Tabloid SUARA USU Edisi 92

24
HIKAYAT MASJID KUNING LAPORAN KHUSUS PODJOK SUMATERA UTARA Rp 3000 ISSN 1410-7384 SUARAUSU.CO EDISI 92 XVIII/ APRIL 2013 AGAR MEREKA TAK LAGI “BEDA”

description

tabloid suara usu edisi 92

Transcript of Tabloid SUARA USU Edisi 92

HIKAYAT MASJID KUNINGLAPORAN KHUSUS PODJOK SUMATERA UTARA

Rp 3000ISSN 1410-7384SUARAUSU.CO

EDISI 92

XVIII/APRIL 2013

AGAR MEREKA TAK LAGI “BEDA”

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 20132 suara kita

suara pembacasuara sumbang

vvlepas

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Redaksi

Merujuk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) USU pasal 57 ayat (1) bahwa menunjuk sosok pengganti dekan merupakan

hak prerogatif rektor. Jika sesuai janji rektor, Maret lalu seharusnya digelar pelantikan an­tar waktu untuk satu kursi pejabat tinggi USU yang telah enam bulan kosong . Ialah, Dekan Fakultas Ekonomi (FE).

Lamanya rektor menunjuk seorang dekan untuk memimpin FE mulai dirasa banyak pi­hak. Salah satu yang benar-benar fatal adalah penandatangan ijazah lulusan FE. Arifin Lubis, Pembantu Dekan (PD) II yang merangkap Pelaksana tugas (Plt) Dekan FE tidak mau menandatangani ijazah mahasiswa FE terse­but lantaran perkara statusnya tersebut.

Tentang hal ini rektor hanya berkilah ten­tang kesibukan beliau. Adapula masalah inter­nal di FE sendiri yang agaknya juga menjadi pertimbangan rektor dalam menggunakan hak kuasanya. Ada faksi ataupun perpecahan di FE, yaitu terbentuknya kubu-kubu pendu­kung calon dekan.

Lebih terlihat bijak jika para petinggi dekanat mulai meretas ego dan bergegas kembali menata kehidupan FE ke depan agar lebih baik. Tak harus menunggu tumpukan lembaran ijazah mahasiswa FE untuk mene­tapkan nama pemilik tangan yang harus menandatanganinya.

Lagi, tentang kepala Pusat Sistem Informa­si (PSI) yang sudah menjadi lembaran cerita lama. Posisi yang sekaligus merangkap Ke­pala Perpustakaan tersebut sudah dua tahun kosong. Ridwan A Siregar mengundurkan diri di masa awal jabatannya.

Bukannya segera mencari pengganti baru untuk kepala PSI dan Perpustakaan, Surat Keputusan (SK) rektor malah menyatakan wakil PSI dan Perpustakaan agar tetap men­jalankan sistem yang sudah ada dan koordi­nasi langsung pada rektorat. Satu yang masih menjadi alasan sistem ini diterapkan adalah peninjauan ulang dari pihak rektorat. Nanti­nya, jika hasil peninjauan ulang kepala PSI dan Perpustakaan memang lebih baik dipisah, maka akan dipisah. Tapi, nanti.

Padahal, kalau boleh kita mengingat mo­mentum di bulan Mei, 2012. Prof Syahril Pasa-ribu melantik Raja Bongsu Hutagalung sebagai Pembantu Rektor (PR) III di pergantian antar waktu untuk menggantikan Eddy Marlianto yang dilepas dari jabatannya terkait masalah pelanggaran moral pada Maret di tahun yang sama. Di sini, beliau menggunakan hak pre­rogatifnya dengan tepat waktu dan tidak ber­lama-lama.

Masalah Dekan FE ataupun Kepala PSI mungkin rasa rektor tidak sepenting pejabat rektorat. Tapi faktanya tidak hanya sistem kinerja atau birokrasi yang semakin dipersu­lit, mahasiswa juga demikian.

SK rektor kian dinanti, harapan kosong yang hanya diberi. Seharusnya tidak ada lagi alasan terlupa atau terlalu sibuk dengan ber­bagai urusan apapun itu, ini posisi strategis yang akan berdampak tragis jika tak segera diselesaikan. Segeralah pergunakan hak pre­rogatif anda, Rektor USU!

Rektor dan Hak Prerogatifnya

Salam jurnalistik!

Tak terasa sudah memasuki bulan ke empat di tahun 2013. Tabloid SUARA USU hadir untuk kali kedua. Diharapkan tabloid kali ini lebih baik dari segi pe­nyajian berita dan tampilan dari yang sebelumnya.

Edisi 92 ini, SUARA USU me­nilik tentang mahasiswa-ma­hasiswa Drop Out (DO) di USU pada rubrik Laporan Utama. DO hadir menjadi opsi ketika ma­hasiswa ternyata tak sanggup menyelesaikan masa studinya sesuai syarat yang sudah diten­tukan. Maka muncul lah otonom DO yang berbeda ditiap fakultas. Mahasiswa yang terancam DO biasanya diberikan evaluasi dan peringatan oleh pihak jurusan. Ada juga anjuran untuk maha­siswa S1 yang terancam DO untuk pindah ke program DIII. Berbagai kisah tentang DO baik cerita ma­hasiswa maupun prosedur yang mengaturnya telah disajikan pada rubrik ini.

Rubrik Laporan Khusus meng­

hadirkan tentang orientasi seksual para mahasiswa USU. Kisahnya akan dikemas secara menarik dari penyandang gelar lesbian, gay, biseksual, transeksual, interseksu­al, questions yang akrab disingkat LGBTIQ secara langsung. LGBTIQ pun kerap memunculkan kon­troversi. Ada yang menganggap LGBTIQ sebagai penyakit atau sesu-atu yang tak patut diterima dan ada juga yang mendukung adanya LGBTIQ ini. Bagaimana cara maha­siswa LGBT menghadapi kehidup-an sehari-hari? Kisah lengkapnya terangkum pada halaman 14-15.

Ada juga cerita tentang pene-rapan sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dicanang-kan di beberapa fakultas. Seperti Fakultas Keperawatan (Fkep), Fakultas Ilmu Budaya (FIB), dan Fakultas Ekonomi (FE). Bagaima­na sistem kurikulum baru diterap­kan pada setiap fakultas? Masalah pelik kepengurusan Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU yang tak kunjung berganti kepengurusan juga. Ketidaksiapan laporan per­tanggungjawaban (LPJ) menjadi

alasan utama dari pihak pema 2012. Padahal, sudah seharus­nya tahun ini pema dikuasai oleh kepengurusan yang baru.

Tak kalah menariknya, kisah tentang pelantikan antar waktu. Sudah 5 bulan, Almarhum Jhon Tafbu Ritonga meninggal dunia. Jabatannya sebagai Dekan FE tak kunjung diisi. Nasib sama juga menghampiri jabatan ketua Pusat Sistem Informasi (PSI). Keduanya belum ada mendapatkan calon pengganti yang jelas dan siap men­jabati posisi masing-masing. Ber-bagai informasi ini akan dikemas secara apik lewat rubrik Ragam.

Untuk rubrik Potret Budaya, ada cerita malam berinai dari adat Melayu. Sebuah prosesi yang di­lakukan wanita yang akan melak­sanakan pernikahan. Simak juga hikayat masjid kuning, masjid ter­tua di Medan dalam rubrik Podjok Sumut.

Sekian sambutan dari redaksi SUARA USU. Semoga informasi yang disajikan dapat bermanfaat dan menginspirasi kita semua. Se­lamat membaca! (Redaksi)

Pemira USUKapan Pemilihan Raya (Pemira) USU diselengga-rakan? Intinya, kapan Presiden Mahasiswa (Pres­ma) meletakkan jabatannya. Masalahnya ini sudah lewat masa jabatan. Alasannya karena mau menga­dakan kongres untuk memperbaiki Petunjuk lak­sana (Jutlak) dan Tata laksana ormawa (TLO), tapi sampai saat ini hal itu belum juga terlaksana.Ganda Wijaya Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2009

Dekan FESaya menyoroti lamanya Dekan Fakultas Ekonomi (FE) terpilih. Dengan status dekan yang masih Pelaksana tugas (Plt), ijazah mahasiswa enggak bisa ditandatangani. Ini masalah yang harus segera mendapat solusi.Fahmi Sitorus Fakultas Ekonomi 2009

Aceh pamerkan bendera baru, lambang provinsiBah, ini yang mau jadi negara federal!

Oknum tak dikenal sebarkan isu palsu Pemira USUUdah gak sabar nyalon jadi presma ya, geng?

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Tiga puluh delapan anggota dan alumni pers mahasiswa SUARA USU berfoto bersama usai Temu Ramah 2013. Kegiatan ini bertujuan untuk menjaga silaturahmi anggota dan alumni.

TEMU RAMAH

suara redaksi

AUDIRA AININDYA | SUARA USU

kata kita

suara kita 2laporan utama 4opini 8dialog 9ragam 10

galeri foto 12podjok sumut 13laporan khusus 14mozaik 16potret budaya 18

riset 19resensi 20iklan 21momentum 23profil 24

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 3suara kita­

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU

Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara

Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara

Pemimpin Umum: Debora Blandina Sinambela

Sekretaris Umum: Sri Handayani Tampubolon

Bendahara Umum: Pebri Hardiansyah Pohan

Pemimpin Redaksi: Ipak Ayu H Nurcaya

Sekretaris Redaksi: Audira Ainindya

Redaktur Pelaksana: Hadissa Primanda

Koordinator Online: Aulia Adam Redaktur:

Apriani Novitasari, Cristine Falentina Simamora, Mezbah Simanjuntak

Redaktur Foto: Rida Helfrida Pasaribu, Sofiari Ananda

Redaktur Artistik: Gio Ovanny Pratama

Reporter: Elfyanti Zega, Erista Marito O Siregar, Lazuardi Pratama, Rati

Handayani, Ridho Nopriansyah, Riska Aulia Sibuea, Sri Wahyuni Fatmawati PFotografer:

Andika Syahputra, Wenty TambunanDesainer Grafis:

Icha Decory, Audira Ainindya, Yanti Nuraya S Ilustrator:

Yanti Nuraya S, Wenty TambunanPemimpin Perusahaan:

Baina Dwi Bestari Manajer Iklan dan Promosi:

Maya Anggraini SManajer Produksi dan Sirkulasi:

Ferdiansyah Desainer Grafis Perusahaan:

Siti Alifa Sukmaradia Staf Perusahaan:

Amalia Wiliani, Sonya Citra BrasticaKepala Litbang:

Izzah Dienillah SaragihSekretaris Litbang:

Malinda Sari SembiringKoordinator Riset:

Fachruni Adlia Koordinator Kepustakaan:

Renti Rosmalis Koordinator Pengembangan SDM:

Guster CP Sihombing Staf Riset:

Fredick Broven E GintingStaf Kepustakaan:

Hendro H Siboro

Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi

Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati

Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia

ISSN: No. 1410-7384 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi:

Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155

E-mail: [email protected]

Situs: suarausu.coPercetakan:

PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan)

Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp

800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Peristiwa (BW) Rp 800/mm kolom,

Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom

Informasi Pemasangan Iklan dan Berlangganan, Hubungi: 085373932285, 085270772526

Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan

harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan

apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email: [email protected]

DESAIN SAMPUL: GIO OVANNY PRATAMA

FOTO SAMPUL:SOFIARI ANANDA

konten

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumatera Utara (Sumut) tahun 2013 menuai banyak masalah teru­tama pada jumlah pemilih yang sangat minim. Dari Daftar Pemilih

Tetap (DPT) 10.310.872 jiwa yang terdaftar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya

5.001.430 atau sekitar 48,51 persen yang menggunakan hak pilihnya. Sementara jum­lah Golongan Putih (Golput) mencapai angka 5.309.000 atau 51,49 pesen seperti dilansir dari Waspada Online 15 Maret 2013. Bagaima­na tanggapan mahasiswa mengenai golput pada Pilkada Sumut ini? (Hendro H Siboro)

Dilematik Golput Pilkada Sumut 2013

Golput itu wajar, karena merupakan pilihan sendiri. Daripada harus memaksa memilih, ke­mudian akan berujung pada pilihan yang salah. Namun, angka golput yang mencapai 52 persen tidak wajar karena sangat tinggi untuk ukuran pilkada. Banyaknya golput disebabkan oleh ma­syarakat sudah bosan dengan calon-calon yang ada yang dinilai tidak dapat membawa perubah-an. Daripada mereka memaksakan untuk me­milih dan berujung pada penyesalan.

Kansrida TariganFakultas Ilmu Sosial dan Politik 2011

Sikap golput itu wajar. Keke­cewaan masyarakat sudah terlanjur besar terhadap pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, serta janji-janji mereka yang tidak terealisasi. Dari semua calon yang ada ti­dak ada yang dapat diharap­kan merubah kondisi saat ini karena seperti pada lazimnya ketika mereka telah duduk sebagai kepala daerah maka hanya kepentingan segelintir orang yang akan diutamakan.

Junita VR Sitinjak Fakultas Ilmu Budaya 2009

Pada dasarnya tidak setuju dengan golput. Namun, faktor waktu yang hanya satu hari dan jarak kampung halaman yang jauh dapat dikemuka­kan sebagai alasan tinggi-nya angka golput di Pilkada Sumut kali ini. Golput terdiri dari alasan yang beragam seperti karena faktor idealis-me yang tak peduli siapapun calon yang ada. Maupun apa­tis yang pesimis dengan para calon setelah melihat rekam jejaknya.

Chandra Elia A Tarigan Fakultas Teknik 2010Sesungguhnya pilkada kali ini

bukanlah kemenangan ma­syarakat Sumut, disebabkan tidak semua masyarakat me­nyuarakan haknya. Memang untuk kalangan golput tidak dapat disalahkan karena diba­lik itu semua pasti mereka punya alasan masing-masing. Namun, konsekuensi dari si­kap golput yakni masyarakat harus siap dengan kebijakan dari kepala daerah yang ter­pilih nantinya.

Raymond SaptahariFakultas Hukum 2011

Pilhan untuk golput dan memilih itu kembali ke orangnya masing-masing. Kalau sudah mengetahui manfaat dari memilih semestinya dia memilih. Negatif sekali orang-orang yang tidak memilih walaupun dia telah mengeta­hui manfaat dan kegunaan dari ikut memilih. Lain halnya dengan orang-orang dikampung yang kurang mendapat sosialisasi tentang pilkada sehingga mereka tidak menggunakan haknya.

Arief Hidayatullah DaulayFakultas Kesehatan Masyarakat 2012

FOTO-FOTO: ANDIKA SYAHPUTRA, HENDRO H SIBORO, WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

DROP OUTSUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013

4 laporan utama

Koordinator Liputan : Renti RosmalisReporter : Amalia Wiliani, Erista Marito O Siregar, Rida Helfrida Pasaribu dan Renti

Rosmalis

Sejatinya, ada banyak hal yang menyebabkan mahasiswa putus studi. Tapi kembali lagi, keputusan berhenti atau tetap melanjutkan kuliah adalah mutlak pilihan mahasiswa itu sendiri.

Di Balik LayarDO Mahasiswa USU

Pemberitahuan untuk calon Drop Out (DO) mahasiswa Akuntansi DIII di ruang bagian pendidikan Fakultas Ekonomi (FE), Kamis (4/4). Pada Janu-ari-Maret 2012, D3 Akutansi memiliki tujuh mahasiswa DO Status Tak Jelas.

PENGUMUMAN

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Renti Rosmalis

Alfred Teopilus, mahasiswa DIII Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam (FMIPA) akan menye-lesaikan kuliahnya Agustus mendatang. Awalnya, Statis­tika bukanlah jurusan yang ia pilih. Sebelumnya, ia pernah mencicipi rasanya menjadi mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Departemen Teknik Sipil tahun 2008 silam.

Namun, semuanya tak berjalan lancar seperti yang ia harapkan. Saat semes­ter satu dan dua, ia belum menemukan kendala ber-arti dalam perkuliahannya. Semua lancar sampai ia ber­gaul kembali dengan teman-teman lamanya di luar kam­pus. Teman SMA tepatnya. Alfred melupakan kewajiban kuliahnya. Ia larut dalam ke­asyikan bermain dengan te­man-temannya. Sering nong­krong dan main video game. Bahkan kala itu kuliah bukan lagi hal yang wajib baginya.

Melihat tingkat kehadir-an diperkuliahan yang ren­dah, beberapa teman kuliah-nya mengingatkan. Namun, diabaikannya. Ia masih ter­lena serunya bolos kuliah. Ja-ngankan teman, dosen pem­bimbing pun tak ditemuinya sejak duduk di semester tiga. “Setelah isi KRS (kartu ren­cana studi –red) online, aku enggak lapor,” ujarnya.

Mendekati akhir semester tiga, Alfred mulai merasa kha­watir perihal intensitas ke­hadirannya yang tidak cukup untuk mengikuti ujian. Alhasil, ia benar-benar tidak dapat mengikuti ujian dan harus rela memperoleh nilai E.

Peristiwa itu membuat Alfred memantapkan niat untuk memperbaiki kuliah-nya. Memasuki semester em­pat, Alfred membaca buku peraturan akademik guna melihat batasan minimal satuan kredit semester (SKS) yang harus diambil. ”Saat itu aku kurang tujuh SKS lagi, niat menuhin sih. Cari aman,” katanya. Tapi tak ada tinda­kan pasti yang dilakukannya. Alfred kembali tidak mengi­kuti perkuliahan. Persentase kehadiran Alfred pun hanya mencapai sepuluh persen. Lagi, di semester empat Al­fred tidak diijinkan mengi­kuti ujian.

Tidak lama setelahnya, Alfred mendapat panggil-an dari bagian pendidikan. Mereka bilang ia dalam kon­disi yang sulit untuk melan­jutkan kuliahnya. Ia dianjur­kan untuk pindah jurusan ke program DIII.

Karena jauh dari orang tua, Alfred tak pernah

mendapat teguran. Di sini ia tinggal di kos-kosan, jadi semua kegiatannya tak dapat langsung dipantau orang tua. Saat orang tuanya diberitahu perihal tersebut, tak pelak

amarah pun harus diteri­manya. Meski begitu ia tak kehilangan dukungan orang tua untuk melanjutkan kuli­ah di program DIII Statistika.

Namun luput dari Drop

Out (DO) tak dialami Roy Candra. Setahun yang lalu ia adalah mahasiswa Departe­men Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) 2008. Namun, sekarang ia

tak lagi menyandang status mahasiswa. Bersama 8 orang temannya dari departemen yang sama, ia diputuskan DO tahun 2011.

Ia pernah dipanggil pihak departemen saat kuliah di semester dua. Roy diberitahu oleh teman-teman sekelas­nya untuk menghadap ke pi­hak departemen. Sebenarnya Roy tahu tujuan dari pemang­gilannya tersebut. Masalah indeks prestasinya (IP) yang rendah. Bahkan ia diperin­gati melalui kartu hasil studi (KHS) untuk meningkatkan IP di semester depan. Meski telah mendapatkan perin­gatan, tak ada tekad baik yang ditunjukkan olehnya. Roy datang ke kampus, na­mun ia tak mengikuti kelas. “Ya kuliah cuma seadanya aja, enggak sepenuh hati,” ujarnya.

Peringatan diabaikan, pe­rubahan tak juga ditunjukan. Surat evaluasi pun dilayang­kan oleh fakultas pada Roy. Ia diberitahu bahwa kondisi IP dan intensitas kehadirannya tidak memungkinkan untuk melanjutkan kuliahnya. Untuk menghindari DO tersebut Roy diberi pilihan yaitu bermohon untuk pindah ke program DIII atau mengundurkan diri. Ma­hasiswa yang DO tidak mem­peroleh transkip nilai, sedang-kan jika mengundurkan diri atau pindah bisa memperoleh transkip nilai.

Namun kedua tawaran ini tidak dihiraukannya. Saat itu ia merasa kuliah bukanlah hal penting baginya. Akhir-nya ia pun DO. Kekecewaan keluarga harus diterimanya, Ayahnya bahkan sulit untuk memercayainya lagi.

Sementara Santo, ter­paksa berhenti kuliah untuk membantu orang tuanya. Se­hari-hari ia bekerja dengan berdagang sawit milik keluar­ganya. Bukan keputusan yang gampang saat ia memilih un­tuk bekerja. Saat itu ia tengah berstatus mahasiswa Departe­men Ilmu Administrasi Negara FISIP 2010. Saat semester satu dan dua ia masih kuliah sep­erti biasa. Absensi yang bagus, dan IP cukup 2,9. Namun, saat memasuki semester tiga ia mulai melihat keadaan eko­nomi keluarganya yang mem­buruk. Saat itulah ia putuskan untuk berhenti kuliah dan bekerja membantu orang tua. “Ekonomi keluarga merosot, ke depannya nanti bakal ada biaya lain yang dibutuhkan,” jelasnya.

Sebelum keputusan ini ia ambil, ia pernah mencoba mengikuti seleksi beasiswa, “Ya enggak jebol beasiswanya, mau gimana lagi,” sesal Santo.

Semester tiga mulai ber­langsung, bersamaan dengan itu ia mulai meninggalkan

DROP OUTSUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013

5laporan utama

Rekapitulasi mahasiswa undur diri, Drop Out (DO), Mutasi, Penundaan Kegiatan Akademik (PKA) dan Aktif Kuliah Kembali (AKK) bulan Januari sampai Maret 2012, Jumat (5/4). Dari lima tahun terakhir, jumlah DO tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan total jumlah 1.341 mahasiswa.

DATA DO

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

kuliah. Tak ada laporan yang diberikannya ke pihak de­partemen maupun fakultas. Ia menghilang begitu saja. Pulang ke kampung hala­man di Rantau Prapat dan akhirnya bekerja.

Saat keputusan berhenti ia pilih, keluarganya sangat menyesalkan keputusan tersebut. Namun, keputusan nya sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat oleh siapa­pun, termasuk keluarganya.

Setahun berhenti kuliah, tahun 2012 Santo pun meni­kah. Karena keputusan terse­but, istrinya juga mening­galkan kuliahnya. Bahkan sebulan lalu ia pun dikaru­niai seorang anak.

Tahun lalu ia ada mendapat kabar dari teman kampus­nya bahwa ia dipanggil ba­gian pendidikan. Ia jelas tahu maksud dari pemanggilan tersebut. Yaitu untuk pemba­hasan kejelasan kuliah yang telah hampir dua semester ia tinggalkan. Pemanggilan tersebut tak dipenuhi karena memang tak ada lagi niatnya untuk melanjutkan kuliah. Ia lebih memilih membantu ke­luarga dan membina keluarga barunya.

Sekarang, telah terhitung empat semester kuliah telah Santo tinggalkan. Untuk itu ia tahu bahwa ia telah di DO.

Lain lagi cerita Ghani (bukan nama sebenarnya). Tahun 2011 lalu, Ghani lulus Seleksi Nasional Masuk Per­guruan Tinggi (SNMPTN) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Departemen Sastra Jepang.

Ia mengikuti perkuliahan dengan baik pada tahun per­tama. Hingga memasuki se­mester dua, adik kelasnya saat SMA sering belajar un­tuk ikut ujian SNMPTN ber­sama Ghani. Ini membuat ia pun tertarik untuk kembali mengikuti ujian SNMPTN.

Akhirnya pada Mei 2012 Ghani mengikuti ujian SNMPTN lagi. Banyak yang meragukannya termasuk orang tuanya sendiri. Ibu Ghani sempat terkejut me-ngetahui pernyataan Ghani dan menanyakan alasannya untuk ujian ulang. “Sebenar-nya enggak ada masalah sih, hanya iseng,” jawab Ghani. Isengnya berbuah hasil, ia lu­lus di Fakultas Psikologi (FPsi) USU. Lulus di FPsi, kuliah di FIB pun ditinggalkannya.

Ghani memulai perkuliah-an baru di bangku FPsi tanpa surat pengunduran diri atau surat penundaan kegiatan aka-demik (PKA) yang dikirimnya ke FIB. Tanpa Ghani ketahui, ia masih berstatus mahasiswa aktif di FIB sampai sekarang.

Saat PD (Pembantu Dekan) I FIB Husnan Lubis mengecek portal USU di usu.ac.id Jumat (5/4) lalu, ia masih melihat nama Ghani tertera sebagai mahasiswa aktif dan belum DO hingga akhir semester genap 2012/2013. Artinya, sekarang Ghani berstatus ma­hasiswa aktif di dua fakultas berbeda. “Setahu saya enggak ada yang boleh kayak gitu,” kata Husnan. Ia menambah­kan hal ini termasuk kelemah­an sistem informasi USU yang

belum bisa mendeteksi hal-hal seperti ini.

Pun demikian, nama Ghani masuk kategori mahasiswa akan dievaluasi keberhasilan belajarnya akhir semester ini. Sebab terhitung hingga akhir semester genap Juni nanti, mahasiswa tahun 2011 harus lulus 45 Sistem Kredit Semes­ter (SKS). Sedangkan Ghani hanya lulus 36 SKS, yaitu SKS yang lulus semester pertama dan kedua. ***

Dalam buku Peraturan Akademik Program Sarjana USU yang dikeluarkan rektor, DO terdiri dari dua penyebab umum. Pertama, DO karena evaluasi belajar, meliputi ab­sensi, beban SKS dan IP yang tidak mencukupi. Kedua, DO status tidak jelas (STJ), ter­untuk mahasiswa yang ti­dak mengikuti perkuliahan selama dua semester bertu­rut-turut atau lebih tanpa me-ngajukan PKA.

Tercatat dari data Biro Administrasi Akademik, rentang tahun 2008 hingga 2011, DO dengan sebab eva-luasi belajarlah yang paling mendominasi. Tahun 2008 ada 425 mahasiswa DO, lalu tahun 2009 sebanyak 514 orang. Kemudian 745 ma­hasiswa DO tahun 2010, dan 438 mahasiswa tahun 2011.

Dari data tersebut, FT dan Fakultas Pertanian (FP) men­jadi fakultas dengan jumlah mahasiswa DO tertinggi. Na­mun, tahun 2010 dan 2011 lalu adalah puncaknya. Tahun 2010,

ada 183 mahasiswa FT yang DO dan 145 mahasiswa di FP. Se­mentara tahun 2011, sebanyak 156 mahasiswa FP dan 92 Ma­hasiswa FT yang DO.

Pembantu Rektor (PR) III Raja Bongsu Hutagalung mengatakan, ada banyak fak­tor yang menyebabkan putus studinya mahasiswa. Namun mayoritasnya, faktor utama mahasiswa DO adalah ulah dari mahasiswa itu sendiri.

Hal ini diamini Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Ke­dokteran Gigi (FKG) Zulkar­nain. Ia sering mendapati mahasiswa yang datang ke kampus tapi malah seharian di kantin. “Ketika ditanya ke­napa tidak masuk, alasannya terlambat,” katanya.

Menurut Bongsu, bagai-mana pun faktor tersebut, peran dosen pembimbing

sangat diperlukan jika ini ter­kait masalah beban SKS atau intensitas kehadiran. “Lah, pas dia minta tanda tangan KRS periksa dulu IP-nya, terus periksa juga beban SKS yang diambil,” jelas Bongsu.

Bongsu melanjutkan, jika terdapat keganjalan lang­sung tanyakan apa masalah mahasiswa tersebut. “Saya dulu sempat juga enggak mau kuliah lagi, tapi saya konsultasi ke biro konsultasi mahasiwa,” kenangnya.

Zulkarnain misalnya, ta­hun lalu menerima laporan 13 orang mahasiswanya ter­kena DO evaluasi dan tiga orang STJ. Untuk itu, maha­siswa tersebut ditawarkan beberapa pilihan meliputi permohonan mengundurkan diri, pindah ke program DIII atau memberikan surat per­janjian untuk memperbaiki diri. Mereka akan dibimbing oleh dosen pembimbing un­tuk menentukan beban SKS yang akan diambil.

Namun, menurut PD I FMIPA Marpongahtun, pe-ran dosen pembimbing aka­demik (PA) hanya sekadar memberi masukan kepada mahasiswa asuhnya yang bermasalah. “Peran dosen PA untuk masalah DO itu tidak ada,” ujarnya.

Muhammad Tarmuzi, Pembantu Dekan (PD) I FT sepakat dengan hal ini. Ia mengaku pihaknya bahkan tidak melakukan peringatan terhadap mahasiswa yang terancam DO. “Mahasiswa sudah dewasa, tentu sudah mengerti,” katanya.

Meskipun begitu, Bongsu mengatakan mahasiswa tetap dituntut untuk lebih aktif dalam mencari penyelesaian terhadap masalah-masalah akademik yang dihadapinya, seperti merasa sulit beradap­tasi, absen dan IP. Ia merasa bahaya apabila mahasiswa membiarkan dirinya terlarut dalam masalah. Akhirnya ia akan kehilangan arah dan DO akan terjadi.

YANTI NURAYA S | SUARA USU

sesuai dengan kasusnya masing-masing. Bagi ma

DROP OUTSUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013

6 laporan utama

Antara Pilihan dan Kebuntuan

Aturan mengenai Drop Out (DO) beragam di tiap univer-

sitas. Di USU prosedurnya di-serahkan pada pihak fakultas.

Ragam masalah DO maha-siswa dikembalikan lagi pada

tiap aturan tersebut.

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Pebri Hardiansyah Pohan

Direktorat Jen­dral Pendi­dikan Tinggi (Dirjen Dikti) tidak mengatur

sistem pencabutan status mahasiswa bagi perguruan tinggi. Alhasil, USU menga­tur sendiri sistem pencabu­tan status mahasiswanya. Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Rektor No. 1023/J05/SK/PP/2005. Di dalamnya ada dua hal yang menjadi sebab mahasiswa DO, yaitu dengan evaluasi ke­berhasilan belajar dan status tak jelas (STJ).

Ada beberapa hal yang

termasuk ke dalam kategori evaluasi keberhasilan bela­jar. Pertama, mahasiswa yang aktif kuliah, namun indeks prestasi (IP) di bawah angka dua. Maka akan dilakukan evaluasi mengenai keberha-silan belajarnya.

Kedua, setiap dua semes­ter akan diadakan evaluasi jumlah satuan kredit semes­ter (SKS) yang lulus, misalnya pada semester dua maha­siswa diwajibkan lulus mini­mal 22 SKS, semester empat 45 SKS, semester enam 72 SKS dan semester delapan 96 SKS. Apabila jumlah SKS tersebut tidak tercapai, maka akan dilakukan evaluasi.

Ketiga, mengenai masalah kehadiran. Apabila kurang dari 80 persen tiap semes­ternya, maka mahasiswa ti­dak diperkenankan untuk ikut ujian akhir semester.

Sementara itu yang ter­masuk kategori STJ adalah mahasiswa yang tidak mengi­kuti perkuliahan selama dua semester berturut-turut

atau lebih tanpa mengajukan PKA.

Mahasiswa dengan kate­gori STJ akan dinyatakan DO tanpa ada evaluasi. “Macam-macam alasannya, kebanyak-an itu mahasiswa baru yang ngulang SPMB lagi, jadi USU ditinggalkannya,” jelas Ke­pala Biro Administrasi Aka­demik melalui Bisru Hafi, Kepala Humas USU.

Sistem pada SK Rektor tersebut sama diterapkan di semua fakultas. Namun, mahasiswa dengan kategori evaluasi keberhasilan belajar akan dinyatakan DO setelah melalui beberapa prosedur. Sistem evaluasi ini berbeda di tiap fakultas.

Di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) misalnya, pihak fakultas akan segera mem­beri peringatan saat ada ma­hasiswanya yang memeroleh indeks prestasi kumulatif (IPK) atau absensi yang ber­masalah.

Mahasiswa yang tidak datang selama dua semes­

ter akan dihubungi pihak fakultas. Ketika mahasiswa tersebut tidak bisa dihubungi lagi, pihak fakultas akan membuat laporan ke rek­torat bahwa ia tidak aktif lagi seperti dijelaskan Pembantu Dekan (PD) I FKG Zulkar­nain.

Untuk mahasiswa yang gagal ujian, maka diadakan ujian remedial. Ada ujian remedial satu, ujian reme­dial dua sampai ujian grand remedial. “Itu jika maha­siswanya betul-betul parah,” ujarnya.

Dalam pemutusan masa studi mahasiswa, Fakultas Matematika dan Ilmu Penge-tahuan Alam (FMIPA) juga mengikuti prosedural dari peraturan akademik USU. PD I FMIPA Marpongahtun menjelaskan sebelum memu­tuskan masa studi akan ada evaluasi untuk mahasiswa yang biasanya dilakukan pada semester genap. Jumlah minimal SKS yang lulus, IPK yang tidak memenuhi syarat

dan kehadiran adalah penye­bab dari pemutusan.

Namun sebelum itu, ma­hasiswa akan dipanggil dan akan berkonsultasi ke bagian akademik fakultas. Akhirnya akan ada sebuah perjanjian dengan tanda tangan di atas materai. Baik perjanjian un­tuk segera menyesaikan masa studi dengan tenggat waktu tertentu, hingga perjanjian agar di semester selanjutnya, mahasiswa akan lebih baik keberhasilan akademiknya.

Sementara pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dikatakan PD I FIB Husnan Lubis banyak mahasiswa yang tidak bisa dihubungi dan akhirnya DO dengan STJ. “Kebanyakan ya mahasiswa yang enggak aktif lagi. Mereka pun udah jarang konsultasi sama kita (bagian akademik -red) jadi kita gak bisa pastikan apa penyebab mereka DO,” jelas Husnan.

