Transfer pricing - harta aset tak berwujud

17
www.futurumcorfinan.com Page 1 Transfer Pricing Harta/Aset Tak berwujud (Intangibles1) Pengantar Berangkat dari pasal 9 2010 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital 2 (selanjutnya disebut sebagai OECD Tax Convention)-lah yang mengangkat permasalahan 1 Terdapat beberapa istilah yang didapatkan dalam OECD Transfer Pricing Guideline for Multinational Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) (selanjutnya disebut sebagai TPG), yaitu “intangible property”, “intellectual property”, “intangible(s)”, namun di sini penulis menggunakan istilah “harta tidak berwujud” mengikuti PER-32/PJ/2011 Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa tanggal 11 November 2011 (selanjutnya disebut sebagai PER-32/PJ/2011). Harta di sini tidak selalu berarti bahwa harta tersebut perlu tercatat atau tidak di pembukuan perusahaan. Isu pengakuan (recognition) maupun pengukuran (measurement) harta tidak berwujud adalah isu yang terpisah dari isu transfer pricing. OECD Transfer Pricing Guideline for Multinational Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) paragraf 6.2 menyebutkan, “For the purposes of this chapter, the term “intangible property” includes rights to use industrial assets such as patents, trademarks, trade names, designs or model ”, kalimat, for the purposes of this chapter (terjemahan: untuk keperluan bab ini) sendiri cukup membingungkan, karena timbul kesan, bahwa daftar harta tak berwujud tersebut tidak dapat dipakai dalam bab-bab lainnya dalam TPG 2010. 2 OECD. Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version). 22 Juli 2010. Halaman 27 dan 28. Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Transcript of Transfer pricing - harta aset tak berwujud

Page 1: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 1

Transfer Pricing – Harta/Aset Tak berwujud

(Intangibles1)

Pengantar

Berangkat dari pasal 9 2010 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital2

(selanjutnya disebut sebagai OECD Tax Convention)-lah yang mengangkat permasalahan

1 Terdapat beberapa istilah yang didapatkan dalam OECD Transfer Pricing Guideline for Multinational

Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) (selanjutnya disebut sebagai TPG), yaitu “intangible property”, “intellectual property”, “intangible(s)”, namun di sini penulis menggunakan istilah “harta tidak berwujud” mengikuti PER-32/PJ/2011 Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa tanggal 11 November 2011 (selanjutnya disebut sebagai PER-32/PJ/2011). Harta di sini tidak selalu berarti bahwa harta tersebut perlu tercatat atau tidak di pembukuan perusahaan. Isu pengakuan (recognition) maupun pengukuran (measurement) harta tidak berwujud adalah isu yang terpisah dari isu transfer pricing. OECD Transfer Pricing Guideline for Multinational Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) paragraf 6.2 menyebutkan, “For the purposes of this chapter, the term “intangible property” includes rights to use industrial assets such as patents, trademarks, trade names, designs or model”, kalimat, for the purposes of this chapter (terjemahan: untuk keperluan bab ini) sendiri cukup membingungkan, karena timbul kesan, bahwa daftar harta tak berwujud tersebut tidak dapat dipakai dalam bab-bab lainnya dalam TPG 2010. 2 OECD. Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version). 22 Juli 2010.

Halaman 27 dan 28.

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

Page 2: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 2

penetapan atau penentuan harga transfer (selanjutnya disebut sebagai transfer pricing3)

dimana:

isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi antara

pihak-pihak berelasi (TPG menggunakan istilah associated enterprises dan bukan

related parties), atau dirujuk sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan

istimewa dalam peraturan perpajakan di Indonesia4,5,6), serta

3 PER-32/PJ/2011 Pasal 1 (8) mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) sebagai

penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 4 Dalam undang-undang perpajakan Indonesia, terdapat dua pasal mengenai apa yang dimaksudkan

dengan adanya hubungan istimewa antara wajib pajak dengan pihak lain, yaitu pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh dan pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPN. Selengkapnya dikutip dari kedua pasal tersebut. Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila: a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%

(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Pasal 2 ayat (2) UU PPN. Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:

a. dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau

b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir.

5 Bandingkan dengan definisi pihak-pihak berelasi atau mempunyai hubungan istimewa yang cukup

detil dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (revisi 2010) tentang “Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi (catatan: yang merupakan adopsi dari International Accounting Standard 24 (2009): Related Party Disclosures) paragraf 09 mendefinisikan pihak-pihak berelasi sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya (dalam Pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”). (a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut:

(i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor; (ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau (iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.

