Antihistamin Antagonis Resepto h2

41
Antihistamin Antagonis Reseptor H2 Kelompok 7 2013 NURUL ANISA PUJI KURNIAWATI RAHMAN RESKY YULIANDANI REZKY AMALIAH SERVIN NOVIANA SITI ANIAH HARDIANTI SITTI HAJAR IRMAWATI

Transcript of Antihistamin Antagonis Resepto h2

Page 1: Antihistamin Antagonis Resepto h2

2013

Antihistamin Antagonis Reseptor H2Kelompok 7

NURUL ANISA

PUJI KURNIAWATI RAHMAN

RESKY YULIANDANI

REZKY AMALIAH

SERVIN NOVIANA

SITI ANIAH HARDIANTI

SITTI HAJAR IRMAWATI

Page 2: Antihistamin Antagonis Resepto h2

ANTIHISTAMIN ANTAGONIS RESEPTO H2

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin

dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor H1, H2 dan H3.

Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan atau

mengubah efek antihistamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat

mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara

bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas

Antagonis H2 menghambat reseptor H2 sel pariental dan menekan sekresi asam

lambung basal dan stimulasi asam setelah makan secara linier bergantung pada pendosisan.

Bekerja selektif pada reseptor H2 sehingga volume asam lambung dan pepsin yang tersekresi

turun. (Katzung, 2007)

Antagonis H2 menurunkan sekresi asam lambung yang distimulasi histamine seperti

halnya gastrin dan agen kolinomimetik melalui dua mekanisme. Pertama, release histamin

dari sel mirip enterokromafin oleh stimulasi gastrin dan vagus diblok dari berikatan dengan

reseptor H2 di sel pariental. Kedua, stimulasi langsung sel pariental oleh gastrin atau

asetilkolin untuk sekresi asam lambung dihambat atau direduksi dengan adanya hambatan

pada reseptor H2. Ini menandakan penurunan konsentrasi cAMP menyebabkan aktivasi

protein kinase oleh gastrin dan asetikolin. (Katzung, 2007)

Penggunaan antagonis reseptor H2 dapat menghambat 60 – 70% dari total sekresi

asam lambung selama 24 jam. (Katzung, 2007)

Antagonis reseptor H2 mengurangi insiden terjadinya perdarahan akibat stres pada

lambung pasien yang merada di unit perawatan intensif secara bermakna. Antagonis H2

diberikan secara intravena baik melalui injeksi intermitten atau infuse kontinu. Untuk efek

maksimal, pH lambung harus dipantau dan dosis ditingkatkan untuk mencapai pH lambung

lebih tinggi dari 4. Injeksi antagonis H2 (simetidin) secara intravena kontinu mencegah stress

akibat perdarahan dan inhibitor yang baik untuk sekresi asam lambung (pH > 6). (Katzung,

2007).

OBAT ANTIHISTAMIN ANTAGONIS RESEPTO H2

Page 3: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan,namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetedin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

1. RATINIDIN

Ranitidin merupakan salah satu obat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat

umum, yang disebabkan pemanfaatan obat ini yang cukup tinggi. Dokter umum dan

spesialis penyakit dalam umumnya akan sering meresepkan obat ini. Secara umum,

masyarakat mengenal ranitidin untuk indikasi ulkus duodenum, ulkus lambung, dan

kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologikal. Penyakit-penyakit yang

mengindikasi penggunaan ranitidin ini prevalensinya cukup tinggi dimasyarakat,

sehingga wajar jika penggunaan ranitidin juga cukup tinggi jumlahnya. Dalam

peresepannya, dokter dapat meresepkan ranitidin ini baik sebagai terapi utama

maupun terapi pendukung.

Nama, Struktur Kimia dan Deskripsi

Ranitidin memiliki rumus molekul C13H22N4O3S dengan bobot molekul 314,4

g/mol. Ranitidin adalah salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor

histamin H2 yang menghambat sekresi asam lambung. Selain digunakan dalam

terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks, ranitidin juga dapat

digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada kulit.

Rumus Struktur Ranitidin

Struktur 3 Dimensi Ranitidin

Page 4: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Ranitidin memiliki nama ilmiah NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2-

nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine. Ranitidin yang tersedia

umumnya adalah ranitidin hidroklorida. Ranitidin merupakan serbuk kristalin

berwarna putih hingga kuning pucat, praktis tidak berbau, mudah larut dalam air,

agak sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% ranitidin dalam air mempunyai pH

4,5-6,0. Setiap 168 mg ranitidin hidroklorida setara dengan 150 mg ranitidin base.

Kegunaan

Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus lambung

yang aktif, gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif dengan

endoskopi, dan sebagai terapi pemeliharaan pada ulkus duodenum dan ulkus

lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam manajemen kondisi hipersekresi

gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah

kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara parenteral

pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada saluran GI,

atau sebagai terapi jangka pendek jika terapi oral belum memberikan respon yang

optimum.

Ulkus Duodenum

Terapi Ulkus Duodenum Akut

Ranitidin oral digunakan dalam terapi jangka pendek pada ulkus duodenum

aktif yang dikonfirmasi dengan endoskopi atau radiografi. Ranitidin

parenteral digunakan pada pasien dewasa dengan diagnosa ulkus duodenum

parah yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit atau pada terapi

jangka pendek jika terapi oral tidak memadai. Ranitidin intravena juga

digunakan pada pasien anak-anak (lebih dari bulan) dengan diagnosa ulkus

duodenum. Antasida dapat digunakan bersamaan dengan terapi ini untuk

menghilangkan rasa nyeri ulkus duodenum. Kombinasi antasida dan ranitidin

ini terbukti mampu mengurangi kesakitan pada pasien.

Khasiat dan keamanan ranitidin untuk terapi jangka panjang ulkus duodenum

belum diketahui. Keamanan dan khasiat ranitidin ini baru diketahui untuk

penggunaan selama 8 minggu. Dan masalahnya bahwa pengobatan jangka

pendek ulkus duodenum aktif (hingga 8 minggu) ini tidak mencegah

kekambuhannya.