Husnan mengaku banyak solusi pihak fakultas yang bisa ditawarkan kepada ma­hasiswa yang terancam DO

Buku peraturan akademik program Sarjana Universitas Sumatera Utara. Buku yang berisi peraturan-peraturan yang diberi-kan kepada setiap mahasiswa ketika mendaftar ulang sebagai mahasiswa baruPERATURAN

Koordinator Liputan : Pebri Hardiansyah PohanReporter: Malinda Sari Sembiring, Riska Aulia Sibuea, Sonya Citra B dan Pebri Hardiansyah Pohan

DROP OUTSUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013

7laporan utamahasiswa yang sudah habis masa studi misalnya, fakultas akan memberikan dispensasi memperpanjang masa stu­dinya dengan membuat per­janjian terlebih dahulu, dan mempertimbangkan berapa lama ia bisa menyelesaikan studinya.

Ada juga tawaran untuk memberikan kelas simultan. Bahkan kalaupun pada se­mester genap, mahasiswa gagal mata kuliah semester ganjil, Husnan mengatakan akan dibuka kelas simultan mata kuliah semester ganjil tersebut.

Fakultas Ekonomi (FE) menerapkan dua opsi untuk mahasiswa yang dianggap ti­dak mampu lagi menjalankan perkuliahan. Mengundurkan diri atau DO. Namun untuk mahasiswa SI diperkenan­kan memilih program DIII, seperti yang tertuang dalam keputusan rektor tersebut.

Selain itu, jika dibutuhkan akan ada pemanggilan orang tua mahasiswa tersebut. Tu­juannya selain agar maha­siswa tersebut bertanggung jawab terhadap perkuliahan­nya, juga untuk mengetahui kemauan mahasiswa terse­but. “Sebenarnya apakah dia yang ingin kuliah atau orang tuanya,” kata Fahmi.

Pembantu Rektor (PR) I Prof Zulkifli Nasution menga-takan bahwa sistem DO di USU tidak fleksibel. “Ada hal-hal tertentu, tapi bukan fleksibel namanya,” tegas Zulkifli.

Misalnya apabila ada ma­hasiswa yang seharusnya DO, dan sebelumnya sudah membuat perjanjian akan se­lesai pada tanggal yang telah ditetapkan. Namun ternyata

ditemukan bahwa kesalahan bukan terdapat pada maha­siswa itu melainkan karena dosen pembimbingnya, maka akan diberi kelonggaran un­tuk menambah masa studi hingga tanggal yang ditentu­kan.

Menilik aturan DO Ins-titut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara, PR I IAIN Prof Hasan Asari meng-aku peraturan DO di kam­pusnya tidak begitu ketat. Penggunaan sistem yang be­lum berbasis teknologi infor­masi menjadi alasan sulitnya menyaring mahasiswa yang akan DO.

“Sampai sekarang masih ada aja mahasiswa yang se­mester 13 bahkan 14,” kata Hasan.

Hasan menjelaskan pro-sedur evaluasi hingga kepu­tusan DO juga diterapkan di IAIN. “Namun dalam penera­pannya, kasus per kasus itu berbeda penanganannya se­tiap mahasiswa, sebab kita tidak bisa asumsikan setiap masalah itu sama,” kata Hasan.

Untuk itu, pihaknya akan menanyai permasalahan ma­hasiswanya, lalu akan cross check lagi ke dosen pem­bimbing akademik (PA). Apa­bila kasusnya dipandang per­lu kehadiran orang tuanya, maka orang tua mahasiswa tersebut akan dipanggil juga. Hal tersebut, menurut Hasan, akan lebih baik dan lebih berhati-hati hingga akhirnya dianggap mahasiswa terse­but tidak mampu mengikuti perkuliahan lagi.

Namun, jika seorang ma­hasiswa yang hendak DO ma­sih mau menyelesaikan kuli­ahnya, maka pihaknya akan

memberi ruang bagi maha­siswa tersebut.

Diungkapkan Hasan ma­hasiswa DO di IAIN lebih banyak terjadi karena ma­salah IP-nya yang rendah. Pasalnya, hal tersebut lebih gampang terdeteksi oleh pegawai.

Masa studi juga menjadi salah satu penyebab maha­siswa DO di IAIN SU. Hasan menceritakan ada kasus di­

Riset Laporan UtamaBERIKUT adalah grafik jumlah mahasiswa yang drop out selama lima tahun terakhir serta penyebabnya. Grafik ini tidak memerhatikan jumlah mahasiswa se-USU. Data dihitung untuk mahasiswa program sarjana (S1) dan diploma (D3). Data ini diperoleh dari Bagian Akademik, Badan Pusat Administrasi. (Litbang)

Persentase Penyebab DO per Tahun dari tahun 2008 hingga 2012

mana mahasiswa yang su­dah skripsi namun pada saat penelitiannya ia lalai menger­jakannya, hingga akhirnya dikeluarkan. “Ada kasus berlebihan masa studi, tapi dengan jumlah yang sangat sedikit,” tambah Hasan.

Hasan menjelaskan, selain hal akademis, penyebab lain mahasiswa DO di kampusnya yaitu karena pelanggaran tata tertib. Tata tertib IAIN sendiri diatur dalam Kepu-tusan Rektor IAIN SU No. 264 Tahun 2012. Di dalamnya termasuk juga pelanggaran moral dan keagamaan.

Tapi, ia tak tahu pasti jumlah mahasiswa yang su­dah DO. “Tapi sepertinya pasti ada lah setiap tahun,” katanya.

Faktor Diri Sendiri dan

LingkunganRosmiani, PD II Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) adalah dosen PA Nicko (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Departemen So­siologi FISIP 2006. Semes­ter dua, Nicko datang sambil mengajukan surat pengajuan PKA. Katanya, ia ingin kerja. Kepada Rosmiani, Nicko meng-aku bahwa ia seorang yang kurang mampu. Ia pun cuti se­lama satu semester.

Semester tiga ia kembali. Namun bukannya kuliah, Nicko malah mengajukan su­rat PKA kembali.

Rosmiani mulai curiga. Penampilan Nicko, tak seper-ti orang kurang mampu. Ia juga tak jarang muncul di kampus. Akhirnya Rosmi­ani memanggilnya kembali. “Kamu sebenarnya ada apa sih?” tanya Rosmiani. Rosmi­ani mulai mendekati Nicko secara personal.

Dari cerita Nicko, Rosmi­ani mengetahui bahwa orang tua Nicko adalah seorang pengusaha. “Dengan begitu, berarti dia sebelum kuliah sudah ada masalah di keluar­ganya,” simpul Rosmiani.

Sebagai sosiolog pendidik-an, Rosmiani memaparkan se­bab lain enggannya mahasiswa kuliah dilihat dari sisi sosial­nya. Mahasiswa tersebut bisa jadi salah pilih jurusan, karena pada saat mendaftar ia hanya ingin sekadar lulus. Ujungnya, ia tidak bisa mengikuti pelaja­ran hingga tak menyukai juru­san tersebut.

Kemudian, mahasiswa tersebut tidak bisa berinter­aksi dengan teman-temannya di kampus sehingga setiap informasi dari kampus tidak ia dapatkan. Ada juga kasus

mahasiswa yang berbeda lingkungan sosial. “Waktu di kampung dia orang yang biasa saja, ketika sampai di Medan, dia terkejut dengan keadaan metropolitan ini,” tutur Rosmiani.

Rosmiani menambahkan, menurutnya ada tiga pelaku yang mendorong keberhasil-an mahasiswa. Faktor kemau­an mahasiswa menjadi faktor terpenting, seberapa besar kemauan ia untuk berkuliah. “Jangan-jangan dia kuliah karena orang tuanya yang menyuruh dia kuliah, ter­lebih kalau itu pilihan orang tuanya,” kata Rosmiani.

Lalu yang kedua, keluarga sebagai institusi sosial terke­cil yang paling berpengaruh dengan psikologis dan emo­sional mahasiswa tersebut. Jika seorang anak di rumah baik dan ditanamkan nilai-nilai baik maka kemana pun anak itu melangkah pasti akan tetap baik.

Kemudian lingkungan uni­versitas. Ada banyak aspek yang bisa dilihat di universi­tas. Ada lingkungan perteman-an mahasiswa tersebut di kampus, apakah ia bergaul dengan teman-teman yang berperilaku buruk dan bukan orang yang bernilai budi luhur atau malah mahasiswa keba­likannya. “Ada juga masalah dosen ‘killer’,” kata Rosmiani.

Solusi terbaik masalah ini dijelaskan Rosmiani, mahasiswa mau berkon­sultasi dengan dosen PA-nya masing-masing. “Dosen PA pun harus berinteraksi dan punya quality time dengan mahasiswa didiknya.” Dari sanalah si dosen bisa menge­tahui masalah-masalah ma­hasiswanya.

Dosen PA pun harus berinteraksi dan punya quality time dengan ma-hasiswa didiknya

Rosmiani

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksi­mal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.

[email protected]

Jalan Universitas No. 32 B, Kampus USU,Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara

Pers Mahasiswa SUARA USU

087868869549

@SUARAUSU

SURAT DAN PENDAPAT

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 20138 opini

Rafyq Alkandy Ahmad PanjaitanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2012

Mahasiswa dapat di­katakan sebagai se­seorang yang punya inteligensi tinggi di dalam masyarakat. Po­

tensi yang besar dan perlakuan yang istimewa merupakan salah satu keun­tungan mahasiswa untuk bergerak ak­tif, sayang sekali bila tidak digunakan dengan maksimal. Mahasiswa sejatinya bukan hanya penting bagi negara tapi juga bagi masyarakat di sekitarnya.

Saya tidak terlalu setuju dengan istilah agent of change (agen perubah-an) untuk mahasiswa, karena itu menggambarkan bahwa peranan ma­hasiswa hanya sebagai agen dalam perubahan. Seolah mahasiswa hanya alat untuk perubahan itu, bukannya se-bagai pencetus perubahan. Mahasiswa yang mempunyai idealisme seharus­nya berpikir dan bertindak bagaimana mengembalikan kondisi negara men­jadi ideal. Karena itu mahasiswa ditun­

tut bukan hanya menjadi agen perubah-an, melainkan pencetus perubahan ke arah yang lebih baik.

Lantas pertanyaannya adalah jika orang yang dianggap memiliki in­telektual yaitu mahasiswa sudah ti­dak mampu lagi membuat perubahan, negeri kita akan menjadi apa? Orang-orang di birokrasi yang seenaknya me­nyelewengkan kekuasaan itu adalah produk kampus, di mana asal mula kepribadian perilaku politik berasal. Bila kita ingin merubah sistem yang ti­dak lagi sesuai dan akhlak pejabat kita, marilah memulainya dari kampus.

Di dunia politik, lewat perilaku politik kita dapat menentukan seorang pemimpin. Indonesia adalah negara demokratis. Dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 setiap warga nega-ra berhak memilih dan dipilih. Pe­milihan umum (pemilu) dalam negara demokrasi merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digaris­kan konstitusi. Salah satunya prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berke­daulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan.

Dari prinsip pemilu tersebut ter­gambar bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekua­saan. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat se­cara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations (hubungan publik), komuni­kasi massa, lobi dan kegiatan lainnya. Meskipun agitasi dan propaganda di negara demokrasi sangat dikecam, na­mun dalam kampanye pemilu, teknik tersebut banyak dipakai oleh para kandidat atau politikus melalui komu­nikasi politik.

Di kampus, perilaku politik sudah mulai ditanamkan ketika menyandang status mahasiswa. Kampus adalah miniaturnya negara. Lembaga-lem­baga politik negara ada imitasinya di kampus. Maka tak salah jika kita men­jadikan kampus sebagai alur pergan­tian agency (pelaku) politik di sebuah negara. Di kampus mahasiswa belajar bagaimana menyelenggarakan sebuah kegiatan-kegiatan politik contoh pemi­lu Pemerintahan Mahasiswa (pema). Walau tidak semegah kegiatan politik negara, tapi cukup untuk mengindika­sikan bahwa mahasiswa akan menjadi pelaku politik ketika lulus nanti di ma­syarakat.

Melaksanakan pemilu di kampus berarti memberi sinyal bahwa sistem

ini akan terus berjalan dan para par­tisipator akan terus berganti. Namun, sangat aneh ketika sebuah proses pemilu tidak bisa dilaksanakan de-ngan baik di arena kaum intelektual. Bila membicarakan kaum intelektual pasti sudah tidak ragu lagi dengan kualitas, kapabilitas dan integritasnya dalam mengelola sebuah sistem. Tapi nyatanya, malah menjadi lebih buruk. Hanya menjalankan sistem yang ada pun tidak bisa. Jika manusia yang se­dang diolah di kampus tidak mampu dan tidak berakhlak. Apa jadinya bila manusia tersebut masuk ke masyara­kat dan menebar virus-virus mismoral. Sebenarnya apa indikator yang me­nyebabkan keraguan kita dengan andil politik mahasiswa sekarang?

Tidak tegasnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) kampus adalah salah sa­tunya. KPU sama sekali tidak bisa me-ngontrol para kandidat dengan baik. Mereka seenaknya mengeluarkan as­pirasi tanpa ada etika di dalam kehidup-an yang demokrasi ini. Melakukan berbagai macam pelanggaran seperti membuang surat suara.

Kedua, tidak adanya kesakralan akan peristiwa ini. Semua orang yang berpartisipasi dalam pemilu kampus terlihat main-main. Baik KPU dan para kandidat. Seakan tak ada bedanya di dalam dan di luar kampus. Para kan­didat dan Kelompok Aspirasi Maha­siswa (KAM) yang berkampanye tidak menunjukkan wibawa seorang akti­vis kampus. Menggunakan kata-kata pasaran dan tertawa saat kampanye. Bagaimana mungkin mahasiswa ter­tarik dengan demokrasi di kampus.

Sangat riskan ketika orang pintar yang menyandang kaum intelektual ti­dak bisa melaksanakan proses pemilu dengan baik dan benar. Jangankan se­bagai pencetus perubahan, mencon­tek sistem yang sudah ada pun tidak bisa. Seharusnya mahasiswa mampu menunjukkan bahwa politik orang pintar dalam pemilu di kampus lebih baik daripada di luar kampus. Politi-cal behaviour (perilaku politik) maha­siswa sangat memprihatinkan. Mereka yang nantinya akan menjadi produk bangsa ini ke depannya tidak mampu memaknai kesakralan pemilu.

Kita sudah bisa melihat hasil produk perguruan tinggi di negeri ini. Pejabat, pemimpin para elite bangsa yang tersandung kasus korupsi, de­moralisasi, tidak menghayati sebuah kemerdekaan dan jabatan politik yang dipegangnya. Mari memahami bahwa “kita adalah bahan yang akan menjadi produk negara”. Negara ini butuh generasi cerdas dan ber-akhlak.

YANTI NURAYA S | SUARA USU

DOKUMENTASI PRIBADI

Realitas Pemilu di KampusPolitik Orang Pintar

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 9dialog

Awalnya, gerakan ini bermula dari Jakarta Berkebun yang selanjutnya bertransformasi men­jadi Indonesia Berkebun. Karena gerakan Indonesia berkebun itu melibatkan kota-kota besar di Indonesia, maka termasuklah Medan yang notabene kota metropolitan juga.

Menyebarkan kembali semangat masyarakat untuk kembali berkebun. Negara kita negara agraris tapi apa-apa impor. Nah, semangat berkebun itu dituangkan dalam kegiatan seperti praktik belajar tanam bersama, school farming, dan sebagainya. Contoh event terakhir ialah tanam tuktuk pada 24 Maret lalu. Lomba menanam bawang merah ini diselenggarakan seren­tak di 27 kota lainnya yang ada gerakan berkebun juga. Movement itu dimulai dari hal yang kecil dan bermanfaat bagi banyak orang. Berkebun itu ter­masuk budaya dan tradisi masyarakat yang sudah hilang, lantas terpikir kenapa tidak memu­lai dari sesuatu yang memang sudah mengakar di masyarakat? Terlebih berkebun bermanfaat sekali bagi masyarakat. Medan berkebun punya misi, 3E yaitu ekologi, edukasi, dan ekonomi. Ekologi yaitu pemanfaatan lahan kosong menjadi lahan terbuka yang dapat mendukung ge-rakan penghijauan serta dapat dijadikan lahan berkumpul. Edukasi yaitu memberikan pen­didikan pada publik terutama anak muda untuk peduli lingkungan. Dan terakhir, ekonomi yaitu menciptakan ketahanan pangan kota yang berkelanjutan agar tidak tergantung dengan barang impor.

Medan Berkebun dilakukan dengan fun-farming. Jadi selain untuk memanfaatkan lahan ko­song, berkebun juga sebagai sarana rekreasi. Di kota-kota besar, ada namanya happy index, yaitu indeks yang berkenaan dengan tingkat stress masyarakat di suatu kota. Nah ini salah satu cara meningkatkan happy index masyarakat. Selain itu, lahan yang kami olah berpindah-pindah tergantung lahan yang dipinjamkan.

Kami pernah menggarap lahan di kompleks perumahan, misalnya di komplek Taman Setia­budi dan juga di sekolah-sekolah, misalnya di SMA Dharma Pancasila. Untuk menggarap lahan ini, kami menunggu pinjaman dari para pemilik tanah. Misalkan kita dipinjami lahan X yang kosong, empat bulan setelah ditanami, si pemilik mau menggunakan lahan itu. Maka kita ha­rus pindah, cari lahan baru. Tetapi saat ini sedang tidak ada lahan yang dikerjakan, karena belum ketemu lahan yang cocok.

Dengan media sosial, orang bisa lihat kegiatan apa saja yang kita lakukan. Atau berbagi cerita-cerita unik dari kegiatan berkebun kita. Sehingga orang jadi tertarik dan mau bergabung. Le­wat media sosial juga Indonesia Berkebun mendapat apresiasi dari perusahaan multinasional besar dunia, Google Inc dengan menyabet gelar “Google Web Hero 2011” karena mampu meng­gunakan media sosial dan internet untuk perubahan.

Ada yang memandang sebelah mata, karena banyak anggapan misi penghijauan adalah tu­gas pemerintah, bukan masyarakat. Kemudian ada juga yang sepele karena yang kita tanam adalah sayuran, padahal di pasar banyak. Tapi sebagian lagi merespons positif dengan ikut ke­giatan kita. Ataupun kalau memang tidak bisa berpartisipasi, bisa kasih donasi. Ada juga yang meminjamkan lahan atau teman-teman dari komunitas lain yang mengajak gabung Medan Berkebun untuk bikin kegiatan.

Medan berkebun terbuka untuk semua kalangan dan umur, tapi saat ini anggotanya ada ma­hasiswa dan orang-orang pekerja, ada pegawai atau orang kantoran. Untuk penggiat, ada seki­tar 20 orang. Kalau mau menjadi sahabat berkebun, silakan saja datang ke event-event Medan Berkebun yang selalu kita bagi di media sosial. Kami berharap agar masyarakat Medan bisa bersama-sama menghijaukan kota, dan menjaga ketahanan pangan dengan cara sederhana, yaitu berkebun. Di halaman pun, kita bisa bertanam. Maka, maksimalkan setiap lahan yang kita punya untuk bertanam.

Tumbuhkan Minat Bertanam Lewat Medan Berkebun

Apa yang melatarbe-lakangi Medan Berke-bun dibentuk?

Kegiatan apa saja yang Medan Berkebun laku-kan?

Mengapa gerakan sosial ini dilakukan dengan berkebun serta apa tu-juannya?

Apa perbedaan berke-bun biasa dengan Me-dan Berkebun?

Dimana saja lahan ga-rapan yang dikerjakan di Medan?

Bagaimana Medan Berkebun memadukan pergerakannya dengan media sosial?

Bagaimana respons ma-syarakat terhadap Me-dan Berkebun?

Bagaimana caranya ber-gabung dengan Medan Berkebun?

Biodata

Nama: Ahmad Fikri Ridho

Tempat dan Tanggal Lahir:

Pematang Siantar, 27 April 1992

Pendidikan: SD Swasta RA Kartini,

Tebing Tinggi 1997-1999SD Swasta Eria,

Medan 1999-2003SMP Negeri 3 Medan

2003-2006SMA Negeri 2 Medan

2006-2009Ilmu Tanah -

Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU

2009-Sekarang

Jabatan: Koordinator Lapangan

Medan Berkebun

Di Indonesia terdapat gerakan sosial ber-nama Indonesia Berkebun yang tersebar di 27 kota di seluruh Indonesia, salah satunya adalah Kota Medan. Di Medan, gerakan ini disebut Medan berkebun.

Berdiri sejak Oktober 2011, Medan Berke-bun menggunakan konsep urban farming­, yaitu konsep berkebun atau bertani di ka-wasan perkotaan dengan memanfaatkan lahan-lahan yang menganggur, maupun

lahan sisa yang sering dianggap neg­ative space untuk kota. Simak wawancara re-porter SUARA USU Izzah Dienillah Saragih dengan Koordinator Lapangan Medan Berkebun, Muhammad Fikri Ridho.

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201310 ragam

Menanti ‘Ketuk Palu’ Sang RektorBeberapa kursi kosong terjadi belakang-an ini. Ketegasan rektor sangat diperlu-

kan untuk memenuhi kekosongan ini.

Ridho Nopriansyah

November 2012 silam, Adli menanggalkan status mahasiswanya. Maha­siswa Fakultas Ekonomi (FE) program ekstensi

tahun 2010 ini hanya perlu menerima surat keterangan tanda lulus (SKTL), transkripsi nilai serta ijazah. Namun untuk ijazah, ia mengalami kesulitan. Agar bisa menggunakan ijazah, ia ha-rus mendapatkan tanda tangan dekan. Tapi pasalnya, pengganti Dekan FE Alm Jhon Tafbu Ritonga belum juga dikukuhkan sang rektor.

Menjelang akhir tahun, Adli mena-nyakan hal ini ke bagian kemahasiswaan perihal penandatanganan dekan. Tapi ia tak mendapatkan solusi.

Januari 2013, Adli kembali mena-nyakan hal sama. Lagi-lagi ia belum mendapatkan kepastian. Ketiga kalinya, Adli menjumpai bagian kemahasiswaan (4/4) lalu. Ia berharap mendapatkan jalan keluar. Namun, ia harus pulang tanpa hasil lagi. “Tidak ada solusi yang diberikan. Saya bosan,” ungkap Adli.

Rektor USU Prof Syahril Pasaribu memang telah mengangkat Pembantu Dekan (PD) II FE Arifin Lubis sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dekan FE. Ken­dati demikian, Arifin enggan menan­datangani ijazah. “Setahu saya, karena status Plt dekan, makanya beliau eng­gak mau,” tandas Adli. Hal ini me­

nyulitkan Adli melanjutkan karirnya. Sebab, salah satu persyaratan yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan adalah adanya ijazah.

Adalah hak prerogatif rektor menunjuk sosok pengganti dekan se-perti tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) USU pasal 57 ayat (1). PD I FE Fahmi Natigor Nasution menegaskan FE per lima Maret saja Plt Dekan FE sudah menjabat selama empat bu­lan. Menurutnya, adanya faksi atau­pun perpecahan di FE menjadi salah satu alasan lambannya pengentasan masalah ini yaitu terbentuknya kubu-kubu pendukung calon dekan. Semen­tara, sesuai pasal 57 ayat (5), setiap calon dekan harus mendapat duku-ngan tertulis sekurang-kurangnya dua puluh persen dari jumlah dosen fakultas. “Kalau ada faksi, turunkanlah bala bantuan,” tegas Fahmi.

Menanggapi kekosongan dekan ini Prof Syahril mengaku belum menun­juk siapa yang akan mengisi kursi Dekan FE. “Tapi segera, kemungkinan bulan ini sudah beres,” tegasnya.

Namun hingga berita ini diturun-kan, Prof Syahril belum juga mengang­kat Dekan FE. Sebabnya rektor kerap kali memiliki jadwal sibuk. “Akhir Ma­ret ini saya juga mau umroh,” tambah Prof. Syahril Pasaribu.

Di sisi lain, Ahmad Ridwan Siregar, Kepala Perpustakaan dan Pusat Sistem Informasi (PSI) juga sudah lama me­ninggalkan jabatannya. Suharwinto, Wakil Kepala PSI menyatakan koor­dinasinya dengan atasan jadi tidak

semulus sebelumnya. Dahulu semua koordinasi dilakukan dengan Ridwan. Namun SK Rektor menyatakan PSI berkoordinasi langsung ke biro rektor. Kini, ia mengaku jadi sulit mengatur waktu dengan pihak rektorat.

Sementara itu, untuk urusan per­pustakaan diserahkan kepada Djonner, Wakil Kepala Perpusataan. Rektor mengaku tidak menempatkan Kepala PSI yang baru, karena pada konsepnya perpustakaan dan PSI berada pada satu sistem. “Kalau sudah ada kepala per­pustakaan, tidak perlu lagi ada kepala PSI,” kata Prof Syahril.

Padahal, rektor pernah bergerak cepat untuk mengisi kursi Pembantu

Rektor (PR) III yang ditinggalkan Eddy Marlianto karena diberhenti­kan Maret tahun lalu. Raja Bongsu Hutagalung, PR III yang menjabat saat ini pun dihubungi langsung oleh rektor dan selang satu hari, ia pun langsung dilantik pada 4 Mei 2012. (Tabloid SUARA USU edisi 88)

Suharwinto menambahkan, se-sungguhnya diperlukan ketegasan yang cepat dari rektor supaya posisi-posisi strategis seperti dekan dan Ke­pala PSI diisi secara jelas. Tidak bisa ditunda dan membiarkan masalah semakin berlarut-larut. “Dengan SK, akan jelas siapa memimpin siapa,” tegasnya.

KBK dan Lika-Liku PenerapannyaPenerapannya telah dicanangkan sejak

2006 silam oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Namun,

akibat kendala teknis fakultas-fakultas di USU sendiri tak serempak

memberlakukannya.

Pelantikan Pembantu Rektor (PR) III Raja Bongsu Hutaga-lung, Jumat (4/5) tahun lalu.PERGANTIAN

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Apriani Novita Sari dan Amalia Wiliani

SEPTINA Sari Nasution, mahasiswa Fakultas Keperawatan (FKep) 2012 tengah menyimak materi dan prak­tik menentukan derajat Edoma dan Asites yang diberikan dosen mereka. Saat itu mereka sedang briefing un­tuk dibagi ke dalam kelompok kecil. Setengah jam berlalu, Septi bersama 14 teman satu kelompoknya masuk ke dalam kelas-kelas kecil bersama Iwan Rusdi, dosen pembimbing untuk praktik pada hari itu (Kamis, 28/3).

Sebelum praktik, Iwan kembali menjelaskannya. Setelah paham, satu persatu mahasiswa melakukan prak­tik itu sampai berhasil, dan tak bo­leh ada yang salah. Kelas yang mere-ka ikuti adalah kelas tutorial yang merupakan implikasi dari penerapan sistem KBK yang telah diterapkan se­

jak 2010 lalu. Septi merasa sistem KBK yang

diterapkan sangat bagus, karena ma­hasiswa dipaksa untuk mengeluarkan pendapat dan kritis di kelas. “Itu juga dinilai, kalau enggak mau ngomong nilainya berkurang,” katanya.

Ia mengaku kesulitan yang diala­minya hanya pada ujian skills lab akhir semester, karena mahasiswa diharus­kan menghapal 14 praktik yang telah dipelajari tanpa salah. “Apabila salah dianggap tidak lulus,” tambahnya.

Sejauh penerapannya yang telah berjalan dua tahun lebih, FKep melalui PD I-nya Erniyati mengaku tidak ada kendala yang berarti. Hanya perihal fasilitas seperti alat laboratorium dan ruangan yang masih kurang. Tapi Erni mengaku hal tersebut perlahan-lahan dapat mereka atasi.

Senada dengan Septi, Erni sepakat bahwa KBK memang menuntut keak­tifan mahasiswa dalam perkuliahan. “Semua itu (keefektifan mata kuliah –red) menitikberatkan pada pendeka­tan mendasar,” tambah Erni.

Sementara itu, untuk menerapkan KBK di Fakultas Ekonomi (FE) PD I FE, Fahmi Natigor mengaku hal pertama yang harus dilakukan adalah mene­

tapkan fokus utama kompetensinya. Di FE sendiri kompetensinya adalah menerapkan KBK sejak tahun ajaran 2011/2012 dengan kompetensi En-terpreneurship (kewirausahaan). Peng-ubahan kurikulum tidak akan meng-akibatkan berubahnya mata kuliah di FE. Dengan kata lain tidak akan ada penambahan ataupun pengurangan mata kuliah. ”Hanya saja bobot mata kuliah itu yang berubah,” jelas Fahmi.

Nancy Mayriski Siregar, mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) 2009 mengaku setuju diterapkannya sistem KBK di FE. Menurutnya, dengan pengerucut-an pembelajaran KBK, mahasiswa jadi lebih spesifik kemampuannya. Misalnya mata kuliah bahasa Inggris yang beban awalnya tiga sistem kredit semester (SKS) menjadi dua SKS dan ada dua mata kuliah tambahan seperti praktik bisnis. “Dengan begitu kecil kemung­kinan untuk tidak terbahasnya materi seperti yang sering terjadi sebelumnya, di mana ada materi yang belum terba­has karena kendala waktu,” ujarnya. Namun, menurut Nancy kekurangannya tidak semua mahasiswa FE yang akan menjadi wirausaha.

Sedangkan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) baru menerapkan KBK di awal

2013. Berbeda dengan FKep dan FE, Pembantu Dekan (PD) I FIB Hus­nan Lubis mengaku ada perevisian mata kuliah yang diserahkan kepada departemen. Mereka menyepakati ilmu komunikasi sebagai mata kuli­ah tambahan yang diwajibkan di tiap departemennya. Dan tak ada mata kuliah yang dihapus.

Terkait penerapannya yang tak serempak Pembantu Rektor (PR) I Prof Zulkifli Nasution angkat bicara. Prof Zul bilang tak mudah mengadap­tasi KBK. USU telah menyiapkannya sejak tahun 2003 dengan melakukan pelatihan-pelatihan.

Menurut Prof Zulkifli, penerapan KBK yang tidak serentak disebabkan beberapa fakultas yang sulit dalam menentukan kompetensinya seperti Fakultas Pertanian (FP). “Apabila ditetapkan kompetensinya kelapa sawit pada mahasiswa, maka mere­ka akan mempelajari segala sesuatu tentang kelapa sawit. Namun nyata-nya, setelah lulus mahasiswa malah mengolah karet,” ungkapnya.

Berbeda dengan Fakultas Kedok­teran (FK) yang cepat dalam menerap­kan KBK, apabila ditetapkan kompe­tensi jantung pada mahasiswa, maka

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 11ragam

Menunggu Akhir Pema USUMasa jabatan para pejabat Pemerin-tahan Mahasiswa (Pema) USU sudah

menjauhi garis akhirnya. Harusnya kini mereka telah berikan tongkat estafet

pada penerusnya. Namun, mereka masih sibuk ‘berlari’ di lingkaran mereka

sendiri.

Sekretariat Pema USU, Kamis (5/4). Laporan pertang-gungjawaban (LPJ) yang seharusnya diserahkan kepada MPMU pada Desember 2012 lalu masih belum terlaksana sampai sekarang.

SEKRETARIAT PEMA

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

LPJ harus segera dilaksanakan agar kaderisasi untuk periode selanjutnya tidak terlalu lama. “Jadikan saja pelak­sanaan kongres itu menjadi catatan untuk periode selanjutnya,” jelasnya.

Selain itu, kongres perubahan TLO seharusnya dilaksanakan dalam masa jabatan sehingga bersifat konstitusional. Karena kalau dilak­sanakan di luar masa jabatan yang seharusnya, disebut inkonstitusional. Ia mengatakan akan lebih baik jika diprogramkan di awal dan harusnya ditetapkan dengan Surat Keputusan MPMU.

Rikwan menambahkan organisasi dibangun dengan prinsip demokra­tis serta check and balance. Dalam penerapan check and balance ini­lah peran MPMU sebagai legislatif mengawasi eksekutif. Harusnya ma­hasiswa USU mengetahui apa yang dikerjakan oleh pema dan MPMU ha­rusnya punya media untuk memberi­tahukan kepada semua mahasiswa apa apa yang telah dilakukan pema.

Kalau kegiatan pema tak berjalan, MPMU bisa membuat mosi tidak per­caya kepada presiden dan presi den dapat dimakzulkan lewat sidang. “Jika MPMU melihat Pema USU tak berjalan, maka panggil presidennya dan ya su­dah, bentuk KPU baru,” ungkapnya.

Sementara itu, Pembantu Rek­tor (PR) III Raja Bongsu Hutagalung mengaku tidak banyak tahu menge­nai progja yang sudah terealisasikan. Namun ia tahu memang tidak banyak aksi yang dilakukan Mitra. “Soal ma­salah-masalah di kampus ya harus dibicarakan. Kami sifatnya membantu bukan untuk mencampuri. Apa yang bisa dibantu ya biar dibantu,” jelas­nya.

setelah lulus mahasiswa tersebut akan menjadi seorang dokter ahli jantung. “Di belahan dunia lain jantung manusia kan tetap sama,” tambahnya.

Ia menilai fakultas lah yang ber­peran dalam menentukan kompe­

tensi yang ingin mereka tuju. “Butuh pemikiran, namun tidak ada yang be­lum menerapkan, hanya saja sedang dipelajari,” kata Prof Zulkifli.

