Refleksi Kasus Kulit Psoriasis

34
BAB I PENDAHULUAN Kelainan kulit psoriasis vulgaris merupakan bagian dari penyakit kulit dermatosis eritroskuamosa, yaitu penyakit kulit yang terutama ditandai dengan eritema dan skuama. Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan kematian namun menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih perjalanannya menahun dan residif. Psoriasis vulgaris dilaporkan terjadi pada 1,5% penduduk di negara-negara barat, salah satunya adalah United States yang mencatat angka kejadian psoriasis sebesar 3-5 juta penduduk dan sekitar 300.000 diantaranya adalah psoriasis generalisata. Angka insidensi psoriasis antara laki-laki dan perempuan adalah sama (Wolff dan Johnson, 2009). Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan bahwa laki-laki lebih banyak ditemukan menderita penyakit ini daripada perempuan dengan onset segala usia. Psoriasis dapat mengenai seluruh bagian tubuh, mulai dari lutut, siku, skalp, badan, dan kuku. Kulit pada psoriasis biasanya sangat kering, nyeri, dan juga gatal.

description

reflekasi kasus tentang psoriasis vulgaris

Transcript of Refleksi Kasus Kulit Psoriasis

BAB I PENDAHULUAN

Kelainan kulit psoriasis vulgaris merupakan bagian dari penyakit kulit

dermatosis eritroskuamosa, yaitu penyakit kulit yang terutama ditandai dengan

eritema dan skuama. Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan kematian

namun menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih perjalanannya menahun dan

residif.

Psoriasis vulgaris dilaporkan terjadi pada 1,5% penduduk di negara-

negara barat, salah satunya adalah United States yang mencatat angka kejadian

psoriasis sebesar 3-5 juta penduduk dan sekitar 300.000 diantaranya adalah

psoriasis generalisata. Angka insidensi psoriasis antara laki-laki dan perempuan

adalah sama (Wolff dan Johnson, 2009). Akan tetapi, beberapa referensi

menyebutkan bahwa laki-laki lebih banyak ditemukan menderita penyakit ini

daripada perempuan dengan onset segala usia. Psoriasis dapat mengenai seluruh

bagian tubuh, mulai dari lutut, siku, skalp, badan, dan kuku. Kulit pada

psoriasis biasanya sangat kering, nyeri, dan juga gatal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Psoriasis adalah penyakit kulit autoimun, yang bersifat kronik dan residif,

ditandai dengan adanya bercak eritema berbatas tegas dengan, berbentuk bulat atau

lonjong, tertutup skuama yang tebal, kasar, dan transparan (Murtiastutik dkk., 2013).

Psoriasis ini disebut juga dengan psoriasis vulgaris yang berarti psoriasis yang biasa,

karena ada psoriasis bentuk lain, seperti psoriasis pustulosa (Djuanda, 2009).

2.2 Epidemiologi

a. Onset Penyakit

Onset psoriasis vugaris dapat ditemukan pada usia muda yaitu sekitar 22,5 tahun.

Pada anak-anak, dapat ditemukan sejak usia 8 tahun. Sedangkan, pada usia lanjut

dapat ditemukan sejak usia 55 tahun. Onset penyakit yang lebih awal dikaitkan

dengan tingkat keparahan penyakit yan lebih berat dan biasanya berhubungan

dengan riwayat psoriasis pada keluarga (Wolff dan Johnson, 2009).

b. Angka Insidensi

Psoriasis vulgaris dilaporkan terjadi pada 1,5% penduduk di negara-negara barat,

salah satunya adalah United States yang mencatat angka kejadian psoriasis

sebesar 3-5 juta penduduk dan sekitar 300.000 diantaranya adalah psoriasis

generalisata. Angka insidensi psoriasis antara laki-laki dan perempuan adalah

sama (Wolff dan Johnson, 2009). Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan

bahwa laki-laki lebih banyak ditemukan menderita penyakit ini daripada

perempuan dengan onset segala usia. Insidensi psoriasis ditemukan meningkat

pada ras kulit putih daripada kulit berwrana (Djuanda, 2009). Angka insidensi

rendah dilaporkan di negara Afrika Barat, Jepang, dan ras Indian di Amerika

Utara dan Selatan (Wolff dan Johnson, 2009).

c. Faktor Predisposisi

Faktor genetik diduga berperan dalam psoriasis vulgaris. Apabila salah satu

orangtua menderita psoriasis, memiliki 8% kemungkinan anak mereka

mengalami psoriasis. Apabila semua orangtua mengalami psoriasis,

kemungkinan anak mereka untuk menderita penyakit ini adalah sebesar 41%.

Gen HLA yang dikaitkan dalam kejadian penyakit ini adalah HLA-B13, HLA-

B17, HLA-Bw57, dan yang paling penting adalah HLA-Cw6, yang akan

mempresentasikan antigen ke sel T CD8+. Beberapa faktor lingkungan lain yang

dikaitkan dengan psoriasis vulgaris adalah trauma fisik, infeksi Streptococcus

sp., stres psikologik, konsumsi alkohol, dan induksi obat seperti glukokortikoid,

antimalaria, litium, interferon, dan beta-adrenergik bloker (Wolff dan Johnson,

2009).

2.3 Patofisiologi

Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan melalui sel limfosit T, sel

penyaji antigen, dan keratinosit. Keratinosit pada pasien psoriasis membutuhkan

stimulus untuk aktivasinya. Lesi psoriasis yang matang umumnya penuh dengan

ssebukan limfosit T pada dermis, terutama sel limfosit T CD4+ dengan lebih sedikit

sebukan limfosit pada epidermis. Sedangkan, lesi baru psoriasis lebih didominasi oleh

sel limfosit T CD8+. Proliferasi epidermis dimulai dengan adanya pergerakan antigen

yang bersifat eksogen maupun endogen oleh sel langerhans. Pembentukan epidermis

pada psoriasis vulgaris terjadi dalam waktu 3-4 hari, sedangkan pada kondisi normal

epidermis dibentuk dalam waktu 28 hari. Beberapa ahli menyebutkan bahwa psoriasis

vulgaris adalah penyakit autoimun (Djuanda dkk., 2009).

Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti. Secara garis besar, terdapat 3

faktor yang berperan sebagai berikut (Martodihardjo dkk., 2005).

a. Predisposisi genetik

Terdapat kecenderungan bahwa psoriasis vulgaris diturunkan secara genetik

melalui gen autosomal dominan

b. Faktor presipitasi

Meliputi trauma (fenomena Kobner positif), infeksi (terutama pasca infeksi

Streptococcus beta hemolyticus), stres emosional (menyebabkan eksaserbasi),

perubahan iklim (menyebabkan penyakit lebih aktif).

c. Perubahan struktur biokimiawi

Terjadi pemendekan turn over epidermis yang normalnya berlangsung 28-30 hari

menjadi 3-4 hari.

2.4 Gejala Klinis

Keluhan penderita biasanya adalah gatal, terutama psoriasis yang mengenai kulit

kepala dan anogenital. Selain itu, penderita mengeluhkan rasa panas pada bagian kulit

yang terkena lesi. Keluhan gangguan kosmetik juga sering didapat karena perjalanan

penyakit yang kronik dan bersifat residif (Djuanda dkk, 2009; Wolff dan Johnson,

2009).

Pada psoriasis vulgaris dapat ditemukan tiga fenomena yang khas sebagai

berikut.

a. Fenomena Korsvlek

Terjadi perubahan warna pada skuama menjadi putih setelah dikerok, seperti

kerokan pada lilin, yang disebabkan perubahan indeks bias.

b. Tanda Austpitz

Munculnya bintik perdarahan setelah skuama tebal dikerok yang disebabkan

karena papilomatosis. Pengerokan dilakukan secara perlahan agar tidak terjadi

perdarahan merata yang dapat mengaburkan tanda Austpitz.

c. Fenomena Kobner

Goresan pada lesi yang diteruskan pada daerah yang tidak terdapat lesi akan

memunculkan lesi baru pada daerah goresan dalam waktu 3 minggu.

2.5 Bentuk Lesi

Lesi kulit terdiri atas bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama

diatasnya. Eritema sirkumskripta dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan

seringkali eritema ditengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama

berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar

kelainan bervariasi, dapat bersifat lentikular, nummular atau plakat yang

berkonfluensi. Jika seluruh atau sebagian bersifat lentikular maka disebut dengan

psoriasis guttatae, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dengan

post streptococcal infection (Djuanda dkk., 2009).

Efloresensi psoriasis dengan tipe gutatae biasanya adalah papul dengan ukuran 2

mm sampai 1 cm dengan atau tanpa skuama dan berwarna salmon-merah muda.

Skuama mungkin tidak terlihat dengan jelas namun akan tampak setelah dilakukan

penggoresan. Lesi tersebar dengan konsentrasi terbanyak pada bagian batang tubuh

dan berkurang pada bagian wajah dan kepala serta telapak tangan dan kaki. Lesi

gutatae biasanya akan sembuh secara spontan dalam beberapa minggu. Namun, dapat

terjadi rekurensi atau berkembang menjadi lesi kronik (Wolff dan Johnson, 2009).

Gambar 2.1 Psoriasis guttatae

Lesi pada psoriasis kronik berbatas tegas dengan plak berwarna merah redup dan

terdapat skuama berwarna perak-putih. Skuama dapat terkelupas dengan mudah atau

dapat terjadi hiperkeratosis sehingga skuama terikat kuat pada lapisan kulit

dibawahnya yang mengalami inflamasi (Wolff dan Johnson, 2009)

Gambar 2.2 Psoriasis kronik

2.6 Bentuk Klinis

Menurut Djuanda dkk. (2009), psoriasis dapat dijumpai dalam bentuk klinis

sebagai berikut.

a. Psoriasis vulgaris

Merupakan bentuk psoriasis yang paling sering dijumpai. Lesinya berbentuk

plak.

b. Psoriasis gutata

Pada umumnya timbul setelah infeksi Streptococcus di saluran nafas bagian atas

sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak atau dewasa muda. Selain itu

juga dapat timbul pada infeksi yang lain, baik infeksi bakterial maupun viral.

Lesi pada psoriasis gutata memiliki diameter biasanya tidak melebihi 1 cm,

timbulnya mendadak dan diseminata.

c. Psoriasis inversa (psoriasis fleksural)

Merupakan psoriasis yang memiliki predileksi pada daerah fleksor.

d. Psoriasis eksudativa

Psoriasis yang memiliki lesi yang eksudatif, seperti pada dermatitis akut.

Psoriasis eksudativa jarang dijumpai.

e. Psoriasis seboroik

Merupakan gabungan antara psoriasis dan dermatitis seboroik. Skuama yang

biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak lunak. Predileksinya selain

pada tempat yang lazim juga pada tempat seboroik.

f. Psoriasis pustulosa

- Psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber)

Efloresensi berupa kelompok-kelompok pustul kecil dan dalam, diatas kulit

yang eritematosa, disertai rasa gatal. Sering mengenai telapak tangan atau

telapak kaki atau keduanya dan bersifat kronik dan residif.

- Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch)

Dapat timbul pada pasien yang sedang atau yang telah menderita psoriasis

namun dapat pula muncul pada pasien yang belum pernah menderita

psoriasis. Gejala awalnya berupa nyeri pada kulit dengan hiperalgesia yang

disertai gejala umum berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Plak

psoriasis yang ada makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul plak

edematosa dan eritematosa pada kulit normal. Dalam beberapa jam timbul

banyak pustul miliar pada plak tersebut. Dalam sehari pustul berkonfluensi

membentuk lake of pus berukuran beberapa cm.

g. Eritroderma psoriatik

Dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh

penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi khas psoriasis tak lagi tampak

karena tertutup eritema dan skuama yang tebal. Terkadang lesi psoriasis masih

tampak samar-samar, yaitu lebih eritematosa dan kulitnya meninggi.

2.7 Predileksi

Distribusi lesi pada psoriasis gutatae adalah menyeluruh dan terutama mengenai

bagian badan. Sedangkan, pada psoriasis kronik dijumpai lesi single ataupun lesi

fokal dengan satu atau lebih tempat predileksi, yaitu siku, lutut, region skral-glutea,

kepala, atau telapak tangan dan kaki. Pola distribusi bersifat simetris dan bilateral

(Wolff dan Johnson, 2009).

Menurut Wolff dan Johnson 92009), lokasi lesi pada psoriasis adalah sebagai

berikut.

a. Telapak tangan dan kaki

Terdapat skuama berwarna putih atau kekuningan dengan hiperkeratosis, yang

tidak mudah diangkat. Terdapat fisura dan perdarahan yang menyebabkan nyeri.

b. Kepala

Terdapat plak dengan skuama tebal yang melekat, terasa gatal, dan tidak

menyebabkan kerontokan pada rambut, dapat bersifat lesi tunggal ataupun

bersamaan dengan lesi lain di lokasi yang berbeda.

c. Wajah

Lesi psoriasis pada wajah berhubungan dengan refrakter psoriasis.

d. Genital dan perianal

Tidak selalu didapatkan skuama. Lesi dapat berbentuk fisura dengan warna

merah karena lokasi yang lembab.

e. Kuku jari

Terdapat nail pit, hiperkeratosis subungual, onikolisis, dan bercak kuning

kecoklatan pada nail plate.

Gambar 2.3 Predileksi psoriasis vulgaris

2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Dermatopatologi

- Penebalan epidermis (akantosis) dengan sel epidermis yang menipis pada

bagian papil dermis

- Peningkatan mitosis keratinosit, fibroblas, dan endotel

- Parakeratotik hyperkeratosis

- Sel radang di lapisan dermis dan epidermis membentuk abses Munro di

bagian subkorneum

Gambar 2.4 Perbandingan histology kulit normal (kiri) dengan psoriasis (kanan)

b. Serologi

- Peningkatan antistreptolisin pada psoriasis gutatae

- Psoriasis yang bersifat mendadak berhubungan dengan HIV/AIDS sehingga

perlu dilakukan rapid test apabila ditemukan gejala HIV/AIDS yang lain

- Kadar asam urat serum meningkat pada 50% pasien sehingga pasien psoriasis

rawan terkena gout artritis

c. Kultur, untuk melihat infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A yang biasanya

menyertai pada psoriasis gutatae.

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding psoriasis vulgaris adalah sebagai berikut.

1. Dermatofitosis. Pada stadium penyembuhan, eritema dapat hanya terjadi di

pinggir sehingga menyerupai dermatofitosis. Namun pada dermatofitosis pasien

merasa gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur

2. Sifilis psoriasiformis. Penyakit tersebut sekarang jarang didapat. Perbedaannya

pada sifilis psoriasiformis terdapat sanggama tersangka (coitus suspectus),

pembesaran kelenjar getah bening menyeluruh, dan tes serologik untuk sifilis

(TSS) positif

3. Dermatitis seboroik. Perbedaannya dengan psoriasis karena skuamanya

berminyak dan kekuning-kuningan dan predileksinya pada tempat yang seboroik.

2.10 Diagnosis

Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan gejala klinis, yaitu

ditemukan adanya efloresensi berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan

skuama yang kasar, berlapis-lapis, dan transparan. Pada psoriasis juga didapati

fenomena tetesan lilin (Karsvlek phenomena), fenomena Auspitz, dan fenomena

Kobner positif.

2.11 Penatalaksanaan

Tata laksana psoriasis perlu memperhatikan luasnya lesi kulit, lokalisasi lesi

kulit, umur pasien, dan ada tidaknya kontra-indikasi obat yang akan diberikan.

Pengobatan kausal belum dapat dilakukan sehingga pengobatan yang diberikan

bertujuan untuk:

- Menghilangkan faktor-faktor yang dianggap sebagai pencetus timbulnya

psoriasis antara lain: stres diberikan sedativa, fokal infeksi dapat berupa

tonsilitis, gigi karies, maupun investasi parasit harus diberantas

- Menekan atau menghilangkan lesi psoriasis yang telah ada, meliputi

pengobatan topikal, sistemik, dan penyinaran.

a. Pengobatan topikal

i. Preparat ter

Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat ter sebagai antiinflamasi.

Menurut asalnya preparat ter dibagi menjadi 3, yaitu ter yang berasal dari fosil

(misalnya: iktiol), ter yang berasal dari kayu (misalnya: oleum kadini dan oleum

ruski), dan ter yang berasal dari batubara (misalnya: liantral dan likuor karbonis

detergens). Ter yang berasal dari kayu dan batubara lebih efektif digunakan dalam

pengobatan psoriasis. Psoriasis yang menahun lebih baik menggunakan ter batubara

karena lebih efektif dan kemungkinan timbul iritasi kecil. Sedangkan, psoriasis akut

digunakan ter dari kayu untuk menghindari terjadinya iritasi dan eritroderma

Konsentrasi yang biasa digunakan adalah 2-5%, dimulai dengan konsentrasi rendah,

jika tidak ada perbaikan maka konsentrasi dinaikkan. Untuk meningkatkan penetrasi

ditambahkan asam salisilat dengan konsentrasi 3-5% (Djuanda dkk., 2009).

Contoh sediaan ter batubara adalah liquor carbonis distillate (LCD). Preparat ter

diberikan 1-2 kali/hari dan pada kehamilan trimester I tidak boleh digunakan. Efek

samping ter adalah dermatitis, folikulitis, iritasi, dan fotosensitivitas meningkat.

Preparat ter dilarang digunakan pada lesi inflamasi yang bersifat akut dan kasus

pustular psoriasis. Preparat ter tidak boleh terkena kontak dengan mukosa mata,

genital, dan rectal.

ii. Kortikosteroid

Pada skalp, muka, dan daerah lipatan digunakan vehikulum krim, di tempat lain

digunakan salap. Efek samping yang muncul antara lain adalah teleangiektaksis dan

striae atrofikans sehingga tidak disarankan digunakan pada daerah wajah. Pada

batang tubuh dan ekstremitas dapat digunakan salap dengan potensi sedang atau kuat,

tergantung berat penyakitnya. Jika terjadi perbaikan maka potensi dan frekuensinya

dikurangi (Djuanda dkk., 2009).

Efek samping dari steroid topikal adalah memburuknya infeksi, dermatitis

kontak, dermatitis perioral, acne vulgaris, depigmentasi kulit, kulit kering,

hipertrikosis, sekunder infeksi, atrofi kulit, pruritus, folikulitis, dan fotosensitivitas

meningkat. Kontraindikasi steroid topikal adalah infeksi bakteri, jamur, ataupun

virus, dan dermatitis peroral.

Steroid topikal yang digunakan antara lain :

- Potensi rendah, yaitu hidrokortison 1%, sediaan krim atau salap, diberikan 1-2

kali/hari, tidak diperbolehkan digunakan di wajah dalam jangka waktu yang lama

- Potensi sedang, yaitu betametasone 17-valerate 0,025% dan clobetasone butirate

0,05%, sediaan krim atau salap, diberikan 1-2 kali/hari, tidak diperbolehkan

digunakan di wajah dalam jangka waktu yang lama

- Potensi kuat, yaitu betametasone 17-valerate 0,1% sediaan krim atau salap,

diberikan 1-2 kali/hari, dengan dosis maksimum kurang dari 60 mg/minggu,

tidak boleh digunakan di area wajah, dan digunakan dalam jangka waktu kurang

4 minggu

- Potensi sangat kuat, yaitu clobetasol propionate 0,05%, sediaan krim atau salap,

dengan dosis maksimum kurang dari 30 mg/minggu, tidak boleh digunakan di

area wajah, dan digunakan dalam jangka waktu kurang 2 minggu

iii. Ditranol (antralin)

Obat ini dikatakan efektif namun memiliki efek samping yaitu mewarnai kulit

dan pakaian. Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8% dalam pasta, salap, atau

krim. Lama pemakaian hanya ¼-½ jam sehari sekali untuk mencegah iritasi.

Penyembuhannya dalam 3 minggu.

Referensi lain menyebutkan dosis yang digunakan untuk ditranol sebaiknya

0,1-0,5% untuk pemakaian pada malah hari dan 1-2% untuk pemakaian singkat

selama 30 menit hingga 1 jam. Efek samping dari preparat ini adalah sensai terbakar

yang terlokalisir dan iritasi serta pewarnaan pada kulit dan rambut. Kontraindikasi

ditranol adalah pada kasus pustular psoriasis dan inflamasi yang bersifat akut.

Penggunaan preparat ini sebaiknya dijauhkan dari area mata dan kulit tubuh lain yang

sensitif.

iv. Calcipotriol

Merupakan sintetik vitamin D berupa salap atau krim 50 mg/g yang memiliki

efek antiproliferasi. Perbaikan terjadi setelah satu minggu. Efek sampingnya pada 4-

20% penderita berupa iritasi, yaitu rasa terbakar dan tersengat, dapat pula terlihat

eritema dan skuamasi. Rasa tersebut akan menghilang selama beberapa hari setelah

obat dihentikan.

v. Tazaroten

Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi

dan normalisasi petanda diferensiasi keratinosit dan menghambat petanda

proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel dan

krim dengan konsentrasi 0,05% dan 0,1%. Efek sampingnya adalah iritasi berupa

gatal, rasa terbakar, dan eritema pada 30% kasus juga bersifat fotosensitif.

vi. Emolien

Efek emolien adalah melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi

kulit sehingga kulit tidak terlalu kering. Pada batang tubuh selain lipatan, ekstremitas

atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/ hari,

fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meningkatkan daya penetrasi bahan

aktif. Jadi, emolien sendiri tidak memiliki efek antipsoriasis.

vii. Asam salisilat 2-10%

Sediaan berupa krim atau salap yang digunakan 1-2 kali/hari. Efek samping

yang ditimbulkan antara lain sensitivitas meningkat, kulit kering, dan iritasi. Tidak

boleh digunakan pada kulit yang meradang atau tidak intake.

b. Pengobatan sistemik

i. Antihistamin

Pengobatan dengan antihistamin bersifat simtomatik untuk mengurangi rasa

gatal.

ii. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid untuk psoriasis masih kontroversial kecuali bentuk

eritrodermi, psoriasis artritis, dan psoriasis pustulosa tipe Zumbusch. Kortikosteroid

yang digunakan adalah Prednison dengan dosis inisial 30-60mg (1-2 mg/kgBB/hari),

atau steroid lain dengan dosis ekuivalen. Jika membaik dilakukan tappering off.

Penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan kekambuhan dan dapat terjadi

psoriasis pustulosa generalisata.

iii. Obat sitostatik

Obat sitostatik yang digunakan biasanya adalah metotreksat (MTX) dengan

dosis 3x2,5 mg dengan interval 12 jam dalam seminggu (dosis total 7,5mg). Jika

tidak tampak perbaikan maka dosis dinaikkan menjadi 2,5-5 mg per minggu. Cara

lain ialah diberikan secara i.m. 7,5-25 mg dosis tunggal setiap minggu. Kerja MTX

adalah menghambat sintesis DNA dengan cara menghambat dihidrofolat reduktase.

MTX juga bersifat hepatotoksik, jadi diperlukan monitoring fungsi hati. Selain itu

MTX juga menekan mitosis secara umum sehingga perlu diwaspadai efek supresi

pada sumsum tulang.

Kontraindikasinya adalah kelainan hepar, ginjal, sistem hematopoietik,

kehamilan, penyakit infeksi aktif (misalnya TB), ulkus peptikum, kolitis ulserosa, dan

psikosis. Efek sampingnya ialah alopesia, nyeri kepala, gangguan saluran cerna

(nausea, nyeri lambung, stomatitis ulserosa, dan diare), depresi sumsum tulang

belakang (leukopenia, trombositopenia, dan kadang anemia), gangguan pada hepar

(fibrosis, sirosis), dan gangguan lien.

iv. Levodopa

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan levodopa berhasil menyembuhkan

kira-kira 40% kasus psoriasis. Dosisnya antara 2x250mg – 3x500mg dengan efek

samping berupa mual, muntah, anoreksia, hipotensi, gangguan psikis, dan pada

jantung.

v. DDS (Diaminodifenilsulfon)

Digunakan untuk psoriasis pustulosa tipe Barber dengan dosis 2x100 mg per

hari. Efek sampingnya dapat terjadi anemia hemolitik, methemoglobinemia, dan

agranulositosis.

vi. Etretinat

Merupakan retinoid aromatik, digunakan untuk psoriasis yang sukar

disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Cara kerjanya

belum diketahui secara pasti namun pada psoriasis obat ini mengurangi proliferasi sel

epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal. Dosis yang diberikan bervariasi, pada

bulan pertama diberikan dosis 1mg/kgBB namun jika belum didapatkan perbaikan

maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,5mg/kgBB.

Efek sampingnya sangat banyak, diantaranya kulit menipis, selaput lendir pada

mulut, mata, dan hidung kering, peningkatan lipid darah, gangguan fungsi hepar,

hiperostosis, dan teratogenik.

vii. Siklosporin

Memiliki efek imunosupresif. Diberikan dengan dosis 6mg/kgBB sehari.

Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik.

viii. TNF antagonis

Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha antagonis merupakan sitokin proinflamasi

yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Saat ini dikembangkan obat-obat baru

yang memiliki efek antagonis terhadap TNF-a. Sediaannya antara lain Adalimumab,

Infliximab, Etanercept, Alefacept, dan Efalizumab.

c. Pengobatan dengan penyinaran

Terapi yang digunakan adalah menggunakan PUVA. Karena psoralen bersifat

fotoaktif maka diberikan UVA dengan harapan terjadi efek yang sinergis. 10-20mg

psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian dilakukan penyinaran. Terdapat

bermacam-macam teori, diantaranya 4 kali seminggu. Penyembuhan mencapai 93%

setelah 3-4 minggu. PUVA juga dapat digunakan untuk eritroderma psoriatik dan

psoriasis pustulosa. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pada pemakaian yang

lama memungkinkan terjadi kanker kulit.

2.12 Prognosis

Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini bersifat

kronis dan residif.

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Usia : 60 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Mawar Nomor 42

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2015

3.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama

Pasien mengeluh kulit mengelupas hampir diseluurh tubuh

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh kulit mengelupas hampir diseluruh tubuh. Kulit pasien

merah, panas, gatal, dan terasa kering. Kelainan kulit pertama kali muncul di

sela-sela jari sekitar satu bulan yang lalu. Kelainan pertama muncul setelah

pasien mencuci piring. Pasien merasakan gatal diantara sela jari, kemudian

berubah menjadi warna kemerahan. Kemudian, kelainan semakin menjalar ke

tangan dan bagian tubuh yang lain. Pasien sempat mengobati lesi tersebut

dengan salep Bufakot. Keluhan pasien sudah mulai berkurang sejak

menggunakan salep tersebut. Akan tetapi, beberapa minggu kemudian muncul

lesi lagi di seluruh tubuhnya.

Pasien mengatakan bahwa dirinya sedang mempunyai masalah keluarga.

Pasien memiliki empat orang anak, akan tetapi salah satu anaknya telah

meninggal dunia. Cucu pasien sekarang tinggal satu rumah dengan pasien.

Kadang pasien merasa jengkel dan marah karena menurut pasien cucu pasien

nakal. Selain itu, salah satu anak pasien, anak ketiga, mengalami gangguan

kejiwaan dan sekarang juga tinggal bersama pasien.

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa dan penyakit lain disangkal

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan serupa dan penyakit lain disangkal

e. Riwayat Pengobatan

Salep Bufakot

f. Riwayat Alergi

Riwayat alergi disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Kesadaran : compos mentis

Keadaan umum : baik

TTV : dalam batas normal

Kepala/leher : dalam batas normal

Thoraks : C/P dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Status dermatologi

Lokasi : regio capitis, ekstremitas superior dekstra dan sinistra,

ekstremitas inferior dekstra dan sinistra, thorakalis anterior dan posterior

Efloresensi :

- regio kapitis tertutup skuama tebal

- regio ekstremitas superior dan thorakalis anterior et posterior tertutup skuama

tipis dengan dasar dasar kulit yang eritematosa

Gambar 3.1 Regio ekstremitas superior dekstra Ny. M

Gambar 3.2 Regio thorakalis posterior Ny. M

- region ekstremitas inferior terdapat beberapa plak sirkumskripta tertutup

skuama tipis dengan dasar eritematosa

Gambar 3.3 Regio ekstremitas inferior dekstra Ny. M

- Tes penunjang

Autspitz sign (+) terdapat bercak perdarahan setelah skuama di kerok

Fenomena bercak lilin (+) terdapat perubahan warna skuama menjadi

keruh setelah dikerok

3.4 Resume

Perempuan dengan usia 60 tahun datang ke poli kulit dengan keluhan kulit

mengelupas, terasa panas dan gatal. Keluhan pada awalnya dirasakan disela-sela jari

setelah pasien mencuci piring satu bulan yang lalu. Kemudian, gatal semakin

menjalar, kulit pasien menjadi semakin merah, dan mengelupas. Pasien sempat

mengobatinya dengan salep Bufakot dan keluhan sempat mereda. Namun, keluhan

muncul lagi beberapa minggu kemudian. Pasien mengaku bahwa saat ini terdapat

masalah keluarga yang sedang dihadapinya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

skuama tipis di seluruh tubuh dengan dasar kulit eritematosa, papula sirkumskripta

dengan skuama tipis di regio ekstremitas inferior, dan skuama tebal di regio capitis.

Tes Autspitz positif dan fenomena bercak lilin positif.

3.7 Diagnosis Banding

a. Psoriasis vulgaris

b. Dermatitis seboroik

Lokasi predileksi pada daerah tubuh yang banyak mempunyai kelenjar

sebasea yaitu kepala, kulit dibelakang telinga, wajah, badan bagian atas

(presternal, interskapula, aerola mamae), dan daerah lipatan (aksila, lipatan

bawah mamae, inguinal, anogenital).

Efloresensi berupa makula atau plakat dengan skuama tipis sampai tebal yang

basah, kering, atau berminyak. Makula berwarna pucat

c. Dermatofitosis

Keluhan yang utama adalah gatal dengan sediaan KOH ditemukan hifa

d. Morbus Hansen tipe macular

e. Sifilis II

f. Pitiriasis rosea

g. Likhen ruber planus

3.8 Diagnosis

Psoriasis vulgaris

3.9 Penatalaksanaan

Topikal :

- Salep hidrokortison 2%

Sistemik :

- Metotreksat 2x2,5 mg interval 12 jam dalam seminggu

- Mebhydrolin 3x1

Edukasi :

1. Memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya, dari jenis

penyakit, penyebab, pencetus sampai prognosisnya

2. Menjaga kondisi tubuh agar tetap dalam keadaan bersih serta sehat dan

mengurangi stres

3. Menghindari faktor pencetus, merokok, konsumsi alkohol, termasuk stres

psikologis. Bila diperlukan, dapat dilakukan rawat bersama dengan spesialis

kejiwaan.

4. Merawat diri dan berobat secara teratur

5. Menggunakan pelembab untuk mencegah kekeringan pada kulit

6. Cukup nutrisi dengan makan makanan bergizi, tidur yang cukup

7. Kontrol kembali setelah obat habis untuk evaluasi pengobatan

3.10 Prognosis

Dubia ad bonam, kronik residif.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. 2010. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 978-979-496-719-5

Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, Suyoso S. 2013. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press

Wolff, K., & Johnson, R. A. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Ed. 6. Mcgraw-hillmedical.com

Ministry Health of Malaysia. 2013. Clinical Practice Guidelines: Management Of Psoriasis Vulgaris. Putrajaya: Malaysia Health Technology Assesment Section: 978-967-0399-64-5

Martodihardjo, Sunarto, dkk. 2005. Psoriasis Vulgaris. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi III. Surabaya: FK Universitas Airlangga: 979-8865-07-3