2. tinjauan pustaka

17
9 Universitas Kriten Petra 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori yang dipergunakan 2.1.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa Menurut McQuail, film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa media audio visual, yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. (McQuail, 1987 dalam Lilyana 2006 p.7). Banyak penelitian mengenai dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan ( message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Namun, terdapat argument bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat, sehingga film merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2004, p. 127). Menurut Charles R. Wright Film yang merupakan salah satu dari bagian media massa memiliki fungsi, yaitu (Wiryanto, 2000, p. 11-12): a. Surveilance Sebagai pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan, baik dari luar maupun dalam masyarakat. b. Correlation Meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam mereaksi kejadian-kejadian. Fungsi ini sering di-indentifikasikan sebagai fungsi editorial atau propaganda. c. Transmission Sebagai fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai, dan norma sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain, atau dari anggota suatu masyarakat ke pendatang baru. Fungsi ini, di-identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

Transcript of 2. tinjauan pustaka

9 Universitas Kriten Petra

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori yang dipergunakan

2.1.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa

Menurut McQuail, film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang

berupa media audio visual, yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah

menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak,

dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. (McQuail, 1987 dalam Lilyana

2006 p.7). Banyak penelitian mengenai dampak film terhadap masyarakat, hubungan

antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film dapat

mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di

baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Namun, terdapat argument bahwa film

adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat, sehingga film merekam realitas

yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya

ke atas layar (Sobur, 2004, p. 127).

Menurut Charles R. Wright Film yang merupakan salah satu dari bagian

media massa memiliki fungsi, yaitu (Wiryanto, 2000, p. 11-12):

a. Surveilance

Sebagai pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian

dalam lingkungan, baik dari luar maupun dalam masyarakat.

b. Correlation

Meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah

laku tertentu dalam mereaksi kejadian-kejadian. Fungsi ini sering di-indentifikasikan

sebagai fungsi editorial atau propaganda.

c. Transmission

Sebagai fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai, dan norma sosial

budaya dari satu generasi ke generasi yang lain, atau dari anggota suatu masyarakat ke

pendatang baru. Fungsi ini, di-identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

10 Universitas Kriten Petra

d. Entertainment

Menunjukkan pada kegiatan-kegiatan komunikatif yang dimaksudkan untuk

memberikan hiburan tanpa mengharapkan efek-efek tertentu.

Fungsi utama dalam film, radio, televisi adalah untuk menghibur (to

entertain), yang merupakan salah satu fungsi komunikasi massa, selain menghibur,

fungsi lainnya yaitu untuk menyiarkan informasi (to inform) dan mendidik (to educate)

(Effendy, 2002, p.54). Khalayak pergi ke bioskop, membeli radio atau televisi, adalah

untuk mencari hiburan. Karena kisah-kisah yang terdapat dalam film, propaganda

radio, dan televisi juga menyajikan segi-segi informasi dan pendidikan (Effendy, 2002,

p.55).

2.1.2 Definisi Feminisme

Feminisme berasal dari bahasa Latin yaitu Femina (woman), yang berarti

“having the qualities of females”. Istilah tersebut merujuk pada teori persamaan seksual

dan gerakan hak-hak asasi perempuan (Valentina, 2004 dalam Susanto, p.10).Dalam

buku “Dictionary of Feminist Theories” menyebutkan feminisme merupakan ideology

pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah

keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang

dimilikinya (Hidayatullah, 2010, p.5).

Feminisme berawal dari sebuah persepsi mengenai adanya ketimpangan

posisi perempuan dibanding laki-laki dalam masyarakat. Nancy F. Coot menulis dalam

buku “The Grounding of Modern Feminism” bahwa pengertian feminisme

mengandung tiga komponen penting:

1. Sex equality: menentang adanya posisi hierarkis (superior dan inferior) diantara jenis

kelamin. Persamaan bukan hanya kuantitas, namun juga kualitas.

2. Konstruksi sosial: relasi antara laki-laki dan perempuan yang hingga sekarang,

merupakan hasil kontruksi sosial bukan ditentukan oleh natur (kodrat ilahi).

