Refrat Fixlast New (Autosaved)
-
Upload
raymond-fox -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
Transcript of Refrat Fixlast New (Autosaved)
BAB I
LATAR BELAKANG
Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin
dilakukan untuk mengurangi efek samping dari tindakan anestesi selama
pembedahan. Dahulu, pasien berpuasa dari tengah malam hingga pagi hari dan
dari pukul enam sore hingga siang hari dengan sarapan pagi secangkir teh dan
roti. Dewasa ini, beberapa ahli mempertanyakan beberapa hal seperti manfaat
puasa cairan yang lama, efektifitas terhadap pencegahan aspirasi serta morbiditas
dan mortalitas pada pasien. Hal ini berhubungan dengan terjadinya dehidrasi,
hipoglikemi, hipotensi, dan hal yang terjadi akibat puasa yang terlalu lama.1
Puasa perioperatif menjadi bahan pembicaraan sejak Mendelson tahun
1946 melakukan studi observasi pada wanita yang mendapatkan general anastesi
saat melahirkan. Dari studinya didapatkan adanya aspirasi material gaster ke
dalam paru yang berisiko terjadinya pneumonitis dan kematian, jika tingkat
keasaman gaster tinggi dan volume yang cukup. Mendelson mencatat insiden
aspirasi pada wanita hamil yang mendapatkan anestesi sebanyak 66 dari 44.016
dalam kurun waktu 1932-1945 (15:10.000). Mendelson menyarankan untuk
mengurangi risiko aspirasi saat general anastesi adalah dengan cara tidak ada
asupan oral, alkalinisasi, dan pengosongan gaster. Dengan saran tersebut jumlah
pasien yang mengalami aspirasi berkurang menjadi 1-10:10.000 atau sekitar
0,001-0,1%.1
Pada tahun 1974 Robert dan Shirley mengatakan bahwa pasien berisiko
mengalami sindrom aspirasi pernafasan bila residu gaster lebih dari 0,4 ml/kg dan
pH kurang dari 2,5.1 Mendelson sindrome atau peptikum aspirasi pneumonia
terjadi akibat aspirasi cairan lambung dengan pH lebih rendah dari 2,5.1 Aspirasi
cairan lambung hingga 30-40 cc dapat mengakibatkan kerusakan paru yang serius.
Chemical pneumonia dapat menyebabkan peradangan pada parenkim paru yang di
mediasi oleh sitokin. Mendelson sindrom memiliki gejala seperti muntah setelah
anastesi inhalasi dan pasca operasi. Dua sampai lima jam setelah aspirasi ada
onset dramatis sianosis, dyspnue, takikardi dan syok.2 Aspirasi sering terjadi pada
1
2
pasien yang anestesianya tidak adekuat, hamil, gemuk, airway sulit, operasi
emergensi, perut penuh dan pasien dengan gangguan motilitas usus.2
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit
cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Gejala dari
defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya adalah
rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala. Itulah yang menjadi alasan
pada banyak keadan klinis saat pembedahan untuk mempuasakan pasien dalam
jangka waktu yang tidak terlalu lama.2
3
BAB II
FISIOLOGI
2.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung
Gaster merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar terletak di
bagian atas abdomen. Secara kasar lambung berbentuk seperti huruf J. Permukaan
lambung ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang dinamakan rugae.
Invaginasi epitel pembatas lipatan-lipatan tersebut menembus lamina propria,
membentuk alur mikroskopik yang dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae.
Sejumlah kelenjar-kelenjar kecil, yang terletak di dalam lamina propria, bermuara
ke dalam dasar gastric pits ini. Epitel pembatas ketiga bagian ini terdiri dari sel-sel
toraks yang mensekresi mukus. Lambung secara struktur histologis dapat
dibedakan menjadi: kardia, korpus, fundus, dan pylorus.3
4
Esofagus memasuki gaster di ostium cardiacum dimana terdapat suatu
lapisan otot polos yang berperan secara fisiologis sebagai sebuah sphincter yang
dikenal dengan sphincter gastrooesophagicus. Saat makanan berjalan turun
melalui esofagus, ujung otot dari esofagus yang sedang berperistaltik akan
berelaksasi sehingga makanan dapat masuk ke gaster. Kontraksi tonik sphincter
ini mencegah isi lambung mengalami regurgitasi ke dalam esofagus. Penutupan
sphincter ini diatur oleh nervus vagus, dan aktifitas ini dapat meningkat oleh
hormon gastrin dan menurun oleh hormon sekretin, kolesistokinin, dan glukagon.3
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus. Tunica muscularis
stratum circulare yang meliputi gaster jauh lebih tebal di daerah ini dan
membentuk sphincter pyloricus secara anatomis dan fisiologis. sphincter
pyloricus mengatur aliran isi gaster ke dalam duodenum. Sphincter menerima
serabut-serabut motorik dari sistem simpatik dan serabut-serabut inhibisi dari
nervus vagus. Selain itu, pylorus dikendalikan oleh nervus setempat dan pengaruh
hormon dari dinding gaster dan duodenum. Contoh, regangan gaster karena terisi
akan merangsang plexus myentericus dan secara refleks menimbulkan relaksasi
sfingter. Pengeluaran hormon gastrin dari mukosa antrum pyloricum menstimulasi
peristaltik di dinding gaster dan dengan demikian memulai pengosongan gaster.
Di duodenum, adanya isi gaster menstimulasi reflex intestinum setempat, yang
menghambat relaksasi sfingter. Adanya lemak di dalam duodenum menimbulkan
pelepasan hormon, seperti kolesistokinin dari dinding duodenum dan jejenum,
yang menghambat motilitas gaster dan dengan demikian memperlambat isi gaster
ke duodenum.3
Fungsi gaster adalah sebagai berikut4:
1. Motorik
Penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat
diproses di dalam lambung, duodenum, dan traktus intestinal bawah.
Pencampuran makanan dengan sekresi dari lambung sampai
membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus.
5
Pengosongan kimus dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus
pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat
oleh usus. Pada saat kimus siap masuk kedalam duodenum, akan
terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.
2. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL
gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponen utamanya yaitu mukus,
HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastric yang
disekresi langsung masuk kedalam aliran darah.
3. Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali protein
diubah menjadi polipeptida.
4. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol,
glukosa, dan beberapa obat.
5. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam lambung
oleh HCL.
2.2. Proses Pencernaan
2.2.1 Pengaturan Motilitas dan Pengosongan Lambung
Aktifitas pengosongan lambung mencakup proses penampungan bahan
makanan solid maupun liquid, penghancuran bahan solid serta mencampurnya
dengan asam lambung sehingga partikel-partikel kecil yang optimal bagi
pencernaan, pengosongan bahan liquid dan bahan solid yang telah dihancurkan ke
6
duodenum pada periode digestif postprandial, dan pengosongan semua sisa
makanan termasuk bahan yang non digestible pada periode interdigestif. Proses
pengosongan lambung tersebut diatur oleh aksi yang bersamaan dengan
fundus,antrum,pylorus dan duodenum.5
Lambung proksimal yaitu fundus dan sepertiga atas corpus merupakan
bagian lambung yang tidak memiliki aktivitas listrik miogenik spontan. Lambung
proksimal ikut berperan dalam proses pengosongan liquid karena adanya
perbedaan tekanan fundic-duaodenum akibat kontraksi tonik yang lambat (1-
3menit) yang terjadi di fundus. Kontraksi tonik ini distimulasi oleh excitatory
fibers dari nervus vagus dan neurohormon seperti motilin.5
Fungsi lain dari lambung proksimal adalah sebagai penampung makanan.
Pada waktu proses menelan lambung proksimal mengalami fase relaksasi yang
disebut receptive relaxation, dimana terjadi peningkatan volume lambung tanpa
disertai peningkatan tekanan lambung sehingga dapat berfungsi sebagai reservoir.
Kemampuan relaksasi tersebut dipertahankan oleh inhibitor fibers dari nervus
vagus dan pengaruh inhibisi dari neurohormonal.5
Berbeda dengan lambung proksimal maka otot-otot lambung distal mulai
dari corpus sampai ke cincin pylorus memiliki aktivitas listrik spontan
(autorythmicity), namun kontraksi lambung distal ini diatur oleh suatu pacemaker
yang terletak di curvatura mayor yang melepaskan gelombang depolarisasi
spontan (basal electrical rhythm) dengan kecepatan 3 siklus / menit. Kecepatan
ini tidak berubah baik pada waktu puasa, makan, beraktifitas ataupun tidur.
Depolarisasi spontan tersebut akan berubah menjadi sebuah kontraksi (yang
ekuivalen dengan sebuah aksi potential) ataupun tidak, tergantung ada tidaknya
rangsang syaraf atau hormonal tertentu. Lambung akan sangat mudah
berkontraksi selama waktu makan karena adanya distensi akan menstimulasi
aferen vagus yang disertai pelepasan peptida post prandial dan karena adanya
stimulasi oleh bahan-bahan makanan yang kontak ke mukosa. Pada periode
digestif kontraksi tersebut berperan penting dalam proses pengosongan lambung
dimana kontraksi tersebut akan mendorong isi lambung ke arah gastroduodenal
junction.5
7
Makanan solid sebelum dikosongkan akan mengalami proses pencampuran
dan penggilingan (mixing & grinding) oleh kontraksi otot-otot antrum yang tebal,
sehingga menjadi pertikel-pertikel kecil (<1 mm) agar dapat melewati pylorus.
Waktu yang diperlukan untuk proses tersebut disebut lag phase.5
Pada periode intergestif yaitu ± 2 jam sesudah makan dan pada waktu tidur,
lambung melakukan aktivitas motorik secara siklik dengan waktu ± 100 menit /
siklus. Fase I dari siklus ini merupakan fase diam karena jarang terjadi kontraksi,
berlangsung ± 1 jam. Fase 2 berlangsung ± 30 menit, lebih aktif dimana terjadi 1
atau 2 kontraksi setiap beberapa menit yang sifatnya intermitten dan irregular.
Puncak aktivitas dari interdigestif adalah fase 3 dimana terjadi rentetan kontraksi
dengan kecepatan 3 kontraksi, bersifat singkat, ritmik, kuat dan mendorong ke
arah duodenum, berlangsung selama 5 – 10 menit. Pada fase ini berlangsung
pengosongan terhadap bahan-bahan solid digestible (seperti serat, biji, sayur
ataupun partikel makanan keras yang tidak dapat dihancurkan oleh lambung)
sebab pada saat yang bersamaan terjadi pembukaan dan relaksasi dari pylorus.
Fase 4 merupakan transisi dari fase 3 ke fase 4. Aktivitas interdigestif ini
dipengaruhi oleh nervus vagus. 5
Pylorus dan duodenum berfungsi sebagai pengatur ataupun barier mekanis
terhadap aliran keluar dari lambung, pylorus berbentuk terowongan berdinding
tebal yang dapat secara aktif mengubah ukuran lumennya dibawah pengaruh
neurohumoral akibat stimulasi reseptor-reseptor di duodenum maupun usus halus
lainnya. Segera setelah makan, kontraksi lambung akan mendorong makanan ke
arah pylorus, namun pylorus akan terbuka sebahagian saja sehingga hanya bagian
liquid atau partikel kecil saja yang dapat lewat, sedangkan partikel yang lebih
besar akan tertahan diantrum untuk menjalani proses mixing dan grinding oleh
konstruksi antrum. Pada fase 3 interdigestif pylorus terbuka lebar sehingga bahan
solid nondigestible dengan pertikel besar dapat melewati pylorus oleh dorongan
kontraksi antrum yang terkoordinasi dengan motilitas duodenum. 5
Di duodenum terdapat reseptor-reseptor sensorik yang akan terstimulasi
oleh bahan-bahan nutrien yang melewati lumen duodenum. Bahan nutrien dengan
kalori tinggi, kandungan lemak tinggi, osmolitas tinggi ataupun pH yang lebih
8
tinggi asam akan memberikan stimulasi yang lebih kuat terhadap reseptor tersebut
yang akan menyebabkan relaksasi fundus, terlambatnya peristaltik antrum,
mengecilnya lumen antrum, pylorus dan duodenum, terangsangnya kontraksi
lokal di pylorus, berkurangnya aktivitas peristaltik di duodenum, serta
berkurangnya koordinasi kontraksi antara antrum dan duodenum, sehinngga
keseluruhan efek ini akan berfungsi sebagai rem terhadap proses pengosongan
lambung. 5
Karbohidrat selain dapat memperlambat pengosongan lambung melalui
efek stimulasi langsung reseptor-reseptor di usus halus, juga efek peningkatan
gula darah yang diakibatkannya. 5
Kecepatan lambung mengosongkan isinya ke dalam duodenum bergantung
juga pada jenis makanan yang dimakan. Makanan yang banyak mengandung
karbohidrat meninggalkan lambung dalam beberapa jam. Makanan kaya protein
meninggalkan lambung lebih lambat, dan pengosongan paling lambat setelah
makan makanan yang mengandung lemak. Kecepatan pengosongan lambung juga
bergantung pada tekanan osmotik bahan yang masuk ke dalam duodenum.
Hiperosmolalitas isi duodenum akan dirasakan oleh “osmoreseptor duodenum”
yang mencetuskan pernurunan pengosongan lambung yang mungkin berasal dari
saraf. 5 Pengosongan lambung dipengaruhi oleh beberapa hal seperti jenis nutrisi,
kalori, volume lambung, volume makanan yang dimakan, osmolalitas, jumlah
asam yang dihasilkan lambung.6
Lemak, gula, asam amino tertentu (khususnya triptofan) dan titrateable acid
yang memiliki osmolaritas tinggi juga menghambat pengosongan lambung.
Produk-produk pencernaan protein dan ion hidrogen yang membasahi mukosa
duodenum mencetuskan penurunan motilitas lambung melalui perantaraan saraf
yaitu refleks enterogasti. Peregangan duodenum, distensi rektum dan kolon, juga
mencetuskan refleks ini. Gastric inhibitory polypeptide dan kolesistokinin
menghambat motilitas lambung.7
9
2.2.2 Pengaruh Persarafan pada lambung
Fungsi motorik lambung sangat tergantung kepada keadaan system saraf.
Sistem syaraf saluran cerna terdiri dari syaraf-syaraf intrinsik dan ekstrinsik.
Syaraf intrinsik membentuk system persyarafan yang disebut sebagai enteric
nervous system (system syaraf enterik) yaitu berupa kumpulan neuron-neuron
pada saluran cerna yang dapat berfungsi mandiri walaupun tanpa kendali dari
system syaraf pusat, sehingga disebut juga sebagai “brain of the gut”. Sistem
syaraf enterik, mengatur berbagai fungsi saluran cerna termasuk motilitas, sekresi
eksokrin dan endokrin yang juga mikrosirkulasi. Sistem syaraf enterik membentuk
2 flexus utama. Flexus myenteric (Auerbach’s) terletak diantara lapisan otot
longitudinal dan sirkuler sepanjang saluran cerna, terutama memberikan inervasi
motorik kepada kedua lapisaan tersebut dan intervasi sekretomotor ke mukosa.
Flexus submucosa (Meissner’s) terletak di submukosa yaitu antara lapisan otot
sirkuler dan muskularis mukosa, pleksus ini menginervasi epitel granduler, sel-sel
endokrin usus dan pembuluh darah submukosa. Sebagaimana pada system saraf
pusat, maka neuron system syaraf enterik juga menggunakan berbagai
neurotransmitter sebagai mediator, antara lain acetyl-choline, neuropeptida seperti
cholecystokinin (CCK), glanin, calcitonin generelated peptide (CGRP), gastrin
releasing peptide (GRP), enkephalins, somatostatin, substance P, vasoactive
intestinal polypeptide (VIP), purin, nitric oxide, dan kemungkinan juga asam-
asam amino seperti gamma amino butyric acid (GABA).5
Syaraf eksentrik berupa serabut-serabut sensorik (afferent) dari syaraf
parasimpatis, simpatis maupun somatik. Syaraf-syaraf ini menghubungkan system
syaraf eksentrik dengan sitem syaraf pusat yang berperan penting dalam
penyelarasan berbagai fungsi system syaraf enterik. 5
Parasympatetic motor pathway yang mengatur fungsi motorik dan
sekretomotorik saluran cerna bagian atas sampai ke kolon transversum sebelah
kanan adalah berasal dari nervus vagus. Cabang nervus vagus utama yang menuju
ke lambung adalah berasal dari nervus anterior yang mempersyarafi permukaan
anterior lambung duodenum, serta nervus posterior yang mempersyarafi
permukaan posterior dari lambung. Sedangkan parasympatetic motor pathway
10
yang mengatur fungsi kolon distal dan rectum berasal dari nervus sacralis. Serabut
parasimpatik merupakan serabut preganglionic cholinergic yang menyebabkan
efek eksitasi enterik melalui reseptor muskarinik dan nikotinik. Di esopagus,
lambung, kolon distal anorektal serabut parasimpatik tersebut banyak mengadakan
koneksi dengan neuron-neuron myenteric sehingga kendali system syaraf pusat
pada tempat-tempat terseburt lebih langsung. 5
Serabut simpatik eferen yang memasuki saluran cerna merupakan serabut
postganglionic adrenergic, sedangkan serabut preganglionik terletak di spinal
cord (T5 s/dL3). Syaraf simpatis eferen ini menyelenggarakan sebagian besar
aksinya secara indirek melalui neuron enterik, yaitu berupa inhibisi pada seluruh
saluran cerna kecuali pada sfingter yang akan berkontraksi oleh aksi syaraf
simpatis. 5
Serabut-serabut sensorik yang membawa informasi sensorik ke system
syaraf pusat disebut sebagai primary efferent neurons. Primary vagal aferent
neurons berasal dari lapisan otot polos (sensitif terhadap distensi mekanis usus)
dan dari mukosa (sensitif terhadap glukosa, asam amino, asam lemak rantai
panjang dan juga rangsang kimia dan mekanis). Splanchnic primary afferent
neurons berasal dari dinding serosal usus, merupakan suatu nosiseptor, berperan
dalam timbulnya rasa nyeri saluran cerna, dan bereaksi terhadap rangsang
mekanis, dan termis. 5
2.3. Pasien dengan Pengosongan Lambung yang Lambat
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pengosongan lambung
menjadi terlambat seperti pada pasien diabetes, obesitas, dan kehamilan.5
Kehamilan dapat memperlambat pengosongan lambung dan menurunkan motilitas
usus. Selain itu, akan terjadi peningkatan sekresi mukosa, pH gaster meningkat
(40% lebih tinggi daripada perempuan tidak hamil). Hal ini terjadi karena
pengaruh hormonal.8 Pada pasien DM juga mengalami penurunan dalam
pengosongan lambung karena terjadi gastroparesis diabetika. Dari hasil berbagai
11
laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung. Pada gastroparesis diabetika
terjadinya neuropati diabetik yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf
ekstrinsik lambung. 5
Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan
pengosongan lambung. Hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung
dengan cara tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus,
aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme
miogenik. Fischer dkk menunjukkan bahwa hiperglikemia post prandial pada
penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik
lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan
lambung. 5
12
BAB III
PANDUAN PUASA PERIOPERATIF
Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin
dilakukan untuk mengurangi efek samping dari suatu tindakan anestesi yang
dilakukan selama pembedahan. Puasa bertujuan mengurangi resiko terjadinya
aspirasi cairan lambung ke paru-paru pada penderita yang sedang menjalani
pembedahan. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera setelah
kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung terjadi 2 fase
yaitu trauma pada jaringan dan reaksi inflamasi. Dalam waktu 5 detik, asam akan
bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu 15 detik telah
terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan sel superfisial
yang bersilia dan yang tidak bersilia. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap HCl
dan mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya aspirasi.
Peningkatan lisophophosphatidyle choline yang cepat dalam 4 jam setelah
aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permeabilitas alveolar dan cairan paru
(lung water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan penurunan compliance
paru, meningkatnya ventilation-perfusion mismatching dan meningkatnya
alveolar-arterial oxygen tension difference. Pada fase kedua, ditandai dengan acid
mediated induction dan pelepasan pro-inflamatory cytokine seperti TNFα dan
interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekpresi sel adhesion molecule L-selectin
dan beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion molecules (ICAM)
pada endotel paru yang selanjutnya merangsang reaksi inflamasi (neutrophilic
inflammatory response).9
Aspirasi paru dapat terjadi pada keadaan peningkatan isi lambung,
inkompetensi sfingter esofagus bawah (LES), dan adanya penurunan refleks
laring. Pencegahan dilakukan dengan mengurangi produksi asam lambung dan
keasaman lambung. Produksi asam lambung yang lebih dari 25 ml (0,4 ml/kg) dan
13
pH kurang dari 2,5 mempunyai resiko yang lebih besar. Apabila pH asam
lambung kurang dari 1,5, kerusakan yang terjadi pada paru sangat hebat. 9
3.1. American Society of Anesthesiologists
Berikut ini merupakan acuan pelaksanaan puasa preoperatif yang
dikeluarkan oleh American Society of Anesthesiologists tahun 2011:
Tabel 1. ASA FASTING GUIDELINES1
Jenis Makanan Lama Puasa Minimal
Clear liquids
ASI
Susu formula bayi
Non human milk
Makanan ringan
2 jam
4 jam
6 jam
6 jam
6 jam
Periode puasa yang harus dilakukan oleh pasien menjelang pembiusan
disesuaikan dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi menjelang
tindakan pembiusan dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan
lambung dalam mengosongkan isinya. Cairan bebas ampas biasanya dengan cepat
dapat dikosongkan oleh lambung contohnya air mineral, jus buah tanpa ampas,
minuman bersoda, teh dan kopi hitam, tapi tidak demikian dengan minuman
beralkohol. Berbeda dengan makanan padat yang biasanya lebih lama bertahan
dilambung jika dibandingkan dengan cairan. Biasanya sangat tergantung kepada
kandungan gizi dari jenis makanan padat tersebut. Makanan yang bayak
mengandung lemak atau makanan jenis daging biasanya memerlukan waktu
hingga 8 jam lebih untuk bisa dikosongkan sepenuhnya dari lambung. Sedangkan
makanan ringan dan biskuit hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk keluar
sepenuhnya dari lambung. Susu dalam hal ini tergolong bahan padat karena pada
saat mencapai lambung dia akan bereaksi dengan asam lambung membentuk
massa yang padat yang perlu waktu lebih lama untuk di cerna. Sedangkan ASI
yang kadar protein dan lemaknya lebih rendah dari susu sapi dalam proses
pencernaannya memerlukan waktu yang lebih cepat.1
14
3.2. European Society of Anaesthesiology
Berikut ini merupakan acuan pelaksanaan puasa pre operatif yang
dikeluarkan oleh Asosiasi Anestesiologis Eropa (European Society of
Anaesthesiology) pada tahun 2011.10
A. Puasa
1. Cairan
Dewasa dan anak diperbolehkan untuk meminum cairan bening (air putih,
teh manis, jus tanpa ampas dan kopi hitam tanpa susu) hingga 2 jam sebelum
operasi yang sudah terjadwal, termasuk section caesarean. Beberapa peneliti telah
membuktikan bahwa meminum minuman bening dinilai aman hingga 2 jam
sebelum operasi karena waktu pengosongan lambung yang cepat. Memperlama
puasa pada pasien pra bedah dapat menyebabkan stress selama tindakan bedah,
terutama pada orang tua dan anak-anak. 10
2. Makanan Padat
Makanan padat tidak boleh diberikan sejak 6 jam sebelum tindakan bedah
berlangsung, baik pada dewasa maupun anak-anak. Susu secara umum, bila
diminum dalam jumlah yang banyak akan mengental di dalam lambung, dan
bersifat sama dengan makanan padat (mengurangi kecepatan pengosongan
lambung), tetapi konsumsi dalam jumlah kecil tidak bermakna dan bersifat sama
seperti minuman bening. Penambahan susu dalam teh maupun kopi masih
dikelompokkan ke dalam minuman bening dengan catatan jumlah susu yang
ditambahkan tidak lebih dari seperlima total volume teh/kopi sebelum diberi
susu. 10
3. Permen Karet, Gula-Gula, dan Rokok
Konsumsi permen karet, gula-gula, dan rokok segera sebelum tindakan
bedah dinilai aman. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, terdapat
penelitian yang mengatakan bahwa volume cairan dan PH lambung tidak berbeda
secara bermakna baik sebelum maupun sesudah mengkonsumsi jenis-jenis
15
makanan tersebut. Sedang penelitian lain mengatakan bahwa perbedaan volume
cairan dan PH lambung berbeda bermakna secara statistikal, tetapi tidak
menyebabkan efek yang merugikan seperti kejadian aspirasi selama tindakan
anestesia, sehingga dinilai tidak bermakna secara klinis. 10
4. Pasien dengan Gangguan Pengosongan Lambung
Pasien dengan obesitas, gastro-oesophageal reflux, diabetes mellitus, dan
wanita hamil dapat mengikuti acuan prosedur dalam guideline ini secara aman. 10
B. Konsumsi Karbohidrat Preoperatif: Hubungannya dengan
Pengosongan Lambung dan Keuntungannya
Meminum minuman yang kaya akan kandungan karbohidrat diperbolehkan
hingga 2 jam sebelum induksi anestesi, termasuk pasien diabetes. Membiarkan
pasien untuk meminum minuman bening hingga 2 jam sebelum tidakan bedah,
tidak menyebabkan banyak perubahan pada metabolisme tubuh, mengingat
minuman tersebut tidak mengandung cukup kalori yang diubah menjadi energy.
Cara terbaik untuk mengetahui perubahan metabolisme setelah puasa semalaman
yaitu dengan mengkonsumsi karbohidrat. Adanya glukosa yang masuk ke dalam
tubuh akan merangsang produksi insulin. Hal ini menyebabkan berkurangnya
resistensi insulin post operatif. Ini penting untuk diketahui karena resistensi
insulin post operatif dan hiperglikemia berkaitan erat dengan perbaikan outcome
setelah operasi selesai. Selain menurunkan kejadian resistensi insulin post operatif,
konsumsi minuman yang kaya akan kandungan karbohirat sebelum tindakan
bedah akan memperbaiki emosi pasien secara subyektif serta mengurangi rasa
haus dan lapar. 10
C. Puasa Preoperatif pada Bayi dan Anak
1. Cairan
Seorang anak yang akan menjalani tindakan bedah diperbolehkan meminum
minuman bening hingga 2 jam sebelum induksi anestesi diberikan. Bayi yang
hendak menjalani tindakan bedah harus diberi makan sebelum operasi dimulai.
Air Susu Ibu (ASI) aman untuk diberikan hingga 4 jam sebelum operasi dan susu
16
formula hingga 6 jam sebelum operasi. Sedangkan minuman bening sama
aturannya seperti pada pasien anak maupun dewasa. Memperbolehkan anak untuk
minum sebelum tindakan bedah akan memperbaiki kecemasan pada orangtua dan
anak, mengurangi rasa haus, dan mengurangi risiko dehidrasi pre operatif pada
bayi muda. 10
2. Air Susu Ibu (ASI) dan Susu Formula
Beberapa studi mengatakan bahwa ASI dikosongkan dari lambung lebih
cepat daripada susu formula yang keduanya memiliki waktu paru lebih dari 2 jam.
Berdasarkan data tersebut, maka lamanya bayi berpuasa sebelum menjalani
tindakan bedah yaitu 4 jam bila minum ASI dan 6 jam bila minum susu formula,
karena susu sapi maupun susu bubuk bersifat sama serperti makanan padat. 10
3. Makanan Padat
Makanan padat tidak boleh diberikan sejak 6 jam sebelum tindakan bedah
berlangsung, baik pada dewasa maupun anak-anak. Susu secara umum, bila
diminum dalam jumlah yang banyak akan mengental di dalam lambung, dan
bersifat sama dengan makanan padat (mengurangi kecepatan pengosongan
lambung), tetapi konsumsi dalam jumlah kecil tidak bermakna dan bersifat sama
seperti minuman bening. Penambahan susu dalam teh maupun kopi masih
dikelompokkan ke dalam minuman bening dengan catatan jumlah susu yang
ditambahkan tidak lebih dari seperlima total volume teh/kopi sebelum diberi
susu. 10
4. Cairan post operatif
Minum dapat diberikan kepada pasien yang telah menjalani operasi pada 3
jam setelah operasi selesai. Pemberian jeda waktu ini dapat mengurangi kejadian
muntah post operatif. Akan tetapi penelitian terbaru membuktikan bahwa tidak
ada hubungan antara kejadian muntah dengan menunda masukan oral post
operatif, sehingga membiarkan anak memakan/minum segera setelah operasi pun
diperbolehkan. 10
D. Puasa pada pasien Obstetri yang Akan Menjalani Pembedahan
17
Pasien yang sedang dalam persalinan diperbolehkan meminum caian bening
sebagaimana aturan yang telah diberlakukan. Makanan padat harus dihindari
selama persalinan aktif. Obat H2-reseptor antagonis (contoh Ranitidin 150 mg)
atau PPI (contoh omeprazole 40 mg) harus diberikan satu malam sebelum
dilakukan tindakan bedah dan diulang 60-90 menit sebelum induksi anestesi
dilakukan. Pada bedah Caesar yang bersifat emergensi, pemberian H2 reseptor
antagonis (contoh ranitidine 50 mg) diberikan melalui intravena selama operasi
berlangsung dengan anestesi regional. Sedangkan pada bedah Caesar dengan
anestesi umum, obat yang diberikan berupa H2-antagonis reseptor dan antacid
oral sebelum induksi anestesi dimulai. Pasien yang telah menjalani bedah Caesar
dapat minum antara 30 menit sampai 2 jam setelah operasi selesai. Sedangkan
makanan padat ditunda hingga 12 jam setelah operasi untuk menghindari kejadian
mual dan muntah. 10
Tabel 2. Rekomendasi Puasa Preoperatif European Society of Anaesthesiology
(ESA) 10
Puasa pada Dewasa dan Anak-Anak Bukti Rekomendasi
Dewasa dan anak-anak sebaiknya dinasehati
untuk minum cairan jernih (termasuk air
putih, jus tanpa ampas dan teh atau kopi
tanpa susu) sampai dua jam sebelum operasi
elektif (termasuk seksio sesarea)
1++ A
Makanan padat sebaiknya dilarang sampai 6
jam sebelum operasi elektif pada pasien
dewasa dan anak-anak
1+ A
Pasien dengan obesitas, refluks
gastrointestinal dan diabetes dan wanita
hamil bukan dalam persalinan dapat
mengikuti semua panduan di atas
2- D
Pasien-pasien sebaiknya tidak ditunda atau
dibatalkan operasinya hanya karena mereka
mengunyah permen karet, menghisap
1- B
18
permen, atau merokok segera sebelum
induksi anestesi
Puasa pada Bayi Bukti Rekomendasi
Bayi sebaiknya diberi makan sebelum
operasi elektif. ASI aman sampai dengan 4
jam dan susu lainnya sampai dengan 6 jam.
Cairan yang jernih sebiknya diberikan
dengan aturan yang sama dengan dewasa.
1++ A
Prokinetik dan Intervensi Farmakologis Bukti Rekomendasi
Tidak didapatkan cukup bukti mengenai
manfaat klinis untuk merekomendasikan
penggunaan rutin antasida, metoklopramid
atau antagonis reseptor H2 sebelum operasi
elektif pada pasien nonobstetrik
1++ A
Suatu antagonis reseptor H2 sebaiknya
diberikan malam sebelum dan pagi saat
operasi seksio sesarea
1++ A
Suatu antagonis reseptor H2 sebaiknya
diberikan sebelum operasi seksio sesarea
emergensi; dan jika direncanakan untuk
anestesi general maka sebaiknya
ditambahkan sodium sitrat 0,3 mol/L
sebanyak 30 cc
1++ A
Karbohidrat Oral Bukti Rekomendasi
Aman bagi pasien (termasuk pasien dengan
diabetes) untuk meminum minuman tinggi
karbohidrat sampai dengan 2 jam sebelum
operasi elektif
1++ A
Meminum cairan kaya karbohidrat sebelum 1++ A
19
operasi elektif memperbaiki kenyamanan
subjektif, mengurangi haus dan lapar dan
mengurangi resistensi insulin
Puasa pada pasien obstetri Bukti Rekomendasi
Wanita sebaiknya diperbolehkan minum
cairan jernih sesuai dengan yang mereka
mau selama masa persalinan
1++ A
Makanan padat sebaiknya dihindari selama
persalinan fase aktif1+ A
Tabel 3. Sistem gradasi Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN)
1++ Meta-analisis berkualitas tinggi, systematic review dari RCT, atau
RCT dengan risiko bias yang sangat rendah
1+ Well conducted meta-analysis, systematic review, atau RCT dengan
risiko bias yang rendah
1- Meta-analysis, systematic review, atau RCT dengan risiko bias yang
tinggi
2++ Systematic review case control/ cohort berkualitas tinggi
2+ Well conducted case control/cohort dengan risiko rendah dari
confounding (faktor penganggu) atau bias dan probabilitas moderat
bahwa hubungannya sebab akibat
2- Uji case control/ cohort dengan risiko tinggi dari confounding
(faktor penganggu) atau bias dan probabilitas bermakna bahwa
hubungannya bukan sebab akibat
3 Uji non analitik mislnya laporan kasus, serial kasus
4 Pendapat ahli
20
A
Minimal satu meta-analisis, systematic review, atau RCT yang
dinilai sebagai 1++ dan secara langsung dapat diaplikasikan pada
populasi target; atau evidence terdiri dari penelitian-penelitian
dengan peringkat 1+ dan secara langsung dapat diaplikasikan pada
populasi target dan dengan hasil yang konsisten
B
Pembuktian meliputi penelitian dengan peringkat 2++ dan secara
langsung dapat diaplikasikan pada populasi target dan dengan hasil
yang konsisten atau bukti ekstrapolasi dari penelitian dengan
peringkat 1++ atau 1+
C
Pembuktian meliputi penelitian dengan peringkat 2+ dan secara
langsung dapat diaplikasikan pada populasi target dan dengan hasil
yang konsisten atau bukti ekstrapolasi dari penelitian dengan
peringkat 2++
DPembuktian berperingkat 3 atau 4; atau bukti ekstrapolasi dari
penelitian berperingkat 2+
D(GPP) Rekomendasi berdasarkan pengalaman GDG
21
BAB IV
AGENT FARMAKOLOGIS
Tidak terdapat bukti yang cukup dari penelitian-penelitian sebelumnya,
tentang keuntungan klinis pemberian antacid, metoclopramid, ataupun H2-
reseptor antagonis sebelum tindakan bedah non obstetric. 10
4.1. Obat Prokinetik dan H2-antagonis
Terdapat sangat sedikit studi yang mendukung pemberian profilaksis
prokinetik untuk mengurangi resiko aspirasi lambung selama tindakan operatif.
Salah satu studi meneliti tentang efek obat prokinetik terhadap volume cairan dan
PH lambung selama induksi anestesi pada pasien dengan anestesi umum yang
akan dibedah Caesar. Studi ini menggunakan 3 kelompok grup yang masing-
masing berjumlah 25 orang, grup pertama diberikan kombinasi H2-antagonis
(ranitidine) dan prokinetik (metoclopramid) sebagai kelompok perlakuan, grup
kedua diberikan H2-antagonis saja (ranitidine), dan grup terakhir diberikan
placebo yang merupakan kelompok kontrol. Dari studi tersebut didapatkan hasil
bahwa pemberian obat secara kombinasi terbukti secara signifikan efektif untuk
menaikkan PH dan mengurangi volume cairan lambung. Walau sudah ada
beberapa studi yang menunjukkan hasil yang sama, akan tetapi dinilai kurang
cukup untuk memberikan bukti karena tidak sedikit dari penelitian terdahulu yang
menunjukkan hasil yang bertentangan. 10
1. Obat prokinetik
Obat-obat prokinetik meningkatkan motilitas esofagus dan lambung
sehingga membantu mempercepat waktu pengosongan lambung. Jenis obat yang
sering dipakai adalah cisaprid, metoklopramid dan betanekol. Metoklopramid
memperkuat tonus sfingter esofagus distal dan meningkatkan amplitudo kontraksi
esofagus. Pada gaster, metoklopramid memperkuat kontraksi terutama pada
bagian antrum, memperbaiki koordinasi kontraktilitas antrum dan duodenum
sehingga mempercepat pengosongan lambung.11
22
2. H2-Antagonis
H2-antagonis antara lain adalah Simetidine, Ranitidine, Nizatidine, dan
Famotidine. Senyawa-senyawa antagonis reseptor H2 secara kompetitif dan
reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal, menyebabkan
berkurangnya produksi sitosolik siklik AMP dan sekresi histamine yang
menstimulasi sekresi asam lambung. Interaksi antara siklik AMP dan jalur
kalsium menyebabkan inhibisi parsial asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi
sekresi asam. Yang potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang
paling kuat adalah Famotidin. Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari
Simetidin. Ranitidine dan Simetidin digunakan juga untuk profilaksis. Reseptor
H2 terdapat di lambung, pembuluh darah (menurunkan tekanan darah dengan
menurunkan resistensi perifer, positif kronotropisme, inotropik positif).12
H2-antagonis menghambat secara sempurna sekresi asam lambung yang
sekresinya diinduksi oleh histamin maupun gastrin, tetapi menghambat secara
parsial sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh asetilkolin. Hal
tersebut dapat terjadi dengan melihat kembali mekanisme sintesis asam lambung
di sel parietal. Antagonis reseptor H2 juga menghambat sekresi asam lambung
yang distimulasi oleh makanan, insulin, kafein, pentagastrin, dan nokturnal.12
4.2. Pompa Proton Inhibitor (PPI)
Tidak jelas berapa lama efek perlindungan yang potensial dari PPI terhadap
kejadian aspirasi selama tidakan operasi. Akan tetapi resiko terjadinya aspirasi ini
sangat kecil, dan tidak bermakna secara klinis. 10
Contoh obat-obatan proton pump inhibitor adalah Omeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol. Mekanisme kerja obat-obat golongan
proton pump inhibitor mengurangi sekresi asam lambung dengan jalan
menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton)
secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH
ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan
antara bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan
23
terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan
terhentinya produksi asam lambung. 12
Farmakokinetik. Obat-obat golongan ini mempunyai masalah
bioavailabilitas karena mengalami aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada
berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Oleh karena itu, sebaiknya
diberikan dalam bentuk tablet salut enterik. Obat-obat golongan ini mengalami
metabolisme lengkap. Tidak ditemukan dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat
radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tinja. 12
4.3. Antasida
Antasida (senyawa magnesium, aluminium, dan bismut, hidrotalsit, kalsium
karbonat, Na-bikarbonat). Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung
sehingga efektifitasnya bergantung pada kapasitas penetralan dari antasida
tersebut. Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang
dibutuhkan untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10
menit secara in vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi
penetralan sebesar 90% dan peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99%
asam lambung. Antasida ideal adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang
besar, juga memiliki durasi kerja yang panjang dan tidak menyebabkan efek lokal
maupun sistemik yang merugikan. Antasida dapat meningkatkan pH cairan
lambung sampai pH 4, dan menghambat aktifitas proteolitik dari pepsin. Antasida
tidak melapisi dinding mukosa namun memiliki efek adstringen. Secara kimia
antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung membentuk
garam dan air. Antasida juga dapat menstimulasi sintesis prostaglandin. Secara
umum antasida dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan non
sistemik.12
Antasida sistemik, diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat
menyebabkan urin bersifat alkali. Untuk keadaan pasien dengan gangguan
ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik sehingga saat ini penggunaannya
sudah jarang. Contoh antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat
(NaHCO3). 12
24
Antasida non sistemik, tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak
menimbulkan alkalosis metabolik. Salah satunya adalah Magnesium
[Mg(OH)2], Aluminium [(Al(OH)3], Kalsium (CaCO3), Magnesium
trisilikat (Mg2Si3O8nH2O), Magaldrat. Mg(OH)2 memiliki efek netralisasi
yang lebih lama dibandingkan NaHCO3 atau CaCO3, sedangakan
Magnesium trisilikat, Al(OH)3 dan Aluminium fosfat memiliki aktivitas
antasid yang lemah. 12
25
BAB V
ORAL INTAKE POST ANESTESIA
Rekomendasi Pemberian Oral Intake Paskaoperasi pada Pasien yang Sehat13
1. Dewasa
Grade Rekomendasi
A Pasien diperbolehkan minum, bila pasien sudah siap dan tidak
ada kontraindikasi dari obat, operasi atau perawatan.
2. Anak
Grade Rekomendasi
A Oral fluids dapat diberikan pada bayi dan anak yang sehat
ketika mereka sudah sadar sepenuhnya dari pengaruh anestesi
dan tidak ada kontraindikasi dari obat, operasi atau perawatan.
D
(GPP)
Dokter harus memberikan clear fluids atau ASI terlebih
dahulu sebelum memberikan makanan yang lain
A Infants and children undergoing day surgery should not be
required to drink as part of the discharge criteria.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. American Society of Anesthesiologists. 2011. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures. Lippincott Williams & Wilkins. Anesthesiology 2011; 114: 495–511.
2. Dines, DE. et al. 1961. Aspiration Pneumonitis-Mendelson’s Syndrome. JAMA; 176(3):229-231.
3. Snell, RS. 2007. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC: Jakarta. 4. Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. EGC:
Jakarta.5. Jolliffe, DM. 2009. Practical gastric physiology. Volume 9. Contin Educ
Anaesth Crit Care Pain. 9(6):173-177.6. Varón, AR dan Zuleta, J. 2010. From the physiology of gastric emptying to
the understanding of gastroparesis. Rev Col Gastroentenol. 25 (2); 207-213.7. Moukarzel, AA, dkk. 1996. Gastric physiology and function: effects of fruit
juices. Journal of the American College of Nutrition. 15; 18S-25S.8. Prawirohardjo, S. 2011. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.9. Downing TE, et al. 2008. Pulmonary Histopathology in an Experimental
Model of Chronic Aspiration Is Independent of Acidity. Exp Biol Med. 233: 1202.
10. Smith, I, et al. 2011. Guidelines Perioperative Fasting in Adults and Children: Guidelines from the European Society of Anaesthesiology. Europaen Journal of Anethesiology. 557-569
11. Ganiswarna, SG. 2001. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
12. Katzung, B.G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. Antipeptic Ulcer. 10th edition. USA: McGraw-Hill.
13. Westby, M. et al. 2005. Perioperative fasting in adult and children. Royal College Nursing London.