2. tinjauan pustaka
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of 2. tinjauan pustaka
9 Universitas Kriten Petra
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori yang dipergunakan
2.1.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa
Menurut McQuail, film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang
berupa media audio visual, yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah
menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak,
dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. (McQuail, 1987 dalam Lilyana
2006 p.7). Banyak penelitian mengenai dampak film terhadap masyarakat, hubungan
antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film dapat
mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di
baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Namun, terdapat argument bahwa film
adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat, sehingga film merekam realitas
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya
ke atas layar (Sobur, 2004, p. 127).
Menurut Charles R. Wright Film yang merupakan salah satu dari bagian
media massa memiliki fungsi, yaitu (Wiryanto, 2000, p. 11-12):
a. Surveilance
Sebagai pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian
dalam lingkungan, baik dari luar maupun dalam masyarakat.
b. Correlation
Meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah
laku tertentu dalam mereaksi kejadian-kejadian. Fungsi ini sering di-indentifikasikan
sebagai fungsi editorial atau propaganda.
c. Transmission
Sebagai fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai, dan norma sosial
budaya dari satu generasi ke generasi yang lain, atau dari anggota suatu masyarakat ke
pendatang baru. Fungsi ini, di-identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.
10 Universitas Kriten Petra
d. Entertainment
Menunjukkan pada kegiatan-kegiatan komunikatif yang dimaksudkan untuk
memberikan hiburan tanpa mengharapkan efek-efek tertentu.
Fungsi utama dalam film, radio, televisi adalah untuk menghibur (to
entertain), yang merupakan salah satu fungsi komunikasi massa, selain menghibur,
fungsi lainnya yaitu untuk menyiarkan informasi (to inform) dan mendidik (to educate)
(Effendy, 2002, p.54). Khalayak pergi ke bioskop, membeli radio atau televisi, adalah
untuk mencari hiburan. Karena kisah-kisah yang terdapat dalam film, propaganda
radio, dan televisi juga menyajikan segi-segi informasi dan pendidikan (Effendy, 2002,
p.55).
2.1.2 Definisi Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa Latin yaitu Femina (woman), yang berarti
“having the qualities of females”. Istilah tersebut merujuk pada teori persamaan seksual
dan gerakan hak-hak asasi perempuan (Valentina, 2004 dalam Susanto, p.10).Dalam
buku “Dictionary of Feminist Theories” menyebutkan feminisme merupakan ideology
pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah
keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang
dimilikinya (Hidayatullah, 2010, p.5).
Feminisme berawal dari sebuah persepsi mengenai adanya ketimpangan
posisi perempuan dibanding laki-laki dalam masyarakat. Nancy F. Coot menulis dalam
buku “The Grounding of Modern Feminism” bahwa pengertian feminisme
mengandung tiga komponen penting:
1. Sex equality: menentang adanya posisi hierarkis (superior dan inferior) diantara jenis
kelamin. Persamaan bukan hanya kuantitas, namun juga kualitas.
2. Konstruksi sosial: relasi antara laki-laki dan perempuan yang hingga sekarang,
merupakan hasil kontruksi sosial bukan ditentukan oleh natur (kodrat ilahi).
3. Identitas dan peran gender: kelompok feminisme menolak perbedaan yang
mencampuradukkan seks dan gender, sehingga perempuan dijadikan sebagai
kelompok tersendiri dalam masyarakat. Akibat pengelompokkan ini, Simone de
11 Universitas Kriten Petra
Beauvoir dan The Second Sex mengatakan bahwa perempuan menjadi “the other
human being”, bukan manusia. Sehingga akibat pengelompokan sosial ini, perempuan
sukar untuk sadar mengenai eksistensi pribadinya atau menjadi dirinya (Murniarti,
2004, p.26-27).
2.1.3 Perkembangan Feminisme
Pada hakekatnya, tujuan dari feminisme adalah transformasi sosial untuk
menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme
merupakan gerakan yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antara sesama, agar
lebih baik dan adil (Irwan. 2009, p.37). Gerakan feminisme dibagi menjadi tiga
periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wafe feminism), gelombang kedua
(second wafe feminism), dan gelombang ketiga (third wafe feminism)
Pada gelombang pertama, feminisme mengangkat isu-isu persamaan hak bagi
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan, politik,
dan ekonomi. Gelombang ini dimulai dengan penggerakan-penggerakan feminisme
yang menajukan pertanyaan-pertanyaan sosiologis serta peranan perempuan yang
mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan di masyarakat, terutama
persoalan hak-hak sipilnya (Arivia, 2006, p.18). Dalam bidang sosial, kaum feminis
menandai bahwa hak-hak perempuan sangat terbatas. Tradisi menghendaki perempuan
menjadi pengurus rumah tangga dan keluarga, sehingga sebagian besar masa hidupnya
dihabiskan dalam lingkungan rumah. Selain itu, perempuan juga tidak diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi memangku jabatan-jabatan tertentu,
atau menekuni profesi-profesi tertentu. Keterbatasan perempuan dalam bidang sosial
juga berpengaruh pada kehidupan ekonomi mereka. Sebagian lapangan kerja tertutup
bagi perempuan dan kalaupun mereka diberi kesempatan untuk mencari nafkah, upah
yang diterima akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diterima laki-
laki (Paramitha, 2009). Sementara, bidang politik dipilih kaum feminis sebagai jalan
keluar untuk segala tuntutan mereka yang tidak juga dipenuhi oleh pemerintah. Mereka
beranggapan bahwa keadaan perempuan tidak akan mengalami kemajuan jika
pemerintah tetap didominasi oleh laki-laki (Djajanegara, 2000, p.6-7).
12 Universitas Kriten Petra
Pada gelombang kedua muncul gerakan feminisme yang berhubungan dengan
upaya mereka beranjak dari aktivitas sifat yang praktis menuju kearah kegiatan yang
sifatnya teoritis. Pada tahap teori ini, pembahasan difokuskan kepada “perbedaan”
yang diciptakan antara perempuan dan laki-laki yang terjadi secara mengakar sebagai
“kodratiah” (Arivia, 2006, p.19). Tugas feminisme gelombang kedua adalah untuk
menjawab tantangan teori Marxisme, namun pada tahun 1970-an feminisme
gelombang kedua mulai memfokuskan diri kepada pemikiran bahwa perempuan
memilki kemampuan yang sama seperti laki-laki. Singkatnya “perempuan dan laki-laki
adalah sama” (Arivia, 2003, p.120).
Gerakan feminisme gelombang ketiga ini masih sulit didefinisikan dan label
ini masih mempunyai sedikit arti. Namun, debat-debat menunjukkan feminisme masih
menunjukkan vitalitasnya dan wanita punya potensi untuk mengambil tindakan tidak
hanya personal saja, tetapi juga secara politis (Hannam, 2007, p.166).
Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu
kekuaran politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. Dalam buku Rosemarie Tong
yang berjudul Feminist Thougt berisi landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam
gelombang feminisme yaitu feminisme liberal, Feminisme radikal, dan feminisme
Marxis atau Sosialis (Arivia, 2003, p.85).
Dalam feminisme liberal, memandang diskriminasi wanita yang diperlakukan
secara tidak adil. Menurut Feminisme Liberal, keadilan gender dapat dimulai dari diri
sendiri. Pertama, peraturan untuk permainannya harus adil, kedua pastikan tidak ada
pihak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan sistem yang
dipakainya haruslah sistematis serta tida ada yang dirugikan (Tong, 2010, p.2). Bagi
kaum liberal klasik, Negara yang ideal harus melindungi kebebasan sipilnya dan
memberikan kesempatan setiap individu yang setara. Kaum liberal berorientasi kepada
kesejahteraan, sebaliknya Negara yang ideal lebih berfokus pada keadilan ekonomi
kebebasan sipil (Tong, 2010, p.16-17). Tujuan dari feminisme liberal adalah untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang. Salah
satu feminis liberal yang bernama Wollstonecraft menghadirkan visi seorang
perempuan yang memiliki kekuatan fisik dan pikiran, bukan merupakan budak atau
13 Universitas Kriten Petra
hasratnya, bukan budak suami maupun anak-anaknya. Perempuan adalah personhood
– manusia secara utuh. Perempuan bukanlah mainan laki-laki atau lonceng laki-laki
(Tong, 2010, p, 21).
