referat radiologi

39
“EDEMA PARU” A. PENDAHULUAN Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. 1 Edema paru bukan suatu penyakit tetapi merupakan suatu syndrom dari suatu penyakit pada paru. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan Non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh adanya payah jantung apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya payah jantung. 1

description

dunia hitam putih

Transcript of referat radiologi

EDEMA PARU

A. PENDAHULUANEdema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.1 Edema paru bukan suatu penyakit tetapi merupakan suatu syndrom dari suatu penyakit pada paru. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan Non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh adanya payah jantung apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya payah jantung.Insiden edema paru menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema.1Penyakit Edema Paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh provensi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden edema paru pada tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100. 000 penduduk, pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000), 19,24 (tahun 2001), dan 23,87 (tahun 2003).2

B. ANATOMI DAN FISIOLOGIParu-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya 90m2. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah. Paru-paru dibagi dua: Paru paru kanan terdiri dari tiga lobus, lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Paru-paru kiri, terdiri dari dua lobus, pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial, dan tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkeolus. Di dalam lobulus, bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat bagian tampuk paru-paru yang disebut hilus. Pada mediastinum media terdapat jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua: 1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.1

Gambar 1 : Anatomi Paru Kiri dan Paru

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trachea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet.8,13Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada dindingnya, (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan (3) sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.14Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh suatu jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.13 Gambar 2 : Pertukaran oksigen dan karbondioksida pada alveolus

Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jaringan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan cairan ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam hukum starling.13

C. DEFINISIEdema paru adalah akumulas cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardia) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non cardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.1

D. EPIDEMIOLOGIMenurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita Edema.1Penyakit Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).2

E. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI 1. Edema Paru KardiogenikEdem paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi pleura. Selama permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah.Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut : Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri Insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.3,4Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas. Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup.1,3,4Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edem interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah di interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea.1,2,4Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edem paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hiperkapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat.1,3,4

2. Edem Paru NonkardiogenikEdema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun edema paru dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam tingkatnya yang paling ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan.4,11Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus :7,9,10,11,12,13a. Ketidakseimbangan Starling Force Peningkatan tekanan vena pulmonalisEdema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi). Penurunan tekanan onkotik plasmaHipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitialEdema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut edema paru re-ekspansi. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan edema paru re-ekspansi ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).b. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome)Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Straling Force Pneumonia (bakteri, virus, parasit) Terisap toksin (NO, asap) Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi Aspirasi asam lambung Pneumonitis akut akibat radiasi Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin) Dissemiated Intravascular Coagulation Immunologi: pneumonitis hipersensitif Shock-lung pada trauma non thoraks Pankreatitis hemoragik akut.c. Insuffisiensi sistem limfe Pasca transplantasi paru Karsinomatosis, limfangitis Limfangitis fibrotik (siilikosis) d. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya High altitude pulmonary edema Edema paru neurogenic Overdosis obat narkotik Emboli paru Eklamsia Pasca anastesi Post cardiopulmonary bypass

F. PATOMEKANISMEPada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein.10,11Terdapat dua mekanisme terjadinya edem paru : 11. Membran kapiler alveoli Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruangan interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik. Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint) df(Iiv-Iint)] Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial Piv = tekanan hidrostatik intravaskular Pint = tekanan hidrostatik interstisial Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular Iint = tekanan osmotik koloid interstisial Df = koefisien refleksi protein Kf = kondukstan hidraulik 2. Sistem Limfatik Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.1,4

G. DIAGNOSISa. Gejala KlinisGejala paling umum dari pulmonary edem adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edem akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan.3,4,5,23Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas.3,4,22Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:23Stadium 1 Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi. Stadium 2 Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati (Ingram dan Braunwald,1988). Edem paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edem paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edem paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler. Pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edem paru, tekanan kapiler parunya normal. Hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edem secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolus kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung. Edem paru kardiogenik ini merupakan spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai: munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal. 4,5,Bila edem paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya, edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkaan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus. Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar proein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi cairan edem ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepaan cairan tersebu dikeluarkan dari alveoli dan interstisial.4,5,24Gejala klinis edem paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Anamnesis :Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam.1,5Khas pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat. Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis.2,3,4,5,618,19,20b. Pemeriksaan FisikTerdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis. Dan pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada.4Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak (EPNK)1

JVP : Jugular Venous Pressure, PCWP : Pulmonary Capilory Wedge Presurc. Pemeriksaa Laboratorim6 Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan Left Ventricular filling pressure (pasquate 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit lainnya.d. Pemeriksaan RadiologiFoto X rayPada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar, vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B, C, dan D akibat edema instrestisial. Selain itu, gambaran akibat edema alveolar yaitu terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai perifer bagian atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly appearance/ butterfly pattern, atau bats wing pattern. Batas kedua hilus menjadi kabur. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10 mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax telentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan.6Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah. Garis Kerley D berupa garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrosternal, hanya tampak pada foto lateral..6Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edem paru kardiogenik dan edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.10,22

Gambar 3 : Tampak garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus menuju ke atas dan perifer Gambar 4 : Tampak garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus pada dinding pleura dan letaknya di lobus inferior, paling mudah terlihat karena letaknya tepat di atas sinus costoprenicus. Garis ini paling mudah ditemukan pada keadaan gagal jantung.

Gambar 5 : Tampak garis-garis pendek, bercabang ada di lobus inferior, perlu pengalaman untuk melihatnya, karena hampir sama dengan pembuluh darah Gambar 6 : Garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrosternal, dan hanya tampak pada foto lateral a bGambar 7 : Tampak pembesaran pembuluh darah paru yang progresif, garis kerley bilateral (garis panaha), cuffing peribronchial (garis panah b ), dan berakhir dengan edema paru, serta daerah nodular yang Nampak peningkatan opacity akibat kelebihan cairan yang dikomfirmasi oleh peningkatan ukuran vena azygot

Gambar 9 : Pada pasien dengan kelebihan cairan dan gagal jantung, tampak edema bat wing alveolar

Computed tomography (CT-Scan)

Gambar 10 : Tampak garis septum antar dan intralobar mendominasi di bagian anterior dari lapangan paru kiri dengan beberapa peribronchial cuffing (panah). Kedua paru-paru menampilkan area ground-glass difus.

Gambar 11: Tampak edema interstitial dan garis kerley B pada pasien dengan Congestive heart failure

Tabel 2 : Perbedaan gambaran radiologi Edema Paru Cardiogenik (CPE) dan Edema Paru Non-Cardiogenik 1

e. Pemeriksaan Penunjang lainnya Ekokardiogram :Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edem paru.4,5,24,25Pemeriksaan EKG bias normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukan gambaran gelombang T negative yang melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin.4,5

Histopatologi Gambar 12: Histopatologi edema pulmonal Gambaran mikroskopik pada edema paru alveolar tampak alveolar septa tampak edema dan melebar, space alveolaris berisi edema fluida (presipitat dari endapan protein), kapiler alveoli melebar dan pecah sehingga terjadi ekstravasasi eritrosit siderophage/hearth failure cell (makrofag yang memfagosit eritrosit).

H. DIAGNOSIS BANDINGEdema paru dapat didiagnosis banding dengan emboli paru, karena pada foto toraks tejadi pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto thoraks adalah tanda spesifik emboli paru. Gambar 12 : Tampak gambaran radiologi thoraks normal, pada pasien dengan emboli paruI. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya 26,27,281. Penatalaksanaan SuportifKarena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. yaitu dengan cara memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat (posisi duduk), dan oksigenasi (Oksigen 40 50% sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker). Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator). Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang. 26,27,282. Penatalaksanaan Medikamentosa Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6mg tiap 5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. (10) Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari). Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen. 26,27,28J. KOMPLIKASIKebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema timbul berdasarkan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.29

DAFTAR PUSTAKA

1. Harun S dan Sally N. Edem Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-3. 2. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9. 3. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008; 359: 142-51. 4. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96. 5. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edem ParupadaKasus VSD dan Sepsis VAP. Anestesia& Critical Care. Vol 28 No.2 Mei 2010 p.52. 6. Koga dan Fujimoto. Kerleys A, B and C Line. N Engl J M 2009;360:15. 7. Pasquate et al. Plasma Surfactant B : A Novel Biomarker in Chronic Heart Failure. Circulation 2004; 110: 1091-6. 8. Wilson LM. Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995; 722-3. 9. Amin Z, Ranitya R. Penatalaksanaan Terkini ARDS. Update: Maret 2006. Availablefrom:URL:http://www.interna.fk.ui.ac.id/artikel/darurat2006/dar2_01.html10. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1998; 767-72. 11. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Nelson WE, Ed. Edisi ke-12. Bagian ke-2. EGC. Jakarta. 1993; 651-52. 12. Amin M, Alsagaff H, Saleh WBMT. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya. 1995; 128-30. 13. Wilson LM. Fungsi Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995; 645-48. 14. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Nelson WE, Ed. Edisi ke-12. Bagian ke-3. EGC. Jakarta. 1993; 80-81. 15. Moss M, Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Harrison, Fauci, Logos, et al. Harrisons Principle of Internal Medicine 15th Edition on CD-ROM. McGraw-Hill Companies. Copyright 2001. 16. MMc. Oedema, Noncardiogenic. The Encyclopaedia of Medical Imaging Volume VII. Update: 2007. Available from: URL: http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20VII/OEDEMA%20NONCARDIOGENIC.asp. 17. LG, NK. Pulmonary Oedema. The Encyclopaedia of Medical Imaging Volume V.1. Update: 2008. Available from: URL: http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20V%201/pulmonary%20oedema.asp 18. Gomersall C. Noncardiogenic Pulmonary Oedema. Update: June 2009. Available from: URL: http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/noncardiogenic_pulmonary_oedema. Htm19. Haslet C. Pulmonary Oedema Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Grassi C, Brambilla C, Costabel U, Naeije R, Editors. Pulmonary Disease. McGrow-Hill International (UK) ltd. London. 1999; 766-8920. Prihatiningsih B. Pengaruh dan Bahaya Gas Phosgene Terhadap Pernafasan (Paru-Paru) Manusia. Update: 2009. Available from: URL: http://www.diagonal. unmer.ac.id /edisi2_3/abstrak2_3_7.html21. Ayus JC, Varon J, Arieff AI. Hyponatremia, Cerebral Edema, and Noncardiogenic Pulmonary Edema in Marathon Runners. Annals of Internal Medicine. 2 May 2000. Volume 132. Number 9; 711-1422. Gribert FA, Bayat S. Pulmonary edema (Including ARDS). In: Douglas S, Anthoni S, Leitch AG, Crofton, Editors. Respiratory Disease. Vol II. Blackwell Science. London. 2000; 383-87. 23. Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2000; 208 24. ESC. 2008. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal. 2008;33:2388-442. ESC. 2012. 25. ESC. 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-47.26. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol RrEV 54: 678-811, 1974.27. Ingram RH Jr, Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine. Braunwald E. Editor : 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60, 1988.28. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al: The effect of venous occlusion with tourniquets on peripheral blood pooling and ventricular function. Chest 103: 521-527, 1993.29. Departemen Kesehatan RI (1996)1. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Depkes : Jakarta.

17