Munir BAB III - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...
Transcript of Munir BAB III - UIN Walisongo Semarang | Perpustakaan...
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN NONDIKOTOMIK
(Prof. Abdurrahman Mas’ud, M. A., Ph. D.) A. BIOGRAFI
Dalam biografi ini penulis akan mengungkapkan sejarah singkat Prof.
Abdurrahman Mas’ud secara Umum, latar belakang pendidikan prof.
Abdurrahman Mas’ud, karya-karya beliau dan pengalaman serta perananya dalam
pendidikan
1. Sajarah Singkat Prof. Abdurrahman Mas’ud Secara Umum.
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D. adalah Nama lengkap
beliau. Pak Rahman, begitu ia akrab disapa. Ayah Beliau bernama H. Mas’ud
bin KH. Irsyad. Haji Irsyad dikenal sebagai seorang kiai yang ampuh alam
bidang ilmu tauhid dengan pondok pesantrnya yang diberi Nama Roudlatul
muta’alimin dijagalan Kudus. Sekarang pondo itu diasuh oleh paman
Abdurrahman Mas’ud yang bernama KH. Ma’ruf Irsyad sekaligus sebagai
Ro’is Syuriah NU Kabupaten Kudus. Haji Mas’ud adalah seorang santri yang
berkiprah di bidang tekstil dan sangat sukses. Ibu beliau bernama Hj.
Chumaidah binti H. Amir Hadi. “Dur” begitu ia akrab disapa di waktu kecil
dan ia adalah anak pertama dari keluarga H. Mas’ud.
Situasi dan tradisi lingkungan peantren dimana Pak Rahman dilahirkan
pada tanggal 16 April 1960 di Desa Damaran Kabupaten Kudus Jawa Tengah
dimana sangat erat dengan kegiatan religius. Di samping itu dengan
lingkungan yang sudah padat dengan rumah-rumah penduduk dan
matapencaharian mereka yang mayoritas pengusaha konfeksi atau sejenis
industri rumah tangga seperti bordir dan tenun tangan atau non-mesin. Karena
itulah suasan kehidupan di kawasan Damaran,1 yang penuh dengan Susana
kerja. Bila kita menelusuri gang-gang, baik pada pagi maupun sore hari,
suasana kawasan ini tampak lenggang, kecuali suara mesin jahit yang
bersahut-sahutan dan berirama tanpa putus.2
Suara kerja tersebut akan berubah total ketika malam tiba, terutama
antara waktu magrib dan isya’. Pada saat seperti inilah semua warga
masyarakat Damaran mengaji. Bagi mereka yang tidak mengaji, tidak
membaut gaduh. Semua radio, tape dan televisi pada jam-jam tersebut
dimatikan. Jika pada saat yang demikian ada orang yang keluar rumah,
apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka.
Orang akan menganggap bahwa duduk bersantai atau keluar rumah tanpa
tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu dianggap tabu atau “saru”.
Sehingga apabila dilihat dari sosio-historis sebagaimana di atas tentu
mempunyai pengaruh pada pola pikir Pak Rahman yang tidak terlepas dari
tradisi pesantren yang mana mencari ilmu merupakan sesuatu yang sangat
ditentukan.
Di samping faktor tersebut di atas pengaruh kedua orang tua atau bisa
disebut lingkungan keluarga, juga merupakan komponen yang sangat penting.
Haji Mas’ud adalah seorang ayah yang sangat peduli terhadap pendidikan
agama bagi anaknya. Ayahnya sangat rajin menghadiri pengajian, bahkan Pak
Rahman di waktu kecil pernah diajak ayahnya ke Rembang untuk menghadiri
pengajian bersama K.H. M. Sya’roni Ahmadi, padahal jarak antara Kudus-
1 Menurut cerita kata “Damaran” berasal dari kata damar yang berarti lamapu, desa ini
dikatakan Damaran karena pada zaman Wali dulu pernah para murid yang tinggal di desa ini ketika hendak bersuci pada malam hari memerlukan damar karena tempat bersucinya cukup jauh dan harus jalan kaki. Tempat suci tersebut sekarang dinamakan kampung “Sucen”, yang berarti tempat bersuci. Kampung Sucen ini terletak disebelah timur-laut Masjid Menara, sementara desa Damaran berada disebelah baratnya. Radjasa Mu’tasim dan Abdul munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi: Study Tarekat Dalam Masyarakat Industri, Cet.I., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 64-65.
2 Ibid, hlm. 56-57.
Rembang cukup jauh atau hampir dua jam bila ditempuh dengan mobil
pribadi.
Sikap apresiatif haji Mas’ud ini juga diwujudkan dengan mendorong
Abdurrahman untuk di sekolah di Raudlatul Athfal Banat Kudus dan
selanjutnya meneruskan di Qudsiyyah selama 12 tahun lulus tahun 1980.
Setelah itu ia melanjutkan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mengambil
Fakultas Tarbiyah, yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.3
Pak Rahman juga memanfaatkan media radio dan buku. Melalui media
tersebut Rahman dapat mengetahi informasi baik di dalam maupun di luar
negeri. Pengalaman seperti ini telah dimulainya sejak kelas I Tsanawiyah. Hal
ini tidak hanya diikutinya dengan fasilitas media yang berbahasa Indonesia,
namun juga media radio dan buku yang berbahas Inggris.4 Kedua media inilah
yang merupakan pendorong keinginan besar Pak Rahman untuk mengetahui
berbagai pemikiran yang berkembang di luar tradisinya. Dari sinilah
pemikiran Pak Rahman mulai terbuka untuk lebih meningkatkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas, di luar pengetahuan
keagamaan yang dipelajari di pesantren keluarganya sendiri.
Faktor sosio-historis Pak Rahman tidak hanya mempengaruhi
pandangannya terhadap pendidikan Islam, tetapi juga menjadikan ia sebagai
seorang pemikir yang dapat memahami wacana tradisionalitas dan
modernitas. Pandangan Pak Rahman terhadap pendidikan Islam tradisional
sebagaimana di lingkungan pesantren merupakan konsekuwensi logis untuk
3 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004) yang ditulis pada sampul belakang.
4 Media yang sering didengarkan Pak Rahman adalah pertama radio Australia dan BBC dari London yang disiarkan bekerjasama dengan radio Indonesia. Kalau pada saat ini yang sering bekerjasama dengan radio BBC adalah El-Sinta Jakarta, Kedua, buku di antara buku-buku yang biasa dibaca Pak Rahman adalah buku-buku yang berasal dari Australia yaitu majalah Kang Guru Radio English sedang kantornya ada di Bali Indonesia yang ia ikuti secara tuntas sejak kelas satu MTs, ketiga televisi sedang acara televisi yang sering diikuti oleh Pak Rahman yaitu TVRI yang diasuh oleh Arif Rahman di Tahun 1970-an. “Mengenal Lebih Dekat Prof. H. Abdurrahman Mas’ud M. A., Ph. D.” dalam Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat Telaah Teologis-Historis yang ditulis oleh M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, 20 Maret 2004, hlm. 55-56.
dapat dilanjutkan sebagaimana pondok pesantren yang ditinggalkan kakeknya.
Model pendidikan pesantren yang dibentuk di lingkungan keluarganya, telah
berhasil dibela secara akademis. Hal ini terbukti bahwa dalam disertasinya
dengan menggunakan bahasa Inggris yang berjudul “The Pesantren Architects
and Their Sosio Relegious Teaching”, disertasi S-3, UCLA, AS, 1997, yang
tidak hanya dibaca oleh komunitas pesantren sendiri, tetapi juga dapat dibaca
oleh komunitas non-pesantren termasuk masyarakat Barat, atau para akademis
di luar negeri.
Namun Pak Rahman juga menerima budaya Barat. Ia berpendapat
bahwa para pelajar Islam zaman sekarang perlunya untuk belajar ke-Barat
guna untuk mengambil “permata” yang sementara ini telah dipinjam oleh
dunia Barat dan ia juga mendukung sekali adanaya dialog antara Islam-Barat
untuk menghadapi globalisasi sekarang ini.5
Di samping faktor sosio-historis, pemikran Pak Rahman juga
dipengaruhi oleh faktor “sosio-politik”, karena keterlibatannya dalam struktur
organisasi seperti di PMII Cabang Ciputat Jakarta dan NU (LAKPESDAM di
Jakarta). Sebagai pemuda yang sudah terbiasa dengan bacaan dan pemberitaan
yang berkaitan dengan pemikiran di luar komunitasnya, Pak Rahman tampak
konsisten mengikuti akar tradisinya dan pemikiran-pemikiran baru secara
rasional dan proporsional. Sehingga walaupun Pak Rahman komitmen dengan
tradisi yang dibentuknya, dalam pemikirannya, ia tetap obyektif dan tidak
memihak.
Pola pemikiran Pak Rahman saat ini dapat dibuktikan dari cara
pandangnya ketika masih dalam komunitasnya, yaitu tidak taqlid begitu saja
pada doktrin ajaran pesantren dan NU yang mempengaruhinya, misalnya,
dalam menghadapi Muhammadiyah, Pak Rahman sangat moderat, walaupun
anrtar NU dan Muhammadiyah terdapat perbedaan prinsip dan pemahaman
5 Pendapat beliau ini bisa ditemukan di dalam buku pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, Ibid, hlm 13.
dalam menginterpretasikan al-Qur’an dan al-Hadits. Namun demikian, Pak
Rahman masih tetap berada dalam ruang lingkup sosio-politik tradisi yang
membangun pola pikirnya, seperti penghormatan yang ditujukan pada seorang
pemimpin, tokoh masyarakat, dan seorang kyai karena kharisma dan
penguasaan kailmuan mereka. Walaupun masih tetap mengikuti tradisi seperti
ini, Pak Rahman tidak meninggalkan kritisisme seperti yang berkembang di
Barat untuk membangun tradisi berupa kesadaran keilmuan dan intelektual.
Oleh karena itu Pak Rahman tidak menjauhina. Karena dengan
konsistensinya pada tradisi yang dipertahankan, akan membudahkan peluang
Pak Rahman untuk mengadakan perubahan dari dalam dan menawarkan
interpresentasi-interpretasi baru dari sebuah wacana yang berkembang dalam
sebuah kultur yang mempengaruhinya.
Keterpanggilan memeprbaharui akar tradisi sendiri itulah yang
mendorong Pak Rahman untuk memperdalam studi Islam. oleh karena itu ia
mengkonsentrasikan wilayah belajarnya dalam bidang pemikiran Islam
kehusunya sejarah peradaban Islam. Namun sebagaimana yang diakuinya,
studi pada Islamic Studies di Amerikan adalah tidak terlepas dari dorongan
kedua orang tuanya yang gethol dalam mendidik anak-anaknya.
2. Latar Belakang Pendidikan
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. mendapatkan pendidikan
formal pertama kalinya di Radlatuil Athfal NU pada usia enam tahun tepatnya
pada tahun 1966. pada tahun 1968 ia masuk di Madrasah Qdsiyah Kudus6 ia
harus berada di tingkat shifir dulu selama dua tahun dan selanjutnya baru
6 Madrasah Qudsiyyah didirikan oleh K.H.R. Asnawi pada tahun 1318 H. Pada mulanya
madrasah ini mempunyai dua bagian, bagian Ibtidaiyyah dan bagian Tsanawiyah serta memberikan pelajaran agama 75% dan pendidian umum 25%. Kemudian sekarang ini pendidikan yang ada di madrasah Qudsiyyah sudah mulai imbang antara pendidikan agama dan pendidikan umum bahkan sudah mendirikan pendidikan Aliyah. Pada masa pendudukan jepang madrasah ini terpaksa di tutup dan baru dibuka kembali pada tahun 1950 M. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hlm. 253-254.
Tingkat Dasar (MI), Tsanawiyah dan Aliyah selama dua belas tahun (1968-
1980).
Gelar Doctorandus (Drs) diperoleh pada tahun 1987 di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pengalamannya selam kuliah diantaranya, pernah
mengikuti Workshop Non-Government Organization (NGO) di Philipina
selama 2 bulan pada tahun 1986. pak Rahman juga pernah menjadi tenaga
pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah tempat dia kuliah pada tahun 1984-
1988.
Kemudian Pak Rahman melanjutkan pendidikan di Islamic Studies,
University of California Los Angeles, USA, dengan bantuan atau beasiswa
Fulbrigh Scholarship.7 Setelah lolos S-2 pada tahun 1992 ia melanjutkan S-3
pada tahun 1993 di lembaga yang sama dan akhirnya pada tahun 1997 ia telah
gelah Ph.D. (Doctor of Philosophy).
Pada bulan April 2003, Pak Rahman mendapat gelar professor di
bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam.8 Selain itu beliau juga ditetapkan
sebagai pakar keagamaan Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota.
3. Karya-karya Ilmiah
Sebagai seorang guru besar di bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Abdurrahman Mas’ud telah menghasilkan banyak karya-karya ilmiah.
Karya-karya beliau berada dalam bentuk buku, artikel-artikel, hasil-hasil
penelitian dan makalah. Abdurrahman Mas’ud telah mampu menyampaikan
gagasan-gagasan pemikirannya dengan diperkuat hasil-hasil penelitiannya
yang diramu secara baik sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang diperkaya
referensi studi studi pemikiran Islam. Di samping itu, tulisannya banyak juga
yang dimuat di Majalah, Koran maupun dalam Jurnal baik Nasional maupun
7 Dari 600 orang lebih yang ikut seleksi namun yang diberangkatkan hanya 13 orang. 8 Atas dinobatkannya beliau menjadi guru besar, ada salah crew majalah yang memberi
selamat atas pengukuhan tersebut. Edukasi Ajang Pergulatan Mahasiswa, “Menimbang Signifikansi Pendidikan Agama”, Edisi XXVIII, Th.XI/VI/2003, hlm. 71.
International. Sebagian besar karya-karyanya disesuaikan dengan disiplin
keilmuannya, yaitu mengenai studi pemikiran Islam.
Hasil karya Abdurrahman Mas’ud yang pernah diterbitkan dalam
bentuk buku diantaranya adalah sebagai berikut:
1. “Inteletual pesantren: Perhelatan agama Dan Tradisi, yang diterbitkan Lkis
Yogyakarta, Februari 2004.9 Karya beliau ini terjamahan dari “The
Pesantren Architects and Their Sosio Religious Teaching”, disertasi S-3,
UCLA, AS. 1997, (disertasi yang disusun di Amerika dalam rangka
memeproleh gelar Ph.D.)”.
2. “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius
sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Gama Media, Yogyakarta, 2002.10
3. “Menuju Paradigma Humanis”, diterbitkan oelh Gama Media,
Yaogyakarta, November 2003.
4. “Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis,
buku saku yang merupakan rangkaian dari pidato pengukuhannya sebagai
Guru Besar di bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, 20 Maret 2004”.
5. “Antologi Studi Agama dan Pendidikan”, di terbitkan oleh CV. Aneka Ilmu,
Semarang, September 2004.
Disamping itu, masih banyak karya-karya beliau yang dimuat dalam
bentuk buku yang dirangkum dan disertai dengan karya-karya ide pokok
para tokoh yang lainnya. Hasil klarya-karya tersebut diantaranya:
1. “Pesantren dan Walisongo Sebuah Interaksi Dalam Dunia Pendidikan”
dalam “Islam dan Kebudayaan Jawa”, pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa
IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Gama Media, Yogyakarta,
2000, (Editor) Drs. H.M. Darori Amin, M.A.
9 Karya ini telah diresensi oleh Farid Bani Adam, “Melacak Para Master Dunia Pesantren”,
Edukasi Ajang pergulatan Mahasiswa, edisi XXIX, Th. XI/VI/2004, hlm. 84. 10 Diresensi oleh Sugiyanto, “Dikotomi, Penyebab Kemandegan Islam”, Jurnal Edukasi
Pendidikan Islam Liberal, Colum I, Th.X/Desember, 2002, hlm. 161.
2. “Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat Madani”, dalam Ismail
S.M., dan Abdul Mu’thi (Editor), “Pendidikan Islam; Demokratisasi dan
Masyarakat Madani” Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
bekerjasama denga pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
3. “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam”, dalam “Paradigma
Pendidikan Islam”, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
4. “Sejarah dan Budaya Pesantren dan Tradisi Learning pada Era Pra
Madrasah” dalam “Dinamika Pesantren dan Madrasah”, Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo bekerja sama denga Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
(Editor) Isma’il SM, Nurul Huda, dan Abdul Khaliq.
5. “Agama dan Prilaku Politisi dalam Proses Pilkada”, dalam Pilkada di Era
Otonomi, Buku bunga Rampai bersama sama dengan Darmanto Jatman,
dkk, diterbitkan oleh Aneka Ilmu tahun 2003.
Sedangkan karya-karya beliau yang ditulis dalam jurnal antara lain:
1. “The Transmission Of Knowledge in Medieval Cairo”, (Book Review),
Jusur, UCLA, January 1993, pp. 117-121.
2. “The Islamic Quesst: A Fascinating Account of Muslim Thirst for
Knowledge”, Al-Thalib, MSA UCLA News Magazine, March 1993,
pp.12,14.
3. MISI (Muslim Intellectual Society of Indonesia/ICMI) Project on Human
Resources Development For Indonesian Studients In the USA, 1994-1996.
4. “Sunnism and Orthodoxy In the Eyes Of Modern Scholars”, PROGNOSA,
Monthly Magazine In Indonesia. “Jentera Times, Monthly Magazine In Los
Angeles, September 1996, pp.22-23.”
5. “Ulama’ and Muslim Intellectual In Indonesia”. Jentera Times, Monthly
Magazine In Los Angeles, September 1996, pp. 22-23.
6. “Nawawi Al-Bantani An Intellectual Master Of The Pesantren Tradition”
Studia Islamika 3, No.3, Jakarta, November 1996, hlm. 81-114.
7. “Asal-usul Pemikiran Sunni: Sebuah Catatan Awal”, Suara Umat, Vol.1.,
No.2, Desember 1997, hlm. 53-56.
8. “Why The Pesantren In Indonesia Remains Unique And Stronger”,
disampaikan dalam International Seminar On Islamic Studies In The Asean:
history, Approaches, and future Trens. Seminar ini dilaksanakan pada
tanggal 25-28 juni 1998 oleh College Of Islamic Studies PSU Pattani.
9. “Mahfudz Al-Tirmizi: An Intellectual Biography” Studies Islamika, No.3,
Jakarta, November 1998, hlm. 106-118.
10. “The Da’wa Islamiyya in Medieval Java, Indonesia,” Ihya’ Ulum al-Din
International Journal, Number 01, Vol.1., 1999, pp.25-52.
11. “Etika Profesi dalam Menghadapi Perubahan Millennium”dalam Journal
bima Suci, No.11., hlm. 73-77, BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah, Tahun
2000.
12. “Reward And Punishment In Islamic Education”, Ihya’ Ulum al-Din
International Jounal number 1, Vol.1., 2000, pp.94, Pasca Sarjana IAIN
Walisongo Semarang.
13. “Tarekat dan Modernitas; Perspektif Pendidikan Islam” dalam Journal
Religia, Volume 3, No.2, hlm. 31-36, STAIN Pekalongan, Juni 2000.
14. “Khalil Bangkalan (1819-1925 a.d): An Intellectual Biography”
International Journal Ihya’ Ulum al-Din, Volume 2, hlm157-170, Pasca
Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Desember 2000.
15. “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam” dalam
Journal Penelitian IAIN Walisongo Semarang, Edisi 17, hlm. 17, hlm.92-
106, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, tahun 2001.
16. “Diskursus Pendidikan Islam Liberal” dalam jurnal “Edukasi” Vol.1, Th.
X/Desember/2002. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002.
Selain beberapa buku dan journal yang dihasilkan dari pemikirannya,
Abdurrahman Mas’ud juga gemar menulis beberapa makalah yang
disampaikan dalam berbagai seminar baik regional maupun nasional serta
dalam lokakarya. Makalah-makalah tersebut antara lain:
1. “Muslim Education Before The Establishment of The Madrasa”, Seminar
Midle East Studies Association of North America (MESA) di North
California AS, tahun 11-14 september 1993.
2. “Moslem Secholarship: Between Challenges and Prospect,” seminar San
Fransisco, AS, 3 Juni 1995.
3. “Why The Pesantren In Indonesia Remins Unique And Stronger”.
disampaikan dalam seminar Pattani campus Thailand, 25-28 Juni 1998.
4. “Beberapa Catatan Sekitar Islamologi” disampaikan dalam “Diskusi
Kelompok Ilmuwan Sejarah dan Peradaban Islam”, IAIN Walisongo
Tanggal 26 Juni 1999.
5. “Beberapa Potensi dan Watak Pesantren” disampaikan dalam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 19 Januari 2000.
6. “Revalitas Pendidikan Islam dalam Konteks Peradaban” disamapaikan
dalam “Diskusi Kelompok Ilmuan Sejawah dan Peradaban Isalm IAIN
Walisongo Semarang” Tanggal 1 Pebruari 2000.
7. “Tantangan dan Prospek Jurusan K.I” disampaikan dalam “Seminar
Regional Fakultas Tarbiyah IAIN Walisogo Semarang” Tanggal 15
Pebruari 2000.
8. “Tarekat dan Modernitas”, disampaikan dalam Seminar Nasional tentang
“Tariqoh Mu’tabaroh” STAIN Pekalongan, Tanggal 27 Pebruari 2000.
9. “Transformasi Kebudayaan Masyarakat Kudus Menuju Terciptanya Civil
Society” disampaikan dalam seminar sehari “Membangun kebudayaan dan
peradaban Masyarakat Kudus”, Cermin, Tanggal 8 April 2000.
10. “Gerakan-gerakan Sosial Keagamaan dan Potensi Civil Society di
Indonesia”, disampaikan dalam “Loka Society di Indonesia”, WRI
Semarang, tAnggal 13-14 Juni 2000.
11. “Metode Da’wah Bil Hal” disampaikan dalam “Lokakarya Da’wah
Reforamsi Pembangunan”, UNISSULA, Semarang, Tanggal 13 Juni 2000.
12. “Metodologi Pengajaran Agama dan Aswaja” disampaikan dalam seminar
dan Lokakarya Nasional “Pembaharuan Kurikulum PAI dan Aswaja”, al-
Ma’arif, tgl. 14-16 Juni 2000.
13. “Psikologi Kepemiminan” disampaikan dalam “Training of Trainer Pusat
Study Wanita IAIN Walisongo Semarang” Tanggal 14-15 Agustus 2000.
14. “Model-model Penelitian” disampaikan dalam “Pelatihan Penelitian”,
STAIN Pekalongan, Tanggal 24 Agustus 2000.
15. “Metode Pendekatan dan Pengajaran PAI di PT umum”, disampaikan
dalam “Semiloka Dosen Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 4 Nopember
2000.
16. “Potret dan Peta Dunia Pesantren”disampaikan dalam “Lokakarya
Kebijakan Pendidikan Nasional Nasional dan Pesantren” WRI, Tanggal
23-25 Nopember 2000.
17. “Cros-culture Understanding” disampaikan dalam Diskusi Dosen IAIN
Walisongo Semarang, Tanggal 24 Nopember 2000.
18. “Beberapa Catatan Profesi Teknologi Kejujuran” disampaikan dalam
Seminar Nasional “Pengujian Teori Teknologi Kejuruan”, Tanggal 11-12
Maret 2001.
19. “Pendidikan Seks Dalam Islam” disampaikan dalam “Seminar sehari
Pendidikan Seks Dalam Berbagai Perspektif, UNISSULA, Semarang,
Tanggal 20 Maret 2001”]
20. “Upaya Preventif penularan Violence Berbaju Agama” disampaikan
dalam “Sarasehan Perdamaian RIBATH Pekalongan, Tanggal 26 Maret
2001”.
21. “Perspektif Tentang Komunikasi Global” disampaikan dalam “Seminar
Regional Perpustakaan UPT Perpustakaan” UNISSULA, Semarang
Tanggal 17 Mei 2001.
22. “Represi Pendidikan Islam”, disampaikan dalam Seminar Nasional
“Pendidikan Islam” STAIN Sunan Drajad, Lamongan, Tanggal 27 Mei
2001.
23. “Islam and Terorism”, Diskusi Panel dengan Prof. Ron Lukens-Bull UNF,
As Oktober 2001.
24. “The Concept Of Khalifatullah In Islam”, Seminar Round Table Discation
dengan para pakar, professor UNF AS, November 2001.
25. “Ramadan: Finding Common Ground Between Islamic and Westren
Values”, VOA Washinton DC., AS., 28 November 2001, disiarkan secara
langsung oleh INDOSIAR kamis pagi Indonesia.
26. “Inklusifisme dalam Wacana ke-Islam-an dan Kebangsaan” disampaikan
dalam “Lokakarya Pra Muktamar I PKB”, Tanggal 2-3 Juli 2003.
27. “Pengembangan Ilmu Ke-Islaman di IAIN: Sejarah dan problematikanya”,
Dipresentasikan dalam Simposium Nasional IAIN Walisongo, 11 juli
2003.
28. “Konteks Sosiologis Pendidikan Agama Islam” disampaikan dalam
“Pelatihan Penelitian Metodologi Tarbiyah”, STAIN Kudus, Tanggal 19-
31 Juli 2003.
Sedang penelitian yang pernah dilakukan oleh Pak Rahman baik
secara colektif maupun individual antara lain sebagai berikut:
1. “Project on Community Development And Research” The Institute For
Human Resources Development And Studies (LKPSM-NU) Jakarta, 1984-
1988.
2. “Human Resources Development For Indonesian Student In The USA”,
MISI (Muslim Intelektual Society Of Indonesia/ICMI) Project 1994-1996.
3. “Pesantren dan Kebudayaan: Kajian Ulang Tentang Peran Pesantren
Sebagai Pembentukan Kebudayaan Indonesia”, Penelitian Kolektif
bersama Prof. Abdul Djamil, MA. (dkk) dengan bantuan dari DIP IAIN
tahun Anggaran 1998-1999.
4. “Dikotomi Ilmu dan Agama: Kajian Sosio-Historis Pendidikan Islam”,
Penelitiandengan bantuan DIP IAIN tahun anggaran 1999-2000.
5. “Human Religious sebagai paradigma Pendidikan Isalm”, Penelitian
dengan bantuan DIP IAIN Tahun anggaran 2000.
6. “Islam And Humanism, When Moslem Learns From The West: A Cross
Culture Project”, Penelitian postdoc dengan beasiswa Fulbright Agustus
2001 Januari 2002 di Amerika.
7. “Kopetensi Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam
pandangan masyarakat pengguna di Jawa Tengah”, Penelitian kompetitif
dosen PTAI se-Indonesia Depag RI Bersama Dr. Achmadi (dkk), Prof.
Rahman Sebagai ketua Tim, tahun 2004.
4. Pengalaman dan Peranannya Dalam Pendidikan
Di samping pengalaman-pangalaman beliau di atas ada beberapa
pengalaman-pengalaman beliau yang lain terutama setelah beliau kembali dari
Amerika pada bulan Januari tahun 1997 dengan mendapatkan gelar Ph.D.
(Doctor Of Philosophy) dalam Islamic studies (Interdepartemental Studie
UCLA), Pak Rahman diberi amanat untuk menjabat sebagai Wakil Direktur
Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang (1997-1999). Pada tahuan
1999-2000, beliau menjabat Kepala Pusat Penelitian (PUSLIT) dan Direktur
Walisongo Research Institute (WRI) IAIN Walisongo Semarang. Di tahun
yang sama, Pak Rahman dipercaya sebagai Konsultan BEP (Basic Educational
Project) dan SIMES (Semarang Institut For Moslem Educational Studies).
Selanjutnya, pada bulan September 2000, beliau mendapat kepercayaan untuk
memegang jabatan sekarang. Selain itu, beliau juga memegang jabatan Ketua
MP3A Jawa Tengah,11 Wakil Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) Jawa Tengah
dan editor Journal Internasional “Ihya’ Ulum al-Din”.
Pak Raman juga menjadi tenaga pengajar di IAIN Walisongo Semarang
(S 1 dan S 2), Pasca Sarjana Universitas Diponegoro (MM-UNDIP) Semarang,
Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakart, Pasca Sarjana
IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, Universitas Islam Malang (UNISMA) Jawa
Timur.12 Di samping itu ia sudah menetap di Semarang tepatnya di perum BPI
K-26 Ngaliyan.13
Sedang pengalaman Pak Rahman selama di Amerika di antaranya
adalah menjadi penasehat atau pembimbing pengajian Konsultan Indonesia
untuk masyarakat Muslim di Los Angeles, California dan anggota konsultan
ICMI di Amerika pada tahun 1992 sampai tahun 1995. beliau juga pernah
menjadi editor OASE, sebuah bulletin keagamaan untuk komunitas Muslim di
Los Engeles (1994-1996).14
Pak Rahman juga menapatkan kepercayaan dari Fullbright untuk
mengadakan penlitian di Amerika selama enam bulan. Selama di sana, beliau
mengadakan penelitian yang akhirnya menghasilkan dua buah buku yang layak
dibaca oleh kalangan akademis, buku-buku tersebut diantaranya adalah,
Pertama, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme
Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam” yang telah diterbitkan oleh
Gama Media, Yogyakarta, pada bulan September 2002. buku yang Kedua
11 MP3A kepanjaganya “Majlis Penembangan Pendidikan dan Pengajaran Agama” namun
akhir-akhir ini kepanjangan tersebut akan direvisi kembali, yang jelas salah satu dari “P3” ada yang berarti Pembaharuan. MP3A ini sebenarnya sudah lahir sejak tahun 1955 sedang ketua pusatnya sekarang adalah Pak Sukri Zarkasi di Jakarta, institusi ini bergerak di bidang pembaharuan pendidiakn agama Islam. wawancara dengan Prof. H. Abdurrahman Mas’ud pada hari jum’at tanggal 22 Juli 2005.
12 Abdurrahman Mas’ud, “Diskursus Pendidikan Islam Liberal” jurnla Edukasi Pendidikan Islam Liberal, Colum I, Th.X, Desember, 2002, hlm. 14.
13 Nomor Telepone beliau (024) 7604716 dan Email: Walisongo @yahoo.com, Abdurrahman Mas’ud, Antolog Studi Agama dan Pendidikan, op.cit., yang ditulis pada sampul belakang.
14 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 235.
adalah “Menuju Paradigma Islam Humanis” yang juga diterbitkan oleh Gama
Media, Yogyakarta pada bulan November 2003.
Peran Pak Rahman dalam bidang akademik pun sekarang masih aktif
yang dapat dilihat secara langsung di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang. Di samping itu beliau terkenal sangat ramah, disiplin juga tegas
dalam mengajar sehingga banyak mahasiswa yang segan kepadanya. Ia
memegang matakuliah perpen (Perbandingan Pendidikan).15 Di perkuliahan
program pascasarjana ia juga dikenal akrab dengan mahasiswa bahkan
kebanyakan dari mereka menganggap Pak Rahman bagaikan mitra belajar.
B. PEMIKIRAN POF. ABDURRAHMAN MAS’UD TENTANG
PENDIDIKAN NONDIKOTOMIK
Pada pembahasan kali ini, penulis akan memaparkan tentang pandangan
prof. Abdurahman mas’ud mengenai model pendidikan nondikotomik yang
terkait dengan latar belakang kemunculan pendidikan nondikotomik serta konsep
pendidikan nondikotomik beliau.
1. Latar Belakang Munculnya Ide Pendidikan Nondikotomik
Mengenai kemunduran Islam yang tak kunjung akhir hingga saat ini
tampaknya para tokoh Islam berfikir keras untuk mencari solusi bagaimana
agar Islam dapat jaya kembali sebagaimana yang pernah didapatkannya pada
awal kemunculannya hingga abad ke-11 M. Prof. Abdurahman Mas’ud adalah
seorang guru besar di suatu perguruan tinggi Islam di Indonesia tampaknya
beliau terpanggil untuk mencari solusi atas decadency yang terjadi dalam dunia
pendidikan Islam sebagaimana tokoh-tokoh Islam lainnya. Keikutsertaan
beliau ini tampak begitu jelas dengan konsepnya Humanisme Religius sebagai
15 Pak Rahman setiap mengadakan tes biasanya berbentuk lisan dan harus menggunakan
bahasa Inggris, ini ia lakukan semata-mata hanya mendorong mahasiswa untuk aktif belajar bahasa Inggris, ia melakukan ini tidak hanya pada mahasiswa S-1 tapi juga mahasiswa S-2.
solusi atas terjadinya dikotomik di dalam dunia pendidikan Islam. Munculnya
sistem dikotomik di dalam dunia pendidikan Islam telah dianggap oleh
kebanyakan tokoh Islam sebagai penyebab utama atas decadency in Islamic
civilization.
Secara umum latar belakang ide model pendidikan nondikotomik versi
Prof. Abdurahman Mas’ud ini dilatarbelakangi oleh dua bentuk yaitu secara
non-akademis dan secara akademis16 sebagai berikut:
1. Secara Non-Akademis
Latar belakang secara non-akademis ini berupa pengalaman-
pengalaman beliau semenjak melakukan research yaitu pertama, research
yang beliau lakukan di Indonesia pada tahun 1999 yang bersifat individual
sedang tema besar pada penelitian ini adalah “Mencari akar-akar dikotomi
ilmu di dalam dunia pendidikan Islam”. Kedua, research postdoct-nya
yang beliau lakukan di Amerika dengan mendapat bantuan dari Fulbright.
Walaupun orisinilitas penelitian beliau tentang “dialog Islam-Barat”,
namun Prof. Abdurrahman Mas’ud di tengah-tengah kesibukannya meneliti
beliau teringat dengan penelitian yang beliau lakukan di Indonesia yaitu
tentang akar permasalahan dikotomik keilmuan di dalam dunia pendidikan
Islam karena dari penelitian yang pertama tersebut beliau hendak
menjadikannya sebuah buku, maka beliaupun tak menyia-nyiakan waktu di
Amerika. Jadi beliau di samping sibuk meneliti tentang dialog Islam-Barat
beliau juga masih memikir-mikir, “bagaimanakah solusi yang tepat untuk
mengatasi adanya dikotomik di dalam pendidikan Islam dan kira-kira
bagaimanakah bentuk pendidikan Islam yang paling ideal pada zaman
sekarang dengan tanpa dikotomisasi ilmu”.17
16 Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud di kantor pasca sarjana pada hari Jum’at
tanggal 22 Juli 2005 pukul 09.00 WIB. 17Ibid
Sepulang dari penelitiannya di Amerika akhirnya beliaupun
menyelesaikan bukunya yang diberi judul “Menggagas Pendidikan
Nondikotomik, Humanis Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”.18
Di dalam bukunya ini Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan paradigma
humanisme religius sebagai solusi atas diktomisasi yang sedang terjadi di
dunia pendidikan Islam plus sebagai model pendidikan nondikotomik
menurut beliau.19
2. Secara Akademis
Sebenarnya latar belakang secara akademis ini sudah banyak Prof.
Abdurrahman mas’ud terangkan di dalam karyanya yang berjudul
Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. Kirannya penulis perlu menerangkan
kembali keterangan-keterangan Prof. Abdurahman Mas’ud secara singkat.
Semenjak kelahiran Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-11, Islam
telah menunjukkan kehebatannya yang mampu melahirkan pemikir-
pemikir Islam yang pandai di segala bidang keilmuan dengan beberapa
lintas keilmuan yang mereka miliki baik umum maupun agama di samping
itu mereka juga memiliki akhlak yang tinggi. Gerangan apa yang terjadi
saat ini Islam telah mengalami krisis yang berkepanjangan dan entah smpai
kapan semuanya ini akan berakhir sehingga Islam bisa jaya kembali.
Dengan adanya decadency di dalam Islam tersebut Prof. Abdurrahman
Mas’ud menerangkan:20
Menarik untuk disimak kembali bahwa pada puncak kemajuan peradaban Islam, empat belas abad pertama sejak kemunculannya agama ini (7-11 M), tidak ditemukan dikotomi antara ilmu agama dan
18M. Rikza Chamami dan Ekobudi Utomo, “Mengenal lebih dekat, Prof. Dr. Abdurrahman
Mas’ud, M.A, Ph.D” dalam membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis, Buku Pidato Pengukuhan Prof. Abdurrahman Mas’ud sebagai Guru besar tanggal 20 Maret 2004, hlm. 78.
19 Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud pada hari Jum’at tanggal 22 Juli 2005 20 Abdurrahman Mas’ud, “Tradisi Learning pada Era Pra-Madrasah”, dalam Isma’il SM
(eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm 186
ilmu-ilmu umum. Pengaruh perdana Yunani kuno, Firs Wafe Of Helenism (meminjam istilah Montgomery watt, 1973), tidak pernah disambut dengan antagonisme dalam empat abad pertama peradaban Islam. Namun setelah simtom dikotomi menimpa umat Islam di abad ke-12, perkembangan berikutnya adalah orientasi umat Islam yang lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supremasi fiqih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain yang luas sebagaimana prestasi mengesankan yang pernah diraih di masa-masa sebelumnya. Di sinilah terlihat secara jelas bagaimana kemunduran peradaban. Culture decline, mulai menghinggapi dunia Islam.21
Dari keterangan di atas bisa kita ketahui bahwa penyebab utama
layunya intelektualisme Islam adalah saat terjadinya dikotomi keilmuan di
dalam dunia pendidikan Islam yang terjadi sekitar abad ke-12. sedang
penyebab dikotomik sebagaimana di atas ternyata cukup kompleks yang
bersifat menyeluruh, semuanya tampak berperan terhadap trend munculnya
gejala dikotomik, dari penguasa sampai ilmuan, dari ulama’ sampai militer
dan dari lembaga pendidikan sampai jauh di luar lembaga pendidikan
sungguh merupakan sebuah gejala alami dari kekayaan intelektual menjadi
kekayaan spiritual.22 Pola pikir dikotomik ini tampaknya sudah mendarah
mendaging sampai sekarang yang menyisakan image bahwa Islamic
learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran.23
Prof. Abdurrahman Mas’ud membagi bentuk dikotomik dalam
dunia pendidikan Islam menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Ilmu agama dan ilmu nonagama (umum)
Image ini juga telah membuat langgengnya supremasi ilmu-
ilmu agama yang berjalan secara monotik.
2. Wahyu dan alam
21 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Pendidikan Agama (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003)
hlm. 119. 22 Abdurrahman Mas’ud, “Dikotomi Ilmu agama dan Non-agama Kajian Sosio Historis
Pendidikan Islam”, hasil Penelitian beliau yang mendapatkan bantuan dari IAIN Walisongo Semarang, (Semarang, Pustaka Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang: 1999/2000), hlm. 128 23 Abdurrahman Mas’ud, “Tradisi Learning pada Era Pra-Madrasah”, Op.cit, hlm 186
Image ini juga telah menyebabkan miskinnya penelitian
empiris dalam pendidikan Islam
3. Wahyu dan akal
Image yang terakhir ini telah menjauhkan disiplin filsafat dari
pendidikan Islam.24
Sistem hafalan yang tidak mengerjakan akal secara proporsional
dan mengesampingkan makna, padahal makna jauh lebih penting karena
menurut para ahli filsafat menyatakan bahwa lebih baik salah tapi jelas dari
pada benar tapi samar-samar dan konsep ini sangat penting dalam meraih
kebenaran ilmiah. Sistem hafalan tersebut menurut prof. Abdurrahman
Mas’ud adalah dampak dari dikotomi yang ketiga.25
Sebenarnya dasar ajaran Islam tidak mengenal dikotomisasi ilmu
sebagaimana pendapat Prof. Abdurrahman Mas’ud yang menampik adanya
tiga model dikotomi di dalam dunia pendidikan Islam tersebut di atas
beliau menerangkan: pertama, bahwa Islam adalah Religion of nature,
segala bentuk dikotomi antara agama dan sains harus dihindari. Alam
penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan Ilahi yang menunjukkan kehadiran
sistem global. Semakin jauh ilmuan mendalami sains, dia akan
memperoleh wisdom berupa philosophic perenis yang dalam filsafat Islam
disebut transedence. Iman tidak bertentangan dengan sains, karena iman
adalah rasio dan rasio adalah alam. Konflik di antara keduanya hanya
merupakan struggle antara dua kekuatan yang bertikai yang satu bersifat
tertutup conservative sedang yang lain terbuka, seculler. Kedua, alam
adalah ciptaan Allah yang agung sekaligus sebagai bukti atas tanda-tanda
24Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama
Media, 2002) hlm. 9 25Ibid,
keberadaan Allah maka alam merupakan wahyu yang tak tertulis. Untuk
meraih kebenaran maka manusia harus membaca dan menganalisa wahyu
Allah baik yang tertulis atau di sebut Qur’aniyyah dan yang tidak tertulis
atau alam atau di sebut Kauniyyah. Manusia merupakan khalifah di bumi
yang mempunyai missi memenuhi perintah-perintah Allah. Segala upaya
manusia ditujukan untuk ibadah maka perencanaan, investment dan
pemanfaatan alam sudah merupakan perwujudan pemujaan kepada Allah.