(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut; (i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya

entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan entitas lain). (ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas

asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya).

(iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama. (iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah

entitas asosiasi dari entitas ketiga. (v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari salah satu

entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika entitas pelaporan adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.

Page 3: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 3

transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan

antara pihak-pihak tersebut.

Karena hal yang mendasarinya adalah bahwa transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak

berelasi, baiknya kita melihat apa yang dimaksudkan oleh OECD dengan pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa tersebut terutama dalam konteks transfer pricing.

Selengkapnya disebutkan dalam pasal 9.1 OECD Tax Convention:

where

a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management,

control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or

b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of

an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State,

Pasal 3 ayat 1d OECD Tax Convention menjelaskan bahwa:

the terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State”

mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an

enterprise carried on by a resident of the other Contracting State;

Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan

dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau

(vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi

dalam butir (a). (vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas

atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas). 6 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut bukan sebagai pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa (paragraf 11): (a) Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen kunci yang

sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas mempunyai pengaruh signifikan terhadap entitas lain.

(b) Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama. (c) (i) penyandang dana,

(ii) serikat dagang, (iii) entitas pelayanan publik, dan (iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan

bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor, semata-mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta dalam proses pengambilan keputusan).

(d) Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis yang diakibatkan oleh keadaan.

Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks perpajakan.

Page 4: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 4

individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan

pada pihak lainnya 7 , dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang

berbeda.

Ayat 1 Bagian Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah antara

perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies) dan antar

pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common control)8.

Tentunya pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada

definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih

jauh menyebutkan bahwa:

…and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their

commercial or financial relations which differ from those which would be made between

independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have

accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued,

may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.

Jadi dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan

komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,

maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi (sejenis

(similar)?) lainnya kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai

hubungan istimewa.

7 Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait

tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), dimana suatu hubungan dengan pihak-pihak berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas. Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu, transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06).

8 OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan

pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali (under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama.

Page 5: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 5

Jadi adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan mempengaruhi kondisi-kondisi

yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud

dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa

kondisi tersebut bagaimanapun mempengaruhi laba (profits) yang dibukukan oleh kedua

belah pihak tersebut, terlepas apakah laba tersebut dibukukan pada tahun terjadinya

transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah terjadinya transaksi. Yang

ditekankan bahwa kondisi tersebut mempengaruhi laba pada akhirnya, dimana bisa saja

pada awalnya ia mempengaruhi laba melalui penentuan harga jual atau nilai penggantian,

tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya.

Bagian Komentari atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax

Convention adalah terkait dapat dilakukannya penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh

pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut untuk tujuan perpajakan dimana

laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai

hubungan istimewa yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman

usaha (arm’s length terms).

Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang

dicakup dalam paragraf tersebut, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of

Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup

antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel

11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), laba dari hubungan kerja (artikel

15).

Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip

Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang

Mempunyai Hubungan Istimewa tertanggal 6 September 2010, pasal 2 ayat (2) memerinci

transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan

istimewa, dimana dapat mengakibatkan pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan

untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak tidak sesuai dengan

prinsip kewajaran dan kelaziman usaha meliputi antara lain:

a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang

tidak berwujud;

b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta

berwujud maupun harta tidak berwujud;

c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan

jasa;

d. alokasi biaya; dan

Page 6: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 6

e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan

atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk

instrumen keuangan dimaksud.

PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan atas PER-43/PJ/2010 di atas pada pasal 2 ayat (2)

justru sudah tidak memberikan rincian transaksi-transaksi apa saja yang dimaksudkan

dalam konteks transfer pricing, tetapi mengganti seluruh pasal 2 ayat (2) di atas menjadi:

Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai

Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap

di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang

dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk

memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:

a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha

tertentu;

b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau

c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.

Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi dimana terdapat motivasi

untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam

Artikel 9 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih

menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul

dari transaksi dimana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut,

kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, inipun

dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau

kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing

negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip

kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak.

OECD dalam revisi 2010 TPG justru menolak argumen bahwa TPG hanya perlu diterapkan

untuk transaksi yang terjadi dari negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi ke lebih rendah.

Dan konsep TP sendiri adalah neutral.

Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) OECD Tax Convention menyebutkan bahwa:

Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State – and taxes

accordingly – profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged

to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to

the enterprise of the first-mentioned State if the conditions made between the two

enterprises had been those which would have been between independent enterprises, then

that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged

Page 7: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 7

therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the

other provisions of this Convention and the competent authorities of the Contracting States

shall if necessary consult each other.

Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan

identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak

dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah

terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuian atas laba transaksi

tersebut.

Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat menentukan apakah suatu

transaksi dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka prinsip

Arm’s Length (catatan: PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan

istilah Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha) menjadi krusial atau dengan kata lain

menjadi jangkar (anchor) dari keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus

didedikasikan untuk pembahasan prinsip Arm’s Length , suatu standar transfer pricing

internasional yang memperoleh persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk

dipergunakan untuk tujuan perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan

aparatur perpajakan (paragraf 1.1 TPG).

Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa

permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak

dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak

(tax avoidance), walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing “dimanfaatkan”

untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing

dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2

ayat (2) PER-32/PJ/2011.

Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi pihak-pihak

yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan dengan

demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). Titik. Terlepas

apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan dengan

pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain.

TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan

pasar dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka hutang pajak dari perusahaan-

perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari

negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi, dan

untuk itulah bahwa untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang

Page 8: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 8

mempunyai hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengkoreksi distorsi

apapun dan memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf

1.3 TPG). Di sini pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau

dalam Komentari Artikel 9 dari OECD Tax Convention, menggunakan kata “re-writing of the

accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis kembali akun-akun dari

perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa). Dengan kata lain,

penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau transaksi-transaksi antara

perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman

usaha9.

Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level

operasional suatu MNE adalah sedemikian kompleks, sehingga pertimbangan pajak hanya

akan menjadi salah satu faktor didalamnya10.

TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor diluar pertimbangan pajak yang mungkin

saja memberikan kontribusi [signifikan] timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi

pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping,

dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu

yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu

kelompok usaha MNE, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga kalau

perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut menunjukkan

kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya TPG tidak membedakan darimana datangnya

distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan komersial atau

keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan

istimewa. Yang penting adalah bahwa telah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer

pricing dan ujung-ujungnya mempengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan-

perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.

Berarti di sini ada tiga isu yang dapat dibicarakan:

1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara

perusahaan-perusahaan terasosiasi tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran

dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat disimpulkan telah terjadi

distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing perusahaan?

2. Kondisi-kondisi seperti apakah yang menimbulkan permasalahan transfer pricing?

3. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan?

9 Komentari Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention menggunakan kalimat “normal open market

commercial terms (on an arm’s length basis)” – walaupun dalam catatan penulis, tanpa penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan interpretasi yang terlalu luas. 10

Lihat Management Control.

Page 9: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 9

Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas.

By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have obtained

between independent enterprises in comparable transactions and comparable

circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”), the arm’s length principle

follows the approach of treating the members of an MNE group as operating as separate

entities rather than as inseparable parts of a single unified business. Because the separate

entity approach treats the members of an MNE group as if they were independent entities,

attention is focused on the nature of the transactions between those members and on

whether the conditions thereof differ from the conditions that would be obtained in

comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the controlled and

uncontrolled transactions, which is referred to as a “comparability analysis”, is at the

heart of the application of the arm’s length principle.

Jadi anchor dari penerapan prinsip arm’s length adalah analisa kesebandingan.

Hal di atas sejalan dengan pasal 1 no. 7 dari PER-32 yang mendefinisikan analisis

kesebandingan sebagai:

Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam

transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan

Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara

pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas

perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

Terkait hal ke-dua, kondisi-kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan

harga. Namun sebagaimana telah disebutkan di atas, kondisi-kondisi tersebut yang

memungkinkan pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun-akun dari perusahaan-

perusahaan terasosiasi tersebut, tentunya sejauh hal tersebut memiliki implikasi terhadap

penentuan laba dan hutang pajak yang terkait.

Hal ini terkait secara langsung dengan pertanyaan nomor 3, dimana pada akhirnya, dari

analisis kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas

perpajakan dan wajib pajak menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi

berdasarkan prinsip arm’s length, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai

“kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya

penyesuaian atas laba dan hutang pajak, adalah (paragraf 1.3):

OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by

establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would expect

Page 10: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 10

to find between independent enterprises in comparable transactions under comparable

circumstances.

