Transfer pricing suatu pemahaman awal

18
www.futurumcorfinan.com Page 1 Transfer Pricing: Suatu Pemahaman Awal Pendahuluan Permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak (tax avoidance), walaupun bisa ‘dimanfaatkan’ untuk tujuan demikian. Permasalahan transfer pricing sejatinya berupaya mencermati transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan berupaya mencari cara untuk mencegah munculnya distorsi atas pendapatan pajak dari transaksi yang dilakukan pihak-pihak tersebut. Permasalahan penetapan atau penentuan harga transfer (transfer pricing) awalnya diangkat di Pasal 9 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahun 2010 1 . Dalam klausul ini, isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak terasosiasi 2 . 1 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version), 22 Juli 2010, halaman 27 dan 28. Dapat diunduh dari http://www.oecd.org/document/37/0,3746,en_2649_33747_1913957_1_1_1_1,00.html. 2 Transfer Pricing Guidelines menggunakan istilah associated enterprises dan bukan related parties. Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Transcript of Transfer pricing suatu pemahaman awal

Page 1: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 1

Transfer Pricing: Suatu Pemahaman Awal

Pendahuluan

Permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak

dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak

(tax avoidance), walaupun bisa ‘dimanfaatkan’ untuk tujuan demikian. Permasalahan

transfer pricing sejatinya berupaya mencermati transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa dan berupaya mencari cara untuk mencegah munculnya

distorsi atas pendapatan pajak dari transaksi yang dilakukan pihak-pihak tersebut.

Permasalahan penetapan atau penentuan harga transfer (transfer pricing) awalnya diangkat

di Pasal 9 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahun 20101. Dalam

klausul ini, isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi

antara pihak-pihak terasosiasi2.

1 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version), 22 Juli 2010,

halaman 27 dan 28. Dapat diunduh dari http://www.oecd.org/document/37/0,3746,en_2649_33747_1913957_1_1_1_1,00.html. 2 Transfer Pricing Guidelines menggunakan istilah associated enterprises dan bukan related parties.

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

Page 2: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 2

Sementara, peraturan perpajakan di Indonesia mengaitkan transfer pricing dengan

transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan

transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan antara pihak-

pihak terkait. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010

yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan harga transfer

(transfer pricing) sebagai “penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa”.

Penjelasan mengenai hubungan istimewa dalam Undang-Undang perpajakan Indonesia,

diatur di dua pasal pada dua Undang-Undang pajak terkait. Pertama, di Pasal 18 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Berikut ini petikannya:

“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal

9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah

25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak

dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak

atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di

bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan

lurus dan/atau ke samping satu derajat.”

Kedua, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan

Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berikut ini petikannya:

“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:

a. Dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan

atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau

b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau

lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha

yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua

pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut

terakhir.”

Bandingkan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang

diatur dalam regulasi perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK No. 7 (revisi

Page 3: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 3

2010) tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi3. Pada paragraf 9 dari PSAK No. 7

(revisi 2010) ini pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai:

“Orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan

keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”), yaitu:

(a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut:

(i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;

(ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau

(iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.

(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut;

(i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama

(artinya entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan

entitas lain).

(ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau

entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok

usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya).

(iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.

(iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain

adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.

(v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari

salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika

entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas

sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.

(vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang

diidentifikasi dalam butir (a).

(vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap

entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).”

Sementara, paragraf 11 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut

bukan sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa:

a. Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen

kunci yang sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas

mempunyai pengaruh signifikan terhadap entitas lain.

b. Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama.

c. (i) penyandang dana,

(ii) serikat dagang,

3 Isi PSAK No. 7 (revisi 2010) sudah mengadopsi International Accounting Standard 24 (2009):

Related Party Disclosures.

Page 4: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 4

(iii) entitas pelayanan publik, dan

(iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan

bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor, semata-

mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun

pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta

dalam proses pengambilan keputusan).

d. Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau

perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha

dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis

yang diakibatkan oleh keadaan.

Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks

pajak?

Hubungan Istimewa dalam Bingkai OECD Tax Convention

Seperti telah disebutkan di atas, transfer pricing adalah transaksi antara pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa. Siapakah yang dimaksud dengan pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa dalam konteks transfer pricing menurut OECD?

