Tugas PBL KESMES

17
KEMATIAN METERNAL Definisi Kematian meternal adalah kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan, atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh penyebab tambahan lainnya. Bedasarkan definisi ini kematian maternal dapat digolongkan pada (1) kematian obstetrik langsung (direct obstetric death), (2) kematian obstetrik tidak langsung (indirect obstetric death), dan (3) kematian yang terjadi bersamaan tetapi tidak berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, misalnya kecelakaan. Kematian obstetric langsung disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas, atau penanganannya. Di Negara-negara sedang berkembang sebagian besar penyebab ini adalah pendarahan, infeksi, gestosis, dan abortus. Kematian tidak langsung disebabkan oleh penyakit atau koplikasi lain yang sudah ada sebelum kehamilan atau persalinan, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, anemia, malaria, dan lain-lain. Tingkat Kematian Maternal Berdasarkan kesepakatan internasional, tingkat kematian maternal (Maternal Mortality Rate) didefinisikan sebagai jimlah kematian maternal selama 1 tahun dalam 100.000 kelahiran hidup. Sesungguhnya hal ini lebih tepat disebut Maternal Mortality Ratio, sebab denominator untuk Maternal Mortality Rate seharusnya adalah population at risk untuk kehamilan dan persalinan, yaitu jumlah wanita usia reproduksi (15-44 tahun). Data tentang kematian maternal di Negara kita masih sangat langka, yang ada umumnya laporan-laporan dari rumah sakit, khusunya rumah sakit yang digunakan untuk pendidikan. Dewasa ini setiap rumah sakit

description

kesehatan

Transcript of Tugas PBL KESMES

KEMATIAN METERNAL

Definisi

Kematian meternal adalah kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan, atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh penyebab tambahan lainnya.

Bedasarkan definisi ini kematian maternal dapat digolongkan pada (1) kematian obstetrik langsung (direct obstetric death), (2) kematian obstetrik tidak langsung (indirect obstetric death), dan (3) kematian yang terjadi bersamaan tetapi tidak berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, misalnya kecelakaan. Kematian obstetric langsung disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas, atau penanganannya. Di Negara-negara sedang berkembang sebagian besar penyebab ini adalah pendarahan, infeksi, gestosis, dan abortus. Kematian tidak langsung disebabkan oleh penyakit atau koplikasi lain yang sudah ada sebelum kehamilan atau persalinan, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, anemia, malaria, dan lain-lain.

Tingkat Kematian Maternal

Berdasarkan kesepakatan internasional, tingkat kematian maternal (Maternal Mortality Rate) didefinisikan sebagai jimlah kematian maternal selama 1 tahun dalam 100.000 kelahiran hidup. Sesungguhnya hal ini lebih tepat disebut Maternal Mortality Ratio, sebab denominator untuk Maternal Mortality Rate seharusnya adalah population at risk untuk kehamilan dan persalinan, yaitu jumlah wanita usia reproduksi (15-44 tahun).

Data tentang kematian maternal di Negara kita masih sangat langka, yang ada umumnya laporan-laporan dari rumah sakit, khusunya rumah sakit yang digunakan untuk pendidikan. Dewasa ini setiap rumah sakit diwajibkan membuat laporan medic yang meliputi jumlah penderita, diagnosis, sebab kematian, dan sebagainya. Oleh karena itu data yang terkumpul di WHO dari negara-negara anggotanya, terutama dari Negara yang sedang berkembang, belum mencerminkan keadaan parah yang sesungguhnya. Di Negara miskin dan sedang berkembang, kematian maternal merupakan masalah besar, namun sejumlah kematian yang cukup besar tidak dilaporkan dan tidak tercatat dalam statistik resmi. Di Negara maju angka kematian maternal berkisar antara 5-10 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di Negara yang sedang berkembang berkiar antara 750-1000 per 100.000 kelahiran hidup. Tingkat kematian maternal di Indonesia diperkirakan sekitar 450 per 100.000 kelahiran hidup.

PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL

Penyebab kematian maternal merupakan suatu hal yang sangat kompleks, yang dapat digolongkan pada faktor-faktor (a) reproduksi, (b) komplikasi obstetric, (c) pelayanan kesehatan, dan (d) sosioekonomi.

