Makalah pterigium

33
BAB I PENDAHULUAN Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. [1]

Transcript of Makalah pterigium

Page 1: Makalah pterigium

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal

maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari

bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada

pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan

patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan

elastik.

Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah

yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang

sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu

atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,

tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan

kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi

juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di Indonesia yang

terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada

pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang

terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda

dibandingkan dengan pasien usia tua.

Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus

diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah

perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi

resiko kekambuhan.

[1]

Page 2: Makalah pterigium

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Anatomi

II.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata

bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.

Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar

digerakkan dari tarsus.

- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera

dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di

bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak

Gambar 1. Anatomi mata

II.1.2 Anatomi kornea

Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan

avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak epitel

[2]

Page 3: Makalah pterigium

kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan

padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea merupakan

suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea melanjutkan diri

sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut

limbus.

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang

tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan

menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal

berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui

desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan

glukosa yang merupakan barrier.

-epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

- Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen

yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur

sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat

kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit

merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat

kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam

perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. membrane descement

- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea

dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.

5. Endotel

- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel

melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

[3]

Page 4: Makalah pterigium

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar

longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke

dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung

schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa

ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.

Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa

endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel

tidak mempunyai daya regenarasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di

sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari

50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

Gambar 2. Lapisan kornea

II.2 Pterigium

II.2.1 Definisi  

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga,

mirip daging yang menjalar ke kornea , pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif .

[4]

Page 5: Makalah pterigium

Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General

Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguicula

berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral.

Sedangkan menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini

biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang

meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian

sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron

yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang

berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

Gambar 3. Mata dengan pterygium

II.2.2 Epidemiologi

Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung

pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor

yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada

daerah berdebu dan kering.

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%

untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-

36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena

paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan

penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di

lintang bawah.

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium

cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari

[5]

Page 6: Makalah pterigium

(UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang

(misal karena debu atau kekeringan).

Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49

tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering

terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki

lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.

II.2.3 Mortalitas/Morbiditas

Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi

visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi

sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak

dibandingkan wanita.

2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien

umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien

yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling

tinggi.

II.2.4 Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi

ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor

herediter .

1. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan

sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva

menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya

waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor

penting.

2. Faktor Genetik

[6]

Page 7: Makalah pterigium

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium

dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga

dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.

3 . Faktor lain.

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea

merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya

limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari

pterygium. Yang juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis

factor“ dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.

Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel

tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

II.2.5 Etiologi dan patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan

ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan

konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih sering

pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima

tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap

sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau

faktor iritan lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya

degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan

progresivitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea.

Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.

Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan

degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang

menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu

berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan debu

sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari

kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan fibroplastik baru.

Tingginya insiden pterygium pada daerah beriklim kering mendukung teori ini.

[7]

Page 8: Makalah pterigium

Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah

interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel

kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal

stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah

berlebihan dan meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi

angiogenesis. Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik

dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea.

Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan

fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan

kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan

jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,

yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium

menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk

memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini

menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea

sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi

kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat

dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan

elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini

tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel

yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat

atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari

jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular

sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,

hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari

sel goblet.

[8]

Page 9: Makalah pterigium

Gambar 4. Histopatologi pada pterigium

II.2.6 Gejala Klinis

Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena

kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu

dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva

secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian

konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar

ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.

Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan

walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai

ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan

penglihatan kabur.

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang

meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat

juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea

anterior dari kepala pterygium (stoker’s line).

Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

- mata sering berair dan tampak merah

- merasa seperti ada benda asing

[9]

Page 10: Makalah pterigium

- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.

- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

II.2.7 Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata

(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan

kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari

iritasi dan peradangan.

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke

arah kantus

Apex (head), bagian atas pterygium

Cap, bagian belakang pterygium

A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas

pinggir pterygium.

Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :

- Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan

beberapa infiltrat di kornea di depan kepala

pterygium

- Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit

vaskularisasi, membentuk membran tetapi tidak

pernah hilang

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea

dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea

yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis

menurut  Youngson ):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari

2 mm melewati kornea

[10]

Page 11: Makalah pterigium

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4

mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.

II.2.8 Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu

atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini

mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan,

pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari

peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin

tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan

berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh.

Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium

tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat

dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.

II.2.9 Diagnosa Banding

1. Pinguekula Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan

dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang

terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan

insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang

dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar

ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

[11]

Page 12: Makalah pterigium

Gambar 5. Mata dengan pinguekula

2.Pseudopterigium

Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring

atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang

timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterygium,

pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti

pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer

kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing

dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium

pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium

tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari

ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.

Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium

II.2.10 Terapi

II.2.10.1 Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang

mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan

steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan

kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau

mengalami kelainan pada kornea.

II.2.10.2 Bedah

[12]

Page 13: Makalah pterigium

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.

Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium

tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian

superior untuk menurunkan angka kekambuhan.  Tujuan utama pengangkatan

pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan

komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan

Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat

komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

A. Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau

karena astigmatismus

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

B. Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik

bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena

tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi

pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih

memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang

mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut

yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara

memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24

persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2. Teknik Autograft Konjungtiva

[13]

Page 14: Makalah pterigium

memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi

40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan

pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan

dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang

terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan

secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,

manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence

W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan

besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat

rendah dengan teknik ini.

  

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran

amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan

bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat

peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan

sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk

pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah

keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah

pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di

atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap

ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin

untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral

dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

C. Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,

dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam

pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah

jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi

tersebut.

 

MMC (Mitomycin C) telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena

[14]

Page 15: Makalah pterigium

kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi

beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk

MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah

eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah

operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya

intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena

menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak

ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk

dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak,

dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap

penggunaannya.

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan

pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,

bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian

tappering off sampai 6 minggu.

2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan

bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam

selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik

Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

II.2.11 Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan

- Mata kemerahan

- Iritasi

- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

[15]

Page 16: Makalah pterigium

- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral

berkurang

- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan

diplopia

- Dry Eye sindrom

- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Rekurensi

- Infeksi

- Perforasi korneosklera

- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

- Korneoscleral dellen

- Granuloma konjungtiva

- Epithelial inclusion cysts

- Conjungtiva scar

- Adanya jaringan parut di kornea

- Disinsersi otot rektus

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.

Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini

bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau

transplant membran amnion pada saat eksisi

II.2.12 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,

petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai

kacamata pelindung sinar matahari.

II.2.13 Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau

beta radiasi.

[16]

Page 17: Makalah pterigium

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak

nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat

beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium

dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau transplantasi

membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau

karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan

mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

[17]

Page 18: Makalah pterigium

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. Syafrizal

Umur : 31 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jati Koto Panjang, RT 003, RW 004, Padang

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Seorang pasien laki laki umur 31 tahun datang ke poliklinik mata RS. Dr. M.

Djamil Padang tanggal 16 Oktober 2012, dengan:

Keluhan utama : Penglihatan kabur sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Penglihatan kabur sejak 2 minggu yang lalu

Mata kiri merah sejak 1 bulan yang lalu

Pasien merasakan adanya sensasi benda asing di mata

Pasien bekerja sebagai pegawai negeri yang biasa turun ke lapangan

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien tidak pernah memakai kacamata sebelumnya

Pasien tidak pernah menderita trauma pada kedua mata sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita kelainan seperti ini dan kelainan mata

yang lain.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sedang

[18]

Page 19: Makalah pterigium

Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif

Tekanan Darah : Tidak dilakukan pemeriksaan

Pernafasan : Tidak dilakukan pemeriksaan

Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan

Mata : Status Ophtalmikus

Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Oftalmologi

Status Ophtalmikus OD OS

Visus tanpa koreksi 5/5 5/5

Visus dengan koreksi 5/5 5/5

Refleks fundus (+) (+)

Silia/supersilia Madarosis(-), trikiasis(-) Madarosis(-), trikiasis(-)

Palpebra superior Palpebra inferior

Udem -, hiperemis –Udem -, hiperemis -

Udem -, hiperemis –Udem -, hiperemis -

Aparat lakrimalis Lakrimasi normal Lakrimasi normal

Konjungtiva tarsalis

Konjungtiva fornik

Konjungtiva bulbi

Hiperemis (-), papil (-), folikel (-)

Hiperemis (-), papil (-), folikel (-)

Hiperemis (-), papil (-), folikel (-)

Hiperemis (+), papil (-), folikel (-)

Hiperemis (+), papil (-), folikel (-)

Hiperemis (+), papil (-), folikel (-)

Terdapat massa kuning di bagian nasal, meluas ke kornea

berbentuk kerucut dengan puncak di kornea, ukuran 3

mm dari limbus

[19]

Page 20: Makalah pterigium

Sclera Putih Putih

Kornea Bening Bening, bagian nasal tertutup massa putih, ukuran 3 mm dari

limbus

Kamera okuli anterior Cukup dalam Cukup dalam

Iris Coklat, rugae(+) Coklat, rugae(+)

Pupil Bulat,reflek fundus (+/+) Bulat, reflek fundus (+/+)

Lensa Bening Bening

Fundus: - media - papil - pembuluh darah - retina - macula

Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal

Tekanan bulbus okuli N(palpasi) N(Palpasi)

Posisi bulbus okuli Orto Orto

Gerakan bulbus okuli Bebas Bebas

Diagnosa kerja : Pterigium OS derajat III

Anjuran terapi :

Eksisi pterigium.

[20]

Page 21: Makalah pterigium

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000. Konjungtiva. Dalam Oftamologi

umum. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. Hal 123.

2. Ilyas,Sidharta. 2005. Konjungtiva dan Sklera. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit

Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hlm : 107-108.

3. American Academy of Ophthalmology. 2008. Clinical Approach to

Depositions and Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera

Chapter 17. In External Disease and Cornea. Singapore: Lifelong Education

Ophthalmologist. pp 366.

4. James, Bruce, Chris Chew, Anthony Brun. 2006. Konjungtiva, Kornea, Sklera.

Dalam Lecture Notes: Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Erlangga Medical

Science. Hal 66-67.

5. P. Fisher, Jerome, William Trattler. 2008. Pterygium. Diambil dari

http://www.emedicine.com

[21]

Page 22: Makalah pterigium

[22]

Page 23: Makalah pterigium

[23]