Refrat New
-
Upload
muksan-shan -
Category
Documents
-
view
48 -
download
8
description
Transcript of Refrat New
REFERAT
“ABSES RETROFARING”
Pembimbing
dr. Markus Rambu, Sp. THT-KL
Disusun oleh
Witha Septi Hartati
H1A 009 044
KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya
berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yeng terlibat.1
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan streptococcus, staphylococcus,
kuan anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa
abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibular, dan
angina Ludovici (Ludwig’s angina).1
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring dan merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep
neck infection).2
Abses retrofaring biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5
tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar
limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung
aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan
telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.1,2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen
jaringan lunak leher lateral.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,
dengan panjang ±13 cm dari koana sampai laring, besar di bagian atas dan sempit di
bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esophagus hingga vertebrae cervical VI. Ke atas faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring. Sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan
ke bawah berhubungan dengan esophagus.3,4,5,6
Anatomi Faring 6
Panjang dinding posterior faring pada dewasa ±14 cm. Struktur penyusun
dinding faring (dari dalam ke luar):3,4
‒ Selaput lendir/ mukosa
‒ Fasia faringoasiler
3
‒ Pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal
Unsur-unsur faring meliputi:3,4
‒ MUKOSA
Pada nasofaring karena fungsinya untuk respirasi : epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet, dan mukosanya bersilia.
Pada orofaring dan laringofaring karena fungsinya untuk
pencernaan : epitelnya gepeng berlapis, tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid di
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system
retikuloendotelial. Oleh karena itu, faring dapat disebut juga daerah
pertahanan tubuh terdepan.
‒ PALUT LENDIR (MUCOUS BLANKET)
Bagian atas nasofaring ditutupi palut lendir (letak: diatas silia.
Gerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang)
Palut lender ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang
terbawa udara pernapasan.
Palut lender ini mengandung enzim lisozim (+) yang penting untuk
proteksi.
‒ OTOT
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal).
Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior,
media, dan inferior. Terletak di sebelah luar, berbentuk seperti kipas
dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari
belakang. Di sebelah depan otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di
bagian belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe faring
(raphe pharynges). Kerja otot konstriktor ntuk mengecilkan lumen faring
dimana otot-otot ini dipersarafi oleh n.vagus (n.x).
Otot-otot yang tersusun longitudinal/ memanjang adalah m.stilofaring
dan m.palatofaring. terletak di sebelah dalam. M.stilofaring berfungsi
melebarkan dan menarik faring dan dipersarafi oleh CN. IX. Sedangkan
m.palatofaring berfungsi mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan
bagian bawah faring dan laring, otot ini dipersarafi oleh saraf CN. X yang 4
berfungsi menutup ismus faring saat menelan (memisahka naso- dan oro-
faring).
Pada palatum mole terdapat 5 pasang otot yg dijadikan satu dalam satu
fasia, antara lain:
o m.levator veli palatini untuk menyempitkan ismus faring dan
melebarkan tuba auditiva. CN.X
o m.tensor veli palatini untuk mengencangkan bg anterior palatum
mole dan membuka tuba auditory. CN.X
o m.palatoglosus membentuk arkus anterior faring, u/
menyempitkan ismus faring. CN.X
o m.palatofaring membentuk arkus posterior faring. CN.X
o m.azigos uvula untuk memperpendek dan menaikkan uvula ke
belakang atas. CN.X
Pendarahan : utamanya dari cabang a.carotis eksterna (cabang faring dan
cabang fausial) dan cabang dari a.maksila interna (cabang palatina superior)
Persarafan : cabang faring dari CN.X dan CN.IX dan serabut simpatis.
Kelenjar getah bening : melalui 3 saluran yakni superior, media, dan inferior
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). 3,5,6
5
Anatomi Faring 6
‒ NASOFARING
Batas-batas:
o atas: dasar tengkorak;
o bawah: palatum mole;
o anterior: rongga hidung (dibelakang koana nasal);
o posterior: vertebra cervikal
struktur di nasofaring:
o Adenoid/ tonsil faringeal yaitu jaringan limfoid pada dinding
superior-lateral faring dengan resesus faring yang disebut
fossa Rosenmuller.
Jika membesar dapat menutup nasofaring.
o Kantong Rathke → invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri.
o Torus tubarius → suatu refleksi mukosa faring di atas
penonjolan kartilago tuba Eustachius.
o Koana
o Foramen jugulare, dilalui oleh CV.IX, CN.X, dan CN.XI
o V.jugularis interna
o Bg petrosus os temporalis dan foramen laserum6
o Muara tuba Eustachius
‒ OROFARING
Batas-batas:
o Atas: palatum mole
o Bawah: tepi atas epiglotis
o Depan: rongga mulut
o Belakang: vertebra cervikalis
Strukturnya terdiri dari:
o Dinding posterior faring
o Tonsil palatina
o Fossa tonsil
o Arkus faring anterior dan posterior
o Uvula
o Tonsil lingual
o Foramen sekum
‒ LARINGOFARING (HIPOFARING)
RUANG FARINGAL
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
1. Dinding anterior Ruang retrofaring (retropharyngeal space) adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan
otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevetebralis.
Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah
dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.3
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh:7
7
a. Anterior: fasia bukofaringeal (divisi visera lapisan media fasia
servikalis profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan
tiroid;
b. Posterior: divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda;
c. Lateral : selubung karotis (carotid sheath) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi visera dan
alar bersatu. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di
bagian lateral oleh midline raphe. Tiap-tiap bagian mengandung 2-5 buah
kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4-5
tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasalis, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Daerah ini
disebut juga dengan ruang retrovisera, retroesofagus, dan ruang visera
posterior.7
Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu:7
- danger space, dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior (tepat di belakang ruang retrofaring);
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior
dan korpus vertebra pada bagian posterior (tepat di belakang danger
space). Ruang ini berjalan sepanjang kolumna vertebralis dan merupakan
jalur penyebaran infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.
8
-
Ruang Retrofaring7
Ruang pada servikalis7
9
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk kerucut
dengan dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya ada kornu mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh
M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens mandibula
yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar
parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya.3
Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat
mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior
(post stiloid) berisi arteri karotis interna, vena jugularis interna, Nervus vagus
yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid
sheat). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia
yang tipis.3
2.2. FISIOLOGI FARING
Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan artikulasi.3,4
1. Fungsi Menelan
Proses menelan dibagi menjadi 3 fase, yaitu : fase oral, fase faringeal
dan fase esophagus yang terjadi secara berkesinambungan. Pada proses
menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut: 3,4
a. Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik
b. Upaya sfingetr mencegah terhamburnya bolus selama fase menelan
c. Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat
respirasi
d. Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring
10
e. Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan ke arah lambung
f. Usaha untuk membersihkan kembali esofagus
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan air liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah
akibat kontraksi otot intrinsic lidah. Kontraksi M.Levator veli palatine
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole
terangkat dan bagian atas dinding posterior faring (Passavant’s ridge) akan
terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofring sebagai akibat kontraksi
M.Levator veli palatine. Selanjutnya terjadi kontraksi M.Paltoglossus yang
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi M.Palatofaring,
sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.3,4
Fase faringeal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esophagus. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi M.Stilofaring, M.Tirohioid dan
M.Palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglottis, sedangkan ketiga
sfingter laring, yaitu plika ariepligotika, plika ventrikularis dan plika vokalis
tertutup karena kontraksi M.Ariepliglotika dan M.Aritenoid obligus.
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian aliran udara ke laring karena
reflex yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan akan meluncur
kea rah esophagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan
lurus. 3,4
Fase esophageal ialah fase oerpindahan bolus makanan dari esophagus
ke lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup.
Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka
terjadi relaksasi M.Krikofaring, sehingga introitus esophagus terbuka dan
bolus makanan masuk ke dalam esophagus. Setelah bolus makanan lewat,
maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esophagus
pada saat istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan
11
demikian refluks dapat dihindari. Gerak bolus makanan di esophagus bagian
atas masih dipengaruhi oleh kontraksi M.Konstriktor faring inferior pada akhir
fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh
gerakan peristaltic esophagus. Dalam keadaan istirahta sfingter esophagus
bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8mmHg lebih dari
tekanan di dalam lambung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.
Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika
dimulainya peristaltic esophagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat maka sfingter ini akan
menutup kembali.3,4
2. Fungsi Faring Dalam Proses Bicara
pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula M.Salpingofaring dan M.Palatofaring, kemudia
M.Levator veli palatine bersam-sam M.Konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring M.Levator veli palatine menarik paltum mole
ke atas belakang hampIr mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa
ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakann M.Palatofaring (bersama M.Salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif
M.Konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini
menetap pada periode fonasi tetapi ada pula pendapat yang mengatakan
tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum. 3,4
12
2.3. ABSES RETROFARING
2.3.1. DEFINISI
Abses retrofaring merupakan suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian
dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring
berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring, dan sinus paranasalis yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring.7
2.3.2. EPIDEMIOLOGI
Abses retrofaring biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5
tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar
limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung
aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan
telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.1,2,7
2.3.3. ETIOLOGI
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring antara lain:1
1. Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakeal dan endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas
2.3.4. PATOFISIOLOGI
Ruang retrofaring berada di anterior fasia prevertebra yang berjalan inferior
dari basis kranii sepanjang faring. Ruang ini merupakan lanjutan ruang parafaring dan
fossa infratemporal. Ruang retrofaring dan parafaring dipisahkan oleh fasia alar, yang
merupakan barier yang kurang efektif terhadap penyebaran infeksi. Ruang retrofaring
13
berhubungan dengan mediastinum superior dan posterior, sehingga dapat menjadi
jalur yang potensial penyebaran infeksi ke thoraks.1,2,7,8
Ruang retrofaring terdiri dari jaringan areolar longgar dan cincin limfe,
sehingga dapat mengikuti pergerakan faring dan esofagus pada saat menelan. Kelenjar
limfe retrofaring menerima aliran limfe dari hidung, sinus paranasalis, tuba
eustachius, dan faring. Pembentukan pus pada kelenjar limfe retrofaring pada
umumya terlokalisir dengan baik, sehingga penyebaran vertikal dari infeksi biasanya
terjadi setelah beberapa waktu dalam progresi penyakit, meskipun keadaan ini jarang
terjadi pada praktiknya. Sebagian besar gejala abses retrofaring berhubungan dengan
obstruksi saluran napas bagian atas dan iritasi lokal otot (misalnya sternomastoid dan
pterigoid).1,7,8
Danger space berada diantara ruang retrofaring dan ruang prevertebra yang
dipisahkan oleh dua komponen yaitu fasia alar dan fasia prevertebra. Hal ini dapat
menyebabkan penyebarab infeksi diantara basis kranii dan mediatinum posterior
sampai pada level diafragma.1,7,8
Ruang retrofaring dapat mengalami infeksi yang berkembang menjadi abses
melalui dua cara, yaitu penyebaran infeksi melalui aliran limfe (sebagian besar) secara
lokal dari sumber infeksi atau inokulasi langsung bakteri melalui trauma tembus atau
benda asing. 1,7,8
Pada anak, abses retrofaring akut paling banyak disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas seperti tonsilitis dan faringitis, sinusitis paranasalis, otitis media, dan
infeksi gigi yang kemudian menyebar dan menyebabkan limfadenopati retrofaring.
Limfadenopati retrofaring kemudian menyebabkan abses retrofaring akibat supurasi
kelenjar getah bening nasofaring. Hal ini merupakan alasan abses retrofaring yang
disebabkan oleh proses non-traumatik jarang ditemukan pada orang dewasa karena
kelenjar getah bening retrofaring telah mengalami regresi.1,7,8
Kasus trauma tembus pada faring sebagai penyebab sekunder abses retrofaring
akut yang terjadi pada anak dapat disebabkan benda asing seperti tulang ikan, tangkai
es krim, dan pensil. Sedangkan penyebab sekunder iatrogenik misalnya trauma post
laringoskopi, intubasi endotrakeal, endoskopi, pemasangan pipa orogastrik, maupun
prosedur dental. Trauma pada faring menyebabkan inokulasi langsung agen patogen
piogenik ke dalam ruang retrofaring yang kemudian terjadi proses supurasi dan
membentuk abses.1,7,8
14
Abses retrofaring akut pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh inokulasi
langsung patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang disebabkan trauma pada
faring atau esofagus akibat tertelan benda asing atau prosedur medis yang traumatik
seperti endoskopi, laringoskopi direk, maupun intubasi endotrakeal. Penyakit-
penyakit seperti diabetes melitus, keganasan, alkoholisme kronik, dan AIDS
dilaporkan sebagai predisposisi abses retrofaring pada orang dewasa.1,7,8
Abses retrofaring kronis pada anak dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis.
Pada anak usia kurang dari 5 tahun, abses retrofaring kronis disebabkan penyebaran
dari infeksi tuberkulosis pada kelenjar limfe servikal dalam ke kelenjar retrofaring
yang membentuk abses dingin. Abses retrofaring kronis yang demikian dikenal
sebagai tipe lateral karena secara klinis terlihat lebih ke arah lateral dari garis tengah
tubuh, fluktuan, dengan tanda inflamasi yang minimal. Pada anak yang lebih tua dan
orang dewasa abses retrofaring kronis biasanya disebabkan spondilitis tuberkulosis
pada vertebra servikalis (Pott’s disease) dimana pus menyebar melalui ligamentum
longitudinal anterior dan dikenal sebagai tipe sentral. Abses terjadi diantara korpus
vertebra dan fasia prevertebra. Abses mula-mula terbentuk pada garis tengah dan
menyebar ke lateral. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan pada garis tengah
dan dinding faring yang berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang minimal.1,7,8
2.3.5. GEJALA KLINIS
Gejala utama abses retrofaring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak
kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan juga nyeri. Dapat timbul sesak napas
karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut
sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat
mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.1,2,7,8
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis.1
15
2.3.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen
jaringan lunak leher lateral.1 Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih
dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikalis.1
A. Anamnesis8
Keluhan pasien dengan abses retrofaring akut bervariasi bergantung kepada
kelompok umur. Gejala abses retrofaring berbeda untuk orang dewasa, anak-anak, dan bayi
yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Dewasa Anak > 1 tahun Bayi
Nyeri tenggorokan Demam Disfagia Odinofagia Nyeri leher Dispnea
Nyeri tenggorokan (84%) Demam (64%) Kaku leher (64%) Odinofagia (55%) Batuk
Demam (85%) Bengkak pada leher (97%) Intake oral buruk (55%) Rinorrhea (55%) Letargi (38%) Batuk (33%)
B. Pemeriksaan Fisik8
Pasien dengan abses retrofaring akut dapat menunjukkan tanda-tanda obstruksi
jalan napas tetapi hal ini jarang terjadi. Meskipun demikian, pasien yang awalnya
tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas dapat berkembang menjadi
obstruksi jalan napas. Pada pasien dewasa dan anak pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan temuan yang berbeda, yang dijelaskan dalam tabel berikut:
16
Dewasa Anak dan Bayi
Edema posterior faring (37%) Kaku leher Adenopati servikal Demam Drooling Stridor
Adenopati servikal (36%) Bulging retrofaring (55%, jangan lakukan
palpasi pada anak) Demam (64%) Stridor (3%) Tortikolis (18%) Kaku leher (64%) Drooling (22%) Agitasi (43%) Massa pada leher (55%) Letargis (42%) Distres pernapasan (4%) Tanda-tanda terkait termasuk tonsilitis,
peritonsilitis, faringitis, dan otitis media.
Anamnesis yang baik sangat penting karena kondisi serius lain merupakan
diagnosis banding dari abses retrofaring. Abses retrofaring seringkali merupakan
sekuele dari infeksi saluran napas atas (misalnya faringitis, tonsilitis, sinusitis, infeksi
gigi) dan lebih sering terjadi pada anak sehingga riwayat tertelan benda asing harus
ditanyakan.9
Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantung pada tingkat
penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher (terutama pada saat
digerakkan) atau tortikolis, disfagia, iritabilitas, malaise, dan odinofagia. Odinofagia
menyebabkan drooling, intake oral yang buruk, dan anoreksia. Gejala minor lain
misalnya trismus, disfonia, stridor, dan sleep apnea. Anak dapat terlihat menarik-
narik telinga atau tenggorokan yang menunjukkan adanya nyeri.9
Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan
disfagia tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan komorbiditas
seperti diabetes mellitus dan melakukan kontrol glukosa darah apabila ditemukan.
Hampir sepertiga pasien dengan abses leher dalam memiliki diabetes mellitus.9
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan leher untuk
mencari edema tonsil, edema orofaring, dan limfadenopati. Observasi penting lain
dilakukan terhadap drooling, dispneu, tortikolis, dan massa atau pembengkakan pada
leher. Pada anak-anak pemeriksaan mungkin terbatas bergantung pada usia dan
kooperasi dari anak dan orang tua.9
17
Gangguan terhadap jalan napas biasanya tampak dengan gejala dispneu,
distres pernapasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda
seperti takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju pernapasan
yang cepat dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan jalan napas.9
Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis biasanya
timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang leher. Diagnosis
ditunjang dengan riwayat menderita tuberkulosis paru dan spondilitis tuberkulosis
(khusus untuk tipe sentral). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan pada
garis tengah (tipe sentral) dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang berfluktuasi
dengan tanda inflamasi yang minimal.10
C. Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis abses retrofaring dijelaskan dalam table berikut:9
Pemeriksaan HasilDarah lengkap Leukosistosis (terutama netrofil) Laju endap darah menentukan derajat penyakit
inflamasi apabila tidak ditemukan netrofilia yang signifikan.
Meningkat
CT scan leher dengan kontras pemeriksaan definitif. mengkonfirmasi adanya abses dan
membantu dalam merencanakan approach tindakan bedah. Adanya udara di dalam atau di sebelah akumulasi cairan atau udara bebas yang berlebih diantara fascia leher sangat prediktif untuk abses.
Lesi hipodens dikelilingi cincin pada rongga retrofaring
Foto polos servikal soft tissue lateral dilakukan apabila terdapat
kecurigaan tetapi tidak tersedia CT scan tetapi dapat dilakukan sebelum CT scan apabila kecurigaan tinggi terhadap abses retrofaring.
Pembengkakan pada ruang prevertebra (> 7mm pada C2 dan > 14 mm pada C6)
Pemeriksaan dengan anestesi dilakukan apabila kecurigaan tinggi
Bulging pada dinding posterior orofaring.
18
dan terdapat gangguan jalan napas atau apabila tidak terdapat fasilitas CT scan.
juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tinggi tetapi hasil pencitraan tidak konsisten dengan abses retrofaring. Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi diagnosis dan langsung dilakukan insisi transoral dan drainase serta pengambilan pus untuk kultur.
Kultur pus pus yang didapatkan dari drainase
dilakukan kultur dan uji sensitivitas antibiotik.
Positif terhadap organisme penyebab.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto polos dada
yang diindikasikan apabila terdapat kecurigaan timbulnya komplikasi berupa
pneumonia aspirasi atau mediastinitis.3 Kultur darah tidak rutin dilakukan kecuali
pada kecurigaan terjadinya sepsis.9
Untuk abses retrofaring kronis pemeriksaan penunjang yang mendukung
diagnosis adalah leukositosis, peningkatan laju endap darah, dan tes Mantoux
yang positif. Foto polos servikal lateral menunjukkan destruksi korpus vertebra
dengan peningkatan ruang retrofaring dan bayangan udara di dalamnya. CT scan
dapat lebih mengkonfirmasi temuan tersebut.10
2.3.7. DIAGNOSIS BANDING
- Adenoiditis
- Tumor faring
- Aneurisma aorta 1
2.3.8. PENATALAKSANAAN
Terapi pada abses retrofaring adalah dengan medikamentosa dan tindakan
bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotik dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi
abses melalui laringoskopi langsung pada posisi pasien berbaring Trendelnburg. Pus
19
yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
anastesia lokal atau anastesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda
infeksi reda. 1,8,9,10
A. Medikamentosa
Pemberian antibiotik secara parenteral diberikan secepatnya tanpa menunggu
hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob
dan anaerob, Gram positif dan Gram negatif. Pilihan antibiotik lini pertama adalah
Clindamycin dengan Aminoglikosida atau penicilli-nase-resistant penicillin
seperti Ticarcillin atau Clavulanate, Piperacillin atau Tazobactam, dan Ampicillin
atau Sulbactam dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga dan
Metronidazole. Clindamycin dan Metronidazole tidak boleh digunakan sebagai
terapi tunggal. Terapi antibiotik dapat diberikan selama sekitar 10 hari. Untuk
abses retrofaring kronik pasien diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan
tindakan operatif seperti aspirasi atau insisi dan drainase abses.10
B. Operatif
Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle aspiration)
atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan melalui dua pendekatan: 1,8,9,10
Pendekatan internal atau transoral
Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan
pada posisi Trendelenburg dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan
kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang
paling berfluktuasi dan pus yang keluar harus segera diisap dengan alat
penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan forsep atau
klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus. Kekurangan dari pendekatan ini
terkait dengan risiko aspirasi isi abses. Pendekatan intraoral dapat sulit
dilakukan untuk abses yang letaknya superior atau lateral.1,8,9,10
Pendekatan eksternal atau transervikal
20
Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior dilakukan
untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Kelemahan dari teknik
ini adalah waktu pemulihan yang lebih lama dan terdapat kemungkinan
komplikasi cidera terhadap nervus kranialis dan pembuluh darah besar. 1,8,9,10
Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara
horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara os
hyoid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas
pandangan sampai terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada
batas anterior m. sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri
bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah
lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpul, abses dibuka dan pus
dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang
drain (Penrose drain). 1,8,9,10
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas
posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan
dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas
abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang
selubung karotis. 1,8,9,10
2.3. 9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:1
1. Penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. Mediastinitis
3. Obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru
2.3.10. PROGNOSIS
21
Prognosis baik apabila abses retrofaring diidentifikasi dini. Meskipun
demikian tingkat mortalitas mencapai 40-50% apabila timbul komplikasi serius
(misalnya meningitis) meskipun komplikasi jarang terjadi dan secara umum akibat
penyebaran inferior ke arah inferior atau superior. Rekurensi terjadi pada 1-5%
pasien.9
22
BAB IV
PENUTUP
Abses retrofaring paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama disebabkan
oleh infeksi saluran nafas atas yang menjalar ke ruang retrofaring. Pada orang dewasa
biasanya disebabkan oleh trauma, benda asing, atau infeksi tuberkulosis pada korpus
vertebra.
Gejala klinis yang ditimbulkan dapat berupa gejala yang ringan seperti
demam, sulit dan sakit menelan sampai timbul gejala yang berat seperti obstruksi
jalan nafas dan dapat menimbulkan kematian.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis disertai
aspirasi dan pemeriksaan radiologis.
Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medikamentosa dan operatif
bergantung dari luasnya abses. Prognosis bergantung dari penanganan yang cepat dan
tepat sehingga komplikasi yang membahayakan jiwa tidak terjadi.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :
Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 226-228
2. Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring; Abses
Retrofaring. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Adams
GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 347-
349
3. Hermani, Bambang & Rusmarjono. Odinofagia. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :
Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 212-216
4. Liston, SL. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus dan leher; Faring. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC.
1997. H: 267-271
5. Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring; Anatomi
Nasofaring, Orofaring dan Hipofaring. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi
keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 347-349
6. Saladin. The Respiratory System. In: Saladin Anatomy & Physiology: The
Unity of Form and Function, Third Edition. Chapter 22. The McGraw−Hill
Companies. 2003. P: 844-845
7. Rambe, A.Y. Anatomi Retrofaring. dalam Abses Retrofaring. Oleh
Sihotang , FA. & Lestari, P. Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.2012
24
8. Kahn JH. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/764421-overview .2012
(Accesed: June, 17th 2015)
9. British Medical Journal (BMJ). Best Practice-Retropharyngeal
Abscess. Available from:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/599/diagnosis/
guidelines.html. 2011 (Accesed: June, 17th 2015)
10. Velankar HK.. Retropharyngeal abscess. Available from:
http://www.bhj.org. 2001 (Accesed: June, 17th 2015)
25