Faktor-faktor reproduksi

Usia. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada waktu hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun.

Paritas. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi(lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada peritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetric lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian besar paritas tinggi adalah tidak direncanakan.

Kehamilan yang tidak diinginkan. World Fertility Survey yang diadakan di 40 negara sedang berkembang menyatakan bahwa 40-60% wanita berkeluarga tidak ingin menambah jumlah anak lagi. Namun 50-75% dari jumlah ini ternyata tidak menggunakan salah satu metoda kontrasepsi efektif, sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan masih cukup besar.

Komplikasi Obstetrik

Pendarahan pada obortus. Pendarahan per vaginam yang terjadi pada kehamilan trimester pertama umumnya disebabkan oleh obortus, dan hanya sebagian kecil saja karena sebab lain. Abortus inkomplit dapat pula didahului oleh upaya abortus provokatus pada kehamilan yang tidak diinginkan. Data tentang abortus, termasuk abortus provokatus, sangat sulit diperoleh, bahkan di Negara maju sekali pun.

Kehamilan ektopik. Data tentang kematian maternal karena kehamilan ektopik juga sulit doperoleh, lebih-lebih jika kematian terjadi di tempat yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan sehingga diagnosis dan kausa mortis tidak sempat dibuat. Penyakit radang panggul, penyakit hubungan seksual, atau ifeksi pasca abortus sering merupakan factor prediposisi pada kehamilan ektopik.

Pendarahan pada kehamilan trimester ketiga. Penyebab utama pendarahan ini adalah plasenta previa dan solusio plasenta. Pada keadaan ini tindakan segera sangat diperlukan. Jika pendarahan terjadi di tempat yang jau dari fasilitas pelayanan kesehatan, atau fasilitas pelayanan kesehatan tidak mampu melakukan tindakan yang diperlukan, maka umumnya kematian maternal akan terjadi.

Pendarahan postpartum. Pendaraha yang disebabkan oleh atonia uteri atau sisa plasenta sering berlangsung sangat banyak dan cepat. Karena pendarahan banyak segera akan disusul dengan kematian maternal, jika masalah ini tidak dapat diatasi secara cepat dan tepat oleh tenaga yang terampil dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.

Infeksi Nifas. Dapat terjadi pada pertolongan persalinan yang tidak mengindahkan syarat-syarat asepsis-antisepsis, partus lam, ketuban pecah dini, dan sebagainya.

Gestosis. Penyebab gestosis sampai sekarang ni belum diketahui secara pasti. Namun, tanda-tanda gestosis perlu diketahui oleh bidan atau dukun terlatih. Primipara dan gravid pada usia diatas 35 tahun merupakan kelompok risiko tinggi untuk gestosis. Kematian maternal akan meningkat tinggi jika sudah menjadi eklampsia.

Distosia. Keadaan lingkungan yang kurang sehat, malnutrisis, penyakit infeksi semasa kanak-kanak dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ukuran-ukuran panggul yang kecil. Panggul kecil dapat menyebabkan distosia. Persalinan pada usia muda juga dapat menyebabkan distosia. Selain itu, distosia dapat terjadi pada kelainan presentasi janin. Pada kehamilan paritas tinggi seringkali terjadi letak lintang, jika distosia tidak diatasi secara dini dapat menyebabkan partus lama bahkan ruptura uteri. Pada keadaan demikian, kematian maternal akan meningkat sangat tinggi.

Pengguguran kandungan. Pengguguran kandungan yang dilakukan secara illegal, merupakan salah satu penyebab kematian maternal yang penting. Sisa jaringan, serta tindakan yang tidak steril tidak aman secara medis akan berakibat timbulnya pendarahan dan sepsis.

Faktor-faktor pelayanan kesehatan

Selain faktor reproduksi dan komplikasi obstetrik yang diuraikan diatas, ternyata factor pelayanan kesehatan mempunyai peran sangat besar dalam kematian maternal ini. Faktor tersebut meliputi (1) kurangnya kemudahan untuk pelayanan kesehatan maternal, (2) asuhan medik yang kurang baik, dan (3) kurangnya tenaga terlatih dan obat-obat penyelamat jiwa.

