Sepsis

39
BAB I PENDAHULUAN Sepsis adalah suatu proses sistemik, yang merusak tubuh host karena infeksi, yang mengakibatkan severe sepsis dan sepsis syok. Keadaan severe sepsis dan sepsis syok merupakan masalah kesehatan yang mengenai jutaan orang di dunia. Angka kematian 1 dari 4 orang yang terkena dan insidennya semakin meningkat. 1 Seperti keadaan politrauma, akut miokardial infrak, atau strok, yang memerlukan penanganan cepat, begitu juga keadaan sepsis, semakin cepat dan tepat penanganan, maka semakin baik hasil akhir yang didapatkan. 1 Guideline ini dibuat sebagai panduan bagi para klinisi, namun keputusan tetap ada pada tangan klinisi, karena mereka yang menangani pasien secara langsung dan setiap pasien mempunyai situasi yang unik. 1 Terdapat keterbatasan sumber daya dan situasi pada masing-masing negara, sehingga guideline ini dibuat sebagai panduan yang terbaik, bukan panduan standart penanganan sepsis. 1 1

description

k

Transcript of Sepsis

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah suatu proses sistemik, yang merusak tubuh host karena

infeksi, yang mengakibatkan severe sepsis dan sepsis syok. Keadaan severe

sepsis dan sepsis syok merupakan masalah kesehatan yang mengenai jutaan

orang di dunia. Angka kematian 1 dari 4 orang yang terkena dan insidennya

semakin meningkat.1

Seperti keadaan politrauma, akut miokardial infrak, atau strok, yang

memerlukan penanganan cepat, begitu juga keadaan sepsis, semakin cepat dan

tepat penanganan, maka semakin baik hasil akhir yang didapatkan. 1

Guideline ini dibuat sebagai panduan bagi para klinisi, namun

keputusan tetap ada pada tangan klinisi, karena mereka yang menangani

pasien secara langsung dan setiap pasien mempunyai situasi yang unik. 1

Terdapat keterbatasan sumber daya dan situasi pada masing-masing

negara, sehingga guideline ini dibuat sebagai panduan yang terbaik, bukan

panduan standart penanganan sepsis. 1

1

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Septik

Sepsis didefinisikan sebagai penyakit infeksi dengan

manifestasi berupa gangguan sistemik tubuh. Sepsis beratdidefinisikan

sebagai sepsis yang menginduksi disfungsi organ tubuh atau

hipoperfusi jaringan. Sepsis yang menginduksi hipotensi didefinisikan

sebagai sepsis yang mengakibatkan tekanan darah sistolik <90mmHg

atau Mean Arterial Pressure (MAP) <70mmHg atau tekanan darah

sistolik berkurang hingga >40mmHg. Syok septik terjadi bila sepsis

yang menginduksi hipotensi tetap bertahan walaupun resusitasi cairan

yang adekuat telah diberikan. Sepsis yang menginduksi hipoperfusi

jaringan didefinisikan sebagai infeksi yang menyebabkan hipotensi,

peningkatan laktat, atau oligouria.1

2. Surviving Sepsis Campaign: Panduan Tatalaksana pada Sepsis

Berat dan Syok Septik

1. Resusitasi Awal

Resusitasi awal sepsis harus dilakukan segera setelah

sepsis di ketahui. Tujuan dari resusitasi awal ini antara lain

untuk memulihkan volume intravaskular, menentukan sumber

infeksi, memulai terapi antimikroba spektrum luas, dan

mengendalikan sumber infeksi. Banyak institusi yang telah

mengembangkan penggunaan protokol standar untuk mengatasi

pasien yang mengalami sepsis. Prinsip utama resusitasi awal

dapat dimulai di setiap area rumah sakit dan tidak boleh ditunda

menunggu masuk ICU. Membuat akses ke intravena

merupakan langkah pertama yang penting karena hal ini

memungkinkan kita untuk memberikan cairan IV dan

antimikroba spektrum luas kepada pasien. Resusitasi dilakukan

2

terhadap pasien dengan sepsis yang menginduksi hipoperfusi

jaringan (hipotensi yang bertahan setelah pemberian cairan awal

atau konsentrasi laktat darah ≥4mmol/L). Tujuan insial resusitasi

dilakukan terpadap pasien sepsis yang menginduksi hipoperfusi

jaringan dalam 6 jam pertama adalah:

CVP 8-12mmHg

MAP ≥65mmHg

Urine Output ≥0,5 mL/Kg/jam

Superior vena cava oxygenation saturation (Scvo2) or

mixed venous oxygen saturation (Svo2) 70% or 65%

Resusitasi juga bertujuan untuk menormalkan kadar laktat

pasien karena peningkatan kadar laktat menunjukkan adanya

hipoperfusi jaringan.1

A. Skrining Sepsis

Menurut Moore LJ skrining agresif terhadap

sepsis dapat meningkatkan deteksi dini dan menurunkan

angka kematian akibat sepsis karena memungkinkan

penatalaksanaan awal terapi sepsis.Moore dan LJ

mengembangkan 3 tahap cara melakukan skrining

sepsis .Pasien yang berada di ruang perawatan intensif

dimonitor dua kali sehari oleh perawat. Tahap pertama

yang diperhatikan pada skirining ini adalah respon

inflamasi sistemik (denyut jantung, suhu, jumlah sel

darah putih, dan pernapasan). Setiap komponen

memiliki nilai 0-4. Pasien dengan nilai ≥ 4 berarti

memiliki skrining positif dan dilanjutkan dengan

skrining tahap berikutnya, yaitu sumber infeksi. Jika

pasien memiliki hasil skrining positif baik pada respon

inflamasi sistemik maupun sumber infeksi, maka

3

penatalaksanaan sepsis harus dilakukan terhadap pasien. 1,2

4

5

B. Diagnosa Sepsis

Kriteria Diagnosis pada Pasien SepsisGeneral variablesFever (> 38.3°C)Hypothermia (core temperature < 36°C)Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for ageTachypneaAltered mental statusSignificant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetesInflammatory variablesLeukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1)Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1)Normal WBC count with greater than 10% immature formsPlasma C-reactive protein more than two sd above the normal valuePlasma procalcitonin more than two sd above the normal valueHemodynamic variablesArterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sdbelow normal for ageOrgan dysfunction variablesArterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/LCoagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)Ileus (absent bowel sounds)Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1)Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)Tissue perfusion variablesHyperlactatemia (> 1 mmol/L)Decreased capillary refill or mottling

6

Kriteria Diagnosis pada Pasien Severe SepsisSepsis-induced hypotensionLactate above upper limits laboratory normalUrine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitationAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection sourceAcute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection sourceCreatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L)Platelet count < 100,000 μLCoagulopathy (international normalized ratio > 1.5)

Diagnosis terhadap sepsis juga dapat dilakukan

dengan mengkultur mikroba penyebab sepsis sebelum

terapi antimikroba diberikan namun kultur tidak boleh

menyebabkan penundaan yang signifikan (>45 menit)

terhadap penatalaksanaan antimikroba. Untuk

mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab

sepsis, setidaknya dibuat dua set kultur darah (aerobik

dan anaerobik) yang diambil secara perkutan dan

melalui perangkat akses vaskuler, kecuali perangkatnya

baru (<48 jam). Kultur dari cairan tubuh lain (urin,

cairan serebrospinal, luka, sekret pernapasan) yang

menjadi sumber infeksi juga harus diperhatikan sebelum

terapi antimikroba. Studi pencitraan juga dapat

dilakukan segera untuk mengetahui sumber infeksi

potensial. 1

C. Terapi Antimikrobial

7

Terapi antimikroba IV merupakan salah satu

kumponen penting dari resusitasi inisial pada pasien

sepsis. Antimikroba diberikan setelah kultur dilakukan

tetapi tidak boleh lebih dari 1 jam setelah sepsis

teridentifikasi. Kumar et al menemukan bahwa setiap

penundaan lebih dari 1 jam terhadap pemberian

antimikroba berhubungan dengan menurunnya jumlah

pasien yang selamat sebanyak 7,6%. Pemilihan

antimikroba yang akan diberikan berhubungan dengan

riwayat pasien (alergi obat dan antimikroba yang

terakhir kali diberikan), kemungkinan sumber infeksi,

dan antibiogram spesifik rumah sakit. Surviving Septic

Campaign Guideline merekomendasikan terapi inisial

anti infeksi empirik yaitu bila satu atau lebih obat

berkerja terhadap semua kemungkinan patogen (bakteri,

jamu, virus) atau obat yang memiliki konsentrasi

penetrasi adekuat kedalam jaringan yang dianggap

sebagai sumber infeksi. Antimikroba dapat berupa

antibiotik IV spektrum luas yang harus dievaluasi setiap

hari untuk mencegah terjadinya resistensi obat, durasi

dari terapi antimikroba ini 7-10 hari. Procalcitonin atau

biomarker yang serupa dapat membantu klinisi dalam

menentukan penghentian antibiotik empirik terhadap

pasien yang awalnya menunjukkan gejala sepsis namun

tidak memiliki bukti adanya infeksi. Pada pasien dengan

8

kasus-kasus tertentu seperti pasien dengan severe sepsis

yang mengalami neutropenia, terinfeksi bakteri patogen

yang resisten terhadap obat kombinasi seperti

Acinetobacter dan pseudomonas spp, dapat diberikan

terapi kombinasi yang tidak boleh dilanjutkan lebih dari

3-5hari.1,2

D. Pengendalian Sumber Infeksi

Salah satu komponen dari resusitasi awal pada

sepsis adalah mengidentifikasi dan mengendalikan

sumber infeksi. Contoh yang sedarhana seperti

mengganti peralatan akses vaskular yang

terkontaminasi. Pada pasien bedah, perut merupakan

tempat infeksi ≥50% kasus. Pasien-pasien ini sering

memerlukan diagnostik pencitraan untuk

mengidentifikasi sumber infeksi dan menentukan

prosedur operasi sehingga sumber dapat di kendalikan.

Hal ini meliputi debridemen jaringan nekrotik, drainase

abses, mengganti peralatan akses vaskular yang

terkontaminasi, dan laparatomi eksplorasi.2

2. Penunjang Hemodinamik dan Terapi Adjuvant

A. Resusitasi Cairan

Sejak awal 1940-an, pemulihan volume

intravaskular telah dianut sebagai intervensi penting

dalam resusitasi syok. Namun, kontroversi telah

9

bertahan mengenai cairan resusitasi yang optimal untuk

digunakan. Ada beberapa perbedaan mendasar antara

kristaloid (ringer laktat, normal saline) dan koloid

(albumin, saline hipertonik) sebagai cairan resusitasi.

Volume distribusi kristaloid secara signifikan lebih

besar daripada koloid. Oleh karena itu, rasio kristaloid

dibanding koloid pada penginfusan adalah 3:1.

Pendukung resusitasi kristaloid menyatakan bahwa

kristaloid dapat mengganti defisit volume cairan

interstitial yang berkurang pada syok dini, risiko

minimal akan terjadinya reaksi anafilaktoid,

penggantian kehilangan volume dengan larutan

fisiologis yang seimbang, dan biaya yang harus

dikeluarkan menurun. Pendukung resusitasi koloid

menyatakan bahwa pada syok septik terjadi vasodilatasi

dan kebocoran kapiler difus sehingga koloid dengan

berat molekul sedang dapat lebih cepat dalam

memulihkan volume intravaskular dan mengurani

terjadinya edema interstitial. Bagaimanapun kristaloid

dipilih sebagai cairan awal dalam resusitasi sepsis berat

dan syok septik. Albumin digunakan ketika pasien

memerlukan sejumlah besar kristaloid. Jika koloid

diberikan, maka jumlah yang harus masuk pada 30

menit pertama sebesar 300-500 cc. Jika kristaloid

diberikan, maka jumlah cairan yang harus masuk pada

10

30 menit pertama sebesar 1000 cc. Cairan dapat

ditambah sesuai kebutuhan pasien. Protokol ini harus

dilakukan secepat mungkin setelah hipoksia jaringan

teridentifikasi sehingga perfusi okesigen ke jaringan

dapat lebih adekuat dan mencegah hipoksia lebih

lanjut.1,2

B. Vasopresor

Syok septik menyebabkan vasodilatasi terkait

dengan cardiac output yang tinggi dan resistensi

pembuluh darah sistemik yang rendah. Oleh karena itu

terapi vasopresor awal dapat digunakan untuk

memulihkan tonus vaskuler. Terdapat beberapa jenis

obat vasopresor. Norepinefrin dan dopamin merupakan

agen lini pertama untuk pengobatan syok septik. Agen

ini harus diberikan melalui kateter vena sentral.

Norepinefrin merupakan agonis reseptor adrenergik α1

yang menyebabkan vasokonstriksi luas dan memiliki

sedikit efek terhadap denyut jantung maupun stroke

volume. Penggunaan norepinefrin dalam waktu lama

dapat menyebabkan efek toksis terhadap miokard

jantung dengan menginduksi apoptosis dengan aktivasi

protein kinase A dan meningkatkan influks Ca2+.

Dopamin berikatan dengan reseptor adrenegik β1,

menstimulus pengeluaran norepinefrin. Pemberian dosis

yang lebih besar dopamin yang berikatan dengan

11

reseptor adrenergik α1 menyebabkan vasokonstriksi.

Dopamine sebagai agen vasopresor alternatif dari

norepinefrin hanya pada pasien tertentu (misalnya

pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardi

absolut atau relative). Penambahan vasopresin mungkin

bermanfaat.Vasopresin atau hormon antidiuretik

berikatan dengan reseptor V1a yang menstimulus otot

polos vaskuler dan berikatan dengan reseptor V2 yang

menstimulus reabsorbsi air pada duktus koletikus renal.

Fenilefrin berikatan kuat dengan reseptor adrenergik

αtapi tidak berikatan dengnan reseptor adrenergik β.

tidak direkomendasikan pada terapi syok sepsis kecuali

pada keadaan dimana (a) norepinefrin berhubungan

dengan aritmia yang serius, (b) cardiac output diketahui

tinggi dan tekanan darah persisten rendah, atau (c)

sebagai salvage therapy ketika dikombinasikan dengan

obat inotropik/vasopresor dan dosis rendah vasopresin

gagal mencapai MAP yang ditargetkan.1-4

C. Inotropik

Pada pasien sepsis meskipun resusitasi cairan

telah adekuat, perfusi jaringan yang baik akan sulit

tercapa bila terjadi gangguan kontraktilitas miokardium.

Oleh karena itu dapat diberikan obat-obatan inotropik

seperti dobutamin jika terjadi gangguan kontaktilitas

miokard. Dobutamine adalah sintetik katekolamin yang

12

berikatan kuat dengan reseptor β1 dan β2 adrenergik.

Dobutamin memiliki efek intropik yang kuat namun

efek kronotropik y ang lemah. Sebuah percobaan

dengan infus dobutamine hingga 20 mikrogram

/kg/menit dimasukkan atau ditambahkan pada

vasopresor (jika digunakan) dalam keadaan (a)

disfungsi miokard yang diperkirakan dari peningkatan

tekanan pengisian jantung dan cardiac output yang

rendah, atau (b) sedang berlangsung tanda-tanda

hipoperfusi, walaupun telah mencapai volume

intravaskular yang adekuat dan MAP yang adekuat.3,5

13

D. Kortikosteroid1

Penggunaan hidrokortison sebagai terapi pada

pasien syok sepsis tidak disarankan selama kestabilan

hemodinamik yang masih dapat dicapai dengan

pemberian resusitasi cairan dan vasopresor. Apabila

keadaan hemodinamik tidak dapat distabillkan,

intravena hidrokortison 200 mg/hari direkomendasikan.

Penggunaan tes stimulasi ACTH untuk

mengetahui apakah pasien dengan syok sepsis

sebaiknya menerima hidrokortison atau tidak, tidak di

sarankan.

Pemberian kortikosteroid dihentikan ketika

kebutuhan untuk menggunakan vasopresor sudah tidak

dibutuhkan lagi (2D).

Penggunaan kortikosteroid tidak

direkomendasikan kepada pasien sepsis yang tidak

syok. (1D). Hal ini dikarenakan manfaat pemberian

kortikosteroid untuk mencegah syok dari pasien sepsis,

belum jelas.

Pemberian hidrokortioson sebaiknya

menggunakan infus yang kontinu dibanding dengan

pemberian bolus (2D). Beberapa penelitan RCT

menyatakan pemberian hidrokortison dosis rendah

memberikan efek samping hiperglikemi dan

hipernatremi. Pemberian hidrokortison menggunkanan

bolus menunjukan peninggkatan hiperglikemi dan

hipernatremi yang signifikan dibanding pemberian infus

yang kontinu. Meskipun belum ada penelitian mengenai

hubungan hiperglikemi dan hipernatremi karena

penggunaan hidrokortison dengan severe sepsis,

pemberian hidrokortison dengan infus kontinu tetap

disarankan karena tindakan pencegahan selalu lebih

baik.

14

3. Terapi Penunjang Sepsis Berat

A. Penggunaan Darah1

Ketika jaringan sudah tidak hipoperfusi, dan

tidak ada keadaan-keeadaan lain seperti iskemik

miokardial, severe hipoksemia, perdarahan aktif, atau

coronary artery disease, transfusi sel darah merah

direkomendaikan ketika konsentrasi hemoglobin <7g/dl

dengan target kenaikan Hb 7-9 gr/dl (1B). Menurut

beberapa penelitan, target Hb 10-12 gr/dl dibanding

dengan target Hb 7-9 gr/dl, tidak mempunyai perbedan

yang signifikan.

Penggunaan eritropoetin untuk terapi spesifik

anemia pada pasien severe sepsis tidak

direkomendasikan, karena penelitian mengenai

pemberian eritropoetin pada pasien-pasien dengan sakit

kritis memang mengurangi jumlah tranfusi sel darah

merah, namun tidak memberikan efek yang signifikan

pada outcome pasien.

Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) tidak

disarankan untuk memperbaik nilai abnormal

pembekuan darah tanpa adanya perdarahan atau

prosedur invasif.

Penggunaan antitrombin untuk pasien severe

sepsis atau syok sepsis tidak direkomdasikan (1B).

Penggunaan antitrombin dapat meningkatkan resiko

perdarahan ketika penggunaan heparin digunakan.

Pada pasien dengan severe sepsis, pemberian

trombosit profilaksis disarankan diberikan bila

trombosit < 10.000/mm3 tanpa ada tanda-tanda

perdarahan, dan bila trombosit < 20.000/mm3 jika

pasien mempunyai risiko perdarahan (suhu tubuh > 38o

terdapat perdarahan minor, penurunan trombosit dengan

cepat, terdapat kelainan lain pada pembekuan darah)

15

yang signifikan. Operasi atau invasif prosedur dapat

dilakukan jika jumlah trombosit > 50.000/mm3 (2D).

B. Imunoglobulin

Penggunaan intravena imunoglobulin tidak

disarankan pada pasien dengan severe sepsis atau syok

sepsis (2B) karena tidak ada efek keuntungan yang

didapat.1

C. Selenium

Selenium digunakan untuk meningkatkan kadar

selenium yang berkurang akibat sepsis, dan untuk

mengurangi radikal bebas. Namun beberapa penelitian

mengatakan, bahwa pemberian selenium intravena tidak

mempunyai dampak yang signifikan untuk penanganan

sever sepsis.1

D. Pernapasan Mekanik pada Sepsis yang

Menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome

(ADRS)1

Definisi ARDS adalah ARDS mild PaO2/FiO2 ≤

300 mmHg, moderate ≤ 200 mmHg, dan severe <

100mmHg. Volum tidal yang digunakan pada pasien

ARDS adalah 6 ml/kgbb dan plateu pressure pada

pengembangan paru yang pasif digunakan tekanan <30

cmH2O. Pembatasan volum dan tekanan pada ventilasi

menyebabkan hiperkapnia. Apabila tidak ada kontra

indikasi untuk hipekapnia, hal ini dapat di toleransi.

Pemberian natrium bikarbonat dapat diberikan kepada

orang-orang tertentu agar dapat dikondisikan

hiperkapnia.

. Menurut beberapa penelitian, pemberian volum

yang kecil pada penggunaan ventilator menurunkan

resiko terjadinya ARDS. Volume tidal dan pressure

16

plateau yang besar harus dihindari pada pasien-pasien

yang beresiko terjadi ARDS, termasuk pasien sepsis.

Positive end respiratory pressure (PEEP)

merupakan tekanan positif yang diberikan pada akhir

ekspirasi agar alveolus tidak kolaps. Penelitian

metaanalisis menunjukan tidak terdapat keuntungan

menggunakan positive end respiratory pressure (PEEP)

pada pasien ARDS mild, sedangkan pada pasien ARDS

moderate sampai severe dapat menurunkan mortality.

Terdapat dua pilihan dalam menggunakan PEEP, yang

pertama perhitungan PEEP berdasarkan pengukuran

thoracopulmonary compliance, yang dapat diukur

secara objektif dengan melihat keseimbangan

pengambilan udara oleh paru-paru dan distensi

berlebihan yang terjadi. Pilihan ke dua adalah dengan

meningkatkan PEEP berdasarkan kekurangan yang

diukur dari FiO2 untuk menjaga agar terjadi oksigenasi

yang adekuat. PEEP >5 cmH2O biasa diperlukan untuk

mencegah paru-paru menjadi kolaps.

Beberapa penelitian kecil dan penelitian besar

pada pasien ARDS menunjukan, prone position akan

memperbaik oksigenasi, namun tidak berhubungan

dengan angka mortalitas. Penelitian metaanalisis lain

menunjukan bahwa terdapat keuntungan melakukan

prone position pada pasien dengan hipoksemia yang

berat dan PaO2/FiO2 < 100mmHg, namun tidak pada

tingkat ARDS yang lebih ringan. Porne position

berhubungan dengan komplikasi yang mengancam

nyawa, yaitu pergeseran endotracheal tube.

Pasien dengan ventilasi mekanik sebaiknya

diposisikan head up 30-45o untuk mencegah terjadinya

aspirasi dan untuk mencegah terjadinya VAP. Posisi

supine di lakukan bila diperlukan, misalnya pada

17

keadaan hipotensi. Pasien tidak boleh diberikan makan

dalam posisi supine.

Pasien dengan ARDS yang ringan, sebaiknya

dilakukan noninvasif mask ventilation(NIV). Hal ini

menguntungkan, karena pasien dapat berkomunikasi,

menurunkan resiko infeksi, dan menurunkan

penggunaan sedasi. NIV dapat dilakukan pada pasien

yang memberikan respon baik terhadap tekanan yang

rendah dari ventilasi mekanik dan PEEP, hemodinamik

yang stabil, dapat sadar dengan mudah, dapat

melindungi jalan napas dan secara sopntan dapat

membersihkan jalan napas dari sekret. Sayangnya,

pasien-pasien seperti ini sangat jarang.

Pada pasien severe sepsis yang menggunakan

ventilator, dapat dilakukan percobaan untuk bernapas

spontan secara reguler. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui kemampuan pasien bernapas secara

spontan. Pasien dapat bernapas secara spontan bila

memenuhi kriteria, pasien sadar, keadaaan

hemodinamik stabil (tanpa obat-obatan vasopressor),

tidak ada keadaan baru yang menyebabkan kondisinya

menjadi serius, kebutuhan PEEP rendah, kebutuhan

FiO2 yang digunakan rendah, sehingga bisa

menggunakan nasal kanul. Bila pasien sudah dapat

bernapas dengan spontan, tindakan ekstubasi perlu

dipertimbangkan.

Penggunaan kateter arteri pulmonal sebaiknya

tidak rutin dilakukan. Hal ini hanya dilakukan bila

pengambilan keputusan yang penting mengharuskan

diketahuinya pengukuran dari hasil kateter arteri

pulmonari.

Manajemen cairan konservatif, yaitu manajemen

yang membatasi pemberian cairan dan meningkatkan

urine output untuk mengurangi edema paru. Risiko yang

18

terjadi pada manajemen cairan ini adalah penuruan

cardiac output, dan memperburuk fungsi organ lain

selain paru.5

Manajemen cairan ini direkomendasikan untuk

pasien sepsis yang mengakibatkan ARDS yang tidak

menunjukan gejala hipoperfusi. Mekanisme terjadinya

edema pulmo terjadi karena peningkatan permeabilitas

kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik, dan penurunan

tekanan onkotik. Penelitian menunjukan bahwa

penurunan berat badan akan memperbaiki oksigenisasi

dan lamanya penggunaan ventilator. Manajemen cairan

konservatif bertujuan untuk meminimaliskan infus dan

penambahan berat badan. Hal ini dapat dinilai dari

pengukran central venousus catheter (CVP<4mmHG)

atau kateter arteri pulmonari (< 8mmHg).

Apabila tidak terdapat indikasi, seperti

bronkospasme atau hiperkalemi, penggunaan β2

agonis, baik secara intravena atau aerosol, tidak

direkomendasikan. β2 agonis dapat mempercepat

penyerapan alveolar edema, namun penelitian RCT

menyatakan bahwa pada responden yang diberikan

albuterol mengalami keterlambatan pelepasan ventilasi

mekanik dibanding responden yang diberikan placebo.

Angka kematian sebelum keluar dari rumah sakit adalah

23% pada responden yang diberika albuterol dibanding

dengan responden yang menggunakan placebo yaitu

17,7%.

E. Sedasi, Analgetik, Neuromuskular Bloker pada

Pasien Sepsis1

Pemberian sedasi, baik secara kontinu atau

interminten, dilakukan secara mininal pada pasien

sepsis yang menggunakan ventilasi. Hal ini terbukti dari

penelitian yang dilakukan kepada pasien dengan sakit

19

kritis. Pada penelitian ini, penggunaan sedasi yang

minimal dapat mengurasi durasi penggunaan ventilasi

mekanik, perawatan di ICU, lama perawatan di rumah

sakit, dan trakeostomi.

Pemberian neuromuskular bloker agent

(NMBA) tidak direkomendasikan pada pasien sepsis

tanpa ARDS. Hal ini untuk mengurangi risiko

terjadinya efek NMBA yang berkepanjangan setelah

NMBA di stop. Apabila NMBA harus diberikan, baik

secara intermiten atau kontinu, monitoring train of four

sebaiknya dilakukan. NMBA yang disarankan untuk

pasien sepsis yang mengakibatkan ARDS pada tahap

awal dan PaO2/FiO2 <150 mmHg adalah NMBA

dengan kerja pendek (<48 jam). Pemberian NMBA di

ICU biasanya digunakan untuk penggunaan ventilator.

Apabila diberikan dengan tepat, maka NMBA dapan

memperbaiki compliance dari dinding dada, mencegah

dissinkronisasi respirasi dan mengurangi tekanan peak

airway. Monitoring yang dilakukan berguna agar pasien

tersebut lebih cepat pulih dari efek NMBA dan

mempersingkat masa intubasi.

F. Kontrol Kadar Glukosa1

Rekomendasi penggunaan insulin pada pasien

ICU dengan severe sepsis adalah ketika kadar gula

darah > 180 mg/dl. Target gula darah yang ingin dicapai

adalah <180 mg/dl. Monitoring gula darah setiap 1 jam

sampai 2 jam sekali sampai kadar gula dan infus insulin

stabil, kemudian dilakukan pengukuran setiap 4 jam.

Infus insulin, terutama pada pasien dengan

cessation nutrition, mempunyai resiko terjadi

hipoglikemik. Keseimbangan nutrisi mengurangi

terjadinya hipoglikemia. Beberapa penelitian

menyatakan variasi kadar glukosa dalam suatu waktu

20

sangat menentukan angka mortalitas. Hiperglikemia dan

variasi kadar glukosa tidak mempunyai hubungan

dengan peningkatan angka kematian pada pasien

diabetes dibanding dengan pasien non diabetes

G. Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal kontinu dan intermiten

hemodialisis mempunyai manfaat yang sama dan

disarankan kepada pasien severe sepsis dan gagal ginjal

akut. Terapi pengganti ginjal intermitan mempunyai

risiko terjadinya sistemik hipotensi (muncul pada 20-

30% pada pasien yang melakukan terapi pengganti

ginjal intermiten), sehinnga penggunaan terapi kontinu

disarankan untuk memfasilitasi manajemen

keseimbangan cairan pada keadaan hemodinamik yang

tidak stabil pada pasien sepsis. Dosis yang digunakan

untuk terapi kontinu ginjal adalah 20-25 mg/kbb/jam.1,6

H. Terapi Bikarbonat

Terapi bikarbonat dengan tujuan memperbaiki

hemodinamik atau mengurangi penggunaan vasopressor

pada pasien hipoperfusi yang menyebabkan laktat

asidosis dengan pH > 7,15 tidak direkomendasikan.1

I. Profilaksis Deep Vein Trombosis (DVT)

Pasien yang mengalami severe sepsis,

direkomendasikan untuk mendapatkan obat anti

trombolitik low molekular weight heparin (LMWH) dua

kali sehari. Jika bersihan kreatinin <30ml/min,

direkomendasikan menggunakan delta heparin (1A)

atau bentuk lain dari LMWH yang mempunyai

metabolisme rendah di ginjal (2C).

Pasien dengan severe sepsis disarankan untuk

diberikan pengobatan kombinasi antara farmakologi dan

pneumatic compression bila memungkinkan (2C).

21

Apabila terdapat kontra indikasi penggunaan

heparin,seperti trombositopenia, severe koagulasi,

perdarahan intrakranial, perdarahan aktif,

direkomendasikan untuk tidak mendapatkan profilaksis

heparin (1C). Pasien dengan keadaan seperti ini,

disarankan untuk mendapatkan profilaksis dengan cara

menggunakan graduated compression stocking (GCS)

atau intermitten pneumatic compression (IPC) (2C).

Graduated compression stocking yaitu suatu Stockings

khusus yang di pasang agar kaki mendapatkan tekanan.

Tekanan ini semakin lama akan semakin meningkat.

Intermitten pneumatic compression adalah suatu alat

yang dapat di pasang di kaki dan dapat di isi dengan

udara sehingga menghasilkan tekanan pada kaki. GCS

dan IPC mempunyai efektifas yang sama.1,7

J. Profilaksis Ulkus pada Saluran Pencernaan Bagian

Bawah1

Rekomendasi pencegahan terhadap ulkus pada

saluran pencerrnaan bagian bawah adalah pengguaan

proton H2 bloker atau proton pump inhibitor (PPI) yang

diberikan pada pasien sever sepsis yang mempunyai

resiko perdarahan seperti koagulopati, penggunaan

ventilasi mekanik minimal 48 jam, hipotensi (1B).

Pasien tanpa faktor resiko perdarahan,

disarankan untuk tidak mendapatkan profiaksis (2B).

K. Nutrisi1

Pemberian makanan secara oral atau enteral

diberikan sesuai toleransi, lebih disarankan daripada

puasa atau pemberian infus glukosa dalam 48 jam

setelah diagnosis severe sepsis atau septik syok

ditegakan (2C). Pemberian makanan enteral dini secara

teori dapat meningkatkan integritas usus, pencegahan

22

translokasi bakteri, dan menghindari kegagalan organ,

namun beresiko untuk terjadinya iskemik pada pasien

dengan hemodinamik tidak stabil. Namun banyak

penelitian yang memberikan hasil berbeda-beda dari

angka mortilitas, dari penelitain tersebut,terdapat

keuntungan sekunder yang menunjukan hal ini dapat

menurunkan insiden komplikasi infeksi, mengurangi

lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan lamanya

waktu dirawat dirumah sakit.

Pemberian kalori secara penuh pada minggu

pertama tidak disarankan. Pemberian makan disarankan

menggunakan kalori dosis rendah (500 kkal/hari) (2B).

Pemberian nutrisi dengan kalori penuh dapat

menyebabkan meningkatnya resiko terjadi komplikasi

infeksi.

Kombinasi enteral nutrisi dan pemberian

glukosa intravena nutrisi lebih disarankan dibandingkan

pemberian total parenteral nutrisi atau kombinasi

parenteral dan enteral nutrisi dalam 7 hari pertama

setelah didiagnosis severe sepsis atau septik syok (2B).

Penggunan suplemen imunomodulasi tidak

disarankan pada penderita severe sepsis (2C).

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et all : Surviving Sepsis

Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis

and Septic Shock. CCM Journal 2012;41(2): 1-58

2. Moore LJ et al. Validation of a Screening Tool for The Early

Identificaton of Sepsis. J Trauma 2009; 66(6): 1539-46.

3. Christoper B et al. Contemporary Reviews in Cardiovascular

Medicine: Inotropes and Vasopreesors. Circulation2008; 118: 1047-

1056.

4. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. Ed 2004. Semarang: Fakultas

Kedokteran Universitas Dipenegoro;2004. Hlm 21-26.

5. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory

Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network : Comparison of

Two Fluid-Management Strategies in Acute Lung Injury. N Engl J Med

2006; 354:2564-2575.

6. Tolwani A : Continuous Renal-Replacement Therapy for Acute Kidney

Injury. N Engl J Med 2012; 367:2505-2514

7. Morris RJ , Woodcock JP : .Intermittent pneumatic compression or

graduated compression stockings for deep vein thrombosis

prophylaxis? A systematic review of direct clinical comparisons.Ann

Surg 2010: Mar;251(3):393-6.

24