REFERAT PTERIGIUM

36
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. D Umur : 42 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Suku Bangsa : Makassar Agama : Islam Alamat : JL. Banta- bantaeng Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Tanggal Pemeriksaan : 18 Februari 2013 No. Rekam Medik : 13.427 Tempat Pemeriksaan : BKMM Pemeriksa : dr. A II. ANAMNESIS Keluhan utama : Mata merah pada kedua mata Anamnesis Terpimpin : Dialami 1 minggu yang lalu. Riwayat mata merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada kedua mata (+) dialami sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat secara perlahan- lahan, rasa berpasir pada kedua mata (-), nyeri pada kedua mata (+) kadang-kadang, air mata berlebih (+), rasa gatal (-), rasa silau (+), 1

Transcript of REFERAT PTERIGIUM

Page 1: REFERAT PTERIGIUM

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Makassar

Agama : Islam

Alamat : JL. Banta-bantaeng

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Pemeriksaan : 18 Februari 2013

No. Rekam Medik : 13.427

Tempat Pemeriksaan : BKMM

Pemeriksa : dr. A

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Mata merah pada kedua mata

Anamnesis Terpimpin : Dialami 1 minggu yang lalu. Riwayat mata

merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada kedua mata (+) dialami

sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat secara perlahan-lahan, rasa

berpasir pada kedua mata (-), nyeri pada kedua mata (+) kadang-kadang, air

mata berlebih (+), rasa gatal (-), rasa silau (+), penglihatan kabur (-),riwayat

sering terpapar sinar matahari (+). Riwayat penggunaan kacamata (-),

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-), Riwayat

trauma (-), Riwayat Hipertensi (-), Riwayat Diabetes Melitus (-), Riwayat

penyakit yang sama pada keluarga (-).

1

Page 2: REFERAT PTERIGIUM

OD OS

III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

A. Inspeksi

OD OS

Palpebra Edema (-) Edema (-)

Silia Sekret (-) Sekret (-)

Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (+)

Konjungtiva Hiperemis (+) di nasal,

tampak selaput bentuk

segitiga di daerah nasal,

dengan apeks melewati

limbus tapi belum

mencapai pupil

Hiperemis (+) di nasal,

tampak selaput bentuk

segitiga di daerah nasal,

dengan apeks melewati

limbus tapi belum

mencapai pupil

Bola Mata Normal Normal

Mekanisme Muskular

- ODS

- OD

- OS

Ke segala arah Ke segala arah

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal

Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)

2

Page 3: REFERAT PTERIGIUM

Lensa Jernih Jernih

B. Palpasi

Pemeriksaan OD OS

Tensi Okuler Tn Tn

Nyeri Tekan (-) (-)

Massa Tumor (-) (-)

Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

C. Tonometri

TOD : 6/5,5 = 14,6 mmHg

TOS : 6/5,5 = 14,6 mmHg

D. Visus

VOD : 5/5

VOS : 5/5

E. Campus visual

Tidak dilakukan pemeriksaan

F. Color sense

Tidak dilakukan pemeriksaan

G. Light sense

Tidak dilakukan pemeriksaan

H. Penyinaran oblik

OD OS

Konjungtiva Hiperemis (+) di nasal,

tampak selaput bentuk

Hiperemis (+) di nasal,

tampak selaput bentuk

3

Page 4: REFERAT PTERIGIUM

segitiga di daerah nasal

lewat limbus tapi belum

mencapai pupil

segitiga di daerah nasal

lewat limbus tapi belum

mencapai pupil

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal

Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)

Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)

Lensa Jernih Jernih

I. Diafanoskopi

Tidak dilakukan pemeriksaan

J. Oftalmoskopi

Tidak dilakukan pemeriksaan

K. Slit lamp

SLOD : konjungtiva bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput

segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,

BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+),

lensa jernih.

SLOS : konjuntiva bulbi hiperemis (+) di nasal , tampak selaput

segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,

BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),

lensa jernih.

L. RESUME

Perempuan 42 tahun, datang ke poliklinik mata BKMM dengan

keluhan mata merah pada kedua mata yang dialami 1 minggu yang

lalu.Riwayat mata merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada

kedua mata (+) dialami sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat

secara perlahan-lahan, rasa berpasir pada kedua mata (-), nyeri pada

4

Page 5: REFERAT PTERIGIUM

kedua mata (-), air mata berlebih (+), rasa gatal (-), rasa silau (-),

penglihatan kabur (-),riwayat sering terpapar sinar matahari (+).

Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan inspeksi pada OD

tampak konjungtiva hiperemis (+) di nasal, tampak selaput bentuk

segitiga di daerah nasal, dengan apeks melewati limbus tapi belum

mencapai pupil, lakrimasi (+). Pada OS tampak konjungtiva hiperemis

(+) di nasal, tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal, dengan

apeks melewati limbus tapi belum mencapai pupil, lakrimasi (+).

Pada pemeriksaan refraksi didapatkan VOD : 5/5 dan VOS : 5/5. Pada

palpasi tidak ditemukan kelainan. TIO dalam batas normal.

Penyinaran oblik pada OD didapatkan hiperemis (+) di nasal, tampak

selaput bentuk segitiga di daerah nasal lewat limbus tapi belum

mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte

(+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih. pada OS didapatkan

hiperemis (+) di nasal, tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal

lewat limbus tapi belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan

normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa

jernih. Pada pemeriksaan slit lamp, SLOD didapatkan konjungtiva

bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput segitiga di bagian nasal

melewati limbus tapi belum mencapai pupil, BMD kesan normal, iris

coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. SLOS

didapatkan konjungtiva bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput

segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,

BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+),

lensa jernih.

M. DIAGNOSIS

ODS Pterigium Stadium II

N. TERAPI

5

Page 6: REFERAT PTERIGIUM

C. Lyters 6x1 gtt ODS

O. ANJURAN TINDAKAN

ODS Eksisi pterigium + graft konjungtiva

P. DISKUSI

Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan mata

merah pada kedua mata yang dialami 1 minggu yang lalu.Riwayat

mata merah (+) kadang-kadang. Rasa mengganjal pada kedua mata (+)

dialami sejak ± 3 tahun yang lalu bertambah berat secara perlahan-

lahan, nyeri pada kedua mata (+) kadang-kadang, air mata berlebih

(+), riwayat sering terpapar sinar matahari (+).

Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 5/5, VOS : 5/5, TODS :

Tn . Pada mata kanan dan kiri ditemukan selaput segitiga di nasal,

dengan apeks melewati limbus, belum mencapai pupil, kornea jernih,

BMD kesan normal, iris coklat, kreipte (+), pupil bulat, sentral, RC

(+) dan lensa jernih.

Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi

tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Pterigium

Stadium II.

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva

yang bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh

menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pertumbuhan

ini biasanya terletak pada nasal ataupun temporal konjungtiva yang

meluas ke daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi

iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah.

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya

sinar matahari dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui

dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan

degenerasi.

6

Page 7: REFERAT PTERIGIUM

Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan

keluhan berupa mata berair dan tampak merah serta mungkin

menimbulkan astigmat akibat adanya perubahan bentuk kornea akibat

adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran

dari pada meridian horizontal pada kornea.

Berdasarkan stadiumnya, pterigium dibagi menjadi 4, yaitu:

Stadium I : belum mencapai limbus

Stadium II : sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil

Stadium III : sudah menutupi pupil

Stadium IV : sudah melewati pupil

Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta polutannya

merupakan pencetus terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab

pertumbuhan jaringan pterigium. Selain itu, kekeringan okular dan

polusi lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium

dan rekurensinya.

Pengobatan tidak diperlukan karena sering bersifat rekuren,

terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang

dapat diberikan steroid atau tetes mata dekongestan.

Tindakan pembedahan dilakukan bila terjadi gangguan

penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium

yang telah menutupi media penglihatan.

Diharapkan agar penderita ssedapat mungkin menghindari

faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, anginm

dam debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata.

Umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang

sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna, karena itu prognosis

adalah baik.

7

Page 8: REFERAT PTERIGIUM

PTERIGIUM

I. DEFENISI

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva

yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap)

adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular

berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah

dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan

membrana Bowman. Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India)

dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi.

Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi

fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak

topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik

kornea.1-5

Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif,

pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan

untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah

reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.6

Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang

mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV),

radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus

juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.7

II. EPIDEMIOLOGI

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian

dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi

epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari

yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-

khatulistiwa garis lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk

pterigium.8

8

Page 9: REFERAT PTERIGIUM

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang

berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis

13° utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi

(23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia

40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi

pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia

(6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki

tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia

lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih

tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali

dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.9

Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera

meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk

seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien yang usianya

lebih dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium,

sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi

terjadinya pterigium. Beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih

banyak pada laki-laki.9,10

Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % -

52 %. Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada

penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini

sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan

pasca transplantasi limbal sel sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare

sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival graft sebesar 3-5%.3

III. ANATOMI

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi

permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.

Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet.

Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. 1,2

9

Page 10: REFERAT PTERIGIUM

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva

palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan

melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni

konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang

dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai

ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona

transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva tarsal

tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat

pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya

melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar

antara tarsal dan forniks.2,11

Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih

erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel

kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral

dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3 - mm dari konjungtiva

bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.2,11

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal

dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang

melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat

secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator

palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat

longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata

ketika otot-otot tersebut berkontraksi.11

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan

adenoid, dan lapisan fibrosa.2

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-

masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut:

Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat.

Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri

dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar.

Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan

10

Page 11: REFERAT PTERIGIUM

superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel

polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal

konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis)

epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri

dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat

limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan

ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4

bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan

konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat

elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah

konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini

mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu

dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan

kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar

uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di

konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva

limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk

membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri

dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks,

sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar

Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang

batas bawah tarsus inferior). 2

11

Page 12: REFERAT PTERIGIUM

Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva

forniks, konjungtiva palpebralis.dikutip dari kepustakaan 11

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan 2

12

Page 13: REFERAT PTERIGIUM

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan

banyak vena kongjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya

membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan

profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga

membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima

persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus.

Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.12

IV. ETIOLOGI

Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih

sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang

paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan

seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan

debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai

faktor etiologi mungkin.1-3,7

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal

pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini

mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis

dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan

yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru

telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga

terlibat dalam patogenesis pterigium.7,8

V. KLASIFIKASI

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,

stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah

episklera, yaitu: 13

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:

13

Page 14: REFERAT PTERIGIUM

Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus

atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari

kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel

kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun

sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa

kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau

pterigium rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh

pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi

menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah

operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona

optic. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan

zona optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi

mengenai kornea >4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang

luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan

fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya

menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:13,14

Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan

dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas

pada limbus kornea.

Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan

dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.

Stadium 3: lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,

vaskularisasi yang jelas

Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2

yaitu:2

Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate

di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

14

Page 15: REFERAT PTERIGIUM

Pterigium regresif: tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi

bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan

harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:13

T1(atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

T2(intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

T3(fleshy,opaque): pembuluh darah tidak jelas.

Gambar 3. Stadium Pterigium

VI. PATOFISIOLOGI

Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,

patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus,

mekanisme imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor

15

Page 16: REFERAT PTERIGIUM

pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik

berbagai semuanya telah terlibat dalam pathogenesis.8,15

Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen dan

elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel. Radiasi sinar UV

dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53,

sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel

pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi

degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak

terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs

(TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses

inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium,

serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea.1,4-6,8

Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di

sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3).

Karena kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga

terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan multistep perkembangan

pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel limbal.13,15

Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga

menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-

Rb-TGF-β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β.

Banyaknya sekresi TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-

macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium.

Pertama, sel pterigium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan

MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang menyebabkan

terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan

bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal

corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF-β oleh

sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada

massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan.

Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang

dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke

16

Page 17: REFERAT PTERIGIUM

kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP

dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea.

Sebagai tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan

peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan

stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah

invasive epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan

diaktivasi oleh jalur TGF-β-bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3

yang juga membantu dalam penghancuran lapisan bowman. Beberapa

sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk

membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga

berperan dalam penghancuran membran bowman. Semua proses di atas

dapat dilihat pada gambar. 4. 15

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi

pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah

sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell,

terjadi conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi

limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi

kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga

ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan

bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi

localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV

terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6-8,13

Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti

sejumlah besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan

di substantia propria spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa

mekanisme imunologi, mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat

berkontribusi pada patogenesis pterigium.6

VII. GAMBARAN KLINIS

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan

di luar rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit

17

Page 18: REFERAT PTERIGIUM

ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea,

biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi

kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis Stocker.

Pterigium terdiri dari tiga bagian :2

a. Apeks (bagian apikal pada kornea),

b. Collum (bagian limbal), dan

c. Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus

Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi

bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat

menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan

skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan

mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami

penglihatan ganda atau diplopia.2,11

Gambar 4. Pterigium

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata

merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga

ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di

18

Page 19: REFERAT PTERIGIUM

luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta

dapat pula ditanyakan riwyat trauma sebelumnya.13

Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada

permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan

tebal tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling

sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,

tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. 2,13

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa

astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium. 13

IX. PENATALAKSANAAN

Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,

penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati

dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien

untuk menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin.

Pengobatan pterigium yang meradang atau iritasi dengan topikal

dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau kortikosteroid topikal

ringan empat kali sehari.5

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang

dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan

yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah

pupil, tunggu sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di

gerakan okular.2

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan

pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Indikasi pembedahan

pterigium antara lain:10,16

a. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.

b. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular.

19

Page 20: REFERAT PTERIGIUM

c. Mata terus berair dan terasa mengganjal.

d. Visus menurun.

e. Telah memasuki daerah pupil atau melewati limbus.

f. Alasan kosmetik.

g. Mengganggu pergerakan bola mata.

h. Mendahului operasi intra okuler.

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan

pterigium.4,13

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva

dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya

tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,13

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang

terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva

relative kecil.2,13

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka

bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang

kemudian diletakkan pada bekas eksisi.13

5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil

dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan

ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi

dengan bahan perekat jaringan.2,4,8,13

20

Page 21: REFERAT PTERIGIUM

Gambar 5.

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni

sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,8

1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi

2. Post poerasi beta iradiasi

3. Conjungtival autograft

4. Limbal and limbal–conjunctival transplantation

5. Amniotic membrane transplantation

6. Cultivated conjunctival transplantation

7. Lamellar keratoplasty

8. Fibrin glue

X. DIAGNOSIS BANDING

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium

adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini

terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea

marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada

mata.2

21

Page 22: REFERAT PTERIGIUM

Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum

yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah

nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa

karenairitasi maupun karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya

tidak diperlukan terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid

topikal.13

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi

penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial.

Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya

jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola

mata meskipun jarang terjadi. 4,10

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:

Scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa

tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa

sangat sulit untuk ditangani.10

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah

rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar

50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan

penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran

amnion pada saat eksisi. 2,10 Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari

jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.10

XII. PROGNOSIS

Prognosis pterigium adalah baik walaupun dapat terjadi rekurensu.

Secara visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur dapat

ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada

hari-hari pertama pasca pembedahan, pasien bisa melanjutkan aktivitas

secara penuh dalam 48 jam.16

22

Page 23: REFERAT PTERIGIUM

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. P: 2-10, 116-7

2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.

Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International.

2007. p. 51 - 82.

3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi

Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel.

Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.

4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief

Review. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal

Of The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder

with Premalignant Features. The American Journal of Pathology.

2011;178(2):817-27.

7. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics

of pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.

2010;10(4):308-13.

8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in

pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308–313.

9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity,

and risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.

10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview . Accessed

Februari 19,2013

11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,

Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas

2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.

23

Page 24: REFERAT PTERIGIUM

12. Riordan P, Eva. Anatomi & Embriologi Mata. Oftalmologi Umum. Edisi

14. Penerbit Widya Medika. Jakarta. 1996. P: 1-8

13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.

Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed July 7 ,2012.

14. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in

Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.

Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis:

Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal

Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.

16. Drakeiron. Pterigium. 2008 December. [cited 2013 Februari 21]. Available

from: http://drakeiron.wordpress.com/prosedures/pterigium.html. p.1-5

24