referat SSJ

30
BAB I PENDAHULUAN Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit. 1 Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. 2 Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson. 1 Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan 1

description

kulit

Transcript of referat SSJ

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan

gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang

bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang

berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu

kegawatdaruratan penyakit kulit.1

Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter,

dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut

tidak dapat menentukan penyebabnya.2

Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya

Ektoderma Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema

Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna.

Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1

Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan

diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap

sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang

ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan

golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan

di negara timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan

karbamazepin.3 Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering

terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan,

dan Hongkong.4

Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya

Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang

sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),

karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti

amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5

Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome

seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada

pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja

1

kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini

terjadi pada pasien.

2

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (sinonim epidermal necrolysis, Lyell’s

disease) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi mukokutan

akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas

sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan

histopatologis, faktor risiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini

digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan

saja. Pada SSJ, terdapat epidermolisis sebesar < 10% luas permukaan badan

(LPB), sedangkan pada NET > 30%. Keterlibatan 10%-30% LPB disebut

sebagai overlap SSJ-NET.8

Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai

oleh trias kelainan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala

umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-

mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.

Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat

sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.

Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara

simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa

tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:

a. Eritema

b. Edema

c. Sloughing

d. Blister atau vesikel

e. Ulserasi

f. Nekrosis.4

II.2 Epidemiologi

SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insidens SSJ

adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta

3

penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka

kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi

peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena

dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap

RSCM menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan

rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.8

II.3 Etiologi

Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun

penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu

reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam

tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema

Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga

dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1

Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan

25% karena infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi

hipersensitivitas yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yang sangat besar

dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling

umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang

menerima dosis harian setidaknya 200 mg.10

Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa

faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:

1. Obat-obatan

Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan

antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat

menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin,

Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat

Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis,

Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin,

Karbamazepin dan jamu-jamuan.1

4

2. Infeksi

a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr,

enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok,

lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola.

b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri,

brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan

tifus.

c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan

histoplasmosis.

d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9

3. Imunisasi

Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9

4. Penyebab lain :

a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna

b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain

c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler

d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins,

Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia

e. Kehamilan dan Menstruasi

f. Neoplasma

g. Radioterapi.1

5

II.4 Patofisiologi

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada

lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga

mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK

dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin

terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu : IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-

L, granulisin, perforin, granzim-B.8

Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat

dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering menyebabkan

SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan aromatik, alopurinol, anti-

inflamasi non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya

karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA berperan pada

proses terjadinya SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus eritema

multiforme, misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.8

Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering

dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)

yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan

antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type

hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan

reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat

terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi

sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi

neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan

jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit

T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian

limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan

endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat

merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.

Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,

partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor

6

penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat

infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat

mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan

akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan

dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya.

Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan

mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk

inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis

keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.7

II.5 Manifestasi Klinis

Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan

obat. Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya

demam, sakit kepala, batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit

tersebar secara simetris pada wajah, badan dan bagian proksimal ekstremitas,

berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target.

Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi

nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan

dan diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami

epidermolisis. Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai

minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi

di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang,

misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.8

7

Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang

sangat akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala,

batuk berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat

berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai

gejala awal.4 Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih

berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju

pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.1 Adapun 3 kelainan utama

yang muncul pada SJS, antara lain:

a. Kelainan pada kulit

Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-

Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema,

papula, vesikel, dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul

adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.

Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada

sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya

memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula

purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita

sindrom Stevens-Johnson.11 Lesi yang muncul dapat pecah dan

meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan

terhadap infeksi sekunder.4

Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan

tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh

yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila

pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk

sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome

– Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area

tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).11,12

8

9

b. Kelainan pada mukosa

Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan

esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian

genital.13 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema,

edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4

Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah,

dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya

bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan

krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi

juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan

esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan

mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga

menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.12

10

c. Kelainan pada mata

Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.

Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka

dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga

dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak

mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea

mata.4,13

II.6 Diagnosis

Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang

kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan

konsumsi obat tersangka; dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis

SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan pada < 10% LPB, NET bila

epidermolisis > 30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30%

LPB.8

Untuk mengonfirmasi diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan biopsi.14

Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas

di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui

pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain

dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:

11

a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar

lecet subepidermal

b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular

c. Apoptosis keratinosit

d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit

mendominasi di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis

sebagian besar disusupi oleh CD8+ T limfosit.4

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:

a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan

sel-sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar

dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T

Helper

b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif

dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

II.7 Diagnosis Banding

Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya:

Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption,

acute generalized exanthematous pustulosis, graft versus host disease dan lupus

eritematosus bulosa. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan klinis yang cermat. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan

histopatologis kulit untuk memastikan diagnosis.8

Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema multiforme

mayor. Pada keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai penyebab,

pemeriksaan klinis untuk menentukan epidermolisis akan sangat membantu,

sebelum dibutuhkan pemeriksaan histopatologis.8

12

II.8 Penatalaksanaan

SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan

tatalaksana yang optimal berupa : deteksi dini dan penghentian segera obat

tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan untuk

merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan khusus.8

Perawatan suportif mencakup : mempertahankan keseimbangan cairan,

elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30oC, nutrisi sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aseptik

tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. Berbagai terapi spesifik

telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang

14

jelas karena sulitnya mengadakan uji klinis. Penggunaan kortikosteroid sistemik

sampai saat ini hasilnya sangat beragam, sehingga penggunaannya belum

dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus

SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada periode

2010-2013 sebesar 10,5%.8

IVIg, siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis, dan hemodialisis juga

telah digunakan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi.8

Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu

dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak

menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan

umunya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan

pasien harus dirawat-inap. Pengggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan

life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis

permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam

beberapa hari. Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang

pasien SSJ yang berat, harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6

x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi,

keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak

mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari

diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet

kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan

dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian

obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.5

Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan

dosis setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit

dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang,

sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih

mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat

pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek

sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya

15

penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun

(endogen), misalnya pemfigus.5

Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin

antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul

lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan

lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi

kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah

kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan kasa steril

selama ½ jam untuk menghindari kontaminasi.5

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul

miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis

kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.5

Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan

berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya

infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.

Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik.

Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang

rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk

mencegah sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya

siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas

sering digunakan karena juga efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg

iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2

gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan

sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta

laktam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang

miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik.

Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat

penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.5

Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan

cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat

menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun.

16

Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat

ringer berbanding 1 : 1 :1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.5

Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka

dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut.

Efek transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat

leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat

menjadi normal.5

Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi

meninggikan daya tahan. Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan

TEN yang dilakukan ialah :

1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari

belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari

dan TEN 40 mg sehari.

2. Bila terdapat purpura generalisata.

3. Jika terdapat leukopenia.

Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan

karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik

sedikit, namun cepat turun.5

Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C

500 mg atau 1000 mg sehari iv.5

Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan

ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat

diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya

kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya

krim urea 10%. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat

garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan

terjadinya kekeringan pada bola mata.5

II.9 Prognosis

Pada pasien yang mengalami penyembuhan re-epitelisasi terjadi dalam

waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan

17

gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan

pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku.8

Bastuji-Garin dkk. (2000) mengajukan cara menilai prognosis SSJ-NET

berdasarkan Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia > 40

tahun, denyut jantung > 120/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik,

epidermolisis > 10% LPB, kadar urea serum > 10 mM/L (> 28 mg/dL), kadar

bikarbonat serum < 20 mEq/L, kadar gula darah sewaktu > 14 mM/L (> 252

mg/dL). Nilai SCORTEN ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-

3. Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang

mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.8

18

BAB III

KESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan

gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang

bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang

produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan

kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.

Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan

kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit

kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated

hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana

kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat

paparan fisik lain kepada pasien.

Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS

sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa

diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan

terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara

lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas,

antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit.

Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat

pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka

prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia

penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan

tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.

2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of

Pharmacology. JIPMER. 2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu.

3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug

reactions: the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ.

2010;182(5):476-80.

4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. Didapat dari:

http://emedicine.medscape.com/.

5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2007:163-5.

6. NN. Sindrom Steven - Johnson. Didapat dari:

http://childrenallergyclinic.wordpress.com.

7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat

dari: http://allergycliniconline.com.

8. Djuanda, Adhi, et al. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

9. Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://www.patient.co.uk.

10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff

A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common

cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and

Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32.

11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and

toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-

15.

12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic

epidermal necrolysis. Medscape. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/.

13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome.

Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.

14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic. Didapat dari:

http://mayoclinic.com.

15. Wolff, Klaus, et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Seventh

Edition Volumes 1 & 2. Amerika: The McGraw-Hill Companies, Inc.