3. Identitas dan peran gender: kelompok feminisme menolak perbedaan yang

mencampuradukkan seks dan gender, sehingga perempuan dijadikan sebagai

kelompok tersendiri dalam masyarakat. Akibat pengelompokkan ini, Simone de

11 Universitas Kriten Petra

Beauvoir dan The Second Sex mengatakan bahwa perempuan menjadi “the other

human being”, bukan manusia. Sehingga akibat pengelompokan sosial ini, perempuan

sukar untuk sadar mengenai eksistensi pribadinya atau menjadi dirinya (Murniarti,

2004, p.26-27).

2.1.3 Perkembangan Feminisme

Pada hakekatnya, tujuan dari feminisme adalah transformasi sosial untuk

menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme

merupakan gerakan yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antara sesama, agar

lebih baik dan adil (Irwan. 2009, p.37). Gerakan feminisme dibagi menjadi tiga

periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wafe feminism), gelombang kedua

(second wafe feminism), dan gelombang ketiga (third wafe feminism)

Pada gelombang pertama, feminisme mengangkat isu-isu persamaan hak bagi

perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan, politik,

dan ekonomi. Gelombang ini dimulai dengan penggerakan-penggerakan feminisme

yang menajukan pertanyaan-pertanyaan sosiologis serta peranan perempuan yang

mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan di masyarakat, terutama

persoalan hak-hak sipilnya (Arivia, 2006, p.18). Dalam bidang sosial, kaum feminis

menandai bahwa hak-hak perempuan sangat terbatas. Tradisi menghendaki perempuan

menjadi pengurus rumah tangga dan keluarga, sehingga sebagian besar masa hidupnya

dihabiskan dalam lingkungan rumah. Selain itu, perempuan juga tidak diberi

kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi memangku jabatan-jabatan tertentu,

atau menekuni profesi-profesi tertentu. Keterbatasan perempuan dalam bidang sosial

juga berpengaruh pada kehidupan ekonomi mereka. Sebagian lapangan kerja tertutup

bagi perempuan dan kalaupun mereka diberi kesempatan untuk mencari nafkah, upah

yang diterima akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diterima laki-

laki (Paramitha, 2009). Sementara, bidang politik dipilih kaum feminis sebagai jalan

keluar untuk segala tuntutan mereka yang tidak juga dipenuhi oleh pemerintah. Mereka

beranggapan bahwa keadaan perempuan tidak akan mengalami kemajuan jika

pemerintah tetap didominasi oleh laki-laki (Djajanegara, 2000, p.6-7).

12 Universitas Kriten Petra

Pada gelombang kedua muncul gerakan feminisme yang berhubungan dengan

upaya mereka beranjak dari aktivitas sifat yang praktis menuju kearah kegiatan yang

sifatnya teoritis. Pada tahap teori ini, pembahasan difokuskan kepada “perbedaan”

yang diciptakan antara perempuan dan laki-laki yang terjadi secara mengakar sebagai

“kodratiah” (Arivia, 2006, p.19). Tugas feminisme gelombang kedua adalah untuk

menjawab tantangan teori Marxisme, namun pada tahun 1970-an feminisme

gelombang kedua mulai memfokuskan diri kepada pemikiran bahwa perempuan

memilki kemampuan yang sama seperti laki-laki. Singkatnya “perempuan dan laki-laki

adalah sama” (Arivia, 2003, p.120).

Gerakan feminisme gelombang ketiga ini masih sulit didefinisikan dan label

ini masih mempunyai sedikit arti. Namun, debat-debat menunjukkan feminisme masih

menunjukkan vitalitasnya dan wanita punya potensi untuk mengambil tindakan tidak

hanya personal saja, tetapi juga secara politis (Hannam, 2007, p.166).

Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu

kekuaran politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. Dalam buku Rosemarie Tong

yang berjudul Feminist Thougt berisi landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam

gelombang feminisme yaitu feminisme liberal, Feminisme radikal, dan feminisme

Marxis atau Sosialis (Arivia, 2003, p.85).

