Translate Regionalisme

26
ASEAN, AFTA DAN “REGIONALISME BARU” 1. Pendahuluan Gelombang regionalisme ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan hingga akhir tahun 80an telah diikuti oleh negara- negara anggota ASEAN, dimana ASEAN telah membentuk AFTA pada Januari 1993 dengan tujuan untuk menciptakan area perdagangan bebas dikawasan Asia Tenggara yang direncanakan akan terus mengalami penyempurnaan hingga mencapai target ditahun 2003. Hal ini merupakan peristiwa penting, terutama karena AFTA telah menandai perubahan kualitatif bagi negara-negara anggota ASEAN dan bagi kawasan Asia Timur/Asia Tenggara yang dulunya (pada gelombang regionalisme sebelumnya) dianggap sebagai suatu kawasan dengan formalitas perjanjian perdagangan yang memiliki antusiasme yang kecil terhadap ekonomi regional dibandingkan kawasan lain. Namun hal ini tidak menyembunyikan fakta bahwa AFTA telah melangkah lebih jauh menuju tahap implementasi, AFTA mencoba untuk mengatasi beberapa permasalahan yang cukup penting termasuk diantaranya; ekspansi keanggotaan ASEAN untuk memasukkan Vietnam sebagai anggota, kemungkinan hal ini juga terjadi pada negara anggota yang lainnya; juga keinginan untuk bertindak lebih jauh dari sekedar meliberalisasi perdagangan; dan mempelopori isu-isu lain (seperti hambatan non-tarrif, koordinasi ekonomi makro dan kebijakan investasi) pada kerangka kerja “AFTA-plus”. Karena permasalahan implementasi ini mengakar kuat, maka pada paper ini

description

savasvdsavdsvdsvdsvdvdsvdsvdsvsdvdvssdvdvsdsvsdvdvdsvdsvdsvdsvsdvsdv

Transcript of Translate Regionalisme

Page 1: Translate Regionalisme

ASEAN, AFTA DAN “REGIONALISME BARU”

1. Pendahuluan

Gelombang regionalisme ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan hingga akhir

tahun 80an telah diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN, dimana ASEAN telah membentuk

AFTA pada Januari 1993 dengan tujuan untuk menciptakan area perdagangan bebas dikawasan

Asia Tenggara yang direncanakan akan terus mengalami penyempurnaan hingga mencapai target

ditahun 2003. Hal ini merupakan peristiwa penting, terutama karena AFTA telah menandai

perubahan kualitatif bagi negara-negara anggota ASEAN dan bagi kawasan Asia Timur/Asia

Tenggara yang dulunya (pada gelombang regionalisme sebelumnya) dianggap sebagai suatu

kawasan dengan formalitas perjanjian perdagangan yang memiliki antusiasme yang kecil

terhadap ekonomi regional dibandingkan kawasan lain.

Namun hal ini tidak menyembunyikan fakta bahwa AFTA telah melangkah lebih jauh

menuju tahap implementasi, AFTA mencoba untuk mengatasi beberapa permasalahan yang

cukup penting termasuk diantaranya; ekspansi keanggotaan ASEAN untuk memasukkan

Vietnam sebagai anggota, kemungkinan hal ini juga terjadi pada negara anggota yang lainnya;

juga keinginan untuk bertindak lebih jauh dari sekedar meliberalisasi perdagangan; dan

mempelopori isu-isu lain (seperti hambatan non-tarrif, koordinasi ekonomi makro dan kebijakan

investasi) pada kerangka kerja “AFTA-plus”. Karena permasalahan implementasi ini mengakar

kuat, maka pada paper ini penulis akan fokus pada pentingnya AFTA dalam membantu analisis

kita mengenai proses regionalisme yang lebih luas, dimana proses ini sedang disaksikan oleh

dunia dan sepertinya telah menarik banyak perhatian baik dari kalangan akademisi, lembaga-

lembaga internasional, maupun pemerintah-pemerintah nasional.

Secara khusus, penulis akan lebih fokus pada 2 rumusan masalah. Yang pertama yaitu

lebih mengarah kepada alasan dibalik pembentukan AFTA. Keputusan ASEAN untuk

membentuk kawasan perdagangan bebas menandai poin penting dalam sejarah keorganisasian

ASEAN. Inisiatif untuk membentuk integrasi ekonomi regional yang lebih kuat telah menjadi

bagian dari aktivitas ASEAN sejak terbentuknya organisasi ini, namun inisiatif-inisiatif tersebut

cenderung sederhana dan tidak mencapai kesuksesan dalam implementasinya. Lagipula, wacana

Page 2: Translate Regionalisme

sebelumnya yaitu menjadikan ASEAN menuju integrasi regional dalam tingkat yang lebih tinggi,

seperti misalnya Custom Union, telah menerima sejumlah penolakan. Pertanyaan pertama

penulis adalah, lalu mengapa ASEAN memilih untuk membentuk AFTA pada tahun 1993?

Rumusan masalah yang kedua lebih mempertimbangkan ke arah bagaimana

pembentukan AFTA memiliki hubungan dengan gelombang regionalisme baru. Khususnya,

penulis mempertimbangkan apakah tahap regionalisme yang sekarang sedang terjadi memiliki

perbedaan yang signifikan dari tahap sebelumnya, apa yang mungkin menjadi karakteristik dari

Regionalisme Baru, dan implikasi apa yang mungkin muncul pada evolusi AFTA di masa depan

dan hubungannya dengan pakta ekonomi regional lainnya.

II. Perihal apakah yang dapat menjelaskan pembentukan AFTA di tahun 1993?

Keputusan untuk melangkah bersama AFTA mencerminkan adanya perubahan arah

secara kualitatif bagi ASEAN; AFTA dibentuk dalam waktu yang singkat, AFTA telah menjadi

bahan pertimbangan sejak pertemuan ekonomi ASEAN berlangsung pada Oktober 1991,

kerangka kerjanya ditandatangani pada pertemuan ASEAN Januari 1992 dan prinsip kerjanya

atau operasionalisasinya dibuat pada Januari 1993. Perubahan arah ini tentu memiliki penjelasan.

