Transfer Pricing Dalam Perpajakan

25
TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN Oleh: SANTI PURNAMA SARI (00000006961) Dosen: Waty Tjakra, Dr., Dra., SH., Ak., MH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti mata kuliah Hukum Pajak PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

description

akuntansi perpajakan

Transcript of Transfer Pricing Dalam Perpajakan

Page 1: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN

Oleh:

SANTI PURNAMA SARI (00000006961)

Dosen:

Waty Tjakra, Dr., Dra., SH., Ak., MH

Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti mata kuliah

Hukum Pajak

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

2014

Page 2: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

I. PENDAHULUAN

Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang berkembang pesat turut memacu

perkembangan korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi

multinasional sebagai group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara

berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan

strategi yang lebih luas.

Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu

keinginan dan tujuan untuk memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku, untuk mencari

teknologi baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan atau kebijakan

pemerintah, dan diversifikasi. Sehubungan dengan pertumbuhan korporasi multinasional ini, ada

beberapa kasus perpajakan yang menimpa korporasi-korporasi multinasional dunia seperti

Google di Inggris, Starbucks Inggris, Amazon Inggris, dan lain-lain. Starbucks Inggris diketahui

bahwa pada tahun 2011 sama sekali tidak membayar pajak korporasi padahal perusahaannya

berhasil mencetak penjualan sebesar £398 juta. Starbucks Inggris juga mengaku mengalami

kerugian sejak tahun 2008 dengan jumlah kerugian mencapai £112 juta atau sekitar Rp. 1,7

Triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak pernah membayar pajak korporasi. Padahal

dalam laporan kepada investornya di Amerika Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka

memperoleh keuntungan yang besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (periode

tahun 2008 - 2010) mencapai £1,2 miliar atau sekitar Rp. 18 triliun. Bahkan selama 14 tahun

beroperasi di Inggris, Starbucks hanya membayar pajak sebesar £8,6 juta. Selanjutnya Google

Inggris pada tahun 2011 juga berhasil mencatat pendapatan sebesar £398 juta tetapi hanya

membayar pajak sebesar £6 juta. Hal yang sama terjadi di Amazon Inggris, di mana mereka

berhasil melakukan penjualan di Inggris sebesar £3,35 miliar selama tahun 2011 tetapi hanya

membayar pajak sebesar £1,5 juta.

Hal tersebut bisa terjadi karena korporasi-korporasi multinasional tersebut menggunakan

praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak

gampang. Akan tetapi, dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat

1

Page 3: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

memindahkan keuntungan yang mereka dapat di negara asal (negara tempat keuntungan

diperoleh) ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Walaupun terlihat legal

tetapi cara-cara seperti ini dianggap sebagai cara yang amoral dan dapat dikatakan sebagai

penyelundupan pajak.

Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer

suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang

dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu:

(i) intra-company dan (ii) inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing

merupakan transfer pricing antar divisi dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany

transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan

istimewa. Transaksinya sendiri bisa dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing),

maupun dengan negara yang berbeda (international transfer pricing).

Transfer pricing dapat ditentukan berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di

pasaran bebas, namun dapat juga ditentukan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer

pricing ini merupakan isu klasik dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi

internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. John Neighbour menyatakan bahwa

transfer pricing pada awalnya hanya merupakan isu utama bagi administrasi perpajakan dan ahli

perpajakan saja, tetapi pada masa sekarang ini transfer pricing telah menjadi pembicaraan para

politisi, ahli ekonomi dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat menyangkut kewajiban

pembayaran pajak atas aktivitas bisnis korporasi multinasional.1

Survei yang dilakukan oleh Ernst and Young International pada tahun 1995 menunjukkan

bahwa lebih dari 80% responden mengindikasikan transfer pricing sebagai masalah utama dalam

perpajakan yang dihadapi oleh korporasi multinasional. Responden tersebut terdiri dari korporasi

multinasional di 8 (delapan) Negara termasuk Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris. 2

1 Imam Santoso, Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Perspektif Perpajakan Indonesia, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 6, No.2, November 2004: 123.2 Ibid.

2

Page 4: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain Plasschaert yang

dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di

Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain:

1. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan;

2. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;

3. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah;

4. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;

5. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha;

6. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan

kepedulian lingkungan;

7. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri. 3

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dapat

dipicu oleh alasan pajak (tax motive) ataupun alasan bukan pajak (non-tax motive).

3 Ibid.3

Page 5: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

II. LANDASAN TEORI

Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 7

Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang

Perubahan Keempat Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 (“UU PPh”). Pasal 18 ayat (3)

UU PPh menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan

kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan

istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak

dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode

perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode

biaya-plus, atau metode lainnya. Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika (i) Wajib Pajak

mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib

Pajak lain; (ii) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak

berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (iii) terdapat

hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke

samping satu derajat.

Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan Dirjen

Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011.

Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas

transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan

oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak ini juga diatur bahwa arm’s length principle dilakukan

dengan menggunakan langkah-langkah: (i) melakukan analisis kesebandingan dan menentukan

pembanding; (ii) menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat; (iii) menerapkan

prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode

penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak

dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa; dan (iv) mendokumentasikan setiap langkah

4

Page 6: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku.

III. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

A. MASALAH TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN

Beberapa transaksi yang terjadi antar anggota group korporasi multinasional dapat

dikategorikan dalam beberapa transaksi, antara lain seperti penjualan barang dan jasa, lisensi,

royalti, paten dan know-how, penjaminan utang, serta penjualan komponen untuk kegiatan

produksi. Transaksi-transaksi yang terjadi antar unit bisnis group korporasi multinasional hampir

selalu merupakan cross border transaction yang menyebabkan otoritas pajak menduganya

sebagai salah satu bentuk pengalihan (shifting) beban pajak dari suatu Negara yang mempunyai

tarif tinggi (high tax countries) ke Negara lainnya yang mempunyai tarif pajak lebih rendah (low

tax countries).

Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi

multinasional, UU PPh memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menentukan

kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (associated

enterprises/related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan

pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk membuat perjanjian dengan Direktur

Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement/APA (kesepakatan harga transfer)

mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang dilakukan antar mereka.

Menurut sejumlah literatur, transfer pricing merupakan suatu harga jual khusus yang

dipakai dalam pertukaran antar divisi untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division)

dan biaya divisi pembeli (buying division). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk

mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan.

Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena

adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu

5

Page 7: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan antara satu

pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat

mengakibatkan ketidakwajaran pelaporan pajak, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau

dasar pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Jadi secara umum

transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa tersebut dikenal dengan transfer

pricing.

Transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk

meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi.

Perusahaan multinasional cenderung merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country dan

menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country. Artinya, ada

pergeseran kewajiban perpajakan dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke

negara yang menerapkan pajak rendah. Disinilah terlihat praktik transfer pricing tersebut yang

mengakibatkan potensi penerimaan suatu negara khususnya yang berasal dari penerimaan pajak

akan berkurang. Sementara dari sisi bisnis, perusahaan akan cenderung berupaya meminimalkan

biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal pembayaran pajak perusahaan. Bagi perusahaan

multinasional, transfer pricing merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan

dengan sumber daya yang terbatas. Jika transfer pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam

negeri) maka hal ini tidak menjadi persoalan, karena pemerintah tetap akan memperoleh pajak

dari salah satu perusahaan yang diuntungkan. Yang menjadi masalah adalah jika transfer pricing

dilakukan oleh perusahaan asing dengan perusahaan lokal.

Perusahaan lokal yang menjadi subsidiari/anak perusahaan dari perusahaan asing akan

“dikorbankan”. Artinya, perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya

perusahaan lokal tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran

pajak oleh kedua perusahaan tersebut (induk dan anak perusahaan). Sebagai contoh dari abuse

of transfer pricing adalah sebuah perusahaan—X Corp—berkedudukan di negara X memiliki

anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT ABC, yang bergerak di bidang industri makanan. Untuk

memproduksi makanan yang dijual di Indonesia, PT ABC mengimpor bahan baku dari X Corp.

Harga wajar bahan baku tersebut di pasar misalnya US$10/pcs. Namun dalam transaksi antara X

6

Page 8: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

Corp dengan PT ABC, harga bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/pcs. Sehingga

ada mark up sebesar US$20/pcs. Harga US$30/pcs ini tidak akan mungkin terjadi jika transaksi

tersebut dilakukan dengan perusahaan yang bukan dalam satu grup atau tidak mempunyai

hubungan istimewa. Sehingga dalam transaksi ini tidak terjadi prinsip harga pasar yang wajar

(arm’s length price principle). Contoh lain yang umumnya sering digunakan dalam transfer

pricing adalah misalkan X Corp tidak bertransaksi langsung dengan anak perusahaan di

Indonesia, tetapi menjual terlebih dulu kepada anak perusahaan lain yang berkedudukan di

Filipina. Lalu, dari Filipina barang tersebut dijual ke perusahaan yang ada di Malaysia, baru

setelah itu perusahaan di Malaysia melakukan transaksi dengan perusahaan di Indonesia.

Sehingga ketika sampai di Indonesia, harganya sudah naik berkali-kali lipat. Dengan begitu, jelas

saja PT ABC yang berkedudukan di Indonesia akan menderita kerugian karena ia harus

membayar bahan baku dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga pasar yang wajar.

Sehingga potensi pajak yang seharusnya dibayarkan oleh PT ABC ke negara menjadi hilang

karena PT ABC mencatat kerugian atau keuntungannya mengecil karena praktik transfer pricing.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa abuse of transfer pricing hanya dapat

dilakukan oleh korporasi multinasional yang mempunyai anak-anak perusahaan/subsidiari di

berbagai negara (international transfer pricing). Sedangkan domestic transfer pricing tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap potensi penerimaan pajak pada negara tersebut karena

pengurangan laba/penghasilan di satu perusahaan akan mengakibatkan penambahan

laba/penghasilan di perusahaan lainnya sehingga hasilnya akan sama ke penerimaan pajak

meskipun domestic transfer pricing masih dapat digunakan untuk mengalihkan laba dari suatu

perusahaan ke perusahaan lain yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.

Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) UU PPh. Dalam Pasal 18

ayat (3) diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi

yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. 4 Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa Direktur

Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan

pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang

4 Lihat penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undan No. 36 Tahun 2008.7

Page 9: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), yang berlaku

selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi

setelah periode tertentu tersebut berakhir. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa

kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib

Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya

kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengan Wajib Pajak

tersebut.

Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan

transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan

Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk

yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan

dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak

perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan produk yang dijual oleh wajib

pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu

merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak. APA dapat juga

bersifat bilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas

perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian mengenai apa yang

dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan transfer pricing harus memenuhi kedua

unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak serta memenuhi definisi hubungan

istimewa. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan istimewa dianggap ada

apabila:

1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling

rendah 25% pada Wajib Pajak lain;

2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada

di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak langsung; atau

8

Page 10: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan

lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Pengungkapan kasus transfer pricing saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat

Jenderal Pajak. Beberapa perusahaan yang dijadikan contoh antara lain adalah PT Adaro,

PT Arutmin, PT Kaltim, Asian Agri dan lain-lain. Bahkan Asian Agri sudah dilanjutkan ke

penyidikan, karena diduga terlibat tindak pidana perpajakan. Sehubungan dengan penyidikan

tersebut dapat dipertanyakan apakah praktik transfer pricing merupakan suatu upaya

penghindaran pajak untuk mencari penghematan pajak secara legal atau sudah merupakan

penggelapan pajak untuk meminimalisir pajak secara ilegal.

Dalam buku Multinational Corporations, Transfer Prices and Taxes: Evidences from US

Petroleum Industry (1990), Bernard & Weiner menyatakan bahwa, kecuali dilarang dalam

undang-undang, transfer pricing dapat digunakan untuk mengatur jumlah laba dari beberapa

perusahaan dalam satu group yang berada di beberapa wilayah yurisdiksi perpajakan. Hal ini

menunjukan secara hukum, jika tidak dinyatakan secara tegas dalam undang-undang bahwa

transfer pricing merupakan tindak pidana pajak, maka menjadi sulit untuk “mengkriminalkan”

praktik transfer pricing. Pendapat ini sepertinya didukung oleh adanya penghentian penyelidikan

PT Adaro yang menurut Media Indonesia (12 February 2008) dihentikan karena tidak ada

masalah dan royalty serta “semuanya” telah dibayar. Maka tampak bahwa atas transfer pricing

lebih ditempuh solusi administratif daripada pidana. Solusi ini juga dianut oleh Pasal 18 ayat (3)

Undang-Undang PPh jo. SE 04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer

Pricing. Dari Surat Edaran ini dapat dikemukakan bahwa transfer pricing dapat terjadi antara

wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri,

terutama yang berkedudukan di tax haven countries (Negara yang tidak memungut pajak atau

yang memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antara wajib pajak yang

memiliki hubungan istimewa, undang-undang perpajakan Indonesia menganut asas materiil

(substance over form rule).

9

Page 11: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

B. ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTEK TRANSFER PRICING

1. Metode Transfer Pricing

Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan konglomerasi dan

divisionalisasi/departementasi adalah sebagai berikut:5

a. Harga transfer dasar biaya ( cost based transfer pricing )

Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer atas biaya

variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu biaya penuh ( full cost),

biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan gabungan antara biaya variabel

dan tetap (variable cost plus fixed fee).

b. Harga transfer atas dasar harga pasar ( market basis transfer pricing)

Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang paling memadai,

karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang

menjadi kendala dalam menggunakan metode transfer pricing ini.

c. Harga transfer negosiasi ( negotiated transfer prices )

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam

perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga

transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrol abilitas

yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban, karena setiap divisi yang

berkepentingan tersebut pada akhirnya akan bertanggungjawab atas harga transfer yang

dinegosiasikan.

5 Yenni Mangoting, Aspek Perpajakan dalam Praktik Transfer Pricing, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol.2, No. 1, Mei 2000, hlm. 70.

10

Page 12: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

2. Transfer Pricing Pada Korporasi Multinasional

Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh korporasi multinasional, yaitu:6

a. Performance evaluation

Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai kinerjanya

adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on investment. Terkadang tingkat

ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama berbeda

satu dengan yang lain. Misalnya, divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi

yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-

nya. Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang

nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan dalam ROI.

Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam

penentuan harga transfer.

b. Optimal determination of taxes

Tarif pajak antar satu negara dengan negara yang lain berbeda. Perbedaan ini disebabkan

oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku dalam negara tersebut.

Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi rendah, tarif pajak yang berlaku di

negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin

tarif pajak yang diberlakukan di negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas

karena di negara maju seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan

dengan tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif

pajak yang ditetapkan di negara tersebut tinggi.

6 Ibid., Yenni Mangoting, Vol.2, No.1, Mei 2000, hlm. 72.11

Page 13: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

3. Transfer Pricing Atas Royalti

Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan internasional membuat suatu

perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk menguasai pasar dan mendekatkan diri

dengan konsumen yang berada di berbagai negara. Perkembangan tersebut mengakibatkan

banyak perusahaan di berbagai negara mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan

multinasional. Dalam konsep perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh

perusahaan induk terhadap anak perusahaan di berbagai negara seringkali menyebabkan

terjadinya transaksi internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi transfer pricing dapat

berupa transfer harga atas barang, jasa dan harta tidak berwujud. Transaksi antar perusahaan

yang memiliki hubungan istimewa seringkali menimbulkan ketidakwajaran harga transfer.

Hal ini dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar global sebagai strategi bisnis ataupun

untuk mengurangi total beban pajak global yang harus ditanggung perusahaan akibat

transaksi lintas negara.

Otoritas pajak di banyak negara menggunakan metode perbandingan harga untuk

menentukan harga transfer yang wajar dalam perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.

Hal ini terutama untuk mengurangi potential loss pada penerimaan pajak yang diperoleh,

hanya saja dalam praktiknya terjadi banyak permasalahan yang muncul atas perbandingan

harga. Salah satu permasalahan yang timbul adalah sulitnya mencari perusahaan

pembanding. Kesulitan menjadi bertambah ketika harga yang diperbandingkan adalah harga

atas transfer royalti. Seringkali harta yang tidak berwujud tidak mempunyai karakteristik

yang sama atau identik di setiap produsen dan dimungkinkan adanya perbedaan biaya untuk

menghasilkan royalti tersebut.

Karakteristik yang berbeda-beda dari harga royalti dapat mengakibatkan kesalahan dalam

penentuan koreksi harga yang dilakukan oleh otoritas pajak, yang pada akhirnya akan

menimbulkan kerugian bagi wajib pajak ataupun otoritas pajak di suatu negara. Berdasarkan

permasalahan-permasalahan yang timbul, maka penting dilakukan pengaturan yang baik

dalam Undang Undang Perpajakan untuk memberikan kepastian hukum atas transaksi

12

Page 14: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

transfer pricing royalti ataupun untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dalam

memeriksa dan mencari harga pasar wajar pembanding atas royalti.

Indonesia sendiri saat ini belum mengatur secara pasti atau khusus atas transaksi transfer

pricing. Peraturan perundang-undangan yang ada hanya mengatur mengenai hubungan

istimewa dan penentuan harga pasar wajar apabila terjadi transaksi yang di dalamnya

terindikasi ada hubungan istimewa, tanpa mengatur secara rinci pencegahan atau

penyelesaian yang dapat digunakan untuk transfer pricing atas royalti.

13

Page 15: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Aturan perpajakan di Indonesia belum secara spesifik mengatur tentang transfer pricing

dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Di lapangan masih banyak terjadi praktik-praktik

abuse of transfer pricing yang sangat merugikan bagi penerimaan pajak. Hal ini juga disebabkan

karena masih sangat kurangnya sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

yang mengerti tentang transfer pricing, padahal jumlah perusahaan multinasional yang

beraktifitas di Indonesia semakin banyak. Dengan adanya globalisasi, maka perekonomian dunia

semakin terbuka dan pasar Indonesia semakin menarik di mata investor dunia.

Prinsip self assessment yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia memungkinkan

Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri.

Hal ini berarti Wajib Pajak lah yang pertama kali menentukan berapa pajak yang mereka setor

kepada negara. Jumlah pembayaran pajak tersebut baru dapat berubah apabila Direktorat

Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau penelitian atas jumlah pajak yang disetor. Tetapi

jumlah pemeriksa pajak yang mengerti tentang transfer pricing di Direktorat Jenderal Pajak

masih sangat minim sehingga pengawasan/pemeriksaan yang dapat dilakukan terhadap

perusahaan multinasional juga sangat terbatas. Akibatnya apabila Wajib Pajak melakukan

banding atas jumlah ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak ke

Pengadilan Pajak, sebagian besar mengalami kekalahan karena Direktorat Jenderal Pajak tidak

dapat mempertahankan argumennya atau argumennya kurang kuat dibandingkan argumen yang

disampaikan oleh Wajib Pajak atau konsultannya. Hal ini juga menyebabkan jumlah penerimaan

negara kembali berkurang.

Hal lain yang menyebabkan Direktorat Jenderal Pajak lemah dalam masalah transfer

pricing adalah kurangnya database informasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Padahal untuk menggunakan metode-metode penerapan harga transfer sebagaimana diungkapkan

di atas sangat dibutuhkan database yang lengkap tentang keadaan ekonomi, produk, industri,

tingkat laba, perusahaan, royalti, lisensi, harga jasa-jasa, dan sebagainya, termasuk juga database

perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia yang melakukan praktik transfer pricing.

14

Page 16: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian

Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengatasi dan meminimalisir risiko kehilangan

penerimaan negara akibat dari praktik abuse of transfer pricing adalah:

1. Membuat aturan dan ketentuan perpajakan di Indonesia yang secara spesifik mengatur

tentang transfer pricing. Sehingga dengan adanya aturan dan ketentuan secara spesifik ini,

akan lebih jelas bagaimana cara mengatasi dan menghindari terjadinya praktik-praktik

transfer pricing serta akan jelas juga bagaimana perlakuan perpajakannya.

2. Memperkuat sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing. Pelatihan-

pelatihan tentang transfer pricing harus semakin diperbanyak dan cakupan pegawai yang

diberi pelatihan juga harus lebih banyak khususnya untuk petugas pajak yang bertugas di

KPP-KPP tempat terdaftarnya perusahaan multinasional.

3. Memperkuat institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing. Saat ini, di Direktorat

Jenderal Pajak hanya ada satu unit khusus yang menangani transfer pricing yaitu Seksi

Transfer Pricing yang berada dibawah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Subdirektorat

Pemeriksaan Transaksi Khusus. Sehingga hal ini belum mencukupi, mengingat jumlah

potensi kehilangan penerimaan pajak yang ada cukup besar. Oleh karena itu, setidaknya unit

yang khusus mengurusi transfer pricing adalah unit yang memiliki tingkatan lebih tinggi dari

hanya setingkat seksi. Sehingga diharapkan unit yang lebih tinggi ini mempunyai resources

yang lebih besar dan lebih kuat termasuk dalam merumuskan aturan-aturan tentang transfer

pricing yang sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.

4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas database serta accessibility terhadap database tersebut.

Direktorat Jenderal Pajak harus meningkatkan ketersediaan database yang ada selama ini

baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu hal yang paling penting adalah ketika

database tersebut telah tersedia maka harus dapat diakses dengan mudah oleh petugas pajak

terutama oleh petugas pajak yang berada di KPPKPP tempat terdaftarnya perusahaan

multinasional.

15

Page 17: Transfer Pricing Dalam Perpajakan

5. Menerapkan Advance Pricing Agreement (APA) dengan Wajib Pajak maupun dengan negara

lain. Saat ini belum ada Wajib Pajak ataupun negara lain yang bersepakat dengan Direktorat

Jenderal Pajak untuk menerapkan APA walaupun aturan perpajakan yang ada sudah

memungkinkan untuk itu (diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 69 Tahun 2010

tentang Kesepakatan Harga Transfer/APA). Oleh karena itu, diharapkan DJP lebih

mensosialisasikan dan mengajak Wajib Pajak untuk menerapkan APA ini, karena dengan

penerapan APA kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang merasa

dirugikan.

***

16