Penggunaan kata “Re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan terasosiasi

mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung terkait dengan laba-rugi, tapi

bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari entitas terasosiasi (misalnya

entitas induk) yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan

perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas

anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga dalam

laporan keuangan entitas anak. Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam

isu transfer pricing. Menurut penulis, hal ini sewajarnya tidak masuk dalam konteks transfer

pricing, karena yang dapat diperbandingkan selayaknya tingkat bunga apakah sudah

mengikuti prinsip arm’s length, dan bukannya membandingkan perlakuan pokok pinjaman

apakah sebagai pinjaman atau uang muka setoran modal.

Karena menyangkut penyesuaian atas laba dan transaksi yang ada menyangkut transaksi

lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi pemajakan ganda. Sebagai contoh, PT ABC di

Indonesia membayar royalti sebesar 5% dari penjualan ke CDE Pte. Ltd di Singapura.

Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus, adalah sebesar 1%,

sehingga hutang pajak PT ABC meningkat. Dari contoh ini, pihak CDE Ptd. Ltd. di

Singapura telah melaporkan pendapatannya menggunakan tarif royalti yang diterimanya

sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di

sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena secara logisnya, pihak CDE Ptd. Ltd.

dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan royaltinya menggunakan tarif 1%

dan bukan 5%.

Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9, disebutkan bahwa

It should be noted, however, that an adjustment is not automatically to be made in State B

simply because the profits in State A have been increased; the adjustment is due only if

State B considers that the figure of adjusted profits correctly reflects what the profits would

have been if the transactions had been at arm’s length………State B is therefore committed

to make an adjustment of the profits of the affiliated company only if it considers that the

adjustment made in State A is justified both in principle and as regards the amount.

Jadi CDE Pte. Ltd. masih perlu melakukan telaah untuk menentukan apakah tarif royalti 1%

yang diakui oleh fiskus PT ABC sudah mencerminkan prinsip arm’s length, kalau memang

tidak, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan

royaltinya.

Page 11: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 11

Paragraf 7 mengakui bahwa tidak terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana

penyesuaian perlu dilakukan oleh CDE Pte. Ltd. Para negara anggota OECD menggunakan

metode-metode yang berbeda-beda dan Contracting States diberikan keleluasaaan untuk

menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke dalam P3B

mereka.

Pertimbangan Khusus terkait Aset takberwujud

Setelah dibicarakan prinsip arm’s length di atas dalam konteks Artikel 9 OECD Convention,

kita akan melanjutkan dengan aset takberwujud, karena dari bagian di atas beberapa

konsep inti dari TPG:

Analisis kesebandingan yang menjadi anchor dalam penerapan prinsip arm’s length

Penyesuaian atas laba dari perusahaan-perusahaan terasosiasi tersebut.

Aset takberwujud (TPG Guideline menggunakan istilah yang berbeda-beda) mendapat

perhatian khusus pada saat penyusunan TPG, sehingga diberikan bab khusus dalam

pembahasannya yaitu Bab VI, yang terdiri dari 39 paragraf. Namun sebelum membicarakan

aset takberwujud, penulis ingin mengulas sedikit TPG sebagai latar belakangnya.

TPG Juli 2010 adalah suatu revisi yang cukup signifikan terhadap OECD Report Transfer

Pricing and Multinational Enterprises (1979), dimana dalam perkembangannya TPG telah

mendapat tambahan dan modifikasi/pemutakhiran pada tahun 2008 dan 2010, yaitu

terutama untuk

Bab IV “Administrative Approaches to Avoiding and Resolving Transfer Pricing

Disputes” pada tahun 2008,

Bab I (“The Arm’s Length Principle”), Bab II (“Transfer Pricing Methods”) dan Bab III

(“Comparability Analysis”) pada tahun 2010, dan

dimasukkannya panduan baru atas Bab IX (“Transfer Pricing Aspects of Business

Restructurings”) pada tahun 2010.

Walaupun sudah banyak dilengkapi dengan tambahan dan modifikasi atas bab-bab di atas,

namun berbagai kalangan pemerhati, pemerintah dan wajib pajak, tetap melihat bahwa

tetap belum terdapat suatu panduan internasional yang cukup memadai terkait isu-isu

transfer pricing untuk intangibles, yaitu yang berhubungan dengan 3 (tiga) hal berikut ini:

Definisi,

Identifikasi, dan

Penilaian intangibles

Page 12: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 12

Concern di atas juga ditambah dengan bahwa Bab VI TPG terkait pertimbangan-

pertimbangan tertentu untuk properti tak berwujud dan Bab VIII TPG terkait panduan untuk

cost contribution arrangements berasal dari tahun 1995-1997, yang tentunya dapat

diperkirakan dengan perkembangan transaksi bisnis dan praktik-praktik transfer pricing yang

makin rumit, semakin urgen dilakukan.

