Skenario A Blok 19

48
SKENARIO A BLOK 19 : Dr. Madun, dokter di puskesmas rawat inap yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera sekitar 40 km dari Palembang. Puskesmas dilengkapi pelayanan UGD dengan fasilitas yang lengkap. Suatu kecelakaan lalulintas terjadi di sekitar 100 meter dari puskesmas. Mobil kijang pick-up yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak tiang listrik. Tiang listrik terlihat bengko dan bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Dr. Madun yang mendengar tabrakan, langsung pergi ke tempat kejadian dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tampat kejadian terlihat sang sopir, laki-laki 28 tahun tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada dan paha kanannya. Melalaui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran: pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernafas tanda vital: laju respirasi: 40 x/menit, nadi: 110x/menit;lemah, TD: 90/50 mmHg wajah dan bibir terlihat kebiruan kulit pucat, dingin, berkeringat dingin GCS: 13 (E:3, M:6, V:4) Setelah melakukan penanganan seadanya, Dr. Madun langsung membawa sang sopir sang UGD. Data Tambahan: Kepala: 1

Transcript of Skenario A Blok 19

Page 1: Skenario A Blok 19

SKENARIO A BLOK 19 :

Dr. Madun, dokter di puskesmas rawat inap yang terletak di pinggir jalan lintas

Sumatera sekitar 40 km dari Palembang. Puskesmas dilengkapi pelayanan UGD dengan

fasilitas yang lengkap.

Suatu kecelakaan lalulintas terjadi di sekitar 100 meter dari puskesmas. Mobil kijang

pick-up yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak tiang listrik. Tiang listrik terlihat

bengko dan bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-satunya

penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.

Dr. Madun yang mendengar tabrakan, langsung pergi ke tempat kejadian dengan

membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tampat kejadian terlihat sang sopir, laki-

laki 28 tahun tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada dan paha

kanannya.

Melalaui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:

pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernafas

tanda vital: laju respirasi: 40 x/menit, nadi: 110x/menit;lemah, TD: 90/50 mmHg

wajah dan bibir terlihat kebiruan

kulit pucat, dingin, berkeringat dingin

GCS: 13 (E:3, M:6, V:4)

Setelah melakukan penanganan seadanya, Dr. Madun langsung membawa sang sopir

sang UGD.

Data Tambahan:

Kepala:

Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm

Yang lain dalam batas normal

Thoraks:

Inspeksi:

Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi nafas 40 x/menit

Tampak memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping

Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi.

Auskultasi:

Bunyi nafas kanan melelmah, bising nafas kiri terdengar jelas

Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 10 x/menit

Palpasi:

Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping (lokasi memar)

1

Page 2: Skenario A Blok 19

Krepitasi pada kosta 9,10,11 kanan depan

Perkusi: Kanan hipersonor, kiri sonor

Abdomen:

Inspeksi : Dinding perut datar

Auskultasi : Bising usus normal

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Paha kanan

Inspeksi : Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kanan

Palpasi : Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)

ROM : Pasif: limitasi gerakan

Aktif: liimitasi gerakan

I. KLARIFIKASI ISTILAH:

1. UGD : unit gawat darurat

2. Trauma : luka atau cedera baik fisik atau psikis.1

3. Merintih : mengerang kesakitan

4. Nyeri di dada : sensasi tidak menyenangkan akibat suatu stimulus baik datang

dari dalam atau luar pada dada1

5. Sesak dada : pernafasan yang sukar atau berat

6. Bibir kebiruan : diskolorisasi kebiruan dari kulit dan membran mukosa akibat

kelebihan konsentrasi Hb tereduksi akibat penarikan oksigen

berlebihan.1

7. Keringat dingin : keringat yang keluar pada suhu tubuh rendah.

8. Bingung : orientasi yang terganggu dalam hal waktu, tempat, orang,

kadang disertai gangguan kesadaran.1

9. Cemas : perasaan keprihatinan, ketakutan tanpa stimlus yang jelas

dikaitkan dengan perubahan fisiologis (takikardi, tremor, dll).1

II. IDENTIFIKASI MASALAH:

1. Supir, laki-laki, 28 tahun, mengendarai kijang pick up dengan kecepatan tinggi

menabrak tiang listrik.

2. Tiang listirk terlihat bengkok dan bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, dan

sang sopir terlempar keluar dari kaca depan.

3. Ia tergeletak dan merintih mengeluh dadanya sesak, nyeri dada, dan paha kanan.

2

Page 3: Skenario A Blok 19

4. Pada pemeriksaan sekilas ditemukan:

Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas dan kesulitan bernafa, GCS: 13.

Tanda vital: laju respirasi 40 x/menit, Nadi 110 x/menit lemah, TD 90/50 mmHg

Wajah dan bibir terlihat kebiruan

Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin

5. Pemeriksaan Fisik:

a. Luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm

b. Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, memar di sekitar dada kanan

bawah sampai ke samping

c. Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi.

d. Bunyi nafas kanan melemah, bising nafas kiri terdengar jelas

e. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping (lokasi memar)

f. Krepitasi pada kosta 9,10,11 kanan depan, Kanan hipersonor, kiri sonor

g. Paha kanan tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kanan, nyeri

tekan, dan limitasi gerakan

III. ANALISIS MASALAH

1. Bagaimana mekanisme trauma dan derajat keparahan pada kasus?

2. Apa saja kemungkinan trauma yang dialami oleh supir ini berdasarkan mekanisme

trauma?

3. Bagaimana prinsip tatalaksana di tempat kejadian (basic life support)?

4. Bagaimana cara membawa pasien ke UGD termasuk imobilisasi pada fraktur?

5. Bagaimana prinsip tatalaksana di UGD/ advanced life support (initial

assessment/ABCDE) ?

