TBC 1

20
DIAGNOSIS TBC Penyebab Tuberkulosis (TB) adalah Mycrobacterium tubercolosis, basil atau kuman yang berbentuk batan, dan mempunyai sifat tahan terhadap pewarnaan asam dan alkohol. Menenukan kuman BTA ini, menjadi dasar yang sangat penting dalam proses diagnosis. Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya. Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan BTA ini. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikit 2 dari 3

Transcript of TBC 1

Page 1: TBC 1

DIAGNOSIS TBC

Penyebab Tuberkulosis (TB) adalah Mycrobacterium tubercolosis, basil atau kuman yang berbentuk batan, dan mempunyai sifat tahan terhadap pewarnaan asam dan alkohol. Menenukan kuman BTA ini, menjadi dasar yang sangat penting dalam proses diagnosis.

Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya. Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan BTA ini. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu.Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil, dan penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka ulangi pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni kalau dalam pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka yang bersangkutan adakah positif menderita TB. Namun, apabila dahak

Page 2: TBC 1

negatif, maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila hasil radiologi mendukung TB dianggap sebagai penderita TB dengan BTA negatif, radiologi positif. Apabila baik radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak negatif, maka yang bersangkutan bukan TB.Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang dewasa, tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TB pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala seperti:

1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7 hari.3. Terdapat gejala umum TB.

Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan tidak naik

dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.2. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan memadai.3. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat malam, tanpa

sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas bagian atas yang akut, malaria, tipus, dan lain-lain.

4. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

5. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.6. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak sembuh dengan

pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan adanya tanda-tanda cairan abdomen.

Tanda-tanda spesifik lain, tergantung bagian tubuh mana yang terserang TB, misalnya kalau kulit yang terkena akan tampak scrofloderma, sendi (lutut, panggul, punggung) akan terpincang-pincang jalanya, TB mata, TB otak, dan lain-lain.

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan ( yakni di dalam kulit), dengan tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau indurasi yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10 mm pada anak dengan gizi baik, dan pada anak-anak dengan gizi buruk.Sumber :Depkes RI, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, 2002Depkes RI, Survei Kesehatan Rumah Tangga, 2005

Page 3: TBC 1

KLASIFIKASI DAN GEJALA TBC

Berdasarkan pemeriksaan, Tuberkulosis (TB) dapat di klasifikasikan menjadi:

1. TB Paru BTA Positif

Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru menunjukan gambaran TB aktif.

2. TB Paru BTA NegatifApabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan pemeriksaan radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.

3. TB Ekstra ParuTB yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk pleura yaitu yang menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput otak, selaput jantung pericaditis, kelenjar limpa, kulit, persendian ginjal, saluran kencing, dan lain-lain.Berdasarkan keparahannya, maka TB dapat dikategorikan ke dalam tingkatan ringan, dan

berat. Yang termasuk berat pericarditis, milier, menginitis, TB usus.Gejala Sistemik TuberkulosisSecara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam. Demam berlangsung pada sore dan malam hari, disertai keringat dingin meskipun tanpa aktifitas, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi beberapa bulan kemudian seperti demam, influenza biasa, dan kemudian seolah-olah sembuh tidak ada demam.Gejala lain adalah malaise (perasaan lesu) bersifat berkepanjangan kronis, disertai rasa tidak fit, tidak enak badan, lemah, lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini terdapat baik pada TB Paru maupun TB yang menyerang organ lain.Gejala Respiratorik TuberkulosisAdapun gejala repiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung secara terus-menerus selama 3 mingggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila sudah melibatkan brochus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau sputum. Dahak ini kadang bersifat purulent.Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk berdarah. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita berobat ke dokter. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak nafas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula dengan rasa nyeri pada dada.Sumber :Achmadi, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, 2005Depkes RI, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, 2002

Page 4: TBC 1

TBC

Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculocis, yang

masih keluarga besar  genus Mycrobacterium. Dari anggota keluarga Mycrobacteriumyang diperkirakan lebih dari 30, hanya 3 yang dikenal bermasalah dengan kesehatan masyarakat. Mereka adalahMycrobacterium tuberculocis, M.bovisyang terdapat pada susu sapi yang tidak dimasak, dan M.leprae yang menyebabkan penyakit kusta.Mycrobacterium tuberculocis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga disebut dengan Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan lipid yang membuat lebih tahan asam. Bisa hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen terutama pada bagianapical posterior.

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi ada juga yang menyerang organ lain dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru dan menimbulkan kerusakan jaringan (nerkosis).

Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam rumah yang pengap dan lembab, udara dalam pesawat terbang, gedung pertemuan, dan kereta api berpendingin. Prosesnya tentu tidak secara langsung, menghirup udara bercampur bakteri TB lalu terinfeksi, lalu menderita TB, tidak demikian. Masih banyak variabel yang berperan dalam timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang mengandung kuman.

Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk, berbicara atau bersin, maka ribuan bakteri TB akan berhamburan bersama ”droplet” nafas penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka terbuka pada parunya.

Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup udara yang mengandung kuman tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultra violet. Cahaya matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau lingkungan.

Basil TB yang masuk ke dalam paru melalui bronkhus secara langsung dan pada manusia yang pertama kali kemasukan disebut primary infection. Infeksi pertama (primer) terjadi ketika seseorang pertama kali kemasukan basil atau kuman TB umumnya tidak terlihat gejalanya. Dan

Page 5: TBC 1

sebagian besar orang, berhasil menahan serangan kuman tersebut dengan cara melakukan isolasi dengan cara dimakanmacrophages, dan dikumpulkan pada kelenjar regional disekitar hilus paru. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang menyebabkan peradangan di dalam paru. Oleh sebab itu, kemudian disebut sebagai kompleks primer. Pada saat terjadi infeksi, kuman masuk hingga pembentukan kompleks primer sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat diketahui dengan reaksi positif pada tes tuberkulin.

Biasanya hal tersebut terjadi pada masa kanak-kanak dibawah umur 1 tahun. Apabila gagal melakukan containment kuman, maka kuman TB masuk melalui aliran darah dan berkembang, maka timbulah peristiwa klinik yang disebut TB milier. Bahkan kuman bisa dibawa aliran darah ke selaput otak yang disebut meningitis radang selaput otak yang sering menimbulkan sequele gejala sisa yang permanen.

Secara umum tubuh memiliki kemampuan perlawanan, kecuali pada penderita AIDS/HIV. Di Amerika 95% anak-anak tubuhnya mampu melawan kuman TB. Di negara-negara yang mempunyai status gizi buruk, angka tersebut jauh lebih besar. Ada ukuran Annual Risk of Tubercolosis Infection (ARTI). Indonesia tercatat memiliki ARTI sebesar 1-2%, sedangkan Eropa memiliki ARTI 0,1-0,3%. Pada ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 orang penduduk akan ada 10 orang yang tertular. Sebagian besar yang tertular belum tentu berkembang menjadi TB klinis, hanya sekitar 10% menjadi TB klinis. Dengan ARTI sebesar 1% maka diantara 100.000 penduduk, rata-rata 1000 orang penderita TB baru setiap tahunnya, dimana 100 orang diantaranya adalah BTA positif.

Sebagian besar dari kuman TB yang beredar dan masuk ke dalam paru orang-orang yang tertular mengalami fase atau menjadi dormant dan muncul bila kondisi tubuh mengalami penurunan kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS (Achmadi, 2005). TB secara teoritis menyerang berbagai organ, namun terutama menyerang organ paru. Sedangkan pada paru-paru tempat yang paling disukai atau tempat yang sering terkena adalah apical pasterior. Hal ini disebabkan karenaMycrobacterium tubercolocis bersifat aerobik, sedangkan pada daerah tersebut adalah bagian paru-paru yang banyak memiliki oksigen.

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

PengertianPenyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan /atau morfologi suatu organ dan/atau jar tubuh. (Achmadi’05)Lingkungan adalah segala sesuatu yg ada disekitarnya (benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta suasana yg terbentuk karena terjadi interaksi antara elemen-elemen di alam tersebut. (Sumirat’96)Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi penyakit.Situasi di Indonesia

Page 6: TBC 1

Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. ISPA dan diare yang merupakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakt di hampir seluruh Puskesmas di Indonesia.Menurut Profil Ditjen PP&PL thn 2006, 22,30% kematian bayi di Indonesia akibat pneumonia. sedangkan morbiditas penyakit diare dari tahun ketahun kian meningkat dimana pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk, lalu meningkat menjadi 301 per 1000 penduduk pada tahun 2000 dan 347 per 1000 penduduk pada tahun 2003. Pada tahun 2006 angka tersebut kembali meningkat menjadi 423 per 1000 penduduk.Paradigma Kesehatan LingkunganDalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan, maka perlu diketahui perjalanan penyakit atau patogenesis penyakit tersebut, sehingga kita dapat melakukan intervensisecara cepat dan tepat.Patogenesis penyakit dapat digambarkan seperti dibawah ini:

Sumber : Ahmadi, 2005Dengan melihat skema diatas, maka patogenesis penyakit dapat diuraikan menjadi 4 (empat) simpul, yakni :Simpul 1: Sumber PenyakitSumber penyakit adalah sesuatu yang secara konstan mengeluarkan agent penyakit. Agent penyakit merupakan komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit baik melalui kontak secara langsung maupun melalui perantara.Beberapa contoh agent penyakit:

Agent Biologis: Bakteri, Virus, Jamur, Protozoa, Amoeba, dllAgent Kimia : Logam berat (Pb, Hg), air pollutants (Irritant: O3, N2O, SO2, Asphyxiant: CH4, CO), Debu dan seratt (Asbestos, silicon), Pestisida, dllAgent Fisika : Radiasi, Suhu, Kebisingan, Pencahayaan, dll

Simpul 2: Komponen Lingkungan Sebagai Media Transmisi,Komponen lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit, karna dapat memindahkan agent penyakit. Komponen lingkungan yang lazim dikena sebagai media transmisi adalah:

- Udara- Air- Makanan- Binatang- Manusia / secara langsung

Page 7: TBC 1

Simpul 3: PendudukKomponen penduduk yang berperan dalam patogenesis penyakit antara lain:

- Perilaku- Status gizi- Pengetahuan- dll

Faktor Resiko   TBC Posted on Desember 24, 2008 by Prabu7 Votes

Dalam tulisan saya yang sebelumnya, sudah dibahas mengenai pengertian Tuberkulosis (TB), klasifikasi dan gejala TBC, serta diagnosis TBC, maka dalam tulisan ini saya mencoba membahas mengenai faktor resiko TBC

1. Faktor Umur.Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.

2. Faktor Jenis Kelamin.Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

3. Tingkat PendidikanTingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.

4. Pekerjaan

Page 8: TBC 1

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatankeluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.

5. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.

6. Kepadatan hunian kamar tidurLuas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3

Page 9: TBC 1

m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.

7. PencahayaanUntuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.

8. VentilasiVentilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.

9. Kondisi rumahKondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.

Page 10: TBC 1

10. Kelembaban udaraKelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

11. Status GiziHasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.

12. Keadaan Sosial EkonomiKeadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

13. PerilakuPerilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang

kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

Sumber:Achmadi, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, 2005Depkes RI, Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001Depkes RI, Pelatihan Manajemen Tuberkulosis di Kabupaten, 1997Soemirat, Kesehatan Lingkungan, 2000

Page 11: TBC 1

FASILITAS KESEHATAN

Kata Kunci: fasilitas kesehatan, Medis, Non Medis, Pertukaran Sosial dan HBM

Salah satu wujud kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap kesehatan masyarakat adalahdibangunnya sejumlah Puskesmas dan Posyandu. Pembangunan Puskesmas dimaksudkan sebagai salah satu lembaga pelayanan kesehatan yang terdepan. Artinya, sebagai lembaga yang diharapkanmenjadi ujung tombak kesehatan masyarakat akan dapat meningkatkan peranannya untuk melayanimasyarakat terbawah di berbagai daerah di Indonesia, termasuk juga masyarakat petani di wilayah Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Sementara itu, terdapat berbagai pilihan fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan masyarakat untuk mencari kesembuhan ketika mengalami sakit. Fasilitas dimaksud adalah pengobatan keluarga yang dilakukan sendiri misalnya minum jamu, fasilitas pengobatan Non Medis misalnya dengan pertolongan dukun atau alternatif lain serta fasilitas pertolongan Medis misalnya dengan pertolongan dokter atau bidan berdasarkan ilmu kedokteran. Konsep sakit dan penyakit dibentuk atas dasar nilai budaya setempat dengan demikian, akan terjadi berbagai variasi perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh struktur sosial setempat.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dilakukan keluarga petani dengan perspektif Pertukaran Sosial dan Health Belief Model. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dalam hal : kondisi ekonomi, pendidikan kepala keluarga, sikapterhadap pemeliharaan kesehatan, kekhawatiran terhadap penyakit dan dukungan lingkungan sosial dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan.

Juga menganalisis hubungan antara karakteristik individu penderita dalam hal: umur, jenis kelamin, jenis penyakit dan daya tahan tubuh dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan

Landasan teori untuk memahami perilaku masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan melalui kajian Pertukaran Sosial (Exchange Theory), Health Belief Model (HBM), Socio Behavioural Models Kroeger. Dalam Health Belief Model dinyatakan terdapat komponen yang mempengaruhi seseorang mengambil tindakan yaitu adanya ancaman, manfaat hasil, kepekaan yang dirasakan dan penghalang serta kepercayaan untuk melaksanakan tindakan.

Socio Behavioural Models Andersen telah dielaborasi oleh Kroeger, menyatakan ada 3 variabel yang berhubungan dengan penggunaan fasilitas penyembuhan seperti karakteristik individu, persepsi terhadap penyakit serta karakteristik dari pelayanan kesehatan itu sendiri. Sementara fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan berupa pengobatan sendiri (S), pertolongan medis (M) dan pertolongan Non medis (N). Pada model Kroeger terlihat bahwa reinforcing factor atau faktor penguat dari model Green tidak secara eksplisit ditampakkan tetapi Kroeger menonjolkan variabel dari karakteristik dan persepsi terhadap penyakit dimana model ini mirip dari model HBM.

Page 12: TBC 1

Memahami fenomena sosial dalam memetakan masalah perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan dalam hal pengobatan medis maupun non medis harus  melihat fungsinya terhadap keseluruhan sistem. Ada tiga alasan dasar dalam struktur sosial masyarakat. Pertama posisi tertentu lebih menyenangkan untuk diduduki daripada posisi yang lainnya. Kedua, posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat daripada posisi lainnya. Ketiga, posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula.

Penerapan kajian Pertukaran sosial dan Pilihan Rasional adalah bahwa masyarakat akan menimbang untung-rugi, nilai kepuasan yang diperoleh, ikatan emosional apa yang dipertukarkan. Dalam kontek ini dianalogikan hubungan antara pasien dengan si pengobat (medis dan non medis). Apalagi dalam masyarakat pedesaan yang masih sederhana, adanya ikatan emosional sesama mereka seringkali mendasari proses pertukaran ini. Dalam konteks ini, teori pertukaran untuk mengkaji perbedaan masyarakat dalam penggunaan layanan kesehatan.

Hipotesis penelitian ini adalah: Ada hubungan antara variabel dilihat dari karakteristik keluarga (kondisi ekonomi, pendidikan kepala keluarga, sikap terhadap pemeliharaan kesehatan, kekhawatiran keluarga terhadap penyakit, dukungan lingkungan sosial), dan ada hubungan antara variabel dilihat dari karakteristik individu penderita (umur, jenis kelamin , jenis penyakit, kondisi daya tahan tubuh ) dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan.

