Referat Tetanus

25
TETANUS Elisabeth Grety, Irmayani Aboe Kasim I. PENDAHULUAN Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. 1 Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang 1

description

tugas stase neuro

Transcript of Referat Tetanus

TETANUSElisabeth Grety, Irmayani Aboe Kasim

I. PENDAHULUANTetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survei menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun. 1Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya waktu.1

II. DEFINISITetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.2,Masa inkubasi adalah interval antara waktu terjadi luka dan gejala awal tetanus. Period of onset adalah interval antara gejala awal dengan kejang pertama, sedangkan periode gejala klinis adalah waktu dari gejala awal sampai gejala kejang/kekakuan terakhir meliputi period of onset, progresifitas penyakit dan kesembuhan sampai remisi kejang.3Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.2 Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.1

III. EPIDEMIOLOGITetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicengah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan Negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara lain dibenua Asia.2Penyakit ini umum di daerah yang tanahnya dibudidayakan, daerah pertanian, daerah pedalaman, beriklim panas, selama musim panas, dan pada laki-laki. Dinegara tanpa program imunisasi utama, tetanus neonatal dan tetanus pada orang muda mendominasi. Secara khusus, orang berusia lanjut sangat mencolok terjangkiti. Kurang dari 100 kasus telah dilaporkan pada the Centers for Disease Control (CDC) setiap tahun; 94 persen kasus terjadi pada orang yang berusia 20 tahun dan 68 persen pada orang berusia lebih dari 50 tahun. Walaupun demikian, beban penyakit ini lebih besar karena pelaporan tidak lengkap.4

IV. ETIOLOGIClostridium tetani adalah basillus anaerobik bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. C.tetani merupakan bakteri yang motile karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain. Namun ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski dengan autoclave pada suhu 1210C selama 15-20 menit).5

Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas drum stik pada bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x).5

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkemang dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).5 Sel yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol, penisilin dan lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.2

V. PATOGENESISTetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera atau luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril5. Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem Saraf Pusat (SSP). Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher5.Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spasme laring, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti5.

Gambar 2. Patomekanisme Tetanus.6Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara5 : a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot. b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord. c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urin5.Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas4.

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu6:a. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi5.

VI. MANIFESTASI KLINISMasa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang5.Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu7 :a. Tahap awalRasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.b. Tahap keduaGejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.c. Tahap ketigaDaya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis 1Derajat Manifestasi Klinis

I : Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANGTidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus. Nilai hitung leukosit dapat tinggi. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

VIII. PENATALAKSANAANManajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang belum terikat, meminimalkan efek dari toksin yang belum terikat dengan mempertahankan jalan napas yang adekuat. Penanganan umum, sebisa mungkin tempat perawatan pasien tetanus dipisahkan, sebaiknya ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta terlindungi dari stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya segera dibersihkan.5Imunoterapi: antitoksin yang berasal dari manusia, sejak tahun 1960-an para ahli merekomendasikan sedapat mungkin menggunakan HTIG, dan hanya menggunakan ATS apabila tidak ada persediaan HTIG. Dosis HTIG yang direkomendasikan untuk terapi tetanus 3.000 IU hingga 6.000 IU yang diberikan secara intramuskular, meskipun disebutkan pula pemberian 500 IU memiliki efektivitas yang sama.10 Pemberian equine antitoksin juga bisa untuk menginaktifkan toksin. Pemberiaan 10.000-20.000 U equine antitoksin dosis tunggal secara intramuscular sudah cukup, namun hati-hati reaksi anafilaktoid.5 Antibiotik : pilihan antibiotik adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam (baik secara IV maupun oral) selama 7 hari. Alternativ lain adalah Penicillin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari secara intravena, terbagi 2-4 dosis. Pengontrolan spasme otot: Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai kontrol spasme tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600 mg/hari). Pada anak, dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB, dinaikkan sampai tercapai kontrol spasme yang baik. Magnesium sulfat bersama dengan benzodiazepine dapat digunakan untuk mengontrol spasme dan gangguan autonomik dengan dosis loading 5 gram (75 mg/kgBB) secara intravena, dilanjutkan dengan dosis 2-3 gram/jam sampai spasme terkontrol.5Kontrol jalan napas: pada tetanus, kita harus benar-benar memonitor pernapasan, karena obat-obatan yang digunakan apat menyebabkan depresi napas, serta kemungkinana spasme laring tidak bias disingkirkan. Penggunaan ventilator mekanik dapat dipertimbangkan, khususnya bila terjadi spasme, trakeostomi juga dapat dilakukan bila terjadi spasme karena ditakutkan terjadi spasme laring saat pemasangan pipa endotrakeal. Pemberian cairan dan nutrisi: pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat membantu dalam proses penyembuhan tetanus.5IX. KOMPLIKASI Aspirasi dan pneumonia hingga apneu Luka pada mulut dan lidah, hematom intramuskuler atau rhabdomiolisis dengan mioglobinuri dan gagal ginjal. Fraktur spinalis Trombosis venosa, emboli pulmonal, ulserasi lambung, ileus paralitikus, dan ulserasi dekubitus Aritmia jantung, tekanan darah dan suhu yang tidak stabil1

X. DIAGNOSIS BANDING1 Kejang karena hipokalsemia Reaksi distonia Rabies Meningitis Abses retrofaringeal, abses gigi, sulbluksasi mandibula Sindrom hiperventilasi/ reaksi histeri Epilepsi/ kejang tonik klonik umum1

XI. PROGNOSISPerjalanan penyakit tetanus yang cepat, menandakan prognosa yang jelek. Selain itu umur dan tanda-tanda vital juga menunjukkan prognosis dari penyakit tetanus.5

Tabel 2. Faktor-faktor prognosis yang menunjukkan perburukan penyakit tetanus 5Tetanus DewasaNeonatal Tetanus

Umur lebih dari 70 tahunKejadian umur yang lebih muda, kelahiran premature

Periode inkubasi < 7 hariInkubasi < dari 6 hari

Waktu saat gejala awal muncul sampai penanganan di rumah sakitKeterlambatan Penanganan di rumah sakit

Adanya luka bakar, luka bekas operasi yang kotorHigiene yang buruk, saat proses kelahiran

Onset periode 140 mm Hg

Spasme yang berat

Temperatur > 38,50C

XII. PENCEGAHANTetanus dicengah dengan penangan luka yang baik dan imunisasi. Rekomendasi WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhit saat dewasa. Di Amerika, CDC merekomendasikan booster tambahan saat umut 14-16 bulan disertai booster tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat masih anak-anak, namun tidak mendapat booster, direkomendasikan menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.5 Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap dosisnya. Hal tersebut untuk mencengah tetanus maternal dan neonatal. 5

XIII. SIMPULANTetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotorna binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka abakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan. Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.Pengobatan untuk tetanus dengan pemberian antitoksin Anti Tetanus Serum (ATS) dan Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) dan antibiotik. Pencengahan tetanus dapat dilakukan dengan imunisasi aktif atau imunisasi toxoid tetanus, perawatan luka yang segera dan penggunaan alat tindakan yang steril.

DAFTAR PUSTAKA

1. Annonimus. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur Operasional Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006; hal:27-81. Greenberg DA, Aminoff MJ, et al. Clinical Neurology. Philladelpia: McGrawHill Medical. 2012; p.24-21. Harsono, (Ed.). Buku Ajar Neurologis Klinis. PERDOSSI. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. 2007; hal: 189-911. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. Hal:171. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Review Journal. 2013; [cited: May 2015] [available from: URL:http://www.researchgate.net/]1. Jones HR. Tetanus. Netters Neurology. 2012. [online reading: May 2015] [available from: URL:http://www.netterimage.com]1. Mardjono, Mahar.. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2009;hal 323-24.1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid I. Penerbit Interna publishing; 2014. h. 639-6421. Thwaites CL. Tetanus.in: Practical Neurology. University of Oxford Wellcome Trust Clinical Research Unit, Centre for Tropical Diseases.2002; p.130-7. [cited: May 2015] [available from URL:http://www.pn.bmj.com/content/2/3/130.full.pdf]1. Widiyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan pemberantasan. Edisi I. Jakarta : Erlangga.2008.hal: 56-91. Abrutyn E. Tetanus. Dalam: Buku Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit. Edisi 13. Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran. EGC; 2013. h. 711-13

14

15