6. Bagaimana tatalaksana dan penilaian kelayakan transfer pada pasien?

Pemeriksaan sekilas

1. Bagaimana mekanisme dan makna dari merintih? Apa yang harus dilakukan?

2. Apa interpretasi dan mekanisme pemeriksaan sekilas?

Kepala

1. Apa makna dari luka lecet di dahi dan pelipis kanan pada trauma hebat ini?

Thorax/ Dada + RR 40 x/menit

1. Bagaimana anatomi rongga thorax, organ apa saja yang kemungkinan cedera?

2. Bagaimana fisiologi respirasi/ mekanisme pernafasan?

3. Bagaimana mekanisme pasien mengeluh nyeri dada dan sesak dada?

3

Page 4: Skenario A Blok 19

4. Bagaimana interpretasi dan diagnosis apa yang bisa didapat dari hasil pemeriksaan

thorax?

5. Bagaimana patofisiologi terjadinya gangguan tersebut?

6. Apa yang seharusnya dilakukan dokter sebagai penatalaksaan awal?

7. Bagaiamana penatalaksanaan akhir pada pasien?

8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, bagaimana interpretasinya?

Tekanan darah 90/50mmHg, denyut nadi 110 x /menit, kulit pucat dan dingin

1. Bagaimana fisiologi sisterm sirkulasi/ cardiovascular?

2. Apa yang dapat disimpulkan dari keterangan diatas?

3. Apa interpretasi dan mekanisme berkeringat dingit?

4. Bagaimana kompensasi tubuh bila sirkulasi mengalami gangguan?

5. Bagaimana prinsip tatalaksana yang seharusnya di lakukan?

Paha Kanan

1. Apa yang dapat disimpulkan dari pemeriksaan paha kanan pasien?

2. Bagaimana anatomi dari regio femur dextra?

3. Apa saja dampak yang dikuatirkan pada ujung ekstremitas?

4. Bagaimana prinsip tatalaksana awal dan lanjut terhadap femur pasien?

5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, bagaimana interpretasinya

Perujukan

a. Apa saja harus dilakukan bila ingin merujuk pasien ke Palembang?

b. Apa saja diagnosis, prognosis dan komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus ini?

c. Bagaimana KDU?

IV. HIPOTESIS

“Sopir, laki-laki, 28 tahun, mengalami trauma hebat multiple yang menyebabkan

terjadinya tension pneumothoraks akibat trauma tumpul dan fraktur tertutup femur

dextra.”

V. KERANGKA KONSEP

4

Page 5: Skenario A Blok 19

VI. SINTESIS

1. Mekanisme Trauma

Mekanisme cedera mengacu pada bagaimana proses orang mengalami cedera.

Cedera mungkin disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, tembakan

dan sebagainya. Kemampuan menganalisa mekanisme cedera akan membantu anda

memperkirakan keadaan dan tingkatan dari cedera sebagai dasar prioritas keputusan

anda untuk melakukan pengkajian lanjutan, penanganan kegawat daruratan dan

transportasi.

a. Kinetika Trauma

Trauma sebagian besar disebabkan oleh hasil benturan dua obyek atau tubuh

dengan yang lainnya. Kinetis, adalah “cabang dari ilmu mekanika mengenai

pergerakan dari suatu benda atau badan”. Jadi mengerti akan proses kinetis sangat

membantu dalam memahami mekanisme cedera dan trauma. Seberapa parah

cedera seseorang tergantung pada kekuatan dan dengan benda apa ia berbenturan

atau sesuatu yang membenturnya. Kekuatan ini tergantung pada energi yang ada

benda atau tubuh yang bergerak. Energi yang terdapat pada tubuh yang bergerak

disebut sebagai energi kinetis.

5

Tension pneumotoraks

Fraktur tertutup os femoralis dekstra

gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, trakea bergeser ke kiri dan distensi vena jugularis.

Sang sopir teregeletak, merintih, mengeluh dada sesak dan nyeri pada dada

Nyeri pada paha kanan, tampak deformitas, hematom, memar dan ada krepitasi.

Menabrak tiang listrik dengan kecepatan tinggi. Tiang listrik bengkok, bagian depan mobil hancur dan sopir terlempar keluar melalui kaca depan.

Seorang laki-laki berumur 28 tahun mengalami kecelakaan

Page 6: Skenario A Blok 19

b. Massa dan Kecepatan

Besarnya energi kinetis pada tubuh yang bergerak tergantung pada dua factor:

Massa (berat) tubuh dan kecepatan tubuh. Energi kinetis dihitung dengan cara ini:

Massa (berat dalam pounds), aktu kecepatan (speed in feet per second/ kecepatan

dalam kaki perdetik) pangkat dua dibagi dua. Secara singkat rumusnya adalah :

Energi Kinetis = (Massa x Kecepatan2)/2 Rumus ini mengilustrasikan bahwa bila

massa benda yang bergerak adalah dua kali (double) lebih besar aka energi kinetis

juga akan dua kali lebih besar. Anda bisa terluka dua kali lebih parah jika anda

terkena 2 pound batu dibandingkan jika terkena 1 pound batu yang dilempar

dengan kecepatan yang sama Namun kecepatan ternyata merupakan factor yang

lebih berpengaruh daripada massa. Misalkan anda terkena lemparan batu dengan

kecepatan 1 kaki per detik, kemudian terkena lemparan batu dengan jarak 2 kaki

perdetik. Batu yang dilempar 2 kaki perdetik tidak akan menyebabkan dua kali

lebih parah daripada satu kaki perdetik, tapi empat kali lebih parah karena factor

kecepatan yang dipangkatkan dua.

c. Biomekanik Trauma adalah proses / mekanisme kejadian kecelakaan pada

sebelum, saat dan setelah kejadian.

1) Akselerasi

Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma.

Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi);

sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung

pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.

2) Deselerasi

Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya

terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.

Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang

mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak

dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga

tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.

d. Mekanisme Trauma tumpul

1) Trauma kompresi atau crush injury terhadap organ viscera akibat pukulan

langsung. Kekuatan seperti ini dapat merusak organ padat maupun orang

berongga dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi,

dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis.

6

Page 7: Skenario A Blok 19

2) Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ visceral sebenarnya

adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman tidak digunakan

dengan benar.

3) Trauma decelerasi pada tabrakan motor dimana terjadi pergerakan yang

terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti suatu ruptur lien ataupun ruptur

hepar (organ yang bergerak ) dengan ligamennya (organ yang terfiksir).

Trauma tumpul pada pasien yang mengalami laparotomi.

e. Trauma Thoraks

Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma

tajam, terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai

jaringan otot ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau

perikardium parietalis. Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak

jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh darah besar di

mediastinum.

Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam lainnya, karena faktor

kerusakan jaringan yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi tidak cukup

besar, hanya akan menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena

kelenturannya akan mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma

tumpul demikian, secara tampak dari luar mungkin tidak memberi gambaran

kelainan fisik, namun mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada,

yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan pembentukan hematoma inter

atau intra otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga berakibat nyeri pada

respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.

Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah

tulang iga, mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat

hanya satu lokasi fraktur pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple,

mungkin hanya melibatkan iga sisi unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.

Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila

terjadi trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat

dorongan kemudi atau setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian

mendadak mobil berkecepatan sangat tinggi yang menabrak kendaraan atau

bangunan didepannya. Desakan setir mobil tersebut mampu menimbulkan

tamponade jantung, akibat perdarahan rongga pericardium ataupun hematoma

dinding jantung yang akan meredam gerakan sistolik dan diastolik.

7

Page 8: Skenario A Blok 19

Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari

iga dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau

pneumotoraks, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi “Tension

Pneumotorax”, karena terjadi keadaan dimana alveoli terbuka, pleura viseralis

dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka pleura parietalis yang menutup

akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga pleura. Tension

pneumotoraks selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi

penurunan ventilasi antara 15 – 20 %. Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran

mediastinum kearah kontralateral dan selanjutnya bahkan akan mendesak paru

kontralateral yang berakibat sangat menurunnya kapasitas ventilasi.

Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang

paling sering dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80%

penderita dengan trauma toraks didapati adanya darah pada rongga pleura.

Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh

darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam

atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat

menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan

tidak memerlukan intervensi operasi.

Trauma yang sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas adalah

a. Trauma kepala

b. Fraktur

- Terbuka : bisa dilihat dengan adanya tulang yang menusuk kulit dari dalam

dan biasanya diikuti dengan perdarahan

- Tertutup : bisa diketahui dengan melihat bagian yang dicurigai mengalami

pembengkakkan, terdapat kelainan bentuk berupa sudut yang bisa

mengarah ke samping, depan atau belakang. Disertai dengan nyeri gerak,

nyeri tekan dan adanya pemendekan tulang

Fraktur biasnya terjadi pada ekstremitas baik atas maupun ektremitas bawah

c. Trauma dada

Paling sering adalah fraktur iga, kontusio paru, hemothoraks

Pada kasus:

Luka lecet pada kepala trauma ringan pada kepala

8

Page 9: Skenario A Blok 19

Fraktur iga

Memar pada dada kanan kontusio paru

Fraktur femur tertutup

2. Interpretasi Pemeriksaan Fisik Sekilasa. Keadaan umum

1) Pasien sadar tapi terlihat bingung dan cemas

Menunjukkan adanya penurunan kesadaran.

Pasien cemas juga bisa disebabkan karena ketakutan dan nyeri

2) Kesulitan bernafas

Ada gangguan breathing sehingga paru-paru sulit untuk mengembang,

atau ada gangguan pengembangan dada, atau volume dada berkurang

Mengenali gangguan breathing

Look : adakah sesak, sianosis, gerakan dinding dada asimetris

Listen : bising nafas

Feel : palpasi dinding dada adakah nyeri, fraktur ; perkusi ; trakea ;

JVP

Dapat dikarenakan:

Gangguan gerak dinding dada : kontusio thorax, fraktur costae

Gangguan volume thorax : hemothorax

Gangguan tekanan intrapleura : pneumothorax

b. Mekanisme terjadinya sesak, nyeri dada, perut, dan paha

9

Kesulitan bernafas

PneumothoraxKontusio thorax, fraktur costae

Gangguan tekanan intrapleuraGangguan gerak dinding dada

Trauma

Page 10: Skenario A Blok 19

Trauma dada terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara

yang masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve)

tekanan di intrapleural meninggi kesulitan bernafas kompensasi

meningkatkan frekuensi bernafas.

Trauma tumpul pada dada Fraktur iga stimulasi saraf nyeri nyeri dada

(akut, lokalisasi pada sisi pneumothorax, nyeri pleuritis)

Trauma tumpul pada paha kemungkinan fraktur & perdarahan stimulasi

saraf nyeri nyeri paha

c. Vital Sign

1) RR = 40 x/menit takipneu

Mekanisme: sesak nafas dapat timbul akibat pengembangan paru yang

tidak optimal akibat tension pneumotaraks atau dapat juga disebabkan

sebagai kompensasi akibat perdarahan yang terjadi untuk memenuhi

kebutuhan oksigen.

2) HR =110 x/menit, lemah, takikardi dengan tekanan atau isi nadi lemah.

Mekanisme: perdarahan massif kehilangan darah dalam jumlah

banyak hipoperfusi arteri kompensasi untuk mencukupi

kebutuhan dengan mempercepat frekuensi jantung.

Volume darah yang kurang menyebabkan nadi tersa lemah pada perifer.

3) TD = 90/50 mmHg hipotensi

Mekanisme: hipoperfusi menurunkan stroke volume atau volume

sekuncup jantung menurunkan tekanan darah

Tension pneumotoraks dengan dampak venous retrun blocking yang dapat

menurunkan BP, tekanan nadi, dan meningkatkan HR yang tentu saja

memberikan gambaran klinis lebih parah.

d. Wajah dan bibir terlihat kebiruan, kulit pucat, dingin, berkeringat dingin

1) Wajah dan bibir yang kebiruan menunjukkan sudah terjadinya sianosis

sentral

Mekanisme : Hipoperfusi pada jaringan tidak tercukupinya

kebutuhan oksigen sianosis wajah dan bibir tampak biru

2) Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin.

10

Page 11: Skenario A Blok 19

Mekanisme : Mekanisme : Adanya pendarahan menyebabkan

berkurangnya volume darah dalam vaskular (hipovolemia). Hal ini

menyebabkan tekanan arteri berkurang. Kemudian baroreseptor arteri

(sinus karotikus dan arkus aorta) dan reseptor regangan vaskular

merespon penurunan tersebut. Perubahan yang ditangkap oleh reseptor

tersebut memberikan stimulus kepada saraf simpatis yang menyebabkan

keringat dingin.

e. GCS 13

Pasien dengan kesadaran menurun

Trauma kranio serebral ringan (GCS = 13-15)

Perubahan orientasi tanpa deficit local

3. Initial Assessment

a. Airway

Lakukan penilaian cepat kondisi jalan nafas, adanya obstruksi atau tidak

Melakukan chin lift atau jaw thrust

Bersihkan jalan nafas dari benda asing

Memasang pipa naso-faringeal atau orofaringeal

Memasang airway definitif

Intubasi oro- atau naso-trakeal

Krikotiroidotomi

Menjaga leher agar dalam posisi netral dengan fiksasi setelah memasang airway

b. Breathing

Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala

Tentukan laju dan dalamnya pernafasan

Inspeksi dan palpasi leher dan torak untuk adanya deviasi trakea, ekspansi toraks

simetris atau tidak, pemakaian otot tambahan dan tanda-tanda cidera lain

Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonor

Auskultasi toraks bilateral

Pemberian oksigen konsentrasi tinggi

Ventilasi dengan alat bag-valve-mask

Menghilangkan tension pneumotorak dengan

Dekompresi pada interkostal 2 pada linea midclacicula

Pemasangan chest tube pada sela iga ke 5 di anterior garis midaxilaris

11

Page 12: Skenario A Blok 19

Memasang pulse oximeter

c. Circulation

Mengetahui sumber perdarahan eksternal dan internal

Penilaian nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoxus, Warna kulit,

dan Tekanan darah

Memberikan cairan ringer laktat yang dihangatkan dan pemberian darah

Cegah hipotermia

d. Disability

Tentukan tingkat kesadaran dengan memakai GCS

Nilai pupil : isokor, reaksi

e. Exposure

Buka pakaian penderita tetapi cegah hipotermi

4. Interpretasi Pemeriksaan Fisik

Kepala

Luka lecet didahi dan pelipis kanan , diameter 2 – 4 cm Laserasi jaringan lunak

Leher

JPV meningkat

Trakea bergeser kekiri

Menandakan Tension

Pneumothorax

Thorax

Inspeksi: Gerakan dada asimetris , kanan tertinggal

Tampak memar disekitar dada kanan bawah sampai ke

samping

Auskultasi: Bunyi napas kanan melemah

Bising nafas kiri terdengar jelas

Bunyi jantung jelas dan cepat

Palpasi: Nyeri tekan dada kanan bawah sampai ke samping;

Krepitasi pada costa 9,10,11 kanan depan

Perkusi

Kanan : hipersonor

Kiri : sonor

Tension Pneumothorax

Fraktur os costae IX, X,

XI

Tension pneumothorax

pada dada kanan

Abdomen

Inspeksi : dinding perut datar

12

Page 13: Skenario A Blok 19

Auskultasi : bising usus normal

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Abdomen normal.

Ekstremitas Paha kanan:

Inspeksi : tampak deformitas, memar, hematoma

Palpasi : nyeri tekan, krepitasi

ROM : pasif : limitasi gerakan, aktif : limitasi gerakan

Ada Fraktur Femur

a. Kepala

Luka lecet di dahi dan pelipis kana menunjukkan luka ringan di kepala akibat

benturan.

b. Thoraks

Anatomi

Toraks adalah daerah pada tubuh manusia (atau hewan) yang berada di antara

leher dan perut (abdomen). Toraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di

superior oleh thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah

dinding toraks yang disusun oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan

ikat.

Sedangkan rongga toraks dibatasi oleh diafragma dengan rongga abdomen.

Rongga Toraks dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu: paru-paru (kiri dan kanan)

dan mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan

posterior. Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah

tempat organ-organ penting toraks selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri

pulmonalis, vena cavae, esofagus, trakhea, dll.).

13

Page 14: Skenario A Blok 19

Rangka toraks terluas adalah iga-iga (costae) yang merupakan tulang jenis

osseokartilaginosa. Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter penampang

yang lebih kecil pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah bawah. Di bagian

posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih memipih.

Terdapat 12 pasang iga : 7 iga pertama melekat pada vertebra yang bersesuaian,

dan di sebelah anterior ke sternum. Iga VIII-X merupakan iga palsu (false rib) yang

melekat di anterior ke rawan kartilago iga diatasnya, dan 2 iga terakhir merupakan iga

yang melayang karena tidak berartikulasi di sebelah anterior.

Setiap iga terdiri dari caput (head), collum (neck), dan corpus (shaft). Dan

memiliki 2 ujung : permukaan artikulasi vertebral dan sternal.

Bagian posterior iga kasar dan terdapat foramen-foramen kecil. Sedangkan bagian

anterior lebih rata dan halus. Tepi superior iga terdapat krista kasar tempat melekatnya

ligamentum costotransversus anterior, sedangkan tepi inferior lebih bulat dan halus.  

Pada daerah pertemuan collum dan corpus di bagian posterior iga terdapat

tuberculum. Tuberculum terbagi menjadi bagian artikulasi dan non artikulasi.

14

Page 15: Skenario A Blok 19

Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan (eksternal

dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan eksternal cembung (convex)

dan halus; permukaan internal cekung (concave) dengan sudut mengarah ke superior.

Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove, tempat

berjalannya arteri-vena-nervus interkostal.

Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat melintasnya

plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. M.scalenus anterior melekat di bagian

anterior permukaan internal iga I (tuberculum scalenus), dan merupakan pemisah antara

plexus brachialis di sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah medial dari otot

tersebut.

Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis externus

dan internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia transversalis, dan

kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan vena di bagian dorsal

berjalan di tengah sela iga (lokasi untuk melakukan anesteri blok), kemudian ke anterior

makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan berurutan dari atas ke bawah vena,

arteri dan syaraf (VAN). Mulai garis aksilaris anterior pembuluh darah dan syaraf

bercabang dua dan berjalan di bawah dan di atas iga. Di anterior garis ini kemungkinan

cedera pembuluh interkostalis meningkat pada tindakan pemasangan WSD.

Patofisiologi Gejala

Kasus Kesimpulan

Inspeksi :

Gerakan dinding dada asimetris, kanan

tertinggal, frekuensi nafas 40x/menit

TENSION PNEUMOTORAKS

Tampak memar di sekitar dada kanan

bawah sampai ke samping

Trakea bergeser ke kiri dan distensi vena

jugularis

Auskultasi :

Bunyi nafas kanan melemah, bising nafas

kiri terdengar jelas

Bunyi jantung terdenagr jelas, cepat dan

frekuensi 110x/menit

15

Page 16: Skenario A Blok 19

Palpasi :

Nyeri tekan pada dada kanan bawah,

sampai ke samping (lokasi memar)

Krepitasi pada kosta 9,10,11 kanan depan

Perkusi :

Kanan hipersonor, kiri sonor

1) Inspeksi

Gerakan dinding dada asymetris dada kanan tertinggal : gangguan pada salah

satu sisi paru, dengan kata lain gerakan dada kiri lebih aktif dari dada kanan,

akibatnya beban untuk mengkonpensasi hipoksemi ini ditanggung oleh paru kiri

sehingga gerakannya lebih aktif

Tampak memar di sekitar dada kanan bagian tengah sampai ke samping

rupturnya pembuluh darah

Trakea bergeser ke kiri

Normalnya trakea terlihat lurus pada medial tubuh. Trakea yang bergeser ke kiri

menujukkan adanya sesuatu pada bagian kiri yang menarik trakea ke kiri atau

pada bagian kanan paru yang mendorong atau mendesak trakea untuk bergeser ke

kiri.

Mekanisme: robekan pada pleura udara dapat masuk ke rongga pleura namun

tidak dapat keluar penumpukan udara pada rongga pleura pengembangan

rongga pleura mendorong trakea ke kiri

JVP distensi menujukkan adanya peningkatan tekanan pada struktur di bawah

vena jugularis, baik itu dari jantung (atrium kanan) atau dari vena yang

menampung darah dari vena jugularis.

Mekanisme: robekan pada pleura udara dapat masuk ke rongga pleura namun

tidak dapat keluar penumpukan udara pada rongga pleura pengembangan

rongga pleura peningkatan tekanan pada rongga toraks menekan vena cava

superior atau vena subcalvia peningkatan tekanan di vena jugularis vena

jugularis distensi

2) Palpasi

Nyeri tekan pada dada kanan bawah sampai ke samping lokasi memar: fraktur

iga/flail chest, atau peregangan pleura akibat perubahan tegangan rongga pleura

atau pleuritis atau bisa juga hanya sebatas perangsangan nociceptor saraf

intercostae akibat kerusakan struktur yang ditimbulkan akibat trauma tersebut.

16

Page 17: Skenario A Blok 19

Krepitasi pada costa 9,10,11 kana depan :

Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling

sering mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada

pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan

menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan

sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara

bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Yang paling sering

mengalami trauma adalah iga begian tengah (iga ke – 4 sampai ke –9).

Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai

kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena

fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis

fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan

pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi

sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang

serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim

paru yang mungkin terjadi (kontusio paru).

Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan

paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja

tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita

ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang

tertahan dan trauma jaringan parunya.

Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting

(terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks

bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan

yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi.

Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel,

akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan

analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga

membantu dalam diagnosis Flail Chest.

3) Perkusi

Kanan hiper sonor, kiri sonor normalnya pada saat perkusi sonor.

Mekanismenya: truma dada kanan rongga pleura paru kanan berhubungan

dengan udara luar karena tekanan di pleura > rendah tekanan atmosfer

udara dari atmosfer masuk memenuhi rongga pleura Tension pneumothoraks

17

Page 18: Skenario A Blok 19

saat auskultasi, bgn stetoskop mendengar banyak udara di pleura cavity selain

mendengar bunyi udara dari dlm parenkim paru itu sendiri hipersonor

4) Auskultasi

Bunyi nafas kanan melemah, Bising nafas kiri terdengar jelas Pertukaran gas

di paru kanan lebih sedikit dari paru kiri, peningkatan dead space di paru

kanan/presentasi parenkim paru yg ateletaksis besar.

Bunyi jantung jelas dan cepat tidak ada tamponade jantung, kelainan-kelainan

jantung yang berpartisipasi dalam menimbulkan keadaan hipoksemia (Shock

Kardiogenic, Kontusio jantung).

Penatalaksanaan

1) Pengelolaan penderita terdiri dari:

Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan

ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.

Resusitasi fungsi vital.

Secondary survey yang terinci.

Perawatan definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest

tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan

midaxilaris.

2) Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi

dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.

3) Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat

dan sesederhana mungkin.

4) Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan

mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax

dengan jarum.

5) Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi

terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.

Tindakan:

1) Toraksosentesis jarum

18

Page 19: Skenario A Blok 19

Catatan: Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumotoraks.

Jika tindakan ini dilakukan pada penderita bukan tension pneumotoraks, dapat

terjadi pneumotoraks dan/ atau kerusakan pada parenkim paru.

Identifikasi toraks penderita dan status respirasi.

Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan.

Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension pneumotoraks.

Asepsis dan antisepsis dada.

Anestesi lokal jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan.

Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan.

Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6

cm) ke kulit secara langsung tepat di atas iga kedalam sela iga.

Tusuk pleura parietal.

Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum

memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumotoraks telah diatasi.

Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan kateter

plastik di tempatnya dan ditutup dengan plaster atau kain kecil.

Siapkan chest tube, jika perlu. Chest tube harus dipasang setinggi puting susu

anterior linea midaksilaris pada hemitoraks yang terkena.

Hubungkan chest tube ke WSD atau katup tipe flutter dan cabut kateter yang

digunakan untuk dekompresi tension pneumotoraks.

Lakukan rontgen toraks.

2) Insersi Chest Tube

Resusitasi cairan melalui paling sedikit satu kateter intravena kaliber besar, dan

monitor tanda-tanda vital harus dilakukan.

Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi puting (sela iga V) anterior linea

midaksilaris pada area yang terkena. Chest tube kedua mungkin dipakai pads

hemotoraks.

Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kin.

Anestesi lokal kulit dan periosteum iga.

Insisi transversal (horisontal) 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan dan

diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat di atas iga.

Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat

insisi untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan,

bekuan darah dll.

19

Page 20: Skenario A Blok 19

KIem ujung proksimal tube toraksostomi dan dorong tube ke dalam rongga pleura

sesuai panjang yang diinginkan.

Cari adanya “fogging” pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran

udara.

Sambung ujung tube toraksostomi ke WSD.

Jahit tube di tempatnya.

Tutup dengan kain/kasa dan plester.

Buat Foto ronsen toraks.

Pemeriksaan analisa gas darah sesuai kebutuhan.

c. Ekstremitas (paha kiri)

Anatomi

Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat penting

untuk pergerakan normal. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu femoral shaft atau

diafisis, metafisis proximal, dan metafisis distal. Femoral shaft adalah bagian tubular

dengan slight anterior bow, yang terletak antara trochanter minor hingga condylus

femoralis. Ujung atas femur memiliki caput, collum, dan trochanter major dan minor.

Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan berartikulasi dengan

acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat

lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamen dari caput.

Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan

memasuki tulang pada fovea.

20

Page 21: Skenario A Blok 19

Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan

kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada wanita

sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu diingat

karena dapat dirubah oleh penyakit.

Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan

batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan

dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat

tuberculum quadratum.

Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia licin

dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya terdapat rabung,

linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah. Tepian medial berlanjut

ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada

condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris

lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah trochanter major terdapat

tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang

melebar ke arah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan

posteriornya, disebut fascia poplitea.

Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian

posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus

dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk

21

Page 22: Skenario A Blok 19

articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis.

Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis.

Gambaran Klinis

Pada pemeriksaan awal penderita perlu diperhatikan:

Syok, anemia atau perdarahan

Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau

organ-organ dalam rongga thoraks, panggul dan abdomen

Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

Pemeriksaan lokal

1) Inspeksi (look)

Bandingkan dengan bagian yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan

Ekspresi wajah karena nyeri

Lidah kering atau basah

Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur

tertutup atau terbuka

Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari

Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan

Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain

Perhatikan kondisi mental penderita

Keadaan vaskularisasi

2) Palpasi (feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh

sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

Temperatur setempat yang meningkat

Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh

kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati

Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,

arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang

22

Page 23: Skenario A Blok 19

terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal

daerah trauma, temperatur kulit

Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya

perbedaan panjang tungkai.

3) Pergerakan (move)

Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara

aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada

penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji

pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan

kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan awal

Sebelum dilakukan pengobatan definitf pada satu fraktur, maka diperlukan:

Pertolongan pertama

Pada penderita dengan fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan jalan

napas, menutup luka dengan verban yang bersih dan imobilisasi fraktur pada

anggota gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri.

Penilaian klinis

Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka

itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf ataukah ada trauma

alat-alat dalam lainnya.

Resusitasi

2) Prinsip umum pengobatan fraktur

Ada empat prinsip pengobatan fraktur:

Recognition, diagnosis dan penilaian fraktur

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan

anamnesis, pemeriksan klinis dan radiologis.

Reduction; reduksi fraktur apabila perlu

Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat

diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat

mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti

kekakuan, deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari.

Retention; imobilisasi fraktur

23

Page 24: Skenario A Blok 19

Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin

5. Tension Pneumothorax

Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax) terjadi akibat cedera pada

parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup

inimengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangiadanya

aliran balik dari udara tersebut. Pneumotoraks ventil biasa terjadi ada perawatan

intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik

tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanyaaliran udara balik

Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga

pleurasehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah

kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia.

Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang,sedangkan hipoksia

terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yangkolaps dan paru yang

tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnyacurah jantung akan menggangu

kestabilan hemodinamik yang akan berakibatfatal jika tidak ditangani secara tepat.

6. Penanganan Pasiena. Tatalaksana Awal di Tempat Kejadian

24

Page 25: Skenario A Blok 19

Persiapan

1) Memberitahu perawat/petugas kesehatan di puskesmas untuk

mempersiapkan ruang UGD dan peralatan-peralatannya.

2) Mempersiapakan alat-alat emergency yang dibutuhkan, meliputi :

- Stetoskop

- Spet

- Ambu bag

- ETT, NGT

- Laryngoskop

- Hard neck collar

- Spalek / bidai

- Long spine board

- Perban elstic

- Kapas

- Larutan antispetik

3) Pakai baju pengaman, hasnkun, google sebagai pengaman

4) Menuju TKP dengan membawa alat tersebut dengan ditemani 2 orang

asisten.