Terapi Pemeliharaan Ulkus Duodenum

Page 5: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Ranitidin digunakan dalam dosis rendah untuk terapi pemeliharaan setelah

proses penyembuhan ulkus duodenum untuk mencegah kekambuhan. Dalam

studi terkontrol angka kekambuhan ulkus duodenum setelah 4, 8 dan 12

bulan masing-masing adalah 21-24, 28-35, dan 59-68% untuk kelompok

plasebo, dan angka kekambuhan pada kelompok yang diterapi dengan

ranitidin 1 kali sehari 150 mg sebelum tidur masing-masing adalah 12-20,

21-24 dan 28-35%. Dalam studi tersebut juga diketahui bahwa efektivitas

ranitidin dalam mencegah kekambuhan ulkus duodenum menurun pada

kelompok pasien dengan kebiasaan merokok.

Kondisi Hipersekresi GI Patologis

Ranitidin oral maupun intravena juga digunakan pada kondisi hipersekresi GI

patologis (misal pada pasienZolinger Ellison Syndrome (ZES), mastositosis

sistemik, hipersekresi pasca reseksi usus. Ranitidin mengurangi sekresi asam

lambung yang berkaitan dengan gejala diare, anoreksia dan nyeri dan

mempercepat penyembuhan ulkus. Infus intravena ranitidin kontinue hingga

15 hari pada pasien ZES menghasilkan efek pengendalian asam lambung

hingga 10 mEq/jam atau lebih rendah. Antasida dapat digunakan bersama

untuk mengatassi rasa nyeri. Antimuskarinik seperti propanthelin bromida

dan iodida isopropamide juga dapat digunakan bersama guna

memperpanjang masa kerja ranitidin.

Pada pasien hipersekresi GI patologis, ranitidin terbukti mampu

menyembuhkan ulkus pada 42% pasien yang tidak merespon terapi

simetidin. Pasien dengan ZES yang gagal dengan terapi simetidin berhasil

diobati dengan ranitidin 600-900 mg perhari selama 1-12 bulan.

Ranitidin IV juga berhasil mengobati hipersekresi pasca operasi pada pasien

yang tampaknya resisten terhadap simetidin.

Ulkus Lambung

Terapi Ulkus Lambung Akut

Ranitidin oral digunakan dalam terapi ulkus lambung jinak. Antasida dapat

digunakan bersama untuk menghilangkan nyeri. Efektivitas ranitidin dalam

hal ini hampir sama dengan simetidin. Ranitidin menyembuhkan ulkus

Page 6: Antihistamin Antagonis Resepto h2

lambung pada 60-70% pasien setelah terapi selama 4 minggu, 70-80%

setelah 6 minggu terapi.

Kini epidemiologi dan bukti klinis mendukung bahwa infeksi lambung oleh

bakteri Helicobacter pylori (HP) berhubungan dengan patogenesis ulkus

lambung. Sehingga dalam kondisi ini direkomendasikan penggunaan

antibakteri untuk eradikasi bakterinya.

Terapi Pemeliharaan

Ranitidin dosis rendah digunakan dalam terapi pemeliharaan dan mencegah

kekambuhan ulkus lambung. Terapi pemeliharaan ranitidin 150 mg sebelum

tidur terbukti efektif mencegah kekambuhan ulkus lambung.

Gastroeshophageal Reflux Desease (GERD)

Dalam terapi GERD dosis yang umum pada dewasa adalah 2x150 mg

perhari. Sedangkan dosis terapi GERD pada anak-anak (1 bulan sampai 16

tahun) adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Gejala GERD

sering muncul dalam waktu 24 jam setelah dumulainya terapi dengan

ranitidin ini. Durasi optimum pengobatan GERD dengan ranitidin belum

diketahui.

Esofagitis Erosif

Dosis lazim untuk terapi esofagitis erosif yang terdiagnosa dengan endoskopi

pada pasien dewasa adalah 4x150 mg perhari. Sedangkan pada pasien anak 1

bulan sampai 16 tahun dosis yang direkomendasikan adalah 5-10 mg/Kg BB

perhari dalam dosis terbagi 2. Sedangkan dalam fase pemeliharaan dosis

ranitidin adalah 2x150 mg perhari.

Swamedikasi

Dalam swamedikasi ranitidin digunakan untuk mengatasi atau mencegah

gejala mulas, perih akibat gangguan keseimbangan asam lambung pada orang

dewasa atau anak diatas 12 tahun, dosis yang dianjurkan adalah 75-150 mg

1-2 kali sehari. Untuk pencegahan mulas akibat konsumsi makanan yang

dapat menyebabkan mulas maka ranitidin sebaiknya diminum 30-60 menit

sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat menyebabkan

Page 7: Antihistamin Antagonis Resepto h2

mulas. Untuk keperluan swamedikasi, ranitidin sebaiknya digunakan tidak

lebih dari 2 dosis perhari dan tidak lebih dari 2 minggu. Penggunaan ranitidin

harus segera dihentikan jika gejala tidak membaik atau bahkan semakin

parah.

Dosis Parenteral

Dosis Dewasa

Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg

setiap 6-8 jam. Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan

meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg

perhari. Jika ranitidin diberikan dengan infus intravena lambat maka

kecepatannya 6,25 mg/jam selama 24 jam. Sedangkan infus kontinue lambat

bagi pasien ZES atau hipersekresi GI patologis umumnya infus dimulai

dengan kecepatan 1 mg/Kg BB perjam, dan jika setelah 4 jam infus, pasien

masih menunjukan gejala hipersekresi GI, maka dosis harus dititrasi ke atas

dengan penambahan sebesar 0,5 mg/Kg BB perjam, dengan konsentrasi asam

lambung harus terus dipantau. Dosis maksimum hingga 2,5 mg/Kg BB

perjam dan tingkat infus 220 mg/jam.

Dosis Pediatrik

Dosis pada anak usia 1 bulan hingga 16 tahun, untuk pengobatan ulkus

duodenum aktif adalah 2-4 mg/Kg perhari dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam.

Sedangkan penggunaannya pada pasien neonatus (kurang dari 1 bulan) dosis

2 mg/Kg BB intravena setiap 12-24 jam sebagai infus intravena kontinue.

Dosis pada penurunan fungsi ginjal

Pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 50 mL/menit maka dosis

ranitidin yang direkomendasikan adalah 150 mg setiap 24 jam peroral, 50 mg

setiap 18-24 jam untuk pemberian parenteral.

Perhatian

Ranitidin dapat menimbulkan efek-efek yang kurang menyenangkan diantaranya:

1) Efek pada sistem syaraf pusat dapat berupa: sakit kepala, rasa tidak enak

badan (malaise), pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, kebingungan

Page 8: Antihistamin Antagonis Resepto h2

mental, agitasi, depresi mental dan halusinasi terutama pada pasien

geriatri lemah. Penggunaan ranitidin dosis tinggi dan dalam jangka

panjang pada anak-anak (8 mg/Kg BB perhari selama 10 bulan) dapat

menyebabkan perubahan pada pola kesadaran, disartria, hiporefleksia,

mengantuk, gejala Babinski, diaforesis, dan bradikardia yang mana gejala-

gejala tersebut akan menghilang dengan sendirinya setelah penggunaan

ranitidin dihentikan dalam 24 jam.

2) Efek pada GI: konstipasi, mual, muntah, nyeri dan ketidaknyamanan pada

perut, dan pada sebagian kecil pasien dapat mengalami pankreatitis.

3) Reaksi sensitivitas dan dermatologi: ruam, urtikaria, pruritus, dan urtikaria

ditempat penyuntikan. Reaksi hipersensitivitas seperti bronkospasme,

demam, ruam, eosinofilia jarang terjadi. Anafilaksis yang ditandai dengan

urtikaria berat dan penurunan tekanan darah dalam satu kali pemberian

dosis tunggal dapat terjadi namun jarang. Eksaserbasi astma dan

angiodema juga dapat terjadi.

4) Efek pada Hematologi: dapat terjadi leukopenia, agranulositopenia,

trombositopenia, anemia aplastik dan pansitopenia yang disertai

hipoplasia sumsum tulang belakang namun jarang.

5) Efek pada ginjal dan saluran kemih: peningkatan kreatinin serum tanpa

disertai peningkatan BUN dapat terjadi namun jarang. Penurunan libido

juga pernah terjadi pada pria yang diterapi dengan ranitidin.

6) Efek pada hati: dapat terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase

serum (AST, SGOT, SGPT, ALT), alkalin fosfatase serum, LDH,

bilirubin total, gama-glutamiltranspeptidase. Beberapa kasus juga

diketahui bahwa terapi ranitidin dapat menyebabkan hepatitis baik

hepatoseluler atau pun hepatokanalikuler dan kolestasis yang umumnya

bersifat reversibel.

7) Efek pada penglihatan: dapat terjadi kekaburan penglihatan yang bersifat

reversibel, eksaserbasi nyeri mata dan kaburnya penglihatan yang

berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler dan glaukoma

kronis, dan buta warna.

8) Efek pada endokrin: belum ada efek yang diketahui secara pasti

sehubungan penggunaan ranitidin pada sistem endokrin. Namun telah

diketahui adanya pasien pria yang mengalami impotensi seksual akibat

Page 9: Antihistamin Antagonis Resepto h2

penggunaan ranitidin yang segera sembuh seiring penghentian

penggunaan obat, dan impotensi berulang saat penggunaan obat diulang.

Nyeri ginekomastia juga dapat terjadi pada pria.

9) Efek pada sistem kardiovaskuler: aritmia jantung jarang terjadi,

bradikardia yang berhubungan dengan dispnea dapat terjadi.

10) Efek pada sistem pernafasan: ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya

berpotensi meningkatkan resiko infeksi pneumonia pada komunitas

pneumonia.

11) Efek lain: dapat terjadi arthralgia, myalgia dan porphyria akut.

Penggunaan ranitidin harus dihindari pada pasien dengan riwayat

porphyria.

Peringatan dan Kontraindikasi

Ranitidin yang digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal harus

digunakan dengan hati-hati dan disertai dengan pengurangan dosis, karena

sebagian besar ranitidin diekskresikan melalui ginjal. Demikian pun pada pasien

dengan penurunan fungsi hati, karena ranitidin dimetabolisme melalui hati.

Penggunaan ranitidin juga harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria.

Ranitidin tidak boleh digunakan untuk swamedikasi jika pasien mengalami

kesulitan menelan dan tidak boleh digunakan dalam kombinasi dengan obat

penekan sekresi asam lambung lainnya. Pasien dengan gejala mulas yang

menetap lebih dari 3 bulan tidak boleh menggunakan ranitidin untuk

swamedikasi. Ranitidin juga tidak boleh digunakan untuk swamedikasi pada

pasien dengan keluhan nyeri dada dan atau bahu, sesak nafas, dan rasa nyeri yang

menyebar.

Kondisi-kondisi berikut dalam penggunaan ranitidin harus disertai dengan

peringatan dan kewaspadaan:

1) Pada pasien pediatrik; penggunaan ranitidin oral maupun parenteral pada

pediatrik ( 1 bulan sampai 16 tahun) untuk indikasi ulkus duodenum dan

lambung aktif, GERD dan esofagitis erosif telah diketahui khasiat dan

keamanannya. Namun penggunaan ranitidin oral ataupun parenteral untuk

kondisi hipersekresi GI patologis dan untuk terapi pemeliharaan dan

pencegahan kekambuhan esofagitis erosif pada anak-anak belum

Page 10: Antihistamin Antagonis Resepto h2

diketahui, demikian juga penggunaannya pada neonatus, sehingga

penggunaan pada kondisi tersebut harus dengan kewaspadaan penuh.

2) Pada pasien geriatrik; pada pasien geriatrik (berusia lebih dari 65 tahun

keatas) kemungkinan resiko hipersensitivitasnya akan meningkat,

disamping itu kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal pada pasien

geriatrik akan berpotensi meningkatkan resiko toksisitas.

3) Mutagenisitas dan karsinogenisitas; tidak ada bukti pengaruh ranitidin

terhadap efek mutagenisitas dan karsinogenisitas pada manusia

4) Pada kehamilan; hingga dosis 160 kali dosis oral biasa, ranitidin belum

menunjukan adanya bahaya pada fetus

5) Pada kesuburan/fertilitas; tidak ada bukti yang menunjukan pengaruh

ranitidin pada fertilitas

6) Pada laktasi (wanita menyusui); ranitidin terdistribusi ke dalam susu,

sehingga penggunaan ranitidin pada wanita menyusui harus sangat

berhati-hati.

7) Ranitidin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap

ranitidin atau komponen lain dalam formula sediaan obat.

Interaksi Obat

Ranitidin dapat berinteraksi dengan makanan, obat lain maupun parameter klinis.

1) Makanan dan Antasida. Konsumsi bersama makanan atau antasida dengan

ranitidin dapat menyebabkan penurunan absorpsi ranitidin hingga 33% dan

konsentrasi puncak dalam serum menurun hingga 613-432 ng/mL.

2) Propantelin bromida. Propantelin bromida menghambat penyerapan dan

meningkatkan konsentrasi puncak serum ranitidin, melalui mekanisme

penghambatan pengosongan lambung dan perpanjangan waktu transit.

Bioavalabilitas ranitidin meningkat 23% jika digunakan bersama propantelin

bromida.

3) Merokok. Kebiasaan merokok menghambat penyembuhan ulkus duodenum

dan mengurangi khasiat ranitidin. Perbandingan kesembuhan ulkus duodenum

pada perokok dan bukan perokok dengan terapi ranitidin adalah 62 dan 100%.

4) Efek ranitidin pada hati. Ranitidin berinteraksi dengan sistem enzim sitokrom

P450 dihati. Ranitidin hanya sedikit menghambat metabolisme hepatik

beberapa obat seperti kumarin, antikoagulan, teofilin, diazepam dan

Page 11: Antihistamin Antagonis Resepto h2

propranolol. Ranitidin membentuk ligand-kompleks dengan enzim sitokrom

P450 sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut. Penggunaan bersama

ranitidin dan warfarin dapat menurunkan atau meningkatkan waktu

protrombin (PT). Pada dosis ranitidin hingga 400 mg perhari, penggunaan

bersamanya dengan warfarin relatif tidak berpengaruh terhadap bersihan

warfarin dan atau PT. Namun penggunaan ranitidin lebih dari 400 mg perhari

bersama dengan warfarin belum diketahui pengaruhnya. Sedangkan

penggunaan bersama ranitidin 2x200 mg dan warfarin 2,5-4,5 mg telah

terbukti memperpanjang PT secara signifikan. Pengunaan bersama ranitidin

dan teofilin menyebabkan penurunan bersihan plasma teofilin. Pengunaan

bersama ranitidin dan diazepam maupun lorazepam relatif tidak saling

berinteraksi. Penggunaan bersama 100 mg metoprolol dan ranitin

menyebabkan AUC metoprolol meingkat hingga 80% dan rata-rata

konsentrasi serum puncak meningkat hingga 50%, dan waktu paruh eliminasi

metoprolol meningkat hingga 4,4-6,5 jam.

5) Alkohol. Penggunaan bersama alkohol dan ranitidin menyebabkan

peningkatan konsentrasi alkohol serum.

6) Nifedipin. Penggunaan ranitidin bersama nifedipin dapat menyebabkan

peningkatan AUC nifedipin hingga 30%.

7) Vitamin B12. Penggunaan ranitidin dapat mengakibatkan defisiensi vitamin

B12 karena malabsorpsi vitamin B12.

Toksisitas Akut

Overdosis ranitidin dapat terjadi pada konsumsi ranitidin hingga 18 gram peroral

yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan cara jalan dan hipotensi.

Pengobatan overdosis ranitidin dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan

ranitidin tak terserap dalam saluran cerna, pemantauan klinis, dan terapi suportif.

Hemodialisis dapat dilakukan bila perlu.

Farmakologi

Efek farmakologi ranitidin dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.

a. Efek pada GI. Ranitidin menghambat kompetitif reseptor histamin H2 pada

sel parietal menurunkan sekresi asam lambung pada kondisi basal maupun

terstimulasi makanan, insulin, asam amino, histamin maupun pentagastrin.

Page 12: Antihistamin Antagonis Resepto h2

b. Efek pada gonad dan endokrin. Ranitidin memberikan sedikit pengaruh pada

konsenrasi prolaktin serum. Peningkatan kadar prolaktin serum akan terjadi

pada pemberian ranitidin 200 atau 300 mg IV.

c. Efek lain. Ranitidin dan simetidin dapat menurunkan aliran darah hati.

Ranitidin tidak menghambat metabolisme antipirin dihati. Ranitidin

meningkatkan reduksi nitrat oleh flora normal GI.

Farmakokinetik

a. Absorpsi

Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada pemberian

secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian secara

oral adalah sekitar 50%, demikian pula pada anak-anak. Sedangkan pada

geriatrik bioavailabilitasnya rata-rata 48%.

b. Distribusi

Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 10-19%

berikatan dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7

L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9 L/Kg. Sedangkan volume distribusi pada anak

sekitar 2,3-2,5 L/Kg dengan kisaran 1,1-3,7 L/Kg. Pada pemberian secara oral

ranitidin juga terdistribusi ke CSF. Ranitidin juga terdistribusi ke susu.

c. Eliminasi

Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam, dan

dapat berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat

pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien lanjut usia waktu

paruh eliminasi umumnya meningkat seiring berkurangnya fungsi ginjal.

Ranitidin sebagian besar diekskresikan dalam urin melalui filtrasi glomerular

dan sekresi tubular.

d. Metabolisme

Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida, desmetil ranitidin,

dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga mengalami

metabolisme lintas pertama dihati. Pada pasien dengan sirosis hati,

konsentrasi serum akan meningkat akibat rendahnya metabolisme lintas

pertama dihati dan bioavailabilitasnya rata-rata 70%.

Sediaan

Tersedia dalam produk generiknya berupa sediaan:

Page 13: Antihistamin Antagonis Resepto h2

- Kapsul 75, 150 dan 300 mg

- Tablet 150 dan 300 mg

- Sirup 15 mg/mL

- Injeksi 25 mg/Ml

2. FAMOTIDIN

Merk Dagang

Famotidin, Amocid, Antidine, Corocyd, Dulcer, Dumodin, Faberdin, Faberdin

Forte, Facid, Fagas, FAM, Famex, Famocid, Famos, Famulcer, Fluktan, Gaster,

Gestofan, Hacip, Ifamul, Incifam, Interfam, Kemofam, Lexmodine, Mecofam,

Merzapam, Mosul, Motipep, Moydine, Nulsefam, Opsifam, Opsifam Forte,

Peptulet, Peptulet Forte, Pompaton, Pratifar, Promocid, Purifam, Rafico,

Regastin, Renapepsa, Restadin, Tismafam, Ulcatif, Ulcerid, Ulfam, Ulmo,

Ulkorel, Zepral, Neosanmag Fast, Promag Double Action

Komposisi :

- Tiap tablet salut selaput mengandung famotidin 20 mg.

- Tiap tablet salut selaput mengandung famotidin 40 mg.

Cara Kerja Obat :

- FARMAKODINAMIKSeperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan AH2

sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal,

malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Fanitidin tiga kali lebih paten

daripada ranitidin dan 20 kali lebih paten daripada simetidin.

- FARMAKOKINETIK

Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah

penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailabilitas 40-

50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal,

sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal

ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam

Indikasi :

Famotidin diindikasikan untuk:

- Terapi jangka pendek pengobatan ulkus duodenum akut.

Page 14: Antihistamin Antagonis Resepto h2

- Pemeliharaan pasien ulkus duodenum pada dosis yang dikurangi sesudah

sembuh dari tukak aktif.

- Pengobatan pada kondisi hipersekresi patologis (misal: Zolltnger-Ellison

Syndrome, multiple endocrine adenomas).

Dosis :

a. Ulkus duodenum akut: Dewasa : sehari 40 mg atau 2 kali 20 mg sebelum

tidur malam.

b. Pemeliharaan ulkus duodenum: Dewasa : sehari 20 mg sebelum tidur

malam.

c. Hipersekresi patologis (misal : Zollinger-Ellison Syndrome, multiple

Endocrine Adenomas). Dewasa : dosis awal 20 mg/6 jam, dosis dapat

ditingkatkan sampai 160 mg/6 jam pada pasien dengan Zollinger-BIHson

Syndrome yang parah.

d. Dosis pada penderita dengan kelainan ginjal:

- 60 > CLCR > 30 : setengah dosis normal.

- CLCR < 30 : seperempat dosis normal.

Peringatan dan Perhatian :

- Penqgunaan famotidin pada kehamilan dan ibu menyusui hanya bila benar-

benar dibutuhkan, dan diketahui bahwa manfaatnya lebih besar dari

resikonya.

- Keamanan dan manfaat famotidin pada anak-anak belum diketahui .

- Dosis harus disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Sebelum terapi

dengan ‘famotidin malignasi gaster harus disingkirkan.

Efek Samping :

- Sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare.

- Thrombocytopenia dan arthralgia.

Kontraindikasi :

Hipersensitif terhadap famotidin.

Interaksi Obat :

Page 15: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Pada dosis terapeutik tidak mengganggu eliminasi obat-obat yang dimetabolime

di hati seperti warfarin, fenitoin, propranolol, diazepam, klordiazepoksida.

3. SIMETIDIN

Nama dagang di Indonesia

Cimetidine Hexpharm (diproduksi oleh Hexpharm), Cimetidine Prafa (Prafa),

Corsamed (Corsa), Licomed (Berlico Mulia Farma), Tagamed

(GlaxoSmithKline), Tidifar (Ifars), Ulcedine (United American), Ulcumed

(Soho), Ulcusan (Pyridam), Ulsikur (Kalbe Farma), Xepamed (Metiska Farma).

Indikasi

- Sebagai pencegahan dan pengobatan ulkus duodenum yang sedang aktif

khususnya diindikasikan untuk pengobatan jangka pendek pada ulkus

duodenum akut maupun ulkus gaster ringan yang sedang aktif.

- Mencegah kambuhnya ulkus gastrik dan ulkus duodenum

- Pengobatan hipersekresi asam lambung yang patologis, seperti pada

Zollinger-Ellison Syndrome

- Pengobatan ulkus gastrik aktif non malignancy

- Pengobatan pada perdarahan lambung dan intestinal yang disebabkan ulkus

gaster, ulkus doudenum dan gastritis haemorrhagic.

- Pencegahan aspirasi asam lambung ke dalam paru, sebelum dilakukan

pembiusan.

Dosis

Oral

Pengobatan ulkus gaster dan ulkus duodenum : 400 mg dua kali per

hari, pagi setelah makan dan sebelum tidur malam hari atau 200 mg

tiga kali per hari bersama makan dan 400 mg sesaat sebelum tidur,

selama 4 - 8 minggu. Obat-obat antasid hendaknya ditambahkan untuk

mempercepat berkurangnya rasa nyeri. Pemberian secara simultan

hendaknya dihindari, karena antasid mengurangi penyerapan

cimetidine

Keadaan hipersekresi yang patologis seperti pada Zollinger Ellison

Syndrome 200 mg tiga kali perhari bersama makan dan 400 mg

Page 16: Antihistamin Antagonis Resepto h2

menjelang tidur malam. Jika perlu dosis dapat ditingkatkan 400 mg

empat kali perhari dan menjelang tidur. Dosis hendaknya disesuaikan

dengan masing-masing kondisi penderita dan tidak melebihi 2 gr per

hari, dan hendaknya diberikan sepanjang indikasi klinis memang

membutuhkan.

Ulkus Gastrik akut, direkomendasikan untuk diberikan dengan dosis

200 mg 4 kali per hari dan 400 mg pada saat menjelang tidur malam

dan diberikan selama 6 - 8 minggu

Untuk mencegah ulkus duodenum berulang, dosis yang

direkomendasikan adalah 400 mg menjelang tidur dan pemberian

hendaknya tidak lebih dari 1 tahun

Pada penderita dengan gangguan fungsi hepar, dosis harus dikurangi

Injeksi

Harus diberikan perlahan-lahan (2 menit)

Intramuskuler : 200 mg (1 ampul) setiap 4 – 6 jam, tanpa diencerkan.

pemberian secara I.M. akan menyebabkan rasa nyeri yang bersifat

sementara pada tempat penyuntikan.

Intravena

Intermittent Bolus : 200 mg (1 ampul), encerkan dengan NaCl 0,9%

atau cairan lain yang sesuai, sampai mencapai volume 20 ml

Injeksikan dengan perlahan selama 2 menit. Pemberian yang terlalu

cepat akan menyebabkan aritmia dan hipotensi,. Pemberian dapat

diulang selang 4 - 6 jam sekali

Per Infus : 200 mg (1 ampul) diencerkan dengan 100 ml Dekstrose

5% atau cairan lain yang sesuai, diberikan selama 15 – 20 menit.

dapat diulang tiap 4 - 6 jam atau lebih sering lagi, tetapi dosis

maksimum per hari tidak elbih dari 2 gr per hari

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis harus disesuaikan

dengan keadaan penderita. dosis yang dianjurkan 200 mg 2 kali per hari

per oral maupun I.V. Jika perlu frekuensi dapat ditingkatkan menjadi tiap

8 jam. Karena cimetidine turut dikeluarkan saat hemodialisa, maka

pemberiannya hendaknya diberikan setelah menjalani dialisa. Bila disertai

gangguan liver, pengurangan dosis lebih lanjut perlu dipertimbangkan.

Page 17: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Perhatian

- Respon simptomatis terhadap terapi cimetidine tidak akan menghilangkan

kejadian keganasan lambung.

- Karena cimetidine telah menunjukkan dapat melewati barier plasenta pada

binatang, maka obat ini hendaknya tidak diberikan pada ibu hamil, kecuali

ada keuntungan yang lebih besar dengan penggunaan obat ini

- Karena cimetidine disekresikan dalam ASI, maka sebaiknya obat ini tidak

diberikan pada ibu menyusui

- Cimetidine tidak direkomendasikan untuk anak di bawah 16 tahun, kecuali

sudah diperhitungkan untung ruginya. Kalau tetap harus diberikan, dosis yang

diberikan 20 - 40 mg/kg/hari

- Cimetidine mengurangi metabolisme hepatis dari warfarin, suatu

antikoagulan; phenytoin, lidocaine, dam theophyline, sehingga memperlambat

eliminasinya dan meningkatkan kadar obat ini dalam darah, Oleh karena itu,

jika akan memulai atau menghentikan obat-obat tersebut harus melalui

pertimbangan yang teliti, khususnya jika disertai gangguan fungsi ginjal atau

liver

Efek Samping

- Pengobatan dengan cimetidine mungkin akan menyebabkan diare ringan,

pusing dan kemerahan pada kulit. Sakit kepala, sakit persendian dan nyeri

otot yang bersifat reversibel pernah dilaporkan.

- Kondisi "confuse" seperti "mental confuse", agitasi, depresi, kecemasan,

halusinasi, disorientasi, pernah dilaporkan, khususnya pada penderita-

penderita dengan penyakit yang kritis, usia lanjut dan penderita dengan

gangguan fungsi liver atau ginjal.

- Ginekomasti, pernah dilaporkan pada penderita yang mendapat pengobatan

selama satu bulan atau lebih, khususnya pada penderita keadaan hipersekresi

patologis. Kondisi ini bisa menetap maupun bersifat reversibel jika

pengobatan dilanjutkan.

- Impotensi yang bersifat reversibel pernah dilaporkan terjadi pada penderita

hipersekresi patologis yang mendapat pengobatan selama 12 bulan dengan

dosis yang tinggi. Juga pernah dilaporkan rambut rontok, neutropenia,

agranulocytosis, trombositopeni, anemia aplastik

Page 18: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Overdosis

Jika terjadi overdosis, tidak terdapat antidotnya. Pengelolaan jika terjadi

keracunan adalah dengan mengeluarkan obat yang masih belum terserap dari

usus, monitoring tanda-tanda vital dan terapi pendukung lainnya (supportive

terapy). Toksisitas lebih dari 10gr pernah dilaporkan.

Cara Kerja Obat:

Cimetidine adaiah penghambat histamin pada reseptor H2 secara selektif dan

reversible, penghambatan histamin pada reseptor H, akan menghambat sekresi

asam lambung baik pada keadaan istirahat maupun setelah perangsangan oleh

makanan, histamin, pentagastrin, kafein dan insulin. Cimetidine dengan cepat

diabsorbsi setelah pemberian oral dan konsentrasi puncak dalam plasma dicapai

dalam waktu 45-90 menit setelah pemberian. Cimetidine diekskresikan melalui

urin.

Kontraindikasi:

Pasien yang hipersensitif terhadap cimetidine

4. NIZATIDIN

Indikasi

Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan

ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya

dapat menyembuhkan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dalam pemberian

satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin masih

terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya sama dengan AH2

lainnya.Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam

lambung lainnya, nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun

masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.

Efek Samping

Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efak samping ringan

saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transminase serum

ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya dapat menimbulkan gejala

Page 19: Antihistamin Antagonis Resepto h2

klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin

untuk menombulkanhepatotoksisitas rendah. Nizatidin tidak memiliki efek

antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada

mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam kadar

serum. Nizatidin tidak menghambat sistem P-450. Pad suksrelawan sehat tidak

dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin,

lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorazepam. Penggunaan

bersama antasidtidak menurunkan absorpsi nizatidin secara bermakna.

Ketokonazol yang membutuhkan PH asam menjadi kurang efektif bila PH

lambung lrbih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.

Dosis

Oral : Untuk orang dewasa dengan tukak doudenum aktif dosis 300 mg sekali

sehari pada saat akan tidur atau 150 mg, s kali sehari. Tukak sembuh pada 90%

kasus setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa komplikasi

danklirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit dosis awal harus dikurangi 50%.

Untuk pengobatan pemeliharaan tukak duodenum, dosis 150 mg pada saat akan

tidur lebih efektif daripada plasebo. Untuk pasien dewasa dengan tukak

lambung aktif digunakan dosis yang sama dengan pasien tukak duoenum, akan

tetapi masih diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Farmakologi

- Farmakodinamik

Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih

sama dengan ranitidin.

- Farmakokinetik

Bioavaibilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh

makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia

lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1

jam, masa paruh plasma sekitar 11/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10

jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal, 90% dari dosis yang

digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

Kontraindikasi

Page 20: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Nizatidine merupakan kontraindikasi pada hipersensitivitas. Tindakan

pencegahan lengkap dapat ditemukan dalam informasi obat resep.

Interaksi

Nizatidine tidak berinteraksi dengan CYP450 dan memiliki, berbeda dengan

cimetidine, potensi interaksi rendah. Peningkatan pH lambung dapat

mempengaruhi penyerapan dan bioavailabilitas obat lain.

Merk Dagang

Axid®

5. RAXOTIDINA

Farmakokinetik

- Absorbsi

Setelah pemberian oral tablet pelepasan terkontrol, prinsip activoc diserap

perlahan-lahan dan hampir sepenuhnya. Membuat makanan atau antasida

tidak mempengaruhi penyerapan. Substansi tua dengan cepat dan benar-benar

dimetabolisme menjadi metabolit aktif, yang merupakan bentuk deasetilasi.

- Distribusi

Page 21: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Bioavailabilitas roxatidine mutlak bila diberikan secara oral adalah 80-90%.

Kadar plasma puncak dicapai roxatidine 2,5-3 jam setelah pemberian.

Pengikatan roxatidine untuk protein plasma adalah 5-7%

- Metabolisme

Ditransformasikan menjadi metabolit aktif di hati.

- Ekskresi

Sekitar 60% dari roxatidine diekskresikan renally dan metabolit juga

diekskresikan oleh ginjal. Sekitar 96% dari dosis yang diberikan pulih dalam

pertama 24 jam setelah pemberian. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal,

tidak ada akumulasi terjadi roxatidine. The paruh eliminasi roxatidine bila

dikelola dengan menggunakan formulasi pelepasan terkontrol adalah 6-7 jam.

Penghapusan tertunda pada pasien dengan gagal ginjal dan kemudian dosis

harus disesuaikan dalam setiap kasus. Tidak ada penyesuaian dosis diperlukan

pada pasien usia lanjut, kecuali fungsi ginjal terganggu. Sekitar 0,2% dari

roxatidine diekskresikan dalam ASI. Roxatidine melintasi penghalang darah

otak.

Farmakodinamik

Roxatidine asetat hidroklorida adalah antagonis sangat selektif, kompetitif

reseptor histamin H2 . Menghambat efek histamin pada sel parietal lambung,

dan dengan demikian mengurangi produksi dan sekresi asam lambung.

Interaksi

Administrasi seiring dengan antasida (penetral asam lambung ) atau asupan

makanan bersamaan tidak mengubah penyerapan roxatidine. Namun, karena

roxatidine mengurangi sekresi asam lambung, yang dapat mengganggu berbeda

dalam penyerapan obat lain untuk mengurangi dampaknya (misalnya

ketoconazole ) atau memberdayakan mereka (misalnya midazolam ).

Indikasi

Penyakit esofagus , lambung dan duodenum akibat kelebihan produksi asam

klorida:

- Esofagitis refluks

- Duodenum

Page 22: Antihistamin Antagonis Resepto h2

- Tukak lambung jinak.

- Profilaksis ulkus duodenum berulang dan lambung

Efek samping

Untuk penilaian dari reaksi obat yang merugikan (ADR) kriteria akan dianggap

CIOSM

Kontraindikasi

- Roxatidine atau hipersensitivitas terhadap salah satu komponennya

- Anuria

- Kerusakan hati yang parah.

- Harus menyingkirkan keganasan ulkus lambung.

Perhatian

Penggunaan ntuk anak-anak dan remaja di bawah usia 14 tidak dianjurkan.

6. .LOXITIDINE

Lavoltidine ( INN , USAN , BAN , kode nama AH-23, 844 ), sebelumnya dikenal

sebagai loxtidine , adalah sangat ampuh dan selektif H 2 reseptor antagonis yang

sedang dikembangkan sebagai pengobatan untuk penyakit gastroesophageal reflux ,

tetapi dihentikan karena penemuan itu diproduksi tumor karsinoid lambung pada

hewan pengerat.

Efek samping

Persiapan antasida seperti loxtidine dengan menekan asam dimediasi memecah

protein, mengarah ke peningkatan risiko mengembangkan makanan atau obat

alergi . Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke dalam

saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko ini

terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan jangka

pendek juga.

7. METIAMIDE

Metiamide merupakan antagonis H2 - reseptor histamin H2 antagonis dikembangkan

dari yang lain , burimamide . Itu adalah senyawa antara dalam pengembangan sukses

cimetidine obat anti - ulkus ( Tagamet ) .

Pengembangan metiamide dari burimamide

Page 23: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Setelah menemukan burimamide yang sebagian besar tidak aktif pada pH

fisiologis , karena adanya elektron yang menyumbangkan rantai samping ,

langkah-langkah berikut dilakukan untuk stabilse burimamide :

- Selain dari kelompok sulfida dekat dengan cincin imidazole , memberikan

thiaburimamide

- Penambahan gugus metil ke 4 - posisi pada cincin imidazol untuk mendukung

tautomer dari thiaburimamide yang mengikat baik dengan H2 – reseptor

- Perubahan ini meningkatkan bioavailabilitas metiamide sehingga 10 kali lebih

kuat dari burimamide dalam menghambat pelepasan histamin - dirangsang

dari lambung uji acid.The klinis yang dimulai pada tahun 1973 menunjukkan

kemampuan metiamide untuk memberikan bantuan gejala untuk pasien

berbisul dengan meningkatkan penyembuhan tingkat tukak lambung . Namun,

selama uji coba ini , jumlah yang tidak dapat diterima pasien diobati dengan

metiamide dikembangkan agranulositosis ( penurunan jumlah sel darah

putih).

Modifikasi metiamide untuk cimetidineItu ditentukan bahwa kelompok tiourea adalah penyebab agranulositosis

tersebut . Oleh karena itu penggantian = S dalam kelompok tiourea disarankan :

dengan = O atau = NH menghasilkan senyawa dengan aktivitas jauh lebih

sedikit ( 20 kali lebih kecil dari metiamide ). Namun , bentuk NH ( analog

guanidin dari metiamide ) tidak menunjukkan efek atletik untuk mencegah

kelompok guanidin yang terprotonasi pada pH fisiologis , kelompok penarik

elektron ditambahkan. Menambahkan - C ≡ N - NO2 atau kelompok mencegah

kelompok guanidin yang terprotonasi dan tidak menyebabkan agranulositosis.

Nitro dan siano kelompok yang cukup elektronegatif untuk mengurangi pKa

dari nitrogen tetangga untuk keasaman yang sama dari kelompok tiourea , maka

melestarikan aktivitas obat dalam lingkungan fisiologis

8. BURIMAMIDE

Burimamide merupakan antagonis di H 2 dan H 3 histamin reseptor . Hal ini sebagian

besar tidak aktif sebagai H 2 antagonis pada pH fisiologis, namun H 3 afinitas adalah

100x lebih tinggi. Ini adalah tiourea derivatif.

Page 24: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Burimamide pertama kali dikembangkan oleh para ilmuwan di Smith, Kline & French

(SK &F; sekarang GlaxoSmithKline ) dalam niat mereka untuk mengembangkan

antagonis histamin untuk pengobatan dari tukak lambung . Penemuan dari buriamide

akhirnya menyebabkan perkembangan cimetidine (Tagamet)

9. NIFEROTIDIN

Niperotidine adalah antagonis histamin selektif untuk H 2 subtipe. Hal itu diuji coba

sebagai pengobatan untuk keasaman lambung yang berlebihan, tetapi ditarik setelah

percobaan manusia menunjukkan kerusakan hati. Percobaan manusia menunjukkan.

Efek samping

Persiapan antasida seperti niperotidine dengan menekan asam dimediasi

memecah protein, menyebabkan peningkatan risiko mengembangkan makanan

atau obat alergi. Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke

dalam saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko

ini terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan

jangka pendek juga. mengarah ke peningkatan risiko mengembangkan makanan

atau obat alergi . Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke

dalam saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko

ini terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan

jangka pendek juga.

10. EBROTIDINE

Ebrotidine adalah H 2 antagonis reseptor dengan aktivitas gastroprotektif terhadap

etanol, aspirin atau stres akibat mukosa lambung kerusakan .Sifat antisekresi dari

ebrotidine yang mirip dengan ranitidin , dan sekitar 10 kali lipat lebih besar

dibandingkan dengan simetidin . Ebrotidine memiliki anti- Helicobacter pylori

aktivitas melalui penghambatan urease enzim proteolitik dan dan kegiatan mucolytic

bakteri. Namun, aktivitasnya sinergis dengan sejumlah agen antibakteri. Ebrotidine

melawan efek penghambatan H. pylori lipo -polisakarida.

Page 25: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Ebrotidine telah terbukti sama efektifnya dengan ranitidine untuk pengobatan dari

lambung ulkus duodenum atau erosi atau refluks esofagitis , dengan penyembuhan

ulkus signifikan lebih baik tarif (meskipun entah kenapa) pada mereka yang merokok

11. LAFUTIDINE

Karakteristik

- Nama IUPAC : 2-[(2-furylmethyl)sulfinyl]-N-((2Z)-4-{[4-(piperidin-1-

ylmethyl)pyridin-2-yl]oxy}but-2-en-1-yl)acetamide

- Rumus Kimia : C22 H29 N3 O4 S

- Mol. Massa : 431,54 g / mol

Lafutidine ( INN ) adalah generasi kedua H2 reseptor antagonis memiliki

multimodal mekanisme aksi . Saat ini dipasarkan di Jepang (Stogar) Cina

(Lemeiting) dan India (Lafaxid) Hal ini tidak hanya menekan sekresi asam

lambung, tetapi juga memiliki sifat sitoprotektif oleh kebajikan properti untuk

menginduksi kolagen sintesis dalam mukosa lambung. Ia memiliki mekanisme

novel tindakan selain memblokir reseptor H2, mengurangi peradangan oleh

modulasi Capsaicin-sensitif peptida-gen terkait (CGRP) dan reseptor vanilloid.

Hal ini juga ditemukan untuk merangsang biosintesis musin dan mempromosikan

pemulihan mukosa yang rusak

Mekanisme Aksi

- Tindakan Acid supresif

Lafutidine diserap dalam usus kecil , mencapai sel-sel lambung melalui

sirkulasi sistemik, dan kemudian langsung dan dengan cepat mengikat

lambung histamin sel reseptor H2, sehingga menghambat stimulasi cAMP dan

penurunan resultan dalam produksi asam (action antisekresi). Hal ini

menyebabkan peningkatan yang berkelanjutan dalam Ca2 + intraselular

konsentrasi ion dalam sel-sel endotel mengakibatkan pelepasan Calcitonin

Gene Peptida Terkait (CGRP), yang menyebabkan penekanan asam dengan

mengurangi tonus vagus. Lafutidine juga meningkatkan kadar somatostatin

plasma yang menurunkan sekresi gastrin dari sel G. Penurunan gastrin

menyebabkan penghambatan sel parietal , mengakibatkan penurunan sekresi

asam lambung.

- Tindakan gastroprotektif

Page 26: Antihistamin Antagonis Resepto h2

Rilis CGRP Lafutidine diinduksi merangsang nitric oxide (NO) produksi

dalam sel endotel, di mana NO berpartisipasi dalam regulasi aliran darah

mukosa lambung melalui vasodilatasi di microvasculature lambung dan

meningkatkan musin biosintesis mengakibatkan gastroprotection. Lafutidine

menghambat sekresi interleukin-8, yang pada gilirannya menghambat

penyerapan neutrofil di lokasi peradangan, sehingga mencegah peradangan

mukosa . Hal ini juga menghambat aktivasi neutrofil yang mengurangi

kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, sehingga mengurangi

peradangan Selain itu, Lafutidine telah ditemukan untuk memblokir lampiran

H. pylori dengan sel-sel lambung, sehingga mencegah penyakit seperti ulkus

peptikum.

- Farmakokinetik

Ketika 10 mg lafutidine itu oral untuk laki-laki dewasa yang sehat dalam

kondisi puasa, konsentrasi plasma puncak 265,15 ± 49,84 ng / ml dicapai

pada 0.95 ± 0.24 jam. Waktu paruh plasma adalah 1,92 ± 0,94 jam. Di antara

orang tua, tidak ada perbedaan dalam parameter farmakokinetik antara

mereka dengan fungsi ginjal normal (CCR rata 88,0 ± 9,4 mL / menit) dan

mereka dengan memburuknya fungsi ginjal (CCR 20 ~ 60ml/min, rata-rata

45,2 ± 7,8 ml / menit). Pada pasien dialytic bila diberikan tanpa hemodialisis,

yang Cmax, AUC dan t1 / 2 adalah nilai 336 ± 40 ng / ml, 2278 ± 306 ng.hr /

mL dan masing-masing 6,71 ± 0,30 jam sementara mereka setelah

hemodialisis adalah 226 ± 36 ng / ml, 853 ± 128 ng.hr / mL dan masing-

masing 4,57 ± 0,2 jam. Oleh karena itu lafutidine harus diberikan secara hati-

hati dengan dosis yang lebih rendah pada pasien dialytic.

Efek samping

Persiapan antasida seperti lafutidine dengan menekan asam dimediasi memecah

protein, menyebabkan peningkatan risiko mengembangkan makanan atau obat

alergi. Hal ini terjadi karena protein tercerna kemudian melewati ke dalam

saluran pencernaan di mana sensitisasi terjadi. Tidak jelas apakah risiko ini

terjadi dengan penggunaan jangka panjang saja atau dengan penggunaan jangka

pendek juga.