Shobirin BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/... · tidak ada...
Transcript of Shobirin BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/20/... · tidak ada...
BAB II
KONSEP HADIAH DAN HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Hadiah dan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Menurut M. Ngalim Purwanto Hadiah adalah alat pendidikan represif
yang menyenangkan, diberikan kepada anak yang memiliki prestasi tertentu
dalam pendidikan, memiliki kemajuan dan tingkah laku yang baik sehingga
dapat dijadikan tauladan bagi teman – temannya.1
Hadiah ini diberikan kepada siswa yang mempunyai prestasi dalam
pelajaran, ketrampilan, maupun yang lain, begitu pula dalam masalah akhlak,
ini sengaja diberikan agar ia menjadi suri tauladan bagi teman – temannya.
Dari pendapat di atas dapat di ambil suatu definisi bahwa hadiah
adalah alat pendidikan yang menyenangkan diberikan kepada siswa yang telah
menjalankan kegiatan positif yang selalu diharapkan oleh siswa, agar ia lebih
giat lagi belajarnya dan mencapai prestasi yang lebih baik lagi dari apa yang
telah dicapai saat ini, disamping itu untuk memotivasi teman – temannya yang
mempunyai prestasi baik.
Pada dasarnya metode mengandung implikasi bahwa proses
penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode
itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Jadi penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakekatnya adalah
pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik atau mengajar.2
Berkaitan dengan konsep hadiah dan hukuman sebagaimana firman
Allah SWT:
1 Ngalim Purwanto, MP. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 1995), Hlm 182.
2 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm. 98
13
14
Artinya :“Barang siapa yang melakukan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasannya), dan barang siapa yang melakukan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (Q.S. al-Zalzalah : 7-8).3
Dengan menyimak ayat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
balasan yang pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah hadiah / ganjaran
(reward), sedangkan balasan yang kedua adalah hukuman (punishment), di
mana ayat ini juga menjelaskan bahwa hadiah dan hukuman merupakan
pedoman dari Allah SWT, dan Islam mengakui hal tersebut sebagai salah satu
hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia atau masyarakat.
Hadiah di dalam al-Qur’an biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk
uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ‘ajr (أجر) dan tsawab (
seperti dalam surat al-Baqarah : 62, al-‘Ankabut : 58, dan ,(ثواب
al-Bayyinah: 8.4
Dafid. L Sills mendefinisikan hadiah ialah : “reward is one educations
tools with given to the pupil as appreciation toward accomplish men was he
reached”.5 Hadiah ialah salah satu alat pendidikan yang diberikan pada murid
sebagai penghargaan terhadap prestasi yang dicapainya.
Sedangkan al-Ghazali mengartikan Hadiah ialah :
عليه یكرم ان فينبغي ,محمود وفعل جميل خلق الصبي من ظهر مهما ثم
6الناس اظهر بين ویمدح به یفرح بما عليه ویجازي
3 Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 1971), hlm. 1087 4 Muhammad Fuad Abdi al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, (Beirut:
Daar al-Fikr, 1992), hlm. 17-18, 205-206 5 Dafids L. Sills, International Ensyclopedia of The Social Sciences, (London : Collier
Macmillan, 1972), hlm. 320 6 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, (Beirut: Darr al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th.), hlm. 78
15
Artinya :“sewaktu-waktu anak telah nyata budi pekerti yang baik dan perbuatan yang terpuji, maka seyogyanya ia dihargai dan dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji di depan orang banyak (diberi hadiah)”.
Yang perlu dingat dan digaris bawahi hadiah identik dengan tujuan
baik, sedang suap lebih identik dengan tujuan jelek. Meskipun beberapa studi
menunjukkan, bahwa untuk meningkatkan motivasi, pemberian hadiah lebih
efektif dibandingkan dengan cara lainnya; memberi sanksi, mengomeli,
memarahi dan lain sebagainya, tetapi sebagian orang tua kurang setuju dengan
hal itu. Dikhawatirkan anak terlalu mengharap hadiah yang akan diberikan,
sehingga hanya bekerja bila ada hadiah. Memang inilah yang menjadi
tantangan bagi para pendidik atau orang tua, oleh karena itu diusahakan
bagaimana caranya supaya dapat menghilangkan pemberian hadiah tidak
sesering mungkin terutama dalam bentuk materi, berikan hadiah sewajarnya
dan jangan terlalu berlebihan.7
Dari penjelasan tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud Hadiah dalam Pendidikan Islam adalah suatu pemberian yang
diberikan kepada anak didik karena anak telah melakukan kebaikan dan juga
merupakan pembinaan yang dipandang sebagai proses sosial dapat melahirkan
anak yang berwatak sosial, yang meraih watak kemanusiaannya yang
memiliki bekal nilai-nilai dan yang mematuhi perintah serta larangan moral
dan sosial yang merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan anak yang baik
dan stabil.
Berkaitan dengan hukuman (punishment) ada beberapa pandangan
bahkan ada yang berpendapat dan percaya tentang hukuman itu sendiri dan
juga sebaliknya. Untuk itu perlu ditegaskan pula apa yang dimaksud dengan
hukuman dalam pembahasan ini, sebagaimana Hadiah yang telah disinggung
di atas.
7 Charles Schaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak, (Jakarta: Dahara Prize, 1989), hlm.
21-22
16
Dalam al-Qur’an hukuman juga biasanya disebutkan dalam berbagai
bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ‘iqab (عقاب),
adzab ( عذاب), rijz (رجز), ataupun berbentuk pernyataan (statement). Kata
adzab seperti dalam surat at-Taubah : 74, Ali Imron : 21, kata rijz seperti
dalam surat al-A’raf : 134 dan 165, dan kata ‘iqab seperti dalam surat al-
Baqarah : 61 dan 65, Ali Imron : 11.8
Hukuman dalam istilah psikologi adalah cara yang digunakan pada
waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang tidak menyenangkan
yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan orang lain. Secara
umum disepakati bahwa hukuman adalah ketidaknyamanan (suasana tidak
menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau jelek.9
Elizabeth B. Hurlock mendefinisikan hukuman ialah : “punishment
means to impose a penalty on a person for a fault offense or violation or
retaliation”.10 Hukuman ialah menjatuhkan suatu siksa pada seseorang karena
suatu pelanggaran atau kesalahan sebagai ganjaran atau balasannya.
