Teori DSS

18
PENDAHULUAN Infeksi virus Dengue disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue tersebut terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak. Sampai sekarang penyakit akibat virus Dengue ini masih menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap darah. Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat berupa keadaan asimptomatik hingga menimbulkan kematian. Manifestasi simptomatik dapat berupa demam yang tidak terdiferensiasikan, Demam Dengue (DD), dan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat disertai syok (DSS) atau tanpa syok. Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan salah satu keadaan darurat medik. Tingginya angka kematian akibat DSS mengharuskan semua tenaga medis untuk dapat mengenali penyakit ini dengan cepat sehingga dapat ditalaksana yang dengan cepat dan tepat. Definisi

description

teori

Transcript of Teori DSS

Page 1: Teori DSS

PENDAHULUAN

Infeksi virus Dengue disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae,

mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, den-4 melalui perantara gigitan

nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue tersebut terdapat di Indonesia, den-3

merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat

menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.

Sampai sekarang penyakit akibat virus Dengue ini masih menimbulkan masalah

kesehatan di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang

terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan

curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap darah.

Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat berupa keadaan asimptomatik hingga

menimbulkan kematian. Manifestasi simptomatik dapat berupa demam yang tidak

terdiferensiasikan, Demam Dengue (DD), dan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat

disertai syok (DSS) atau tanpa syok.

Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan salah satu keadaan darurat medik.

Tingginya angka kematian akibat DSS mengharuskan semua tenaga medis untuk dapat

mengenali penyakit ini dengan cepat sehingga dapat ditalaksana yang dengan cepat dan tepat.

Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu manifestasi simtomatik dari

infeksi virus dengue yang ditandai dengan demam tinggi 2-7 hari, hepatomegali, gangguan

hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage). Biasanya DBD diawali dengan

peningkatan mendadak suhu tubuh diikuti dengan kemerahan pada wajah dan gejala-gejala

lain yang menyerupai demam dengue, seperti anoreksi, muntah, sakit kepala dan nyeri otot.

Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah sindrom yang terjadi pada penderita Demam

Berdarah Dengue yang ditandai dengan syok/renjatan. Menurut klasifikasi WHO (1975),

DSS merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue

dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.

Page 2: Teori DSS

Epidemiologi

Sekitar 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan

berakhir dengan kematian, terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat. Dari data

yang diperoleh dari Kementrian Kesehatan, hingga tahun 2000 kasus DBD di Indonesia telah

mencapai 19.031 kasus yang tercatat, sekitar 12.255 kasus mengalami renjatan, dan 336 di

antara penderita tersebut meninggal dunia. Sementara itu jumlah penderita DBD per tanggal

1 Januari – 29 Februari 2004 di DKI Jakarta sebanyak 6.431 orang, sekitar 4.184 yang

mengalami renjatan dan 58 diantaranya meninggal dunia.

Etiologi

Infeksi virus Dengue disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae,

mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, den-4 melalui perantara gigitan

nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue tersebut terdapat di Indonesia, den-3

merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.

Virus dengue ditularkan oleh nyamuk dari famili Stegomyia. Vektor utamanya adalah

nyamuk Aedes aegypti yang menggigit pada siang hari. Keempat tipe virus telah ditemukan

pada nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi secara alamiah. Virus dengue ditemukan pula

pada nyamuk Aedes albopictus dan Aedes scuttelaris di Pasifik. Spesies ini berkembang biak

dalam air yang terperangkap oleh tumbuh-tumbuhan. Aedes albopictus juga sering

berkembang biak dalam potongan rumpun bambu.

Morfologi dan daur hidup nyamuk vektor DBD :

1. Jentik berukuran 0,5-1 cm dan selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya berulang-

ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada waktu istirahat posisinya

hampir selalu tegak lurus dengan permukaan air.

2. Telur berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti gambaran kain

kasa.

3. Nyamuk dewasa berukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada

bagian badan, kaki dan sayap.

Page 3: Teori DSS

Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti

dan Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum

tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan

makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut

akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Sampai sekarang, patogenesis DBD masih belum diketahui dengan jelas dan banyak

teori dikemukakan oleh para peneliti.

Teori Antigen Antibodi

Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi,

membentuk virus-antibodi kompleks (kompleks imun) yang akan mengaktivasi komplemen,

aktivasi ini akan menghasilkan anafilaktoksin C3A dan C5A yang merupakan mediator yang

mempunyai efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan

prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (hipovolemik syok) dan perdarahan.

Teori Imunopatologi

Bahwa sesudah mendapat infeksi virus dengue dari salah satu serotipe maka akan

terjadi kekebalan terhadap virus tersebut seumur hidup, tetapi tidak melindungi terhadap

serotip virus dengue lain. Teori ini berkembang menjadi Teori Infeksi Sekunder sebagai

akibat masuknya virus ”heterologus” yang berikutnya. Kalau seseorang mendapat infeksi

primer dengan satu jenis virus kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis

virus lain, maka risiko besar akan terjadi risiko berat.

Teori Infection Enhancing Antibody

Apabila dalam tubuh hospes ditemukan antibodi yang spesifik untuk satu jenis virus

maka antibodi itu dapat mencegah penyakit tersebut, tetapi bila dalam orang tersebut terdapat

antibodi yang tidak dapat menetralisir virus justru keadaan ini akan sangat berbahaya. Russel

Page 4: Teori DSS

mendapat kedua tipe antibodi tersebut, yaitu pertama adalah antibodi yang dapat

menetralisasi virus secara spesifik, sedangkan yang kedua adalah antibodi nonnetralisasi yang

dapat memacu replikasi virus.

Teori Infection Enhancing Antibody berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear

merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi. Antigen dengue lebih banyak didapat pada

sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini, antibodi nonnetralisasi

berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat

pada sel makrofag yang menetap di jaringan.

Makrofag yang dilekati antibodi nonnetralisasi, akan memiliki sifat opsonisasi,

internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif

dan akan melepaskan sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi diantaranya IL-

1, IL-6, TNF-α dan Platelet Activating Factor (PAF). Bahan-bahan mediator tersebut akan

mempengaruhi sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan

mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Teori Mediator

Teori ini didasarkan pada beberapa hal:

1. Suatu kelanjutan dari teori enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus

mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai

mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat infeksius, sebagai

regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai aktivator

sel inflamasi non spesifik dan sebagai stimulator pertumbuhan dan diferensiasi leukosit

matur. Sitokin diproduksi oleh banyak sel terutama makrofag mononuklear dimana dalam

keadaan normal sitokin tidak terbentuk sehingga tidak dijumpai dalam plasma.

2. Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.

Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat dan tidak ada gejala sisa. Kejadian

tersebut menimbulkan pemikiran bahwa yang dapat berprilaku seperti itu adalah

mediator.

3. Dari kalangan ahli syok bakterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septik

banyak berhubungan dengan mediator.

Page 5: Teori DSS

Peran Limfosit

Secara umum infeksi virus yang masuk ke makrofag akan mendapat tanggapan sel T

limfosit. Kemudian peptide serotip spesifik virus akan dibawa oleh MHC kelas I lalu

ditampilkan di permukaan virus.

Penampilan peptida tersebut menyebabkan sel Limfosit T, CD8 mengenal bahwa di

dalam makrofag tersebut terdapat virus. Kemudian Limfosit T akan teraktivasi sebagai sel T

sitolitik, yang berdampak semua sel yang mengandung virus dihancurkan selain itu sel T

sitolitik ini mensekresi IFN-γ dan TNF-α.

Teori Apoptosis

Teori ini berdasarkan pada hasil penelitian apoptosis yang banyak dikerjakan di

pelbagai penyakit. Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang merupakan

reaksi terhadap berbagai stimulan. Proses tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu

kerusakan inti sel, kemudian perubahan bentuk sel, dan perubahan permeabilitas membran

sel. Dan akibatnya, akan terjadi fragmentasi DNA sel, vakuolisasi sitoplasma dan pengikatan

granulasi membran plasma menjadi DNA subseluler yang berisi badan-badan apoptotik.

Pada kasus DBD yang berat terdapat kerusakan hepar dan ditemukan councilman

bodies, yang merupakan petunjuk adanya proses apoptosis pada sel hepar.

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya DSS adalah terjadinya peninggian permeabilitas dinding

pembuluh darah yang mendadak sehingga terjadi perembesan plasma dan elektrolit melalui

endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke ruang interstisial sehingga menyebabkan

hipotensi, hemokonsentrasi, dan efusi cairan ke rongga serosa.

Diagnosis

Manifestasi klinis utama pada DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan baik

yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. Fenomena patofisiologi utama yang

Page 6: Teori DSS

menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari Demam Dengue (DD) adalah

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

trombositopenia dan diatesis hemoragik.

Untuk menegakkan diagnosis klinik DBD, WHO (1986) menentukan beberapa

patokan gejala klinik dan laboratorium yaitu :

1. Demam tinggi, mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.

2. Manifestasi perdarahan

a.Uji torniquet positif

b. Perdarahan spontan berbentuk petekie, ekimosis, atau purpura,

perdarahan gusi, hematemesis dan melena.

3. Hepatomegali

4. Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg), atau nadi tak

teraba, kulit dingin dan anak gelisah.

Laboratorium

1. Trombositopeni (<100.000 sel/ml)

2. Hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalessen)

Pembagian derajat DBD menurut WHO (1986), yaitu :

1. Derajat 1

Demam dan uji tourniquet positif.

2. Derajat 2

Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau perdarahan lainnya.

