Referat Fix
-
Upload
dwika-akbar-indrawan -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
description
Transcript of Referat Fix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya yang terpenting dalam suatu negara adalah penduduk.
Jumlah penduduk yang banyak memiliki dua efek bagi suatu negara. Di satu
sisi, jumlah penduduk yang banyak memiliki manfaat yang besar karena bisa
dijadikan aset dan potensi bagi pambangunan suatu negara. Namun di sisi lain,
apabila laju pertumbuhan penduduk tak dapat dikendalikan maka akan
berpengaruh pada kesejahteraan penduduk dan dapat mempengaruhi kualitas
hidup manusia sehingga akan menyebabkan permasalahan kependudukan
seperti yang terjadi di Indonesia. Solusi yang diciptakan oleh pemerintah
untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menghadirkan program
Keluarga Berencana (KB). Program Keluarga Berencana (KB) adalah program
yang membantu keluarga termasuk individu anggota keluarga untuk
merencanakan kehidupan berkeluarga yang baik sehingga dapat mencapai
keluarga yang berkualitas (Jadmiko, 2011).
Sebagian besar masyarakat masih menempatkan istri sebagai objek
dalam masalah seksual dan reproduksi karena yang hamil dan melahirkan istri,
istri pulalah yang harus KB agar tak hamil. Ketidakadilan gender dalam
program dan kesehatan reproduksi memang sangat mempengaruhi
keberhasilan program KB. Sebagian besar masyarakat, bahkan para provider
dan penentu kebijakan, masih menganggap penggunaan kontrasepsi adalah
urusan istri. Tentu itu kurang adil, mengingat istri yang sudah mengalami
masa hamil, persalinan, menyusui, mendidik, mengasuh, bahkan acap kali
diharuskan membantu suami mencari tambahan penghasilan, masih harus
menggunakan alat kontrasepsi yang terkadang tak cocok, bahkan
menimbulkan komplikasi. Adapun suami yang andil dalam proses reproduksi
tak mau berperan dengan memakai kontrasepsi. Jumlah akseptor KB wanita
masih mendominasi dikarenakan sebagian besar metode yang ditawarkan oleh
BKKBN masih condong ke arah perempuan. Berikut ini adalah tabel yang
1
menunjukkan jumlah akseptor KB sesuai dengan metode yang digunakan,
yaitu (Stya, 2014) :
Gambar 1.1. Data Akseptor (Stya, 2014)
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
tindakan vasektomi mengenai deifnisi, sejarah, teknik, kerugian, dan efek
samping dari vasektomi itu sendiri, selain itu juga untuk melihat seberapa
besar efektivitas tindakan vasektomi sebagai salah satu kontrasepsi mantap
dalam menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
kehamilan. Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat
permanen, yang bersifat permanen dinamakan pada wanita tubektomi dan
pada pria vasektomi (Wiknjosastro, Saifuddin, & Rachimhadhi, 2007). Di
Indonesia, kontrasepsi mantap (kontap, sterilisasi), yaitu tubektomi pada
wanita dan vasektomi pada pria metode ini telah dikembangkan sejak tahun
1974 oleh PUSSI (Perkumpulan Untuk Sterilisasi Sukarela), yang kemudian
berubah nama menjadi PKMI (Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia).
Vasektomi merupakan suatu operasi kecil dan dapat dilakukan oleh seseorang
yang telah mendapatkan latihan khusus untuk itu. Selain itu vasektomi tidak
memerlukan alat-alat yang banyak, dapat secara poliklinis, dan umumnya
dilakukan dengan mempergunakan anastesi lokal (Wiknjosastro, Saifuddin, &
Rachimhadhi, 2007).
Vasektomi adalah pemotongan vas deferens, yang merupakan saluran
yang mengangkut sperma dari epididimis di dalam testis ke vesikula
seminalis. Pemotongan vas deferens menyebabkan sperma tidak mampu
diejakulasikan dan pria akan menjadi tidak subur setelah vas deferens bersih
dari sperma, yang memakan waktu sekitar tiga bulan (Everett, 2005).
Vasektomi merupakan suatu metode kontrasepsi yang sangat aman,
sederhana, dan sangat efektif. Dalam pelaksanaan operasi sangat singkat dan
tidak memerlukan anestesi umum. Di seluruh dunia, sterilisasi vasektomi
masih merupakan metode yang terabaikan dan kurang mendapat perhatian,
baik dari pihak pria/suami maupun petugas medis keluarga berencana.
(Siddiqui, 2014).
2.2. Sejarah
Sejarah vasektomi dimulai dengan ditemukannya obstruksi vas deferens
pada bedah mayat oleh John Hunter seorang ahli bedah dan anatomi Inggris
3
pada tahun 1775. Pada mayat tersebut didapatkan adanya obstruksi dan
jaringan ikat pada vas deferens, tetapi testisnya normal baik bentuk maupun
ukurannya. Cooper (1823) melakukan vasektomi dengan ligasi vas deferens
pada seekor anjing jantan, pada akhir eksperimen tersebut menemukan bagian
proksimal ligasi terisi banyak spermatozoa sedangkan bagian distal ligasi
tidak ditemukan adanya spermatozoa. Pada pengamatan selama 6 tahun,
anjing tersebut dapat melakukan senggama tetapi tidak terjadi kehamilan pada
anjing betina pasangannya. (Sheynkin,2009).
Pada permulaan abad XXV vasektomi digunakan untuk pengobatan
masturbasi atau sebab-sebab eugenik pada kriminalitas, penderita dengan
gangguan mental, penderita dengan penyakit keturunan serta untuk
peremajaan seksualitas (sexual rejuventation).(Sheynkin,2009).
Di Amerika Serikat vasektomi untuk tindakan sterilisasi dilegalisasi
pada tahun 1960 dan didirikan Association for Voluntary Sterilization dan
Human Bettermen Foundation. Pada tahun 1970 dilakukan 550 ribu
vasektomi, sehingga satu dari tujuh pria dengan istri berusia antara 30-44
tahun telah menjalani vasektomi. Sejak tahun 1972 vasektomi makin popular
di Amerika Serikat, dan dilakukan pada lebih dari 1 juta akseptor setiap tahun
(Kim & Goldstein, 2009).
Li Shunqiang seorang ahli pada lembaga penelitian Keluarga Berencana
Chongquing Cina pada tahun 1974 mengemukakan teknik baru yang disebut
vasektomi tanpa pisau. Pada tahun 1976 di RRC telah dilakukan vasektomi
tanpa pisau terhadap 30 juta akseptor, di India 17 juta akseptor, Amerika
Serikat 8 juta akseptor, Eropa 4,5 juta akseptor (Sharlip, 2012).
Pada tahun 1989 metode vasektomi tanpa pisau diperkenalkan di
Indonesia oleh dr.Apichat Nirapathpongporn dari Thailand, kemudian pada
tahun 1990 Indonesia mengirim 4 orang ahli bedah urologi ke Thailand untuk
meninjau pelaksanaan vasektomi tanpa pisau. Di Indonesia sampai dengan
akhir 1997 telah dilakukan vasektomi pada 233.470 akseptor atau 0,9% dari
seluruh akseptor keluarga berencana. (Purwoko, 2005).
4
2.3. Anatomi Organ Reproduksi Pria
Organ reproduksi pria dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu (Purwoko, 2005). :
1. Kelenjar
Terdiri dari testis, vesikula seminalis, prostat, kelenjar
bulbouretral. Testis berfungsi sebagai tempat produksi spermatozoa dan
testosteron, dan vesikula seminalis sebagai tempat produksi cairan
semen.
2. Saluran
Terdiri dari epididimis, vas deferens dan uretra. Epididimis
berfungsi menyimpan spermatozoa sebelum dikeluarkan ke vas
deferens. Vas deferens berbentuk tabung memanjang dari cauda
epididimis kelenjar prostat, bergabung dengan vesikula seminalis
membentuk duktus ejakulatorius.
3. Pelengkap
Terdiri dari penis, skrotum, funikulus spermatikus dan semen.
Penis merupakan alat persetubuhan pada pria, mengalami penegangan
saat koitus dan memancarkan sperma ke dalam vagina saat ejakulasi.
Skrotum merupakan kantong yang didalamnya terdapat testis,
epididimis, vas deferens, saraf dan pembuluh darah. Semen merupakan
cairan yang dikeluarkan pada saat ejakulasi berwarna keputihan dan
kental. Semen terdiri dari cairan yang berasal dari : kelenjar epididimis,
vesikula seminalis, kelenjar prostat, kelenjar bulbouretralis.
5
Gambar 2.1. Organ reproduksi pria (Purwoko, 2005)
Vasektomi bertujuan menghalangi transport spermatozoa tanpa
mengganggu fungsi testis, sehingga pada saat orgasmus ejakulat akan tetap
dikeluarkan sebagaimana sebelum vasektomi. Pada vesektomi libido tidak
terpengaruh, testis dan vaskularisasinya tidak terganggu sehingga produksi
hormon tetap berlangsung. (Shih, 2011).
2.4 Teknik Vasektomi
Teknik vasektomi konvensional
Ini merupakan teknik yang paling sering digunakan sebelum
ditemukannya teknik minimal invasif dan instrumen vasektomi khusus. Satu
insisi sktorummidline atau bilateral dilakukan dengan skalpel. Panjang insisi
biasanya 1,5-3 cm. Tidak ada instrumen khusus yang digunakan. Vas
biasanya digenggam dengan towel clip atau forsep Allis. Area diseksi di
sekitar vas biasanya lebih besar dibandingkan dengan teknik minimal invasif
(Shih, 2011).
Persiapan
Persiapan meliputi persiapan calon akseptor, persiapan alat dan
persiapan operator. Persiapan calon akseptor dilakukan dengan pencukuran
rambut kemaluan (pubes) serta pencucian dengan antiseptic (povidon yodin
10%) pada skrotum dan sekitarnya. Operator dan asisten mencuci tangan
6
sevara fubringer selama 10 menit, operator berdiri di sisi kanan akseptor
sedang asisten berdiri di sisi kiri akseptor (Sharlip, 2012).
Pelaksanaan
1. Medan operasi ditutup duk steril
2. Vas deferens difiksasi dengan klem allis, dilakukan anastesi lokal pada
tempat insisi dengan prokain HCL 1%, atau Lidokain HCL 1-2%
sebanyak 2 cc.
3. Insisi skrotum transversal atau longitudinal sepanjang 1-2cm sampai
menembus kulit, fascia dan tunika dartos. Insisi skrotum dapat dilakukan
dengan insisi tunggal pada garis tengah skrotum (raphe mediana), atau
dengan insisi ganda pada kedua basis skrotum 3-5cm diatas epididimis.
4. Vas deferens didorong kearah insisi sehingga selubung vas deferens
tampak keabu-abuan dan difiksasi dengan klem allis.
5. Selubung vas deferens dibuka, secara tajam dengan scalpel no.15
sepanjang 1-3cm dan disiangi sehingga vas deferens tampak putih
mengkilat seperti mutiara.
6. Vas deferens dijepit dengan forsep mosquito dan ditarik keluar dari
selubungnya. Akseptor akan merasa sakit yang dijalarkan ke abdomen
pada saat vas deferens ditarik untuk mengurangi rasa sakit tersebut
diberikan anastesi lokal pada selubung vas deferens.
7. Kedua ujung vas deferens yang dibebaskan tersebut diklem dan segmen
diantaranya dieksisi sepanjang 1,5-3cm untuk mencegah terjadinya
rekanalisasi, pemotongan vas deferens lebih dari 3 cm tidak
memungkinkan reanstomosis di kemudian hari.
8. Kedua ujung vas deferens diikat dengan chromic catgut no.3.0 atau
dexon no.3.0.
9. Kedua ujung vas deferens yang telah terikat dimasukkan kembali ke
dalam selubungnya.
10. Selubung vas deferens yang telah terikat dimasukkkan kembali ke dalam
selubungnya.
7
11. Selubung vas deferens diikat dengan chromic catgut no.3.0.
12. Perdarahan dirawat dan diligasi dengan teliti.
13. Kulit skrotum dijahit dengan chromic catgut no.2.0 atau sutera no.2.0.
14. Luka ditutup dengan kassa steril dan plester atau band aid.
Untuk mencegah terjadinya rekanalisasi dapat dilakukan beberapa
teknik pengikatan vas deferens, yaitu teknik Carlson ( pemotongan vas
deferens sepanjang 1,5-3 cm), teknik green ( elektrokoagulasi dan pengikatan
pada kedua ujung vas deferens), teknik strode (membenamkan ujung
proksimal vas deferens ke dalam fascia disekitarnya), teknik Dodson (fiksasi
ujung-ujung vas deferens pada dinding skrotum), teknik Hanley (menarik
kedua ujung vas deferens sampai overlapping dan mengikat kedua ujung
tersebut menjadi satu), dan teknik open ended (pengikatan hanya pada ujung
distal vas deferens) (Sharlip,2012).
Disamping dengan pengikatan atau ligasi, penutupan vas deferens dapat
dilakukan dengan beberapa cara lain yaitu penyumbatan dengan penyuntikan
zat silastik/silion kedalam lumen vas deferens, penempatan alat tertentu di
dalam vas deferens, dan penempatan surgical clip pada vas deferens
(Shih,2011).
Teknik vasektomi tanpa pisau
Teknik vasektomi tanpa pisau (metode Li) dikerjakan tanpa
melakukan insisi pada kulit skrotum. Kulit skrotum dibuka dengan klem
penyiang (vas deferens dissecting clamp) dan difiksasi dengan klem fiksasi
(extra cutaneus vas deferens fixing clamp). Klem penyiang dimodifikasi dari
Pean Aesculap kode BH III yang ujungnya depertajam dengan pengasahan
menggunakan kertas ampelas besi, sedang klem fiksasi dimodifikasi dari
towel clamp backhaus aesculap kode BF 437 (Nath, 2005).
Persiapan
Persiapan meliputi persiapan calon akseptor, persiapan alat dan
persiapan operator. Persiapan calon akseptor dilakukan dengan pencukuran
8
rambut kemaluan (pubes) serta pencucian dengan antiseptic (povidon yodin
10%) pada skrotum dan sekitarnya. Operator dan asisten mencuci tangan
secara furbinger selama 10 menit, operator berdiri di sisi kiri akseptor
(Sharlip, 2012).
Pelaksanaan
1. Medan operasi ditutup duk steril.
2. Vas deferens difiksasi dengan telunjuk dan jari tengah tangan kiri,
dilakukan anastesi local pada skrotum serta vas deferens kanan dan kiri
dengan prokain HCL 1%, atau lidokain HCL 1-2% sebanyak 2cc.
3. Vas deferens kanan difiksasi dengan klem fiksasi pada raphe median
klem fiksasi direbahkan ke kaudal sehingga ujung klem menonjol ke
permukaan.
4. Klem fiksasi dipegang dengan tangan kiri dengan posisi ibu jari diatas
klem, jari telunjuk meregangkan kulit skrotum dan jari tengah berada
dibawah klem.
5. Kulit skrotum diatas diatas vas deferens dibuka dengan klem penyiang.
Klem penyiang ditusukkan kulit skrotum membentuk sudut 45˚ terhadap
bidang datar, kemudian daun klem direnggangkan secara lembut
sehingga kulit beserta selubung vas deferens tersobek dan vas deferens
terlihat putih mengkilat seperti mutiara.
6. Vas deferens diluksir dengan menusukkan ujung kanan klem penyiang
kemudian memutarnya 180˚ searah jarum jam, klem fiksasi dilepas dari
kulit. Vas deferens dijepit dengan klem fiksasi pada bagian ujung yang
diluksir, klem penyiang dilepas dari vas deferens.
7. Vas deferens dibebaskan dibebaskan dari jaringan perivasal dengan klem
penyiang.
8. Benang sutera 3.0 disisipkan diantara celah lengkung vas deferens
menggunakan klem penyiang, kemudian dilakukan pengikatan pada vas
deferens bagian abdominal dan bagian testikuler.
9. Vas deferens diantara kedua ikatan sepanjang 1,5-3cm dipotong
9
10. Kedua puntung vas deferens dikembalikan ke dalam selubungnya dengan
posisi vas deferens bagian abdominal diluar selubung sedangkan vas
deferens bagian testikuler berada di dalam selubung.
11. Dilakukan pengikatan dan pemotongan vas deferens kiri dengan cara
yang sama melalui lubang pada kulit yang telah terbuka.
12. Perdarahan dirawat, dan kulit ditutup dengan band aid (plester obat).
Pasca bedah
1. Seluruh instrument bedah yang terpakai direndam dalam khlorin 0,5%.
2. Sarung tangan, baju operasi, topi dan masker direndam dalam khlorin
0,5%.
3. Akseptor diberikan antibiotika, analgetika, anti inflamasi.
4. Akseptor disarankan menggunakan kondom untuk 20 kali senggama
pasca bedah, sebelum dapat berhubungan secara bebas dengan
pasangannya.
2.5 Proses Follow-Up Setelah Vasektomi
Biasanya, pasien disarankan untuk tidak bekerja sehari setelah operasi
vasektomi dilakukan. Pasien juga disarankan untuk tidak melakukan olah
raga dan latihan dalam jangka waktu tertentu tergantung dari anjuran
dokternya. Setelah periode penyembuhan yang pendek, 80% pasien dapat
beraktivitas normal kembali pada 1 minggu. Tidak diperlukan konsultasi luka
operasi yang rutin (Dohie,2012).
Analisis semen merupakan bagian yang penting pada follow-up pasien
pasca-vasektomi dan analisis ini dilakukan 3 bulan setelah prosedur
dilakukan. Jumlah ejakulasi yang cukup, minimal 20, harus dilakukan dalam
3 bulan tersebut. Terdapat konsensus umum dimana pria dapat diberikan
pembersihan jika tidak ditemukan spermatozoa pada ejakulatnya. Minimal
80% pria tidak ditemukan spermatozoa pada ejakulat 3 bulan setelah
vasektomi dan pada kelompok pria ini tidak diperlukan follow-up lebih
lanjut. Pada beberapa pria, spermatozoa nonmotil dalam jumlah yang sedikit
10
dapat terjadi dan hal ini dapat bertahan lama. Kelompok pria ini dapat di-
berikan pembersihan jika terdapat < 100.000 spermatozoa non motil per mL 3
bulan setelah vasektomi. Pada kasus dimana terdapat spermatozoa motil yang
persisten setelah 6 bulan follow-up, pasien disarankan untuk melakukan
vasektomi ulangan (Dohie,2012)
Hal yang harus dilakukan setelah menjalani operasi :
1. Istirahat secukupnya dan selama 7 hari setelah operasi sebaiknya tidak
bekerja berat.
2. Bekas luka harus bersih dan tetap kering selama 7 hari.
3. Minum obat yang diberikan oleh dokter sesuai aturan.
4. Walaupun sudah diperbolehkan berhubungan intim dengan istri/pasangan
setelah 7 hari tindakan operasi, namun pasangan tersebut masih harus
memakai alat kontrasepsi lain selama kurang lebih 3 bulan. Bagi pria, kira-
kira pada 10-12 kali persenggamaan setelah operasi, dianjurkan memakai
kondom. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kehamilan akibat sisa-sisa
sperma yang terdapat dalam cairan mani. Sementara pasangannya
menggunakan metode lain yang cocok. Setelah vasektomi, air mani tetap
ada, tetapi tidak lagi mengandung bibit. Ini karena vasektomi tidak sama
dengan pengebirian.
5. Jangan lupa memeriksa ulang ke dokter 1 minggu, 3 bulan, dan 1 tahun
setelah operasi.
2.6 KEUNTUNGAN KONTRASEPSI VASEKTOMI
Keuntungan vasektomi antara lain (SMN, 2007) :
1. Efektif.
2. Aman, morbiditas rendah dan hampir tidak ada mortalitas.
3. Cepat, hanya memerlukan waktu 5-10 menit.
4. Menyenangkan bagi akseptor karena memerlukan anestesi lokal saja.
5. Biaya rendah.
11
6. Secara kultural, sangat dianjurkan di negara-negara dimana wanita merasa
malu untuk ditangani oleh dokter pria atau kurang tersedia dokter wanita
dan paramedis wanita.
7. Teknik operasi kecil yang sederhana dapat dikerjakan kapan dan dimana
saja.
8. Komplikasi yang dijumpai sedikit dan ringan.
9. Bila pasangan suami istri ingin mendapatkan keturunan lagi, kedua ujung
vas deferens disambung kembali (operas rekanalisasi).
2.7 KOMPLIKASI / EFEK SAMPING VASEKTOMI
Vasektomi tidak memengaruhi spermatogenesis dan fungsi sel Leydig
secara signifikan. Volume ejakulat tidak berubah setelah dilakukan
vasektomi. Efek sistemik potensial, seperti aterosklerosis, belum terbukti, dan
tidak ada bukti signifikan untuk terjadinya penyakit sistemik setelah
vasektomi. Peningkatan kanker prostat pada pria yang menjalani vasektomi
belum dapat dibuktikan (Leslie,2007).
Ada beberapa efek samping yang mungkin terjadi pada pria setelah operasi
antara lain:
1. Reaksi Alergi Anastesi
Reaksi ini terjadi karena adanya reaksi hipersensitif/alergi karena
masuknya larutan anastesi lokal ke dalam sirkulasi darah atau pemberian
anastesi lokal yang melebihi dosis.
Penanggulangan dan pengobatannya adalah dengan Komunikasi
Informasi Edukasi (KIE) untuk menjelaskan sebab terjadinya. Reaksi ini
dapat terjadi pada saat dilakukan anastesi dan pada setiap tindakan operasi
baik operasi besar atau kecil. Oleh karena itu perlu diterangkan sebelum
dilakukanoperasi dan klien harus mengerti semua resiko operasi tersebut.
Setelah itu klien diwajibkan untuk menandatangani informed consent.
2. Perdarahan
Biasanya terjadi perdarahan pada luka insisi di tempat operasi, dan
perdarahan dalam skrotum. Penyebab terjadinya perdarahan tersebut
12
karena terpotongnya pembuluh darah di daerah saluran mani dan atau
daerah insisi. Penanggulangannya perdarahan dihentikan dengan
penekanan pada pembuluh darah yang luka apabila terjadi pada saat
operasi.
3. Hematoma
Hematoma ditandai dengan adanya bengkak kebiruan pada luka insisi
kulit skrotum. Hal ini disebabkan karena pecahnya pembuluh darah
kapiler. Penanggulangannya dilakukan dengan tindakan medis yaitu
memberikan kompres hangat, beri penyangga skrotum. Bila perlu dapat
diberikan salep anti hematoma.
4. Infeksi
Gejala/keluhan apabila terjadi infeksi yaitu adanya tanda-tanda infeksi
seperti panas, nyeri, bengkak, merah dan bernanah pada luka insisi pada
kulit skrotum. Penyebab infeksi ini karena tidak dipenuhinya standar
sterilisasi peralatan, standar pencegahan infeksi dan kurang sempurnanya
teknik perawatan pasca operasi.
5. Granuloma Sperma
Granuloma sperma yaitu adanya benjolan kenyal yang kadang disertai
rasa nyeri di dalam skrotum. Penyebabnya adalah keluarnya spermatozoa
dari saluran dan masuk ke dalam jaringan sebagai akibat tidak
sempurnanya ikatan vas deferens.
Apabila granuloma sperma kecil akan di absorpsi spontan secara
sempurna. Bila granuloma besar rujuk ke RS untuk dilakukan eksisi
sperma granuloma dan mengikat kembali vas deferens, namun biasanya
akan sembuh sendiri. Rasa nyeri dapat diatasi dengan pemberian analgetik.
6. Gangguan Psikis
Meningkatnya gairah seksual (libido) dan menurunnya kemampuan
ereksi (impotensi) merupakan keluhan yang sering dialami oleh pria
setelah operasi. Kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan psikologis
(baik yang meningkat libidonya ataupun yang impotensi), karena secara
13
biologis pada vasektomi produksi testoteron tidak terganggu sehingga
libido (nafsu seksual) tetap ada.
Penanggulangan dari efek samping ini tidak perlu dilakukan
tindakan medis, namun perlu dilakukan psikoterapi. Pada penelitian di
Jakarta terhadap 400 pria yang telah dilakukan vasektomi, dilaporkan 50%
gairah seksualnya bertambah, 40% tidak merasakan perubahan, 7% tidak
memperhatikan dan hanya 3% yang menurun gairah seksualnya (Awsare,
2005).
14
BAB III
KESIMPULAN
Vasektomi dalam pengertian kontrasepsi mantap adalah memotong dan
mengangkat sebagian duktus deferen kanan, kiri, sehingga akseptor menjadi
azoospermi oleh karena transport sperma dari testis dihalangi. Vasektomi adalah
prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan
melakukan oklusi vas deferens sehingga alur transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi. Teknik vasektomi terbagi
atas dua yaitu teknik konvensional dan teknik tanpa pisau.
Kontrasepsi pria merupakan hal yang penting dalam menunjang program
keluarga berencana. Vasektomi merupakan metode kontrasepsi yang efektif,
mudah, cepat, dan aman untuk dalam menekan laju pertumbuhan penduduk di
Indonesia. Tindakan ini memiliki angka keberhasilan yang tinggi dengan
frekuensi komplikasi yang rendah. Pemilihan prosedur tindakan dapat
mempengaruhi keluaran dari tindakan ini. Selain vasektomi, terdapat beberapa
alternatif kontrasepsi pria lainnya. Terapi kontrasepsi hormonal pada pria
merupakan alternatif kontrasepsi yang efektif, aman, dan dapat ditoleransi dengan
baik. Akan tetapi, terapi ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
15
DAFTAR PUSTAKA
Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B., & Rachimhadhi, T. (2007). Ilmu Kandungan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Everett, Suzanne. 2005. Buku Saku Kontrasepsi dan Kesehatan Seksual
Reproduktif (Edisi 2). Translated by Subekti, Nike Budhi. 2005. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Siddiqui, et. al. 2014. Vasectomy and Risk of Aggressive Prostate Cancer:
A 24-Year Follow-Up Study. Jakarta Pusat: Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Sheynkin, Y. R. (2009). History of vasectomy. Urologic Clinics of North
America, 36(3), 285-294.
Kim, H. H., & Goldstein, M. (2009). History of vasectomy reversal. Urologic
Clinics of North America, 36(3), 359-373.
Nath, N. C. (2005). Vasectomy without scalpel. Journal of the Indian Medical
Association, 103(5), 2.
SMN, M., SA, F., & SA, Z. (2007). Benefit of vasectomy using cautery in
comparison with excision and ligation. Journal of Clinical and Diagnostic
Research, 1(2), 45-49.
Shih, G., Turok, D. K., & Parker, W. J. (2011). Vasectomy: the other (better) form
of sterilization. Contraception, 83(4), 310-315.
Dohle GR, Diemer T, Kopa Z, Krausz C, Giwercman A, Jungwirth A. (2012).
European Association of Urology Guidelines on Vasectomy. Eur Urol.
61(2), 159-163.
Sharlip ID, Belker AM, Honig S, Labrecque M, Marmar JL, Ross LS. (2012).
Vasectomy: AUA Guideline. American Urological Association Guideline.
1(2), 101-130.
Awsare NS, Krishnan J, Boustead GB, Hanbury DC, McNicholas TA. (2012).
Complications of vasectomy. Ann R Coll Surg Engl. 87, 406–10.
16
Leslie TA, Illing RO, Cranston DW, Guillebaud J. (2007). The incidence of
chronic scrotal pain after vasectomy: a prospective audit. BJU Int; 100,
1330–3.
Jadmiko, A. W. (2011). Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Perubahan
Pengetahuan dan Sikap Suami tentang Vasektomi di Desa Jeruk, Wilayah
Kerja Puskesmas Miri, Kabupaten Sragen.
Stya Putri, M. A., Hariyadi, S., & Prihastuty, R. (2014). Motivasi Suami
Mengikuti Program KB dengan Metode Kontrasepsi Mantap
(Vasektomi).Developmental and Clinical Psychology, 3(1).
17