Dalam Pasal 9.1 OECD Tax Convention selengkapnya disebutkan bahwa suatu pihak

disebut mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lainnya dalam konteks transfer pricing

apabila:

“Where

a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the

management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or

b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or

capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting

State,”

Pasal 3 ayat (1d) OECD Tax Convention menjelaskan bahwa:

The terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State”

mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an

enterprise carried on by a resident of the other Contracting State;

Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan

dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau

Page 5: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 5

individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan

pada pihak lainnya4, dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang

berbeda. Namun tentunya, yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh atau

seberapa besar derajat keterlibatan suatu pihak dalam manajemen, pengendalian atau

permodalan pada pihak lainnya?

Ayat (1) Bagian Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 181) menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah:

antara perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies),

dan

antar pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common

control)5.

Tentunya, Pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada

definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih

jauh menyebutkan bahwa:

… and in either case conditions are made or imposed between the two

enterprises in their commercial or financial relations which differ from those

which would be made between independent enterprises, then any profits

which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises,

4 Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait

tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), di mana suatu hubungan dengan pihak-pihak berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas. Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu, transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06).

5OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan

pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali (under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama. Namun, belum jelas apakah definisi PSAK No. 38 (revisi 2004) dapat diterima dalam konteks transfer pricing, walaupun bisa jadi diterapkan terkait dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (7) paragraf terakhir UU KUP dimana disebutkan bahwa:

Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

Page 6: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 6

but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in

the profits of that enterprise and taxed accordingly.

Jadi, dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan

komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,

maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi lainnya

kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.

Jadi, adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan memengaruhi kondisi-kondisi

yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud

dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa

kondisi tersebut bagaimanapun ujung-ujungnya akan mempengaruhi laba (profits) yang

dibukukan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi, terlepas apakah laba tersebut

dibukukan pada tahun terjadinya transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah

terjadinya transaksi. Yang ditekankan bahwa kondisi tersebut memengaruhi jumlah laba

pada akhirnya (catatan: menurut penulis, tentunya yang dimaksudkan adalah penghasilan

kena pajak), di mana bisa saja pada awalnya ia memengaruhi laba melalui penentuan harga

jual atau nilai penggantian, tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya6.

Bagian komentar atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax

Convention (hal. 181) adalah terkait dapat dilakukannya, untuk tujuan perpajakan,

penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan

istimewa tersebut di mana laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi yang terjadi antara

pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, suatu tingkat laba yang tidak terjadi atau

yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length

terms)7.

Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang

dicakup dalam paragraf di atas, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of

Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup

antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel

11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), dan laba dari hubungan kerja

(artikel 15).

6 Lihat ilustrasi dalam “Tricky Tax: Transfer Pricing”, dapat diunduh dari

http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Tricky_Tax.pdf. 7PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan istilah Prinsip Kewajaran dan

Kelaziman Usaha sebagai terjemahan prinsip Arm’s Length.

Page 7: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 7

Ruang Lingkup Pengaturan Transfer Pricing

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/20108, memerinci

transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan

istimewa, di mana transaksi-transaksi ini dapat mengakibatkan pelaporan jumlah

penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi

Wajib Pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sejumlah

transaksi tersebut antara lain:

a. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang

tidak berwujud;

b. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta

berwujud maupun harta tidak berwujud;

c. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;

d. Alokasi biaya; dan

e. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan

atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk

instrumen keuangan dimaksud.

Dalam perkembangan selanjutnya, PER-43/PJ/2010 diubah dengan PER-32/PJ/2011. Di

Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011 justru sudah tidak lagi memberikan rincian transaksi-

transaksi apa saja yang dimaksudkan dalam konteks transfer pricing. Bunyi Pasal 2 ayat (2)

di atas diubah menjadi:

“Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai

Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap

di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang

dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk

memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:

a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha

tertentu;

b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau

c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.”

Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi di mana terdapat motivasi

untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam

8 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran

dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tertanggal 6 September 2010

Page 8: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 8

Artikel 9 dari 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih

menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul

dari transaksi di mana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut,

kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, ini pun

dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau

kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing

negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip

kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak antar

negara.

OECD justru berpendapat bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak

hanya digunakan pada transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa, terjadi di

negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Adanya perbedaan tarif pajak

dengan tarif pajak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dianggap sebagai

bagian dari penilaian resiko yang akan dilakukan oleh pihak otoritas perpajakan pada saat

memutuskan kasus pajak mana yang akan diperiksa, dan bukan sebagai suatu unsur yang

akan mengakibatkan penerapan berbeda dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha9. Di

samping itu, konsep transfer pricing sendiri bersifat netral, sehingga dalam penerapannya

juga tentunya bersifat netral10.

Lebih lanjut, Artikel 9 ayat (2) OECD Tax Convention (hal. 28) menyebutkan bahwa:

Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that

State—and taxes accordingly—profits on which an enterprise of the other

Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits

so included are profits which would have accrued to the enterprise of the first-

mentioned State if the conditions made between the two enterprises had

been those which would have been between independent enterprises,

then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of

the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due

regard shall be had to the other provisions of this Convention and the

9 OECD. Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD Project. 25 Januari 2011.Halaman 5

paragraf 22. 10

Lihat INTM460140 - Transfer Pricing: a Practical Guide to Enquiries - Introduction: What is Transfer Pricing? Dari http://www.hmrc.gov.uk/manuals/intmanual/intm460140.htm. Konsep yang sama digunakan untuk mengelaborasi lebih lanjut revisi atas Bab VI TGP “Special Considerations for Intangible Property” sebagaimana tertuang dalam “Discussion Draft: Revision of the Special Considerations for Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and Related Provisions” terbitan OECD pada pertengahan tahun 2012. Dapat diunduh dari www.oecd.org/dataoecd/39/61/50526258.pdf.

Page 9: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 9

competent authorities of the Contracting States shall if necessary consult

each other.

Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan

identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak

dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah

terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuaian atas laba yang timbul

dari transaksi tersebut.

Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan suatu transaksi dilakukan

berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau tidak, maka prinsip Arm’s Length

menjadi krusial. Dengan kata lain, prinsip Arm’s Length menjadi jangkar (anchor) dari

keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus didedikasikan untuk pembahasan

prinsip Arm’s Length, suatu standar transfer pricing internasional yang memperoleh

persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk dipergunakan untuk tujuan

perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan aparatur perpajakan (paragraf

1.1 TPG)11.

Transfer Pricing = Tax Fraud?

Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa

permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak

dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak

(tax avoidance)12, walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing ‘dimanfaatkan’

untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing

hanya dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011.

Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi antara pihak-

pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan

dengan demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). TITIK.

11

Pembaca yang tertarik mengenai prinsip arm’s length dan penerapannya dapat membaca lebih lanjut “Transfer Pricing and Other Provisions to Check Avoidance of Tax” terbitan The Institute of Chartered Accountants of India. Dapat diunduh dari http://220.227.161.86/18892sm_dtl_finalnew_cp16.pdf. 12

Pembaca yang berminat dapat membaca tulisan Eric J. Bartelsman dan Roel M. W.J. Beetsma.Why Pay More? Corporate Tax Avoidance through Transfer Pricing in OECD Countries. Desember 2001. Dapat diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=258937. Di samping itu, di website Bloomberg dan The Guardian dapat ditemukan cerita-cerita bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional berhasil dalam meminimumkan pajak dalam negara-negara di mana mereka melakukan kegiatan usaha.

Page 10: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 10

Terlepas apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan

dengan pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain.

TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan

pasar (dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha), maka utang pajak dari perusahaan-

perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari

negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi. Oleh

karena itulah, untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai

hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengoreksi distorsi apapun dan

memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf 1.3 TPG). Di

sini, pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau dalam

Komentari Artikel 9 dari OECD Tax Convention (hal. 181 dan 182), menggunakan kata “re-

writing of the accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis kembali akun-

akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa). Dengan kata lain,

penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau transaksi-transaksi antara

perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman

usaha13.

Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level

operasional suatu perusahaan multinasional adalah sedemikian kompleks, sehingga

pertimbangan pajak hanya akan menjadi salah satu faktor di dalamnya14.

TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor di luar pertimbangan pajak yang mungkin

saja memberikan kontribusi [signifikan] terhadap timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi

pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping,

dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu

yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu

kelompok usaha multinasional, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga

kalau perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut

menunjukkan kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya, TPG tidak membedakan dari

mana datangnya distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan

komersial atau keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai

hubungan istimewa. Yang penting, sudah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer

13

Komentari Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention (hal. 181) menggunakan kalimat “normal open market commercial terms (on an arm’s length basis)” –walaupun dalam catatan penulis, tanpa penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan interpretasi yang terlalu luas. 14

Anthony, Robert N. dan Vijay Govindaran. Management Control Systems. New York: McGraw-Hill, 2003. Edisi ke-11. Hal. 757. Faktor lainnya adalah peraturan pemerintah, tarif impor atau ekspor, kontrol mata uang, akumulasi dana dalam suatu negara tertentu, pembentukan ventura bersama (joint ventures).

Page 11: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 11

pricing dan ujung-ujungnya memengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan-

perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.

Berarti di sini ada 2 (dua) isu yang dapat dibicarakan:

1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara

perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan

berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat

disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-

masing perusahaan?

2. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan?

Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas.

By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have

obtained between independent enterprises in comparable transactions and

comparable circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”),

the arm’s length principle follows the approach of treating the members of an

MNE group as operating as separate entities rather than as inseparable parts

of a single unified business. Because the separate entity approach treats the

members of an MNE group as if they were independent entities, attention is

focused on the nature of the transactions between those members and on

whether the conditions thereof differ from the conditions that would be

obtained in comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the

controlled and uncontrolled transactions, which is referred to as a

“comparability analysis”, is at the heart of the application of the arm’s

length principle.

Jadi, untuk mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara

perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan

berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat

disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing

perusahaan, OECD menjadikan analisis kesebandingan sebagai jangkar dari penerapan

prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tersebut.

Hal di atas sejalan dengan Pasal 1 nomor 7 dari PER-32/PJ/2011 yang mendefinisikan

analisis kesebandingan sebagai:

Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam

transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan

Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara

pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas

Page 12: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 12

perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

Dalam konteks identifikasi atas perbedaan kondisi tersebut kemudian dikembangkan

berbagai pendekatan dan metode yang dikenal saat ini, mencakup antara lain:

Derajat kesebandingan ditentukan berdasarkan atribut transaksi atau pihak-pihak yang

dapat mempengaruhi harga atau laba dan penyesuaian yang diperlukan untuk perbedaan

yang ada. Atribut ini dikenal sebagai lima faktor kesebandingan (lihat PER-43/PJ/2010

Pasal 5 ayat (1) atau TPG hal. 43-51):

a. Karekteristik barang/harga berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang

diperjualbelikan, termasuk jasa;

b. Fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;

c. Ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;

d. Keadaan ekonomi; dan

e. Strategi usaha.

Secara singkat, dapat dikatakan ini merupakan analisa untuk mengidentifikasi perbedaan

atau kesamaan dalam Fungsi, Aset dan Resiko.

Analisa data pembanding internal dan eksternal.

Sebagai contoh, dalam konteks penerapan metode perbandingan harga antara pihak

yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price/CUP),

perbedaan data pembanding internal dan eksternal diilustrasikan di box 115

.

15

Working Draft. Chapter 5: Transfer Pricing Methods. Hal. 8. Suatu tulisan yang dibuat oleh Anggota the UN Tax Committee’s Subcommittee on Practical Transfer Pricing Issues. Diunduh dari http://www.un.org/esa/ffd/tax/2011_TP/TP_Chapter5_Methods.pdf.

Page 13: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 13

Ilustrasi di box 1 terkait dengan penjualan kendaraan mobil antara Perusahaan 1,

produsen kendaraan mobil di negara 1, dan Perusahaan 2, importir kendaraan mobil di

negara 2, yang kemudian menjualnya ke para distributor kendaraan di negara 2.

Perusahaan 1 adalah entitas induk dari Perusahaan 2.

Dalam penerapan metode CUP untuk menguji apakah harga yang dikenakan untuk

penjualan kendaraan antara Perusahaan 1 dan Perusahaan 2 (yang disebut sebagai

transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) sudah berdasarkan

prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau belum, maka harga penjualan tersebut

dapat mengacu pada:

Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat

dibandingkan, antara Perusahaan 1 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan

Istimewa (yaitu Transaksi #1);

Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat

dibandingkan, antara Perusahaan 2 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan

Istimewa (yaitu Transaksi #2);

Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat

dibandingkan, antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa A dan B

(yaitu transaksi #3).

Transaksi #1 dan #2 dikenal sebagai Data Pembanding Internal, dan Transaksi #3

sebagai Data Pembanding Eksternal.

Metode penentuan harga transfer yang wajar (TPG bab II: Transfer Pricing Methods, atau

Pasal 11 ayat (2) PER-32/PJ/2011)

Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:

Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan

Istimewa (Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method);

Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method);

Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method).

Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:

Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method);

Metode Pembagian Laba Transaksional (Transactional Profit Split Method).

Page 14: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 14

Perbedaan kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan harga, tetapi

apabila dikaitkan dengan dapatnya pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun-

akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, maka

tentunya perbedaan kondisi yang dibicarakan di atas adalah sejauh hal tersebut memiliki

implikasi terhadap penentuan laba dan utang pajak yang terkait.

Hal ini terkait secara langsung dengan isu nomor 2, di mana pada akhirnya, dari analisis

kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas perpajakan

(dan Wajib Pajak) menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi berdasarkan

prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai

“kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya

penyesuaian atas laba dan utang pajak adalah (paragraf 1.3) sangat tergantung pada dapat

dikenali perbedaan yang ada dan sebesar apa perbedaan kondisi tersebut dalam kejadian

yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by

establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would

expect to find between independent enterprises in comparable transactions under

comparable circumstances.

Penggunaan kata “re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan yang mempunyai

hubungan istimewa dalam TPG mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung

terkait dengan laba-rugi, tapi bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari

entitas induk yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan

perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas

anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga

sebagai pengurang penghasilan bruto dalam penentuan penghasilan kena pajak entitas

anak.

Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam isu transfer pricing? Hal ini

secara khusus disinggung oleh Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention paragraf 3 (hal.

181), di mana sebagaimana didiskusikan oleh Committee on Fiscal Affairs’s Report on Thin

Capitalization16, terdapat kaitan antara Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

16

“Thin Capitalization” diadopsi oleh the Council of the OECD pada tanggal 26 November 1986 dan direproduksi dalam Volume II dari versi penuh OECD Tax Convention pada halaman R(4)-1. “Thin Capitalization ”secara umum dapat dipahami merujuk ke struktur permodalan suatu perusahaan yang dicirikan oleh perbandingan antara komponen utang dengan ekuitas yang tinggi. OECD juga menggunakan istilah “hidden equity capitalization” atau “shareholder debt financing” terkait dengan “thin capitalization” ini (OECD (1987) “Thin Capitalization” (hal. 7) sebagaimana dimuat dalam OECD (ed.) Issues in International Taxation No. 2. OECD Publications: Paris. Hal. 7-36. Diunduh dari http://www.oecd.org/dataoecd/42/20/42649592.pdf.

Page 15: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 15

dengan aturan perpajakan nasional/domestik17 atas “thin capitalization” yang tentunya terkait

juga dengan Artikel 9 OECD Tax Convention dan transfer pricing. Lebih lanjut disebutkan

dalam OECD Tax Convention (hal. 181):

a) Artikel 9 tidak dimaksudkan untuk menghalangi penerapan aturan perpajakan nasional

atas “thin capitalization” sepanjang dampaknya adalah mengakibatkan laba dari pihak

debitur adalah sejumlah laba yang diakui sesuai dengan laba yang akan terjadi dalam

situasi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

b) Artikel 9 relevan tidak hanya dalam hal menentukan apakah tingkat suku bunga dalam

suatu perjanjian pinjaman adalah berdasarkan tingkat bunga pasar, namun juga apakah

pokok pinjaman tersebut dapat dianggap sebagai suatu pinjaman (loan) atau

seharusnya diperlakukan sebagai semacam pembayaran/kontribusi modal saham

(contribution to equity capital).

D.H. Pai Panandiker (President of RPG Foundation) menyebutkan bahwa terdapatnya ketentuan pajak domestik terkait “thin capitalization” adalah untuk mencegah perusahaan-perusahaan dari penggunaan pinjaman secara berlebih-lebihan guna memperoleh pengurangan atas hutang pajak mereka [melalui pembebanan bunga]. Dikutip dari http://in.reuters.com/article/2010/06/07/idINIndia-49097020100607 berjudul Thin Capitalization for Tax Avoidance. Menarik juga untuk dibaca report Ernst & Young LLP berjudul “Thin Capitalization Regimes in Selected Countries “yang merupakan suatu report yang dipersiapkan untuk the Advisory Panel on Canada’s System of International Taxation. Mei 2008. Diunduh dari http://www.apcsit-gcrcfi.ca/06/rr-re/RR6%20-%20Ernst%20&%20Young%20-%20en%20-%20final%20-%20090617.pdf. 17

Pasal 18 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam penjelasan disebutkan bahwa, “…Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha yang sehat dalam dunia usaha.”

Di sini, pihak otoritas perpajakan Indonesia meyakini adanya batas-batas kewajaran dalam rasio utang terhadap modal, dan apabila suatu rasio di atas batas-batas kewajaran, maka kelebihan tersebut dianggap sebagai modal terselubung.

Dalam PER-43/PJ/2010 dan PER-32/PJ/2011 tidak ditemukan bagaimana analisis kesebandingan dilakukan dalam kaitannya untuk menentukan batas-batas kewajaran antara rasio utang terhadap modal.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984, angka banding antara utang dan modal adalah sebesar perbandingan 3:1, namun pada tanggal 8 Maret 1985, aturan tersebut dibekukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 254/KMK.04/1985, dan sampai sekarang belum ada aturan yang diterbitkan lagi terkait perbandingan utang dan modal tersebut.

Page 16: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 16

c) Penerapan aturan perpajakan atas “thin capitalization” tidak semata-mata bermaksud

untuk menaikkan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri melebihi laba yang

tercipta berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan prinsip inilah yang

seharusnya digunakan untuk menerapkan ketentuan P3B.

Diskusi atas koreksi/penyesuaian atas laba Wajib Pajak dan mempertimbangkan bahwa

transaksi yang ada menyangkut transaksi lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi

pemajakan ganda (Artikel 9 paragraf 2 OECD Tax Convention (hal. 28)). Sebagai contoh,

PT ABC di Indonesia (dengan posisi penghasilan kena pajak positif) berdasarkan perjanjian

royalti diwajibkan membayar royalti sebesar 5% (dihitung dari jumlah penjualan) ke CDE

Pte. Ltd di Singapura. Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus,

adalah sebesar 1%, sehingga utang PPh badan PT ABC meningkat.

Dari contoh ini, pihak CDE Pte. Ltd. di Singapura telah melaporkan pendapatannya

menggunakan tarif royalti yang diterimanya sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui

oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena

secara logika, pihak CDE Pte. Ltd. dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan

royaltinya dengan menggunakan tarif 1% dan bukan 5%.

Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal.

182), disebutkan bahwa:It should be noted, however, that an adjustment is not automatically

to be made in State B simply because the profits in State A have been increased; the

adjustment is due only if State B considers that the figure of adjusted profits correctly

reflects what the profits would have been if the transactionshad been at arm’s

length………State B is therefore committed to make an adjustment of the profits of the

affiliated company only if it considers that the adjustment made in State A is justified both in

principle and as regards the amount.

Jadi, CDE Pte. Ltd. di Singapura tidak serta merta melakukan koreksi atas pelaporan

pendapatan royaltinya, namun masih perlu melakukan telaah untuk memastikan apakah tarif

royalti 1% yang diakui oleh fiskus PT ABC di Indonesia sudah mencerminkan prinsip

kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau hasil telaah menunjukkan bahwa tarif royalti 1%

tidak berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu

melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan royaltinya.

Paragraf 7 Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 182) mengakui bahwa tidak

terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana penyesuaian laba perlu dilakukan

oleh CDE Pte. Ltd di Singapura dalam hal tarif royalti 1% (yang diakui oleh pihak fiskus di

Indonesia) akhirnya memang disimpulkan sebagai tarif royalti berdasarkan prinsip kewajaran

dan kelaziman usaha. Para negara anggota OECD menggunakan metode-metode yang

Page 17: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 17

berbeda-beda dan negara-negara yang memiliki P3B diberikan keleluasaan untuk

menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke dalam P3B

mereka.

~~~~~~ ####### ~~~~~~

Page 18: Transfer pricing suatu pemahaman awal

www.futurumcorfinan.com

Page 18

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have

been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising

from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is

not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your

advisors for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the

authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved