Transfer Pricing Dalam Perpajakan
-
Upload
adang-moch-sugiri -
Category
Documents
-
view
137 -
download
3
description
Transcript of Transfer Pricing Dalam Perpajakan
TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN
Oleh:
SANTI PURNAMA SARI (00000006961)
Dosen:
Waty Tjakra, Dr., Dra., SH., Ak., MH
Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti mata kuliah
Hukum Pajak
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2014
I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang berkembang pesat turut memacu
perkembangan korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi
multinasional sebagai group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara
berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan
strategi yang lebih luas.
Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu
keinginan dan tujuan untuk memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku, untuk mencari
teknologi baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan atau kebijakan
pemerintah, dan diversifikasi. Sehubungan dengan pertumbuhan korporasi multinasional ini, ada
beberapa kasus perpajakan yang menimpa korporasi-korporasi multinasional dunia seperti
Google di Inggris, Starbucks Inggris, Amazon Inggris, dan lain-lain. Starbucks Inggris diketahui
bahwa pada tahun 2011 sama sekali tidak membayar pajak korporasi padahal perusahaannya
berhasil mencetak penjualan sebesar £398 juta. Starbucks Inggris juga mengaku mengalami
kerugian sejak tahun 2008 dengan jumlah kerugian mencapai £112 juta atau sekitar Rp. 1,7
Triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak pernah membayar pajak korporasi. Padahal
dalam laporan kepada investornya di Amerika Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka
memperoleh keuntungan yang besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (periode
tahun 2008 - 2010) mencapai £1,2 miliar atau sekitar Rp. 18 triliun. Bahkan selama 14 tahun
beroperasi di Inggris, Starbucks hanya membayar pajak sebesar £8,6 juta. Selanjutnya Google
Inggris pada tahun 2011 juga berhasil mencatat pendapatan sebesar £398 juta tetapi hanya
membayar pajak sebesar £6 juta. Hal yang sama terjadi di Amazon Inggris, di mana mereka
berhasil melakukan penjualan di Inggris sebesar £3,35 miliar selama tahun 2011 tetapi hanya
membayar pajak sebesar £1,5 juta.
Hal tersebut bisa terjadi karena korporasi-korporasi multinasional tersebut menggunakan
praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak
gampang. Akan tetapi, dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat
1
memindahkan keuntungan yang mereka dapat di negara asal (negara tempat keuntungan
diperoleh) ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Walaupun terlihat legal
tetapi cara-cara seperti ini dianggap sebagai cara yang amoral dan dapat dikatakan sebagai
penyelundupan pajak.
Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer
suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang
dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu:
(i) intra-company dan (ii) inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing
merupakan transfer pricing antar divisi dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany
transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan
istimewa. Transaksinya sendiri bisa dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing),
maupun dengan negara yang berbeda (international transfer pricing).
Transfer pricing dapat ditentukan berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di
pasaran bebas, namun dapat juga ditentukan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer
pricing ini merupakan isu klasik dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi
internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. John Neighbour menyatakan bahwa
transfer pricing pada awalnya hanya merupakan isu utama bagi administrasi perpajakan dan ahli
perpajakan saja, tetapi pada masa sekarang ini transfer pricing telah menjadi pembicaraan para
politisi, ahli ekonomi dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat menyangkut kewajiban
pembayaran pajak atas aktivitas bisnis korporasi multinasional.1
Survei yang dilakukan oleh Ernst and Young International pada tahun 1995 menunjukkan
bahwa lebih dari 80% responden mengindikasikan transfer pricing sebagai masalah utama dalam
perpajakan yang dihadapi oleh korporasi multinasional. Responden tersebut terdiri dari korporasi
multinasional di 8 (delapan) Negara termasuk Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris. 2
1 Imam Santoso, Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Perspektif Perpajakan Indonesia, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 6, No.2, November 2004: 123.2 Ibid.
2
Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain Plasschaert yang
dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di
Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain:
1. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan;
2. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;
3. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah;
4. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;
5. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha;
6. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan
kepedulian lingkungan;
7. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri. 3
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dapat
dipicu oleh alasan pajak (tax motive) ataupun alasan bukan pajak (non-tax motive).
3 Ibid.3
II. LANDASAN TEORI
Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 (“UU PPh”). Pasal 18 ayat (3)
UU PPh menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan
kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode
biaya-plus, atau metode lainnya. Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika (i) Wajib Pajak
mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib
Pajak lain; (ii) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (iii) terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke
samping satu derajat.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan Dirjen
Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011.
Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan
oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak ini juga diatur bahwa arm’s length principle dilakukan
dengan menggunakan langkah-langkah: (i) melakukan analisis kesebandingan dan menentukan
pembanding; (ii) menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat; (iii) menerapkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode
penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa; dan (iv) mendokumentasikan setiap langkah
4
dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
III. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
A. MASALAH TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN
Beberapa transaksi yang terjadi antar anggota group korporasi multinasional dapat
dikategorikan dalam beberapa transaksi, antara lain seperti penjualan barang dan jasa, lisensi,
royalti, paten dan know-how, penjaminan utang, serta penjualan komponen untuk kegiatan
produksi. Transaksi-transaksi yang terjadi antar unit bisnis group korporasi multinasional hampir
selalu merupakan cross border transaction yang menyebabkan otoritas pajak menduganya
sebagai salah satu bentuk pengalihan (shifting) beban pajak dari suatu Negara yang mempunyai
tarif tinggi (high tax countries) ke Negara lainnya yang mempunyai tarif pajak lebih rendah (low
tax countries).
Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi
multinasional, UU PPh memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menentukan
kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (associated
enterprises/related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk membuat perjanjian dengan Direktur
Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement/APA (kesepakatan harga transfer)
mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang dilakukan antar mereka.
Menurut sejumlah literatur, transfer pricing merupakan suatu harga jual khusus yang
dipakai dalam pertukaran antar divisi untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division)
dan biaya divisi pembeli (buying division). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk
mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan.
Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena
adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu
5
perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan antara satu
pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat
mengakibatkan ketidakwajaran pelaporan pajak, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau
dasar pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Jadi secara umum
transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa tersebut dikenal dengan transfer
pricing.
Transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk
meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi.
Perusahaan multinasional cenderung merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country dan
menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country. Artinya, ada
pergeseran kewajiban perpajakan dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke
negara yang menerapkan pajak rendah. Disinilah terlihat praktik transfer pricing tersebut yang
mengakibatkan potensi penerimaan suatu negara khususnya yang berasal dari penerimaan pajak
akan berkurang. Sementara dari sisi bisnis, perusahaan akan cenderung berupaya meminimalkan
biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal pembayaran pajak perusahaan. Bagi perusahaan
multinasional, transfer pricing merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan
dengan sumber daya yang terbatas. Jika transfer pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam
negeri) maka hal ini tidak menjadi persoalan, karena pemerintah tetap akan memperoleh pajak
dari salah satu perusahaan yang diuntungkan. Yang menjadi masalah adalah jika transfer pricing
dilakukan oleh perusahaan asing dengan perusahaan lokal.
Perusahaan lokal yang menjadi subsidiari/anak perusahaan dari perusahaan asing akan
“dikorbankan”. Artinya, perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya
perusahaan lokal tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran
pajak oleh kedua perusahaan tersebut (induk dan anak perusahaan). Sebagai contoh dari abuse
of transfer pricing adalah sebuah perusahaan—X Corp—berkedudukan di negara X memiliki
anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT ABC, yang bergerak di bidang industri makanan. Untuk
memproduksi makanan yang dijual di Indonesia, PT ABC mengimpor bahan baku dari X Corp.
Harga wajar bahan baku tersebut di pasar misalnya US$10/pcs. Namun dalam transaksi antara X
6
Corp dengan PT ABC, harga bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/pcs. Sehingga
ada mark up sebesar US$20/pcs. Harga US$30/pcs ini tidak akan mungkin terjadi jika transaksi
tersebut dilakukan dengan perusahaan yang bukan dalam satu grup atau tidak mempunyai
hubungan istimewa. Sehingga dalam transaksi ini tidak terjadi prinsip harga pasar yang wajar
(arm’s length price principle). Contoh lain yang umumnya sering digunakan dalam transfer
pricing adalah misalkan X Corp tidak bertransaksi langsung dengan anak perusahaan di
Indonesia, tetapi menjual terlebih dulu kepada anak perusahaan lain yang berkedudukan di
Filipina. Lalu, dari Filipina barang tersebut dijual ke perusahaan yang ada di Malaysia, baru
setelah itu perusahaan di Malaysia melakukan transaksi dengan perusahaan di Indonesia.
Sehingga ketika sampai di Indonesia, harganya sudah naik berkali-kali lipat. Dengan begitu, jelas
saja PT ABC yang berkedudukan di Indonesia akan menderita kerugian karena ia harus
membayar bahan baku dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga pasar yang wajar.
Sehingga potensi pajak yang seharusnya dibayarkan oleh PT ABC ke negara menjadi hilang
karena PT ABC mencatat kerugian atau keuntungannya mengecil karena praktik transfer pricing.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa abuse of transfer pricing hanya dapat
dilakukan oleh korporasi multinasional yang mempunyai anak-anak perusahaan/subsidiari di
berbagai negara (international transfer pricing). Sedangkan domestic transfer pricing tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap potensi penerimaan pajak pada negara tersebut karena
pengurangan laba/penghasilan di satu perusahaan akan mengakibatkan penambahan
laba/penghasilan di perusahaan lainnya sehingga hasilnya akan sama ke penerimaan pajak
meskipun domestic transfer pricing masih dapat digunakan untuk mengalihkan laba dari suatu
perusahaan ke perusahaan lain yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.
Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UU PPh. Dalam Pasal 18
ayat (3) diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi
yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. 4 Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan
pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
4 Lihat penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undan No. 36 Tahun 2008.7
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa
kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya
kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengan Wajib Pajak
tersebut.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan
transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan
Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk
yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan
dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak
perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan produk yang dijual oleh wajib
pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu
merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak. APA dapat juga
bersifat bilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan transfer pricing harus memenuhi kedua
unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak serta memenuhi definisi hubungan
istimewa. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan istimewa dianggap ada
apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% pada Wajib Pajak lain;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada
di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak langsung; atau
8
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Pengungkapan kasus transfer pricing saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Beberapa perusahaan yang dijadikan contoh antara lain adalah PT Adaro,
PT Arutmin, PT Kaltim, Asian Agri dan lain-lain. Bahkan Asian Agri sudah dilanjutkan ke
penyidikan, karena diduga terlibat tindak pidana perpajakan. Sehubungan dengan penyidikan
tersebut dapat dipertanyakan apakah praktik transfer pricing merupakan suatu upaya
penghindaran pajak untuk mencari penghematan pajak secara legal atau sudah merupakan
penggelapan pajak untuk meminimalisir pajak secara ilegal.
Dalam buku Multinational Corporations, Transfer Prices and Taxes: Evidences from US
Petroleum Industry (1990), Bernard & Weiner menyatakan bahwa, kecuali dilarang dalam
undang-undang, transfer pricing dapat digunakan untuk mengatur jumlah laba dari beberapa
perusahaan dalam satu group yang berada di beberapa wilayah yurisdiksi perpajakan. Hal ini
menunjukan secara hukum, jika tidak dinyatakan secara tegas dalam undang-undang bahwa
transfer pricing merupakan tindak pidana pajak, maka menjadi sulit untuk “mengkriminalkan”
praktik transfer pricing. Pendapat ini sepertinya didukung oleh adanya penghentian penyelidikan
PT Adaro yang menurut Media Indonesia (12 February 2008) dihentikan karena tidak ada
masalah dan royalty serta “semuanya” telah dibayar. Maka tampak bahwa atas transfer pricing
lebih ditempuh solusi administratif daripada pidana. Solusi ini juga dianut oleh Pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang PPh jo. SE 04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer
Pricing. Dari Surat Edaran ini dapat dikemukakan bahwa transfer pricing dapat terjadi antara
wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri,
terutama yang berkedudukan di tax haven countries (Negara yang tidak memungut pajak atau
yang memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antara wajib pajak yang
memiliki hubungan istimewa, undang-undang perpajakan Indonesia menganut asas materiil
(substance over form rule).
9
B. ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTEK TRANSFER PRICING
1. Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan konglomerasi dan
divisionalisasi/departementasi adalah sebagai berikut:5
a. Harga transfer dasar biaya ( cost based transfer pricing )
Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer atas biaya
variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu biaya penuh ( full cost),
biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan gabungan antara biaya variabel
dan tetap (variable cost plus fixed fee).
b. Harga transfer atas dasar harga pasar ( market basis transfer pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang paling memadai,
karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang
menjadi kendala dalam menggunakan metode transfer pricing ini.
c. Harga transfer negosiasi ( negotiated transfer prices )
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam
perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga
transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrol abilitas
yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban, karena setiap divisi yang
berkepentingan tersebut pada akhirnya akan bertanggungjawab atas harga transfer yang
dinegosiasikan.
5 Yenni Mangoting, Aspek Perpajakan dalam Praktik Transfer Pricing, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol.2, No. 1, Mei 2000, hlm. 70.
10
2. Transfer Pricing Pada Korporasi Multinasional
Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh korporasi multinasional, yaitu:6
a. Performance evaluation
Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai kinerjanya
adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on investment. Terkadang tingkat
ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama berbeda
satu dengan yang lain. Misalnya, divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi
yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-
nya. Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang
nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan dalam ROI.
Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam
penentuan harga transfer.
b. Optimal determination of taxes
Tarif pajak antar satu negara dengan negara yang lain berbeda. Perbedaan ini disebabkan
oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku dalam negara tersebut.
Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi rendah, tarif pajak yang berlaku di
negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin
tarif pajak yang diberlakukan di negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas
karena di negara maju seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan
dengan tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif
pajak yang ditetapkan di negara tersebut tinggi.
6 Ibid., Yenni Mangoting, Vol.2, No.1, Mei 2000, hlm. 72.11
3. Transfer Pricing Atas Royalti
Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan internasional membuat suatu
perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk menguasai pasar dan mendekatkan diri
dengan konsumen yang berada di berbagai negara. Perkembangan tersebut mengakibatkan
banyak perusahaan di berbagai negara mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan
multinasional. Dalam konsep perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh
perusahaan induk terhadap anak perusahaan di berbagai negara seringkali menyebabkan
terjadinya transaksi internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi transfer pricing dapat
berupa transfer harga atas barang, jasa dan harta tidak berwujud. Transaksi antar perusahaan
yang memiliki hubungan istimewa seringkali menimbulkan ketidakwajaran harga transfer.
Hal ini dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar global sebagai strategi bisnis ataupun
untuk mengurangi total beban pajak global yang harus ditanggung perusahaan akibat
transaksi lintas negara.
Otoritas pajak di banyak negara menggunakan metode perbandingan harga untuk
menentukan harga transfer yang wajar dalam perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.
Hal ini terutama untuk mengurangi potential loss pada penerimaan pajak yang diperoleh,
hanya saja dalam praktiknya terjadi banyak permasalahan yang muncul atas perbandingan
harga. Salah satu permasalahan yang timbul adalah sulitnya mencari perusahaan
pembanding. Kesulitan menjadi bertambah ketika harga yang diperbandingkan adalah harga
atas transfer royalti. Seringkali harta yang tidak berwujud tidak mempunyai karakteristik
yang sama atau identik di setiap produsen dan dimungkinkan adanya perbedaan biaya untuk
menghasilkan royalti tersebut.
Karakteristik yang berbeda-beda dari harga royalti dapat mengakibatkan kesalahan dalam
penentuan koreksi harga yang dilakukan oleh otoritas pajak, yang pada akhirnya akan
menimbulkan kerugian bagi wajib pajak ataupun otoritas pajak di suatu negara. Berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang timbul, maka penting dilakukan pengaturan yang baik
dalam Undang Undang Perpajakan untuk memberikan kepastian hukum atas transaksi
12
transfer pricing royalti ataupun untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dalam
memeriksa dan mencari harga pasar wajar pembanding atas royalti.
Indonesia sendiri saat ini belum mengatur secara pasti atau khusus atas transaksi transfer
pricing. Peraturan perundang-undangan yang ada hanya mengatur mengenai hubungan
istimewa dan penentuan harga pasar wajar apabila terjadi transaksi yang di dalamnya
terindikasi ada hubungan istimewa, tanpa mengatur secara rinci pencegahan atau
penyelesaian yang dapat digunakan untuk transfer pricing atas royalti.
13
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Aturan perpajakan di Indonesia belum secara spesifik mengatur tentang transfer pricing
dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Di lapangan masih banyak terjadi praktik-praktik
abuse of transfer pricing yang sangat merugikan bagi penerimaan pajak. Hal ini juga disebabkan
karena masih sangat kurangnya sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang mengerti tentang transfer pricing, padahal jumlah perusahaan multinasional yang
beraktifitas di Indonesia semakin banyak. Dengan adanya globalisasi, maka perekonomian dunia
semakin terbuka dan pasar Indonesia semakin menarik di mata investor dunia.
Prinsip self assessment yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia memungkinkan
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri.
Hal ini berarti Wajib Pajak lah yang pertama kali menentukan berapa pajak yang mereka setor
kepada negara. Jumlah pembayaran pajak tersebut baru dapat berubah apabila Direktorat
Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau penelitian atas jumlah pajak yang disetor. Tetapi
jumlah pemeriksa pajak yang mengerti tentang transfer pricing di Direktorat Jenderal Pajak
masih sangat minim sehingga pengawasan/pemeriksaan yang dapat dilakukan terhadap
perusahaan multinasional juga sangat terbatas. Akibatnya apabila Wajib Pajak melakukan
banding atas jumlah ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak ke
Pengadilan Pajak, sebagian besar mengalami kekalahan karena Direktorat Jenderal Pajak tidak
dapat mempertahankan argumennya atau argumennya kurang kuat dibandingkan argumen yang
disampaikan oleh Wajib Pajak atau konsultannya. Hal ini juga menyebabkan jumlah penerimaan
negara kembali berkurang.
Hal lain yang menyebabkan Direktorat Jenderal Pajak lemah dalam masalah transfer
pricing adalah kurangnya database informasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Padahal untuk menggunakan metode-metode penerapan harga transfer sebagaimana diungkapkan
di atas sangat dibutuhkan database yang lengkap tentang keadaan ekonomi, produk, industri,
tingkat laba, perusahaan, royalti, lisensi, harga jasa-jasa, dan sebagainya, termasuk juga database
perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia yang melakukan praktik transfer pricing.
14
Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengatasi dan meminimalisir risiko kehilangan
penerimaan negara akibat dari praktik abuse of transfer pricing adalah:
1. Membuat aturan dan ketentuan perpajakan di Indonesia yang secara spesifik mengatur
tentang transfer pricing. Sehingga dengan adanya aturan dan ketentuan secara spesifik ini,
akan lebih jelas bagaimana cara mengatasi dan menghindari terjadinya praktik-praktik
transfer pricing serta akan jelas juga bagaimana perlakuan perpajakannya.
2. Memperkuat sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing. Pelatihan-
pelatihan tentang transfer pricing harus semakin diperbanyak dan cakupan pegawai yang
diberi pelatihan juga harus lebih banyak khususnya untuk petugas pajak yang bertugas di
KPP-KPP tempat terdaftarnya perusahaan multinasional.
3. Memperkuat institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing. Saat ini, di Direktorat
Jenderal Pajak hanya ada satu unit khusus yang menangani transfer pricing yaitu Seksi
Transfer Pricing yang berada dibawah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Subdirektorat
Pemeriksaan Transaksi Khusus. Sehingga hal ini belum mencukupi, mengingat jumlah
potensi kehilangan penerimaan pajak yang ada cukup besar. Oleh karena itu, setidaknya unit
yang khusus mengurusi transfer pricing adalah unit yang memiliki tingkatan lebih tinggi dari
hanya setingkat seksi. Sehingga diharapkan unit yang lebih tinggi ini mempunyai resources
yang lebih besar dan lebih kuat termasuk dalam merumuskan aturan-aturan tentang transfer
pricing yang sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas database serta accessibility terhadap database tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak harus meningkatkan ketersediaan database yang ada selama ini
baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu hal yang paling penting adalah ketika
database tersebut telah tersedia maka harus dapat diakses dengan mudah oleh petugas pajak
terutama oleh petugas pajak yang berada di KPPKPP tempat terdaftarnya perusahaan
multinasional.
15
5. Menerapkan Advance Pricing Agreement (APA) dengan Wajib Pajak maupun dengan negara
lain. Saat ini belum ada Wajib Pajak ataupun negara lain yang bersepakat dengan Direktorat
Jenderal Pajak untuk menerapkan APA walaupun aturan perpajakan yang ada sudah
memungkinkan untuk itu (diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 69 Tahun 2010
tentang Kesepakatan Harga Transfer/APA). Oleh karena itu, diharapkan DJP lebih
mensosialisasikan dan mengajak Wajib Pajak untuk menerapkan APA ini, karena dengan
penerapan APA kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang merasa
dirugikan.
***
16