Referat UFHA Tetanus

35
BAB I PENDAHULUAN Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil gram positif, clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah,tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka serta Toksin dapat mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot. (1) Tetanus disebut juga dengan “seven day disease”. Dan pada tahun 1890 ditemukan toksin seperti striknin, kemudian dikenal dengan tetanospasmin yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri imunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus .(2) Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani Dari manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato. Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun 1924 Descombey mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II .(3) 1

description

:)

Transcript of Referat UFHA Tetanus

BAB IPENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil gram positif, clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah,tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. infeksi terjadi akibat kontak denganjaringan melalui luka serta Toksin dapat mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot.(1) Tetanus disebut juga dengan seven day disease. Dan pada tahun 1890 ditemukan toksin seperti striknin, kemudian dikenal dengan tetanospasmin yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri imunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.(2)Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani Dari manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato. Imunisasi pasifterhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun 1924 Descombey mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II.(3)Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani diseluruh dunia terutama dinegara beriklim tropis dan negara-negara yang sedang berkembang sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, daerah iklim hangat. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-anak. (1)Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus diseluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300 kasus pertahun, dan kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris. (1)Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 sampai 600 kasus pertahun di Amerika Serikat. Pada tahun 1947 insidensi tetanus mencapai 3,9 kasus perjuta populasi, kontras dengan angka insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang dilaporkan 0,16 perjuta populasi.Sejaktahun 1976 kurang dari 100 kasus dilaporkan tiap tahun dan pada saat ini antara 50-70 kasus pertahun dilaporkan di Amerika Serikat.Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas terhadap antibody tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan bertambahnya usia, hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45% wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat. (1)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 DEFINISITetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostiridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.(1)Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi ototyang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratories C. tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma.(4)2.2 ETIOLOGITetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatifC. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus.(3) Bakteri ini terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan manusia. Clostiridium tetani juga menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120C selama 15 menit. Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensistif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin dan lainnya).Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostiridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi dibawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolysis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100 kDa) yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perluasan neurotransmitter.Telah diketahui urutan genom dari Clostiridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin yang paling kuat yang pernah ditemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimikrobial bakteri ini.2.3 PATOGENESISSering terjadi kontaminasi luka oleh spora C. tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila oleh mikroorganisme yang lain(1).Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisis mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.(1)Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organism. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan dibawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal.(1)Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor interneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas. (1)Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfide yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membrane yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan neurotransmitter.(1)Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori , dimana setelah toksin ini menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermitten dan serangan autonomic, masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid.(1)Aliran aferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot otot perifer tangan dan kaki relative jarang terlibat.(1)Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.(1)Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal, sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu tranasport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.(1)2.4 GAMBARAN KLINIKGejala-gejala dapat timbul beberapa hari, beberapa minggu, dan dapat juga beberapa bulan setelah terjadinya infeksi. Penderita merasa badannya tidak enak kepala nyeri, dan otot-otot kaku. Kemudian timbul kejang kaku pada otot-otot lokal atau mengenai otot-otot seluruh badan. Biasanya kejang dimulai dengan trismus, yaitu kejang kaku otot maseter, hingga mulut makin lama makin sukar dibuka dan akhirnya terkancing, lalu menyusul kejang pada otot-otot dinding perut. Otot-otot ini terasa kaku pada perabaan. Pada tetanus umum, kemudian timbul spasme otot-otot tengkuk dan otot-otot tubuh lainnya, yang terjadi dalam serangan-serangan. Otot-otot wajah dapat mengejang pula hingga wajah tampak menyeringai. Kejang ini dapat makin lama makin hebat hingga mengganggu pernapasan, kesadaran biasanya tetap baik. Akan tetapi bila asfiksia yang terjadi hebat, kesadaran akan menurun karena otak kekurangan oksigen. Pasien meninggal karena asfiksia akibat kejang otot-otot pernapasan ini karena spasmus glotis, karena dekompensasi jantung atau karena kelelahan. Angka kematian tetanus kurang lebih 50% oleh karena itu, penting sekali tindakan pencegahan.(5)a. Tetanus generalSekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general.tanda khas dari tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot masseter, trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperature 2-4C diatas suhu normal. spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonikus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatic yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan kejang otot yang akut, paroksimal, tidak terkoordinasi dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. kejang tersebut terjadi secara intermitten, irreguler, tidak dapat diprediksi dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal distensi vesika urnaria dan rectum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksimal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien bahkan gerakan pasien unuk minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomic yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usisa tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktifitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardi, berkeringat, hipertermia dan aritmia jantung. (6)Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transport toksin yang sudah berada intraaksonal,setelah antitoksin diberikan.Apabila antitoksin tidak diberikan pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction yang baru(3).

Gambaran klinik penederita tetanus ditunjukkan oleh gambar :Gambar 1 :Penderita tetanus dengan risus sardonikus

Gambar 2 :Anak penderita tetanus yang menangis akibat kontraksi otot yang nyeri

Gambar 3 :Penderita tetanus dengan opistotonus

II.4.2 Tetanus lokalTetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan.Pasien dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik.Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang.Tetanuslokal dapatberlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan danjarang menimbulkan kematian. Mortalitasakibat tetanus lokal hanya 1%II.4.3 Tetanus sefalikTetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local,yang tejadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga.masa inkubasinya 1-2 hari dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf cranial yang tersering adalah saraf ke 7. disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.mortalitasnya tinggi(1)Gambar 4 :Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik. (Sumber: Cook, 2001)

II.4.4 Tetanus NeonatorumTetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi.Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak di imunisasi secara adekuat terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril.Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat,kebersihan lingkungan,dan kebersihan saat mengikat danmemotong umbilicus.onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan,rigiditas,sulit menelan ASI,iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum.Diantara neonatus yang terinfeksi,90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.(1)II.5 PERJALANAN PENYAKITPeriode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata rata 7 10 hari dengan rentang 1 60 hari.Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1 7 hari.Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah.Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1 2 minggu.Spasme berkurang setelah 2 3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama.Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dankarena penghancuran toksin. Pemulihan biasa memerlukan waktu sampai 4 minggu.(1)Pada proses perjalanan penyakit tetanus disebutkan juga tingkat derajat keparahanyang dilaporkan oleh (Phillips,Dakar,Udwadia,Ablett).Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang sering dipakai.Berdasarkan Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablettdapat dibagi menjadi antara lain(1):a. Derajat I (ringan) :Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.b. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringanc. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan. Frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.d. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.II.6 DIAGNOSISDiagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis.Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan.Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus.Namun demikian,C.tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka pasien teanus,kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organism tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.Leukosit mungkin meningkat.Pemerikassan cairan cerebrospinal menunjukkan hasil yang normal.Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenaga yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi.Perubahan non spesifik data dijumpai pada EKG.Enzim otot mungkin meningkat. Kadar anti toksi serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar anti toksin yang protektif(1).Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus, seperti absess alveolar,keracunan striknin,reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoclorpramid) tetanus hipokalsemik dan perubahan-perubahan metabolik dan neurologis pada neonatal. Kondisikondisilain yang dikacaukan dengan tetanus meliputi meningitis/ensefalitis,rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen).Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah,leher,dada,punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat mendukung diagnosa tetanus.(1).II.7 Diagnosis BandingDiagnosis banding dari tetanus sebagian besar dari penyakit-penyakit infeksi, kelainan metabolik,penyakit sistem saraf pusat,kelainan psikiatrik dan kelainan muskuloskeletal(tampak pada tabel) : Diagnosa banding tetanus

PenyakitGambaran diferensial

INFEKSI

MeningoensefalitisDemam trismus tidak ada,penurunan kesadaran, cairan serebrospinal abnormal

Polio

trismus tidak ada,paralisis tipe flaksid,cairan serebrospinal abnormal

RabiesGigitan binatang,trismus tidak ada hanya spasme orofaring

Lesi orofaringBersifat lokal,rigiditas atau spasme seluruh tubuh tidak ada

Peritonitistrismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK

TetaniHanya spasme karpo-pedal dan laringeal,Hipokalsemia

keracunan strikninRelaksasi komplit diantara spasme

Reaksi fenotiazinDistonia,menunjukkan respon dengan difenhidramin

PENYAKIT SISTEM SARAF PUSAT

status epileptikuspenurunan kesadaran

perdarahan atau tumor (SOL)Trismus tidak ada,penurunan kesadaran

KELAINAN PSIKIATRIK

HisteriaTrismus inkonsan,relaksasi komplit antara spasme

KELAINAN MUSKULOSKELETAL

TraumaHanya local

II.8PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penderita tetanus adalah :1. Bila memungkinkan periksa bakteriologi (Clostridium Tetani)2. EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung3. Foto toraks bila ada komplikasi paru-paruII.9PENGOBATANStrategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.(1).II.9.1 Netralisasi toksinNetralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG).Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus.namun beberapa penelitian menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuscular sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU(7). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan HTIG tidak boleh diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi.Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intraven,pemberian harus selesai dalam 30 45menit setengah dosis yang tersisa (20.000IU) diberikan secara intramuscular pada daerah sekitar luka.ATS berasal dari serum kuda sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yatu 0,1 ml ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal.HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf.(2).II.9.2 Eliminasi bakteriProses eliminasi bakteri maka dapat dilakukan dengan :a. Lokasi luka dibersihkan bila perlu dieksisib. Kultur luka untuk menemukan bakterinya tetapi tidak selalu berhasilc. Penicillin adalah drug of choice:berikan procain penisilin,1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 harid. Untuk pasien yang alergi penicillin dapat diberikan tetracycline,500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hariPemberian antibiotic diatas dapat mengeradikasi clostridium tetanie tetapi tidak mempengaruhi proses neurologis.II.9.3 Terapi simtomatik dan suportifTerapi simtomatik dan suportif yang diberikan antara lain :a. Diazepam dosis 10 mg IV perlahan 2-3 menit,selanjutnya dosis maintenance 10 ampul (100 mg) /500 ml cairan infuse (10-12 mg/kgbb/hari) diberikan secara drips untuk mencegah kristalisasi cairan dikocok setiap 35 menit setiap kejang diberikan diazepam 1 ampul/IV,dapat diulang setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali bila tidak teratasi rawat ICU.b. Oksigen diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia,distress pernapasan dan sianosis.c. Nutrisi diberikan TKTP dalam bentuk lunak,saring/cair,bila perlu melalui pipa NGT.d. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang termasuk rangsangan suara dan cahaya.e. Mempertahankan/membebaskan jalan napas (pengisapan lendir secara berkala).f. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodikg. Pemasangan kateter bila terjadi retensi urinII.10 PrognosisPenerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara nyata memperbaiki prognosis tetanus.Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis tergantung pada fasilitas yang tersedia.Di Negara-negara berkembang,tanpa fasilitas untuk perawatan jangka panjang dan bantuan ventilasi,kematian akibat tetanus berat mencapai lebih dari 50% dengan obstruksi jalan napas,gagal nafas dan gagal ginjal merupakan penyebab utama.Mortalitas sebesar 10% dianggap merupakan target yang dapat dicapai oleh Negara-negara maju.Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian akibat gagal nafas akut,tetapi sebagai akibatnya bagi kasus yang berat gangguan otonomik lebih nampak.Trujillo melaporkan bahwa 40% kematian setelah adanya perawatan intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi respirasi.Mortalitas bervariasi berdasarkan usia pasien.Prognosis buruk pada usia tua,pada neonatus dan pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek,interval yang pendek antara onset gejala sampai tiba di RS.DI USA mortalitas pada pasien dewasa dibawah 30 tahun hampir 0,tetapi pada pasien diatas 60 tahun mencapai 52%.Di portugis, antar tahun 1986 sampai tahun 1990,mortalitas untuk semua umur bervariasi antara 32 sampai 59%.Mortalitas dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya.Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan ICU sampai 3-5 minggu,pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang.Tonus yang meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan,namun pemulihan dapat diharapkan sempurna,kembali ke fungsi normalnya.Pada beberapa penelitian pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus,sering dijumpai menetapnya problem fisik dan psikologis.II.11 KomplikasiII.12 PencegahanTindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.(10)Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin.Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT)). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.Bayi dan anak normalImunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15 18 bulan.Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun10 tahun setelahnya (usia 14-16tahun) diberikan injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali

Bayi dan anak normal sampai usia 7 tahun yang tidak diimunisasi pada masa bayi awalDPT diberikan pada kunjungan pertama,kemudian 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertamaDosis ke-4 diberikan 6-12bulan setelah injeksi pertamaDosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun10 tahun setelahnya (usia 14-16tahun) diberikan injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali

Usia > 7 tahun yang belum pernah diimunisasiImunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama dan 6-12 bulan setelah injeksi kedua.Injeksi TT diulang setiao 10 tahun sekali

Ibu hamil yang belum pernah diimunisasiWanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2 trimester terakhir). Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekaliApabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetric yang adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma.Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing.Pada luka yang rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.(11)Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)Tampilan klinisiLuka rentan tetanusLuka tidak rentan tetanus

Usia lukaKonfigurasiKedalamanMekanisme cidera

Tanda-tanda infeksiJaringan matiKontaminan (tanah,feses, rumput,saliva, dll)Jaringan denervasi/iskemik6 jamBentuk stellate,avulse1 cmMisil, crush injury, luka bakar, frostbiteAdaAdaAda

Ada< 6 jamBentuk linier,abrasi< 1 cmBenda tajam (pisau, kaca)

Tidak adaTidak adaTidak ada

Tidak ada

Sumber :American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya.Efek samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi boosteryang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui(11).Panduan pemberian profilaksis pada pasien traumaUntuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT.Dosisprofilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah.Apabila tidaktersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU.ATS lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan teskulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%).ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini.Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin.Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untukmerangsang imunitas aktif penderita(2).Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidakmemiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoiduntuk pertama kali.Hal ini disebut sebagai imunitas alami.Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses manusia.Bakteri yang berada di dalam lumenusus merangsang terbentuknya imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik(2).

BAB IIIRINGKASANTetanus adalah penyakit sistem saraf akut yang disebabkan oleh eksotoksin clostridium tetani dengan karakteristik peninggian rigiditas dan spasme tonik persisten dari otot skeletal.Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi aktif tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, danmanajemen perawatan luka yang adekuat.Pada proses perjalanan penyakit tetanus disebutkan juga tingkat darajat keparahanyang dilaporkan oleh (Phillips, Dakar, Udwadia, Ablett).Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang sering dipakai.Skor ablett masih merupakan pilihan dalam menentukan derajat keparahanpenyakit tetanus pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilaikemajuan perjalanan penyakit selama perawatan karena menilai banyak parameter danpenilaian unsur-unsurnya bersifat objektif.Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.Berdasarkan Prognosis Mortalitas bervariasi berdasarkan usia pasien prognosis buruk pada usia tua,pada neonatus dan pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek,interval yang pendek antara onset gejala sampai tiba di RS. Mortalitas dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA1. IsmanoeG. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW,SetyohadiB, AlwiI, KMS, SetiatiS,(editor).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Pusat Penerbitan IPDFKUI; 2009. Hal: 2911 2923.2. Ritarwan K.2004. Tetanus (Online) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf kiking2.pdfdiakses 23 Desember 20143. AngJ.2003.Tetanus.(Online).www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdfdiakses 22 july 20124. Patrick B Hinfey. Tetanus.(Online). http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview, diakses 28 Desember 20145. Markam,s. Tetanus. Buku Neurologi praktis. Hal: 171-1766. Edlich RF, Hill LG, MahlerCA, CoxMJ, Becker DG, JedH. Horowitz M,et al.Management andPrevention ofTetanus.Journal of Long-Term Effects of MedicalImplants2003;13(3):139-547. TaylorAM.Tetanus.Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.2006;6(3):101-4.8. Sihotang.F.A .Tetanus. Tugas kepanitraan klinik laboratorium ilmu bedah FK Universitas Mulawarman/SMF Bedah RSUD A Wahab Sjahranie : 20119. Widoyono, Penyakit Tropis. Edisi II.jakarta : Penerbit Erlangga Hal 34-3910. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 200511. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online). http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 22 Juli 2012.

8