Teori DSS
description
Transcript of Teori DSS
PENDAHULUAN
Infeksi virus Dengue disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae,
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, den-4 melalui perantara gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue tersebut terdapat di Indonesia, den-3
merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat
menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.
Sampai sekarang penyakit akibat virus Dengue ini masih menimbulkan masalah
kesehatan di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang
terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan
curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap darah.
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat berupa keadaan asimptomatik hingga
menimbulkan kematian. Manifestasi simptomatik dapat berupa demam yang tidak
terdiferensiasikan, Demam Dengue (DD), dan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat
disertai syok (DSS) atau tanpa syok.
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan salah satu keadaan darurat medik.
Tingginya angka kematian akibat DSS mengharuskan semua tenaga medis untuk dapat
mengenali penyakit ini dengan cepat sehingga dapat ditalaksana yang dengan cepat dan tepat.
Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu manifestasi simtomatik dari
infeksi virus dengue yang ditandai dengan demam tinggi 2-7 hari, hepatomegali, gangguan
hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage). Biasanya DBD diawali dengan
peningkatan mendadak suhu tubuh diikuti dengan kemerahan pada wajah dan gejala-gejala
lain yang menyerupai demam dengue, seperti anoreksi, muntah, sakit kepala dan nyeri otot.
Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah sindrom yang terjadi pada penderita Demam
Berdarah Dengue yang ditandai dengan syok/renjatan. Menurut klasifikasi WHO (1975),
DSS merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue
dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Epidemiologi
Sekitar 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan
berakhir dengan kematian, terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat. Dari data
yang diperoleh dari Kementrian Kesehatan, hingga tahun 2000 kasus DBD di Indonesia telah
mencapai 19.031 kasus yang tercatat, sekitar 12.255 kasus mengalami renjatan, dan 336 di
antara penderita tersebut meninggal dunia. Sementara itu jumlah penderita DBD per tanggal
1 Januari – 29 Februari 2004 di DKI Jakarta sebanyak 6.431 orang, sekitar 4.184 yang
mengalami renjatan dan 58 diantaranya meninggal dunia.
Etiologi
Infeksi virus Dengue disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae,
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, den-4 melalui perantara gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue tersebut terdapat di Indonesia, den-3
merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk dari famili Stegomyia. Vektor utamanya adalah
nyamuk Aedes aegypti yang menggigit pada siang hari. Keempat tipe virus telah ditemukan
pada nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi secara alamiah. Virus dengue ditemukan pula
pada nyamuk Aedes albopictus dan Aedes scuttelaris di Pasifik. Spesies ini berkembang biak
dalam air yang terperangkap oleh tumbuh-tumbuhan. Aedes albopictus juga sering
berkembang biak dalam potongan rumpun bambu.
Morfologi dan daur hidup nyamuk vektor DBD :
1. Jentik berukuran 0,5-1 cm dan selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya berulang-
ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada waktu istirahat posisinya
hampir selalu tegak lurus dengan permukaan air.
2. Telur berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti gambaran kain
kasa.
3. Nyamuk dewasa berukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan, kaki dan sayap.
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan
makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut
akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Sampai sekarang, patogenesis DBD masih belum diketahui dengan jelas dan banyak
teori dikemukakan oleh para peneliti.
Teori Antigen Antibodi
Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi,
membentuk virus-antibodi kompleks (kompleks imun) yang akan mengaktivasi komplemen,
aktivasi ini akan menghasilkan anafilaktoksin C3A dan C5A yang merupakan mediator yang
mempunyai efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan
prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (hipovolemik syok) dan perdarahan.
Teori Imunopatologi
Bahwa sesudah mendapat infeksi virus dengue dari salah satu serotipe maka akan
terjadi kekebalan terhadap virus tersebut seumur hidup, tetapi tidak melindungi terhadap
serotip virus dengue lain. Teori ini berkembang menjadi Teori Infeksi Sekunder sebagai
akibat masuknya virus ”heterologus” yang berikutnya. Kalau seseorang mendapat infeksi
primer dengan satu jenis virus kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis
virus lain, maka risiko besar akan terjadi risiko berat.