Seperti yang Imada dan Naya tulis berkenaan dengan AFTA,

Walaupun prestasi ASEAN di bidang politik cukup mengesankan, prestasi ASEAN

dibidang ekonomi belum begitu mengesankan. Baik hak-hak istimewa dalam

perdagangan maupun usaha dalam membentuk kerja sama antar industri dalam regional

tidak menghasilkan banyak pengaruh untuk menigkatkan perdagangan dan investasi

intraregional. Kenyataannya, beberapa tahun lalu, diskusi terbuka mengenai

kemungkinan dibentuknya kawasan perdagangan bebas banyak diragukan dan diabaikan

oleh pemimpin-pemimpin ASEAN.

Kemudian, Keputusan membentuk AFTA juga memiliki penjelasan. Dalam mengamati

alasan tentang pembentukan blok perdagangan, Whalley mencatat bahwa “pertimbangan yang

sangat besar muncul ketika negara-negara melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan

perdagangan….kesepakatan perdagangan regional di seluruh dunia berbeda satu sama lain,

Page 3: Translate Regionalisme

bukan berarti hal ini dikarenakan oleh perbedaan sudut pandang ketika negosiasi berlangsung”.

Tentu saja, dalam kasus AFTA, argumen tradisional yang menekankan pada peningkatan

kesejahteraan sebagai manfaat dari adanya perdagangan, nampak tidak begitu relevan untuk

dijadikan sebagai alasan pembentukan AFTA mengingat bahwa perdagangan intraregional di

kawasan ASEAN memiliki proporsi yang kecil dan bahkan tidak memiliki gairah perdagangan

yang tinggi.

Dalam pertimbangan mengenai tujuan ASEAN membentuk AFTA, Bowles dan MacLean

mengidentifikasikan 3 faktor utama yakni; (i) perubahan ekonomi politik internasional sekitar

tahun 1980an (ii) Semakin berpengaruhnya kepentingan bisnis di kawasan ASEAN dan

pandangan umum mereka terhadap liberalisasi perdagangan regional serta (iii) keinginan

ASEAN untuk mematenkan posisinya sebagai organisasi penting di kawasan Asia tenggara yang

mengalami perubahan dan sedang mengembangkan kelembagaan regional yang baru, baik yang

dicanangkan maupun yang memang sudah terbentuk.

Untuk diskusi saat ini, Penulis akan memperhatikan lebih pada peranan yang dimainkan

oleh organisasi bisnis terutama ASEAN-CCI, dalam membuat AFTA menjadi mudah diterima

oleh Negara-negara anggota dan dipromosikan kepada pemerintah-pemerintah nasional

dikawasan Asia Tenggara. Hubungan ASEAN dengan organisasi regional lain seperti APEC

akan dibahas pada sesi selanjutnya dan apa yang akan dibahas oleh penulis terbatas hanya pada

ringkasan dari perubahan ekonomi politik internasional yang berlangsung pada tahun 1980an,

dan respon ASEAN terhadap perubahan tersebut yang membuat wacana pembentukan AFTA di

tahun 1993 menjadi suatu gagasan yang menarik.

Sebagai latar belakang perubahan di era 80an, penting untuk diingat bahwa pada era 60

dan 70an 4 negara terbesar ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand) telah

mengaplikasikan kebijakan subtitusi impor, pergerakan menuju integrasi ekonomi pastinya

bertentangan dengan keadaan yang terjadi pada masa itu. Skema kerja sama ekonomi dan

Perjanjian mengenai hak-hak istimewa dalam perdagangan dianggap menarik bagi negara-negara

anggota ASEAN karena 2 hal tersebut menawarkan kemungkinan tersedianya pasar yang lebih

luas untuk membantu pertumbuhan industri domestik negara-negara anggota. Namun yang

menjadi permasalahan adalah kecemburuan antar negara yang ingin melindungi pasar internal

mereka untuk kekuatan ekonominya sendiri. Oleh karenanya, skema kerja sama sering terhenti

Page 4: Translate Regionalisme

pada tahap implementasi seiring dengan kompromi pasar bersama yang terbukti sangat sulit

untuk disepakati. Ekonomi dunia melemah pada awal tahun 1980an, krisis hutang internasional

dan penurunan transfer modal antara pihak Utara dan pihak Selatan, Sentimen kaum proteksionis

di Amerika Serikat yang terus memuncak, dan kelanjutan dari resesi ekonomi di tahun 1984-

1985 setelah pemulihan ekonomi yang hanya berlangsung singkat di tahun 1982-1983

memberikan tantangan yang sangat besar bagi negara-negara ASEAN. Pada saat yang sama,

lembaga keuangan Internasional menjadi lebih berkuasa dan memiliki pengaruh yang lebih besar

dalam pembuatan kebijakan dilingkup domestik sebagai hak istimewa atas sejumlah pinjaman

yang telah diberikan kepada negara-negara penghutang. Keempat negara ASEAN harus mencari

cara untuk meningkatkan ekspor dan mempertahankan pendapatan dari nilai tukar kurs mata

uang asing.

Salah satu cara yang mungkin patut dicoba, saat menghadapi ekonomi dunia yang jenuh,

yaitu memperluas perdagangan intra ASEAN melalui tindakan ekonomi lebih lanjut. Gagasan ini

diusung oleh Filipina dalam pertemuan menteri-menteri ASEAN yang diadakan di Manila pada

tahun 1980 dengan proposal berupa pengurangan tarif dan tarif umum eksternal antar sesama

negara anggota ASEAN secara bertahap seperti kebijakan yang diberlakukan dalam Custom

Union. Usulan ini ditolak oleh Indonesia dengan alasan bahwa tidak boleh ada batasan bagi

negara untuk menentukan kebijakan dalam perdagangan begitu pula dengan Singapura yang

keberatan dengan Custom Union dengan alasan bahwa Custom Union membuat setiap negara

tidak dapat meningkatkan tarif eksternalnya. Tidak diragukan lagi, volume perdagangan ASEAN

yang rendah yaitu sekitar 20%, dan sulitnya membangun kepercayaan antar sesama negara

anggota ASEAN telah membuat Custom Union tidak mendapatkan tempat di antara negara-

negara anggota ASEAN. Hingga ditahun 1986 kesepakatan perdagangan regional masih

dipandang sebagai cara bagi kelompok negara-negara berkembang untuk mengurangi

ketergantungan mereka terhadap sistem perdagangan dunia terutama perdagangan dengan

negara-negara maju. Namun gagasan mengenai kemungkinan bahwa kesepakatan perdagangan

regional merupakan cara alternatif untuk keluar dari ketergantungan terhadap pasar dunia tidak

pernah terpikirkan oleh sebagian besar negara-negara anggota ASEAN.

Hampir lima tahun kemudian, seiring dengan status perdagangan intra ASEAN yang

rendah, pada akhirnya usulan Thailand untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN

Page 5: Translate Regionalisme

telah diadopsi oleh negara-negara anggota. Perubahan ekonomi politik internasional di

pertengahan akhir tahun 1980an dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Namun sebelum

membahas tentang perubahan tersebut, perlu kita catat bahwa respon ASEAN- terhadap kondisi

ekonomi global di awal pertengahan tahun 1980an dan terhadap kebijakan yang disarankan oleh

lembaga keuangan internasional- adalah ikut serta dalam liberalisasi perdagangan, sekalipun

harus melakukannya secara mandiri tanpa adanya kolektivitas dari anggota yang lain. Respon

yang kedua adalah dengan mengubah kebijakan ekonomi menjadi lebih kondusif demi promosi

ekspor. Selain itu, masing-masing negara juga mengadopsi kebijakan yang memudahkan FDI

untuk masuk ke negara mereka sebagai usaha untuk menarik modal asing masuk demi

keberlanjutan industrialisasi domestik.

Kebijakan-kebijakan ini secara kebetulan diterapkan ketika perusahaan-perusahaan

Jepang melakukan perluasan pasar ke luar negeri secara cepat karena adanya apresiasi

(peningkatan nilai mata uang) Yen yang begitu besar diikuti dengan adanya persetujuan Plaza di

tahun 1985, sebuah persetujuan yang memiliki dampak besar bagi kawasan Asia. Investasi Asing

yang masuk ke Jepang berkembang dengan kisaran rata-rata 62% per tahun selama periode tahun

1985-89, sebagai hasil dari apresiasi Yen dan (disadari atau tidak) hasil dari rasa takut terhadap

perkembangan kaum proteksionis di Amerika Serikat dan pasar-pasar Eropa. Pada saat

bersamaan, negara-negara industrialisasi baru di kawasan Asia Timur atau yang biasa disebut

dengan NICs, juga melakukan investasi besar-besaran di negara-negara anggota ASEAN-4 dan

Tiongkok menjadi negara tujuan utama bagi investasi asing NICs. Hal ini membuat peningkatan

peranan FDI di semua negara ASEAN. Bagi ASEAN-4 investasi asing naik menjadi 4 kali lipat,

awalnya 0,6% dari pendapatan nasional menjadi 2,4% dari pendapatan nasional. Dan kontribusi

investasi asing terhadap pembentukan modal kotor domestik naik hampir 3 kali lipat yakni dari

2,5% menjadi 7,1%

Peranan investasi asing yang semakin meningkat dalam perekonomian negara-negara

ASEAN, terutama ASEAN-4, mencerminkan adanya reorganisasi dari perekonomian Asia Timur

sebagai respon terhadap apresiasi mata uang yang mempengaruhi baik Jepang maupun NICs

begitu juga dengan perubahan strategi pembangunan dari negara ASEAN-4 itu sendiri.

Perdagangan di kawasan Asia Timur itu sendiri dinilai mengikuti pola “Angsa Terbang” dimana

produk-produk teknologi canggih sebagian besar berasal dari Jepang, produk-produk yang

Page 6: Translate Regionalisme

dihasilkan oleh tenaga kerja ahli berasal dari NICs, dan produk-produk yang dihasilkan oleh

tenaga kerja intensif berasal dari negara ASEAN-4 dan Tiongkok. Pola ini menekankan pada

spesialisasi yang dilakukan oleh industri-industri yang terlibat dalam perdagangan di kawasan

tersebut. Namun, pola ini tidak membahas tentang peranan perdagangan antar industri terlebih

perdagangan antar perusahaan. Dalam kasus ini, proses divisi buruh internasional lebih

diperhitungkan dibandingkan divisi produk internasional. Perlu diingat bahwa perdagangan antar

industri negara-negara ASEAN-4 meningkat secara bertahap di era tahun 1980an. Fukasaku

memperkirakan bahwa indeks perdagangan antar industri negara-negara ASEAN-4 meningkat

sebesar 91% bagi Filipina, 90% bagi Indonesia, 85% bagi Thailand dan 64% bagi Malaysia

selama periode tahun 1979 hingga tahun 1988.