Faktor-faktor sosiobudaya

Kemiskinan, ketidaktahuan, kebodohan, dan rendahnya status wanita merupakan beberapa faktor sosiobudaya yang berperan pada tingginya angka kematian maternal. Transportasi yang sulit, ketidakmampuan untuk membayar pelayanan yang lebih baik, pantangan makanan tertentu pada wanita hamil, dan sebagainya juga merupakan factor yang ikut berperan.

Memperhatikan hal tersebut diatas sangat jelas bahwa angka kematian maternal yang tinggi disuatu Negara sesungguhnya mencerminkan rendahnya mutu pelayanan kesehatan, terutama system rujukannya, tingkat kesejahteraan dalam arti luas, factor demografis dan geografis, dan sebagainya.

UPAYA MENURUNKAN TINGKAT KEMATIAN MATERNAL

Pencegahan

Keluarga berencana. Jika para ibu tidak ingin hamil lagi dapat memperoleh pelayanan kontrasepsi efektif sebagaimana diharapkan, maka akan berkuranglah prevalensi abortus provokatus serta prevelensi wanita hamil pada usia lanjut dan paritas tinggi. Dengan berkurangnya factor risiko tinggi ini maka kematian maternal akan turun pula secara bermakna. Oleh karena itu pelayanan keluarga berencana harus dapat mencapai sasaran seluas-luasnya di msyarakat, khususnya golongan risiko tinggi.

Pemeriksaan kehamilan dan pelayana rujukan. Pemeriksaan aternatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi dapat menurunkan angka kematian maternal. Petugas kesehatan harus dapat mengidentifikasi factor yang berhubungan dengan usia, paritas, riwayat obstetric buruk, dan pendarahan selama kehamilan, misalnya anemia.

Perbaikan pelayanan gawat darurat

Walaupun upaya pencegahan dengan identifikasi factor risiko telah dilakukan sebagaimana diuraikan diatas, namum masih ada kemungkinan komplikasi berat terjadi sewaktu-waktu. Dalam hal ini rujukan harus segera dilakukan, karena kematian dapat terjadi dalam waktu singkat. Oleh karena itu petugas kesehata di lini terdepan harus dibekali dengan kemampuan melakukan tindakan darurat yang tepat.

Pendarahan. Pendarahan postpartum sering memerlukan tindakan cepat dari penolong persalinan, misalnya pengeluaran plasenta secara manual, memberika obat oksitosin, massae uterus, dan pemberian cairan pengganti transfuse darah.

Infeksi nifas. Tingkat kematian dapat dikurangi dengan menjaga kebersihan selama persalianan. Kepada penolong persalianan perlu diingatkan tentang tindakan asepsis pada pertolongan persalinan.

Gestosia. Petugas kesehtana harus mampu mengenal tanda-tanda awal gestosis seperti adema, hipertensi, hiperrefleksia. Jika gestosis memberat maka diperlukan rujukan.

Perbaikan jaringan pelayanan kesehatan

Pengadaan tenaga terlatih di pedesaan. Di Indonesia sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, khususnya di pedesaan. Para dukun ini harus dimanfaatkan dan di ajak bekerjasama dengan cara melatih mereka alam teknik asepsis dan pengenalan dini tanda-tanda bahaya, serta kemampuan pertolongan pertama dan mengetahui kemana rujukan harus dilakukan pada waktunya.

Peningkatan kemampuan Puskesmas. Puskesmas yang merupakan fasilitas rujukan pertama dari petugas lini terdepan perlu dilengkapi dengan dokter terlatih serta kelengkapan yang diperlukan untuk mencegah kematian maternal.

Rumah sakit rujukan. Rumah sakit rujukan harus dilengkapi dengan fasilitas transfuse darah, listrik, air bersih, alat operasi, anestesia, antibiotika dan obat serta bahan lain, dan tenaga terlatih. Menurut WHO ada 7 fungsi utama dari rumah sakit rujukan yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Mampu melakukan tindakan bedah meliputi bedah seksio sasarea

2. Mampu memberikan pelayanan anesthesia dan resusitasi jantung paru

3. Mampu melakukan tindakan medic pada renjatan, sepsis, dan eklampsia

4. Mampu melakukan transfuse darah dan terapi cairan

5. Mampu melakukan tindakan bedah kebinan per vaginam serta menggunakan partograf

6. Mampu memberikan pelayan kontrasepsi efektif, khususnya sterilisasi

7. Mampu mengelola risiko tinggi, antara lain melalui pondok bersalin, konsep pondok bersalin telah dicoba dengan hasil baik di Afrika. Para wanita hamil dengan risiko tinggi tinggal di pondok ini pada minggu-minggu terakhir kehamilan mereka.

Kematian reproduksi

Akhirnya perlu dikemukakan bahwa dalam akhir decade ini dikenal pula istilah Kematian Reproduksi, agar hal ini tidak salah diartikan.

Di luar kehamilan para wanita memakai pil antihamil yang diketahui mempengaruhi antara lain system kardio-vaskular, atau memakai alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang dapat menimbulkan infeksi berat, atau meminta diadakan tubektomi yang dapat menimbulkan kematian.

Kematian akibat usaha kontrasepsi dinamakan kematian kontrasepsi. Kematian tersebut jauh lebih kecil dari kematian maternal. Yang diartikan sebagai kematian reproduksi adalah kematian maternal ditambah dengan kematian kontrasepsi.

Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Jadi Program Prioritas Tahun 2009

Yogyakarta, Departemen kesehatan menargetkan pengurangan angka kematian ibu dari 26,9 persen menjadi 26 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi berkurang dari 248 menjadi 206 per 100 ribu kelahiran yang dicapai pada tahun 2009. Sementara angka harapan hidup berkisar rata-rata 70,6 tahun. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI Dr Siti Fadilah Supari dalam memberikan pidato sambutan yang dibacakan oleh Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Depkes, Dra Nasirah Bahaudin MM, Sabtu (24/5/2008) dalam Diskusi Panel "Kiprah dan Peran Dokter dalam Pembangunan" yang diselenggarakan dalam rangka Peringatan 100 Tahun Boedi Oetomo, di Gedung Auditorium Fakultas Kedokteran UGM.Dia menyebutkan, angka kematian ibu dan bayi mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007. Di tahun 2007, angka kematian bayi mencapai 26,9 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu berkisar 248 per 100 ribu kelahiran. Padahal di tahun 2004, angka kematian bayi sekitar 30,8 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar 270 dari per 100 ribu kelahiran.Menkes juga sempat menyinggung jumlah penderita gizi buruk saat ini menurun sekitar empat persen dalam masa empat tahun terakhir. Dari 25,8 persen di tahun 2003 menjadi 21,3 persen di tahun 2007."Di tahun 2007, jumlah penderita gizi buruk kita sekitar 21, 3 persen dari seluruh anak balita," jelasnya.Menkes menjelaskan, risiko kasus gizi buruk yang dialami pada keluarga miskin sekitar 3,5 kali lipat lebih tinggi dari pada keluarga kaya. Kasus gizi buruk ini, kematian ibu dan anak ini, kata Supari, cukup mendapat perhatian dari pemerintah ditengah sedang mewabahnya kasus malaria, polio, DBD, dan flu burung.Menurutnya, prioritas pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan menjadi hak yang sangat penting di tengah era globalisasi dan penentuan angka indeks pembangunan manusia (IPM).

"Saat ini posisi IPM kita berada di urutan 107 dari 177 negara, setingkat dengan Vietnam. Tentunya posisi ini masih di bawah Malaysia, Thailand dan Singapaura," katanya. Dia mengatakan Depkes Supari akan berupaya keras meningkatkan penyelenggaraan pembangunan pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak serta pengadaan tenaga kesehatan di masa mendatang.Kepada para Dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Menkes berpesan agar dokter tidak terjebak dalam rutinitas dan sikap profesionalisme. Selaku orang yang profesional dan cendekiawan, dokter seharusnya memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa sebagai agent of change (pembaharu), agent of treatment (pengobat) dan agent of development (pendidik).

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. Demikian pula angka kematian bayi (AKB), khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20 per 1.000 kelahiran hidup

Menyadari kondisi tersebut, Departemen Kesehatan pada tahun 2000 telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) jangka panjang upaya penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Dalam Renstra ini difokuskan pada kegiatan yang dibangun atas dasar sistem kesehatan yang mantap untuk menjamin pelaksanaan intervensi dengan biaya yang efektif berdasarkan bukti ilmiah yang dikenal dengan sebutan "Making Pregnancy Safer (MPS)" melalui tiga pesan kunci. Demikian penegasan Menkes Dr. Achmad Sujudi pada pembukaan Seminar Pendekatan dan Praktik Terbaik Kesehatan Maternal dan Neonatal di Jakarta tanggal 10 Mei 2004. Lebih lanjut ditegaskan, tiga pesan kunci MPS itu adalah setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat dan setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Dari pelaksanaan MPS, target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah angka kematian ibu menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi baru lahir menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam kerangka inilah Departemen Kesehatan bersama Program Maternal & Neonatal Health (MNH) sejak tahun 1999 mengembangkan berbagai pendekatan baru yang didasarkan pada praktek-praktek terbaik (best practices) yang diakui dunia untuk membantu memperbaiki kondisi kesehatan ibu melahirkan dan bayi baru lahir di beberapa daerah intervensi di Indonesia. Untuk mencapai hal itu, masih diperlukan waktu kendati Depkes sudah menempatkan bidan di desa. AKI dan AKB di Indonesia itu beragam, ada kabupaten yang sudah bagus tetapi juga ada yang masih jauh dari harapan tergantung dengan kondisi geografisnya, tingkat kemiskinannya, daerah konflik dan sebagainya. Dengan sendirinya di daerah yang sulit seperti Papua, NTT, maka AKI dan AKB-nya masih tinggi. Demikian pula di Jawa, ada daerah-daerah kantong yang AKB dan AKI-nya masih tinggi. Pendekatan baru ini tidak semata-mata hanya berupa kegiatan-kegiatan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan (supply) tetapi juga mencakup kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan tuntutan (demand) masyarakat. Selama lebih 4 tahun pendekatan baru ini dipraktikkan secara konsisten dan terus menerus diperbaiki mengikuti perkembangan global dan dinamika masyarakat setempat yang pada akhirnya menghasilkan pencapaian-pencapaian yang menggembirakan. Menurut Menkes, pembangunan sumber daya manusia tidak terlepas dari upaya kesehatan khususnya upaya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Ibu pada prinsipnya memiliki peran ganda yaitu sebagai pengasuh anak yang secara makro akan ikut menentukan generasi bangsa yang akan datang maupun secara mikro, ibu ikut menentukan ekonomi keluarga. Karena itu pembangunan sumber daya manusia harus dimulai sejak dini yakni pada saat janin masih dalam kandungan ibu dan masa awal pertumbuhannya. Dengan demikian maka kesehatan bayi baru lahir kurang dari satu bulan (neonatal) menjadi sangat penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam keadaan sehat dan berkualitas serta mampu menghadapi tantangan globalisasi. Atas dasar pemikiran itu maka upaya untuk meningkatkan kesehatan maternal dan neonatal menjadi sangat strategis bagi upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal). Menkes mengakui, saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia tahun 2003 turun dua peringkat dibandingkan tahun 2002 yakni menempati urutan ke 112 dari 175 negara-negara di dunia dan berada jauh dibawah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam. Menurut Dr. Ieke Irdjiati, MPH Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, sesungguhnya tragedi kematian ibu tidak perlu terjadi karena lebih dari 80% kematian ibu sebenarnya dapat dicegah melalui kegiatan yang efektif, semisal pemeriksaan kehamilan, pemberian gizi yang memadai dan lain-lain. Karenanya upaya penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap merupakan prioritas utama dalam pembangunan kesehatan menuju tercapainya Indonesia Sehat 2010. Mengenai penyebab kematian, Dr. Ieke menegaskan bahwa 90% kematian ibu disebabkan oleh pendarahan, teksemia gravidarum, infeksi, partus lama dan komplikasi abortus. Kematian ini paling banyak terjadi pada masa sekitar persalinan yang sebenarnya dapat dicegah. Seminar "Pendekatan dan Praktik Terbaik Kesehatan Maternal dan Neonatal" diikuti 500 peserta dari Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se Indonesia, Organisasi Profesi, kalangan perguruan tinggi, stakeholder terkait lainnya baik dari LSM dan organisasi masyarakat. Topik-topik yang dibahas dalam seminar yang berlangsung selama 5 hari ini antara lain pengembangan pelayanan dan pelatihan Asuhan Persalinan Normal yang berkualitas, penguatan praktik klinik pada mahasiswa di Prodi Kebidanan, Kemitraan bidan - dukun, pengembangan desa SIAGA, promosi kesehatan bayi baru lahir dan bagaimana memobilisasi masyarakat untuk Stop Kematian.

Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Jadi Program Prioritas Tahun 2009

Departemen kesehatan menargetkan pengurangan angka kematian ibu dari 26,9 persen menjadi 26 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi berkurang dari 248 menjadi 206 per 100 ribu kelahiran yang dicapai pada tahun 2009. Sementara angka harapan hidup berkisar rata-rata 70,6 tahun.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI Dr Siti Fadilah Supari dalam memberikan pidato sambutan yang dibacakan oleh Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Depkes, Dra Nasirah Bahaudin MM, Sabtu (24/5) dalam Diskusi Panel Kiprah dan Peran Dokter dalam Pembangunan yang diselenggarakan dalam rangka Peringatan 100 Tahun Boedi Oetomo, di Gedung Auditorium Fakultas Kedokteran UGM.

Supari menyebutkan, angka kematian ibu dan bayi mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007. Di tahun 2007, angka kematian bayi mencapai 26,9 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu berkisar 248 per 100 ribu kelahiran. Padahal di tahun 2004, angka kematian bayi sekitar 30,8 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar 270 dari per 100 ribu kelahiran.

Menkes juga sempat menyinggung jumlah penderita gizi buruk saat ini menurun sekitar empat persen dalam masa empat tahun terakhir. Dari 25,8 persen di tahun 2003 menjadi 21,3 persen di tahun 2007.

Di tahun 2007, jumlah penderita gizi buruk kita sekitar 21, 3 persen dari seluruh anak balita, jelasnya.

Menkes menjelaskan, risiko kasus gizi buruk yang dialami pada keluarga miskin sekitar 3,5 kali lipat lebih tinggi dari pada keluarga kaya. Kasus gizi buruk ini, kematian ibu dan anak ini, kata Supari, cukup mendapat perhatian dari pemerintah ditengah sedang mewabahnya kasus malaria, polio, DBD, dan flu burung.

Menurutnya, prioritas pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan menjadi hak yang sangat penting di tengah era globalisasi dan penentuan angka indeks pembangunan manusia (IPM).

Saat ini posisi IPM kita berada di urutan 107 dari 177 negara, setingkat dengan Vietnam. Tentunya posisi ini masih di bawah Malaysia, Thailand dan Singapaura, katanya.

Untuk itu, Depkes, kata Supari akan berupaya keras meningkatkan penyelenggaraan pembangunan pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak serta pengadaan tenaga kesehatan di masa mendatang.

Kepada para Dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Menkes berpesan agar dokter tidak terjebak dalam rutinitas dan sikap profesionalisme. Selaku orang yang profesional dan cendekiawan, dokter seharusnya memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa sebagai agent of change (pembaharu), agent of treatment (pengobat) dan agent of development (pendidik).

Ikut hadir menjadi pembicara dalam Diskusi Panel tersebut diantaranya Ketua PB IDI dr Fahmi Idris, Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof Dr dr Hardyanto Soebono, dan Prof Dr dr Sutaryo, Kepala Dinas Kesehatan DIY, serta Perwakilan Lembaga Ombudsman DIY Dra Budi Wahyuni MM MA. (Humas UGM/Gusti Grehenson)