Namun demikian, perlu kita kembali melihat bahwa banyak isu-isu transfer pricing yang

sebenarnya sudah dicakup dalam revisi TPG 2010 dan cukup relevan untuk transaksi-

transaksi melibatkan intangible. Misalnya:

1) Bab II berisi panduan untuk pemilihan metode transfer pricing yang paling tepat sesuai

situasi yang ada, yaitu paragraf 2.1 – 2.11.

Pada dasarnya ada 2 (dua) metode yang dapat digunakan untuk menentukan apakah

kondisi-kondisi yang terdapat dalam hubungan komersial atau keuangan antara pihak-pihak

berelasi (associated enterprises) konsisten dengan prinsip arms’ length. Dua metode

tersebut adalah:

Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:

Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method

Resale Price Method

Cost Plus Method

Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:

Transactional Net Margin Method

Transactional Profit Split Method

Pemilihan suatu metode transfer pricing selalu bertujuan untuk menemukan metode yang

paling tepat untuk situasi tertentu (paragraf 2.2). Ini merupakan suatu pendekatan yang

berbeda dibandingkan pendekatan sebelumnya yang memilih preferensi untuk metode-

metode tertentu.

Dalam proses pemilihan metode yang paling tepat, wajib memperhitungkan:

a. Kekuatan dan kelemahan masing-masing metode yang diakui oleh OECD;

b. Kecocokan metode terkait dengan sifat dari transaksi terkendali (controlled

transaction), yang ditentukan terutama melalui analisa fungsional;

c. Ketersediaan informasi terandal (terutama atas transaksi pembanding yang tidak

terkendali) yang diperlukan untuk menerapkan metode dan/atau metode lainnya

yang dipilih;

Page 13: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 13

d. Derajat kesebandingan antara transaksi yang terkendali dan tidak terkendali,

termasuk keandalan penyesuaian kesebandingan yang mungkin diperlukan untuk

mengeliminasi perbedaan material antara keduanya.

Paragraf 2.2 bahkan mengingatkan bahwa tidak ada satupun metode yang cocok untuk

setiap situasi, dan tidak perlu pula dibuktikan bahwa suatu metode tertentu tidak cocok

dalam kondisi-kondisi tertentu.

Paragraf 2.3 menyebutkan bahwa metode transaksi tradisional dianggap sebagai metode

yang paling langsung dapat digunakan untuk menentukan apakah kondisi-kondisi dalam

satu relasi komersial dan keuangan diantara perusahaan-perusahaan berelasi (associated

enterprises) merupakan arm’s length. Namun paragraf 2.4 mengingatkan bahwa terdapat

situasi-situasi tertentu dimana metode laba transaksional didapatkan lebih tepat

dibandingkan dengan metode transaksi tradisional. Misalnya:

dalam situasi dimana masing-masing pihak melakukan kontribusi yang unik dan

bernilai dalam kaitannya dengan transaksi yang terkendali, atau dimana pihak-pihak

yang ada terlibat dalam aktivitas yang sangat terintegrasi, akan memungkinkan

metode pembagian laba transaksional lebih tepat dibandingkan metode satu sisi.

Dalam situasi dimana tidak terdapat atau sangat terbatas ketersediaan informasi

margin kotor pihak ketiga yang andal yang tersedia untuk publik, metode transaksi

tradisional bisa jadi menjadi sulit untuk diterapkan dalam kasus selain kasus dimana

terdapat pembanding internal, dan metode laba transaksional mungkin merupakan

metode yang paling tepat terkait ketersediaan informasi.

Dalam catatan penulis, munculnya paragraf 2.3 dan 2.4 justru memperkuat mitos bahwa

transaksi-transaksi yang melibatkan intangible, kecenderungannya adalah menggunakan

metode pembagian laba, mengingat beberapa karakteristik intangible sebagaimana

disebutkan dibawah ini:

Namun paragraf 2.5 mengingatkan bahwa tidak tepat untuk langsung menggunakan metode

laba transaksional hanya semata-mata bahwa data terkait transaksi tidak terkendali

(uncontrolled transactions) tidak atau sulit untuk diperoleh atau tidak lengkap dalam satu

atau lebih hal.