Prof Zulkifli mengatakan KBK merupakan suatu keharusan untuk

setiap fakultas menerapkannya. KBK dinilai memiliki kelebihan dalam pengintegrasian kurikulum satu mata kuliah. “KBK bukan materi na­mun pemikiran,” ungkap Zul.

Ia berharap semester depan

semua fakultas sudah dapat menerap-kan KBK. Namun, apabila ada fakultas yang belum menerapkannya, mereka akan dipanggil kembali ke rektorat, kemudian diberikan pemahaman, serta pelatihan kembali.

IKLAN

Jika MPMU melihat Pema USU tak ber-jalan, maka panggil presidennya dan ya su-dah, bentuk KPU baru

M.Rikwan E.S Manik

Rati Handayani

Sudah satu tahun tiga bulan Mitra Akbar Nasution me­nyandang gelar Presiden Mahasiswa USU. Harusnya, Desember tahun lalu ia su­

dah melaporkan pertanggungjawa­bannya selama menjabat. Namun, hingga saat ini laporan pertang­gungjawaban (LPJ) tersebut tak juga diserahkan pada Majelis Permusya-waratan Mahasiswa Universitas (MPMU).

Padahal, jika merujuk Tata Lak­sana Ormawa (TLO) bab IV tentang Pemerintahan Mahasiswa Universi­tas pasal 15 ayat 5, jelas disebutkan bahwa masa jabatan kepengurusan pema adalah satu periode kepengu­rusan yakni satu tahun.

Alhasil, Maret ini jadi targetnya tahun ini. Tapi tetap saja niat terse­but tetap tak terlaksana. Mitra me-ngaku lalai. Ia merasa pihaknya perlu melakukan kongres terlebih dulu un­tuk merubah TLO April ini, sebelum melaksanakan LPJ. Ia merasa kongres ini perlu dilakukan karena pihaknya perlu masukan dari gubernur-guber­nur pema sekawasan.

Kongres sendiri sesungguhnya juga direncanakan berlangsung Ma­ret lalu, tapi batal karena kendala

persiapan seperti dana dan tempat pelaksanaan kongres yang baru bisa diadakan April ini. “Dalam kongres itu akan diundang gubernur sekawasan USU, Himpunan Mahasiswa Departe­men dan Unit Kegiatan Mahasiswa,” jelasnya.

Tak hanya masalah kongres yang belum dilaksanakan, di ujung kepeng-urusannya Pema USU kembali ke­hilangan anggotanya 20 Februari lalu. Mereka adalah sekretaris jen­dral (sekjen), menteri olahraga dan menteri internal yang juga wisuda, menyusul ketujuh rekannya, yang juga meninggalkan kursi jabatannya Oktober tahun lalu.

Menyangkut hal ini, Mitra tak melakukan reshuffle terhadap anggo-tanya tersebut. Ia bilang tak ada lagi program kerja (progja) yang harus mereka laksanakan, dan penggantian mereka dirasa tanggung mengingat LPJ yang akan dilaksanakan perte-ngahan April mendatang.

“Kalau nambah-nambah buat CV (curruculum vitae -red) aja, eng­

gak usahlah. Nanti menjabatnya dua minggu aja terus kongres, percuma,” paparnya.

Selain itu, meskipun telah me­ninggalkan jabatannya, para pejabat Pema USU yang telah wisuda terse­but dikatakan Mitra tetap memberi­kan LPJ mereka. “Karena tak mungkin menteri yang baru yang akan mem­pertanggungjawabkan kinerja men­teri yang sebelumnya,” tambahnya.

Pun untuk LPJ secara keseluruhan belum rampung. Dari delapan bidang yang ada, dua di antaranya belum ada laporan sama sekali.

Ditemui di tempat berbeda, M Ibnu Sina Lubis, Ketua MPMU meng-aku hingga saat ini belum mengeta­hui perkembangan LPJ Pema USU. Meskipun ia tak pernah berusaha memberikan surat peringatan kepa­da pihak pema, dan hanya mengan­dalkan komunikasi secara lisan. Ia bi­lang tanggapan pihak pema baik-baik saja, dan ia yakin Pema USU paham akan kewajibannya menyerahkan LPJ tersebut. “Enggak mungkin mereka diingatkan terus,” katanya.

Ia menambahkan sesungguhnya tak ada syarat khusus pelaksanaan LPJ ini. “Namun harusnya dilak­sanakan di akhir periodesasi dan setidaknya telah dilaksanakan Janu­ari 2013 lalu,” katanya.

***Ketua Umum Senat Mahasiswa

Perguruan Tinggi (SMPT) periode 1997-1998 dan 1998-1999, M. Rik­wan E.S Manik Rikwan coba ka­sih solusi mengenai polemik yang mendera Pema USU saat ini. Ia me-ngatakan harusnya Pema USU me­naati TLO yang sudah ada. Selain itu,

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201312 galeri foto

Mungkin kulit telur hanyalah sampah, yang dibuang begitu saja saat ia dipisahkan dengan si telur. Namun sesungguhnya kulit telur bisa di-sulap menjadi ragam karya seni, seperti kaligrafi rohani, lukisan wajah, lukisan bangunan, serta

logo atau lambang. Tak tanggung-tanggung harga jualnya bahkan sebanding dengan harga emas, berkisar Rp 400 ribu hingga ratusan juta rupiah. Terlebih lukisan kulit telur ini tahan lama dan tidak

rusak walaupun terkena api. (Sofiari Ananda)

Sampah Seharga Emas

6

1 2

3

4

5

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Menempel cangkang telur Memamerkan lukisan kulit telur

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Lukisan setengah jadi

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Membuat sketsa

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Menjemur cangkang

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USUMengupas kulit ari

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 13podjok sumut Aulia Adam

Bangunan ini terletak di Jalan Yos Sudarso kilome­ter 18, Kecamatan Medan Labuhan, Medan. Puluhan makam mengelilingi hala­

man muka serta kanan-kirinya. Warna bangunan ini didominasi oleh warna kuning dan hijau. Pintu utamanya dibuat dari dua bilah kayu yang diukir dengan ciri khas Tionghoa. Terdapat banyak relief yang diolah dari liukan-liukan yang biasanya ada di bangunan Timur Tengah, India dan Spanyol. Di puncak bangunan terdapat kubah segidelapan. Ialah masjid Al-Osmani dengan tampilannya kini.

Mesjid ini memiliki sebuah hikayat awal mula pendiriannya. Dahulu, sekitar tahun 1854, Tuanku Sultan Osman Perkasa Alam sedang gundah gulana. Sebabnya, sudah 126 tahun lebih kerajaannya yang dibangun di Kampung Alai belum punya tempat beribadah. Maka saat itu, ia meng­hubungi kerajaan seberang di Kali­mantan untuk memesan kayu-kayu ulin guna mendirikan masjid.

Konon, kayu-kayu yang dibawa dari Kalimantan itu tersohor kekuat-annya. Warnanya hitam, dan rayap pun tak bisa memakannya. Melalui Sungai Deli yang berjarak sekitar 200 meter dari Kesultanan Deli, kapal-kapal tongkang membawa kayu-kayu impor itu.

Perlu waktu yang cukup lama un­tuk mentransfer kayu-kayu tersebut. Transportasi air adalah satu-satunya cara tercepat kayu-kayu itu bisa tiba di Kesultanan Deli. Hal tersebut berpengaruh pada lamanya masjid dibangun.

Kayu-kayu itu dijadikan pondasi, disusun sejajar mengikuti tekstur tanah. “Sehingga tidak berpengaruh kalau dilanda gempa,” ungkap Ahmad Fahruni Ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Al-Osmani tentang sejarahnya masjid ini. Dengan kayu-kayu yang sama pula, dibuatlah sebuah mimbar.

Dalam hitungan beberapa ta­hun, rumah panggung khas melayu berukuran 16x16 meter hadir sebagai tempat beribadah tepat di depan istana. Ia diberi nama masjid Al-Os­mani sesuai dengan nama penggagas-nya, Tuanku Sultan Osman Perkasa Alam.

Genap 18 tahun setelah diba-ngun, Sultan Deli ke-VIII Tuanku Sultan Mahmud Perkasa Alam putra Tuanku Sultan Osmana Perkasa Alam berinisiatif melakukan pemugaran pada bangunan asli masjid. Ia merasa bangunan tersebut harus lebih megah dan diperluas. Maka pada 1870-1872, ia memanggil arsitek dari Jerman, GD Langereis untuk mengonsepkan sebuah bangunan megah.

Kesultanan yang berhubungan baik dengan bangsa Belanda yang menjajah pada masa itu cukup dipermudah untuk mendapatkan bahan-bahan material dari Eropa dan Persia. Langereis menggabungkan berbagai unsur dari beberapa negara ke dalam arsitektural masjid Al-Os­mani. Mulai dari bentuk pintu, relief dan warna kuning hijau yang men­dominasi. “Kuning melambangkan ciri khas budaya Melayu, sementara

Hikayat Masjid KuningIa punya hikayat yang tak boleh sembarang orang ceritakan. Tabu, katanya. Inilah kisah tentang masjid tertua di Medan.

hijau melambangkan keislamian suku Melayu. Bahwa, suku Melayu dahulu­nya adalah identik dengan Islam,” jelas Fahruni.

Langereis pun menambahkan em­pat pilar utama di setiap sudut masjid berbentuk persegi tersebut. Keempat pilar difilosofikan sebagai empat sifat utama Nabi Muhammad SAW. Yakni, shiddiq (benar), tabligh (menyampai­kan), amanah (dapat dipercaya) dan fathonah (cerdas). Sama halnya seperti kubah segidelapan. “Kalau segidepalan ini masih sama. Masih melambangkan empat utama sifat nama dan empat utama sifat mustahil nabi,” jelas Fah­runi. Luas Al-Osmani juga diperlebar menjadi 26x26 meter. Sehingga dapat menampung 500 jamaah lebih.

Konon, campuran bahan material pembangunan masjid tersebut tidak lah biasa. “Kabarnya bahan bangunan ini dicampurkan dengan garam, kapur dan putih telur,” kata Fahruni. “Di beberapa bagian dindingnya memang selalu seperti melepuh-lepuh. Padahal sudah dikikis dan digantikan dengan bahan baru, tapi tetap saja begitu. Mungkin karena bahan-bahan itu, wallahualam, (hanya tuhan yang tahu, -red).”

Namun, hingga kini Al-Osmani

sendiri telah dipugar berkali-kali. Tapi tak banyak yang diganti. Hanya diberi cat, dipasang keramik dan langit-langit kayunya yang diganti plafon. “Maklum lah, kayu kan punya masanya sendiri. Takut pula kita kalau menimpa jemaah,” tambah Fahruni.

Terakhir kali dipugar November 2012 lalu, masjid ini dicat ulang dan kembali diperluas menjadi 60x60 me­ter. Selain lekak-lekuknya yang masih dipertahankan, mimbar pun masih berdiri kokoh di samping mihrab, menjadi saksi bisu perjalanan panjang sang masjid pertama di Kota Medan.

Bangunan dan Sejarah yang Di-lindungi

Setelah salat zuhur di masjid Al-Osmani, Fadhillah Mahmud berniat berziarah ke makam almarhumah Ibunya. Ia tidak membawa apa-apa, tidak seplastik kembang, tidak pula sebuah buku Yassin. Ia hanya berniat

menunaikan salat di Al-Osmani.Setelah salat, mendadak ia merasa

rindu dengan sang Ibu yang mening­gal tiga tahun lalu. Untungnya, makam sang ibu dekat. Masih ada di pelataran masjid Al-Osmani.

Beberapa makam terlihat usang dimakan usia. Ukurannya tak biasa. Misalnya makam Tuanku Sultan Os­man Perkasa Alam. Di sekitarnya ada makam lainnya yang ukurannya lebih kecil. Bahkan nisannya hanya ong­gokan batu lonjong yang ditancapkan

tidak terlalu tegak.Makam-makam lainnya adalah

tempat persemayaman terakhir warga sekitar. Salah satunya makam ibunda Fadhillah.

Fahruni menjelaskan, pada dasarnya masjid Al-Osmani memang dibuat untuk melayani masyarakat. Tak hanya menyediakan tempat se-bagai pemakaman masyarakat sekitar, Al-Osmani juga biasa digunakan sebagai tempat akad nikah.

Karena usianya yang sudah lebih dari 150 tahun dan memiliki sejarah panjang sejak zaman Sultan Deli ke-VII, Masjid Al- Osmani dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya (BCD) bersifat bangunan peribadatan yang harus dilindungi sesuai Undang–Un­dang Cagar Budaya Tahun 1992.

Oleh karena sejarah yang panjang dan intim dengan Kesultanan Deli, Fahruni menekankan bahwa sejarah sang masjid hanya bisa dikisahkan oleh BKM Masjid yang langsung dapat perintah dari Sultan Deli Medan saat ini, Tuanku Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam. “Hal ini dibuat supaya cerita sejarah masjid ini tak melen­ceng-lenceng kalau dari banyak pihak. Kita kan harus menjaga keaslian budaya juga,” tambahnya.

AULIA ADAM | SUARA USU

AULIA ADAM | SUARA USU

“Kuning melambang-kan ciri khas budaya Melayu, sementara hijau melambangkan keislamiannya

MASJID KUNING-HIJAU

Masjid Al-Osmani di Jalan Yos Sudarso Kilometer 18,5, Kecamatan Medan Labuhan, Senin (18/3). Di pelataran masjid ini terdapat makam pendirinya, Tu-anku Sultan Osman Perkasa Alam.

KOKOH

Mimbar yang meru-pakan satu-satunya peninggalan asli Mas-jid Al-Osmani dari tahun 1854. Terbuat dari kayu ulin yang ditransfer langsung dari Kalimantan.

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201314 laporan khusus Agar Mereka Tak Lagi “Beda”

Guster C P Sihombing

Kamar itu dicat putih bersih. Kira-kira beru­kuran 3x4 meter. Dihiasi berbagai

jenis boneka, dari jenis Bar-bie, tokoh-tokoh Disneyland, Tweety, hingga miniatur-mi-niatur sepatu wanita. Bone­ka-boneka itu milik Fahmi (bukan nama sebenarnya) saat ia masih Sekolah Dasar (SD). Sekitar tahun 1990-an silam, ia mengaku mendapat­kan semua koleksi mainan itu dari orang tuanya. Ruang lingkup pertemanannya juga kebanyakan perempuan.

Alhasil, waktu Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia merasa ada hal yang berbeda dengan teman sejenis. Ada perasaan suka dalam dirinya. Namun, ia mencoba melawan perasaannya dengan berpa­caran dengan lawan jenis ke­tika Sekolah Menengah Atas (SMA). Bukan sebagai pelar­ian, tapi karena kasih sayang. “Sempat sekitar enam bulan aku jalan dengan perem­puan. Pertama kali emosi percintaan itu memang dimu-lai dengan perempuan,” ka-tanya. Sekarang Fahmi sudah duduk di semester delapan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU.

Ia mengaku menutupi jati dirinya dari keluarga. Demi nama baik keluarga katanya. Ia mulai terbuka saat SMA. Namun, ia tidak mengingat pada siapa dia awalnya cerita “Aku sih merasa untuk apa ditutupin ke teman-teman, kita kan udah sama-sama de­wasa,” terangnya.

Bicara mengenai penye­bab kecenderungan orientasi seksualnya, dia mengaku ti­dak bisa menyalahkan 100 persen karena didikan orang tua. Bisa jadi karena dia yang terlalu manja.

Beda cerita, Eva (bu­kan nama sebenarnya) me-ngagumi sesama perempuan sebelum SD. Ia suka memer­hatikan, melindungi, dan ti­dak menyukai teman-teman perempuannya diganggu orang lain. Kebiasaan ini ber­lanjut hingga kini, sebagai mahasiswa FISIP 2008.

Ia menolak disebut seba-gai lesbian. “Seksualitas itu cair, itu hanya identitas,” kata Eva.

Dirinya sendiri pun tidak dapat menerima apa yang terjadi padanya yang ber­beda dari orang lain. Ada dua alasan yang membuat­nya tidak menerima dirinya sendiri, yakni dosa dan malu pada masyarakat.

Saat SMP, ia sempat me­nyatakan perasaannya pada seorang teman perempuan dan ia mendapatkan hasil

Mereka sama seperti kita, namun dalam dirinya ada sesuatu yang ‘beda’. Perbedaan itu membuat mereka harus termarginalkan dari lingkungan, bahkan keluarganya sendiri.

Agar Mereka Tak Lagi “Beda”

Koordinator Liputan: Guster C P SihombingReporter: Aulia Adam, Fredick Broven E Ginting, Sofiari Ananda, Guster C P Sihombing.

ILUSTRASI FOTO: RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

yang tak ia harapkan. Malah, sempat beredar isu-isu nega­tif tentang dirinya saat itu. Keluarganya pun mengeta­hui apa yang sedang ia per­gumulkan.

“Kalau memang suka perempuan, nggak ada yang bisa merubah. Termasuk Ayah. Jadi, kalau kamu tetap gitu, malunya sama masyara­kat,” ujar Eva menirukan ayahnya. Keluarganya meng-anggap apa yang terjadi pada Eva adalah aib.

Lain pula dengan Edison Franky Suwandika Butar-Bu­tar mahasiswa FISIP 2010. Dika, begitu sapaannya kala itu sedang kuliah, di mana satu kelompok di kelas itu sedang mempresentasikan topik kepribadian. Lama kelamaan, mereka mulai membahas homoseksual dan menyatakan itu sebagai suatu penyimpangan. Merasa tak terima, dua teman Dika, yang tahu benar kehidupan­nya berkomentar. Mereka membeberkan fakta.

Tak tinggal diam, Dika pun berkomentar homosek­sual adalah sesuatu yang ala-mi dan merupakan pilihan. Dengan segenap keberanian, Dika membeberkan kalau ia adalah seorang homoseksual atau gay ke seluruh kelas. Seisi kelas kaget bahkan ada yang bisik-bisik. Setelah itu, di luar dugaan, tak ada dis­kriminasi yang diterimanya dari seisi kelas.

Keluarga Dika tak ada yang tahu tentang hal ini, ha-nya adiknya yang tahu kare­na mereka tinggal bersama di Medan sedangkan keluarga lainnya di kampung, Bagan Batu. Saat itu adiknya masih SMA. Untuk memberitahu adiknya ia memasang strate­gi khusus. Ia mencari buku-buku yang berhubungan dengan lesbian, gay, biseksu­al, transgender, interseksual, dan questions (LGBTIQ) dan disebar di kos-nya. Adiknya mulai membaca buku-buku tersebut. Walaupun adiknya merasa enggan, tapi Dika me­nyuruh adiknya untuk mem­bacanya saja. Mulai dari situ, ia tak langsung memberitahu

adiknya. Ia pasang strategi selanjutnya. Setiap skype-an dengan “pacar”-nya yang su­dah dipacarinya selama tu­juh bulan di Jakarta, Dika se­lalu membiarkan laptopnya terpampang. Agar adiknya sadar, hingga melihat dan bingung.

“Kok abang skype-an sama cowok?”

“Iya, dia pacar abang,”

“Berarti abang suka sama cowok?” kata Dika meniru­kan adiknya ketika itu.

“Iya,” kata Dika, mem­benarkan.

Dika mendapat pengertian dan pemakluman dari adiknya, buku-buku yang sudah dilahap adiknya, membuat ia paham abangnya sama dengan orang lain. “Bahkan sekarang jadi te­man curhat aku,” katanya sam­

bil tertawa.Ia juga berkisah tentang

beberapa teman yang ia pu­nya. Ia bilang, kebanyakan teman-teman LGBTIQ yang dikenalnya di USU cende-rung tertutup dan tidak terbuka. Padahal, ia punya teman-teman LGBTIQ di se­tiap fakultas. “Tapi kayaknya enggak ada yang terbuka kali lah. Mereka cuma cerita ke

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201315laporan khususAgar Mereka Tak Lagi “Beda”

orang-orang tertentu aja,” tambah Dika.

Terkait LGBTIQ Meutia Nauly, psikolog yang juga Ketua Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi mengatakan itu bukan gang­guan mental. LGBTIQ meru­pakan naluri atau orientasi yang berbeda dalam diri se­seorang dan LGBTIQ adalah orientasi seksual yang meru­pakan hak setiap orang, di mana berkaitan dengan kro­mosom dan hormon.

Meutia menjelaskan bah­wa kaum LGBTIQ menjadi sebuah penyimpangan jika hal tersebut dijadikan seba-gai gaya hidup, terutama di kalangan remaja. Remaja yang cenderung masih labil dan masih dalam masa pen­carian jati diri rentan terje­rumus untuk melakukan pe­nyimpangan.

Peran keluarga menurut Meutia sangat penting dalam mengawasi anak-anaknya ke­tika memasuki tahap remaja. Orang tua harus mampu mengontrol dan mengarah­kan anak-anaknya untuk ber­perilaku yang sesuai norma. “Orang tua harus waspada. Kita hidup dalam norma-nor­ma yang ada,” ungkapnya.

Lina Sundarwaty seorang sosiolog memandang dari perilakunya, positif atau negatif sikap LGBTIQ ini tergantung dari konstruksi sosial dan orientasi pribadi mereka. Jika dikonstruksi negatif secara berlebihan, maka mereka akan mengang­gap segala yang mereka laku­kan tetap dipandang negatif. Hasilnya mereka membuat komunitas dengan kultur, norma dan perlakuan sendi-ri dan kemudian meminta pengakuan, baik secara in­formal maupun formal yakni perlindungan secara hukum. “Tujuannya untuk merom­bak pelabelan masyarakat dengan mengabsahkan ke­beradaannya jadi tidak di­anggap menyimpang,” jelas­nya. Atau secara positif yakni melakukan aktivitas-aktivitas positif sebagai pembuktian bahwa mereka tak seburuk yang masyarakat kira.

Sebaliknya, bagi masyara­kat yang mengagungkan hak asasi manusia, LGBTIQ hal yang wajar dan merupakan hak individu. Semua konsep­tual yang secara sosiologi tidak bisa ditentukan. “Tapi realitasnya masyarakat pu­nya nilai. Acuannya adalah norma yang ada pada ma­syarakat,” ungkapnya. ***

Tahun 2011 silam, Dika mengikuti sebuah pelatihan tentang pluralisme. Pela-tihan tersebut digagas oleh sebuah Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) berna­ma Aliansi Sumut Bersatu (ASB). Di dalam pelatihan itu Dika diedukasi tentang kebe-ragaman yang ada di Indo­nesia. Tentang diskriminasi yang dialami perempuan, kelompok agama minoritas, dan LGBTIQ.

Beberapa hari mengikuti pelatihan tersebut, Dika kian tertarik mengenai isu plura-lisme. Singkat cerita, akhir-nya ia bergabung dengan ASB dan terjun menjadi akti­vis. Kini ia menjadi volunteer Bagian Advokasi dan Peneli­tian.

ASB sendiri adalah se­buah LSM yang bergerak untuk mengadvokasi dan mengampanyekan kasus-ka­sus mengenai diskriminasi yang ada di Medan. Mereka sering mengadakan pela­tihan-pelatihan dan semi­nar edukasi terkait perihal tersebut. Tujuannya agar masyarakat lebih mengerti masalah-masalah pluralisme tersebut dan mulai bersi­kap tidak diskriminatif pada kaum minoritas.

Salah satu program yang pernah mereka buat adalah membentuk kelompok dis­kusi. Namanya Rumah Bela­jar Pluralisme. Selain diskusi, mereka sering mengadakan nonton bersama dan bedah film sembari menyelipkan pesan-pesan moral menge­nai pluralisme.

Orang-orang yang ter­gabung dalam kelompok dis­kusi tersebut hanya diisi oleh kaum LGBTIQ. Tak ada femi­

nis, ataupun orang-orang beragama minoritas. Jadilah mereka lebih mengerucut­kan pembahasan mengenai hak-hak LGBTIQ. Namun, menurutnya tidak ada hasil yang menonjol.

Sepemahaman Dika, ia menilai hal ini disebabkan karena tidak adanya peno­lakan yang terlalu terasa di Medan. Pasalnya, LGBTIQ yang ada di Medan tidak termasuk ke dalam LGBTIQ dengan tingkat kesadaran radikal. “Jadi sebenarnya ada tiga tingkat kesadaran LGBTIQ,” ungkap Dika.

Pertama adalah magis. Tipikal ini adalah LGBTIQ yang masih bingung dengan identitasnya. Mereka masih terjebak dengan stigma ma­syarakat yang menganggap

LGBTIQ bukanlah suatu hal yang wajar. Kedua, naif yakni LGBTIQ yang sebenarnya telah mengakui identitasnya namun tidak terlalu peduli pandangan masyarakat seki­tar. Sementara yang ketiga adalah radikal, yakni kaum minoritas yang sadar bahwa mereka punya hak yang sama dengan mayoritas dan beru­saha menyuarakan tindakan-tindakan diskriminatif yang mereka rasakan.

“LGBTIQ di Medan adalah orang-orang di tingkat ke­sadaran yang pertama dan kedua. Sehingga masyarakat di sekitar mereka tidak ter­lalu menampakan penolakan seperti di kota-kota besar pada umumnya,” kata Dika.

Dika yang telah terbuka tentang identitasnya sebagai gay merasa penerimaan ter­hadap LGBTIQ harus dimulai dari keluarga dan masyara­kat sekitar.

“Yang menjadi tujuan ASB bukanlah membenarkan ke­beradaan LGBTIQ. Karena, benar atau salah itu relatif. ASB hanya ingin menyadar-kan masyarakat bahwa kaum-kaum minoritas itu sebenarnya punya hak yang sama dengan masyarakat umum,” papar Dika.

Sebenarnya menurut Dika, adalah penting untuk para LGBTIQ memahami di-rinya sendiri lebih dulu. “Is­tilahnya coming in, terbuka pada diri sendiri lebih dulu,” ungkapnya. “Kasarnya, kalau dia udah coming in, kapan pun coming out-nya eng­

gak masalah lah. Kalau udah ngerasa mapan, pasti dia le-bih terbuka.”

Pasalnya, ketika seorang LGBTIQ masih tidak yakin pada dirinya dan belum co­ming in, hal ini dapat menye­babkan tindakan menjurus kriminal. “Misalnya ada se­seorang yang masih belum coming in, lantas dia disuruh keluarganya menikah. Se­mentara dia tidak bahagia dengan pernikahannya dan akhirnya bunuh diri,” kata Dika.

Lina mengatakan peneri­maan lingkungan terhadap LGBTIQ dipandang dari dua sisi. Dari sisi humanis, me-reka juga punya hak hidup hingga harus diperlakukan sama. Begitu juga dalam hal bekerja. Jangan sampai mere-ka kehilangan ruang untuk dapat pekerjaan yang wajar. Ketakutannya mereka bera­lih ke pekerjaan yang tidak layak dan halal. Mereka tetap manusia yang jika didiskrimi-nasi akan semakin membe­rontak. Dan jika diperlaku­kan wajar, mungkin akan tumbuh kesadaran. “Tapi, LGBTIQ juga harus beradap­tasi dengan masyarakat luas,” tutupnya.

Mutia menambahkan setiap orang dalam berma­syarakat terutama kaum LGBTIQ harus diterima dan dihargai sejauh mereka tidak melanggar hukum yang ber­laku. “Jangan didiskriminasi, itu hak dia. Kalau sopan, kok harus di pinggirkan,” ucap­nya.

YANTI NURAYA S | SUARA USU

Benar atau salah itu relatif. ASB hanya ingin menyadarkan masyarakat bahwa kaum-kaum minoritas itu sebenarnya punya hak yang sama dengan masyarakat umum

Dika

cerpen

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201316 mozaik

Manda sebenarnya tidak pernah percaya pada reinkarnasi tapi kehadiran lelaki itu jelas membuatnya

ragu. Bagaimana mungkin ada dua orang yang sangat mirip sifatnya sedang mereka bukan anak kembar. Lelaki pertama itu adalah seorang pelukis yang jatuh cinta kepada Manda. Ruang kerjanya dipenuhi dengan lukisan wajah Manda. Lukisan Manda tertawa, tersenyum, menangis, tidur bahkan saat melo­tot. Lelaki itu benar-benar terob­sesi pada Manda sampai pameran lukisan perdananya hanya dipenuhi lukisan wajah Manda seorang. Lelaki itu bernama Handi.

“Kenapa objek lukisan Anda sama semua, Mas?” tanya seorang wartawan waktu itu.

“Karena wanita dalam lukisan itu adalah warna dalam hidup saya, tanpa dia hidup saya suram,”

“Apakah dia kekasih Anda?”Bibir tipis Handi tersenyum

datar sebab dirinya tak bisa memas­tikan jawaban wartawan itu. Manda tidak pernah suka kepadanya.

“Laki-laki norak! Aku muak de-ngan obsesi besarnya terhadapku!” Manda benar-benar membencinya. Pun kalau bertemu Manda meludah di hadapan Handi. Itu yang paling lembut, satu kali Manda pernah menggila menyiramkan semangkuk bakso panas ke wajah Handi saat ia menyapanya di kantin. Kebencian itu membuat Manda melakukan sesuatu diluar kendalinya.

Hari itu adalah malam pengu­kuhan anggota Mapala angkatan 17. Tenda-tenda berukuran sedang berjajar rapi di pinggir sungai. Ang­gota-anggota sudah terlelap. Manda duduk sendiri di pinggir sungai Tangkahan. Suara air yang deras me­nyatu dengan gemerisik dedaunan di sekitarnya, menciptakan simfoni indah nan menyejuk­kan. Handi datang mendekati Manda. Lelaki ini sudah tebal muka. Handi menyapa Manda tapi ia sudah bisa memastikan jawabannya. Diam.

“Aku minta maaf kalau kamu merasa terganggu, tapi sungguh lukisan-lukisan itu aku buat karena kamu menjadi inspirasiku. Aku benar-benar tidak tahu harus melukis apa selain wajahmu karena hanya itu satu-satunya objek yang berada dalam pikiranku,” Handi mencoba menjelaskan. Manda diam saja.

“Kalau kamu serius minta maaf, berdiri di tengah sungai itu.”

Handi kaget. Matanya membe­lalak mendengar pinta Manda. Tapi mata Manda jauh lebih membelalak saat menangkap ekspresi ketidak-sediaan Handi. Handi menyerah. Ia menggulung celananya agar tak basah lalu berjalan ke tengah sungai.

Putri Rizki ArdhinaFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2010

Tiba-tiba Manda menolaknya dari belakang. Ia limbung lalu terjatuh ke sungai. Tangannya menggapai-gapai ke atas mencari pegangan. Kepalanya hilang timbul mencari udara. Manda berkecak pinggang dan tersenyum sinis kepada Handi yang semakin jauh terbawa arus.

Kebenciannya terhadap Handi telah membutakan mata hatinya. Manda tak merasa bersalah sampai seorang penduduk datang keesokan paginya ke tempat mereka berke­mah.

“Ada mayat! Ada mayat!”Seluruh anggota Mapala berkum­

pul. Ketua mereka, Kak Gun dengan sigap memeriksa anggotanya. Satu anggota hilang yaitu Handi. Rasa was-was memenuhi hati mereka sampai mayat Handi dibawa ke ha­dapan mereka. Semua histeris, sebab tak ada yang menyangka Handi lah yang dikabarkan oleh penduduk tadi.

Manda ketakutan, tapi ia yakin tak ada yang melihatnya. Sampai seseorang membisikinya, “Tidak ada yang salah dari rasa cinta seseorang, itu urusan hatinya dan kamu tidak perlu membunuhnya.” Manda berpa-ling dan melihat sahabatnya Nita di belakangnya. Nita melihatnya!

Ia menyuruh Nita tetap diam. Ia tidak ingin masa mudanya dihabiskan di balik jeruji. Namun penye­salan

membayanginya beserta kejadian malam itu hadivr dalam mimpi-mim-

pinya.Sampai lelaki kedua datang. Ia

mendaftar sebagai anggota baru Ma­pala angkatan 18. Wajahnya sangat-sangat tampan. Dengan wajah khas Eropa dan rambut hitam, lelaki ber­nama Dian itu tampil bak pangeran.

Ketampanan tak selalu membawa mujur. Dian malah harus menderita. Teman-teman lelakinya tidak mau dekat dengannya sebab merasa sangat minder jika harus bersanding dengan Dian. Dian juga harus men­derita karena tidak seorang wanita pun berani mendekatinya. Karenanya Dian sedikit bicara, jarang senyum dan terlihat kaku. Tetapi Manda cu­kup beruntung dekat dengan Dian.

Kini Manda harus kembali ke Tangkahan. Berat sebenarnya bagi Manda namun ditahannya perasaan itu karena ia tak ingin dicurigai sebagai penyebab kecelakaan Handi. Manda mengangkat ranselnya yang cukup berat. Hampir saja dia oleng kalau bukan tangan Dian menahan­nya dari belakang. Manda berterima kasih padanya, sebagai gantinya Dian meminta Manda duduk bersamanya selama perjalanan.

Bus yang mereka naiki sedikit menggila, supirnya minum pil koplo dicampur tuak agar tak

mengantuk saat berkendara. Dian memegangi dadanya berulang kali seperti

menahan

rasa sakit yang

teramat menyiksa.“Aku punya sakit jantung dari

kecil, setahun lalu aku menjalani operasi cangkok jantung. Aku tidak kenal siapa pendonor jantung itu. Yang aku tahu setelah itu hidupku banyak berubah. Dulu aku paling benci seni tapi kini aku suka melu­

kis, begitupun dengan gayaku yang dulu begitu klimis tapi kini sedikit urakan,” cerita Dian.