Teori Infection Enhancing Antibody
Apabila dalam tubuh hospes ditemukan antibodi yang spesifik untuk satu jenis virus
maka antibodi itu dapat mencegah penyakit tersebut, tetapi bila dalam orang tersebut terdapat
antibodi yang tidak dapat menetralisir virus justru keadaan ini akan sangat berbahaya. Russel
mendapat kedua tipe antibodi tersebut, yaitu pertama adalah antibodi yang dapat
menetralisasi virus secara spesifik, sedangkan yang kedua adalah antibodi nonnetralisasi yang
dapat memacu replikasi virus.
Teori Infection Enhancing Antibody berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear
merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi. Antigen dengue lebih banyak didapat pada
sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini, antibodi nonnetralisasi
berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat
pada sel makrofag yang menetap di jaringan.
Makrofag yang dilekati antibodi nonnetralisasi, akan memiliki sifat opsonisasi,
internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif
dan akan melepaskan sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi diantaranya IL-
1, IL-6, TNF-α dan Platelet Activating Factor (PAF). Bahan-bahan mediator tersebut akan
mempengaruhi sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan
mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Teori Mediator
Teori ini didasarkan pada beberapa hal:
1. Suatu kelanjutan dari teori enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus
mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai
mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat infeksius, sebagai
regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai aktivator
sel inflamasi non spesifik dan sebagai stimulator pertumbuhan dan diferensiasi leukosit
matur. Sitokin diproduksi oleh banyak sel terutama makrofag mononuklear dimana dalam
keadaan normal sitokin tidak terbentuk sehingga tidak dijumpai dalam plasma.
2. Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.
Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat dan tidak ada gejala sisa. Kejadian
tersebut menimbulkan pemikiran bahwa yang dapat berprilaku seperti itu adalah
mediator.
3. Dari kalangan ahli syok bakterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septik
banyak berhubungan dengan mediator.
Peran Limfosit
Secara umum infeksi virus yang masuk ke makrofag akan mendapat tanggapan sel T
limfosit. Kemudian peptide serotip spesifik virus akan dibawa oleh MHC kelas I lalu
ditampilkan di permukaan virus.
Penampilan peptida tersebut menyebabkan sel Limfosit T, CD8 mengenal bahwa di
dalam makrofag tersebut terdapat virus. Kemudian Limfosit T akan teraktivasi sebagai sel T
sitolitik, yang berdampak semua sel yang mengandung virus dihancurkan selain itu sel T
sitolitik ini mensekresi IFN-γ dan TNF-α.
Teori Apoptosis
Teori ini berdasarkan pada hasil penelitian apoptosis yang banyak dikerjakan di
pelbagai penyakit. Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang merupakan
reaksi terhadap berbagai stimulan. Proses tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu
kerusakan inti sel, kemudian perubahan bentuk sel, dan perubahan permeabilitas membran
sel. Dan akibatnya, akan terjadi fragmentasi DNA sel, vakuolisasi sitoplasma dan pengikatan
granulasi membran plasma menjadi DNA subseluler yang berisi badan-badan apoptotik.
Pada kasus DBD yang berat terdapat kerusakan hepar dan ditemukan councilman
bodies, yang merupakan petunjuk adanya proses apoptosis pada sel hepar.
Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya DSS adalah terjadinya peninggian permeabilitas dinding
pembuluh darah yang mendadak sehingga terjadi perembesan plasma dan elektrolit melalui
endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke ruang interstisial sehingga menyebabkan
hipotensi, hemokonsentrasi, dan efusi cairan ke rongga serosa.
Diagnosis
Manifestasi klinis utama pada DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan baik
yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. Fenomena patofisiologi utama yang
menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari Demam Dengue (DD) adalah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Untuk menegakkan diagnosis klinik DBD, WHO (1986) menentukan beberapa
patokan gejala klinik dan laboratorium yaitu :
1. Demam tinggi, mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan
a.Uji torniquet positif
b. Perdarahan spontan berbentuk petekie, ekimosis, atau purpura,
perdarahan gusi, hematemesis dan melena.
3. Hepatomegali
4. Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg), atau nadi tak
teraba, kulit dingin dan anak gelisah.
Laboratorium
1. Trombositopeni (<100.000 sel/ml)
2. Hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalessen)
Pembagian derajat DBD menurut WHO (1986), yaitu :
1. Derajat 1
Demam dan uji tourniquet positif.