Paragraf 2.6 menyebutkan bahwa metode-metode berdasarkan laba dapat diterima hanya

sepanjang metode-metode tersebut compatible dengan pasal 9 dari OECD Model Tax

Convention.

Sebagaimana dijelaskan dalam Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD

Project, yang diterbitkan oleh OECD pada bulan Januari 2011, OECD telah menyelesaikan

Page 14: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 14

dalam tahun 2010 suatu revisi besar atas Transfer Pricing Guidelines (disingkat TPG),

termasuk suatu revisi panduan atas kesebandingan dan metode pembagian laba, yang

tercakup dalam Bab I – III, serta suatu pengembangan panduan baru atas aspek transfer

pricing dari restrukturisasi bisnis di dalam bab tersendiri, yaitu Bab IX. Dalam proses revisi

TPG tahun 2010 tersebut, isu-isu transfer pricing terkait intangibles diidentifikasi sebagai

suatu area yang menjadi perhatian bagi pihak pemerintah dan wajib pajak, terkait panduan

internasional yang tidak memadai, terutama terkait dengan definisi, identifikasi dan valuasi

dari intangible untuk tujuan transfer pricing.

Bab VI TPG memuat pertimbangan-pertimbangan khusus untuk intangible property dan Bab

VIII memuat panduan untuk cost contribution arrangements. Kedua bab ini dikembangkan

pada tahun 1995 – 1997 dan dengan demikian diperlukan pemutakhiran untuk dapat

menjawab semua isu-isu transfer pricing yang berkembang dalam transaksi-transaksi bisnis

saat ini dan praktik-praktik transfer pricing.

Banyak isu yang dibicarakan dalam revisi tahun 2010 atas TPG adalah relevan untuk

transaksi-transaksi intangibles, terutama Bab II yang berisi panduan untuk bagaimana

memilih metode transfer pricing yang paling tepat untuk situasi kasus tertentu (paragraf 2.1

– 2.11) dan panduan yang diperluas terkait penerapan metode bagi laba dimana kedua

belah pihak dalam suatu transaksi memberikan kontribusi intangible yang unik dan bernilai

(paragraf 2.108 – 2.145). Bab IX memberikan panduan baru terkait risiko (paragraf 9.10 –

9.47) dan pengalihan intangible (paragraf 9.80 -9.92). Panduan lainnya dapat ditemukan

pada Bab II terkait dengan penerapan metode margin neto transaksional, Bab III terkait

dengan analisa kesebandingan, dan dalam Bab IX terkait restrukturisasi bisnis.

Namun demikian, sejumlah isu spesifik terkait intangible tetap belum terjawab dalam revisi

tahun 2010 atas TPG. Terdapat kesulitan signifikan saat ini untuk pihak wajib pajak dan

pemerintah, tentang perlakuan intangibles untuk tujuan transfer pricing. Kesulitan ini

mengarah pada banyaknya sengketa di bidang transfer pricing yang cukup rumit dan

melibatkan jumlah yang signifikan, serta timbulnya risiko pemajakan ganda. OECD percaya

bahwa perlu dikembangkan suatu panduan internasional berbasis kesepakatan atau

consensus dan lebih jelas (dibandingkan dengan apa yang sudah dituangkan dalam TPG

saat ini) terhadap aspek transfer pricing atas intangibles akan dapat membatasi

ketidakpastian dan risiko-risiko di atas. Committee on Fiscal Affairs memutuskan untuk

memulai pada tahun 2011 suatu projek baru terkait aspek transfer pricing dari intangibles.

Diharapkan ini akan mengarah kepada pemutakhiran Bab VI TPG dan kemungkinan Bab

VIII.

Page 15: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 15

Pekerjaan ini akan dilaksanakan oleh Working Party No. 6 dari Committee on Fiscal Affairs

on the Taxation of Multinational Enterprises, melalui Special Session on the Transfer Pricing

Aspects of Intangibles.

Pada dasarnya proyek ini tidak bermaksud untuk membuka kembali isu-isu yang telah

diselesaikan pada revisi tahun 2010 atas TPG, tetapi lebih kepada mengembangkan

panduan atas isu-isu yang spesifik terkait intangibles yang memang perlu diperbaharui.

Proyek ini akan terkait dengan pemeriksaan atas aspek transfer pricing dari transaksi-

transaksi yang melibatkan intangibles antara perusahaan-perusahaan berelasi (associated

enterprises), yaitu dalam konteks Artikel 9 dari OECD Model Tax Convention.

