Refrat Fixlast New (Autosaved)

41
BAB I LATAR BELAKANG Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin dilakukan untuk mengurangi efek samping dari tindakan anestesi selama pembedahan. Dahulu, pasien berpuasa dari tengah malam hingga pagi hari dan dari pukul enam sore hingga siang hari dengan sarapan pagi secangkir teh dan roti. Dewasa ini, beberapa ahli mempertanyakan beberapa hal seperti manfaat puasa cairan yang lama, efektifitas terhadap pencegahan aspirasi serta morbiditas dan mortalitas pada pasien. Hal ini berhubungan dengan terjadinya dehidrasi, hipoglikemi, hipotensi, dan hal yang terjadi akibat puasa yang terlalu lama. 1 Puasa perioperatif menjadi bahan pembicaraan sejak Mendelson tahun 1946 melakukan studi observasi pada wanita yang mendapatkan general anastesi saat melahirkan. Dari studinya didapatkan adanya aspirasi material gaster ke dalam paru yang berisiko terjadinya pneumonitis dan kematian, jika tingkat keasaman gaster tinggi dan volume yang cukup. Mendelson mencatat insiden aspirasi pada wanita hamil yang mendapatkan anestesi sebanyak 66 dari 44.016 dalam kurun waktu 1932-1945 (15:10.000). Mendelson menyarankan untuk mengurangi risiko aspirasi saat general anastesi adalah 1

Transcript of Refrat Fixlast New (Autosaved)

Page 1: Refrat Fixlast New (Autosaved)

BAB I

LATAR BELAKANG

Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin

dilakukan untuk mengurangi efek samping dari tindakan anestesi selama

pembedahan. Dahulu, pasien berpuasa dari tengah malam hingga pagi hari dan

dari pukul enam sore hingga siang hari dengan sarapan pagi secangkir teh dan

roti. Dewasa ini, beberapa ahli mempertanyakan beberapa hal seperti manfaat

puasa cairan yang lama, efektifitas terhadap pencegahan aspirasi serta morbiditas

dan mortalitas pada pasien. Hal ini berhubungan dengan terjadinya dehidrasi,

hipoglikemi, hipotensi, dan hal yang terjadi akibat puasa yang terlalu lama.1

Puasa perioperatif menjadi bahan pembicaraan sejak Mendelson tahun

1946 melakukan studi observasi pada wanita yang mendapatkan general anastesi

saat melahirkan. Dari studinya didapatkan adanya aspirasi material gaster ke

dalam paru yang berisiko terjadinya pneumonitis dan kematian, jika tingkat

keasaman gaster tinggi dan volume yang cukup. Mendelson mencatat insiden

aspirasi pada wanita hamil yang mendapatkan anestesi sebanyak 66 dari 44.016

dalam kurun waktu 1932-1945 (15:10.000). Mendelson menyarankan untuk

mengurangi risiko aspirasi saat general anastesi adalah dengan cara tidak ada

asupan oral, alkalinisasi, dan pengosongan gaster. Dengan saran tersebut jumlah

pasien yang mengalami aspirasi berkurang menjadi 1-10:10.000 atau sekitar

0,001-0,1%.1

Pada tahun 1974 Robert dan Shirley mengatakan bahwa pasien berisiko

mengalami sindrom aspirasi pernafasan bila residu gaster lebih dari 0,4 ml/kg dan

pH kurang dari 2,5.1 Mendelson sindrome atau peptikum aspirasi pneumonia

terjadi akibat aspirasi cairan lambung dengan pH lebih rendah dari 2,5.1 Aspirasi

cairan lambung hingga 30-40 cc dapat mengakibatkan kerusakan paru yang serius.

Chemical pneumonia dapat menyebabkan peradangan pada parenkim paru yang di

mediasi oleh sitokin. Mendelson sindrom memiliki gejala seperti muntah setelah

anastesi inhalasi dan pasca operasi. Dua sampai lima jam setelah aspirasi ada

onset dramatis sianosis, dyspnue, takikardi dan syok.2 Aspirasi sering terjadi pada

1

Page 2: Refrat Fixlast New (Autosaved)

2

pasien yang anestesianya tidak adekuat, hamil, gemuk, airway sulit, operasi

emergensi, perut penuh dan pasien dengan gangguan motilitas usus.2

Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit

cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Gejala dari

defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya adalah

rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala. Itulah yang menjadi alasan

pada banyak keadan klinis saat pembedahan untuk mempuasakan pasien dalam

jangka waktu yang tidak terlalu lama.2

Page 3: Refrat Fixlast New (Autosaved)

3

BAB II

FISIOLOGI

2.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung

Gaster merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar terletak di

bagian atas abdomen. Secara kasar lambung berbentuk seperti huruf J. Permukaan

lambung ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang dinamakan rugae.

Invaginasi epitel pembatas lipatan-lipatan tersebut menembus lamina propria,

membentuk alur mikroskopik yang dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae.

Sejumlah kelenjar-kelenjar kecil, yang terletak di dalam lamina propria, bermuara

ke dalam dasar gastric pits ini. Epitel pembatas ketiga bagian ini terdiri dari sel-sel

toraks yang mensekresi mukus. Lambung secara struktur histologis dapat

dibedakan menjadi: kardia, korpus, fundus, dan pylorus.3

Page 4: Refrat Fixlast New (Autosaved)

4

Esofagus memasuki gaster di ostium cardiacum dimana terdapat suatu

lapisan otot polos yang berperan secara fisiologis sebagai sebuah sphincter yang

dikenal dengan sphincter gastrooesophagicus. Saat makanan berjalan turun

melalui esofagus, ujung otot dari esofagus yang sedang berperistaltik akan

berelaksasi sehingga makanan dapat masuk ke gaster. Kontraksi tonik sphincter

ini mencegah isi lambung mengalami regurgitasi ke dalam esofagus. Penutupan

sphincter ini diatur oleh nervus vagus, dan aktifitas ini dapat meningkat oleh

hormon gastrin dan menurun oleh hormon sekretin, kolesistokinin, dan glukagon.3

Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus. Tunica muscularis

stratum circulare yang meliputi gaster jauh lebih tebal di daerah ini dan

membentuk sphincter pyloricus secara anatomis dan fisiologis. sphincter

pyloricus mengatur aliran isi gaster ke dalam duodenum. Sphincter menerima

serabut-serabut motorik dari sistem simpatik dan serabut-serabut inhibisi dari

nervus vagus. Selain itu, pylorus dikendalikan oleh nervus setempat dan pengaruh

hormon dari dinding gaster dan duodenum. Contoh, regangan gaster karena terisi

akan merangsang plexus myentericus dan secara refleks menimbulkan relaksasi

sfingter. Pengeluaran hormon gastrin dari mukosa antrum pyloricum menstimulasi

peristaltik di dinding gaster dan dengan demikian memulai pengosongan gaster.

Di duodenum, adanya isi gaster menstimulasi reflex intestinum setempat, yang

menghambat relaksasi sfingter. Adanya lemak di dalam duodenum menimbulkan

pelepasan hormon, seperti kolesistokinin dari dinding duodenum dan jejenum,

yang menghambat motilitas gaster dan dengan demikian memperlambat isi gaster

ke duodenum.3

Fungsi gaster adalah sebagai berikut4:

1. Motorik

Penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat

diproses di dalam lambung, duodenum, dan traktus intestinal bawah.

Pencampuran makanan dengan sekresi dari lambung sampai

membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus.

Page 5: Refrat Fixlast New (Autosaved)

5

Pengosongan kimus dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus

pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat

oleh usus. Pada saat kimus siap masuk kedalam duodenum, akan

terjadi peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.

2. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL

gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponen utamanya yaitu mukus,

HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastric yang

disekresi langsung masuk kedalam aliran darah.

3. Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali protein

diubah menjadi polipeptida.

4. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol,

glukosa, dan beberapa obat.

5. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam lambung

oleh HCL.

2.2. Proses Pencernaan

2.2.1 Pengaturan Motilitas dan Pengosongan Lambung

Aktifitas pengosongan lambung mencakup proses penampungan bahan

makanan solid maupun liquid, penghancuran bahan solid serta mencampurnya

dengan asam lambung sehingga partikel-partikel kecil yang optimal bagi

pencernaan, pengosongan bahan liquid dan bahan solid yang telah dihancurkan ke

Page 6: Refrat Fixlast New (Autosaved)

6

duodenum pada periode digestif postprandial, dan pengosongan semua sisa

makanan termasuk bahan yang non digestible pada periode interdigestif. Proses

pengosongan lambung tersebut diatur oleh aksi yang bersamaan dengan

fundus,antrum,pylorus dan duodenum.5

Lambung proksimal yaitu fundus dan sepertiga atas corpus merupakan

bagian lambung yang tidak memiliki aktivitas listrik miogenik spontan. Lambung

proksimal ikut berperan dalam proses pengosongan liquid karena adanya

perbedaan tekanan fundic-duaodenum akibat kontraksi tonik yang lambat (1-

3menit) yang terjadi di fundus. Kontraksi tonik ini distimulasi oleh excitatory

fibers dari nervus vagus dan neurohormon seperti motilin.5

Fungsi lain dari lambung proksimal adalah sebagai penampung makanan.

Pada waktu proses menelan lambung proksimal mengalami fase relaksasi yang

disebut receptive relaxation, dimana terjadi peningkatan volume lambung tanpa

disertai peningkatan tekanan lambung sehingga dapat berfungsi sebagai reservoir.

Kemampuan relaksasi tersebut dipertahankan oleh inhibitor fibers dari nervus

vagus dan pengaruh inhibisi dari neurohormonal.5

Berbeda dengan lambung proksimal maka otot-otot lambung distal mulai

dari corpus sampai ke cincin pylorus memiliki aktivitas listrik spontan

(autorythmicity), namun kontraksi lambung distal ini diatur oleh suatu pacemaker

yang terletak di curvatura mayor yang melepaskan gelombang depolarisasi

spontan (basal electrical rhythm) dengan kecepatan 3 siklus / menit. Kecepatan

ini tidak berubah baik pada waktu puasa, makan, beraktifitas ataupun tidur.

Depolarisasi spontan tersebut akan berubah menjadi sebuah kontraksi (yang

ekuivalen dengan sebuah aksi potential) ataupun tidak, tergantung ada tidaknya

rangsang syaraf atau hormonal tertentu. Lambung akan sangat mudah

berkontraksi selama waktu makan karena adanya distensi akan menstimulasi

aferen vagus yang disertai pelepasan peptida post prandial dan karena adanya

stimulasi oleh bahan-bahan makanan yang kontak ke mukosa. Pada periode

digestif kontraksi tersebut berperan penting dalam proses pengosongan lambung

dimana kontraksi tersebut akan mendorong isi lambung ke arah gastroduodenal

junction.5

Page 7: Refrat Fixlast New (Autosaved)

7

Makanan solid sebelum dikosongkan akan mengalami proses pencampuran

dan penggilingan (mixing & grinding) oleh kontraksi otot-otot antrum yang tebal,

sehingga menjadi pertikel-pertikel kecil (<1 mm) agar dapat melewati pylorus.

Waktu yang diperlukan untuk proses tersebut disebut lag phase.5

Pada periode intergestif yaitu ± 2 jam sesudah makan dan pada waktu tidur,

lambung melakukan aktivitas motorik secara siklik dengan waktu ± 100 menit /

siklus. Fase I dari siklus ini merupakan fase diam karena jarang terjadi kontraksi,

berlangsung ± 1 jam. Fase 2 berlangsung ± 30 menit, lebih aktif dimana terjadi 1

atau 2 kontraksi setiap beberapa menit yang sifatnya intermitten dan irregular.