Setelah Feminisme Liberal, terdapat feminisme Radikal, feminisme ini
menganggap sistem patriarkal ditandai kekuasaan, dominasi, hirarki dan kompetisi.
Sistem ini tidak dapat dibentuk ulang, tetapi harus dicabut dari akar dan cabang-
cabangnya (Tong, 2010, p. 3). Menurut Arivia (2005, p.100-102), inti dari gerakan
feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan, mereka mencurigai bahwa
penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan
lingkup publik. Dalam konsep feminis radikal memiliki slogan bahwa “yang pribadi
adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan
penindasan dalam lingkup publik. Adanya prioritas dalam feminis untuk
memenangkan isu-isu mengenai kesehatan, mereka ingin menyadarkan bahwa
perepuan adalah pemiliki atas tubuh mereka sendiri, mereka memiliki hak untuk
memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal
kesehatan dan reproduksi.
Para feminis radikal mengklaim bahwa gender merupakan hal yang terpisah
dari jenis kelamin dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku,
untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif dan laki-laki yang aktif. Karena itu,
cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas
perempuan adalah dengan menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk
menjadi pasif. Begitu pula dengan laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif,
kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminine dan maskulin
yang paling baik mereflesikan kepribadian unik mereka masing-masing (Tong, 2010,
p. 72-73).
Terakhir adalah Feminisme Marxist dan sosialis. Dalam feminisme ini
menyatakan bahwa mustahil untuk siapapun, terutama perempuan untuk mencapai
kebebasan sejati dalam masyarakat yang menganut sistem berdasarkan kelas,
masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak berkekuasaan berakhir di
tangan yang berkekuasaan (Tong, 2010, p.6). Mereka percaya bahwa tekanan individu
14 Universitas Kriten Petra
hidup, kepemilikan pribadi melalui produksi oleh sejumlah manusia melalui sistem
kelas, dimanifestasikan dari gabungan kapitalisme dan imperialism. Refleksi dari
keadaan tersebut lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan. Feminis sosialis
setuju dengan feminis marxis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi terhadap
perempyan (Tong, 2010, p.6).
Pada tahun 1970 perempuan berusaha mengambil tindakan dan mendapatkan
hak legal untuk dirinya sendiri, reproduksi seksual, untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih tinggi, mendapatkan pekerjaan. Tetapi tidak berhenti pada titik itu saja,
mulai ada penjajahan yang baru terhadap perempuan sehingga kaum perempuan
ketakutan mengenai hal yang remeh yaitu penampilan. Penampilan yang dimaksud
seperti wajah, berat badan, rambut, pakaian (Susanto, 2017, p. 16). Hal ini membuat
perempuan menjadi sangat bergantung dengan penampilan tertentu agar dapat
diterima.
Mitos-mitos penampilan dan kecantikan tercipta, namun tidak berisikan
standar kecantikan yang universal melainkan tercipta struktur sosial dengan tujuan
untuk mepertahankan penindasan terhadap perempuan. Penampilan yang menarik
terbentuk dari sebuah kontruksi sosial yang di mana konstruksi sosial itu sendiri
terbentuk karena adanya persetujuan bersama (Susanto, 2017, p. 18).
2.1.4 Feminisme dalam Film
Pada umumnya, peran perempuan dalam film digambarkan sebagai pribadi
lemah, lembut, rendah diri dan emosional, hingga tidak jarang perempuan dalam media
dijadikan sebagai obyek seks. Mereka ditindas dengan diperankan sebagai citra-citra
seperti objek seks, korban atau perempuan penggoda laki-laki (Gamble, 2004, p.8).
