REFERAT PTERIGIUM
-
Upload
rismayanti-hairil -
Category
Documents
-
view
74 -
download
9
Transcript of REFERAT PTERIGIUM
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Makassar
Agama : Islam
Alamat : JL. Banta-bantaeng
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 18 Februari 2013
No. Rekam Medik : 13.427
Tempat Pemeriksaan : BKMM
Pemeriksa : dr. A
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Mata merah pada kedua mata
Anamnesis Terpimpin : Dialami 1 minggu yang lalu. Riwayat mata
merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada kedua mata (+) dialami
sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat secara perlahan-lahan, rasa
berpasir pada kedua mata (-), nyeri pada kedua mata (+) kadang-kadang, air
mata berlebih (+), rasa gatal (-), rasa silau (+), penglihatan kabur (-),riwayat
sering terpapar sinar matahari (+). Riwayat penggunaan kacamata (-),
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-), Riwayat
trauma (-), Riwayat Hipertensi (-), Riwayat Diabetes Melitus (-), Riwayat
penyakit yang sama pada keluarga (-).
1
OD OS
III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. Inspeksi
OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (+)
Konjungtiva Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal,
dengan apeks melewati
limbus tapi belum
mencapai pupil
Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal,
dengan apeks melewati
limbus tapi belum
mencapai pupil
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular
- ODS
- OD
- OS
Ke segala arah Ke segala arah
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
2
Lensa Jernih Jernih
B. Palpasi
Pemeriksaan OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran
C. Tonometri
TOD : 6/5,5 = 14,6 mmHg
TOS : 6/5,5 = 14,6 mmHg
D. Visus
VOD : 5/5
VOS : 5/5
E. Campus visual
Tidak dilakukan pemeriksaan
F. Color sense
Tidak dilakukan pemeriksaan
G. Light sense
Tidak dilakukan pemeriksaan
H. Penyinaran oblik
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
3
segitiga di daerah nasal
lewat limbus tapi belum
mencapai pupil
segitiga di daerah nasal
lewat limbus tapi belum
mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih
I. Diafanoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan
J. Oftalmoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan
K. Slit lamp
SLOD : konjungtiva bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput
segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,
BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+),
lensa jernih.
SLOS : konjuntiva bulbi hiperemis (+) di nasal , tampak selaput
segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,
BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),
lensa jernih.
L. RESUME
Perempuan 42 tahun, datang ke poliklinik mata BKMM dengan
keluhan mata merah pada kedua mata yang dialami 1 minggu yang
lalu.Riwayat mata merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada
kedua mata (+) dialami sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat
secara perlahan-lahan, rasa berpasir pada kedua mata (-), nyeri pada
4
kedua mata (-), air mata berlebih (+), rasa gatal (-), rasa silau (-),
penglihatan kabur (-),riwayat sering terpapar sinar matahari (+).
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan inspeksi pada OD
tampak konjungtiva hiperemis (+) di nasal, tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal, dengan apeks melewati limbus tapi belum
mencapai pupil, lakrimasi (+). Pada OS tampak konjungtiva hiperemis
(+) di nasal, tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal, dengan
apeks melewati limbus tapi belum mencapai pupil, lakrimasi (+).
Pada pemeriksaan refraksi didapatkan VOD : 5/5 dan VOS : 5/5. Pada
palpasi tidak ditemukan kelainan. TIO dalam batas normal.
Penyinaran oblik pada OD didapatkan hiperemis (+) di nasal, tampak
selaput bentuk segitiga di daerah nasal lewat limbus tapi belum
mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte
(+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih. pada OS didapatkan
hiperemis (+) di nasal, tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal
lewat limbus tapi belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa
jernih. Pada pemeriksaan slit lamp, SLOD didapatkan konjungtiva
bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput segitiga di bagian nasal
melewati limbus tapi belum mencapai pupil, BMD kesan normal, iris
coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. SLOS
didapatkan konjungtiva bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput
segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,
BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+),
lensa jernih.
M. DIAGNOSIS
ODS Pterigium Stadium II
N. TERAPI
5
C. Lyters 6x1 gtt ODS
O. ANJURAN TINDAKAN
ODS Eksisi pterigium + graft konjungtiva
P. DISKUSI
Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan mata
merah pada kedua mata yang dialami 1 minggu yang lalu.Riwayat
mata merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada kedua mata (+)
dialami sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat secara perlahan-
lahan, nyeri pada kedua mata (+) kadang-kadang, air mata berlebih
(+), riwayat sering terpapar sinar matahari (+).
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 5/5, VOS : 5/5, TODS :
Tn . Pada mata kanan dan kiri ditemukan selaput segitiga di nasal,
dengan apeks melewati limbus, belum mencapai pupil, kornea jernih,
BMD kesan normal, iris coklat, kreipte (+), pupil bulat, sentral, RC
(+) dan lensa jernih.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Pterigium
Stadium II.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pertumbuhan
ini biasanya terletak pada nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah.
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya
sinar matahari dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui
dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan
degenerasi.
6
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan
keluhan berupa mata berair dan tampak merah serta mungkin
menimbulkan astigmat akibat adanya perubahan bentuk kornea akibat
adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran
dari pada meridian horizontal pada kornea.
Berdasarkan stadiumnya, pterigium dibagi menjadi 4, yaitu:
Stadium I : belum mencapai limbus
Stadium II : sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil
Stadium III : sudah menutupi pupil
Stadium IV : sudah melewati pupil
Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta polutannya
merupakan pencetus terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab
pertumbuhan jaringan pterigium. Selain itu, kekeringan okular dan
polusi lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium
dan rekurensinya.
Pengobatan tidak diperlukan karena sering bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang
dapat diberikan steroid atau tetes mata dekongestan.
Tindakan pembedahan dilakukan bila terjadi gangguan
penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium
yang telah menutupi media penglihatan.
Diharapkan agar penderita ssedapat mungkin menghindari
faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, anginm
dam debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata.
Umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang
sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna, karena itu prognosis
adalah baik.
7
PTERIGIUM
I. DEFENISI
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap)
adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular
berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah
dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan
membrana Bowman. Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India)
dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi.
Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak
topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik
kornea.1-5
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif,
pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan
untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah
reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.6
Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang
mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV),
radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus
juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.7
II. EPIDEMIOLOGI
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari
yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-
khatulistiwa garis lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk
pterigium.8
8
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang
berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis
13° utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi
(23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia
40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi
pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia
(6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki
tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia
lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih
tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali
dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.9
Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera
meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk
seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien yang usianya
lebih dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium,
sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi
terjadinya pterigium. Beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih
banyak pada laki-laki.9,10
Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % -
52 %. Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada
penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini
sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan
pasca transplantasi limbal sel sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare
sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival graft sebesar 3-5%.3
III. ANATOMI
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. 1,2
9
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva
palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni
konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang
dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai
ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona
transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva tarsal
tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat
pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya
melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar
antara tarsal dan forniks.2,11
Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih
erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel
kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral
dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3 - mm dari konjungtiva
bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.2,11
Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat
secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata
ketika otot-otot tersebut berkontraksi.11
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan
adenoid, dan lapisan fibrosa.2
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-
masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut:
Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat.
Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri
dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar.
Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan
10
superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel
polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal
konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis)
epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri
dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat
limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan
ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4
bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan
konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat
elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah
konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu
dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di
konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva
limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk
membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri
dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks,
sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar
Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang
batas bawah tarsus inferior). 2
11
Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva
forniks, konjungtiva palpebralis.dikutip dari kepustakaan 11
Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan 2
12
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan
banyak vena kongjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga
membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus.
Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.12
IV. ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang
paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan
seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan
debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai
faktor etiologi mungkin.1-3,7
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal
pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini
mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis
dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan
yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru
telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga
terlibat dalam patogenesis pterigium.7,8
V. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera, yaitu: 13
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:
13
Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari
kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau
pterigium rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh
pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona
optic. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan
zona optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi
mengenai kornea >4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang
luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya
menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:13,14
Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan
dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas
pada limbus kornea.
Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan
dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
Stadium 3: lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,
vaskularisasi yang jelas
Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2
yaitu:2
Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate
di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
14
Pterigium regresif: tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan
harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:13
T1(atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
T2(intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
T3(fleshy,opaque): pembuluh darah tidak jelas.
Gambar 3. Stadium Pterigium
VI. PATOFISIOLOGI
Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,
patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus,
mekanisme imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor
15
pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik
berbagai semuanya telah terlibat dalam pathogenesis.8,15
Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen dan
elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel. Radiasi sinar UV
dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53,
sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel
pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak
terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs
(TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses
inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium,
serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea.1,4-6,8
Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di
sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3).
Karena kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga
terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan multistep perkembangan
pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel limbal.13,15
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-
Rb-TGF-β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β.
Banyaknya sekresi TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-
macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium.
Pertama, sel pterigium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan
MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang menyebabkan
terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan
bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal
corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF-β oleh
sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada
massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan.
Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang
dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke
16
kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP
dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea.
Sebagai tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan
peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan
stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah
invasive epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan
diaktivasi oleh jalur TGF-β-bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3
yang juga membantu dalam penghancuran lapisan bowman. Beberapa
sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk
membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga
berperan dalam penghancuran membran bowman. Semua proses di atas
dapat dilihat pada gambar. 4. 15
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi
pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah
sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell,
terjadi conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi
kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi
localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV
terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6-8,13
Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti
sejumlah besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan
di substantia propria spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa
mekanisme imunologi, mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat
berkontribusi pada patogenesis pterigium.6
VII. GAMBARAN KLINIS
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan
di luar rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit
17
ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea,
biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi
kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis Stocker.
Pterigium terdiri dari tiga bagian :2
a. Apeks (bagian apikal pada kornea),
b. Collum (bagian limbal), dan
c. Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus
Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi
bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat
menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan
skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan
mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami
penglihatan ganda atau diplopia.2,11
Gambar 4. Pterigium
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di
18
luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwyat trauma sebelumnya.13
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada
permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling
sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. 2,13
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium. 13
IX. PENATALAKSANAAN
Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,
penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati
dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien
untuk menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin.
Pengobatan pterigium yang meradang atau iritasi dengan topikal
dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau kortikosteroid topikal
ringan empat kali sehari.5
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang
dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan
yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah
pupil, tunggu sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di
gerakan okular.2
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Indikasi pembedahan
pterigium antara lain:10,16
a. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
b. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular.
19
c. Mata terus berair dan terasa mengganjal.
d. Visus menurun.
e. Telah memasuki daerah pupil atau melewati limbus.
f. Alasan kosmetik.
g. Mengganggu pergerakan bola mata.
h. Mendahului operasi intra okuler.
Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan
pterigium.4,13
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya
tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,13
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva
relative kecil.2,13
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.13
5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan
ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi
dengan bahan perekat jaringan.2,4,8,13
20
Gambar 5.
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni
sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,8
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbal–conjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue
X. DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea
marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada
mata.2
21
Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum
yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah
nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa
karenairitasi maupun karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya
tidak diperlukan terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.13
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi
penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial.
Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya
jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola
mata meskipun jarang terjadi. 4,10
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:
Scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa
tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa
sangat sulit untuk ditangani.10
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah
rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar
50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran
amnion pada saat eksisi. 2,10 Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari
jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.10
XII. PROGNOSIS
Prognosis pterigium adalah baik walaupun dapat terjadi rekurensu.
Secara visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur dapat
ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada
hari-hari pertama pasca pembedahan, pasien bisa melanjutkan aktivitas
secara penuh dalam 48 jam.16
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. P: 2-10, 116-7
2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International.
2007. p. 51 - 82.
3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi
Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel.
Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.
4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief
Review. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal
Of The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.
6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder
with Premalignant Features. The American Journal of Pathology.
2011;178(2):817-27.
7. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics
of pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.
2010;10(4):308-13.
8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in
pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308–313.
9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity,
and risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.
10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview . Accessed
Februari 19,2013
11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,
Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas
2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
23
12. Riordan P, Eva. Anatomi & Embriologi Mata. Oftalmologi Umum. Edisi
14. Penerbit Widya Medika. Jakarta. 1996. P: 1-8
13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed July 7 ,2012.
14. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis:
Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal
Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.
16. Drakeiron. Pterigium. 2008 December. [cited 2013 Februari 21]. Available
from: http://drakeiron.wordpress.com/prosedures/pterigium.html. p.1-5
24