Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

70
EDISI V/XIX/2014 Rp 10.000 ISSN 2355-8946 SUARAUSU.CO Rekonstruksi fakta Sumatera Timur dan Sumut Merdeka

description

 

Transcript of Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

Page 1: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

EDISI V/XIX/2014

Rp 10.000ISSN 2355-8946

SUARAUSU.CO

Rekonstruksi faktaSumatera Timur dan Sumut Merdeka

Page 2: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 3: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

Salam Pers Mahasiswa!Tahun ini, kami sudah menghadirkan

tiga tabloid ke hadapan Anda. Sebagai jeda, kami hadirkan kembali majalah. Lebih cepat dari biasanya, kali ini terbit di tengah tahun.

Di sela kesibukan menyiapkan tiga tabloid lalu, kami menyambinya dengan preparasi tampilan majalah ini. Senga-ja didesain lebih minimalis dan segar. Dibuat sebagai hadiah kepada pembaca setia majalah kami yang telah capai edi- si kelimanya.

Rekonstruksi sejarah Sumatera Timur dan wacana Sumut Merdeka akan jadi sajian utama kami dalam ru-brik Laporan Utama. Banyak orang-orang tak kenal apa sebenarnya Negara Sumatera Timur (NST). Tapi ia ternyata pernah ada di sini.

Setahun sebelum terbentuk, 1946, meletus peristiwa pembantaian ke-luarga kesultanan Melayu di beberapa lokasi, Asahan, Langkat, Simalungun, misalnya. Peristiwa ini dikenal sebagai revolusi sosial. Hingga kini, belum ada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Ada pula gerakan Sumut Merdeka.ia muncul berdasarkan kekecewaan pemerintah atas keadaan Sumatera Utara, terutama dalam bidang ekonomi. Apakah ada kaitannya dengan NST? Si-mak sajian kami di Laporan Utama.

Di rubrik Jelajah dan Apresiasi, kami ajak Anda ke Nias! Kita akan sama-sama nikmati panorama ombak terindah no-mor dua di dunia: Pantai Sorake; dan air laut biru bening di Pantai Lagundri, Nias Selatan.

Dari Nias pula kita kan meng-Apre-siasi satu-satunya bahasa di dunia yang akhiran katanya selalu huruf vokal. Sia-pa sangka bahasa unik ini ada di sekitar kita, di Sumatera Utara?

Simak cerita Yayasan Sejiwa yang fokus sadarkan lingkungan sekolah akan bahaya bulliying. Tak hanya secara fisik, kekerasan melalui verbal dan psikis ru-panya memiliki efek bahaya. Perjuangan ini kami hadirkan dalam rubrik Lentera.

Masih banyak rubrik lain yang sa- yang Anda lewatkan. Semoga informasi yang kami hadirkan bermanfaat un-tuk Anda. SUARA USU selalu berupaya menghadirkan produk berkualitas. Se-lamat membaca!

DOKUMENTASI PRIBADI

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara | Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera UtaraPemimpin Umum: Gio Ovanny Pratama | Sekretaris Umum: Guster CP Sihombing | Bendahara Umum: Mezbah SimanjuntakPemimpin Redaksi: Aulia Adam | Sekretaris Redaksi: Erista Marito Oktavia Siregar Redaktur Pelaksana: Apriani Novitasari | Koordinator Online: Lazuardi Pratama Redaktur Cetak: Ridho Nopriansyah, Sri Wahyuni Fatmawati P | Redaktur Foto Cetak: Wenty TambunanRedaktur Artistik: Audira Ainindya | Redaktur Online: Rati Handayani | Redaktur Foto Online: Andika SyahputraReporter: Febri Rahmania, Tantry Ika Adriati | Fotografer: Yulien Lovenny Ester G Desainer Grafis: Yanti Nuraya Situmorang | Ilustrator: Yulien Lovenny Ester GPemimpin Perusahaan: Ferdiansyah | Sekretaris Perusahaan: Maya Anggraini SManajer Iklan dan Promosi: Ika Putri Agustini Saragih | Manajer Produksi dan Sirkulasi: Yayu YohanaStaf Perusahaan: Lamtiur Saputri Pasaribu Kepala Litbang: Renti Rosmalis | Sekretaris Litbang: Fredick BE Ginting Koordinator Pengembangan SDM: Shella Rafiqah Ully | Koordinator Riset: Santi Herlina Koordinator Kepustakaan: Mutia Aisa Rahmi

Staf Ahli: Tikwan Raya Siregar, Liston Aqurat Damanik, Shahnaz A Yusuf, Bania Cahya Dewi

DESAIN SAMPUL: AUDIRA AININDYA

06MEJUAH-JUAH:

KONTEN:

MAJALAH SUARA USU | 3

mejuah-juah & konten 03lepas 04laporan utama 06riset 12rehat 25ulas 26lentera 28opini 34

wawancara 36apresiasi 38 esai foto 44jelajah 50figur 58cogito 64kaleidoskop 67

ISSN: No. 2355-8946

Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155

E-mail: [email protected]

Situs: www.suarausu.co

Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan)

Informasi Pemasangan Iklan dan Berlangganan, Hubungi: 089617868091, 085763407464Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email [email protected]

585028 44

Page 4: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

Sejarah Kabur, Sejarah Mungkin Terulang

USU adalah salah satu universitas terbesar dan terbanyak mahasiswanya di Sumatera Utara (Sumut).

Isinya pun bukan mahasiswa Sumut saja. Warga Sabang sampai Merauke ada di sini. Tapi saat SUARA USU

sebarkan riset tentang satu isu—sebuah isu tentang sejarah yang pernah terjadi di tanah ini—jawabannya

mengejutkan.

Sekitar 75,3 persen dari mereka sama sekali tidak pernah men-dengar sejarah tersebut. Dan 51,3 persen di antara yang per-nah mendengar, bilang kalau lit-

eratur tentang sejarah ini sangat sedikit. Bahkan 36,1 persennya bilang kalau lite-raturnya sama sekali tidak ada.

Sejarah itu ialah tentang revolusi sosial 1946 dan Negara Sumatera Timur.

Angka ini cukup menggambarkan per-lakuan Indonesia terhadap sejarahnya sendiri. Istilah Jas Merah yang diciptakan Sukarno seolah jadi ironi. Jangan sekali-kali melupakan sejarah yang digaung-gaungkan, tapi yang diciptakan malah mari sembunyikan sejarah.

Salah satunya, revolusi sosial 1946. Ke-jadian yang berlangsung setahun setelah kemerdekaan direbut.

Syahdan, di tanah Sumatera terjadi sebuah pergolakan besar-besaran dari masyarakat. Cerita di buku-buku bilang, sebabnya terjadi adalah kekecewaan masyarakat pada kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera bagian timur. Seper-ti di Asahan, Langkat, dan Simalungun. Namun cerita itu ternyata tak dibuka dari segala sisi. Dari liputan yang kami jalani, pihak kesultanan bilang penyebab penye rangan bukanlah krisis ekonomi. “Ham-pir tidak ada yang susah di bumi Langkat waktu itu,” kata Tengku Syahputra, salah seorang narasumber dari kesultaan Lang-kat.

Ada indikasi sejarah yang ditutup-tu-tupi. Menurut sumber kami, ada tuduhan feodal pada kesultan yang menjadi sebab amarah rakyat kala itu. Ada massa yang mengira kesultanan tak pro pada Repub-lik.

Tepat saat Negara Sumatera Timur ter-bentuk. Ada fakta yang jarang kita temui

LEPAS:

4 | MAJALAH SUARA USU

ceritanya di buku-buku sejarah saat seko-lah. Dokter Tengku Mansoer adalah nama yang tak kita kenal dari buku sejarah, lebih dikenal sebagai nama jalan Kota Medan. Jika ditanya siapa dokter ini, tak banyak orang yang tahu. Padahal ia Wali Negara Sumatera Timur. Semacam presiden bagi negara. Pertanyaannya, kenapa mereka seolah-olah dihilangkan dari sejarah?

Kami sebenarnya tak berusaha men-jawab pertanyaan tersebut. Laporan Uta-ma ini kami sajikan untuk coba melihat sejarah dari mereka yang tak diberi ruang dalam buku-buku sejarah di kurikulum. Kendala utamanya adalah jumlah nara-sumber yang terbatas. Kejadian ini telah berlangsung lama, sehingga pelaku lang-sung banyak yang telah berpulang ke Ila-hi. Kalaupun ada, kendala utama lainnya cukup jelas: ingatan selalu ada batasnya.

Memang ada literatur yang mem-bantu proses verifikasi kami. Tapi tak banyak. Dari yang ada pun sedikit sekali yang merangkum segala sisi tanpa meng-hilangkan satu atau dua kepingan sejarah lainnya.

Ada pula cerita dari gerakan Sumut Merdeka yang kami masukan ke dalam main strory III Laporan Utama. Mereka sempat menggemparkan media di No-vember 2013. Ada dugaan ini gerakan separatisme. Pasalnya, dalam berita yang beredar, anggota gerakan ini sampai pergi ke Belanda untuk mencari referensi ten-tang gagasan yang dilontarkan.

Lalu kabar ini hilang. Bersama muncul-nya kabar-kabar baru yang dihebohkan media nasional. Kami kembali mengang-katnya untuk meluruskan simpang-siur informasi yang terjadi. Bahwa ternyata Sumut Merdeka bukan gerakan separa- tisme. Namun tercipta karena tak puasnya masyarakat atas kinerja pemerintahan

mengelola tanah ini. Sehingga ada pikiran untuk memberikan hak otonom berlebih ke provinsi ini.

Yang mengaitkannya dengan kedua main story sebelumnya adalah isu federal di balik ketiganya. Dalam teori revolusi so-sial sederhana, pemicu terjadinya adalah runtuhnya kepercayaan masyarakat ter-hadap pemerintahan. Meski pihak kesul-tanan tak setuju kalau kejadian di Maret 1946 itu adalah revolusi sosial, tapi seba-gian sejarah lainnya bilang begitu.

Sementara Negara Sumatera Timur adalah bentuk federal sesungguhnya. Bukti bahwa negeri ini pernah memakai sistem pemerintahan satu itu. Tapi seper-ti yang SUARA USU temukan di lapangan, tak banyak buku mengulas hal ini. Justru cerita tentang Tengku Mansoer dalam memimpin Sumatera Timur banyak di-dapat dari sanak-saudaranya yang kini menetap di Belanda.

Kemungkinan berkurangnya porsi se-jarah satu ini dalam kurikulum adalah ketakutan para republikan yang ada di pemerintahan, tentang ide menjadi fe-deral kembali terkuak. Para republikan merasa terancam. Mungkin bagian dari mempersatukan Negara Kesatuan Re-publik Indonesia. Tapi kenapa takut jadi federal?

Sekali lagi liputan ini tak berusaha menjawab pertanyaan di atas. Melalui edisi ini kami coba tampilkan fakta sejarah dengan sedapat mungkin menghindari pandangan subyektif yang memuja dan mengutuk. Tak ada yang ditambahi atau dikurangi. Tapi seperti yang tergambar di rangkaian tulisan ini, bisa jadi revolusi sosial terjadi lagi. Tapi apa pun ketakutan yang latarbelakangi keengganan menjadi federal, tak seharusnya sebagian bahkan seluruh fragmen sejarah disembunyikan.

Page 5: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 5

Page 6: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

LAPORAN UTAMA:

6 | MAJALAH SUARA USU

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Makam T Amir Hamzah berada di ta-man pemakaman Masjid Azizi, Langkat

Page 7: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

LAPORAN UTAMA:

Catatan Sejarah di Maret BerdarahTeks: Rati Handayani dan Apriani Novitasari

MAJALAH SUARA USU | 7

Halaman kanan Masjid Azizi Tanjung Pura Kabupaten Langkat dipenuhi makam. Di sana, tepat sebelum pintu masuk halaman masjid bagian dalam, ada tugu penanda bertuliskan: Pusara Pahlawan Nasional T Amir Hamzah.

Page 8: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

LAPORAN UTAMA:

8 | MAJALAH SUARA USU

Minggu siang itu Masjid Azizi tak begitu ramai dikunjungi orang. Hanya ada satu keluarga dari Medan yang baru keluar masjid lalu me-naiki mobil untuk pulang. Ada juga wanita paruh baya ditemani pemuda Langkat sedang

berziarah ke pemakaman di halaman kanan masjid. Wanita itu mendekati satu makam.

“Itu makamnya Tengku Amir Hamzah, Bu,” kata si pemuda menunjuk makam yang dituju si wanita.

“Pahlawan nasional itu, ya,” sahut wanita itu.“Iya. Waktu meninggalnya kayak yang tertulis di nisannya,

Bu,” jawab si pemuda.Makam itu memang tak cepat bisa ditangkap mata. Sebab le-

taknya di dalam. Dikelilingi beberapa makam bermarmer putih. Namun pusaranya dibangun lebih tinggi, dengan nisan yang tak biasa.

“Ada ukiran puisinya juga, Bu,” lelaki itu menunjuk nisan di bagian kaki makam.

Itu puisi terakhirnya yang ditulis sebelum ‘dijemput’ pada malam di bulan Maret 1946.

Tepatnya 7 Maret 1946, tepat 68 tahun silam.Pangeran bungsu Kesultanan Langkat itu dijemput serom-

bongan pemuda di rumah dinasnya di Binjai, salah satu residen kesultanan. Penjemputan itu disaksikan oleh istrinya, Tengku Ka-maliah dan putri tunggalnya Tengku Tahura.

Sebelum penjemputan, istri Tengku Amir Hamzah memba-kar sejumlah dokumen milik Tengku Amir Hamzah. Kecuali surat pengangkatannya menjadi Bupati Langkat dari pemerintah Re-publik Indonesia. Ini dilakukan agar ia aman. Sebelumnya Tengku Amir Hamzah mendapat kabar dari abangnya, Tengku Sulaiman

Hamzah, kalau akan ada orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang datang menjemputnya.

Namun saat serombongan pemuda itu ‘meminjam’ Tengku Amir Hamzah dan katanya akan ‘dikembalikan’, mereka tak menghiraukan surat pengangkatan itu.

Akhirnya Tengku Amir Hamzah dibawa, ke mana? Tidak ada keluarga yang tahu. Malamnya―pihak keluarga meminta Kepoli-sian Binjai untuk mencari―diketahui Tengku Amir Hamzah telah dibunuh. Kepalanya dipenggal di Hutan Kuala Begumit. Sebelum dipenggal, ia ditahan di Kebun Lada, enam kilometer dari Binjai.

Dari sana, jasad Tengku Amir Hamzah dibawa ke rumah Tengku Sulaiman Hamzah di Jalan Iskandar Muda, Medan untuk diperiksa. Ternyata memang jasad Tengku Amir Hamzah. Sontak, isterinya histeris.

Tepat 20 Maret, Tengku Amir Hamzah disemayamkan di hala-man Masjid Azizi, tempat pemakaman keluarga dan kerabat Ke-sultanan Langkat.

Diketahui pembunuh Tengku Amir Hamzah adalah orang las-kar merah.

Di hari yang sama. Sekitar dua jam dari Binjai, tepatnya di Istana Kesultanan Langkat, Tanjung Pura. Orang-orang dari ke-lompok yang sama menyerang serta merampas harta Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmadsyah, Sultan Langkat masa itu.

Ia dikumpulkan bersama penghuni istana lainnya. Mereka dibawa ke Hutan Sawit Seberang. Di tengah perjalanan, rombo-ngan ini dipecah dua. Kelompok pertama berisi pejabat istana, dibawa ke sungai dekat Hutan Sawit Seberang. Mereka dibunuh di situ. Sedangkan Sultan Mahmud, istrinya dan ketiga putrinya lanjut dibawa ke Hutan Sawit Seberang. Di sanalah mereka ber-temu dua orang dari PKI.

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Masjid Azizi peninggalan Kesultanan Langkat di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Page 9: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

Ayah Tengku Zulkifli dicari kerabat ke rumahnya. Hari itu juga 7 Maret 1946, kira-kira pukul dua siang. Katanya ada wawancara dengan PKI. Ayahnya ikut kerabat itu, tapi waktu magrib ayahnya pulang lagi. Tak lama di rumah, ayahnya pergi lagi dan tak berkabar hingga seka-rang.

Tengku Zulkifli bilang sebelum pulang ke rumah, ayahnya dan beberapa orang lain berkumpul di satu sekolah untuk berunding. Ia tahu saat sudah beranjak dewasa.

Empat hari sebelumnya, tepat di 3 Maret, kejadian serupa terjadi di Kesul-tanan Asahan.

Paginya, Tengku Muhammad Yasir tengah duduk santai setelah salat subuh di rumahnya yang terletak di lingkungan istana Kesultanan Asahan. Dari tempat-nya, tetiba ia lihat orang-orang bersen-jata tiarap menuju istana.

Orang-orang yang tiarap itu mem-bawa tombak, senjata laras panjang juga pendek. Lingkungan istana yang masih berupa tanah lapang menyebabkan Yasir bebas melihat suasana istana.

Yasir tak tahu siapa mereka, bela- kangan ia baru tahu mereka adalah orang dari laskar merah. Kelompok yang terdiri dari berbagai laskar pro-republik, buruh, dan masyarakat. Ada juga orang-orang partai seperti Masyumi, PKI, Pesindo, dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sontak Yasir memanggil ayahnya yang baru kembali pukul 5 tadi dari istana un-tuk berjaga-jaga. Sebab ada isu istana akan diserbu, kondisi sedang tak aman.

“Pak, ada orang tiarap ke istana,” ka-tanya.

“Mana?” tanya ayahnya balik.“Itu,” jawab Yasir sembari menunjuk.Satu dari ratusan orang yang sedang

tiarap itu dikenal Yasir. Adalah Jamalud-din Tambunan, guru Bahasa Belanda Ya-sir di Hollandsch Inlandsche School. Saat itu Jamaluddin telah menduduki rumah Tengku Musa, Pakcik Sultan Syaiboen Ab-dul Jalil Rahmadsyah, Sultan Asahan.

Tengku Musa ‘hilang’ bersama anak dan istrinya. Rumahnya dijadikan tempat laskar merah mengatur rencana pem-

LAPORAN UTAMA:

MAJALAH SUARA USU | 9

bunuhan. Ada daftar orang yang akan dibunuh. Mereka dicoret merah di daftar itu.

Pagi terus beranjak, pukul tujuh. Orang bersenjata yang sedari tadi tiarap menyerbu istana dan mendudukinya.

Tak lama setelah penyerbuan, tiga orang laskar merah dengan tombak men-datangi rumah Yasir. ‘Menjemput’ ayah nya. Ayahnya diminta datang ke markas mereka untuk diperiksa. “Markasnya di Jalan Asahan, bekas Javasche Bank. Seka-rang gedungnya tak ada lagi,” cerita Ya-sir yang kini telah berusia 85 tahun. Saat peristiwa itu terjadi, ia masih berusia 17 tahun.

Saat ayahnya dibawa untuk ‘dipinjam’, Yasir juga sempat dibawa. Namun kakinya terluka, tapi tak diobati hingga infeksi. Ia pun berjalan dengan pincang.

Oleh karena itu ia disuruh balik di te- ngah perjalanan. “Barangkali belum di situ ajalnya,” ujarnya.

Semua yang ditangkap dan dikum-pulkan di gedung Javasche Bank adalah keluarga kesultanan serta orang dekat kesultanan.

Di markas itu ayah Yasir ternyata tak diperiksa. Malah namanya masuk daftar akan dibunuh. Ia pun melarikan diri. Tapi akhirnya tertangkap dan diserahkan lagi ke markas laskar merah. Kemudian diba-wa ke Sungai Lendir, tak jauh dari Tanjung Balai. Ia dibunuh.

Penyerbuan itu tak hanya menghilang-kan nyawa, seperti ayah Yasir, melainkan juga harta benda. Sebab saat orang-orang ditahan, rumah-rumah dalam keadaan ko-song. Perampasan harta pun dilakukan.

Pada hari yang sama, tak hanya Kesul-tanan Langkat dan Asahan yang diserang. Penyerangan dan perampasan harta juga dilakukan terhadap kesultanan lain di Sumatera Timur. Seperti Kesultanan Kua-loeh, Kota Pinang, Serdang, Tanah Karo dan Simalungun.

Dosen Sejarah FIB USU Suprayitno menyebut peristiwa ini terjadi karena se-bab yang kompleks. Indonesia baru saja merdeka dan belum genap berusia satu tahun. Medan tengah diselimuti konflik politik dan sosial serius. Baik Medan mau-

Dari sana Sultan Mahmud akan diba-wa lagi seorang diri. Istri dan putrinya seketika histeris. Tak terima. Kedua ko-munis itu memanfaatkan situasi. Mereka bilang jika ingin selamatkan nyawa sultan, tiga putrinya harus bersetubuh dengan mereka. Tapi dua putri sultan yang remaja memohon untuk melepaskan adik me-reka yang di bawah umur. Permintaan pun disepakati.

Sultan Mahmud hilang beberapa hari. Pasukan sekutu di Medan memerintah-kan dokter Kesultanan Langkat dan pasu-kan sekutu di Langkat untuk mencarinya.

Tahu hal itu, kedua komunis tadi malah membawa Sultan Mahmud dan rombongan lebih jauh ke pedalaman, ke Perkebunan Namu Unggas. Di sana rom-bongan diserahkan ke laskar pimpinan Abu Daud.

Dua minggu setelahnya rombongan Sultan Mahmud dipindahkan ke Batang Serangan, lalu ke Tanjung Selamat. Di sini, rombongan Sultan Mahmud dibagi dua lagi: dua putrinya dikembalikan ke Sawit Seberang. Sultan beserta istri dan putri bungsunya dibawa ke Berastagi. Ikut juga bersama mereka beberapa tawanan Sawit Seberang, berisi kerabat Kesultanan Langkat.

Peristiwa yang terjadi pada Sultan Mahmud itu dibenarkan Tengku Zulkifli, kerabat dekat Kesultanan Langkat. Ia ter-masuk orang rombongan Sawit Seberang yang akhirnya ikut rombongan sultan ke Siantar. Kala itu ia masih kecil, empat ta-hun. Yang dia ingat hanya ayahnya hilang dan belum ditemukan hingga sekarang.

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Sekolah Tinggi Agama Islam bekas seko-lah T Amir Hamzah di Langkat

Page 10: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

10 | MAJALAH SUARA USU

LAPORAN UTAMA:pun wilayah lain di Sumatera Timur tak punya kepemimpinan tunggal yang dapat menyatukan fraksi yang bertikai.

Sebagian masyarakat mengharapkan hadirnya penguasa lama: Belanda. Me- reka tak ingin berada di bawah lindungan Republik yang belum jelas.

Pengalaman buruk selama penjajahan Jepang juga membuat mereka berhati-hati menyiasati perubahan zaman.

Berita proklamasi kemerdekaan In-donesia sampai di Medan pada Oktober 1945, membuat Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan mempersiap-kan segala sesuatu untuk menjalankan pemerintahan.

Ia mengeluarkan dekrit mengangkat sepuluh orang residen untuk seluruh Su-matera dan Wali Kota Padang, Medan dan Palembang pada 3 Oktober 1945.

Tengku Muhammad Hasan juga memerintahkan mobilisasi umum, mem-bentuk tentara keamanan rakyat, meng-ambil alih gedung pemerintahan serta memerintahkan semua pegawai dan pe-jabat untuk mematuhi perintah pembe-sar Republik.

Perkembangan gerakan Republik sa-ngat cepat dan meluas di awal Oktober itu. Sampai ke kota di luar Medan. Khu-susnya Tebing Tinggi, Binjai, Berastagi, dan Kabanjahe.

Pertengahan Oktober berdiri National Control dan BPKI di kota-kota tersebut. Mereka aktif menghimpun semangat rakyat melawan Belanda.

Walau Medan telah menjalankan pemerintahan republik, namun belum cukup kekuatannya. Daerah swapraja di Sumatera Timur belum mengakui eksis-tensinya. Sebab Republik adalah posisi yang tak menguntungkan menghadapi Belanda.

Suprayitno pun angkat bicara. Per-bedaan ekonomi karena kerja sama ke-sultanan dengan Belanda jadi pemicu penyerangan Maret 1946 itu. Padahal Indonesia baru lepas dari penjajahan Be-landa. Sehingga orang-orang laskar, partai dan masyarakat yang pro-republik menilai kesultanan adalah ancaman Republik.

Namun Tengku Syahputra, cucu abang

Tengku Amir Hamzah, tak sepakat penye-rangan Maret 1946 yang dinamai revolusi sosial itu akibat kesenjangan ekonomi. “Hampir tidak ada yang susah di bumi Langkat waktu itu,” katanya.

Kesultanan Langkat adalah kesultanan terkaya di Asia Pasifik masa itu. Semua rakyat hidup makmur, malah pihak kesul-tanan sering membagi beras dan minyak gratis pada rakyatnya.

Tengku Syahputra pun menyebut peristiwa itu perampokan yang dilakukan untuk kepentingan pergerakan komunis yang ingin menguasai Republik. Bukan revolusi sosial.

Namun mereka yang pro-Republik dan radikal dari berbagai laskar dan partai tetap menilai kesultanan feodal dan pro-Belanda. Pun tak menjalankan pemerin-tahan dengan demokratis. Oleh karena itu sempat diadakan pertemuan di 12 Februari 1946 antara Tengku Muhammad Hasan dan wakil Gubernur Amir dengan Sultan Muda Langkat dan wakil Kesul-tanan Deli.

Waktu itu Amir minta kesultanan jalankan demokrasi di wilayahnya. Se-perti yang dilaksanakan Kesultanan Yog-yakarta.

Dibilang tak demokratis pun Tengku Syahputra tak setuju. Kesultanan yang berlandaskan Islam menjadikan sultan adalah penolong bagi rakyatnya.

Saat itu, orang-orang Republik yang radikal membentuk diri menjadi Persa- tuan Perjuangan. Mereka masih menilai kesultanan tak demokratis.

Akhirnya 3 Februari 1946, bertempat di Gedung KNI Medan, diadakan musya-warah antara pemerintah Republik dan kerajaan. Di sana dijelaskan Undang-un-dang Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi posisi istimewa raja-raja. Tengku Muhammad Hasan minta kerajaan memutuskan hubungan dengan Belanda. Kerajaan diminta melakukan demokrati-sasi dan mendukung Republik. Sebab Re-publik berdasarkan kepada rakyat.

Sultan Langkat atas raja-raja Suma-tera Timur menyatakan sepakat dengan hasil pertemuan itu. Maka dibentuklah Panitia Mahadi untuk melakukan proses

demokratisasi di wilayah kerajaan. Kesul-tanan tak mendukung Republik, Tengku Syahputra menampik. Terbukti Tengku Amir Hamzah dijadikan Bupati Langkat pertama.

Pun begitu di Kesultanan Asahan, Yasir bilang kesultanan pro-kemerdekaan. Buk-tinya pun ada. Saat berita kemerdekaan sampai di Asahan, bendera merah-putih dikibarkan berdampingan dengan ben-dera kuning Asahan.

Walau demikian, dijelaskan Supra- yitno, tampaknya Panitia Mahadi tak perlihatkan progres dalam menjalankan tugas.

Oleh karena itu, saat Tengku Muham-mad Hasan berkunjung ke Sumatera Se-latan, orang-orang Persatuan Perjuangan melakukan penculikan dan pembunuhan serta perampasan harta kesultanan. Peris-tiwa itulah penyerangan terhadap Kesul-tanan Asahan dan Langkat di Maret 1946 yang membuat Tengku Amir Hamzah di-bunuh.

Tengku Syahputra bilang peristiwa itu masih menimbulkan trauma di ma-syarakat Langkat. Bekas lahan istana Ke-sultanan Langkat di Tanjung Pura saat ini dibangun MAN 2 Tanjung Pura, yang tinggal hanya puing-puing istana setelah dibakar saat penyerangan Maret 1946 itu. Generasi Kesultanan Langkat tak bisa lagi membangunnya.

Satu hal lagi yang dibilang Tengku Syahputra, sejarah runtuhnya kesultanan di Sumatera Timur karena peristiwa yang dinamai revolusi ini terkesan ditutupi.

Tak begitu dengan Suprayitno. Ia me-nilai buku yang bercerita tentang peris-tiwa masih banyak. “Kalau enggak tahu, ia salah yang tidak membaca,” katanya. Suprayitno pun menulis buku Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, menceritakan hal serupa.

Dalam menulis buku, pada 1994 Su-prayitno sempat mewawancarai Ketua II Persatuan Perjuangan yang waktu itu ting-gal di Binjai. Saat ini menemukan pelaku langsung amatlah susah sebab peristiwa itu telah dilakukan puluhan tahun silam.

Pun begitu kata Yasir, “pelakunya saat ini sudah pada meninggal semua.”

Page 11: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU // 11

Page 12: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

RISET:

12 | MAJALAH SUARA USU

Sejarah Kabur Negara Sumatera Timur & Gagasan Sumut Merdeka

PADA masa awal kemerdekaan silam, Indonesia berbentuk Negara Republik Serikat (RIS). Ada tujuh negara bagian, di an-taranya Negara Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Terjadi pergerakan di beberapa daerah untuk menyatukan semua negara. Namun tak banyak yang menge-tahui sejarah ini. Bagaimanakah tingkat pengetahuan maha-siswa USU mengenai ini? Apakah benar tak banyak literatur yang membahasnya? Kemudian, tahun lalu sempat digadang-

gadang gagasan Sumatera Utara (Sumut) Merdeka oleh se-jumlah akademisi USU. Apakah mahasiswa mengetahuinya?

Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 480 ma-hasiswa USU, dimana sampel diambil secara accidental deng-an mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan sampling error 5 persen, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa USU. (Litbang)

Pernah

24,7%

Tidak Pernah

75,3%

Internet

27.9%Buku

8,7%

Lainnya (orang lain, media massa)

25,9%

Pelajaran dari sekolah/kuliah

37,5%

Apakah Anda pernah atau tidak per-nah mendengar sejarah Negara Su-matera Timur?

Jika pernah, dari mana Anda mengeta-hui informasi tentang Negara Sumatera Timur?

Jika pernah, tuliskan yang Anda ketahui tentang sejarah Negara Sumatera Timur.

1 2

3

Tida

k ja

wab

2,5

%

Mer

upak

an c

ikal

bak

al

wila

yah

Prov

insi

Sum

ater

a U

tara

8,

7%

Mel

iputi

Pul

au S

umat

era

bagi

an u

tara

, Ac

eh, d

an p

esisi

r pan

tai ti

mur

6

8,2%

Lupa

2

0,6%

Page 13: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 13

RISET:

Tidak ada sama sekali

Cukup

Apakah Anda mengetahui atau tidak mengetahui gagasan Suma-tera Utara (Sumut) merdeka?

Setuju atau tidak setujukah Anda de-ngan gagasan tentang Sumut merde-ka dalam artian pemberian otonomi khusus tanpa melepaskan diri dari Indonesia?

Tahu 26,8%

Tidak tahu 73,2%

Setuju

Tidak setuju

Tidak tahu

39,9%

37,3%

22,8%

4 Bagaimana menurut Anda ketersediaan literatur atau informasi tentang sejarah revolusi sosial Negara Sumatera Timur?

6

Sangat banyak

sangat sedikit

51,3%

36,1% 10,9%

1,7%

5

Page 14: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

14 | MAJALAH SUARA USU

LAPORAN UTAMA:

PERGERAKANMANSOERDI SUMATERA TIMUR

Teks: Ridho Nopriansyah dan Shella Rafiqah Ully

Mohammad Hatta (kiri) saat mengunjungi dr. Tengku Mansoer (kanan)

Page 15: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 15

LAPORAN UTAMA:

Kisahnya tak sekadar mampir dalam kancah sejarah negeri ini. Layaknya rantai, apa pun bentuknya adalah mata rantai yang tidak bisa dipisah-kan, terlebih dihapuskan.

DOKUMENTASI: TENGKU MANSOER ADIL MANSOER

Page 16: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

16 | MAJALAH SUARA USU

LAPORAN UTAMA:

DOKUMENTASI: TENGKU MANSOER ADIL MANSOER

“Kita segera berangkat, ini demi keselamatan keluarga.”“Baik, Bunda.”Penggalan dialog itu diucapkan Amelia Gesina Wempe dan putrinya Tengku Sariah. Saat itu, tidak banyak yang tahu, kedua anak-beranak

itu sedang cemas luar biasa. Belakangan muncul intimidasi he-bat dari orang-orang yang tidak dikenal. Keluarga Amelia Gesina Wempe disebut feodal.

Situasi politik kiri pada dekade 60-an tengah berkembang saat itu menambah kekhawatirannya. Setelah Tengku Mansoer mangkat di tahun 1953, selain selentingan feodal, muncul isu jika keturunannya akan ditangkap dan dikirim ke Irian Barat bersama pelajar SMP dan SMA. Rencananya kebijakan itu bakal diterapkan pemerintah. Amelia makin gusar, takut cucu-cucunya akan turut dikirim.

Diam-diam Tengku Sariah mengurus izin untuk bisa terbang ke Belanda. Berkat hubungan yang mesra antara Kesultan-an Asahan–keluarganya–dan Belanda, tidaklah sulit baginya untuk mencari akses ke sana.

Untuk mengelabui pemerintah, mereka pura-pura berlibur ke Ma-laysia. Sebelumnya, izin semacam paspor sudah didapat dari Pengadi-lan Negeri Medan, berkat bantuan orang dalam.

Setibanya di Malaysia, kelu-arga itu langsung terbang ke Belanda. Dalam pelarian, turut juga suami dan ke-tiga anak Tengku Sariah. Satu di antaranya ialah Tengku Mansoer Adil Mansoer, yang ke-mudian menceritakan kembali kejadian ini. Setelah tiba, mereka memutuskan untuk menetap di sana.

Seperti diceritakan Tengku Adil, munculnya intimidasi tak lepas dari sosok Dokter Tengku Mansoer–kakeknya– yang pernah menjadi Wali Negara Sumatera Timur. Ia tidak bisa menafikan jika ada pihak-pihak yang masih menaruh dendam terhadap Tengku Mansoer. Ia tidak bisa me-mastikan siapa-siapa saja. Tapi menurutnya, “pemerintah yang memimpinlah, siapa lagi?”

Sesaat setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Belanda coba kembali menancapkan kekuasaan di Indonesia. Mereka pun datang berbondong-bondong. Melalui HJ Van Mook, Gubernur Hindia Belanda kala itu, Belanda berusaha untuk menunjukkan lemahnya kontrol Republik di Sumatera dengan meletusnya re- volusi sosial.

Maret 1946, Van Mook juga sempat bertemu dengan Sutan Sjahrir. Saat itu mereka coba tawarkan untuk membentuk perseri-katan. Alasannya, Republik hanyalah Jawa, tajinya tidak terasa di

Sumatera atau pun wilayah lain di Republik. Pertemuan itu lebih dikuasai oleh Belanda. Walhasil, pemerintah Republik berupaya memaksimalkan politik diplomasinya. Tawar-menawar semacam ini ialah andalan Sjahrir.

Belanda rupanya telah melakukan perundingan di berbagai wilayah di Indonesia. Sebut saja perundingan Malino di Sulawesi. Dihadiri delegasi bangsawan dari Sulawesi, Kalimantan, Timur Besar—gabungan Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Riau.

Sistem federal yang ditawarkan rupanya mendapat dukungan kuat. Tidak tanggung-tanggung, mereka menyepakati bentuk federasi Indonesia ke dalam empat wilayah, yakni Jawa, Suma-tera, Borneo, dan Timur Besar.

Akibat banyaknya tekanan, mau tak mau peme-rintah Indonesia akhirnya duduk bersama

dengan Belanda untuk menggelar pe-rundingan. Hasilnya dikenal dengan

perjanjian Linggarjati. Isinya, Be-landa hanya mengakui Indonesia

adalah Jawa, Sumatera, dan Madura. Itu pun dalam bentuk perserikatan.

Bosnya tetaplah Ratu Wil-helmina.

Republik Indonesia Seri-kat pun lahir. Negara Suma-tera Timur merupakan satu di antara tujuh negara bagian

yang ada di dalamnya.Setelah Negara Sumatera

Timur terbentuk, optimisme untuk membangun kembali per-

ekonomian yang hancur muncul. Pas-carevolusi sosial, semua hak tanah milik

Melayu dicabut oleh Republik. Saat Agresi Militer Belanda I, tampaklah kemesraan Belanda dengan raja-raja Melayu. Saat itu Belanda buru-buru membebaskan tahanan

revolusi sosial; Sultan Langkat; Asahan; Raja Siantar; Kaum Aris-tokrat Karo; Melayu; Simalungun. Tengku Mansoer Adil Mansoer coba ingat, “jumlahnya ratusan.”

Menurutnya, hal itu wajar terjadi. Ia menilai Agresi Militer I Belanda ibarat Mesias, sang pembebas dari kaum ekstremis. Na-mun ia menolak jika dibilang ingin membelot dari Republik. “Dok-ter Tengku Mansoer berteman dengan Moh Hatta,” tegasnya.

Memang benar, Tengku Mansoer dan Perdana Menteri RIS kala itu, Mohammad Hatta berteman. Keduanya adalah maha-siswa Universitas Leiden, Belanda. Keduanya juga tergabung di Perhimpoenan Indonesia.

Lobi-lobi yang dilakukanTengku Mansoer terhadap Hatta juga disinyalir kuat, terutama dalam pergerakan Tengku Mansoer.

Saat terdaftar sebagai murid School tot Opleiding van In-

Page 17: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 17

LAPORAN UTAMA:

dische Artsen (STOVIA) di Batavia (Jakar-ta), Tengku Mansoer menjadi ketua Jong Sumatranenbond. Ia lalu mendirikan Per-satuan Sumatera Timur, sebuah perkum-pulan etnis. Eksklusif untuk orang Melayu, Karo, dan Sima-lungun saja.

Perhimpunan itu diklaim sengaja dibentuk untuk mencegah jatuhnya pamor penduduk asli Sumatera Timur yang semakin terdesak dengan masuknya

pengusaha asing–termasuk dari Jawa–yang menguasai perkebunan.

Mendapat banyak masukan dari se-sama anggota perhimpunan, Tengku Mansoer mulai menuntut pengakuan Re-publik atas keberadaan Daerah Istimewa Sumatera Timur (DIST). Walau ada yang menentang, tuntutan ini tetap diakui Re-publik. Lagi-lagi Belanda berdiri sebagai pendukung.

Oleh Van Mook keluarlah dekrit yang lebih menguntungkan dari sekadar DIST, yakni Dewan Perwakilan Sumatera Timur. Sang komite pembentuk organisasi ke-tatanegaraan dan undang-undang. Inilah cikal-bakal Negara Sumatera Timur.

Komite DIST kemudian menggalang aksi demonstrasi di wilayah Medan, Tebing Tinggi, Binjai, serta Siantar. Men-cari dukungan sebagai upaya menciptakan pemerintahan sendiri. Tak pelak, kegiatan komite DIST mendapat respon serius dari pemuda-pemuda pro-republik. Di sekitar Tebing Tinggi, tiga belas orang pendukung gerakan DIST dibunuh.

Walaupun begitu, anggota Komite DIST tetap bekerja. Bersama Recomba–pemerintahan pendukung Belanda–me- reka menyusun Dewan Sementara Suma-tera Timur yang beranggotakan 28 orang.

Saat itu, kelihatannya Sukarno tak ber-kutik.

Pada 15 November 1948, Dewan Se-mentara bersidang untuk memutuskan Rancangan UUD dan memilih Wali Negara Sumatera Timur. Tengku Mansoer adalah satu-satunya kandidat wali negara.

Ada pula Tengku Bahriun dan CJJ Hoogenboom sebagai Wakil Ketua I dan II Dewan Sementara.

Sebagai wali negara, Tengku Mansoer memiliki tugas untuk memimpin Negara Sumatera Timur, ia layaknya presiden. Dalam sambutannya pada sidang per-tama Dewan Perwakilan Sumatera Timur, ia mengimbau seluruh anggota dewan untuk bekerja keras menyejahterakan rakyat.

Dengan berdaulatnya Republik Indo-nesia bisa memberikan rasa aman, sebab tentara dan polisi sudah sah sebagai alat negara. “Artinya bisa melindungi (Sumatera Timur –red) dari algojo-algojo yang kerap mengganggu,” ucap Tengku Mansoer.

Peningkatan perekonomian ini pen- ting sebab saat itu semua komoditas di-pegang oleh Jawa. Dengan sistem federal, maka daerah mempunyai otonomi penuh untuk mengelola semua potensi lokal. Saat itu, perkebunan menjadi mesin uang utama Negara Sumatera Timur.

Di sinilah perbedaan cara pandang Tengku Mansoer dan Hatta terlihat. Jika

Ejaan salah pada plang Jalan Tengku Mansoer di depan USU.

RIDHO NOPRIANSYAH | SUARA USU

Page 18: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

18 | MAJALAH SUARA USU

LAPORAN UTAMA:Tengku Mansoer menganggap federal itu baik justru Hatta tidak melihat itu sebagai jalan keluar. “Walaupun berbeda, hasrat keduanya adalah kemerdekaan. Bertuan di rumahnya,” tambah Tengku Adil Saat satu per satu negara bagian kembali me-lebur menjadi Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur tetap ingin menjadi federal.

Baru pada 1950 Tengku Mansoer lu-luh, Negara Sumatera Timur melebur ke dalam Republik. “NST (Negara Sumatera Timur –red) bukan hancur,” ungkap Teng-ku Adil.

***Tumpukan literatur-literatur sejarah

sudah biasa di kamar Sepno Semsa Sito-rus, mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU. Namun, setahun belakangan ia lebih sering berkutat dengan literatur mengenai Negara Sumatera Timur. Mu-lai dari kerajaannya, revolusi sosial 1946, dan Tengku Mansoer. Hal ini dilakukannya demi menyelesaikan penelitiannya untuk gelar sarjana.

Ia mengakui tak banyak literatur yang bisa ditemukan terkait Negara Sumatera Timur. Hanya ada segelintir buku yang memuat rentetan sejarah itu secara kom-prehensif. “Yang pasti bukan buku sejarah anak SMA-lah,” tegas Sepno.

Alasannya cukup masuk akal, materi Negara Sumatera Timur memang terke-san sekadar ada dalam pelajaran Pendi-dikan Sejarah dan Pendidikan Kewargane-garaan terutama di tingkat SMP dan SMA. Yuli, seorang guru Sejarah di SMA Negeri 2 Plus Panyabungan juga membenarkan itu. Negara Sumatera Timur sangat sedikit ditampilkan dalam kurikulum. Itu pun dengan kesan tidak baik.

Menurut Yuli materi dalam kurikulum hanya dipaparkan jika Indonesia pernah mencicipi zaman saat wilayahnya dibagi-bagi atas beberapa wilayah federal. Ba-hasa yang dipakai cenderung mengatakan bahwa negara-negara bagian tersebut adalah negara boneka, hingga kesan yang muncul adalah tidak baik.

Padahal menurut Yuli, proses pem-bentukan negara-negara bagian tersebut–termasuk Negara Sumatera Timur–bukan berorientasi pada Belanda, melainkan

demi kesejahteraan bersama.Tengku Adil tak sepakat jika Negara

Sumatera Timur dianggap negara boneka dan di- setir oleh Belanda. Menurutnya, Tengku Mansoer adalah sosok yang pro terhadap kemerdekaan Indonesia. Arti-nya bebas dari penjajahan Belanda dan punya hak otonom untuk membenahi daerahnya sendiri.

Diskursus inilah yang membuat Su-prayitno meneliti dan menulis buku ten-tang Negara Sumatera Timur beberapa waktu lalu. Ia tidak pungkiri jika Negara Sumatera Timur memang mendapat porsi yang sedikit di dalam sejarah.

Ia buru-buru membantah jika Negara Sumatera Timur dilupakan. Untuk pendi-dikan tinggi justru dipelajari dalam satu mata kuliah khusus. Ketersediaan infor-masi berimbanglah yang menjadi ma-salah utamanya.

Suprayitno sendiri beranggapan ke-bencian Republik atas Negara Sumatera Timur beralasan: Belanda. Federal adalah wacana yang haram di kalangan repub-likan karena dianggap warisan kolonial. “Ada sisa-sisa kolonial dianggap setiran Belanda, makanya tidak disukai,” ujarnya.

Tengku Adil menjelaskan kedekatan dengan Belanda tidaklah berakibat buruk.

Melayu belajar ilmu pengetahuan dari Be-landa. “Tapi Belanda tidak bisa mengatur kita (Sumatera Timur –red),” ujarnya.

Gagasan Tengku Mansoer sebetulnya tengah diterapkan Republik Indonesia hari ini. Suprayitno beranggapan gagasan Tengku Mansoer, melalui sistem federal yang coba ia bangun, selaras dengan hak otonomi daerah yang kini Indonesia ter-apkan. Walau tidaklah seratus persen mi-rip dengan federal, tapi daerah mengatur dirinya sendiri adalah wujudnya.

Sementara itu, Tengku Adil rupanya tak menaruh harapan bagi pemerintah Republik Indonesia untuk memberi porsi lebih kepada Tengku Mansoer dalam se-jarah. Ia justru berharap agar kebenaran sejarah janganlah dikaburkan terlebih dilenyapkan.

Tengku Adil coba beri gambaran. Mempelajari tokoh nasional memang perlu, tapi dengan kondisi geografis In-donesia yang berpulau-pulau, tiap-tiap daerah perlu melipatgandakan kesem-patan generasi muda untuk tahu tokoh daerahnya. Hal ini dianggap penting untuk memancing generasi muda agar peduli.

Menurut Tengku Adil, caranya de- ngan menampilkan ketokohan pahlawan daerah melalui pendidikan. Selain itu menamai tempat-tempat umum dengan nama-nama tokoh daerah, pun harus benar.

Misalnya, tambah Tengku Adil, nama ja-lan di depan USU, ditulis Jalan dr Mansyur bukan Tengku Mansoer. “Jadilah kita bilang sistem penjajahan Belanda ditukar dengan ‘penjajahan’ jawa,” tambahnya.

Kalau pemimpin-pemimpin di Suma-tera Utara hendak mempertahankan se-jarah Sumatera, hendaklah nama mereka disebut. “Tengku Mansoer pernah men-jadi Wali Negara Sumatera Timur, turut berjuang untuk mencapai kedaulatan Indonesia. Bukanlah ini pun sebagian se-jarah Sumatera?” ucap Tengku Adil.

Bentuk-bentuk sederhana seperti ke-salahan penulisan nama tokoh kemudian merubah ejaan bisa jadi berandil terha-dap kaburnya nilai sejarah. “Bukan yang kuat yang menang, tetapi yang benar,” pungkasnya.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

“Ada sisa-sisa kolonial dianggap seti-ran Belanda, makanya tidak disukai,”

- SUPRAYITNO

Page 19: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 20: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

LAPORAN UTAMA:

20 | MAJALAH SUARA USU

Page 21: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

LAPORAN UTAMA:

MAJALAH SUARA USU | 21

SEBATAS WACANA,GERAKAN MERDEKA

Teks: Sri Wahyuni Fatmawati P dan Audira Ainindya

Mereka tegaskan, ini wacana. Lahir dari kesadaran untuk berkembang. Namun, wacana yang dilontarkan layaknya

bom waktu. Tinggal menunggu saja.

ILUSTRASI: AUDIRA AININDYA | SUARA USU

Page 22: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

LAPORAN UTAMA:

Ini kali kelima riset majalah SUARA USU disebar di USU. Topik riset kali ini Negara Sumatera Timur dan Gagasan Sumut Merdeka. Tentang revolusi sosial dan wacana merde-

ka. Dari total 480 mahasiswa hanya 24,7 persen yang mengetahui tentang Negara Sumatera Timur, dan total 26,8 persen yang tahu mengenai wacana Sumut Merdeka.

“Kurang kerjaan kali pun.”“Kok sok kalilah Sumut (Sumatera

Utara –red) ini, mau misahin diri.”“Mau merdeka kayak gimana sih?

Berlebihan,” timpal yang lain.Spontan mereka berkomentar

pedas. Kata ‘merdeka’ yang terlontar membuat mereka berpikir Sumut akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam bukunya berjudul Sejarah Revolusi Indonesia terbitan PT Balai Pustaka, Nyoman Dekker mengatakan revolusi berarti perubahan-peruba-han fundametal dan terjadi dalam waktu dekat. Biasanya terjadi kare-na ketidakpuasan sesuatu─biasanya masyarakat─kepada pemerintah.

Sebut saja revolusi sosial yang ter-jadi di Indonesia sebelum Agresi Militer Belanda I. Terjadi juga revolusi sosial di beberapa daerah di Indonesia saat itu; Sumatera Timur, Aceh, dan Jawa Teng-ah. Semuanya sama, pemberontakan yang dilakukan masyarakat pada pen-guasa.

***Warjio sudah mengikuti diskusi ini

sejak 2003 silam. Sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, Warjio kerap terlibat dan turut serta. Namanya saja forum diskusi, tentu ada topik yang didiskusi-kan. Biasanya membahas masalah sos-ial di Sumut, mulai dari politik, ekono-mi, hukum, hingga krisis listrik.

Terdiri dari para akademisi, pembi-caraan tak jauh-jauh dari cara menjadi-kan Sumut sebagai provinsi dengan ke-hidupan layak. Berdasar niat itulah akhir 2013 tercetus gagasan Sumut Merdeka.

22 | MAJALAH SUARA USU

Warjio tidak tahu pasti siapa yang per-tama kali mengeluarkan sebutan itu. “Tiba-tiba sudah bahas itu,” ujarnya.

Seperti kata Warjio, akhir 2013 se-buah isu berembus di media online. Mereka yang mengatasnamakan aka-demisi‒hampir ke semuanya dosen USU‒mengeluarkan wacana bernama Sumut Merdeka. Sontak banyak media memberitakan.

“M. Arif Nasution, yang menggagas tuntutan ini mengatakan, jika kebijakan diskriminatif dan pembodohan ini dibi-arkan terus, akan muncul pertanyaan untuk apa Sumut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Seperti dilansir dari tempo.co.

“Kalau hal itu dinyatakan sebagai gerakan yang serius, maka itu gerakan separatis. Saya menolak keras,” ujar Ra-madhan Pohan di Jakarta, Rabu (27/11), ini dilansir dari sumutpos.co.

Nama Prof Muhammad Arif Nasu-tion menghiasi portal berita online. Ia merupakan Ketua Prodi Pasca Sarjana Studi Pembangunan USU. Selain dia, nama lain turut disebut; Amir Purba, Marlon Sihombing, Warjio, dan Edi Ikh-san. Kesemuanya adalah staf pengajar USU, hampir keseluruhan mengajar di FISIP. Prof Arif tak menampik dia dan beberapa nama di atas terlibat dalam diskusi ini.

Disebut beberapa dari mereka pergi ke Belanda untuk mencari referensi terkait gagasan ini. Juga naskah tuntu-tan yang rencananya akan diberikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.

Warjio tidak tahu-menahu tentang naskah, namun yang ke Belanda setahu ia ada. Nama Edi Ikhsan disebut.

Amarah jelas terdengar dari suara Edi Ikhsan saat dihubungi menanyakan hal ini.

“Saya ke sana untuk urusan studi saya, tidak ada hubungannya dengan itu semua,” ulangnya.

Sambil beberapa kali mengambil jeda menghela napas, Prof Arif mem-benarkan bahwa Edi Ikhsan pergi ke Belanda. “Dia ke sana urusan pribadi, kebetulan saja lagi di sana jadi sekalian

mencari referensi,” sahutnya. Naskah tuntutan yang dimaksud

berisi tuntutan mereka kepada pihak pemerintah, hal yang harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun sekarang naskahnya belum selesai. Para penggagas belum menyusunnya secara mendetail. Dan belum ditunjukkan ke-pada pemerintah. Mungkin ke depan-nya.

Prof Arif lupa kapan pastinya gaga-san ini pertama kali dicetuskan. Namun, yang pasti rumah makan Penang Corner menjadi saksi.

Lambatnya pembangunan di Sumut menjadikan perekonomian masyara-kat tak bisa dikatakan makmur. Peme-rataan dan keadilan jadi hal yang perlu diperhatikan. Wakil Sumut di Senayan dianggap tidak memberikan kontribusi. Mereka seakan lupa ada amanah yang diemban.

Sebut saja konflik masyarakat pe tani dengan Perseroan Terbatas Perke-bunan Nusantara (PTPN) II. Sejak 1972 hingga 2014 menurut catatan Forum Rakyat Bersatu Sumatera Utara luas lahan masyarakat yang diambil paksa PTPN II mencapai kurang lebih 56 ribu hektare. Pada 2002 melalui Surat Kepu-

“Tapi ini bukan pertama kalinya Sumut ‘nakal’.” - AMIR PURBA

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Page 23: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 23

LAPORAN UTAMA:tusan Badan Pertahanan Nasional Pusat pemerintah mengeluarkan tanah sel-uas 5.873.068 hektare dari Hasil Guna Usaha (HGU) PTPN II.

Itupun hanya menyebutkan luas ta-nah di tiap daerah tanpa menyebut lo-kasi pasti. Ini memudahkan mafia tanah untuk turut andil dalam perebutan ta-nah. Bahkan di beberapa daerah semi-sal Kabupaten Deli Serdang tanah yang diduga eks HGU PTPN II berubah men-jadi hak milik pengusaha tertentu.

Wacana ini mengusung gagasan merdeka di dalamnya. Merdeka yang dimaksud adalah kemerdekaan berpikir, bebas secara moral, kemiskinan, ke-bodohan, rasa takut, dan ketidakadilan. Prof Arif merasa Sumut belum dapat dikatakan merdeka dengan hal di atas masih ada.

Banyak yang mengecam ini semacam gerakan separatisme yang membaha-yakan NKRI. Namun Prof Arif menolak saat ini disebut gerakan separatisme. Gerakan berarti berada di bawah naung-an organisasi, struktural dan memiliki ideologi. Mereka tidak memilikinya. Wacana yang mereka lontarkan bukan bermaksud memisahkan diri dengan NKRI.

“Mungkin saja mereka yang bilang adalah mereka yang sedang menikmati hasil ketidakadilan para pemerintah itu,” sambungnya.

Amir Purba, staf pengajar Ilmu Ko-munikasi FISIP USU yang ikut dalam perbincangan wacana ini juga merasa respon yang diberikan berlebihan bila disebut gerakan separatisme. Mereka dianggap hanya melihat satu sisi saja, ti-dak menelaah dulu seperti apa sebena-rnya makna merdeka. Hadir sebagai wa-cana, gagasan ini tidak memiliki tujuan akhir. Istilah Amir, biarkan semuanya meng-alir.

Semua keluhan, tuntutan, dan gaga-san hasil diskusi dan pemikiran tidak pernah diberitahukan kepada pemerin-tah, baik pusat maupun provinsi. Hingga kini memang belum ada rencana untuk ke depannya.

Hatta Ridho kelihatannya tidak

sepakat dengan ini. Dosen Administrasi Niaga FISIP USU ini merasa semua kelu-han, tuntutan, dan gagasan yang ada, juga pemikiran bahwa Sumut Merdeka adalah gerakan separatisme merupakan akibat dari buruknya komunikasi kedua pihak, rakyat dan penguasa. Komunikasi yang dimaksud berupa penyampaian gagasan masing-masing. Tidak harus di-lakukan dalam bentuk diskusi formal.

“Kalau yang di bawah tahu tapi diam, ya sama aja,” jelasnya.

Ridho mengerti dengan jelas makna Sumut Merdeka yang digaungkan. Kon-teks penggagas hanya sebatas diskusi bukan gerakan fisik. Karena itu untuk berpikir memisahkan diri sepertinya masih jauh.

Menanggapi sempatnya isu ini bere-dar dengan ramai di tahun lalu, Ridho merasa penyebab masalah ialah bagi hasil yang kurang proporsional antara masyarakat dengan pemerintah pusat. Porsinya 30 persen untuk daerah dan 70 persen untuk pemerintah pusat. Seharusnya lebih banyak untuk daerah karena hasil bumi juga milik daerah.

Meskipun sepertinya tidak ada ren-cana untuk audiensi, Amir bilang wa-cana ini akan terus berjalan.

“Wacana itu abadi.”Lektor Kepala Fakultas Ekonomi dan

Bisnis (FEB) serta staf pengajar Program Studi Ekonomi Pembangunan Coki Ah-

mad Syahwier merasa istilah gagasan yang sekadar wacana ini terlalu berlebi-han. Dengan adanya istilah lain, maksud yang ingin disampaikan tidak terasa. Penggunaan kata merdeka bisa menye-babkan banyak interpretasi di kalangan masyarakat. Justru nantinya bisa me-nyebabkan kekacauan masyarakat.

Penggunaan istilah merdeka juga sangat berbahaya apabila masih digu-nakan. Banyak salah paham yang terjadi akan berdampak pada sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan politik. “Cari isti-lah yang mencerdaskanlah, bukan yang membingungkan,” tambahnya.

Kebebasan berpikir yang dimaksud juga tidak perlu dihadirkan lewat istilah Sumut Merdeka. Karena, semua rakyat Indonesia dijamin Undang-Undang Dasar (UUD) tentang kebebasan ber-pikir. Pun di kampus-kampus ada yang disebut dengan mimbar akademik.

Lagi pula untuk taraf akademisi bu-kan wacana lagi yang digaungkan, tapi implementasinya. Akademisi harusnya bergerak langsung ke bawah memben-tuk aksi nyata. Adakan pembangunan di masing-masing lini. “Yang sosial bu-daya buat pembangunan di sana, yang ekonomi juga, hukum dan politik juga,” ungkapnya.

Dewasa ini pertumbuhan ekonomi Sumut lebih tinggi dibanding pertum-buhan ekonomi nasional yang berkisar pada 5,5 persen. Sumut di kisaran enam persen. Namun Coki sepakat untuk ma-salah ketidakmerataan dan ketidakadi-lan perkonomian di Sumut.

Contohnya, saat ini harusnya ma-syarakat diberi lahan berpartisipasi agar bisa berprestasi. Nyatanya, prestasi ada pada mereka yang tidak banyak berpar-tisipasi. Sedangkan masyarakat yang ingin berpartisipasi tidak diberi lahan, bagaimana mereka mau berprestasi. Jadilah kesenjangan sosial dan budaya yang secara perlahan terbangun di anta-ra masyarakat. Seharusnya kesempatan itu yang diberi lebih oleh pemerintah.

Pun demikian semuanya kembali ke-pada masyarakat yang harus mengerti bagaimana cara mengantisipasi setiap SUMBER ISTIMEWA

Profesor Muhammad Arif Nasution

Page 24: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

24 | MAJALAH SUARA USU

isu yang datang. Harus dipikirkan baik-baik.

Saat pertama kali muncul gagasan ini jelas menyita perhatian di tengah-tengah merebaknya isu separatisme di Indonesia. Itu juga yang mendorong ter-bentuknya pemikiran kalau ini adalah gerakan separatisme. “Tapi ini bukan pertama kalinya Sumut ‘nakal’,” sing-gung Amir.

Jauh di tahun-tahun belakang, Sumut pernah mengalami pemberon-takan oleh masyarakatnya ke pemerin-tah pusat. Bahkan berbentuk gerakan fisik. Ialah Pemerintah Revolusioner Re-publik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta) yang terjadi di Beras tagi pada 24 Desember 1956. Terben-tuklah Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon dengan tujuan mengatasi perpolitikan Indonesia yang mengarah pada per-pecahan. Melalui Dewan Gajah, Kolonel Simbolon ajukan tiga tuntutan, paling utama adalah memutuskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat. Pemberontakan ini berbuah pemba-caan proklamasi PRRI di Sumatera Utara pada 15 Februari 1958 dengan ibu kota Bukittinggi dan Syafruddin Prawirane-gara sebagai Perdana Menteri.

Lebih mundur jauh ke be-lakang, tahun 1949 berdiri Nega-ra Sumatera Timur di Sumatera. Belanda dan Republik Indonesia (RIS) melalui perjanjian Linggarjati. ter-diri dari tujuh negara bagian. salah satu-nya negara Sumatera Timur. Berdirinya Negara Sumatera Timur pun karena me-nolak bergabung dengan Indonesia.

Jika pemerintahan sipil dirasa sudah tidak mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun perebu-tan kekuasaan oleh militer atau rakyat sipil mustahil tidak terjadi.

“Kalau yang di bawah concern bisa-bisa saja terbentuk sebuah gerakan, kita kan tidak tahu,” sahut Amir.

***Ada pula Tengku Dhani Iqbal. Sejak

bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Pertiwi

Pulo Brayan ia merasa ada yang aneh dengan pendidikan di sekolahnya. Pa-salnya mereka yang notabene berada di lingkungan Melayu malah disuguh-kan tayangan tentang kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha, pun kerajaan Jawa. “Kenapa enggak kerajaan Melayu? Toh katanya di Sumatera Utara ini banyak kerajaan Melayu, tapi enggak pernah dipelajari,” ujarnya.

Kala itu Iqbal belum menyadari ke-anehan yang ia temukan di kemudian hari. Akses internet dan kecanggihan teknologi membuatnya bertemu de-ngan literatur dan buku yang membahas tentang Republik Indonesia, khususnya Sumatera.

Iqbal sepakat terjadi ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi di Suma-tera Utara. Sebut saja Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Setiap tahunnya DIY mendapat Rp 500 miliar dari angga-ran pendapatan belanja negara (APBN) karena status daerah istimewanya, dan banyak orang tetap merasa biasa saja. “Kenapa Yogya tetap pakai daerah is-timewa? Kenapa enggak disamain aja?” ujarnya.

Dengan segala macam keragaman yang ada di Indonesia, Iqbal merasa negara federal adalah bentuk paling ideal. Karena dengan bentuk yang seka-rang ketidaksamarataan serta ketidak-adilan masih akan terasa.

Bentuk otonomi daerah yang digu-nakan di Indonesia juga tidak menjawab permasalahan yang ada. Menurut Iqbal otonomi berarti kebebasan menafsirkan kemauan pusat, kalau hasilnya beda ke-pala daerahnya dipecat.

Iqbal sering terlibat diskusi dengan beberapa teman. Sama dengan Iqbal, teman-teman lain juga memiliki pe-mikiran yang sama. Iqbal adalah pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi media on-line Lentera Timur. Lentera Timur fokus memberitakan hal-hal yang berhubu-ngan dengan Sumatera Timur.

Menyinggung gagasan Sumut Merdeka, Iqbal merasa itu sekadar gerak-gerik saja, belum bisa dikatakan gerakan. Karena masih sebatas wacana.

Namun Iqbal sepakat dengan semua makna merdeka yang diutarakan.

Beberapa tahun mendatang saat aktivitas internet semakin berkembang dan informasi semakin mudah didapat-kan, saat semua pemuda dan rakyat Indonesia mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya, maka tidak menutup kemungkinan terjadi sebuah revolusi sosial.

Revolusi akan terjadi karena keti-daksenangan rakyat dengan kebijakan pemerintah dan yang melakukan adalah

SUMBER ISTIMEWA

Warjio

orang dalam sendiri. “Mungkin tidak sekarang, mungkin beberapa tahun ke depan, siapa yang tahu? Tidak ada yang tidak mungkin,” ujarnya.

***Teringat pembicaraan dengan

seorang dosen beberapa saat lalu.Untuk menjadi sebuah negara bu-

kan perkara mudah, katanya. Kita ha-rus persiapkan banyak hal, diantaranya peralatan, sumber daya manusia, waktu dan yang paling penting adalah dukun-gan negara lain.

“Kalau berpikir untuk memisahkan diri, lalu sudah terpisah. Apa selanjut-nya?” tanyanya. Entah pada siapa.

Pun masyarakatnya, harus menjadi masyarakat cerdas dan peduli. Jeli me-milah informasi, jangan diterima semua isu yang ada.

Warjio

Page 25: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 25

REHAT:

ILUSTRASI: YULIEN LOVENLY ESTER G | SUARA USU

Warjio

Page 26: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

26 | MAJALAH SUARA USU

ULAS:

Para tokoh bangsa yang ‘nakal’ dan membangkang pemerintah pada masa pejajahan Belanda harus siap-siap diasingkan. Na-

manya saja diasingkan, tentulah akan dipisahkan dengan dunia yang biasa di-jalani. Dipisahkan dari rumah, keluarga, teman, rekan kerja dan kehidupan lain-nya. Diasingkan, istilahnya ‘dibuang’.

Saat penjajahan Belanda, ‘dibuang’ cukup menjadi tren di kalangan para tokoh bangsa. Kenapa? Karena banyak mereka yang merasakannya. Sebut saja Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan lainnya.

Selama pengasingan tak jarang mereka diperlakukan tak baik oleh penjajah, menjadi trauma bagi masing-masing. Waktu yang digunakan juga beragam, bahkan ada yang bertahun-tahun. Sampai menghembuskan napas terakhirnya di pengasingan.

Tapi tak semua pengasingan ber- akhir menyeramkan. Soekarno merasa lebih baik mentalnya setelah diasing-kan di Ende dibanding saat ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung. Ia diperlakukan layaknya pejabat yang menjadi tawanan.

Buku ini hadir dengan ragam cerita pengasingan dari para tokoh bangsa. Ada 37 tokoh bangsa dengan 37 cerita pengasingan yang berbeda. Ini buku dengan penyajian kisah tokoh bangsa yang banyak. Saya coba mencari buku lain dengan isi yang sama—penga-

singan tokoh bangsa—hanya buku ini dengan jumlah paling banyak.

Dengan segitu banyak tokoh bangsa yang diceritakan buku ini harusnya menjadi catatan sejarah yang bisa diandalkan.

Kenapa? Karena ke-37 tokoh bangsa yang dibahas di buku ini, mungkin sebagian tokohnya terasa familiar karena sering kita mengenal nama dan mendengar kisahnya. Namun tak sedikit juga yang tak begitu akrab di telinga kita. Karena nama dan kisahnya tak banyak dibicarakan, tentu saja.

Ambil contoh, Kiras Bangun. Tokoh Tanah Karo, Sumatera Utara ini sedikit sekali dibicarakan di buku-buku se-jarah, maupun buku non sejarah. Tak banyak yang tahu siapa dan bagaimana kisahnya. Atau coba ketikkan namanya di mesin pencari internet, sedikit sekali informasi yang ada. Cerita pengasing- annya? Belum ada yang menceritakan.

Kiras Bangun lebih akrab dipanggil Garatama. Ialah Kepala Adat Karo Lima Senina. Menjadi tokoh yang disegani

di daerahnya, Belanda berniat me- ngajaknya bekerja sama. Namun, tak semudah itu Garatama dapat dirayu. Penawaran Belanda ditolak men-tah-mentah. Belanda tidak langsung menyerah. Dikirimkan seorang pendeta protestan ke rumahnya, untuk mem-bujuknya menerima tawaran kerja sama dari Belanda. Tetap tak berubah, pendeta itu diusir Garamata dari rumahnya.

Sejak itulah Garamata gencar me-mimpin perlawanan dengan Belanda. Hasilnya, Belanda berhasil diusir mundur dari Kabanjahe. Perlawanan Garamata tak berhenti sampai di situ.Perlawanan demi perlawanan dilaku-kan. Kali ini bekerja sama dengan Aceh Tenggara dan Aceh Selatan. Semuanya manis di awal perlawanan. Namun, akhirnya Garamata berhasil ditang-kap dan ‘dibuang’ ke Riung, Bandung. Hingga Oktober 1942, Garamata me-ninggal dunia.

Sang pengarang, A Faidi jelas seorang pecinta sejarah. Sejak kecil ia

Teks: Erista Marito Oktavia Siregar

Pengasingan menjadi tren sanksi di masa penjajahan Belanda. Dianggap bisa menjadikan yang diasingkan jera. Hadir sebagai catatan sejarah, A Faidi mengupas kisah pengasingan 37 tokoh bangsa. Meskipun tidak maksimal.

Secuil Cerita Pengasingan Para Tokoh Bangsa

Judul : Jejak-jejak Pengasingan Para Tokoh BangsaPengarang : A Faidi, SHumPenerbit : SaufaTahun terbit : 2014Jumlahhalaman : 305Harga : Rp 42.000

Page 27: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 27

ULAS:

sudah membaca buku sejarah. Kini, ia menulis buku sejarah. Buku sebelum-nya yang ia tulis berjudul Politikus-poli-tikus Legendaris juga membahas tokoh bangsa, tokoh bangsa yang dibesarkan dengan berbagai konflik. Bukunya yang lain berjudul Pemikiran Emas Tokoh-tokoh Dunia juga menyajikan kisah berbagai tokoh.

Sama dengan buku sebelumnya, A Faidi kerap menulis rincian tokoh-tokoh yang ia gunakan dalam bukunya. Me-lihat buku-buku yang ia tulis, penulis tampaknya senang menggali riwayat tokoh-tokoh bangsa maupun dunia.

Meskipun begitu, tetap saja dalam buku ini penyajian semua infomasi dan riwayat hidup sang tokoh tidak bisa dikatakan baik. Semuanya tidak proporsional.

Terdiri dari 305 halaman, menceri-takan 37 tokoh, mari bayangkan isinya. Riwayat tokohnya sangat ringkas. Jika dirata-ratakan masing-masing tokoh hanya diceritakan dalam dua hingga em-pat lembar. Bukan banyak halaman yang cukup untuk menceritakan riwayat hidup hingga akhirnya berakhir di pengasingan.

Buku ini unggul dengan jumlah to-kohnya yang banyak. Namun, buku ini jelas lemah dari segi yang sama.

Buku ini tidak menyajikan informasi yang lengkap dan baru tentang tokoh bangsa. Ketidaklengkapan isi dari cerita masing-masing tokoh membuat buku ini seakan-akan hanya sekadar mem-berikan informasi yang dangkal. Jika dibandingkan dengan buku lain, banyak buku yang lebih lengkap menyajikan kisah tentang tokoh-tokoh tertentu.

Misalnya saja Tan Malaka, salah satu tokoh yang diceritakan pada buku ini. Informasi umumnya mungkin cukup, tapi masih banyak yang tidak disajikan mengenai dirinya dalam buku ini. Terlebih saya pernah membaca buku mengenai Tan Malaka yang disa-jikan TEMPO dalam Seri Buku Bapak Bangsa. Terlihat perbedaannya, pada buku A Faidi ini kisah Tan Malaka hanya sekadar saja yang disajikan.

Bukan hanya itu, juga banyak informasi yang di internet dapat kita akses dengan mudah. Misalnya dengan mengetikkan nama salah satu tokoh yang ditulis dalam buku ini, maka informasi yang tersaji dalam buku bisa kita dapatkan. Pun, pada buku ini juga terdapat catatan kaki berisi beberapa sumber dari internet yang isinya lang-sung dicaplok penulis ke dalam buku. Mungkin untuk suatu tulisan jurnal atau makalah, catatan kaki membantu

menunjukkan keakuratan data tulisan kita. Namun, menurut saya dalam buku yang seperti ini itu menunjukkan penulis tidak begitu melakukan liputan sendiri mengenai tokoh-tokoh dalam pengasingannya, melainkan mengutip apa yang sudah pernah disajikan oleh sumber lain.

Untuk isi keseluruhan mengenai informasi buku, saya rasa buku ini kurang menyampaikan informasi yang berbeda tentang pengulasan tokoh-tokoh bangsa.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Page 28: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

28 | MAJALAH SUARA USU

LENTERA:

Bullying: Budaya Radikal yang Hendak Dicekal

Teks : Lazuardi Pratama dan Aulia Adam

Bullying di usia belia sering tak disadari dan segan untuk dilapor-

kan. Dampaknya yang sistemik mengilhami Sejiwa melawan ke-

kerasan.

Mahasiswa baru Fasilkom-TI 2013 (pakaian hitam putih) mengadakan pertunjukan komedi saat penyambutan mahasiswa baru.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Page 29: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 29

LENTERA:

Bullying: Budaya Radikal yang Hendak Dicekal

AZ—inisial—adalah salah satu siswa sekolah swasta ber-nuansa Islam di Jakarta. Dia siswa akselerasi, maka usia- nya terpaut lebih muda dari

teman-temannya waktu itu. Dinilai lebih muda, dia dianggap lebih lemah. Caranya berbicara juga terkesan lembut. Sehing-ga teman-temannya menjulukinya banci. Saat itu ia masih kelas I SMP.

Bukan hanya secara verbal, melain-kan fisik. AZ pernah dikunci dengan se-ngaja di dalam loker, didorong dan dicekik di tengah lapangan sekolah, serta dijerat di jaring voli.

AZ tak pernah melapor, sebab tak tahu tindakan yang diterimanya meru-pakan tindak bullying. Bahkan pernah suatu kali, kakak kelas datang padanya, Kemudian memasang tali kekang di leher AZ sambil dibawa berkeliling dari kelas ke kelas. “Ini anjing peliharaan gua,” pamer kakak kelasnya kepada siswa lain.

Muak terus-terusan diganggu, maka AZ pun suatu saat akhirnya melapor ke sang ibu. Terang saja ibunya terkejut.

Ibu AZ kemudian membawa kasus yang didera AZ ke kepala sekolahnya. Tapi yang didapat berbeda dengan ekspekta-si. Si kepala sekolah malah memberikan jawaban sinis. “Kalau saya jadi orang tua anak ini, saya akan tetap memaksa dia masuk sekolah,” katanya. Setelah men-dengar jawaban si kepala sekolah, sang ibu pun mengeluarkan AZ dan memutus-kan homeschooling sebagai jalan keluar masalah anaknya.

Perlakuan serupa juga dialami Ikh-wan. Nama lengkapnya Muhammad Ikh-wan. Ia tipikal murid yang pasif. Ia sulit bergaul dan berkomunikasi, sehingga ter-lihat cenderung pendiam. Saat semester satu di SMA, ia tak punya terlalu banyak teman. Ikhwan tak mengira kalau sifatnya yang satu ini ternyata akan membawa masalah.

Pernah, suatu ketika ia iseng me-rekam salah seorang teman prianya yang sedang berpidato bahasa Inggris. Namun, ia tak menyangka kalau tindakan iseng-nya ini membuat teman-teman lainnya salah paham.

“Dasar homo lo!”“Gak usah dekat-dekat gue, deh,”

kata teman-temannya.Padahal, ia tak hanya merekam satu

orang teman. Tapi beberapa lainnya juga. “Saya dikira naksir teman saya itu,” kata-nya.

Sejak kejadian itu, teman-temannya mulai mengolok-olok Ikhwan. Ia kerap di-dakwa sebagai homoseksual. Ikhwan yang dasarnya murid pendiam, tak banyak me-lawan. Walau sebenarnya olok-olokan itu membuatnya terpukul. Ia pikir, diam akan menyelesaikan semua itu.

Tapi tak begitu adanya. Teman-temannya terus saja mengolok-olok. Bah-kan semakin sering dan membuatnya cu-kup stres. Rasa malas ke sekolah menjadi momok baginya. Ikhwan melampiaskan kegusarannya dengan bermain. Ia jadi ma-las belajar. Padahal, ia sangat bercita-cita masuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan untuk bisa sampai ke sana, yang ha-rus dilakukannya adalah masuk ke jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA).

Walhasil, dia tak bisa masuk IPA. Se-suatu yang membuatnya sangat terpu-kul. Mimpi untuk kuliah di ITB tak pernah kesampaian.

Saat menyadari hal ini, Ikhwan bertekad untuk merubah pola belajarnya. Ia memang sangat terpukul karena masuk ilmu pengetahuan sosial (IPS), tapi ia tak ingin larut dalam kesedihan. Perlahan, ia meyakinkan diri bahwa olok-olokan te-man-temannya hanyalah candaan. Can-daan yang selalu tak dianggapnya serius. “Setidaknya dengan begitu saya jadi bisa fokus sekolah,” kenang Ikhwan.

Ia tak pernah cerita masalah ini ke orang tuanya. Perkara olok-olokan terse-but ia selesaikan sendiri. Ia pikir, kalau semakin tak banyak orang yang tahu masalah yang ia hadapi, maka semuanya akan baik-baik saja.

Meski berhasil menyelesaikan ma-salah itu dan berhasil masuk Departemen Kesejahteraan Sosial di Universitas Indo-nesia, Ikhwan sadar kalau tindakannya mendiamkan olokan teman-temannya dulu salah.

Apalagi sejak bergabung sebagai ma-gang di Yayasan Semai Jiwa Amini (Se-jiwa), Februari lalu. Pada yayasan yang bergerak fokus menolak kekerasan anak di sekolah ini, ia belajar banyak. Ia jadi

“Orang-orang beranggapan bahwa kekerasan fisik itu bullying. padahal

bukan itu saja.” -Diena Haryana

DOKUMENTASI PRIBADI

Page 30: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

30 | MAJALAH SUARA USU

LENTERA:tahu kalau yang dialaminya kala SMA itu adalah kekerasan secara verbal.

Sama halnya dengan AZ, kini ia ber-gabung dengan Caring Teens Community, komunitas remaja di bawah payung Sejiwa dengan visi serupa. Karena pengalaman-nya dulu, AZ kini giat menolak kekerasan.

Selain kekerasan secara verbal, ada lagi kekerasan secara fisik dan mental. Berbanding terbalik dengan verbal, ke-kerasan secara fisik dilakukan lewat kon-tak fisik. Seperti tindakan pengeroyokan, pemukulan atau sekadar kontak fisik yang dirasa tak menyakitkan namun kor-ban merasa menyakitkan. Sedangkan ke-kerasan secara mental membuat orang merasa terintimidasi.

Itu yang disadari Diena Haryana pada awalnya. Sebelum mendirikan Yayasan Se-jiwa tahun 2004, Diena punya perusahaan yang mengurus sumber daya manusia pegawai perusahaan. Ia melatih bagaima-na para pegawai berinteraksi, di antaranya hubungan bawahan dan atasan.

“Banyak sekali, di mana-mana ma-

salahnya,” katanya.Ia berusaha mengingat-ingat satu

kasus di perusahaan yang pernah ia ta-ngani. Pernah suatu ketika, seorang pega-wai datang kepada mandornya. Ia datang membawa semacam laporan produk yang ia hasilkan. Sang mandor bukannya me-ngapresiasi, tapi malah menghamburkan laporan si pegawai sambil memaki-maki. “Kamu ini kerja enggak pakai otak, ya!” tiru Diena.

Dari sini, Diena meneliti lebih dalam. Apa sebab fenomena itu? Ternyata ada jejak-jejak kekerasan pada pegawai. Je-jak-jejak ini berupa pengalaman tindak kekerasan yang dialami, baik jadi korban ataupun pelaku.

Anak yang jadi korban kekerasan, pu-nya dua kemungkinan: pertama, penga-laman itu akan ia simpan dalam dirinya hingga dewasa, kedua, ia akan menyalur-kan pengalaman itu kepada orang lain.

Anak yang menyimpan, ketika de-wasanya cenderung menjadi orang yang pasif dan menutup diri. Sedangkan yang

sebaliknya, akan menyalurkannya ke orang lain sehingga membentuk diri men-jadi orang yang agresif.

Itu terjadi akibat berbagai sebab. Orang tersebut bisa saja balas dendam atas perbuatan yang ia terima atau men-ganggap kekerasan yang pernah ia alami menjadi toleransi untuk melakukan yang lebih keras.

Fenomena inilah yang disebut Diena berdampak pada interaksi antarpegawai di perusahaan. Atasan yang aktif cende rung menciptakan bawahan yang pasif. Sedangkan atasan yang pasif cenderung didominasi bawahan yang bisa saja lebih aktif.

Atas dasar itu, pada tahun 2004 ia mendirikan Yayasan Sejiwa dan menge-tuainya hingga sekarang. “Semai Jiwa Amini itu berarti menyemai jiwa-jiwa yang diberkati,” jelas Diena. Awalnya ia tak menyangka akan punya niat seperti itu. Tapi pengalaman spiritual sehabis pu-lang umrah mengubah niatnya. Terbesit di pikirannya, kekerasan terhadap anak

Diena sedang mem-fasilitasi kegiatan

Children’s Meeting di Thailand tanggal

30 November - 5 Desember 2013

DOKUMENTASI PRIBADI

Page 31: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 31

LENTERA:

semestinya dicegah.Mengawali niatnya, pertama-tama

Diena dan teman-teman menggelar penelitian. Penelitian tersebut dilakukan di sekolah-sekolah di Jakarta. Umumnya, anak-anak yang ia teliti lebih banyak me-ngeluh bahwa ia diolok-olok teman. Selain itu munculnya budaya anak-anak yang membentuk geng ikut andil besar dalam setiap kekerasan yang dilakukan.

“Tapi yang jelas itu, masa orientasi sekolah itu paling tinggi (frekuensi ke-kerasannya –red),” ungkap Diena.

Berangkat dari penelitian tersebut, Diena bersama Sejiwa terus melakukan penelitian seputar kekerasan pada anak-anak. Diena punya alasan mengapa subjek kekerasan yang selama ini ia dan Sejiwa fokus adalah anak-anak. Anak-anak adalah usia paling rentan terkena kekerasan dan memiliki dampak paling besar.

Fenomena kekerasan di Indonesia kata Diena telah menjadi budaya, dan mengakar di setiap sudut masyarakat. “Contohnya ketika orang tua menekan

anaknya,” kata Diena.

Dari Pengalaman, Hingga ke LapanganDalam menjalankan kegiatannya, Diena tak sendiri. Diena, melalui Sejiwa mere-krut lulusan-lulusan perguruan tinggi, yang lebih banyak dari jurusan psikologi untuk membantunya. Pegawai-pegawai tersebut banyak bekerja sebagai konsul-tan. Termasuk membuka magang.

Lendi Andita, salah seorang pegawai Sejiwa yang kini menjabat sebagai pro gram officer banyak mendapati keluhan dan pengaduan ketika bekerja di lapa-ngan. Sebagai program officer, pekerjaan-nya menyusun kegiatan-kegiatan yang Se-jiwa lakukan. Kegiatan yang paling sering dilakukan adalah pelatihan.

Pelatihan yang dilakukan Sejiwa ke-banyakan adalah pesanan dari sekolah-sekolah. Biasanya sekolah tersebut ingin mengukur tingkat bullying yang terjadi. Setelah berdiskusi sana-sini dengan pi-hak sekolah, Lendi dan rekan-rekannya menggelar pelatihan di sekolah bersama

siswa-siswa. Lendi biasanya memberi ma-teri tentang bullying disertai dengan per-mainan atau kuis.

Keluhan dari siswa biasa didapati ke-tika pelatihan sedang masuk waktu istira-hat atau ketika pelatihan sudah selesai.

Suatu ketika, di salah satu sekolah swasta di Jakarta Selatan, seorang siswa menemui Lendi. Anak tersebut mengeluh karena mantan teman-temannya sering mengolok-oloknya.

Sebut saja namanya Dian. Ia pernah menjadi anggota salah satu geng populer di kelasnya. Namun, karena ada masalah yang membuatnya berselisih dengan te-man-temannya yang lain, ia kemudian diasingkan. “Dia enggak mau cerita sih, masalahnya itu apa,” kata Lendi.

Tak cukup dengan diasingkan, mantan gengnya tersebut sering mengolok-olok Dian. Di media sosial, pun saat menger-jakan tugas kelompok. “Ya, kak, di kelas aku ada gengnya, loh, suka jelek-jelekin aku. Suka ngata-ngatain,” ungkap Lendi menirukan aduan Dian.

DOKUMENTASI PRIBADI

Pelatihan di Taman Kanak-kanak Global Mandiri Cibubur, sekitar 30 September tahun 2013 oleh Yayasan Sejiwa

Page 32: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

32 | MAJALAH SUARA USU

LENTERA:Dian kian jenuh dengan suasana ke-

las yang menurutnya tak ramah. Maka pada suatu hari, Dian pun sempat ingin keluar dari sekolah dan pindah ke sekolah lain. Sebelum sempat pindah itulah Dian mengadu pada Lendi dan akhirnya batal pindah setelah diberi pengertian. “Jadi di-kasih tahu kalau kamu melihat kekerasan itu, kamu jangan diam saja. Kamu harus melaporkan!” tiru Lendi.

Lendi merasa, pemahaman soal ke-kerasan ini belum merata, bahkan untuk sekelas kepala sekolah pun tak menger-ti. Ia juga merasa, kasus yang sering ia jumpai serupa: korban kekerasan ragu untuk melapor. Padahal bila lebih cepat dilaporkan, pencegahan dapat dilakukan dengan segera. Karena menurut Lendi, korban dapat bertransformasi menjadi pelaku bila terus mendapat pengalaman kekerasan. “Saya dulu juga korban bully-ing yang jadi pelaku, seperti malakin te-man dan tawuran.”

Diena sepaham dengan Lendi. Alasan anak tidak mau melapor karena adanya tekanan dari pelaku. Sehingga bila ia me-lapor, si anak akan kena tindak kekerasan lebih.

Perilaku itu awalnya dibentuk oleh lingkungan. Anak mau tidak mau bela-jar dari lingkungannya. Orang tua adalah lingkungan paling dekat dengan anak. Ke-cenderungan anak belajar dari orang tua merupakan salah satu faktor anak dapat melakukan atau menjadi korban tindak bullying.

Anak yang tumbuh dalam kekerasan cenderung bersikap keras kepada teman-temannya di sekolah. Bila ini terus berlan-jut, akan ada anak yang menjadi penindak kekerasan dan korban. Hal inilah yang bila terbawa di masa dewasanya nanti, akan membawa dampak cukup besar.

Bahkan, perilaku kekerasan sering kali tidak disadari, baik yang melakukan atau korban sendiri. Istilah bullying menurut Diena sangat tidak populer di masyarakat Indonesia. “Orang-orang beranggapan bahwa kekerasan fisik itu bullying,” kata Diena, “padahal bukan itu saja.” Ma-syarakat Indonesia, khususnya orang tua, menurutnya menganggap hal-hal kecil

“Jadi dikasih tahu kalau kamu melihat kekerasan itu, kamu jangan diam saja.

Kamu harus melaporkan!” - Lendi.

yang membuat anak merasa tidak nya-man belumlah bullying.

Apa pun yang membuat orang mera-sa tidak nyaman, apa pun tindakan yang ditujukan kepadanya adalah perilaku bu-llying. Ini juga yang tidak disadari korban. Sama halnya seperti kasus-kasus lainnya. Dampak dari ketidakawasan diri terhadap perilaku bullying sangat besar dan me-mengaruhi masa depan. “Padahal seha-rusnya bisa dilaporkan dulu,” ujar Diena.

Seharusnya, diakui Diena, kerja mem-berantas kekerasan ini tak dapat dilakukan sendiri maupun kelompok kecil macam Sejiwa. Karena budaya bully telah menjadi budaya yang radikal. Sulit mengubahnya dalam waktu singkat. Atas dasar ini, pi-haknya terus menggenjot kampanye. Di-ena bilang, dari kegiatan-kegiatan yang digelar Sejiwa, minimal pihaknya dapat di-jadikan panutan hidup tanpa kekerasan.

Pekerjaan memberantas kekerasan ini semestinya seperti dikatakan Diena adalah kerja pemerintah. Pemerintah pu-nya kuasa dan tanggung jawab atas itu. “Tapi lagi-lagi pemerintah enggak bisa mengatasi. Mas tahu sendirilah,” katanya diakhiri dengan tertawa.

ILUSTRASI FOTO: WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Page 33: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 34: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

34 | MAJALAH SUARA USU

OPINI:

Sore itu sekitar jam 3 di jalan Sudirman Pekanbaru. Hanya beberapa sepeda motor be-rani lalu lalang. Selebihnya mobil. Matahari hampir dua

minggu tak menampakkan wujud. Hu-jan tak pula turun. Kurang lebih dua bulan kabut asap mengepul di langit Pekanbaru. Lain hal di Pelalawan tem-pat orang tua saya tinggal, sejak tahun baru lalu hingga pertengahan Maret hu-jan tak pernah membasahi kabupaten tersebut. Hasilnya, api bermunculan di beberapa titik.

Udara dan air merupakan tanda ke-hidupan. Manusia tanpa makanan ma-sih bisa bertahan hidup berjam-jam. Namun manusia tanpa udara hanya bisa bertahan hidup beberapa menit. Sebab itulah ketika kabut asap harus dihirup lagi, banyak masyarakat menyumpah dan marah pada para pemimpin nega-ra. Ia hanya hadir saat memungut pajak dan memberantas korupsi. Seolah diam ketika kabut asap menyelimuti langit kampung kami. Barang kali rakyat pun lebih peduli dengan penghapusan ka-but asap daripada penghapusan Komisi Pemberantas Korupsi.

Di tahun ini kabut asap datang lebih awal dari biasa. Data World Resources Institute (WRI) memetakan lokasi titik api Riau selama 20 Februari hingga 12 Maret 2014 dengan bantuan Active Fire Data milik Badan Penerbangan dan An-tariksa Amerika Serikat (NASA). Ia me-nyatakan kabut asap di Riau kali ini lebih parah dari tahun 2013 yang lalu. Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2014, dite-mukan 3.101 titik api di Pulau Sumatera. Jumlah tersebut melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013 lalu sebanyak 2.643 titik api.

Indeks Standar Polutan Udara (ISPU) di Pekanbaru tanggal 9 Maret me-

nyatakan berbahaya dan tak layak hirup. Saat itu udara sudah tak terasa asap lagi, namun abu. Kementerian Lingkungan Hidup memberi rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk mening katkan status bencana asap menjadi darurat nasional. Kabut asap sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Tercatat sudah puluhan ribu terserang Inspeksi Saluran Pernafasan Atas.

Sejatinya kabut asap terjadi akibat kebakaran lahan gambut. Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Riau merupakan produsen terbesar di Indonesia, atau kira-kira seperlima wilayah perkebunan kelapa sawit nasional dan dua perlima ekspor pada tahun 2012. Dengan Du-mai sebagai pusat perdagangan minyak kelapa sawit internasional seperti Asian Agri, Musim Mas dan Cargill beroperasi di pelabuhan utama kota ini. Lalu Wil-mar beroperasi di fasilitas pelabuhan mereka sendiri di Dumai-Pelintung. Selain kelapa sawit, Indonesia juga merupakan produsen terbesar pulp dan kertas, seperti dua produsen terbesar dunia Asia Pulp and Paper (APP) dan APRIL berpusat di Provinsi Riau.

Kasus kebakaran hutan lahan dan ka-but asap di Riau menjadi rutinitas tiap tahun. Mahalnya biaya buka lahan dan pembersihan lahan gambut menjadikan pembakaran hutan relatif lebih ekono-mis dan menjadi alternatif yang dipilih perusahaan pemilik lahan gambut di Riau. Badan Pusat Statistik (BPS) Riau mencatat, jumlah lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2012 menca-pai 2.372.402 hektare atau seperempat dari luas wilayah Riau. Jumlah tersebut mungkin telah bertambah pada 2014. Sedangkan lahan gambut di Riau men-capai lima hektare. Izin pengelolaan lahan gambut saat ini dipegang oleh pe-

Tujuh Belas Tahun Diasapi

Rahmi Carolina SMahasiswa Universitas Islam Riau

Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan

DUKUMENTASI PRIBADI

Page 35: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 35

OPINI:

rusahaan-perusahaan swasta.Satuan tugas penanganan keba-

karan berjibaku memadamkan api dan menghilangkan asap di lokasi kejadian. Namun hal tersebut tentu tak semu-dah yang dibayangkan, sebab kejadian yang merata terjadi hampir di semua kabupaten dan kota di Riau. Sebagian kebakaran hutan dan lahan pun terjadi berulang pada lokasi-lokasi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, terma-suk di kawasan gambut yang sangat susah dipadamkan.

Lahan gambut sebenarnya tidak mudah terbakar. Ia punya sifat yang menyerupai spons, menyerap dan me-nahan air secara maksimal. Sehingga pada musim kemarau dan hujan tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrem.

Namun kondisi lahan gambut mulai ter-ganggu akibat adanya konversi lahan atau pembuatan kanal. Maka keseim-bangan ekologis jadi terganggu.

Pada musim kemarau lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbu-han) sampai di bawah permukaan. Se-hingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan susah dideteksi. Alhasil ia menim-bulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga berlangsung lama dan baru bisa benar-benar padam setelah curah hujan intensif.

Sejak saya TK hingga kuliah, kerja keras pemerintah belum berbuah manis dalam hal penanggulangan kabut asap.

Lebih kurang sudah tujuh belas tahun Riau diasapi. Bahkan tahun ini ter-parah. Sekolah-sekolah dan universitas diliburkan. Penerbangan juga ditutup. Kami harus menggunakan masker, bu-kan hanya saat di luar rumah, di dalam bahkan saat tidur pun kami terpaksa menggunakannya. Menutup seluruh lubang angin agar asap tak masuk lagi. Lalu bikin air purifier sederhana meng-gunakan baskom dan kain basah. Saya tak bisa membayangkan nasib generasi selanjutnya. Bagi saya, pemimpin nega-ra harus bertanggung jawab atas ben-cana yang menimpa kampung kami. Tak peduli ocehan negara tetangga. Pemimpin negara harus tegas. Sebab setiap warga negara berhak menghirup udara yang bersih!

ILUSTRASI: YULIEN LOVENLY ESTER G | SUARA USU

Page 36: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

36 | MAJALAH SUARA USU

WAWANCARA:

Indonesia Ladang Diskriminasi Agama

A N D R E A S H A R S O N O

Teks: Audira Ainindya

Human Rights Watch meluncurkan laporan soal me-ningkatnya pelanggaran terhadap minoritas agama di Indonesia, termasuk Baha’i, Kristen, Ahmadiyah, dan Syiah serta agama leluhur macam Sunda Wi-witan. Baik penyerangan fisik, pembakaran, hingga

penutupan rumah ibadah terjadi. The Pew Forum on Religion & Public life—lembaga riset dan survei di Amerika Serikat—me-letakkan Indonesia dalam kategori “sangat tinggi”, menduduki ranking kelima belas dari 197 negara.

Dalam laporan itu disebutkan penganiayaan dan kekerasan pada kelompok agama minoritas ditopang infrastruktur hukum Indonesia atas nama “kerukunan umat beragama,” yang justru menggerogoti kebebasan beragama. UUD 1945 dengan tegas

menjamin kebebasan beragama. Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memperkokoh peraturan, menjadikan agama minoritas didiskriminasi oleh kelompok mayoritas.

Tahun 2012 silam, Indonesia ditegur Dewan HAM PBB melalui sidang Universal Periodic Review terkait banyak kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, 2011 lalu terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeya-kinan dengan 299 bentuk tindakan kekerasan di Indonesia.

Sejak 2008 Andreas Harsono menjadi peneliti HAM dari Indo-nesia di Human Rights Watch. Sebelumnya, ia telah berkarier di The Jakarta Post, The Nation Bangkok, dan Pantau Foundation. SUARA USU mengontak Andreas Harsono untuk menjelaskan tentang pelanggaran terhadap agama minoritas di Indonesia.

GIO OVANNY PRATAMA | SUARA USU

Jadi sebenarnya apa yang dimaksud de-ngan pelanggaran HAM?

Pada intinya maknanya satu. Pelang-garan HAM itu perbuatan kriminal, di-lakukan oleh aparat negara. Kalau bukan aparat negara yang melakukan dinama-kan kriminal.

Apa saja yang termasuk dalam pelang-garan HAM?

Misalnya, ada aturan pegawai negeri wajib menggunakan jilbab. Ini termasuk

pelanggaran HAM. Namanya, pelangga-ran dalam kebebasan beragama. Penutu-pan paksa gereja dan masjid oleh kelom-pok tertentu juga termasuk. Tapi, misalnya seorang pria memukuli pacarnya, bukan pelanggaran HAM karena tidak dilakukan oleh aparat negara dan bersifat personal. Ini yang termasuk kriminal.

Pelanggaran HAM yang paling gampang ditemui?

Penyiksaan, penculikan massa, pem-

bunuhan, dilarang berpendapat dan mengekang kebebasan pers itu bisa dili-hat.

Bagaimana dengan pembagian jenis-je-nis pelanggaran HAM?

Secara garis besar ada dua. Yang per-tama adalah hak sipil dan politik. Diatur dalam perjanjian International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dijelaskan tentang pembatasan peng-gunaan wewenang oleh aparat represif

Page 37: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 37

WAWANCARA:negara.

Yang kedua Ekonomi, Sosial and Bu-daya. Menjelaskan hak ekonomi, sosial budaya dan diatur dalam konvensi Inter-national Economic, Social and Cultural Rights (IESCR). Keduanya di bawah naun-gan PBB.

Apa penyebab terjadinya pelanggaran HAM?

Kebodohan dan kejahatan. Pelang-garan terjadi karena kurangnya pengeta-huan tentang HAM. Jadinya orang-orang enggak tahu, enggak bisa melawan saat haknya diganggu.

Di Indonesia sendiri, pelanggaran apa yang paling sering terjadi?

Dalam pertemuan PBB di sesi ketiga belas Universal Periodic Review (UPR), setiap negara mengkritik dan mengevalu-asi satu negara. Pada 23 Mei 2012, tepat-

nya di Jenewa, Swiss. Indonesia dievalu-asi oleh Dewan HAM PBB karena banyak melakukan pelanggaran HAM, terutama di bidang agama.

Jika kasus pelanggaran HAM di bidang agama terbesar di Indonesia, apa kasus terbesar yang pernah terjadi di Indone-sia?

Saya kira banyak kasus pelanggaran agama di Indonesia. Kalau dari kerusakan, maka penutupan gereja secara paksa adalah yang terbesar. Rentang 2004-2009 ada lima ratusan gereja yang dirusak dan ditutup paksa. Namun, dari segi korban adalah pembantaian Ahmadiyah. Sekitar tiga ratus orang Ahmadiyah menjadi kor-ban dan dipaksa menutup sekitar seratus masjid mereka di Indonesia.

Anda termasuk fokus terhadap pem-belaan warga Ahmadiyah. Mengapa akhirnya memutuskan untuk membela mereka?

Karena mereka tersakiti dan tidak diakui negara. Contohnya peristiwa peng-aniayaan seorang Ahmadiyah di Cikeusik tahun 2011. Video penganiayaannya

disiarkan Metro TV. Karena mengusung jurnalisme damai, mereka tidak siarkan keseluruhan video. Tidak disiarkan bagian dimana Ahmadiyah ini dibunuh.

Saya dapat videonya dan mengung-gahnya ke Youtube.

Apa tujuanya mengunggah video terse-but?

Agar masyarakat tahu kekerasan yang dialami Ahmadiyah. Selama ini, Ahmadi-yah dilihat sebagai Islam sesat menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak per-nah ada media yang menyiarkan dari sudut pandang Ahmadiyah sebagai kor-ban. Harapannya masyarakat dapat meli-hat dari sudut pandang berbeda.

Seperti apa peran pemerintah dalam menegakkan pelanggaran agama? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya bicara teori, tak ada tindakan. Tak

hanya itu, pemerintah lebih sering men-jadi pelaku, secara aktif maupun pasif. SBY gemar gunakan kata “kerukunan agama” bukan “kebebasan beragama”. Dalam pasal 156a di Kitab Undang-undang Hu-kum Pidana (KUHP) dikatakan setiap orang dilarang lakukan dakwah Ahmadi-yah. Ini membuka jalan untuk membubar-kan masjid serta melakukan kerusuhan terhadap warga Ahmadiyah.

Apa dampak dari peran pemerintah yang lama dalam penanganan kasus pelang-garan agama?

Jumlah kasus pelanggaran agama jadi meningkat. Semakin tinggi jumlahnya di masa pemerintahan SBY. Seperti dilansir Setara Institute, tahun 2007 ada 91 kasus, 2008 ada 257 kasus, 2010 ada 216 kasus, 2011 ada 242 kasus, 2012 ada 264 kasus, 2013 ada 220 kasus. Kesemuanya data pelanggaran kebebasan beragama di In-donesia. Di akhir jabatannya, SBY mening-galkan warisan berupa intoleransi dan ke-kerasan atas nama agama bagi Indonesia.

Bagaimana Indonesia terkait penanga-nan kasus HAM di mata internasional?

Saya tidak bisa bilang baik atau bu-ruk. Sejauh ini Indonesia masuk tahap evaluasi. Kita juga bisa sama-sama me-lihat bagaimana penanganan HAM oleh pemerintah di Indonesia.

Negara mana dengan pelanggaran HAM paling sedikit?

Tidak ada persis yang paling baik. Tapi negara-negara di daerah Skandinavia ter-masuk negara dengan kasus pelanggaran HAM sedikit. Ini disebabkan negaranya kecil, makmur, dan tak banyak agama ser-ta suku. Namun, yang penting adalah ilmu pengetahuan yang dapat meminimalisir kasus pelanggaran HAM.

Sekarang tidak semua orang (terlebih pemuda) yang menyadari pelanggaran HAM yang terjadi. Apa alasannya?

Karena tidak mengerti apa saja yang termasuk ke dalam pelanggaran HAM. Ke-

banyakan tidak mau membaca pemikiran. HAM tidak dijadikan suatu nilai dasar. Ha-rusnya kan ditanamkan pemikiran kalau kita melanggar HAM berarti kita menya-kiti orang lain.

Adakah peran mahasiswa untuk mengu-rangi pelanggaran HAM di Indonesia?

Yang penting adalah belajar. Harus tahu hak sebagai warga negara. Perba-nyak informasi dan diskusi.

Dengan ilmu pengetahuan maka kita bisa melawan para pelanggar HAM.

Apa solusi terbaik untuk masyarakat agar menghindari terjadinya pelangga-ran HAM?

Belajar menghargai orang lain. Indo-nesia punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meski beda-be

da tetap satu jua. Jika kita bekerja sama maka masalah

mayo-ritas dan minoritas dapat teratasi. Saya rasa penting jika pelajaran HAM

dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Pendidikan tentang HAM perlu disuguh-kan sehingga mengurangi dampak ter-jadinya pelanggaran HAM.

TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Jember, Jawa Timur, 7 Agustus 1965, PENDIDIKAN: S-1 Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (1984-1991), Short Course School for International Training di Amerika Serikat (1995), The Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard (1999-2000), KARIER: Wartawan di The Jakarta Post (1993-1994), Koresponden di The Nation Bangkok (1995-2001), Direktur Eksekutif di Pantau Foundation (2000-2008), Peneliti asal Indonesia di Human Rights Watch (2008-sekarang)

Page 38: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

38 | MAJALAH SUARA USU

APRESIASI:

KALA PeRADABAN MeNgANcAM

Banyak linguis asing tertarik menelitinya karena ia begitu unik. Bentuk, bunyi, bahkan asal mulanya ada menjadi daya tarik. Sayang, meski belum sekarat, eksistensinya mulai digerus peradaban.

Teks dan Foto: Aulia Adam

Pantai Ya’ahowu terletak di belakang Komando Dis-trik Militer Letkol Inf Asanuddin Waruwu.

Page 39: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 39

APRESIASI:dam.

Alkitab ini dipakai secara mas-sal oleh masyarakat Nias penganut Protestan kini. Dalam Alkitab tersebut, hal dasar tentang enam huruf vokal itu memang tertera jelas. Namun, ö masih ditulis dengan lambang õ di Alkitab aslinya. Sebab keterbatasan mesin tik yang dibawa misionaris Jerman seperti Sundermann.

Dahulu, untuk membuat õ begini, seseorang akan mengetik o terlebih dulu baru meletakkan tanda tilda (~) di atasnya.

Kehadiran huruf vokal keenam ini tidak sembarang. Ia diciptakan un-tuk permudah masyarakat aksarakan bahasa mereka. Jika ia abstain, maka dampaknya fatal. Sebab telah banyak kata yang harus dijelaskan oleh satu huruf ini. Dan ia tidak bisa disubstitusi-kan dengan huruf vokal lainnya.

Coba saja! Misalnya, tölö-tölö yang berarti kerongkongan dituliskan tolo-tolo saja. Maka artinya telah berubah. Sebab tolo-tolo berarti pertolongan.

Keunikan ini membawa banyak li- nguis asing melirik Li Niha sebagai ob-jek penelitian. Sebut saja: Peter Suzuki, Prof James Fox, Lea Brown.

Namun ada satu linguis pribumi

“Orang Nias, ya, Bang? Asli Nias?” kata saya.

“Iya, Dek. Tapi sudah lama meran-tau di sini,” katanya.

Lantas saya teringat sesuatu yang diucapkan Pastor Johannes. Katanya, yang menyebabkan Li Niha—bahasa Nias—jadi terancam punah adalah orang-orang Nias sendiri. Mereka yang merantau dan lupa pada Bahasa Ibunya.

***Pribumi di Nias menyebutnya Li

Niha. Li, berarti bahasa dan Niha be-rarti Nias. Li Niha digolongkan sebagai salah satu bahasa dari kawasan Austro-nesia-bagian Asia Tenggara, Asia Pasifik hingga Australia.

Ia satu-satunya di dunia, bahasa yang seluruh kata diakhiri dengan huruf vokal, a, i, u, e, o. Dan ö, karena dalam bahasa ini terdapat enam huruf vokal.

Ö di sini dibaca seperti ‘e’ dalam ke-marin, ketemu, atau senja. Dan e selalu dibaca seperti ‘e’ dalam perak, sepak, atau metafora.

H Sundermann-lah yang pertama kali menuangkan Li Niha ke dalam literatur. Misinonaris Jerman ini mem-buat Alkitab Perjanjian Baru pertama dengan Li Niha pada 1911 di Amster-

Rambut saya sedang dicukur Beni Harefa, pemilik Mitra Pangkas, barber shop di Bin-jai yang baru beberapa kali saya langgani, kala sebuah

perbincangan menarik melibatkan kami.

Meski malam itu kali ketiga saya berkunjung ke sana, tapi baru kali itu rambut saya ditangani langsung oleh Beni. Awalnya, perbincangan kami hanyalah basa-basi tentang usia dan di mana saya kuliah. Tapi di tengah perbincangan, datang seorang pria tua. Kulitnya putih, matanya tidak lebar, bisa dibilang sipit. Ia menyapa Beni dengan bahasa yang familiar di telinga saya. Bukan bahasa Indonesia. Ia me-makai Li Niha.

“Ya’ahowu!” kata si pria tua, mung-kin usianya sekitar 50-an.

“Ya’ahowu, Bapa,” Beni memba-las sambil senyum. Ternyata mereka kerabat.

Saya langsung menyadari sesuatu. Perawakan Beni memang tak asing bagi saya. Kulitnya putih, matanya sipit, tapi tak sesipit si pria tua. Perawakan yang mirip dengan masyarakat Asia Timur. Khas. Mirip pula dengan penduduk Nias Selatan.

Page 40: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

40 | MAJALAH SUARA USU

APRESIASI:yang cukup fokus membahas Li Niha sebagai kajiannya. Wa’özisökhi Na- zara namanya. Ia berskripsi tentang Li Niha di 1990-an, dan kembali meng- angkat Li Niha lagi di tesisnya pada 2001.

Ia kupas fungsi gramatikal subjek dan objek dalam Li Niha. Penelitian lingustik yang sederhana. Namun, Wa’özisökhi tak punya banyak refe- rensi tentang bahasa Nias. Ia kesulitan mencari sumber referensi. Wa’özisökhi sudah datangi berbagai instansi yang kemungkinan besar mencatat keha-diran bahasa Nias dalam koleksinya. Seperti perpustakaan daerah Sumatera Utara, tapi tetap saja tak menemukan-nya. Ia frustrasi. Sebab sudah banyak instansi yang ia datangi tapi bilang tidak tahu ataupun tidak punya laporan yang ia cari.

Namun, dasarnya nasib untung, pencarian Wa’özisökhi mengarah pada Pastor Johannes M Hämmerle. Misionaris Katolik asal Hausach, Jer-man, yang sudah menetap di Nias sejak 1971.

Nama ini bukan nama asing. Banyak literatur tentang Nias me-

nyebutkan nama Pastor Johannes. Kebanyakan orang Nias juga langsung mengenal pastor satu ini sebagai pendiri Museum Pusaka Nias di Gu-nungsitoli sana.

Wa’özisökhi langsung berkemas pulang kampung. Ia segera bertemu Pastor Johannes yang sehari-harinya berkantor di Museum Pusaka Nias. Niatnya untuk mencari laporan pene-litian tentang bahasa Nias tak salah arah. Di museum ini, ada sebuah per-pustakaan yang menghimpun begitu banyak catatan tentang Nias. Tentu saja semuanya himpunan Pastor Johannes.

Pastor Johannes senang dengan ke-datangan peneliti seperti Wa’özisökhi. Katanya, Wa’özisökhi bukan orang per-tama yang datang ke sana untuk cari sumber referensi. Ada banyak peneliti lainnya. “Salah satunya Lea Brown,” ujar Pastor Johannes.

Sebelum Wa’özisökhi datang, seorang linguis wanita dari Australia juga singgah di museum. Ia sengaja datang untuk menemui Pastor Jo-hannes. Dialah si Lea Brown yang bekerja di Max Planck Institute di Leipzig, Jerman. Ia datang untuk

disertasi doktoralnya. Lea mengupas tata Bahasa Nias, namun lebih fokus di daerah Nias Selatan. Hasil diserta-sinya kelak ia bukukan dengan tajuk The Austronesian Languages of Asia and Madagasgar di 2004. Sebuah buku yang mengupas beberapa bahasa Austronesia.

Pastor Johannes menyarankan Wa’özisökhi untuk mengontak Lea. Langsung saja Wa’özisökhi mengirim surel pada Lea. Sekitar sebulan kemu-dian, surel itu mendapat balasan. Lea mengirimkan beberapa catatan misio- naris Jerman tentang sejarah Nias.

Hubungannya dengan Lea jadi lebih akrab karena penelitian ini. Mereka berkomunikasi lewat surel, sesekali lewat telepon, dan beberapa kali akhirnya bertemu di Padang, tempat Wa’özisökhi menetap. Dari Lea, banyak informasi yang membantu penelitian Wa’özisökhi.

Meski asli lahir di Tanah Nias, pengetahuan Wa’özisökhi tentang tanah kelahirannya masih sedikit sekali. Makin lama meneliti, ia makin sadar akan hal itu. Sebabnya jelas. “Belajar bahasa suatu suku tentu saja tak bisa dilepas dari sejarahnya,” kata Wa’özisökhi.

Keunikan lain Li Niha ialah tiap katanya bermutasi hanya pada pangkal kata. Sehingga tidak akan mengubah ujung katanya. Misalnya, amagu—ayahku—yang berubah jadi namagu ketika bertemu dengan kata kerja atau verba.

Hal ini yang kemudian dikaji Wa’özisökhi. Ia berhasil menjelaskan proses morfofonemik—pengabungan morfem (bunyi)—dalam bahasa Nias. Sehingga dapat diketahui huruf mana saja yang berganti bunyi ketika terjadi mutasi.

“Saya sementara menyimpulkan wujud mutasi itu adalah perubahan (huruf–red) konsonan dari konsonan tidak bersuara menjadi konsonan ber-suara,” katanya.

Misalnya, dari konsonan tak bersuara: talu yang berarti pe-

Alkitab pertama sekaligus literatur pertama berbahasa Nias karya H. Sundermann

SUMBER ISTIMEWA

Page 41: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 41

APRESIASI:

rut—menjadi konsonan bersuara dalu. Akan tetapi, konsonan bersuara menunjukkan dua wujud mutasi. Ada yang berwujud zero (tanpa peruba-han). Misalnya, bunyi konsonan ‘n’ pada kata niha yang berarti orang, tidak berubah. Ada bunyi konsonan bersuara menjadi bunyi konsonan bersuara lain. Misalnya, bunyi konso-nan bersuara b pada kata bawi yang berarti babi menjadi bunyi konsonan bersuara β menjadi mbawi.

Wa’özisökhi juga bilang, urutan konstituen Li Niha berbeda dengan bahasa-bahasa lain di Sumatera dan sekitarnya. Jika umumnya berbentuk subjek+predikat+objek, maka Li Niha berbentuk predikat+objek+subjek.

“Misalnya, Ifazökhi nomo amagu,” kata Wa’özisökhi. Artinya ayahku mem-buat rumah.

Temuan Wa’özisökhi ini termasuk yang paling mutakhir, sebab tak ada linguis yang mengupas morfofonemik Li Niha sebelumnya.

“Semua ini berangkat dari rasa prihatin terhadap sedikitnya ono Niha

(orang Nias–red) yang mau mene- liti budaya mereka sendiri,” ungkap Wa’özisökhi. “Ironi sekali melihat yang meneliti Li Niha justru orang asing seperti Kaka Lea,” tambahnya.

Saat ini, hanya sekitar 700 ribu orang aktif yang menggunakan Li Niha. Angka ini termasuk penyebab Li Niha masuk bahasa yang terancam eksistensinya. “Sebab lainnya adalah kata-kata serapan yang mulai dicam-pur-campurkan dengan Li Niha asli,” kata Wa’özisökhi.

Tak hanya Wa’özisökhi yang melihat kondisi ini. Edward Halawa, seorang perantau berdarah Nias yang kini menetap di Australia juga berpandangan senada. Ia menyalurkan pikiran-pikiran-nya tersebut melalui tulisan di niasonline.net, situs budaya dan bahasa Nias. Ia pemimpin redaksi di sana.

Edward sangat menyadari kata-kata dalam Li Niha yang biasa berakhiran huruf vokal mulai diisi dengan kata-kata serapan dari bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya, yang justru tak berakhiran vokal.

Hal ini yang saya alami langsung di Nias. Kata-kata seperti warnet, pe-sawat, touring, surfing masih sering terselip di percakapan-percakapan ono Niha, di dalam angkot, warung, pantai atau pelabuhan.

Menurut Edward, selain karena kemajuan teknologi, penyebab lain ialah tak banyak ahli bahasa yang di-miliki Nias. Sehingga tak banyak orang yang sadar kalau tak hanya keunikan Li Niha saja yang terancam, namun eksistensinya juga.

“Anak-anak muda Nias tidak punya pedoman, yang mana yang harus diikuti,” tulis Edward pada salah satu artikelnya yang berjudul Masalah Keba-hasaan Nias.

Saya jadi teringat dengan Beni yang sudah lama merantau. Ia memang tak lupa bahasa ibunya. Tapi di malam itu, saat saya menguping perbincangannya dengan pria tua, kerabatnya, memang banyak kata serapan tak berakhiran vokal yang terselip.

Lantas saya termangu. Inikah mula pudarnya keunikan Li Niha?

Pakaian adat ono niha, sebutan orang Nias

Kumpulan batu megalitik yang dikumpulkan Museum Pusaka Nias

Page 42: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

42 | MAJALAH SUARA USU

APRESIASI:Pastor Johannes

Penyambung Lidah Sejarah

sehari-hari. Bahkan, ada pemetaan penggunaan

bahasa sendiri dari satu desa ke desa lainnya. Misalnya kata cawat. Dalam Li Niha di Gunungsitoli, cawat disebut saombö. Di daerah Gömö, cawat disebut fambusa.

Hal ini tercantum pula di penelitian Lea Brown, linguis dari Max Planck Insti-tute di Leipzig, Jerman. Judulnya A Gram-mar of Nias. Namun, lebih spesifik, Lea membaginya jadi tiga bagian. Selain utara dan selatan, ia juga membagi bagian tengah Nias. Lea, ialah salah satu linguis yang bertemu Pastor Johannes sebelum memulai penelitiannya.

Ia tak heran, mengapa para linguis berdatangan mencarinya ke Museum. Ia sadar kalau di Nias sendiri tak banyak catatan ataupun jurnal yang merekam perkembangan budaya dan bahasa asli Nias. Hal ini pula yang membulatkan niatnya membangun Museum.

Ia sebenarnya punya beberapa teman yang juga paham perkemba-ngan budaya Nias dan Li Niha. Namun, mereka tak mau mencatatnya untuk diabadikan.“Untuk apa ditulis, saya ingat semuanya di sini, kok,” Pastor Johannes menirukan ucapan kawan-kawannya sambil menunjuk kepalanya.

Hal ini pula yang menurutnya menjadi salah satu sebab tergerusnya Li Niha asli. “Kebanyakan ono niha (orang Nias –red) mengetahui kebudayaan mereka sendiri dari catatan-catatan orang asing. Bukan dari leluhur mereka sendiri,” katanya.

Oleh hasil jerih payahnya menjadi pe-nyambung lidah sejarah budaya dan ba-hasa Nias, harian The Jakarta Post pernah menyebut Pastor Johannes sebagai The Keeper of Nias Forgotten Culture, dalam sebuah artikel berjudul sama di 2004.

Teks: Ferdiansyah dan Aulia Adam

Sebelum akhirnya memutus-kan ke Nias, kami bertemu dengan puluhan artikel yang menyebutkan namanya. Dalam artikel-artikel tersebut, ia hadir

sebagai tokoh penting yang tampaknya paling tahu tentang sejarah budaya dan bahasa Nias. Banyak linguis menemuinya lebih dulu untuk menabung bahan pene-litian, atau bahkan menjadikan ia sebagai sumber utama.

Penasaran sebabnya, kami memburu sosoknya hingga ke Gunungsitoli, Nias.

Tempat pertama yang kami tuju adalah Museum Pusaka Nias. Tempat ia berkantor sehari-harinya. Museum yang menyimpan benda-benda sejarah hingga pra-sejarah Nias: baju adat, bebatuan zaman megalitikum, beberapa model rumah adat, hingga pohon-pohon langka yang dulunya rimbun di Nias. Semuanya jerih payah Pastor Johannes dalam me- rekam jejak kebudayaan Nias.

Tak hanya peninggalan sejarah ber-wujud yang disimpan. Di sana, terdapat pula sebuah perpustakaan yang menyim-pan banyak literatur tentang budaya dan bahasa Nias.

Melihat kerapian Museum itu diurus, penasaran kami sedikit terjawab. Tak he- ran jika para peneliti menyinggahi tempat ini demi berburu bahan penelitian.

Di tempat ini pula kami disambut sang Pastor. Ia pria baya, tinggi, putih. Menggunakan lensa persegi di atas hidung mancung. Matanya hijau hazel, khas mata orang Benua Eropa. Dengan aksen aneh—campuran dialek Nias dan Jerman—ia bercerita dalam bahasa Indo-nesia pada kami.

***Ia tiba di Gunungsitoli 21 Juli 1971.

Beberapa bulan sebelumnya tawaran

gunakan Li Niha. Tujuh tahun menetap di Gunungsitoli, ia kemudian bergerak dari satu kampung ke kampung yang lain. Kadang ia menetap di satu kam-pung selama empat bulan kadang dua bulan atau hanya tiga minggu saja. Total empat tahun keluar masuk kampung, ia akhirnya fasih ber-Li-Niha.

Dari pengalaman berkeliling Nias ini, ia jadi paham kalau Li Niha yang diguna- kan di Nias ternyata tak seratus persen seragam. Dialek dan tekanan nada pengucapan Li Niha antara masyara-kat di Nias Utara dan Selatan berbeda. Johannes sendiri menganggap masyara-kat di Nias Utara cenderung mengalami ketergerusan dengan banyaknya penga-ruh bahasa Indonesia dalam penggunaan

Keunikan Li Niha jadi daya tarik tersendiri bagi para linguis. Mereka butuh penyambung lidah antara sejarah dan kebudayaan leluhur orang Nias sendiri. Dan di sanalah sang pastor hadir.

datang dari Konsulat Jenderal Jerman di Medan untuk penempatan misio-naris di Nias dan Tapanuli. Kebetulan Johannes dan temannya kala itu sedang di Medan. Ia pun mendaftar. Diterima untuk ditempatkan di Nias, menyebarkan agama Katolik di sana. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di sana.

Tiba di Nias, Johannes yang sudah lumayan bisa berbahasa Indonesia dike-nalkan dengan Li Niha. Tugasnya berkeli-ling Nias membuat ia harus beradaptasi

FERDIANSYAH | SUARA USU

Page 43: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 44: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

44 | MAJALAH SUARA USU

ESAI FOTO:

Kampung Nelayan BelawanDulu-Sekarang Masih Sama

Teks: Wenty Tambunan

Jejeran rumah panggung yang terbuat dari papan itu tampak lapuk dan kumuh. Rumah-rumah pa-

pan itu ada di Kampung Nelayan Belawan.

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Berdua Berkelana

Page 45: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 45

ESAI FOTO:

Keberadaannya tak jauh dari pusat Kota Medan. Hanya sekitar dua jam bila berkendara dengan motor. Tujuan kami siang itu adalah

Kampung Nelayan Belawan.Setibanya di sana, kami harus naik

boat—sebutan masyarakat sekitar untuk perahu kecil dari kayu yang muat untuk sepuluh penumpang—untuk sampai di perkampungan. Memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Harganya juga relatif terjangkau, hanya Rp 3 ribu.

Jam tangan kami masih menunjuk-kan pukul sepuluh pagi. Tak terlalu banyak kegiatan yang tampak dari atas boat; yang terlihat jelas justru deretan rumah kayu yang berdiri di atas laut. Puluhan rumah yang disangga kayu-kayu jati kurus.

Di antara rumah-rumah itu, bebe- rapa warganya melakukan aktivitas unik yang jarang kita lihat di perkotaan. Ada yang membenahi perlengkapan melaut, menaik-turunkan barang-ba-rang penumpang dari tumpangan boat, pulang belanja dari kota membeli kebu-tuhan makan, hingga anak-anak yang saling kejar-kejaran diiringi dengan tawa di wajah mereka.

Kampung inilah yang disebut Kam-pung Nelayan. Letaknya di Kecamatan Medan Belawan, Kelurahan Belawan 1, Lingkungan 12, Medan. Luasnya sepuluh hektare. Di sana hidup 525 kepala keluarga, sekitar 2300-an jiwa penduduk. Mayoritas etnis penduduk kampung ini adalah Melayu, Ban-jar, Jawa, Minang, Aceh, dan Batak Mandailing. Mayoritas penduduknya beragama Islam.

Kondisi di Kampung Nelayan ini se-benarnya cukup memprihatinkan. Ba- nyak rumah berdiri dari papan buram dan lapuk, air lautnya penuh sampah, warnanya hitam, keruh bercampur oli kapal. Ada bangkai ikan pula. Baunya menyengat sampai ke mana-mana.

Bila musim hujan tiba, papan kayu akan mudah busuk dan perlu diganti dengan yang baru. Begitu pula dengan sampan-sampan nelayan. Harus segera ditempeli kayu baru agar tidak bocor.

Lingkungan ini kumuh serta di bawah rata-rata. Masih sangat jauh dari kata layak untuk ditinggali. Salah satunya tak ada jaminan kesehatan.

Suhermanto (43) adalah salah satu penduduknya. Ia punya dua anak dan bekerja menjajakan tumpangan boat milik temannya. Kata Suhermanto, “kerap kali penyakit gatal-gatal menye- rang tubuh kami di sini.”

Tapi penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga ia tak berharap lebih dengan kondisi air di sekitar rumahnya. Rata-rata pendapatan warga hanya berkisar Rp 700 ribu sampai Rp 1,2 juta per bulan.

Kepala Lingkungan Kampung Nelayan Saparuddin (55) menjelaskan, kalau menangkap ikan dan menjajakan tumpangan boat merupakan mata pen-carian utama di kampung ini. Tapi, su-dah banyak pula warga sana yang lebih memilih bekerja di kota sebagai satpam perusahaan, penjual kain bekas, hingga

tukang fotokopi. Dan kebanyakan dari warga tersebut adalah wanita. Sebab para prianya kebanyakan pergi melaut.

Saparuddin bilang, kampung ini dijadikan perlintasan kapal di tahun 60-an. Namun, hanya sebagai tempat persinggahan. Rumah-rumah di sana didirikan dari kayu-kayu jati oleh mere- ka yang singgah. Karena hanya tempat persinggahan, maka rumah yang ada pun hanya seadanya. “Sekitar tahun 86, baru orang-orang serius menetap di sini. Dan hingga sekarang semakin bertambah penduduk yang menetap di sini,” kata Saparuddin.

Jika diperhatikan, kampung ini se-benarnya tak jauh berbeda dari kampung pada umumnya. Warung makan, kedai kopi, hingga warung yang menjual sa yuran dan keperluan sehari-hari pun ada. Yang jadi beda hanya kita tak akan bisa menemukan tanah beraspal di sana. Hal ini digantikan permukaan air laut.

Sebenarnya di sana terdapat juga beberapa rumah yang menggunakan

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Kami Hidup Di sini, Layakkah?

Page 46: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

46 | MAJALAH SUARA USU

ESAI FOTO:

sumur bor. Sumur yang didapat dari sumbangan beberapa perusahaan negara. Tapi tetap saja bila musim hujan, aliran listrik akan terganggu di-karenakan angin kencang dan goyangan pepohonan.

Selain perkara kebersihan air yang menyangkut kesehatan, perkara pendi-dikan juga menjadi salah satu masalah

yang mereka hadapi. Sebagian besar anak-anak di kampung ini, kata Sapa-ruddin, hanya berpendidikan SD hingga SMP saja. Selanjutnya, mereka akan menghabiskan waktu untuk membantu orang tua mencari uang tambahan.

Tak jarang kita melihat anak berusia di bawah sepuluh tahun rela menukar waktu bermainnya kala siang demi

mengupas kulit udang, atau menyiangi ikan-ikan tangkapan sang ayah.

Namun, meski dipenuhi dengan hidup serba pas-pasan. Mereka tetap menjalankan hidup layaknya rakyat biasa, sekalipun dengan segala bentuk kesederhanaan yang ada. Bersyukur, keceriaan, dan tawa mewarnai hidup mereka.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Puluhan Penumpang Boat dan Sepeda Motor Melewati Arus Laut

Siapkah Boat Pergi Melaut?

Menatap Pergi Ditinggal Sang Anak Melaut

Memperbaiki Bak Kapal

Page 47: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 47

ESAI FOTO:

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Tinggalkan Rumah dan Pergi ke Laut

Page 48: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

48 | MAJALAH SUARA USU

ESAI FOTO:

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Bermain Bersama di Atas Kapal

Siap Menepi di Sisi Jembatan Ikan-ikan Membawa Keceriaan

Page 49: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU // 49

Page 50: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

50 | MAJALAH SUARA USU

JELAJAH:

Pantai Lagundri dan SorakeBak Mutiara dalam Lumpur

Teks: Gio Ovanny Pratama dan Renti Rosmalis

GIO OVANNY PRATAMA | SUARA USU

Seorang peselancar cilik beradu dengan ombak Pantai Sorake

Page 51: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 51

T anpa kami sadari bensin salah satu sepeda motor yang kami sewa hampir habis setelah menempuh empat jam perjalanan.

Stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) telah kami lewati beberapa kilometer lalu. Terpaksa kami mengisi di salah satu warung yang menjual bensin eceran di pinggir jalan.

Setelah mengisi bensin kami kembali lanjutkan perjalanan. Mencari-cari petunjuk jalan ke arah Pantai Lagundri. Terakhir kali berhenti di Teluk Dalam, Nias Selatan, kami disarankan melanjutkan perjalanan ke arah selatan selama dua jam. “Kalian akan lewat Lagundri dulu baru Sorake,” kata seseorang yang kami tanyai arah jalan. Maklum saja, ini kali pertama menginjak tanah Nias.

Tak dinyana, tak sampai sepuluh menit dari warung, kami malah men-emukan papan petunjuk jalan menuju

Pantai Sorake, salah satu tujuan kami selain Pantai Lagundri.

Kami ikuti jalan sesuai petunjuk. Ada simpang empat, dan Sorake belok ke kiri. Namun kami tak menemui tanda-tanda telah melalui Pantai Lagundri. Sebab, di kiri jalan dari Gungungsitoli hingga ke Nias Selatan dihiasi dengan pemandangan serupa berupa pantai.

Kami tanya pada seorang pen-duduk di Sorake, dia bilang persis seperti orang di Teluk Dalam: kami kelewatan. Jadi kami kembali ke wa-rung tempat mengisi bensin. Bertanya pada sang pemilik warung.

“Numpang tanya, di mana Pantai Lagundri, ya, Bu?”

“Itu di depan,” ia menunjuk laut di seberang rumahnya.

Pantas saja kami keliru. Tak ada papan penunjuk jalan ataupun gapura yang menandakan keberadaan pantai tersebut. Ditambah lagi keadaan

Kegiatan pariwisata di sini sekarang tak lagi hidup, sudah berubah. Bisa di-katakan hidup segan mati tak mau - Akila Wau (Ketua Komu-nitas Nias Surfing Club)

Biru air di Pantai Lagundri

Pemandangan di Pantai Lagundri

AULIA ADAM | SUARA USU

AULIA ADAM | SUARA USU

JELAJAH:

Page 52: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

52 | MAJALAH SUARA USU

JELAJAH:pantai yang sepi, tak ada satu pun pe ngunjung.

Lautnya menjorok ke dalam mem-bentuk teluk kecil lengkap dengan pasir putih. Airnya biru muda, menyatu dengan langit. Gemuruh ombaknya ter-dengar jelas. Syuurr... syuurr... si ombak membantingkan diri ke mulut pantai.

Yoreanis Dakhi nama si ibu pemilik warung. Ia tinggal di daerah ini sejak 90-an, saat itu ia masih belasan tahun. Dulu Yoreanis dan orang tuanya punya pengi-napan dan restoran. Selain keluarganya, keluarga lain juga membuka usaha sama. Semuanya bergerak di sektor pariwisata. Pengunjung saat itu tak usahlah ditanya, ramainya minta ampun.

“Apa pun yang saya jual, langsung habis dalam sehari,” katanya.

Tak hanya penginapan dan restoran saja yang ramai, ada diskotek dan penye-dia jasa travel internasional. Bahkan ka-pal penyeberangan Sibolga-Teluk Dalam dan sebaliknya berlayar tiap malam.

“Dulu cantik, lengkap fasilitasnya, macem hotel di Putri Hijau (kawasan di Medan –red) itu,” katanya.

Kini tak ada lagi kapal penyeberangan Sibolga-Teluk Dalam, ataupun hotel bin-tang tiga. Jangan tanya apakah diskotek masih ada, rumah makan skala kedai kopi pun tak kelihatan. Hanya ada sisa rerun-tuhan. Sepertinya bekas penginapan, atau mungkin rumah makan. Tak heran juga kenapa pantai ini sepi. Sejauh mata memandang hanya ada pasir dan air laut.

Ini semua akibat gempa dan tsunami di Aceh 2004 silam. Keduanya sukses memporak-porandakan kehidupan pari-wisata di pantai ini. Terpuruknya geliat pariwisata di sini berakibat pada ekonomi masyarakat yang memang bergantung pada pariwisata.

Pemerintah Daerah (Pemda) Nias Se-latan tak perbaiki semua fasilitas, seakan dibiarkan begitu saja. Penginapan yang ada hanya sekelas losmen, itu pun di Pantai Sorake sana. Sekitar sepuluh me-nit dari Lagundri bila berkendara dengan sepeda motor. Biasanya para pengunjung menginap di penginapan yang ada di sepanjang Pantai Sorake.

Keadaan diperparah dengan trans-portasi yang sulit. Tak ada bus khusus dari Gunungsitoli ke Teluk Dalam untuk mencapai pantai ini. Alhasil, turis yang ingin berkunjung harus melewati jalan darat untuk sampai ke Teluk Dalam.

Kami teringat dengan awal perjalanan menuju ke sini. Kami sempat diperingati agar hati-hati selama di perjalanan oleh penduduk setempat. “Jika lewat dari jam empat sore lebih baik kalian menginap saja, tak aman jika masih mengendarai kendaraan jam segitu,” tegas ibu pemilik rumah yang kami tumpangi di Desa Muawӧ, Gunungsitoli.

Mereka bilang, tidak aman berken-dara ke arah Nias Selatan bila hari telah gelap. Sering terjadi perampokan di te-ngah jalan. Banyak motif yang dilancar-kan, mulai dari pura-pura minta tolong, hingga dengan sengaja memblokir jalan. Maka jika melewati jalan darat lebih baik sebelum pukul empat sore.

Namun, syukur saja selama empat jam perjalanan kami tempuh, tak ada hal-hal aneh yang terjadi. Justru para penduduk sangat ramah. Mereka terse-nyum saat disenyumi, dan menyahut ramah saat ditanyai.

Sebenarnya jalanan menuju Teluk Dalam bisa dibilang mulus, tak terlalu banyak jalan yang rusak ataupun berlu-bang, jembatan penghubung juga sudah dibangun hasil kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang. Walaupun begitu tetap saja belum ada kendaraan resmi yang bisa ditumpangi. Jika ingin ke Teluk Dalam harus sewa sebuah mobil, ongkosnya minimal Rp 60 ribu per kepala atau Rp 250 ribu untuk satu mobil.

Jalur ini juga yang biasa digunakan tu-ris. Baik domestik maupun internasional.

Keadaan yang parah semakin parah dengan adanya penambang pasir liar di lingkungan pantai. Letaknya sekitar sepuluh meter dari bibir pantai, saat itu ada sekitar lima orang penambang pasir. Sebenarnya itu ilegal, tapi menambang adalah mata pencarian penduduk setem-pat, selain melaut dan bertani. Apalagi gairah pariwisata juga lesu.

“Masyarakat di sini pernah ngadu sama pemda, tapi tak ada respon,” tutur Yoreanis.

Kami coba dekati pantai. Jelas terlihat permukaan pantai menurun hingga dua meter. Hampir di semua pinggiran pantai dikeruk. Banyak pohon kelapa bertumbangan. Bonggolnya tercabut dari pasir. Pasir yang mereka gali milik salah seorang warga, sehingga pemda tak per-nah mengganggu. Sudah tiga tahun Nao Tano dan teman-temannya mengeruk pasir Lagundri untuk digunakan sebagai material bangunan. Dalam sehari mereka diupah Rp 60 ribu.

Setelah berbincang dengan Nao Tano, kami kembali menuju warung Yoreanis untuk pamit. Melanjutkan pelesir ke Pantai Sorake.

Sedikit berbeda, di Sorake pantainya tak bertemu dengan pasir, namun batu karang. Sepanjang dua ratus meter dari bibir pantai hanya ada batu karang mati. Karang yang sangat keras sehingga jika berjalan harus hati-hati, jangan mengin-jak bagian tajamnya. Lebih baik gunakan alas kaki.

Namun begitu pun Sorake tetap punya pasir. Sebelum kita menginjak batu

“Bule-bule itu cuma butuh pelayanan yang bagus. Kalau mereka senang dengan pelayanannya, duit pasti mu-lus” - LUKe cHRISTOPHeR

AULIA ADAM | SUARA USU

Page 53: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 53

JELAJAH:karang pasirlah yang ada. Di sini berderet penginapan.

Pantai Sorake tak sesepi Lagundri, gairah pariwisata lebih hidup di sini.

Ombak adalah salah satu alasan yang membuat pantai ini menarik. Puluhan tu-ris terlihat berkumpul di satu titik pantai yang miliki ombak terbesar, tentu saja, untuk berselancar. Tak henti-hentinya ombak besar berdatangan, namun pada April ini ombak hanya mencapai tinggi sekitar dua meter. Hal ini karena belum masa badai—istilah masyarakat sekitar, kala ombak tinggi—biasanya Juni hingga Agustus. Peselancar tadi baru beranjak pulang saat malam. Tak ada cahaya buatan untuk mendukung aktivitas ber-selancar. Gelap, kecuali cahaya temaram bulan.

Di sana kami bertemu dengan empat orang pemuda, mereka tengah berbin-

cang di pendopo kecil di pinggir Sorake. Pendopo yang dibuat sederhana dari semen, tiga tempat duduk mengelilingi sebuah meja persegi, beratapkan seng tipis, tanpa pencahayaan. Jadilah me- reka berbincang dengan pencahayaan seadanya yang datang dari penginapan sekitar. Ditemani suara gemuruh ombak dan angin malam Sorake.

Ialah anggota Nias Board Rider, ko-munitas anak pantai pencinta olahraga selancar. Salah satunya Justin Bulolo. Justin bilang komunitas ini hadir untuk balas dendam pada dinas pariwisata.

Ceritanya, 2011 silam, Dinas Pariwi-sata Nias Selatan mengadakan kejuaraan selancar internasional. Bekerja sama dengan komunitas selancar dari Bali. Semua persiapan sudah siap. Peserta, wisatawan, dan jurnalis sudah memesan tempat penginapan.

“Namun tiba-tiba seminggu jelang hari H, kejuaraan dibatalkan. Alasannya tidak ada dana, padahal kami tahu da- nanya ada,” cerita Justin.

Sejak itu reputasi Nias jadi buruk. Berdirinya Nias Board Rider untuk menunjukkan mereka bisa mengemba-likan citra pantai ini jadi baik lagi. Justin terlihat yakin dengan ucapannya.

“Apa benar ombak di sini nomor dua di dunia?” kami bertanya.

“Kalau dari segi keindahan pantai, ombak di sini jelas nomor dua,” ja-wabnya. “Air di sini tak terlalu hangat sehingga nyaman kalau pengin selancar, perairan di sini juga dalam sehingga aman kalau misalnya jatuh,” tambahnya.

Akila Wau, Ketua Nias Surfing Club—komunitas pencinta selancar serupa, sependapat dengan Justin. Ia kami temui di keesokannya, menjelaskan ombak di

GIO OVANNY PRATAMA | SUARA USU

Kerangka penanda kepemilikan pasir di Pantai Lagundri

Page 54: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

54 | MAJALAH SUARA USU

JELAJAH:

AULIA ADAM | SUARA USU

Sorake tak berbahaya, ketika badai pun tetap bisa berselancar dengan aman karena jarak ombak dengan karang jauh. “Makanya ombak di sini terbaik kedua setelah Hawaii,” ungkapnya.

“Kalau lautnya surut bagaimana?”“Tak masalah, laut surut masih bisa

berselancar. Di tempat lain kalau surut harus tunggu pasang dulu, di sini bisa berselancar selama dua belas jam. Selain itu di Sorake tak ada pertukaran angin,” jelasnya.

Pertukaran angin akan berpengaruh pada ombak. Ombak jadi hilang, kadang melemah dan juga berpindah arah.

“Kalau dari segi urutan ombak terbe-sar palingan nomor enam atau tujuhlah,” tambah Justin.

Organisasi yang dipimpin Akila juga alami hal yang sama dengan organisasi Justin. Keduanya merasa kalau keindahan pantai ini tak sebanding dengan pengem-bangan pariwisata yang ada. Justin sendiri malah menyesalkan tidak adanya dukungan pemerintah terkait ini. Perha-tian pemerintah baru terasa akhir-akhir ini, itu pun bulan lalu berupa pemberian tong sampah dan pemasangan lampu jalan.

Menurut Justin pemda cenderung fokus pada pengembangan kebudayaan

Nias Selatan, seperti lompat batu dan rumah adat ketimbang objek wisata. Justin berharap bantuan pemda dalam penge-lolaan pariwisata di kedua pantai ini. Setida-knya bantu jaga kebersihan dan sediakan fasilitas. “Fasilitas yang ada punya masyara-kat setempatlah ini,” ungkap Justin.

Fabowosa Laia, Kepala Dinas (Kadis) Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Nias Selatan tak menampik banyak kekurang-an dalam pengembangan fasilitas dan promosi pariwisata.

Tak maksimalnya dukungan promosi dari pemda lantaran anggaran yang kurang. Wajar saja, mengingat pemba- ngunan pariwisata oleh Pemda Nias Selatan bukanlah menjadi fokus utama. Pertama pendidikan, kedua kesehatan, dan ketiga pengembangan sarana prasa-rana.

Meski begitu, pemerintah tetap akan dukung kegiatan yang diadakan oleh ko-munitas setempat. “Tapi enggak banyak dana yang dianggarkan,” kata Fabowosa.

Meskipun begitu Fabowosa memiliki kabar baik. Tahun 2015 nanti, pemda akan memfokuskan pembangunan dan pengembangan objek pariwisata. Kare-nanya berbagai perbaikan fasilitas meli-puti perbaikan akses jalan hingga fasilitas pendukung segera dianggarkan.

Fabowosa mulai mendesain model sarana dan prasarana pariwisata. Niatnya akan menggandeng Universitas Gajah Mada untuk bantu penyusunan rencana pembangunan pariwisata. Nantinya ren-cana ini berlangsung selama tiga hingga lima puluh tahun ke depan.

“Kita tinggal ajukan ke DPRD baru nanti,” kata Fabowosa.

Akila berharap semoga pemda tak main-main dengan rencana ini. Ia me-nyimpan harapan besar untuk kembali menggairahkan kehidupan pariwisata di kedua pantai ini.

Sama seperti Luke Christopher. Turis dari Australia yang pertama kali menge-nal Sorake dari majalah internasional, saat sekolah di kampung halamannya di Brisbane. Dan tak ragu menjadikan berse-lancar di Sorake suatu hari kelak sebagai sebuah mimpi.

Dan mimpinya terwujud. Ia telah menetap di Medan sejak sepuluh tahun. Dan pulang-pergi Nias-Medan-Australia jadi rutinitasnya selama dekade terakhir. Ia cukup mengenal Sorake, sebelum dan setelah tsunami.

Luke bercerita, Sorake memiliki ombak yang dicari-cari oleh peselancar dunia; ombak berupa terowongan. “Di sini tinggal tunggu saja, langsung dapat ombak bagus, kalau tempat lain sudah menunggu pun belum tentu dapat,” katanya.

Luke bilang tak hanya pemerintah yang harus peduli dengan pariwisata di sini. Masyarakat punya peran men-jaga kebersihan dan keindahan pantai. Seharusnya masyarakat bisa kembangkan pariwisata yang ada sebagai sumber penghasilan.

Ia bilang kalau masyarakat sekitar serius mengelola kampung halaman mereka ini, maka Sorake dan Lagundri bisa saja seterkenal Bali. “Bule-bule itu cuma butuh pelayanan yang bagus. Kalau mereka senang dengan pelayanannya, duit pasti mulus,” kata Luke dengan Ba-hasa Indonesia berdialek aneh; campuran Medan-Australia.

Bak mutiara dalam lumpur, Lagundri dan Sorake pun bisa bersinar kalau diasah dengan baik.

Aktivitas penambangan pasir di Pantai Lagundri

Page 55: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU // 55

Page 56: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

56 // MAJALAH SUARA USU

Page 57: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 58: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

58 | MAJALAH SUARA USU

FIGUR:

Dokter, politikus, dan pendiri YPSIM seusai menjadi pembina upacara di YPSIM pada Hari Pendidikan Nasional.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Page 59: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 59

FIGUR:

Sofyan Tan

dari Aktivis sampai Politikus

Teks: Apriani Novitasari

Pengalaman pahit sebagai korban mendorongnya menjadi aktivis antidiskriminasi. Pembauran ialah misinya. Caranya, ia dirikan

sekolah. Menjelma politisi untuk permulus tujuannya.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Page 60: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

60 | MAJALAH SUARA USU

FIGUR:Enggak usahlah, ngapain capek-capek.”

Elinar bicara pada sua-minya, Sofyan Tan, saat tahu suaminya memutus-

kan untuk terjun ke dunia politik. Menu-rutnya, kegiatan Sofyan sudah cukup pa-dat, apalagi dengan didirikannya Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) oleh Sofyan.

Menanggapi pernyataan Elinar, So-fyan bilang, “bapak bukan milik keluarga saja, tapi juga milik masyarakat.”

Elinar luluh juga. Ia putuskan untuk mendukung Sofyan. Apalagi sudah lama Sofyan mengikuti banyak organisasi. Lagi pula sebagai Dewan Pembina YPSIM So fyan tak terlalu banyak mengerjakan hal teknis, tinggal memantau saja.

Maret lalu Majalah Tempo sebut ia sebagai satu dari sebelas calon legislator yang layak dipilih di Indonesia. Dan dari kesebelas orang itu, ia salah satu dari dua orang yang berhasil masuk Senayan.

Sofyan berhasil jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2014-2018. Sebelum duduk di Senayan, ia orang lama di du-nia politik. Dimulai tahun 1989, Sofyan jadi Wakil Ketua DPD Generasi Muda Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong.

Kegiatan politik Sofyan pun terus ber-lanjut. Sofyan aktif di beberapa organisa-si masyarakat, salah satunya saja Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Hal itu pula yang membawa Sofyan menjadi anggota Dewan Penasehat DPD Golkar Tingkat II Medan periode 1993-1998.

Bahkan Sofyan sempat menjadi calon legislatif dari Partai Golongan Karya, wa-lau tak berhasil menjadi anggota dewan. Pengalaman Sofyan terjun di dunia politik cukup panjang. Ia pernah maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah secara independen, maju menjadi calon Gubernur Sumut 2003-2008, walaupun akhirnya ia urungkan.

Terjunnya Sofyan Tan ke dunia politik memang diawali dengan niat ingin mem-perluas jaringan sekolahnya, YPSIM.

Sekolah pembauran pertama di Me-dan.

***

Surat itu datang tiba-tiba. Sebanyak tiga lembar dan dikirim atas nama Lis-nawati, seorang remaja yang baru saja tamat dari SMA dan tinggal di Desa Kuta Tonggal, Kecamatan Naman Teran, Tanah Karo. Isinya luapan rasa kesal, gelisah, dan gundah perempuan desa.

Lisnawati menulis banyak hal. Kege-lisahannya karena harga pupuk dan BBM naik, jalan di desanya yang rusak sedang-kan pemerintah hanya diam, serta petani di Tanah Karo yang semakin sulit dari hari ke hari. Ada juga cerita tentang sekolah-nya yang memprihatinkan dan terkesan tak layak. Contohnya seperti laboratorium yang tak ada alatnya. Mereka hanya bela-jar teori, tak ada praktik.

Cerita itu membuat Sofyan Tan tersen-tuh . Oleh sebab itu, ia memutuskan lang-sung menemui Lisnawati melalui peran-tara sahabat. Ternyata Lisnawati lahir dari keluarga pas-pasan. Ayahnya, Jasman Ginting seorang petani.

Lisnawati adalah anak yang cerdas, ia diterima menjadi mahasiswa USU melalui jalur bebas tes. Namun tak disetujui orang tuanya karena tak sanggup membiayai Lisnawati. Itu membuatnya sedih, bah-kan ia mengancam tak akan menikah sampai ia meraih impiannya menjadi sarjana. Kemudian Lisnawati mem-baca buku Sofyan yang diberikan orang tuanya.

Sofyan terharu. Ia berjanji akan menanggung biaya kuliah mulai dari ako-modasi, transportasi serta uang kuliah Lis-nawati selama kuliah di Medan.

Sofyan memang punya jiwa sosial yang tinggi, bahkan menurut Finche, Ketua YP-SIM sekaligus sekretaris pribadinya, hal itu ia lihat saat pertama kali mereka terli-bat dalam visi membantu korban tsunami di Aceh. Saat itu Finche distribusi bantuan dari Cina yang disalurkan bosnya, sedang-kan Sofyan ikut membantu dari Yayasan Ekosistem Lestari yang dinaunginya.

Melalui orang-orang dekatnya, me-luncurlah cerita-cerita kebajikan Sofyan Tan. Finche mencontohkan Sofyan pernah membayar biaya persalinan istri tukang becak yang ditolak dari rumah sakit, ada pula wanita yang dianiaya namun tidak bisa keluar dari rumah sakit karena belum membayar biaya perobatan.

J Anto, penulis buku biografi Sofyan Tan berjudul Sofyan Tan Dokter Penakluk Badai juga mencicipi kebaikan Sofyan. Ta-hun 1997, tabungan J Anto hanya tersisa Rp 350 ribu. Padahal ia butuh biaya untuk istrinya melahirkan.

Saat itulah Sofyan seperti malaikat yang membantu biaya persalinan. Bukan hanya itu, empat tahun lalu saat ia ber-gabung menjadi tim media Sofyan Tan yang mencalonkan diri sebagai wali kota, mendadak J Anto mengalami stroke dan seluruh biaya ditanggung oleh Sofyan.

Elinar mendukung kegiatan Sofyan, karena ia sadar Sofyan tipikal orang yang gampang jenuh, sehingga harus punya banyak kegiatan di luar. Akibatnya Sofyan sibuk.

Beruntung, Sofyan cukup rutin meng-hubunginya apabila ada waktu. Makanya, Elinar merasa tak ada masalah.

Tepat 22 Agustus 1988 silam, YPSIM diresmikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara Soewono. Sebuah seko-lah pembauran yang cukup terkenal de-ngan program orang tua asuhnya. Finche bilang tercatat kurang lebih 2.500 anak

yang mengikuti program anak asuh ini. Bi-aya sepenuhnya ditanggung yayasan.

Menurut Sofyan, diskriminasi itu ter-jadi karena tidak adanya pembauran dan sifat saling menghargai. Padahal negara ini dibangun berlandaskan pancasila. “Itu namanya mengingkari sumpah pemuda,” tegas Sofyan.

Itu pulalah penyebab konflik-konflik yang terjadi di masyarakat. Semangat pejuang bangsa ini terutama Bung Karno diingkari. “Berarti pendidikan kita tidak mengarah ke pendidikan multikultural,” ujarnya.

Sekolah ini juga dibangun untuk ‘ba-las dendam’ dalam hal positif, contohnya dengan membantu masyarakat miskin. “Bukan kebencian dibalas kebencian, tapi disayang juga dengan dididik,” tambah-nya. Apa yang dialami Sofyan selama ini, ia jadikan guru yang paling berharga.

Sofyan kecil sering demam. Sejak saat itu Sofyan berpikir alangkah senang jika

“Bukan kebencian dibalas kebencian, tapi disayang juga dengan dididik,” - SOFYAN TAN

Page 61: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 61

FIGUR:

menyembuhkan penyakit sendiri. Lantas, ia ingin jadi dokter.

Beberapa kerabat meminta untuk mengurungkan niatnya. Meraka kira im-pian Sofyan terlalu muluk. Saat itu jarang warga Tionghoa Sunggal yang sekolah di Medan. Rata-rata dari mereka sudah pu-tus sekolah dari kecil.

Tapi semua omongan dan cibiran tak ditanggapi Sofyan. Tentu karena menjadi dokter adalah impiannya sejak kecil. Dulu, saat masih duduk di bangku SMP, Sofyan kerap kali melihat dokter yang melakukan pertolongan kepada orang sakit, ia pikir akan menyenangkan membuat orang lain bahagia dengan menolongnya.

Di 1977, Sofyan lulus dari SMA Su-tomo. Ia pun langsung mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran (FK) USU. Saat itu, hanya USU universitas negeri yang memi-liki FK di Medan. Dalam bayangannya, ia akan dianggap sebagai anak yang hebat bila berhasil masuk ke universitas negeri.

Sayangnya, Sofyan mendengar bahwa FK USU selalu menerima seratus orang mahasiswa baru, apalagi ada kebijakan

tak tertulis yang menyatakan bahwa ka-langan Tionghoa hanya dua persen yang diterima dari total keseluruhan. “Enggak tertulis tapi nyata, dan itu berlaku hampir di seluruh universitas negeri,” katanya.

Diskriminasi itu pula yang membuat Sofyan tak lulus. Padahal, nilai Sofyan cu-kup tinggi. Selain itu, ada pula semacam konvensi tidak tertulis, yaitu calon maha-siswa yang orangtuanya dokter, mem-peroleh prioritas lebih untuk diterima ku-liah dibandingkan calon mahasiswa yang orangtuanya bukan dokter.

Orangtua Sofyan hanya seorang tukang jahit yang tak pernah sekolah. Selain itu, Sofyan yang sebelumnya di-minta untuk menyetor uang Rp 4 juta sebagai syarat agar bisa lulus ujian tak memenuhinya. Tentu uang itu tergolong banyak untuk tahun 1977. Maka, Hisar, ayah Sofyan mengaku berat untuk mem-bayar uang itu, “Kamu mau saya mati cari uang 4 juta,” ujar Sofyan meniru omongan ayahnya kala itu.

Sofyan sempat terpukul dan terpuruk karena itu. Tak mau keluar dari kamar.

Ayahnya berusaha membujuknya untuk mau mendaftarkan ke Fakultas Ekonomi, namun Sofyan menolak. Bahkan Sofyan bilang kalau dia tidak masuk Fakultas Ke-dokteran, ia akan menjadi pelukis saja.

Tentu saja ayahnya marah besar. Men-jadi seniman jelas bukan profesi yang di-inginkan para orang tua, alasannya tentu tak ada jaminan kelak seorang seniman lukis bisa menghidupi diri dan keluar-ganya. Maka, ayah Sofyan pun luluh dan mengizinkannya untuk kuliah di FK. Jadi-lah Sofyan mendaftar ke Fakultas Kedok-teran Universitas Methodist Indonesia (UMI) Medan.

Tepat saat Sofyan duduk di dua se-mester akhir. Ayahnya mengembuskan napas terakhir karena mengidap penyakit jantung dan paru-paru. Sebenarnya, wak-tu itu dokter sudah dipanggil, namun tak kunjung datang. Saat itu Sofyan sangat sedih, kalau saja ambulans cepat datang, mungkin ayahnya masih bisa tertolong.

Namun, sejak saat itulah Sofyan betul-betul bertekad menjadi dokter yang baik dan berjiwa sosial. “Agar peristiwa yang

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Gedung sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Jalan Tengku Amir Hamzah, Gang Bakul, Medan Sunggal.

Finche, Ketua YPSIM sekaligus sekretaris pribadi Sofyan Tan

Page 62: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

62 | MAJALAH SUARA USU

FIGUR:diterima papa saya, tidak terjadi pada orang lain,” ungkap Sofyan.

Lagi-lagi diskriminasi ia terima. Setelah menyelesaikan gelar dokter besarnya, dan hanya tinggal mengikuti ujian negara di FK USU. Sofyan tak lulus ujian penyakit mata dengan dosen yang sama selama empat kali berturut-turut hanya karena ia orang Tionghoa.

Saat ujian kelima kalinya dan lang-sung berhadapan dengan Prof Helena selaku Dekan FK USU, Sofyan langsung dinyatakan lulus. Tentu itu sebagai bukti bahwa Sofyan bukan mahasiswa bodoh yang berkali-kali gagal dalam ujian. “Buk-tinya saya bisa langsung lulus dengan Prof Helena,” katanya.

***“Kalau mau jadi orang baik, jalannya

pasti banyak kerikil. Tidak ada jalan yang mulus,” demikianlah sepenggal kalimat yang dilontarkan Finche menanggapi difit-nahnya Sofyan beserta keluarga. Mereka dituduh berpindah-pindah agama.

Kala itu tahun 1995, Sofyan merasa terpanggil untuk membangun sebuah musala. Hal ini dilakukannya karena pri-hatin melihat siswa dan beberapa guru di sekolahnya yang salat di kantor guru yang sempit dan tak layak. Mulanya hanya ba-ngunan empat kali enam meter. Ternyata, banyak yang terbangun untuk membantu. “Tapi bantuannya enggak bentuk uang, tapi materil,” kata Sofyan.

Sayang, niat baik Sofyan tak disambut baik semua orang. Setelah mendirikan musala, ia dituduh masuk Islam, tak lama setelahnya ia pun membangun gereja dan vihara. Isu kembali muncul, ia difitnah pin-dah agama ke Kristen lalu kembali bertau-bat memeluk agama Buddha. Namun, hal demikian tak digubris Sofyan, “Kita adem-adem saja, karena tujuan kita untuk men-didik multikultural,” kata Sofyan.

Itu pulalah yang dikatakan Elinar. Ia hanya menanggap itu hal biasa, sekali-pun ia sempat dikabarkan menggunakan jilbab. “Kita cuma ketawa, kalau memang pindah agama kenapa sih,” celetuknya.

Elinar pikir itu hanya sikap beberapa orang yang ingin mencari-cari kekurangan Sofyan, namun tak ada sehingga mereka melontarkan hal seperti itu.

Bahkan menurut J Anto saat itu isu

pindah agama Sofyan sempat kencang terdengar, maklum saja masih ada orang-orang yang tidak terima Sofyan mendiri-kan sekolah, “Padahal dari dulu itu pak Sofyan agamanya Budha,” ujarnya.

***Pertama kali J Anto mengenal Sofyan

Tan melalui sebuah biografi singkat di harian waspada 1991 silam. Namun, se-cara fisik ia baru mengenal Sofyan tiga tahun sesudahnya saat ia mengangkat figur Sofyan dan yayasannya untuk di LSM tempatnya bekerja. Pemikiran-pemiki-rannya terhadap isu pembauran Sofyan membuat J Anto tertarik, sebab ia juga cukup peduli dan tertarik terhadap isu-isu pembauran tersebut.

Atas dasar itu pula yang mendorong J Anto untuk membukukan pemikiran-pe-mikaran itu dalam satu buku yang utuh. ”Jadi masyarakat lebih mengerti fraksi-fraksi pendidikan, lingkungan dan UKM yang coba ditanamkan Sofyan,” ungkap-nya. Penggarapan buku berjudul Sofyan Tan, Dokter Penakluk Badai dimulai tahun 2007 dan selesai di 2009.

J Anto mengatakan tak terlalu sulit un-tuk menuliskan biografinya, tentu karena sudah cukup lama mengenalnya, walau-pun pada akhirnya ia harus melakukan wawancara lagi secara formal dan men-dalam. “Wawancara di masa-masa seko-lahnya yang lebih intensif lagi, sekalian mengumpulkan data orang-orang yang pernah membesarkan namanya dan guru-gurunya,” ujarnya.

Seorang penulis yang memutuskan untuk menulis sebuah biografi seseorang, pasti akan mencari makna dari orang yang ia jadikan biorgafi, setidaknya itulah pandangan J Anto. Menurutnya, ada hal-hal yang harus masyarakat ketahui dari Sofyan Tan, yaitu semangat Sofyan dalam menghadapi pergolakan hidup yang menghampirinya, namun tak membuat Sofyan menyerah.

Kemudian, kepedulian Sofyan terha-dap masyarakat kecil melalui pendidikan, sehingga dapat menjadi tali silaturahmi. “Itu yang harus diketahui sebagai sumber rujukan dan referensi untuk orang lain. Realitas keberagaman itu sudah ada dari dulu dan itu nyata,” tegas J Anto.

DOKUMENTASI PRIBADI

Batu Nisan

Sofyan Tan dan keluarganya.

Page 63: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 64: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

64 | MAJALAH SUARA USU

COGITO:

Ditemani gorengan: tahu isi, pisang goreng, risoles, dan air putih galonan, me- reka berdebat mengisi diri, sem-bari memikirkan negeri

atau kampus sendiri. Pasang tampang ragu, atau kadang malah sinis. Pertanya-an demi pertanyaan dilontarkan, untuk memuaskan dahaga atas rasa ingin tahu.

Kadang, sampai larut menjemput. Pun saban malam dijalani. Begitulah gambaran singkat kerjaan aktivis pers mahasiswa. Hasil diskusi mereka dirajut dalam berita, yang tujuannya membe-rantas kebatilan di daerah sekitar, bahkan yang menggerogoti negara.

Tujuan mulia yang selalu jadi misi utama untuk diperjuangkan. Hal ini tetap sama, sejak konsep pers mahasiswa per-tama kali muncul di negeri ini, sekitar ta-hun 1920-an: mereka hendak berkabar, sekaligus membenarkan sesuatu yang salah jalannya; yang beda ialah musuh-nya.

Para aktivis pers mahasiswa pertama hadir dengan tantangan dari kolonialisme Belanda di 1924. Kemerdekaan jadi tu-juan–utama–bersama mereka. Melalui tulisan, perlawanan itu digencarkan. Me-reka antara lainnya Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Nazir Datoek Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan kawan lainnya.

Di era berikutnya, di zaman pendu-dukan Jepang, karena represi yang keras, praktis kiprah pers mahasiswa tak ter-dengar. Namun kala kemerdekaan Indo-nesia baru diproklamasikan, pemuda me-melopori terbitnya surat kabar pembawa suara rakyat.

Soeadi Tahsin misalnya. Ia pelajar Kenkoku Gakuin—bersama beberapa temannya—menerbitkan harian Berita

Indonesia secara ilegal, untuk melawan pemberitaan propaganda Jepang yang disiarkan lewat Berita Goenseikanbu. Dengan bantuan para pelajar, mahasiswa, dan pemuda lainnya, Berita Indonesia di-siarkan bukan cuma di Jakarta, tapi juga dibawa dengan kereta api dan alat ang-kutan lainnya ke pelosok-pelosok. Seperti dikisahkan dalam Garis Besar Perkemba-ngan Pers Mahasiswa Indonesia yang di-tulis Serikat Penerbit Surat Kabar. Musuh utama mereka masih represi terhadap Indonesia muda, oleh Jepang ataupun Belanda yang sukar menyerah.

Di era demokrasi terpimpin, perge-rakan pers mahasiswa yang makin bersatu dari seluruh pelosok negeri sepakat mem-erangi sistem demokrasi ini. Mereka yang paling aktif tergabung dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia atau IPMI, yang ter-bentuk Juli 1958 silam.

Sampai di rezim Orde Baru, pers ma-hasiswa langsung menemukan musuh bersama mereka ketika otoriternya Soe-harto mulai terasa di 1971. Saat orde itu mengontrol aktivitas mahasiswa dengan menerapkan sistem back to campus. Mu-suh itu tiada lain dan tiada bukan adalah Soeharto sendiri.

Maka, timbul pertanyaan mendasar bagi mereka yang menggeluti pers maha-siswa pascareformasi 1998: setelah kebe-basan diberikan seluas-luasnya pada pers, termasuk kita, pelaku pers mahasiswa, maka adakah lagi yang harus semalam suntuk kita diskusikan? Adakah perlu-nya pemberitaan ‘vokal’ untuk melawan represi pemerintah saat departemen penerangan sudah ditutup, dan tak perlu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) lagi untuk mendirikan media?

Masih relevankah kehadiranmu, pers

Kadang kebijakan rektorat yang mendesak mahasiswa. Kadang isu nasional yang mencekik rakyat jelata. Bahan diskusi mereka bisa apa saja.

Diskusi tentanG Musuh Baru

Aulia AdamPemimpin Redaksi

Pers Mahasiswa SUARA USU

Page 65: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 65

COGITO:mahasiswa?

Maka, singkat dan tegas saya jawab:ya. Kehadiran pers mahasiswa justru kian penting! Mari kita diskusikan.

Pascareformasi 1998, pers mahasiswa sesungguhnya makin sadar betapa me-reka mampu memengaruhi kebijakan pub-lik. Namun, kebebasan yang jadi hadiah reformasi ternyata menantang mereka kembali mempertanyakan eksistensi diri. Kehilangan paradigma, ceritanya.

Tak ada lagi tampang diktator yang jadi musuh bersama. Tak ada lagi isu ber-sama yang bisa menyatukan. Maka fokus mereka kembali ke kandang, ke kampus masing-masing. Kinerja rektorat, atau pemerintahan mahasiswa jadi bahan yang dikritisi; dikawal.

Ini sebabnya, taring pers mahasiswa tak begitu terasa pascareformasi. Berto-lak belakang dengan keadaan pers umum yang jauh berkembang pesat. Kebebasan menuntun kita ke dunia yang lebih luas benar-benar dimanfaatkan. Kasus korupsi dibuka lebar-lebar, akses untuk ke sana juga jadi lebih longgar dibanding kala Orde Baru masih berjaya. Tapi ada celah di sana. Kebebasan yang luas, ternyata mampu menggoyahkan iman siapa saja, termasuk pers.

Sekali lagi, ini zaman berbeda. Kebe-basan pers yang sebenarnya baru ter-cermin setelah Soeharto lengser. Siapa sangka kalau kebebasan tersebut justru punya sisi buruk yang sukar ‘dikarungkan’. Akibat kebebasan ini, media jadi alat bagi mereka yang berkuasa; mereka yang pu-nya uang. Tanpa perlu direpotkan SIUPP, dan aturan-aturan aneh dari departemen penerangan. Semua orang kini bebas mendirikan medianya. Semua orang yang mampu membangun media.

Melalui media, mereka yang berkuasa bisa memanipulasi citra hingga fakta. Mem-buat akurasi dan objektivitas disangsikan. Inilah yang dihadapi negeri ini pascarefor-masi. Di mana para penguasa kian berkuasa dibuat media yang ada.

Fungsi pers yang harusnya loyal pada warga, disetir jadi penurut penguasa.Hal ini wajar terjadi karena persaingan di pers umum jauh lebih ketat dari pers maha-

siswa. Mereka telah jadi industri, di mana benefit jadi tujuan utama. Maka kepentin-gan banyak orang dipertaruhkan di sana. Syukur bila kepentingan jurnalistik ber-dasarkan jurnalisme–lah yang menang di media tersebut. Sayangnya, ia tak melulu terjadi.

Di sanalah letak tanggung jawab pers mahasiswa sekarang. Inilah musuh baru mereka: disorientasi iman.

Bill Kovach dan Tom Rossentiel, wartawan dedengkot dari Amerika bilang kalau loyalitas utama pelaku pers adalah pada masyarakat. Bukan penguasa media. Hal ini mereka tuangkan dalam buku Sem-bilan Elemen Jurnalisme yang jadi buku pedoman wartawan seluruh Indonesia. Maka, iman ini perlu diluruskan kembali.

Peran pers mahasiswa sangat besar dalam penyelesaian masalah krusial ini. Pers mahasiswa seharusnya jadi tempat pers umum ditempah. Dibekali modal dasar yang kuat agar tak melenceng kala beritanya ditawar angka. Agar yang dibe-ritakan adalah keseluruhan fakta, bukan fakta yang dipilih-pilih saja.

Saya kira, masalah ini juga dipahami oleh banyak pers umum. Mereka—yang sadar tentang masalah ini—mulai men-cantumkan ‘pernah menjadi anggota pers mahasiswa’ menjadi syarat penerimaan

reporter mereka. Mereka bisa saja sudah mencium permasalahan disorientasi iman ini, sehingga berharap lebih pada para pe-giat pers mahasiswa. Agar wartawan yang mereka terima lebih matang.

Maka yang harus dilakukan pers ma-hasiswa adalah menentukan sikap. Turut andil dalam meluruskan disorientasi iman yang dihadapi pers umum. Bukan justru terjerumus ke hal yang sama. Sebab, kare-na pers mahasiswa kehilangan paradigma pascareformasi, tak sedikit dari mereka yang mencari-cari paradigma sendiri.

Sebagian besar fokus pada kebijakan kampus, dan sesekali pada kebijakan na-sional. Contoh pers mahasiswa begini banyak terdapat di Pulau Jawa dan Suma-tera. Pers mahasiswa semacam ini tak ter-lalu berorientasi pada pemasukan, sebab dana dari rektorat masih menjadi andalan utama. Iklan dan pemasukan lainnya be-lum terlalu jadi fokus utama manajemen mereka. Yang penting naik cetak! Maha-siswa dan masyarakat bisa baca! Untung bukan yang utama.

Sebagian lagi justru berparadigma bak pers umum: benefit, benefit, benefit. Pengelolaan iklan dipertajam. Tak jarang mengorbankan space berita demi iklan. Sebabnya sederhana. Rektorat tak kucur-kan banyak dana, jadi mahasiswa harus pintar-pintar kelola medianya. Untung jadi prioritas, demi keberlangsungan media.

Maka, kita harus luruskan kembali. Dana memang penting demi keberlang-sungan media, tapi iman bukan perkara yang bisa ditakar-takar. Jurnalisme harga mati. Ia tak bisa digadaikan dengan angka. Pers mahasiswa harus sadar hal ini dan membentuk paradigma baru: memben-tuk jurnalis dengan iman jurnalisme yang benar.

Menjaga iman di tengah kebebasan. Memang bukan perkara gampang. Berdis-kusi semalam suntuk mengisi diri, mem-bahas negeri ataupun kampus sendiri adalah kunci melatih pribadi. Pribadi-pribadi pers mahasiswa sejati.

Jangan gamang dengan posisi kita, wahai jurnalis-jurnalis mahasiswa. Musuh baru telah tiba, maka mari satukan para-digma.

ILUSTRASI: AULIA ADAM | SUARA USU

Page 66: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 67: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

MAJALAH SUARA USU | 67

KALEIDOSKOP:

USU kirim relawan psikososial untuk korban erupsi Gunung Sinabung dari Fakultas Psikologi Januari lalu. Tim itu terdiri dari lima orang psiko-log, lima orang sarjana psikologi dan tujuh ma-hasiswa. Setelah itu, USU kembali mengirim relawan pada 28 Februari. Berbeda dari sebe lumnya, kali ini diikuti khusus oleh mahasiswa dari Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Psikologi. Tim membu-ka kelas-kelas belajar untuk membantu pelajar SMA yang menjadi korban erupsi dalam meng-hadapi ujian nasional. Pertemuan dilakukan se-banyak delapan kali dan rata-rata diikuti empat puluh mahasiswa tiap minggunya.

USU Kirim Relawan Ke Sinabung

Upah Kantor Akuntan Publik (KAP) pengaudit Laporan Keuangan USU tahun ini mengalami ke-naikan. Kenaikan harga-harga barang yang sebab-kan inflasi diklaim menjadi alasannya. Pernyataan ini disampaikan Harshya Aditya, Manajer KAP Drs J Tanzil & Rekan. Akibatnya USU harus menge luarkan biaya sebesar Rp 313,8 juta. Naik Rp 30 juta lebih dibandingkan tahun Upah KAP Laporan Keuangan USU 2012. Hal ini disampaikan Pejabat Pembuat Komitmen Suhardi.

Upah KAP Pengaudit Laporan Keuangan USU Naik

RIDHO NOPRIANSYAH | SUARA USU

Meski baru sampai di pertengahan tahun ini, namun sudah banyak hal yang ter-jadi di kampus tercinta kita. Mulai dari naiknya upah audit Laporan Keuangan USU 2014, syarat baru beasiswa PPA

USU, hingga Pemira USU yang sudah lama sekali kita tung-gu keberlangsungannya. Semuanya kami kemas dalam ru-brik khusus mahasiswa USU ini. Mari simak.

Rektor USU Prof Syahril Pasaribu kalungkan karangan bunga pada Pembimbing Tim Horas Himsar Ambarita saat penyambutan Tim Horas di Biro Rektorat, Rabu

12 Februari. Tim Horas yang mewakili USU mendapat juara satu di kejuaraan Shell Eco-marathon (SEM)

Asia 2014 di Manila, Filipina 9 Februari lalu. Tim Horas juga berhasil meraih posisi kedua di kategori

urban concept mobil berbahan bakar diesel.

Page 68: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5

68 | MAJALAH SUARA USU

KALEIDOSKOP:

USU tetapkan 22 hingga 27 Agustus nanti jadi tanggal Var-sity Carnival Indonesia Malaysia Thailand-Growth Triangle (IMT-GT) 2014. Menurut Ketua Panitia IMT-GT Iryanto, pe-milihan tanggal yang merupakan masa libur semester genap tersebut karena hemat biaya sebab IMT-GT akan gunakan asrama mahasiswa sebagai penginapan peserta. Namun ada pula mahasiswa yang menyayangkan tanggal ini, Muhammad Ivan, mahasiswa Fakultas Teknik bilang kesempatan maha-siswa untuk menyaksikan langsung akan semakin sedikit.

Penyusunan Rancangan Bisnis dan Anggaran (RBA) USU 2014 sudah selesai. Tercatat Rp 349 miliar sebagai peneri-maan, jauh dari prediksi pengeluaran sebesar Rp 500 mil-iar. Hal ini menyebabkan sejumlah pembangunan di USU mandek. USU tak bisa buru-buru mengalokasikan dananya. Sebab pemasukan bisa datang sepanjang tahun. RBA adalah rancangan keuangan USU sepanjang tahun yang disusun se-tahun sekali.

RBA USU, Besar Pasak dari Tiang

USU Tetapkan 22-27 Agustus Jadi Tanggal IMT- GT

Komisi Pemilihan Umum USU akhirnya berhasil melang-sungkan Pemilihan Umum Raya (Pemira) USU pada 14 Mei lalu. Pemira untuk memilih pesiden dan kelompok aspirasi mahasiswa (KAM) ini berjalan relatif lancar. Sejak dibentuk pada Desember 2013, KPU USU beberapa kali gagal men-jalankan pemira. Setidaknya tercatat ada tiga kali tercetus tanggal pemira. Penyebab gagalnya tak jauh-jauh dari dana. Sidang Pleno KPU pada 18 Mei lalu, KPU mengesahkan pa-sangan Brilian Amial Rasyid-Abdul Rahim sebagai presiden dan wakil presiden. Sedangkan KAM Rabbani sebagai pe-menang KAM.

Pemira USU 2014 Sukses

Massa yang tergabung dalam aliansi Front Peduli USU (FPU) melakukan aksi unjuk rasa di Gelanggang Mahasiswa, Rabu (8/1). Aksi FPU menolak pro-gram AEC (Asean Economic Community) yang dianggap akan meningkatkan angka pengang-guran, tidak tersedianya jaminan kesehatan, sosial, dan pendidi-kan. Unjuk rasa berujung ricuh saat petugas satpam menghalau massa menghampiri mobil yang membawa Menteri Perdagangan waktu itu Gita Wirjawan.

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Page 69: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5
Page 70: Majalah Mahasiswa SUARA USU #5