Rosen berpendapat bahwa: “Film ‘merefleksikan perubahan citra masyarakat
perempuan’ dan juga penampilan citra perempuan yang tradisional: ‘Cinema Women
(perempuan dalam sinema) adalah Popcorn Venus (pemanis), hibrid distorsi budaya
yang menyenangkan tetapi tidak bustensial”, karena itu, citra feminin yang ‘salah’
mengisi kepala (kosong) perempuan (Hollow, 2010, p.55).
15 Universitas Kriten Petra
Peran perempuan dalam media terlihat tertidas karena perempuan selalu
dibawah kesetarannya dari laki-laki, meski pun ada perempuan ditampilkan seperti
laki-laki tapi perempuan tidak bisa melebihi laki-laki dan di atas laki-laki. Di dalam
film penokohan laki-laki digambarkan sebagai simbol yang aktif dan perempuan
merupakan tokoh yang pasif (Hollow, 2010, p.55).
Sejak lahirnya faham feminisme, peran perempuan perlahan mulai berubah,
hal ini terlihat dalam industri perfilman Hollywood, munculnya berbagai karakter
utama yang digambarkan oleh perempuan yang memiliki kekuatan, keberanian,
kecerdasan, dan sebagainya. Film difungsikan sebagai alat perjuangan gerakan feminis.
Film dipercaya bisa dimanfaatkan sebagai alat ideology untuk melawan stereotip citra
perempuan oleh laki-laki (Nelmes, 2007, p.227). Pencitraan perempuan seperti ini
sejalan dengan perkembangan di masyarakat tentang tuntutan kesetaraan gender” (Adi,
2008, p.120).
Kini perempuan diperankan sebagai sosok yang kuat, tangguh, tegas, dan
berwibawa, dan tidak dipandang sebagai obyek seks lagi. Sosok perempuan pun
digambarkan sebagai pribadi kuat, berani, pintar dan cantik juga rupawan. Namun,
perempuan dalam media/film selalu dijadikan sebagai pendamping tokoh laki-laki, hal
ini dapat dilihat perempuan tidak bisa melindungi dirinya sendiri dan masih berada di
belakang laki-laki lain dalam menyelesaikan sebuah misi/permasalahan.
2.1.5 Representasi
Representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam budaya. Representasi
dapat diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk mengartikan sebuah kata kepada
orang lain. Representasi menjadi peran penting dalam proses yang dalam memproduksi
makna dalam budaya (Hall, 2002, p.15). Menurut Hall, ada 2 proses yaitu representasi
mental, yang segala sesuatu yang berhubungan dengan serangkaian konsep yang ada
di dalam pikiran kita, tanpa itu kita tidak dapat mengartikan dunia secara penuh dalam
kepala kita. Dan kedua adalah representasi bahasa, yang merupakan peran penting
dalam kontruksi makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala harus diterjemahkan
16 Universitas Kriten Petra
dalam bahasa yang lazim, agar dapat menghubungkan konsep dan ide-ide mengenai
sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu (Asmoyong, 2012, p. 9).
Dalam buku Hall dijelaskan, secara umum ada tiga pendekatan yang
menjelaskan bagaiman representasi makna melalui Bahasa sebagai berikut:
a. Pendekatan reflektif
Dalam pendekatan makna tergantung pada objek, orang, ide atau peristiwa
dalam dunia nyata. Bahasa hanya sebagai cerminan untuk merefleksikan segala sesuatu
yang sudah ada di dunia ini. Yang diingat bahwa banyak kata-kata, suara, dan gambar
yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau fantasi dan menunjuk kepada
dunia yang diimanjinasikan.
b. Pendekatan Intentional
Pendekatan ini mengakatan bahwa sang pembicara, peneliti, siapapun yang
menggunakan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Teori umum
dari representasi melalui bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Karena hanya
kita yang menjadi satu-satunya sumber makna. Namun, hal ini bergantung apda
pembagian kode-kode linguistik. Makna dalam pribadi, harus masuk dalam aturan-
aturan, kode-kode, dan adat bahasa untuk dibagikan dan dimengerti dengan artian
bahasa pribadi kita harus berkompromi dengan semua maka lain yang sudah ada dalam
sistem bahasa yang sudah ada.
c. Pendekatan Kontruktif
Pendekatan yang terakhir yaitu untuk mengenali publik, karakter sosial dari
bahasa. Hal ini membenarkan bahwa tidak ada sesuatu yang ada di dalam diri sendiri
termasuk pengguna bahsa secara individu dapat memastikan makna dalam bahasa.
Dalam pendekatan ini, kontruktivitis tidak menolak keberadaan materi dunia, namun
bukan materi dunia yang memberi makna tetapi sistem bahasa atau sistem apapun yang
digunakan untuk mempresentasikan konsep kita.
Pendekatan konstruktif dianggap pendekatan pendekatan yang lebih tepat
dipakai dalam penelitian ini, karena pendekatan ini dekat dengan sosial dan budaya
yang memengaruhi representasi yang digambarkan terhadap feminisme dalam film
“Tomb Raider”. Pendekatan ini dapat membangun makna serta pembentukan makna
17 Universitas Kriten Petra
yang merepresentasikan konsep dari sekitar melalui bahasa, sesuai dengan feminisme
tokoh perempuan yang direpresentasikan dalam film “Tomb Raider”. Pembahasan
representasi ini akan diteliti dengan mengidentifikasi dengan watak tokoh perempuan,
pengaruh-pengaruh sosial yang ada pada zaman itu, pandangan atau sikap dari tokoh
pria, maupun masyarakat yang ditujukan bagi perempuan.
2.1.6 Semiotika
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia
sebagai sistem hubungan dasar yang disebut dengan ‘tanda’ (Sobur, 2004, p.87).
Menurut Penjelasan yang diberikan, oleh Sobur, maka semiotika merupakan sebuah
ilmu yang mempelajari mengenai tanda-tanda yang dirangkai sedemikian rupa
sehingga memiliki arti yang lain bergantung pada pemahaman audience. Sehingga
semiotika merupakan pesan dari sebuah kontruksi dari tanda-tanda yang akan
memproduksi makna melalui interaksi dengan audiens (Fiske, 2004, p. 55)
Dalam perkembangannya semiotika mempunyai tiga bidang studi utama
(Fiske, 2004, p. 60-61):
a. Tanda itu sendiri, artinya adalah adanya studi mengenai berbagai tanda yang
berbeda dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda
adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang
menggunakannya.
b. Kode atau sistem yang mengorganisikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau
budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk
mentransmisikannya.
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
18 Universitas Kriten Petra
Menurut Peirce ada relasi segitiga antara tanda, pengguna, dan realitas
eksternal sebagai model untuk mengkaji makna. Peirce menjelaskan modelnya secara
sederhana yaitu tanda merunjuk kepada sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk
sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni,
menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu
tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakan dinamakan Interpretant dari tanda
pertama. Tanda menunjukkan sesuatu yaitu objeknya (Fiske, 2004, p.63)
Bagan 2.1 Unsur makna dari Peirce
Sumber: Fiske (2004 , p.63)
Peirce menjelaskan bahwa panah dua arah menekan masing-masing istilah
dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada
sesuatu di luar dirinya sendiri yaitu objek, dan ini dipahami oleh seseorang dan ini
memiliki efek di benak penggunanya yaitu interpretant, interpretant sendiri
merupakan efek pentandaan yang disebut Peirce sebagai ‘efek pentandaan yang tepat’
karena konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman pengguna
objek. Pengguna Objek itu sendiri dapat sebagai decoder maupun encoder.
19 Universitas Kriten Petra
Tokoh semiotika lainya menjelaskan model segitiga yang tidak jauh beda
dengan Peirce, yaitu Ogden dan Richards (1923), mereka membuat model amat mirip
dengan Peirce, istilah referent terkait erat dengan objek dalam Peirce. Dalam Ogden
dan Richard reference, dan referent terhubung langsung begitu juga dengan simbol dan
reference, namun hubungan antar simbol dan referent tidak secara langsung. Mereka
menempatkan simbol pada posisi kunci: simbol-simbol tersebut langsung
mengorganisasikan pemikiran-pemikiran (reference) kita dan akan diorganisasikan
dengan persepsi atas realitas. Simbol dan reference dalam model ini mirip penanda
(signifier) dan petanda (signified) pada Saussure (Fiske, 2004, p.64).
