Makalah Transfer Pricing

63
1 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA Penggelapan Pajak via Transfer Pricing PT Asian Agri Group (AAG) Disusun oleh : 1. Mochamad Sholichin/ 27 / 08320006687 2. Muh. Fajrin Nurfa / 28 / 08320006701 3. Mukhlis Erisnanto / 29 / 08320006724 4. Muslich Budianto / 30 / 08320006726 5. Nanang Fais Aminullah / 31 / 08320006730 6. Novan Ariansyah / 32 / 08320006739 7. Nur Budi Prasetyo / 33 / 08320006745 8. Nur Hayati Firman / 34 / 08320006751 9. Peter Sunarwan Djaya / 35 / 08320006763 10. Rendi Saputra / 36 / 08320006789 11. Riyan Dwi Saputro / 37 / 08320006812 12. Tatang Zaelani / 38 / 08320006875

Transcript of Makalah Transfer Pricing

1

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

Penggelapan Pajak via Transfer Pricing

PT Asian Agri Group (AAG)

Disusun oleh :

1. Mochamad Sholichin / 27 / 08320006687

2. Muh. Fajrin Nurfa / 28 / 08320006701

3. Mukhlis Erisnanto / 29 / 08320006724

4. Muslich Budianto / 30 / 08320006726

5. Nanang Fais Aminullah / 31 / 08320006730

6. Novan Ariansyah / 32 / 08320006739

7. Nur Budi Prasetyo / 33 / 08320006745

8. Nur Hayati Firman / 34 / 08320006751

9. Peter Sunarwan Djaya / 35 / 08320006763

10. Rendi Saputra / 36 / 08320006789

11. Riyan Dwi Saputro / 37 / 08320006812

12. Tatang Zaelani / 38 / 08320006875

Program Diploma III Keuangan

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Spesialisasi Administrasi Perpajakan

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Ekspor Impor

KATA PENGANTAR

Hanya kepada Tuhan lah kiranya rasa syukur ini kami panjatkan. Atas

limpahan kasih sayang-Nya lah pada hari yang penuh berkah ini kami telah

menyelesaikan penulisan makalah berjudul Penggelapan Pajak via Transfer

Pricing PT Asian Agri Group (AGG) dengan cukup baik.

Tak lupa kami sampaikan terima kasih terdalam kami kepada

- Bapak Dasuki selaku dosen mata kuliah Ekspor Impor kami,

- bapak dan ibu di rumah yang senantiasa mendoakan dan mendukung kami apa

adanya,

- rekan-rekan satu tim yang telah bekerja dalam penulisana makalah ini, dan

- rekan-rekan sekelas 2E-Administrasi Perpajakan STAN 2009 yang telah

bekerja sama saling mendukung selama proses pembuatan makalah ini.

Makalah ini pastinya masih sangat jauh dari baik dan sepurna. Oleh karena

itu, kami akan menerima segala sesuatu yang berkenaan dengan penyempurnaan

makalah ini, baik berupa kritik, saran, maupun tambahan materi, sehingga makalah

ini bisa menjadi semakin lengkap lagi dan memebrikan ilmu yang lebih lagi kepada

pembaca.

Tangerang, 14 Februari 2010

Tim Penyusun

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................

A. Latar Belakang.............................................................................

B. Tujuan..........................................................................................

C. Manfaat........................................................................................

D. Ruang Lingkup.............................................................................

BAB II LANDASAN TEORI............................................................

A. Korporasi Mutinasional dalam Globalisasi Ekonomi..................

B. Definisi Transfer Pricing ............................................................

C. Tujuan Transfer Pricing..............................................................

1. Tujuan dari Pandangan Ahli........................................................

2. Tujuan Umum..............................................................................

D. Transfer Pricing dan Korporasi Multinasional............................

1. Transfer Pricing dalam Korporasi Multinasional........................

2. Dampak Transfer Pricing dalam Perusahaan..............................

3. Metode Transfer Pricing .............................................................

E. Praktik Transfer Pricing Perusahaan Multinasional....................

F. Penanganan Transfer Pricing .....................................................

iii

BAB III TRANSFER PRICING DALAM

PT ASIAN AGRI GROUP (AAG).....................................

A. Analisis Kasus Transfer Pricing

PT Asian Agri Group (AAG).......................................................

B. Analisis Penanganan Kasus.........................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................

LAMPIRAN

iv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-01/PJ.7/1993 tentang

Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai

Hubungan Istimewa

LAMPIRAN 2 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 7 tentang

Pengungkapan Pihak-Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa

LAMPIRAN 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ.7/1993 tentang

Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing (Seri TP-1)

v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia telah berubah sejak beberapa decade yang lalu, bahkan di

beberapa tahun terakhir keadaan menjadi sangat lebih rumit jika dibandingkan

dengan keadaan pada zaman-zaman dahulu dimana semuanya masih berbau

tradisional dan semua serba menggunakan tenaga manusia. Globalisasi telah

merambah di berbagai sector di berbagai Negara, bukan hanya Negara maju,

melainkan juga Negara-negara dunia ketiga. Globalisasi juga tidak hanya

masuk dalam tataran teknologi informasi dan komunikasijuga, tetapi globalisasi

telah masuk dalam celah besar di perekonomian di berbagai Negara di dunia

ini.

Perubahan di berbagai kegiatan bisnis pun sudah terjadi mengikuti arus

globalisasi tersebut. Bukan hanya pemerintah saja yang mengadakan hubungan

ke luar negeri, melainkan juga para pebisnis-pebisnis multinasional

melakukannya pula. Bahkan, para penusaha home industry sudah melakukan

penjualan sampai ke luar negeri. Perubahan ini menuntut gerak cepat para

pebisnis untuk segera melakukan penyesuaian-penyesuaian, sehingga mereka

akan mampu bersaing dalam perdagangan, terutama perdagangan internasional

dalam kaitan globalisasi ini. Produksi pun harus lebih cepat lagi dilakukan

sehingga kebutuhan manusia dapat dipenuhi, apalagi produksi yang sifatnya

saangat diperlukan oleh masyarakat banyak. Ini menuntut para pengusaha untuk

melakukan pabrikasi dengan tenaga yang labih modern lagi, yaitu dengan robot.

Tenaga-tenaga manusia pun menjadi pelengkap saja untuk produksi yang

mungkin lebih baik jika dikerjakan oleh manusia. System tradisional yang

digunakan untuk membebankan biaya ternyata juga dianggap gagal

membebankan secara akurat biaya-biaya sumber daya pendukung yang

kemudian tergantikan dengan system yang lebih modern, misalnya Activity

Base Costing atau system biaya modern dimana biaya yang ditimbulkan

berdasarkan pada aktivitas yang terjadi.

1

Fenomena globalisasi ini juga menyebabkan perusahaan menjadikan

proses produksinya dalam departemen-departemen produksi. Hal ini mungkin

tak akan menjadi sulit apabila hanya terjadi dalam sebuah perusahaan dan

hanya terjadi dalam sebuah Negara saja karena beban-beban serta biaya-biaya

yang dikeluarkan akan lebih mudah terukur. Namun, hal ini akan menjadi lebih

sulit apabila suatu perusahaan ternyata memiliki berbagai cabang yang terletak

tidak hanya di satu Negara,tetapi juga di Negara lain—dan itulah yang terjadi

saat ini. Perusahaan yang seperti itu akan sangat sulit menentukan harga

penjualan dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengawasan dan

pengukuran kinerja perusahaan. Oleh karena itulah, dilakukanlah sebuah

kegiatan yang disebut sebagai transfer pricing dalam rangka penentuan harga

tersebut.

Saat mendengar kata transfer pricing, mungkin yang selalu ada di benak

kita adalah sebuah hal pemanipulasian data atau kejahatan perusahaan

multinasional. Namun, pada hakikatnya transfer pricing bukanlah itu saja.

Transfer Pricing adalah sebuah cara yang digunakan perusahan untuk

kepentingan usahanya agar semuanya dapat diawasi dengan baik tentunya

karena disini kinerja semua divisi akan terlihat. Namun, beberapa tahun

belakangan ini banyak sekali ditemukan berbagai praktek illegal dalam transfer

pricing tersebut. Transfer Pricing digunakan oleh beberapa perusahaan

multinasional untuk mengecilkan pajaknya dan membuat beberapa Negara

mengalami kerugian dalam penerimaan pajak, terutama Indonesia yang

memang mengandalkan pajak dalam APBN nya.

Untuk mengetahui berbagai hal mengenai transfer pricing dan segala

speknya, kami menyusun makalah ini disertai pembahasan kasus transfer

pricing yang telah mencuat dua tahun yang lalu. Menariknya lagi, transfer

pricing ini merupakan kasus transfer pricing yang paling besar di negeri

Indonesia selama ini. Kasus ini adalah kasus transfer pricing PT Asiam Agri

Grup yang merupakan anak usaha Garuda Mas milik konglomerat Sukanto

Tanoto.

2

B. Tujuan

Makalah ini kami susun dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan definisi transfer pricing;

2. Memaparkan konsep dan tujuan transfer pricing yang benar;

3. Memaparkan penyalahgunaan transfer pricing yang dapat merugikan

berbagai pihak; dan

4. Menjelaskan cara-cara penanganan kasus-kasus berkaitan transfer

pricing.

5. Memberikan gambaran kasus transfer pricing yang terjadi di lapangan.

C. Manfaat

Dengan disusunnya makalah ini, manfaat yang diharapkan untuk pembaca

adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui definisi transfer pricing;

2. Mengetahui konsep transfer pricing yang benar;

3. Mengetahui praktek-praktek illegal dalam transfer pricing ; dan

4. Mengetahui serta memahami penanganan transfer pricing yang sudah

umum diterapkan di berbagai Negara.

5. Memahami kasus transfer pricing dan memahami secara dasar

penanganan kasus bersangkutan.

D. Ruang Lingkup

Dalam pembahasan makalah ini, kami memaparkan transfer pricing secara

umum yang ada di berbagai Negara di dunia. Untuk penanganan kasusnya,

kendati penanganannya di setiap Negara itu hamper sama—hanya berbeda

peraturannya—tetapi, kami memfokuskan pembahasan penanganan

kasusnya untuk di Indonesia. Kami juga membatasi pembahasan kasus yang

terjadi di Indonesia dengan menggunakan Undang-Undang yang berlaku di

Indonesia.

3

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Korporasi Multinasional dalam Globalisasi Ekonomi

Santoso (2004:124) mengutip dari Kavaljit Singh bahwa globalisasi

digambarkan sebagai suatu proses saling ketergantungan ekonomis yang terus

berkembang di antara negara-negara di dunia dengan cirri;

1. pertumbuhan transaksi keuangan dan perdagangan internasional yang cepat,

terutama di antara perusahaan-perusahaan transasional,

2. gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang mendapat

dukungan luas dari kalangan perusahaan transnasional,

3. timbulnya pasar global, serta

4. penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi

system transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia.1)

Globalisasi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi

transnasional atau cross border transaction. Arus barang, jasa, modal, dan tenaga

kerja juga semakin mudah dan lancar antar negara. Belum lagi dengan kehadiran

WTO (World Trade Organization) yang memfasilitasi perdagangan transnasional

tersebut.

1)Imam Santoso,Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Persperkstif Perpajakan Indonesia (http://puslit.petr- a.ac.id/puslit/journals,2004), hal.124

4

5

Sesuai dengan fungsinya, WTO membuat hambatan-hambatan yang ada di sebuah

Negara—dalam hal perdagangan—menjadi lebih kecil atau bahkan

menghilangkan hambatan tersebut dengan berbagai perjanjian yang telah

disepakati oleh anggota WTO. Melalui itu semua, perusahaan saat ini tidak lagi

membatasi kegiatan usahanya hanya pada satu negara saja, tetapi sudah merambah

jauh sampai ke berbagai negara. Perusahaan-perusahaan ini pada akhirnya bekerja

dengan membuka berbagai cabang di berbagai negara, bukan hanya dalam satu

benua saja, melainkan juga lintas benua.

Dengan semua itu—keterbukaan pasar dunia, kemudahan bahan baku, dan

aspek lainnya—akhirnya lahirlah sebuah era korporasi multinasional—jika boleh

penulis sebut demikian—dan membuat dunia ini seolah-olah berada pada sebuah

pasar tunggal yang tak asing lagi satu dengan yang lainnya. Kata “jual-beli” hanya

digantikan oleh kata “ekspor-impor” dan beberapa hal lainnya. Beberapa korporasi

multinasional yang telah merambah ke Indonesia antara lain General Motors and

Ford, Esso, Shell, British Petroleum, McDonald, Kentucky, AT&T, dan

International News Corporation. Lahirnya korporasi multinasional tentunya

mempunyai berbagai dampak, baik positif maupun negative dan semuanya berada

pada lingkup yang berbeda sudut pandangnya.

Dari sudut pandang positif—yakni dampak positifnya—dengan adanya

korporasi multinasional ini, investasi dapat tersebar di berbagai Negara di dunia,

bahkan mungkin yang belum maju sekalipun, karena tujuan mereka salah satunya

adalahpengembangan wilayah dan pencarian pangsa pasar dunia. Dari sisi

penerimaan negara, dengan adanya korporasi multinasional, penerimaan dari

sector pajak dan non pajak juga akan lebih meningkat dibandingkan dengan tanpa

adanya korporasi seperti ini. Ini berkaitan dengan perlakuan korporasi

multinasional sebagai subjek pajak luar negeri atau BUT.

Dari kacamata negative, dampak korporasi multinasional ini juga sangat

beragam—bahkan mungkin lebih banyak diketahui dibandingkan dengan efek

positifnya. Munculnya korporasi multinasional, khususnya di Indonesia,

membawa beberapa negative effect yang beragam, tergantung bidang yang digeluti

oleh perusahaan bersangkutan. Sebut saja Nike. Perusahaan sepatu ini telah

melanggar hak-hak pekerjanya. Mereka memperlakukan pekerjanya secara tidak

6

layak dengan gaji yang sangat minim. Perkins (2007:81) dalam bukunya

Pengakuan Bandit Ekonomi menuliskan :2)

“Para pekerja Nike menjalani hidup sengsara dan tidak sehat. Hidup yang

tidak bisa dibayangkan kebanyakan orang Amerika. Tapi masyarakat

Indonesia yang kaya, bersama dengan orang-orang asing menikamati

kehidupan mewah. … “orang-orang Nike tahu biaya memproduksi setiap sol

dan tali sepatu hingga hitungan sen. Mereka menekan dan menekan ,

memaksa para pemilik pabrik mempertahankan biaya produksi minimum.

Pada akhirnya, pemilik pabrik kebanyakan orng Cina terpaksa menerima

keuntungan kecil.”

Bukan hanya masalah social, eksistensi korporasi multinasional ini juga

menimbulkan eksploitasi yang lebih besar terhadap lingkungan, terutama di

Indonesia. Kekayaan alam Indonesia sudah terkenal di seluruh dunia. Cadangan

minyak dan berbagai kekayaan lain ada banyak di Indonesia beberapa tahun yang

lalu, bahkan mungkin saat ini juga masih banyak. John Perkins (2007) dalam

tulisan-tulisannya juga banyak menceritakan bagaimana mereka bekerja untuk

perusahaan-perusahaan multinasional agak mereka dapat berkembang dan

mengeksploitasi di Indonesia. Hal ini dalam bukunya disebut sebagai upaya

korporatokrasi.

