analisis masalah skenario c blok 19

13
ANALISIS MASALAH 1. Apa etiologi dan mekanisme mata sulit dibuka pada kasus? Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya : 1) Acquired autoimmune 2) Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR. 3) Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang dapat menyebabkan kelemahan yang menyerupai MG atau dapat mengeksaserbasi kelemahan MG mencakup curare, aminoglikosida, quinine, procainamide, dan calcium channel blocker. 4) Congenital myasthenic syndrome. Mata yang sulit dibuka terjadi karena adanya kelumpuhan pada muskulus levator palpebral yang dipersarafi oleh nervus occulomotorius. 2. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

description

analisis masalah skenario c blok 19 2015

Transcript of analisis masalah skenario c blok 19

Page 1: analisis masalah skenario c blok 19

ANALISIS MASALAH

1. Apa etiologi dan mekanisme mata sulit dibuka pada kasus?

Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :

1) Acquired autoimmune

2) Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.

3) Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat

mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired

autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang

dapat menyebabkan kelemahan yang menyerupai MG atau dapat mengeksaserbasi

kelemahan MG mencakup curare, aminoglikosida, quinine, procainamide, dan

calcium channel blocker.

4) Congenital myasthenic syndrome.

Mata yang sulit dibuka terjadi karena adanya kelumpuhan pada muskulus levator

palpebral yang dipersarafi oleh nervus occulomotorius.

2. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

Tabel 1. Uji diagnostik pada myasthenia gravis

Page 2: analisis masalah skenario c blok 19

Tabel 2. Tes kuantitatif pada Myasthenia Gravis

1) Tes Tensilon

Tes edrofonium (tensilon) dapat membantu dalam mendiagnosis MG. Edrofonium

adalah antikolinesterase short-acting,dengan onset kerja 30 detik dan efeknya akan

bertahan selama sekitar lima menit. Pemberiannya akan menyebabkan

peningkatan ketersediaan ACh sementara di NMJ yang cukup untuk

meningkatkan kekuatan secara sementara. Untuk melakukan tes edrofonium,

diperlukan akses vena dan dimulai dengan pemberian edrofonium dengan dosis 2

mg (0,2 ml), karena beberapa pasien sangat sensitif dengan dosis rendah. Jika

tidak ada respon setelah 30 detik, sisa 8 mg diberikan secara bertahap yaitu 2 mg

setiap 10-15 detik. Tes ini dilaporkan positif jika ada perbaikan kelemahan yang

nyata.Oleh sebab itu, tes ini paling bermanfaat pada pasien dengan ptosis yang

signifikan atau kelemahan otot ekstraokuler yang dapat dinilai secara objektif. Tes

edrofonium memiliki risiko yang serius berupa bradikardi dan / atau hipotensi.

Page 3: analisis masalah skenario c blok 19

Oleh karena itu, tes ini harus dilakukan hanya bila diagnosis myasthenia gravis

sangat mendesak dan ada fasilitas untuk resusitasi. Sensitivitas tes edrofonium

dilaporkan 86% pada MG okular dan 95% untuk MG general.

2) Ice pack test

Tes ini dapat digunakan jika dijumpai ptosis. Pemberian kompres es pada kelopak

mata yang terkena dampak memperbaiki ptosis karena MG pada 80% kasus tetapi

tidak memperbaiki ptosis akibat etiologi lain. Respon dapat dijelaskan atas dasar

peningkatan safety factor pada NMJ dengan pendinginan lokal yang mungkin

disebabkan oleh melambatnya kinetik AChR. Respon tidak sepenuhnya

disebabkan oleh istirahat. Tes ini jauh lebih sederhana daripada tes edrofonium

dan tidak memerlukan pemantauan jantung.

3) Uji serologis

Antibodi AChR dijumpai pada sebagian besar pasien MG. Terdapat tiga tipe

antibodi yang terdeteksi, yaitu AChR-binding antibodies, AChR-modulating

antibodies dan AChR-blocking antibodies. Peningkatan kadar satu atau lebih dari

ketiga antibodi tersebut dijumpai pada 80-90% pasien MG. Antibodi

AChRbinding adalah antibodi yang paling sering diuji dan diidentifikasi.

Pengukuran antibodi AChR binding menggunakan AChR skeletal manusia yang

dimurnikan dan diinkubasi dengan imunoglobulin serum pasien. Uji ini sangat

spesifik. Antibodi AChR binding dijumpai pada 80% pasien miastenia general dan

hanya pada 55% pasien dengan miastenia okular. Uji antibodi AChR-modulating

mengukur tingkat degradasi labeled AChR. Antibodi AChR-blocking

berkompetisi untuk tempat pengikatan ACh atau menghambat ikatan antara α-

bungarotoxin, suatu antagonis kolinergik yang irreversible, dengan AChR. Tes

serologis kini dianggap sebagai baku emas dalam diagnostik. Tes ini sangat

spesifik untuk MG. Titer antibodi tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.

Pada pasien dengan gejala MG yang tidak menunjukkan antibodi anti-AChR, uji

serologis dapat ditujukan untuk mengetahui adanya anibodi anti-MusK. Sekitar

5% pasien MG tidak menunjukkan antibodi terhadap reseptor ACh maupun anti-

MuSK.

4) Elektrofisiologi

Pemeriksaan konduksi sensorik dan motorik biasanya normal. Terdapatnya

variabilitas motor unit action potential (MUAP) yang tidak stabil merupakan

temuan yang sangat membantu dalam diagnosis MG (Gambar 1). Untuk

Page 4: analisis masalah skenario c blok 19

melakukannya, MUAP tunggal ini diisolasi dan dilihat berulang-ulang

menggunakan delayed trigger line bersama dengan peningkatan filter setting

frekuensi rendah (500 Hz) dan kecepatan sweep yang cepat (1-2 m/s). Variabilitas

MUAP ini analog dengan respon decremental respon pada stimulasi berulang,

blocking pada single fiber electromyography (SFEMG), dan kelemahan fatigable

yang dialami oleh pasien. Uji elektrodiagnostik yang lazim digunakan untuk

mengidentifikasi gangguan transmisi neuromuskular postsynaptic adalah respon

decremental terhadap stimulasi berulang yang lambat, dengan frekuensi ≤ 5 Hz,

dimana 2 atau 3 Hz biasanya digunakan. Dalam keadaan normal, compound

muscle action potentials (CMAPs) dengan amplitudo yang sama akan terjadi tanpa

batas karena safety margin dari EPP.

Tes elektrofisiologi yang lazim digunakan adalah RNS dan SFEMG. Stimulasi

saraf berulang menunjukkan penurunan amplitudo progresif dari CMAP pada

stimulasi keempat ketika saraf diberikan stimulasi listrik supramaksimal berulang

dengan frekuensi 3 Hz. Pada subjek normal, respon keempat dapat juga sedikit

lebih kecil daripada yang pertama, tetapi penurunan tersebut tidak lebih dari 7%.

Jika pengurangan amplitudo > 10%, tes ini disebut positif (respon decremental).

Dengan stimulasi saraf yang rendah (2-5 Hz), RNS mengurangi simpanan ACh

pada NMJ. Hal ini menurunkan safety factor dan transmisi neuromuskular. Pada

kelainan NMJ, safety factor mengalami penurunan dan penurunan lebih lanjut

oleh RNS menyebabkan EPP gagal mencapai ambang depolarisasi. Ini

menyebabkan kegagalan untuk menimbulkan potensial aksi pada otot. Dengan

penurunan potensial aksi setrabut otot, CMAP menjadi berkurang dalam hal

amplitudo dan area dengan respon decremental.

Page 5: analisis masalah skenario c blok 19

Gambar 1. Instabilitas MUAP pada myasthenia gravis

Single fiber electromyography adalah tes yang paling sensitif pada MG. Pada tes

ini, potensial aksi yang dihasilkan oleh serabut otot yang berdekatan dari motor

unit yang sama, dicatat dengan elektroda. Ketika satu motor unit diaktifkan,

potensial aksi yang mencapai serabut otot tidak semua synchronous. Rerata

perbedaan antara dua serabut disebut 'jitter’ dan normalnya kurang dari 55 μsec.

Pada myasthenia gravis, interval atau jitter ini meningkat dan biasanya > 100

msec. Ini disebabkan oleh EPP yang rendah dan decremental pada MG. Dapat

dipahami bahwa EPP dengan amplitudo yang lebih rendah memakan waktu lebih

lama untuk mencapai ambang batas untuk mengaktifkan potensial aksi pada

serabut otot dibandingkan dengan amplitudo EPP normal.

Page 6: analisis masalah skenario c blok 19

Gambar 2. Pola respon decremental pada pemeriksaan RNS

5) Pencitraan

Computed tomography (CT) / manetic resonance imaging (MRI) toraks digunakan

untuk skrining adanya tumor timus. Pencitraan dapat digunakan setelah timektomi

untuk mencari sisa jaringan timus pada pasien yang tiba-tiba memburuk. Timus

biasanya dapat terlihat sampai dengan pertengahan dewasa. Menetapnya bayangan

timus setelah usia 40 tahun atau pembesaran timus pada scan serial seharusnya

segera dicurigai tumor timus.

3. Bagaimana komplikasi pada kasus?

Krisis miastenia adalah suatu eksaserbasi MG yang ditandai dengan bertambahnya

kelemahan yang menyebabkan episode gagal nafas akut yang menyebabkan ventilasi

mekanik. Kelemahan dapat melibatkan otot-otot pernafasan atau kelemahan bulbar,

yang mengganggu airway. Krisis miastenia adalah komplikasi MG yang paling

berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis

miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74% pasien) dan

15-20% pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.

Page 7: analisis masalah skenario c blok 19

SINTESIS MASALAH/ LEARNING ISSUE

Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis adalah kelainan autoimun yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor

asetilkolin pada membran postsinaptik pada neuromuscular junction yang ditandai dengan

kelemahan dan kelelahan otot volunter.

Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan kelemahan dan

kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap reseptor

acetylcholine (ACh) nikotinik pada neuromuscular junction (NMJ).

Myasthenia gravis merupakan kelainan yang cukup jarang dijumpai. Prevalensi MG sekitar

85-125 per satu juta penduduk dengan insidensi tahunan sekitar 2-4 per satu juta penduduk.

Penyakit ini memiliki dua puncak kejadian, yang pertama antara 20 hingga 40 tahun yang

didominasi wanita dan antara 60 hingga 80 tahun dengan perbandingan pria dan wanita yang

seimbang.

Karakteristik klinis dari MG berupa kelemahan otot yang berfluktuasi dan dapat 2,3

melibatkan kelompok otot tertentu. Kelemahan mata dengan ptosis asimteris dan diplopia

binokular adalah presentasi awal yang paling khas, sementara kelemahan orofaringeal atau

ekstremitas dini lebih jarang dijumpai. Perjalanan klinisnya bervariasi, dan sebagian besar

pasien dengan kelemahan okular pada awalnya akan mengalami kelemahan bulbar atau

anggota gerak dalam waktu tiga tahun sejak onset gejala awal. Myasthenia gravis memenuhi

kriteria untuk suatu kelainan autoimun yang diperantarai antibodi, yaitu : (a) antibodi

dijumpai pada area patologis, yaitu NMJ; (b) antibodi dari pasien MG atau antibodi anti

reseptor ACh (AChR) dari hewan percobaan menyebabkan gejala MG jika diinjeksikan ke

hewan; (c) Imunisasi hewan dengan AChR menyebabkan penyakit tersebut; (d) terapi yang

menghilangkan antibodi akan mengurangi keparahan gejala MG.

Page 8: analisis masalah skenario c blok 19

Gambar 3. Klasifikasi myathenia gravis

Myasthenia gravis disebabkan oleh proses imunologis yang diperantarai antibodi pada

membran postsinaptik. Pada pasien dengan kelemahan otot yang fluktuatif, diagnosis MG

didukung oleh: 1. Tes edrofonium yang menyebabkan perbaikan kekuatan motorik yang

nyata; 2. Tes elektrofisiologis dengan stimulasi saraf berulang (repetitive nerve

stimulation/RNS) dan/atau single-fiber electromyography (SFEMG); dan 3. Tes serologi

yang menunjukkan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) atau terhadap muscle-

specific tyrosine kinase (MuSK).

Diagnosis banding meliputi congenital myasthenic syndrome, Lambert Eaton syndrome,

botulismus, keracunan organofosfat, acute inflammatory demyelinating polyneuropathy

(AIDP), motor neuron disease (MND),hipertiroid, dan iskemia batang otak.

Penatalaksanaan bersifat individual dan termasuk pengobatan simtomatik dengan inhibitor

cholinesterase dan immunomodulator dengan kortikosteroid, azathioprine,cyclosporine,dan

Page 9: analisis masalah skenario c blok 19

mycophenolate mofetil. Perbaikan sementara yang cepat dapat dicapai untuk krisis miastenia

dan eksaserbasi dengan plasma exchange (PEX) atau intravenous immunoglobulin (IVIG).

Kemajuan dalan tes diagnostik, imunoterapi, dan perawatan intensif, menyebabkan prognosis

menjadi lebih baik dengan dengan angka mortalitas kurang dari lima persen dan harapan

hidup mendekati normal.

DAFTAR PUSTAKA

Fitri, Fasihah Irfani. 2011. Jurnal : Myasthenia Gravis. Diunduh dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40820/1/MYASTHENIA%20GRAVIS.pdf

pada 8 september 2015 pukul 3.12

Shah, Aashit K. 2014. Myasthenia Gravis. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview pada 8 september 2015 pukul 3.24