , kami dapat menawarkan

penambahan nilai bagi para pemegang saham. BP melihat perlindungan iklim

sebagai peluang dan tidak sebagai masalah”. (deutsche welle, 2005)

Indonesia sebagai negara berkembang juga mendukung adanya

Protokol Kyoto, seperti yang dilaporkan oleh situs berita

Kompas edisi 4 november 2009 bahwa “Pemerintah Indonesia menyatakan

akan berupaya keras mempertahankan Protokol Kyoto dalam konferensi perubahan

iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti. Protokol itu dinilai sangat penting

sebagai perangkat aturan guna mengurangi tingkat emisi gas karbon

dunia.”[kompas: 2009]. Hal ini merupakan respon yang sangat

positif bagi Protokol Kyoto banyak dukungan lain yang datang

terutama dari negara-negara berkembang yang berupa peringatan

akan ancaman dari negara-negara yang ingin membubarkan

perjanjian ini.

Walaupun mendapat dukungan namun protokol kyoto ini juga

mendapat hambatan yang cukup berarti dengan adanya negara-

negara yang tidak berkomitmen bahkan menolak untuk ikut

protokol ini. Contohnya saja Amerika Serikat yang tidak mau

ikut serta dalam Protokol ini. Amerika Serikat sepertinya

mengingkari kenyataan bahwa negaranya yang berpenduduk

sejumlah 5 % dari total populasi dunia itu ternyata tercatat

sebagai penyumbang terbesar emisi global dengan jumlah 30,3 %.

Dan bahkan, menurut data yang dibuat oleh World Resources

Institute pada 1999, Amerika Serikat menghasilkan hampir lima

milyar ton gas karbon. Itu berarti, bila dihitung dengan lebih

cermat, rata-rata penduduk Amerika melepas gas karbon delapan

kali lebih besar dari penduduk dunia lainnya. Padahal pada

awalnya Amerika Serikat termasuk negara yang mendukung

Protokol Kyoto. Namun entah mengapa pada awal 2001, Presiden

George W. Bush menyatakan Amerika Serikat menarik diri dan

merasa tak terikat lagi dengan target penurunan emisi sebesar

7 % (untuk negara maju) seperti yang dicanangkan oleh Protokol

Kyoto. Berbagai alasan telah dikeluarkan Amerika Serikat untuk

menolak Protokol Kyoto ini, seperti contohnya, karena model

Protokol Kyoto segera akan memukul perekonomian Amerika

Serikat, sebab standarisasi mesin secara mendadak dianggap

hanya akan menimbulkan goncangan yang berakibat pada naiknya

harga barang-barang konsumsi dan besar kemungkinan akan memicu

pengangguran. Kedua, target emisi 7% bagi Amerika Serikat

dianggapnya tidak berdasarkan pertimbangan ilmiah.

Namun, alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah Amerika

Serikat tersebut tetap saja tidak bisa dipahami oleh dunia

internasional sebagai alasan yang logis dan bahkan dunia

melihat alasan itu sebagai alasan yang tidak realistis karena,

untuk alasan gangguan ekonomi misalnya, tidak hanya Amerika

Serikat saja yang akan mengalami gangguan, tapi pastinya semua

negara pun pasti akan mengalami situasi yang sama.

Selain itu, Amerika Serikat juga tidak setuju pada

pandangan Protokol Kyoto atas China dan India yang digolongkan

sebagai negara berkembang, sehingga tidak dibebankan keharusan

untuk mengurangi emisinya. Ketidak setujuan ini juga datang

dari pihak Jepang yang menilai bahwa ini tidak adil karena

pembatasan emisi di negaranya akan menghambat perekonomian

mereka, sedangkan negara tetangga mereka tak terikat kewajiban

apapun dan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dengan cara

mencemari atmosfer bumi.

Dan selain itu juga akhirnya Jepang menolak untuk ikut

serta dalam protokol kyoto periode kedua dan lebih memilih

untuk melakukan tindakan secara sukarela dalam menurunkan

emisi dengan menetapkan target sendiri dalam membatasi

pengeluaran emisi hasil industrinya. Namun demikian, Jepang

justru mendesak Amerika Serikat dan Cina untuk ikut dalam

protokol kyoto di periode yang kedua.

Tidak hanya penolakan yang dilakukan oleh negara-negara

maju tersebut, hambatan besar juga datang dari negara

anggotanya yaitu Kanada yang menyatakan mundur dari perjanjian

ini.

Pada desember 2011, Kanada menyatakan secara resmi mundur

dari Protokol Kyoto, satu-satunya perjanjian internasional

yang memasang target jelas pengurangan emisi gas rumah kaca,

Senin (12/12/2011) waktu setempat. Kanada menjadi negara

pertama yang mundur dari perjanjian ini dan menjadi pukulan

berat bagi usaha PBB untuk menangani masalah pemanasan global.

(sumber: kompas, 2011)

Di bawah perjanjian itu, Kanada diwajibkan menurunkan

emisi gas karbon dioksida sebesar 6 persen dari tingkat emisi

tahun 1990 pada tahun 2012. Alih-alih memenuhi target ini,

emisi karbon dari Kanada justru meningkat drastis. Tahun lalu

saja, emisi gas ini di negara itu sudah meningkat 35 persen

dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 1990. Kanada merasa

memiliki hak untuk memutuskan mundur dari Protokol Kyoto dan

berpendapat ada jalan lain selain Protokol Kyoto. Dengan

mundur dari Protokol Kyoto, Kanada terbebas dari kewajiban

membayar denda sebesar 14 miliar dollar Kanada (sekitar Rp

123,23 triliun). (sumber: kompas, 2011).

Selain itu, Kanada juga menolak untuk ikut serta dalam

Protokol Kyoto tahap kedua. Selain Kanada dan Jepang, negara

lain yang juga menolak Protokol Kyoto tahap dua adalah

Selandia Baru. Apa yang dilakukan oleh Kanada berdampak besar

pada UNFCCC sendiri khususnya dan negara-negara anggota lain

umumnya. UNFCCC menjadi semakin sulit dalam melakukan misinya

untuk menyelamatkan bumi, karena dengan keluarnya Kanada akan

menyebabkan negara lain bergejolak dan nantinya mungkin juga

tidak mau ikut serta dalam Protokol kyoto periode kedua.

Selain itu, negara-negara berkembang juga telah

memperingatkan akan bahaya dari usaha banyak pihak untuk

meniadakan Protokol Kyoto dan mereka juga memprotes usaha

Denmark untuk menggantikannya dengan teks bersifat kompromi

tanpa berkonsultasi dengan mereka.

“Kami telah melihat gelagat negara-negara maju yang menandatangani

Protokol Kyoto untuk berusaha membubarkannya.” kata Nafie Ali Nafie,

kepala delegasi Sudan, mewakili kelompok 77 dan Cina. Seperti

diketahui, Protokol Kyoto mengikat negara industri yang

menandatanganiya untuk memenuhi sasaran mengurangi emisi.

(sumber: nias online, 2009)

Apa yang diperkirakan diatas sebenarnya sudah terlihat dan

menjadi kenyataan di Protokol Kyoto tahap I lalu seperti

keluarnya Kanada dari Protokol Kyoto pada tahun 2011 lalu, dan

ini merupakan pertanda yang kurang baik karena nantinya

diperkirakan akan berpengaruh terhadap sikap-sikap negara lain

pada Protokol Kyoto tahap II.

Hambatan-hambatan ini jelas akan mempengaruhi apakah

Protokol Kyoto akan dilanjutkan atau tidak. Karena yang

bertindak di atas adalah negara-negara besar yang mempunyai

pengaruh cukup kuat di dunia Internasional dan kemungkinan

besar tindakan mereka akan berpengaruh terhadap negara lainnya

untuk bersikap serupa. Jika hal ini benar-benar terjadi maka

dunia internasional akan semakin kesulitan dalam usahanya

untuk meredam pemanasan global.

Protokol Kyoto ini sesungguhnya memang sangat penting

untuk masa depan Planet bumi karena berkaitan dengan perubahan

iklim, maka dari itu perjanjian ini harus dilaksanakan karena

dampak dari emisi global yang terus menerus dihasilkan oleh

industri akan menyebabkan semakin banyaknya kadar karbon di

udara yang nantinya akan menyebabkan kenaikan suhu yang dapat

berdampak sangat serius di kemudian hari. Seperti dikutip dari

majalah ilmiah terkemuka yang menerbitkan artikel tentang

percobaannya di Swedia Utara yang menyebutkan bahwa kenaikan

suhu satu derajat Celsius saja, akan meningkatkan emisi alami

CO2 tanah gambut sangat luas sekitar Kutub Utara hingga 60

persen. Memang sebelumnya sudah diketahui bahwa hal ini bisa

terjadi. Tapi ketika itu tidak lebih dari sebuah teori saja.

Sekarang jelas terbukti bahwa kenaikan suhu sedikit saja

berdampak sangat besar. (sumber: radio nederland wereldomroep,

2009)

Diperkirakan kenaikan suhu satu derajat Celsius akan bisa

terjadi dalam 20 tahun mendatang. (sumber: radio nederland

wereldomroep, 2009)

Jika efek yang diperkirakan akan benar-benar terjadi maka

jelas akan berdampak besar bagi kelangsungan kehidupan di muka

bumi, karena pastinya pastinya akan terpengaruh oleh dampak

perubahan iklim tersebut. Maka dalam hal ini dibutuhkan

kesadaran dari pihak-pihak terkait untuk tidak hanya

berorientasi pada faktor ekonomisnya saja, namun juga lebih

pada faktor lingkungan juga. Mengapa, karena faktor lingkungan

juga sangat berpengaruh penting bagi kelanjutan proses ekonomi

di masa depan. Maka dari itu kegiatan ekonomi memang harus

berjalan optimal namun juga harus mengedepankan prinsip

pembangunan berkelanjutan, yang salah satu bentuknya adalah

dengan berpartisipasi dalam Protokol Kyoto guna meminimalisir

agar efek dari pemanasan global tidak sampai berakibat terlalu

buruk bagi anak cucu kita nanti. Bisa dibayangkan jika di

kemudian hari perubahan iklim semakin parah maka pastinya

nanti akan diikuti oleh berbagai hal-hal buruk seperti bencana

alam, yang justru akan merugikan berbagai pihak termasuk para

pelaku ekonomi sendiri karena tidak hanya harus memikirkan

tentang biaya faktor produksi namun juga harus setiap saat

siap menghadapi bencana alam yang mungkin akan menghancurkan

pabrik-pabrik mereka sendiri. Jika ditinjau dari sudut pandang

hubungan antar negara, maka ketidaksediaan negara-negara dalam

berpatisipasi di Protokol Kyoto ini akan menyebabkan berbagai

reaksi dari negara lain yang sudah lebih dulu ikut serta dalam

Protokol Kyoto ini, karena akan dianggap sebagai arogansi dari

negara bersangkutan dan dianggap sebagai batu sandungan bagi

dunia internasional dalam upaya meredam pemanasan global,

selain negara yang bersangkutan akan dianggap tidak mau rugi

atau mau menang sendiri. Memang hal ini wajar jika dihubungkan

dengan pandangan realis yang menganggap bahwa negara adalah

aktor rasional dan akan melakukan tindakan-tindakan yang

orientasinya adalah keuntungan negara ataupun national interest.

Tapi, walaupun demikian negara juga harus memikirkan yang

lainnya seperti yang dikatakan oleh kaum neorealis bahwa fokus

negara adalah menjaga eksistensinya, yang akan lebih sulit

dilakukan jika kondisi alam tidak bersahabat dan justru akan

merugikan negara itu sendiri karena harus berkutat dengan

masalah yang ditimbulkannya sendiri, seperti jika mereka

membiarkan pemanasan global yang nanti pada gilirannya akan

menyebabkan banyak bencana, maka perhatian mereka mau tidak

mau harus terpecah karena harus mengurusi rakyatnya yang

terkena bencana. Jadi sebenarnya masalah pemanasan global yang

dihadapi ini sangatlah kompleks dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Negara-negara maju menganggap Protokol Kyoto ini hanya

sebagai penghambat dalam proses kegiatan ekonomi mereka.

Menurut mereka, dengan ikut serta dalam Protokol Kyoto maka

akan mengalami hambatan dalam urusan ekonomi negara mereka dan

ini tidak adil jika dibandingkan dengan negara berkembang yang

diberikan target yang tidak sama dalam pembatasan emisi.

Disaat negara maju dipaksa untuk mengurangi jumlah pengeluaran

emisi mereka, negara berkembang justru diijinkan untuk

menghasilkan jumlah emisi yang lebih banyak dari sebelumnya.

Hal inilah yang mungkin menyebabkan beberapa negara-negara

maju seakan-akan cemburu dan akhirnya tidak mau mendukung

sepenuhnya Protokol Kyoto ini apalagi untuk mendukung

kelanjutan Protokol Kyoto hingga tahap yang selanjutnya.

Tetapi, walaupun demikian seharusnya negara-negara maju

tersebut tetap mau berpartisipasi dalam Protokol Kyoto ini

karena alasan-alasan yang mereka keluarkan sebenarnya tidak

rasional. Karena tidak hanya mereka saja yang mengalami

“kerugian” dari pembatasan emisi yang ditetapkan. Toh, negara

lain bahkan negara berkembang pun nantinya juga akan dibatasi

pengeluaran emisinya. Lagipula ini juga untuk kebaikan bersama

terutama di masa mendatang, jika prediksi para ahli tentang

perubahan iklim dan dampak-dampaknya benar-benar terjadi maka

dapat dibayangkan kondisi di masa depan. Jika Protokol Kyoto

tidak ditaati maka yang terkena dampaknya adalah semuanya

tidak hanya negara-negara maju saja yang akan terkena

imbasnya, namun juga negara lain yang notabene adalah negara

berkembang yang sumbangan emisinya masih kalah oleh negara

industri.

Dari pemaparan yang telah disampaikan diatas, maka telah

membuktikan bahwa Protokol Kyoto merupakan suatu hal yang

sangat penting bagi kelanjutan masa depan makhluk hidup di

muka bumi ini. Maka dari itu sudah seharusnya negara-negara

selaku pihak yang mempunyai kewajiban untuk menjaga eksistensi

dari rakyat dan juga kehidupan masyarakat di negararnya

masing-masing untuk turut serta mendukung langkah untuk

meneruskan kelanjutan dari protokol kyoto ini. Jika kegiatan

ekonomi negara-negara maju hanya berorientasi pada yang ada di

saat ini saja, dan tidak memikirkan kemungkinan apa yang akan

terjadi di masa mendatang, maka tentu akan mengakibatkan

dampak yang buruk bagi banyak pihak di masa yang akan datang.

Tidak hanya itu, dari segi hubungan internasional negara-

negara juga mungkin akan saling menyalahkan atas keadaan yang

terjadi. Negara berkembang akan menyalahkan negara industri

karena merekalah yang dianggap sebagai penyebab terbesar

karena sumbangan emisinya yang sangat banyak, sedangkan negara

industri tidak akan mau mengalah, mereka akan tetap mengelak

dengan segala dalihnya dan justru menuduh negara berkembang

bahwa itu semua hanyalah salah satu bentuk kecemburuan mereka

terhadap negara maju karena tidak mampu menyaingi dan hanya

bisa selalu berada selangkah di belakang negara-negara maju

tersebut.

Hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto, nampaknya tak

pernah ada komitmen serius yang ditunjukkan lewat konvensi

legal oleh negara-negara maju untuk menekan tingkat emisi.

Untuk itu Protokol Kyoto ini perlu untuk lebih

disosialisasikan dan dikampanyekan lagi agar semakin banyak

pihak yang sadar akan pentingnya memerangi pemanasan global

dan diikuti dengan negara-negara penghasil emisi terbesar

seperti yang disebutkan diatas untuk berkomitmen dan turut

serta berpartisipasi aktif dalam Protokol Kyoto tahap II.

Daftar Pustaka

Buku:

Zedillo, Ernesto. (2008). Global Warming Looking Beyond Kyoto.

Virginia : RR Donnelley.

Perwita, DR. Anak Agung B. , DR Yanyan Mochamad Yani.

(2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya.

Machiavelli, Niccolo. (1532). Il principe.

Artikel dan Jurnal:

Parmesan, C. & Yohe, G. (2003). Nature 421, 37–42 

Root, T. L. et al. (2003). Nature 421, 57–60

Christensen, J. H. & Christensen, O. B. (2003). Nature 421, 805–

806

Website:

http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto/ diakses pada

06-06-2013 pukul 20:38 WIB

http://www.nature.com/nature/journal/v426/n6968/full/

426756a.html/ diakses pada 06-06-2013 pukul 20:51 WIB

http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/0807097/twitter.com/

diakses pada 07-06-2013 pukul 07:22 WIB

http://www.tempo.co/read/news/2011/12/13/116371366/Kanada-

Keluar-dari-Protokol-Kyoto/ diakses pada 07-06-2013 pukul

07:47 WIB

http://loubnalucu.wordpress.com/2012/08/30/mundurnya-kanada-

dari-protokol-kyoto-desember-2011/ diakses pada 07-06-

2013 pukul 08:48 WIB

http://www.dw.de/jerman-menyambut-pemberlakuan-protokol-

kyoto/a-2935693/ diakses pada 07-06-2013 pukul 19:54 WIB

http://niasonline.net/2009/12/17/negara-negara-berkembang-

bersikap-tegas-tentang-protokol-kyoto/ diakses pada 07-

06-2013 pukul 21:43 WIB

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/sia-siakah-

protokol-kyoto/ diakses pada 08-06-2013 pukul 20:44 WIB

http://sains.kompas.com/read/2009/11/04/1935515/

Indonesia.Akan.Pertahankan.Protokol.Kyoto/ diakses pada

08-06-2013 pukul 21:59 WIB