Ia sedang mencerna kata-kata Dian dan yakin bahwa ada sosok Handi dalam tubuh Dian. Tapi bagaimana mungkin seseorang yang telah mati kemudian terlahir kembali menjadi manusia baru.

Bus berhenti tepat saat ma­tahari terbenam. Malam itu setelah mendirikan tenda semuanya terti­dur lelap. Suasana keesokan pagi itu sangat sejuk. Matahari menyembul malu-malu dari balik bukit, caha-yanya menimpa riak-riak sungai yang menjadikannya seperti kristal mengambang. Manda merenggang­kan tubuhnya di pinggir sungai. Dicelupkannya jemari kakinya ke sungai yang dingin itu. Masih sepi. Anggota lain masih tidur. Seseorang datang dan duduk di sampingnya. Dian.

“Pagi,” sapanya hangat. Manda tersenyum. “Kok cuma nyelup-nyelu-pin kaki aja? Enggak mau berenang sekalian?” pancingnya. Manda ter­tantang, ia berdiri lalu menggulung kaki celananya. Manda berkecak pinggang sambil tersenyum ke arah Dian seolah menantangnya balik untuk berenang bersama. Dian mengayunkan tangannya, memper­silakan Manda masuk duluan.

Tepat selangkah Manda me­masukkan kakinya ke sungai, Dian mendorongnya. Manda tak dapat menyeimbangkan badan karena kepalanya yang duluan masuk ke sungai yang deras. Saat ia berusaha naik ke permukaan, kakinya keram karena dinginnya air. Tangannya menggapai-gapai mencari pe­gangan. Kepalanya hilang-timbul

mencari udara. Persis seperti saat Handi tenggelam.

Ia sempat melihat sosok Dian yang berkecak pinggang dengan senyum dendam. Kalau

saja Manda tahu bahwa pemilik jantung cangkokan Dian itu adalah Handi, kalau saja Manda sadar

bahwa memori Handi hidup dalam diri Dian, kalau saja…

Dan arus sungai yang deras tak lagi menyem­

bulkan kepala Manda, sekarang riaknya tak

lagi bersuara. Bung­kam.

Reinkarnasi

YANTI NURAYA | SUARA USU

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 17mozaik

AUDIRA AININDYA | SUARA USU

sorot puisi

si poken

Ketika kalian dihadapkan akan pilihan mun­dur atau bertahan

Ketika kalian diberi amanah untuk memper­tahankan tapi ingin meninggalkan

Ketika kalian ingin berlari tetapi garis finis tidak tampak

Ketika kalian tidak pernah menjadi akuSaat langit membelah jiwamu, kegelapan

menyertai ragamu, keletihan membawamu terjatuh, keputusasaan menghancurkan kobar-

an semangatmuKamu masih tetap membisu melihat fiksi ini

Tak bergemingTak berkutik

Dan tak berubahAku bukan pujangga layaknya dia yang kau

pujaAku bukan putri layaknya dia yang kau dambaAku bukan majikan yang bisa memerintahmu

berlutut di hadapanku saat ini jugaAku, bukan dia

Entah berapa banyak lukisan yang akan ter­cipta jika kubiarkan rasaku melukis

Entah berapa banyak nada berbunyi jika kubi­arkan alunan hatiku bernyanyi

Entah..Entah..EntahEntah berapa lama jejakmu mampu kuhapus

EntahlahAku bosan terjebak

Aku lelah terperangkap Aku takut terperosok

Aku masih tetap menjadi akuBukan dia bukan kalian bukan mereka

Tapi aku tidak lagi menjadi aku ketika aku berdiri di hadapanmu

Kau layaknya cerminan keegoisan terdahsyat yang pernah kutemukan

Dan saat aku berdiri dihadapanmuAku bercermin dan mendapati hal baru

Aku telah menjadi kauKeegoisan

EntahNyimas Cintya Nike Infrila

Fakultasi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2012

Baina Dwi Bestari

Saya memang bukan orang Mandailing atau Batak. Tapi pertanyaan ini mulai muncul ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, saya punya te­man dekat bermarga Batubara. Saya

yang saat itu masih kecil ‘seenaknya’ memang­gilnya dengan sebutan orang Batak. Dan ia sangat tidak terima. “Mandailing itu beda sama Batak!” katanya.

Bukan hanya dengannya dan sekali itu saja. Ada beberapa orang dan beberapa kali lagi saya mengalami hal itu. Contohnya saja, dengan teman saya di sekolah menengah per­tama yang bermarga Lubis. Pernah juga ter­cetus saya kepadanya bahwa ia orang Batak. Dan dengan tegas ia menolak pemahaman saya itu.

Tapi, dari beberapa kejadian yang saya alami, saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti tentang perbedaan antara Mandailing dan Batak. Penolakan yang dilakukan oleh bebera­pa teman saya menimbulkan pertanyaan dalam diri saya yang sama sekali belum mengerti. “Apa bedanya? Logatnya sama, bahasanya pun sama?” Dari pertanyaan-pertanyaan yang ter­lontar, jawaban yang didapat pun selalu tidak memuaskan. “Pokoknya beda!”

Padahal, jika dikaji lagi memang tidak ada perbedaan signifikan antara Mandailing dan Batak. Jika didasarkan pada bahasa yang ber­beda, hal itu wajar saja terjadi karena akultu

Satu etnik, tapi tidak sama. Salah sebut saja, mereka tidak terima.

rasi dan perbedaan daerah tempat tinggal atau berkembangnya suatu suku.

Misal saja Jawa. Berdasarkan penyebaran­nya, bahasa Jawa terbagi menjadi beberapa macam. Ada bahasa jawa Madiun yang digu­nakan di daerah Jawa Timur Mataraman atau bahasa Jawa Tegal digunakan di Kota Tegal dan masih banyak lagi macamnya. Dialek yang digunakan untuk tiap bahasa khusus suku ini saja sudah berbeda-beda.

Sama halnya Mandailing dan Batak. Mandai­ling lebih tersebar di daerah Mandailing Natal, Padang Lawas dan perbatasan Sumatera Barat sedang Batak lebih tersebar di daerah Danau Toba. Jadi, wajar saja jika ada sedikit perbedaan bahasa maupun dialek. Dan bukanlah suatu hal yang tepat jika bahasa dijadikan alasan pengo-takan antara Mandailing dan Batak.

Tapi, pengotakan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak sudah tercetus sejak tahun 1922. Ketika itu terjadi perdebatan di Medan tentang hak orang muslim yang mengaku sebagai Batak un­tuk dikuburkan di tanah Mandailing di Sungai Mati, Medan. Mahkamah Syariah Deli memu­tuskan hanya orang Mandailing yang berhak dikuburkan di tanah wakaf tersebut. Peristiwa tersebut dianggap sebagai satu pengukuhan terhadap perbedaan antara Mandailing dan Batak.

Mungkin, yang benar adalah Mandailing memanglah bukan berasal dari Batak. Tapi, kenyataan bahwa Mandailing merupakan satu etnik dengan Batak tidak dapat dipungkiri. Karena Batak merupakan representasi dari suku-suku sejenisnya seperti Angkola, Toba dan lainnya.

Pengotakan Mandailing dan Batak

Malam BerinaiHarapan dan Doa dalam Sebuah Inai

SUMBER: ANTARA FOTO

Enggak inai itu lagi yang kita anggap sebagai suatu pem-beri kekuatan, tetapi karena itu merupakan bagian dari kebudayaan maka itu tetap

ada

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201318 potret budaya

Gio Ovanny Pratama

Malam itu, 14 Desember 2010 adalah hari bahagia untuk Mira Mabrura. Ia akan melak­sanakan prosesi malam beri­nai. Walaupun sebelumnya ia

pernah menyaksikan prosesi malam berinai, namun kali ini ada sesuatu yang spesial. Jan­tungnya berdegup kencang sebab malam ini ia lah pengantin yang akan diinaikan.

Setelah didandani, Mira duduk di pelamin-an. Para tamu dan sanak saudara telah ber­kumpul untuk mengaji dan berdoa bersama, kemudian melantunkan marhaban sambil diiringi prosesi tepung tawar.

Prosesi tepung tawar pun selesai, kemu­dian sebagai salah satu keharusan dalam malam berinai, Mira diharuskan menari. Dua gadis dan tiga jejaka telah siap menyambut Mira untuk menari. Mereka berbaris memben­tuk banjar, satu banjar pria dan satu banjar perempuan. Kemudian, Mira bergabung me­lengkapi jumlah ganjil perempuan.

Musik akordion mulai dialunan, lalu terde-ngar syahdu mengiringi tarian mereka. Mira dan penari lainnya mulai menarikan sembilan tarian wajib melayu. Namun, Mira hanya menari dari tari pertama sampai tari ketiga saja, Kuala Deli, Mak Inang dan Serampang Dua Belas. Sebab tak semua tarian dilakukan dengan jumlah tiga pa-sang. Ada yang hanya dua pasang bahkan hingga tersisa satu orang saja.

Tibalah saat tari piring, yang tersisa tinggal seorang pria. Ia menari dengan membawa bakul berisi enam atau tujuh piring kecil berisikan inai yang akan diusapkan ke pengantin wanita.

Setelah tari-menari, Mira dibawa ke kamar pengantin untuk dipakaikan inai pada kuku dan punggung tangan, kemudian kuku kaki. Cara memakai inai cukup sederhana, dengan meng-usapkan tumbuhan inai yang telah ditumbuk. Inai diusapkan oleh saudara ibu dan saudara perempuan pengantin yang sudah balig.

Malam berinai dilakukan di rumah keluarga pengantin perempuan dan hanya satu malam. Tujuannya untuk memberitahu tetangga bahwa sang pengantin sudah ada yang memiliki dan sudah siap untuk menikah, sekalian pamit dengan orang tuanya, sebab pengantin wanita akan meninggalkan rumah dan akan dibawa ke rumah pengantin pria.

Prosesi malam berinai sebenarnya terdiri atas tiga tahap. Inai curi, inai kecil dan inai besar. Inai curi dilakukan oleh teman dari pe-ngantin wanita, sedangkan inai kecil dan besar sudah mulai melibatkan pihak keluarga.

Herlina Ginting, Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) menjelaskan Inai curi dilakukan tiga hari sebe­lum pembacaan akad pernikahan. Di malam hari saat pengantin wanita tertidur, teman-temannya datang mengusapkan tumbuhan inai pada kedua tangan dan kaki. Ketika si pengantin wanita bangun esok paginya, ia akan terkejut melihat tangan dan kakinya sudah berwarna merah

kecokelatan. “Oleh karena dilakukan pada saat pengantin wanita tertidur, makanya dinamakan inai curi,” ungkapnya.

Tahap berikutnya adalah inai kecil dan besar. Inai kecil dilakukan dua hari sebelum akad pernikahan dan pengantin hanya meng­gunakan pakaian biasa. Sedangkan, inai besar dilakukan pada malam sebelum akad perni­kahan pengantin, kemudian pengantin pria dan wanita sudah menggunakan pakaian adat pernikahan, lalu duduk di pelaminan. Pada inai besar semua kerabat, teman-teman dan undangan sudah bisa menyaksikan prosesi ini.

Prosesi dari malam berinai memiliki makna filosofis tersendiri. Herlina berpendapat tradisi malam berinai sendiri telah ada sejak ma­syarakat melayu memiliki kepercayaan yang dianut semasa itu, animisme yaitu percaya pada roh-roh nenek moyang. Menurut kepercayaan mereka, berinai memberi kekuatan gaib, supaya mereka langgeng, kuat dan bertenaga. Sehingga pengantin yang diinaikan bisa membangun rumah tangga yang baik, “Mereka mampu meng-elakan dan menjauhkan segala sihir dan roh jahat yang mengganggu,” jelas Herlina.

Warna merah pada inai diartikan sebagai kekuatan yang memberikan keberanian. Inai yang diusapkan pada kedua tangan dan kaki dipercaya menjadi sumber utama mobilitas dan kekuatan manusia.

Sebenarnya, beberapa daerah juga memi­liki malam berinai yang mirip dengan tradisi budaya Melayu, namun dengan nama yang ber­beda. Di Aceh disebut bohgaca, di Minangkabau terkenal dengan malam bainai, di Palembang dikenal dengan berpacar, sedangkan di Be­tawi disebut dengan malem pacar. Walaupun beragam namanya, namun makna dan tujuan­nya tetap sama. Sebab tradisi itu berasal dari rumpun budaya yang sama.

Kepraktisan yang Mengikis BudayaKemajuan zaman dan modernisasi membuat

tradisi malam berinai mulai terkikis dari keaslian­nya. Malam berinai yang sejatinya dilaksanakan selama tiga malam berturut dipersingkat menjadi hanya satu malam saja. Herlina menyebutkan banyaknya waktu yang dibutuhkan membuat masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan malam berinai lebih singkat dan cepat.

Menurut Herlina, masyarakat sekarang tak lagi memegang pepatah biar lambat asal se-lamat, akan tetapi sekarang masyarakat sudah banyak yang beranggapan boleh cepat asalkan tepat sasaran dan tujuan utamanya tercapai. “Biarlah cepat tapi harus tepat, yang penting tujuan utamanya tercapai,” jelasnya.

Walaupun begitu, malam berinai masih dilakukan, namun inai curi jarang dilakukan. Biasanya langsung ke inai besarnya.

Menanggapi hal ini, Mira mengaku tidak pernah tahu ada tiga tahapan dalam malam berinai. Menurutnya, malam berinai yang hanya ia lakukan satu malam sudah turun temurun di keluarganya.

Berdasarkan nilai filosofisnya. Malam berinai tidak lagi diartikan sebagai pemberi kekuatan gaib. Karena perkembangan agama, berinai diartikan sebagai pertanda seorang gadis telah memiliki suami guna menghindar­kan dari fitnah. “Enggak inai itu lagi yang kita anggap sebagai suatu pemberi kekuatan, tetapi karena itu merupakan bagian dari kebudayaan maka itu tetap ada,” tutup Herlina.

Awalnya ia diharapkan menjadi kekuatan gaib. Namun, seiring perkembangan zaman ia menjadi

pertanda seorang telah menikah.

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 19riset

Layanan Elektronik Perpustakaan USUSudahkah Dimanfaatkan Mahasiswa?

65.29 %

56.62 %

1. Pernahkah Anda memanfaatkan layanan catalog­ue perpustakaan? a. Pernah (54.88 %) b. Tidah Pernah (45.12 %)

Jika pernah, berapa kali Anda meman-faatkannya dalam seminggu? a. 1-3 kali (08.30 %) b. 4-6 kali (06.32 %) c. Tidak Tentu (85.38 %)

2. Pernahkah Anda memanfaatkan layanan E-Journal perpustakaan? a. Pernah (34.71 %) b. Tidak Pernah (65.29 %)

Jika pernah, berapa kali Anda memanfaat-kannya dalam seminggu? a. 1-3 kali (16.25 %) b. 4-6 kali (01.87 %) c. Tidak Tentu (81.88 %)

3. Pernahkah Anda memanfaatkan la-yanan USU E-Repository? a. Pernah (43.38 %) b. Tidak Pernah (56.62 %)

Jika pernah, berapa kali Anda meman-faatkannya dalam seminggu? a. 1-3 kali (11.50 %) b. 4-6 kali (11.00 %) c. Tidak Tentu (77.50 %)

4. Secara umum, apa saran Anda untuk ketiga layanan perpustakaan tersebut? a. Tingkatkan kualitas (27.98 %) b. Lebih sering diupdate (13.23 %) c. Layanan lebih dipermudah (09.33 %) d. Lebih dipublikasikan dan disosialisasikan (01.09 %) e. Tingkatkan pelayanan petugas perpustakaan (03.04 %) f. Tidak Menjawab (12.15 %)

54.88 %

27.98 %

Perpustakaan USU memberikan tiga layanan elek-tronik yang dapat dimanfaatkan mahasiswa seba-gai penunjang kegiatan akademisnya di kampus. Layanan tersebut adalah catalog­ue, E-Journal, dan USU E-Repository.

Catalog­ue merupakan layanan untuk mencari judul-judul buku yang tersedia di perpustakaan. Sementara E-Jour-nal berfungsi untuk mengakses hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa atau dosen universitas-universitas luar negeri. Sedangkan USU E-Repository dapat digunakan untuk mengakses hasil penelitian atau skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa atau dosen USU. Su-dahkah mahasiswa memanfaatkan dengan optimal ketiga layanan elektronik perpustakaan tersebut?

Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 461 mahasiswa USU. Sampel berasal dari stambuk 2008 sam-pai 2012 dan diambil secara accidental dengan memper-timbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Dengan tingkat kepercayaan 96 persen dan sampling­ error 4 persen, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk me-wakili seluruh pendapat mahasiswa USU. (Litbang)

BER

BAG

AI S

UM

BER

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201320 resensi

Cermin Kehidupan Sang Avonturir

Judul : Menggenggam Dunia, seri Rumah DuniaPengarang : Gol A GongPenerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)Tahun terbit: 2011Tebal : 215 halamanHarga : Rp 40.000,-

Apriani Novitasari

Gol A Gong kembali menu­lis novel petualangan, setelah novel bestseller-nya Balada si Roy. Beda-nya, pada novel tersebut,

ia menceritakan pengalamannya dengan menjelma menjadi tokoh bernama Roy. Sementara pada buku ini, ia keluar dari tokoh tersebut dan menjadi dirinya sendiri. Kali ini Gong muncul sebagai tokoh utama dalam sebuah novel autobiografi­nya, Menggenggam Dunia. Ini adalah sebuah novel yang melatarbelakangi semua keinginan, angan-angan dan impian Gong saat ia masih kecil hingga berdirinya Rumah Dunia.

Gong lahir di Purwakarta, namun tumbuh dan berkembang di Serang, Banten. Beruntung Gong terlahir dari orang tua seorang pendidik, yang mengerti pentingnya membaca se­buah buku. Membaca sangat memba­wa dampak besar dalam kehidupan­nya. Gong menemukan hidupnya dari membaca, sumber imajinasi dan mo­tivasinya. Membaca adalah salah satu batu lompatan Gong menjadi seorang penulis terkenal seperti sekarang.

“Lewat katalah aku hidup. Hidup lewat katalah yang aku tiupkan kepa-da orang-orang putus asa. Aku hidup di mana-mana, di setiap sudut kota di Indonesia lewat novel-novelku”. Begi­tulah yang dikatakan Gong, seperti

yang tercantum di sampul novel.Sejak kecil Gong sangat hobi mem­

baca buku. Bahkan saat berusia 11 tahun setelah tangannya diamputasi, Gong sangat rajin membaca buku saat di rumah sakit. Maka setelah keluar dari rumah sakit banyak informasi baru yang ia dapat. Gong pun menjadi perpustakaan berjalan untuk teman-temannya.

Gong menjadi seorang penulis juga tak jauh dari hobinya membaca buku, walaupun cita-cita Gong pada awalnya ingin menjadi seorang guru. Membaca adalah hal yang paling di­tekankan Gong dalam novel ini, aktivi­tas yang mempunyai banyak manfaat

seperti menambah ilmu pengetahuan dan menemukan hal-hal baru. Satu hal lagi yang diyakini Gong bahwa dengan membaca kita dapat menggenggam dunia.

Satu bukti yang mendukung keya­kinan Gong tersebut, yaitu saat dia mengunjungi delapan negara asia yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, India, Nepal, Bangladesh, Laos, Myanmar dan Pakistan selama hampir dua tahun.

Banyak pengalaman yang dialami Gong waktu itu, satu yang tertanam jelas di otaknya adalah kebiasaan membaca orang-orang di negara yang ia kunjungan sangatlah luar biasa. Di mana-mana mereka membaca, di bus, kereta, bahkan restoran. Ia berpikir

para turis luar negeri tak pernah pa-nik bila berada ditempat asing, karena mereka tahu rambu-rambu petunjuk jalan di mana mereka berada saat itu, dan itu semua mereka dapatkan dari membaca. Berbeda 180 derajat dengan orang Indonesia yang cende-rung cepat panik jika berada di tempat yang tidak dikenal.

Kecintaan Gong pada Banten se­bagai tempat ia dibesarkan menim­bulkan sebuah impian dan cita-cita mulia untuk membuat Banten seperti dahulu yang jaya dan makmur, dengan orang-orang yang kritis, cerdas dan berani melawan kebatilan, terutama pada wilayah seninya. Saat semua

orang tak peduli dengan kehidupan orang lain, Gong datang dengan impi­annya mencerdaskan pemuda Banten walaupun bukan berasal dari Banten, Gong sangat peduli dengan kemajuan kota tersebut.

Kekhawatiran Gong pada genera­si muda Banten akan seperti dirinya saat remaja yang mengalami kesu­litan untuk belajar jurnalistik, sas­tra dan film menimbulkan semangat Gong bersama teman-temannya un­tuk mencoba membangun sebuah warna organisasi anak muda berna­ma Cipto Mudan Banten. Kemudian ia mengadakan pelatihan jurnalis­tik, menerbitkan tabloid pelajar dan kampus bernama Banten Pos, tabloid

remaja bernama Meridian dan tabloid keluarga bernama Kaibon.

Sosok Gong juga digambarkan se­bagai pemuda yang berani. Beberapa kali Gong dilarang menerbitkan tab­loid sebagai wadah pembelajaran pemuda, namun dicekal karena diang­gap tidak sah, namun tak membuat semangatnya luntur. Keinginan Gong untuk mencerdaskan pemuda Banten masih sangat melekat di hatinya, maka kala ia membeli tanah di belakang rumahnya untuk membangun Rumah Dunia. Rumah bagi mereka yang ingin belajar. Benyak kegiatan yang dilaku­kan di Rumah Dunia, seperti menulis, membaca, mendongeng, belajar sas­tra, film dan jurnalistik.

Gong yakin dengan membaca dan menulis mereka akan menjadi kritis dan cerdas, asalkan punya wa­dah. Maka dari itu Gong mendirikan Rumah Dunia pada 3 Maret 2002 untuk mengubah pikiran masyara­kat Banten yang selalu menggunakan otot ketimbang otak.

Tak ada kekurangan yang berarti pada novel ini. Hanya saja alur pada novel ini adalah maju mundur, se­hingga sedikit membingungkan. Mi-salnya, pada bab 6 diceritakan bahwa Gong cuti dari kerjanya karena ingin mengelilingi dunia, namun pada bab 8 dikisahkan posisi Gong yang baru lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Serang dan putus asa ketika tidak diterima Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STIS). Selain itu ada beberapa pemborosan kata seperti TKI Indonesia, seharusnya cu­kup TKI saja. Namun, setiap bab yang disajikan cukup relevan, bahasa yang digunakan ringan dan sampulnya juga menarik, selain warna yang tidak mencolok, gambar buku terbang juga menarik perhatian, seoalah menyirat­kan bahwa dengan buku kita dapat mengetahui dunia ini.

Lewat katalah aku hidup. Hidup lewat katalah yang aku tiupkan kepada orang-orang putus asa. Aku hidup di mana-mana, di setiap sudut kota di

Indonesia lewat novel-novelku

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Mimpi adalah satu langkah menuju kesuksesan. Hidup menjadi seorang

petualangan membuatnya sadar akan ketertinggalan di tanah tercintanya.

Membangun wadah untuk menciptakan generasi cerdas mendatang adalah mimpi terbesarnya. Dan membaca

adalah jawabannya.

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 21iklan

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201322 iklan

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 2013 23momentum

SUARAUSU.CO

FP Menang, Suporter Adakan Konvoi

SETELAH mengalahkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli­tik (FISIP) pada tanding final Piala Pembantu Rektor (PR) III, puluhan suporter Fakultas Pertanian (FP) mengadakan konvoi keliling USU, Selasa sore. Dalam konvoi tersebut para suporter mengendarai motor di mulai dari Stadion Mini me-ngelilingi USU dan berakhir di FP. Beberapa suporter mem­bawa atribut seperti bendera, topi caping, poster, terompet dan drum. (Audira Ainindya)

19 Maret 2013

Menkominfo: Tahun 2045, Indonesia Negara Maju

MENTERI Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, dalam kuliah umum Peluang Sumatera Utara Men-jadi Cyber Province di Auditorium USU menyatakan pemerin­tah menargetkan tahun 2045 Indonesia akan menjadi negara maju. Pasalnya, tahun 2045 perekonomian Indonesia diprediksi akan semakin kuat. Saat ini, Indonesia menempati posisi kedua dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia dengan 6,23 persen tahun 2012 walau krisis moneter melanda dunia. “Eropa saja nanya apa resep kita,” tambahnya. (Ridho Nopriansyah)

22 Maret 2013

PRESIDEN Mahasiswa Mitra Akbar Nasution menyatakan edaran jadwal Pemilihan Raya (Pemira) USU akan diadakan pada 6 Mei mendatang, yang ditempel di majalah dinding tiap fakultas bukan dari Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU. Pasalnya, edaran tersebut tidak menggunakan logo Pema USU. Tapi pihak Pema USU tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu siapa pihak yang menyebarkannya. “Kalau kami mau, mereka bisa dibawa ke ranah hukum,” katanya. (Baina Dwi Bestari)

Edaran Jadwal Pemira USU Tidak Resmi

5 April 2013

JUSUF Kalla dalam seminar nasional bertajuk Peran Pe-mimpin dan Peran Ekonomi Kerakyatan dalam Membangun Bangsa di Politeknik Negeri Medan mengimbau mahasiswa untuk menanamkan jiwa kewirausahaan dari sekarang, mengingat ini adalah modal sistem perekonomian kerak-yatan yang saat ini sedang dijalankan Indonesia. Karena inti ekonomi kerakyatan adalah menciptakan nilai tambah suatu barang yang bisa dibuat dan dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. (Ipak Ayu H Nurcaya)

JK Imbau Mahasiswa Tanamkan Jiwa Wirausaha

25 Maret 2013

PEMBANTU Rektor (PR) III Raja Bongsu Hutagalung me-nyerahkan Piala Pembantu Rektor (PR) III kepada penjaga gawang Fakultas Pertanian (FP) usai pertandingan yang ber­langsung di Stadion Mini USU, FP keluar sebagai pemenang setelah mengalahkan kesebelasan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di pertandingan final dengan skor 2-1. (Wenty Tambunan)

FP Menangi Piala PR III

Pelatihan Jurnalistik Metro TV on Campus

SUASANA pelatihan jurnalistik Metro TV On Campus di Pendopo USU. Pada pelatihan ini, Pemimpin Metro TV Putra Nababan memberikan materi tentang tv berita dan ilmu dasar jurnalistik. (Sofiari Ananda)

19 Maret 2013

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

4 April 2013

SUARA USU, EDISI 92, APRIL 201324 profilJanuasri Grace Sidabutar

Sahabat Air, Pecinta Politik

BiodataJanuasri Grace Sidabutar

Pematang Siantar, 19 Januari 1994TK Kalam Kudus Pematang SiantarSD Kalam Kudus Pematang Siantar

SMA 4 Pematang Siantar

PrestasiJuara 3 Gaya bebas Olimpiade Olahraga Nasional

(200 meter-2003)Juara 3 Gaya Bebas Olimpiade Olahraga Internasional Turki

(200 meter-2007)Juara 2 Gaya Kupu-kupu Olimpiade Olahraga Internasional Turki

(200 meter-2007)Juara 3 open water Internasional Filippina (10 kilometer-2011)

Juara 3 open water SEA GAMES (10 kilometer-2011)Peringkat 5 open water Olimpiade London (10 kilometer-2012)

Juara 3 Seleksi Tim Nasional (10 kilometer-2013)

IKLAN

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Debora Blandina Sinambela

Takut dan bangga. Pera-saan itu muncul saat Januasri Grace Sidabutar, akrab disapa Jeje, berada di antara 570 peserta re­

nang di bibir pantai Turki. Ini peng-alaman pertamanya ambil bagian di kejuaraan open water sepuluh kilometer di luar negeri. Ia lihat kiri kanan, peserta dari bebagai negara tampak mantap. Nyalinya sempat ciut, ia jadi peserta termuda dengan usia 13 tahun. Bahkan panitia sempat tak kasih izin tanding karena khawa-tir ia tak sanggup.

Rasa cemasnya ternyata ditang­kap oleh Silvester, atlet renang asal Belanda. “Yang penting saat situasi ini adalah fokus, berenang secepat mungkin, kamu pasti bisa,” kata Sil­vester meyakinkan. Kemudian pani­tia memberikan aba-aba start.

Akhirnya Jeje finis di posisi empat dalam kejuaraan yang diselenggara­kan oleh Federation Internationale de Natation (FINA) tahun 2007.

Kemampuan renang Jeje telah ada sejak kecil. Saat usia empat tahun, Jeje kerap ikut abangnya ke kolam renang di Pematang Siantar. Abangnya men­jalani terapi air karena punya ketakut-an besar terhadap air. Rasa penasa­

rannya muncul dan lompat ke dalam kolam yang dalamnya satu meter. Merasa mulai tenggelam, ia berusaha menggerakkan kaki dan tangan, men­contoh orang-orang di sekitarnya dan berhasil menepi. Ini awal ia tertarik dengan renang.

Dalam dua minggu, empat gaya re­nang berhasil dikuasai. Naiborhu, ibu Jeje membenarkannya. Bahkan sem­pat heran melihat Jeje bisa mengua­sai empat gaya dalam waktu singkat. “Sejak itu saya sadar kalau dia punya bakat renang,” kata Ibunya.

Bagi Ibunya, kemampuan renang tak lepas dari keberanian dan ke­mandirian mencoba hal-hal baru dan ini terdapat dalam diri jeje. Melihat bakat ini, Ibunya memberi Jeje pelatih renang serta mengikutkannya di se­jumlah kejuaraan renang antar seko­lah, daerah dan provinsi. Medali per­tama yang ia raih yaitu saat duduk di kelas satu Sekolah Dasar (SD) dalam lomba renang antar sekolah.

Setelah bergelut di dunia renang selama beberapa tahun, sempat ter­cetus niat ingin berhenti berenang, namun, ibunya memberi tawaran supaya ikut open water. Renang yang arenanya lautan atau danau.

Awal tahun 2007, ia pertama kali uji kemampuan open water sepuluh kilometer di Danau Toba. Tak ada yang menyangka dengan usia paling muda ia berhasil finish di posisi lima. Sejak itu pertandingan open water di dalam dan luar negeri kerap ia ikuti.

Jeje merasa ada esensi lain yang ia rasakan saat di open water. “Ada kebebasan yang tak ada batas,” ung­kapnya. Namun risiko dan tantangan dalam open water cukup besar. Selain risiko kesasar, lautan luas juga mem­buat atlet frustrasi.

Ketika muncul niat menyerah, maka ia teringat pesan ibunya. “Ke­tika kamu tidak menyelesaikan per­tandingan, maka percayalah itu akhir dari segala perjuanganmu selama ini. Itu pesan Bunda yang selalu aku ingat,” ujar Jeje.

Berkat kepiawaiannya berenang ia telah melalang buana hingga ke per­airan Filipina, Lautan Turki, Lautan Oman, Perairan Kepulauan Seribu,

Baginya, menemukan air seolah menemukan udara. Namun pengalaman

sebagai atlet justru membuatnya punya mimpi, kelak jadi politikus.

Selat Makassar, dan Perairan Batam.

Terinspirasi dari RenangSebagai atlet renang yang setiap

hari harus latihan bahkan sering tan-ding ke luar kota, Jeje terpaksa me­ninggalkan bangku sekolah. Di sini lah peran ibu yang membantunya tetap fokus menyelesaikan sekolah. Untuk beberapa pelajaran, ibunya membantu mengajari di rumah. Bah­kan tak jarang meminta pihak sekolah memberi les tambahan buat Jeje.

Menyeimbangkan sekolah dan re­nang tidak mudah. Apalagi di tengah kondisi fisik yang kelelahan, ia harus tetap belajar. “Jangan pernah tinggal­kan sekolahmu demi atletmu. Kalau disuruh milih, kamu harus tetap pilih sekolah. Ini yang selalu ibu pesan ke aku,” kata Jeje. Pesan ini lah yang se­lalu ia tulis dan baca sebelum tidur. “Kalau ingat ibu, pasti ingat belajar,” ujar Jeje.

Kini, Jeje tengah menempuh pen­didikan pada Departemen Ilmu Poli­tik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli­tik (FISIP) USU.

Ketertarikannya dengan dunia politik tak jauh karena pengalam-an sebagai atlet renang. Selama ini banyak politik-politik kotor yang ia rasakan sebagai atlet. Misalnya gaji mereka sering dipotong dan sering kena pungutan liar. Kalau baru pulang tanding dari luar negeri, beberapa pi­hak selalu meminta bayaran dengan bermacam alasan. “Banyak politisasi di belakang olahraga ini,” tegas Jeje.

Ibunya juga mendukung pilihan anaknya, Ia menilai pemerintah ha-nya memerhatikan atlet selama ma­sih bisa berprestasi. “Setelah itu tidak ada lagi, bahkan gak peduli,” kata ibu Jeje.

Sudah 14 tahun Jeje berkecimpung dalam dunia renang. Saat ditanya apa keinginan terbesarnya, ia berharap kelak jadi juara pertama olimpiade. Namun ia buat target akan fokus di dunia renang dalam lima tahun ke de­pan. Setelah itu ia ingin fokus di du­nia politik. “Saya ingin buktikan kalau politik sebenarnya tidak sekotor apa yang dipikirkan orang-orang,” pung­kas Jeje.