Bagan 2.2 Unsur Makna dari Ogden & Richards
Sumber: Fiske (2004, p. 64)
Ferdinand de Saussure juga mengemukakan cara tanda-tanda (berupa kata-
kata atau bahasa) terkait dengan tanda-tanda lain atau dapat dikatakan ia lebih
memfokuskan perhatiannya langsung pada tanda itu sendiri. Dalam Saussure, tanda
merupakan objek fisik dari sebuah makna atau untuk menggunakan istilahnya sebuah
tanda terdiri atas penanda atau petanda. Penanda merupakan citra tanda seperti kita
persepsi sedangkan petanda konsep mental yang diacukan petanda. Konsep penanda
dan petanda Saussure mirip dengan konsep tanda dan interpretant Peirce, namun dalam
Saussure kurang menunjukkan relasi antara kedua ‘objek’nya, sehingga mengubahnya
menjadi pertandaan (Signifikasi) (Fiske, 2004, p. 65).
20 Universitas Kriten Petra
Bagan 2.3 Unsur Makna dari Saussure
Sumber: Fiske (2004, p. 66)
Dari model di atas, Saussure ingin menyampaikan bahwa tanda terdiri atas
fisik dan konsep mental yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas
realitas eksternal. Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang
menggunakannya (Fiske, 2004, p. 62).
Penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan teori semiotika versi John
Fiske, dengan model John Fiske membantu peneliti untuk menjelaskan penggambaran
representasi feminisme yang terdapat dalam film “Tomb Raider”. Karena dalam John
Fiske, ia mengkategorisasikan kode-kode televisi ke dalam tiga level, yaitu level
realitas (reality), representasi (representation), dan ideology (ideology).
2.1.7 Kode-Kode Televisi John Fiske
John Fiske mengemukakan teori mengenai The Codes of Television (kode-
kode Televisi) yaitu untuk menganalisis sinema atau film, Fiske membagi menjadi 3
level, yaitu (Lilyana, 2006, p. 19):
1. Level realitas (reality): Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan,
pakaian dan make up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku,
ucapan, gesture, ekspresi, dialog dan sebagainya. Ini yang dipahami
sebagai kode budaya yang ditangkap melalui kode-kode teknis.
21 Universitas Kriten Petra
2. Level Representasi: Level representasi meliputi kerja kamera,
pencahayaan, editing, music dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-
kode representasi yang bersifat konvensional. Level representasi meliputi:
a. Teknik kamera: Jarak dan sudut pengambilan
1. Long shot (LS): Pengambilan yang menunjukkan semua
bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya
dipakai dalam tema-tema sosial yang memperlihatkan banyak orang
dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu
sebagai fokusnya.
2. Estabilishing shot: Biasanya digunakan untuk membuka suatu
adegan.
3. Medium Shot (MS): Shot gambar yang jika objeknya adalah
manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas
kepala. Medium Shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium shot
(WMS), gambar medium shot tetapi agak melebar ke samping kanan
kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan
memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter,
secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.
4. Close Up: Menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter
wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek
dengan konteksnya, Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan
reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan untuk menunjukkan
emosi seseorang.
5. View Point: Jarak dan sudut nyata dari mana kamera
memandang dan merekam objek.
6. Point of View: Sebuah pengambilan kamera yang
mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada, yang
sedang memperlihatkan aksi lain.
22 Universitas Kriten Petra
7. Selective Focus: Memberikan efek dengan menggunakan
peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian
lainnya.
8. Eye Level View: Pengambilan gambar dari level yang sejajar
dari mata manusia biasa untuk memperlihatkan tokoh-tokoh yang ada
di adegan tersebut.
9. Full Shot (FS): Pengambilan gambar yang menunjukkan
satu karakter penuh dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki.
10. Insert Frame: Di mana salah satu karakter masuk ke dalam
adegan tertentu yang sudah berjalan sebelumnya.
b. Pewarnaan
Warna menjadi unsur media visual, karena dengan warnalah
informasi bisa dilihat. Warna ini pada mulanya hanya merupakan unsur
teknis yang membuat benda bisa dilihat. Dalam film animasi warna
bertutur dengan gambar, yang fungsinya berkembang semakin banyak,
yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfir
set dan bisa menunjang dramatik adegan.
c. Teknik editing meliputi:
1. Cut: Merupakan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan,
sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang
mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu,
memperbanyak point of view, atau membentuk kesan terhadap image
atau ide.
2. Jump cut: Untuk membuat suatu adegan yang dramatis.
3. Motivated cut: Bertujuan untuk membuat penonton segera
ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
d. Penataan Suara
a.Commentar / voice – over narration : biasanya digunakan
untuk memperkenalkan bagian tertentu dari suatu program, menambah
informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan
23 Universitas Kriten Petra
kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian
atau sequences dari program secara bersamaan.
b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu
kejadian.
c. Music: Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk
mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik yang turut
mendukung keadaan emosional atau adegan.
3. Level Idiologi: Level ini adalah hasil dari level realita dan level
representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan
hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme,
patriarki, ras, kelas, materialisme atau kapitalisme
2.2 Nisbah antar Konsep
Film merupakan salah satu media komunikasi massa kepada penontonnya.
Dalam film berisi gambaran realitas sosial yang terjadi di dunia nyata, walaupun
merupakan hasil dari cerita fiksi seorang peneliti. Film juga merupakan representasi
atau gambaran dari realitas yang ada dalam masyarakat. Dengan menggunakan tanda-
tanda yang dikonstruksi oleh pembuat film, masyarakat dapat memahami tanda dan
makna dalam film maupun pesan-pesan yang terdapat dalam film.
Feminisme merupakan sebuah gerakan untuk menolong kaum perempuan dari
penindasan laki-laki, sehingga perempuan mendapatkan haknya kembali. Film Tomb
Raider yang diperankan oleh Angelina Jolie mendapat respons negatif, sedangkan yang
diperankan oleh Alicia Vikander mendapat respons positif. Representasi feminisme
yang terdapat dalam film “Tomb Raider” dapat dilihat dengan metode semiotika,
karena semiotika merupakan proses untuk menginterpretasikan kode dan pesan yang
direpresentasikan oleh media agar penonton dapat memahami makna yang tersimpan
dalam sebuah teks. Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu
bekerja, di mana perhatian utamanya terfokus pada teks. Peneliti menggunakan teori
24 Universitas Kriten Petra
semiotika kode-kode televisi John Fiske untuk menganalisis berbagai tanda yang
berbeda mengenai feminisme dalam menyampaikan makna.
25 Universitas Kriten Petra
2.3 Kerangka Pemikiran
Film “Tomb Raider” memiliki peran perempuan yang setara
dengan laki-laki yang di mana perempuan menjadi seorang pencari
harta karun
Kode-kode televisi John Fiske
Gambaran mengenai representasi Feminisme dalam
Film “Tomb Raider”
Ideologi Representasi Realitas
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam
proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan
yang tersedia: dialog, video, film, dan lain-lain
Bagan 2.3 Kerangka Pemikiran
Olahan: Peneliti
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari mengenai produksi
tanda dan lambang di masyarakat
Gerakan feminisme yang merupakan gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan hak
antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki
Dalam feminisme berisi tiga komponen penting:
1. Sex Equality
2. Konstruksi Sosial
3. Identitas dan Peran Gender
Film “Tomb Raider” yang diperankan Angelina Jolie mendapat
respons negatif karena lebih menonjolkan seksualitasnya.
Sedangkan saat diperankan Alicia Vikander mendapat respons
positif karena lebih menunjukkan feminismenya