Rancangan penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Populasinya adalah seluruh rumah tangga di wilayah Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang yang memiliki anggota keluarga pernah mengalami sakit. Pengambilan responden dilakukan dengan teknik simple random samplingpada masyarakat di desa Kidal dan desa Bogor . Selanjutnya, data dari 250 responden yang didapatkan dari penghitungan dianalisis secara diskriptif dan uji korelasi Chi Kuadrat pada tingkat nyata sebesar 10%.

Analisis penghitungan Chi Kuadrat menunjukkan bahwa ada hubungan nyata dari karakteristik keluarga (kondisi ekonomi, sikap terhadap pemeliharaan kesehatan, kekhawatiran terhadap penyakit, dukungan lingkungan sosial ) dan dari karakteristik individu (umur penderita) dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan. Tetapi, tidak ada hubungan nyata dari karakteristik keluarga (pendidikan kepalakeluarga) dan karakteristik individu penderita ( jenis kelamin, jenis penyakit, kondisi daya tahan tubuh).

Kesimpulan penelitian ini adalah, perilaku masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan ditunjukkan dengan adanya variasi perilaku. Tidak ada pemanfaatan fasilitas kesehatan Sendiri saja, Medis saja atau Non Medis saja dalam upaya penyembuhan penderita. Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan ditunjukkan dengan perilaku berganti atau meneruskan menggunakan lebih dari satu fasilitas. Fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan pertama kali pada umumnya dilakukan secara Sendiri lebih dahulu.

Page 13: TBC 1

Ada total 85.6% masyarakat berperilaku memanfaatkan fasilitas kesehatan berakhir sembuh dengan perilaku Non Medis. Ada 14.6% masyarakat berperilaku memanfaatkan fasilitas kesehatan berakhir sembuh dengan perilaku Medis.

Dimanfaatkannya fasilitas kesehatan dengan berbagai perilaku menunjukkan bahwa pranata sosial kesehatan tersebut masih memberikan fungsi dalam memenuhi kebutuhan sistem sosial dalam hal penyembuhan penyakit. Dimanfaatkannya fasilitas kesehatan dengan perilaku lebih dari satu menunjukkan terjadinya interaksi peran (konsep Pertukaran Sosial) untuk mencapai tujuan mendapatkan kesembuhan bagi penderita dengan berbagai macam sarana yang dipilih.

Ada hubungan yang nyata antara kondisi ekonomi keluarga, sikap keluarga terhadap pemeliharaan kesehatan, kekhawatiran terhadap penyakit, dukungan lingkungan sosial, dan umur penderita dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan. Tetapi, tidak ada hubungan nyata antara pendidikan kepala keluarga, jenis kelamin penderita , jenis penyakit penderita dan kondisi daya tahan tubuh penderita dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan.

Dalam hal penentuan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan, sebagian dari aspek keluarga cenderung mendominasi jika dibandingkan dengan aspek karakteristik individu penderita. Hal ini menunjukkan peran keluarga terutama dalam “kondisi beresiko” memberikan perlindungan dan upaya penyembuhan bagi anggota keluarganya.

Rekomendasi yang disampaikan adalah dilakukan penelitian untuk dapat memahami makna internal yang terjadi mengapa masyarakat merasa sembuh dengan memanfaatkan pola pengobatan Non Medis .sementara fasilitas kesehatan Medis telah diupayakan keberadaannya. Perlunyamelakukan intervensi pendidikan kesehatan. yang rasional terkait dengan upaya pemeliharaan kesehatan dan penyembuhan penyakit terutama dengan memanfaatkan tanaman dari hasil pertanian (rempah-rempah). Diperlukan komitmen Pemerintah untuk mengembangkan teknologi obat berbasis hasil pertanian, perlu adanya ikatan para provider di bidang pengobatan Non Medis untuk mengimbangi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau Ikatan Bidan Indonesia (IBI), perlunya evaluasi dan revisi dari regulasi kebijakan terkait dengan pelayanan kesehatan.

Page 14: TBC 1