Dalam feminisme liberal, memandang diskriminasi wanita yang diperlakukan

secara tidak adil. Menurut Feminisme Liberal, keadilan gender dapat dimulai dari diri

sendiri. Pertama, peraturan untuk permainannya harus adil, kedua pastikan tidak ada

pihak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan sistem yang

dipakainya haruslah sistematis serta tida ada yang dirugikan (Tong, 2010, p.2). Bagi

kaum liberal klasik, Negara yang ideal harus melindungi kebebasan sipilnya dan

memberikan kesempatan setiap individu yang setara. Kaum liberal berorientasi kepada

kesejahteraan, sebaliknya Negara yang ideal lebih berfokus pada keadilan ekonomi

kebebasan sipil (Tong, 2010, p.16-17). Tujuan dari feminisme liberal adalah untuk

menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang. Salah

satu feminis liberal yang bernama Wollstonecraft menghadirkan visi seorang

perempuan yang memiliki kekuatan fisik dan pikiran, bukan merupakan budak atau

13 Universitas Kriten Petra

hasratnya, bukan budak suami maupun anak-anaknya. Perempuan adalah personhood

– manusia secara utuh. Perempuan bukanlah mainan laki-laki atau lonceng laki-laki

(Tong, 2010, p, 21).

Setelah Feminisme Liberal, terdapat feminisme Radikal, feminisme ini

menganggap sistem patriarkal ditandai kekuasaan, dominasi, hirarki dan kompetisi.

Sistem ini tidak dapat dibentuk ulang, tetapi harus dicabut dari akar dan cabang-

cabangnya (Tong, 2010, p. 3). Menurut Arivia (2005, p.100-102), inti dari gerakan

feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan, mereka mencurigai bahwa

penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan

lingkup publik. Dalam konsep feminis radikal memiliki slogan bahwa “yang pribadi

adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan

penindasan dalam lingkup publik. Adanya prioritas dalam feminis untuk

memenangkan isu-isu mengenai kesehatan, mereka ingin menyadarkan bahwa

perepuan adalah pemiliki atas tubuh mereka sendiri, mereka memiliki hak untuk

memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal

kesehatan dan reproduksi.

Para feminis radikal mengklaim bahwa gender merupakan hal yang terpisah

dari jenis kelamin dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku,

untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif dan laki-laki yang aktif. Karena itu,

cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas

perempuan adalah dengan menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk

menjadi pasif. Begitu pula dengan laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif,

kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminine dan maskulin

yang paling baik mereflesikan kepribadian unik mereka masing-masing (Tong, 2010,

p. 72-73).

Terakhir adalah Feminisme Marxist dan sosialis. Dalam feminisme ini

menyatakan bahwa mustahil untuk siapapun, terutama perempuan untuk mencapai

kebebasan sejati dalam masyarakat yang menganut sistem berdasarkan kelas,

masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak berkekuasaan berakhir di

tangan yang berkekuasaan (Tong, 2010, p.6). Mereka percaya bahwa tekanan individu

14 Universitas Kriten Petra

hidup, kepemilikan pribadi melalui produksi oleh sejumlah manusia melalui sistem

kelas, dimanifestasikan dari gabungan kapitalisme dan imperialism. Refleksi dari

keadaan tersebut lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan. Feminis sosialis

setuju dengan feminis marxis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi terhadap

perempyan (Tong, 2010, p.6).

Pada tahun 1970 perempuan berusaha mengambil tindakan dan mendapatkan

hak legal untuk dirinya sendiri, reproduksi seksual, untuk mendapatkan pendidikan

yang lebih tinggi, mendapatkan pekerjaan. Tetapi tidak berhenti pada titik itu saja,

mulai ada penjajahan yang baru terhadap perempuan sehingga kaum perempuan

ketakutan mengenai hal yang remeh yaitu penampilan. Penampilan yang dimaksud

seperti wajah, berat badan, rambut, pakaian (Susanto, 2017, p. 16). Hal ini membuat

perempuan menjadi sangat bergantung dengan penampilan tertentu agar dapat

diterima.

Mitos-mitos penampilan dan kecantikan tercipta, namun tidak berisikan

standar kecantikan yang universal melainkan tercipta struktur sosial dengan tujuan

untuk mepertahankan penindasan terhadap perempuan. Penampilan yang menarik

terbentuk dari sebuah kontruksi sosial yang di mana konstruksi sosial itu sendiri

terbentuk karena adanya persetujuan bersama (Susanto, 2017, p. 18).

2.1.4 Feminisme dalam Film

Pada umumnya, peran perempuan dalam film digambarkan sebagai pribadi

lemah, lembut, rendah diri dan emosional, hingga tidak jarang perempuan dalam media

dijadikan sebagai obyek seks. Mereka ditindas dengan diperankan sebagai citra-citra

seperti objek seks, korban atau perempuan penggoda laki-laki (Gamble, 2004, p.8).

Rosen berpendapat bahwa: “Film ‘merefleksikan perubahan citra masyarakat

perempuan’ dan juga penampilan citra perempuan yang tradisional: ‘Cinema Women

(perempuan dalam sinema) adalah Popcorn Venus (pemanis), hibrid distorsi budaya

yang menyenangkan tetapi tidak bustensial”, karena itu, citra feminin yang ‘salah’

mengisi kepala (kosong) perempuan (Hollow, 2010, p.55).

15 Universitas Kriten Petra

Peran perempuan dalam media terlihat tertidas karena perempuan selalu

dibawah kesetarannya dari laki-laki, meski pun ada perempuan ditampilkan seperti

laki-laki tapi perempuan tidak bisa melebihi laki-laki dan di atas laki-laki. Di dalam

film penokohan laki-laki digambarkan sebagai simbol yang aktif dan perempuan

merupakan tokoh yang pasif (Hollow, 2010, p.55).

Sejak lahirnya faham feminisme, peran perempuan perlahan mulai berubah,

hal ini terlihat dalam industri perfilman Hollywood, munculnya berbagai karakter

utama yang digambarkan oleh perempuan yang memiliki kekuatan, keberanian,

kecerdasan, dan sebagainya. Film difungsikan sebagai alat perjuangan gerakan feminis.

Film dipercaya bisa dimanfaatkan sebagai alat ideology untuk melawan stereotip citra

perempuan oleh laki-laki (Nelmes, 2007, p.227). Pencitraan perempuan seperti ini

sejalan dengan perkembangan di masyarakat tentang tuntutan kesetaraan gender” (Adi,

2008, p.120).

Kini perempuan diperankan sebagai sosok yang kuat, tangguh, tegas, dan

berwibawa, dan tidak dipandang sebagai obyek seks lagi. Sosok perempuan pun

digambarkan sebagai pribadi kuat, berani, pintar dan cantik juga rupawan. Namun,

perempuan dalam media/film selalu dijadikan sebagai pendamping tokoh laki-laki, hal

ini dapat dilihat perempuan tidak bisa melindungi dirinya sendiri dan masih berada di

belakang laki-laki lain dalam menyelesaikan sebuah misi/permasalahan.

2.1.5 Representasi

Representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam budaya. Representasi

dapat diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk mengartikan sebuah kata kepada

orang lain. Representasi menjadi peran penting dalam proses yang dalam memproduksi

makna dalam budaya (Hall, 2002, p.15). Menurut Hall, ada 2 proses yaitu representasi

mental, yang segala sesuatu yang berhubungan dengan serangkaian konsep yang ada

di dalam pikiran kita, tanpa itu kita tidak dapat mengartikan dunia secara penuh dalam

kepala kita. Dan kedua adalah representasi bahasa, yang merupakan peran penting

dalam kontruksi makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala harus diterjemahkan

16 Universitas Kriten Petra

dalam bahasa yang lazim, agar dapat menghubungkan konsep dan ide-ide mengenai

sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu (Asmoyong, 2012, p. 9).

Dalam buku Hall dijelaskan, secara umum ada tiga pendekatan yang

menjelaskan bagaiman representasi makna melalui Bahasa sebagai berikut:

a. Pendekatan reflektif

Dalam pendekatan makna tergantung pada objek, orang, ide atau peristiwa

dalam dunia nyata. Bahasa hanya sebagai cerminan untuk merefleksikan segala sesuatu

yang sudah ada di dunia ini. Yang diingat bahwa banyak kata-kata, suara, dan gambar

yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau fantasi dan menunjuk kepada

dunia yang diimanjinasikan.

b. Pendekatan Intentional

Pendekatan ini mengakatan bahwa sang pembicara, peneliti, siapapun yang

menggunakan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Teori umum

dari representasi melalui bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Karena hanya

kita yang menjadi satu-satunya sumber makna. Namun, hal ini bergantung apda

pembagian kode-kode linguistik. Makna dalam pribadi, harus masuk dalam aturan-

aturan, kode-kode, dan adat bahasa untuk dibagikan dan dimengerti dengan artian

bahasa pribadi kita harus berkompromi dengan semua maka lain yang sudah ada dalam

sistem bahasa yang sudah ada.

c. Pendekatan Kontruktif

Pendekatan yang terakhir yaitu untuk mengenali publik, karakter sosial dari

bahasa. Hal ini membenarkan bahwa tidak ada sesuatu yang ada di dalam diri sendiri

termasuk pengguna bahsa secara individu dapat memastikan makna dalam bahasa.

Dalam pendekatan ini, kontruktivitis tidak menolak keberadaan materi dunia, namun

bukan materi dunia yang memberi makna tetapi sistem bahasa atau sistem apapun yang

digunakan untuk mempresentasikan konsep kita.

Pendekatan konstruktif dianggap pendekatan pendekatan yang lebih tepat

dipakai dalam penelitian ini, karena pendekatan ini dekat dengan sosial dan budaya

yang memengaruhi representasi yang digambarkan terhadap feminisme dalam film

“Tomb Raider”. Pendekatan ini dapat membangun makna serta pembentukan makna

17 Universitas Kriten Petra

yang merepresentasikan konsep dari sekitar melalui bahasa, sesuai dengan feminisme

tokoh perempuan yang direpresentasikan dalam film “Tomb Raider”. Pembahasan

representasi ini akan diteliti dengan mengidentifikasi dengan watak tokoh perempuan,

pengaruh-pengaruh sosial yang ada pada zaman itu, pandangan atau sikap dari tokoh

pria, maupun masyarakat yang ditujukan bagi perempuan.

2.1.6 Semiotika

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia

sebagai sistem hubungan dasar yang disebut dengan ‘tanda’ (Sobur, 2004, p.87).

Menurut Penjelasan yang diberikan, oleh Sobur, maka semiotika merupakan sebuah

ilmu yang mempelajari mengenai tanda-tanda yang dirangkai sedemikian rupa

sehingga memiliki arti yang lain bergantung pada pemahaman audience. Sehingga

semiotika merupakan pesan dari sebuah kontruksi dari tanda-tanda yang akan

memproduksi makna melalui interaksi dengan audiens (Fiske, 2004, p. 55)

Dalam perkembangannya semiotika mempunyai tiga bidang studi utama

(Fiske, 2004, p. 60-61):

a. Tanda itu sendiri, artinya adalah adanya studi mengenai berbagai tanda yang

berbeda dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda

adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang

menggunakannya.

b. Kode atau sistem yang mengorganisikan tanda. Studi ini mencakup cara

berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau

budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk

mentransmisikannya.

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini bergantung pada

penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

18 Universitas Kriten Petra

Menurut Peirce ada relasi segitiga antara tanda, pengguna, dan realitas

eksternal sebagai model untuk mengkaji makna. Peirce menjelaskan modelnya secara

sederhana yaitu tanda merunjuk kepada sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk

sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni,

menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu

tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakan dinamakan Interpretant dari tanda

pertama. Tanda menunjukkan sesuatu yaitu objeknya (Fiske, 2004, p.63)

Bagan 2.1 Unsur makna dari Peirce

Sumber: Fiske (2004 , p.63)

Peirce menjelaskan bahwa panah dua arah menekan masing-masing istilah

dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada

sesuatu di luar dirinya sendiri yaitu objek, dan ini dipahami oleh seseorang dan ini

memiliki efek di benak penggunanya yaitu interpretant, interpretant sendiri

merupakan efek pentandaan yang disebut Peirce sebagai ‘efek pentandaan yang tepat’

karena konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman pengguna

objek. Pengguna Objek itu sendiri dapat sebagai decoder maupun encoder.

19 Universitas Kriten Petra

Tokoh semiotika lainya menjelaskan model segitiga yang tidak jauh beda

dengan Peirce, yaitu Ogden dan Richards (1923), mereka membuat model amat mirip

dengan Peirce, istilah referent terkait erat dengan objek dalam Peirce. Dalam Ogden

dan Richard reference, dan referent terhubung langsung begitu juga dengan simbol dan

reference, namun hubungan antar simbol dan referent tidak secara langsung. Mereka

menempatkan simbol pada posisi kunci: simbol-simbol tersebut langsung

mengorganisasikan pemikiran-pemikiran (reference) kita dan akan diorganisasikan

dengan persepsi atas realitas. Simbol dan reference dalam model ini mirip penanda

(signifier) dan petanda (signified) pada Saussure (Fiske, 2004, p.64).

Bagan 2.2 Unsur Makna dari Ogden & Richards

Sumber: Fiske (2004, p. 64)

Ferdinand de Saussure juga mengemukakan cara tanda-tanda (berupa kata-

kata atau bahasa) terkait dengan tanda-tanda lain atau dapat dikatakan ia lebih

memfokuskan perhatiannya langsung pada tanda itu sendiri. Dalam Saussure, tanda

merupakan objek fisik dari sebuah makna atau untuk menggunakan istilahnya sebuah

tanda terdiri atas penanda atau petanda. Penanda merupakan citra tanda seperti kita

persepsi sedangkan petanda konsep mental yang diacukan petanda. Konsep penanda

dan petanda Saussure mirip dengan konsep tanda dan interpretant Peirce, namun dalam

Saussure kurang menunjukkan relasi antara kedua ‘objek’nya, sehingga mengubahnya

menjadi pertandaan (Signifikasi) (Fiske, 2004, p. 65).

20 Universitas Kriten Petra

Bagan 2.3 Unsur Makna dari Saussure

Sumber: Fiske (2004, p. 66)

Dari model di atas, Saussure ingin menyampaikan bahwa tanda terdiri atas

fisik dan konsep mental yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas

realitas eksternal. Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang

menggunakannya (Fiske, 2004, p. 62).

Penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan teori semiotika versi John

Fiske, dengan model John Fiske membantu peneliti untuk menjelaskan penggambaran

representasi feminisme yang terdapat dalam film “Tomb Raider”. Karena dalam John

Fiske, ia mengkategorisasikan kode-kode televisi ke dalam tiga level, yaitu level

realitas (reality), representasi (representation), dan ideology (ideology).

2.1.7 Kode-Kode Televisi John Fiske

John Fiske mengemukakan teori mengenai The Codes of Television (kode-

kode Televisi) yaitu untuk menganalisis sinema atau film, Fiske membagi menjadi 3

level, yaitu (Lilyana, 2006, p. 19):

1. Level realitas (reality): Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan,

pakaian dan make up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku,

ucapan, gesture, ekspresi, dialog dan sebagainya. Ini yang dipahami

sebagai kode budaya yang ditangkap melalui kode-kode teknis.

21 Universitas Kriten Petra

2. Level Representasi: Level representasi meliputi kerja kamera,

pencahayaan, editing, music dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-

kode representasi yang bersifat konvensional. Level representasi meliputi:

a. Teknik kamera: Jarak dan sudut pengambilan

1. Long shot (LS): Pengambilan yang menunjukkan semua

bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya

dipakai dalam tema-tema sosial yang memperlihatkan banyak orang

dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu

sebagai fokusnya.

2. Estabilishing shot: Biasanya digunakan untuk membuka suatu

adegan.

3. Medium Shot (MS): Shot gambar yang jika objeknya adalah

manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas

kepala. Medium Shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium shot

(WMS), gambar medium shot tetapi agak melebar ke samping kanan

kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan

memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter,

secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.

4. Close Up: Menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter

wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek

dengan konteksnya, Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan

reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan untuk menunjukkan

emosi seseorang.

5. View Point: Jarak dan sudut nyata dari mana kamera

memandang dan merekam objek.

6. Point of View: Sebuah pengambilan kamera yang

mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada, yang

sedang memperlihatkan aksi lain.

22 Universitas Kriten Petra

7. Selective Focus: Memberikan efek dengan menggunakan

peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian

lainnya.

