Referat-PTERIGIUM

33
BAB I PENDAHULUAN Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. 13 Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan. 1,2,3,6,7,13

description

pteregium

Transcript of Referat-PTERIGIUM

BAB IPENDAHULUAN

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. 13

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratifdan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Temuanpatologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secarabedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.1,2,3,6,7,13

BAB IIPEMBAHASAN

I. AnatomiAnatomi KonjungtivaKonjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagianbelakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva inimengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.2

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya. Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtivabulbi. 2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. 2

Anatomi korneaKornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :1. Epitel Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. epitel berasal dari ektoderm permukaan.22. Membran Bowman Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidakteratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.23. Stroma Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, padapermukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalamperkembangan embrio atau sesudah trauma.24. Membrane descement Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.25. Endotel Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel melekatpada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, sarafnasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.2Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinarmasuk kornea dilakukan oleh kornea.2

II. PterigiumDefinisiMenurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam fisura interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva. 12Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah poliferasi jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaannya. 13Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.2

EpidemiologiDi Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas danpeningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.3

Mortalitas/MorbiditasPterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual ataupenglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.3

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :1. Jenis Kelamin Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.32. UmurJarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.3

Faktor RisikoFaktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter .

1. Radiasi ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.

2. Faktor Genetik Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.

3 . Faktor lain. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

EtiologiPterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.2Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini. 12

PatofisiologiKonjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.6

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.6

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyakdibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.6

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormalpada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yangbasofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.9

Gejala KlinisPterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain: mata sering berair dan tampak merah merasa seperti ada benda asing timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggupenglihatan pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.10

Pemeriksaan FisikAdanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luarmata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.11

A. Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada korneaB. Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea C. Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup olehpertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ): Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiranpupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggupenglihatan.10

DiagnosaPenderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selamabertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkanpenglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.11

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut.11Dengan menggunakan sonde dibagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti padapseudopterigium.10

Diagnosa Banding1. PinguekulaBentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula. Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan.6

Gambar: Mata dengan pinguekula

2. PseudopterigiumPterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea. Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.6

Gambar :Mata dengan pseudopterigium

Beda pterigium dengan pseudopterigiumPterigiumPseudopterigium

SebabProses degeneratifReaksi tubuh penyembuhan dari luka bakar, GO, difteri, dll.

SondeTak dapat dimasukkan di bawahnyaDapat dimasukkan dibawahnya

KekambuhanResidifTidak

UsiaDewasaAnak

Terapi1. KonservatifPada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan padapenderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.102. BedahPada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baiksecara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10A. Indikasi Operasi1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

B. Teknik PembedahanTantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringanparut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.11. Teknik Bare ScleraMelibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1

2. Teknik Autograft KonjungtivaMemiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persenpada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisipterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva danpenerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untukeksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknikini.13. Cangkok Membran AmnionMencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhanpterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untukkekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap kebawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untukmembantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

a. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).b. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek.c. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.d. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

C. Terapi TambahanTingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untukmenghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidakmerekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6minggu.2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.3. Sinar Beta.4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6

Komplikasi1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut Gangguan penglihatan-Mata kemerahan Iritasi Gangguan pergerakan bola mata. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea Dry Eye sindrom. 32. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut: Infeksi Ulkus kornea Graft konjungtiva yang terbuka Diplopia Adanya jaringan parut di kornea. 3

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% denganpenggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi.3

PencegahanPada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yangbanyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinarmatahari.6

Follow upMenilai adanya komplikasi post operasi, seperti diplopia akibat terpotongnya musculus rectus oculi medial, ditemukan adanya perforasi kornea, penilaian strabismus dari gerakan bola mata, pada graft konjuntivanya ada yang terbuka atau tidaknya, dan tanda-tanda peradangan pada intraokuler akibat otot terpotong.14PrognosisPterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.6Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembaliRekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi 6,3Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari

BAB IIIKESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium. Pterigiumbanyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luarruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya. Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan. Dengan pengecualian pasien meminta pembedahan dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang progresif pasien akan mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat pertumbuhan pterigium tersebut. Bila pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan pembedahan harus dilakukan

BAB IV PENUTUP

Demikian telah dibahas mengenai anatomi, definisi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan, diagnosis banding, komplikasi, sertapenatalaksanaan pterigium. Semoga semua yang telah kami bahas dalam referat ini dapat bermanfaat agar dapat lebih memahami tentang pterigium danpenatalaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. ManagementofPterygiumhttp://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 1173. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.5. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;1996. p.1426. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 1047. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 1198. www.en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva)9. www.eyewiki.aao.org/Pterygium10. www.inascrs.org/pterygium/11. www.mdguidelines.com/pterygium1812. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.13. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org14. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012. Management of Pterygium. http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm