ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... ·...
Transcript of ALI BAB II - Perpustakaan Pusatlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... ·...
BAB II
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN
ALI SYARI’ATI
A. Biografi dan Karya-Karyanya
a. Garis Keturunan dan Keluarga Ali Syari’ati
Ali Syari’ati adalah seorang idiologi dan seorang pemikir revolusi Iran
yang terkemuka. Ia di lahirkan di Mazinan. Sebuah Kota di pinggiran kota
Mashad dekad Sabzavar, Timur laut Khurasan, negri Iran, pada tanggal 24
november 1933, putra sulung dari Sayyid Muhammad Taqi’ Syari’ati dan putri
Zahrah.1 Orangtuanya adalah keluarga yang cukup disegani ditengah-tengah
masyarakat sebagai tokoh spritual yang senantiasa menjalankan ritual dan ritus
keagamaan yang taat. Meskipun demikian, keluarga Taqi’ Syari’ati tetap
merupakan keluarga layaknya penduduk kampung yang hidup seadanya. Dari
keluarga itulah Ali Syari’ati mulai membentuk mentalitas kepribadian dan
jatidirinya, terutama lewat peran seorang ayah yang menjadi guru dalam arti yang
sesungguhnya dan dalam arti spritual.
Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat yang berbeda dengan teman
sebayanya. Ali Syari’ati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di
Mashad, yaitu sekolah swasta Ibnu Yamin, tempat ayahnya mengajar. Ali
Syari’ati kecil terkenal pendiam, tidak suka diatur, namun dirinya sangat rajin.
Selain itu, ia juga selalu menyendiri, acuh tak acuh dengan dunia luar, sehingga
tampak kurang bermasyarakat. Karena itu, terhadap teman-teman sebayanya ia
kurang bergaul. Ali Syari’ati lebih senang mengurung dirinya di rumahnya dan
menghabiskan waktunya dengan membaca buku bersama ayahnya hingga
menjelang pagi. Selain buku yang dibacanya tidak berhubungan dengan pelajaran
yang diwajibkan disekolah. Ali Syari’ati juga tidak pernah mengerjakan pekerjaan
1Dawan Raharjo, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, Garafiti Pers, Jakarta,
1987, hlm.167
rumah dari para guru sekolahnya. Walaupun demikian seperti layaknya teman-
temannya ia selalu naik kelas pada setiap tahunnya.2
Rupanya lingkungan intelektual yang terbangun dalam keluarganya,
terutama ayahnya, sangat mempengaruhi kecendrungan berpikir Ali Syari’ati dan
mengerahkan beberapa dimensi pikirannya.
Muhammad Taqi’ Syari’ati adalah seorang guru dan mujahid besar pendiri
Markaz Nashr al-Haqaiq al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-Kebenaran
Islam) di Masyhad dengan menggunakan al-Qur’an dan sunnah sebagai sarana
sentralnya,3 sekaligus salah seorang putra pergerakan pemikiran Islam di Iran. Ali
Syari’ati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya yang dianggap sebagai
pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan kekaguman Ali Syari’ati
terhadap sosok sang ayah-pun mengantarkan pemikirannya sampai pada
kesimpulan bahwa ayahnya adalah seorang mujadid, pembuat bid’ah yang
menyimpang dari tradisi lama yang berkembang saat itu.4
Begitu besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan
kecendikiawanan Ali Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki
wawasan dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam
literature yang secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya.
Prilakunya cenderung menyendiri dan perkembangan pendidikannya di rumah
membuat Ali Syari’ati lebih mandiri di tengah masyarakat. Hal ini kemudian
melahirkan kebanggaan tersendiri yang mendalam bagi dirinya. Ali Syari’ati
merasakan telah tumbuh dewasa meninggalkan zamannya, seolah ia telah
melangkah seratus langkah meninggalkan kawan-kawan sekelasnya, dan sembilan
puluh sembilan telah meninggalkan guru-gurunya.5
Selain ayahnya, pemikiran Ali Syari’ati mudah juga sangat terobsesi oleh
kehidupan kakek-kakeknya yang suci, terutama tentang filsafat yang
mempertahankan jati diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan
2Ali Syari’ati, Sosilogi Islam, terj. Saifullah Wahyudin, Ananda, Yogyakarta, 1982, hlm.
9-11 3Ibid, hlm. 7 4Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam dengan Madzhab Barat, terj. Afif Muhammad,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1996, hlm.13 5Ibid, hlm. 15
dekadensi telah merajalela. Adalah Akhund Hakim, kakek dari ayah Ali Syari’ati
yang sering diceritakan kepadanya, telah banyak memberi inspirasi bagi benih-
benih kesadaran yang tumbuh dalam jiwa Ali Syari’ati, demikian juga paman
ayahnya, seorang murid pemikir terkemuka dan sastrawan Adib Nisyapuri yang
sangat menonjol. Demi mengikuti jejak kakek-kakek leluhurnya, sesudah
mempelajari fiqih, filsafat dan sastra, mereka kembali ke kampung halamannya
Mazinan.
Ali Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan
kakek-kakeknya, serta dari paman ayahnya tersebut. Ia melihat ruhnya yang abadi
itu berada dalam dirinya, dan melihat ruh yang bersinar cemerlang itu menerangi
jalan yang dia tempuh dalam kehidupannya.
Menginjak usia remaja, pada tahun pertama di sekolah menengah atas, Ali
Syari’ati sudah mulai menyenangi bidang filsafat dan mistisisme. Ia lebih
berminat pada karya sastra, syair, dan kemanusiaan ketimbang mempelajari buku
studi ilmu sosial dan studi keagamaan. Mempelajari bahasa Arab di rumah kepada
ayahnya tidak mengalihkan perhatiannya pada studi filsafat dan karya-karya
modern Iran maupun asing.
b. Latar Belakang Sosial Politik dan Keilmuan Ali Syari’ati
Meskipun Taqi’ Syari’ati adalah seorang ulama’ yang menentang keras
terhadap pembaratan, modernisasi dan aturan-aturan otoriter Muhammad Reza
Pahlevi. Anaknya (Ali Syari’ati) menempuh sekolah dasar dan sekolah menengah
di Mashad, kemudian ia masuk Teaching Training Colleg, sejenis sekolah tinggi
keguruan atau sekolah umum sekuler, dan bahkan kelak, ketika kritik-kritiknya
pada kemapanan agama tidak berhasil, dia menolak pendidikan keagamaan
formal di tangan para ulama. Disini pula ia memulai perjalanan hidupnya dalam
perjuangan politik, sosial dan intelektual.6
Dalam memasuki usia dewasanya, Ali Syari’ati semakin menyibukkan
dirinya kedalam berbagai aktivitas dan pengabdian, baik sosial, politik maupun
keagamaan. Selain intens mempelajari beragam kajian ilmiah, Ali Syari’ati juga
sangat aktif terlibat dalam berbagai gerakan dan organisasi. Tahun 1940-an ia
6 Dawan Raharjo, Insan Kamil…, loc. cit
turut dalam “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan “Pusat Pengembangan
Dakwah Islam” yang didirikan oleh ayahnya.7 Taqi’ Syari’ati seorang sarjana dan
Islamolog yang cukup berpengaruh saat itu. Pada usianya yang sekitar 17-18
tahun (1950-an) ia mulai menjadi mahasiswa di lembaga pendidikan Teaching
Training Colleg (kampus pendidikan guru primer). Ali Syari’ati juga memulai
karirnya sebagai pengajar. Sejak saat itulah ia menjadi guru sekaligus
mahasiswa.8
Ketika memasuki hidupnya yang ke-20 tahun tersebut, Ali Syari’ati
menyaksikan kondisi negrinya yang penuh gejolak politik akibat kebijakan
otoritatif rezim penguasa. Berbagai perjuangan bermunculan ke permukaan,
bahkan hampir terjadi di setiap sudut kota Iran, hingga pada puncaknya terjadi
kerusuhan. Saat itulah Ali Syari’ati mulai aktif dalam gerakan politik dengan
mendirikan asosiasi pelajar Islam di Mashad. Ia tidak dapat menutup mata
menghadapi kekejaman-kekejaman yang dilakukan penguasa, ia bangkit melalui
dua sektor, yaitu sektor sosial dan politik. Ia terjun dalam gerakan pencerdasan
bangsa dan menciptakan penyadaran bagi masyarakat Iran melalui ceramah-
ceramah, tulisan-tulisan, serta bergerak lewat organisasi.9 Karena pidato-pidato,
tulisan-tulisan, serta kegiatan-kegitan perlawanannya itulah maka pemerintah
mengawasinya.
Setelah menginjak usia 23 tahun (1959), Ali Syari’ati masuk Fakultas
Sastra Univertas Mashad. Waktu itu Ali Syari’ati juga terlibat dalam gerakan
politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok pro-mossadeq, oposisi
rezim penguasa, serta dibawah gerakan perlawanan nasional atau NRM (Nasional
Revolution Movement) cabang Mashad, ia melancarkan gerakan oposisinya
melwan rezim. Ia pun aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk
7Ali Syari’ati, Membanguin Masa Depan Islam, terj. Rahmati Astute, Mizan, Bandung,
1988, hlm. 19 8Ali Syari’ati, Makna Haji, terj. Burhan Wirasubrata, Yayasan Fatimah, Jakarta, 2002,
hlm. 231 9Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam ..., op. cit., hlm. 18-19
nasionalisasi industri minyak Iran. Akibat aktivitas politiknya tersebut akhirnya
menggiring Ali Syari’ati ke penjara selama 8 bulan.10
Di usianya yang ke 25 tahun, tepatnya pada tanggal 15 juli 1958, Ali
Syari’ati mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang putri dari Haji Ali
Akbar bernama Pouran-e Syari’ati Razavi.11 Kebahagiannya bersama sang istri
kemudian semakin bertambah dengan keberhasilan Ali Syari’ati meraih gelar
Sarjana Muda, lima bulan setelah pernikahannya. Sebagai tesisnya ia
menerjemahkan Dar Naqd Wa Adab (Kritik Sastra) karya penulis mesir Dr.
Mandur (1958).12
Setelah lulus dari Univertas Mashad, Ali Syari’ati meraih beasiswa untuk
belajar ke Prancis, tepatnya di Universitas Sarbone, Paris. Di negri inilah Ali
Syari’ati mendapatkan kesempatan terbuka begitu besar untuk membebaskan diri
dari incaran dan ancaman penguasa Iran.13 Di tempat ini pula Ali Syari’ati
menimba berbagai macam ilmu pengetahuan dan terlibat dalam berbagai gerakan.
Ali Syari’ati banyak menelaah berbagai macam buku yang tidak terdapat atau
setidaknya belum diperolehnya sewaktu di Iran. Ia bahkan mulai berkenalan
dengan berbagai aliran pemikiran, baik dibidang sosial maupun filsafat, sekaligus
mendapatklan kesempatan untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, para
filosof, sosiolog, islamolog, cendikiawan serta penulis terkemuka seperti Henry
Bregson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Jens Paul Sartre, Frantz
Fanon, George Gurwitsch, Lois Masignon dan Jacques Schwartz.14
Dalam pertemuannya tersebut terjadi perdebatan pemikiran yang sangat
intens dengan mereka. Walaupun demikian, ternyata Ali Syari’ati dengan
perdebatannya tersebut tidak sedikit-pun tergoyahkkan pendiriannya. Terutama
yang sangat mengesankan adalah pandangannya tentang manusia.
10Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, terj. Satrio Panandito, Pustaka Hidayah, Jakarta,
1993, hlm. 7 11Pauran-e Syari’ati Razavi adalah teman kuliah Ali Syari’ati ketika menjadi mahasiswa
di Universitas Mashad 12Misri A. Muchsin. Filsafat Sejarah dalam Islam, Ar-Ruz Press, Yogyakarta, 2002,
hlm.128 13Ibid, hlm. 129 14Ali Syari’ati, Islam Agama…, op.cit., hlm. 8
Ali Syari’ati, selama di Prancis, Tidak tenggelam begitu saja dalam
perenungan filsafat dan pemikiran kontemplatif teologis. Tetapi ia bersama
teman-temannya, Mustafa Chauran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan
kebebasan Iran.15 Hal ini terbukti ia juga aktif bergerak dalam kegiatan-keatan
politik menentang rezim Syah. Berbagai macam upaya untuk menyebarkan
gagasan-gagasannya, sehingga merupakan benih-benih yang terjadi kemudian.
Kezaliman dan kesewenang-wenangan rezim Syah di Iran merupakan tanah subur
bagi ide-ide yang dikembangkannya.
Kajian Ali Syari’ati mengarah pada tema-tema Islam dan sosiologi Islam
dalam bentuknya yang khas. Ia melakukan kajiannya dengan memadukan
sosiologi dengan hasil pemikiran orisinilnya. Hal ini disebabkan Ali Syari’ati
tidak puas dengan apa yang diberikan oleh pandangan positivistik bahwa
sosiologi hanya semata-mata sebagai ilmu. Ia juga menelaah secara kritis
pandangan-pandangan Karl Marx yang akhirnya menyudut pada sebuah analisis
kritis Marxisme. Ia menolak kesimpulan-kesimpulan yang murni Marxis, atas
dasar bahwa metode manapun diantara metode-metode tersebut dalam
kenyataannya sama sekali tidak mampu menganalisis fakta-fakta negara dunia
ketiga. Ia kemudian intens melibatkan dirinya pada kajian sejenis ilmu sosial
tanpa berpijak pada solusi-solusi yang diajukan oleh bangunan masyarakat,
kapitalis maupun komunis.16
Selain mempelajari karya-karya ilmuwan Eropa atau Barat, Ali Syari’ati
juga aktif menerjemahkan beragam buku, diantara buku-buku yang berhasil ia
terjemahkan yaitu: Be Koja Takiye Kunim? (apa yang menjadi dukungan kita?)
(1961) Guerrilla Warfare karya Guevara, Wahat Is Poerty? Karya Sartre, dan
karya Farantz Fanon.17
Masa tinggal Ali Syari’ati di Paris bersamaan dengan periode revolusi al-
Jazair. Waktu itu berbagai partai dan kelompok di Eropa, bahkan para sarjana dan
sosiolog saling berbeda pendapat, ada yang positif dan ada pula yang negatif
melihat nasib rakyat al-Jazair. Namun disisi lain, seorang cendekiawan
15Dawan Raharjo, Insan Kamil…, op. cit., hlm.167 16Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…,op.cit., hlm. 20 17Ali Syari’ati, Islam Agama…, op.cit., hlm. 8
berpengaruh Frantz Fanon sebagai warga negara al-Jazair asal negara Mantinique
sejak awal telah turut aktif dalam mendukung rakyat al-Jazair dan telah menulis
beberapa buku, yang berhasil diterjemahkan oleh Ali Syari’ati.
Secara bersamaan Ali Syari’ati mempertahankan dan mempelajari apa
yang sedang berlangsung di al-Jazair. Penelaannya terhadap karya-karya Fanon
memberikan inspirasi bagi inisiasi revolusi untuk negrinya, Iran. Menurut
pendapat Ali Syari’ati, buku The Wretched Of The Earth (Yang Terkutuk di
Bumi), yang mengandung analisa sosiologis dan psikologis mendalam tentang
revolusi al-Jazair, adalah bingkisan intelektual yang berharga bagi mereka yang
sedang mengerjakan perubahan di Iran.18
Ide-ide Fanon telah disajikan dengan tepat oleh Ali Syari’ati yang
bersimpati penuh dengannya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapat-
pendapatnya. Ali Syari’ati juga memperkenalkan ide-ide para penulis
revolusioner Afrika lainnya, termasuk Umar Uzgan dengan karyanya Afdhal el-
Jihad (Perjuangan Utama), serta beberapa penulis dan penyair non muslim
lainnya. Ia yakin bahwa ide-ide yang sedang berkembang di berbagai gerakan
rakyat maupun gerakan Islamiyah di Afrika bisa mengilhamkan suatu dinamisme
intelektual baru bagi perjuangan sosial dan politik Muslim Iran.
Selama tinggal dan belajar di Paris, perhatiannya tidak hanya kepada
pelajaran, hafalan dan persiapan ujian sebagaimana para mahasiswa lainnya,
melainkan lebih banyak memperkembangkan diri menjadi syahid yang sadar dan
waspada. Ada tiga aspek kegiatannya pada waktu itu, yang membedakannya
dengan orang lain yaitu: perjuangan intelektual, perjuangan praktis, dan
perjuangan untuk menumbuhkan suatu sistem pendidikan yang benar. Ketiga
perjuangannya tersebut berorentasi kepada rakyat, atau lebih luas lagi, kepada
umat. Karena itulah ia tidak membiarkan dirinya terlibat total dalam pergolakan
kegiatan politik mahasiswa, karena ia mendambakan sesuatu yang lebih langgeng
serta berharga untuk rakyatnya. Tulisan-tulisan dan serba usahanya adalah demi
18Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op.cit., hlm. 17
masa kepentingan rakyatnya, dan lebih dari siapa pun, ia menatap masa rakyat
sebagai titik orentasi yang unik dan tetap.19
Ketika Ali syari’ati berada di Paris jatuh bersamamaan dengan suatu tahap
baru dan vital, yaitu tumbuhnya kelompok progresif dalam gerakan keagamaan di
Iran. Setelah beberapa saat kebebasan mulai sedikit terasa di Iran maka tirani dan
penindasan kembali merajalela di negri itu. Kembalilah penahanan dan
pemeriksaan, hukuman-hukuman penjara yang panjang serta penganiayaan
terhadap para aktivis. Sasaran utama penindasan itu ialah para nasionalis yang
berorentasi agama, khususnya mereka yang terlibat dalam pergerakan
pembebasan Iran.
Dalam gerakan inilah Ali Syari’ati termasuk dan melibatkan diri secara
penuh. Sebagai upaya untuk melakukan counter penerbitan berbahasa Persia di
luar negri yang selalu bisa dalam memberitakan dinamika Iran sebagai gerakan
non agama, bahkan anti agama, Ali Syari’ati bersama beberapa kawan yang
sependapat dengannya menerbitkan jurnal yang berbahasa Persia yang beredar
luas di Eropa. Dengan wibawa pikiran dan tulisannya ia memanfaatkannya
menjadi orang yang paling serius dan relistis mendukung gerakan rakyat Iran.
Dalam jurnal itu terciptalah keselarasan antara ide-ide kelompok intelektual Iran
di luar negri dan perjuangan rakyat di dalam negri.20
Sayangnya, segala aktivitasnya di luar negri tersebut segera di akhiri oleh
Ali Syari’ati, karena ia berniat melanjutkan perjuangannya di negri Iran. Setelah
ia berhasil mempertahankan tesis doktoralnya (1963), segera setelah itu
impiannya untuk kembali ke Iran pun terwujud, tepatnya pada bulan September
1964.21
Setelah studinya selesai, ia siap untuk mengabdi kepada negara, rakyatnya
serta agama Islam. Dia bersama istri dan kedua anaknya pulang dengan membawa
hadiah berharga buat masyarakat Islam Iran. Hanya dengan senjata logika yang
dimilikinya ia bertekad untuk melancarkan jihad melawan khurafat,
Sektarianisme, dan kemunafikan yang menjadi patologi bagi masyarsakat Iran.
19Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op.cit., hlm. 23 20Ibid, hlm. 24 21Ali Syari’ati, Islam Agama…, loc., cit
Namun diluar dugaan, begitu Ali Syari’ati tiba di Bazargan di perbatasan
Iran dan Turki yaitu setelah lima tahun ia meninggalkan negerinya. Ia disambut
langsung dengan dijebloskan ke dalam penjara di hadapan anak dan istrinya.
Dengan tuduhan, bahwa selama di Perancis ia terlibat dalam kegiatan politik yang
menentang dan membahayakan kedudukan Syah. Tetapi tidak lama kemudian,
pada tahun 1965 ia dibebaskan.22
Sepanjang hayatnya, tanah airnya sendiri menjadi penjara baginya dengan
segala bentuk keterasingan, penderitaan dan tekanan yang dialaminya. Tetapi hal
itu justru membuatnya lebih mantap meneruskan perjuangnnya. Setelah keluar
dari penjara, ia diharuskan selama beberapa tahun bekerja sebagai guru pada
berbagai sekolah menengah dan sekolah tinggi pertanian. Beberapa tahun
kemudian, tanpa mengajukan permintaan, ia ditempatkan di Universitas Firdausi
Mashad. Mulailah ia mengabdikan dirinya langsung membimbing angkatan
muda.
Dengan penampilannya yang menarik dan kuliah-kuliahnya dalam gaya
bahasa Persia yang memukau, menyebabkan ia begitu populer dan ia-pun begitu
dekat dengan kalangan pemuda dari lapisan bawah yang miskin. Para mahasiswa
begitu bangga dan semangat dalam menghadiri ceramah-ceramah dan kuliah-
kuliahnya. Tetapi dalam keadaan yang seperti ini. Ali Syari’ati harus dihadapkan
dengan pandangan yang picik, sikap kerdil, cemburu dan dengki, sehingga fihak
universitas sendiri tidak menyenanginya.
Ali Syari’ati, tidak menyukai metode pengajaran yang konvensional, ia
lebih menyukai pengajaran yang bebas, karena baginya tidak ada perbedaan
antara kebebasan dan pengetahuan. Dengan sikapnya tersebut ia dianggap
membahayakan bagi rezim penguasa, ia kemudian diperintahkan untuk
menghentikan kuliah-kuliahnya. Harapan besarnya tentang Universitas Mashad
sebagai tempat permulaan yang penuh dedikasi untuk mengartikulasikan,
merumuskan, dan menyebarkan ideologi Islam radikal hingga melahirkan gerakan
politik Islam radikal di kalangan generasi muda Islam, ia-pun akhirnya musnah
juga. Selanjutnya ia di pindahkan ke Teheran dan mengajar pada Institut agama
22Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op.cit., hlm.15
Husainiyyah Irsyad di Teheran. Disini ia juga begitu cepat dikenal dan disukai
karena kuliah-kuliahnya yang berani dan tajam.
Buku-buku yang ditulis sangat laku di Iran, meskipun ia mendapat banyak
tekanan dari penguasa. Melihat hal yang seperti ini, akhirnya ia dilarang mengajar
dan dijebloskan yang kedua kalinya ke dalam penjara (1972) selama kurang lebih
delapan bulan.
Pada tahun 1975, Organisasi internasional, para intelektual Paris dan Al-
Jazair membanjiri Teheran, untuk membebaskan Ali Syari’ati. Akhirnya Ali
Syari’ati di bebaskan dari pihak penguasa. Kendati demikian ia masih dibayang-
bayangi, baik polisi maupun agen rahasia Iran dan kegiatannya otomatis
terhambat dan tidak bebas lagi. Tekanan terhadapnya menyebabkan ia mengambil
keputusan untuk hijrah meninggalkan negerinya ke Inggris, tetapi tiga minggu
kemudian ia terbunuh pada tanggal l9 juni 1977 pada usia yang relatif muda, 44
tahun.23
Ali Syari’ati, dalam uraian yang sepenuhnya adalah seorang penganut
Tauhid, seorang yang mempunyai tanggung jawab sosial yang mendalam.
Seorang yang berjiwakan Nasionalisme yang tinggi terhadap negaranya.
Sebagaimana dalam ide-idenya, ia berusaha mengembangkan relasi antara
nasionalisme dengan religius, sehingga dalam dirinya sendiri ia tidak bisa
meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang yang mempunyai jiwa sprit
kemanusiaan (Elan Vital).24 Nasionalisme tidak akan bisa berjalan tanpa adanya
elan vital yang ada.
Demikianlah sedikit biografi Ali Syari’ati yaitu seorang intelektual
spritualis yang rindu akan sebuah solidaritas dan identitas baru yang lebih hidup
dan abadi.
c. Karya-Karya Ali Syari’ati
Karya-karya Ali Syari’ati, mayoritas ditulis sebagai bahan kuliah dan
ceramah-ceramah atau diskusi-diskusi yang dipersiapkan pada saat akan
memberikan kuliah. Banyak dari karya tulisnya yang berserakan dimana-mana,
23Ibid, hlm.26 24Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis, Gramedia, Jakarta,1996, hlm. 18
yang akhirnya dapat dibukukan dan diterbitkan dalam jumlah puluhan ribu
eksmplar. Semua tulisan dan ucapan Ali Syari’ati bersumber pada kejujuran dan
kemauan terhadap apa yang dipandangnya bisa diterima oleh masyarakat.
Sebagaimana tekad Ali Syari’ati, bahwa seorang saleh tidak akan
ditinggalkan oleh zaman dan dibiarkan sendiri dalam kehidupan yang akhirnya
menjadi manusia yang terpinggirkan dan terasingkan. Tetapi kehidupan yang
akan menggerakkannya dan zaman akan mencatat amal baiknya. Penghinaan
tidak mungkin bisa mengotori laki-laki suci, sekalipun mereka mengotorinya
dengan batu atau melepaskan anjing-anjingnya untuk mengotorinya.
Akidah dan keimanan hanyalah merupakan kulit luar yang tidak disertai
kesadaran, maka keduanya akan menjadikan perubahan menuju wawasan yang
sempit dan pentaklidan pada semua yang khurafat, yang akhirnya akan menjadi
batu keras yang menghalangi kemajuan. Untuk itu, bagi Ali Syari’ati, keduanya
harus diberikan transformasi idiologis. Tanpa adanya transformasi idiologis suatu
perubahan dalam masyarakat dan negara tidak akan pernah terjadi, inilah
mungkin bagi Ali Syari’ati yang disebut sebagai sumumm bonum (kebaikan
tertinggi)25 dari sebuah moralitas.
Ali Syari’ati dalam menganalisis, tentang pengetahuan yang benar atau
pengetahuan yang autentik dalam Islam hanya dapat dicapai dengan mempelajari
atau memahami filsafat sejarah yang disandarkan pada tauhid dan patologi
sosiologi mengenai syirik, yang terakhir inilah yang menjadi alat dalam menggali
kebenaran-kebenaran sosial.
Ali Syari’ati dalam menganalisis sosio-historis dalam bukunya Al-Husain
Warisu Adam,26 yang menjelaskan bahwa Islam bukanlah ideologi kemanusiaan
yang terbatas hanya pada masa-masa dan tempat-tempat tertentu saja, tetapi ia
merupakan gelombang idiologi kemanusiaan yang bersifat kontinyu, yang tidak
akan pernah terjadi stagnasi dalam sepanjang sejarah. Di dalam agama Islam akan
selalu ada nabi-nabi dan wali-wali Allah serta ulama’-ulama’ yang mewarisinya
untuk merekonstruksi dan mendobrak jalan-jalan yang sesat dan sulit.
25Lili Tjahjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tantang Etika dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm.55
26Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op. cit., hlm. 28
Secara historis, peperangan yang terjadi di dunia ini adalah peperangan
antara yang hak dengan yang batil, antara keimanan melawan kemusyrikan,
antara yang tertindas melawan yang menindas. Kesemuanya itu telah terwujud
dalam sejarah terbunuhnya Habil oleh Qobil. Yang bagi Ali Syari’ati Habil
mewakili golongan ploretear dan Qobil mewakili golongan borjuis. Lebih luas
lagi sejarah mencatat pertentangan antara Harun dan Musa dalam menentang
Fir’aun yang memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Sebab yang disebut
terakhir inilah yang disebut sebagai penindas.
Setiap masa dan setiap zaman pasti terdapat sifat-sifat seperti sifat yang
dimiliki oleh Fir’aun, Haman, Bal’am dan Qorun. Fir’aun sebagai pemimpin yang
menindas rakyatnya dan penguasa yang koruptor serta diktator tonggak sistem
kezaliman dan kemusyrikan. Haman mewakili kelompok tenokrat yaitu ilmuwan
yang menunjang tirani dengan melacurkan ilmu. Bal’am sebagai seorang
ruhaniyyun, seorang religius yang meninabobokkan umat atau mempolitisir umat
yang bertendensi pada agama dan Qorun sebagai orang yang bermewah-
mewahan, sombong dan kikir. Keempat jenis sifat manusia tersebut akan selalu
menentang perubahan sosial. Bahkan sifat tersebut akan menjadikan suatu negara
hancur dan rusak.27 Sebagaimana yang di katakan oleh Ibn Khaldun dalam
Muqoddimah,28 bahwa kehancuran suatu bangsa atau negara disebabkan oleh tiga
hal yaitu pemusatan kekuasaan, kemewahan hidup dan bermalas-malasan yang
akhirnya akan menjerumus pada hilangnya solidaritas sosial atau disebut sebagai
elan vital.
Kehidupannya Ali Syari’ati selalu memegang prinsip-prinsip Syi’ah Imam
Dua Belas (Itsna Asyariyah), kecuali satu hal yang tidak pernah ia ikuti yaitu
tentang imamah.29 Imamah dalam Syi’ah mengklaim bahwa khalifah-khalifah
Sunni telah merampas hak Ali bin Abi Thalib, dengan adanya imamah dalam
Islam, Islam akan hancur dan Islam akan terkotak-kotak dalam beberapa etnis dan
27Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, terj. Syafiq Basri dan Haidar Baqir, Mizan,
Bandung, 1994, hlm. 13-14 28Ibn Khaldun, Muqoddimah, terj. Ahmadi Toha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 202-204
29Hafizh Dasuki, Ali Syariati, Inskopledi Islam,Vol I, Inter Mass, Jakarta, 1993, hlm.119
golongan. Ali Syari’ati dalam menghadapi permasalahan tersebut, ia berusaha
merekonstruksi pemikiran Syi’ah dengan jalan menyatukan mereka.
Dengan mengetahui hal tersebut, Ali Syari’ati30 merasa mempunyai
kuwajiban untuk menyampaikan risalah kebenaran dan keadilan sebagaimana
yang dijelaskan beliau dalam ceramah-ceramah dan kuliah-kuliahnya serta
tulisan-tulisannya semisal al-Husain Warisul Adam, Al-Tasyayyu’ al-Alawi wa
Tasyayyu’ al-Shafawi, Abu Dzar al-Ghiffari, Sultan al-Farisi, Al- Syahadah dan
Mas’uliyyat al-Tasyayyu’.
Marxisme dan Islam adalah dua idiologi yang mencakup dua dimensi
kehidupan dan pemikiran kemanusiaan. Tetapi diantara keduanya terdapat
kontradiksi, Marxisme berdasarkan filsafat Materialisme, sedangkan Islam
walaupun melihat dunia materi sebagai kenyataaan eksistensial percaya pada-Nya
dan Islam juga memiliki konsep yang gaib.
Ali Syari’ati memandang pemikiran Marxis sebagai upaya lain, tidak
berbeda dengan Biologisme, Sosiologisme, Naturalisme dan Liberalisme, untuk
melukiskan kebenaran terbatas sebagai kebenaran universal. Beberapa aspek yang
menarik bagi Ali Syari’ati terhadap marxisme yaitu, penekanannya pada realitas
sosial, perhatiannya pada sejarah sebagai sumber kebenaran dan analisisnya
tentang Kapitalisme dan Imperialisme, serta seruannya kepada revolusi. Namun,
jauh dari membebaskan manusia, dia mendebat, Marxisme mengandaikan
manusia terikat dalam sejarah yang tak mampu dikontrolnya. Singkatnya,
“kemanusiaan menjadi tak lebih dari bentukan modus produksi material”. Ali
Syari’ati memberontak terhadap keyakinan Materialisme semacam ini
sebagaimana resep liberal bagi umat Islam.31
Bagi Ali Syari’ati, respon autentik terhadap kekuatan-kekuatan alienatif,
dengan demikian terhadap revolusi sejati hanya dapat muncul dari sisi dalam
yaitu jiwa. “Pengetahuan spritual dapat mengangkat nilai eksistensial manusia
ketingkat tertentu sehingga menghilangkan perasaan inferiornya terhadap
keagungan Barat”. Karena agama cenderung berbicara tentang jiwa, dan karena di
30 Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam…, op. cit., hlm 29 31Ali Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Piker Barat, terj. Husain Anis al-
Habsy, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 106
Iran agama berarti Islam, maka tantangan revolusi ada di tangan orang Iran itu
sendiri.
Dengan dasar perbedaan antara konsep sosialis Islam dengan sosialis
Marxisme, Ali Syari’ati menulis buku khusus tentang sosiologi kemusyrikan dan
kajian tentang pengaruh kemusyrikan dalam masyarakat, yang memuat secara
realistis dan kritis tentang manusia modern.32
Sebagaimana dijelaskan, bahwa patologi modernitas, akan berkembang
secara pesat jika manusia modern tidak mempunyai kekuatan aqidah dalam
hidupnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Habermes, patologi modernitas lebih
bersifat nilai-nilai kehidupan (labenswelt). Ali syari’ati dalam mengatasi hal ini ia
berpsrinsip, manakala manusia modern tidak mempunyai jiwa ketauhidan, hanya
akan menjadi makhluk yang tidak mengenal dirinya sendiri, karena klaim-klaim
kehidupan modern hanya dapat melihat dari oposisi biner, yaitu adanya
pertentangan-pertentangan antar kelas kaya dengan miskin, borjuis ploretear,
pusat pinggiran, dan sebagainya. Modernitas juga terdapat persaingan-persaingan
yang ketat, dari mulai persaingan idiologi sampai kepada persaingan-persaingan
peradaban dan kebudayaan yang semuanya kosong dari keyakinan.
Ali syari’ati dalam menumbuhkan jiwa ketauhidan dalam diri masyarakat
Islam pada umumnya dan mahasiswa Islam pada khususnya, Ali Syari’ati menulis
buku yang didalamnya termuat idiologi-idiologi murni antara lain; Al-Ilmu Wa
al-Madanus al-Jadidah (ilmu modern dan isme-isme modern), Al-Hadaroh Wa
al-Tajdid (peradaban dan modernisasi), Al-Insan al-Gharib an-Nafsih (manusia
yang tidak mengenal dirinya–sendiri), Ilmu al-Ijtima’ Hawl al-Syrik (sosiologi
kemusrikan), Al-Mustaqqof wa Mas’uliyyatuh fi al-Mujtama’ (tanggung jawab
kaum cendekiawan di masyarakat), Al-Wujudiyyah wa al-Firogh al-Fikri
(Eksistensialisme dan kekosongan pemikiran).33
Analisa-analisa terhadap realitas sosial yang ada, hanya bisa diterima
manakala menggunakan metode ferifikatif dan menggunakan istilah-istilah,
ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep yang terdapat dalam filsafat, kebudayaan
32Hafizh Dasuki, Ali Syari’ati…, op. cit., hlm. 120 33Ali Syari’ati. Kritik Islam atas…,op. cit., hlm.30
agama, dan sastra yang tersedia dalam bentuk yang luas dan mendalam, dalam
bahasa-bahasa asing lebih dari yang bisa diterjemahkan dalam bahasa-bahasa
lokal.
Konsep-konsep Barat dan istilah-istilah yang digunakannya, bagi Ali
Syari’ati, yang merupakan analisis masyarakat industri abad ke-17 di Eropa dan
masyarakat kapitalis pada paruh pertama abad ke-20 tetap tidak ada manfaatnya
bagi kita, sebab unsur-unsur yang ada di dalamnya tidak memiliki kesamaan
dalam kehidupan modern kita. Perbedaannya sudah sangat jelas antara Islam
dengan Kristen antara konsep zaman dulu dengan sekarang, karena bagaimanapun
juga konsep tersebut akan mengalami evolusi. Islam zaman sekarang telah
mengalami evolusi yang sangat cepat.
Islam adalah agama tauhid, yang diturunkan dari langit ke bumi, yang
membuka diri untuk dipelajari, dianalisis, dikaji, dan diperdebatkan secara
filosofis dan teologis dan teliti secara ilmiah, agar ia bisa digunakan dalam
hubungan-hubungan antar kelompok, meminjam bahasa Hodgson (sekte-sekte
atau firqoh-firqoh)34 dalam masyarakat, institusi-institusi sosial dan politik dan
lain sebaginya.
Dengan adanya ketauhidan dalam Islam, apabila dihadapkan dengan Barat
akan terdapat kontradiksi-kontradiksi yang sangat akurat. Islam harus
menggunakan metode-metode khusus dengan menggunakan analis nilai-nilai dan
interaksi-interaksi khusus yang terdapat dalam masyarakat kita dan yang sesuai
dengan kehidupan kita dan yang sesuai dengan inti kehidupan, prilaku sosial dan
fakta-fakta yang berlaku di dalam masyarakat dan reaksi psikologis setiap
individu terhadap fakta tersebut.
Metode yang digunakan Ali Syari’ati, dalam pencarian Islam autentik
melalui empat metode yaitu; sejarah Islam, studi tentang dunia kontemporer dan
kebutuhan-kebutuhannya, keakraban dengan teks-teks Islam dan kepekaan
terhadap elemen-elemen yang paling mistis dalam Islam.35
34Marsal G.S Hodgson, The Venture of Islam Iman dan Sejarah Peradaban Islam, terj.
Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, Hlm 93 35Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2000,
hlm. 140
Kesarjanaan tradisional lebih menekankan teks daripada Mistisisme. Di
madrasah-madrasah, para pelajar sekolah menekuni retorika, logika bahasa Arab,
al-Qur’an, kompilasi hadist dan hukum-hukum hasil kompilasi dan interpretasi
orang-orang terpelajar beberapa abad sebelumnya. Sejarah Islam adalah sejarah
sebagaimana dilihat melalui teks Islam, bukan sejarah teks Islam itu sendiri dalam
tenunan ruang dan waktu. Bagi Ali Syari’ati Islamologi mesti menyelidiki situasi
tempat Islam tumbuh dan pengaruhnya. Sebagai contoh bagaimana Nabi
mempertahankan bentuk atau wadah kebiasaan masyarakat pra Islam, kemudian
beliau merubah kandungan dan isinya, jiwa dan arahnya, serta aplikasi praktisnya
dengan cara yang revolusioner, menentukan dan langsung.36
Ali Syari’ati menyebut hal ini sebagai metode Muhammad bukan metode
Tuhan dan beliau juga menggambarkan pribadi Nabi sebagai pribadi yang bisa
mengkombinasikan mistisisme dengan ketelitian intelektual dengan ketajaman
rasa tentang apa yang dibutuhkan dan dikehendaki oleh rakyat. Islam sejati harus
ditemukan tidak dalam teks-teks Islam, namun dalam aktivitas pribadi-pribadi
muslim teladan, dengan Nabi Muhammad sebagai contoh yang utama. Sebagai
orang Syi’ah, Ali Syari’ati menempatkan Ali dan Fatimah serta putri Nabi sebagai
teladan setelah Nabi.
Islam yang dimaksud Ali Syari’ati, adalah berbeda dengan Islam yang
dipahami secara umum pada waktu itu. Melainkan Islam yang selain sebagai
agama yang memperhatikan aspek spritual dan moral atau hubungan individual
dengan penciptanya, Islam juga merupakan sebuah ideologi emansipasi dan
pembebasan.
Berdasarkan hal tersebut, kata Ali Syari’ati, kita harus menggunakan fakta
yang ada itu sebagai gambaran masyarakat Iran yang terbentuk dalam sejarah
Islam. Sejalan dengan kemajuan sistim kompilasi dan istilah-istilah, konsep-
konsep yang berkaitan dengan sosiologi, maka terdapat kemungkinan bagi umat
Islam untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dengan bertitik tolak
dengan istilah-istilah Islam misalnya, Al-Umamah wa al-Imamah (umah dan
imamah), Al-adalah (keadilan), Al-Syahadah (kesahidan), Al-Taqwa (ketaqwaan),
36Ibid, hlm.141
Al-Taqlid (taqlid ), al-Shabr (kesabaran), al-Ghaibah (kegaiban), al-Syafaah
(syafaat), al-Hijrah (hijrah), al-Kufr (kekafiran), al-Syirk (kemusyrikan) al-
Tauhid (ketauhidan) dan lain-lain yang merupakan konsep-konsep yang berbicara
jauh lebih banyak dari konsep-konsep yang di miliki Barat.
Sosiologi bagi Ali Syari’ati, adalah pijakan dari pandangannya terhadap
alam yang telah memberikan sumbangan berkarya kepada masyarakat, karena ia
melihat bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat pertarungan yang
berlangsung terus-menerus antara tauhid kemusrikan (tauhid al-ijtima’) dengan
syirik kemusrikan (al-Syirk al-Ijtima’).
Dengan dasar tersebut, kajian-kajian yang digunakan Ali Syari’ati dalam
bidang sejarah, filsafat sejarah, agama, hukum dan sosiologi dilakukan dalam
perspektif ketauhidan alam (tauhid al-wujud). Konskuensinya, persoalan tauhid,
ia pandang sebagai salah satu asas pemikiran dari idiologi bagi filsafat sejarah.
Sebab, ia sendiri mampu menyingkap kehidupan masa lalu manusia dengan
persolan manusia yang menyangkut nasib manusia di masa mendatang.
Dengan demikian, maka metode yang mendaratkan pemikiran-pemikiran
tauhid di masyarakat yang menautkan masyarakat dalam pengertian tauhid akan
menjadi pemecah bagi stagnasi-stagnasi yang di akibatkan oleh konsep-konsep
yang kontradiksi.
B. Rekonstruksi Pemikiran Islam dalam Pemikiran Ali Syari’ati
a. Hakekat Manusia
Pandangan Ali Syari’ati, tentang manusia bersumber pada interpretasi teks
al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 30.37 Baginya, cerita-cerita tentang penciptaan
Adam mempunyai makna simbolis, karena Adam merupakan simbol makhluk
ciptaan Allah yang mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia
yaitu manusia dalam pengertian filosofis, bukan manusia dalam arti biologis.
37 حبنس ننحو اءمالد فكسيا وفيه فسدي نا مل فيهعض خليفة قالوا أتجاعل في االرلائكة إني جللم كبقال ر ونلما ال تعم لمقال إني أع لك سنقدو دكمبح “Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi” Mereka berkata mengapa Engkau hendak menciptakan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan akan saling menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.” (Al-Baqoroh: 30)
Adam adalah sebagai manusia yang diciptakan Allah pertama kali, yang
mempunyai makna simbolis. Simbolisme inilah yang akan membantu kita untuk
dapat menangkap pesan-pesan keagamaan. Bahasa simbolis berkaitan dengan
makna yang mengandung misteri, tetapi ia memiliki kedalaman makna dan
mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ketika Adam akan diciptakan, terjadi perdebatan antara Allah dengan
Malaikat. “Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi” kata Tuhan.
Malaikat menjawab seraya bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan
khalifah di bumi, mereka akan berbuat kerusakan dan akan saling menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih, memuji dan mensucikan Engkau?
Jawab Tuhan lagi, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”.
Untuk meyakinkan malaikat bahwa makhluk-Nya yang baru ini lebih
memiliki keunggulan daripada malaikat. Maka Tuhan mengajarkan kepada Adam
sejumlah nama. Kemudian, menantang malaikat untuk menyebutkan nama-nama
yang diajarkan tadi, karena malaikat tidak dapat menyebutkannya, maka Tuhan,
meminta Adam untuk menyebutkan nama-nama yang telah diajarkan tadi kepada
para malaikat. Selanjutnya Tuhan memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud
kepada Adam, Semuanya bersujud kepada Adam kecuali Iblis.
Disini Ali Syari’ati labih menekankan, bahwa Tuhan menggambarkan
ketinggian derajat manusia, yang mempunyai nilai lebih tinggi di banding
Malaikat.
Disisi lain, Ali Syari’ati, mengemukakan interpretasinya tentang hakikat
kejadian manusia. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an, Bahwa manusia
pada dasarnya di ciptakan dari dua unsur. Pertama, roh Tuhan dan yang kedua
adalah tanah, dan ini juga terjadi pada jenis wanita. Penafsiran bahwa Hawa di
ciptakan dari tulang rusuk kiri Adam, dengan demikian, tidak dibenarkan, karena
arti yang sebenarnya adalah nature (sifat), bukan tulang rusuk. Ini berarti, baik
pria maupun wanita diciptakan dari unsur yang sama meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan.
Tuhan menciptakan manusia dari sel-sel kal fakhar (Lumpur) dan
Hammum Masnum (tanah hitam yang berbau busuk). Kemudian Tuhan
menghembuskan roh-Nya ke dalam manusia ciptaan-Nya dan penciptaan
selesai.38
Makna simbolis pengertian di atas adalah bahwa manusia mempunyai
dimensi yang berbeda yaitu dimensi ke-Tuhanan dan dimensi kehinaan atau
kerendahan. Sedangkan makhluk yang lainnya hanya mempunyai satu dimensi.
Dalam makna yang simbolis Lumpur menunjukkan pada keburukan, kehinaan,
tidak berarti, stagnasi dan mati. Dimensi ke-Ilahian mengajak manusia cenderung
untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Menurut Fazlur Rahman,39 bahwa ungkapan dua dimensi ciptaan manusia
bukan berarti dalam diri manusia, terdapat dua dimensi yang berbeda antara jiwa
dan raga, sebagaimana yang dikatakan oleh filosof-filosof sebelum al-Ghazali.
Tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
sebagaimana kata nafs yang seringkali digunakan dan diterjemahkan al-Qur’an
menjadi jiwa yang berarti pribadi atau keakuan.
Dengan adanya dua dimensi dalam diri manusia tersebut, Syari’ati,
mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya, kadang bisa mencapai derajat yang
tinggi tapi kadang juga sampai ke derajat yang rendah dan hina, tinggal manusia
itu sendiri dengan otonomi yang dimilikinya untuk memilih. Jika ia sesat maka ia
akan memilih jalan syaitan dan jika benar maka ia akan mengikuti jalan yang
sempurna yaitu jalan yang menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Jalan yang bisa sampai kepada Tuhan adalah agama. Agama bagi
Syari’ati adalah sebuah jalan bukan sebuah tujuan, kesesatan manusia terjadi
karena memandang agama sebagai tujuan akhir dalam hidupnya, bukan sebagai
jalan akhir yang bisa sampai kepada Tuhan.40
Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan“ ولقد خلقنا الإنسان من صلصال من حمإ مسنون 38 manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 26)
39Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, terj., Anas Wahyuddin, Pustaka, Bandung, 1996, hlm.26
40Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, op.cit., hlm.121
b. Manusia Sebagai Khalifah
Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai kedudukan yang tinggi di bandingkan makhluk-
makhluk yang lainnya. Kedudukan tinggi bagi manusia ini dengan kata lain dapat
di sebut sebagai khalifah Tuhan di atas bumi atau wakil Tuhan di atas bumi.
Fakta moral yang mendalam yang tertanam dalam diri manusia, yang
merupakan tantangan bagi manusia dan yang membuat hidupnya sebagai
perjuangan moral yang tidak berkesudahan, sebagaimana yang dikatakan oleh
Immanuel Kant, tentang sumbangannya antara moral dengan agama yaitu jika
manusia ingin mencapai kebahagiaan tertinggi (summum bonum) maka kita harus
menerima tiga postulat; kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya
Allah.41
Manusia hidup dimuka bumi ini mempunyai amanah dari Allah yang
sangat besar, sehingga manusia hidup di dunia ini tidak hanya untuk bermain-
main, karena Allah menciptakan manusia tidak sekedar untuk permainan, tetapi
untuk melaksanakan tugas yang sangat berat42 dan harus mempertanggung
jawabkan keberhasilan dan kegagalannya, karena baik manusia maupun Tuhan
telah mengambil resiko yang sangat besar di dalam masalah ini. Sebagaimana
kata Fazlur Rahman,43 bahwa manusia dengan kedudukannya sebagai khalifah
adalah sebuah kutukan, karena manusia tidak mau melihat ke belakang, tidak
bersiap-siap untuk hari kemudian dan tidak memahami tujuan-tujuan moral
jangka panjang dari perjuangan manusia. Mereka hanya cukup puas untuk hari
demi hari dan jam demi jam.
Dalam menganalisa manusia sebagai khalifah, Ali Syari’ati, menggunakan
suatu diskripsi, bahwa manusia merupakan cita ideal. Sehingga manusia harus
mampu menentukan nasibnya sendiri baik sebagai kelompok masyarakat maupun
sebagai individu, seperti apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, Ali Syari’ati
41Lili Tjajadi, Loc. cit. 42ونعجنا ال ترإلي أنكمثا وبع ا خلقناكمأنم تمسبأفح “Maka apakah kamu mengira, bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.” (al-Mu’minun: 115)
43Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok…, op. cit., hlm. 28
juga berpendapat, bahwa manusia mempunyai tanggung jawab yang sangat besar,
karena manusia memiliki daya kehendak.
Manusia ideal adalah manusia theomorfis yaitu dengan sifat-sifat ke-
Tuhanan dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Manusia ideal
mempunyai tiga aspek yaitu kebenaran, kebajikan dan keindahan, dengan kata
lain manusia memiliki pengetahuan, etika dan seni yang semuanya itu dapat
dicapai melalui kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas.
Manusia ideal adalah manusia yang mampu berfikir mendalam tanpa
terjerumus kedalam perenungan diri, sehingga melupakan yang lainnya. Manusia
ideal juga melakukan kegiatan-kegiatan politik tanpa harus lupa diri dan gila
hormat, gila kekuasaan dan sebaginya. Iman yang dimilikinya tidak menyebabkan
kemampuannya lumpuh.
Manusia ideal yang dimaksudkan Ali Syari’ati, adalah manusia yang dapat
menaklukkan dunia tetapi dipihak lain ia juga tidak mengesampingkan nilai-nilai
spritual dan ke-Ilahian. Manusia ideal bagaikan seorang kaisar yang memegang
pedang dengan gagah tetapi juga memiliki hati seperti hatinya Yesus, ia
menggunakan pikiranya seperti Socrates tetapi juga memiliki kecintaan seperti
kecintaan Al-Hallaj dalam pencariannya menuju Tuhan. Manusia ideal adalah
manusia seperti Yesus dalam menyampaikan pesan-pesan perdamaian tetapi juga
seperti Musa yang dengan gagah berani berjihad. Manusia ideal adalah manusia
yang bisa membentuk lingkungan bukan manusia yang dibentuk oleh
lingkungan.44
Kepercayaan yang di berikan oleh Tuhan kepada manusia,
mengharuskannya untuk bertanggung jawab atas amanat yang menjadi beban di
pundaknya, betapapun berat tanggung jawab itu, pengabdiannya kepada Tuhan
dicerminkan dalam pengabdiannya terhadap kepentingan sesama manusia.
Tanggung jawabnya kepada Tuhan diwujudkan dalam perjuangan memerangi
44Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, op. cit., hlm. 162
kemiskinan, kebodohan, kezaliman dan kelaparan. Manusia ideal juga berjuang
untuk membebaskan belenggu penindasan.45
Sependapat dengan Yusuf Qardhawi, bahwa hanya dengan iman dan
bimbingan mental, perubahan suatu bangsa akan menjadi berkembang. Bangsa
bisa maju karena dulunya pernah tertindas lemah, sehingga manusia kalau ingin
maju negaranya diperlukan bimbingan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum
bimbingan yang lainnya sebagaimana firman Allah. “Sesungguhnya Allah tidak
akan pernah merubah suatu kaum, sehingga kaum itu mau merubah nasibnya
sendiri”.46
c. Hubungan Antara Manusia, Alam dan Tuhan
Tauhid merupakan ke-Esaan Tuhan, sebagaimana yang telah diterima oleh
semua penganut agama monoteis. Berbeda dengan pandangan hidup tauhid Ali
Syari’ati, yang dengan teorinya mengatakan bahwa tauhid adalah pandangan
hidup yang memandang alam semesta sebagai satu kesatuan yang sangat
relevan.47
Ali Syari’ati sebagaimana dengan idenya yang lalu, bahwa, untuk
membebaskan massa dari krisis dan membawa mereka mencapai Iran yang
merdeka serta berkeadilan sosial-ekonomi, Ali Syari’ati yakin, bukan
Liberalisme, Kapitalisme atau Sosialisme yang bisa mengobati penyakit Islam,
melainkan Islam itu sendiri. Baginya Islam merupakan satu-satunya ideologi yang
bisa menyelamatkan Iran dari segala bentuk tekanan dan pembebasan.
Islam yang dimaksud Ali Syari’ati ialah Islam yang bukan sebagaimana
dipahami secara umum, melainkan Islam selain yang secara umum sebagai agama
yang memperhatikan aspek spritual dan moral atau hubungan individual dengan
penciptanya, Islam juga merupakan sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Untuk menjadikan Islam sebagai ideolog yang bisa dipraktekkan, Ali
Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi yaitu yang berkenaan
45Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis , terj. Afif Muhammad,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm. 118-130 46Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiah, Mitra Pustaka,
yogyakarta, 2000, hlm. 310 47Ali Syari’ati, On The Sosiologi Islam and The Visag Of Muhammad, terj. Hamid Algar,
Islamic Center, Jakarta, 1988, hlm. 73
dengan bagaimana cara memahamai dan menerima Tuhan, mengevaluasi segala
sesuatu, ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif
masyarakat, serta metode praktis untuk mengubah status quo yang tidak
memuaskan.
Ali Syari’ati, berangkat dari pandangan hidup tauhid yaitu bagaimana
kedudukan manusia dalam hubungannya antara Tuhan dengan alam semesta.
Tauhid, bagi Ali Syari’ati merupakan bentuk tunggal suatu kehidupan yaitu
organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, inteligen, perasaan dan
tujuan. Hal ini berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan ke
dalam dua kategori yang berpasangan yaitu jasmani, rohani, dunia dengan alam
semesta.
Tauhid adalah, pandangan hidup tentang kesatuan universal, kesatuan
antara hipotesis yang terpisah antara Tuhan, manusia dan alam. Karena, ketiganya
merupakan satu-kesatuan yang sama. Tuhan, alam, dan manusia, mempunyai
kesamaan kehendak, kesadaran diri, ide-ide, hidup dan tujuan-tujuan. Ketiganya
(Tuhan, alam dan manusia) disatukan secara berarti dalam asal-usul yang sama.48
Berbeda dengan pandangan Ali Syari’ati tentang tauhid, Ali Syari’ati juga
berpendapat bahwa, pandangan hidup Syirik, merupakan suatu pandangan hidup
yang melihat alam semesta sebagai satu kumpulan yang kacau, penuh dengan
keanekaan, kontradiksi dan heteroganitas. Di dalamnya terdapat berbagai ragam
bentuk, yang satu dengan yang lainnya tidak ada hubungannya, bahkan saling
bertentangan, penuh kecendrungan konflik dengan serba perhitungan, keinginan,
kebiasaan, tujuan dan kehendak sendiri-sendiri. Dengan singkatnya bahwa tauhid
memandang sebagai satu kesatuan emperium sedangkan syirik merupakan sistim
feodal.49
Tauhid yang ditegakkan Ali Syari’ati. Sebenarnya untuk memerangi
perpecahan agama, pengkotak-kotakan pengetahuan, pemisahan antara Tuhan
dengan manusia serta ketidakbermaknaan sejarah yang terputus-putus.
Sebagaimana yang digambarkan Syari’ati dalam isainya tentang perjalanan Haji,
48Ibid, hlm. 74 49Ibid, hlm. 73
yang disitu lebih menekankan tauhid, baik dalam kitab suci maupun dalam
prakteknya, semisal yang menarik seorang muslim keluar dari dirinya menuju
kepada penyatuan dengan Tuhan dan alam semesta.
Ali Syari’ati dalam menerangkan Haji, ia menggambarkan kaitan antara
keunikan, Mistisisme dengan Universalisme. Lewat tulisannya Ali Syari’ati,
memisahkan diri dari mereka-mereka yang melihat Islam sebagai himpunan nilai-
nilai abstrak. Melalui perjalanan Haji, seorang muslim mencoba mengalami iman
sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya, berjalan ditempat mereka
berjalan dan berdo’a di tempat mereka dahulu berdo’a. Ini adalah upaya manusia
untuk kembali ke asalnya dengan membebaskan diri dari rutinitas keseharian, dari
budaya pakaian yang melambangkan budaya materialisme dan tujuan picik
menjadi taruhan hidup dan semua hal yang menyelubungi diri dan semua hal yang
mengasingkan manusia dari diri mereka yang bersifat spiritual. Sebelum
berangkat, para peziarah mesti siap untuk mati, utang harus dilunasi, niat
ditetapkan, amarah dan dendam dipadamkan. Ia menyaksikan jenazahnya sendiri
dan mengunjungi kuburnya. Manusia diingatkan akan tujuan akhir hidupnya. Ia
mengalami kematian pada saat Miqat dan kebangkitan kembali untuk meneruskan
misinya di padang pasir antara Miqat dan Mi’ad.50
Semua hasil pemikiran Ali Syari’ati yang disebutkan di atas, yaitu
pemikirannya tentang hakikat manusia, hubungan manusia, alam dan Tuhan,
manusia sebagai khalifah dan semua karya-karyanya yang telah disebutkan di atas
merupakan hasil pemikirannya untuk membebaskan manusia dari ketertindasan
sosial, politik dan ekonomi dengan menolak ideologi Barat dan menerima
ideologi tauhid sebagai titik pijakannya.
C. Filsafat Gerakan Islam Revolusioner Ali Syari’ati
Ali Syari’ati lebih tepat disebut sebagai seorang orator ketimbang seorang
penulis. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya transkrip-transkrip pemikirannya
yang lebih merupakan kumpulan pidato dan ceramah-ceramahnya di kampus.
50Ali Syari’ati, Makna Haji, terj., Burhan Wirasubrata, Yayasan Fatimah, 2002, hlm. 32 -
34
Tapi justru disinilah letak keunggulannya. Bahasa-bahasa yang disampaikannya
begitu lugas dan sederhana, namun memikat, seolah ia hadir di hadapan kita.
Sebagaimana yang dikatakan Abrahamain,51pada kenyatannya terdapat
tiga Ali Syari’ati; pertama adalah Ali Syari’ati sang sosiolog yang tertarik pada
hubungan dialektis dan praktek, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, dan
antara kesadaran dan eksistensi, Ali Syari’ati ini memiliki komitmen yang tinggi
untuk memahami lahir, tumbuh dan berkembangnya birokrasi.
Kedua, Ali Syari’ati seorang penganut Syi’ah fanatik, yang percaya bahwa
Syi’ah revolusioner tidak akan pernah tunduk pada hukum besi (iron law) tentang
peragian birokrasi. Ali Syari’ati yang ini percaya bahwa tataran perubahan
fundamental, seluruh ideologi dan masyarakat mengalami kebangkitan, peragian
dan keruntuhan. Apakah ada jalan keluar dari kemunduran dan desintegrasi ini?
caranya, menurut Ali Syari’ati adalah dengan melakukan revitalisasi yang
berkesinambungan terhadap idiologi itu sendiri.
Ketiga, Ali Syari’ati adalah seorang penceramah umum (public speaker)
yang bersemangat, artikulatif dan oratorik, yang sangat memikat bagi banyak
orang, khususnya kaum muda. Ali Syari’ati dalam kedudukan ini banyak
menggunakan jargon, generalisasi dan sinkretisme yang tajam tentang institusi-
institusi yang mapan, yang dalam hal ini adalah rezim Syah Pahlevi dan religius
establisment yang dikuasai oleh kaum ulama’.
Sebelum menganalisis lebih jauh pemikiran Ali Syari’ati, adalah penting
terlebih dahulu menentukan pendekatan apa yang akan dipakai untuk mengupas
pemikiran tokoh ini secara utuh, sebab ada pepatah arab yang berbunyi; al-
Tariqotu Ahammu min al-Madah (metode pendekatan terhadap suatu persoalan
jauh lebih penting daripada materi persoalan), artinya jika metode pendekatan
yang digunakan terhadap suatu masalah tidak tepat, besar kemungkinan substansi
persoalan tersebut tidak tersentuh, bahkan boleh jadi tidak terdistorsi.52 Selaras
dengan organnya metode pendekatan suatu masalah. Ali Syari’ati sendiri pernah
51Azumardi Azra, Melawan Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan
Indonesia, Lentera, Jakarta, 1999, hlm. 49-50 52Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm. 61
menganalogikannya dengan sorang yang berjalan, seorang yang lumpuh sebelah
kakinya sehingga tidak bisa berjalan cepat. Jika memilih jalan yang benar akan
lebih cepat sampai ke tujuan daripada juara lari yang menempuh jalan yang penuh
batu dan berputar-putar.53
Setiap pemikiran yang terkonstruksi secara sistematis mesti memiliki
doktrin-doktrin utama tentang Tuhan, manusia dan masa depan yang
diharapkannya. Disamping itu ia juga memiliki paradigma perubahan (manhaj),
untuk merubah keadaan yang ada menjadi idealitas yang diharapkannya. Pada
gilirannya ia juga mempunyai standar nilai, norma-norma yang moralitas untuk
mengukur derajat eksistensi dan martabat kemanusiaan yang hadir dihadapannya.
Berangkat dari kerangka itulah, kita akan melihat lebih jauh pemikiran Ali
Syari’ati secara arkeologis. Hal ini penting mengingat pemikiran Ali Syari’ati,
seperti ditulis Azyumardi Azra, kurang sistematis, bahkan jarang terlihat bahwa
pemikirannya dalam banyak tema penuh dengan kontaradiksi. Karena itu Ali
Syari’ati tampil banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang sering keliru
memahaminya.
Titik tolak pemikiran Ali Syari’ati, berangkat dari komitmen dan
kepercayaannya yang besar terhadap tradisi Islam Syi’ah revolusioner. Ia
memandang bahwa masyarakat seharusnya bangga dengan warisan tradisi ini dan
menjadikannya sebagai sebuah sistem nilai yang melingkupi tatanan sosial yang
akan dibangun masyarakat. Akan tetapi dalam kurun kesejarahannya tradisi ini
mengalami reduksi, ketika bersentuhan dengan kepentingan penguasa. Tradisi
yang demikian progresif telah bermetamorfosis menjadi obat penenang
masyarakat untuk lari dari persoalan riel kehidupan disatu sisi dan instrumen
legitimasi yang paling efektif melanggengkan kekuasaan disisi lain.
Ali Syari’ati dalam konteks ini, mencoba mempertegas batasan Islam yang
progresif (Islam Ali) dan Islam status quo (Islam Safawi) yang diwariskan para
ulama’ sezamannya yang merlancarkan agama demi kepentingan rezim penguasa
kata Ali Syari’ati, “adalah perlu menjelaskan apa yang kita maksud dengan Islam,
dengannya kita maksudkan Islamnya Abu Dzarr, bukan Islamnya khalifah, Islam
53Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op.cit., hlm. 70
keadilan dan kepemimpinan yang pantas, bukan Islamnya penguasa aristokrasi
dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan dan kesadaran, bukan Islam
perbudakan, penawanan dan positivis. Islam kaum mujahid, bukan Islamnya kaum
ulama’. Islam kaum kebajikan dan tanggung jawab, bukan Islam yang
menekankan dissimulasi keagamaan, wasilah ulama’ dan campur tangan Tuhan.
Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah bukan Islam yang
menyerah secara dogmatis dan tidak kritis kepada ulama’.54
Ali Syari’ati secara sistimatis tidak pernah menunjukkan sikap anti Barat,
sebagaimana yang ditulis oleh Robert D. Lee, dalam sebuah esai tentang seni. Dia
menulis bahwa kesalahan orang Iran bukan karena mereka meniru Barat,
melainkan justru karena mereka gagal melakukannya. Menurutnya orang Iran
sebenarnya bukan Barat dan bukan Timur, maksudnya bahwa intelektual Iran
telah gagal mencontoh Barat dalam mencipta sebuah kebudayaan baru dari
sumber-sumber kebudayaan mereka sendiri. Ali Syari’ati dalam mengkritik
dogma-dogma abad ke-18 tentang kebenaran universal yang melandasi bangunan
kolonialisme dan dalam menolak sikap positivis dalam beragama. Tidak ada
prototip universal untuk menjadi tercerahkan, yang ia tolak bukan seluruh
pemikiran Barat melainkan apa yang ia istilahkan sebagai inti semangat
kemodernan; “setiap manusia harus menjadi binatang konsumtif dan setiap bangsa
harus meninggalkan keauntetikan mereka”.55
Demikianlah, Ali Syari’ati sangat percaya dengan kekuatan Islam yang
pada gilirannya dapat difungsionalisasikan menjadi sebuah pandangan hidup atau
idiologi yang mampu menggerakkan pemikiran dan kesadaran mereka.
Substansi Islam sebagai pandangan hidup, bagi Ali Syari’ati bermuara
pada interpretasinya tentang tauhid.56 Tauhid adalah cara memandang alam
sebagai satu-kesatuan hidup, jadi, tidak terbagi-bagi atas dunia kini dan akhirat
nanti atas alamiah dan supra alamiah atau jiwa dan raga. Seluruh eksistensi adalah
suatu bentuk tunggal, suatu organisme yang hidup dan memiliki kesadaran cipta
54Mohammad Hatta, Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2000, hlm. 208 55Robert D. Lee, Mencari Islam…, op.cit., hlm.138 56Ali Syari’ati, Sosiologi…, op. cit., hlm. 103-111
rasa dan karsa. Tauhid bukan semata-mata pengakuan bahwa Tuhan adalah Satu,
tidak lebih dari satu. Tauhid adalah sebuah pandangan imperium bukan
pandangan feodalistik.
Sebaliknya Syirik adalah pandangan hidup yang melihat alam semesta
sebagai suatu kumpulan yang kacau, cenderung terjadi kontradiksi dan
heterogenitas. Di dalamnya terdapat kutup yang antara satu dengan yang lainnya
tidak ada hubungannya dan bahkan saling bertentangan dan cenderung konflik.
Sebagaimana digambarkan Ali Syari’ati dalam esainya tentang Haji, yang
menekankan tauhid dalam kitap suci maupun praktek. Lewat tulisannya, Ali
Syari’ati mencoba memisahkan diri dari mereka yang memandang Islam sebagai
himpunan nilai-nilai yang abstrak. Melalui perjalanan haji, seorang muslim
mencoba keluar dari dirinya sendiri menuju penyatuan dengan Tuhan dan alam
semesta dan melaui perjalanan haji seorang muslim mengalami kematian, pada
saat miqat dan kebangkitan kembali untuk meneruskan misinya dipadang pasir
antara miqat dan mi’ad.57
Sebagaimana Heidegger (1889-1976) yang mengatakan, dengan membagi
dua eksistensi yaitu eksistensi yang autentik dan eksistensi yang tidak autentik,
dengan memakai istilah Var Fallen, dia menggambarkan symbol Adam dan Hawa
yang dengan dosanya ia diturunkan ke dalam eksistensi yang lebih rendah dari
sebelumnya, dengan artian bahwa manusia yang hidup dengan omongan sehari-
hari dengan desas-desus dan hal yang berlaku dan besok tidak berlaku. Inilah
yang dinamakan hidup tidak autentik, sedangkan hidup yang autentik yaitu terjadi
ketika manusia mengalami takut (angst) yaitu dengan mengalami tidak-meng-ada
(fana’) lagi dalam dirinya, maka dalam hal ini manusia hanya bisa mengalami
kematian dalam dirinya. 58
Tidak berbeda dengan Sartre (1905-1980)59 dalam bukunya
Eksistensialisme and Humanisme, yang mengatakan ”Eksistensi Mendahului
57Ali Syari’ati, Makna Haji…, op.cit., hlm. 32-34 58Brauwer dan Puspa Haryadi, Sejarah Filsafat Modern dan Sezaman, Alumni, Bandung,
1986, hlm. 121-123 59Linda Smith dan Wiliam Reaper, Ide-Ide Filsafat Agama Dulu dan Sekarang. terj.
Hardono Hadi, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 86-87
Esensi”, dengan membagi kehidupan menjadi dua yaitu hidup secara autentik dan
hidup tidak autentik yaitu dengan kepercayaan buruk. Jika manusia ingin
membuat pisau kertas, manusia mempunyai ide dan bahkan sebelum berada ia
akan berfikir untuk apa pisau itu dan akan kelihatan seperti apa.
Begitu juga ketika berfikir tentang Allah. Pada waktu Allah menciptakan
manusia. Allah pasti mempunyai ide untuk apa manusia diciptakan, dan dengan
itu juga manusia berfikir, untuk apa kita diciptakan, karena Allah ada, kodrat
manusia ada dan ma’nanya telah dituliskan dalam alam semesta. Tetapi bila Allah
secara riel tidak ada, maka orang akan mencari dirinya didalam situasi dimana
mereka berada, tetapi tidak tahu untuk apa mereka berada, seperti apakah Dia dan
untuk apa Dia. Dalam hal ini eksistensi mendahului esensi (kenyataan dulu baru
ide), dengan artian ketika orang melihat diri sendiri ia akan mengalami
“ketiadaan“, tetapi harus mengisi ketiadaan itu dengan sesuatu. Terakhir
dikatakannya, bahwa manusia harus menyadari kebebasannya, karena hidup di
dunia yang autentik adalah dengan kebebasan memilih dan hidup yang autentik
selain di dunia adalah kematian.
Bertolak belakang dengan Syirik, tauhid merupakan satuan pandangan
hidup tentang kesatuan universal, kesatuan antara hipotesis yang terpisah, Allah,
alam dan manusia ketiganya tidak identik namun berada dalam satu kausalitas
yang tidak dapat dipisahkan, sekalipun terjadi penggolongan yang gaib dan yang
dzohir.
Pandangan Ali Syari’ati tentang makrokosmos di atas, jika diturunkan
dalam pandangannya tentang manusia (mikrokosmos) terdapat perbedaan.
Bedanya yaitu bermula dengan penciptaan manusia, yang bermula dari proses
penciptaan manusia pertama kali yang dalam struktur kediriannya sendiri, terdiri
atas dua unsur yang bersebrangan. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa proses
penciptaan di atas dikemas dalam al-Qur’an dalam bahasa metaforis atau bahasa
symbol, yang atas kekuasaan Allah, hanya dengan roh Allah manusia bisa sampai
kepada Allah, tetapi jika manusia dengan kebebasannya hanya sampai kepada
tanah busuk, maka manusia akan terseret kelembah stagnasi, immobilisasi,
kerendahan dan keburukan. Tetapi dengan itu semua manusia dapat disebut
humanisme sejati ketika para Malaikat sujud kepadanya.
Setelah melihat garis pemikiran Ali Syari’ati sekitar presepsi-presepsi
Tuhan, alam dan manusia, pada saatnya kita juga harus melihat derivasi konteks
filosofis tersebut, dalam konteks perubahan sosial atau masyarakat. Hukum
apakah yang berlaku dalam masyarakat? Faktor apa saja yang mempengaruhi
perubahan tersebut? Bagaimanakah peran intelektual yang seharusnya dimainkan
dalam masyarakat ? sampai akhirnya ke resep masyarakat yang bagaimana yang
menjadi impian ideal? semua pernyataan ini dijawab Ali Syari’ati secara
argumentatif dan intelek namun tetap berpegang pada refrensi Islam Syi’ah yang
tentunya fersi baru Ali Syari’ati.
Filsafat pergerakan Ali Syari’ati selain berkaitan dengan dirinya tentang
Syi’ah revolusioner, juga banyak berhubungan dengan presepsinya tentang
sejarah. Sebagimana pikiran-pikirannya dalam bidang lain. Filsafat sejarahnya
kaya dengan berbagai tema dan merupakan perpaduan dari berbagai gagasan.
Pada intinya Ali Syari’ati memandang sejarah sebagai konstruksi pola dasar
(archetral) dari berbagai realitas unik, yang muncul dalam fakta-fakta sejarah,
untuk diarahkan agar mencapai tujuan idiologis tertentu, dengan kata lain, fakta-
fakta sejarah yang akan membisu jika dibiarkan begitu saja, haruslah
direkonstruksi secara revolusioner.
Jika Tynbee,60 misalnya, pernah mengatakan bahwa sejarah bergerak
dalam kesinambungan “seragam dan pertahanan”, Ali Syari’ati dalam hal ini lebih
menambahkan bahwa suatu pergerakan agama (Islam) harus dijaga agar tetap
dalam modus agresifnya melalui interpretasi aktif terhadap kandungan aktualnya
ketimbang berpegang teguh pada manifestasi lahiriahnya.
Ali Syari’ati dalam konteks terakhirnya, bisa dipahami, bahwa bagi Islam
dalam setiap momen historisnya harus dibuang dengan membuang kebebasan-
kebebasan lama yang dipegang kaum muslimin untuk kemudian menampilkan
esensi pandangan Islam itu sendiri dalam bentuk baru.
60Arnold Toynbee dan Daesaku Ikeda, Perjuangkan Hidup Sebuah Dialog, terj. Iskandar,
PT. Internusa, Jakarta,1987, hlm. 294
Ali Syari’ati tampaknya sangat mirip dengan Iqbaldan Qutub,61 juga mirip
dengan Kierkegard saat ia menjelaskan dampak alienatif dari tradisi. Menurutnya
sejarah adalah perkuburan yang panjang dan hitam, sunyi dan muram, hampa dan
dingin dan mematikan generasi demi generasi. Semuanya telah menjelma menjadi
pengulangan dan imitasi.
Hidup, pemikiran dan harapan hanyalah kebiasaan dan pewarisan. Budaya,
peradaban seni dan iman adalah sekedar batu-batu mati, masa lalu, dengan
demikian, menghentikan manusia dengan mnensubordinasi individulitas dan jiwa
ke dalam pola-pola yang menyimpang dari tindakan absah. Meskipun demikian,
manusia akan kehilangan daya sama sekali ketika meninggalkan masa lampau
karena tanpa masa lampau dari mana ia membawa kesadaran tentang diri. Tanpa
masa lampau mustahil seseorang memiliki masa depan, Ali Syari’ati juga
mengatakan, mana mungkin seseorang dapat berimajinasi, mencipta,
memproyeksikan dan berharap tanpa merujuk kepada masa lampau?
Perkembangan kejiwaan yang baik tergantung kepada pemahaman seseorang akan
masa lampau.62
Walaupun Ali Syari’ati sangat elaktik dalam meminjam gagasan-gagasan,
yang kadang-kadang saling bertolak belakang, analisis Ali Syari’ati tentang
sejarah agaknya dapat disebut semacam sociological history yaitu sejarah yang
dijelaskan secara lebih sosiologis. Dalam kerangka sosiological history, sejarah
tidak hanya merupakan past events (peristiwa masa silam) yang disampaikan
secara naratif tetapi lebih dilihat sebagai hasil dari interaksi, atau dalam bahasa
Ali Syarai’ati, dialektika faktor-faktor sosiologis.
Demikianlah dalam sosiological historynya, Ali Syari’ati banyak
menggunakan paradigma dan teori sosiologi, khususny Weberian dan Marxian,
sejarah dipengaruhi Marxisme, menurut Ali Syari’ati misalnya, sejarah tercipta
melalui kontradiksi-kontradiksi dalektis. Sejarah berkembang dalam konteks
perjuangan antara kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. Pertarungan itu
61Robert D. Lee, Mencari Islam…, op. cit., hlm. 80 62Ali Syari’ati, Islam Agama Protes…, op.cit., hlm.12
bermula sejak munculnya manusia pertama dimuka bumi dan pertarungan tersebut
kapan dan dimanapun tidak akan pernah berhenti dalam setiap massa dan zaman.
Tetapi lebih jauh, dalam pandangan Ali Syari’ati, perubahan historis tidak
melalui sekedar kontradiksi-kontradiksi biasa malainkan kontradiksi yang
melibatkan modus produksi (mode of production). Tipologi kontradiksi modus
produksi itu ada pada legenda pertarungan dua saudara yaitu antara Qobil dan
Habil. Dalam kerangka itu Qabil adalah agricultural sedangkan Habil adalah
pastoralis. Basis rangking sosial dan posisi kelas Qobil terletak pada
pemilikannya pada alat-alat produksi, dalam hal ini adalah tanah. Sedangkan
Habil sebagai pastoralist, tidak meguasai alat-alat produksi. Kehidupannya
semata-mata bergantung kepada kaki dan tangannya, yang dapat digunakan untuk
berburu atau menangkap ikan. Berpijak pada pembelahan ini, Syari’ati
memandang konflik antara Qobil dan Habil sebagi sesuatu yang obyektif (‘aini)
yang menjadi dasar bagi seluruh pergumulan, kemarin kini dan esok.63
Menurut Ali Syari’ati, dalam suatu masyarakat ada dua struktur yaitu
struktur Qobil dan Struktur Habil. Perbudakan penghambaan, borjuis, feodalis dan
kapitalis dalam pandangannya bukan merupakan struktur-struktur sosial
melainkan merupakan supra struktur masyarakat.64 Pada struktur Habil
masyarakat menjadi penentu nasibnya sendiri, segenap warganya beramal untuk
masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Pada struktur Qobil para
persoranganlah yang menjadi pemilik dan penentu nasib mereka masing-masing
maupun nasib masyarakat.
Kutub Qobil adalah kelas yang berkuasa yaitu raja, pemilik tanah dan
kaum ningrat. Pada masa primitif dan terbelakang kubu ini cukup diwakili
individu yang mempunyai kekuatan tunggal, yang menjalankan kekuasaan dan
menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik tanah dan ningrat) sekaligus. Tetapi
pada tahap selanjutnya yaitu dalam perkembangan dan evolusi sosial, kutup ini
terpolarisasi menjadi tiga dimensi yang terpisah. Manifestasi politiknya ialah
kekuasaan manifestasi ekonominya ialah harta dan manifestasi keagamaannya
63Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op. cit., hlm. 128-146 64 Mohammat Hatta, Sosialisme Religius…, op. cit., hlm. 211
ialah kependetaan yang dalam al-Qur’an disebut sebagai mala’ mutraf dan rahib.
Yang masing-masing merupakan penguasa yang kejam dan serakah, pemilik harta
yang rakus dan kekenyangan dan pendeta yang demagog dan berjenggot panjang,
ketiga-tiganya berusaha untuk menguasai memeras dan mengelabuhi rakyat.
Kutub Habil adalah mereka yang dikuasai dan tertindas, yaitu yang
berhadapan dengan kelas triumvirat di atas. Kelas ini adalah rakyat (ummah) yang
tidak memiliki kekuasaan, kepemilikan alat-alat produksi maupun status
keningratan atau kerahiban. Sepanjang masa keduanya senantiasa bertentangan
dan berkonfrontasi. Keberpihakan Allah dalam konteks ini berada pada kelas
tertindas, bahkan menurut Ali Syari’ati dalam semua urusan masyarakat yang
berhubungan dengan sistem sosial, bukan dalam masalah aqidah yang berurusan
dengan tata kosmos, maka kata ummah seringkali sama maksudnya dengan kata
Allah. Sehingga ketika dikatakan kekuasaan berada ditangan Allah, maka
sekaligus dikatakan juga bahwa kekuasaan berada ditangan ummah.65
Kerangka dasar ummah adalah ekonomi yang sistem sosialnya didasarkan
atas kesamaan dan keadilan serta hak milik yang ditempatkan ditangan
masyarakat, atas dasar kebangkitan kembali sistem Habil yaitu masyarakat yang
ditandai dengan persamaan dan persaudaraan, dalam artian masyarakat tanpa
kelas. Filsafat dasar politik ummah adalah bukan demokrasi dengan perhitungan
kepala, bukan liberalisme tanpa mempunyai tanggung jawab dan tanpa arah, tetapi
terdiri atas kesucian pemimpin (imamah) yaitu kepemimpinan yang memiliki jiwa
konsted dan revolusioner dan bertanggung jawab atas dasar pandangan hidup dan
ideologinya. Karena hubungan keduanya (antara ummah dan imamah) sangat
akurat sehingga, bagi Syari’ati, ketiadaan imamah akan menjadikan munculnya
prablem-prablem ummah dan bahkan kemanusiaan secara umum. Imamah adalah
sebuah idola, hero atau insan kamil dan syahid (saksi) dan tanpa pola seperti ini
maka akan mengalami disorentasi dan aleanasi. Lebih dijelaskan bahwa dalan
setiap zaman dan massa masyarakat manusia selalu butuh kepada hero, idola dan
insan kamil.66
65Ali Syari’ati, Sosiologi Islam…, op. cit., hlm. 159 66Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah…, op.cit., hlm. 118-130
Ali Syari’ati dari pemasalahan terhadap dua kutup qobil dan habil,
sebenarnya secara eksplisit telah menjawab pertanyaan seputar faktor substansial
yang secara fundamental mempengaruhi perubahan sosial yaitu ummat atau rakyat
itu sendiri. Lebih jauh Ali Syari’ati juga menjelaskan ada empat faktor yang
mempengaruhi nasib masyarakat; pribadi besar, kebetulan, norma dan rakyat,
diantaranya yang terpenting yaitu norma dan rakyat. Karena ummat adalah
kehendak massa, sedangkan norma adalah hukum-hukum yang berlaku dalam
masyarakat.67
Lebih lanjut, dalam Islam berlakunya norma-norma sosial sedikit banyak
dekat determinisme historis, tetapi dengan pemahaman yang lebih luas. Menurut
Islam, selain manusia selain memepunyai tanggung jawab terhadap nasibnya,
manusia juga mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya masing-masing, dalam
artian, selain manusia mempunyai tanggung jawab terhadap nasibnya juga
mempunyai tanggung jawab terhadap Tuhan yang menentukan masing-masing
nasibnya. Ali Syari’ati dalam hal ini lebih dekat dengan eksistensialisme.
Ali Syariati dalam menjelaskan tentang dealikteka sosio-historis yaitu
legenda pertarungan Qobil dan Habil. Lebih banyak merujuk pada Marxis dan
ketika menjelaskan tentang tanggung jawab sosial manusia, merujuk kepada
Eksistensialisme, dengan demikian dapat dikatakan Ali Syari’ati berusaha
mengislamisasikan Marxisme dengan cara mengkombinasikan anatara Marxisme
dengan spritualitas manusia (mengadopsi Marxis kedalam Islam atau
mensingkretis Marxis kedalam Islam), sehingga dalam hal ini Ali Syari’ati selain
mengikuti Marxis juga mengkritik Marxis, akhirnya dapat dikatakan Ali Syari’ati
bukanlah seorang Marxis sebagaimana yang dikatakan oleh pemikir-pemikir lain,
dan juga bukan seorang yang bingung dalam mengambil kebijaksanaan,
melainkan Ali Syari’ati mencoba mengambil jalan tengah anatara Islam dengan
Marxisme, hingga bisa dikatakan Ali Syari’ati adalah seorang sosialisme religius.
Ali Syari’ati dalam hal ini bisa dikatakan, adalah seorang yang dengan ide-
idenya, yang juga langsung dipraksiskan itu, ia mengkombinasikan idenya itu
dengan akhidah dan taukhid yang sangat tinggi, Sebagaimana yang dikatakan
67 Mohammad Hatta, Sosialisme Religius …,op. cit., hlm. 212
Nurcholis Madjid,68 orang yang beriman akan lebih bersifat al-Wasit (penengah),
karena Islam bersifat al-Wasith dalam menyelasaikan persolan-persoalan yang
tidak bisa diselesaikan. Ali Syari’ti ketika mempunyai ide yang seperti itu yaitu
dengan mengkritik ulama’ konservatif yang dikuasai oleh Syah dan
pemerintahannya. Ia merasa ada kesalahan dan kegagalan dalam diri ummat Islam
dalam menafsirkan atau menginterpretasikan ide-ide yang dikeluarkan oleh orang-
orang Barat.
68Nur Cholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 236-
237