Tabloid SUARA USU 2011

24
Makanan khas Padang Bolak, Tapa- nuli Selatan. Dulu khusus dihidang- kan pada para raja Tanah Batak. Inilah dia, holat. (HAL. 18) Potret Budaya Lembaran baru KPU USU kembali dibuka. Target optimis di awal ta- hun termentahkan oleh perubahan juklak, minimnya dana, dan legalitas KPU USU. (HAL. 9) Ragam www.suarausu-online.com INDEKS 2-3 I suara kita 4-7 I laporan utama 10 I opini 11 I riset 12 I galeri foto 13 I podjok medan 14-15 I laporan khusus 16-17 I mozaik 19 I dialog 20 I resensi 21-22 I iklan 23 I peristiwa 24 I profil AGAR GELAR JATUH KE TANGAN WISUDA. Puncak penahbisan seorang mahasiswa, menanti gelar berderet di belakang nama. Berliku jalan meraihnya. Beragam aral menujunya. EDISI 80/XVI/MARET 2011 | HARGA: Rp 3000 | ISSN 1410-7384

description

Realitas Perspektif Mahasiswa

Transcript of Tabloid SUARA USU 2011

Page 1: Tabloid SUARA USU 2011

Makanan khas Padang Bolak, Tapa­nuli Selatan. Dulu khusus dihidang­kan pada para raja Tanah Batak. Inilah dia, holat. (HAL. 18)

Potret Budaya

Lembaran baru KPU USU kembali dibuka. Target optimis di awal ta­hun termentahkan oleh perubahan juklak, minimnya dana, dan legalitas KPU USU. (HAL. 9)

Ragam

www.suarausu-online.com

INDEKS

2-3 I suara kita4-7 I laporan utama10 I opini11 I riset12 I galeri foto13 I podjok medan14-15I laporan khusus16-17I mozaik 19 I dialog 20 I resensi 21-22I iklan23 I peristiwa24 I profil

AGAR GELARJATUH KE TANGAN

WISUDA. Puncak penahbisan

seorang mahasiswa, menanti gelar

berderet di belakang nama. Berliku jalan meraihnya.

Beragam aral menujunya.

edisi 80/xvi/MAReT 2011 | hARgA: Rp 3000 | issn 1410-7384

Page 2: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 20112 suara kitasuara redaksilepas

Selepas status Badan Hukum Pendidikan (BHP) dicabut Mah­kamah Konstitusi, USU yang kembali pada Badan Hukum Mi­lik Negara (BHMN) kini tengah

mengadopsi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU).

BLU katanya bisa menjadi solusi de­ngan konsep yang lebih memihak rakyat dan mengedepankan efisiensi. Berdasarkan Un­dang­undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 68 dan 69, PK BLU bersifat fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisensi dan efektivitas. Jika dahulu sebuah institusi pendidikan memer­lukan pengadaan, maka penganggarannya harus melalui birokrasi ke pusat. Kini, peng­anggaran tradisional seperti itu telah menjadi penganganggaran berbasis kinerja. Artinya institusi tersebut harus berupaya untuk me­menuhi kebutuhannya dengan usaha yang dilakukan institusi itu sendiri.

Hal positif dari otonomi ini adalah in­stitusi tersebut tidak perlu menunggu lama untuk alokasi dana yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan. Di samping itu, hal ini juga meringankan pemerintah yang sumber dayanya terbatas, namun mendapat banyak tuntutan dalam memenuhi kebutuhan dana.

Tak banyak yang tahu mengenai BLU. Bahkan mengenai USU yang akan mene­rapkannya secara total pada akhir 2012 nan­ti. Informasi ini tidak disosialisasikan secara massal. Mahasiswa USU pun kali ini adem ayem, tidak seperti saat BHMN dan BHP di­kumandangkan. Padahal sivitas akademika di luar Sumatera Utara yang kampusnya juga menerapkan BLU sudah ramai meno­lak penerapan BLU yang dianggap membuat institusi pendidikan seperti korporasi yang mementingkan profit.

Universitas lain yang telah lebih dulu menerapkan BLU, memproduksi barang atau jasa sebagai sumber pendapatan. Seperti su­permarket, kafe, penyewaan gedung­gedung hingga sistem parkir berbayar. Sehingga universitas cenderung lebih memperhatikan bagaimana membangun infrastruktur, tanpa pernah benar­benar memperhatikan kualitas pendidikan.

Siapkah USU? Selain dari sumbangan dan hibah, USU harus bisa benar­benar berdikari dengan sumber pemasukan yang kontinu. Sejauh ini, gambaran pemasukan yang paling nyata adalah dari perkebunan sawit, gedung­gedung yang bisa disewakan dan mungkin nanti akan bertambah setelah Rumah Sakit Pendidikan (RSP) rampung. Penelitian yang sebenarnya bisa menjadi pemasukan besar, malah belum bisa diandal­kan. Laboratorium yang tidak mendukung jadi alasan. Minat meneliti pun tidak besar, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa.

Sejauh ini, USU belum melakukan apa pun untuk mempersiapkan diri menyong­song BLU. Padahal pada akhir 2012, USU harus menerapkan BLU secara utuh, sebe­lum mendapat kepastian pada 2013 menge­nai status apa yang akan digunakan untuk menggantikan BHP yang telah dimentahkan. Kalaulah memang BLU niscaya diterapkan, semoga USU bisa merumuskan strategi yang cermat nan bijak. Jangan sampai segala se­suatu yang ada di USU mempunyai tarif. (Redaksi)

Menuju BLUUSU

AndikA BAkTi|sUARA UsU

Fanny Yulia menjadi pemateri dalam seminar bertema Mengubah Wajah kampus melalui Tulisan di gedung Aula FisiP (21/2). seminar diadakan untuk memperkenalkan Pers Mahasiswa sUARA UsU kepada maha-siswa UsU angkatan 2011.

seMinAR

Tak terasa, hitungan ketiga dalam bila­ngan bulan sudah menemani kita di ta­hun 2011 ini. Tentu

banyak hal­hal baru dan berbeda yang telah kita jalani. Sejalan dengan itu, SUARA USU kembali hadir di tengah kesibukan Anda melalui edisi 80 ini.

Rubrik baru bernama Mozaik kami hadirkan untuk menambah halaman santai bagi pembaca. Selain itu, inovasi dan beberapa perombakan tampilan juga kami lakukan demi Anda semua.

Pada edisi perdana tahun ini, kami mempersembahkan Laporan

Salam Jurnalistik!

Utama yang mengangkat proses mendapatkan gelar sarjana di USU. Sebuah tema yang semua mahasiswa tentu akan mengalaminya. Namun banyak dari kita yang belum menge­tahui hal­hal apa saja yang terjadi di balik prosesi penyerahan gelar ini.

Dalam Laporan Khusus, SUARA USU memberikan jawaban bagi Anda pengguna kendaraan bermo­tor yang bertanya­tanya mengenai aturan retribusi parkir di Kota Medan. Kejelasan dana, peraturan­peraturan yang ada mengenai retribusi parkir, serta trik para petugas parkir akan kami ungkap dalam tulisan ini.

Pastinya masih banyak tulisan menarik lainnya yang dapat Anda

nikmati. Sebut saja holat, makanan khas Tapanuli Selatan yang akan diulas dalam rubrik Potret Budaya. Kami juga akan membawa Anda pada keunikan pasar keramik di Belawan melalui rubrik Podjok Medan. Perkembangan terkini soal dinamika politik kampus juga bisa Anda peroleh di rubrik Ragam dan Peristiwa.

Di awal tahun ini, kami kembali kedatangan wajah baru para ang­gota magang yang akan digembleng selama beberapa bulan agar dapat meneruskan regenerasi SUARA USU dan menjadi anggota yang kri­tis, militan dan profesional. Akhir kata, selamat membaca! (Redaksi)

suara sumbang suara pembacaFilm impor disetop dari peredaran.Alamak, nonton Jupe-Depe sepanjang tahun.

Pemilu USU tertunda lagi.Aeh, kapan lah pema awak ini punya presiden?

UU BHP ditolak, alih haluan ke BLU.Beda nama, rupa sama

Lagi-lagi Masalah FasilitasKelas kami (Ilmu Perpustakaan) panas sekali, pengap juga. Jangankan AC, ki­pas pun tak ada. Kami juga tidak me­miliki kamar mandi. Padahal SPP udah naik tapi sebagian kursi pun masih goy­ang­goyang.

(Putri sari Ramadhani, ilmu Perpustakaan 2010)

Laboratorium komputer di Fakultas Ekonomi kurang lengkap. Kamar mandinya juga jorok sekali.

(Baina dwi Bestari, Akuntansi 2010)PUTRi RiZki ARdhinA|sUARA UsU

Page 3: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011 3suara kita

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU I Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara I Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara I Pemimpin Umum: Wan Ulfa Nur Zuhra I Sekretaris Umum: Ahmad Hidayat I Bendahara Umum: Richka Hapriyani I Pemimpin Redaksi: Shahnaz A Yusuf I Sekretaris Redaksi: Ridha Annisa Sebayang I Redaktur Pelaksana: Moyang Kasih Dewimerdeka I Koordinator Online: Kartini Zalukhu I Redaktur: Febrian, M Januar I Redaktur Foto: Andika Bakti I Redak­tur Artistik: Harry Yassir Elhadidy Siregar I Redaktur Online: Muslim Ramli I Reporter: Putri Rizki Ardina, Widya Oktalisa I Fotografer: Rida Helfrida Pasaribu, Sofiari Ananda I Desainer Grafis: Viki Aprilita, Icha Decory, Rika Harahap I Webmaster: Rizki Sari Wahni Lubis I Ilustrator: Viki Aprilita, Putri Rizki Ardhina IPemimpin Perusahaan: Sandra Cattelya I Sekretaris Perusahaan: Erny Suciapriyanti I Manajer Iklan dan Promosi: Bania Cahya Dewi I Manajer Produksi dan Sirkulasi: Ade Fitriani I Staf Perusahaan: Mengki S

Sihaloho I Kepala Litbang: Sriyanti I Sekretaris Litbang: Eka Prasetya I Koordinator Kepustakaan: Atiqa Khaneef Harahap I Koordinator Riset: Franky Febryanto Banfatin I Koordinator Pengembangan SDM: Herlina Siregar I Staf Kepustakaan: Malinda Sari Sembiring I Staf Riset: Royandi Hutasoit I Staf Pengembangan SDM: Ayu Ning Tyas I Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati I ISSN: No. 1410­7384 I Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32 B Kampus USU, Padang Bulan, Medan - Sumatera Utara 20155 I E­mail: [email protected] I Situs: HTTP://www.suarausu-online.com I Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan) I Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Resensi (BW) Rp 900/mm kolom, Rubrik Mozaik (BW) Rp 900/mm kolom, Rubrik Riset (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Peristiwa (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom I Informasi Pemasangan Iklan dan Berlangganan, Hubungi: 085218399677, 081365773904.

DESAIN SAMPUL: HARRY YASSIR ELHADIDY SIREGAR

ILUSTRASI:PUTRI RIZKI ARDHINA

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email suarausu_ [email protected]

kata kita

Setuju, asalkan aman. Seperti di kampus kami, sering terjadi kehilangan walaupun ada la­han yang jelas karena tidak ada penjaganya. Dengan adanya penjaga, tentu akan lebih tertib. Selama tarifnya terjangkau, ma­hasiswa juga setuju. Jadi tetap tenang walau sedang kuliah.

Petti siti FatimahFakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam, 2008

Saya tidak setuju. Bahkan se­harusnya di seluruh Indonesia ini tidak usah ada biaya parkir, karena kebanyakan penipuan. Tidak efisien juga kalau diterap­kan di kampus. SPP kan sudah dinaikkan. Selain itu, tukang parkir yang ada di areal kampus juga belum tentu legal.

Laila AzmiFakultas ekonomi, 2010

Kendaraan mahasiswa terlalu banyak. Dengan membayar mungkin akan ada yang men­jaga dan bisa lebih rapi. Dan yang membawa kendaraan ke kampus pasti punya duit. Tapi tarifnya logis, misalnya Rp 500 per hari.

Wahyu AlamsyahFakultas sastra, 2010

Sebenarnya aneh untuk ling­kungan kampus. Tetapi boleh­boleh saja, asalkan terjamin keamanannya. Kalau sudah bayar tapi tetap tidak aman, sebaiknya ditinjau kembali kebijakan tersebut. Lebih baik kembalikan saja ke maha­siswanya agar menjaga kenda­raan mereka masing­masing.

santhos Frananda Fakultas Teknik, 2007

Memberatkan mahasiswa seka­li. Seperti di Farmasi harus membayar Rp 75 ribu, namun fasilitasnya juga tidak mema­dai. Atapnya saja tidak ada. Kalau pun fasilitasnya akan diperbaiki, saya tetap akan ber­pikir dua kali. Apalagi dengan fasilitas seadanya seperti seka­rang.

safrinaFakultas Farmasi, 2008P

encurian kendaraan, terutama kendaraan roda dua, masih marak di area parkir USU. Sudah begitu, beberapa fakultas di USU

saat ini menerapkan parkir berbayar, termasuk bagi mahasiswa. Akankah kebijakan ini menjadi solusi untuk mengurangi angka kehilangan kenda-raan di area parkir kampus? Bagaima-na pendapat mahasiswa menyoal kebijakan ini? (Ahmad Hidayat)

Parkir Berbayar di UsU Sebuah Solusikah?

AGAR GELARJATUH KE TANGAN

FOTO-FOTO : AhMAd hidAYAT

viki APRiLiTA|sUARA UsU

Page 4: Tabloid SUARA USU 2011

4 laporan utamasUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011laporan utama AGAR GELAR

JATUH KE TANGAN

Koordinator Liputan : Muslim RamliReporter : Franky Febryanto Banfatin, Putri Rizki Ardhina, Richka Hapriyani, Muslim Ramli

Jejak Dana Jelang Wisuda

Hari wisuda m e r u p a k a n waktu yang pa­ling ditunggu­tunggu seluruh

mahasiswa. Termasuk Fadhlan Mishwari Ritonga, alumni De­partemen Sastra 1 (S1) Fisika 2005. Fadhlan yang diwisuda pada Agustus tahun lalu ini menceritakan hari­harinya menuju peristiwa sakral terse­but. Satu hal yang menggelitik, ada perasaan heran yang ia ra­sakan pada banyak dan rumit­nya birokrasi pembayaran ad­ministrasi menuju hari wisuda.

Fadhlan pernah memper­tanyakan mengenai jumlah dana yang dibebankan ke­padanya untuk dapat mengi­kuti sidang. Kala itu, ia harus menyetor sebesar Rp 300 ribu ke biro rektor dan Rp 350 ribu untuk departemen. Menu­rut penuturannya, dia pernah menanyakan langsung rincian dana tersebut kepada pihak dekanat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

“Dekan bilang, Rp 100 ribu untuk dosen pembimbing, Rp 240 ribu untuk dibagi tiga pada dosen penguji dan Rp 10 ribu untuk administrasi,” terang­nya.

Karena ingin kejelasan dana tersebut, Fadhlan mendatangi biro rektor. “Pegawai di situ

bilang, kalau mahasiswa sudah bayar Rp 300 ribu ke biro rek­tor, tidak perlu lagi membayar dana apapun ke jurusan,” ucap Fadhlan.

Keheranan Fadhlan semakin bertambah mengenai konsumsi yang ditentukan mereknya. “Kalau mereka suruh Rumah Makan Simpang Tiga, ya Sim­pang Tiga. Waktu itu kami merayu, makanya diputuskan Rumah Makan Permata,” ucap Fadhlan. Ia menambahkan tak hanya makanan, minuman pun harus disediakan. “Minum juga ditentukan. Kami harus bawa Nutrisari, cappucino, teh, dan gula,” keluhnya.

Berbeda lagi cerita Ary Ryzky, mahasiswa Diploma 3 (D3) Fisika Instrumentasi. Ia harus mengeluarkan Rp 450 ribu untuk biaya sidang.

Ary mengaku sudah per­

nah menanyakan biaya sidang ini ke departemen. Tapi, pihak departemen tidak pernah mem­berikan kejelasan. “Mereka hanya bilang, kami sudah di­jamin uang toga,” tambah pria yang akan diwisuda pada April mendatang ini.

Sementara itu, Justinon, Sekretaris Departemen S1 Fisi­ka, tidak membenarkan adanya jenis makanan yang ditentu­kan. “Ya, itu terserah mereka. Tak ditentukan. Kita tidak mau menentukan, karena tidak mau memberatkan,” kata Justinon.

Justinon menambahkan, setiap dosen penguji akan dibayar sebesar Rp 20 ribu. Sekali seminar ada empat dosen. Di luar itu, ia mengaku tidak tahu mengenai jumlah dana sidang yang harus dibayar mahasiswa.

Tepat di sebelah ruang Justinon, terdapat ruangan Hartini pegawai Departemen Fisika yang mengutip dana seminar dan sidang. Menurut Hartini, pihak Departemen Fisi­ka menetapkan masing­masing Rp 125 ribu untuk mengikuti seminar proposal dan seminar hasil. “Dana itu untuk trans­portasi dosen,” ujarnya sambil menunjukkan data dosen yang menerima dana tersebut.

Untuk sidang dan wisuda beda lagi. “Untuk sidang, Rp 300 ribu ditransfer ke reke­

ning rektor dan Rp 230 ribu untuk departemen. Kemudian uang sebesar Rp 230 ribu ini digunakan untuk dana tamba­han dosen penguji dan pembim­bing, tapi juga dibagikan ke pegawai, kebersihan dan ad­ministrasi,” terang Hartini.

Aliran dana yang tak jelas juga terjadi di beberapa departemen lain. Egyfaldi

Biamenta, mahasiswa Departe­men S1 Kimia menjelaskan detail mengenai jumlah dana sidang yang diatur di kam­pusnya. Egy harus membayar sebesar Rp 525 ribu ke de­partemen. Kemudian juga ha­rus menyetor Rp 300 ribu lagi ke biro rektor. Setelah sidang, dari Rp 525 ribu yang dibayar­kan ke departemen, sebesar Rp

dOkUMenTAsi|sUARA UsU

PUTRi RiZki ARdhinA|sUARA UsU

Jalan panjang menuju wisuda.

Tak sedikit berkorban dana.

Ke mana ia disalurkan?

Peraturan itu bersifat fleksibel.

kita kembalikan ke fakultas masing-

masing

“Prof Zulkifli Nasution

Pembantu Rektor i UsU

Wisudawan dan wisudawati berjalan menuju Auditorium UsU menjelang diwisuda. Auditorium UsU menjadi saksi bersejarah kelulusan mahasiswa UsU setiap periodenya.

PeseRTAWisUdA

Page 5: Tabloid SUARA USU 2011

5laporan utamasUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011laporan utamaAGAR GELAR

JATUH KE TANGAN

300 ribu akan dikembalikan pada mahasiswa.

Hal ini berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh Murni, pegawai Departe­men S1 Kimia yang mengurusi dana sidang dan wisuda. “Ma­hasiswa membayar Rp 585 ribu, dan semuanya dikemba­likan,” ujarnya. Namun Murni tidak memberikan rincian dana tersebut.

Sementara itu, Ketua De­partemen S1 Kimia, Rumondang Bulan, menjelaskan bahwa dana yang dibayar untuk departemen ini bersifat pinjaman. “Setelah dana dari rektor keluar, maka dana ini dikembalikan sepenuh­nya,” ujarnya.

Rumondang mengaku tidak tahu­menahu soal pengelolaan keuangan wisuda ini. “Saya ti­dak ada mengurus uang­uang. Itu sudah kesepakatan dari dulu, tak tahu pula saya. Nan­tilah saya tanya ke Ibu Murni,” ucap Rumondang.

Setelah tahu mengenai dana yang belum dikemba­likan tadi, Rumondang me­ngatakan memang ada dana tambahan untuk dosen penguji dan pembimbing. Namun, ia ti­dak tahu bagaimana awal mu­lanya. “Aturan ini sudah lama. Sebelum saya juga sudah ada,” tuturnya.

Di tempat terpisah, di ru­angan yang tidak terlalu luas dan hanya ada tiga kursi tamu dan tumpukan­tumpukan kar­dus di pojok kanan ruangan seorang pria datang mengena­kan baju putih dan berkopiah dengan membawa beberapa lembar kertas laporan. Dia adalah Arifin Lubis, Pembantu Dekan (PD) II Fakultas Eko­nomi (FE) USU.

Mengenai dana wisuda di FE sendiri, ia menjelaskan bi­aya yang dikutip untuk setiap program studi (prodi) berbeda­beda. Untuk prodi S1 Ekstensi

sebesar Rp 290 ribu, tidak termasuk buku sumbangan. Kemudian total keseluruhan untuk prodi S1 di fakultasnya sebesar Rp 335 ribu termasuk sumbangan buku. Ia menam­bahkan untuk D3, dana yang dikeluarkan berjumlah Rp 350 ribu.

Menurut Arifin aturan ini telah ditetapkan rektorat. Dana yang sudah dibayarkan terse­but seluruhnya akan langsung disetorkan ke rekening rektor. Arifin mengaku aturan seperti ini sudah tujuh tahun lamanya. “Aturan ini sudah ditetapkan rektorat,” ucapnya.

Prof Zulkifli Nasution, Pembantu Rektor I USU, mengatakan bahwa adanya per­bedaan dana dan aturan wisuda di tiap­tiap fakultas dianggap wajar. “Peraturan itu bersi­fat fleksibel. Kita kembalikan ke fakultas masing­masing,” ujarnya.

sumbangan BukuSalah satu alasan adanya

dana tambahan untuk beberapa fakultas adalah sumbangan buku yang harus diserahkan calon alumni dalam ben­tuk uang tunai. Di Fakultas Psikologi (FPsi), menurut Lili Garliah, PD II, mahasiswa harus membayar Rp 100 ribu untuk sumbangan buku. Maha­siswa harus menyerahkan buku sumbangan dalam bentuk uang untuk menghindari adanya buku yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan fakultas.

Rahmi Putri, Kepala Per­pustakaan FPsi menjelaskan buku­buku yang diserahkan ke Perpustakaan FPsi berasal dari banyak sumber. Ada yang ber­asal dari pembelian, sumbangan wajib mahasiswa, sumbangan fakultas, sumbangan dosen, dan sumbangan alumni. Namun, kebanyakan sumbangan wajib mahasiswa diperoleh dari sum­

bangan mahasiswa lama. Dari data yang Rahmi miliki

akhir­akhir ini sudah tidak ba­nyak lagi buku yang berasal dari sumbangan mahasiswa tersebut. Untuk tahun ini, Rahmi meng­aku belum menerima sumbang­an buku apa pun dari peserta wisuda. Namun, ia memang baru sebulan menjabat sebagai

kepala perpustakaan.Mengenai harga rata­rata

buku, Rahmi tidak bisa meni­lai. Buku­buku psikologi yang berupa text book sebagian besar hanya tersedia dalam Bahasa Inggris. “Buku­buku tersebut juga cukup mahal dan agak sulit dijangkau mahasiswa,” ucapnya.

Ia menjelaskan text book asli yang dibeli langsung dari luar negeri harganya bisa berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu per buku. Sedang­kan, buku yang sudah diter­jemahkan ke Bahasa Indonesia biasanya diterbitkan dua ba­gian, masing­masing berharga sekitar Rp 150 ribu.

Sedangkan di FE, maha­siswa yang telah lulus wajib menyumbangkan buku berkait­an dengan ekonomi. Arifin menjelaskan sumbangan buku itu minimal seharga Rp 50 ribu dan berhubungan dengan jurusan. “Ya, untuk buku ini minimal seharga Rp 50 ribu,” ujarnya sambil menunjukkan kertas rincian dana.

Fakultas sama, gelar BedaMeski berasal dari fakultas

yang sama, gelar yang melekat pada wisudawan bisa berbeda. Misalnya, di FE dan Fakultas Sastra (FS). Di FE sendiri ada

PUTRi RiZki ARdhinA|sUARA UsU

gelar SE, S.Mn untuk Departe­men Manajemen, serta S.Ak untuk Departemen Akuntansi. Lulusan FS yang seharusnya bergelar SS, justru ada yang bergelar S.Sos dari Departe­men Ilmu Perpustakaan.

Menjawab hal ini, PD I FS, Husnan Lubis menjelaskan bah­wa perbedaan gelar di FS dibuat agar masyarakat tahu bahwa ilmu perpustakaan berbeda dengan sastra. “Di sastra (FS ­red) kan masih bersifat general, kecuali untuk program S2 yang memang sudah terspesialisasi.”

Cici, Mahasiswa Ilmu Per­pustakaan USU 2010 menilai, Ilmu Perpustakaan tidak cocok digabung dengan FS. “Kami lebih banyak menggunakan teknologi. Mata kuliahnya pun lebih banyak menggu­nakan komputer dan jaringan,” ujarnya.

Zulkifli menanggapi, gelar sarjana tersebut bukan pihak rektorat yang menentukan. ”Pi­hak fakultas yang mengajukan gelar tersebut,” terangnya.

“Mahasiswa tidak perlu ta­kut akan sulit mendapatkan pe­kerjaan karena gelarnya dibuat berbeda dan kurang dikenal. Justru akan memudahkan maha­siswa karena keahliannya sudah terspesifikasi,” tambah Zulkifli. (Muslim Ramli)

dOkUMenTAsi|sUARA UsU

suasana prosesi wisuda di Auditorium UsU tahun 2010. WisUdA

Page 6: Tabloid SUARA USU 2011

Pukul setengah tu­juh pagi, 22 Januari 2011. Lindawati Simbolon mengena­kan kebaya dibalut

toga. Wajah sudah ia poles de­ngan bedak, eye shadow, blush on, eye liner, maskara, dan lip­stik. Ia dan 69 peserta wisuda di barisan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) akan memasuki Gedung Audito­rium. Mereka membawa orang tua mereka, lalu duduk di tem­pat yang sudah ditentukan. Linda lulus dengan IPK 3,52. Ia duduk di barisan depan ber­sama peserta wisuda lainnya dari FISIP.

Pukul 7.30 WIB prosesi dimulai dengan kata sambut­an Rektor USU Prof Syahril Pasaribu, kemudian pelantikan secara bersama oleh rektor, pembagian ijazah dan sepatah kata dari perwakilan peserta wisuda. Setelah melewati re­sepsi di aula Gedung Audi­torium, para peserta wisuda melakukan foto bersama de­ngan kerabat terdekat mereka.

Seremoni itu singkat, tapi berharga bagi Linda. Sudah lama ia membayangkan berfoto dengan orang tua, mengenakan toga. Pernah suatu hari, ketika ia sedang penelitian di PT Toba Pulp Lestari Kabupaten Toba Samosir, ia menangis karena merasa bingung dan kesulitan dengan birokrasi di sana.

“Aku nyaris give up. Bayangin, seminggu di sana, tapi belum dapat apa­apa,” kata Linda, Kamis (10/2).

Satu hal yang membuat Linda kuat adalah orang tua. “Aku selalu ingat mereka, aku bayangkan mereka berfoto di hari wisuda,” ucap Linda. Hal itulah yang membuatnya mam­pu menyelesaikan studinya di Ilmu Komunikasi hanya dalam 3 tahun 4 bulan.

Ujian terakhir ia hadapi pada sidang meja hijau, 21 De­sember 2010. Ia sudah mem­persiapkan segalanya, terma­suk sepuluh kotak nasi untuk dosen dan pegawai. Tak ada aturan yang mengharuskan mahasiswa melakukan ini. Ke­biasaan memberi makan siang sudah menjadi tradisi di kam­pusnya. “Sudah seperti itu bi­

Koordinator Liputan: FebrianReporter: Malinda Sari Sembiring, Ridha Annisa Sebayang, Wan Ulfa Nur Zuhra, Febrianasanya. Mau enggak mau, aku ikut aja lah,” kata Linda.

Ketika Linda sudah merasa siap jiwa raga, salah satu dosen penguji mengatakan bahwa si­dang ditunda. Kondisi fisik yang kurang sehat menjadi alasan si dosen. Linda dan be­berapa mahasiswa yang juga sidang di hari itu tak tinggal diam. Mereka menghubungi dosen tersebut, hingga sidang akhirnya tetap digelar. Namun, mood dosen tersebut rusak. Ia marah­marah pada Linda. Ke­luar ruang meja hijau, Linda menangis. Untunglah kesulit­an ini terbayar dengan prosesi sesaat yang disebut wisuda.

Cerita yang sedikit berbe­da diutarakan Farida Hanum, alumni Manajemen Ekstensi 2007. Ia menyesalkan ba­nyaknya uang keluar untuk melewati proses hingga wisu­da. Untuk seminar proposal, Farida merogoh kocek sebesar Rp 150 ribu yang dibayarkan ke bendahara fakultas bagian ad­

ministrasi. “Uang ini kabarnya untuk administrasi seminar dan konsumsi bagi dosen yang ha­dir saat seminar dan ujian meja hijau,” ucap Farida.

Melalui pengelola kantin, masing­masing peserta sidang mendapatkan jatah empat ko­tak makanan ringan yang akan diberikan kepada dosen. Na­mun untuk konsumsi peserta seminar tergantung masing­masing mahasiswa untuk me­nyediakan atau tidak.

Sebelum sidang ada be­berapa berkas yang harus dilengkapi seperti fotokopi sertifikat TOEFL, surat bebas perpustakaan, fotokopi ijazah, slip pembayaran SPP tiap se­mester, foto, Kartu Hasil Studi tiap semester, lembar sidang yang ditandatangani Pembantu Dekan (PD) I dan Kepala Sub­bagian Pendidikan.

Di hari sidang, disahkan­lah Farida dan 34 mahasiswa lainnya sebagai sarjana. “Kami berbaris untuk disahkan pada

hari itu bergelar Sarjana Eko­nomi,” kenangnya penuh ke­legaan.

Pengalaman Linda dan Farida hanya sedikit meng­gambarkan berbagai cerita yang mencatatkan ribuan ta­matan USU tiap tahunnya. Setiap departemen memiliki aturan tersendiri untuk menuju upacara wisuda.

Prof Zulkifli Nasution, Pembantu Rektor I USU memberi komentar untuk hal ini. Ia mengatakan, peraturan sebelum wisuda itu memang normatif. Ada peraturan dari pusat namun sifatnya fleksibel, disesuaikan kembali dengan kebijakan kampus masing­ masing. “Peraturan yang diten­tukan pihak rektorat kami kem­balikan lagi kepada fakultas, namun tetap berpanduan ke­pada aturan­aturan yang tertera pada buku panduan (buku hijau ­red),” ujarnya.

Zulkifli menambahkan apabila ada dosen yang tidak

melayani mahasiswa seper­ti yang dihadapi Linda dan kawan­kawan, maka itu akan ditindaklanjuti oleh rektorat. “Pelayanan kepada mahasiswa harus yang terbaik,” tegas mantan Dekan Fakultas Perta­nian ini.

Peserta sidang Tak MenentuFarida menjalani sidang

meja hijau pada pertengahan Juni 2010. Sidang yang dilalui Farida kala itu adalah sidang massal karena banyaknya ma­hasiswa yang sidang meja hi­jau hari itu. “Kemarin sidang massal, sekitar 35 orang kare­na ngejar wisuda bulan Juli,” terangnya.

Farida mengenang, hari itu ruang sidang tidak dapat menampung seluruh maha­siswa sehingga sidang meja hijau dipindahkan ke Aula FE dengan memungut Rp 20 ribu per mahasiswa untuk kontribu­si kebersihan. “Karena ruang sidang enggak muat, jadi pin­dah ke aula,” tuturnya.

Hal yang sama juga sering terjadi di Fakultas Hukum (FH). Budiman Ginting, PD I FH mengatakan pada saat masa akhir pendaftaran wisuda, jum­lah mahasiswa yang akan me­nyelenggarakan skripsi sering membludak. Menghadapi hal ini, pihak fakultas mengeluar­kan kebijakan tenggat waktu pendaftaran sidang skripsi pa­ling lama dua minggu sebelum pendaftaran wisuda. Namun untuk beberapa hal, mahasiswa tertentu masih diperbolehkan mendaftar ujian di luar batas yang telah ditetapkan.

”Terkadang pengumuman nilai UAS, dan batas pendaf­taran sidang skripsi tidak sinkron, saya kira masih bisa disisipkan, ini kebijakan yang kami tempuh agar mahasiswa tidak lagi membayar uang kuliah semester berikutnya,” ungkapnya.

Budiman memberi solusi dengan lebih memperhatikan alokasi waktu dan jumlah ma­hasiswa sidang. Agar mutu lulusan dapat terjamin meski jumlah mahasiswa melimpah, ketua dan sekretaris departe­men membagi tugas dalam mengisi sidang skripsi. Selain itu, departemen wajib meli­hat jumlah mahasiswa yang bakal ujian dan telah selesai. ”Kasubbag pendidikan dan de­partemen tetap berkomunikasi untuk mahasiswa yang ujian,” tutupnya.

Husnan Lubis, PD I Fakultas Sastra ikut berkomen­tar untuk hal ini. Menurutnya jumlah ideal peserta sidang dalam satu hari cukup tiga orang saja. Apabila lebih dari sepuluh bahkan mencapai 30 tentu tidak bisa mencapai kua­litas yang diinginkan. “Kuali­tas yang baik tentu sulit dica­pai karena terlalu banyak dan

Perjuangan Mencapai Manisnya Hari Wisuda

PUTRi RiZki ARdhinA i sUARA UsU

Wisuda adalah puncak pencapaian

yang dituju ma-hasiswa setelah bertahun-tahun

menuntut ilmu di bangku kuliah. Mo-men memakai toga sangat dinanti tiap

mahasiswa. Namun untuk mencapai

hari itu diperlukan perjuangan berat.

Pak, saya mau minta tandatangan skripsi pak...

Bulan depan ya, saya sedang di Paris

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

AGAR GELARJATUH KE TANGANlaporan utamalaporan utama6

Page 7: Tabloid SUARA USU 2011

tidak kondusif. Apabila masih bisa mencapai kualitas yang bagus maka penguji itu super-man lah!” selorohnya.

Husnan juga mengung­kapkan pandangannya tentang pengumpulan skripsi yang ide­al. Menurutnya, mahasiswa se­baiknya menyerahkan skripsi sebulan sebelum sidang skripsi sehingga penguji dapat benar­benar matang dalam mem­pelajari skripsi dan mengeta­hui kesalahan yang terdapat dalam skripsi tersebut. “Kalau sekarang, kapan skripsi, di situ dikasih bahannya. Tentu saja dosen tidak sempat mempel­ajari lebih dalam dan juga akan berdampak pada mutu skripsi,” keluhnya.

Mengganggu Konsentrasi Jumat (4/2) tepat pukul

10.00 WIB. Ruang bagian akademik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Terlihat berbagai kesibukan para pega­wai. Ruang yang memanjang tersebut berdampingan dengan kantor Zulhaida Lubis, PD I FKM. Beberapa pegawai ke­luar masuk untuk mengurus keperluan administrasi maha­siswa yang perlu untuk ditan­datangani PD I.

Di sela­sela kesibukan tersebut, Zulhaida di ruang ker­janya memberikan penjelasan mengenai larangan bagi maha­siswa membawa makanan saat sidang proposal dan sidang skripsi. Ia mengatakan pihak fakultas menginginkan maha­siswa hanya terfokus kepada sidang meja hijau yang menen­tukan pencapaian perkuliahan mereka.