2. Derajat 2
Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau perdarahan lainnya.
3. Derajat 3
Demam, perdarahan spontan, dengan atau tanpa hepatomegali dan ditemukan
gejala kegagalan sirkulasi; meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, ekstremitas dingin dan anak gelisah.
4. Derajat 4
Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Manifestasi klinis dari DSS antara lain:
1. Timbul renjatan pada DBD pada saat demam turun, yaitu hari ke 3 sampai hari ke 7,
bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke 10.
2. Manifestasi klinis renjatan pada anak terdiri dari:
a. Kulit pucat, dingin, dan lembab, terutama pada ujung kaki, tangan, dan
hidung.
b. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah. Lambat laun kesadarannya menurun
menjadi apatis, sopor, dan koma.
c. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya.
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e. Tekanan sistolik menurun menjadi 90 mmHg atau kurang.
f. Oliguria sampai anuria.
Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit terasa
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan halus. Anak tampak lesu,
gelisah dan secara cepat masuk ke dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di
daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat
seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam
biasanya mempunyai prognosis buruk. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Selanjutnya, pasien dapat
mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak
dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis
metabolik, hipoksia dan perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.
Diagnosis Serologis
1. Uji Hambatan Hemaglutinasi
Pada umumnya, penyakit yang disebabkan virus dapat dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan uji hambatan hemaglutinasi (HI test).
2. Uji Elisa Antidengue IgM dan IgG
Uji ini dapat mengukur titer antibodi IgM terhadap virus dengue. IgM antidengue timbul
pada infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibodi ini menunjukkan adanya infeksi
dengue.
Tabel. Tanda Klinis Dan Laboratoris Infeksi Dengue
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DSS adalah resusitasi cairan intravena sesegera mungkin dengan
tujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan sirkulasi yang adekuat selama periode
peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah. Cairan intravena diperlukan apabila anak
terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan
minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok.
Perawatan dan pemantauan yang seksama dibutuhkan untuk mencegah kelebihan
cairan yang dapat menimbulkan komplikasi. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting
yang perlu dilakukan adalah pemantauan terhadap klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4
hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang
dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi
tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan
cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif juga diperlukan.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia
yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung/duodenum).
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DBD, termasuk DSS karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang
minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian
larutan Ringer Laktat secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan
volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh
kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3 sehingga dari 20 ml bolus
tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan
15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat
beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki keunggulan yaitu pada jumlah
volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar
dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini,
diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni
risiko anafilaksis, koagulopati dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid
terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh hetastarch).
Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada
pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan
memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.
Pemantauan kadar hematokrit
Pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi
masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih
perlu ditambah. Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital sudah membaik
dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi
hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan
untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun. Jumlah urin 1-2
ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.
Koreksi gangguan metabolik dan asidosis
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh
karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya diperiksa secara teratur terutama
pada kasus dengan renjatan berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya
rendah, terutama pada kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak.
Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.
Pemberian oksigen
Terapi dengan oksigen 2 l/menit dengan menggunakan masker harus selalu diberikan
pada semua pasien syok.
Transfusi darah dan trombosit
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
mengganti volume massa sel darah merah agar menjadi normal. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien dengan perdarahan yang berat seperti muntah darah, mimisan yang
terus menerus atau perdarahan dari saluran cerna bawah berupa BAB dengan darah segar.
Jumlah trombosit yang rendah bahkan sampai dibawah 20.000 tanpa pendarahan yang
signifikan bukan merupakan indikasi untuk diberikan trombosit sehingga kadar trombosit
yang rendah saja tidak memerlukan transfusi trombosit.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, tampak perbaikan klinis, hematokrit stabil selama 3 hari setelah syok
teratasi, jumlah trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat serta tidak ditemui distres
pernafasan (akibat efusi pleura).
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Standar
Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2004.hal 99-108.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 2000.hal 419-27.
4. Rampengan, TH. Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Dalam :
Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Edisi 2. Jakarta: Penerbitan Buku Kedokteran
EGC. 2008.hal 128-47.
5. World Health Organozation. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue
Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood
Illness. Switzerland: Department of Child and Adolescent Health and
Development. 2005.