Dengan demikian penciptaan alam semesta bukanlah berhubungan dengan
keimanan saja tetapi juga motivasi bagi manusia untuk peduli terhadap
alam. Ketiga, di dalam pendidikan Islam seharusnya tidak ada dikotomi
antara wahyu dengan alam sebagaimana keyakinan Ibnu Taimiyyah bahwa
tidak terjadi pertentangan antara ration and revelation. Nabi Muhammad
SAW mengajarkan agar umat Islam tidak mengikuti tradisi taklid buta,
yakni dengan meniru adat nenek moyang tanpa menggunakan akal kritis.
Islam juga mengajarkan mempertahankan akal, harta benda, keluarga,
martabat, kehormatan, nyawa dan agama adalah suatu keharusan bagi
setiap individu. Maka sebaiknya wahyu dan akal tidak perlu
dipertentangkan dalam Islam.26
Apabila dalam penggunaan ke-enam pilar yaitu ilmu umum dengan
agama, alam dengan wahyu dan akal dengan wahyu ada ketidak
keseimbangan maka akan terjadi ketimpangan dan kegagalan seperti
sekarang ini. Maksud dari dikotomi itu sendiri prof. Abdurrahman Mas’ud
menerangkan bahwa:
“Makna dikotomi adalah devision into two, usually contradictory classes or mutually exclusive pairs, pembagian dua kelompok yang berbeda atau dua pasangan yang sama-sama eksklisif, secara sederhana dapat dipahami pada penghujung abad ke-11, yakni pada focus pembicaraan ini, di kalangan umat islam telah terjadi
26Abdurrahman Mas’ud, “Konteks Sosiologis Pendidikan Agama Islam”, Jurnal Studi Islam,
03, 01, Februari, 2003, hlm. 171-172
pemilahan antara ilmu agama dan ilmu umum dengan memandang yang satu lebih supreme dari pada yang lain.” 27
Selain bentuk-bentuk dikotomik di atas prof. Abdurrahman Mas’ud
juga menyebutkan bahwa hilangnya Humanisme Religius dari dunia
pendidikan Islam, maka saat itu pula anak didik telah kehilangan
identitsnya. Peserta didik yang seharusnya dipersiapkan sebagai makhluk
berfikir dan berdzikir dengan tidak mendikotomikan antara wahyu dengan
akal, wahyu dengan alam dan ilmu agama dengan ilmu umum atau
nonagama. Absennya humanisme religius dan hadirnya dikotomi dalam
dunia pendidikan Islam hanya akan menyebabkan hilangnya semangat
membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama di dunia
pendidikan Islam pada zaman klasik dan pertengahan.28
Di samping permasalahan-permasalahan yang menimpa dunia
pendidikan Islam di atas, Prof. Abdurrahman Mas’ud menambahkan
sebagai berikut:
a. Kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia
pendidikan Islam yakni suatu pendidikan yang lebih mengutamakan
konsep Abdullah dari pada Kholifatullah dan hablum minallah dari
pada hablumminannas.
b. Orientasi yang timpang itu memunculkan masalah-masalah besar dan
bahkan sampai bentuk pembelajaran.
c. Masih dominannya skolastik yang terlembaga dalam sejarah Islam,
sementara gerakan humanisme lemah maka perlu ditinjau kembali
sejarah humanisme religius yang terlupakan.29
Dengan keadaan dunia pendidikan Islam yang sudah penulis
paparkan di atas maka Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan suatu
27Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik”, Op.cit. hlm 16 28Ibid, hlm. 14 29Ibid, hlm, 150
paradigma baru yaitu humanisme religius sebagai solusi atas dikotomi
keilmuan Islam yang merupakan penyebab utama atas terjadinya
decadency culture in Islamic education. Paradigma humanisme religious
tampak jelas sebagai penawaran atas dikotomik di dalam dunia pendidikan
Islam berlandaskan pada keterangan Prof Abdurrahman Mas’ud,
menyatakan:
“Sementara itu, humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam dimaksudkan sebagai tawaran metodologis munculnya sistem dikotomik dalam pendidikan Islam. Secara etimologi humanisme yang dimaksud itu sendiri berarti kesetiaan kepada manusia atau kebudayaan, humanisme is a devition to the humanioties or literary culture. Pencerahan kemanusiaan menjadi sepirit untuk belajar, yang kemudian berkembang di akhir abad pertengahan dengan tulisan-tulisan klasik dan sebuah pembaharuan yang dipercaya dalam kesanggupan kejadian manusia untuk kebenaran dan kesalahan terhadap diri mereka.” 30
Selanjutnya beliau juga mengatakan:
“Jika kita sepakat bahwa humanisme religius sebagai paradigma, maka orientasi pendidikan kita dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, formal, dan informal perlu diarahkan ke titik ini. Dengan humanisme religius pendidikan Islam tidak akan mengabaikan pentingnya pendidikan alam, lingkiungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tidak mendikotomikan elemen-elemen tersebut.”31
2. Paradigma Humanis Religius Sebagai Konsep Pendidikan Nondikotomik
Untuk membahas paradigma humanisme religius sebagai konsep
bentuk pendidikan nondikotomik dalam dunia pendidikan Islam maka penulis
perlu memaparkan sedikit sejarah humanisme religius secara singkat terlebih
dulu.
1. Sejarah Singkat Humanisme Religius.
30Ibid, hlm. 17 31Ibid, hlm. 59
Kultur humanisme adalah tradisi rasional dan empiric yang mula-
mula sebagian besar berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Kemudian
berkembang melalui sejarah Eropa. Filsafat humanisme mempunyai dua sub
kategori yaitu humanisme naturalistic atau humanis scientivic atau
humanitic dan humanisme demokratis. Humanisme Kristen didefinisikan
oleh Webster sebagai penganjur filsafat pemenuhan diri manusia dalam
prinsip-prinsip Kristen, sedang humanisme modern didefinisikan oleh
Charliss Lamont sebagai berikut: “sebagai filsafat alam aliran ini menolak
seluruh aliran supranatural dan menyepakati utamanya di atas alasan dan
ilmu, demokrasi dan keharuan pada manusia.32
Humanisme modern ini mempunyai dua sumber yaitu sekuler dan
agama. Humanisme sekuler merupakan salah satu hasil perkembangan pada
abad ke-18 berupa pencerahan rasionalisme dan kebebasan pemikiran.
Sedang humanisme religius muncul dari etika dan kebudayaan
unitarianisme dan universalisme. Namun dalam perkembangannya kedua
kubu tersebut telah mengalami pertikaian yang sangat hebat humanisme
religius menganggap aksi kemanusiaannya karena konsistensi mereka
terhadap agama, sedangkan humanisme sekuler menganggap bahwa
eksistensi mereka karena pemberontakan terhadap agama. Dalam hal ini
Prof. Abdurrahman Mas’ud berpendapat, “Sebenarnya keduanya bisa
didamaikan dengan syarat mereka tidak terjebak pada formalisme agama
dan lebih mengacu pada nilai substansi agama”.33
Manusia adalah makhluk yang berakal. Secara Probabilitas, dengan
akal itu mereka dapat menemukan kebenaran. Di sinilah konteks pencarian
wacana kemanusiaan yang dilakukan oleh humanisme sekuler. Selanjutnya,
karena pencarian secara akal ini bersifat probabilitas dan ada potensi untuk
32Abdurrahman Mas’ud, “Diskursus Pendidikan Islam Liberal”, Jurnal Edukasi Pendidikan
Islam Liberal, I, X, Desember, 2002, hlm 16 33Ibid, hlm. 17-18
tersesat, Tuhan pun membuat petunjuk berupa agama, di sinilah konteks
wacana kemanusiaan humanisme religius.34 Selanjutnya beliau menyatakan
“Kalau kita bisa mengembalikan nilai kritis dan substansi dasar agama,
seperti dalam nilai-nilai Islam al-‘adlah (keadilan), al-musawah
(egalitarian), asyuro (musyawarah), dan al-khuriatul ikhtiar (kebebasan
memilih) dalam kontek Khifdhul mal (perlindungan harta), khifdhul nafs
(perlindungan jiwa), khifdhul din (perlindungan agama), khifdhul ‘aql
(perlindungan akal), dan Khifdhul nazl (perlindungan keturunan), niscaya
tidak ada sengketa antara humanisme religius dan sekuler. 35
Demikianlah sejarah perjalanan humanisme religius, sedang
humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih
memperkaitkan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk
religius,36 sementara itu humanisme dalam pandangan Islam tidak mengenal
sekulerisme Islam adalah humanisme religius yang tidak bisa lepas dari
konsep hablum minannas, manusia sebagai agen tuhan di bumi atau
kholifatullah yang memiliki seperangkat tanggung jawab baik sosial atau
lingkungan.37
2. Pentingnya Humanisme Religius Dalam Pendidikan Islam
Humanisme religius yaitu suatu cara pandang agama yang
menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmu-
ilmu pengetahuan dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia
dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablum minallah dan hablum
minannas. 38
34Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Op.cit, hlm. 134 35Ibid, hlm. 134 36Ibid, hlm. 135 37Ibid, hlm. 139 38Abdurrahman Mas’ud, “:From “abd Allah to Kholifah Allah Imagining a Bew Model Of
Indonesian Muslim Education”, Jurnal Edukasi, Pendidikan Islam Kritis Konstruksi intelektual Islam Organik, II, I, Januari 2004, hlm. 115
Menurut Prof. Abdurrahman Mas’ud pentingnya humanisme religius
dikenalkan di dalam pendidikan Islam karena ada beberapa alasan yaitu:
a. Keadaan masyarakat Islam sekarang cenderung menekankan hubungan
vertical dan kesemarakan spiritual.
b. Sebagai akibat persoalan pertama kesalahan sosial sepertinya masih jauh
dari orientasi masyarakat kita.
c. Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional,
pendidikan belum berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia
seutuhnya.
d. Kemandirian anak didik dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh
dalam pencapaian dunia pendidikan Islam.39
Tampaknya keempat alasan yang diungkapkan oleh Prof.
Abdurrahman Mas’ud di atas sngat suitable dengan keadaan umat Islam
pada masa sekarang dan pada umumnya mereka memang mengutamakan
ibadah mahdlah, sedangkan kesalahan sosial masih sangat jauh dari
realisasi. Bangsa Indonesia yang merupakan negara yang mempunyai
mayoritas Islam terbesar misalnya, dalam melakukan ibadah haji selalu
menolak karena terlalu banyaknya jama’ah yang akan melakukannya di sisi
lain korupsi tetap berlangsung, kelaparan dan kemiskinan terus menjadi-
jadi.40 Kalau kita analisa persoalan tersebut memang ada yang salah dalam
hal ini yaitu gape yang sangat jauh antara ibadah sosial dan ibadah vertical,
yang seharusnya keduanya sama-sama diperhatikan.
Ciri-ciri pendidikan Islam yang berparadigma humanistic dihasilkan
dari upaya refleksi dan rekonstruksi sejarah Islam yang ada pada masa lima
39Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Jurnal
Penelitian Walisongo, 17, 2001, hlm. 92-95 40Abdurrahman Mas’ud, “From ‘Abd Allah to Kholifat Allah: Imaging a New Model of
Indonesian Education”, Op.cit, hlm 116
abad pertama dan dari nilai-nilai normatif Islam serta dalam tataran
pendekatan dengan menawarkan enam pokok dasar41 yaitu:
a. Common Sense
Dalam hal ini prof. Abdurrahman Mas’ud mengajak agar umat
Islam menggunakan akal sehatnya secara proporsional dengan lebih
mengutamakan pemanfaatan telinga sebagai alat pendengar dan mata,
dari pada mulut dan tangan. Dengan akal sehat inilah manusia
dijadikan Kholifah di bumi. Dengan telinga kita dapat sabar dalam
mendengarkan pengajaran-pengajaran atau pengajian-pengajian dan
dengan mata kita bisa menganalisa mana yang baik, benar serta jelek
dan salah.
b. Individualisme menuju Kemandirian
Pengembangan individu menjadi individu yang saleh, manusia
sempurna disertai berbagai keterampilan dan kemampuan serta
mandiri adalah sasaran utama pendidikan Islam. Maksud
individualisme di sini sangat berbeda dengan arti individualisme yang
diartikan sebagai egoisme dan lebih mementingkan diri sendiri, tetapi
makna individualisme di sini adalah sesuai dengan pernyataan
“sesungguhnya seorang pemuda adalah yang mengandalkan dirinya
sendiri, bukanlah seorang pemuda yang membanggakan ayahnya”.
Jadi individualisme di sini menjadikan individu-individu yang
bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya dengan tanpa
menggantungkan atau mengandalkan orang lain.
c. Thirst of Knowledge
Dalam ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk semangat
dalam mencari ilmu dan meneliti bahkan sampai ke negeri Cina dan
Islam menempatkan derajat yang tinggi bagi mereka yang beriman
41Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Op.cit, hlm. 96
dan berilmu. Saat ini budaya meneliti mulai hilang dalam dunia
pendidikan Islam, padahal budaya tersebut sangatlah langgeng di masa
pendidikan klasik. Dewasa ini budaya tersebut telah berhasil
diteruskan oleh orang-orang Barat yang notebenenya mayoritas
nonmuslim.
d. Pendidikan Pluralisme
Secara normatif Islam sangat mendukung pluralisme dan
kegiatan-kegiatan lintas budaya dan bangsa. Islam pada dasarnya
mendukung persaudaraan manusia dan Islamlah yang sangat
menentang prasangka-prasangka rasial, suku, bangsa dan primodial.
Allah SWT telah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim sebagai
berikut:
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat:13).42
Berkat lintas budaya antara pemikiran Islam dengan Yunani di
masa sejarah Islam klasik telah melahirkan sebuah peradaban baru, di
dalam Islam yang sangat mengesankan bahkan disebut dengan masa
keemasan Islam.
e. Kontekstualisme lebih mementingkan fungsi dari pada simbol
42Al-Qur’an dan terjemahnya, (Semarang, Toha Putra dan Depag: 1998), hlm.84
Kehidupan masyarakat kita sangat cenderung dengan simbol-
simbol yang demikian lekat hingga mengalahkan fungsi simbol itu
sendiri. Karena kecenderungan pada simbol inilah yang menyebabkan
masyarakat kita lebih berorientasi ke belakang dari pada ke depan.
Bentuk kecenderungan itu terealisasi pada mengapa masyarakat kita
masih mementingkan mitos dari pada ethos. Di dalam ajaran Islam,
esensi dan fungsi tentu tidak dikalahkan oleh segala bentuk
simbolisme.
f. Keseimbangan antara Reward and Punishment
Punishment berarti hukuman atau siksaan yang mengacu
kepada kedisiplinan anak sedang reward berarti ganjaran. Dari reward
and punishman ini diharapkan bisa melahirkan reinforcement. Dengan
adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin
menguat, sebaliknya absennya reinforcement menyebabkan tingkah
laku individu semakin melemah. Dalam mengaplikasikan reward and
punishment secara efektif di dalam dunia pendidikan Islam sebaiknya
reward lebih dominan dari pada punishment. 43
Bentuk pendidikan yang mengedepankan punishment,
sebagaimana kebanyakan berlaku di Indonesia merupakan warisan dari
pada penjajah yang muncul jauh setelah zaman Walisongo.44
Konsep dasar pendidikan Islam harus berkaca pada perilaku
Nabi Muhammad SAW yang ditandai dengan:
43Abdurrahman Mas’ud, “Reward And Punishment In Islamic Education”, Internastional
Journal, 2, 1, Februari, 2000, hlm 94 44Abdurrahman Mas’ud, “Model Pendidikan Islam Walisongo”, Jurnal Dinamika Islam dan
Budaya Jawa Dewa Ruci, 2, 1999, hlm. 78
a. Kesabaran, keuletan, serta ketegarannya dalam menegakkan
kebenaran yang diimplementasikan pada dakwah serta pendidikan
Islam.
b. Pemaaf, tanpa dendam dan dengki pada orang lain yang berbuat
salah kepada beliau.
c. Mencintai dan menyayangi sesama mukmin. Murid Nabi pada
masanya mendapatkan sebutan yang istimewa yaitu sahabat. 45
Sedang bentuk gambar diagram dari dialektika dan pembahasan humanisme
religius dalam dunia pendidikan Islam sebagai berikut: 46
Humanisme Religius
- Pendidikan anak - Pendidikan akal sehat Produk Akhir - Pendidikan
Nondikotomik - Pendidikan
Lingkungan - Pendidikan Wahyu - Pendidikan Pluralisme
(Menghargai Perbedaan) - Pendidikan
Individualisme
3. Implikasi Humanisme Religius Dalam Pendidikan Islam.
45Abdurrahman Mas’ud, “Reward And Punishment In Islamic Education”, Op.cit, hlm. 94 46Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Op.cit, hlm. 154
Peserta Didik KhaliFatullah Insan Kamil
Untuk mengimplikasikan humanisme religius ke dalam dunia
pendidikan Islam maka ada beberapa perubahan paradigmatic dalam dunia
pendidikan Islam perubahan tersebut meliputi beberapa aspek yang
merupakan unsur-unsur terpenting dalam dunia pendidikan. Aspek-aspek
tersebut antara lain.
i. Aspek Guru
Guru ini termasuk unsur yang terpenting dalam proses belajar
mengajar maka menurut Prof. Abdurrahman Mas’ud ada tiga kualifikasi
dasar yang harus dimiliki seorang guru yaitu: menguasai materi,
antusiasme dan penuh kasih sayang dalam mengajar dan mendidik dengan
tanpa memandang ras, jabatan, bangsa dan klasifikasi peserta didik. Missi
utama guru adalah mencerdaskan bangsa.
Secara teknis guru harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
1- Guru hendaknya bertindak sebagai role model atau suri tauladan bagi
kehidupan sosial, akademisi siswa baik di luar maupun di dalam.
2- Guru harus menunjukkan sikap kasih sayang, antusias dan ikhlas
dalam mendengar atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa,
menjauhkan diri dari sikap emosional dan feodal seperti cepat marah
karena pertanyaan siswa sehingga sering disalah artikan sebagai
mengurangi wibawa.
3- Guru hendaknya memperlakukan siswa sebagai subyek dan mitra
belajar bukan obyek.
4- Guru hendaknya bertindak sebagai fasilitator, menumbuhkan
kreativitas siswa, interaktif dan komunikatif. 47
ii. Aspek Metode
Metode di sini tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar
dalam teaching-learning procces, tetapi di pandang sebagai upaya
47Ibid, hlm. 202-203
perbaikan secara komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga
menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan.
Metode guru dalam paradigma baru harus lebih menekankan
pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani dan religiusitas siswa
dan meningkatkan kepekaan sosialnya.
Kata kunci untuk pengembangan metode humanisme religius
adalah sejauh mana seorang guru memahami, mendekati dan
mengembangkan siswa sebagai individu yang memiliki potensi
kekhalifahan di bumi plus sebagai makhluk Allah SWT yang didesain
sebagai “Ahsani Taqwim” dengan melalui tiga proses yaitu: pertama,
liberating berarti guru membebaskan siswa dari belenggu yang
berhubungan dengan kultur, irasionalitas, tradisi dan ideologi juga
belenggu sejarah. Kedua, educating yakni menuju kesempurnaan siswa
dengan posisi guru sebagai mitra kesempurnaan, fasilitator dan motivator
dan ketiga, civilizing yakni betul-betul akan menempatkan murid pada
posisi fitrahnya sebagai khalifah Allah SWT di bumi. Dari ketiga proses
tersebut harus didukung oleh seluruh aspek pendidikan yang ada.
iii. Aspek Murid
Seorang peserta didik dalam mencari ilmu sebaiknya mempunyai
enam syarat yaitu: cerdas, semangat, waktu yang memadai, modal,
petunjuk guru dan ulet atau sabar.
iv. Aspek Materi
Pada bagian ini Prof. Abdurrahman Mas’ud menyatakan bahwa
masalah utama pengajaran agama saat ini paling tidak ditandai oleh hal-
hal sebagai berikut:
a- Pengajaran materi secara umum termasuk juga agama belum mampu
melahirkan kreativitas siswa.
b- Moralitas
c- Punishment lebih dominan dari pada reward.
Akar permasalahan yang pertama diakibatkan terlalu
banyaknya materi yang diberikan dan waktu yang begitu menyibukkan
siswa sehingga siswa jadi kelelahan dan kekeringan kreativitasnya.
Permasalahan yang kedua berkurangnya pendidikan budi pekerti pada
siswa di samping itu bentuk pendidikan agama tidak dipadukan dengan
materi pelajaran yang lain. Seharusnya dipadukan dengan materi yang lain
terutama pada tingkah laku sehari-hari. Dan permasalahan yang ketiga
disebabkan bentuk pendidikan yang mengedepankan punishment dari pada
reward sehingga siswa dalam keadaan psikologis yang ketakutan dengan
keadaan seperti itu tidak akan menjadikan siswa yang cerdas, apalagi
kreatif serata tidak berani mengungkapkan gagasan-gagasannya.
Dari permasalahan sebagaimana di atas Prof. Abdurrahman
Mas’ud menawarkan solusi sebagai berikut:
a- Perlunya pengayaan literatur di lingkungan kita mengenal Aswaja
khususnya dari dimensi histories, filosofis yang selama ini
menunjukkan titik terlemah. Aswaja jangan dibatasi pada bayang-
bayang Syafi’i dan Al-Ghazali saja.
b- Karena Aswaja menegakkan prinsip middle way semestinya anak didik
diberi ruang untuk mengenal dan mempelajari ekstrem-ekstrem yang
ada, sebagai bahan perbandingan ideologi aswaja itu sendiri, maka
anak juga perlu mengetahui dari aliran atau madzhab lain. 48
v. Aspek Evaluasi
Evaluasi ini seharusnya tidak terbatas hanya pada guru saja akan
tetapi siswa juga diberi tanggung jawab untuk mengevaluasi guru
sehingga terjadi timbal balik di antara keduanya guna meningkatkan
48Ibid, hlm. 209.
kualitas proses belajar mengajar. Dalam mengevaluasi siswa sebaiknya
meliputi tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. 49
Demikianlah humanisme religius sebagai paradigma pendidikan
Islam nondikotomik. Namun pada akhirnya Prof. Abdurrahman Mas’ud
menyatakan bahwa bentuk pendidikan yang ideal dalam Islam, selalu
mencontoh pada model pendidikan yang telah diperlihatkan Nabi
Muhammad SAW. Pendidikan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad
memberi respon dan solusi positif terhadap permasalahan-permasalahan
yang berhubungan dengan fitrah individu dan kelompok insan kamil
adalah sasaran pendidikan dalam Islam. Nabi telah meneladankan
pendidikan manusia seutuhnya insan kamil dengan mendahulukan
pembangunan tauhid serta menawarkan penajaman kepekaan sosial yang
bersumber dari wahyu, hati, nurani, akal, jiwa dan realitas sosial. 50
49Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius sebagai Pardigma Pendidikan Islam”, Op.cit, hlm. 96-105 50Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Op.cit, hlm. 62