“Kami hanya ingin meri­ngankan beban mahasiswa, itu saja. Sebab dengan urusan

konsumsi ini konsentrasi mere­ka akan terganggu untuk si­dang,” ucapnya diiringi dengan senyuman.

Wanita ini menilai meski jumlah harga konsumsi yang dikeluarkan mahasiswa itu ti­dak seberapa, akan lebih efisien apabila mahasiswa lebih fokus ke sidang, tidak sibuk memper­siapkan konsumsi. Atas dasar itulah dekanat FKM mengelu­arkan surat pemberitahuan se­jak 11 Januari lalu untuk mela­rang mahasiswa menyediakan makanan apa pun.

Menanggapi hal ini, Delvina, mahasiswa FKM mengatakan hal ini mengham­bat mahasiswa untuk mengu­capkan terima kasih kepada dosen penguji.

“Cuma itulah tanda terima kasih kepada dosen­dosen yang telah memberi kita gelar sarjana,” ucapnya ketika berja­ga di stan Pentas Olahraga dan Seni FKM.

Delvina menambahkan meskipun sudah dilarang, be­berapa seniornya masih ada yang memberikan tanda terima kasih dengan parsel kepada dosen secara pribadi.

Umi Habibah Pane, ma­hasiswa FKM yang baru saja menyelesaikan sidang akhir Desember lalu mengatakan bahwa mahasiswa tidak ke­beratan dengan memberikan konsumsi bagi dosen penguji.

“Ketika saya sidang, belum ada larangan bawa makanan, tapi fakultas pasti meng­inginkan yang terbaik bagi mahasiswa,” imbuhnya sam­bil merapikan skripsinya yang berwarna hijau.

Di FKM, konsumsi dosen penguji akan ditanggung fakultas.

“Fakultas akan menye­diakan meskipun cuma seba­tas minuman dan snack,” ucap Zulhaida.

Berusaha mengingat be­berapa tahun silam, Zulhaidah mengatakan dulu konsumsi dosen penguji di FKM dise­diakan fakultas. Tetapi dengan keterbatasan dana, fakultas hanya menyediakan minuman jus untuk para dosen.

“Mungkin dengan faktor inilah mahasiswa berinisiatif berkongsi satu sama lain untuk menyediakan konsumsi saat si­dang,” jelasnya lagi.

Larangan membawa kon­sumsi ini juga diberlakukan di Departemen Ekonomi Pembangunan (EP) Fakultas Ekonomi. Irsyad Lubis, Ketua Departemen EP mengatakan sudah lama melarang maha­siswa membawa konsumsi sewaktu sidang.

“Sebetulnya di FE sudah dilarang oleh PD I sebelum­nya membawa makanan dalam bentuk apa pun saat sidang meja hijau,” tegas Irsyad.

Namun mahasiswa tidak mengindahkan aturan terse­but. Irsyad menilai aturan ini hampir sama dengan larangan pemerintah kota yang melarang untuk memberikan uang kepa­da pengemis jalanan.

“Adakah hukuman bagi masyarakat yang masih ngasih duit kepada gelandang dan pengemis itu? Tentu tidak,” ujar Irsyad tersenyum.

Meski demikian Irsyad mengatakan betul­betul mela­rang membawa makanan saat sidang meja hijau khususnya di EP. “Lebih baik mereka fokus dengan bundel skripsi masing­masing,” tambahnya lagi. (Febrian)

Budaya Memberi Dosen Penguji Layakkah?MEMBERIKAN ucapan tanda terima kasih pada dosen penguji sudah membudaya di kalangan sivitas akademika USU. Makanan, hadiah, bahkan uang bisa diberikan pada dosen penguji sebagai imbalan jasa telah membimbing mengerjakan skripsi. Bagaimana mahasiswa melihat hal ini?

Ternyata, pemberian makanan bagi dosen penguji dalam sidang proposal dan skripsi di USU dianggap layak oleh mahasiswa. Tetapi memberikan ucapan terima kasih berupa uang kepada dosen penguji tidak disetujui mayoritas mahasiswa. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang SUARA USU pada 16 sampai 22 Februari 2011.

Metode Jajak PendapatPengumpulan pendapat dilakukan melalui poling. Se­

banyak 145 mahasiswa dari 13 fakultas di USU dipilih secara acak dengan menggunakan metode proporsional. (Litbang)

Menurut Anda, apakah tindakan di bawah ini layak dilaku­kan dalam sidang proposal dan skripsi ?

Membawa konsumsi bagi dosen penguji walau tidak ada aturan.

Memberikan ucapan terima kasih berupa uang kepada dosen penguji.

Tidak Layak(79 %)

Layak (13 %)

Tidak Tahu(8 %)

dOkUMenTAsi sUARA UsU

7AGAR GELARJATUH KE TANGAN

laporan utamasUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011laporan utama

dosen pembimbing seminar proposal di Fakultas ilmu sosial dan ilmu Politik (FisiP) sedang mendampingi peserta seminar pada sabtu (26/2). di FisiP, tidak ada larang-an untuk membawa konsumsi saat seminar.

seMinAR

Page 8: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 20118 ragam

Satu bulan belakangan ini kesibukan Fatma Wardy Lubis semakin bertambah sejak ia terpilih sebagai Ke­tua Departemen Ilmu Ko­

munikasi periode 2011­2016. Meski telah menjabat sebagai ketua departe­men, ia mengaku tidak pernah men­dengar istilah PK BLU. “Saya saja baru dengar dari Anda,” ucap Fatma (19/2). Ia mengaku tak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai hal ini baik dari fakultas maupun rektorat.

Hal senada juga diutarakan Ardiansyah Chaniago, mahasiswa De­partemen Sastra Jepang 2008 ini juga tak mengetahui mengenai PK BLU. “Enggak tahu, saya belum pernah men­dengar istilah itu,” ucap pria berambut ikal ini.

Namun, ada Amir Fadli Nasution, mahasiswa Departemen Ilmu Komu­nikasi 2009 yang cukup mengetahui istilah ini. “Tahu, nanti pihak kam­pus mencari pendapatan sendiri kan?” terangnya meski sedikit ragu­ragu.

Fatma, Ardi dan Amir adalah sedikit potret sivitas kampus yang belum be­gitu paham tentang istilah ini. Padahal salah satu syarat dalam PK BLU adalah transparansi kepada publik. Pembantu Rektor (PR) II Prof Armansyah Ginting menjelaskan, memang belum ada sosial­isasi tentang hal ini. “Kita akan berta­hap dalam melaksanakan ini,” ucapnya di Biro Rektor USU (9/2).

Tidak hanya dari pihak rektorat, keapatisan mahasiswa sendiri juga menjadi penyebab minimnya pemaham­an hal ini. Awaluddin Thayab, dosen Fakultas Teknik (FT), menjelaskan mahasiswa saat ini sudah apatis dan hati nurani di kampus ini sudah mati. “Sekarang mahasiswa hanya bisa ber­pikir lulus saja,” ucap Ludi, panggilan akrabnya.

***Tujuh universitas: UI, IPB, ITB,

UGM, UPI, Unair dan USU, bertanya kepada MK mengenai status mereka sekarang terkait penutupan penyeleng­garaan UU BHP. MK menyampaikan kepada tujuh universitas tersebut dua hal. Pertama, status mereka akan diatur lebih lanjut paling lambat tiga tahun setelah terbitnya Peraturan Pemerintah No 66 2010 yaitu pada 28 September 2013. Kedua, paling lambat 31 Desem­ber 2012, mereka sudah harus menye­suaikan pola pengelolaan keuangan mereka dengan PK BLU. Dengan kata lain PK BLU adalah suatu metode pe­ngelolaan keuangan.

Aturan tersebut mengharuskan uni­versitas mencari dan memaksimalkan sumber­sumber dana yang ada. “Kita disuruh menyusun tarif dan biaya ope­rasional universitas yang akan disahkan

menteri keuangan,” tambah mantan Dekan FT ini.

Armansyah menilai sistem ini efek­tif karena selama ini pemasukan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar 20 persen belumlah cukup untuk membiayai pendidikan di universitas. Namun, mampukah USU mengadaptasi sistem ini?

Tenggat waktu kurang dari dua tahun lagi. Nyatanya, USU bahkan belum melakukan persiapan apa pun. Armansyah menjelaskan USU masih menunggu syarat­syarat dari menteri keuangan. “Itulah yang sedang kita tunggu,” ucapnya.

Siapkah USU melakukan perubah­an ini dalam waktu segitu singkat? “Mau tak mau kita harus siap,” tegas Armansyah.

Pengelolaan keuangan merupakan hal yang paling disorot dalam pelak­sanaan PK BLU ini. Transparansi keuangan merupakan prasyarat utama bagi universitas penyandang status BLU. Armansyah mengatakan USU siap untuk melaksanakan pengelolaan dengan sistem tersebut. “Saat ini lapor­an keuangan kita sudah diaudit dari luar,” ucapnya. Selain itu ia menam­bahkan akan bersikap transparan bagi siapa saja yang ingin mengetahui lapor­an keuangan USU. “Kita akan membu­ka (laporan keuangan –red) bagi siapa saja yang ingin mengetahui hal ini,” sambungnya.

Namun, Ludi melihat, dalam PK BLU ini banyak celah yang dapat disa­lahgunakan oleh pihak­pihak tertentu. “Saya harap dalam melaksanakan sistem pengelolaan ini, tolong transpa­ran khususnya dalam penerimaan mahasiswa asing,” ucapnya. Ia juga menambahkan pihak departemen hen­daknya lebih diberi otonomi. “Pihak departemen lebih tahu apa yang dibu­tuhkan. Jangan semuanya tersentral­isasi,” tambahnya.

***Kelonggaran dalam melakukan

usaha­usaha pencarian sumber dana menjadi inti dalam sistem pengelolaan PK BLU. Salah satu pendapatan USU dalam pengelolaan keuangan ini berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). USU bisa memperoleh dana dari SPP, pelayanan kesehatan, peneli­tian, dan pengelolaan aset­aset. Hal ini yang dinilai sebagian orang berpotensi komersialisasi. Yang paling ditakutkan tentu saja kenaikan SPP.

Menyikapi pendapat tersebut, Armansyah menjelaskan kenaikan SPP tidak akan terjadi. “Kenaikan SPP su­dah pasti tidak ada, kalau penyesuaian nilai SPP itu tergantung dengan perkem­bangan zaman,” ucap Armansyah. Pe­nyesuaian yang dimaksud seperti pe­

nyesuaian SPP mahasiswa 2010 lalu yang meningkat dua kali lipat diban­ding tahun­tahun sebelumnya.

Pendapatan lain adalah dari kerja sama dengan institusi luar. Fakultas­fakultas di USU banyak melakukan kerja sama semacam ini. Misalnya, Fakultas Kedokteran yang bekerja sama dengan rumah sakit. Kemudian FT yang dosennya menjadi konsultan di luar.

Aset­aset yang dimiliki USU se­perti, perkebunan sawit, gedung­gedung yang bisa disewakan, termasuk Rumah Sakit Pendidikan (RSP) USU juga bisa dimanfaatkan. Armansyah menjelaskan perkebunan USU memiliki pemasukan yang besar per tahunnya. Sekira Rp 250 miliar tiap tahun. Sayang, untuk RSP USU masih terkendala dalam hal pem­bangunan.

Tak kalah penting, sebagai pergu­ruan tinggi penelitian dan pengabdian dapat dijadikan sumber pendapatan utama. Namun ini pun belum bisa dian­dalkan USU. Armansyah berujar fasili­tas di USU ini tidak bisa mendukung penelitian sebagai pendapatan utama. “Fasilitas di USU tak bisa sebagai penunjang agar penelitian sebagai tu­lang punggung USU,” ucapnya.

Ludi menilai potensi akademik di USU masih jauh dari standar. Ia mem­beri contoh laboratorium di FT yang masih minim fasilitas. “Coba lihat laboratorium di fakultas­fakultas, ke­cuali di FK. Bagaimana kita mau maju sedangkan fasilitas saja masih sulit,” ucap Ludi.

Fatma pun memberi komentar akan hal ini. Ia menjelaskan laboratorium di Departemen Ilmu Komunikasi ma­sih jauh dari kata layak. “Peralatan di laboratorium radio saja sudah puluhan tahun. Saya sudah minta bantuan ke fakultas dan universitas tapi sampai sekarang belum datang juga,” ujarnya.

Betapa pun minimnya kesiapan USU, saat ini USU sudah dalam masa transisi menuju PK BLU. Perlu adaptasi dari uni­versitas untuk melaksanakan sistem ini. Universitas harus mengelola keuangan USU sesuai dengan aturan­aturan yang berlaku.

Ludi beranggapan sistem ini akan berjalan sesuai dengan koridornya jika universitas melakukannya dengan sung­guh­sungguh.

“Saya yakin dengan pemimpin USU saat ini karena steril dari dunia birokrasi,” ujarnya. (M Januar)

Setelah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) ditolak Mahka-

mah Konstitusi (MK), sistem pola Pengelolaan Keuang-an Badan Layanan Umum (PK BLU) pun mencuat ke

permukaan. Sudahkah kita mengetahuinya?

BLU‘Bukan’ Layanan Umum

viki APRiLiTA | sUARA UsU

Page 9: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011 9ragam

Minim Penelitian Enam Program Studi Turun Akreditasi

Penelitian adalah salah satu penilaian dalam me-nentukan akreditasi. Ta-

hun 2010, akreditasi enam program studi di USU tu-run. Salah satu penyebab

utamanya adalah minim penelitian.

Tabel Peringkat Akreditasi Program Studi Universitas Sumatera Utara (Keadaan 19 Januari 2011)

5 DEsEMBER 2010. Hari itu meru­pakan hari besar bagi kampus ini. Per­ubahan wajah perpolitikan mahasiswa USU akan dimulai kembali. Komisi Pemilihan Umum (KPU) USU diben­tuk dengan Nurpanca Sitorus, maha­siswa Fakultas Hukum, terpilih sebagai Ketua KPU USU 2010­2011 beserta 25 anggota lainnya.

Namun, jalan KPU ini masih tak semulus yang diharapkan. Dana men­jadi kendala bagi KPU untuk men­jalankan pemilu. Panca, panggilan akrab sang ketua, mengatakan bahwa dana dari rektorat belum turun hingga saat ini (24/2). “Karena dana dari rek­torat belum turun, maka dari itu kami menggunakan dana kolektif dari te­man­teman di KPU,” ungkap Panca.

Sebenarnya, perkara dana ini telah dibicarakan mantan koordina­tor pemerintahan mahasiswa (pema) sekawasan, Al Amin Syahputra ber­sama Eddy Marlianto selaku Pem­bantu Rektor (PR) III. “Kemarin saya sudah bertemu Pak Eddy untuk mem­beritahukan masalah pemilu terma­

Jalan Berkelok Pemilu USU 2011

“PENELITIAN dosen dan pelibatan mahasiswa kami sangat minim.” Ka­limat itu berulang kali diucapkan Nurhayati Harahap, dosen Sastra In­donesia. Ia menjabat sebagai ketua de­partemen ketika visitasi dari tim Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN­PT) 2010 silam.

Surat Keputusan (SK) BAN­PT yang dikeluarkan pada 3 Desember 2010 menyatakaan akreditasi Sastra Indonesia turun dari B ke C. “Bagaima­na mau meningkatkan penelitian kalau dana untuk itu juga sangat minim,” tambahnya.

Departemen Ilmu Komunikasi meng­alami hal sama. Akreditasi program studi ini turun dari A ke B, mulai 7 Januari 2011 lalu. Masalah utama juga sama, penelitian.

“Pernah penelitian seorang dosen hanya didanai sebesar tiga juta saja,” ujar Fatma Wardy Lubis, Ketua De­partemen Ilmu Komunikasi.

Kesempatan yang didapat untuk melakukan penelitian juga sangat se­dikit. Dalam satu tahun pihak fakultas hanya menyediakan dua kali kesem­patan dalam melakukan pengabdian dan satu kali untuk penelitian. “Dosen di Ilmu Komunikasi ada 23 orang, jadi harus menunggu 23 tahun bagi seorang dosen untuk melakukan penelitian lagi kan?” kata Fatma.

Departemen D3 Kimia pun begitu. Minimnya ketersediaan laboratorium

menjadi kambing hitam. Departemen D3 Kimia sebenarnya memiliki labo­ratorium. Namun 2005 lalu, laborato­rium itu terbakar.

“Laboratorium tersebut sampai sekarang tak pernah dibenahi,” ucap Herlince Sihotang, Sekretaris Departe­men D3 Kimia.

Minimnya laboratorium ini tak hanya berdampak pada penelitian, juga berdampak langsung pada penilaian sarana dan prasarana. Hal ini juga mengakibatkan mahasiswa mendapat lebih banyak teori daripada praktik. “Idealnya 60 persen praktik dan 40 persen teori,” ujar Herlince. Faktanya, mahasiswa hanya mendapat 37 persen praktik. Akreditasi D3 Kimia langsung turun dari B ke C.

Departemen Keteknikan Pertanian juga mengalami penurunan akreditasi dari B ke C. Tak jauh­jauh, minimnya penelitian dan pengabdian lagi­lagi menjadi salah satu penyebabnya. Na­mun Edi Susanto selaku ketua departe­men tak menganggap dana adalah pe­nyebab minimnya penelitian dosen.

“Sebenarnya dana dari Dikti itu banyak, dosennya saja yang malas melakukan penelitian,” sanggahnya.

Masalah lain yang dihadapi De­partemen Teknik Pertanian adalah ra­sio dosen dengan mahasiswa yang satu banding tiga puluh. “Idealnya kan satu banding dua puluh,” ujar Edi.

Sarana dan prasarana pun turut

menjadi penyebab turunnya akredi­tasi. Departemen ini hanya memiliki satu laboratorium. Itu pun tidak me­menuhi standar. “Barang­barangnya sudah lama dan belum pernah diperba­rui,” ucap Edi. Ia menyatakan pernah melakukan permohonan tapi sampai sekarang belum ada respon.

Dana memang selalu menjadi kendala utama. Pertanyaannya, usaha konkret apa yang bisa dilakukan untuk menyiasati kendala ini?

Departemen Sastra Indonesia men­coba bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Departemen untuk melaku­kan penelitian. “Tapi ya itu tadi, kita terpaksa pakai dana pribadi,” terang Haris Sutan Lubis, Sekretaris Depar­temen Sastra Indonesia.

Di Departemen Ilmu Komunikasi, dibentuk Pusat Pengkajian Komunikasi Massa (P2KM). Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi pengajar dan ma­hasiswa Departemen Ilmu Komunikasi untuk melakukan penelitian dan peng­abdian pada masyarakat. P2KM masih mendapat hambatan, belum ada dana yang pasti untuk melakukan kegiatan operasional.

Untuk menaikkan akreditasi Teknik Pertanian, di setiap rapat dengan dosen­dosen, Edi selalu mensosialisasikan tentang penelitian­penelitian. Ia juga berjanji akan melakukan penambahan tenaga pengajar. (Wan Ulfa Nur Zuhra/M Januar)

suk dana. Beliau akan mendiskusikan­nya bersama PR II nanti,” jelas Amin.

Berdasarkan rancangan anggaran dalam proposal, KPU membutuhkan dana sekitar Rp 40 juta untuk mewu­judkan pemilu. Hal ini disampaikan Rasyid, Sekretaris KPU. Ia menjelas­kan, sampai saat ini KPU berjalan dengan mengumpulkan dana dari ang­gota KPU sendiri. “Kami harus ber­korban agar pemilu dapat berjalan,” paparnya.

Pema Sekawasan Ingin Revisi JuklakSesuai tahapan pemilu yang di­

rancang KPU di awal, saat ini USU seharusnya tengah menikmati masa kampanye. Namun proses ini terpaksa dihentikan sementara karena menung­gu pembahasan petunjuk pelaksanaan (juklak) Pemilu USU yang akan di­lakukan pema sekawasan. “Kami saat ini tidak aktif dahulu karena menung­gu pema sekawasan membahas juklak. Juklak itu perlu direvisi. Kami tidak mau kalau hasilnya sama saja (men­ciptakan dualisme ­red),” ucapnya.

Ia menambahkan dengan adanya pemberhentian aktivitas ini maka akan membuat jadwal yang telah ditetapkan KPU terganggu. “Pasti ini mengganggu jadwal, tapi kita belum tahu apakah jad­wal pemilu akan berubah,” tambahnya.

Menurut Gubernur Pema Fakultas Sastra, Mawardi, juklak yang ada me­mang perlu direvisi karena terdapat kejanggalan. Tetapi permasalahan itu bukanlah hal yang sangat krusial tidak akan mengganggu kinerja KPU. “Bu­kan bermaksud untuk mencederai KPU. KPU dapat berjalan terus sesuai jadwal yang ditetapkan,” ungkap Mawardi.

Menanggapi hal ini, Al Amin menanggapi memang perlu diadakan revisi terhadap juklak. Akan tetapi se­lama belum ada yang baru, maka juklak lama akan tetap digunakan hingga juk­lak yang baru selesai. “Jika belum ada peraturan yang baru maka peraturan yang lama tetap berlaku,” jelas Amin.

Pertemuan terakhir pema sekawasan pada Minggu (28/2) tentang pemba­hasan juklak, menghasilkan keputusan untuk mengizinkan mahasiswa ekstensi

yang sudah menjalani dua semester mencalonkan diri sebagai presiden mahasiswa.

Kendala lain yang mengancam keberlangsungan pemilu adalah belum matangnya persiapan KPU fakultas. Misalnya di Fakultas Sas­tra. Mawardi menjelaskan ia akan segera membentuk KPU Sastra. “Kemungkinan dalam minggu ini akan dibentuk KPU,” jelas Mawardi saat diwawancarai (19/2) via telepon.

Isu terhangat seputar KPU turut mengguncang persiapan pemilu. Selebaran yang mempertanyakan legalitas KPU USU bertebaran di lingkungan USU. Selebaran terse­but dibuat atas nama Forum Maha­siswa Peduli Ormawa USU. Mereka menuding SK KPU tidak ditandata­ngani semua gubernur di kawasan USU.

Namun, Rasyid membantah hal ini. Ia menjelaskan SK KPU telah ditan­datangani gubernur­gubernur fakultas. “SK­nya ada sama saya,” papar Rasyid. (Erny Suciapriyanti/M Januar)

*Sebelumnya B **Sebelumnya A

Page 10: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 201110 opini

SURAT DAN PENDAPAT Jalan Universitas No 32B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara

085669855666

suarausu-online.comUNTUK OPINI DAN CERPEN PANJANG TULISAN MAKSIMUM 5000 KARAKTER. PUISI BEBAS. DI-SERTAI FOTO DAN NOMOR TELEPON YANG DAPAT DIHUBUNGI.

PUTRi RiZki ARdhinA| sUARA UsU

Pemilu adalah proses bertu­karnya tampuk kepemimpin­an di dunia politik kampus. Dari akar­akar kepemimpinan ini, telah banyak tertoreh

sejarah besar bagi bangsa. Mulai dari pengabdian sederhana kepada masyara­kat, hingga pergolakan politik nasional. Karena kampus dan struktur politiknya memiliki gelombang massa yang mam­pu menekan dan membawa perubahan bangsa.

Gerakan adalah bahasa dari keingin­an untuk berpindah, dan setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari tanda. Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana idaman diarahkan; tanda yang menjadi pembatas antara tradisi dan ino­vasi, dari masa lalu dan masa depan, dan kini mercusuar itu ada di garis tinta per­juangan mahasiswa.

Universitas Sumatera Utara (USU), kampus beragam etnik dan dinamika, memiliki perannya sendiri dalam mem­berikan kontribusi nyata pada masyara­kat di sekitarnya. Namun tak perlu jauh kita berbicara pada sekitarnya, USU ha­rus mampu berkontribusi pada sivitasnya sendiri.

Pemerintahan mahasiswa (pema) adalah salah satu wadah mahasiswa un­tuk memberikan pengabdian. Pema juga merupakan sebuah gerakan ekstraparle­menter. Gerakan yang mampu memberi­kan tekanan kepada DPR dan pemerintah agar berjalan sesuai dengan fungsinya.

Maka tak salah jika Benedict Anderson mengistilahkan mahasiswa se­bagai ‘the only effective opposition’. Na­mun fungsi ini tumpul di Sumatera Utara seiring dengan tumpul dan vakumnya pemerintahan di USU.

Fungsi pema yang harusnya mem­berikan manfaat kepada kita, malah jadi tontonan akan kebodohan kita sebagai mahasiswa. Pertikaian ini mengebiri fungsi kita sebagai kontrol sosial.

Kita sibuk dengan konflik kepenting­an antarkelompok yang menyebabkan kosongnya kursi kepemimpinan di pema, dan berakibat pada vakumnya kegiatan dan wadah aspirasi mahasiswa. Kevakuman ini, secara tidak langsung berdampak pada intensitas kegiatan ma­hasiswa yang seharusnya mampu meng­harumkan nama USU.

Pema sebagai wadah pembelajaran, kini hanya ruang kosong dan posisi kaos tanpa makna. Inilah hasil egosentris dari

PemiluMomentum Perubahan

sang kaum intelektual yang mengaku se­bagai ‘maha’ dalam dunia pembelajar.

Belajar dari Masa LaluAda sebuah tanda. Tanda pembatas

yang membedakan tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan. Sebuah tanda sebagai pembelajaran dan momentum perubahan. Berkiblat pada masa lalu se­bagai sebuah pembelajaran dan cita atas harapan masa depan yang lebih baik dan bermanfaat.

Masa lalu kita adalah masa ketidak­matangan dalam berdemokrasi. Perma­salahan bukan terjadi pada sistem, na­mun nafsu yang berlebihan akan kuasa

dan imajinasi tolol tentang kebahagiaan, menjadi landasan persengketaan diwa­jarkan dalam proses transisi kepemim­pinan.

Kini tanda untuk cita dan harapan masa depan kita sudah di depan mata. Seharusnya kita mampu belajar dari dampak yang menyebabkan kevakum­an ini. Seluruh sivitas akademika ini merugi, tanpa ada satu pun yang diun­tungkan.

Kredibilitas sebagai entitas sosial yang tinggi di masyarakat akhirnya dira­gukan. Bahkan dalam kerangka pembel­ajaran seperti ini pun kita tidak mencoba untuk dewasa dalam menyikapi kekalah­an dan kemenangan. Padahal setiap kita, di kampus mana pun, mendapatkan mata kuliah etika sebagai pembelajar­an untuk lebih bijak dalam bertindak. Begitu juga mata kuliah agama, dengan harapan penyelesaian masalah tak ha­nya pada penilaian numerik angka yang diterima, tapi berujung pada moral kita dalam bersikap dan berperilaku.

Mahasiswa dan Momentum PerubahanMomentum tak hanya datang na­

mun juga bisa diciptakan. Mahasiswa harus mampu membentuk momentum perubahannya sendiri yang menandakan ia adalah kaum intelektual yang benar­benar mampu membawa perubahan.

Sejarah nasional bangsa ini telah mengukir banyak nama mahasiswa yang menciptakan momentumnya sendi­ri. Tak peduli apakah momentumnya itu berujung pada mati muda, penghilangan dan penculikan. Mereka hanya mengerti tentang revolusi, perubahan dan per­baikan, tanpa pandangan pragmatis tentang khayalan kekuasaan dan kese­nangan pribadi. Dengan nama rakyat, memungut jiwa­jiwa yang terserak dalam barisan perjuangan kemerdekaan atas penjajahan bangsa sendiri.

Janganlah kita mengotori torehan para pendahulu kita—mahasiwa yang bersimbah darah dan air mata, maha­siswa yang lantang berteriak kebenaran, mahasiswa yang berakhir tragis hingga jasad dan nama tak dikenal, hanya untuk satu kata: revolusi— dengan ulah adik­adiknya yang tak mengerti makna luhur perjuangan.

Semoga pemilu ke depan berjalan dengan kedewasaan dan kematangan kita dalam berdemokrasi dan pembela­jaran politik kampus. Merdeka!

kini tanda untuk cita dan harapan masa depan kita sudah di depan mata. se-harusnya kita mampu be-lajar dari dampak yang me-nyebabkan kevakuman ini. seluruh sivitas akademika ini merugi, tanpa ada satu pun yang diuntungkan.

Oleh: M Iqbal DamanikFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2007

suarausuPers Mahasiswa SUARA USU

@

Page 11: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011 11riset

Komentar Ayunda seakan jadi ste­reotip pemikir­an mahasiswa bahwa setiap

kegiatan di luar perkuliahan akan mempersulit mengejar skala tinggi indeks prestasi (IP). Mahasiswa pun terdesak atas dorongan peraturan kam­pus yang membatasi waktu perkuliahan. “Paling lama enam tahun. Mau tidak mau harus dipenuhi, daripada DO,” kata Irwan Situmeang, maha­siswa Fakultas Teknik 2007.

Mungkinkah pembatasan perkuliahan ini menjadi alasan mayoritas mahasiswa untuk fokus pada perkuliahan dan melupakan kegiatan berorga­nisasi?

Hasil jajak pendapat SU-ARA USU terhadap mahasiswa yang aktif berorganisasi mau­pun tidak justru menunjukkan bahwa 78 persen mahasiswa menganggap keaktifan dalam berorganisasi sangat penting. “Kuliah dengan dicekoki teo­ri­teori saja tidak cukup. Perlu wadah untuk saling bertukar pikiran dan mengaplikasikan keilmuan yang didapat. Or­ganisasi adalah tempatnya,” papar Hendriksa, mahasiswa Fakultas Hukum 2008 yang juga seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Organisasi dan MahasiswaMahasiswa tidak pernah

jauh dari label pergerakan ma­hasiswa yang digodok dari rumah aspirasi bersama berna­ma organisasi. Jenis organisasi beragam, sesuai kebutuhan atau kepentingan mahasiswa.

“Banyak pilihan organisasi yang bisa diikuti, baik organ­isasi internal, eksternal, atau Unit Kegiatan Mahasiswa yang mendukung perkuliahan,” jelas Andi Arif, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengeta­huan Alam 2008, yang juga ak­tif dalam Himpunan Mahasiswa Islam.

45 persen responden yang aktif berorganisasi menyatakan berorganisasi penting sebagai wadah pengembangan diri, bakat dan karakter.

18 persen sebagai wa­dah aspirasi pergerakan ma­hasiswa, 17 persen sebagai

tempat melakukan pendidik­an, penelitian, dan pengab­dian masyarakat, 14 persen memanfaatkan organisasi sebagai tempat membangun jaringan dan hanya 6 persen yang menjadikan organisasi sebagai media pembunuh waktu luang yang efektif.

Lalu, mengapa banyak mahasiswa tidak mau melirik organisasi? Jika alasannya ta­kut mengganggu perkuliahan dan membuat IP turun, hanya 20 persen mahasiswa yang ti­dak berorganisasi berpendapat seperti itu. Mayoritas, 43 persen, menyatakan tidak adanya ketertarikan terhadap organisasi membuat mereka apatis berorganisasi.

“Tidak ada yang cocok. Bukannya apatis namun saya memiliki idealisme sendiri,” ujar Arief Handoko, maha­siswa Fakultas Sastra 2007 yang lebih memilih komunitas hobi sepeda kota dibanding organisasi yang menurutnya terlalu serius.

IP dan Keaktifan Berorgani-sasi

Sebanyak 40 persen maha­siswa yang aktif berorganisasi menyatakan kegiatan organ­isasi tidak menurunkan IP. “Kalaupun IP turun, sebenar­nya itu bukan karena sibuk berorganisasi. Manajemen waktu yang buruk yang mem­buat saya tidak fokus belajar,” papar Theresia Elizabeth, ma­hasiswa Fakultas Kedokteran Gigi 2008, anggota Paduan Suara Mahasiswa.

Hal senada diungkapkan Rita Simanjuntak, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2007. Anggota debat kampus dan komunitas baca tulis mahasiswa ini berkomen­tar, asalkan mahasiswa mam­pu mengolah waktu secara bijak maka dia akan menjadi pribadi unggul. “IP saya di semester empat sempat jatuh, tapi bukan karena organisasi. Karena kurang bijak menga­tur pola makan hingga sakit dan fokus kuliah berkurang,” tambahnya.

Sebanyak 30 persen maha­siswa masih ragu­ragu apakah keaktifan berorganisasi men­jadi faktor utama penyebab IP

menurun. “Saya ragu­ragu, sejauh

saya berorganisasi, IP saya tetap maksimal,” ungkap Iqbal Siregar, mahasiswa Fakultas Farmasi 2008, anggota UKM Basket yang IPK sementaranya mencapai 3,65.

Dari hasil riset SUARA USU ditemukan bahwa mahasiswa yang tidak berorganisasi juga mengalami penurunan IP kare­na kegiatannya. Alasan tidak ada waktu berorganisasi dikare­nakan 33 persen waktu dihabis­kan untuk kegiatan pendukung perkuliahan seperti praktikum laboratorium dan penelitian lapangan dan 20 persen maha­siswa aktif berwirausaha.

Hezkia Lubis, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2008, me­nyatakan tidak punya cukup waktu untuk berorganisasi.

“Perkuliahan di fakultas dan kegiatan kursus di luar kampus sudah cukup menyita waktu,” ujar gadis manis berlesung pipit ini.

Dari tabel rata­rata penca­paian IP dapat dilihat bahwa perbedaan IP antara mahasiswa tidak berorganisasi dan maha­siswa dengan satu organisasi tidak berbeda jauh. Pencapaian rata­rata IP mahasiswa dengan satu organisasi dapat tetap ber­tahan di atas angka 3. Tidak ak­tif berorganisasi tidak menjadi jaminan seorang mahasiswa un­tuk tidak mengalami penurunan indeks prestasi.

Hal berbeda dialami maha­siswa yang aktif di lebih dari satu organisasi. Prestasi yang dicapai di awal tahun perkuliah­an terbilang baik, namun meng­alami penurunan tiap tahun. Mungkinkah akibat kehilangan fokus belajar dan kurang bi­jaknya pengaturan pola waktu dan kebutuhan diri?

Rhonda Bryne, pengarang buku manajemen waktu dan konsep diri ternama, pernah berkata segala hal yang baik sesungguhnya dapat dicapai bila mahasiswa selaku agen pe­rubah dapat menyeimbangkan harmoni hidup, seperti spiritual, intelektual, fisik, psikis, hubun­gan (relasi), hingga finansial.

Sekarang masalah bukanlah pada ‘mampukah mahasiswa’? Tapi, maukah mahasiswa? (Litbang)

“Setelah setahun berorganisasi, nilai prestasi akademik saya turun. Orang tua marah lalu menyuruh saya ber-henti berorganisasi. Padahal ini bukan salah organisa-

si,” ungkap Ayunda Nasution, mahasiswa Fakultas Eko-nomi 2008 menjawab pertanyaan mengenai alasannya

tidak berorganisasi.

Organisasi Faktor Utama Penurunan Indeks Prestasi?

Metode Jajak PendapatJajak pendapat melalui kuesioner dan wawancara ini

diselenggarakan Bagian Penelitian dan Pengembangan SUARA USU, 7­14 Februari 2011. Responden merupakan 240 mahasiswa USU angkatan 2007­2008 dengan memper­timbangkan proporsi jumlah mahasiswa dari 13 fakultas di USU dan aktif­tidaknya berorganisasi. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa.

Page 12: Tabloid SUARA USU 2011

Penghasil

Kabut masih menyelimuti bumi, mentari juga belum memancarkan cahayanya, dingin sebelum fajar masih menusuk tulang. Tiba-tiba terdengar lagu instru-mental. Saat lagu tersebut dilantunkan,

puluhan ekor sapi langsung berdiri. Seakan terhipnotis, sapi-sapi itu berbaris rapi menuju tempat pemerahan susu. Kegiatan ini berlangsung dua kali sehari, pukul enam pagi dan lima sore.

Dari sapi-sapi ini, ratusan liter susu segar dihasilkan setiap harinya. Yoghurt dan susu segar yang beraneka rasa merupakan hasil olahannya. Susu tersebut lalu disebarkan ke berbagai sekolah setingkat SD dan SMP di Kabupaten Tanah Karo dan sekitarnya. (Andika Bakti)

12 galeri foto12 galeri foto

Susu Murni

Para sapi mengantre untuk diperah susunya.

AndikA BAkTi| sUARA UsU

RidA heLFRidA PAsARiBU | sUARA UsU

Susu dikemas dalam kotak styrofoam.

Dengan menggunakan dua mobil pikap tertutup, susu siap untuk diedarkan.

Sebelum diedarkan, susu yang sudah di-packing disimpan dalam ruangan dingin selama tiga hari.

AndikA BAkTi| sUARA UsU

4

6

5

3

2

1

AndikA BAkTi| sUARA UsU

AndikA BAkTi| sUARA UsU

Mesin pasteurized berguna untuk mensterilkan kuman pada suhu 600 derajat celcius, selama 30 menit.

Milking machine, alat yang digunakan untuk memerah susu sapi.

AndikA BAkTi| sUARA UsU

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

Page 13: Tabloid SUARA USU 2011

13podjok medansUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

Pasar Keramik Belawan

Berburu keramik atau kristal cantik

berkualitas tak ha-rus ke negara asal-nya. Sejak puluhan

tahun lalu, Belawan menyediakan tem-pat khusus sebagai

sentra barang pecah belah ini. Beragam keramik didatang-

kan khusus dari ber-bagai negara. Cina,

Korea, Singapura, Jepang, dan Italia menjadi pemasok

utama barang mewah ini.

Nuansa pesisir begitu kental. Terik matahari, aroma ikan kering dan sampan di aliran sungai menemani perjalanan. ‘Selamat

Datang di Pelabuhan Belawan’, begitu tulisan besar terpampang di penghujung jalan. Pada sebuah jalan tak jauh dari gerbang pelabuhan, terlihat pemandangan tak biasa dari sebuah pesisir. Jejeran mobil mewah dan sepeda motor terparkir sembarang di sepanjang Jalan Simalu­ngun, Kelurahan Belawan I, Medan Belawan.

Barisan keramik dan guci terpa­jang apik pada deretan kios di jalan ini. Ukurannya beragam, dari segenggaman tangan hingga setinggi dua meter. Ber­bagai warna dan motif keramik menye­marakkan jalan sepanjang tiga ratus meter ini. Siapa sangka, di daerah yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, ternyata terdapat tempat penjualan keramik dan kristal impor. Belawan pun dikenal tak hanya sebagai daerah pelabuhan namun juga pusat perdagangan keramik.

Di sebuah gang dari Jalan Sima­lungun ini, terdapat sebuah toko. Yang paling mencolok dari ruangan berukuran tiga puluh meter persegi ini adalah guci besar yang terpajang di sana­sini. Konon, toko ini menjadi saksi sejarah terben­tuknya Pasar Keramik Belawan. Pada 1980­an silam, Yoseph, wanita pemilik toko, membuka usaha keramik bersama sepuluh pedagang lainnya. Berawal dari kesulitan mencari penghasilan dan modal nekat, ia merintis usaha keramik. “Dulu, hanya sepuluh pedagang di sini, usaha kami sangat ramai karena tempat ini begitu langka,” jelasnya bernostalgia.

Awal membuka usaha keramik, wanita keturunan Tionghoa ini selalu kebanjiran pembeli. Tak jarang Yoseph menerima pembeli dari luar Sumatera, bahkan luar negeri. Kebanyakan pembeli berasal dari kalangan menengah ke atas. “Sayang, sekarang lebih banyak penjual daripada pembeli,” keluhnya.

ANDIKA BAKTI I SUARA USU

Telah 30 tahun Belawan terkenal sebagai pusat penjualan keramik dan kristal impor berkualitas. Tak hanya pembeli biasa, para kolektor pun ber­datangan ke pesisir ini. Biasanya mereka menyukai guci berukuran besar. Ma­syarakat sekitar menyebutnya guci kan­sai. Lubang pialanya berdiameter 4­82 inci dan tingginya 4­5 meter. Harganya antara sejuta hingga Rp 15 juta. Dalam toko Yoseph sendiri, terlihat dua buah guci kansai bercorak coklat. “Ya, itu dua guci kansai mahal yang saya miliki, di­ameternya 32 inci,” kata Yoseph sambil menunjuk guci seharga Rp 15 juta.

Selain guci kansai, tersedia pula jenis guci lain seperti guci telur, guci pilar, guci kansai holo, guci kom yang menyerupai tempayan, guci payung, guci binatang, guci patung, guci abu jenazah, guci duduk, guci vas bunga dan beberapa kristal. Bachtiar, pedagang lainnya, mengungkapkan yang paling sering dicari pembeli adalah kristal berukuran kecil. Harganya bervariasi mulai dari seratus ribu hingga jutaan rupiah. “Yang jadi primadona adalah jenis Bohemia dan Ciharges,” ujar Bachtiar.

Afry, wanita asal Binjai yang mengun­jungi pasar keramik ini turut mengagumi keberadaan tempat tersebut. Menurutnya, pasar keramik diminati ibu­ibu karena menawarkan keramik yang beragam dan unik. “Saya saja sebulan ini sudah empat kali datang ke sini,” tambahnya.

Lain Afry lain pula Darman, penduduk Belawan yang sudah menetap selama 50 tahun. Ia bangga akan pasar keramik di daerah tempat tinggalnya. Menurutnya pasar ini cukup meramaikan Belawan. Na­mun ia merasa keberadaan pasar keramik ini sering membuat macet. Keramik­keramik yang dipajang terlalu menjorok ke badan jalan. Darman berharap mudah­mudahan tempat ini bisa bertahan dan diperbaiki lagi kondisinya.

Diimpor dari Lima NegaraSebagian besar keramik dan kristal

yang dijual di pasar tersebut berasal dari Cina atau negara lainnya. Tak ada satu pun produksi lokal. Namun demikian, barang­barang ini tidak didatangkan langsung dari negeri asalnya. Sejumlah pedagang yang ditemui mengatakan keramik dan kristal yang mereka jual didatangkan dari Singa­pura melalui Pelabuhan Batam.

Bachtiar bercerita tentang proses im­por keramik tersebut. Ia sudah bekerja se­bagai pemasok keramik­keramik sebelum membuka toko sendiri. “Saya sudah cukup lama mengurusi masalah ini,” ujarnya.

Awalnya keramik dipesan dari lima negara di dunia. Cina, Jepang, Korea, Singapura dan Italia. Setelah itu, semua barang dikirim ke Singapura. Dari Singapura, barulah diimpor ke Indonesia melalui Pelabuhan Batam. Mengenai proses impor barang ini, sebagian orang berpendapat barang yang masuk ke Pasar Keramik Belawan merupakan barang ile­gal. Ketika ditanya masalah ini, Bachtiar menjawab berbeda. “Tidak, siapa bilang ini barang ilegal,” ungkapnya.

Edi Hartono, Kepala Bagian Informasi Bea Cukai Pelabuhan Belawan angkat bi­cara. Menurutnya, untuk proses impor me­lalui Pelabuhan Batam memiliki perlakuan khusus. “Jadi tidak bisa sembarangan kita mengatakan barang itu legal atau tidak,” jelasnya. (Harry Yassir Elhadidy Siregar)

Sentra Keramik Lima Negara

Barisan toko penjual keramik di Jalan simalungun, kelu-rahan Belawan i, Medan Belawan.PAsAR BeLAWAn

keramik, guci dan kristal yang memiliki berbagai motif dan ukuran. harga barang impor tersebut dijual dengan harga mulai Rp 5 ribu hingga Rp 15 juta.

TOkO keRAMik

ANDIKA BAKTI I SUARA USU

Page 14: Tabloid SUARA USU 2011

14 laporan khusus

AndikA BAkTi | sUARA UsU

Sengkarut Perparkiran MedanKoordinator Liputan : Andika BaktiReporter : Bania Cahya Dewi, Rika Maya Sari Harahap, Sriyanti, Andika Bakti

Lahan Parkir Medan. Karut-marut dengan segala persoalan. Tarif yang tak sesuai aturan. Setoran dana yang tak jelas. Semrawut peng-aturan kendaraan. Hingga lahan yang di-kuasai preman.

dua orang juru parkir sedang bertugas di tepi jalan umum. seragam lengkap yang disediakan pemerintah kota membuat status juru parkir menjadi lebih jelas.PeRPARkiRAn

Jarum jam menunjuk­kan pukul 10.00 WIB. Hari itu, Selasa (22/2), halaman parkir Indo­maret Jamin Ginting

sepi dari kendaraan. Seorang juru parkir terlihat duduk santai sembari menunggu pengunjung yang ingin me­nitipkan kendaraan. Ia adalah mahasiswa semester akhir di USU, Steve namanya. Men­jadi juru parkir adalah peker­jaan sampingannya.

Ketika dihampiri untuk wawancara, ia dengan santai mengaku bersedia. Namun, di pertengahan wawancara mimik wajahnya berubah dan tampak ketakutan. Alasan­nya karena khawatir dimarahi pengawas. Pengawas meru­pakan orang yang menguasai lahan parkir per ruas jalan di tepi jalan umum.

Steve menjelaskan tugas seorang juru parkir adalah mengamankan kendaraan. “Yah, kita cuma berusaha memberikan keamanan dan kepuasan bagi pelanggan,” ujar Steve. Steve baru bekerja selama dua hari di sana. Ia mengatakan, belum pernah terjadi kehilangan di tempat ia bekerja sekarang. “Kalau pun ada kehilangan, tukang parkir kan tidak bertanggung jawab. Sudah ada kok aturannya,” kata Steve.

Steve mengaku mendapat izin bertugas di lahan itu dari pengawasnya. Ia sudah lama menjadi juru parkir, hanya saja ia sering pindah tempat. Namun, ketika minta diper­lihatkan Surat Keterangan Retribusi Daerah (SKRD), ia mengaku belum memilikinya. “Iya sih ilegal, kalau ketahuan sama polisi, pengawas yang akan bertanggung jawab. Tapi sejauh ini, belum pernah ada pemeriksaan,” tambah Steve.

Tarif yang ditetapkan Steve untuk kendaraan roda dua dan roda empat adalah Rp 1.000. Mulanya ia mengaku wajib setor pada pimpinan sebesar Rp 35.000 per hari. Namun, beberapa menit kemudian ia buru­buru meralat ucapannya dengan mimik wajah sedikit khawatir bahwa nominal uang yang disetorkan pada pengawas adalah Rp 10.000 per hari.

Dengan tarif parkir sebesar itu, tak jarang ada pengguna ja­lan yang mengeluh. Abil pen­gunjung Indomaret, misalnya. “Setahu saya, Indomaret itu bebas parkir, tapi nyatanya ma­sih dipungut bayaran,” ungkap pengendara sepeda motor ini. “Cuma buat beli pulpen harga seribu, terus ngeluarin uang parkir lagi seribu. Mending beli pulpen dua,” keluhnya se­belum berlalu.

Bukan hanya pengunjung

yang mengeluhkan hal ini. Manajer dan karyawan Indo­maret pun demikian. Yanty, kasir Indomaret mengatakan pihaknya pernah memberi te­guran kepada juru parkir terse­but. Namun, tidak mempan. “Manajer kami juga sudah tu­run langsung, tapi mau gimana lagi. Mereka begitu keras ke­pala karena status premannya itu,” tambahnya.

Hal serupa terjadi di Indo­maret Jalan Dr Mansyur. Lo­mak Tampubolon, pimpinan Indomaret tersebut, sedang briefing bersama lima kar­yawannya di sudut dalam dekat rak sampo. Terlihat beberapa pelanggan Indomaret silih ber­ganti memarkirkan kendaraan. Di sana, ada seorang juru parkir yang menggunakan seragam khusus dari dinas perhubungan (dishub).

“Sudah banyak pelanggan yang mengeluh,” ujar Lomak sore itu. Pihak Indomaret telah mengusahakan berbagai cara. Salah satunya, dengan mem­bayar juru parkir yang berjaga sebanyak Rp 200.000 per bu­lan. Hanya saja, juru parkir yang ditugaskan di sana sering berganti sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Lomak juga pernah ber­bicara langsung dengan juru parkir tersebut. Saat itu, mere­ka sepakat tidak akan mengutip

biaya parkir. “Kami terserah konsumen, seikhlas hati saja,” tutur Lomak menirukan logat bicara si juru parkir. Namun, setelah Lomak memasang ka­mera pengawas, ia mengetahui ada juru parkir yang memaksa pelanggan untuk membayar. Saat ia menegur, justru si juru parkir membentak balik. “Ker­jakan aja kerjaan kalian. Kami kerjakan bagian kami!” ung­kap Lomak kembali meniru­kan. Ancaman bahkan terlon­tar dari juru parkir itu. “Saya dan karyawan saya sempat diancam karena masalah ini,” ujarnya lagi.

***Peraturan Daerah Kota

Medan nomor 7 Tahun 2002, Pasal 24 tentang struktur be­sarnya tarif retribusi, telah menjelaskan besar tarif parkir di tepi jalan umum. Untuk kendaraan roda dua, dua jam pertama dikenakan biaya sebe­sar Rp 300 dan ditambah Rp 200 untuk satu jam berikut­nya. Nominal ini tidak berbeda dengan kendaraan roda tiga. Hanya saja untuk kendaraan roda tiga ditambah Rp 100 untuk satu jam berikutnya. Se­dangkan kendaraan roda empat dikenai biaya sebesar Rp 1.000 pada dua jam pertama, lalu Rp 500 untuk satu jam berikutnya. Nyatanya, aturan ini tak belaku

di lapangan.Ospi Sihotang, seorang

juru parkir wanita, menetap­kan tarif roda empat sebesar Rp 1.000 dan roda dua Rp 500. Ospi sehari­hari bertu­gas di Jalan Jamin Ginting, tepatnya di Majestyk lampu merah simpang kampus USU. Wanita yang tak begitu tinggi dengan rambut tergerai sebahu ini mengaku tahu bahwa tarif parkir roda dua sebenarnya Rp 300. “Memang sih, tarifnya 300, tapi orang bayar minimal gopek bahkan ada yang ngasih lebih, mungkin karena kasih­an,” ujarnya.

Juru parkir Ayam Penyet Ari Bakso, Rahmat, juga meng­aku tidak pernah mematok tarif parkir kepada pengguna jalan. “Saya enggak pernah patokin harga, terserah mereka saja mau kasih berapa,” jelas Rahmat. Hampir sama dengan Ospi, Rahmat sering mendapat bayaran lebih untuk jasanya.

Dari nominal yang dikutip petugas parkir, sebagian be­sar jatuh ke tangan pengawas. Rahmat mengaku penghasilan­nya setiap malam tak menentu. “Kalau malam minggu biasa­nya ramai jadi banyak dapat­nya,” ungkapnya. Rahmat bisa memperoleh Rp 150.000 pada malam libur atau pun saat cu­aca cerah, namun pendapatan tersebut harus disetor kepada

Page 15: Tabloid SUARA USU 2011

15laporan khusussUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

seorang juru parkir saat memungut uang parkir di salah satu tempat makan di Jalan gagak hitam pada Jumat (25/2). Menurut kabid dishub kota Medan, lahan kosong yang disediakan juga termasuk tepi jalan umum yang dikenakan biaya parkir.

PeMUngUTAn

AndikA BAkTi | sUARA UsU

Pemberitahuan tarif kepada pengguna sepeda motor di salah satu tepi jalan umum Jalan Jamin ginting, Padang Bulan. Juru parkir menetapkan tarif sebesar Rp 500 walau dalam UU hanya sebesar Rp 300.

TARiF PARkiR

AndikA BAkTi | sUARA UsU

pengawas yang disebutnya pengamat sebesar Rp 87.500.

Tugas pengawas tak hanya menerima uang parkir dari para petugas. Ospi bercerita, bila ingin menjadi juru parkir cukup dengan mendaftar pada seorang pengawas yang di­tunjuk dishub untuk wilayah tersebut. Pengawas yang akan mengontrol jalannya tugas para juru parkir dan menagih iuran. Selain itu, pengawas juga ber­tugas untuk membayar iuran pada dishub dan memperbaha­rui kartu­kartu tugas para juru parkir.

Rahmat menuturkan hal yang sama. Untuk menjadi petugas parkir, ia tinggal menunjukkan KTP pada penga­was. Selanjutnya, pengawas akan menentukan di area parkir mana ia bertugas.

Pria yang telah sepuluh tahun melakoni pekerjaan sebagai juru parkir ini mengatakan penga­was akan menyetor pendapatan parkir kepada dishub. Pengawas tersebut diberi wilayah­wilayah tertentu. Seperti wilayah sim­pang barat Jalan Gatot Subroto sampai simpang Sei Sikam­bing.

Surbakti, seorang penga­was parkir yang telah bertu­gas selama dua tahun meng­aku menyetor Rp 70.000 per hari ke dishub. Pria berkumis ini mengawasi wilayah dari sepanjang Jalan Jamin Ginting, mulai dari kompleks pemakam­an dekat Pajak Sore hingga Perumahan Citra Garden. Ba­tas wilayahnya sejajar, artinya baik bagian kanan maupun kiri jalan merupakan wilayah yang harus ia awasi.

Ketika ditanyakan berapa yang disetor oleh juru parkir per harinya ia tak ingin mem­beritahukannya. “Yah, jum­lahnya rahasia, Dek,” jawab­nya. Ia hanya menyebutkan nominal yang disetor ke dis­hub. Setiap dua minggu atau seminggu sekali, perwakilan

dishub akan mengambil uang setoran dari Surbakti.

***Sebuah tenda kecil di wa­

rung makan Taman Ahmad Yani pada suatu siang. Ter­dapat satu meja dan lima kursi plastik berwarna hijau tersusun tidak begitu rapi, di situlah Pahmi, berpakaian baju di­nas lengkap kami temui ber­sama ketiga rekannya. Pahmi Harahap adalah Kepala Bi­dang Perparkiran Dishub Kota Medan.

Mengenai tarif parkir yang beragam, Pahmi membenar­kan bahwa tarif yang diterap­kan harus sesuai dengan Perda Nomor 7 Tahun 2002. Ia mene­gaskan bahwa nominal yang disebutkan dalam undang­un­dang tersebut digunakan untuk membayar lahan yang sudah digunakan pengguna jalan, ti­dak termasuk pelayanan. “Tu­gas tukang parkir hanya mengu­tip duit,” tegasnya.

Pahmi menjelaskan bahwa juru parkir awalnya hanya pre­man yang menguasai lapangan. Tidak ada ketetapan berapa tarif yang akan ditagih kepada pengguna jalan yang memarkir­kan kendaraan. Kemudian ada tawaran dari pemerintah kota (pemko) untuk memasukkan sebagian pendapatan mereka ke kas pemko. Mereka mau menurutinya.

“Pemko merangkul dan menawarkan untuk memasuk­kan penghasilan mereka ke kas,” jelasnya. Agar keberadaan mereka legal, Pemko Medan memberi fasilitas berupa se­ragam parkir. Dengan begitu mereka bisa lebih diarahkan. Pahmi sempat mengusulkan kepada kepala dinas untuk menjadikan juru parkir sebagai pegawai harian lepas (PHL). Namun, sesuai Peraturan Men­teri Tenaga Kerja Nomor PER­06/MEN/1985 yang ditetapkan di Jakarta pada 21 Juni 2004,

PHL sudah ditiadakan.Alternatif lain untuk mener­

tibkan juru parkir adalah de­ngan memberi kontrak kerja pada mereka. Dengan begitu juru parkir akan lebih tunduk kepada pemko. Mereka juga diwajibkan untuk melapor berapa penghasilan keseluruh­an yang didapat dalam sehari.

Namun, kendala muncul karena dibutuhkan anggaran sebesar Rp 1.100.000 untuk membayar tiap juru parkir yang dikontrak. Pahmi mengakui penghasilan Pemko Medan dari perparkiran yang nominal tertinggi mencapai Rp 45 juta per hari belum cukup untuk membiayai hal tersebut.

***Karut­marut perparkiran

Kota Medan tak hanya ma­salah tarif parkir yang tak sesu­ai aturan. Ketiadaan jaminan akan keamanan kendaraan di tempat parkir juga menjadi salah satu keluhan pengguna jalan.

Ospi memang mengakui petugas parkir tidak bertang­gung jawab atas kehilangan. “Kami tidak dapat dituntut untuk kehilangan tersebut,” jelasnya sambil menunjukkan keterangan yang tertera pada kartu tugas yang digantung di lehernya.

Namun, selama ia bertugas, belum pernah Ospi kecolongan dan kehilangan kendaraan yang berada di bawah tanggung jawab­nya.

“Kendaraan tidak pernah, tapi helm yang hilang pernah. Itu tidak terlalu dipermasalah­kan pengguna,” pungkasnya.

Untuk pertanggungjawab­an, Muslim Maksum, anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara menyatakan apabila terjadi ke­hilangan kendaraan di tempat parkir resmi, maka yang ber­tanggung jawab seharusnya adalah dishub.

Perda nomor 7 Tahun 2002, pasal 13 ayat 2 tentang retribusi parkir di Medan menjelaskan, petugas parkir dibebaskan dari tuntutan hukum atas kerusakan, kehilangan kendaraan serta ba­rang­barang di dalamnya.

Namun, Pahmi berpendapat lain. Menurutnya, jika keluar suatu peraturan baru yang me­nyatakan bahwa kerusakan dan kehilangan kendaraan yang terjadi akan diasuransikan Pemko Medan, maka tingkat kriminalitas perparkiran akan semakin tinggi.

Jika dishub yang harus ber­

tanggung jawab atas semua kerusakan, tentu akan semakin bebas orang untuk merusak dan mengganggu kendaraan di tempat parkir.

“Bagaimana kami mem­bayarnya?” elak Pahmi.

Selain masalah itu, jalanan Medan yang menjadi lahan parkir harus diakui masih jauh dari keteraturan. Pahmi sendiri mengakui hal ini.

Suatu ketika Pahmi melaku­kan survei ke lapangan guna mengetahui langsung kondisi perparkiran di Kota Medan. Saat melintas di Jalan Brigjen Katamso, ia mengaku sempat memarahi juru parkir yang ber­tugas karena melihat kendaraan yang terparkir tidak sejajar.

“Di situ palang besar jelas tertulis ‘Parkir Sejajar’, tapi tetap saja ada kendaraan yang diparkir miring,” ungkapnya kesal.

Ia tak sepenuhnya menya­lahkan juru parkir, namun mengimbau kepada masyara­kat agar membantu untuk ikut menertibkan kendaraan yang sedang dititip.

Begitu juga ketika ia melin­tas di Jalan Perniagaan, tepat­nya di pajak (pasar ­red) ikan. Ia mengeluhkan kondisi perparki­ran tepi jalan di daerah tersebut yang dikategorikan sangat meng­ganggu pengguna jalan lain. Ia mengusulkan kepada walikota untuk meniadakan lahan parkir harian tepi jalan umum. Pem­ko hendaknya membuat suatu fasilitas yang memang khusus untuk parkir demi menertibkan kendaraan.

“Kita bisa memanfaatkan gedung untuk dijadikan tempat khusus parkir, tapi kalau gak ada dukungan dari masyarakat sama saja bohong,” ungkap­nya. (Andika Bakti)

Page 16: Tabloid SUARA USU 2011

16 mozaik sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

Fadillah Syafitri NasutionFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2008

Lima Tahun

Hal yang paling kuat di ingatanku adalah hujan begitu deras dan petir menggelegar di balik pertengkaran kami. Dia

lalu memutuskan untuk pergi. Sudah sekian lama. Dan setelah lima tahun, dia masih tetap belum kembali. Aku menjalani hari­hariku hidup bersama dua adik perempuanku dan ibuku yang malang tanpanya.

Di setiap hari raya, di setiap ulang tahunnya, aku tahu, ibu selalu bertahajud menggumamkan namanya. Meminta pertolongan agar dia selalu diberi kesehatan dan mendapat petunjuk agar terbuka pintu hatinya dan kembali lagi kepada kami.

Hidup kami terus berjalan. Aku, seba­gai kakak tertua menggantikan abangku, memilih sikap diam untuk masalah ini. Aku bekerja siang dan malam menghidupi keluargaku. Yang selalu kupikirkan adalah bagaimana kami bisa makan besok. Bagaimana membayar bi­aya hidup dan biaya sekolah adik­adikku.

Minggu pagi, sehabis subuh aku sudah mulai bekerja. Ibuku ma­sih bersujud di depan Sang Khalik, adikku yang menyiapkan sarapan pagi kami. Setelah mencium tangan ibuku dan mengucapkan salam, aku pergi mengendarai motor.

Langit masih gelap. Masih jam enam kurang lima belas menit.

Di perjalanan, pikiranku menerawang. Tidak ada laki­laki, kami tetap bisa hidup. Buktinya, sudah lima tahun kami hidup tanpa dia. Aku menegaskan diriku berulangkali. Aku, Ibu, Putri, dan Ega tetap bisa bertahan walaupun tanpa abangku yang kurang ajar itu. Hidupnya sudah berkecukupan. Tapi tega menelantarkan keluarganya hanya karena seorang wanita. Aku tahu persis wanita itu. Begitu juga ibuku. Waktu abangku mengucapkan niatnya di depan keluarga, ibuku tidak setuju.

Dia tidak merestui hubungan abangku dengan wanita itu. Aku tahu, ibuku menyesal dengan keputusannya itu. Tiap malam ia menangis, pasti karena kekhilafan yang telah ia lakukan.

Aku pikir pasti mereka sudah menikah saat ini. Tinggal di suatu tempat yang bagus dan wanita itu hidup bersamanya dengan memakai segala fasilitas milik abangku yang kami sendiri keluarganya belum pernah sekali pun rasakan.

Jalanan sepi, aku menyabet lampu merah. Tidak ada polisi karena mereka pasti masih tidur, pikirku dalam hati. Tiba­tiba…

BRAAKKKKK!!!!!Sepeda motorku menabrak sebuah

mobil dari arah yang berlawanan. Mobil itu berhenti mendadak dan aku terhuyung melompati atap mobil itu. Motorku, tidak tahu entah kemana lagi.

***Empat hari berlalu. Empat hari aku

tak sadarkan diri. Jam sepuluh malam. Tanganku bergerak. Kelopak mataku ter­

cerpen

buka, awalnya masih rabun tapi kemudi­an menjadi jelas. Bibirku yang mengatup, mulai bergerak ke atas dan bawah. Dan ketika aku pertama kali melihat, orang yang kulihat adalah abangku.

“Mas Sani?” kataku gagu.“Iya, Dek,” jawabnya pelan.Ketika mataku mengedar ke sisi

lain, aku melihat ada banyak orang mengerumuniku. Pelan­pelan aku mengingat nama mereka semua.

***Tertidur lagi. Tak sadarkan diri. Kali

ini dalam waktu yang lebih lama. Di hari yang kesembilan. Aku mulai siuman. Kondisiku mulai membaik beberapa hari setelahnya. Aku sudah bisa duduk dan makan sendiri. Setelah empat hari siuman, aku mulai mengingat sesuatu.

“Bu, aku bermimpi melihat dia waktu aku koma kemarin,” kataku sambil mengunyah potongan apel yang dikupas ibuku.

“Kamu ingat?” tanya ibu.Aku mencoba mengingat memori

tentang Mas Sani yang terlintas di kepalaku.

“Aku melihat dia bersama perempuan itu,” kataku sekenanya. ”Entah kenapa,

saat itu aku sedih sekali. Aku menangis, dan…,” aku terdiam sejenak. “Aku, enggak ingat apa­apa lagi.”

“Kalau seandainya dia benar­benar datang menjenguk kamu, bagaimana?” tanyanya lagi.

Wajah ibu menyiratkan teka­teki. Entah apa yang harus aku jawab.

“Dia harus minta maaf dulu sama Ibu. Baru boleh menjengukku.”

“Jika dia sudah datang meminta maaf pada Ibu, kamu mau menerima dia sebagai Mas­mu lagi?”

Pertanyaan ibu terakhir tidak aku mengerti. Aku tidak menjawab. Sore harinya, ibu membawaku berjalan­jalan ke taman di belakang rumah sakit ini. Kursi roda dan botol infus serta penyang­ga kakiku yang patah menjadi perhatian orang ketika kami berjalan di koridor­koridor.

Ternyata sore di taman ini sangat in­dah. Banyak bunga yang tersenyum. Ibu­ku meninggalkanku sebentar di sini. Aku mengiyakan. Seandainya ada Ega atau Putri, aku pasti tak bengong sendirian. Tapi ini bukan lagi di Sukabumi, ini Bandung. Ibuku tidak mau mereka bolos sekolah karena harus merawatku.

Ada seorang laki­laki mengham­

piriku. Aku tahu kalau ia seorang laki­

laki dari bentuk tubuhnya di bayangan sore matahari. Kakinya terhenti di belakangku. Aku memperhatikannya dari tanah berumput ini. Aku ingin tahu tapi tidak bisa menoleh ke belakang karena leherku yang masih sakit.

“Hai,” katanya ramah, ia tersenyum.Aku hampir saja melonjak. Mataku

terbelalak. Benar­benar sebuah kejutan.Ia menyodorkan bunga mawar kepa­

daku, “Ambillah...”Aku tak ambil pikir, langsung

menyerobotnya. “Buat apa datang menjengukku? Masih peduli sama kami?” sergahku langsung.

Dia diam menunduk. Aku melihatnya seperti itu, ia menarik napas yang panjang. Aku bicara lagi.

“Jadi dengan cara ini Mas mengambil hati ibu? Gampang sekali rasanya, setelah lima tahun kau lepaskan seluruh tanggung jawabmu padaku. Gara­gara kau, kuliahku terhenti. Aku memutar otak mencari uang untuk makan kami setiap hari. Aku tidak mau memaafkanmu.” Aku bicara dengan keras. Rahangku terasa sakit karena harus mengerahkan seluruh suaraku. Aku menjadi pusat perhatian, orang­orang di taman ini memperhatikan kami.

Dia melirik ke mereka yang berkerumun, setelah mereka mengalihkan perhatiannya dari kami karena malu, dia membuka mulutnya dengan nada yang sangat halus. “Mas sudah dapat balasannya.” Matanya nanar mengedar, mencari sisi lain selain wajahku.

“Bukan kamu saja korban kecelakaan ini,” ucapan seperti keluar dengan sangat sulit. “Tapi juga Bella dan calon anakku.” Pandangan yang kudapat kali ini lebih nelangsa. Aku melihat matanya yang berkaca­kaca.

“Mobil yang nabrak kamu itu, mobilku. Dia dan anakku yang masih di dalam kandungan meninggal. Hanya kamu yang selamat,” katanya lagi.

Aku menutup mulutku sambil menangis, aku terkejut luar biasa. Rasanya seperti dijatuhkan dari lantai l5. Aku tidak percaya, sungguh mustahil. Orang yang aku tabrak adalah dia. Dia, orang yang aku benci. Bukan maksudku, aku tidak tahu dialah yang ada di dalam mobil itu. Aku menangis terisak­isak tanpa berhenti.

“Ini bukan salahmu, Dek. Ini balas­an untukku. Mungkin memang sampai sini jodohku dengannya. Aku tidak direstui dan aku juga meninggalkan kalian. Ini takdir Allah. Aku diingat­kanNya dari kesalahanku. Aku akan kembali lagi pada kalian. Maafkan aku Rin, tolong maafkan kami. Maafkan aku dan Bella…”

Kepalanya tertunduk lesu di depanku. Dia menangis di hadapanku dengan rasa penyesalan dan sedih yang amat dalam. Aku membelai rambutnya dengan penuh air mata di pipiku. Aku langsung memeluknya.

viki APRiLiTA | sUARA UsU

Page 17: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011 17mozaiksorotpuisi

Aku MiskinSepno SemsaFakultas Sastra, 2010Tawa bahagia itu musnahMenjelma menjadi air mataGetir hati ini bila melihat pemerintahPemerkosaan keadilaan di mana­mana

Aku miskinAku kelaparanAku kedinginan

Mengais sampahHanya demi sesuap nasiBegitu hina akuHanya karena ketidakadilan

Kini semua hanya nyanyian dalam hatiJiwaku lemah tak berdayaHanya jerit tangis dalam kata

Begitu indah namun perihSuka tapi dukaLara hati ini sungguh tak bertepi

Indonesiaku pun ikut menangisAnak kecil menjeritAdakah kau dengar tangisan ini?Wahai penguasa Lihatlah aku iniAku tak berdayaAku hanya ingin keadilan

Sekelompok ibu-ibu keluar dari sebuah jambur. Me-ngenakan kebaya, menyampirkan ulos di bahu kanan, lengkap dengan riasan wajah, serta sanggul meng-gelembung. Dandanan istimewa itu sedikit berbeda dengan bawahan yang dikenakan di luar kebaya, sa-rung.

Sarung yang digunakan bukan sarung khu­sus. Hanya sarung biasa yang bisa saja terbuat dari katun, sutra, peach skin, dan polister yang umumnya beredar di pasar dengan motif kotak­kotak. Namun untuk

acara besar seperti perayaan pesta bona taon, kerja tahun hingga pernikahan, sarung yang digunakan lebih istimewa. Biasa sarung impor maupun sarung lokal dengan kualitas tinggi, bahkan disulam dengan benang emas.

Budaya ini sebenarnya ditujukan kepada kaum hawa. Tujuannya, satu, untuk menjaga kesopanan. Konon, masyarakat Batak terdiri atas komunitas­ komunitas yang suka bersosialisasi. Biasanya mereka berkumpul di jambur, rumah atau tempat pertemuan lain, lalu duduk bersama di lantai.

Susunan tempat duduk yang melingkar dan merapat membuat mereka harus menggunakan kain untuk menjaga kesopanan saat berhadapan dengan lawan jenis. Baik menggunakan rok atau pun celana, sarung tetap harus digunakan di luar pakaian mereka untuk menutupi bagian pinggang ke bawah.

Hingga kini, budaya ini masih diterapkan walau tak lagi harus bersila di lantai. Menghadiri pesta di gedung megah pun, sarung tetap dikenakan. Peran keluarga pada masyarakat Batak sangat berpengaruh dalam melestarikan budaya ini. Jika hanya karena menjaga kesopanan, sebenarnya bisa saja sarung konvensional disubstitusi dengan rok atau apa saja sesuai dengan tren. Namun terpaan media yang acap kali mendikte ternyata belum mampu melunturkan budaya ini.

Mempertahankan sebuah tradisi adat sepertinya sangat sulit di tengah himpitan kebudayaan yang ma­suk. Indonesia dengan pluralitasnya terlalu banyak memiliki kebudayaan yang berbeda, sehingga tidak banyak yang menonjol. Hal ini pun mengakibatkan hal­hal kecil dari sebuah adat menguap di antara ke­heterogenan.

Setiap kelompok adat seharusnya mengupayakan agar tradisi yang ada pada adat tersebut tetap subur dari generasi ke generasi. Munculkan rasa bangga akan budaya tersebut. Sarung merupakan satu contoh yang sangat kecil dari budaya yang mampu bertahan di Indonesia. Jika semua suku mempertahankan ke­budayaannya secara kontinu pada setiap orang, suatu budaya mustahil lenyap.

Budaya merupakan identitas. Jangan sampai kita tidak mengenali diri sendiri. (Shahnaz A Yusuf)

SarungSebentar lagi Kau semua akan memperingati hari tentangkuHari di mana kau semua akan membanggakankuHari di mana kau semua mengungkap kelebihankuHari di mana seolah akulah yang paling kau pedulikan

Namun, setelah hari itu berlaluKe mana perginya kau semuaKe mana kata­kata janjimu Yang berkata kan terus menjagakuYang berkata kan terus memeliharaku

Kalian bohong…Ucapan itu palsu

Kau semua membiarkan tubuhku ternodai Oleh butiran sampah yang menggenangMembuatku sulit mengalir dan membuatku keruhAku benci semua itu

Dan bila suatu hari nantiSaat ku marah, jangan salahkan akuBila harus membuatmu kehilangan semuanyaHartamu bahkan sanak saudaramu

Aku memang tak berarti apa­apa ketika hanya setetesNamun kumpulan tetesanku bisa menjadi samudraSamudra yang siap menenggelamkanmuIngatlah itu…

Saat Aku MarahDefi WahyuningsihFakultas Kesehatan Masyarakat, 2009

IKLANPUTRi RiZki ARdhinA | sUARA UsU

Page 18: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 201118 potret budaya

HolatKuliner Unik

Bercita Rasa Menggelitik

Sepintas tampilannya biasa saja. Mirip gulai dengan warna kuahnya yang putih dan bercak-bercak

minyak yang keluar dari lemak ikan. Saat dicicipi rasanya hampir seperti sup. Tapi tunggu dulu, ada

cita rasa yang khas pada kuliner ini.

Selain rasanya yang seperti sup, yakni asin, pedas dan segar, ada satu cita rasa lagi yang menggugah selera kala menyantap hidangan yang

satu ini. Sedikit pahit dan kelat. Rasa unik ini berasal dari batang balakka. Karena rasa batang yang kelat itu, orang Batak menyebut hidangan ini holat, yang berarti kelat. Getah holat ini pula yang membuat kuah makanan ini berwarna putih hampir seperti santan.

Holat merupakan makanan khas dari Tapanuli Selatan (Tapsel). Tak ada duanya di daerah lain karena bahan baku utama makanan ini, batang balakka, ha­nya tumbuh di tanah sangat gersang dan kering seperti di Tapsel dan sekitarnya.

Cara membuat holat terbilang sangat unik dan beresiko bagi yang tidak mahir membuatnya. Salah­salah, holat yang dihasilkan bisa terlalu pahit atau sama sekali tidak berasa apa­apa. Bahan­bahan yang dipergunakan sebenarnya cukup sederhana, seperti daun sup, daun bawang, lengkuas, ketumbar, merica, ga­ram, bawang merah, jahe, kelapa, tepung beras yang disangrai, jeruk nipis, cabe rawit yang dihaluskan, dan tentu saja batang balakka.

Untuk lauknya sendiri bisa disesuai­

Tapsel. Namun karena pengelolaannya yang belum profesional, kelas hidangan ini masih sulit naik ke tingkat restoran. Alhasil belum banyak orang mengenal menu ini.

Mamak Andri, seorang penjual holat di Medan mengaku sudah sepuluh tahun berjualan kuliner khas ini. “Saya sudah sepuluh tahun jualan holat, dan memang banyak yang suka,” jelasnya. Meski masih terdengar asing, namun menu ini digemari banyak kalangan, mulai dari pejabat hingga mahasiswa.

Maulana misalnya. Ia mengaku penasaran dan hanya coba­coba untuk mencicipi hidangan ini. Namun akhirnya ia pun ketagihan. “Apa sih holat? Ternyata waktu dimakan enak juga. Seminggu dua kali lah ke sini,” ucap mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara ini.

Mamak Andri mengatakan orang­orang keturunan Tionghoa di Medan banyak yang ketagihan dengan rasa holat. “Orang­orang Cina juga banyak yang ke sini,

mereka kepincut dengan rasa kuahnya,” papar ibu dua anak ini. Selain itu, holat juga dipercaya dapat mengobati sakit mag serta beberapa penyakit perut lainnya seperti menceret dan masuk angin. Mamak Andri biasanya mampu menghabiskan puluhan kilogram ikan mas per hari dan satu karung batang balakka per minggu.

Batang balakka tersebut didatangkan langsung dari kampung halamannya di Tapsel. Namun karena kendala pengiriman batang balakka, warung yang terletak di depan Universitas Negeri Medan ini sempat absen menyajikan holat sebagai menu utama. Akibatnya, Mamak Andri sempat kehilangan beberapa pelanggannya. Untunglah kini holat telah disajikan kembali di warung Mamak Andri. Anda cukup merogoh kocek sebesar Rp 15 ribu untuk menikmati seporsi holat leng­kap dengan nasi. (Sriyanti)

kan dengan selera. Boleh ikan mas, ikan laut, lele, ayam atau daging. Namun lauk yang sering dimasuk­kan adalah ikan mas. Lauk yang dipergunakan tidak dimasak terlebih dahulu. Getah dari batang balakka mampu membuat empuk lauk yang dicampurkan dengannya.

Langkah pertama pembuatan holat, bumbu­bumbu dicampur dalam mangkuk saji. Selanjutnya kulit luar batang balakka dikikis. Kikisan kulit ini dimasukkan dalam mangkuk saji, kemudian ditambahkan air mendidih, perasan jeruk nipis dan cabai rawit yang dihaluskan. Terakhir, tambahkan kecap asin bila suka. Seporsi holat pun siap dihidangkan. Rasanya yang ramai akan menggelitik lidah penikmatnya.

Makanan Para RajaDahulu, menu holat ini disajikan

kepada raja­raja Batak pada saat pesta. Konon, menu ini wajib ada karena merupakan hidangan khas tanah Batak. Biasanya hidangan ini disajikan pada saat malam hari kepada para raja Batak tersebut sebagai teman minum tuak.

Seiring berjalannya waktu, kini holat dapat dinikmati siapa saja karena dapat dijumpai di beberapa rumah makan khas

RIDA HELFRIDA I SUARA USU

RIDA HELFRIDA I SUARA USU SOFIARI ANANDA I SUARA USU

Makanan khas Tapanuli selatan yang dipercaya dapat mengobati sakit mag dan beberapa pe-nyakit perut lainnya.

hOLAT

selain nasi putih, holat juga dapat dinikmati dengan mencampurkan sambal dan kecap un-tuk memperkaya rasa.

hidAngAnkikisan kulit batang balakka mengandung ge-tah yang mampu membuat lauk menjadi empuk tanpa dimasak terlebih dahulu.

BALAkkA

Page 19: Tabloid SUARA USU 2011

Di Balik Berita Penahanan Syamsul Arifin

viki APRiLiTA I sUARA UsU

Nama: Pemilianna Pardede, S.Sos

Lahir: Balige, 3 Juli 1973

Pendidikan:SD Negeri Balige (1985)SMP Negeri Balige (1988)SMA Negeri Balige (1991)Fakultas KomunikasiInstitut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta (1996)

Pekerjaan:Analis Media KIPPAS(Kajian Informasi, Pendidikan, dan Penerbitan Sumatera)

Biodata:

Penahanan Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin, oleh Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) merupakan salah satu topik terpanas pada 2010

silam. Orang nomor satu di Sumatera Utara ini ditahan terkait dugaan korupsi yang dilakukannya semasa menjabat se­bagai Bupati Langkat. Media tentu ramai mengangkat topik ini sebagai bahan pem­beritaan. Sebagian besar bahkan menjadi­kannya topik utama. Ataukah ada orienta­si politik berbeda yang disamarkan media dalam ruang pemberitaannya?

Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) melaku­kan riset mengenai pemberitaan media atas penahanan Syamsul Arifin terse­but. Analis media KIPPAS Pemilianna Pardede mengungkap hasil riset ini kepa­da reporter SUARA USU, Moyang Kasih Dewimerdeka (8/2). Dengan berapi­api, perempuan mungil ini mengisahkan riset kualitatif yang dilakukannya atas lima su­rat kabar harian yang terbit di Medan.

Mengapa meriset pemberitaan me-dia mengenai kasus penahanan Syamsul Arifin?­

Kita memang tertarik untuk melihat bagaimana dukungan media dalam pem­beritaan kasus korupsi. Karena kasus Syamsul yang sedang hangat, maka kita coba mengangkat kasus ini. Tujuannya untuk melihat bagaimana fakta media tentang korupsi Syamsul. Dalam hal ini, media kan memang harus mengambil peran.

Bagaimana metode riset yang dilaku-kan?

Ada dua jenis metode yang digu­nakan, analisa isi secara kuantitatif dan kualitatif. Saya melakukan riset secara kualitatif yakni melalui framing analy-sis. Artinya melihat penggambaran ber­ita secara keseluruhan lalu mengungkap makna sebenarnya dari berita tersebut. Bisa melalui susunan kata yang dipilih, struktur berita, atau pun sudut pandang yang dipilih penulis berita.

Apa saja media yang diriset?Kita memilih lima surat kabar har­

ian yang terbit di Medan, yaitu Analisa, Waspada, SIB (Sinar Indonesia Baru

–red), Sumut Pos, dan Seputar Indonesia. Untuk riset kualitatif, berita yang dia­nalisis adalah berita tentang penahanan Syamsul Arifin yang terbit pada 23 No­vember 2010, sehari setelah terjadinya penahanan.

Dalam riset kualitatif, periset bisa terjebak dalam subjektivitas pribadi. Bagaimana mengatasi hal ini?

Kita memang tidak memungkiri hal tersebut. Untuk mencegah hal ini, kita se­maksimal mungkin tetap berpegang pada teori agar tidak subjektif. Diskusi dan ma­sukan dari orang lain juga diterima agar tidak menjadi pendapat pribadi semata. Selain itu, kita kan juga melakukan riset secara kuantitatif. Riset kuantitatif ini lebih konkret dan unsur yang dilihat lebih nyata. Jadi, temuan riset kualitatif dan kuantitatif dapat saling melengkapi.

Apakah temuan dari riset tersebut?Dari lima surat kabar tersebut, hanya

Analisa yang tidak mengangkat topik ini sebagai headline. Keempat surat kabar lainnya menempatkan berita ini di hala­man satu. Analisa menghimbau pemba­canya untuk tidak memvonis Syamsul bersalah sebelum ada keputusan hukum

yang sah. Analisa juga berpandangan bahwa penahanan ini sudah sesuai de­ngan prosedur yang berlaku. Sumut Pos memilih fokus pada kesalahan prosedur yang dilakukan KPK dalam penahanan Syamsul ini. Begitu pula dengan Seputar Indonesia. Sedangkan SIB berulang kali menekankan bantahan Syamsul bahwa dirinya terlibat korupsi. Hal ini terlihat dari munculnya beberapa kali kutipan Syamsul Arifin yang membantah keras tuduhan terhadap dirinya. Frame ini sama dengan yang diangkat Waspada.

Kesimpulannya?Secara umum, kelima surat kabar

memilih framing yang bagus terhadap Syamsul. Bahkan, ada yang terang­terangan memberikan dukungan. Ada juga yang membangun citra Syamsul Arifin berlum tentu bersalah. Di sini, kita bisa melihat dukungan yang nyata dari media­media di Medan terhadap Syamsul Arifin.

Mengapa tiap media memilih frame yang berbeda-beda untuk satu topik yang sama?

Untuk menjawab ini sebenarnya perlu riset yang lebih mendalam. Tidak cukup dengan menganalisa beritanya semata. Namun perlu wawancara mendalam de­ngan pemilik media, redaksi, dan penulis berita itu sendiri. Secara umum, kita bisa menyimpulkan sendiri jawaban dari per­tanyaan itu. Misalnya dengan melihat latar belakang pemilik media dan track record media itu selama ini. Masing­masing me­dia kan punya orientasi berbeda.

Bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi temuan ini?

Masyarakat tentu harus lebih kritis. Tidak menerima begitu saja berita yang dimuat suatu surat kabar. Bila perlu, baca berita yang sama dari beberapa surat ka­bar sehingga bisa mendapatkan sudut pandang yang beragam. Masyarakat perlu proaktif terhadap media agar media tetap mempertahankan prinsip keberimbangan dan setia pada kode etik jurnalistik.

19dialogsUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

IKLAN

ANDIKA BAKTI I SUARA USU

Page 20: Tabloid SUARA USU 2011

Mengembangkan Bakat tanpa Bakat

Judul : Rahasia Bakat (The Talent Code)Penulis : Daniel CoylePenerbit : EsensiTahun Terbit : 2009Tebal Buku : 268 HalamanHarga : Rp 44.000

“Semua keterampilan, semua bahasa, semua musik, semua pergerakan, dibuat dari rang-kaian hidup, dan semua rang-kaian itu tumbuh sesuai de-ngan aturan tertentu.”

Menjadi seorang ahli dalam suatu bidang ternyata tak perlu memiliki bakat ter­tentu. Latihan atau

kegiatan yang dilakukan berulang­ulang adalah kunci utama dalam suatu keterampilan. Dalam buku ini, Daniel mencoba menjelaskan bahwa manusia menjadi ahli dalam bidangnya bukan­lah karena potensi bawaan yang luar biasa, melainkan karena keterampilan yang diasah berulang­ulang. Tanpa bakat bawaan, setiap orang pun bisa mengasah bakatnya sendiri.

Buku ini membeberkan bagaimana bakat itu dipupuk tidak secara instan. Seperti dalam salah satu kisah di buku ini. Bakat dari kaki­kaki pemain sepak bola tim Brazil tidaklah lahir dari gen

semata. Melainkan berkat budaya fut­sal di pemukiman­pemukiman kumuh dengan bola kecil yang beratnya dua kali lipat bola lazimnya.

Bakat dapat berkembang dengan sendirinya dalam penemuan­penemuan ilmiah revolusional, menyertakan sebuah saraf menyekat yang disebut myelin. Myelin berfungsi meningkatkan kecepat­an arus informasi (dalam bentuk impuls) dan menyebarkannya ke seluruh jaring­an otot. Semakin tebal myelin, semakin efisien informasi beredar dan semakin cepat serta semakin otomatis manusia melakukan gerakan.

Penulis tak bosan­bosannya mem­bahas tentang myelin. Menurutnya myelin itu penting karena beberapa alas­an. Myelin bersifat universal, semua orang bisa mengembangkannya. Per­

tumbuhannya memungkinkan segala macam keterampilan, baik keterampil­an mental maupun fisik. Myelin ti­dak terlihat. Kita hanya bisa melihat peningkatannya melalui efek­efeknya yang ajaib.

Buku ini dibagi menjadi tiga ba­gian. Latihan mendalam, pengapian dan pelatihan dari ahli. Penulis merang­kumnya melalui penggalan­penggalan cerita orang sukses tersebut. Ketiga bagian ini saling berhubungan untuk menjawab rahasia bakat.

Sayangnya buku ini membuat pem­baca tidak runut memaknai isi buku ini. Sejenak kita terhanyut dalam cerita yang sangat menyentuh, tetapi tiba­tiba penu­lis sudah mengubahnya ke pengalaman yang tak cukup menarik bagi semua orang.

Beberapa pengalaman dalam buku ini begitu sulit dicerna. Penulis yang ingin memberikan motivasi lewat pengalaman­pengalaman orang hebat justru tidak tersampaikan akibat penggunaan bahasa yang rumit. Ditambah lagi cerita yang menggantung di setiap kisah.

The Talent Code, bukanlah buku yang serta­merta membahas tentang kode­kode atau pun rahasia­rahasia bakat seseorang. Melainkan bagaimana kita mengembangkan bakat dan dimo­tivasi dengan cerita­cerita yang ada. Tulisan motivasi dengan cara menulis pengalaman setiap orang dari berbagai profesi, menjadikan pembaca cepat merasa bosan akan buku ini. Walau­pun demikian, tampilan dan ukurannya membuat buku ini nyaman dibaca di mana saja. (Harry Yassir Elhadidy Siregar)

Judul Buku : Hari-hari yang Mengubah DuniaPenulis : Hywell WilliamsPenerbit : ErlanggaTahun Terbit : 2009Tebal Buku : 210 halamanHarga Buku : Rp 165.000

28 AGusTus 1963. Pendeta kulit hi­tam dari masyarakat kelas menengah, Marthin Luther King, berpidato di de­pan 200 ribu orang yang berkumpul di padang rumput Washington. Marthin berpidato menuntut pemerataan, ke­adilan hak­hak warga negara hingga menuntut persamaan ras. “Akhirnya bebas! Akhirnya bebas! Terima kasih Tuhan Yang Maha Kuasa, kami akhir­nya bebas!” Teriakan King saat pida­tonya mengingatkan Amerika Serikat (AS) akan perbedaan yang sebenarnya terlihat indah.

Pidato ini membuat AS berge­jolak. Sejumlah badan negara baru lalu didirikan untuk memastikan pelaksanaan peraturan kongres ten­tang hubungan antarras. Pemerintah mengeluarkan RUU Hak­hak Warga Negara yang komprehensif. Setelah disahkan, pengucilan dan pemisahan dilarang di tempat­tempat umum dan diskriminasi dilarang di semua insti­tusi yang menggunakan dana negara.

Saat itu semua berlangsung, me­letus kerusuhan ras di daerah kumuh berpenduduk 800 ribu orang kulit hitam di Amerika Utara yang didalangi warga kulit hitam. Kerusuhan ini diakibatkan munculnya kelas baru kulit hitam yang anti­kulit putih. Mereka menamakan diri ‘kekuatan kulit hitam’. King sendiri

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 201120 resensi

SOFIARI ANANDA I SUARA USU

tewas dibunuh penembak jarak jauh di Memphis. Perjalanan menuju tanah yang dijanjikan pun terus berlangsung hingga sekarang.

Banyak dari kita mengetahui ten­tang Perang Dunia pertama. Namun kita tak mengetahui apa penyebab dari perang itu sendiri. Pembunuhan Franz Ferdinand di Sarajevo­lah pe­nyebabnya. Archduke (bangsawan ­red) Austria ini melakukan keputusan kontroversial saat melakukan kun­jungan resmi ke Sarajevo, ibukota wilayah Bosnia yang dikuasai Aus­tria­Hungaria pada 28 Juni 1914.

Kerusuhan terjadi di jalan yang dilalui Franz Ferdinand beserta istri­nya. Kelompok yang bernama Princip menembak dari jarak dekat. Dalam sejam, sang archduke tewas bersama istrinya. Selang sebulan setelah kejadi­an itu, Austria­Hungaria mengumum­kan perang dengan Serbia. Perang ini membawa negara­negara besar lainnya seperti Jerman, Italia, Inggris, dan Pe­rancis turut terlibat.

Buku ini tidak hanya mencerita­kan kisah perjuangan Martin Luther King yang menyayat hati, tetapi ma­sih ada 49 kejadian lagi yang terma­suk dalam kejadian mengubah du­nia. Beberapa di antaranya penemuan Teori Relativitas, Runtuhnya Tembok

Berlin, dan Trage­di 11 September, yakni hancurnya World Trade Center (WTC).

Tidak semua orang mengetahui kelima puluh kejadian ini, be­berapa kejadian bahkan terdengar asing di telinga, seperti Revolusi Bolshe­vik dan Pertempuran Som­me. Kisah­kisah ini dipilih karena signifikansi dan dam­pak global yang tak terelak­kan lagi.

Selain itu, penulis me­lengkapi setiap kisah dengan foto dan ilustrasi yang meng­gambarkan peristiwa­peristiwa yang terjadi sehingga membuat tampilan lebih menarik. Buku ini sangat cocok bagi pembaca yang ingin mengetahui peristiwa­peristiwa besar yang mampu mengubah dunia.

Sayangnya, setiap kejadian yang ada di buku ini tidak dijelaskan se­cara mendalam, hanya dua lembar untuk setiap kejadian. Beberapa ke­jadian tidak lengkap bila diceritakan dalam satu cerita singkat sehingga sulit dimengerti sepenuhnya. (Viki Aprilita)

Peristiwa Penentu sejarah dunia

SOFIARI ANANDA I SUARA USU

Page 21: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011 21iklan

Page 22: Tabloid SUARA USU 2011

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 201122 iklan

Page 23: Tabloid SUARA USU 2011

23peristiwasUARA UsU, edisi 80, MAReT 2011

Asrama mahasiswa baru (asmaru) pu­tri USU yang di­peruntukkan bagi mahasiswa kelas

reguler program S1 dan D3 tahun ajaran 2010 minim peminat. Pada­hal penerimaan mahasiswa yang ingin tinggal di asmaru ini telah dibuka sejak Mei 2010. Sunyoto, Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Kealumnian USU pada Kamis (10/2) mengatakan hingga Januari 2011 hanya 12 orang yang mendaf­tar.

Minimnya peminat asmaru yang terletak di Jalan Universitas Pintu 1 Kampus USU ini kemungkinan besar disebabkan kurangnya pub­likasi. Cahya Mutiara, mahasiswa D3 Akuntansi mengaku baru tahu penerimaan asrama pada Agustus 2010. “Saya menyerahkan berkas

pada September namun disuruh langsung melapor ke Biro Rektorat karena sudah lewat batas pendaf­taran,” terang Cahya. Dewi Martilina, mahasiswa Fakultas Farmasi (FF) pun berkata demikian. Ia mengaku baru melihat infonya di mading FF pada September 2010.

Sebelumnya Sunyoto menjelas­kan kalau Badan Pengelola Asmaru merencanakan penempatan maha­siswa dilakukan sebelum tahun 2011, tepatnya pada Agustus 2010. Namun USU kembali membuka pendaftaran sesi kedua dari 16­28 Februari.

Dari sesi kedua ini hanya 30 orang yang mendaftar. Tiga di antaranya sudah menempati asmaru. Elisabeth, satpam wanita yang menangani pendaftaran di asmaru mengatakan kalau pendaftaran akan terus dibuka hingga jangka waktu yang belum di­tentukan. “Saat ini banyak yang su­

dah terlanjur tinggal di kos, mung­kin akan bertambah di tahun ajaran baru nanti,” terangnya.

Untuk menambah peminat, Sunyoto mengatakan pendaftaran juga dibuka untuk mahasiswa lama dengan ketentuan maksimal semester IV untuk D3 dan semester VI untuk S1. Mereka dapat tinggal selama 18 bulan. Ia berharap perubahan ini dapat menambah minat mahasiswa USU untuk tinggal di asmaru.

Asmaru sendiri menyediakan 96 kamar dengan asumsi tiap kamar diisi empat mahasiswa. Selain harus ber­domisili di luar Medan, mahasiswa yang nantinya tinggal di asmaru harus membayar uang kontribusi Rp 150 ribu per bulan, sedikit lebih mahal dari kontribusi asrama putri lama yang hanya mewajibkan mem­bayar Rp 50 ribu per bulan. (Kartini Zalukhu)

Asrama Mahasiswa Baru Putri Minim Peminat

PENERIMAAN mahasiswa baru jalur seleksi Penelusuran Minat dan Prestasi (PMP) mulai tahun ini tidak lagi ditangani Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk USU. Urusan ini akan diambil alih Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Hal ini dikatakan Bisru Hafi, Kepala Humas USU di kantornya (11/2).

Selain ditangani langsung oleh Dikti, na­manya pun berubah menjadi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan. “Segala proses seleksi hingga pengumuman mahasiswa yang lulus seleksi jalur undangan ini akan dilakukan langsung oleh Dikti,” terang Bisru.

Bisru menambahkan, peralihan ini dilaku­kan karena SNMPTN merupakan satu­satunya pola seleksi yang dilaksanakan secara bersa­ma oleh seluruh perguruan tinggi negeri dalam satu sistem yang terpadu dan diselenggarakan secara serentak.

Saat ini Dikti telah menyediakan situs khusus untuk penyaringan mahasiswa baru yang masuk melalui SNMPTN jalur undangan yakni http://undangan.snmptn.ac.id. Batas pendaftaran online 17 Februari 2011 dan ujian seleksi 20 Maret 2011. Dengan ini, panitia SNMPTN tidak akan mengirimkan undangan tertulis secara langsung ke alamat masing­masing sekolah melainkan mendaftar sendiri pada situs tersebut.

Kuota penerimaaan mahasiswa baru USU untuk tahun 2011 melalui SNMPTN dibagi sesuai dua jalur, jalur undangan sebanyak 189 orang dan jalur ujian tertulis 2898 orang. Ditambah dengan Ujian Masuk Bersama 1393 orang, Mandiri Lokal 1315 orang, Mandiri In­ternasional 183 serta program Bantuan Biaya Pendidikan (Bidik Misi) sebanyak 350 orang. (Rizki Sari Wahni Lubis/Kartini Zalukhu)

USU Rencanakan Pembangunan Laboratorium Terpadu

Dikti Tangani Jalur PMP

uNTuK meningkatan kualitas di bidang penelitian, USU merencanakan pembangunan Laboratorium Terpadu. Bertempat di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMI­PA), laboratorium tersebut direncanakan sele­sai pada 2013. “Pak Rektor sudah masukkan itu dalam rencana kerja 2010­2014,” ujar Armansyah Ginting, Pembantu Rektor (PR) II di ruangannya (9/2).

Armansyah mengakui, dibandingkan Institut Teknologi Bandung (ITB), penelitian di USU masih jauh ketinggalan. Sejauh ini laboratorium di USU hanya untuk mengajar, belum untuk penelitian yang sesungguhnya, serta belum bisa menghasilkan pemasukan dari hasil penelitian dosen atau mahasiswa.

Dana yang dibutuhkan untuk membangun laboratorium tersebut adalah Rp 76 miliar. Dana itu tidak diambil dari SPP atau APBN. Sasaran USU adalah pihak ketiga, yaitu peng­usaha­pengusaha multinasional. “Sejauh ini, sudah ada dijanjikan kepada saya Rp 30 miliar,” kata Armansyah.

Armansyah menambahkan, USU tidak akan membangun gedung baru untuk laborato­rium ini, melainkan memperbaiki gedung yang sudah ada. “Rencananya mau kita bangun di Laboratorium Ilmu Dasar FMIPA,” ucapnya. Saat ini, pembangunan masih hanya tahap perencanaan. USU masih mencari uang untuk realisasi laboratorium terpadu tersebut. “Peren­canaan pembangunan masih ditangani PR IV, saya hanya mencarikan uangnya,” tuturnya lagi. (Wan Ulfa Nur Zuhra)

ANDIKA BAKTI I SUARA USU

gedung Asmaru yang terletak di Jalan Universitas Pintu i kampus UsU. sampai Januari 2011 hanya 12 mahasiswa yang mendaftar untuk menempati asmaru ini.AsRAMA PUTRi

PIHAK keamanan USU memper­ketat ruang untuk masyarakat dan mahasiswa yang berkeliaran di ling­kungan kampus hingga malam hari. Hal ini dibenarkan Muchtar, Kepala Bagian Ketertiban dan Keamanan USU. Ia mengatakan telah mengin­struksikan petugasnya untuk melaku­kan patroli tiap satu jam sekali.

“Petugas akan langsung meng­usir mereka yang pacaran hingga larut malam di lingkungan kam­pus,” ungkap Muchtar saat ditemui di ruangannya (28/2).

Muchtar menambahkan, pihak keamanan juga telah mengeluarkan selebaran untuk mengimbau maha­siswa dan masyarakat umum agar tidak sembarangan berkeliaran di lingkungan kampus tanpa kepen­tingan yang jelas. Terutama bagi

Satuan Keamanan USU Tingkatkan Patrolimereka yang pacaran hingga larut malam.

“Ini kami lakukan untuk lebih menjamin keamanan lingkungan kampus dari perbuatan­perbuatan yang tidak baik, apabila imbauan ini tidak diindahkan maka kami akan langsung bersikap tegas,” tambahnya.

Rizki, mahasiswa D3 Bahasa Inggris ikut menanggapi hal ini. Menurutnya ini akan menertibkan USU yang selama ini terlalu bebas dimasuki pihak luar pada malam hari. “Namun diperketat pada malam hari saja. Kalau sore hari wajar jika mahasiswa berkumpul di depan pendopo USU atau di de­pan Fakultas Sastra untuk melepas kejenuhan saat kuliah,” tambahnya. (Rizki Sari Wahni Lubis)

Patroli rutin di UsU pada kamis (3/3). selama 24 jam satpam melakukan patroli sebanyak 12 kali.

PATROLi

Page 24: Tabloid SUARA USU 2011

Di sebuah bilik di Balai Kartini, Jakarta (12/1) Aslam dan empat anggota Tim Best USU tengah berjibaku dengan ide­ide kreatif untuk memecahkan masalah bisnis yang diajukan PT Danone.

Berbagai strategi mereka rembukkan di meja bundar berwarna putih. Dalam waktu lima jam mereka menuai kesepakatan atas kasus dan merumuskan pemecahannya.

Tidak sia­sia, mereka lolos sebagai enam besar dari 33 tim yang bersaing. Awal Februari lalu, keenam tim tersebut mempresentasikan ide kreatifnya dalam bahasa Inggris di depan jajaran Board of Director (BOD) Danone Indonesia di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

Akhirnya terpilihlah Tim Best USU yang dimotori Muhammad Aslam Syahruddin dan Hans Erawan dari Fakultas Psikologi (FPsi), Howard Lie dari Fakultas Teknik, Ernal Salita dari Fakultas Farmasi dan Martha Anna dari Fakultas Ekonomi sebagai juara tiga. Suatu kebanggaan besar bagi USU. Ini pertama kalinya tim dari luar Pulau Jawa masuk sebagai finalis.

Aslam tidak menyangka Best USU berhasil mengharumkan nama USU di kancah nasional. Dari awal Aslam menganggap ini sebuah amanah. “Sebelumnya saya tidak tahu menahu tentang kompetisi ini, saya diajak teman dan dipilih sebagai chief ­executive ­officer,” tuturnya.

Ajakan Ernal Salita kepada Aslam untuk mengikuti kompetisi ini bukan tanpa alasan. “Leadership dan inteleknya sangat kelihatan dari cara bicaranya yang tenang dan diplomatis,” terang Ernal.

Hal ini juga dibenarkan Hans Erawan. Ia menilai Aslam mampu menempatkan diri sebagai pemimpin. “Orangnya tanggap terhadap situasi, tahu kelemahan anggotanya dan selalu memiliki solusi untuk menutupi kelemahan itu,” nilai Hans.

Kesibukan adalah KenikmatanDitemui di kampusnya, Aslam baru saja keluar

dari ruang Pembantu Dekan (PD) III. Sore itu Aslam bersama PD III melakukan sosialisasi di FPsi dalam rangka menyambut Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) USU 2011. Aslam yang dulunya salah satu kandidat Mawapres mengeluarkan kiat­kiat demi men­dorong semangat mahasiswa lain.

Itulah Aslam. Mahasiswa angkatan 2007 ini ingin

Muhammad Aslam Syahruddin

Merajut Amanah Menjadi PrestasiDeretan prestasi sudah sering melekat di pundaknya. Terakhir, sebuah sejarah terukir lagi dari tim yang ia ketuai. Membawa nama USU ­sebagai ­satu-satunya ­perguruan ­tinggi ­yang ­menjadi ­finalis ­‘Trust by Danone’ dari luar Jawa.

banyak berbuat di kampusnya. Aktif dalam kegiatan kampus ataupun kompetisi memang menjadi pilihan Aslam. Kompetisi­kompetisi dalam kampus kerap ia jadikan santapan. Baginya kesempatan memang bisa datang dua kali namun kesempatan pertama adalah pilihan terbaik.

Tahun 2009 Aslam terpilih menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) USU. Saat itu, perhatian Aslam benar­benar tertantang untuk menyukseskan pemilu. Berbagai polemik yang datang pada masa kepemimpinannya tersebut membuat ia tidak dapat menghadiri beberapa kuliah hingga akhirnya tidak dapat mengikuti ujian semester.

Meski begitu, justru pengalamannya sebagai Ketua KPU lah yang paling bersejarah bagi Aslam. “Saya beruntung bisa merasakan pahit manisnya menjadi Ketua KPU. Sangat banyak tantangan dan tekanan yang mendewasakan,” ungkap Aslam.

Aslam mengaku dunia kampus telah menaklukkan dirinya. Kecintaannya kepada kampus menumbuhkan keinginannya untuk tetap berada dalam sivitas akademika kampus. Ia bercita­cita suatu saat nanti bisa menjadi dosen. Namun ia tidak tahu apakah cita­citanya dapat diwujudkan. Sebab, kemenangan timnya di Trust by Danone berbuah kesempatan kerja. Para pemenang ditawarkan untuk bergabung menjadi pebisnis bertaraf internasional bersama Danone.

Kebanggaan KeluargaAslam mengaku tidak sepenuhnya menjadi maha­

siswa yang bisa membagi waktu dengan baik. “Me­mang banyak pengorbanan waktu dan pilihan yang terbaik adalah mengorbankan salah satunya,” ujarnya.

Sang ayah, Syahruddin mengatakan kebanggaan­nya terhadap anaknya. “Dia sering ke luar kota karena prestasinya,” ujarnya (18/2). Baginya, Aslam telah menjaga kepercayaan yang selama ini ia dan istrinya berikan. Aslam telah membuktikan dengan kejut­an­kejutan prestasi yang tidak pernah dibayangkan Syahruddin sebelumnya.

Dengan kesibukannya, Aslam tetap menargetkan bulan sepuluh nanti bisa menyelesaikan studi S1­nya. Saat ini Aslam mengaku ingin fokus pada hari­hari terakhirnya sebagai mahasiswa. (Kartini Zalukhu)

sUARA UsU, edisi 80, MAReT 201124 profil

Nama LengkapMuhammad Aslam Syahruddin

Lahir : Medan, 18 Mei 1989

Pendidikan SD - SMA Al-Azhar Medan 1995-2007

Prestasi1.Juara 1 Olimpiade Matematika Tingkat SMU Kota Medan 20062.Lulusan Terbaik SMU Reguler Al- Azhar, Medan 20073.Perwakilan Fakultas Psikologi USU pada Seleksi Mahasiswa Berprestasi USU 20104.Peserta Sampoerna Best Student Visit 2010 di Surabaya5 Peraih Hibah Kompetisi Wirausaha Mahasiswa Student Entrepreneurship Center (SEC) USU 2010 6.Pemenang 10 Kelompok Terbaik pada Kompetisi Hibah Kreativitas dan Inovasi Mahasiswa USU 20117.Juara tiga dalam Kompetisi Bisnis Trust by Danone 2011

IKLAN

ANDIKA BAKTI I SUARA USU