Puncak aktivitas dari interdigestif adalah fase 3 dimana terjadi rentetan kontraksi

dengan kecepatan 3 kontraksi, bersifat singkat, ritmik, kuat dan mendorong ke

arah duodenum, berlangsung selama 5 – 10 menit. Pada fase ini berlangsung

pengosongan terhadap bahan-bahan solid digestible (seperti serat, biji, sayur

ataupun partikel makanan keras yang tidak dapat dihancurkan oleh lambung)

sebab pada saat yang bersamaan terjadi pembukaan dan relaksasi dari pylorus.

Fase 4 merupakan transisi dari fase 3 ke fase 4. Aktivitas interdigestif ini

dipengaruhi oleh nervus vagus. 5

Pylorus dan duodenum berfungsi sebagai pengatur ataupun barier mekanis

terhadap aliran keluar dari lambung, pylorus berbentuk terowongan berdinding

tebal yang dapat secara aktif mengubah ukuran lumennya dibawah pengaruh

neurohumoral akibat stimulasi reseptor-reseptor di duodenum maupun usus halus

lainnya. Segera setelah makan, kontraksi lambung akan mendorong makanan ke

arah pylorus, namun pylorus akan terbuka sebahagian saja sehingga hanya bagian

liquid atau partikel kecil saja yang dapat lewat, sedangkan partikel yang lebih

besar akan tertahan diantrum untuk menjalani proses mixing dan grinding oleh

konstruksi antrum. Pada fase 3 interdigestif pylorus terbuka lebar sehingga bahan

solid nondigestible dengan pertikel besar dapat melewati pylorus oleh dorongan

kontraksi antrum yang terkoordinasi dengan motilitas duodenum. 5

Di duodenum terdapat reseptor-reseptor sensorik yang akan terstimulasi

oleh bahan-bahan nutrien yang melewati lumen duodenum. Bahan nutrien dengan

kalori tinggi, kandungan lemak tinggi, osmolitas tinggi ataupun pH yang lebih

Page 8: Refrat Fixlast New (Autosaved)

8

tinggi asam akan memberikan stimulasi yang lebih kuat terhadap reseptor tersebut

yang akan menyebabkan relaksasi fundus, terlambatnya peristaltik antrum,

mengecilnya lumen antrum, pylorus dan duodenum, terangsangnya kontraksi

lokal di pylorus, berkurangnya aktivitas peristaltik di duodenum, serta

berkurangnya koordinasi kontraksi antara antrum dan duodenum, sehinngga

keseluruhan efek ini akan berfungsi sebagai rem terhadap proses pengosongan

lambung. 5

Karbohidrat selain dapat memperlambat pengosongan lambung melalui

efek stimulasi langsung reseptor-reseptor di usus halus, juga efek peningkatan

gula darah yang diakibatkannya. 5

Kecepatan lambung mengosongkan isinya ke dalam duodenum bergantung

juga pada jenis makanan yang dimakan. Makanan yang banyak mengandung

karbohidrat meninggalkan lambung dalam beberapa jam. Makanan kaya protein

meninggalkan lambung lebih lambat, dan pengosongan paling lambat setelah

makan makanan yang mengandung lemak. Kecepatan pengosongan lambung juga

bergantung pada tekanan osmotik bahan yang masuk ke dalam duodenum.

Hiperosmolalitas isi duodenum akan dirasakan oleh “osmoreseptor duodenum”

yang mencetuskan pernurunan pengosongan lambung yang mungkin berasal dari

saraf. 5 Pengosongan lambung dipengaruhi oleh beberapa hal seperti jenis nutrisi,

kalori, volume lambung, volume makanan yang dimakan, osmolalitas, jumlah

asam yang dihasilkan lambung.6

Lemak, gula, asam amino tertentu (khususnya triptofan) dan titrateable acid

yang memiliki osmolaritas tinggi juga menghambat pengosongan lambung.

Produk-produk pencernaan protein dan ion hidrogen yang membasahi mukosa

duodenum mencetuskan penurunan motilitas lambung melalui perantaraan saraf

yaitu refleks enterogasti. Peregangan duodenum, distensi rektum dan kolon, juga

mencetuskan refleks ini. Gastric inhibitory polypeptide dan kolesistokinin

menghambat motilitas lambung.7

Page 9: Refrat Fixlast New (Autosaved)

9

2.2.2 Pengaruh Persarafan pada lambung

Fungsi motorik lambung sangat tergantung kepada keadaan system saraf.

Sistem syaraf saluran cerna terdiri dari syaraf-syaraf intrinsik dan ekstrinsik.

Syaraf intrinsik membentuk system persyarafan yang disebut sebagai enteric

nervous system (system syaraf enterik) yaitu berupa kumpulan neuron-neuron

pada saluran cerna yang dapat berfungsi mandiri walaupun tanpa kendali dari

system syaraf pusat, sehingga disebut juga sebagai “brain of the gut”. Sistem

syaraf enterik, mengatur berbagai fungsi saluran cerna termasuk motilitas, sekresi

eksokrin dan endokrin yang juga mikrosirkulasi. Sistem syaraf enterik membentuk

2 flexus utama. Flexus myenteric (Auerbach’s) terletak diantara lapisan otot

longitudinal dan sirkuler sepanjang saluran cerna, terutama memberikan inervasi

motorik kepada kedua lapisaan tersebut dan intervasi sekretomotor ke mukosa.

Flexus submucosa (Meissner’s) terletak di submukosa yaitu antara lapisan otot

sirkuler dan muskularis mukosa, pleksus ini menginervasi epitel granduler, sel-sel

endokrin usus dan pembuluh darah submukosa. Sebagaimana pada system saraf

pusat, maka neuron system syaraf enterik juga menggunakan berbagai

neurotransmitter sebagai mediator, antara lain acetyl-choline, neuropeptida seperti

cholecystokinin (CCK), glanin, calcitonin generelated peptide (CGRP), gastrin

releasing peptide (GRP), enkephalins, somatostatin, substance P, vasoactive

intestinal polypeptide (VIP), purin, nitric oxide, dan kemungkinan juga asam-

asam amino seperti gamma amino butyric acid (GABA).5

Syaraf eksentrik berupa serabut-serabut sensorik (afferent) dari syaraf

parasimpatis, simpatis maupun somatik. Syaraf-syaraf ini menghubungkan system

syaraf eksentrik dengan sitem syaraf pusat yang berperan penting dalam

penyelarasan berbagai fungsi system syaraf enterik. 5

Parasympatetic motor pathway yang mengatur fungsi motorik dan

sekretomotorik saluran cerna bagian atas sampai ke kolon transversum sebelah

kanan adalah berasal dari nervus vagus. Cabang nervus vagus utama yang menuju

ke lambung adalah berasal dari nervus anterior yang mempersyarafi permukaan

anterior lambung duodenum, serta nervus posterior yang mempersyarafi

permukaan posterior dari lambung. Sedangkan parasympatetic motor pathway

Page 10: Refrat Fixlast New (Autosaved)

10

yang mengatur fungsi kolon distal dan rectum berasal dari nervus sacralis. Serabut

parasimpatik merupakan serabut preganglionic cholinergic yang menyebabkan

efek eksitasi enterik melalui reseptor muskarinik dan nikotinik. Di esopagus,

lambung, kolon distal anorektal serabut parasimpatik tersebut banyak mengadakan

koneksi dengan neuron-neuron myenteric sehingga kendali system syaraf pusat

pada tempat-tempat terseburt lebih langsung. 5

Serabut simpatik eferen yang memasuki saluran cerna merupakan serabut

postganglionic adrenergic, sedangkan serabut preganglionik terletak di spinal

cord (T5 s/dL3). Syaraf simpatis eferen ini menyelenggarakan sebagian besar

aksinya secara indirek melalui neuron enterik, yaitu berupa inhibisi pada seluruh

saluran cerna kecuali pada sfingter yang akan berkontraksi oleh aksi syaraf

simpatis. 5

Serabut-serabut sensorik yang membawa informasi sensorik ke system

syaraf pusat disebut sebagai primary efferent neurons. Primary vagal aferent

neurons berasal dari lapisan otot polos (sensitif terhadap distensi mekanis usus)

dan dari mukosa (sensitif terhadap glukosa, asam amino, asam lemak rantai

panjang dan juga rangsang kimia dan mekanis). Splanchnic primary afferent

neurons berasal dari dinding serosal usus, merupakan suatu nosiseptor, berperan

dalam timbulnya rasa nyeri saluran cerna, dan bereaksi terhadap rangsang

mekanis, dan termis. 5

2.3. Pasien dengan Pengosongan Lambung yang Lambat

Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pengosongan lambung

menjadi terlambat seperti pada pasien diabetes, obesitas, dan kehamilan.5

Kehamilan dapat memperlambat pengosongan lambung dan menurunkan motilitas

usus. Selain itu, akan terjadi peningkatan sekresi mukosa, pH gaster meningkat

(40% lebih tinggi daripada perempuan tidak hamil). Hal ini terjadi karena

pengaruh hormonal.8 Pada pasien DM juga mengalami penurunan dalam

pengosongan lambung karena terjadi gastroparesis diabetika. Dari hasil berbagai

Page 11: Refrat Fixlast New (Autosaved)

11

laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes mengalami

keterlambatan waktu pengosongan lambung. Pada gastroparesis diabetika

terjadinya neuropati diabetik yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf

ekstrinsik lambung. 5

Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan

pengosongan lambung. Hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung

dengan cara tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus,

aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme

miogenik. Fischer dkk menunjukkan bahwa hiperglikemia post prandial pada

penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik

lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan

lambung. 5

Page 12: Refrat Fixlast New (Autosaved)

12

BAB III

PANDUAN PUASA PERIOPERATIF

Puasa menjelang sebuah tindakan operasi adalah suatu hal yang rutin

dilakukan untuk mengurangi efek samping dari suatu tindakan anestesi yang

dilakukan selama pembedahan. Puasa bertujuan mengurangi resiko terjadinya

aspirasi cairan lambung ke paru-paru pada penderita yang sedang menjalani

pembedahan. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera setelah

kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung terjadi 2 fase

yaitu trauma pada jaringan dan reaksi inflamasi. Dalam waktu 5 detik, asam akan

bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu 15 detik telah

terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan sel superfisial

yang bersilia dan yang tidak bersilia. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap HCl

dan mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya aspirasi.

Peningkatan lisophophosphatidyle choline yang cepat dalam 4 jam setelah

aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permeabilitas alveolar dan cairan paru

(lung water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan penurunan compliance

paru, meningkatnya ventilation-perfusion mismatching dan meningkatnya

alveolar-arterial oxygen tension difference. Pada fase kedua, ditandai dengan acid

mediated induction dan pelepasan pro-inflamatory cytokine seperti TNFα dan

interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekpresi sel adhesion molecule L-selectin

dan beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion molecules (ICAM)

pada endotel paru yang selanjutnya merangsang reaksi inflamasi (neutrophilic

inflammatory response).9

Aspirasi paru dapat terjadi pada keadaan peningkatan isi lambung,

inkompetensi sfingter esofagus bawah (LES), dan adanya penurunan refleks

laring. Pencegahan dilakukan dengan mengurangi produksi asam lambung dan

keasaman lambung. Produksi asam lambung yang lebih dari 25 ml (0,4 ml/kg) dan

Page 13: Refrat Fixlast New (Autosaved)

13

pH kurang dari 2,5 mempunyai resiko yang lebih besar. Apabila pH asam

lambung kurang dari 1,5, kerusakan yang terjadi pada paru sangat hebat. 9

3.1. American Society of Anesthesiologists

Berikut ini merupakan acuan pelaksanaan puasa preoperatif yang

dikeluarkan oleh American Society of Anesthesiologists tahun 2011:

Tabel 1. ASA FASTING GUIDELINES1

Jenis Makanan Lama Puasa Minimal

Clear liquids

ASI

Susu formula bayi

Non human milk

Makanan ringan

2 jam

4 jam

6 jam

6 jam

6 jam

Periode puasa yang harus dilakukan oleh pasien menjelang pembiusan

disesuaikan dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi menjelang

tindakan pembiusan dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan

lambung dalam mengosongkan isinya. Cairan bebas ampas biasanya dengan cepat

dapat dikosongkan oleh lambung contohnya air mineral, jus buah tanpa ampas,

minuman bersoda, teh dan kopi hitam, tapi tidak demikian dengan minuman

beralkohol. Berbeda dengan makanan padat yang biasanya lebih lama bertahan

dilambung jika dibandingkan dengan cairan. Biasanya sangat tergantung kepada

kandungan gizi dari jenis makanan padat tersebut. Makanan yang bayak

mengandung lemak atau makanan jenis daging biasanya memerlukan waktu

hingga 8 jam lebih untuk bisa dikosongkan sepenuhnya dari lambung. Sedangkan

makanan ringan dan biskuit hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk keluar

sepenuhnya dari lambung. Susu dalam hal ini tergolong bahan padat karena pada

saat mencapai lambung dia akan bereaksi dengan asam lambung membentuk

massa yang padat yang perlu waktu lebih lama untuk di cerna. Sedangkan ASI

yang kadar protein dan lemaknya lebih rendah dari susu sapi dalam proses

pencernaannya memerlukan waktu yang lebih cepat.1

Page 14: Refrat Fixlast New (Autosaved)

14

3.2. European Society of Anaesthesiology

Berikut ini merupakan acuan pelaksanaan puasa pre operatif yang

dikeluarkan oleh Asosiasi Anestesiologis Eropa (European Society of

Anaesthesiology) pada tahun 2011.10

A. Puasa

1. Cairan

Dewasa dan anak diperbolehkan untuk meminum cairan bening (air putih,

teh manis, jus tanpa ampas dan kopi hitam tanpa susu) hingga 2 jam sebelum

operasi yang sudah terjadwal, termasuk section caesarean. Beberapa peneliti telah

membuktikan bahwa meminum minuman bening dinilai aman hingga 2 jam

sebelum operasi karena waktu pengosongan lambung yang cepat. Memperlama

puasa pada pasien pra bedah dapat menyebabkan stress selama tindakan bedah,

terutama pada orang tua dan anak-anak. 10

2. Makanan Padat

Makanan padat tidak boleh diberikan sejak 6 jam sebelum tindakan bedah

berlangsung, baik pada dewasa maupun anak-anak. Susu secara umum, bila

diminum dalam jumlah yang banyak akan mengental di dalam lambung, dan

bersifat sama dengan makanan padat (mengurangi kecepatan pengosongan

lambung), tetapi konsumsi dalam jumlah kecil tidak bermakna dan bersifat sama

seperti minuman bening. Penambahan susu dalam teh maupun kopi masih

dikelompokkan ke dalam minuman bening dengan catatan jumlah susu yang

ditambahkan tidak lebih dari seperlima total volume teh/kopi sebelum diberi

susu. 10

3. Permen Karet, Gula-Gula, dan Rokok

Konsumsi permen karet, gula-gula, dan rokok segera sebelum tindakan

bedah dinilai aman. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, terdapat

penelitian yang mengatakan bahwa volume cairan dan PH lambung tidak berbeda

secara bermakna baik sebelum maupun sesudah mengkonsumsi jenis-jenis

Page 15: Refrat Fixlast New (Autosaved)

15

makanan tersebut. Sedang penelitian lain mengatakan bahwa perbedaan volume

cairan dan PH lambung berbeda bermakna secara statistikal, tetapi tidak

menyebabkan efek yang merugikan seperti kejadian aspirasi selama tindakan

anestesia, sehingga dinilai tidak bermakna secara klinis. 10

4. Pasien dengan Gangguan Pengosongan Lambung

Pasien dengan obesitas, gastro-oesophageal reflux, diabetes mellitus, dan

wanita hamil dapat mengikuti acuan prosedur dalam guideline ini secara aman. 10

B. Konsumsi Karbohidrat Preoperatif: Hubungannya dengan

Pengosongan Lambung dan Keuntungannya

Meminum minuman yang kaya akan kandungan karbohidrat diperbolehkan

hingga 2 jam sebelum induksi anestesi, termasuk pasien diabetes. Membiarkan

pasien untuk meminum minuman bening hingga 2 jam sebelum tidakan bedah,

tidak menyebabkan banyak perubahan pada metabolisme tubuh, mengingat

minuman tersebut tidak mengandung cukup kalori yang diubah menjadi energy.

Cara terbaik untuk mengetahui perubahan metabolisme setelah puasa semalaman

yaitu dengan mengkonsumsi karbohidrat. Adanya glukosa yang masuk ke dalam

tubuh akan merangsang produksi insulin. Hal ini menyebabkan berkurangnya

resistensi insulin post operatif. Ini penting untuk diketahui karena resistensi

insulin post operatif dan hiperglikemia berkaitan erat dengan perbaikan outcome

setelah operasi selesai. Selain menurunkan kejadian resistensi insulin post operatif,

konsumsi minuman yang kaya akan kandungan karbohirat sebelum tindakan

bedah akan memperbaiki emosi pasien secara subyektif serta mengurangi rasa

haus dan lapar. 10

C. Puasa Preoperatif pada Bayi dan Anak

1. Cairan

Seorang anak yang akan menjalani tindakan bedah diperbolehkan meminum

minuman bening hingga 2 jam sebelum induksi anestesi diberikan. Bayi yang

hendak menjalani tindakan bedah harus diberi makan sebelum operasi dimulai.

Air Susu Ibu (ASI) aman untuk diberikan hingga 4 jam sebelum operasi dan susu

Page 16: Refrat Fixlast New (Autosaved)

16

formula hingga 6 jam sebelum operasi. Sedangkan minuman bening sama

aturannya seperti pada pasien anak maupun dewasa. Memperbolehkan anak untuk

minum sebelum tindakan bedah akan memperbaiki kecemasan pada orangtua dan

anak, mengurangi rasa haus, dan mengurangi risiko dehidrasi pre operatif pada

bayi muda. 10

2. Air Susu Ibu (ASI) dan Susu Formula

Beberapa studi mengatakan bahwa ASI dikosongkan dari lambung lebih

cepat daripada susu formula yang keduanya memiliki waktu paru lebih dari 2 jam.

Berdasarkan data tersebut, maka lamanya bayi berpuasa sebelum menjalani

tindakan bedah yaitu 4 jam bila minum ASI dan 6 jam bila minum susu formula,

karena susu sapi maupun susu bubuk bersifat sama serperti makanan padat. 10

3. Makanan Padat

Makanan padat tidak boleh diberikan sejak 6 jam sebelum tindakan bedah

berlangsung, baik pada dewasa maupun anak-anak. Susu secara umum, bila

diminum dalam jumlah yang banyak akan mengental di dalam lambung, dan

bersifat sama dengan makanan padat (mengurangi kecepatan pengosongan

lambung), tetapi konsumsi dalam jumlah kecil tidak bermakna dan bersifat sama

seperti minuman bening. Penambahan susu dalam teh maupun kopi masih

dikelompokkan ke dalam minuman bening dengan catatan jumlah susu yang

ditambahkan tidak lebih dari seperlima total volume teh/kopi sebelum diberi

susu. 10

4. Cairan post operatif

Minum dapat diberikan kepada pasien yang telah menjalani operasi pada 3

jam setelah operasi selesai. Pemberian jeda waktu ini dapat mengurangi kejadian

muntah post operatif. Akan tetapi penelitian terbaru membuktikan bahwa tidak

ada hubungan antara kejadian muntah dengan menunda masukan oral post

operatif, sehingga membiarkan anak memakan/minum segera setelah operasi pun

diperbolehkan. 10

D. Puasa pada pasien Obstetri yang Akan Menjalani Pembedahan

Page 17: Refrat Fixlast New (Autosaved)

17

Pasien yang sedang dalam persalinan diperbolehkan meminum caian bening

sebagaimana aturan yang telah diberlakukan. Makanan padat harus dihindari

selama persalinan aktif. Obat H2-reseptor antagonis (contoh Ranitidin 150 mg)

atau PPI (contoh omeprazole 40 mg) harus diberikan satu malam sebelum

dilakukan tindakan bedah dan diulang 60-90 menit sebelum induksi anestesi

dilakukan. Pada bedah Caesar yang bersifat emergensi, pemberian H2 reseptor

antagonis (contoh ranitidine 50 mg) diberikan melalui intravena selama operasi

berlangsung dengan anestesi regional. Sedangkan pada bedah Caesar dengan

anestesi umum, obat yang diberikan berupa H2-antagonis reseptor dan antacid

oral sebelum induksi anestesi dimulai. Pasien yang telah menjalani bedah Caesar

dapat minum antara 30 menit sampai 2 jam setelah operasi selesai. Sedangkan

makanan padat ditunda hingga 12 jam setelah operasi untuk menghindari kejadian

mual dan muntah. 10

Tabel 2. Rekomendasi Puasa Preoperatif European Society of Anaesthesiology

(ESA) 10

Puasa pada Dewasa dan Anak-Anak Bukti Rekomendasi

Dewasa dan anak-anak sebaiknya dinasehati

untuk minum cairan jernih (termasuk air

putih, jus tanpa ampas dan teh atau kopi

tanpa susu) sampai dua jam sebelum operasi

elektif (termasuk seksio sesarea)

1++ A

Makanan padat sebaiknya dilarang sampai 6

jam sebelum operasi elektif pada pasien

dewasa dan anak-anak

1+ A

Pasien dengan obesitas, refluks

gastrointestinal dan diabetes dan wanita

hamil bukan dalam persalinan dapat

mengikuti semua panduan di atas

2- D

Pasien-pasien sebaiknya tidak ditunda atau

dibatalkan operasinya hanya karena mereka

mengunyah permen karet, menghisap

1- B

Page 18: Refrat Fixlast New (Autosaved)

18

permen, atau merokok segera sebelum

induksi anestesi

Puasa pada Bayi Bukti Rekomendasi

Bayi sebaiknya diberi makan sebelum

operasi elektif. ASI aman sampai dengan 4

jam dan susu lainnya sampai dengan 6 jam.

Cairan yang jernih sebiknya diberikan

dengan aturan yang sama dengan dewasa.

1++ A

Prokinetik dan Intervensi Farmakologis Bukti Rekomendasi

Tidak didapatkan cukup bukti mengenai

manfaat klinis untuk merekomendasikan

penggunaan rutin antasida, metoklopramid

atau antagonis reseptor H2 sebelum operasi

elektif pada pasien nonobstetrik

1++ A

Suatu antagonis reseptor H2 sebaiknya

diberikan malam sebelum dan pagi saat

operasi seksio sesarea

1++ A

Suatu antagonis reseptor H2 sebaiknya

diberikan sebelum operasi seksio sesarea

emergensi; dan jika direncanakan untuk

anestesi general maka sebaiknya

ditambahkan sodium sitrat 0,3 mol/L

sebanyak 30 cc

1++ A

Karbohidrat Oral Bukti Rekomendasi

Aman bagi pasien (termasuk pasien dengan

diabetes) untuk meminum minuman tinggi

karbohidrat sampai dengan 2 jam sebelum

operasi elektif

1++ A

Meminum cairan kaya karbohidrat sebelum 1++ A

Page 19: Refrat Fixlast New (Autosaved)

19

operasi elektif memperbaiki kenyamanan

subjektif, mengurangi haus dan lapar dan

mengurangi resistensi insulin

Puasa pada pasien obstetri Bukti Rekomendasi

Wanita sebaiknya diperbolehkan minum

cairan jernih sesuai dengan yang mereka

mau selama masa persalinan

1++ A

Makanan padat sebaiknya dihindari selama

persalinan fase aktif1+ A

Tabel 3. Sistem gradasi Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN)

1++ Meta-analisis berkualitas tinggi, systematic review dari RCT, atau

RCT dengan risiko bias yang sangat rendah

1+ Well conducted meta-analysis, systematic review, atau RCT dengan

risiko bias yang rendah

1- Meta-analysis, systematic review, atau RCT dengan risiko bias yang

tinggi

2++ Systematic review case control/ cohort berkualitas tinggi

2+ Well conducted case control/cohort dengan risiko rendah dari

confounding (faktor penganggu) atau bias dan probabilitas moderat

bahwa hubungannya sebab akibat

2- Uji case control/ cohort dengan risiko tinggi dari confounding

(faktor penganggu) atau bias dan probabilitas bermakna bahwa

hubungannya bukan sebab akibat

3 Uji non analitik mislnya laporan kasus, serial kasus

4 Pendapat ahli

Page 20: Refrat Fixlast New (Autosaved)

20

A

Minimal satu meta-analisis, systematic review, atau RCT yang

dinilai sebagai 1++ dan secara langsung dapat diaplikasikan pada

populasi target; atau evidence terdiri dari penelitian-penelitian

dengan peringkat 1+ dan secara langsung dapat diaplikasikan pada

populasi target dan dengan hasil yang konsisten

B

Pembuktian meliputi penelitian dengan peringkat 2++ dan secara

langsung dapat diaplikasikan pada populasi target dan dengan hasil

yang konsisten atau bukti ekstrapolasi dari penelitian dengan

peringkat 1++ atau 1+

C

Pembuktian meliputi penelitian dengan peringkat 2+ dan secara

langsung dapat diaplikasikan pada populasi target dan dengan hasil

yang konsisten atau bukti ekstrapolasi dari penelitian dengan

peringkat 2++

DPembuktian berperingkat 3 atau 4; atau bukti ekstrapolasi dari

penelitian berperingkat 2+

D(GPP) Rekomendasi berdasarkan pengalaman GDG

Page 21: Refrat Fixlast New (Autosaved)

21

BAB IV

AGENT FARMAKOLOGIS

Tidak terdapat bukti yang cukup dari penelitian-penelitian sebelumnya,

tentang keuntungan klinis pemberian antacid, metoclopramid, ataupun H2-

reseptor antagonis sebelum tindakan bedah non obstetric. 10

4.1. Obat Prokinetik dan H2-antagonis

Terdapat sangat sedikit studi yang mendukung pemberian profilaksis

prokinetik untuk mengurangi resiko aspirasi lambung selama tindakan operatif.

Salah satu studi meneliti tentang efek obat prokinetik terhadap volume cairan dan

PH lambung selama induksi anestesi pada pasien dengan anestesi umum yang

akan dibedah Caesar. Studi ini menggunakan 3 kelompok grup yang masing-

masing berjumlah 25 orang, grup pertama diberikan kombinasi H2-antagonis

(ranitidine) dan prokinetik (metoclopramid) sebagai kelompok perlakuan, grup

kedua diberikan H2-antagonis saja (ranitidine), dan grup terakhir diberikan

placebo yang merupakan kelompok kontrol. Dari studi tersebut didapatkan hasil

bahwa pemberian obat secara kombinasi terbukti secara signifikan efektif untuk

menaikkan PH dan mengurangi volume cairan lambung. Walau sudah ada

beberapa studi yang menunjukkan hasil yang sama, akan tetapi dinilai kurang

cukup untuk memberikan bukti karena tidak sedikit dari penelitian terdahulu yang

menunjukkan hasil yang bertentangan. 10

1. Obat prokinetik

Obat-obat prokinetik meningkatkan motilitas esofagus dan lambung

sehingga membantu mempercepat waktu pengosongan lambung. Jenis obat yang

sering dipakai adalah cisaprid, metoklopramid dan betanekol. Metoklopramid

memperkuat tonus sfingter esofagus distal dan meningkatkan amplitudo kontraksi

esofagus. Pada gaster, metoklopramid memperkuat kontraksi terutama pada

bagian antrum, memperbaiki koordinasi kontraktilitas antrum dan duodenum

sehingga mempercepat pengosongan lambung.11

Page 22: Refrat Fixlast New (Autosaved)

22

2. H2-Antagonis

H2-antagonis antara lain adalah Simetidine, Ranitidine, Nizatidine, dan

Famotidine. Senyawa-senyawa antagonis reseptor H2 secara kompetitif dan

reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal, menyebabkan

berkurangnya produksi sitosolik siklik AMP dan sekresi histamine yang

menstimulasi sekresi asam lambung. Interaksi antara siklik AMP dan jalur

kalsium menyebabkan inhibisi parsial asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi

sekresi asam. Yang potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang

paling kuat adalah Famotidin. Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari

Simetidin. Ranitidine dan Simetidin digunakan juga untuk profilaksis. Reseptor

H2 terdapat di lambung, pembuluh darah (menurunkan tekanan darah dengan

menurunkan resistensi perifer, positif kronotropisme, inotropik positif).12

H2-antagonis menghambat secara sempurna sekresi asam lambung yang

sekresinya diinduksi oleh histamin maupun gastrin, tetapi menghambat secara

parsial sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi oleh asetilkolin. Hal

tersebut dapat terjadi dengan melihat kembali mekanisme sintesis asam lambung

di sel parietal. Antagonis reseptor H2 juga menghambat sekresi asam lambung

yang distimulasi oleh makanan, insulin, kafein, pentagastrin, dan nokturnal.12

4.2. Pompa Proton Inhibitor (PPI)

Tidak jelas berapa lama efek perlindungan yang potensial dari PPI terhadap

kejadian aspirasi selama tidakan operasi. Akan tetapi resiko terjadinya aspirasi ini

sangat kecil, dan tidak bermakna secara klinis. 10

Contoh obat-obatan proton pump inhibitor adalah Omeprazol, lansoprazol,

pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol. Mekanisme kerja obat-obat golongan

proton pump inhibitor mengurangi sekresi asam lambung dengan jalan

menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton)

secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah KH

ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk

mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan

antara bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan

Page 23: Refrat Fixlast New (Autosaved)

23

terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan

terhentinya produksi asam lambung. 12

Farmakokinetik. Obat-obat golongan ini mempunyai masalah

bioavailabilitas karena mengalami aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada

berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Oleh karena itu, sebaiknya

diberikan dalam bentuk tablet salut enterik. Obat-obat golongan ini mengalami

metabolisme lengkap. Tidak ditemukan dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat

radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tinja. 12

4.3. Antasida

Antasida (senyawa magnesium, aluminium, dan bismut, hidrotalsit, kalsium

karbonat, Na-bikarbonat). Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung

sehingga efektifitasnya bergantung pada kapasitas penetralan dari antasida

tersebut. Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang

dibutuhkan untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10

menit secara in vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi

penetralan sebesar 90% dan peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99%

asam lambung. Antasida ideal adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang

besar, juga memiliki durasi kerja yang panjang dan tidak menyebabkan efek lokal

maupun sistemik yang merugikan. Antasida dapat meningkatkan pH cairan

lambung sampai pH 4, dan menghambat aktifitas proteolitik dari pepsin. Antasida

tidak melapisi dinding mukosa namun memiliki efek adstringen. Secara kimia

antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung membentuk

garam dan air. Antasida juga dapat menstimulasi sintesis prostaglandin. Secara

umum antasida dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan non

sistemik.12

Antasida sistemik, diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat

menyebabkan urin bersifat alkali. Untuk keadaan pasien dengan gangguan

ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik sehingga saat ini penggunaannya

sudah jarang. Contoh antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat

(NaHCO3). 12

Page 24: Refrat Fixlast New (Autosaved)

24

Antasida non sistemik, tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak

menimbulkan alkalosis metabolik. Salah satunya adalah Magnesium

[Mg(OH)2], Aluminium [(Al(OH)3], Kalsium (CaCO3), Magnesium

trisilikat (Mg2Si3O8nH2O), Magaldrat. Mg(OH)2 memiliki efek netralisasi

yang lebih lama dibandingkan NaHCO3 atau CaCO3, sedangakan

Magnesium trisilikat, Al(OH)3 dan Aluminium fosfat memiliki aktivitas

antasid yang lemah. 12

Page 25: Refrat Fixlast New (Autosaved)

25

BAB V

ORAL INTAKE POST ANESTESIA

Rekomendasi Pemberian Oral Intake Paskaoperasi pada Pasien yang Sehat13

1. Dewasa

Grade Rekomendasi

A Pasien diperbolehkan minum, bila pasien sudah siap dan tidak

ada kontraindikasi dari obat, operasi atau perawatan.

2. Anak

Grade Rekomendasi

A Oral fluids dapat diberikan pada bayi dan anak yang sehat

ketika mereka sudah sadar sepenuhnya dari pengaruh anestesi

dan tidak ada kontraindikasi dari obat, operasi atau perawatan.

D

(GPP)

Dokter harus memberikan clear fluids atau ASI terlebih

dahulu sebelum memberikan makanan yang lain

A Infants and children undergoing day surgery should not be

required to drink as part of the discharge criteria.

Page 26: Refrat Fixlast New (Autosaved)

26

DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Anesthesiologists. 2011. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures. Lippincott Williams & Wilkins. Anesthesiology 2011; 114: 495–511.

2. Dines, DE. et al. 1961. Aspiration Pneumonitis-Mendelson’s Syndrome. JAMA; 176(3):229-231.

3. Snell, RS. 2007. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC: Jakarta. 4. Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. EGC:

Jakarta.5. Jolliffe, DM. 2009. Practical gastric physiology. Volume 9. Contin Educ

Anaesth Crit Care Pain. 9(6):173-177.6. Varón, AR dan Zuleta, J. 2010. From the physiology of gastric emptying to

the understanding of gastroparesis. Rev Col Gastroentenol. 25 (2); 207-213.7. Moukarzel, AA, dkk. 1996. Gastric physiology and function: effects of fruit

juices. Journal of the American College of Nutrition. 15; 18S-25S.8. Prawirohardjo, S. 2011. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.9. Downing TE, et al. 2008. Pulmonary Histopathology in an Experimental

Model of Chronic Aspiration Is Independent of Acidity. Exp Biol Med. 233: 1202.

10. Smith, I, et al. 2011. Guidelines Perioperative Fasting in Adults and Children: Guidelines from the European Society of Anaesthesiology. Europaen Journal of Anethesiology. 557-569

11. Ganiswarna, SG. 2001. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

12. Katzung, B.G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. Antipeptic Ulcer. 10th edition. USA: McGraw-Hill.

13. Westby, M. et al. 2005. Perioperative fasting in adult and children. Royal College Nursing London.