BLS / PHTLS Di TKP

1) Pemeriksaan kesadaran :

Tanya nama pasien untuk menilai kesadaran

Nilai cara bicara untuk assessment airway

Lakukan peraba nadi (arteri radialis) sambil mengajukan pertanyaan

2) Evaluasi airway. Lakukan control serviks .Pasang neck collar, dengan

terlebih dahulu mengukur dengan teknik 4 jari

Membuka atau melonggarkan pakaian pasien, tapi cegah hipotermia,

lakukan inspeks cepat.

3) Breathing : Auskulatsi paru dan perkusi dada (menilai tension

pneumotorak)

Berikan tambahan oksigen dengan ambu bag.

Needle dekompresi tension pneumotoraks dengan tahapan :

Tentukan intercostals 2 dengan palpasi

Lakukan desinfeksi dengan larutan antiseptik

25

Neck Collar

Traction splint

Long spine board

Spalek/splint

Page 26: Skenario A Blok 19

Gunakan spet yang ditusuk pada intercostals 2

4) Circulation :

Lakukan pemeriksaan perdarahan ekstrenal dengan teknik body sweep

Bila terdapat perdarahan eksternal lakukan control dengan balut tekan

dan elevasi.

5) Lakukan pembidaian femur (dengan spalek atau

teknik neighbouring splint) atau traksi dengan

menggunakan traction splint (penting untuk

mencegah terjadinya overriding tulang femur)

Sebelum dan sesudah memasang traction splint,

lakukan perabaan arteri dorsalis pedis untuk

menilai apakah ikatan terlalu kuat.

6) Lakukan immobilisasi pasien

Persiapkan long spine board

Lakukan “penggulingan” korban (90°) dengan teknik logroll (teknik agar

tulang belakang, pelvis, dll tidak bergerak, membutuhkan min 3 orang)

7) Teknik transport pasien

Jika ada ambulance, transport pasien dengan ambulance. Jika tidak ada

sebaiknya menggunankan alat transport lain untuk mencegah guncangan

bila dibawa tanpa alat transpor.

b. Tatalaksana di Medical Center

Primary survey

1) Airway : jaga jalan napas tetap paten. Bila diperlukan lakukan pemasangan

intubasi ETT (dengan bantuan auskultasi pada 5 titik) dan pemberian oksigen

dengan ambu bag (resusitasi oksigen), NGT dapat dipasang untuk mencegah

aspirasi.

2) Breathing : Inspeksi dada, auskultasi paru dan jantung, perkusi, palpasi

Untuk tatalaksana lanjut tension pneumothoraks dilakukan pemasangan chest

tube:

Antiseptik daerah insersi chest tube

Penyuntikan anastesi pada dinding dada intercostals 5 (intramuscular,

pleura parietal, permukaan periosteal iga 5)

Incisi dengan skapel

Pemasukan chest tube (ukuran 24 -26 french)

26

Page 27: Skenario A Blok 19

Fiksasi chest tube

3) Circulation : Pemberian kristaloid (RL 4500 – 6000 cc / jam) caliber besar

yang telah dihangatkan, melalui IV (resusitasi cairan)

4) Exposure : membuka keseluruhan pakaian pasien (digunting) tetapi cegah

hipotermia

Untuk tatalaksana fraktur iga

Pemberian analgesia untuk mengurangi nyeri dan membantu pengembangan

dada: Morphine Sulfate. Hidrokodon atau kodein yang dikombinasi

denganaspirin atau asetaminofen setiap 4 jam.

Blok nervus interkostalis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri berat akibat

fraktur costae

- Bupivakain (Marcaine) 0,5% 2 sampai 5 ml, diinfiltrasikan di sekitar n.

interkostalis pada costa yang fraktur serta costa-costa di atas dan di bawah

yang cedera

- Tempat penyuntikan di bawah tepi bawah costa, antara tempat fraktur dan

prosesus spinosus. Jangan sampai mengenai pembuluh darah interkostalis

dan parenkim paru

Pengikatan dada yang kuat tidak dianjurkan karena dapat membatasi

pernapasan

Resusitasi

Sudah termasuk di primary survey +

1) Pemasangan kateter foley / dower dengan terlebih dahulu menilai apakah

terdapat trauma pelvic, uretra, dll (dengan cara inspeksi : apakah terdapat

darah di meatus uretra, hematoma, dll; RT : apakah prostat teraba / melayang)

2) Cross cek darah

3) Pemberian transfuse darah universal (gol O, rh -) hanya bila syok memburuk

progresive

Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

Jika pasien telah stabil kita lakukan secondary survey.

4) Monitoring (kesadaran, vital sign, cairan urin, ABG, dll)

5) Anamnesis SAMPLE (Sensation, Allergic, Past illness, Last meal, Event)

6) Pemeriksan head to toe untuk mengetahui kemungkinan ada trauma lain. Semua

prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala

sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama :

27

Page 28: Skenario A Blok 19

Pemeriksaan kepala

Kelainan kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani,

cedera jaringan lunak periorbital

Pemeriksaan leher

Emfisema subkutan,deviasi trachea, vena leher yang mengembang

Pemeriksaan neurologis

Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS), penilaian rasa raba /

sensasi dan refleks

Pemeriksaan dada

Clavicula dan semua tulang iga, suara napas dan jantung, pemantauan ECG (bila

tersedia)

Pemeriksaan rongga perut (abdomen)

cari luka, memar dan cedera lain, pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma

tumpul abdomen kecuali bila ada trauma wajah. Periksa dubur (rectal toucher),

pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

Pelvis dan ekstremitas

Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes

gerakan apapun karena memperberat perdarahan), cari denyut nadi-nadi perifer

pada daerah trauma, cari luka, memar dan cedera lain

Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :

Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak), pelvis dan tulang

panjang, foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif.

Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan sewaktu survei primer

Evaluasi fungsi neurologis

Untuk evaluasi berat dan luasnya cedera, jika pasien sadar tanyakan dengan jelas

apa yang dirasakan dan minta pasien untuk melakukan gerakan agar dapat

dievaluasi fungsi motorik dari ekstremitas atas dan bawah.

Pemeriksaan Tambahan

Foto Thorax, indikasi : Fraktur iga, Flail chest, Pneumtoraks, Hemotoraks

Foto Pelvis, indikasi : Curiga fraktur pelvis, fraktur collumna femoris, dll

Foto femur, indikasi : Fraktur femur

28

Page 29: Skenario A Blok 19

DPL / USG abdomen, indikasi : curiga perdarahan intra-abdomen, trauma

organ abdominal, nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya, trauma

pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang

jelas, pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol,

cedera otak).

Kriteria Rujukan Antar Rumah Sakit :

1) Bila keadaan rumah sakit tidak mencukupi kebutuhan penderita

2) Keadaan klinis pasien

Susunan saraf pusat Trauma kapitis Luka tembus atau fraktur impresi Luka terbuka, dengan atau tanpa kebocoran cairan serebrospinal GCS < 14 atau penurunan GCS lebih lanjut Tanda lateralisasi Trauma medula spinalis atau fraktur vertebra yang beratToraks Mediastinum melebar atau curiga cedera aorta Cedera dinding dada berat atau kontusio paru Cedera jantung Penderita yang membutuhkan ventilasi untuk waktu lamaPelvis/ Abdomen Kerusakan pelvis-ring yang tidak stabil Kerusakan pelvic ring dengan syok, dan tanda perdarahan lanjut Fraktur pelvis terbukaEkstremitas Fraktur terbuka yang berat Traumatik amputasi yang masih mungkin dilakukan re-implantasi Fraktur intra-artikulat yang rumit Crush injury yang berat IskemiaCedera multi-sistem Trauma kapitis disertai trauma wajah, toraks, abdomen atau pelvis Cedera pada lebih dari 2 anggota tubuh Luka bakar berat, atau luka bakar dengan cedera lain Fraktur tulang panjang proksimal pada lebih dari satu tulangFaktor komorbid Umur > 55 tahun Anak-anak Penyakit jantung atau pernapasan Insulin dependent diabetes melitus, obesitas morbid

29

Page 30: Skenario A Blok 19

Kehamilan ImunosupresiPenurunan kesadaran lebih lanjut (late sequele) Diperlukan ventilasi mekanik Sepsis Kegagalan organ tunggal atau multipel (penurunan keadaan susunan

saraf pusat, jantung, pernapasan, hepar, ginjal, atau sistem koagulasi) Nekrosis jaringan yang luas

7. Prognosis

Dubia et bonam

Tension pneumothorax hampir 50% mengalami kekambuhan setelah

pemasangan tube torakostomi tapi kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien yang

dilakukan torakotomi terbuka

Fraktur costa pada anak dengan tanpa komplikasi memiliki prognosis yang

baik, sedangkan pada penderita dewasa umumnya memiliki prognosis yang kurang

baik oleh karena selain penyambungan tulang relatif lebih lama juga umumnya disertai

dengan komplikasi. Keadaan ini disebabkan costa pada orang dewasa lebih rigit

sehingga akan mudah menusuk pada jaringan ataupun organ di sekitarnya.

8. Komplikasi

Komplikasi pada tension pneumothorax

- Gagal napas akut (3-5%)

- Komplikasi tube torakostomi à lesi pada nervus interkostales

- Henti jantung-paru

- Infeksi sekunder dari penggunaan WSD

- Kematian

- timbul cairan intra pleura, misalnya.

- Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.

- Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.

- syok

Komplikasi fraktur costae:

Komplikasi yang timbul akibat adanya fraktur costa dapat timbul segera

setelah terjadi fraktur, atau dalam beberapa hari kemudian setelah terjadi. Besarnya

komplikasi dipengaruhi oleh besarnya energi trauma dan jumlah costae yang patah.

30

Page 31: Skenario A Blok 19

Gangguan hemodinamik merupakan tanda bahwa terdapat komplikasi akibat

fraktur costae. Pada fraktur costa ke 1-3 akan menimbulkan cedera pada vasa dan

nervus subclavia, fraktur costa ke 4-9 biasannya akan mengakibatkan cedera terhadap

vasa dan nervus intercostalis dan juga pada parenkim paru, ataupun terhadap organ

yang terdapat di mediastinum, sedangkan fraktur costa ke 10-12 perlu dipikirkan

kemungkinan adanya cedera pada diafragma dan organ intraabdominal seperti hati,

limpa, lambung maupun usus besar.

Pada kasus fraktur costa simple pada satu costa tanpa komplikasi dapat segera

melakukan aktifitas secara normal setelah 3-4 minggu kemudian, meskipun costa baru

akan sembuh setelah 4-6 minggu.

Komplikasi awal :

Pneumotoraks, effusi pleura, hematotoraks, dan flail chest, sedangkan

komplikasi yang dijumpai kemudian antara lain contusio pulmonum, pneumonia dan

emboli paru. Flail chest dapat terjadi apabila terdapat fraktur dua atau lebih dari costa

yang berurutan dan tiap-tiap costa terdapat fraktur segmental,keadaan ini akan

menyebabkan gerakan paradoksal saat bernafas dan dapat mengakibatkan gagal nafas.

9. KDU: 3B

Mampu mmembuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

tambahan. Mampu memberikan terapi pendahuluan dan merujuk ke spesialis yang

relevan. KASUS GAWAT DARURAT.

DAFTAR PUSTAKA

31

Page 32: Skenario A Blok 19

American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma Life Support

for Doctors.

A Pierce. Dkk. At a Glance Ilmu Bedah. Penerbit Erlangga. Jakarta.2006

Bresler, Michael Jay dan George L. Sternbach. 2007. Manual Kedokteran Darurat. Jakarta :

EGC

De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.2, Jakarta, EGC, 2004.

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC.

Djoko, Widayat dan Djoko Widodo. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi IV. Jakarta: FKUI

Guyton. 2005.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Prince, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC

Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2010. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa

Aksara

32