Sepsis
-
Upload
erwinbawono -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of Sepsis
BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis adalah suatu proses sistemik, yang merusak tubuh host karena
infeksi, yang mengakibatkan severe sepsis dan sepsis syok. Keadaan severe
sepsis dan sepsis syok merupakan masalah kesehatan yang mengenai jutaan
orang di dunia. Angka kematian 1 dari 4 orang yang terkena dan insidennya
semakin meningkat.1
Seperti keadaan politrauma, akut miokardial infrak, atau strok, yang
memerlukan penanganan cepat, begitu juga keadaan sepsis, semakin cepat dan
tepat penanganan, maka semakin baik hasil akhir yang didapatkan. 1
Guideline ini dibuat sebagai panduan bagi para klinisi, namun
keputusan tetap ada pada tangan klinisi, karena mereka yang menangani
pasien secara langsung dan setiap pasien mempunyai situasi yang unik. 1
Terdapat keterbatasan sumber daya dan situasi pada masing-masing
negara, sehingga guideline ini dibuat sebagai panduan yang terbaik, bukan
panduan standart penanganan sepsis. 1
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik
Sepsis didefinisikan sebagai penyakit infeksi dengan
manifestasi berupa gangguan sistemik tubuh. Sepsis beratdidefinisikan
sebagai sepsis yang menginduksi disfungsi organ tubuh atau
hipoperfusi jaringan. Sepsis yang menginduksi hipotensi didefinisikan
sebagai sepsis yang mengakibatkan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau Mean Arterial Pressure (MAP) <70mmHg atau tekanan darah
sistolik berkurang hingga >40mmHg. Syok septik terjadi bila sepsis
yang menginduksi hipotensi tetap bertahan walaupun resusitasi cairan
yang adekuat telah diberikan. Sepsis yang menginduksi hipoperfusi
jaringan didefinisikan sebagai infeksi yang menyebabkan hipotensi,
peningkatan laktat, atau oligouria.1
2. Surviving Sepsis Campaign: Panduan Tatalaksana pada Sepsis
Berat dan Syok Septik
1. Resusitasi Awal
Resusitasi awal sepsis harus dilakukan segera setelah
sepsis di ketahui. Tujuan dari resusitasi awal ini antara lain
untuk memulihkan volume intravaskular, menentukan sumber
infeksi, memulai terapi antimikroba spektrum luas, dan
mengendalikan sumber infeksi. Banyak institusi yang telah
mengembangkan penggunaan protokol standar untuk mengatasi
pasien yang mengalami sepsis. Prinsip utama resusitasi awal
dapat dimulai di setiap area rumah sakit dan tidak boleh ditunda
menunggu masuk ICU. Membuat akses ke intravena
merupakan langkah pertama yang penting karena hal ini
memungkinkan kita untuk memberikan cairan IV dan
antimikroba spektrum luas kepada pasien. Resusitasi dilakukan
2
terhadap pasien dengan sepsis yang menginduksi hipoperfusi
jaringan (hipotensi yang bertahan setelah pemberian cairan awal
atau konsentrasi laktat darah ≥4mmol/L). Tujuan insial resusitasi
dilakukan terpadap pasien sepsis yang menginduksi hipoperfusi
jaringan dalam 6 jam pertama adalah:
CVP 8-12mmHg
MAP ≥65mmHg
Urine Output ≥0,5 mL/Kg/jam
Superior vena cava oxygenation saturation (Scvo2) or
mixed venous oxygen saturation (Svo2) 70% or 65%
Resusitasi juga bertujuan untuk menormalkan kadar laktat
pasien karena peningkatan kadar laktat menunjukkan adanya
hipoperfusi jaringan.1
A. Skrining Sepsis
Menurut Moore LJ skrining agresif terhadap
sepsis dapat meningkatkan deteksi dini dan menurunkan
angka kematian akibat sepsis karena memungkinkan
penatalaksanaan awal terapi sepsis.Moore dan LJ
mengembangkan 3 tahap cara melakukan skrining
sepsis .Pasien yang berada di ruang perawatan intensif
dimonitor dua kali sehari oleh perawat. Tahap pertama
yang diperhatikan pada skirining ini adalah respon
inflamasi sistemik (denyut jantung, suhu, jumlah sel
darah putih, dan pernapasan). Setiap komponen
memiliki nilai 0-4. Pasien dengan nilai ≥ 4 berarti
memiliki skrining positif dan dilanjutkan dengan
skrining tahap berikutnya, yaitu sumber infeksi. Jika
pasien memiliki hasil skrining positif baik pada respon
inflamasi sistemik maupun sumber infeksi, maka
3
B. Diagnosa Sepsis
Kriteria Diagnosis pada Pasien SepsisGeneral variablesFever (> 38.3°C)Hypothermia (core temperature < 36°C)Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for ageTachypneaAltered mental statusSignificant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetesInflammatory variablesLeukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1)Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1)Normal WBC count with greater than 10% immature formsPlasma C-reactive protein more than two sd above the normal valuePlasma procalcitonin more than two sd above the normal valueHemodynamic variablesArterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sdbelow normal for ageOrgan dysfunction variablesArterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/LCoagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)Ileus (absent bowel sounds)Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1)Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)Tissue perfusion variablesHyperlactatemia (> 1 mmol/L)Decreased capillary refill or mottling
6
Kriteria Diagnosis pada Pasien Severe SepsisSepsis-induced hypotensionLactate above upper limits laboratory normalUrine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitationAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection sourceAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection sourceCreatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L)Platelet count < 100,000 μLCoagulopathy (international normalized ratio > 1.5)
Diagnosis terhadap sepsis juga dapat dilakukan
dengan mengkultur mikroba penyebab sepsis sebelum
terapi antimikroba diberikan namun kultur tidak boleh
menyebabkan penundaan yang signifikan (>45 menit)
terhadap penatalaksanaan antimikroba. Untuk
mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab
sepsis, setidaknya dibuat dua set kultur darah (aerobik
dan anaerobik) yang diambil secara perkutan dan
melalui perangkat akses vaskuler, kecuali perangkatnya
baru (<48 jam). Kultur dari cairan tubuh lain (urin,
cairan serebrospinal, luka, sekret pernapasan) yang
menjadi sumber infeksi juga harus diperhatikan sebelum
terapi antimikroba. Studi pencitraan juga dapat
dilakukan segera untuk mengetahui sumber infeksi
potensial. 1
C. Terapi Antimikrobial
7
Terapi antimikroba IV merupakan salah satu
kumponen penting dari resusitasi inisial pada pasien
sepsis. Antimikroba diberikan setelah kultur dilakukan
tetapi tidak boleh lebih dari 1 jam setelah sepsis
teridentifikasi. Kumar et al menemukan bahwa setiap
penundaan lebih dari 1 jam terhadap pemberian
antimikroba berhubungan dengan menurunnya jumlah
pasien yang selamat sebanyak 7,6%. Pemilihan
antimikroba yang akan diberikan berhubungan dengan
riwayat pasien (alergi obat dan antimikroba yang
terakhir kali diberikan), kemungkinan sumber infeksi,
dan antibiogram spesifik rumah sakit. Surviving Septic
Campaign Guideline merekomendasikan terapi inisial
anti infeksi empirik yaitu bila satu atau lebih obat
berkerja terhadap semua kemungkinan patogen (bakteri,
jamu, virus) atau obat yang memiliki konsentrasi
penetrasi adekuat kedalam jaringan yang dianggap
sebagai sumber infeksi. Antimikroba dapat berupa
antibiotik IV spektrum luas yang harus dievaluasi setiap
hari untuk mencegah terjadinya resistensi obat, durasi
dari terapi antimikroba ini 7-10 hari. Procalcitonin atau
biomarker yang serupa dapat membantu klinisi dalam
menentukan penghentian antibiotik empirik terhadap
pasien yang awalnya menunjukkan gejala sepsis namun
tidak memiliki bukti adanya infeksi. Pada pasien dengan
8
kasus-kasus tertentu seperti pasien dengan severe sepsis
yang mengalami neutropenia, terinfeksi bakteri patogen
yang resisten terhadap obat kombinasi seperti
Acinetobacter dan pseudomonas spp, dapat diberikan
terapi kombinasi yang tidak boleh dilanjutkan lebih dari
3-5hari.1,2
D. Pengendalian Sumber Infeksi
Salah satu komponen dari resusitasi awal pada
sepsis adalah mengidentifikasi dan mengendalikan
sumber infeksi. Contoh yang sedarhana seperti
mengganti peralatan akses vaskular yang
terkontaminasi. Pada pasien bedah, perut merupakan
tempat infeksi ≥50% kasus. Pasien-pasien ini sering
memerlukan diagnostik pencitraan untuk
mengidentifikasi sumber infeksi dan menentukan
prosedur operasi sehingga sumber dapat di kendalikan.
Hal ini meliputi debridemen jaringan nekrotik, drainase
abses, mengganti peralatan akses vaskular yang
terkontaminasi, dan laparatomi eksplorasi.2
2. Penunjang Hemodinamik dan Terapi Adjuvant
A. Resusitasi Cairan
Sejak awal 1940-an, pemulihan volume
intravaskular telah dianut sebagai intervensi penting
dalam resusitasi syok. Namun, kontroversi telah
9
bertahan mengenai cairan resusitasi yang optimal untuk
digunakan. Ada beberapa perbedaan mendasar antara
kristaloid (ringer laktat, normal saline) dan koloid
(albumin, saline hipertonik) sebagai cairan resusitasi.
Volume distribusi kristaloid secara signifikan lebih
besar daripada koloid. Oleh karena itu, rasio kristaloid
dibanding koloid pada penginfusan adalah 3:1.
Pendukung resusitasi kristaloid menyatakan bahwa
kristaloid dapat mengganti defisit volume cairan
interstitial yang berkurang pada syok dini, risiko
minimal akan terjadinya reaksi anafilaktoid,
penggantian kehilangan volume dengan larutan
fisiologis yang seimbang, dan biaya yang harus
dikeluarkan menurun. Pendukung resusitasi koloid
menyatakan bahwa pada syok septik terjadi vasodilatasi
dan kebocoran kapiler difus sehingga koloid dengan
berat molekul sedang dapat lebih cepat dalam
memulihkan volume intravaskular dan mengurani
terjadinya edema interstitial. Bagaimanapun kristaloid
dipilih sebagai cairan awal dalam resusitasi sepsis berat
dan syok septik. Albumin digunakan ketika pasien
memerlukan sejumlah besar kristaloid. Jika koloid
diberikan, maka jumlah yang harus masuk pada 30
menit pertama sebesar 300-500 cc. Jika kristaloid
diberikan, maka jumlah cairan yang harus masuk pada
10
30 menit pertama sebesar 1000 cc. Cairan dapat
ditambah sesuai kebutuhan pasien. Protokol ini harus
dilakukan secepat mungkin setelah hipoksia jaringan
teridentifikasi sehingga perfusi okesigen ke jaringan
dapat lebih adekuat dan mencegah hipoksia lebih
lanjut.1,2
B. Vasopresor
Syok septik menyebabkan vasodilatasi terkait
dengan cardiac output yang tinggi dan resistensi
pembuluh darah sistemik yang rendah. Oleh karena itu
terapi vasopresor awal dapat digunakan untuk
memulihkan tonus vaskuler. Terdapat beberapa jenis
obat vasopresor. Norepinefrin dan dopamin merupakan
agen lini pertama untuk pengobatan syok septik. Agen
ini harus diberikan melalui kateter vena sentral.
Norepinefrin merupakan agonis reseptor adrenergik α1
yang menyebabkan vasokonstriksi luas dan memiliki
sedikit efek terhadap denyut jantung maupun stroke
volume. Penggunaan norepinefrin dalam waktu lama
dapat menyebabkan efek toksis terhadap miokard
jantung dengan menginduksi apoptosis dengan aktivasi
protein kinase A dan meningkatkan influks Ca2+.
Dopamin berikatan dengan reseptor adrenegik β1,
menstimulus pengeluaran norepinefrin. Pemberian dosis
yang lebih besar dopamin yang berikatan dengan
11
reseptor adrenergik α1 menyebabkan vasokonstriksi.
Dopamine sebagai agen vasopresor alternatif dari
norepinefrin hanya pada pasien tertentu (misalnya
pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardi
absolut atau relative). Penambahan vasopresin mungkin
bermanfaat.Vasopresin atau hormon antidiuretik
berikatan dengan reseptor V1a yang menstimulus otot
polos vaskuler dan berikatan dengan reseptor V2 yang
menstimulus reabsorbsi air pada duktus koletikus renal.
Fenilefrin berikatan kuat dengan reseptor adrenergik
αtapi tidak berikatan dengnan reseptor adrenergik β.
tidak direkomendasikan pada terapi syok sepsis kecuali
pada keadaan dimana (a) norepinefrin berhubungan
dengan aritmia yang serius, (b) cardiac output diketahui
tinggi dan tekanan darah persisten rendah, atau (c)
sebagai salvage therapy ketika dikombinasikan dengan
obat inotropik/vasopresor dan dosis rendah vasopresin
gagal mencapai MAP yang ditargetkan.1-4
C. Inotropik
Pada pasien sepsis meskipun resusitasi cairan
telah adekuat, perfusi jaringan yang baik akan sulit
tercapa bila terjadi gangguan kontraktilitas miokardium.
Oleh karena itu dapat diberikan obat-obatan inotropik
seperti dobutamin jika terjadi gangguan kontaktilitas
miokard. Dobutamine adalah sintetik katekolamin yang
12
berikatan kuat dengan reseptor β1 dan β2 adrenergik.
Dobutamin memiliki efek intropik yang kuat namun
efek kronotropik y ang lemah. Sebuah percobaan
dengan infus dobutamine hingga 20 mikrogram
/kg/menit dimasukkan atau ditambahkan pada
vasopresor (jika digunakan) dalam keadaan (a)
disfungsi miokard yang diperkirakan dari peningkatan
tekanan pengisian jantung dan cardiac output yang
rendah, atau (b) sedang berlangsung tanda-tanda
hipoperfusi, walaupun telah mencapai volume
intravaskular yang adekuat dan MAP yang adekuat.3,5
13
D. Kortikosteroid1
Penggunaan hidrokortison sebagai terapi pada
pasien syok sepsis tidak disarankan selama kestabilan
hemodinamik yang masih dapat dicapai dengan
pemberian resusitasi cairan dan vasopresor. Apabila
keadaan hemodinamik tidak dapat distabillkan,
intravena hidrokortison 200 mg/hari direkomendasikan.
Penggunaan tes stimulasi ACTH untuk
mengetahui apakah pasien dengan syok sepsis
sebaiknya menerima hidrokortison atau tidak, tidak di
sarankan.
Pemberian kortikosteroid dihentikan ketika
kebutuhan untuk menggunakan vasopresor sudah tidak
dibutuhkan lagi (2D).
Penggunaan kortikosteroid tidak
direkomendasikan kepada pasien sepsis yang tidak
syok. (1D). Hal ini dikarenakan manfaat pemberian
kortikosteroid untuk mencegah syok dari pasien sepsis,
belum jelas.
Pemberian hidrokortioson sebaiknya
menggunakan infus yang kontinu dibanding dengan
pemberian bolus (2D). Beberapa penelitan RCT
menyatakan pemberian hidrokortison dosis rendah
memberikan efek samping hiperglikemi dan
hipernatremi. Pemberian hidrokortison menggunkanan
bolus menunjukan peninggkatan hiperglikemi dan
hipernatremi yang signifikan dibanding pemberian infus
yang kontinu. Meskipun belum ada penelitian mengenai
hubungan hiperglikemi dan hipernatremi karena
penggunaan hidrokortison dengan severe sepsis,
pemberian hidrokortison dengan infus kontinu tetap
disarankan karena tindakan pencegahan selalu lebih
baik.
14
3. Terapi Penunjang Sepsis Berat
A. Penggunaan Darah1
Ketika jaringan sudah tidak hipoperfusi, dan
tidak ada keadaan-keeadaan lain seperti iskemik
miokardial, severe hipoksemia, perdarahan aktif, atau
coronary artery disease, transfusi sel darah merah
direkomendaikan ketika konsentrasi hemoglobin <7g/dl
dengan target kenaikan Hb 7-9 gr/dl (1B). Menurut
beberapa penelitan, target Hb 10-12 gr/dl dibanding
dengan target Hb 7-9 gr/dl, tidak mempunyai perbedan
yang signifikan.
Penggunaan eritropoetin untuk terapi spesifik
anemia pada pasien severe sepsis tidak
direkomendasikan, karena penelitian mengenai
pemberian eritropoetin pada pasien-pasien dengan sakit
kritis memang mengurangi jumlah tranfusi sel darah
merah, namun tidak memberikan efek yang signifikan
pada outcome pasien.
Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) tidak
disarankan untuk memperbaik nilai abnormal
pembekuan darah tanpa adanya perdarahan atau
prosedur invasif.
Penggunaan antitrombin untuk pasien severe
sepsis atau syok sepsis tidak direkomdasikan (1B).
Penggunaan antitrombin dapat meningkatkan resiko
perdarahan ketika penggunaan heparin digunakan.
Pada pasien dengan severe sepsis, pemberian
trombosit profilaksis disarankan diberikan bila
trombosit < 10.000/mm3 tanpa ada tanda-tanda
perdarahan, dan bila trombosit < 20.000/mm3 jika
pasien mempunyai risiko perdarahan (suhu tubuh > 38o
terdapat perdarahan minor, penurunan trombosit dengan
cepat, terdapat kelainan lain pada pembekuan darah)
15
yang signifikan. Operasi atau invasif prosedur dapat
dilakukan jika jumlah trombosit > 50.000/mm3 (2D).
B. Imunoglobulin
Penggunaan intravena imunoglobulin tidak
disarankan pada pasien dengan severe sepsis atau syok
sepsis (2B) karena tidak ada efek keuntungan yang
didapat.1
C. Selenium
Selenium digunakan untuk meningkatkan kadar
selenium yang berkurang akibat sepsis, dan untuk
mengurangi radikal bebas. Namun beberapa penelitian
mengatakan, bahwa pemberian selenium intravena tidak
mempunyai dampak yang signifikan untuk penanganan
sever sepsis.1
D. Pernapasan Mekanik pada Sepsis yang
Menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ADRS)1
Definisi ARDS adalah ARDS mild PaO2/FiO2 ≤
300 mmHg, moderate ≤ 200 mmHg, dan severe <
100mmHg. Volum tidal yang digunakan pada pasien
ARDS adalah 6 ml/kgbb dan plateu pressure pada
pengembangan paru yang pasif digunakan tekanan <30
cmH2O. Pembatasan volum dan tekanan pada ventilasi
menyebabkan hiperkapnia. Apabila tidak ada kontra
indikasi untuk hipekapnia, hal ini dapat di toleransi.
Pemberian natrium bikarbonat dapat diberikan kepada
orang-orang tertentu agar dapat dikondisikan
hiperkapnia.
. Menurut beberapa penelitian, pemberian volum
yang kecil pada penggunaan ventilator menurunkan
resiko terjadinya ARDS. Volume tidal dan pressure
16
plateau yang besar harus dihindari pada pasien-pasien
yang beresiko terjadi ARDS, termasuk pasien sepsis.
Positive end respiratory pressure (PEEP)
merupakan tekanan positif yang diberikan pada akhir
ekspirasi agar alveolus tidak kolaps. Penelitian
metaanalisis menunjukan tidak terdapat keuntungan
menggunakan positive end respiratory pressure (PEEP)
pada pasien ARDS mild, sedangkan pada pasien ARDS
moderate sampai severe dapat menurunkan mortality.
Terdapat dua pilihan dalam menggunakan PEEP, yang
pertama perhitungan PEEP berdasarkan pengukuran
thoracopulmonary compliance, yang dapat diukur
secara objektif dengan melihat keseimbangan
pengambilan udara oleh paru-paru dan distensi
berlebihan yang terjadi. Pilihan ke dua adalah dengan
meningkatkan PEEP berdasarkan kekurangan yang
diukur dari FiO2 untuk menjaga agar terjadi oksigenasi
yang adekuat. PEEP >5 cmH2O biasa diperlukan untuk
mencegah paru-paru menjadi kolaps.
Beberapa penelitian kecil dan penelitian besar
pada pasien ARDS menunjukan, prone position akan
memperbaik oksigenasi, namun tidak berhubungan
dengan angka mortalitas. Penelitian metaanalisis lain
menunjukan bahwa terdapat keuntungan melakukan
prone position pada pasien dengan hipoksemia yang
berat dan PaO2/FiO2 < 100mmHg, namun tidak pada
tingkat ARDS yang lebih ringan. Porne position
berhubungan dengan komplikasi yang mengancam
nyawa, yaitu pergeseran endotracheal tube.
Pasien dengan ventilasi mekanik sebaiknya
diposisikan head up 30-45o untuk mencegah terjadinya
aspirasi dan untuk mencegah terjadinya VAP. Posisi
supine di lakukan bila diperlukan, misalnya pada
17
keadaan hipotensi. Pasien tidak boleh diberikan makan
dalam posisi supine.
Pasien dengan ARDS yang ringan, sebaiknya
dilakukan noninvasif mask ventilation(NIV). Hal ini
menguntungkan, karena pasien dapat berkomunikasi,
menurunkan resiko infeksi, dan menurunkan
penggunaan sedasi. NIV dapat dilakukan pada pasien
yang memberikan respon baik terhadap tekanan yang
rendah dari ventilasi mekanik dan PEEP, hemodinamik
yang stabil, dapat sadar dengan mudah, dapat
melindungi jalan napas dan secara sopntan dapat
membersihkan jalan napas dari sekret. Sayangnya,
pasien-pasien seperti ini sangat jarang.
Pada pasien severe sepsis yang menggunakan
ventilator, dapat dilakukan percobaan untuk bernapas
spontan secara reguler. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui kemampuan pasien bernapas secara
spontan. Pasien dapat bernapas secara spontan bila
memenuhi kriteria, pasien sadar, keadaaan
hemodinamik stabil (tanpa obat-obatan vasopressor),
tidak ada keadaan baru yang menyebabkan kondisinya
menjadi serius, kebutuhan PEEP rendah, kebutuhan
FiO2 yang digunakan rendah, sehingga bisa
menggunakan nasal kanul. Bila pasien sudah dapat
bernapas dengan spontan, tindakan ekstubasi perlu
dipertimbangkan.
Penggunaan kateter arteri pulmonal sebaiknya
tidak rutin dilakukan. Hal ini hanya dilakukan bila
pengambilan keputusan yang penting mengharuskan
diketahuinya pengukuran dari hasil kateter arteri
pulmonari.
Manajemen cairan konservatif, yaitu manajemen
yang membatasi pemberian cairan dan meningkatkan
urine output untuk mengurangi edema paru. Risiko yang
18
terjadi pada manajemen cairan ini adalah penuruan
cardiac output, dan memperburuk fungsi organ lain
selain paru.5
Manajemen cairan ini direkomendasikan untuk
pasien sepsis yang mengakibatkan ARDS yang tidak
menunjukan gejala hipoperfusi. Mekanisme terjadinya
edema pulmo terjadi karena peningkatan permeabilitas
kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik, dan penurunan
tekanan onkotik. Penelitian menunjukan bahwa
penurunan berat badan akan memperbaiki oksigenisasi
dan lamanya penggunaan ventilator. Manajemen cairan
konservatif bertujuan untuk meminimaliskan infus dan
penambahan berat badan. Hal ini dapat dinilai dari
pengukran central venousus catheter (CVP<4mmHG)
atau kateter arteri pulmonari (< 8mmHg).
Apabila tidak terdapat indikasi, seperti
bronkospasme atau hiperkalemi, penggunaan β2
agonis, baik secara intravena atau aerosol, tidak
direkomendasikan. β2 agonis dapat mempercepat
penyerapan alveolar edema, namun penelitian RCT
menyatakan bahwa pada responden yang diberikan
albuterol mengalami keterlambatan pelepasan ventilasi
mekanik dibanding responden yang diberikan placebo.
Angka kematian sebelum keluar dari rumah sakit adalah
23% pada responden yang diberika albuterol dibanding
dengan responden yang menggunakan placebo yaitu
17,7%.
E. Sedasi, Analgetik, Neuromuskular Bloker pada
Pasien Sepsis1
Pemberian sedasi, baik secara kontinu atau
interminten, dilakukan secara mininal pada pasien
sepsis yang menggunakan ventilasi. Hal ini terbukti dari
penelitian yang dilakukan kepada pasien dengan sakit
19
kritis. Pada penelitian ini, penggunaan sedasi yang
minimal dapat mengurasi durasi penggunaan ventilasi
mekanik, perawatan di ICU, lama perawatan di rumah
sakit, dan trakeostomi.
Pemberian neuromuskular bloker agent
(NMBA) tidak direkomendasikan pada pasien sepsis
tanpa ARDS. Hal ini untuk mengurangi risiko
terjadinya efek NMBA yang berkepanjangan setelah
NMBA di stop. Apabila NMBA harus diberikan, baik
secara intermiten atau kontinu, monitoring train of four
sebaiknya dilakukan. NMBA yang disarankan untuk
pasien sepsis yang mengakibatkan ARDS pada tahap
awal dan PaO2/FiO2 <150 mmHg adalah NMBA
dengan kerja pendek (<48 jam). Pemberian NMBA di
ICU biasanya digunakan untuk penggunaan ventilator.
Apabila diberikan dengan tepat, maka NMBA dapan
memperbaiki compliance dari dinding dada, mencegah
dissinkronisasi respirasi dan mengurangi tekanan peak
airway. Monitoring yang dilakukan berguna agar pasien
tersebut lebih cepat pulih dari efek NMBA dan
mempersingkat masa intubasi.
F. Kontrol Kadar Glukosa1
Rekomendasi penggunaan insulin pada pasien
ICU dengan severe sepsis adalah ketika kadar gula
darah > 180 mg/dl. Target gula darah yang ingin dicapai
adalah <180 mg/dl. Monitoring gula darah setiap 1 jam
sampai 2 jam sekali sampai kadar gula dan infus insulin
stabil, kemudian dilakukan pengukuran setiap 4 jam.
Infus insulin, terutama pada pasien dengan
cessation nutrition, mempunyai resiko terjadi
hipoglikemik. Keseimbangan nutrisi mengurangi
terjadinya hipoglikemia. Beberapa penelitian
menyatakan variasi kadar glukosa dalam suatu waktu
20
sangat menentukan angka mortalitas. Hiperglikemia dan
variasi kadar glukosa tidak mempunyai hubungan
dengan peningkatan angka kematian pada pasien
diabetes dibanding dengan pasien non diabetes
G. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal kontinu dan intermiten
hemodialisis mempunyai manfaat yang sama dan
disarankan kepada pasien severe sepsis dan gagal ginjal
akut. Terapi pengganti ginjal intermitan mempunyai
risiko terjadinya sistemik hipotensi (muncul pada 20-
30% pada pasien yang melakukan terapi pengganti
ginjal intermiten), sehinnga penggunaan terapi kontinu
disarankan untuk memfasilitasi manajemen
keseimbangan cairan pada keadaan hemodinamik yang
tidak stabil pada pasien sepsis. Dosis yang digunakan
untuk terapi kontinu ginjal adalah 20-25 mg/kbb/jam.1,6
H. Terapi Bikarbonat
Terapi bikarbonat dengan tujuan memperbaiki
hemodinamik atau mengurangi penggunaan vasopressor
pada pasien hipoperfusi yang menyebabkan laktat
asidosis dengan pH > 7,15 tidak direkomendasikan.1
I. Profilaksis Deep Vein Trombosis (DVT)
Pasien yang mengalami severe sepsis,
direkomendasikan untuk mendapatkan obat anti
trombolitik low molekular weight heparin (LMWH) dua
kali sehari. Jika bersihan kreatinin <30ml/min,
direkomendasikan menggunakan delta heparin (1A)
atau bentuk lain dari LMWH yang mempunyai
metabolisme rendah di ginjal (2C).
Pasien dengan severe sepsis disarankan untuk
diberikan pengobatan kombinasi antara farmakologi dan
pneumatic compression bila memungkinkan (2C).
21
Apabila terdapat kontra indikasi penggunaan
heparin,seperti trombositopenia, severe koagulasi,
perdarahan intrakranial, perdarahan aktif,
direkomendasikan untuk tidak mendapatkan profilaksis
heparin (1C). Pasien dengan keadaan seperti ini,
disarankan untuk mendapatkan profilaksis dengan cara
menggunakan graduated compression stocking (GCS)
atau intermitten pneumatic compression (IPC) (2C).
Graduated compression stocking yaitu suatu Stockings
khusus yang di pasang agar kaki mendapatkan tekanan.
Tekanan ini semakin lama akan semakin meningkat.
Intermitten pneumatic compression adalah suatu alat
yang dapat di pasang di kaki dan dapat di isi dengan
udara sehingga menghasilkan tekanan pada kaki. GCS
dan IPC mempunyai efektifas yang sama.1,7
J. Profilaksis Ulkus pada Saluran Pencernaan Bagian
Bawah1
Rekomendasi pencegahan terhadap ulkus pada
saluran pencerrnaan bagian bawah adalah pengguaan
proton H2 bloker atau proton pump inhibitor (PPI) yang
diberikan pada pasien sever sepsis yang mempunyai
resiko perdarahan seperti koagulopati, penggunaan
ventilasi mekanik minimal 48 jam, hipotensi (1B).
Pasien tanpa faktor resiko perdarahan,
disarankan untuk tidak mendapatkan profiaksis (2B).
K. Nutrisi1
Pemberian makanan secara oral atau enteral
diberikan sesuai toleransi, lebih disarankan daripada
puasa atau pemberian infus glukosa dalam 48 jam
setelah diagnosis severe sepsis atau septik syok
ditegakan (2C). Pemberian makanan enteral dini secara
teori dapat meningkatkan integritas usus, pencegahan
22
translokasi bakteri, dan menghindari kegagalan organ,
namun beresiko untuk terjadinya iskemik pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil. Namun banyak
penelitian yang memberikan hasil berbeda-beda dari
angka mortilitas, dari penelitain tersebut,terdapat
keuntungan sekunder yang menunjukan hal ini dapat
menurunkan insiden komplikasi infeksi, mengurangi
lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan lamanya
waktu dirawat dirumah sakit.
Pemberian kalori secara penuh pada minggu
pertama tidak disarankan. Pemberian makan disarankan
menggunakan kalori dosis rendah (500 kkal/hari) (2B).
Pemberian nutrisi dengan kalori penuh dapat
menyebabkan meningkatnya resiko terjadi komplikasi
infeksi.
Kombinasi enteral nutrisi dan pemberian
glukosa intravena nutrisi lebih disarankan dibandingkan
pemberian total parenteral nutrisi atau kombinasi
parenteral dan enteral nutrisi dalam 7 hari pertama
setelah didiagnosis severe sepsis atau septik syok (2B).
Penggunan suplemen imunomodulasi tidak
disarankan pada penderita severe sepsis (2C).
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et all : Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis
and Septic Shock. CCM Journal 2012;41(2): 1-58
2. Moore LJ et al. Validation of a Screening Tool for The Early
Identificaton of Sepsis. J Trauma 2009; 66(6): 1539-46.
3. Christoper B et al. Contemporary Reviews in Cardiovascular
Medicine: Inotropes and Vasopreesors. Circulation2008; 118: 1047-
1056.
4. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. Ed 2004. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Dipenegoro;2004. Hlm 21-26.
5. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network : Comparison of
Two Fluid-Management Strategies in Acute Lung Injury. N Engl J Med
2006; 354:2564-2575.
6. Tolwani A : Continuous Renal-Replacement Therapy for Acute Kidney
Injury. N Engl J Med 2012; 367:2505-2514
7. Morris RJ , Woodcock JP : .Intermittent pneumatic compression or
graduated compression stockings for deep vein thrombosis
prophylaxis? A systematic review of direct clinical comparisons.Ann
Surg 2010: Mar;251(3):393-6.
24