Selanjutnya, walaupun prosentase perdagangan intra ASEAN sempat jatuh di periode

1980an, komposisi perdagangan ASEAN mengalami perubahan secara signifikan. Di tahun

1980, 28,2% barang yang diperdagangkan dalam perdagangan intra ASEAN adalah barang-

barang produksi pabrik. Di tahun 1990, meningkat menjadi 61,3%. Peningkatan ini tak diragukan

lagi merupakan hasil dari aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam keadaan

tersebut, dengan jumlah produksi perusahan multinasional yang tersebar luas di banyak negara,

wacana mengenai kesepakatan dagang regional menjadi suatu keharusan sebagaimana yang

disampaikan oleh Lim “negara-negara ASEAN sebagai suatu kelompok dapat menawarkan

kepada investor… suatu kombinasi (keuntungan) yang tidak akan dimiliki oleh negara anggota

secara individual”

Selagi hal ini mengindikasikan perlunya kesepakatan perdagangan regional, kebutuhan

untuk menjadi satu kesatuan menjadi hal yang semakin jelas terlihat saat ASEAN menghadapi

gairah kompetisi yang terus meningkat untuk mendapatkan modal global yang semakin langka.

Sebagai kawasan yang telah mengubah strategi menuju pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan

pada ekspor yang disponsori oleh investasi asing, ASEAN sadar akan keharusan untuk

mematenkan anggapan bahwa ASEAN adalah lahan investasi yang tetap kompetitif. Di akhir

periode 1980an, kemudian muncul ancaman-ancaman signifikan dalam kompetisi perdagangan

ini yakni dari (1) Tiongkok, (2) Blok Soviet terdahulu yang sempat mengalami peristiwa

dramatis di tahun 1989 hingga 1991, (3) potensi terjadinya efek pengalihan investasi sebagai

Page 7: Translate Regionalisme

akibat dari integrasi kawasan Eropa di tahun 1992 dan (4) NAFTA, terutama ancaman adanya

pengalihan investasi menuju Meksiko.

Kekhawatiran terhadap pengalihan investasi yang terus meningkat terlihat jelas dalam

pertemuan komunike gabungan antara kementrian ASEAN dan menteri-menteri luar negeri

negara-negara anggota ASEAN menanggapi “peningkatan persaingan dalam permintaan

terhadap sumber daya modal dan investasi dari Eropa Timur, dari negara-negara yang berhutang

di kawasan Asia, Amerika latin dan Afrika. Juga pentingnya pelaksanaan rekonstruksi di

kawasan Teluk babi dan Uni Soviet” dengan cara mendukung seruan untuk membangun kawasan

perdagangan bebas ASEAN di tahun 1991.

Dengan begitu, pembentukan AFTA sebagian besar dipengaruhi oleh respon ASEAN

terhadap perubahan lingkungan eksternal khususnya kekhawatirkan terhadap pengalihan

investasi. Hal ini kemudian dikonfirmasi melalui pernyataan resmi petinggi-petinggi pada masa

itu. Seperti misalnya, perdana menteri Singapura pada masa itu, Goh Chok Tong berkomentar

bahwa “Jika ASEAN tidak dapat menandingi daya tarik kawasan lain baik sebagai lahan

investasi maupun sebagai pasar bagi produk-produk MNC, maka investasi MNC akan mungkin

beralih menuju pasar tunggal Eropa dan NAFTA”

Kemudian, pada kurun waktu tahun 1985 dan 1991, pandangan umum terhadap kawasan

perdagangan regional berubah sepenuhnya; tujuan ekonomi yang utama tidak lagi tentang

penciptaan perdagangan tapi lebih ke arah menghindari pengalihan investasi ke belahan ekonomi

dunia lainnya dan dalam hal ini pemimpin dari negara-negara ASEAN-4 bersatu bukan karena

kemampuan mereka dalam memodernisasikan ekonomi namun lebih kearah rasionalitas dalam

menghadapi perubahan eksternal.

APA YANG TELAH DIINFORMASIKAN KEPADA KITA MENGENAI “REGIONALISME

BARU” DAN MASA DEPAN AFTA?

Diskusi sebelumnya telah memberikan petunjuk penting mengenai kemunculan

“Regionalisme Baru”. Konsep ini telah mendapatkan banyak perhatian, dan beberapa perbedaan

antara gelombang regionalisme sebelumnya dengan regionalisme baru telah dipelajari lebih

Page 8: Translate Regionalisme

lanjut. Salah satu tema utama dari pembelajaran tersebut adalah pengamatan (atau lebih terkesan

sebagai harapan) bahwa gelombang “regionalisme baru” menjadi atau akan menjadi

regionalisme terbuka. Walaupun istilah ini terkesan ambigu, sampai ke tingkat tersebut

regionalisme tipe ini diharapkan akan menunjukkan fakta bahwa “regionalisme baru” didasarkan

pada partisipasi berkelanjutan dari negara-negara dalam sistem perdagangan internasional,

namun bagaimanpun juga pengamatan ini tetap dianggap sebagai suatu kemajuan yang

bermanfaat. Seperti yang telah disebutkan, konsep “Regionalisme baru” menyiratkan perbedaan

yang menarik dari segi dasar pemikiran dimana dasar pemikiran ini diajukan oleh negara-negara

berkembang untuk membentuk kesepakatan hak-hak istimewa dalam perdagangan regional di

tahun 1960an dan 1970s pada masa akhir gelombang regionalisme lama. Kemudian, tujuan

utama dari kesepakatan tersebut adalah untuk membuat negara-negara berkembang mampu

terlepas dari jeratan ketergantungan terhadap ekonomi global dan meminimalkan hubungan

ketergantungan Utara-Selatan. Pada tahun 1991, tujuan pembentukan blok perdagangan regional

bukan lagi didasarkan pada kebutuhan untuk menjadi mandiri dari ekonomi global namun lebih

kepada cara untuk mematenkan partisipasi negara dalam suatu hubungan perdagangan.

Kekhawatiran negara-negara berkembang bukan lagi tentang masalah ketergantungan namun

lebih lebih pada kekhawatiran akan dikeluarkan dari siklus perdagangan antar negara. Seperti

yang telah diamati oleh Oman, terdapat “perbedaan yang mencolok antara faktor integrasi

regional negara-negara berkembang di tahun 1950an-1970an- yang tidak begitu sukses- (ketika

banyak negara amerika latin dan negara-negara Afrika berusaha keras untuk mengurangi

ketergantungan mereka terhadap perdagangan barang produksi pabrik dengan negara-negara

maju) dengan faktor integrasi regional negara-negara berkembang di era sekarang dimana

negara-negara berkembang mencoba untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam perdagangan

di kawasan regional tersebut. Tentu pernyataan ini berlaku bagi negara-negara ASEAN

walaupun, seperti yang telah dijelaskan penulis dalam sesi II, AFTA memainkan peranan penting

dalam meningkatkan partisipasi ASEAN dalam arus modal global, dan bukan hanya terbatas

pada perdagangan.

Contoh tentang AFTA tersebut telah menunjukkan karakteristik dari “Regionalisme

baru”. Selain itu, masih terdapat 2 karakteristik lain yang tidak kalah penting dari karakteristik

tersebut yang akan didiskusikan dalam paper ini. 2 karakteristik tersebut adalah kemunculan

Regionalisme Utara-Selatan dan multiple regionalism.

Page 9: Translate Regionalisme

AFTA membangun pengertian kita mengenai karakteristik-karakteristik tersebut dan selanjutnya

kita pahami bahwa kedua karakteristik tersebut memberikan dampak penting terhadap evolusi

AFTA. Regionalisme Utara-Selatan merujuk pada fakta bahwa banyak kesepakatan regional

dalam gelombang regionalisme di era saat ini yang memiliki anggota dari barisan negara maju

dan negara berkembang. Secara tradisional, banyak yang berpendapat bahwa blok perdagangan

terdiri dari negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang setara. Namun, banyak

kelompok perdagangan regional yang baru justru terdiri dari negara-negara yang memiliki gap

pendapatan nasional yang cukup tinggi. Tentu saja, lagi-lagi AFTA sesuai untuk situasi ini

dengan melihat fakta bahwa pendapatan nasional Singapura hampir 25 kali lebih tinggi

dibandingkan Indonesia walaupun status negara Singapura sebagai negara maju masih banyak

diperdebatkan. NAFTA, APEC, WHFTA, Negosiasi antara Uni Eropa dengan Mercosur (blok

perdagangan di Amerika Selatan) serta Turki dan negara-negara Balkan merupakan contoh

konkrit kesepakatan Utara-Selatan. Aspek “regionalisme baru” ini telah menarik banyak

perhatian sejumalah literatur. Contohnya, De melo dan Panagariya mengatakan bahwa “dalam

perubahan yang drastis, negara-negara berkembang mencoba untuk membangun hubungan kerja

sama dengan negara-negara maju daripada hanya membangun kerja sama dengan sesama negara

berkembang”. Pernyataan tersebut didukung oleh Park yang mengatakan bahwa “tren

regionalisme saat ini lebih melibatkan hubungan Utara-Selatan dibandingkan hubungan Selatan-

Selatan, yang menjadi karakteristik dari gelombang regionalisme yang pertama” Sedangkan

Robinson mengatakan bahwa tren ini mungkin merupakan ciri utama dari novel serial

Regionalisme Baru dalam prakteknya.

Karakteristik kedua dari regionalisme baru yaitu sebut saja multiple regionalism yang

mendapatkan lebih sedikit perhatian. Maksud dari multiple regionalism adalah negara-negara

yang termasuk dalam keanggotaan organisasi dan kelompok yang berbeda (kebanyakan dari

mereka memiliki status keanggotaan yang tumpang tindih). Misalnya, anggota ASEAN tidak

hanya tergabung dalam AFTA namun juga tergabung dalam EAEC yang merupakan program

dari OPEC dan kelompok negara-negara Asia (dimana EAEC baru-baru ini mengadakan

pertemuan tingkat tinggi dengan Uni Eropa). ASEAN bukan satu-satunya contoh multiple

regionalism. Contoh lainnya adalah Kanada yang menjadi anggota NAFTA dan APEC, baru-

baru ini terlibat dalam perdagangan bilateral dengan Israel dan dengan Chile, serta menteri

perdagangan Kanada sebelumnya, Roy McLaren juga mengajukan usulan tentang traktat

Page 10: Translate Regionalisme

bilateral antara NAFTA-Uni Eropa. ASEAN dan Kanada mungkin memiliki kepentingan dalam

merangkul aliansi sebagai suatu kekuatan yang mereka sebut sebagai “medium-power” walaupun

sebenarnya istilah ini sedikit kurang tepat mengingat bahwa multiple regionalisme ini mampu

menahan kekuatan besar dan mempengaruhi posisi ekonomi negara-negara besar seperti

Amerika (yang merupakan peserta ratifikasi NAFTA, APEC dan terlibat diskusi dengan

WHFTA). Kemudian, Whalley menyatakan bahwa “terlepas dari adanya sejumlah aturan

multilateral, hal ini tidak membatasi negara-negara peratifikasi GATT/WHO untuk menjadi

anggota dari setidaknya satu organisasi regional”. Hal yang ditekankan oleh konsep multiple

regionalisme adalah bahwa banyak negara yang menjadi bagian dari beberapa blok perdagangan

regional.