Abdullah Nasih Ulwan berpendapat hukuman ialah “hukuman yang
tidak ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya
tidak ada had atau kafarat”.11 Sehingga dapat dibedakan antara hukuman yang
khusus dikeluarkan negara dengan hukuman yang diterapkan oleh kedua
orang tua dalam keluarga dan para pendidik di sekolah. Karena baik hudud
atau hukuman ta’zir keduanya sama bertujuan untuk memberi pelajaran baik
bagi si pelaku ataupun orang lain, semua itu adalah sebagai cara yang tegas
dan cepat untuk memperbaikinya.12
Berdasarkan pengertian di atas, adanya hukuman disebabkan oleh
adanya pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Jadi, yang dimaksud
menghukum yaitu memberikan sesuatu yang tidak menyenangkan atau
8 Muhammad Fuad abdi al-Baqi, Op. cit., hlm. 572-578 9 Abdurrahman Mas’ud, Reward and Punishment dalam Pendidikan Islam, Jurnal Media,
(Edisi 28, Th. IV, November, 1999), hlm. 23 10 Elizabeth Bergner Hurlock, Op. cit., hlm. 396 11 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), hlm. 308 12 Ibid, hlm. 311
17
pembalasan dengan sengaja pada anak didik dengan maksud supaya anak
tersebut jera. Perlu dijelaskan di sini bahwa pembalasan bukan berarti balas
dendam, sehingga anak benar-benar insyaf dan sadar kemudian berusaha
untuk memperbaiki atas perbuatan yag tidak terpuji.
Sedangkan Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa :
الزجر ال واإلصالح اإلرشاد . . . اإلسالمية التربية في منها الغرض ان
13 واإلنتقام
Artinya :“maksud hukuman dalam pendidikan Islam ialah … sebagai tuntutan dan perbaikan, bukan sebagai hardikan dan balas dendam.”
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman
memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan hukuman pada anak didik
dengan alasan balas dendam. Maka dari itu seorang pendidik dan orang tua
dalam menjatuhkan hukuman haruslah secara seksama dan bijaksana.
Kalau dilihat secara ringkas mengenai kedudukan hukuman dalam
masyarakat Islam yang bersumber dari al-Qur’an, menurut Abdurrahman
Shaleh Abdullah. Islam mengenal tiga kategori hukuman yaitu hudud, qishas
dan ta’zir.14 Adapun dalam pembahasan ini, hukuman yang dimaksud besifat
edukatif atau mendidik dan dalam masyarakat Islam dikenal dengan sebutan
hukuman ta’zir. Kata “ta’zir” menurut kamus istilah fiqih adalah bentuk
masdar dari kata kerja “azzara” yang artinya menolak, sedang menurut istilah
hukum syara’ berarti pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang
tidak mempunyai hukum had, kafarat dan qishas.15 Maka dari itu hukuman
haruslah mengandung unsur-unsur pendidikan baik diputuskan oleh hakim
maupun yang dilakukan orang tua dan para pendidik terhadap anaknya.
Dari beberapa uraian tentang pengertian hukuman tersebut, dapatlah
penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukuman dalam pendidikan,
13 Muhamaad Athiyah al-Abrasyi, Tarbiyyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Mesir: As-
Syirkham, 1975), hlm. 115 14 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an
serta Implementasinya, (Bandung : Diponegoro, 1991), hlm. 236 15 Muhammad Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994),
hlm. 384
18
khususnya pendidikan Islam adalah sebagai tindakan edukatif berupa
perbuatan orang dewasa atau pendidik yang dilakukan dengan sadar pada anak
didiknya dengan memberi peringatan dan pelajaran kepadanya atas
pelanggaran yang diperbuatnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
keislaman. Sehingga anak didik menjadi sadar dan menghindari segala macam
pelanggaran dan kesalahan yang tidak diinginkan atau dengan berhati-hati
dalam setiap melakukan sesuatu.
B. Dasar serta Tujuan Hadiah dan Hukuman
Istilah hadiah dan hukuman sudah lama dikenal manusia, lantaran hal
itu pada awalnya bukanlah ciptaan manusia, dan memang sudah ada sejak
manusia pertama Adam as lahir ke dunia yang fana ini. Hanya dengan adanya
pergantian zaman dan peralihan dari satu generasi ke generasi lain, ditambah
dengan kegiatan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam, maka bentuk
dari ganjaran dan hukuman berbeda. Istilah yang digunakan sama hanya
penerapannya yang berbeda, namun demikian Islam telah memberikan dan
menunjukkan batasan dan pengertian yang jelas dan umum antara hadiah dan
hukuman tersebut, melalui berbagai dalil dan bukti.16
Hukuman pada dasarnya merupakan akibat dari suatu perbuatan
manusia sendiri, sebagaimana firman Allah SWT:
Atinya :“Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka,
dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” Q.S. at-Taubat : 74)17
16 Abdurrazak Husain, Hak dan Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Fikahati, 1992),
hlm. 102-103 17 Soenarjo, dkk., Op.cit., hlm. 291
19
Sedangkan dalam hadits diterangkan sebagai berikut ;
عليه اهللا صلى اهللا رسول قال :قال جده عن ابيه عن شعيب، وابن عمر عن
وهم عليها واضربوهم نين،س سبع ابناء وههم بالصالة اوالدآم مروا" وسلم
18 داود ابو رواه) ." المضاجع في بينهم وفرقوا عشر، ابناء
Artinya :“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika melalaikannya ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud)
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dijelaskan bahwa barang siapa
mengerjakan perbuatan dosa atau melakukan kesalahan, maka akan
mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya.
Secara rasional, ibadah (seperti shalat, shaum dan ibadah lainnya)
berperan mendidik pribadi manusia yang kesadaran dan pikirannya terus-
menerus berfungsi dalam pekerjaannya.19 Dari hadits di atas dapat diambil
pengertian bahwa anak harus diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia
tujuh tahun, dan diberi hukuman pukul apabila anak menolak mengerjakan
shalat jika sudah berusia 10 tahun, tujuan diberikannya hukuman pukul ini
supaya anak menyadari kesalahannya.
Makna dari kata ( واضربو) dalam hadits tersebut adalah memberikan
hukuman pukulan secara fisik, karena anak meninggalkan shalat. Di samping
itu, pukulan yang diberikan harus mengenai badannya dan tidak boleh
mengenai wajahnya. Oleh karena itu pukulan tersebut harus diberikan kepada
anak ketika sudah berumur 10 tahun, karena pada usia 10 tahun ke atas ini
seorang anak sudah dianggap mempunyai tanggung jawab (baligh).20
Hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan oleh Islam
sebagaimana hadits Nabi di atas. Dan ini dilakukan pada tahap terakhir,
18 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Sunan Abu Daud, Juz I, (Indonesia: Maktabah
Dahlan, t.th.), hlm. 133 19 Muhammad Ali Quthb, Auladuna Fi Dlau-it Tarbiyah al-Islamiyah : Sang Anak dalam
Naungan Pendidikan Islam, (Kairo : Maktabah Qur’an, 1993), hlm. 89 20 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, A’unul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud, Juz
II, (Beirut : Daar al-Fikr, t.th.), hlm. 161
20
setelah nasehat dan cara lain tidak bisa. Tata cara yang tertib ini menunjukkan
bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika ynag lebih
ringan sudah bermanfaat, sebab pukulan adalah hukuman yang paling berat
dan tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain tidak bisa dan
perlu diketahui pula bahwa Rasulullah SAW sama sekali belum pernah
memukul seorangpun dari isteri-isterinya.
Adapun tujuan hukuman dalam pendidikan ialah : memperbaiki tabi’at
dan tingkah laku anak kearah kebaikan dan anak akan menyesali erta
menyadari perbuatan salah yang telah di lakukannya. Selain itu hukuman di
anggap sebagai alat pendidikan yang istimewa kedudukannay, karena
hukuman membuat anak didik menderita, dengan penderitan tersebut anak
akan merasa jera, sehingga anak akan memilih mematuhi peraturan daripada
melanggar peraturan.
Menurut Emile Durkeim dalam dunia pendidikan ada teori pencegahan.
Dalam teori ini hukuman merupakan suatu cara untuk mencegah berbagai
pelanggaran terhadap peraturan. Pendidikan menghukum si anak selain agar
anak tidak mengulangi kesalahannya juga untuk mencegah agar anak lain
tidak menirunya.21
Sedangkan Asma Hasan Fahmi mengungkapkan tujuan hukuman
dalam pendidikan Islam sebagai berikut :
“tujuan hukuman mengandung arti positif, karena ia ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam sangat ingin mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menghukum mereka, sebagaimana mereka ingin sekali mendorong anak-anak ikut aktif dalam memperbaiki kesalahan mereka sendiri, dan untuk ini mereka melupkan kesalahan anak-anak dan tidak membeberkan rahasia mereka.”22
Berdasarkan penjelasan tujuan hukuman di atas maka dapat diambil
pengertian bahwa tujuan hukuman dalam pendidikan Islam untuk perbaikan
kesalahan yang dilakukan anak-anak yang sama serta membutuhkan motivasi
21 Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Erlangga, 1990), hlm. 116
22 Asma Hasan Fahmi, Sejarah Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 140
21
dalam berpikir dan bertindak sehingga akan tercapai tujuan yang diinginkan.
Sedagkan tujuan pokok hukuman dalam syari’at Islam adalah pencegahan,
pengajaran dan pendidikan, arti pencegahan ialah menahan si pembuat
kejahatan supaya tidak ikut-ikutan berbuat kesalahan.
Kata hadiah biasanya dikenal dengan istilah ‘ajr atau tsawab,
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an, yang menunjukkan bahwa apa yang
diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak karena
amal perbuatan yang baik.23 Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya :“Karena itu Allah memberikan mereka pahala di dunia dan pahala
yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Ali Imron : 148)24
Kelebihan hadiah di akhirat berasal dari sumbernya yang unggul. Hal
ini diilustrasikan mengapa Nabi Muhammad SAW hanya mengharap balasan
dari Allah semata. Maka dengan adanya kenyataan seperti ini pelajar menurut
sistem pendidikan Islam harus diberi motivasi sedemikian rupa dengan
hadiah/ganjaran.25
Dalam surat yang sama pula Ali Imron : 159 bertemulah pujian yang
tinggi dari Tuhan terhadap Rasulnya, karena sikapnya yang lemah lembut,
tidak lekas marah pada umatnya yang tengah dituntun dan dididiknya iman
mereka agar sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang
meninggalkan tugasnya karena tamak akan harta, tetapi Rasulullah tidak
langsung marah-marah, melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam
ayat ini Tuhan menegaskan sebagai pujian terhadap Rasulnya bahwasanya
23 Abdurrahman Shaleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta :
Rineka Cipta, 1994), hlm. 221 24 Soenarjo, dkk., Op.cit., hlm. 100 25 Abdurrahman shaleh, Op.cit., hlm. 223
22
sikap lemah lembut itu dikarenakan dalam dirinya telah dimasukkan Tuhan
berupa rahmat, rasa belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Tuhan ke
dalam diri beliau, sehingga rahmat itulah yang mempengaruhi sikap beliau
dalam memimpin. Tentunya masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan
tentang pujian baik secara khusus ditujukan kepada beliau atau untuk seluruh
umat manusia.26
Hadiah bila diterapkan dalam pendidikan tentunya akan memiliki
kesan positif, yaitu sebagai motivasi bagi anak didik, untuk itu perlu
dibedakan antara hadiah dan suap. Dengan adanya hadiah anak didik akan
terus melakukan pekerjaannya dengan baik dan tentunya ingin melakukan
yang terbaik lagi. Karena dengan memberikan dorongan dan menyayangi anak
adalah sangat penting. Dalam hal ini, harus diperhatikan keseimbangan antara
dorongan yang berbentuk materi dengan dorongan yang spiritual, sebab
tidaklah benar jika pemberian dorongan tersebut hanya terbatas hadiah-hadiah
yang sifatnya materi saja. Hal ini dimaksudkan agar si anak tidak menjadi
orang yang selalu meminta balasan atas perbuatannya.
Sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan
petimbangan dalam memberikan hadiah berupa benda yaitu :
1. Hadiah tersebut harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang
dicapai.
2. Hadiah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa yag menerima.
3. Hadiah tersebut sebaiknya tidak terlalu mahal.27
Adapun tujuan diberikannya hadiah telah dijelaskna dalam al-Qur’an,
yaitu tentang hadiah yang diberikan untuk membalas orang yang beriman dan
beramal shaleh agar mereka mempertinggi keimanan dan ketaqwaannya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
26 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 129 27 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), hlm. 165
23
Artinya :“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang-orang yang takut terhadap Tuhannya.”28
Dalam pemberian hadiah belum tentu selalu diberikan pada anak
terpandai terutama di sekolah, karena memang anak yang pandai selalu
menunjukkan hasil yang baik dan hal tersebut tidak perlu selalu diberi hadiah,
sebab jika begitu hadiah akan berubah fungsi menjadi upah. Di satu sisi ada
anak yang biasa-biasa saja tetapi mau berusaha meningkatkan prestasinya
itulah yang perlu diberikan hadiah, karena dengan begitu ia akan semakin giat
untuk selalu meningkatkan prestasi dan selalu akan berusaha untuk melakukan
yang terbaik.
Menurut ahli psikologi, seperti penganut teori kondisional mengatakan
bahwa “ hadiah merupakan pendorong utama dalam proses belajar mengajar”.
Teori empiristik juga memandang bahwa “ hadiah membantu anak dalam
belajar, sebab tatkala kita memberi hadiah kepada anak sesungguhnya kita
membantu anak untuk berperilaku baik, lalu kita menarik anak pada
pengalaman yang ingin kita ajarkan”. Teori-teori belajar menekankan bahwa
berbagai hadiah dapat menimbulkan respon positif pada anak dan dapat
menciptakan kebiasaan relatif kokoh dalam dirinya.29
28 Soenarjo, dkk., Op.cit., hlm. 1085 29 Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak,
(Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 40
24
Dengan kata lain, anak didik menjadi lebih keras kemauannya untuk
berbuat yang lebih baik lagi, jadi yang terpenting di sini bukanlah karena hasil
yang dicapai seseorang melainkan dengan hasil tersebut bertujuan membentuk
kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak.30
Untuk itu perlu dibedakan antara hadiah, suap dan upah. Suap yang
berarti pemberian dengan terpaksa, sedangkan upah bersifat sebagai ‘ganti
rugi’. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pemberian hadiah
dalam pendidikan Islam adalah sebagai dorongan atau motivasi bagi anak
didik untuk melakukan sesuatu, karena dengan pemberian hadiah akan
terkesan posiif yang membekas dalam dirinya dan timbul suatu keinginan kuat
untuk selalu melakukan sesuatu yang terbaik dan lebih baik tentunya. Karena
hadiah mempunyai peran sebagai dorongan dalam meguatkan perilaku yang
positif dalam diri anak didik.
C. Macam serta Fungsi Hadiah dan Hukuman
Untuk menentukan hadiah apakah ynag layak dan baik diberikan
kepada anak merupakan sesuatu hal yang sangat sulit. Karena hadiah sebagai
alat pendidikan banyak sekali macamnya, hadiah pada dasarnya dapat berupa
materi dan non materi, yang berupa materi seperti barang atau benda dan yang
non materi tentunya lebih banyak lagi seperti pujian, perhatian, penghargaan
dan lain sebagainya.
1. Macam Hadiah
a. Pujian yang baik (memberi kata-kata yang menggembirakan)
b. Berdoa
c. Menepuk pundak
d. Memberi pesan
e. Menjadi pendengar yang baik
f. Mencium buah hati dengan penuh cinta dan kasih sayang31
30 Ngalim Purwanto, MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 182 31 Muhammad bin Jamil Zainu, Solusi Pendidikan Anak Masa Kini, (Jakarta : Mustaqim,
2002), hlm. 142-144
25
g. Hadiah dapat juga berupa benda yang menyenangkan dan berguna
bagi anak-anak seperti: pensil, buku tulis, makanan ringan, permainan
dan lain sebagainya.32
Hadiah yang berbentuk materi dalam prakteknya telah banyak
dilakukan oleh pendidik atau guru yakni pemberian hadiah berupa barang-
barang yang diperkirakan dapat mengandung nilai bagi siswa. Perlu
diingat bahwa dalam memberikan hadiah yang berupa benda ini dari para
pendidik atau guru dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan
dengan pemberian hadiah dalam bentuk lain. Untuk itu seorang guru harus
sangat berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu mudah
benar berubah fungsi menjadi upah bagi siswa.
Pada dasarnya anak dalam semua usia suka pada pujian yang
ditujukan pada dirinya, pujian tidak hanya memberikan kepada perasaan
puas akan tetapi yang lebih penting adalah menimbulkan perasaan aman,
menolongnya untuk menerima kenyataan suatu kelompok. Oleh karena itu,
patokan yang paling penting ialah pujian, pujian hanya menyangkut usaha
anak untuk melakukan sesuatu dan pujian hanya menyangkut hasil yang
dicapai anak, bukan menyangkut watak dan kepribadiannya. Misalnya bila
anak membersihkan lantai, komentar yang wajar ialah “betapa ia bekerja
keras dan betapa lantai kini tampak menjadi bersih.” Sama sekali tidak
pada tempatnya untuk mengatakan kepadanya “kau anak yang baik”. Kata-
kata pujian harus merupakan suatu cermin yang menampakkan pada anak
berupa gambaran yang realistis tentang apa yang dibuatnya dan juga
prestasinya, sebaliknya bukan menyajikan gambaran muluk-muluk tentang
kepribadiannya. Untuk semua alasan ini pujian adalah hadiah yang paling
baik yang bisa diberikan karena perbuatan baik.
Durkheim mengatakan bahwa pada umumnya hadiah secara
eksklusif berupa ucapan penghargaan dan pujian secara terbuka, sebagai
32 Ngalim Purwanto, MP., Op.cit., hlm. 183
26
ungkapan rasa hormat dan kepercayaan tinggi seorang yang telah berbuat
sesuatu yang baik secara istimewa sekali.33
Selanjutnya perhatian, yang dimaksud hadiah berupa perhatian di
sini ialah si pendidik senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan
mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak, mengawasi dan
memperhatikan. Kesiapan mental dan sosial, di samping selalu bertanya
tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya,
hendaknyaa para pendidik selalu memperhatikan dan senantiasa mengikuti
serta mengamati anak-anaknya dalam segala segi kehidupan dan
pendidikan yang universal.34
Menurut Elizabeth, fungsi hadiah dalam pendidikan ialah :
a. Hendaknya hadiah mempunyai nilai mendidik. Dan anak merasa
bahwa hal itu baik, hadiah mengisyaratkan bahwa perilaku mereka itu
baik.
b. Hadiah berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang
disetujui secara sosial. Karena anak akan bereaksi secara positif
terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan penghargaan, di masa
mendatang mereka berusaha untuk berperilaku dengan cara yang akan
lebih banyak memberikan hadiah.
c. Hadiah berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara
sosial, dan tiadanya hadiah melemahkan keinginan untuk mengulangi
perilaku itu. Hadiah harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang
menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.35
Dengan demikian hendaklah para pendidik atau orang tua dalam
dalam memberikan hadiah harus benar-benar punya arti tersendiri atas apa
yang telah diperbuat oleh anak didik dan harus memiliki fungsi untuk
memperkuat pendapat/keyakinan individu bahwa perbuatan tersebut benar.
Yang dalam psikologi dikenal dengan istilah “reinforcement”
(penguatan). Sehingga dengan pemberian hadiah yang dilakukan secara
33 Emile Durkheim, Op.cit., hlm. 148 34 Abdullah Nasih Ulwan, Op.cit., hlm. 275 35 Elizabeth Bergner Hurlock, Op.cit., hlm. 396
27
terus menerus lama-kelamaan tidak akan berfungsi efektif lagi , untuk itu
berilah hadiah dengan sewajarnya dan sebijaksana mungkin, supaya
mempunyai nilai positif bagi anak didik maupun pendidik.
2. Macam Hukuman
Hukuman yang dapat diterapkan pada anak dapat dibedakan
menjadi beberapa pokok bagian yaitu :
a. Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan
memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan,
terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak.
b. Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan anak
dengan bijaksana dan bila para pendidik atau orang tua memarahinya
maka pelankanlah suaranya.
c. Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak
suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak
dengan memperingatkan lewat isyarat.
Seperti sabda Nabi :
عبد عن یسار، بن سليمن عن شهاب، ابن عن مالك، عن القعنبي، حدثنا
فجأته :م .ص اهللا رسول یف رد عباس بن الفضل آان :قال عباس، بن اهللا
اهللا رسول فجعل :اليه وتنظر اليها ینظر الفضل فجعل تستفتيه ختعم إمرأة
36 داود ابو رواه) األخر الشق الى الفضل وجه یصرف م.ص
“Kami diberitahu oleh al-Qa’naby, dari Malik dia berkata, Fadhl bin Abbas pernah dibonceng Rasulullah, lalu ada seorang wanita dari Khutsum meminta fatwa kepada beliau, pada waktu itu Fadhl memandangnya, begitu juga sebaliknya wanita itu memandang Fadhl, dan Nabi memalingkan muka ke lain pihak”. (H.R. Abu Daud)
36 Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abu Daud, Jilid I, (Beirut :
Daar al-Fikr, t.th.,) hlm. 552
28
d. Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar
kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan
meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk.
سعيد عن ایوب، عن علية بن اسمعيل ثنا حد شيبة، ابي بن بكر ابو ثنا حد
ص اهللا رسول إن :وقال فنهاه خذف، مغفل بن اهللا لعبد قریبا أن جبير، بن
تكسر ولكنها عدوا، والتنكأ صيدا التصيد إنها :وقال الخذف، عن نهى م.
!تحذف ثم عنه، نهى م.ص اهللا رسول أن ثك أحد :فقال .العين وتفقأ السن
37 مسلم رواه) .ابدا أآلمك ال
“Kami diberitahu oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, kami diberitahu oleh Ismail bin Ulaiyah dari Ayyub, dari Said bin Jubair, bahwasanya tetangga Abdullah bin Mughaffal melempar dengan kerikil, lalu dilarang oleh Abdullah katanya: “bahwa Rasul melarang orang yang membidik dengan kerikil (melempar dengan kerikil)”. Lalu ia tetap mengulanginya lagi, dan dikatakan kepadanya: “telah kukatakan kepadamu, bahwa Rasulullah melarang melempar dengan kerikil tetapi kamu masih tetap ngoto!, maka aku tidak akan mengajakmu berbicara (tidak menegur lagi)”. (H.R. Muslim)
Menghukum merupakan sesuatu yang “tidak disukai” namun perlu
diakui bersama bahwa hukuman itu memang diperlukan dalam pendidikan
karena berfungsi menekan, menghambat atau mengurangi bahkan38
menghilangkan perbuatan yang menyimpang.39
Akan tetapi sebaiknya hukuman dijatuhkan sesaat setelah kesalahan
tersebut dilakukan, bukan menundanya. Karena menunda memberikan
hukuman hingga waktu lama atau sebentar dapat menghilangkan arti penting
yang terkandung dibalik sanksi dan hukuman yang dijatuhkan tersebut.
Dari uraian di atas tentang macam hukuman kiranya dapat disimpulkan
bahwasanya hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan, terutama
hukuman yang bersifat pedagogis. Menghukum bilamana perlu dan jangan
37 Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Bab Karoha al-Khadhaf, Juz III, (Beirut-
Libanon : Daar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th.,) hlm. 154 38 Izzat Iwadh Khalifah, Kiat Mudah Mendidik Anak, (Jakarta : Pustaka Qlami, 2004),
Hlm. 119 39 Suharsimi Arikunto, Op.cit., hlm. 168
29
terus menerus serta hindarilah hukuman jasmania atau badan jikalau benar-
benar tidak terpaksa.
Hukuman pukulan berupa psikis antara lain; terlalu banyak perintah,
larangan, teguran dan tidak mengindahkan keinginan anak, sehingga banyak
menyebabkan gangguan terhadap ketegangan anak. Menjadikan anak kurang
mempunyai inisiatif dan spontanitas, tidak percaya diri sendiri dan dipilihnya
selalu tanggung jawab.40 Sedangkan dalam proses belajar itu perlu adanya
motivasi untuk berbuat sesuatu, sedang bila kita untuk berbuat dengan cara
tertentu, timbul kecenderungan yang kuat untuk memastikan tentang
kebenaran dari keinginan kita tersebut.
Ingat bahwa perbuatan salah mencerminkan kekurang terampilan dan
kelemahan. Untuk itu, ini masih bisa disembuhkan selama anak masih
mempunyai percaya diri terhadap kemampuannya, jangan langsung
menghukum akibat kesalahan yang diperbuatnya. Justru Anda sebagai
pendidik dituntut untuk memusatkan perhatian terhadap minat anak terhadap
sesuatu yang telah dikerjakan dengan baik.
Dengan demikian selagi anak masih bisa dididik dengan lembut dan
penuh kasih sayang, maka jangan sekali-kali orang tua melayangkan
tangannya. Kita tahu bahwa hukuman dalam pendidikan anak merupakan
metode terburuk yang sedapat mungkin kita hindari, akan tetapi dalam kondisi
itu harus dipergunakan. Oleh karena itu, hukuman harus dianggap sebagai
metode yang bertujuan untuk memperbaiki anak yang melakukan kesalahan.
D. Syarat Penerapan Hadiah dan Hukuman
Masalah hadiah dan hukuman berhubungan erat dengan topik
menimbulkan minat anak didik terhadap proses belajar mengajar. Banyak para
pendidik atau guru yang menggunakan hadiah dan hukuman sebagai cara
untuk mendorong anak didik untuk belajar. Alasan mereka dalam hal ini
adalah bahwa anak memerlukan rasa harga diri dan keberhasilan untuk
melanjutkan kemajuannya, dan untuk menjadikannya mengetahui bahwa
40 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hl. 84
30
kelengahan dan keburukan hasil perbuatan ada akibatnya.41 Di antara cara
untuk membuat anak didik merasakan keberhasilannya adalah kita puji dia,
atas perbuatan yang patut dipuji, dan di antara cara untuk mengingatkannya
adalah dengan menggunakan hukuman, dan hukuman itupun harus dimulai
dari yang paling ringan dulu, hukuman fisik baru boleh dilakukan sebagai
alternatif terakhir. Dianjurkan bagi para pendidik, guru maupun orang tua
yang percaya akan cara ini harus mengetahui tentang hakekat yang
berhubungan dengan hadiah dan hukuman. Salah satu sarana untuk
menghindarkan anak dari sifat jahat adalah dengan pendekatan psikologis,
bersikap seperti anak dan mengajak bicara dengan bahasa yang mudah di
pahami olehnya.42
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai acuan dasar dalam
memberikan hadiah, sehingga mampu memotivasi perilaku baik anak didik
sebagai berikut :
1. Untuk memberi hadiah yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betul-
betul muridnya.
2. Hadiah yang diberikan anak jangan sampai menimbulkan cemburu atau iri
hati anak yang lain.
3. Memberikan hadiah hendaklah hemat.
4. Jangan memberikan hadiah dengan menjanjikan terlebih dahulu sebelum
anak melakukan sesuatu.
5. Pendidik harus berhati-hati memberikan hadiah, jangan sampai hadiah
yang diberikan berubah fungsi menjadi upah.43
Hadiah tidak harus berupa uang, maka dari itu pujian, perhatian,
penghargaan dan lainnya itu akan lebih berkesan. Dengan keberhasilan anak
didik dalam proses belajar mengajar itupun sudah merupakan hadiah, sehingga
anak didik merasa puas dan lega terhadap dirinya. Hal itu akan membawa
kemajuan dan berkelanjutan. Dan dalam memberikan hadiah hendaknya
41 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), Cet. 2 hlm. 30 42 Husain Mazhariri,Pintar Mendidik Anak, (PT. Lentera Basritama, 1999), hlm;260 43 Ngalim Purwanto, Op.cit., hlm. 184
31
disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari aspek yang menunjukkan
keistimewaan prestasi.44
Sehingga dapat dikatakan, pemberian hadiah yang berbentuk materi
haruslah sesuatu yang menarik dan digemari anak, hadiah haruslah
secukupnya, bersifat wajar dalam batas-batas tertentu serta tidak berlebih-
lebihan, tidak terus menerus, karena dengan seringnya memberi hadiah akan
berakibat tidak baik yang menjadikan anak manja dan hanya bekerja untuk
suatu hadiah. Hendaknya hadiah langsung diberikan setelah melakukan
perbuatan itu, sehingga terjadi hubungan jelas antara perbuatan dan hadiah
yang diperoleh karenanya.
Demikian pula hadiah yang diterapkan para pendidik baik di rumah atau
di sekolah berbeda-beda. Dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama
dengan hadiah yang diberikan pada orang umum.
Hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis), harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan saying.
b. Harus didasarkan pada alasan “keharusan”.
c. Harus menimbulkan kesan di hati anak.
d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik.
e. Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.45
Adapun hukuman berupa fisik, Athiyah al-Abrasyi memberikan kriteria
yaitu :
a. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada anak didik di bawah umur 10
tahun.
b. Alat pemukulnya bukan benda-benda yang membahayakan, misalnya lidi,
tongakt kecil dan lain sebagainya.
c. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, dan
d. Hendaknya diberi kesempatan untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan
memperbaiki kesalahan yang pernah mereka kerjakan.46
44 Zakiah Daradjat, Opcit., hlm. 30-31 45 Arma’i Arief, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers,
2002), hlm. 131
32
Sedangkan Rasulullah SAW menetapkan hukuman sebagai metode
memberikan batas-batas dan persyaratan sehingga tidak keluar dari maksud
dan tujuan pendidikan Islam yaitu :
1. Pendidik tidak menggunakan hukuman kecuali setelah menggunakan
semua metode
2. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan
3. Menunjukkan kesalahan dengan kerahamatan
4. Menunjukkan kesalahan dengan isyarat dan kecaman
5. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan47
Begitu juga yang dikatakan oleh Muhaimin dan Abdul Majid yang
dikutip oleh Arma’i Arief dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan Metodolgi
Pendidikan Islam”. bahwa hukuman yang diberikan anak haruslah
mengandung makna edukasi, merupakan jalan atau solusi terakhir dari
beberapa pendekatan dan metode yang ada, dan diberikan setelah anak didik
mencapai usia 10 tahun sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan
oleh abu Daud tentang perintah shalat.48
Sedangkan Abdullah Nasih Ulwan berpendapat bahwa metode yang
dipakai Islam dalam upaya memberikan hukuman pada anak ialah :
a. Lemah lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari:
رضي مالك بن أنس سمعت :قال تياحن ابي عن شعبة، ثنا حد أدم، ثنا حد
. واتنفر وال وبشروا والتعسروا، یسروا :م .ص النبي قال :قال عنه اهللا
49 البخاري رواه
“Kami diberitahu Adam, kami diberitahu Syu’bah, dari Abi Tayyakh, ia berkata: saya mendengar Annas bin Malik ra berkata, Nabi SAW bersabda: Permudahkanlah dan jangan kalian persulit, dan berilah kabar gembira dan janganlah kalian berlaku tidak simpati”. (H.R. Bukhari)
46 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Loc. cit. 47 Abdullah Nasih Ulwan, Op.cit., hlm. 316-324 48 Arma’i Arief, Op.cit., hlm. 132 49 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992),
hlm. 31
33
b. Menjaga tabi’at anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
c. Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap, dari
yang paling ringan hingga yang paling keras.50
E. Urgensi Hadiah dan Hukuman
Hadiah dan hukuman sangatlah urgen untuk disertakan dalam proses
mendidik anak agar senantiasa termotivasi untuk melakukan kegiatan positif,
dan meninggalkan hal-hal yang negatif. Oleh karena itu ada beberapa
pendapat para tokoh pendidikan Islam tentang urgensi hadiah dan hukuman,
yaitu:
1. Al Qabasi
Al Qabasi juga mengakui adanya hukuman dengan pukulan.
Namun dia menetapkan beberapa syarat supaya pukulan itu tidak
melenceng dari tujuan preventif dan perbaikan kepada penindasan dan
balas dendam. Syarat – syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, guru tidak boleh melakukan pukulan kecuali karena
suatu dosa. Kedua, guru harus melakukan pukulan yang selaras dengan
dosa yang dilakukan anak. Ketiga, pukulan berkisar dari satu hingga tiga
kali. Jika orang yang diserahi untuk mendidik anak ingin memukul
sebanyak satu hingga sepuluh kali, dia perlu minta izin kepada walinya.
Keempat, boleh melakukan lebih dari sepuluh pukulan jika usia anak
mendekati dewasa dan sulit dididik, berakhlak kasar, dan tidak dapat
disadarkan dengan sepuluh pukulan. Kelima, guru sendiri yang melakukan
pemukulan, tidak boleh ewakilkannya kepada anak yang lain, sebab hal itu
akan menimbulkan pertengkaran atau sikap saling melindungi. Keenam,
pukulan itu hanya sekedar menimbulkan rasa sakit dan tidak boleh
menimbulkan luka yang berbahaya.
Dari pemaparan di atas, kita mengetahui bahwa sebenarnya Al Qabasi
tidak menyetujui hukuman dengan pukulan kecuali jika guru telah
50 Abdurrazak Husain, Op.cit., hlm. 102
34
melaksanakan seluruh sarana pemberian nasihat, peringatan dan ancaman.
Anak boleh dipukul jika seluruh sarana itu di upayakan. Jika guru
memukul lebih dari tiga kali, dia perlu meminta izin kepada wali si anak.
2. Al Ghozali
Menurut Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip dari buku imbalan
dan hukuman pengaruhnya bagi anak karangan Ahmad Ali Budaiwi
berpendapat bahwa, apabila anak menampilkan akhlak terpuji dan
perbuatan baik, selayaknya dia dihargai dan dibalas dengan sesuatu yang
menyenangkannya serta di puji dihadapan orang lain.
Dalam hal ini , Al Ghazali mengikuti manhaj Nabi SAW. Yang suka
memuji para sahabatnya guna memotivasi mereka.Selain itu dia juga
mengarahkan bahwasanya menegur dan mencela anak secara
berkesinambungan dan mengungkit- ungkit kesalahan yang dilakukannya
dapat membuat anak menjadi pembangkang, sehingga berkembanglah di
dalam dirinya perasaan acuh ( cuek ). Akibatnya, dia akan senantiasa
mengulangi kerakahannya. Meskipun orang tua menasihatinya secara
terus menerus, nasihat itu tidak lagi bernilai bagi anak.
3. Ibnu Jama’ah
Menurut Ibnu Jama’ah sebagaimana yang dikutip dalam buku karangan
Ali Budaiwi yang berudul Imbalan dan Hukuman pengaruhnya bagi
pendidikan anak menegaskan bahwa, pada waktu tertentu, guru dapat
menuntut siswa mengukang mahfudzat dan menguji penguasaan mereka
akan kaidah penting dan masalah pelik yang telah di ajarkan. Guru dapat
menguji mereka dengan pertanyaan – pertanyaan spontan atau yang
diingatnya saat itu. Jika ada siswa yang menjawab dengan tepat, maka
guru jangan sungkan – sungkan menperlihatkan kekaguman, pujian, dan
sanjungan kepada siswa tersebut dihadapan teman – temannya supaya
mereka pun terdorong untuk terus meningkatkan diri.
Ibnu jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan itu dapat
dibedakan dengan empat bentuk kekerasan. Jika siswa melakukan
35
perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti tahap – tahap
berikut ini ;
Pertama, melarang perbuatan itu di depan siswa yang melakukan
kesalahan tanpa menggunakansindiran,atau menghinanya tanpa
menyebutkannama pelakunya, atau menerangkan ciri – ciri yang mengarah
ke individu tertentu.
Kedua, jika anak tidak menghentikan perbuatannya, guru dapat
melarangnya secara sembunyi – sembunyi’ misalnya cukup dengan
isyarat tangan. Hal ini dilakukan kepada anak yang memahami isyarat.
Ketiga, jika anak tidak juga meghentikannya , guru dapat
melarangnya secara tegas dan keras, jika keadaannya enuntut drmikian,
agar anak itu dan teman – temannya menjauhkan diri dari perbuatan
semacam itu,dan setiap rang yang mendengai memperoleh pelajaran.
Keempat, jika anak tak kunjung enghentikannya, guru boleh
megusirnya dan boleh tidak mempedulikannya hingga dia kenbali dari
perilakunya yang salah, teritama jika guru mengkhawatirkan perbuatannya
itu akan ditiru oleh teman – temannya.
Dia juga menambahkan bahwa sanksi itu merupakan bimbingan
dan pengarahan perilaku serta upaya pengendaliannya dengan kasih
sayang. Sanksi perlu diberkan dengan landasan pendidikan yang baik dan
ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan dendam, kebencian dan
pengarahan.51
4. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mengemukakan masalah hadiah dan hukuman dalam
bukunya Al muqaddimah, yaitu pada bab “ kekerasan pada siswa dapat
membahayakan “. Dia mengkritik para ulama Zamannya yang mendidik
siswa dengan kasar dan keras. Ibnu Khaldun mengisyaratkan pentingnya
kita memahami jiwa siswa dan mencermati dimensi psikologisnya,
51 A.Ali Budaiwi,Imbalan dan hukuman pengruhnya bagi pendidikan anak, (Jakarta :
Gema Insani, 2002), Hlm. 28
36
sehingga kita dapat mengarahkan mereka dan meluruskan kesalahannya.
Dia juga mengingatkan bahwa perlakuan buruk terhadap siswa pasti akan
membuahkan berbagai bentuk penyimpangan psikologis dan perilaku yang
muncul sebagai akibat dari ketegasan, kekerasan, dan kekasaran dalam
mendidik siswa.
Menurutnya, barang siapa yang mendidik dengan kekerasan dan
paksaan, siswa akan melakukan suatu perbuatan secara terpaksa pula,
menimbulkan ketidak gairahan jiwa, lenyapnya aktivitas’ mendorong
siswa untuk malas,berdusta, dan berkata buruk.52
Pedoman dan petunjuk praktis bagi para orang tua, guru dan para
pendidik dalam memberikan pengajaran dan pendidikan yang benar dan
lurus bagi anak-anaknya, sesungguhnya dapat mencontoh pada akhlak
Rasulullah dan sikap serta tindakan para sahabat terhadap kaum Muslimin
pada waktu itu, yang seharusnya memberi inspirasi kepada kita semua
dalam mendidik dan mengajar anak-anak.
Demikianlah kiranya tahapan yang harus diperhatikan bagi para
pendidik. Sesungguhnya para pendidik tidak boleh melalaikan metode
yang efektif dalam membuat anak menjadi jera. Sehingga para pendidik
harus berlaku bijaksana dan sewajar mungkin dalam memberikan/
menerapkan hadiah dan hukuman pada anak didik. Islam mengakui bahwa
setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tualah yang
menjadikan ia sebagai nasrani dan majusi, demikian tergantungnya anak
oleh para pendidik (orang tua). Perlu diingat, karena hadiah dan hukuman
dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan
pendidikan Islam itu sendiri.
52 Op cit Hlm.29