Area-area spesifik teridentifikasi untuk pekerjaan lebih lanjut mencakup:

1. Kerangka analisa isu-isu transfer pricing terkait intangibles

2. Aspek definisi dari intangibles

3. Kategori spesifik dari intangibles mencakup aktivitas R&D, perbedaan antara transfer

intangible dengan jasa (service), marketing intangibles, intangibles lainnya dan atribut

bisnis

4. Transfer intangible, mencakup identifikasi suatu transfer intangible dan bentuknya, isu-

isu re-karakteristik

5. Hak suatu perusahaan untuk turut serta dalam bagi imbal hasil dari suatu intangible

yang tidak ia miliki (own).

6. Cost contribution arrangement.

7. Penilaian, mencakup panduan umum untuk pemilihan metode transfer pricing yang

paling tepat, dari penerapan lima metode yang diakui OECD, dan untuk kesebandingan;

metode penilaian keuangan; agregasi/penggabungan intangible (unit of account vs unit

of valuation?) untuk tujuan penilaian; penilaian yang sangat tidak pasti, dan aspek-

aspek lainnya.

Diharapkan bahwa dapat dikembangkan suatu kerangka untuk menganalisa isu-isu transfer

pricing terkait intangible, yang kurang lebih mirip dengan paragraf 3.4 TPG.

Pada bulan pertengahan tahun 2012, Organization for Economic Co-Operation and

Development (OECD) Centre for Tax Policy and Administration telah menerbitkan suatu draf

untuk diskusi (Discussion Draft) berjudul “Revision of the Special Considerations for

Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and Related Provisions”

(disingkat DD Revisi). Dibandingkan dengan Bab VI OECD Transfer Pricing Guidelines for

Multinational Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) (disingkat TPG) terkait

“Special Considerations for Intangible Property” (Pertimbangan Khusus untuk Properti Tak

Page 16: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 16

Berwujud) sebanyak 14 halaman, maka draf diskusi sebanyak 60 halaman, tampak ada

perkembangan yang signifikan terkait topik ini.

Di sini penulis ingin membagi tulisan menjadi tiga bagian:

Bagian pertama, akan membicarakan latar belakang munculnya DD Revisi, yang akan

banyak membicarakan isi dokumen OECD berjudul “Transfer Pricing and Intangibles: Scope

of the OECD Project”, yang diterbitkan pada bulan Januari 2011. Dokumen Januari 2011

menurut penulis perlu didiskusikan karena dalam dokumen termuat hal-hal yang menjadi

perhatian OECD dan bagian-bagian mana dalam TPG yang akan di-update di kemudian hari

atau menjadi masukan dari para komentator mengenai ruang lingkup (scoping paper).

Bagian kedua dan ketiga, akan membicarakan isi DD Revisi.

Tulisan pertama ini adalah yang dimuat dalam ITR Edisi _______.

Pasal 9 dari OECD Model Tax Convention11 mengatur soal Associated Enterprises,

Dimana:

a) Suatu perusahaan dari a Contracting State turut berpartisipasi secara langsung atau

tidak langsung dalam manajemen, pengendalian atau permodalan dari suatu

perusahaan dari Negara Yang Memiliki Kontrak Lainnya, atau

b) Orang-orang yang sama turut berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung

dalam manajemen, pengendalian atau permodalan dari suatu perusahaan dari

Negara yang Memiliki Kontrak dan suatu perusahaan yang ada di Negara Yang

Memiliki Kontrak Lainnya.

Dan dalam kondisi-kondisi kejadian yang dibuat atau di-impose diantara dua perusahaan

dalam hubungan komersial atau keuangan yang akan berbeda dari situasi yang akan terjadi

diantara perusahaan-perusahaan independen, maka laba manapun yang, tetapi karena

kondisi tersebut, akan terjadi pada salah satu perusahaan-perusahaan, tetapi, karena

alasan kondisi-kondisi tersebut, tidak terjadi, dapat termasuk pada laba dari perusahaan

tersebut, dan dipajaki.

Ketika suatu Negara Yang Memiliki Kontrak memasukkan laba dari suatu perusahaan dari

Negara tersebut dan dipajaki, - laba

11

xxx

Page 17: Transfer pricing - harta aset tak berwujud

www.futurumcorfinan.com

Page 17

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have

been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising

from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is

not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your

advisors for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the

authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved