Translate Regionalisme
description
Transcript of Translate Regionalisme
ASEAN, AFTA DAN “REGIONALISME BARU”
1. Pendahuluan
Gelombang regionalisme ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan hingga akhir
tahun 80an telah diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN, dimana ASEAN telah membentuk
AFTA pada Januari 1993 dengan tujuan untuk menciptakan area perdagangan bebas dikawasan
Asia Tenggara yang direncanakan akan terus mengalami penyempurnaan hingga mencapai target
ditahun 2003. Hal ini merupakan peristiwa penting, terutama karena AFTA telah menandai
perubahan kualitatif bagi negara-negara anggota ASEAN dan bagi kawasan Asia Timur/Asia
Tenggara yang dulunya (pada gelombang regionalisme sebelumnya) dianggap sebagai suatu
kawasan dengan formalitas perjanjian perdagangan yang memiliki antusiasme yang kecil
terhadap ekonomi regional dibandingkan kawasan lain.
Namun hal ini tidak menyembunyikan fakta bahwa AFTA telah melangkah lebih jauh
menuju tahap implementasi, AFTA mencoba untuk mengatasi beberapa permasalahan yang
cukup penting termasuk diantaranya; ekspansi keanggotaan ASEAN untuk memasukkan
Vietnam sebagai anggota, kemungkinan hal ini juga terjadi pada negara anggota yang lainnya;
juga keinginan untuk bertindak lebih jauh dari sekedar meliberalisasi perdagangan; dan
mempelopori isu-isu lain (seperti hambatan non-tarrif, koordinasi ekonomi makro dan kebijakan
investasi) pada kerangka kerja “AFTA-plus”. Karena permasalahan implementasi ini mengakar
kuat, maka pada paper ini penulis akan fokus pada pentingnya AFTA dalam membantu analisis
kita mengenai proses regionalisme yang lebih luas, dimana proses ini sedang disaksikan oleh
dunia dan sepertinya telah menarik banyak perhatian baik dari kalangan akademisi, lembaga-
lembaga internasional, maupun pemerintah-pemerintah nasional.
Secara khusus, penulis akan lebih fokus pada 2 rumusan masalah. Yang pertama yaitu
lebih mengarah kepada alasan dibalik pembentukan AFTA. Keputusan ASEAN untuk
membentuk kawasan perdagangan bebas menandai poin penting dalam sejarah keorganisasian
ASEAN. Inisiatif untuk membentuk integrasi ekonomi regional yang lebih kuat telah menjadi
bagian dari aktivitas ASEAN sejak terbentuknya organisasi ini, namun inisiatif-inisiatif tersebut
cenderung sederhana dan tidak mencapai kesuksesan dalam implementasinya. Lagipula, wacana
sebelumnya yaitu menjadikan ASEAN menuju integrasi regional dalam tingkat yang lebih tinggi,
seperti misalnya Custom Union, telah menerima sejumlah penolakan. Pertanyaan pertama
penulis adalah, lalu mengapa ASEAN memilih untuk membentuk AFTA pada tahun 1993?
Rumusan masalah yang kedua lebih mempertimbangkan ke arah bagaimana
pembentukan AFTA memiliki hubungan dengan gelombang regionalisme baru. Khususnya,
penulis mempertimbangkan apakah tahap regionalisme yang sekarang sedang terjadi memiliki
perbedaan yang signifikan dari tahap sebelumnya, apa yang mungkin menjadi karakteristik dari
Regionalisme Baru, dan implikasi apa yang mungkin muncul pada evolusi AFTA di masa depan
dan hubungannya dengan pakta ekonomi regional lainnya.
II. Perihal apakah yang dapat menjelaskan pembentukan AFTA di tahun 1993?
Keputusan untuk melangkah bersama AFTA mencerminkan adanya perubahan arah
secara kualitatif bagi ASEAN; AFTA dibentuk dalam waktu yang singkat, AFTA telah menjadi
bahan pertimbangan sejak pertemuan ekonomi ASEAN berlangsung pada Oktober 1991,
kerangka kerjanya ditandatangani pada pertemuan ASEAN Januari 1992 dan prinsip kerjanya
atau operasionalisasinya dibuat pada Januari 1993. Perubahan arah ini tentu memiliki penjelasan.
Seperti yang Imada dan Naya tulis berkenaan dengan AFTA,
Walaupun prestasi ASEAN di bidang politik cukup mengesankan, prestasi ASEAN
dibidang ekonomi belum begitu mengesankan. Baik hak-hak istimewa dalam
perdagangan maupun usaha dalam membentuk kerja sama antar industri dalam regional
tidak menghasilkan banyak pengaruh untuk menigkatkan perdagangan dan investasi
intraregional. Kenyataannya, beberapa tahun lalu, diskusi terbuka mengenai
kemungkinan dibentuknya kawasan perdagangan bebas banyak diragukan dan diabaikan
oleh pemimpin-pemimpin ASEAN.
Kemudian, Keputusan membentuk AFTA juga memiliki penjelasan. Dalam mengamati
alasan tentang pembentukan blok perdagangan, Whalley mencatat bahwa “pertimbangan yang
sangat besar muncul ketika negara-negara melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan
perdagangan….kesepakatan perdagangan regional di seluruh dunia berbeda satu sama lain,
bukan berarti hal ini dikarenakan oleh perbedaan sudut pandang ketika negosiasi berlangsung”.
Tentu saja, dalam kasus AFTA, argumen tradisional yang menekankan pada peningkatan
kesejahteraan sebagai manfaat dari adanya perdagangan, nampak tidak begitu relevan untuk
dijadikan sebagai alasan pembentukan AFTA mengingat bahwa perdagangan intraregional di
kawasan ASEAN memiliki proporsi yang kecil dan bahkan tidak memiliki gairah perdagangan
yang tinggi.
Dalam pertimbangan mengenai tujuan ASEAN membentuk AFTA, Bowles dan MacLean
mengidentifikasikan 3 faktor utama yakni; (i) perubahan ekonomi politik internasional sekitar
tahun 1980an (ii) Semakin berpengaruhnya kepentingan bisnis di kawasan ASEAN dan
pandangan umum mereka terhadap liberalisasi perdagangan regional serta (iii) keinginan
ASEAN untuk mematenkan posisinya sebagai organisasi penting di kawasan Asia tenggara yang
mengalami perubahan dan sedang mengembangkan kelembagaan regional yang baru, baik yang
dicanangkan maupun yang memang sudah terbentuk.
Untuk diskusi saat ini, Penulis akan memperhatikan lebih pada peranan yang dimainkan
oleh organisasi bisnis terutama ASEAN-CCI, dalam membuat AFTA menjadi mudah diterima
oleh Negara-negara anggota dan dipromosikan kepada pemerintah-pemerintah nasional
dikawasan Asia Tenggara. Hubungan ASEAN dengan organisasi regional lain seperti APEC
akan dibahas pada sesi selanjutnya dan apa yang akan dibahas oleh penulis terbatas hanya pada
ringkasan dari perubahan ekonomi politik internasional yang berlangsung pada tahun 1980an,
dan respon ASEAN terhadap perubahan tersebut yang membuat wacana pembentukan AFTA di
tahun 1993 menjadi suatu gagasan yang menarik.
Sebagai latar belakang perubahan di era 80an, penting untuk diingat bahwa pada era 60
dan 70an 4 negara terbesar ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand) telah
mengaplikasikan kebijakan subtitusi impor, pergerakan menuju integrasi ekonomi pastinya
bertentangan dengan keadaan yang terjadi pada masa itu. Skema kerja sama ekonomi dan
Perjanjian mengenai hak-hak istimewa dalam perdagangan dianggap menarik bagi negara-negara
anggota ASEAN karena 2 hal tersebut menawarkan kemungkinan tersedianya pasar yang lebih
luas untuk membantu pertumbuhan industri domestik negara-negara anggota. Namun yang
menjadi permasalahan adalah kecemburuan antar negara yang ingin melindungi pasar internal
mereka untuk kekuatan ekonominya sendiri. Oleh karenanya, skema kerja sama sering terhenti
pada tahap implementasi seiring dengan kompromi pasar bersama yang terbukti sangat sulit
untuk disepakati. Ekonomi dunia melemah pada awal tahun 1980an, krisis hutang internasional
dan penurunan transfer modal antara pihak Utara dan pihak Selatan, Sentimen kaum proteksionis
di Amerika Serikat yang terus memuncak, dan kelanjutan dari resesi ekonomi di tahun 1984-
1985 setelah pemulihan ekonomi yang hanya berlangsung singkat di tahun 1982-1983
memberikan tantangan yang sangat besar bagi negara-negara ASEAN. Pada saat yang sama,
lembaga keuangan Internasional menjadi lebih berkuasa dan memiliki pengaruh yang lebih besar
dalam pembuatan kebijakan dilingkup domestik sebagai hak istimewa atas sejumlah pinjaman
yang telah diberikan kepada negara-negara penghutang. Keempat negara ASEAN harus mencari
cara untuk meningkatkan ekspor dan mempertahankan pendapatan dari nilai tukar kurs mata
uang asing.
Salah satu cara yang mungkin patut dicoba, saat menghadapi ekonomi dunia yang jenuh,
yaitu memperluas perdagangan intra ASEAN melalui tindakan ekonomi lebih lanjut. Gagasan ini
diusung oleh Filipina dalam pertemuan menteri-menteri ASEAN yang diadakan di Manila pada
tahun 1980 dengan proposal berupa pengurangan tarif dan tarif umum eksternal antar sesama
negara anggota ASEAN secara bertahap seperti kebijakan yang diberlakukan dalam Custom
Union. Usulan ini ditolak oleh Indonesia dengan alasan bahwa tidak boleh ada batasan bagi
negara untuk menentukan kebijakan dalam perdagangan begitu pula dengan Singapura yang
keberatan dengan Custom Union dengan alasan bahwa Custom Union membuat setiap negara
tidak dapat meningkatkan tarif eksternalnya. Tidak diragukan lagi, volume perdagangan ASEAN
yang rendah yaitu sekitar 20%, dan sulitnya membangun kepercayaan antar sesama negara
anggota ASEAN telah membuat Custom Union tidak mendapatkan tempat di antara negara-
negara anggota ASEAN. Hingga ditahun 1986 kesepakatan perdagangan regional masih
dipandang sebagai cara bagi kelompok negara-negara berkembang untuk mengurangi
ketergantungan mereka terhadap sistem perdagangan dunia terutama perdagangan dengan
negara-negara maju. Namun gagasan mengenai kemungkinan bahwa kesepakatan perdagangan
regional merupakan cara alternatif untuk keluar dari ketergantungan terhadap pasar dunia tidak
pernah terpikirkan oleh sebagian besar negara-negara anggota ASEAN.
Hampir lima tahun kemudian, seiring dengan status perdagangan intra ASEAN yang
rendah, pada akhirnya usulan Thailand untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN
telah diadopsi oleh negara-negara anggota. Perubahan ekonomi politik internasional di
pertengahan akhir tahun 1980an dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Namun sebelum
membahas tentang perubahan tersebut, perlu kita catat bahwa respon ASEAN- terhadap kondisi
ekonomi global di awal pertengahan tahun 1980an dan terhadap kebijakan yang disarankan oleh
lembaga keuangan internasional- adalah ikut serta dalam liberalisasi perdagangan, sekalipun
harus melakukannya secara mandiri tanpa adanya kolektivitas dari anggota yang lain. Respon
yang kedua adalah dengan mengubah kebijakan ekonomi menjadi lebih kondusif demi promosi
ekspor. Selain itu, masing-masing negara juga mengadopsi kebijakan yang memudahkan FDI
untuk masuk ke negara mereka sebagai usaha untuk menarik modal asing masuk demi
keberlanjutan industrialisasi domestik.
Kebijakan-kebijakan ini secara kebetulan diterapkan ketika perusahaan-perusahaan
Jepang melakukan perluasan pasar ke luar negeri secara cepat karena adanya apresiasi
(peningkatan nilai mata uang) Yen yang begitu besar diikuti dengan adanya persetujuan Plaza di
tahun 1985, sebuah persetujuan yang memiliki dampak besar bagi kawasan Asia. Investasi Asing
yang masuk ke Jepang berkembang dengan kisaran rata-rata 62% per tahun selama periode tahun
1985-89, sebagai hasil dari apresiasi Yen dan (disadari atau tidak) hasil dari rasa takut terhadap
perkembangan kaum proteksionis di Amerika Serikat dan pasar-pasar Eropa. Pada saat
bersamaan, negara-negara industrialisasi baru di kawasan Asia Timur atau yang biasa disebut
dengan NICs, juga melakukan investasi besar-besaran di negara-negara anggota ASEAN-4 dan
Tiongkok menjadi negara tujuan utama bagi investasi asing NICs. Hal ini membuat peningkatan
peranan FDI di semua negara ASEAN. Bagi ASEAN-4 investasi asing naik menjadi 4 kali lipat,
awalnya 0,6% dari pendapatan nasional menjadi 2,4% dari pendapatan nasional. Dan kontribusi
investasi asing terhadap pembentukan modal kotor domestik naik hampir 3 kali lipat yakni dari
2,5% menjadi 7,1%
Peranan investasi asing yang semakin meningkat dalam perekonomian negara-negara
ASEAN, terutama ASEAN-4, mencerminkan adanya reorganisasi dari perekonomian Asia Timur
sebagai respon terhadap apresiasi mata uang yang mempengaruhi baik Jepang maupun NICs
begitu juga dengan perubahan strategi pembangunan dari negara ASEAN-4 itu sendiri.
Perdagangan di kawasan Asia Timur itu sendiri dinilai mengikuti pola “Angsa Terbang” dimana
produk-produk teknologi canggih sebagian besar berasal dari Jepang, produk-produk yang
dihasilkan oleh tenaga kerja ahli berasal dari NICs, dan produk-produk yang dihasilkan oleh
tenaga kerja intensif berasal dari negara ASEAN-4 dan Tiongkok. Pola ini menekankan pada
spesialisasi yang dilakukan oleh industri-industri yang terlibat dalam perdagangan di kawasan
tersebut. Namun, pola ini tidak membahas tentang peranan perdagangan antar industri terlebih
perdagangan antar perusahaan. Dalam kasus ini, proses divisi buruh internasional lebih
diperhitungkan dibandingkan divisi produk internasional. Perlu diingat bahwa perdagangan antar
industri negara-negara ASEAN-4 meningkat secara bertahap di era tahun 1980an. Fukasaku
memperkirakan bahwa indeks perdagangan antar industri negara-negara ASEAN-4 meningkat
sebesar 91% bagi Filipina, 90% bagi Indonesia, 85% bagi Thailand dan 64% bagi Malaysia
selama periode tahun 1979 hingga tahun 1988.
Selanjutnya, walaupun prosentase perdagangan intra ASEAN sempat jatuh di periode
1980an, komposisi perdagangan ASEAN mengalami perubahan secara signifikan. Di tahun
1980, 28,2% barang yang diperdagangkan dalam perdagangan intra ASEAN adalah barang-
barang produksi pabrik. Di tahun 1990, meningkat menjadi 61,3%. Peningkatan ini tak diragukan
lagi merupakan hasil dari aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam keadaan
tersebut, dengan jumlah produksi perusahan multinasional yang tersebar luas di banyak negara,
wacana mengenai kesepakatan dagang regional menjadi suatu keharusan sebagaimana yang
disampaikan oleh Lim “negara-negara ASEAN sebagai suatu kelompok dapat menawarkan
kepada investor… suatu kombinasi (keuntungan) yang tidak akan dimiliki oleh negara anggota
secara individual”
Selagi hal ini mengindikasikan perlunya kesepakatan perdagangan regional, kebutuhan
untuk menjadi satu kesatuan menjadi hal yang semakin jelas terlihat saat ASEAN menghadapi
gairah kompetisi yang terus meningkat untuk mendapatkan modal global yang semakin langka.
Sebagai kawasan yang telah mengubah strategi menuju pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan
pada ekspor yang disponsori oleh investasi asing, ASEAN sadar akan keharusan untuk
mematenkan anggapan bahwa ASEAN adalah lahan investasi yang tetap kompetitif. Di akhir
periode 1980an, kemudian muncul ancaman-ancaman signifikan dalam kompetisi perdagangan
ini yakni dari (1) Tiongkok, (2) Blok Soviet terdahulu yang sempat mengalami peristiwa
dramatis di tahun 1989 hingga 1991, (3) potensi terjadinya efek pengalihan investasi sebagai
akibat dari integrasi kawasan Eropa di tahun 1992 dan (4) NAFTA, terutama ancaman adanya
pengalihan investasi menuju Meksiko.
Kekhawatiran terhadap pengalihan investasi yang terus meningkat terlihat jelas dalam
pertemuan komunike gabungan antara kementrian ASEAN dan menteri-menteri luar negeri
negara-negara anggota ASEAN menanggapi “peningkatan persaingan dalam permintaan
terhadap sumber daya modal dan investasi dari Eropa Timur, dari negara-negara yang berhutang
di kawasan Asia, Amerika latin dan Afrika. Juga pentingnya pelaksanaan rekonstruksi di
kawasan Teluk babi dan Uni Soviet” dengan cara mendukung seruan untuk membangun kawasan
perdagangan bebas ASEAN di tahun 1991.
Dengan begitu, pembentukan AFTA sebagian besar dipengaruhi oleh respon ASEAN
terhadap perubahan lingkungan eksternal khususnya kekhawatirkan terhadap pengalihan
investasi. Hal ini kemudian dikonfirmasi melalui pernyataan resmi petinggi-petinggi pada masa
itu. Seperti misalnya, perdana menteri Singapura pada masa itu, Goh Chok Tong berkomentar
bahwa “Jika ASEAN tidak dapat menandingi daya tarik kawasan lain baik sebagai lahan
investasi maupun sebagai pasar bagi produk-produk MNC, maka investasi MNC akan mungkin
beralih menuju pasar tunggal Eropa dan NAFTA”
Kemudian, pada kurun waktu tahun 1985 dan 1991, pandangan umum terhadap kawasan
perdagangan regional berubah sepenuhnya; tujuan ekonomi yang utama tidak lagi tentang
penciptaan perdagangan tapi lebih ke arah menghindari pengalihan investasi ke belahan ekonomi
dunia lainnya dan dalam hal ini pemimpin dari negara-negara ASEAN-4 bersatu bukan karena
kemampuan mereka dalam memodernisasikan ekonomi namun lebih kearah rasionalitas dalam
menghadapi perubahan eksternal.
APA YANG TELAH DIINFORMASIKAN KEPADA KITA MENGENAI “REGIONALISME
BARU” DAN MASA DEPAN AFTA?
Diskusi sebelumnya telah memberikan petunjuk penting mengenai kemunculan
“Regionalisme Baru”. Konsep ini telah mendapatkan banyak perhatian, dan beberapa perbedaan
antara gelombang regionalisme sebelumnya dengan regionalisme baru telah dipelajari lebih
lanjut. Salah satu tema utama dari pembelajaran tersebut adalah pengamatan (atau lebih terkesan
sebagai harapan) bahwa gelombang “regionalisme baru” menjadi atau akan menjadi
regionalisme terbuka. Walaupun istilah ini terkesan ambigu, sampai ke tingkat tersebut
regionalisme tipe ini diharapkan akan menunjukkan fakta bahwa “regionalisme baru” didasarkan
pada partisipasi berkelanjutan dari negara-negara dalam sistem perdagangan internasional,
namun bagaimanpun juga pengamatan ini tetap dianggap sebagai suatu kemajuan yang
bermanfaat. Seperti yang telah disebutkan, konsep “Regionalisme baru” menyiratkan perbedaan
yang menarik dari segi dasar pemikiran dimana dasar pemikiran ini diajukan oleh negara-negara
berkembang untuk membentuk kesepakatan hak-hak istimewa dalam perdagangan regional di
tahun 1960an dan 1970s pada masa akhir gelombang regionalisme lama. Kemudian, tujuan
utama dari kesepakatan tersebut adalah untuk membuat negara-negara berkembang mampu
terlepas dari jeratan ketergantungan terhadap ekonomi global dan meminimalkan hubungan
ketergantungan Utara-Selatan. Pada tahun 1991, tujuan pembentukan blok perdagangan regional
bukan lagi didasarkan pada kebutuhan untuk menjadi mandiri dari ekonomi global namun lebih
kepada cara untuk mematenkan partisipasi negara dalam suatu hubungan perdagangan.
Kekhawatiran negara-negara berkembang bukan lagi tentang masalah ketergantungan namun
lebih lebih pada kekhawatiran akan dikeluarkan dari siklus perdagangan antar negara. Seperti
yang telah diamati oleh Oman, terdapat “perbedaan yang mencolok antara faktor integrasi
regional negara-negara berkembang di tahun 1950an-1970an- yang tidak begitu sukses- (ketika
banyak negara amerika latin dan negara-negara Afrika berusaha keras untuk mengurangi
ketergantungan mereka terhadap perdagangan barang produksi pabrik dengan negara-negara
maju) dengan faktor integrasi regional negara-negara berkembang di era sekarang dimana
negara-negara berkembang mencoba untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam perdagangan
di kawasan regional tersebut. Tentu pernyataan ini berlaku bagi negara-negara ASEAN
walaupun, seperti yang telah dijelaskan penulis dalam sesi II, AFTA memainkan peranan penting
dalam meningkatkan partisipasi ASEAN dalam arus modal global, dan bukan hanya terbatas
pada perdagangan.
Contoh tentang AFTA tersebut telah menunjukkan karakteristik dari “Regionalisme
baru”. Selain itu, masih terdapat 2 karakteristik lain yang tidak kalah penting dari karakteristik
tersebut yang akan didiskusikan dalam paper ini. 2 karakteristik tersebut adalah kemunculan
Regionalisme Utara-Selatan dan multiple regionalism.
AFTA membangun pengertian kita mengenai karakteristik-karakteristik tersebut dan selanjutnya
kita pahami bahwa kedua karakteristik tersebut memberikan dampak penting terhadap evolusi
AFTA. Regionalisme Utara-Selatan merujuk pada fakta bahwa banyak kesepakatan regional
dalam gelombang regionalisme di era saat ini yang memiliki anggota dari barisan negara maju
dan negara berkembang. Secara tradisional, banyak yang berpendapat bahwa blok perdagangan
terdiri dari negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang setara. Namun, banyak
kelompok perdagangan regional yang baru justru terdiri dari negara-negara yang memiliki gap
pendapatan nasional yang cukup tinggi. Tentu saja, lagi-lagi AFTA sesuai untuk situasi ini
dengan melihat fakta bahwa pendapatan nasional Singapura hampir 25 kali lebih tinggi
dibandingkan Indonesia walaupun status negara Singapura sebagai negara maju masih banyak
diperdebatkan. NAFTA, APEC, WHFTA, Negosiasi antara Uni Eropa dengan Mercosur (blok
perdagangan di Amerika Selatan) serta Turki dan negara-negara Balkan merupakan contoh
konkrit kesepakatan Utara-Selatan. Aspek “regionalisme baru” ini telah menarik banyak
perhatian sejumalah literatur. Contohnya, De melo dan Panagariya mengatakan bahwa “dalam
perubahan yang drastis, negara-negara berkembang mencoba untuk membangun hubungan kerja
sama dengan negara-negara maju daripada hanya membangun kerja sama dengan sesama negara
berkembang”. Pernyataan tersebut didukung oleh Park yang mengatakan bahwa “tren
regionalisme saat ini lebih melibatkan hubungan Utara-Selatan dibandingkan hubungan Selatan-
Selatan, yang menjadi karakteristik dari gelombang regionalisme yang pertama” Sedangkan
Robinson mengatakan bahwa tren ini mungkin merupakan ciri utama dari novel serial
Regionalisme Baru dalam prakteknya.
Karakteristik kedua dari regionalisme baru yaitu sebut saja multiple regionalism yang
mendapatkan lebih sedikit perhatian. Maksud dari multiple regionalism adalah negara-negara
yang termasuk dalam keanggotaan organisasi dan kelompok yang berbeda (kebanyakan dari
mereka memiliki status keanggotaan yang tumpang tindih). Misalnya, anggota ASEAN tidak
hanya tergabung dalam AFTA namun juga tergabung dalam EAEC yang merupakan program
dari OPEC dan kelompok negara-negara Asia (dimana EAEC baru-baru ini mengadakan
pertemuan tingkat tinggi dengan Uni Eropa). ASEAN bukan satu-satunya contoh multiple
regionalism. Contoh lainnya adalah Kanada yang menjadi anggota NAFTA dan APEC, baru-
baru ini terlibat dalam perdagangan bilateral dengan Israel dan dengan Chile, serta menteri
perdagangan Kanada sebelumnya, Roy McLaren juga mengajukan usulan tentang traktat
bilateral antara NAFTA-Uni Eropa. ASEAN dan Kanada mungkin memiliki kepentingan dalam
merangkul aliansi sebagai suatu kekuatan yang mereka sebut sebagai “medium-power” walaupun
sebenarnya istilah ini sedikit kurang tepat mengingat bahwa multiple regionalisme ini mampu
menahan kekuatan besar dan mempengaruhi posisi ekonomi negara-negara besar seperti
Amerika (yang merupakan peserta ratifikasi NAFTA, APEC dan terlibat diskusi dengan
WHFTA). Kemudian, Whalley menyatakan bahwa “terlepas dari adanya sejumlah aturan
multilateral, hal ini tidak membatasi negara-negara peratifikasi GATT/WHO untuk menjadi
anggota dari setidaknya satu organisasi regional”. Hal yang ditekankan oleh konsep multiple
regionalisme adalah bahwa banyak negara yang menjadi bagian dari beberapa blok perdagangan
regional.
Bagi sebagian pihak, multiple regionalism adalah bentuk manifestasi dari kenyataan
bahwa regionalisme dan multilateralisme tidak boleh dipandang sebagai alternative walaupun
konsep dari regionalisme terbuka sebenarnya didasarkan pada ide tersebut. Entah apakah
kesepakatan dagang regional merupakan hambatan terhadap perdagangan bebas global atau
tidak, hal ini tidak banyak dipengaruhi oleh adanya formalitas kesepakatan namun lebih banyak
dipengaruhi oleh isi dari kesepakatan tersebut. Kenyataan ini memungkinkan suatu negara untuk
menjadi anggota dari suatu organisasi regional namun hal tersebut bisa jadi digunakan sebagai
batu loncatan bagi negara tersebut untuk memasuki sistem perdagangan internasional yang lebih
terbuka untuk menegosiasikan tentang pengurangan tariff. Singkatnya, banyak cara yang dapat
ditempuh untuk melakukan liberalisasi perdagangan, dan proses multilateral GATT/WTO
menjadi opsi lanjutan dari proses pengurangan tarif di tingkat regional. Memang benar bahwa
gelombang baru regionalisme dapat dipandang sebagai suatu yang dipengaruhi oleh negosiasi
multilateral yang tersendat selama putaran Uruguay, maka dapat disimpulkan bahwa kita sedang
menyaksikan efek reaksi dimana AFTA bergabung dengan EAEC dan APEC dimana EU juga
terlibat dalam diskusinya. Multiple Regionalism memiliki hubungan dengan regionalisme
terbuka yang merujuk pada perdagangan bebas. Hal ini menyiratkan fakta bahwa AFTA adalah
sarana (faktor-medium) yang memungkinkan negara-negara ASEAN dapat terlibat dalam proses
multiple regionalisme tersebut namun ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengurangi
peranan AFTA itu sendiri ketika tujuan akhir dari perdagangan global yang terbuka telah dicapai.
Hal ini bukanlah satu-satunya interpretasi mengenai multiple regionalism. Interpretasi
(penafsiran/dugaan) yang akan dikembangkan oleh penulis adalah penggabungan antara 2
karakteristik yang telah disebutkan yaitu Regionalisme Utara-Selatan dan Multiple Regionalism.
Kedua karakteristik ini, menurut penulis, dapat dijelaskan ketika kita menyadari bahwa
“Regionalisme baru” berhubungan dengan fase global kapitalisme. Pada analisis ini, penulis
memiliki pendapat bahwa keadaan penting yang perlu ditekankan di tahun 1980an bukanlah
tentang negosiasi multilateral yang tersendat namun lebih kearah perkembangan globalisasi
modal yang dimulai pada periode ini.
Peranan Regionalisme Utara-Selatan didukung dengan fakta bahwa arus modal juga
mengambil dimensi Utara-Selatan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam UNCTC, Investasi
asing langsung “yang mengalir menuju negara berkembang meningkat 4 kali lipat antara tahun
1986-1993. Hal ini menggarisbawahi fakta bahwa kelompok negara berkembang menjadi terlihat
lebih menarik bagi perusahaan transnasional karena prestasi pertumbuhan ekonominya,
kebijakan terhadap FDI yang lebih terbuka dan program privatisasi yang terbuka bagi pihak
asing. Bahkan, negara-negara berkembang saat ini menampung arus masuk FDI 2 kali lebih
banyak dibandingkan tahun 1986. (saham yang dimiliki oleh negara-negara berkembang dalam
arus global meningkat dari 18% di tahun 1989 menjadi 44% di tahun 1993, investasi Uni Eropa
tidak dimasukkan dalam perhitungan ini)
Kemudian kita menyaksikan peningkatan yang cukup drastis dari volume investasi asing
di pertengahan tahun 1980an yang terjadi bersamaan dengan kenaikan jumlah investasi asing
yang ditujukan pada negara-negara berkembang seperti yang telah digambarkan dalam table 1.
Kenaikan arus modal yang terjadi sejak pertengahan tahun 1980an ini telah membawa
kita menuju situasi dimana importir modal dan eksportir modal membutuhkan mekanisme
kelembagaan untuk memfasilitasi keberlanjutan dari arus modal yang lintas batas. Seperti yang
dinyatakan oleh MITI “seiring dengan aktivitas perusahaan melalui investasi asing meluas,
negara-negara maju perlu menguatkan kerja sama internasional dengan tujuan untuk mengurangi
resiko FDI, mengamankan kegiatan bisnis internasional, dan membentuk mekanisme
penyelesaian perselisihan, serta bekerja untuk mengurangi resiko FDI melalui tindakan berupa
negosiasi terbuka dalam OECD dan MAI.”
Maksud dari pernyataan tersebut adalah ketika biaya transaksi dan komunikasi dapat
dikurangi secara drastis semenjak berakhirnya periode perang, maka pengurangan biaya tersebut
tidak dapat dialokasikan pada biaya pelaksanaan. Keamanan investasi tidak mengalami
peningkatan selama beberapa dekade belakangan ini dan cara-cara baru dibutuhkan untuk
memastikan bahwa resiko investasi asing dan biaya pelaksanaan bisa diminimalisir. Negara-
negara OECD mengajukan inisiatif berupa MAI untuk menghadapi permasalahan tersebut.
Namun tetap saja, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengurangi resiko
dalam berinvestasi di negara negara berkembang dimana banyak investasi baru yang hadir
disana. Komisi perdagangan Eropa, Leon Brittan, baru saja memberikan pernyataan bahwa
“negara negara berkembang telah menjadi pusat perhatian bagi FDI. Saham investasi yang
menuju negara-negara OECD telah berkurang jumlahnya dalam beberapa dekade belakangan ini.
Lebih dari setengah FDI dunia sekarang berpindah menuju negara negara berkembang,
dibandingkan tahun 1989 dimana saham investasi yang berpindah menuju negara berkembang
hanya 1/5 dari jumlahnya sekarang”. Kemudian Ia menambahkan bahwa “kontribusi negara-
negara berkembang dalam proses liberalisasi investasi akan menjadi sangat penting”
Kesepakatan perdagangan regional antara eksportir modal dan importir modal menjadi
satu satunya cara yang akan membawa negara-negara berkembang menuju proses liberalisasi
investasi tersebut. Kesepakatan tersebut juga akan menjadi mekanisme kelembagaan untuk
mengurangi resiko investasi dengan cara memanfaatkan kredibilitas multi nasional dalam
menciptakan peraturan yang berkaitan dengan masalah perdagangan dan arus modal.
Tren ini kemudian juga dapat dihubungkan dengan kemunculan multiple regionalism
dimana, dalam analisis ini, merupakan pencerminan dari fakta bahwa ekonomi global sedang
mengalami proses perubahan yang fundamental dan bahwa ketika modal dapat berpindah tempat
secara mudah maka baik penyalur modal maupun penerima modal akan berebut untuk
menjelajahi semua bentuk kerja sama kelembagaan yang mungkin akan memfasilitasi arus modal
ini agar lebih terjamin. Dalam proses ini, masing masing negara akan mencari cara untuk
memastikan bahwa posisi mereka dalam berbagai blok ekonomi tetap aman dimana blok-blok
ekonomi tersebut dipercaya akan menarik modal global masuk dan agar negara-negara tersebut
dapat menegosiasikan usaha perlindungan bagi penyalur modal mereka. Lalu, negara-negara
maju akan dihadapkan pada suatu keharusan akan suatu peraturan investasi dan menjamin hak
kepemilikan agar bisa diterapkan dalam berbagai kesepakatan dagang dengan negara negara
berkembang. Sedangkan negara-negara berkembang akan giat untuk membuka lahan investasi
dari berbagai sumber, seperti yang dikatakan oleh mantan presiden Meksiko bahwa “ini bukan
tentang memilih blok mana yang paling tepat, namun tentang bagaimana cara agar bisa
tergabung dalam blok-blok yang ada”. Negara-negara berkembang dihadapkan dengan modal
yang semakin mudah berpindah dan persaingan ekonomi yang kian memanas sejak berakhirnya
era perang dingin, juga tawaran menggiurkan untuk bergabung dalam beberapa pakta
perdagangan regional. Hasilnya adalah munculnya multiple regionalism.
Kasus ASEAN membuktikan kebenaran penafsiran ahli tentang Regionalisme baru
dengan baik. Seperti yang telah kita bahas dalam sesi II, salah satu alasan utama ASEAN
membentuk AFTA adalah keinginan untuk menjadi lahan investasi yang menarik banyak
investor asing. Dengan membentuk AFTA, negara-negara ASEAN tidak hanya menyajikan pasar
regional yang lebih luas bagi produksi dan pemasaran produk perusahaan asing, namun juga
meningktkan kredibilitas mereka dalam membangun komitmen terhadap keterbukaan pasar
dengan cara memberikan jaminan bersama perihal perdagangan. Meskipun Singapura memiliki
peranan sebagai pemasok dan penyalur FDI, namun penyalur modal ASEAN terbesar justru
berasal dari luar keanggotaan ASEAN. Hal ini dikarenakan ASEAN sebagai anggota dari APEC
juga turut serta menyetujui peraturan investasi APEC, sehingga bisa jadi penyalur modal terbesar
ASEAN berasal dari anggota APEC yang tidak tergabung dalam ASEAN. Hal ini terjadi juga
dikarenakan oleh desakan Uni Eropa agar dibentuk perjanjian multilateral baru untuk
membebaskan investasi lintas batas pada pertemuan Asia-Uni Eropa Maret 1966.
Argumen yang ditekankan oleh penulis disini adalah bahwa Regionalisme baru memiliki
hubungan dengan peningkatan drastis arus modal global sejak pertengahan tahun 1980an dan
kedua karakteristik menarik dari Regionalisme baru juga dapat dijelaskan dengan fenomena ini.
Khususnya kemunculan regionalisme Utara-Selatan dijelaskan dengan fakta bahwa arus modal
juga dipengaruhi oleh dimensi Utara-Selatan dan kesepakatan perdagangan regional antara
negara importir modal dan negara eksportir modal dipandang sebagai satu-satunya cara untuk
mengurangi resiko investasi asing. Kedua, kemunculan multiple regionalism relatif
mencerminkan corak baru perkembangan arus FDI yang massif, ketidakpastian tujuan mereka,
persaingan yang muncul sebagai akibat dari akhir perang dingin, dan keinginan semua negara
baik negara maju maupun negara berkembang agar tidak menjadi pihak yang terpinggirkan
seiring dengan dinamika ekonomi global yang terus melaju pesat.
Anggota ASEAN beserta inisiatifny, AFTA, telah memainkan peranan penting dalam
proses ini dan membantu kita agar dapat memahami batasan-batasan Regionalisme Baru.
Sekarang penulis akan menanyakan tentang apa yang dapat di implikasikan melalui pengertian
ini terhadap evolusi AFTA di masa depan. Isu penting yang ditekankan disini adalah bagaimana
AFTA dapat meningkatkan kredibilitasnya dalam memberikan jaminan keamanan investasi yang
banyak dicari oleh para penyalur modal. Ini berarti AFTA perlu memberi perhatian lebih
terhadap peraturan investasi dan lain sebagainya agar diterapkan dalam kerangka kerja “AFTA-
Plus” tapi ini juga berarti bahwa diperlukan pembentukan suatu hubungan kerja sama ekonomi
yang baru dengan blok atau kelompok lain baik regional maupun internasional yang diikuti pula
oleh negara-negara ASEAN karena seperti yang telah dijelaskan bahwa modal terbesar ASEAN
tidak datang dari anggota intra AFTA. Karena negosiasi investasi memerlukan biaya (apabila
kesepakatan memungkinkan untuk tercapai, maka biaya tersebut akan digunakam sebagai
program pengawasan selanjutnya dan biaya pelaksanaan) dan juga tentang bagaimana
mendapatkan keuntungan (dalam kasus dimana terjadi peningkatan arus investasi) lalu kemudian
anggota ASEAN akan berusaha keras menempatkan kepentingan penyalur modal mereka dalam
negosiasi. Kehadiran multiple regionalism mungkin kemudian menjadi fenomena sesaat yang
berkaitan dengan awal dari ketidakpastian fase kapitalisme global saat ini; blok-blok
perdagangan yang dapat bertahan lama sepertinya adalah blok-blok yang beranggotakan negara-
negara yang memiliki intensitas tinggi dalam arus modal lintas batas.
Lalu kemudian penting untuk dicermati negara mana yang menjadi penyalur modal
utama di ASEAN. Penyalur modal utama di ASEAN sebenarnya berasal dari kawasan Asia
Timur dan pola arus persebaran FDI di ASEAN memiliki karakteristik regional yang kuat.
Kehadiran NIC memiliki pengaruh yang kuat di ASEAN dan saham NIC dalam bentuk saham
FDI telah mengalami peningkatan dari 20% di tahun 1980 menjadi 28% di tahun 1993. Arus
investasi asing Jepang ke Asia secara umum masih terhitung kuat walaupun Jepang sempat
mengalami resesi dan kemunduran nilai total dari arus investasi keluar sejak tahun 1989.
Kenyataannya, walaupun total arus investasi dunia Jepang jatuh 39,2% antara kurun waktu 1989
hingga 1994, namun nilai total investasi keluar mereka justru meningkat di kawasan Asia sebesar
17,7%. Masuknya investasi Jepang yang berkelanjutan yang nilainya lebih tinggi dari nilai
investasi AS ke ASEAN, juga terlihat jelas seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.
Karakteristik regional dari arus investasi asing juga diperkuat dengan aktivitas
perusahaan-perusahaan multinasional dimana mereka menunjukkan kecenderungan regional
yang kuat sebagai konsep ilustrasi “pusat jaringan regional”. Melihat komposisi FDI,
perkembangan natural bagi AFTA akan terlihat seperti model kelompok EAEC dibandingkan
APEC atau pertemuan Asia-Uni Eropa atau bahkan WTO. Dalam kasus multiple regionalism
AFTA tidak dianggap begitu penting dalam jangka waktu yang panjang namun dampaknya
terhadap ekonomi global sangatlah berbeda dan menunjukkan tentang adanya kelanjutan blok-
blok regional.
KESIMPULAN
Pembentukan AFTA menandai titik penting dari evolusi ASEAN dan kawasan Asia Tenggara.
Pembentukan kesepakatan perdagangan regional terinspirasi dari berbagai macam sudut
pandang. Tak terkecuali pembentukan AFTA dan ketika argument tradisional yang lebih fokus
kearah penciptaan perdagangan antara sesama anggota menjadi kurang menarik, isu lain seperti
keamanan regional dan posisi ASEAN di kawasan Asia Tenggara dan Dunia tak diragukan lagi
menjadi isu yang penting dan akan selalu menjadi penting. Dalam paper ini, penulis lebih
cenderung fokus pada satu motif dimana penulis berargumen bahwa motif ini sangat penting
dalam membawa bangsa-bangsa ASEAN membentuk AFTA yaitu ketakutan akan terjadinya
pengalihan investasi dan keinginan untuk terus menarik investasi asing sebagai bagian dari
strategi pembangunan negara-negara ASEAN.
Perubahan penting yang mengarah pada ketakutan terhadap pengalihan investasi adalah
peningkatan mobilitas modal dan peningkatan persaingan lahan investasi dari negara-negara lain
termasuk negara-negara yang tergabung dalam bekas blok Uni Soviet. Keinginan untuk tetap
menjadi bagian dari ekonomi global kemudian menjadi ciri tambahan dari Regionalisme Baru
dan hal ini tentu berbeda jauh dari gelombang regionalisme sebelumnya yang terjadi di negara-
negara berkembang; contoh AFTA mengilustrasikan hal ini dengan baik.
Namun bagaimanapun, Regionalisme baru di tahun 1980an dan 1990an bukan hanya sekedar
Regionalisme terbuka namun juga dicirikan oleh Regionalisme Utara-Selatan dan multiple
regionalisme (yang terkadang bahkan menjadi regionalisme yang tumpang tindih). Karakteristik-
karakteristik ini mucul dikarenakan oleh fase kapitalisme global saat ini yang ditandai oleh
peningkatan arus modal secara drastis dan ‘ledakan’ volume modal yang datang menuju negara-
negara berkembang. Negara-negara ASEAN telah berperan penting dalam Gelombang
Regionalisme baru ini.
Namun, tidak perlu diragukan lagi bahwa pentingnya kehadiran dan peranan semua kelembagaan
blok-blok ekonomi yang telah dibangun sejak pertengahan tahun 1980an tidak akan pernah
berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai bentuk penghargaan terhadap negara-negara
ASEAN, sudah terlihat jelas bahwa ASEAN sebagai salah satu kawasan paling dinamik dalam
dunia ekonomi akan terus menarik arus investasi yang datang dari eksportir-eksportir modal
besar. Mengingat bahwa saat ini sebagian besar investasi asing datang dari kawasan Asia Timur
dan sepertinya hal ini akan terus terjadi, maka pemimpin-pemimpin ASEAN harus menyadari
tentang pentingnya peranan AFTA sebagai dasar untuk mematenkan jaminan bagi penyalur-
penyalur modal ke ASEAN baik melalui metode kelompok seperti EAEC atau metode negosiasi
bilateral antara ASEAN dengan negara lain terutama dalam hal ini yaitu Jepang.