analisis masalah skenario d blok 19

22
Analisis Masalah 1. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dan status gizi? Rasio jenis kelamin anak epilepsi, lelaki sedikit lebih banyak dibanding anak perempuan yaitu hal ini sesuai dengan penelitian Shorvon dkk,yang mendapatkan rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti sesuai dengan insidens epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu insidens tertinggi pada usia anak dini, mencapai nadirnya pada usia dewasa dini, dan naik kembali pada usia tua. Bangkitan epilepsi jarang dijumpai pada usia bulan-bulan pertama, dan lebih sering antara usia 4 bulan-4 tahun, kemudian frekuensinya menurun sampai remaja. Bangkitan kejang pada bayi premature lebih jarang terjadi dibanding bayi cukup umur, karena sistem saraf bayi prematur belum berkembang. Hal ini menunjukkan faktor usia dan perkembangan ikut mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak. 2. Apa hubungan riwayat meningitis dengan penyakit sekarang? Meningitis menyebabkan timbulnya lesi pada daerah intrakranial, apakah lesi tersebut bersifat fokal atau pun secara keseluruhan. Dimana lesi tersebut menyebabkan timbulnya gangguan pada sekelompok kecil sel neuron, atau sekelompok besar sel neuron atau keseluruhna neuron. Hal ini menyebabkan terganggunga fungsi neurotransmitter sehingga terjadi hiperaktvitas atau berlebihan muatan

description

analisis masalah skenario d blok 19 2015

Transcript of analisis masalah skenario d blok 19

Page 1: analisis masalah skenario d blok 19

Analisis Masalah

1. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dan status gizi?

Rasio jenis kelamin anak epilepsi, lelaki sedikit lebih banyak dibanding anak

perempuan yaitu hal ini sesuai dengan penelitian Shorvon dkk,yang mendapatkan

rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti sesuai dengan insidens

epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu insidens tertinggi pada usia anak dini,

mencapai nadirnya pada usia dewasa dini, dan naik kembali pada usia tua. Bangkitan

epilepsi jarang dijumpai pada usia bulan-bulan pertama, dan lebih sering antara usia 4

bulan-4 tahun, kemudian frekuensinya menurun sampai remaja. Bangkitan kejang

pada bayi premature lebih jarang terjadi dibanding bayi cukup umur, karena sistem

saraf bayi prematur belum berkembang. Hal ini menunjukkan faktor usia dan

perkembangan ikut mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak.

2. Apa hubungan riwayat meningitis dengan penyakit sekarang?

Meningitis menyebabkan timbulnya lesi pada daerah intrakranial, apakah lesi tersebut

bersifat fokal atau pun secara keseluruhan. Dimana lesi tersebut menyebabkan

timbulnya gangguan pada sekelompok kecil sel neuron, atau sekelompok besar sel

neuron atau keseluruhna neuron. Hal ini menyebabkan terganggunga fungsi

neurotransmitter sehingga terjadi hiperaktvitas atau berlebihan muatan listrik sehingga

ecxitatory > inhibitory sehingga memacu timbulnya kejang paroksismal (epilepsi).

3. Bagaimana mekanisme obat asam valproat?

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,

kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik, dan kurang efektif terhadap epilepsi

fokal . Asam valproat dapat meningkatkan GABA di sinaps dengan menghambat

degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA dengan cara mengurangi GABA

transaminase. Asam valproat juga  berpotensi terhadap respon GABA ( inhibitor,

antikonvulsan alami di otak ) post sinaptik yang langsung menstabilkan membran

serta mempengaruhi kanal kalium. GABA berikatan dengan reseptornya di Sinaps

akan mengaktivasi kanal clorida sehingga canal clorida membuka akibatnya clorida

Page 2: analisis masalah skenario d blok 19

yang ada di luar sel akan masuk ke dalam sel, ketika clorida masuk ke dlam sel.

Membran potensial sel menjadi lebih negatif, sehingga sel yang awalnya depolarisasi

dengan ambang – 59 mv akan menjadi lebih negatif -70 mw, dan kembali ke potensial

normal dan tidak terjadi depolarisasi. Jadi selama 6 bulan obat dikonsumsi,

konsentrasi GABA meningkat untuk mempengaruhi kanal kalium. Setelah obat

dihentikan konsentrasi GABA berangsur-angsur mulai berkurang untuk menghambat

terjadinya kejang. Tetapi penumpukan acetylcholine tetap terjadi.

4. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

- Pemeriksaan Electro-encephalography (EEG).

Rekaman EEG merupakan pemeriksan yang paling berguna pada dugaan suatu

bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis dan

membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan

tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya

pengobatan dengan AED.

- Pemeriksaan pencitraan Otak (brain imaging)

Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam mendeteksi

lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi

patologik dapat terdiagnosis secara non-invasif, misalnya mesial temporal

sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic

neuroepihelial tumor). Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada

epilepsi yang refrakter terhadap OAE. Funtional brain imaging seperti Positron

Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Comuted Tomography

(SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam

menyediakan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan

perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.

- Pemeriksaan Laboratorium.

Pemeriksaan hematologik

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit, apusan

darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium). kadar gula,

fungsi hati, ureum, kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan pada awal

Page 3: analisis masalah skenario d blok 19

pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan

rutin setiap tahun sekali.

- Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level  setelah tercapai steady state,

pada saat kebangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini

diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini

dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila terdapat gejala toksisitas,

bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat

lain, bila terdapat perubahan fisiologi pada tubuh penyandang (kehamilan, luka

bakar, gangguan fungsi ginjal).

Sedangkan status epileptikus bisa kita bedakan dengan gejala klinis berupa kejang

yang serangan terus menerus lebih dari 5 hingga 10 menit atau serangan datang

dan pergi, masing-masing berlangsung kurang dari 5 menit, tetapi tanpa

memperoleh kesadaran di antara serangan.

5. Bagaimana klasifikasi dari working diagnosis pada kasus?

Klasifikasi epilepsi :

a. Bangkitan Parsial/fokal

- Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1) Dengan gejala motorik.

2) Dengan gejala sensorik.

3) Dengan gejala otonomik.

4) Dengan gejala psikis.

- Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran.

2) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.

Page 4: analisis masalah skenario d blok 19

- Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

1) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan

umum

2) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan

umum

3) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial

kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum

b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)

- Bangkitan lena (absence)

Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi

mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik

pada mata, dagu dan bibir.

- Bangkitan mioklonik

Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat

umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih

ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.

- Bangkitan tonik

Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas

menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan

kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah

menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat

bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan

pupil dilatasi.

- Bangkitan atonik

Page 5: analisis masalah skenario d blok 19

Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya

kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh

sehingga pasien terjatuh.

- Bangkitan klonik

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang

kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.

- Bangkitan tonik-klonik

Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian

diikuti oleh gerakan klonik.

6. Bagaimana patofisiologi pada kasus?

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan

ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion

ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih

negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu

masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya

depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan

menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,

akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk

merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.

Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang

berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan

menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi.

Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan

inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada

sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa

kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi

fisik dan retardasi mental.

Page 6: analisis masalah skenario d blok 19

Sintesis Masalah

Status epileptikus dan epilepsi

1. Definisi

Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-

waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan

kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang

intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di

otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa

gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun

general.

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang

berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan

International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali

definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor

predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini

membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan

bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas

(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh

ILAE dan IBE yaitu13 :

a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.

b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan

selanjutnya

c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,

psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang

penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu

diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan

Page 7: analisis masalah skenario d blok 19

seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit

menular, dan sebagainya.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang

berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau

tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf

di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

2. Etiologi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul

tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang

tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa

diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan

lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh

adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-

tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron

di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi.

Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan

pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor penyebabnya

ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit

metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain.

Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam

penyakit diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak,

perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak,

kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit,

demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas.

3. Faktor Risiko

Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah :

a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam

pertama

Page 8: analisis masalah skenario d blok 19

b. Kejang demam kompleks

c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.

Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor

resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan

sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam

mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun

dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.

4. Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi :

c. Bangkitan Parsial/fokal

- Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

5) Dengan gejala motorik.

6) Dengan gejala sensorik.

7) Dengan gejala otonomik.

8) Dengan gejala psikis.

- Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

3) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran.

4) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.

- Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

4) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan

umum

5) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan

umum

Page 9: analisis masalah skenario d blok 19

6) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial

kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum

d. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)

- Bangkitan lena (absence)

Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi

mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik

pada mata, dagu dan bibir.

- Bangkitan mioklonik

Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat

umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih

ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.

- Bangkitan tonik

Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas

menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan

kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah

menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat

bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan

pupil dilatasi.

- Bangkitan atonik

Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya

kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh

sehingga pasien terjatuh.

- Bangkitan klonik

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang

kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.

- Bangkitan tonik-klonik

Page 10: analisis masalah skenario d blok 19

Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian

diikuti oleh gerakan klonik.

5. Patofisiologi

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan

ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion

ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih

negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu

masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya

depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan

menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,

akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk

merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.

Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang

berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan

menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi.

Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan

inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada

sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa

kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi

fisik dan retardasi mental.

6. Diagnosis

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :

a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal

merupakan bangkitan epilepsi.

b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah

bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.

Page 11: analisis masalah skenario d blok 19

c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan

tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang

(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform

pada EEG.

Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai

berikut:

a. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal

segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala

dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan

kunci diagnosis.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

- Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur

/ berkemih.

- Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest).

- Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan

tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,

pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.

- Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh

gelisah, atau Todd’s paresis.

- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat

perubahan pola bangkitan.

2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit

neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang

mungkin menjadi penyebab.

Page 12: analisis masalah skenario d blok 19

3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar

bangkitan.

4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,

pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,

dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan

pertumbuhan otak unilateral.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum

dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia,

dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan

serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen,

kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat

berguna.

2) Elektro ensefalografi (EEG)

Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui

elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada

penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi.

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di

otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan

adanya kelainan genetik atau metabolik.

Page 13: analisis masalah skenario d blok 19

Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya :

- Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.

- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang

lambat yang timbul secara paroksimal.

3) Rekaman video EEG

Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh

karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-

menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan

gambaran serangan kejang epilepsi.

4) Pemeriksaan Radiologis

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging

yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan

melengkapi data EEG.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian

pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk

epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh

karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,

tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin

dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus

kanan dan kiri.

5) Pemeriksaan neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan

akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan

Page 14: analisis masalah skenario d blok 19

apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan

bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.

7. Prognosis

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor

penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi

cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah

dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti

minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik

dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.

Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)

dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus

dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.

Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan

(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan

selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk

menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu

mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor

prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja /

dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.

Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko

kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling

tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit

kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh

penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

Page 15: analisis masalah skenario d blok 19

Daftar Pustaka

Davis, B.J., 2004. Predicting Nonepileptic Seizures Utilizing Seizure Frequency, EEG, and

Response to Medication. Eur Neurol; 51: 153-156.

Kania N. 2007. Kejang Pada Anak. Bandung: Acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada

Anak di AMC Hospital.

Muzayyanah, NL. 2013. Epilepsi dan Status Epileptikus. Diunduh dari

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/15-3-4.pdf pada 15 September 2015 Pukul 6.09

Shorvon S. The Management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001 June;

70 (Suppl 2):1122-7.

Shorvon. Status epilepticus: its clinical features and treatment in children and adult.

Cambridge: University Press; 1995.