8. Eye Level View: Pengambilan gambar dari level yang sejajar

dari mata manusia biasa untuk memperlihatkan tokoh-tokoh yang ada

di adegan tersebut.

9. Full Shot (FS): Pengambilan gambar yang menunjukkan

satu karakter penuh dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki.

10. Insert Frame: Di mana salah satu karakter masuk ke dalam

adegan tertentu yang sudah berjalan sebelumnya.

b. Pewarnaan

Warna menjadi unsur media visual, karena dengan warnalah

informasi bisa dilihat. Warna ini pada mulanya hanya merupakan unsur

teknis yang membuat benda bisa dilihat. Dalam film animasi warna

bertutur dengan gambar, yang fungsinya berkembang semakin banyak,

yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfir

set dan bisa menunjang dramatik adegan.

c. Teknik editing meliputi:

1. Cut: Merupakan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan,

sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang

mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu,

memperbanyak point of view, atau membentuk kesan terhadap image

atau ide.

2. Jump cut: Untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

3. Motivated cut: Bertujuan untuk membuat penonton segera

ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.

d. Penataan Suara

a.Commentar / voice – over narration : biasanya digunakan

untuk memperkenalkan bagian tertentu dari suatu program, menambah

informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan

23 Universitas Kriten Petra

kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian

atau sequences dari program secara bersamaan.

b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu

kejadian.

c. Music: Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk

mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik yang turut

mendukung keadaan emosional atau adegan.

3. Level Idiologi: Level ini adalah hasil dari level realita dan level

representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan

hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme,

patriarki, ras, kelas, materialisme atau kapitalisme

2.2 Nisbah antar Konsep

Film merupakan salah satu media komunikasi massa kepada penontonnya.

Dalam film berisi gambaran realitas sosial yang terjadi di dunia nyata, walaupun

merupakan hasil dari cerita fiksi seorang peneliti. Film juga merupakan representasi

atau gambaran dari realitas yang ada dalam masyarakat. Dengan menggunakan tanda-

tanda yang dikonstruksi oleh pembuat film, masyarakat dapat memahami tanda dan

makna dalam film maupun pesan-pesan yang terdapat dalam film.

Feminisme merupakan sebuah gerakan untuk menolong kaum perempuan dari

penindasan laki-laki, sehingga perempuan mendapatkan haknya kembali. Film Tomb

Raider yang diperankan oleh Angelina Jolie mendapat respons negatif, sedangkan yang

diperankan oleh Alicia Vikander mendapat respons positif. Representasi feminisme

yang terdapat dalam film “Tomb Raider” dapat dilihat dengan metode semiotika,

karena semiotika merupakan proses untuk menginterpretasikan kode dan pesan yang

direpresentasikan oleh media agar penonton dapat memahami makna yang tersimpan

dalam sebuah teks. Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu

bekerja, di mana perhatian utamanya terfokus pada teks. Peneliti menggunakan teori

24 Universitas Kriten Petra

semiotika kode-kode televisi John Fiske untuk menganalisis berbagai tanda yang

berbeda mengenai feminisme dalam menyampaikan makna.

25 Universitas Kriten Petra

2.3 Kerangka Pemikiran

Film “Tomb Raider” memiliki peran perempuan yang setara

dengan laki-laki yang di mana perempuan menjadi seorang pencari

harta karun

Kode-kode televisi John Fiske

Gambaran mengenai representasi Feminisme dalam

Film “Tomb Raider”

Ideologi Representasi Realitas

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam

proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan

yang tersedia: dialog, video, film, dan lain-lain

Bagan 2.3 Kerangka Pemikiran

Olahan: Peneliti

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari mengenai produksi

tanda dan lambang di masyarakat

Gerakan feminisme yang merupakan gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan hak

antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki

Dalam feminisme berisi tiga komponen penting:

1. Sex Equality

2. Konstruksi Sosial

3. Identitas dan Peran Gender

Film “Tomb Raider” yang diperankan Angelina Jolie mendapat

respons negatif karena lebih menonjolkan seksualitasnya.

Sedangkan saat diperankan Alicia Vikander mendapat respons

positif karena lebih menunjukkan feminismenya