ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... ·...

35
BAB II REKONSTRUKSI PEMIKIRAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI A. Biografi dan Karya-Karyanya a. Garis Keturunan dan Keluarga Ali Syari’ati Ali Syari’ati adalah seorang idiologi dan seorang pemikir revolusi Iran yang terkemuka. Ia di lahirkan di Mazinan. Sebuah Kota di pinggiran kota Mashad dekad Sabzavar, Timur laut Khurasan, negri Iran, pada tanggal 24 november 1933, putra sulung dari Sayyid Muhammad Taqi’ Syari’ati dan putri Zahrah. 1 Orangtuanya adalah keluarga yang cukup disegani ditengah-tengah masyarakat sebagai tokoh spritual yang senantiasa menjalankan ritual dan ritus keagamaan yang taat. Meskipun demikian, keluarga Taqi’ Syari’ati tetap merupakan keluarga layaknya penduduk kampung yang hidup seadanya. Dari keluarga itulah Ali Syari’ati mulai membentuk mentalitas kepribadian dan jatidirinya, terutama lewat peran seorang ayah yang menjadi guru dalam arti yang sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat yang berbeda dengan teman sebayanya. Ali Syari’ati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di Mashad, yaitu sekolah swasta Ibnu Yamin, tempat ayahnya mengajar. Ali Syari’ati kecil terkenal pendiam, tidak suka diatur, namun dirinya sangat rajin. Selain itu, ia juga selalu menyendiri, acuh tak acuh dengan dunia luar, sehingga tampak kurang bermasyarakat. Karena itu, terhadap teman-teman sebayanya ia kurang bergaul. Ali Syari’ati lebih senang mengurung dirinya di rumahnya dan menghabiskan waktunya dengan membaca buku bersama ayahnya hingga menjelang pagi. Selain buku yang dibacanya tidak berhubungan dengan pelajaran yang diwajibkan disekolah. Ali Syari’ati juga tidak pernah mengerjakan pekerjaan 1 Dawan Raharjo, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, Garafiti Pers, Jakarta, 1987, hlm.167

Transcript of ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... ·...

Page 1: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

BAB II

REKONSTRUKSI PEMIKIRAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN

ALI SYARI’ATI

A. Biografi dan Karya-Karyanya

a. Garis Keturunan dan Keluarga Ali Syari’ati

Ali Syari’ati adalah seorang idiologi dan seorang pemikir revolusi Iran

yang terkemuka. Ia di lahirkan di Mazinan. Sebuah Kota di pinggiran kota

Mashad dekad Sabzavar, Timur laut Khurasan, negri Iran, pada tanggal 24

november 1933, putra sulung dari Sayyid Muhammad Taqi’ Syari’ati dan putri

Zahrah.1 Orangtuanya adalah keluarga yang cukup disegani ditengah-tengah

masyarakat sebagai tokoh spritual yang senantiasa menjalankan ritual dan ritus

keagamaan yang taat. Meskipun demikian, keluarga Taqi’ Syari’ati tetap

merupakan keluarga layaknya penduduk kampung yang hidup seadanya. Dari

keluarga itulah Ali Syari’ati mulai membentuk mentalitas kepribadian dan

jatidirinya, terutama lewat peran seorang ayah yang menjadi guru dalam arti yang

sesungguhnya dan dalam arti spritual.

Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat yang berbeda dengan teman

sebayanya. Ali Syari’ati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di

Mashad, yaitu sekolah swasta Ibnu Yamin, tempat ayahnya mengajar. Ali

Syari’ati kecil terkenal pendiam, tidak suka diatur, namun dirinya sangat rajin.

Selain itu, ia juga selalu menyendiri, acuh tak acuh dengan dunia luar, sehingga

tampak kurang bermasyarakat. Karena itu, terhadap teman-teman sebayanya ia

kurang bergaul. Ali Syari’ati lebih senang mengurung dirinya di rumahnya dan

menghabiskan waktunya dengan membaca buku bersama ayahnya hingga

menjelang pagi. Selain buku yang dibacanya tidak berhubungan dengan pelajaran

yang diwajibkan disekolah. Ali Syari’ati juga tidak pernah mengerjakan pekerjaan

1Dawan Raharjo, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, Garafiti Pers, Jakarta,

1987, hlm.167

Page 2: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

rumah dari para guru sekolahnya. Walaupun demikian seperti layaknya teman-

temannya ia selalu naik kelas pada setiap tahunnya.2

Rupanya lingkungan intelektual yang terbangun dalam keluarganya,

terutama ayahnya, sangat mempengaruhi kecendrungan berpikir Ali Syari’ati dan

mengerahkan beberapa dimensi pikirannya.

Muhammad Taqi’ Syari’ati adalah seorang guru dan mujahid besar pendiri

Markaz Nashr al-Haqaiq al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-Kebenaran

Islam) di Masyhad dengan menggunakan al-Qur’an dan sunnah sebagai sarana

sentralnya,3 sekaligus salah seorang putra pergerakan pemikiran Islam di Iran. Ali

Syari’ati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya yang dianggap sebagai

pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan kekaguman Ali Syari’ati

terhadap sosok sang ayah-pun mengantarkan pemikirannya sampai pada

kesimpulan bahwa ayahnya adalah seorang mujadid, pembuat bid’ah yang

menyimpang dari tradisi lama yang berkembang saat itu.4

Begitu besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan

kecendikiawanan Ali Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki

wawasan dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam

literature yang secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya.

Prilakunya cenderung menyendiri dan perkembangan pendidikannya di rumah

membuat Ali Syari’ati lebih mandiri di tengah masyarakat. Hal ini kemudian

melahirkan kebanggaan tersendiri yang mendalam bagi dirinya. Ali Syari’ati

merasakan telah tumbuh dewasa meninggalkan zamannya, seolah ia telah

melangkah seratus langkah meninggalkan kawan-kawan sekelasnya, dan sembilan

puluh sembilan telah meninggalkan guru-gurunya.5

Selain ayahnya, pemikiran Ali Syari’ati mudah juga sangat terobsesi oleh

kehidupan kakek-kakeknya yang suci, terutama tentang filsafat yang

mempertahankan jati diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan

2Ali Syari’ati, Sosilogi Islam, terj. Saifullah Wahyudin, Ananda, Yogyakarta, 1982, hlm.

9-11 3Ibid, hlm. 7 4Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam dengan Madzhab Barat, terj. Afif Muhammad,

Pustaka Hidayah, Bandung, 1996, hlm.13 5Ibid, hlm. 15

Page 3: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

dekadensi telah merajalela. Adalah Akhund Hakim, kakek dari ayah Ali Syari’ati

yang sering diceritakan kepadanya, telah banyak memberi inspirasi bagi benih-

benih kesadaran yang tumbuh dalam jiwa Ali Syari’ati, demikian juga paman

ayahnya, seorang murid pemikir terkemuka dan sastrawan Adib Nisyapuri yang

sangat menonjol. Demi mengikuti jejak kakek-kakek leluhurnya, sesudah

mempelajari fiqih, filsafat dan sastra, mereka kembali ke kampung halamannya

Mazinan.

Ali Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan

kakek-kakeknya, serta dari paman ayahnya tersebut. Ia melihat ruhnya yang abadi

itu berada dalam dirinya, dan melihat ruh yang bersinar cemerlang itu menerangi

jalan yang dia tempuh dalam kehidupannya.

Menginjak usia remaja, pada tahun pertama di sekolah menengah atas, Ali

Syari’ati sudah mulai menyenangi bidang filsafat dan mistisisme. Ia lebih

berminat pada karya sastra, syair, dan kemanusiaan ketimbang mempelajari buku

studi ilmu sosial dan studi keagamaan. Mempelajari bahasa Arab di rumah kepada

ayahnya tidak mengalihkan perhatiannya pada studi filsafat dan karya-karya

modern Iran maupun asing.

b. Latar Belakang Sosial Politik dan Keilmuan Ali Syari’ati

Meskipun Taqi’ Syari’ati adalah seorang ulama’ yang menentang keras

terhadap pembaratan, modernisasi dan aturan-aturan otoriter Muhammad Reza

Pahlevi. Anaknya (Ali Syari’ati) menempuh sekolah dasar dan sekolah menengah

di Mashad, kemudian ia masuk Teaching Training Colleg, sejenis sekolah tinggi

keguruan atau sekolah umum sekuler, dan bahkan kelak, ketika kritik-kritiknya

pada kemapanan agama tidak berhasil, dia menolak pendidikan keagamaan

formal di tangan para ulama. Disini pula ia memulai perjalanan hidupnya dalam

perjuangan politik, sosial dan intelektual.6

Dalam memasuki usia dewasanya, Ali Syari’ati semakin menyibukkan

dirinya kedalam berbagai aktivitas dan pengabdian, baik sosial, politik maupun

keagamaan. Selain intens mempelajari beragam kajian ilmiah, Ali Syari’ati juga

sangat aktif terlibat dalam berbagai gerakan dan organisasi. Tahun 1940-an ia

6 Dawan Raharjo, Insan Kamil…, loc. cit

Page 4: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

turut dalam “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan “Pusat Pengembangan

Dakwah Islam” yang didirikan oleh ayahnya.7 Taqi’ Syari’ati seorang sarjana dan

Islamolog yang cukup berpengaruh saat itu. Pada usianya yang sekitar 17-18

tahun (1950-an) ia mulai menjadi mahasiswa di lembaga pendidikan Teaching

Training Colleg (kampus pendidikan guru primer). Ali Syari’ati juga memulai

karirnya sebagai pengajar. Sejak saat itulah ia menjadi guru sekaligus

mahasiswa.8

Ketika memasuki hidupnya yang ke-20 tahun tersebut, Ali Syari’ati

menyaksikan kondisi negrinya yang penuh gejolak politik akibat kebijakan

otoritatif rezim penguasa. Berbagai perjuangan bermunculan ke permukaan,

bahkan hampir terjadi di setiap sudut kota Iran, hingga pada puncaknya terjadi

kerusuhan. Saat itulah Ali Syari’ati mulai aktif dalam gerakan politik dengan

mendirikan asosiasi pelajar Islam di Mashad. Ia tidak dapat menutup mata

menghadapi kekejaman-kekejaman yang dilakukan penguasa, ia bangkit melalui

dua sektor, yaitu sektor sosial dan politik. Ia terjun dalam gerakan pencerdasan

bangsa dan menciptakan penyadaran bagi masyarakat Iran melalui ceramah-

ceramah, tulisan-tulisan, serta bergerak lewat organisasi.9 Karena pidato-pidato,

tulisan-tulisan, serta kegiatan-kegitan perlawanannya itulah maka pemerintah

mengawasinya.

Setelah menginjak usia 23 tahun (1959), Ali Syari’ati masuk Fakultas

Sastra Univertas Mashad. Waktu itu Ali Syari’ati juga terlibat dalam gerakan

politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok pro-mossadeq, oposisi

rezim penguasa, serta dibawah gerakan perlawanan nasional atau NRM (Nasional

Revolution Movement) cabang Mashad, ia melancarkan gerakan oposisinya

melwan rezim. Ia pun aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk

7Ali Syari’ati, Membanguin Masa Depan Islam, terj. Rahmati Astute, Mizan, Bandung,

1988, hlm. 19 8Ali Syari’ati, Makna Haji, terj. Burhan Wirasubrata, Yayasan Fatimah, Jakarta, 2002,

hlm. 231 9Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam ..., op. cit., hlm. 18-19

Page 5: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

nasionalisasi industri minyak Iran. Akibat aktivitas politiknya tersebut akhirnya

menggiring Ali Syari’ati ke penjara selama 8 bulan.10

Di usianya yang ke 25 tahun, tepatnya pada tanggal 15 juli 1958, Ali

Syari’ati mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang putri dari Haji Ali

Akbar bernama Pouran-e Syari’ati Razavi.11 Kebahagiannya bersama sang istri

kemudian semakin bertambah dengan keberhasilan Ali Syari’ati meraih gelar

Sarjana Muda, lima bulan setelah pernikahannya. Sebagai tesisnya ia

menerjemahkan Dar Naqd Wa Adab (Kritik Sastra) karya penulis mesir Dr.

Mandur (1958).12

Setelah lulus dari Univertas Mashad, Ali Syari’ati meraih beasiswa untuk

belajar ke Prancis, tepatnya di Universitas Sarbone, Paris. Di negri inilah Ali

Syari’ati mendapatkan kesempatan terbuka begitu besar untuk membebaskan diri

dari incaran dan ancaman penguasa Iran.13 Di tempat ini pula Ali Syari’ati

menimba berbagai macam ilmu pengetahuan dan terlibat dalam berbagai gerakan.

Ali Syari’ati banyak menelaah berbagai macam buku yang tidak terdapat atau

setidaknya belum diperolehnya sewaktu di Iran. Ia bahkan mulai berkenalan

dengan berbagai aliran pemikiran, baik dibidang sosial maupun filsafat, sekaligus

mendapatklan kesempatan untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, para

filosof, sosiolog, islamolog, cendikiawan serta penulis terkemuka seperti Henry

Bregson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Jens Paul Sartre, Frantz

Fanon, George Gurwitsch, Lois Masignon dan Jacques Schwartz.14

Dalam pertemuannya tersebut terjadi perdebatan pemikiran yang sangat

intens dengan mereka. Walaupun demikian, ternyata Ali Syari’ati dengan

perdebatannya tersebut tidak sedikit-pun tergoyahkkan pendiriannya. Terutama

yang sangat mengesankan adalah pandangannya tentang manusia.

10Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, terj. Satrio Panandito, Pustaka Hidayah, Jakarta,

1993, hlm. 7 11Pauran-e Syari’ati Razavi adalah teman kuliah Ali Syari’ati ketika menjadi mahasiswa

di Universitas Mashad 12Misri A. Muchsin. Filsafat Sejarah dalam Islam, Ar-Ruz Press, Yogyakarta, 2002,

hlm.128 13Ibid, hlm. 129 14Ali Syari’ati, Islam Agama…, op.cit., hlm. 8

Page 6: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Ali Syari’ati, selama di Prancis, Tidak tenggelam begitu saja dalam

perenungan filsafat dan pemikiran kontemplatif teologis. Tetapi ia bersama

teman-temannya, Mustafa Chauran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan

kebebasan Iran.15 Hal ini terbukti ia juga aktif bergerak dalam kegiatan-keatan

politik menentang rezim Syah. Berbagai macam upaya untuk menyebarkan

gagasan-gagasannya, sehingga merupakan benih-benih yang terjadi kemudian.

Kezaliman dan kesewenang-wenangan rezim Syah di Iran merupakan tanah subur

bagi ide-ide yang dikembangkannya.

Kajian Ali Syari’ati mengarah pada tema-tema Islam dan sosiologi Islam

dalam bentuknya yang khas. Ia melakukan kajiannya dengan memadukan

sosiologi dengan hasil pemikiran orisinilnya. Hal ini disebabkan Ali Syari’ati

tidak puas dengan apa yang diberikan oleh pandangan positivistik bahwa

sosiologi hanya semata-mata sebagai ilmu. Ia juga menelaah secara kritis

pandangan-pandangan Karl Marx yang akhirnya menyudut pada sebuah analisis

kritis Marxisme. Ia menolak kesimpulan-kesimpulan yang murni Marxis, atas

dasar bahwa metode manapun diantara metode-metode tersebut dalam

kenyataannya sama sekali tidak mampu menganalisis fakta-fakta negara dunia

ketiga. Ia kemudian intens melibatkan dirinya pada kajian sejenis ilmu sosial

tanpa berpijak pada solusi-solusi yang diajukan oleh bangunan masyarakat,

kapitalis maupun komunis.16

Selain mempelajari karya-karya ilmuwan Eropa atau Barat, Ali Syari’ati

juga aktif menerjemahkan beragam buku, diantara buku-buku yang berhasil ia

terjemahkan yaitu: Be Koja Takiye Kunim? (apa yang menjadi dukungan kita?)

(1961) Guerrilla Warfare karya Guevara, Wahat Is Poerty? Karya Sartre, dan

karya Farantz Fanon.17

Masa tinggal Ali Syari’ati di Paris bersamaan dengan periode revolusi al-

Jazair. Waktu itu berbagai partai dan kelompok di Eropa, bahkan para sarjana dan

sosiolog saling berbeda pendapat, ada yang positif dan ada pula yang negatif

melihat nasib rakyat al-Jazair. Namun disisi lain, seorang cendekiawan

15Dawan Raharjo, Insan Kamil…, op. cit., hlm.167 16Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…,op.cit., hlm. 20 17Ali Syari’ati, Islam Agama…, op.cit., hlm. 8

Page 7: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

berpengaruh Frantz Fanon sebagai warga negara al-Jazair asal negara Mantinique

sejak awal telah turut aktif dalam mendukung rakyat al-Jazair dan telah menulis

beberapa buku, yang berhasil diterjemahkan oleh Ali Syari’ati.

Secara bersamaan Ali Syari’ati mempertahankan dan mempelajari apa

yang sedang berlangsung di al-Jazair. Penelaannya terhadap karya-karya Fanon

memberikan inspirasi bagi inisiasi revolusi untuk negrinya, Iran. Menurut

pendapat Ali Syari’ati, buku The Wretched Of The Earth (Yang Terkutuk di

Bumi), yang mengandung analisa sosiologis dan psikologis mendalam tentang

revolusi al-Jazair, adalah bingkisan intelektual yang berharga bagi mereka yang

sedang mengerjakan perubahan di Iran.18

Ide-ide Fanon telah disajikan dengan tepat oleh Ali Syari’ati yang

bersimpati penuh dengannya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapat-

pendapatnya. Ali Syari’ati juga memperkenalkan ide-ide para penulis

revolusioner Afrika lainnya, termasuk Umar Uzgan dengan karyanya Afdhal el-

Jihad (Perjuangan Utama), serta beberapa penulis dan penyair non muslim

lainnya. Ia yakin bahwa ide-ide yang sedang berkembang di berbagai gerakan

rakyat maupun gerakan Islamiyah di Afrika bisa mengilhamkan suatu dinamisme

intelektual baru bagi perjuangan sosial dan politik Muslim Iran.

Selama tinggal dan belajar di Paris, perhatiannya tidak hanya kepada

pelajaran, hafalan dan persiapan ujian sebagaimana para mahasiswa lainnya,

melainkan lebih banyak memperkembangkan diri menjadi syahid yang sadar dan

waspada. Ada tiga aspek kegiatannya pada waktu itu, yang membedakannya

dengan orang lain yaitu: perjuangan intelektual, perjuangan praktis, dan

perjuangan untuk menumbuhkan suatu sistem pendidikan yang benar. Ketiga

perjuangannya tersebut berorentasi kepada rakyat, atau lebih luas lagi, kepada

umat. Karena itulah ia tidak membiarkan dirinya terlibat total dalam pergolakan

kegiatan politik mahasiswa, karena ia mendambakan sesuatu yang lebih langgeng

serta berharga untuk rakyatnya. Tulisan-tulisan dan serba usahanya adalah demi

18Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op.cit., hlm. 17

Page 8: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

masa kepentingan rakyatnya, dan lebih dari siapa pun, ia menatap masa rakyat

sebagai titik orentasi yang unik dan tetap.19

Ketika Ali syari’ati berada di Paris jatuh bersamamaan dengan suatu tahap

baru dan vital, yaitu tumbuhnya kelompok progresif dalam gerakan keagamaan di

Iran. Setelah beberapa saat kebebasan mulai sedikit terasa di Iran maka tirani dan

penindasan kembali merajalela di negri itu. Kembalilah penahanan dan

pemeriksaan, hukuman-hukuman penjara yang panjang serta penganiayaan

terhadap para aktivis. Sasaran utama penindasan itu ialah para nasionalis yang

berorentasi agama, khususnya mereka yang terlibat dalam pergerakan

pembebasan Iran.

Dalam gerakan inilah Ali Syari’ati termasuk dan melibatkan diri secara

penuh. Sebagai upaya untuk melakukan counter penerbitan berbahasa Persia di

luar negri yang selalu bisa dalam memberitakan dinamika Iran sebagai gerakan

non agama, bahkan anti agama, Ali Syari’ati bersama beberapa kawan yang

sependapat dengannya menerbitkan jurnal yang berbahasa Persia yang beredar

luas di Eropa. Dengan wibawa pikiran dan tulisannya ia memanfaatkannya

menjadi orang yang paling serius dan relistis mendukung gerakan rakyat Iran.

Dalam jurnal itu terciptalah keselarasan antara ide-ide kelompok intelektual Iran

di luar negri dan perjuangan rakyat di dalam negri.20

Sayangnya, segala aktivitasnya di luar negri tersebut segera di akhiri oleh

Ali Syari’ati, karena ia berniat melanjutkan perjuangannya di negri Iran. Setelah

ia berhasil mempertahankan tesis doktoralnya (1963), segera setelah itu

impiannya untuk kembali ke Iran pun terwujud, tepatnya pada bulan September

1964.21

Setelah studinya selesai, ia siap untuk mengabdi kepada negara, rakyatnya

serta agama Islam. Dia bersama istri dan kedua anaknya pulang dengan membawa

hadiah berharga buat masyarakat Islam Iran. Hanya dengan senjata logika yang

dimilikinya ia bertekad untuk melancarkan jihad melawan khurafat,

Sektarianisme, dan kemunafikan yang menjadi patologi bagi masyarsakat Iran.

19Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op.cit., hlm. 23 20Ibid, hlm. 24 21Ali Syari’ati, Islam Agama…, loc., cit

Page 9: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Namun diluar dugaan, begitu Ali Syari’ati tiba di Bazargan di perbatasan

Iran dan Turki yaitu setelah lima tahun ia meninggalkan negerinya. Ia disambut

langsung dengan dijebloskan ke dalam penjara di hadapan anak dan istrinya.

Dengan tuduhan, bahwa selama di Perancis ia terlibat dalam kegiatan politik yang

menentang dan membahayakan kedudukan Syah. Tetapi tidak lama kemudian,

pada tahun 1965 ia dibebaskan.22

Sepanjang hayatnya, tanah airnya sendiri menjadi penjara baginya dengan

segala bentuk keterasingan, penderitaan dan tekanan yang dialaminya. Tetapi hal

itu justru membuatnya lebih mantap meneruskan perjuangnnya. Setelah keluar

dari penjara, ia diharuskan selama beberapa tahun bekerja sebagai guru pada

berbagai sekolah menengah dan sekolah tinggi pertanian. Beberapa tahun

kemudian, tanpa mengajukan permintaan, ia ditempatkan di Universitas Firdausi

Mashad. Mulailah ia mengabdikan dirinya langsung membimbing angkatan

muda.

Dengan penampilannya yang menarik dan kuliah-kuliahnya dalam gaya

bahasa Persia yang memukau, menyebabkan ia begitu populer dan ia-pun begitu

dekat dengan kalangan pemuda dari lapisan bawah yang miskin. Para mahasiswa

begitu bangga dan semangat dalam menghadiri ceramah-ceramah dan kuliah-

kuliahnya. Tetapi dalam keadaan yang seperti ini. Ali Syari’ati harus dihadapkan

dengan pandangan yang picik, sikap kerdil, cemburu dan dengki, sehingga fihak

universitas sendiri tidak menyenanginya.

Ali Syari’ati, tidak menyukai metode pengajaran yang konvensional, ia

lebih menyukai pengajaran yang bebas, karena baginya tidak ada perbedaan

antara kebebasan dan pengetahuan. Dengan sikapnya tersebut ia dianggap

membahayakan bagi rezim penguasa, ia kemudian diperintahkan untuk

menghentikan kuliah-kuliahnya. Harapan besarnya tentang Universitas Mashad

sebagai tempat permulaan yang penuh dedikasi untuk mengartikulasikan,

merumuskan, dan menyebarkan ideologi Islam radikal hingga melahirkan gerakan

politik Islam radikal di kalangan generasi muda Islam, ia-pun akhirnya musnah

juga. Selanjutnya ia di pindahkan ke Teheran dan mengajar pada Institut agama

22Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op.cit., hlm.15

Page 10: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Husainiyyah Irsyad di Teheran. Disini ia juga begitu cepat dikenal dan disukai

karena kuliah-kuliahnya yang berani dan tajam.

Buku-buku yang ditulis sangat laku di Iran, meskipun ia mendapat banyak

tekanan dari penguasa. Melihat hal yang seperti ini, akhirnya ia dilarang mengajar

dan dijebloskan yang kedua kalinya ke dalam penjara (1972) selama kurang lebih

delapan bulan.

Pada tahun 1975, Organisasi internasional, para intelektual Paris dan Al-

Jazair membanjiri Teheran, untuk membebaskan Ali Syari’ati. Akhirnya Ali

Syari’ati di bebaskan dari pihak penguasa. Kendati demikian ia masih dibayang-

bayangi, baik polisi maupun agen rahasia Iran dan kegiatannya otomatis

terhambat dan tidak bebas lagi. Tekanan terhadapnya menyebabkan ia mengambil

keputusan untuk hijrah meninggalkan negerinya ke Inggris, tetapi tiga minggu

kemudian ia terbunuh pada tanggal l9 juni 1977 pada usia yang relatif muda, 44

tahun.23

Ali Syari’ati, dalam uraian yang sepenuhnya adalah seorang penganut

Tauhid, seorang yang mempunyai tanggung jawab sosial yang mendalam.

Seorang yang berjiwakan Nasionalisme yang tinggi terhadap negaranya.

Sebagaimana dalam ide-idenya, ia berusaha mengembangkan relasi antara

nasionalisme dengan religius, sehingga dalam dirinya sendiri ia tidak bisa

meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang yang mempunyai jiwa sprit

kemanusiaan (Elan Vital).24 Nasionalisme tidak akan bisa berjalan tanpa adanya

elan vital yang ada.

Demikianlah sedikit biografi Ali Syari’ati yaitu seorang intelektual

spritualis yang rindu akan sebuah solidaritas dan identitas baru yang lebih hidup

dan abadi.

c. Karya-Karya Ali Syari’ati

Karya-karya Ali Syari’ati, mayoritas ditulis sebagai bahan kuliah dan

ceramah-ceramah atau diskusi-diskusi yang dipersiapkan pada saat akan

memberikan kuliah. Banyak dari karya tulisnya yang berserakan dimana-mana,

23Ibid, hlm.26 24Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis, Gramedia, Jakarta,1996, hlm. 18

Page 11: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

yang akhirnya dapat dibukukan dan diterbitkan dalam jumlah puluhan ribu

eksmplar. Semua tulisan dan ucapan Ali Syari’ati bersumber pada kejujuran dan

kemauan terhadap apa yang dipandangnya bisa diterima oleh masyarakat.

Sebagaimana tekad Ali Syari’ati, bahwa seorang saleh tidak akan

ditinggalkan oleh zaman dan dibiarkan sendiri dalam kehidupan yang akhirnya

menjadi manusia yang terpinggirkan dan terasingkan. Tetapi kehidupan yang

akan menggerakkannya dan zaman akan mencatat amal baiknya. Penghinaan

tidak mungkin bisa mengotori laki-laki suci, sekalipun mereka mengotorinya

dengan batu atau melepaskan anjing-anjingnya untuk mengotorinya.

Akidah dan keimanan hanyalah merupakan kulit luar yang tidak disertai

kesadaran, maka keduanya akan menjadikan perubahan menuju wawasan yang

sempit dan pentaklidan pada semua yang khurafat, yang akhirnya akan menjadi

batu keras yang menghalangi kemajuan. Untuk itu, bagi Ali Syari’ati, keduanya

harus diberikan transformasi idiologis. Tanpa adanya transformasi idiologis suatu

perubahan dalam masyarakat dan negara tidak akan pernah terjadi, inilah

mungkin bagi Ali Syari’ati yang disebut sebagai sumumm bonum (kebaikan

tertinggi)25 dari sebuah moralitas.

Ali Syari’ati dalam menganalisis, tentang pengetahuan yang benar atau

pengetahuan yang autentik dalam Islam hanya dapat dicapai dengan mempelajari

atau memahami filsafat sejarah yang disandarkan pada tauhid dan patologi

sosiologi mengenai syirik, yang terakhir inilah yang menjadi alat dalam menggali

kebenaran-kebenaran sosial.

Ali Syari’ati dalam menganalisis sosio-historis dalam bukunya Al-Husain

Warisu Adam,26 yang menjelaskan bahwa Islam bukanlah ideologi kemanusiaan

yang terbatas hanya pada masa-masa dan tempat-tempat tertentu saja, tetapi ia

merupakan gelombang idiologi kemanusiaan yang bersifat kontinyu, yang tidak

akan pernah terjadi stagnasi dalam sepanjang sejarah. Di dalam agama Islam akan

selalu ada nabi-nabi dan wali-wali Allah serta ulama’-ulama’ yang mewarisinya

untuk merekonstruksi dan mendobrak jalan-jalan yang sesat dan sulit.

25Lili Tjahjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tantang Etika dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm.55

26Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op. cit., hlm. 28

Page 12: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Secara historis, peperangan yang terjadi di dunia ini adalah peperangan

antara yang hak dengan yang batil, antara keimanan melawan kemusyrikan,

antara yang tertindas melawan yang menindas. Kesemuanya itu telah terwujud

dalam sejarah terbunuhnya Habil oleh Qobil. Yang bagi Ali Syari’ati Habil

mewakili golongan ploretear dan Qobil mewakili golongan borjuis. Lebih luas

lagi sejarah mencatat pertentangan antara Harun dan Musa dalam menentang

Fir’aun yang memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Sebab yang disebut

terakhir inilah yang disebut sebagai penindas.

Setiap masa dan setiap zaman pasti terdapat sifat-sifat seperti sifat yang

dimiliki oleh Fir’aun, Haman, Bal’am dan Qorun. Fir’aun sebagai pemimpin yang

menindas rakyatnya dan penguasa yang koruptor serta diktator tonggak sistem

kezaliman dan kemusyrikan. Haman mewakili kelompok tenokrat yaitu ilmuwan

yang menunjang tirani dengan melacurkan ilmu. Bal’am sebagai seorang

ruhaniyyun, seorang religius yang meninabobokkan umat atau mempolitisir umat

yang bertendensi pada agama dan Qorun sebagai orang yang bermewah-

mewahan, sombong dan kikir. Keempat jenis sifat manusia tersebut akan selalu

menentang perubahan sosial. Bahkan sifat tersebut akan menjadikan suatu negara

hancur dan rusak.27 Sebagaimana yang di katakan oleh Ibn Khaldun dalam

Muqoddimah,28 bahwa kehancuran suatu bangsa atau negara disebabkan oleh tiga

hal yaitu pemusatan kekuasaan, kemewahan hidup dan bermalas-malasan yang

akhirnya akan menjerumus pada hilangnya solidaritas sosial atau disebut sebagai

elan vital.

Kehidupannya Ali Syari’ati selalu memegang prinsip-prinsip Syi’ah Imam

Dua Belas (Itsna Asyariyah), kecuali satu hal yang tidak pernah ia ikuti yaitu

tentang imamah.29 Imamah dalam Syi’ah mengklaim bahwa khalifah-khalifah

Sunni telah merampas hak Ali bin Abi Thalib, dengan adanya imamah dalam

Islam, Islam akan hancur dan Islam akan terkotak-kotak dalam beberapa etnis dan

27Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, terj. Syafiq Basri dan Haidar Baqir, Mizan,

Bandung, 1994, hlm. 13-14 28Ibn Khaldun, Muqoddimah, terj. Ahmadi Toha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 202-204

29Hafizh Dasuki, Ali Syariati, Inskopledi Islam,Vol I, Inter Mass, Jakarta, 1993, hlm.119

Page 13: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

golongan. Ali Syari’ati dalam menghadapi permasalahan tersebut, ia berusaha

merekonstruksi pemikiran Syi’ah dengan jalan menyatukan mereka.

Dengan mengetahui hal tersebut, Ali Syari’ati30 merasa mempunyai

kuwajiban untuk menyampaikan risalah kebenaran dan keadilan sebagaimana

yang dijelaskan beliau dalam ceramah-ceramah dan kuliah-kuliahnya serta

tulisan-tulisannya semisal al-Husain Warisul Adam, Al-Tasyayyu’ al-Alawi wa

Tasyayyu’ al-Shafawi, Abu Dzar al-Ghiffari, Sultan al-Farisi, Al- Syahadah dan

Mas’uliyyat al-Tasyayyu’.

Marxisme dan Islam adalah dua idiologi yang mencakup dua dimensi

kehidupan dan pemikiran kemanusiaan. Tetapi diantara keduanya terdapat

kontradiksi, Marxisme berdasarkan filsafat Materialisme, sedangkan Islam

walaupun melihat dunia materi sebagai kenyataaan eksistensial percaya pada-Nya

dan Islam juga memiliki konsep yang gaib.

Ali Syari’ati memandang pemikiran Marxis sebagai upaya lain, tidak

berbeda dengan Biologisme, Sosiologisme, Naturalisme dan Liberalisme, untuk

melukiskan kebenaran terbatas sebagai kebenaran universal. Beberapa aspek yang

menarik bagi Ali Syari’ati terhadap marxisme yaitu, penekanannya pada realitas

sosial, perhatiannya pada sejarah sebagai sumber kebenaran dan analisisnya

tentang Kapitalisme dan Imperialisme, serta seruannya kepada revolusi. Namun,

jauh dari membebaskan manusia, dia mendebat, Marxisme mengandaikan

manusia terikat dalam sejarah yang tak mampu dikontrolnya. Singkatnya,

“kemanusiaan menjadi tak lebih dari bentukan modus produksi material”. Ali

Syari’ati memberontak terhadap keyakinan Materialisme semacam ini

sebagaimana resep liberal bagi umat Islam.31

Bagi Ali Syari’ati, respon autentik terhadap kekuatan-kekuatan alienatif,

dengan demikian terhadap revolusi sejati hanya dapat muncul dari sisi dalam

yaitu jiwa. “Pengetahuan spritual dapat mengangkat nilai eksistensial manusia

ketingkat tertentu sehingga menghilangkan perasaan inferiornya terhadap

keagungan Barat”. Karena agama cenderung berbicara tentang jiwa, dan karena di

30 Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op. cit., hlm 29 31Ali Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Piker Barat, terj. Husain Anis al-

Habsy, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 106

Page 14: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Iran agama berarti Islam, maka tantangan revolusi ada di tangan orang Iran itu

sendiri.

Dengan dasar perbedaan antara konsep sosialis Islam dengan sosialis

Marxisme, Ali Syari’ati menulis buku khusus tentang sosiologi kemusyrikan dan

kajian tentang pengaruh kemusyrikan dalam masyarakat, yang memuat secara

realistis dan kritis tentang manusia modern.32

Sebagaimana dijelaskan, bahwa patologi modernitas, akan berkembang

secara pesat jika manusia modern tidak mempunyai kekuatan aqidah dalam

hidupnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Habermes, patologi modernitas lebih

bersifat nilai-nilai kehidupan (labenswelt). Ali syari’ati dalam mengatasi hal ini ia

berpsrinsip, manakala manusia modern tidak mempunyai jiwa ketauhidan, hanya

akan menjadi makhluk yang tidak mengenal dirinya sendiri, karena klaim-klaim

kehidupan modern hanya dapat melihat dari oposisi biner, yaitu adanya

pertentangan-pertentangan antar kelas kaya dengan miskin, borjuis ploretear,

pusat pinggiran, dan sebagainya. Modernitas juga terdapat persaingan-persaingan

yang ketat, dari mulai persaingan idiologi sampai kepada persaingan-persaingan

peradaban dan kebudayaan yang semuanya kosong dari keyakinan.

Ali syari’ati dalam menumbuhkan jiwa ketauhidan dalam diri masyarakat

Islam pada umumnya dan mahasiswa Islam pada khususnya, Ali Syari’ati menulis

buku yang didalamnya termuat idiologi-idiologi murni antara lain; Al-Ilmu Wa

al-Madanus al-Jadidah (ilmu modern dan isme-isme modern), Al-Hadaroh Wa

al-Tajdid (peradaban dan modernisasi), Al-Insan al-Gharib an-Nafsih (manusia

yang tidak mengenal dirinya–sendiri), Ilmu al-Ijtima’ Hawl al-Syrik (sosiologi

kemusrikan), Al-Mustaqqof wa Mas’uliyyatuh fi al-Mujtama’ (tanggung jawab

kaum cendekiawan di masyarakat), Al-Wujudiyyah wa al-Firogh al-Fikri

(Eksistensialisme dan kekosongan pemikiran).33

Analisa-analisa terhadap realitas sosial yang ada, hanya bisa diterima

manakala menggunakan metode ferifikatif dan menggunakan istilah-istilah,

ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep yang terdapat dalam filsafat, kebudayaan

32Hafizh Dasuki, Ali Syari’ati…, op. cit., hlm. 120 33Ali Syari’ati. Kritik Islam atas…,op. cit., hlm.30

Page 15: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

agama, dan sastra yang tersedia dalam bentuk yang luas dan mendalam, dalam

bahasa-bahasa asing lebih dari yang bisa diterjemahkan dalam bahasa-bahasa

lokal.

Konsep-konsep Barat dan istilah-istilah yang digunakannya, bagi Ali

Syari’ati, yang merupakan analisis masyarakat industri abad ke-17 di Eropa dan

masyarakat kapitalis pada paruh pertama abad ke-20 tetap tidak ada manfaatnya

bagi kita, sebab unsur-unsur yang ada di dalamnya tidak memiliki kesamaan

dalam kehidupan modern kita. Perbedaannya sudah sangat jelas antara Islam

dengan Kristen antara konsep zaman dulu dengan sekarang, karena bagaimanapun

juga konsep tersebut akan mengalami evolusi. Islam zaman sekarang telah

mengalami evolusi yang sangat cepat.

Islam adalah agama tauhid, yang diturunkan dari langit ke bumi, yang

membuka diri untuk dipelajari, dianalisis, dikaji, dan diperdebatkan secara

filosofis dan teologis dan teliti secara ilmiah, agar ia bisa digunakan dalam

hubungan-hubungan antar kelompok, meminjam bahasa Hodgson (sekte-sekte

atau firqoh-firqoh)34 dalam masyarakat, institusi-institusi sosial dan politik dan

lain sebaginya.

Dengan adanya ketauhidan dalam Islam, apabila dihadapkan dengan Barat

akan terdapat kontradiksi-kontradiksi yang sangat akurat. Islam harus

menggunakan metode-metode khusus dengan menggunakan analis nilai-nilai dan

interaksi-interaksi khusus yang terdapat dalam masyarakat kita dan yang sesuai

dengan kehidupan kita dan yang sesuai dengan inti kehidupan, prilaku sosial dan

fakta-fakta yang berlaku di dalam masyarakat dan reaksi psikologis setiap

individu terhadap fakta tersebut.

Metode yang digunakan Ali Syari’ati, dalam pencarian Islam autentik

melalui empat metode yaitu; sejarah Islam, studi tentang dunia kontemporer dan

kebutuhan-kebutuhannya, keakraban dengan teks-teks Islam dan kepekaan

terhadap elemen-elemen yang paling mistis dalam Islam.35

34Marsal G.S Hodgson, The Venture of Islam Iman dan Sejarah Peradaban Islam, terj.

Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, Hlm 93 35Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2000,

hlm. 140

Page 16: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Kesarjanaan tradisional lebih menekankan teks daripada Mistisisme. Di

madrasah-madrasah, para pelajar sekolah menekuni retorika, logika bahasa Arab,

al-Qur’an, kompilasi hadist dan hukum-hukum hasil kompilasi dan interpretasi

orang-orang terpelajar beberapa abad sebelumnya. Sejarah Islam adalah sejarah

sebagaimana dilihat melalui teks Islam, bukan sejarah teks Islam itu sendiri dalam

tenunan ruang dan waktu. Bagi Ali Syari’ati Islamologi mesti menyelidiki situasi

tempat Islam tumbuh dan pengaruhnya. Sebagai contoh bagaimana Nabi

mempertahankan bentuk atau wadah kebiasaan masyarakat pra Islam, kemudian

beliau merubah kandungan dan isinya, jiwa dan arahnya, serta aplikasi praktisnya

dengan cara yang revolusioner, menentukan dan langsung.36

Ali Syari’ati menyebut hal ini sebagai metode Muhammad bukan metode

Tuhan dan beliau juga menggambarkan pribadi Nabi sebagai pribadi yang bisa

mengkombinasikan mistisisme dengan ketelitian intelektual dengan ketajaman

rasa tentang apa yang dibutuhkan dan dikehendaki oleh rakyat. Islam sejati harus

ditemukan tidak dalam teks-teks Islam, namun dalam aktivitas pribadi-pribadi

muslim teladan, dengan Nabi Muhammad sebagai contoh yang utama. Sebagai

orang Syi’ah, Ali Syari’ati menempatkan Ali dan Fatimah serta putri Nabi sebagai

teladan setelah Nabi.

Islam yang dimaksud Ali Syari’ati, adalah berbeda dengan Islam yang

dipahami secara umum pada waktu itu. Melainkan Islam yang selain sebagai

agama yang memperhatikan aspek spritual dan moral atau hubungan individual

dengan penciptanya, Islam juga merupakan sebuah ideologi emansipasi dan

pembebasan.

Berdasarkan hal tersebut, kata Ali Syari’ati, kita harus menggunakan fakta

yang ada itu sebagai gambaran masyarakat Iran yang terbentuk dalam sejarah

Islam. Sejalan dengan kemajuan sistim kompilasi dan istilah-istilah, konsep-

konsep yang berkaitan dengan sosiologi, maka terdapat kemungkinan bagi umat

Islam untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dengan bertitik tolak

dengan istilah-istilah Islam misalnya, Al-Umamah wa al-Imamah (umah dan

imamah), Al-adalah (keadilan), Al-Syahadah (kesahidan), Al-Taqwa (ketaqwaan),

36Ibid, hlm.141

Page 17: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Al-Taqlid (taqlid ), al-Shabr (kesabaran), al-Ghaibah (kegaiban), al-Syafaah

(syafaat), al-Hijrah (hijrah), al-Kufr (kekafiran), al-Syirk (kemusyrikan) al-

Tauhid (ketauhidan) dan lain-lain yang merupakan konsep-konsep yang berbicara

jauh lebih banyak dari konsep-konsep yang di miliki Barat.

Sosiologi bagi Ali Syari’ati, adalah pijakan dari pandangannya terhadap

alam yang telah memberikan sumbangan berkarya kepada masyarakat, karena ia

melihat bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat pertarungan yang

berlangsung terus-menerus antara tauhid kemusrikan (tauhid al-ijtima’) dengan

syirik kemusrikan (al-Syirk al-Ijtima’).

Dengan dasar tersebut, kajian-kajian yang digunakan Ali Syari’ati dalam

bidang sejarah, filsafat sejarah, agama, hukum dan sosiologi dilakukan dalam

perspektif ketauhidan alam (tauhid al-wujud). Konskuensinya, persoalan tauhid,

ia pandang sebagai salah satu asas pemikiran dari idiologi bagi filsafat sejarah.

Sebab, ia sendiri mampu menyingkap kehidupan masa lalu manusia dengan

persolan manusia yang menyangkut nasib manusia di masa mendatang.

Dengan demikian, maka metode yang mendaratkan pemikiran-pemikiran

tauhid di masyarakat yang menautkan masyarakat dalam pengertian tauhid akan

menjadi pemecah bagi stagnasi-stagnasi yang di akibatkan oleh konsep-konsep

yang kontradiksi.

B. Rekonstruksi Pemikiran Islam dalam Pemikiran Ali Syari’ati

a. Hakekat Manusia

Pandangan Ali Syari’ati, tentang manusia bersumber pada interpretasi teks

al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 30.37 Baginya, cerita-cerita tentang penciptaan

Adam mempunyai makna simbolis, karena Adam merupakan simbol makhluk

ciptaan Allah yang mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia

yaitu manusia dalam pengertian filosofis, bukan manusia dalam arti biologis.

37 حبنس ننحو اءمالد فكسيا وفيه فسدي نا مل فيهعض خليفة قالوا أتجاعل في االرلائكة إني جللم كبقال ر ونلما ال تعم لمقال إني أع لك سنقدو دكمبح “Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi” Mereka berkata mengapa Engkau hendak menciptakan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan akan saling menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.” (Al-Baqoroh: 30)

Page 18: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Adam adalah sebagai manusia yang diciptakan Allah pertama kali, yang

mempunyai makna simbolis. Simbolisme inilah yang akan membantu kita untuk

dapat menangkap pesan-pesan keagamaan. Bahasa simbolis berkaitan dengan

makna yang mengandung misteri, tetapi ia memiliki kedalaman makna dan

mempunyai nilai yang lebih tinggi.

Ketika Adam akan diciptakan, terjadi perdebatan antara Allah dengan

Malaikat. “Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi” kata Tuhan.

Malaikat menjawab seraya bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan

khalifah di bumi, mereka akan berbuat kerusakan dan akan saling menumpahkan

darah, padahal kami senantiasa bertasbih, memuji dan mensucikan Engkau?

Jawab Tuhan lagi, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu

ketahui”.

Untuk meyakinkan malaikat bahwa makhluk-Nya yang baru ini lebih

memiliki keunggulan daripada malaikat. Maka Tuhan mengajarkan kepada Adam

sejumlah nama. Kemudian, menantang malaikat untuk menyebutkan nama-nama

yang diajarkan tadi, karena malaikat tidak dapat menyebutkannya, maka Tuhan,

meminta Adam untuk menyebutkan nama-nama yang telah diajarkan tadi kepada

para malaikat. Selanjutnya Tuhan memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud

kepada Adam, Semuanya bersujud kepada Adam kecuali Iblis.

Disini Ali Syari’ati labih menekankan, bahwa Tuhan menggambarkan

ketinggian derajat manusia, yang mempunyai nilai lebih tinggi di banding

Malaikat.

Disisi lain, Ali Syari’ati, mengemukakan interpretasinya tentang hakikat

kejadian manusia. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an, Bahwa manusia

pada dasarnya di ciptakan dari dua unsur. Pertama, roh Tuhan dan yang kedua

adalah tanah, dan ini juga terjadi pada jenis wanita. Penafsiran bahwa Hawa di

ciptakan dari tulang rusuk kiri Adam, dengan demikian, tidak dibenarkan, karena

arti yang sebenarnya adalah nature (sifat), bukan tulang rusuk. Ini berarti, baik

pria maupun wanita diciptakan dari unsur yang sama meskipun terdapat

perbedaan-perbedaan.

Page 19: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Tuhan menciptakan manusia dari sel-sel kal fakhar (Lumpur) dan

Hammum Masnum (tanah hitam yang berbau busuk). Kemudian Tuhan

menghembuskan roh-Nya ke dalam manusia ciptaan-Nya dan penciptaan

selesai.38

Makna simbolis pengertian di atas adalah bahwa manusia mempunyai

dimensi yang berbeda yaitu dimensi ke-Tuhanan dan dimensi kehinaan atau

kerendahan. Sedangkan makhluk yang lainnya hanya mempunyai satu dimensi.

Dalam makna yang simbolis Lumpur menunjukkan pada keburukan, kehinaan,

tidak berarti, stagnasi dan mati. Dimensi ke-Ilahian mengajak manusia cenderung

untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Menurut Fazlur Rahman,39 bahwa ungkapan dua dimensi ciptaan manusia

bukan berarti dalam diri manusia, terdapat dua dimensi yang berbeda antara jiwa

dan raga, sebagaimana yang dikatakan oleh filosof-filosof sebelum al-Ghazali.

Tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,

sebagaimana kata nafs yang seringkali digunakan dan diterjemahkan al-Qur’an

menjadi jiwa yang berarti pribadi atau keakuan.

Dengan adanya dua dimensi dalam diri manusia tersebut, Syari’ati,

mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya, kadang bisa mencapai derajat yang

tinggi tapi kadang juga sampai ke derajat yang rendah dan hina, tinggal manusia

itu sendiri dengan otonomi yang dimilikinya untuk memilih. Jika ia sesat maka ia

akan memilih jalan syaitan dan jika benar maka ia akan mengikuti jalan yang

sempurna yaitu jalan yang menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jalan yang bisa sampai kepada Tuhan adalah agama. Agama bagi

Syari’ati adalah sebuah jalan bukan sebuah tujuan, kesesatan manusia terjadi

karena memandang agama sebagai tujuan akhir dalam hidupnya, bukan sebagai

jalan akhir yang bisa sampai kepada Tuhan.40

Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan“ ولقد خلقنا الإنسان من صلصال من حمإ مسنون 38 manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 26)

39Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, terj., Anas Wahyuddin, Pustaka, Bandung, 1996, hlm.26

40Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, op.cit., hlm.121

Page 20: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

b. Manusia Sebagai Khalifah

Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, bahwa manusia adalah

makhluk yang mempunyai kedudukan yang tinggi di bandingkan makhluk-

makhluk yang lainnya. Kedudukan tinggi bagi manusia ini dengan kata lain dapat

di sebut sebagai khalifah Tuhan di atas bumi atau wakil Tuhan di atas bumi.

Fakta moral yang mendalam yang tertanam dalam diri manusia, yang

merupakan tantangan bagi manusia dan yang membuat hidupnya sebagai

perjuangan moral yang tidak berkesudahan, sebagaimana yang dikatakan oleh

Immanuel Kant, tentang sumbangannya antara moral dengan agama yaitu jika

manusia ingin mencapai kebahagiaan tertinggi (summum bonum) maka kita harus

menerima tiga postulat; kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya

Allah.41

Manusia hidup dimuka bumi ini mempunyai amanah dari Allah yang

sangat besar, sehingga manusia hidup di dunia ini tidak hanya untuk bermain-

main, karena Allah menciptakan manusia tidak sekedar untuk permainan, tetapi

untuk melaksanakan tugas yang sangat berat42 dan harus mempertanggung

jawabkan keberhasilan dan kegagalannya, karena baik manusia maupun Tuhan

telah mengambil resiko yang sangat besar di dalam masalah ini. Sebagaimana

kata Fazlur Rahman,43 bahwa manusia dengan kedudukannya sebagai khalifah

adalah sebuah kutukan, karena manusia tidak mau melihat ke belakang, tidak

bersiap-siap untuk hari kemudian dan tidak memahami tujuan-tujuan moral

jangka panjang dari perjuangan manusia. Mereka hanya cukup puas untuk hari

demi hari dan jam demi jam.

Dalam menganalisa manusia sebagai khalifah, Ali Syari’ati, menggunakan

suatu diskripsi, bahwa manusia merupakan cita ideal. Sehingga manusia harus

mampu menentukan nasibnya sendiri baik sebagai kelompok masyarakat maupun

sebagai individu, seperti apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, Ali Syari’ati

41Lili Tjajadi, Loc. cit. 42ونعجنا ال ترإلي أنكمثا وبع ا خلقناكمأنم تمسبأفح “Maka apakah kamu mengira, bahwa

sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.” (al-Mu’minun: 115)

43Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok…, op. cit., hlm. 28

Page 21: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

juga berpendapat, bahwa manusia mempunyai tanggung jawab yang sangat besar,

karena manusia memiliki daya kehendak.

Manusia ideal adalah manusia theomorfis yaitu dengan sifat-sifat ke-

Tuhanan dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Manusia ideal

mempunyai tiga aspek yaitu kebenaran, kebajikan dan keindahan, dengan kata

lain manusia memiliki pengetahuan, etika dan seni yang semuanya itu dapat

dicapai melalui kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas.

Manusia ideal adalah manusia yang mampu berfikir mendalam tanpa

terjerumus kedalam perenungan diri, sehingga melupakan yang lainnya. Manusia

ideal juga melakukan kegiatan-kegiatan politik tanpa harus lupa diri dan gila

hormat, gila kekuasaan dan sebaginya. Iman yang dimilikinya tidak menyebabkan

kemampuannya lumpuh.

Manusia ideal yang dimaksudkan Ali Syari’ati, adalah manusia yang dapat

menaklukkan dunia tetapi dipihak lain ia juga tidak mengesampingkan nilai-nilai

spritual dan ke-Ilahian. Manusia ideal bagaikan seorang kaisar yang memegang

pedang dengan gagah tetapi juga memiliki hati seperti hatinya Yesus, ia

menggunakan pikiranya seperti Socrates tetapi juga memiliki kecintaan seperti

kecintaan Al-Hallaj dalam pencariannya menuju Tuhan. Manusia ideal adalah

manusia seperti Yesus dalam menyampaikan pesan-pesan perdamaian tetapi juga

seperti Musa yang dengan gagah berani berjihad. Manusia ideal adalah manusia

yang bisa membentuk lingkungan bukan manusia yang dibentuk oleh

lingkungan.44

Kepercayaan yang di berikan oleh Tuhan kepada manusia,

mengharuskannya untuk bertanggung jawab atas amanat yang menjadi beban di

pundaknya, betapapun berat tanggung jawab itu, pengabdiannya kepada Tuhan

dicerminkan dalam pengabdiannya terhadap kepentingan sesama manusia.

Tanggung jawabnya kepada Tuhan diwujudkan dalam perjuangan memerangi

44Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, op. cit., hlm. 162

Page 22: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

kemiskinan, kebodohan, kezaliman dan kelaparan. Manusia ideal juga berjuang

untuk membebaskan belenggu penindasan.45

Sependapat dengan Yusuf Qardhawi, bahwa hanya dengan iman dan

bimbingan mental, perubahan suatu bangsa akan menjadi berkembang. Bangsa

bisa maju karena dulunya pernah tertindas lemah, sehingga manusia kalau ingin

maju negaranya diperlukan bimbingan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum

bimbingan yang lainnya sebagaimana firman Allah. “Sesungguhnya Allah tidak

akan pernah merubah suatu kaum, sehingga kaum itu mau merubah nasibnya

sendiri”.46

c. Hubungan Antara Manusia, Alam dan Tuhan

Tauhid merupakan ke-Esaan Tuhan, sebagaimana yang telah diterima oleh

semua penganut agama monoteis. Berbeda dengan pandangan hidup tauhid Ali

Syari’ati, yang dengan teorinya mengatakan bahwa tauhid adalah pandangan

hidup yang memandang alam semesta sebagai satu kesatuan yang sangat

relevan.47

Ali Syari’ati sebagaimana dengan idenya yang lalu, bahwa, untuk

membebaskan massa dari krisis dan membawa mereka mencapai Iran yang

merdeka serta berkeadilan sosial-ekonomi, Ali Syari’ati yakin, bukan

Liberalisme, Kapitalisme atau Sosialisme yang bisa mengobati penyakit Islam,

melainkan Islam itu sendiri. Baginya Islam merupakan satu-satunya ideologi yang

bisa menyelamatkan Iran dari segala bentuk tekanan dan pembebasan.

Islam yang dimaksud Ali Syari’ati ialah Islam yang bukan sebagaimana

dipahami secara umum, melainkan Islam selain yang secara umum sebagai agama

yang memperhatikan aspek spritual dan moral atau hubungan individual dengan

penciptanya, Islam juga merupakan sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.

Untuk menjadikan Islam sebagai ideolog yang bisa dipraktekkan, Ali

Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi yaitu yang berkenaan

45Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis , terj. Afif Muhammad,

Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm. 118-130 46Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiah, Mitra Pustaka,

yogyakarta, 2000, hlm. 310 47Ali Syari’ati, On The Sosiologi Islam and The Visag Of Muhammad, terj. Hamid Algar,

Islamic Center, Jakarta, 1988, hlm. 73

Page 23: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

dengan bagaimana cara memahamai dan menerima Tuhan, mengevaluasi segala

sesuatu, ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif

masyarakat, serta metode praktis untuk mengubah status quo yang tidak

memuaskan.

Ali Syari’ati, berangkat dari pandangan hidup tauhid yaitu bagaimana

kedudukan manusia dalam hubungannya antara Tuhan dengan alam semesta.

Tauhid, bagi Ali Syari’ati merupakan bentuk tunggal suatu kehidupan yaitu

organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, inteligen, perasaan dan

tujuan. Hal ini berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan ke

dalam dua kategori yang berpasangan yaitu jasmani, rohani, dunia dengan alam

semesta.

Tauhid adalah, pandangan hidup tentang kesatuan universal, kesatuan

antara hipotesis yang terpisah antara Tuhan, manusia dan alam. Karena, ketiganya

merupakan satu-kesatuan yang sama. Tuhan, alam, dan manusia, mempunyai

kesamaan kehendak, kesadaran diri, ide-ide, hidup dan tujuan-tujuan. Ketiganya

(Tuhan, alam dan manusia) disatukan secara berarti dalam asal-usul yang sama.48

Berbeda dengan pandangan Ali Syari’ati tentang tauhid, Ali Syari’ati juga

berpendapat bahwa, pandangan hidup Syirik, merupakan suatu pandangan hidup

yang melihat alam semesta sebagai satu kumpulan yang kacau, penuh dengan

keanekaan, kontradiksi dan heteroganitas. Di dalamnya terdapat berbagai ragam

bentuk, yang satu dengan yang lainnya tidak ada hubungannya, bahkan saling

bertentangan, penuh kecendrungan konflik dengan serba perhitungan, keinginan,

kebiasaan, tujuan dan kehendak sendiri-sendiri. Dengan singkatnya bahwa tauhid

memandang sebagai satu kesatuan emperium sedangkan syirik merupakan sistim

feodal.49

Tauhid yang ditegakkan Ali Syari’ati. Sebenarnya untuk memerangi

perpecahan agama, pengkotak-kotakan pengetahuan, pemisahan antara Tuhan

dengan manusia serta ketidakbermaknaan sejarah yang terputus-putus.

Sebagaimana yang digambarkan Syari’ati dalam isainya tentang perjalanan Haji,

48Ibid, hlm. 74 49Ibid, hlm. 73

Page 24: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

yang disitu lebih menekankan tauhid, baik dalam kitab suci maupun dalam

prakteknya, semisal yang menarik seorang muslim keluar dari dirinya menuju

kepada penyatuan dengan Tuhan dan alam semesta.

Ali Syari’ati dalam menerangkan Haji, ia menggambarkan kaitan antara

keunikan, Mistisisme dengan Universalisme. Lewat tulisannya Ali Syari’ati,

memisahkan diri dari mereka-mereka yang melihat Islam sebagai himpunan nilai-

nilai abstrak. Melalui perjalanan Haji, seorang muslim mencoba mengalami iman

sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya, berjalan ditempat mereka

berjalan dan berdo’a di tempat mereka dahulu berdo’a. Ini adalah upaya manusia

untuk kembali ke asalnya dengan membebaskan diri dari rutinitas keseharian, dari

budaya pakaian yang melambangkan budaya materialisme dan tujuan picik

menjadi taruhan hidup dan semua hal yang menyelubungi diri dan semua hal yang

mengasingkan manusia dari diri mereka yang bersifat spiritual. Sebelum

berangkat, para peziarah mesti siap untuk mati, utang harus dilunasi, niat

ditetapkan, amarah dan dendam dipadamkan. Ia menyaksikan jenazahnya sendiri

dan mengunjungi kuburnya. Manusia diingatkan akan tujuan akhir hidupnya. Ia

mengalami kematian pada saat Miqat dan kebangkitan kembali untuk meneruskan

misinya di padang pasir antara Miqat dan Mi’ad.50

Semua hasil pemikiran Ali Syari’ati yang disebutkan di atas, yaitu

pemikirannya tentang hakikat manusia, hubungan manusia, alam dan Tuhan,

manusia sebagai khalifah dan semua karya-karyanya yang telah disebutkan di atas

merupakan hasil pemikirannya untuk membebaskan manusia dari ketertindasan

sosial, politik dan ekonomi dengan menolak ideologi Barat dan menerima

ideologi tauhid sebagai titik pijakannya.

C. Filsafat Gerakan Islam Revolusioner Ali Syari’ati

Ali Syari’ati lebih tepat disebut sebagai seorang orator ketimbang seorang

penulis. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya transkrip-transkrip pemikirannya

yang lebih merupakan kumpulan pidato dan ceramah-ceramahnya di kampus.

50Ali Syari’ati, Makna Haji, terj., Burhan Wirasubrata, Yayasan Fatimah, 2002, hlm. 32 -

34

Page 25: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Tapi justru disinilah letak keunggulannya. Bahasa-bahasa yang disampaikannya

begitu lugas dan sederhana, namun memikat, seolah ia hadir di hadapan kita.

Sebagaimana yang dikatakan Abrahamain,51pada kenyatannya terdapat

tiga Ali Syari’ati; pertama adalah Ali Syari’ati sang sosiolog yang tertarik pada

hubungan dialektis dan praktek, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, dan

antara kesadaran dan eksistensi, Ali Syari’ati ini memiliki komitmen yang tinggi

untuk memahami lahir, tumbuh dan berkembangnya birokrasi.

Kedua, Ali Syari’ati seorang penganut Syi’ah fanatik, yang percaya bahwa

Syi’ah revolusioner tidak akan pernah tunduk pada hukum besi (iron law) tentang

peragian birokrasi. Ali Syari’ati yang ini percaya bahwa tataran perubahan

fundamental, seluruh ideologi dan masyarakat mengalami kebangkitan, peragian

dan keruntuhan. Apakah ada jalan keluar dari kemunduran dan desintegrasi ini?

caranya, menurut Ali Syari’ati adalah dengan melakukan revitalisasi yang

berkesinambungan terhadap idiologi itu sendiri.

Ketiga, Ali Syari’ati adalah seorang penceramah umum (public speaker)

yang bersemangat, artikulatif dan oratorik, yang sangat memikat bagi banyak

orang, khususnya kaum muda. Ali Syari’ati dalam kedudukan ini banyak

menggunakan jargon, generalisasi dan sinkretisme yang tajam tentang institusi-

institusi yang mapan, yang dalam hal ini adalah rezim Syah Pahlevi dan religius

establisment yang dikuasai oleh kaum ulama’.

Sebelum menganalisis lebih jauh pemikiran Ali Syari’ati, adalah penting

terlebih dahulu menentukan pendekatan apa yang akan dipakai untuk mengupas

pemikiran tokoh ini secara utuh, sebab ada pepatah arab yang berbunyi; al-

Tariqotu Ahammu min al-Madah (metode pendekatan terhadap suatu persoalan

jauh lebih penting daripada materi persoalan), artinya jika metode pendekatan

yang digunakan terhadap suatu masalah tidak tepat, besar kemungkinan substansi

persoalan tersebut tidak tersentuh, bahkan boleh jadi tidak terdistorsi.52 Selaras

dengan organnya metode pendekatan suatu masalah. Ali Syari’ati sendiri pernah

51Azumardi Azra, Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan

Indonesia, Lentera, Jakarta, 1999, hlm. 49-50 52Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2002, hlm. 61

Page 26: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

menganalogikannya dengan sorang yang berjalan, seorang yang lumpuh sebelah

kakinya sehingga tidak bisa berjalan cepat. Jika memilih jalan yang benar akan

lebih cepat sampai ke tujuan daripada juara lari yang menempuh jalan yang penuh

batu dan berputar-putar.53

Setiap pemikiran yang terkonstruksi secara sistematis mesti memiliki

doktrin-doktrin utama tentang Tuhan, manusia dan masa depan yang

diharapkannya. Disamping itu ia juga memiliki paradigma perubahan (manhaj),

untuk merubah keadaan yang ada menjadi idealitas yang diharapkannya. Pada

gilirannya ia juga mempunyai standar nilai, norma-norma yang moralitas untuk

mengukur derajat eksistensi dan martabat kemanusiaan yang hadir dihadapannya.

Berangkat dari kerangka itulah, kita akan melihat lebih jauh pemikiran Ali

Syari’ati secara arkeologis. Hal ini penting mengingat pemikiran Ali Syari’ati,

seperti ditulis Azyumardi Azra, kurang sistematis, bahkan jarang terlihat bahwa

pemikirannya dalam banyak tema penuh dengan kontaradiksi. Karena itu Ali

Syari’ati tampil banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang sering keliru

memahaminya.

Titik tolak pemikiran Ali Syari’ati, berangkat dari komitmen dan

kepercayaannya yang besar terhadap tradisi Islam Syi’ah revolusioner. Ia

memandang bahwa masyarakat seharusnya bangga dengan warisan tradisi ini dan

menjadikannya sebagai sebuah sistem nilai yang melingkupi tatanan sosial yang

akan dibangun masyarakat. Akan tetapi dalam kurun kesejarahannya tradisi ini

mengalami reduksi, ketika bersentuhan dengan kepentingan penguasa. Tradisi

yang demikian progresif telah bermetamorfosis menjadi obat penenang

masyarakat untuk lari dari persoalan riel kehidupan disatu sisi dan instrumen

legitimasi yang paling efektif melanggengkan kekuasaan disisi lain.

Ali Syari’ati dalam konteks ini, mencoba mempertegas batasan Islam yang

progresif (Islam Ali) dan Islam status quo (Islam Safawi) yang diwariskan para

ulama’ sezamannya yang merlancarkan agama demi kepentingan rezim penguasa

kata Ali Syari’ati, “adalah perlu menjelaskan apa yang kita maksud dengan Islam,

dengannya kita maksudkan Islamnya Abu Dzarr, bukan Islamnya khalifah, Islam

53Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op.cit., hlm. 70

Page 27: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

keadilan dan kepemimpinan yang pantas, bukan Islamnya penguasa aristokrasi

dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan dan kesadaran, bukan Islam

perbudakan, penawanan dan positivis. Islam kaum mujahid, bukan Islamnya kaum

ulama’. Islam kaum kebajikan dan tanggung jawab, bukan Islam yang

menekankan dissimulasi keagamaan, wasilah ulama’ dan campur tangan Tuhan.

Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah bukan Islam yang

menyerah secara dogmatis dan tidak kritis kepada ulama’.54

Ali Syari’ati secara sistimatis tidak pernah menunjukkan sikap anti Barat,

sebagaimana yang ditulis oleh Robert D. Lee, dalam sebuah esai tentang seni. Dia

menulis bahwa kesalahan orang Iran bukan karena mereka meniru Barat,

melainkan justru karena mereka gagal melakukannya. Menurutnya orang Iran

sebenarnya bukan Barat dan bukan Timur, maksudnya bahwa intelektual Iran

telah gagal mencontoh Barat dalam mencipta sebuah kebudayaan baru dari

sumber-sumber kebudayaan mereka sendiri. Ali Syari’ati dalam mengkritik

dogma-dogma abad ke-18 tentang kebenaran universal yang melandasi bangunan

kolonialisme dan dalam menolak sikap positivis dalam beragama. Tidak ada

prototip universal untuk menjadi tercerahkan, yang ia tolak bukan seluruh

pemikiran Barat melainkan apa yang ia istilahkan sebagai inti semangat

kemodernan; “setiap manusia harus menjadi binatang konsumtif dan setiap bangsa

harus meninggalkan keauntetikan mereka”.55

Demikianlah, Ali Syari’ati sangat percaya dengan kekuatan Islam yang

pada gilirannya dapat difungsionalisasikan menjadi sebuah pandangan hidup atau

idiologi yang mampu menggerakkan pemikiran dan kesadaran mereka.

Substansi Islam sebagai pandangan hidup, bagi Ali Syari’ati bermuara

pada interpretasinya tentang tauhid.56 Tauhid adalah cara memandang alam

sebagai satu-kesatuan hidup, jadi, tidak terbagi-bagi atas dunia kini dan akhirat

nanti atas alamiah dan supra alamiah atau jiwa dan raga. Seluruh eksistensi adalah

suatu bentuk tunggal, suatu organisme yang hidup dan memiliki kesadaran cipta

54Mohammad Hatta, Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat, Kreasi Wacana,

Yogyakarta, 2000, hlm. 208 55Robert D. Lee, Mencari Islam…, op.cit., hlm.138 56Ali Syari’ati, Sosiologi…, op. cit., hlm. 103-111

Page 28: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

rasa dan karsa. Tauhid bukan semata-mata pengakuan bahwa Tuhan adalah Satu,

tidak lebih dari satu. Tauhid adalah sebuah pandangan imperium bukan

pandangan feodalistik.

Sebaliknya Syirik adalah pandangan hidup yang melihat alam semesta

sebagai suatu kumpulan yang kacau, cenderung terjadi kontradiksi dan

heterogenitas. Di dalamnya terdapat kutup yang antara satu dengan yang lainnya

tidak ada hubungannya dan bahkan saling bertentangan dan cenderung konflik.

Sebagaimana digambarkan Ali Syari’ati dalam esainya tentang Haji, yang

menekankan tauhid dalam kitap suci maupun praktek. Lewat tulisannya, Ali

Syari’ati mencoba memisahkan diri dari mereka yang memandang Islam sebagai

himpunan nilai-nilai yang abstrak. Melalui perjalanan haji, seorang muslim

mencoba keluar dari dirinya sendiri menuju penyatuan dengan Tuhan dan alam

semesta dan melaui perjalanan haji seorang muslim mengalami kematian, pada

saat miqat dan kebangkitan kembali untuk meneruskan misinya dipadang pasir

antara miqat dan mi’ad.57

Sebagaimana Heidegger (1889-1976) yang mengatakan, dengan membagi

dua eksistensi yaitu eksistensi yang autentik dan eksistensi yang tidak autentik,

dengan memakai istilah Var Fallen, dia menggambarkan symbol Adam dan Hawa

yang dengan dosanya ia diturunkan ke dalam eksistensi yang lebih rendah dari

sebelumnya, dengan artian bahwa manusia yang hidup dengan omongan sehari-

hari dengan desas-desus dan hal yang berlaku dan besok tidak berlaku. Inilah

yang dinamakan hidup tidak autentik, sedangkan hidup yang autentik yaitu terjadi

ketika manusia mengalami takut (angst) yaitu dengan mengalami tidak-meng-ada

(fana’) lagi dalam dirinya, maka dalam hal ini manusia hanya bisa mengalami

kematian dalam dirinya. 58

Tidak berbeda dengan Sartre (1905-1980)59 dalam bukunya

Eksistensialisme and Humanisme, yang mengatakan ”Eksistensi Mendahului

57Ali Syari’ati, Makna Haji…, op.cit., hlm. 32-34 58Brauwer dan Puspa Haryadi, Sejarah Filsafat Modern dan Sezaman, Alumni, Bandung,

1986, hlm. 121-123 59Linda Smith dan Wiliam Reaper, Ide-Ide Filsafat Agama Dulu dan Sekarang. terj.

Hardono Hadi, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 86-87

Page 29: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Esensi”, dengan membagi kehidupan menjadi dua yaitu hidup secara autentik dan

hidup tidak autentik yaitu dengan kepercayaan buruk. Jika manusia ingin

membuat pisau kertas, manusia mempunyai ide dan bahkan sebelum berada ia

akan berfikir untuk apa pisau itu dan akan kelihatan seperti apa.

Begitu juga ketika berfikir tentang Allah. Pada waktu Allah menciptakan

manusia. Allah pasti mempunyai ide untuk apa manusia diciptakan, dan dengan

itu juga manusia berfikir, untuk apa kita diciptakan, karena Allah ada, kodrat

manusia ada dan ma’nanya telah dituliskan dalam alam semesta. Tetapi bila Allah

secara riel tidak ada, maka orang akan mencari dirinya didalam situasi dimana

mereka berada, tetapi tidak tahu untuk apa mereka berada, seperti apakah Dia dan

untuk apa Dia. Dalam hal ini eksistensi mendahului esensi (kenyataan dulu baru

ide), dengan artian ketika orang melihat diri sendiri ia akan mengalami

“ketiadaan“, tetapi harus mengisi ketiadaan itu dengan sesuatu. Terakhir

dikatakannya, bahwa manusia harus menyadari kebebasannya, karena hidup di

dunia yang autentik adalah dengan kebebasan memilih dan hidup yang autentik

selain di dunia adalah kematian.

Bertolak belakang dengan Syirik, tauhid merupakan satuan pandangan

hidup tentang kesatuan universal, kesatuan antara hipotesis yang terpisah, Allah,

alam dan manusia ketiganya tidak identik namun berada dalam satu kausalitas

yang tidak dapat dipisahkan, sekalipun terjadi penggolongan yang gaib dan yang

dzohir.

Pandangan Ali Syari’ati tentang makrokosmos di atas, jika diturunkan

dalam pandangannya tentang manusia (mikrokosmos) terdapat perbedaan.

Bedanya yaitu bermula dengan penciptaan manusia, yang bermula dari proses

penciptaan manusia pertama kali yang dalam struktur kediriannya sendiri, terdiri

atas dua unsur yang bersebrangan. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa proses

penciptaan di atas dikemas dalam al-Qur’an dalam bahasa metaforis atau bahasa

symbol, yang atas kekuasaan Allah, hanya dengan roh Allah manusia bisa sampai

kepada Allah, tetapi jika manusia dengan kebebasannya hanya sampai kepada

tanah busuk, maka manusia akan terseret kelembah stagnasi, immobilisasi,

Page 30: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

kerendahan dan keburukan. Tetapi dengan itu semua manusia dapat disebut

humanisme sejati ketika para Malaikat sujud kepadanya.

Setelah melihat garis pemikiran Ali Syari’ati sekitar presepsi-presepsi

Tuhan, alam dan manusia, pada saatnya kita juga harus melihat derivasi konteks

filosofis tersebut, dalam konteks perubahan sosial atau masyarakat. Hukum

apakah yang berlaku dalam masyarakat? Faktor apa saja yang mempengaruhi

perubahan tersebut? Bagaimanakah peran intelektual yang seharusnya dimainkan

dalam masyarakat ? sampai akhirnya ke resep masyarakat yang bagaimana yang

menjadi impian ideal? semua pernyataan ini dijawab Ali Syari’ati secara

argumentatif dan intelek namun tetap berpegang pada refrensi Islam Syi’ah yang

tentunya fersi baru Ali Syari’ati.

Filsafat pergerakan Ali Syari’ati selain berkaitan dengan dirinya tentang

Syi’ah revolusioner, juga banyak berhubungan dengan presepsinya tentang

sejarah. Sebagimana pikiran-pikirannya dalam bidang lain. Filsafat sejarahnya

kaya dengan berbagai tema dan merupakan perpaduan dari berbagai gagasan.

Pada intinya Ali Syari’ati memandang sejarah sebagai konstruksi pola dasar

(archetral) dari berbagai realitas unik, yang muncul dalam fakta-fakta sejarah,

untuk diarahkan agar mencapai tujuan idiologis tertentu, dengan kata lain, fakta-

fakta sejarah yang akan membisu jika dibiarkan begitu saja, haruslah

direkonstruksi secara revolusioner.

Jika Tynbee,60 misalnya, pernah mengatakan bahwa sejarah bergerak

dalam kesinambungan “seragam dan pertahanan”, Ali Syari’ati dalam hal ini lebih

menambahkan bahwa suatu pergerakan agama (Islam) harus dijaga agar tetap

dalam modus agresifnya melalui interpretasi aktif terhadap kandungan aktualnya

ketimbang berpegang teguh pada manifestasi lahiriahnya.

Ali Syari’ati dalam konteks terakhirnya, bisa dipahami, bahwa bagi Islam

dalam setiap momen historisnya harus dibuang dengan membuang kebebasan-

kebebasan lama yang dipegang kaum muslimin untuk kemudian menampilkan

esensi pandangan Islam itu sendiri dalam bentuk baru.

60Arnold Toynbee dan Daesaku Ikeda, Perjuangkan Hidup Sebuah Dialog, terj. Iskandar,

PT. Internusa, Jakarta,1987, hlm. 294

Page 31: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Ali Syari’ati tampaknya sangat mirip dengan Iqbaldan Qutub,61 juga mirip

dengan Kierkegard saat ia menjelaskan dampak alienatif dari tradisi. Menurutnya

sejarah adalah perkuburan yang panjang dan hitam, sunyi dan muram, hampa dan

dingin dan mematikan generasi demi generasi. Semuanya telah menjelma menjadi

pengulangan dan imitasi.

Hidup, pemikiran dan harapan hanyalah kebiasaan dan pewarisan. Budaya,

peradaban seni dan iman adalah sekedar batu-batu mati, masa lalu, dengan

demikian, menghentikan manusia dengan mnensubordinasi individulitas dan jiwa

ke dalam pola-pola yang menyimpang dari tindakan absah. Meskipun demikian,

manusia akan kehilangan daya sama sekali ketika meninggalkan masa lampau

karena tanpa masa lampau dari mana ia membawa kesadaran tentang diri. Tanpa

masa lampau mustahil seseorang memiliki masa depan, Ali Syari’ati juga

mengatakan, mana mungkin seseorang dapat berimajinasi, mencipta,

memproyeksikan dan berharap tanpa merujuk kepada masa lampau?

Perkembangan kejiwaan yang baik tergantung kepada pemahaman seseorang akan

masa lampau.62

Walaupun Ali Syari’ati sangat elaktik dalam meminjam gagasan-gagasan,

yang kadang-kadang saling bertolak belakang, analisis Ali Syari’ati tentang

sejarah agaknya dapat disebut semacam sociological history yaitu sejarah yang

dijelaskan secara lebih sosiologis. Dalam kerangka sosiological history, sejarah

tidak hanya merupakan past events (peristiwa masa silam) yang disampaikan

secara naratif tetapi lebih dilihat sebagai hasil dari interaksi, atau dalam bahasa

Ali Syarai’ati, dialektika faktor-faktor sosiologis.

Demikianlah dalam sosiological historynya, Ali Syari’ati banyak

menggunakan paradigma dan teori sosiologi, khususny Weberian dan Marxian,

sejarah dipengaruhi Marxisme, menurut Ali Syari’ati misalnya, sejarah tercipta

melalui kontradiksi-kontradiksi dalektis. Sejarah berkembang dalam konteks

perjuangan antara kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. Pertarungan itu

61Robert D. Lee, Mencari Islam…, op. cit., hlm. 80 62Ali Syari’ati, Islam Agama Protes…, op.cit., hlm.12

Page 32: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

bermula sejak munculnya manusia pertama dimuka bumi dan pertarungan tersebut

kapan dan dimanapun tidak akan pernah berhenti dalam setiap massa dan zaman.

Tetapi lebih jauh, dalam pandangan Ali Syari’ati, perubahan historis tidak

melalui sekedar kontradiksi-kontradiksi biasa malainkan kontradiksi yang

melibatkan modus produksi (mode of production). Tipologi kontradiksi modus

produksi itu ada pada legenda pertarungan dua saudara yaitu antara Qobil dan

Habil. Dalam kerangka itu Qabil adalah agricultural sedangkan Habil adalah

pastoralis. Basis rangking sosial dan posisi kelas Qobil terletak pada

pemilikannya pada alat-alat produksi, dalam hal ini adalah tanah. Sedangkan

Habil sebagai pastoralist, tidak meguasai alat-alat produksi. Kehidupannya

semata-mata bergantung kepada kaki dan tangannya, yang dapat digunakan untuk

berburu atau menangkap ikan. Berpijak pada pembelahan ini, Syari’ati

memandang konflik antara Qobil dan Habil sebagi sesuatu yang obyektif (‘aini)

yang menjadi dasar bagi seluruh pergumulan, kemarin kini dan esok.63

Menurut Ali Syari’ati, dalam suatu masyarakat ada dua struktur yaitu

struktur Qobil dan Struktur Habil. Perbudakan penghambaan, borjuis, feodalis dan

kapitalis dalam pandangannya bukan merupakan struktur-struktur sosial

melainkan merupakan supra struktur masyarakat.64 Pada struktur Habil

masyarakat menjadi penentu nasibnya sendiri, segenap warganya beramal untuk

masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Pada struktur Qobil para

persoranganlah yang menjadi pemilik dan penentu nasib mereka masing-masing

maupun nasib masyarakat.

Kutub Qobil adalah kelas yang berkuasa yaitu raja, pemilik tanah dan

kaum ningrat. Pada masa primitif dan terbelakang kubu ini cukup diwakili

individu yang mempunyai kekuatan tunggal, yang menjalankan kekuasaan dan

menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik tanah dan ningrat) sekaligus. Tetapi

pada tahap selanjutnya yaitu dalam perkembangan dan evolusi sosial, kutup ini

terpolarisasi menjadi tiga dimensi yang terpisah. Manifestasi politiknya ialah

kekuasaan manifestasi ekonominya ialah harta dan manifestasi keagamaannya

63Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op. cit., hlm. 128-146 64 Mohammat Hatta, Sosialisme Religius…, op. cit., hlm. 211

Page 33: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

ialah kependetaan yang dalam al-Qur’an disebut sebagai mala’ mutraf dan rahib.

Yang masing-masing merupakan penguasa yang kejam dan serakah, pemilik harta

yang rakus dan kekenyangan dan pendeta yang demagog dan berjenggot panjang,

ketiga-tiganya berusaha untuk menguasai memeras dan mengelabuhi rakyat.

Kutub Habil adalah mereka yang dikuasai dan tertindas, yaitu yang

berhadapan dengan kelas triumvirat di atas. Kelas ini adalah rakyat (ummah) yang

tidak memiliki kekuasaan, kepemilikan alat-alat produksi maupun status

keningratan atau kerahiban. Sepanjang masa keduanya senantiasa bertentangan

dan berkonfrontasi. Keberpihakan Allah dalam konteks ini berada pada kelas

tertindas, bahkan menurut Ali Syari’ati dalam semua urusan masyarakat yang

berhubungan dengan sistem sosial, bukan dalam masalah aqidah yang berurusan

dengan tata kosmos, maka kata ummah seringkali sama maksudnya dengan kata

Allah. Sehingga ketika dikatakan kekuasaan berada ditangan Allah, maka

sekaligus dikatakan juga bahwa kekuasaan berada ditangan ummah.65

Kerangka dasar ummah adalah ekonomi yang sistem sosialnya didasarkan

atas kesamaan dan keadilan serta hak milik yang ditempatkan ditangan

masyarakat, atas dasar kebangkitan kembali sistem Habil yaitu masyarakat yang

ditandai dengan persamaan dan persaudaraan, dalam artian masyarakat tanpa

kelas. Filsafat dasar politik ummah adalah bukan demokrasi dengan perhitungan

kepala, bukan liberalisme tanpa mempunyai tanggung jawab dan tanpa arah, tetapi

terdiri atas kesucian pemimpin (imamah) yaitu kepemimpinan yang memiliki jiwa

konsted dan revolusioner dan bertanggung jawab atas dasar pandangan hidup dan

ideologinya. Karena hubungan keduanya (antara ummah dan imamah) sangat

akurat sehingga, bagi Syari’ati, ketiadaan imamah akan menjadikan munculnya

prablem-prablem ummah dan bahkan kemanusiaan secara umum. Imamah adalah

sebuah idola, hero atau insan kamil dan syahid (saksi) dan tanpa pola seperti ini

maka akan mengalami disorentasi dan aleanasi. Lebih dijelaskan bahwa dalan

setiap zaman dan massa masyarakat manusia selalu butuh kepada hero, idola dan

insan kamil.66

65Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op. cit., hlm. 159 66Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah…, op.cit., hlm. 118-130

Page 34: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Ali Syari’ati dari pemasalahan terhadap dua kutup qobil dan habil,

sebenarnya secara eksplisit telah menjawab pertanyaan seputar faktor substansial

yang secara fundamental mempengaruhi perubahan sosial yaitu ummat atau rakyat

itu sendiri. Lebih jauh Ali Syari’ati juga menjelaskan ada empat faktor yang

mempengaruhi nasib masyarakat; pribadi besar, kebetulan, norma dan rakyat,

diantaranya yang terpenting yaitu norma dan rakyat. Karena ummat adalah

kehendak massa, sedangkan norma adalah hukum-hukum yang berlaku dalam

masyarakat.67

Lebih lanjut, dalam Islam berlakunya norma-norma sosial sedikit banyak

dekat determinisme historis, tetapi dengan pemahaman yang lebih luas. Menurut

Islam, selain manusia selain memepunyai tanggung jawab terhadap nasibnya,

manusia juga mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya masing-masing, dalam

artian, selain manusia mempunyai tanggung jawab terhadap nasibnya juga

mempunyai tanggung jawab terhadap Tuhan yang menentukan masing-masing

nasibnya. Ali Syari’ati dalam hal ini lebih dekat dengan eksistensialisme.

Ali Syariati dalam menjelaskan tentang dealikteka sosio-historis yaitu

legenda pertarungan Qobil dan Habil. Lebih banyak merujuk pada Marxis dan

ketika menjelaskan tentang tanggung jawab sosial manusia, merujuk kepada

Eksistensialisme, dengan demikian dapat dikatakan Ali Syari’ati berusaha

mengislamisasikan Marxisme dengan cara mengkombinasikan anatara Marxisme

dengan spritualitas manusia (mengadopsi Marxis kedalam Islam atau

mensingkretis Marxis kedalam Islam), sehingga dalam hal ini Ali Syari’ati selain

mengikuti Marxis juga mengkritik Marxis, akhirnya dapat dikatakan Ali Syari’ati

bukanlah seorang Marxis sebagaimana yang dikatakan oleh pemikir-pemikir lain,

dan juga bukan seorang yang bingung dalam mengambil kebijaksanaan,

melainkan Ali Syari’ati mencoba mengambil jalan tengah anatara Islam dengan

Marxisme, hingga bisa dikatakan Ali Syari’ati adalah seorang sosialisme religius.

Ali Syari’ati dalam hal ini bisa dikatakan, adalah seorang yang dengan ide-

idenya, yang juga langsung dipraksiskan itu, ia mengkombinasikan idenya itu

dengan akhidah dan taukhid yang sangat tinggi, Sebagaimana yang dikatakan

67 Mohammad Hatta, Sosialisme Religius …,op. cit., hlm. 212

Page 35: ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · sesungguhnya dan dalam arti spritual. Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat

Nurcholis Madjid,68 orang yang beriman akan lebih bersifat al-Wasit (penengah),

karena Islam bersifat al-Wasith dalam menyelasaikan persolan-persoalan yang

tidak bisa diselesaikan. Ali Syari’ti ketika mempunyai ide yang seperti itu yaitu

dengan mengkritik ulama’ konservatif yang dikuasai oleh Syah dan

pemerintahannya. Ia merasa ada kesalahan dan kegagalan dalam diri ummat Islam

dalam menafsirkan atau menginterpretasikan ide-ide yang dikeluarkan oleh orang-

orang Barat.

68Nur Cholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 236-

237