Refrat Antihistamin (New)

18
ANTIHISTAMIN Kurnia Triarieni, S.Ked Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Husein Palembang HISTAMIN Histamin merupakan amina dengan rumus kimia 2-(4- imidazol) etilamin, yang dihasilkan oleh dekarboksilasi histidin dan berfungsi sebagai perantara penting dari reaksi alergi cepat dan reaksi peradangan; berperan dalam sekresi asam lambung; dan sebagai neurotransmitter dan neuromodulator. Terdapat empat tipe reseptor histamin yaitu reseptor histamine H 1 (neuron, otot polos, epitel dan endotel), reseptor histamin H 2 (sel parietal mukosa lambung, otot polos, epitel dan endotel, dan jantung), reseptor histamin H 3 (saraf-saraf histaminergik), dan reseptor histamin H 4 (sumsum tulang dan sel hematopoietik perifer). 1 ANTIHISTAMIN Antihistamin H 1 bukan hanya berperan sebagai antagonis tetapi juga sebagai inverse agonist yang dapat menurunkan aktivitas konstitutif reseptor H 1 atau menurunkan aktivitas reseptor H 1 yang diinduksi agonis. 1

description

123

Transcript of Refrat Antihistamin (New)

Page 1: Refrat Antihistamin (New)

ANTIHISTAMIN

Kurnia Triarieni, S.Ked

Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit KelaminFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Husein Palembang

HISTAMIN

Histamin merupakan amina dengan rumus kimia 2-(4-imidazol) etilamin, yang

dihasilkan oleh dekarboksilasi histidin dan berfungsi sebagai perantara penting

dari reaksi alergi cepat dan reaksi peradangan; berperan dalam sekresi asam

lambung; dan sebagai neurotransmitter dan neuromodulator.

Terdapat empat tipe reseptor histamin yaitu reseptor histamine H1 (neuron,

otot polos, epitel dan endotel), reseptor histamin H2 (sel parietal mukosa lambung,

otot polos, epitel dan endotel, dan jantung), reseptor histamin H3 (saraf-saraf

histaminergik), dan reseptor histamin H4 (sumsum tulang dan sel hematopoietik

perifer).1

ANTIHISTAMIN

Antihistamin H1 bukan hanya berperan sebagai antagonis tetapi juga sebagai

inverse agonist yang dapat menurunkan aktivitas konstitutif reseptor H1 atau

menurunkan aktivitas reseptor H1 yang diinduksi agonis. Antihistamin H1

digunakan untuk pengobatan pruritus dengan berbagai etiologi, urtikaria, dan

angioedema. 1,4

Antihistamin H1 terbagi dalam 2 kelompok yaitu generasi pertama (sedasi)

dan generasi kedua (sedasi rendah). Antihistamin H2 digunakan untuk mengurangi

sekresi asam lambung, sedangkan kegunaannya pada kondisi dermatologi masih

belum banyak diteliti, sebagian besar digunakan pada kasus urtikaria kronik dan

angioedema yang refrakter terhadap antihistamin H1. 1,4

Peningkatan kadar histamin jaringan ditemukan pada urtikaria kronik.3

Pada percobaan Lewis dengan melakukan suntikan histamin intradermal dapat

menimbulkan respon khusus wheal and flare atau sering disebut dengan respon

tripel Lewis berupa eritema yang dimediasi oleh histamin, edema lokal dan flare

1

Page 2: Refrat Antihistamin (New)

akibat refleks akson. Efek tersebut disebabkan oleh tiga jenis sel yang berbeda

yaitu otot polos dalam mikrosirkulasi, endotel kapiler atau vena, dan ujung-ujung

saraf sensoris.4

Urtika pada urtikaria kronik idiopatik tidak mungkin disebabkan oleh

histamin karena durasi urtika berlangsung selama berjam-jam. Sedangkan gatal

pada urtikaria kronik idiopatik secara umum disebabkan oleh histamin.

Keterlibatan mediator-mediator lain selain histamin pada patologi vaskular

urtikaria kronik ditandai dengan ketidaksempurnaan pengobatan kemerahan dan

urtika dengan pemberian antihistamin H1 oral, sedangkan rasa gatal dapat

dihilangkan dengan pemberian antihistamin H1. Histamin juga berperan dalam

urtikaria vaskulitis. Pelepasan histamin lokal dari leukosit dan platelet

meningkatkan permeabilitas vena post kapiler yang menyebabkan ekstravasasi

sirkulasi imunoreaktan sehingga mengaktifkan komplemen lokal. Dampak seluler

termasuk diantaranya diapedesis leukosit, kemotaksis dan aktivasi neutrofil, dan

degranulasi yang akan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.3

Antihistamin H1

Antihistamin H1 menurunkan produksi sitokin pro-inflamasi, ekspresi molekul

adhesi sel, kemotaksis eosinofil dan beberapa sel-sel lainnya.5 Antihistamin H1

mengurangi pelepasan mediator inflamasi dari sel mast dan basofil melalui

inhibisi channel ion kalsium. Antihistamin H1 banyak mempunyai kerja yang

tidak dapat dijelaskan sebagai penghambatan kerja histamin. Sebagian dari kerja

tersebut mungkin dihasilkan dari kesamaan struktur umum terhadap struktur obat

yang mempunyai efek kolinoreseptor muskarinik, adrenoreseptor alfa, serotonin,

dan reseptor anestetik lokal.6

1) Generasi pertama (sedasi)

Farmakodinamik

Antihistamin generasi pertama dibagi berdasarkan enam bentuk struktur

kimianya, yaitu ethylendiamine, ethanolamine, alkylamine, phenotiazine,

piperazine, dan piperidine.6 Keberadaan cincin aromaterapi atau

heterosiklik dan komponen alkil meningkatkan lipofolisitas komponen

tersebut, sehingga memungkinkan penetrasi ke sawar darah otak.1

2

Page 3: Refrat Antihistamin (New)

Farmakokinetik

Efek antihistamin generasi pertama dapat diobservasi dalam 30 menit

setelah pemberian per oral dan akan bertahan selama 4-6 jam, meskipun

efeknya pada beberapa obat dapat berlangsung selama 24

jam atau lebih lama.7 Antihistamin generasi pertama dimetabolisme oleh

enzim sitikrom hati P450 (CYP) 3A4, membentuk glukoronidase sebelum

diekskresikan dalam urin.1

Pemberian oral antihistamin generasi pertama biasanya diberikan dengan

pembagian dosis pada interval 4-8 jam. Pemberian secara topikal untuk kulit

bisa digunakan namun efektivitasnya berkurang dan sering dikaitkan dengan

terjadinya reaksi kontak tipe lama (delayed contact reaction).1

2) Generasi kedua (sedasi rendah)

Farmakodinamik

Antihistamin generasi kedua secara kimia sebagian besar merupakan derivat

dari bentuk antihistamin generasi pertama.5 Sebagai contoh cetirizine

merupakan bentuk metabolit dari hydroxyzine. Antihistamin generasi kedua

berikatan secara non kompetitif pada reseptor H1, tidak mudah digantikan

oleh histamin, terdisosiasi secara lambat, dan memiliki efek yang lebih lama

dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama.6 Karena selektivitas

dan kurangnya lipofolisitas, maka obat-obatan generasi kedua lebih sedikit

menimbulkan efek sedasi.1

Farmakokinetik

Sebagian besar antihistamin generasi kedua diberikan 1 kali atau 2 kali

sehari. Antihistamin generasi kedua mencapai konsentrasi lebih tinggi di

kulit dibandingkan dengan bentuk generasi pertama. Pada dosis tunggal

dapat menekan reaksi wheal-and-flare dalam 1-24 jam dan penggunaan

yang teratur dapat memperpanjang efeknya.1

Terfenadine, atemizole, loratadine, acrivastine, mizolastine,

ebastine, dan oxatomide dimetabolisme di hati melalui enzim hepar CYP

3A4. Cetirizine, fexofenadine levocabastine dan desloratadine

3

Page 4: Refrat Antihistamin (New)

dimetabolisme secara minimal di hati sehingga mengurangi kemungkinan

interaksi dengan obat-obatan lain.7

Gambar 1. Mekanisme aksi antihistamin H1

Indikasi

Antihistamin H1 digunakan untuk pengobatan pruritus dengan berbagai etiologi,

urtikaria, dan angioedema. Antihistamin lebih efektif dalam mengobati urtikaria

fisik dan dermatografisme dibandingkan dengan urtikaria idiopatik kronik.

Efektivitasnya berkurang dalam mengobati sindrom angioedema herediter dan

didapat, serta vakulitis urtikaria. Baik generasi pertama dan generasi kedua

digunakan untuk mengobati pruritus pada pasien denga dermatitis kontak,

meskipun efektivitasnya belum teruji secara klinis. Antihistamin H1 juga sering

digunakan untuk mengobati mastositosis kutis dan sistemik. Pruritus yang

berhubungan dengan kondisi lain seperti dermatitis kontak alergi, dermatitis

eksematosa, lichen planus, mastositosis sistemik, gigitan serangga, dan pruritus

sekuder akibat penyebab medis lain (pruritus idiopatik) juga dapat ditangani oleh

antihistamin H1.1

Dosis

Pemberian dosis anjuran untuk antihistamin H1 ditunjukkan pada tabel 1.1

4

Page 5: Refrat Antihistamin (New)

Inisiasi terapi

Antihistamin H1 dipilih sebagai terapi lini pertama dalam pengobatan urtikaria

fisik dan kronik idiopatik. Dosis efektif terendah dipilih untuk meminimalkan

efek samping, terutama sedasi. Setelah beberapa hari terapi, dosis dapat dinaikkan

dan dititrasi. Kadang-kadang pemberian dosis yang meningkat secara bertahap

menyebabkan efek resisten terhadap sedasi. Pemberian obat dengan makanan

dapat mengurangi ketidaknyamanan pada saluran pencernaan. Individu dengan

kondisi komorbid, seperti penyakit hati atau ginjal, diharapkan mendapatkan dosis

yang lebih rendah akibat gangguan metabolisme obat-obatan tersebut.5

Pengamatan terapi

Titik akhir terapi diobservasi melalui tanda dan gejala klinis (misalnya keparahan

gatal; jumlah, ukuran dan frekuensi urtika). Pada beberapa individu dengan

gangguan metabolisme dan kondisi komorbid lain yang mendapatkan pengobatan

lain, diharapkan mendapatkan pengamatan dan konseling lebih lanjut. Pada

beberapa laporan dibutuhkan evaluasi transaminase pada penggunaan

cyproheptadine untuk mencegah terjadinya hepatotoksik.1

Tabel 1. Pemberian dosis antihistamin H1

5

Page 6: Refrat Antihistamin (New)

Efek samping

6

Page 7: Refrat Antihistamin (New)

Sedasi merupakan masalah utama pada penggunaan antihistamin generasi

pertama.5,6,7 Efek sedasi paling terlihat pada pemakaian obat golongan

ethanolamine dan phenothiazine dan efek sedasinya lebih rendah pada golongan

alkylamine. Efek pada sistem saraf pusat meliputi pusing, tinnitus, gangguan

koordinasi dan konsentrasi, penglihatan kabur, dan diplopia. Stimulasi sistem

saraf pusat terutama pada golongan alkylamine meliputi insomnia, gugup,

iritabilitas, dan tremor.1

Keluhan saluran pencernaan terutama pada golongan ethylendiamine

meliputi anoreksia, mual, muntah, distres epigastrik, diare, dan konstipasi.6

Efek antikolinergik meliputi mukosa kering, resistensi urin, hipotensi

postural, dizziness, disfungsi erektil, dan konstipasi. Efek samping tersebut sering

dijumpai pada penggunaan obat-obatan golongan ethanolamine, phenothiazine,

dan piperazine.5

Aritmia, khususnya interval QT memanjang, dan torsades de pointes

merupakan efek samping pada jantung yang serius.5,6

Kejadian reaksi kulit setelah pemakaian antihistamin jarang ditemui

namun beberapa diantaranya pernah dilaporkan yaitu dermatitis eksematosa,

dermatitis kontak alergi, urtikaria, peteki, erupsi obat, dan fotosensitivitas.1

Interaksi obat

Antihistamin H1 dapat berinteraksi dengan obat-obatan lain yang juga

dimetabolisme oleh sistem CYP hati, seperti imidazol, antijamur, cimetidin, dan

antibiotik makrolida.6 Diphenhydramine diketahui dapat meningkatkan kadar

obat-obatan yang dimetabolisme oleh sistem CYP 2D6, yaitu metoprolol dan

venlafaxine.1

Efek depresi sistem saraf pusat dapat ditingkatkan dengan alkohol

atau depresan sistem saraf pusat lainnya, seperti benzodiazepine. Pada kasus yang

jarang, antihistamin golongan phenothiazine dapat memblok dan membalikkan

efek vasopressor epinefrin. Sehingga penggunaan phenothiazine membutuhkan

penggunaan agen vasopressor, seperti norepinefrin atau fenilepinefrin.6

Antihistamin dalam dermatologi

1. Feksofenadin

7

Page 8: Refrat Antihistamin (New)

Farmakologi

terfenadin merupakan bentuk inaktif yang dapat menyebabkan kardiotoksik.

Terfenadin diubah oleh sistem CYP 3A4 hati menjadi bentuk metabolit

aktifnya, fexofenadin. Feksofenadin tidak dimetabolisme di hati dan

diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh. Fexofenadin siap diserap

langsung pada pemberian oral dengan kadar puncak plasma 1-3 jam setelah

pemberian. Waktu paruh 11-15 jam.8 Feksofenadin merupakan inverse

agonist reseptor H1 yang memiliki efek sedasi dan antikolinergik minimal.

Pada dosis tunggal 40 mg atau lebih, feksofenadin menghambat 79%

respon wheal and flare, berlangsung selama 12 jam.9 Pemberian feksofenadin

dengan antibiotik dan antijamur imidazol tidak menyebabkan adanya

interaksi obat, juga tidak ditemukan adanya interval QT memanjang.

Pemakaian klinis

Pemberian feksofenadin per oral dengan dosis tunggal 180 mg per hari pada

dewasa sama efektifnya dengan pemberian feksofenadin 2 x 60 mg per hari

(dosis rekomendasi) untuk terapi urtikaria kronik. Feksofenadin tidak

memerlukan penyesuaian dosis bila diberikan pada lansia dan pada pasien

dengan gangguan hati dan ginjal ringan.

2. Loratadin

Farmakologi

Loratadin merupakan antihistamin H1 long-acting trisiklik piperidin dengan

efek sedasi dan antikolinergik minimal bila dipakai sesuai dengan dosis yang

direkomendasikan. Bentuk metabolit aktifnya adalah desloratadin. Kadar

puncak plasma diraih 1-1,5 jam (2,5 jam untuk bentuk metabolit) setelah

pemberian, dengan waktu paruh rata-rata 8-11 jam (17 jam untuk

desloratadin). Gangguan hati dan ginjal serta lansia tidak berpengaruh pada

farmakologi obat.10 Namun dosis yang rendah dianjurkan bagi pasien dengan

penyakit ginjal dan kronik. Setelah pemberian dosis tunggal kapsul 10 mg.

Penekanan urtika akibat histamine intradermal dapat terdeksi dalam 12 jam,

atau bisa lebih lama setelah pemakaian dosis yang lebih besar.11

8

Page 9: Refrat Antihistamin (New)

Pemakaian klinis

Loratadin diberikan dalambentuk kapsul 10 mg dengan indikasi urtikaria

kronik pada dewasa

Interaksi obat dan kontra indikasi

Loratadin memiliki beberapa efek pada fungsi channel potassium miokard,

tetapi tidak menyebakan disritmia jantung.12 Pemberian obat-obatan yang

dapat berinteraksi dengan inhibitor CYP3A (antibiotic makrolid, antijamur

azole) dengan loratadin tidak memberikan efek samping yang tidak

diingankan.

3. Cetirizin

Farmakologi

Cetirizin merupakan metabolit asam karboksilat antihistamin H1.generasi

pertama hidroksizin. Obat ini hanya mengalami transformasi metabolik

minimal menjadi metabolit inaktif dan diekskresikan utuh dalam urin. Obat

ini diabsorbsi secara cepat setelah pemberian oral. Kadar puncak plasma

dicapai sekitar 1 jam dan waktu paruh sekitar 7 jam.13 Pemberian dosis

tunggal per oral 10 mg menekan respon wheal dalam 20-60 menit dan

berlangsung selama 24 jam.14 Aktivitas antikolinergik minimal terjadi setelah

pemberian dosis yang dianjurkan. Kadarnya di plasma lebih tinggi pada

pasien dengan penyakit ginjal dan hati kronis. Selain itu akibat aktivitas

antihistamin H1, cetirizin dapat menghambat akumulasi eosinofil di jaringan,

termasuk kulit. Pemberian 10 mg per oral menurunkan migrasi eosinofil pada

respon terhadap antigen spesifik.15

Penggunaan klinis

Cetirizin digunakan sebagai terapi urtikaria. Obat ini tersedia dalam kemasan

tablet 10 mg dan sirup 1 mg/mL. dosis rekomendasi untuk dewasa adalah 10

mg per hari dan 5 mg per hari untuk pasien dengan gangguan ginjal dan hati

kronis. Pertimbangan pemberian cetirizin atas dasar karena merupakan obat

antihistamin H1 generasi kedua dengan efek sedasi paling tinggi. Tidak ada

9

Page 10: Refrat Antihistamin (New)

laporan mengenai interaksi obat yang signifikan, namun sebaiknya dosis

dikurangi pada pasien dengan dengan gangguan ginjal dan hati kronis.

4. Desloratadin

Pemberian desloratadin dengan dosis 5 mg per hari dapat menghilangkan

pruritus dan urtika pada urtikaria kronis.16 Desloratadin lebih efektif dan lebih

poten 5 kali lipat dibandingkan dengan loratadin dalam menekan respon

urtika. Aktivitas antikolinergiknya sangat minimal atau hampir tidak ada,

sedasi minimal, tidak ada efek kardiotoksik. Desloratdin tidak dimetabolisme

melalui jalur CYP hati sehingga dapat diberikan berbarengan dengan

antibiotik makrolida dan imidazol secara aman.

5. Levocetirizin

Levocetirizin merupakan bentuk metabolit aktif dari cetirizin yang akhir ini

diperkenalkan sebagai antihistamin H1 generasi pertama. Terbukti lebih

potensial dibandingkan dengan loratadin. Insidensi sedasi dan

antikolinergiknya minimal dan diizinkan penggunaannya pada anak usia di

bawah 6 tahun dengan dosis 5 mg per hari sebagai terapi urtikaria.17

Daftar Pustaka

10

Page 11: Refrat Antihistamin (New)

1. Wood R, Limb SL. Antihistamines, in Fitzpatrick: Dermatology in general medicine, 4th Ed, New York. Mc Graw Hill. 1993:821-35

2. Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru. 2007.

3. Wolverton, Stephen E. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy Second Edition. USA: Elsevier. 2007

4. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta: EGC. 1998.

5. Simon FE: Advance in H1 antihistamines. N engl J Med. 351:2203, 2004

6. Passalacqua G, Canonica GW: Structure and classification of H1 antigistamines and overview of their activities, in Histamines and H1 Antihistamines in Allergic Disease, 2nd Ed, edited by Simon FER. New York, Marcel Dekker, 2002, p 65

7. Simon FER, Simon KJ: Clinical pharmacology of H1 antihistamines, in Histamines and H1 Antihistamines in Allergic Disease, 2nd Ed, edited by Simon FER. New York, Marcel Dekker, 2002, p 141

8. Lippert C, Ling C, Brown P, et al. Mass balance and pharmacokinetics of fexofenadine HCl in healthy male volunteers. Pharmaceut Res. 1995; 12(suppl 9); F390

9. Russell T, Stolz M, Eller M, et al. Acute and subchronic dose tolerance of fexofenadine HCl in healthy man subjects (Abs p. 41). British society of allergy and clinical immunology meeting. Sept. 1996.

10. Clissold Sp, Sorkin EM, Goa K. Loratadine, a preliminary review of its pharmacodynamic properties and therapeutic efficacy. Drug Eval. 1989; 37:42-57

11. Kassen M, Roman I, Gural R, et al. Effect of loratadine in suppression of histamine-induced skin wheals. Ann allergy. 1988; 60:505-7

12. Delpon E, Valenzuela C, Tamargo J. Blockade of cardiac potassium and other channels by antihistamines. Drug savety. 1999;21(suppl 1):11-18.

13. Wood SG, John BA, Chasseaud LF, et al. The metabolism and pharmacokinetics of 14 C cetirizinein humans. Ann allergy. 1987;59:11-18

14. Juhlin L, Devos C, rihous JP, Inhibiting effects of cetirizine on histamine induced and 48/80-induced wheals and flares, experimental dermagrafism and cold-induced urticaria. J allergy clin immunol. 1987;80:599-602

11

Page 12: Refrat Antihistamin (New)

15. Michel L, Joseph M, Leprevost C, et al. inhibition of eosinophil chemotaxis by a new anti allergic compound. Int arch allergy appl immunol. 1988;87:9-13

16. McClellan K, Jarvis B. Desloratadine drugs 2001;61:789-96

17. Benedetti MS, Plisnier M, Kaise J, et al. absorption, distribution, metabolism, and excretion of levocetirizine in healthy volunteers. Eur J clin pharmacol. 2001;57:571-82

12