Bagi sebagian pihak, multiple regionalism adalah bentuk manifestasi dari kenyataan

bahwa regionalisme dan multilateralisme tidak boleh dipandang sebagai alternative walaupun

konsep dari regionalisme terbuka sebenarnya didasarkan pada ide tersebut. Entah apakah

kesepakatan dagang regional merupakan hambatan terhadap perdagangan bebas global atau

tidak, hal ini tidak banyak dipengaruhi oleh adanya formalitas kesepakatan namun lebih banyak

dipengaruhi oleh isi dari kesepakatan tersebut. Kenyataan ini memungkinkan suatu negara untuk

menjadi anggota dari suatu organisasi regional namun hal tersebut bisa jadi digunakan sebagai

batu loncatan bagi negara tersebut untuk memasuki sistem perdagangan internasional yang lebih

terbuka untuk menegosiasikan tentang pengurangan tariff. Singkatnya, banyak cara yang dapat

ditempuh untuk melakukan liberalisasi perdagangan, dan proses multilateral GATT/WTO

menjadi opsi lanjutan dari proses pengurangan tarif di tingkat regional. Memang benar bahwa

gelombang baru regionalisme dapat dipandang sebagai suatu yang dipengaruhi oleh negosiasi

multilateral yang tersendat selama putaran Uruguay, maka dapat disimpulkan bahwa kita sedang

menyaksikan efek reaksi dimana AFTA bergabung dengan EAEC dan APEC dimana EU juga

terlibat dalam diskusinya. Multiple Regionalism memiliki hubungan dengan regionalisme

terbuka yang merujuk pada perdagangan bebas. Hal ini menyiratkan fakta bahwa AFTA adalah

sarana (faktor-medium) yang memungkinkan negara-negara ASEAN dapat terlibat dalam proses

multiple regionalisme tersebut namun ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengurangi

peranan AFTA itu sendiri ketika tujuan akhir dari perdagangan global yang terbuka telah dicapai.

Page 11: Translate Regionalisme

Hal ini bukanlah satu-satunya interpretasi mengenai multiple regionalism. Interpretasi

(penafsiran/dugaan) yang akan dikembangkan oleh penulis adalah penggabungan antara 2

karakteristik yang telah disebutkan yaitu Regionalisme Utara-Selatan dan Multiple Regionalism.

Kedua karakteristik ini, menurut penulis, dapat dijelaskan ketika kita menyadari bahwa

“Regionalisme baru” berhubungan dengan fase global kapitalisme. Pada analisis ini, penulis

memiliki pendapat bahwa keadaan penting yang perlu ditekankan di tahun 1980an bukanlah

tentang negosiasi multilateral yang tersendat namun lebih kearah perkembangan globalisasi

modal yang dimulai pada periode ini.

Peranan Regionalisme Utara-Selatan didukung dengan fakta bahwa arus modal juga

mengambil dimensi Utara-Selatan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam UNCTC, Investasi

asing langsung “yang mengalir menuju negara berkembang meningkat 4 kali lipat antara tahun

1986-1993. Hal ini menggarisbawahi fakta bahwa kelompok negara berkembang menjadi terlihat

lebih menarik bagi perusahaan transnasional karena prestasi pertumbuhan ekonominya,

kebijakan terhadap FDI yang lebih terbuka dan program privatisasi yang terbuka bagi pihak

asing. Bahkan, negara-negara berkembang saat ini menampung arus masuk FDI 2 kali lebih

banyak dibandingkan tahun 1986. (saham yang dimiliki oleh negara-negara berkembang dalam

arus global meningkat dari 18% di tahun 1989 menjadi 44% di tahun 1993, investasi Uni Eropa

tidak dimasukkan dalam perhitungan ini)

Kemudian kita menyaksikan peningkatan yang cukup drastis dari volume investasi asing

di pertengahan tahun 1980an yang terjadi bersamaan dengan kenaikan jumlah investasi asing

yang ditujukan pada negara-negara berkembang seperti yang telah digambarkan dalam table 1.

Kenaikan arus modal yang terjadi sejak pertengahan tahun 1980an ini telah membawa

kita menuju situasi dimana importir modal dan eksportir modal membutuhkan mekanisme

kelembagaan untuk memfasilitasi keberlanjutan dari arus modal yang lintas batas. Seperti yang

dinyatakan oleh MITI “seiring dengan aktivitas perusahaan melalui investasi asing meluas,

negara-negara maju perlu menguatkan kerja sama internasional dengan tujuan untuk mengurangi

resiko FDI, mengamankan kegiatan bisnis internasional, dan membentuk mekanisme

penyelesaian perselisihan, serta bekerja untuk mengurangi resiko FDI melalui tindakan berupa

negosiasi terbuka dalam OECD dan MAI.”

Page 12: Translate Regionalisme

Maksud dari pernyataan tersebut adalah ketika biaya transaksi dan komunikasi dapat

dikurangi secara drastis semenjak berakhirnya periode perang, maka pengurangan biaya tersebut

tidak dapat dialokasikan pada biaya pelaksanaan. Keamanan investasi tidak mengalami

peningkatan selama beberapa dekade belakangan ini dan cara-cara baru dibutuhkan untuk

memastikan bahwa resiko investasi asing dan biaya pelaksanaan bisa diminimalisir. Negara-

negara OECD mengajukan inisiatif berupa MAI untuk menghadapi permasalahan tersebut.

Namun tetap saja, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengurangi resiko

dalam berinvestasi di negara negara berkembang dimana banyak investasi baru yang hadir

disana. Komisi perdagangan Eropa, Leon Brittan, baru saja memberikan pernyataan bahwa

“negara negara berkembang telah menjadi pusat perhatian bagi FDI. Saham investasi yang

menuju negara-negara OECD telah berkurang jumlahnya dalam beberapa dekade belakangan ini.

Lebih dari setengah FDI dunia sekarang berpindah menuju negara negara berkembang,

dibandingkan tahun 1989 dimana saham investasi yang berpindah menuju negara berkembang

hanya 1/5 dari jumlahnya sekarang”. Kemudian Ia menambahkan bahwa “kontribusi negara-

negara berkembang dalam proses liberalisasi investasi akan menjadi sangat penting”

Kesepakatan perdagangan regional antara eksportir modal dan importir modal menjadi

satu satunya cara yang akan membawa negara-negara berkembang menuju proses liberalisasi

investasi tersebut. Kesepakatan tersebut juga akan menjadi mekanisme kelembagaan untuk

mengurangi resiko investasi dengan cara memanfaatkan kredibilitas multi nasional dalam

menciptakan peraturan yang berkaitan dengan masalah perdagangan dan arus modal.

Tren ini kemudian juga dapat dihubungkan dengan kemunculan multiple regionalism

dimana, dalam analisis ini, merupakan pencerminan dari fakta bahwa ekonomi global sedang

mengalami proses perubahan yang fundamental dan bahwa ketika modal dapat berpindah tempat

secara mudah maka baik penyalur modal maupun penerima modal akan berebut untuk

menjelajahi semua bentuk kerja sama kelembagaan yang mungkin akan memfasilitasi arus modal

ini agar lebih terjamin. Dalam proses ini, masing masing negara akan mencari cara untuk

memastikan bahwa posisi mereka dalam berbagai blok ekonomi tetap aman dimana blok-blok

ekonomi tersebut dipercaya akan menarik modal global masuk dan agar negara-negara tersebut

dapat menegosiasikan usaha perlindungan bagi penyalur modal mereka. Lalu, negara-negara

maju akan dihadapkan pada suatu keharusan akan suatu peraturan investasi dan menjamin hak

Page 13: Translate Regionalisme

kepemilikan agar bisa diterapkan dalam berbagai kesepakatan dagang dengan negara negara

berkembang. Sedangkan negara-negara berkembang akan giat untuk membuka lahan investasi

dari berbagai sumber, seperti yang dikatakan oleh mantan presiden Meksiko bahwa “ini bukan

tentang memilih blok mana yang paling tepat, namun tentang bagaimana cara agar bisa

tergabung dalam blok-blok yang ada”. Negara-negara berkembang dihadapkan dengan modal

yang semakin mudah berpindah dan persaingan ekonomi yang kian memanas sejak berakhirnya

era perang dingin, juga tawaran menggiurkan untuk bergabung dalam beberapa pakta

perdagangan regional. Hasilnya adalah munculnya multiple regionalism.

Kasus ASEAN membuktikan kebenaran penafsiran ahli tentang Regionalisme baru

dengan baik. Seperti yang telah kita bahas dalam sesi II, salah satu alasan utama ASEAN

membentuk AFTA adalah keinginan untuk menjadi lahan investasi yang menarik banyak

investor asing. Dengan membentuk AFTA, negara-negara ASEAN tidak hanya menyajikan pasar

regional yang lebih luas bagi produksi dan pemasaran produk perusahaan asing, namun juga

meningktkan kredibilitas mereka dalam membangun komitmen terhadap keterbukaan pasar

dengan cara memberikan jaminan bersama perihal perdagangan. Meskipun Singapura memiliki

peranan sebagai pemasok dan penyalur FDI, namun penyalur modal ASEAN terbesar justru

berasal dari luar keanggotaan ASEAN. Hal ini dikarenakan ASEAN sebagai anggota dari APEC

juga turut serta menyetujui peraturan investasi APEC, sehingga bisa jadi penyalur modal terbesar

ASEAN berasal dari anggota APEC yang tidak tergabung dalam ASEAN. Hal ini terjadi juga

dikarenakan oleh desakan Uni Eropa agar dibentuk perjanjian multilateral baru untuk

membebaskan investasi lintas batas pada pertemuan Asia-Uni Eropa Maret 1966.

Argumen yang ditekankan oleh penulis disini adalah bahwa Regionalisme baru memiliki

hubungan dengan peningkatan drastis arus modal global sejak pertengahan tahun 1980an dan

kedua karakteristik menarik dari Regionalisme baru juga dapat dijelaskan dengan fenomena ini.

Khususnya kemunculan regionalisme Utara-Selatan dijelaskan dengan fakta bahwa arus modal

juga dipengaruhi oleh dimensi Utara-Selatan dan kesepakatan perdagangan regional antara

negara importir modal dan negara eksportir modal dipandang sebagai satu-satunya cara untuk

mengurangi resiko investasi asing. Kedua, kemunculan multiple regionalism relatif

mencerminkan corak baru perkembangan arus FDI yang massif, ketidakpastian tujuan mereka,

persaingan yang muncul sebagai akibat dari akhir perang dingin, dan keinginan semua negara

Page 14: Translate Regionalisme

baik negara maju maupun negara berkembang agar tidak menjadi pihak yang terpinggirkan

seiring dengan dinamika ekonomi global yang terus melaju pesat.

Anggota ASEAN beserta inisiatifny, AFTA, telah memainkan peranan penting dalam

proses ini dan membantu kita agar dapat memahami batasan-batasan Regionalisme Baru.

Sekarang penulis akan menanyakan tentang apa yang dapat di implikasikan melalui pengertian

ini terhadap evolusi AFTA di masa depan. Isu penting yang ditekankan disini adalah bagaimana

AFTA dapat meningkatkan kredibilitasnya dalam memberikan jaminan keamanan investasi yang

banyak dicari oleh para penyalur modal. Ini berarti AFTA perlu memberi perhatian lebih

terhadap peraturan investasi dan lain sebagainya agar diterapkan dalam kerangka kerja “AFTA-

Plus” tapi ini juga berarti bahwa diperlukan pembentukan suatu hubungan kerja sama ekonomi

yang baru dengan blok atau kelompok lain baik regional maupun internasional yang diikuti pula

oleh negara-negara ASEAN karena seperti yang telah dijelaskan bahwa modal terbesar ASEAN

tidak datang dari anggota intra AFTA. Karena negosiasi investasi memerlukan biaya (apabila

kesepakatan memungkinkan untuk tercapai, maka biaya tersebut akan digunakam sebagai

program pengawasan selanjutnya dan biaya pelaksanaan) dan juga tentang bagaimana

mendapatkan keuntungan (dalam kasus dimana terjadi peningkatan arus investasi) lalu kemudian

anggota ASEAN akan berusaha keras menempatkan kepentingan penyalur modal mereka dalam

negosiasi. Kehadiran multiple regionalism mungkin kemudian menjadi fenomena sesaat yang

berkaitan dengan awal dari ketidakpastian fase kapitalisme global saat ini; blok-blok

perdagangan yang dapat bertahan lama sepertinya adalah blok-blok yang beranggotakan negara-

negara yang memiliki intensitas tinggi dalam arus modal lintas batas.

Lalu kemudian penting untuk dicermati negara mana yang menjadi penyalur modal

utama di ASEAN. Penyalur modal utama di ASEAN sebenarnya berasal dari kawasan Asia

Timur dan pola arus persebaran FDI di ASEAN memiliki karakteristik regional yang kuat.

Kehadiran NIC memiliki pengaruh yang kuat di ASEAN dan saham NIC dalam bentuk saham

FDI telah mengalami peningkatan dari 20% di tahun 1980 menjadi 28% di tahun 1993. Arus

investasi asing Jepang ke Asia secara umum masih terhitung kuat walaupun Jepang sempat

mengalami resesi dan kemunduran nilai total dari arus investasi keluar sejak tahun 1989.

Kenyataannya, walaupun total arus investasi dunia Jepang jatuh 39,2% antara kurun waktu 1989

hingga 1994, namun nilai total investasi keluar mereka justru meningkat di kawasan Asia sebesar

Page 15: Translate Regionalisme

17,7%. Masuknya investasi Jepang yang berkelanjutan yang nilainya lebih tinggi dari nilai

investasi AS ke ASEAN, juga terlihat jelas seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.

Karakteristik regional dari arus investasi asing juga diperkuat dengan aktivitas

perusahaan-perusahaan multinasional dimana mereka menunjukkan kecenderungan regional

yang kuat sebagai konsep ilustrasi “pusat jaringan regional”. Melihat komposisi FDI,

perkembangan natural bagi AFTA akan terlihat seperti model kelompok EAEC dibandingkan

APEC atau pertemuan Asia-Uni Eropa atau bahkan WTO. Dalam kasus multiple regionalism

AFTA tidak dianggap begitu penting dalam jangka waktu yang panjang namun dampaknya

terhadap ekonomi global sangatlah berbeda dan menunjukkan tentang adanya kelanjutan blok-

blok regional.

KESIMPULAN

Pembentukan AFTA menandai titik penting dari evolusi ASEAN dan kawasan Asia Tenggara.

Pembentukan kesepakatan perdagangan regional terinspirasi dari berbagai macam sudut

pandang. Tak terkecuali pembentukan AFTA dan ketika argument tradisional yang lebih fokus

kearah penciptaan perdagangan antara sesama anggota menjadi kurang menarik, isu lain seperti

keamanan regional dan posisi ASEAN di kawasan Asia Tenggara dan Dunia tak diragukan lagi

menjadi isu yang penting dan akan selalu menjadi penting. Dalam paper ini, penulis lebih

cenderung fokus pada satu motif dimana penulis berargumen bahwa motif ini sangat penting

dalam membawa bangsa-bangsa ASEAN membentuk AFTA yaitu ketakutan akan terjadinya

pengalihan investasi dan keinginan untuk terus menarik investasi asing sebagai bagian dari

strategi pembangunan negara-negara ASEAN.

Perubahan penting yang mengarah pada ketakutan terhadap pengalihan investasi adalah

peningkatan mobilitas modal dan peningkatan persaingan lahan investasi dari negara-negara lain

termasuk negara-negara yang tergabung dalam bekas blok Uni Soviet. Keinginan untuk tetap

menjadi bagian dari ekonomi global kemudian menjadi ciri tambahan dari Regionalisme Baru

dan hal ini tentu berbeda jauh dari gelombang regionalisme sebelumnya yang terjadi di negara-

negara berkembang; contoh AFTA mengilustrasikan hal ini dengan baik.

Page 16: Translate Regionalisme

Namun bagaimanapun, Regionalisme baru di tahun 1980an dan 1990an bukan hanya sekedar

Regionalisme terbuka namun juga dicirikan oleh Regionalisme Utara-Selatan dan multiple

regionalisme (yang terkadang bahkan menjadi regionalisme yang tumpang tindih). Karakteristik-

karakteristik ini mucul dikarenakan oleh fase kapitalisme global saat ini yang ditandai oleh

peningkatan arus modal secara drastis dan ‘ledakan’ volume modal yang datang menuju negara-

negara berkembang. Negara-negara ASEAN telah berperan penting dalam Gelombang

Regionalisme baru ini.

Namun, tidak perlu diragukan lagi bahwa pentingnya kehadiran dan peranan semua kelembagaan

blok-blok ekonomi yang telah dibangun sejak pertengahan tahun 1980an tidak akan pernah

berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai bentuk penghargaan terhadap negara-negara

ASEAN, sudah terlihat jelas bahwa ASEAN sebagai salah satu kawasan paling dinamik dalam

dunia ekonomi akan terus menarik arus investasi yang datang dari eksportir-eksportir modal

besar. Mengingat bahwa saat ini sebagian besar investasi asing datang dari kawasan Asia Timur

dan sepertinya hal ini akan terus terjadi, maka pemimpin-pemimpin ASEAN harus menyadari

tentang pentingnya peranan AFTA sebagai dasar untuk mematenkan jaminan bagi penyalur-

penyalur modal ke ASEAN baik melalui metode kelompok seperti EAEC atau metode negosiasi

bilateral antara ASEAN dengan negara lain terutama dalam hal ini yaitu Jepang.