2)John Perkins,Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga (Jakarta:Ufuk Press), hal. 81

7

Karena perusahaan mulinasional ini bekerja dengan berbagai cabang

maupun divisi yang terdapat di berbagai negara di belahan dunia, maka dalam

prakteknya, mereka melakukan suatu upaya yang disebut transfer pricing, yaitu

suatu upaya untuk menetapkan harga. Transfer pricing ini pun juga telah menuai

banyak sekali masalah di berbagai negara karena dalam prakteknya, mereka

menggunakan hal-hal yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada. Dalam

subpembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai segala aspek berhubugan

dengan transfer pricing.

B. Definisi Transfer Pricing

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)

mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi

anntar anggota grup dalam sebuah perusahaan multinasional dimana harga transfer

yang ditentutkan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang

cocok bagi grupnya. Mereka dapat menyimpang dari harga pasar wajar karena

posisi mereka yang berada dalam keadaan bebas untuk mengadopsi prinsip apapun

yang tepat bagi korporasinya. In a multinational enterprise (MNE) many

transaction normally take place between members of the group. The price charged

for such transfer do not necessarily represent a result of the free play of market

forces, but may, for a number of reasons and because the MNE is in a position to

adopt whatever piciple is convenient to its as a group.3) (OECD 1979:7)

Simamora dalam Mangoting (2000:70), transfer pricing didefinisikan

sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar

divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya

divisi pembeli (buying division).4) Transfer

3)OECD Committee on Fiscal Affairs,Transfer Pricing and Multinational Enterprises (Paris:OECD), hal.7

4)Yeni Mangonting, Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing (http://pulit.petra.ac.id/journals/accounting 2000),hal.70

8

pricing juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing,

interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan

untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa

antaranggota. Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk

intermediet yang merupakan barang-barangg dan jasa yang dipasok oleh divisi

penjual kepada divisi pembeli.

Gunadi, dalam Santoso (2004:127), mengatakan bahwa dalam arti yang

lebih luas, transfer pricing termasuk penentuan harga antara beberapa entitas yang

secara hukum pemiliknya bisa sama ataupun berbeda.5) Jerry M. Rosenburg dalam

Santoso (2004:126) mengungkapkan bahwa transfer pricing adalah the price

charged by one segment f an organization for a product or service it supplies to

another part of the same firm ‘transfer pricing adalah harga yang ditentukan oleh

satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang

dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama’6)

5)Imam Santoso,op. cit.,hal.1276)Ibid.,hal. 126

9

C. Tujuan Transfer Pricing

1. Tujuan Dari Pandangan Ahli

Tujuan penetapan harga transfer,sebagaimana dikutip Mangonting (2000:71) dari

Simamora , adalah untuk mentransmisikan data keuangan diantara departemen-

departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan

barang dan jasa satu sama lain.7) Selain tujuan tersebut, Mangonting (2000:71)

juga mengutip dari Joshua Ronen dan George McKinney, transfer pricing juga

digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi

penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan

perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three

objectives : accurate performance evaluation, goal congruence, and preservation

of divisional autonomy.8)

Dalam lingkup perusahaan multinasional, Hansen dan Mowen (1996:496)

mengatakan bahwa transfer pricing juga digunakan untuk meminimalkan pajak

dan bea yang mereka keluarkan di seluruh dunia. Transfer pricing can effect

overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational

corporations.9)

2. Tujuan Umum

Secara umum, tujuan transfer pricing yang ingin dicapai perusahaan multinasional

adalah :

a) Performance evaluation

Salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai kinerjanya

adalah menghitung tingkat Return On Investment. Terkadang tingkat ROI

untuk satu divisi berbeda dengan divisi lainnya.

7)Yeni Mangonting,op. cit., hal.718)Ibid.9)Ibid.

10

Misalnya, divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan

meningkatkan income—yang secara otomatis akan meningkatkan ROI-nya—

tetapi di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang

nantinya akan berakibat pada peningkatan income yang berarti juga penigkatan

dalam ROI. Hal semacam inilah yang terkadang membuat transfer pricing

berada di posisi terjepit. Oleh karena itu, induk perusahaan akan sangat

berkepentingan dalam penetuan harga transfer.

b) Optimal Determination of Taxes

Tarif pajak antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda. Perbedaan

ini disebabkan oleh linkungan ekonomi, soisal, politik, dan budaya yang

berlaku dalam negara tersebut. Dengan penentuan harga transfer ini,

diharapkan pajak dapat dimanage sedemikian rupa sehingga pengenaan pajak

tidak akan terlalu tinggi. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan

manipulasi dan praktek curang dalam transfer pricing. OECD melaporkan,

factor pajak dapat menjadi pemicu dilakukannya transfer pricing terutama jika

tujuan mereka lebih terfokus pada jumlah total laba setelah pajak daripada

bentuk darimana mereka mendapatkan laba tersebut—apakah berbentuk

royalty, biaya, imbalan jasa, keuntungan penjualan antardivisi atau dividen

dari afiliasinya,dll. ‘Tax factor may effect the nature and the amount of the

payment since it is likely that MNEs will be more concerned with the total of

their net earning after tax than with the forms which these earnings take—

whether for example they are received as royalties, cost charges, service fees,

profit from intra-group sales or dividends from their affiliates,etc’ (OECD

1979).

11

D. Transfer Pricing dan Korporasi Multinasional

1. Transfer Pricing dalam Korporasi Multinasional

Sebagaimana dikutip Santoso (2004:126) dari Gunadi, Korporasi

multinasional didefinisikan sebagai perusahaan yang beroperasi di berbagai

negara dengan membuka cabang, mengorganisasikan anak perusahaan, atau

melakukan kontrak keagenan10). Menurut Gunadi, dalam Santoso (2004:126),

transfer pricing yang dilakukan yang dilakukan perusahaan multinasional

tergolong dalam transfer pricing transnasional. Transfer pricing transnasional

berkenaan dengan transaksi antardivisi dalam suatu entitas hukum atau

antarentitas legal dalam satu entitas ekonomi yang meliputi berbagai wilayah,

sedangkan transfer pricing domestic berhubungan dengan penghitungan harga

transfer barang atau jasa antarbadan dalam satu grup korporasi besar atau

antardivisi dalam satu korporasi dalam satu wilayah .11)

Dalam aspek manajemen keuangan, sebagaimana yang diungkapkan

Shapiro dalam Santoso (2004:126), transfer pricing dapat merupakan

instrument perencanaan dan pengendalian mekanisme arus sumber daya entitas

ekonomi bagi perusahaan secara keseluruhan12). Gunadi dalam

Santoso(2004:127) menuturkan, Untuk keperluan perencanaan dan

pengendalian manajerial, suatu entitas legal atau entitas ekonomi (beberapa

entitas legal yang berada dalam kepemilikan atau penguasaan yang sama)

dapat dipecah menjadi beberapa pusat responsibilitas (tanggung jawab). Pusat

ini dapat berupa divisi, departemen atau suatu entitas legal dalam jaringan

entitas ekonomi.

10)Imam Santoso, op. cit., hal.12611)Ibid.12)Ibid.

12

Pusat tersebut merupakan suatu lokasi aktivitas yang manajernya mendapat

delegasi otoritas pengendalian dan oleh karenanya mempunyai tanggung jawab

atas aktivitas tersebut selama masa tertentu13). Gunadi dalam Santoso

(2004:127) menuliskan juga tentang empat macam pusatresponsibilitas, yaitu :

a) Pusat biaya (cost center )

Suatu pusat responsibilitas yang manajernya mempunyai pengaruh—dan oleh

karenanya bertanggung jawab—atas biaya yang dapat ditimbulkan oleh suatu

center ‘pusat’ atau investasi yang mendatangkan penghasilan

b) Pusat penghasilan (revenue centre)

Suatu pusat responsibilitas yang manajernya bertanggung jawab atas

pengendalian penghasilan yang diproduksi oleh centernya.

c) Pusat laba (profit center)

Suatu pusat responsibilitas yang manajernya bertanggung jawab untuk

mengendalikan biaya maupun penghasilan.

d) Pusat investasi (investment centre)

Suatu pusat responsibilitas yang mangernya mempunyai pengaruh atas biaya,

penghasilan, dan perencanaan serta pengendalian investasi (Gunadi, 1994:9).

Gunadi menambahkan, cost center dan revenue center hanya

bertanggung jawab atas satu hal, biaya atau penghasilan, saja, sedangkan

manajer profit center bertanggung jawab atas keduanya, dan manajer

investment center selain bertanggung jawab atas laba juga bertanggung jawab

atas investasi.14)

13)Ibid. hal. 127

14)Ibid.

13

Dengan memepertimbangkan atribut entitas, kata Gunadi dalam

Santoso (2004:127), kita dapat menarik perbedaan antara intracompany

transfer dengan intercompany transfer. Intracompany merujuk pada transfer

antardivisi pada satu entitas, sedangkan intercompany mengacu pada transfer

antarentitas dalam satu keluarga besar perusahaan (Gunadi 1994)15). Transfer

antardivisi pada satu entitas tersebut maksudnya adalah transfer antardivisi

dalam satu perusahaan yang terbagi ke dalam beberapa divisi, sedangkan

transfer antarentitas dalam satu keluarga besar perusahaan maskdunya adalah

transfer yang dilakukan antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya

yang masih berada dalam satu grup perusahaan. Korporasi multinasional

dengan perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu entitas ekonomi adalah

perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kepemilikan atau penguasaan

yang sama dan dikendalikan oleh perusahaan induk di kantor pusat.

Perusahaan induk ini pula yang berwenang menentukan transfer pricing yang

berlaku dalam perdagangan internasional antarmereka (anak perusahaan).

Dalam hal ini, transfer pricing merupakan piranti pengukur hak dan kewajiban

yang sangat penting diantara anak perusahaan, sehingga secara artificial,

transfer pricing dapat menyimpang dari harga yang normal atau benar.16)

2. Dampak Transfer Pricing dalam Perusahaan

Transfer pricing ini memberikan dampak terhadap divisi-divisi yang

terlibat dalam transfer pricing, antara lain :

15)Ibid.

16)Ibid.

a) Dampak Terhadap Ukuran Kinerja Divisi

14

Harga yang dikenakan untuk barang yang ditransfer memengaruhi biaya

divisi pembeli dan pendapatan divisi penjual. Artinya, laba kedua divisi

tersebut sebagaimana juga evaluasi dan kompensasi para menejer mereka,

diperngaruhi oleh harga transfer.

b) Dampak Terhadap Keuntungan Perusahaan

Meskipun harga transfer actual tidak memengaruhi perusahaan sebagai

satu kesatuan, penetapan harga transfer ternyata mampu memengaruhi tingkat

laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Jika ia memengaruhi perilaku divisi dan

ia memengaruhi pajak penghasilan, divisi-divisi yang bertindak secara

independent mungkin menetapkan harga transfer yang memaksimalkan laba

devisi, tetapi menimbulkan pengaruh sebaliknya bagi laba perusahaan secara

keseluruhan.

3. Metode Transfer Pricing

Prinsip dasar dalam penetapan harga transfer adalah bahwa harga transfer

sebaiknya serupa dengan harga yang akan dikenakan seandainya produk

tersebut dijual ke konsumen luar atau dibeli dari pemasok luar.

Jika ditinjau dari segi ekonomi dan manajemen, konsep dasar hara

transfer adalah :

a) Dari segi ekonomi

Hirshleifer dalam Cox, Howe, dan Boyd, transfer price should be the

marginal cost of the selling division in order to maximaze the firm’s profit

as a whole (Cox et al. 1997:20-29)17). Jadi prisip dasar dari transfer harga

adalah memaksimalkan laba perusahaan.

17)James Cox, F. Howe, dan Lynn H Boyd,Transfer Pricing Effects on Locally Measured Organizations (Industrial Management,1997), hal. 20-29

15

Sehingga, perusahaan harus secraa berkala menjual produk sampai dengan titik

dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang diproduksi dan

dijual—disebut marginal cost—lebih lebih rendah dibandingkan dengan

penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit tersebut (marginal revenue).

Dalam hal penentuan hara untuk perusahaan yang terintegrasi , harga harus

ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.

b) Dari segi manajemen

Robert dan Govindarajan, dalam Santoso(2004:129), mendefinisikan

bahwa the term of transfer pricing is a value placed on a transfer of goods and

services between in transaction in which at least one of the two parties

involved is a profit center (Robert and Govindarajan, 1998)18). Sehingga,

transfer pricing lebih ditujukan untuk mengukur kinerja divisi , laba

perusahaan secraa keseluruhan , dan otonomi divisi dan menilai motivasi dan

performance setiap divisi/unit bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan

perusahaan.

Dalam penentuan tersebut, perusahaan-perusahaan

divisionalisasi/departementasi menggunakan beberapa metode, diantaranya :

a) Harga Transfer atas Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)

Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya

menetapkan harga transfer atas dasar biaya variable dan tetap yang bisa dalam

3 pemeliharaan bentuk, yaitu biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambahkan

mark-up (full cost plus mark-up), dan gabungan antara biaya variable dan tetap

(variable cost plus fixed fee).

18)Imam Santoso, op. cit., hal.129

16

b) Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer

Pricing)

Apabila ada suatu pasar sempurna, metode transfer pricing atas

dasar harga pasar inilah yang merupakan ukuran paling memadai karena

sifatnya yang independen. Namun, keterbatasan informasi pasar terkadang

menjadi kendala dalam menggunakan transfer pricing yang berdasarkan

harga pasar.

c) Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Pricing)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan

divis-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer

pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga

transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrolabilitas yang inheren

dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang

berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas

harga transfer yang dinegosiasikan.

E. Praktik Transfer Pricing Perusahaan Multinasional

Keputusan bisni sebuah perusahaan sebagian besar juga dipengaruhi

oleh pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya

meminimalisasi beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari

yang masih berada dalam bingkai peraturan perpajakn sampai dengan yang

melanggar peraturan perpajakan. Meminimalisasi pajak secara baik—yang

berarti tidak melanggar peraturan perpajakan—sering disebut dengan

perencanaan pajak atau tax planning atau tax sheltering. Perencanaan pajak

merujuk pada suatu proses rekayasa usaha dan tansaksi wajib pajak supaya

utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai

peraturan perpajakan. Perencanaan pajak seperti ini masuk dalam kategori tax

avoidance. Natawisastra (2006:5) dalam tesisnya menuliskan bahwa transfer

pricing merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan

perpajakan. Namun, disisi lain praktik transfer pricing dikategorikan sebagai

tindak pidana perpajakan, sebagaimana diatur dalam Bab VIII tentang

Ketentuan Pidana. Hal ini mempertegas bahwa praktik transfer pricing dapat

17

dikategorikan sebagai penghindaran pajak yang tidak melanggar ketentuan

perpajakan—dalam rangka perencanaan pajak yang baik—dan juga merupakan

praktik illegal yang semata-mata menghindari pajak untuk merugikan negara.

Semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan lapangan.19)

Praktik transfer pricing sebenarnya telah terjadi di banyak perusahaan,

baik perusahaan domestic maupun multinasional asalkan perusahaan tersebut

melakuakn produksi atau kegiatannya dalam departemen-departemen atau

divisi-divisi. Hanya saja, efek terhadap pajak dalam hal ini tidak sama.

Perusahaan yang hanya beroperasi di satu negara saja tidak akan memeberikan

efek ke pajak yang sangat signifikan dalam rangka transfer pricing. Hal ini

karena tariff pajak yang digunakan adalah sama. Lain halnya jika dilakukan

oleh perusahaan multinasional dengan beberapa cabang di berbagai negara.

Transfer pricing ini akan sangat signifikan pengaruhnya dalam penerimaan

pajak. Hal ini karena perbedaan tariff pajak yang ada di berbagai negara.

Suatu transfer pricing dapat terjadi karena suatu hubungan istimewa

atau afiliasi antara anggota dalam suatu grup perusahaan multinasional. Suatu

transfer pricing sedikitnya melibatkan dua pihak yang melakukan transaksi,

yaitu pihak yang melakukan transfer atau transferor dan pihak yang menerima

transfer atau transferee. Dengan adanya hubungan istimewa ini, perusahaan

multinasional—sebagaimana metode yang digunakan dalam penentuan harga,

yakni metode negosiasi—dapat melakuakn negosiasi dalam penentuan harga

transaksinya.

19)Deden N. Natawisastra, Pengaturan Terhadap Pencegahan Praktik Penghindaran Pajak Oleh Perusahaan Multinasional Melalui Transfer Pricing Dalam Kerangka Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Penanaman Modal (by Kade, 2006), hal. 5

18

Akibatnya, harga yang terjadi terkadang bukanlah harga yang

sewajarnya atau tidak sesuai juga dengan harga pasar saat terjadinya transaksi.

dengan begitu, data-data dalam laporan keuangannya tidak akan sesuai dengan

yang seharusnya. Karena dalam transaksi antar perusahaan anggota dalam suatu

grup multinational transaction ini bisa timbul negosiasi—dan karena transaksi

yang terjadi akan mempengaruhi 2 pihak, ada yang mendapat beban dan

penghasilan—kecenderungannya adalah membuat bebannya seolah besar dalam

perusahaan pembeli. Dalam praktik transfer pricing yang menyimpang ini,

dipertimbangkan pula tarifpajaknya. Untuk negara dengan tariff pajak yang

tinggi, pastinya mereka akan memanipulasi agar penghasilannya rendah dengan

memanage biayanya agar setinggi mungkin dan mengalihkan penghasilannya

kepada yang pajaknya lebih sedikit. Tak jarang pula suatu negara hanya

digunakan sebagai tempat ‘transit’ dalam upaya praktik transfer pricing ini.

Gunadi dalam Imam Santoso mengatakan,”Fenomena yang agak

memprihatinkan ialah mereka—pengusaha pada perusahaan-perusahaan

multinasional—begitu tega membuat Indonesia sebagai loss center untuk

perusahaan multinasionalnya. Operasi di Indonesia selama bertahun-tahun

direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak

penghasilan badannya.” Perusahaan dapat direkayasa untuk terus rugi, padahal

tetap terjadi pembayaran royalty atau imbalan jasa teknis dan jasa lain dari

perusahaan Indonesia kepada perusahaan laindi mancanegara yang sebenarnya

masih dalam satu grup dengan perusahaan yang ada di Indoensia. Struktur

permodalan lebih banyak dibiayai pinjaman disbanding modal sendiri,

pembayaran dividen dalam jumlah besar apabila perusahaan memperoleh laba,

memanfaatkan celah ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ,

maupun dengan memanfaatkan tax heaven country (negara-negara dengan

beban pajak rendah dibandingkan Indonesia).

F. Penanganan Transfer Pricing

Negara berkembang, seperti Indonesia, menyadari bahwa korporasi

multinasional dengan berbagai cara mempergunakan rekayasa transfer pricing

19

untuk mengalihkan potensipajak Indonesia ke negara lain degan berbagai

dalih, alasa, dan justifikasi. Oleh karena itulah, otoritas fiscal selalu

memandang bahwa tujuan transfer pricing adalah untuk penghindaran pajak.

Praktik transfer pricing pada dasarnya dapat terjadi karena adanya

suatu hubungan istimewa antarperusahaan yang berada dalam satu grupp

perusahaan multinasional, sehingga mereka bisa bekerja sama dengan baik

dalam penentuan harga transfer. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan No. 7, pengertian hubungan istimewa adalah

a) Perusahaan yang melalui satu atau lebih pearntara (intermediaries)

mengendalikan atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian

bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies,

subsidiaries, dan fellow subsidiaries).

b) Perusahaan asosiasi (associated company)

c) Perorangan yang memiliki , baik secara langsung maupun tidak langsung,

suatu kepentingan hal suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara

signifikan dan anggota keluarga keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang

dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat

diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam

transaksinya dengan perusahaan pelapor)

d) Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung

jawab untuk merencanakan , memimpin , dan mengendalikan kegiatan

perusahaan pelapor yang meliputi anggota anggota dewan komisaris, direksi,

dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut

e) Perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki,

baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan

dalam ( c ) atau (d) , atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh

signifikan atas perusahaan tersebut. Mencakup perusahaan yang dimiliki

anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari

perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota

menajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.

20

Hubungan istimewa menurut Undang-Undang no. 7 tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang no. 36 tahun 2008 tentang Pajak

Pengahasilan dalam pasal 18 ayat (4) adalah sebagai berikut.

Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai

dengan ayat (3d), pasal 9 ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1) dianggap

apabila :

a. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung

paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain; hubungan

antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima

persen) pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan diantara dua wajib

pajak atau lebih yang disebut terakhir;

b. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak

berada di bawah penguasaan yang sama baik lagsung maupun tidak langsung;

atau

c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semend dalam garis

keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Selain hubungan istimewa, hal lain yang juga mesti diperhatikan dalam

penanganan praktik transfer pricing adalah kewajaran dalam transaksi yang

terjadi. Berkenaan dengan kewajaran, Pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan no. 17 menyatakan bahwa pengakuan akuntansi suatu pengalihan

sumber daya secara normal didasarkan pada suatu harga yang disepakati pihak

yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang tidak mempunyai

hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara pihak yang independent

(arm’s length price). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa mungkin

mempunyai sutau tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga yang tidak

terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan

istimewa. Menurut arm’s length principle, harga-harga transfer seharusnya

ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana

transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak

secara bebas. Apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki

hubungan istimewa , maka kondisi dari transaksi antara perusahaan tersebut

21

haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independent sehingga

ketidaksesuaian dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas

fiscal.

Berkaitan dengan masalah kewajaran ini, Direktorat Jenderal Pajak,

melalui Surat Edaran Dirjen Pajak no. SE-04/PJ.7/1993 menyebutkan bahwa

kekurangwajaran dalam praktik transfer pricing dapat terjadi atas:

a. Harga penjualan

b. Harga pembelian

c. Alokasi biaya administrasi dan umu (overhead cost)

d. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham

(shareholder loan)

e. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalty, imbalan atas jasa

manajemen, imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya

f. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang

mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar

g. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak

mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company,

atau reinvoicing center)

Untuk mengatasi penyebab-penyebab utama praktik transfer pricing

tersebut, Undang-undang telah memberikan sebuah wewenang kepada otoritas

fiscal dan pemerintah. Dalam pasal 18 UU PPh ada beberapa wewenang yang

telah diberikan undan-undang sebagai berikut.

Pasal 18

(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya

perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan

pengihtungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh

wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar

negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan

ketentuan sebagai berikut:

22

a. Besarnya penyertaanmodal wajib pajak dalam negeri tersebut paling rendah

50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau

b. Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki

penyertann modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham

yang disetor.

(3) Direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya

penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk

menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang

mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan

kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubunngan

istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang

independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya plus, atau metode

lainnya.

(3a) Direktur jenderal pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak

dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan

harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) , yang berlaku selama suatu periode

tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah

periode tertentu tersebut berakhir

Dalam memori penjelasan pasal 18 ayat (3) dan (3a) dijelaskan maksud

diadakan ketentuan ini sebagai berikut.

Ayat (3)

Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya

penghidnaran pajak yang dapat terjadi karena hubungan istimewa. Apabila

terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan

dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari

yang seharusnya. Dalam hal demikian, direktur jenderal pajak berwenang

menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan

keadaan seandainya diantara para wajib pajak tersebut tidak terdapat hubungan

istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya

tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen

(comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali

23

(resale price method), metode biaya plus (cost plus method), atau metode

lainnya sseperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba

bersih transaksional (transactional net margin method). …

catatan tambahan :

profit split methods dapat diterapkan apabila ;

1. Operasi dua atau lebih pihak nonarm’s length sangat terintegrasi sehingga

sulit untuk mengevaluasi transaksi mereka secara individual; dan

2. Keberadaan aktiva tak berwujud tidak memungkinkan untuk menetapkan

tingkat kesebandingan dengan uncontrolled transaction untuk menerapkan

metode sepihak.

Profit split dan turunannya termasuk metode comparative dan residual. Profit

split digunakan jika perusahaan yang terlibat dalam transaksi yang diperiksa

terlalu terpadu sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi secara terpisah,

sehingga keuntungan akhir dari masing-masing pihak dibagi berdasarkan

tingkat kontribusi dari setiap perserta dalam proyek. Tingkat kontribusi itu

sendiri ditentukan oleh bebrapa factor terukur seperti kompensasi karyawan,

biaya administrasi, dll. Dari masing-masing pihak.

Transactional Net Margin Method (TNMM) merupaka metode yang

berfokus pada laba operasi wajar yang diperoleh salah satu entitas (pihak yang

diuji) dalam transaksi. TNMM menegaskan bahwa laba operasi relative

(relative terhadap penjualan, HPP, atau aktiva untuk memungkinkan

komparasi antara perusahaan atau transaksi yang berbeda) dapat lebih kuat

mengukur harga pasar wajar jika metode pembandingan seperti pada metode

tradisional tidak dapat dilakukan. Di USA, TNMM biasa dinamakan metode

comparable profis methods (CPM) dan selain metode tramdisional.

Merupakan metode penentuan harga pasar wajar yang paling banyak

digunakan.

Ayat (3a)

Kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement) adalah kesepakatan

antara wajib pajak dan direktur jenderal pajak mengenai harga jual wajar

produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan

24

istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk

mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh

perusahaan multinasional. Persetujuan antara wajib pajak dengan direktur

jenderal pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual

produk yang dihasilkan dan jumlah royalty dan lain-lain, tergantung pada

kesepakatan. Keuntungan dari APA, selain memberikan kepastian hukum dan

kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas

harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak terhadap perusahaan

dalam grup yang sama. APA dapat berbentuk unilateral, yaitu merupakan

kesepakatan antara direktur jenderal pajak dengan wajib pajak, atau bilateral,

yaitu kesepakatan direktur jenderal pajak dengan otoritas perpajakan negara

lainnya yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Untuk peraturan pelaksanaannya, maka diterbitkanlah SE-04/PJ.7/1993

tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus transfer pricing, yakni mengenai

kekurangwajaran yang terjadi dan cara menentukan kewajarannya, dan

Keputusan Dirjen Pajak no. KEP-01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan

Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. KEP-

01/PJ.7/1993 terdiri atas enam bab , yakni

Bab I Pendahuluan

Berisi pedoman pemeriksaan pajak yang antara lain adalah

a. Mempelajari laporan pemeriksaan

b. Pelaksanaan pemeriksaan

c. Pembuatan laporan pemeriksaan

Bab III Teknik dan Metode Pemeriksaan

Berisi teknik dan metode pemeriksaan. Teknik yang digunakan adalah yang

disebutkan dalam pedoman pemeriksaan. Metode pemeriksaan yang digunakan

adalah metode tidak langsung, antara lain :

1. Metode harga pasar sebanding

2. Metode harga jual minus atau harga jual kembali

25

3. Metode harga pokok plus

4. Metode lainnya

Bab IV Studi dan Evaluasi Sistem Pengendalian Internal

Bab ini berisi studi dan evaluasi yang harus dilakukan oleh pemeriksa pajak.

Studi dan evaluasi tersebut teridri atas studi SPT dalam pemeriksaan terhadap

WP yang punya hubungan istimewa dan pengujian ketaatan.

Bab V Penyusunan Audit Program

Berisi program pemeriksaan umum, program pemeriksaan catatan-catatan

nonfinansial, pemeriksaan pos-pos neraca, dan pemeriksaan pos-pos rugi laba.

Bab VI Kertas Kerja Pemeriksaan

Brerisi contoh kertas kerja pemeriksaan yang dipakai dalam rangka

pemeriksaan pajak terhadap pihak-pihak yang punya hubungan istimewa.

Keseluruhan SE-04/PJ.7/1993 dan KEP-01/PJ.7/1993 ini terlampir

dalam lampiran di makalah ini.

System Advane Price Agreement sebenarnya merupakan system yang

terbaik untuk pencegahan kasus transfer pricing. Sekarang hanya perlu

mengembangkan system ini dengan menjalin relasi yang lebih banyak lagi ke

negara-negara lain dan lebih dekat lagi denga wajib pajak. berdasarkan Dewan

Pengurus Pajak Dalam Negeri Inggris (The Board of Inland Revenu /TBIR)

dalam Santoso (2004:137), system APA dirancang guna menawarkan jalan

keluar yang lebih mudah bagi fiskus dan wajib pajak di dalam menyelesaikan

kasus-kasus transfer pricing. Sedangkan definisi umu APA adalah sebuah

persetujuan tertulis antara wajib pajak, yang di dalam kasus ini adalah

pengusaha, dan TBIR yang secara bersama-sama menentukan di depan suatu

metode untuk menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing.

26

Setelah dicapai persetujuan diantara kedua belah pihak, keduanya memberikan

jaminan bahwa metode tersebut diterima dan akan terus dipergunakan sebagai

acuan dalam menentukan harga pasar wajar selama jangka wakktu yang telah

disepakati.20)

APA memiliki empat tahap negosiasi :

(1) Wajib pajak secara sukarela menunjukkan ketertarikannya untuk

menerapkan system APA dengan cara mengajukan permintaan

kepada fiskus;

(2) Penyampaian aplikasi permohonan secara formal yang ditandai

denga pemberian informasi yang ekstensif menegnai operasi usaha

serta metode transfer pricing apa yang digunakan guna memperoleh

harga pasar wajar dan mempersiapkan analisis yang mendalam

mengenai perusahaan, pasar, dan persaingan yang harus dihadapi;

(3) Dilakukannya evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit

lunak (lenient audit) untuk memastikan apakah semua perhitungan

yang diajukan oleh wajib pajak dapat diterima; dan

(4) Tercaainya APA diantara kedua belah pihak.

Untuk mekanisme control yang dilakukan fiskus dalam penerapan APA,

dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk menyiapkan laporan

tahunan dimana di dalamnya wajib pajak memberikan penjelasan

mengenai

(i) Bagaimana APA yang telah disepakati diterapkan di tahun

bersangkutan

20)Imam Santoso, op. cit., hal. 137

27

(ii) Menyerahkan laporan keuangan yang menunjukkan hasil dari

penerapan metode transfer pricing yang disepakati

(iii) Menyerahkan hasil rekonsiliasi pembukuan yang telah

disesuaikan dengan Undang-undang serta bukti pembayaran PPh

badan; dan

(iv) Apabila terdapat kerugian yang dikompensasikan di tahun

tersebut, wajib pajak harus dapat mendukungnya dengan data

dan alasan yang kuat.

APA tidak berlaku lagi apabila :

1. Masa berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang

telah ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut;

2. Salah satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan

tersebut tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak.

BAB III

TRANSFER PRICING DALAM PT ASIAN AGRI GROUP (AAG)

A. Analisis Kasus Transfer Pricing PT Asian Agri Group (AAG)

PT Asian Agri adalah induk usaha terbesar jedua di Grup Raja Garuda Mas.

Perusahaan ini milik Sukanto Tanoto, orang terkaya pada tahun 2006 versi

majalah Forbes. Kerugain negara akibat kasus penggelapa pajak yan dilakukan

oleh PT Asian Agri telah mencapai Rp 1,3 Triliun. Perhatian penuh pemerintah

pun diberikan untuk menangani kasus pajak terbesar sepanjang sejarah

perpajakan negeri ini.

Dari hasil penyelidikan petugas diketahui bahwa kapal induk bisnis terbesar

kedua dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu memanipulasi isi Surat

Pemeberitahuan (SPT) Tahunan pajak selama tiga tahun, yakni sejak tahun

2002 hingga 2005. Modus yang dilakuakn oleh PT Asian Agri adalah dengan

mennggelembungkan biaya, memperbesar kerugiasn transaksi ekspor, dan

menciutkan hasil penjualan. Tujuannya adalam meminimalkan profit untuk

menekan beban pajak. direktorat Jenderal Pajak telah menemukan bukti kuat

Asian Agri menggelapkan pajak. perusahaan ini terbukti menggelembungkan

biaya perusahaan sebesar Rp 1,5 Triliuun, membesarkan kerugian transaksi

ekspor sebesar Rp 232 Miliar, dan mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp 899

Miliar.

Berdasarkan bukti yang ada, hasil penghematan jumlah pajak yang harus

disetor kepada kas negara itu dialirkan dari Indonesia ke sejumlah perusahaan

afiliasi PT Asian Agri di luat negeri, seperti Hongkong, Makao, Mauritius, dan

British Virgin Island lewat sejumlah transaksi. Menariknya lagi, terungkapnya

kasus pengelapan pajak yang dilakuakan Asian Agri ini disebabkan oleh

laporan dari Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial Controller

Asian Agri. Vincentius melaporkan bekas perusahaan tempatnya bekerja

tersebut karena tidak mendapatkan

29

30

pengamppunan dari sang taipan atas aksinya membobol rekening PT Asian

Agri senilai US$ 3,1 juta di Bank Fortis, Singapura.

Terkait dengan aksinya ini, PT Asian Agri telah melanggar beberapa ketentuan

yang dimuat dalam beberapa pasal dalam KUHP dan KUP.

Pasal 263 ayat 1 KUHP berbunyi ;

“ Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai

atau menyuruh orang lain memaki surat tersebut seolah-olah isinya benar dan

tidak dipalsu. Diancam, jika pemakai tersebut dapat menimbulkan kerugian

karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun”

Dalam hal ini PT Asian Agri telah dengan sengaja melakukan pemalsuan surat

yang diperuntukkan sebagai bukti pelaporan penghitungan dan/atau

pembayaran pajak. Surat yang dipalsu oleh PT Asian Agri adalah Surat

Pemberitahuan. Menurut pasal 1 angka 11 UU KUP, Surat Pemberitahuan

adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan

dan//atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau

harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Dengan pemalsuan ini, penerimaan negara rugi Rp 1,3 Triliun.

Selain memalsukan surat—dalam hal ini SPT—PT Asian Agri juga seklaigus

sebagai pihak pengguna surat yang telah dipalsukan tesebut, sehingga PT Asian

Agri juga telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 263 ayat 2 KUHP yang

berbunyi ;

“ diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai

surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak

palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Selain melanggar pasal-pasal berkenaan dengan pemalsuan surat tersebut, PT

Asian Agri juga melanggar ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana

penggelapan, yakni KUHP pasal 372 yang berbunyi ;

“barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik

sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang lain, tetapu yang ada dalam kekuasaanya bukan karena

31

kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama

empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.”

Pengakuan barang milik sendiri disini—yang terjadi dalam PT Asian Agri—

adalah sejumlah uang yang sebenarnya merupakan pajak. pajak tersebut

seharusnya dibayarkan kepada kas negara dan menjadi milik negara untuk

kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Terkait dengan penggelapan pajak ini, PT Asian Agri dapat dituntut dengan

pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh

juta rupiah.

Pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan adalah pasal

374 KUHP yang berbunyi;

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang

disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya atau karena

mendapatkan upah untuk itu, diancam denga pidana pejara paling lama lima

tahun.”

Selain pelanggaran yang dijerat dengan pasal-pasal KUHP sebagai lex generalis

di atas, PT Asian Agri juga melanggar ketentuan dalam Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan sebagai lex specialis. Dalam pasal 39 UU KUP 1984

berbunyi :

Setiap orang yang dengan senngaja :

d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak

beanr atau tidak lengkap;

e. ...

Sehinga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan

pidan penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan

denda paling sedikit 2(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

dibayar dan paling banyak 4(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau

kurang dibayar.

Berdasarkan pasal 39 UU KUP 1984 ini, PT Asian Agri data dituntut dengan

pidana tersebut di atas. Dengan begitu, pokok pajak dan sanksi yang harus

dibayarkan oleh PT Asian Agri adalah sekitar Rp 3,9 T – Rp 6,5 T.

32

Dari kasus Asian Agri ini, kita dapat mengetahui bagaimana suatu kasus itu

sangat tersusun rapid an terstruktur. Seandainya tak ada yang melaporkan,

mungkin kasus ini akan terus dilakukan dan akan menimbulkan kerugian yang

lebih besar lagi. Kasuskasus seperti ini sungguh sangat menarik perhatian

karena jarang sekali ada, mugkin karena memang sangat sulit untuk

mengungkapnya dan tentunya ini tidak terjadi hanya disini, tetapi pasti di

beberapa usaha lainya.

B. Analisis Penanganan Kasus

Meskipun pemerintah telah menargetkan kasus PT Asian Agri selesai akhir

Maret 2008, tetapu kenyataannya sampai bulan Februari 2009 masih belum ada

keputusan pengadilan mengenai penyelesaian kasus ini. Di lain pihak, upaya

penyelesaian kasus-kasus perpajakan juga harus mempertimbangkan efisiensi

waktu penyelidikian. Jika waktu penyelidikan terlalu lama, sementara bukti

sulit ditemukan untuk dibwa ke pengadilan, tentunya upaya penyelesaian kasus

ini akan tidak efisien.

Untuk kasus semacam ini, Direktorat Jenderal Pajak menyelesaikannya di luar

pengadilan atau out of court settlement. Penyelesaian di luar pengeadilan

tersebut dipertimbangkan mengingat aspek kecepatan waktu dan penyelamatan

pendapatan negara.