3. Derajat 3

Demam, perdarahan spontan, dengan atau tanpa hepatomegali dan ditemukan

gejala kegagalan sirkulasi; meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun

(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, ekstremitas dingin dan anak gelisah.

4. Derajat 4

Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Page 7: Teori DSS

Manifestasi klinis dari DSS antara lain:

1. Timbul renjatan pada DBD pada saat demam turun, yaitu hari ke 3 sampai hari ke 7,

bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke 10.

2. Manifestasi klinis renjatan pada anak terdiri dari:

a. Kulit pucat, dingin, dan lembab, terutama pada ujung kaki, tangan, dan

hidung.

b. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah. Lambat laun kesadarannya menurun

menjadi apatis, sopor, dan koma.

c. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya.

d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.

e. Tekanan sistolik menurun menjadi 90 mmHg atau kurang.

f. Oliguria sampai anuria.

Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit terasa

lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan halus. Anak tampak lesu,

gelisah dan secara cepat masuk ke dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di

daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat

seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam

biasanya mempunyai prognosis buruk. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang

dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Selanjutnya, pasien dapat

mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak

dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis

metabolik, hipoksia dan perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.

Diagnosis Serologis

1. Uji Hambatan Hemaglutinasi

Pada umumnya, penyakit yang disebabkan virus dapat dikonfirmasikan dengan

pemeriksaan uji hambatan hemaglutinasi (HI test).

2. Uji Elisa Antidengue IgM dan IgG

Uji ini dapat mengukur titer antibodi IgM terhadap virus dengue. IgM antidengue timbul

pada infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibodi ini menunjukkan adanya infeksi

dengue.

Page 8: Teori DSS

Tabel. Tanda Klinis Dan Laboratoris Infeksi Dengue

Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DSS adalah resusitasi cairan intravena sesegera mungkin dengan

tujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan sirkulasi yang adekuat selama periode

peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah. Cairan intravena diperlukan apabila anak

terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan

minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok.

Perawatan dan pemantauan yang seksama dibutuhkan untuk mencegah kelebihan

cairan yang dapat menimbulkan komplikasi. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting

yang perlu dilakukan adalah pemantauan terhadap klinis maupun laboratoris. Proses

kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4

hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang

dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi

Page 9: Teori DSS

tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian

cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan

cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif juga diperlukan.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia

yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak

mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis,

dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol serta obat simptomatis untuk mengatasi

keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya

dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas

(lambung/duodenum).

Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang

intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun

koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada

terapi DBD, termasuk DSS karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah

didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam

penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif

mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang

minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.

Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian

larutan Ringer Laktat secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan

volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh

kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3 sehingga dari 20 ml bolus

tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan

15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat

beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga

terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam

temperatur ruang dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki keunggulan yaitu pada jumlah

volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar

dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini,

diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih

Page 10: Teori DSS

stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni

risiko anafilaksis, koagulopati dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid

terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh hetastarch).

Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada

pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan

memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.

Pemantauan kadar hematokrit

Pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi

masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih

perlu ditambah. Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital sudah membaik

dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan

kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.

Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi

hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan

untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun. Jumlah urin 1-2

ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada

umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.

Koreksi gangguan metabolik dan asidosis

Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh

karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya diperiksa secara teratur terutama

pada kasus dengan renjatan berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya

rendah, terutama pada kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak.

Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.

Pemberian oksigen

Page 11: Teori DSS

Terapi dengan oksigen 2 l/menit dengan menggunakan masker harus selalu diberikan

pada semua pasien syok.

Transfusi darah dan trombosit

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena

diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk

mengganti volume massa sel darah merah agar menjadi normal. Transfusi trombosit hanya

diberikan pada pasien dengan perdarahan yang berat seperti muntah darah, mimisan yang

terus menerus atau perdarahan dari saluran cerna bawah berupa BAB dengan darah segar.

Jumlah trombosit yang rendah bahkan sampai dibawah 20.000 tanpa pendarahan yang

signifikan bukan merupakan indikasi untuk diberikan trombosit sehingga kadar trombosit

yang rendah saja tidak memerlukan transfusi trombosit.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu

makan membaik, tampak perbaikan klinis, hematokrit stabil selama 3 hari setelah syok

teratasi, jumlah trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat serta tidak ditemui distres

pernafasan (akibat efusi pleura).

Page 12: Teori DSS

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Nelson Ilmu

Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Standar

Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

2004.hal 99-108.

3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam :

Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 2000.hal 419-27.

4. Rampengan, TH. Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Dalam :

Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Edisi 2. Jakarta: Penerbitan Buku Kedokteran

EGC. 2008.hal 128-47.

5. World Health Organozation. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue

Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood

Illness. Switzerland: Department of Child and Adolescent Health and

Development. 2005.