Penyelesaian kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri akan

membutuhkan waktu yang lama apabila diselesaikan melalui pengadilan. Hal

ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menemukan bukti tindakan transfer

pricing dengan menjual CPO dengan harga di bawah harga pasar dunia yang

berbuntut pada penggelapan pajak. jika kasus-kasus pajak yang sulit dibuktikan

di pengadilan tetap dipaksakan, justru potensi penerimaan negara dapat hilang.

Jalur pengadilan pajak sangat bergantung pada temuan-temuan kantor pajak.

namun, jika sulir dibuktikan, bisa jadi pengadilan justri memutuskan tidak

ditemukan unsure kerugian negara.

Dugaan atau indikasi adanya transfer pricing tersebut harus didukung dengan

data-data secara detail dan akurat mengenai berapa harga pasti penjualan CPO

dalam transaksi yang dilakukan PT Asian Agri—ini bisa dilakukan dengan

menggunakan meode dan teknik pemeriksaan sebagaimana yang telah

33

diberikan, misalkan dengan menggunakan metode harga pasar sebanding. Tidak

dibenarkan tindakan asal tuding, melainkan harus ada data yang pasti. Harga

CPO dunia ditentukan atau berpatokan dengan harga pasar dunia di Rotterdam.

Kesulitan pembuktian transfer pricing ini disebabkan harga minyak sawit dunia

selalu berubah-ubah sehingga sulit dicari patokan harga, termasuk

membandingkannya dengan harga pasar CPO di Rotterdam. Ketika kontrak

ekspor terjadi, bisa saja harga pasar dunia di Rotterdam sedang tinggi, tetapi

eksportir menjual lebih murah. Belum lagi biaya angkut, pajak ekspor, asuransi,

dll.

Beberapa ahli, mengatakan bahwa permasalah kasus Asian Agri ini seharusnya

dapat diselesaikanapabila PT Asian Agri mau membayra utang pokok pajak dan

dendanya sebesar 400% atau senilai total 6,5 Triliun rupiah. Ancaman pidana

hanyalah sebagai solusi terakhir jika WP tetap ingkar.

Kasus ini pada akhirnya tetap dilimpahkan ke pengadilan dan dirjen Pajak serta

Kejagung setuju bahwa masalah ini adalah kasus pidana.

Berikut ini adalah history singkat kasus Asian Agri sejak awal :

Desember 2006

Vincentius A. Susanto menyerahkan data-data dugaan manipulasi pajak Asian

Agri ke Komisi Pemberantasan Korupsi

16 Januari 2007

Tim pajak mengerebek kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta

14 Mei 2007

Direktorat jenderal Pajak menyatakan telah menemukan bukti awal pidana

pajak. kerugian negara Rp 786 M. lima direktur jadi tersangka. Tim pajak

kemudian menemukan 1.133 dus dokumen Asian Agri di pertokoan Duta

Merlin, Jakarta

25 September 2007

34

Direktorat jenderal Pajak mengumumkan telah menemukan bukti-bukti asli.

Kerugian negara menjadi Rp 794 M. Pemanggilan tersangka dimulai.

25 April 2008

Tim pajak menyerahkan tiga berkas perkara ke Kejaksaan Agung

Tim pajak menetapkan 12 terssangka dan menyerahkan tujuh berkas

pemeriksaan ke Kejagung. Total kerugian negara ditaksir Rp 1,3 T.

Mei 2008

Kejaksaan mengembalikan berkas perkara ke DJP. Alasannya, masih harus

diperjelas soal pembuktian kerugian negara.

12 Juni 2008

Asian Agri mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan

atas penyitaan yang dianggap tidak sah.

1 Juli 2008

Pengadilan Jakarta Seatan mengabulkan gugatan Asian Agri dan menganggap

penyitaan tidak sah.

16 September 2008

Pajak menyita ulag tujuh truk dokumen ke kantor Asian Agri, tetapi ditolak.

Oktober 2008

Tim pajak kembali menyerahkan 14 berkas pemeriksaan , termasuk tujuh hasil

revisi ke kejaksaan agung.

November 2008

Kejaksaan agung untuk kedua kalinya mengembalikan tujuh berkas perkara

pertama ke DJP

Desember 2008

35

Tim pajak menyerahkan empat berkas perkara baru ke kejaksaan agung

Januari 2009

Tim pajak menyerahkan tiga berkas perkara terakhir ke kejaksaan agung

Maret 2009

Kejaksaan mengembalikan semua berkas hasil pemeriksaan ke tim pajak

3 April 2009

Gelar perkara Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung

Demikianlah pembahasan kami mengenai kasus Asian Agri yang telah

diperiksa sekian lama dan telah berakhir 2009 silam.

DAFTAR PUSTAKA

--------.2009.costplus pricing. www.wikipedia.com (diakses 13 Februari 2010)

Admin.2009. http://artikelpaper-ekonomi.blogspot.com/2009/10/artikel-metode-penetapan-harga-transfer.html (diakses 13 Februari 2010)

Ahluwalia.2008.Mengkritisi Korporasi Multinasional.12 November 2008. http://www.ini -lah.com/berita/politik/2008/05/01/25932/mengkritisi-korporasi-multinasional/ (diak- ses 13 Februari 2010)

Cox,James,F., Gerry Howe dan Lynn H Boyd.1997.Transfer Pricing Effects on Locally Measured Organizations.Industrial Management

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak.1993.Keputusan Di- rektur Jenderal Pajak Nomor : KEP-01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.Jakarta: De- partemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak.1993.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing.Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indone- sia Direktorat Jenderal Pajak

Departemen Keuangan Republik Indonesia.2007.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia

Departemen Keuangan Republik Indonesia.2007.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia

Departemen Keuangan Republik Indonesia.2008.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia

Faisal.2008.Transfer Pricing.9 Oktober 2008. http://faisalsmn.wordpress.com/2008/10/09/ transfer-pricing/ (diakses 14 Februari 2010)

Ikatan Akuntan Indonesia.1994.Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 7 Peng- ungkapan Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.Jakarta : IAI

International Tax Institute.2009.Transfer Pricing Methods. http://www.itinet.org/transfer-pricing-methods (diakses 13 Februari 2010)

Natawisastra, Deden N.2006.Pengaturan Terhadap Pencegahan Praktik Penghindaran Pajak oleh Perusahaan Multinasional Melalui Transfer Pricing dalam Kerangka Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Penanaman Modal.Jakarta

OECD Committee on Fiscal Affairs.1979.Transfer Pricing and Multinational Enterprise.Paris: OECD

36

37

PERBANAS.2009.Penetapan Harga Transfer. http://www.perbanas.org/penetapan-harga-transfer (diakses 13 Februari 2010)

Perkins, John.2007.Pengakuan Bandit Ekonomi Kelanjutan Kisah Petualangannya di In- donesia dan Negara Dunia Ketiga.Jakarta:Ufuk Press

Putri, Rinella.2009.Kontroversi Transfer Pricing dan Pajak.10 Agustus 2009. http://www.managementfile.com/column.php?page=tax&sub=column (diakses 13 Februari 2010)

Santoso, Imam.2004.Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Perspektif Perpajakan Indonesia.http://puslit.petra.ac.id/puslit/journals/ (diakses 14 Februari 2010)

TAX GURU.2008.Transfer Pricing Methods. http://www.transferpricing-india.com/ (diakses 13 Februari 2010)

Yenni Mangonting.2000.Aspek Perpajakan dalam Praktik Transfer Pricing.http://puslit. petra.ac.id/journalist/accounting/ (diakses 14 Februari 2010)